HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN AGRESIVITAS REMAJA AKHIR LAKI-LAKI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Oleh : FARADINA ANGGRAINI PUTRI NIM. 106070002239
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi
yang
berjudul
HUBUNGAN
KEMATANGAN
EMOSI
(EMOTIONAL
MATURITY) DENGAN AGRESIVITAS REMAJA AKHIR LAKI-LAKI telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 6 Desember 2010 Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522
Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 1956 1223 1983 032001
Anggota Penguji I
Penguji II
Drs. Rahmat Mulyono, M.Si, Psi NIP. 19650220 1999903 1 003
Dr. Achmad Syahid, MA NIP. 19681107 199403 1 005
Pembimbing II
Mulia Sari Dewi, M. Si NIP. 19780502 200801 2 026
HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN AGRESIVITAS REMAJA AKHIR LAKI-LAKI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi Oleh : Faradina Anggraini Putri NIM.106070002239
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Mulia Sari Dewi. M. Si NIP. 19780502 200801 2 026
Dr. Achmad Syahid, MA NIP. 19681107 199403 1 005
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Faradina Anggraini Putri
NIM
: 106070002239
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Kematangan Emosi dengan Agresivitas Remaja Akhir” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undangundang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 6 Desember 2010
Faradina Anggraini Putri NIM 106070002239
VI
“Damai Itu Indah”
i
ABSTRAKSI (A) (B) (C) (D)
Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Desember 2010 Faradina Anggraini Putri Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Agresivitas Remaja Akhir Laki-laki (E) Halaman : 65 halaman + lampiran (F) Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, di mana pada masa ini perkembangan biologis, kognitif dan sosioemosional memasuki masa maturity (kematangan). Perkembangan emosi remaja akhir telah memasuki kematangan di mana remaja mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Tingkat emosi tersebut merupakan suatu keadaan dimana seseorang mampu mengontrol emosinya dan tidak meledakkan emosinya dihdapan orang lain sehingga individu tersebut bisa mencapai tingkat kematangan, hal ini dikenal dengan istilah kematangan emosi. Remaja yang sosio-emosionalnya sudah mature (matang), mampu mengurangi agresivitas dengan teman sebayanya. Agresivitas adalah suatu usaha untuk melukai atau menghancurkan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan agresivitas remaja akhir laki-laki. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasional. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Persada Indonesia YAI dengan sampel 95 orang remaja akhir yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti yakni; remaja akhir laki-laki, berusia 18 sampai 22 tahun, kuliah di kampus UPI YAI yang dekat dengan daerah pusat bentrokkan yaitu dekat dengan kampus UKI Jakarta Pusat. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model likert. Teknik pengolahan dan analisa dilakukan dengan analisa statistik korelasi. Jumlah item valid untuk skala kematangan emosi adalah 27 item dari 49 item dengan reliabilitas sebesar 0.900, untuk skala agresivitas jumlah item yang valid adalah 20 item dari 29 item dengan reliabilitas sebesar 0.921. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan teknik statistik diperoleh F hitung sebesar -.241 dan signifikansi p=0.019 ini berarti
ii
hipotesis nihil (Ho) ditolak dan Ha diterima, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan dengan arah negatif antara kematangan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir laki-laki. Saran praktis penelitian ini adalah pentingnya meningkatkan kematangan emosi agar meminimalisir agresivitas di usia remaja akhir. Hal ini terkait dengan harapan bahwa mahasiswa sebagai harapan bangsa dapat memberikan contoh yang baik untuk mereka yang lebih muda. (G) Daftar Pustaka : 34 (1965- 2009)
iii
DAFTAR ISI Cover Pengesahan Oleh Panitia Ujian Lembar Pengesahan Pembimbing Motto ..................................................................................................................i Abstrak ................................................................................................................ii Kata Pengantar ....................................................................................................iv Pernyataan Bukan Plagiat ...................................................................................vi Daftar Isi .............................................................................................................vii Daftar Tabel ........................................................................................................x Daftar Gambar.....................................................................................................xi Daftar Lampiran ..................................................................................................xii BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................1 1.1
Latar Belakang Masalah........................................................1
1.2
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah .....................11 1.2.1 Pembatasan Masalah.....................................................11 12.2 Perumusan Masalah ......................................................12
1.3
Tujuan Penelitian ..................................................................12
1.4
Manfaat Penelitian................................................................12
1.5 Sistematika Penulisan ...........................................................13 BAB II
KAJIAN PUSTAKA......................................................................15 2.1
Agresivitas ...........................................................................15 2.1.1 Definisi Agresivitas .....................................................15 2.1.2 Jenis-jenis Agresivitas .................................................17 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas ..........20
2.2
Kematangan Emosi ..............................................................26 2.2.1 Definisi Kematangan Emosi .......................................26 2.2.2 Ciri-ciri Orang yang Matang Emosi ...........................27 vii
2.2.3 Karakteristik Kematangan Emosi ...............................29 2.3
Remaja Akhir.......................................................................31 2.3.1 Pengertian Remaja Akhir............................................31 2.3.2 Perkembangan pada Remaja Akhir.............................32 2.3.3 Ciri-ciri Remaja Akhir..............................................36
BAB III
2.4
Kerangka Berpikir................................................................36
2.5
Hipotesis ..............................................................................39
METODE PENELITIAN .............................................................40 3.1
Pendekatan Penelitian ..........................................................40 3.1.1 Pendekatan Penelitian ................................................40 3.1.2 Jenis Penelitian ...........................................................40
3.2
Variabel Penelitian ..............................................................40 3.2.1 Definisi Variabel Penelitian........................................40 3.2.2 Definisi Konseptual Penelitian ...................................41 3.2.3 Definisi Operasional Penelitian ..................................41
3.3
Pengambilan Sampel ...........................................................42 3.3.1 Populasi ......................................................................42 3.3.2 Sampel ........................................................................42 3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel .......................................42
3.4
Pengumpulan Data ...............................................................42 3.4.1 Teknik Pengumpulan Data ..........................................42 3.4.2 Instrumen Penelitian ....................................................43
3.5 Teknik Analisa Data .............................................................45 3.5.1 Uji Reliabilitas .............................................................45 3.5.2 Uji Validitas .................................................................45 3.5.3 Uji Korelasional ...........................................................46 3.6 Hasil Uji Instrumen Penelitian ..............................................46 3.6.1 Hasil Uji Validitas Skala Kematangan Emosi ..............46 viii
3.6.2 Hasil Uji Validitas Skala Agresivitas ..........................48 3.6.3 Hasil Uji Reliabilitas Skala Kematangan Emosi dan Skala Agresivitas.....................................................................48 3.7 Prosedur Penelitian ...............................................................49 3.7.1 Persiapan Penelitian .....................................................49 3.7.2 Tahap Uji Coba Alat Ukur ...........................................50 3.7.3 Tahap Pelaksanaan .......................................................50 3.7.4 Tahap Pengolahan Data ................................................51 BAB IV
PRESENTASI DAN ANALISIS DATA ........................................52 4.1 Gambaran Umum Responden ...............................................52 4.1.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia..........52 4.2
Deskripsi Hasil Penelitian ....................................................53 4.2.1 Gambaran Kematanga Emosi .....................................53 4.2.2 Gambaran Agresivitas .................................................54
4.3 Hasil Penelitian ....................................................................56 4.3.1 Hasil Uji Hipotesis ......................................................56 BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ...................................59 5.1
Kesimpulan ..........................................................................59
5.2
Diskusi .................................................................................59
5.3
Saran ....................................................................................63 5.3.1 Saran Teoritis ..............................................................63 5.3.2 Saran Praktis ...............................................................64
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................66 LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Data Bentrokan Mahasiswa UPI YAI – UKI………………… 9 Tabel 3.1 Format Skoring Skala Kematangan Emosi dan Agresivitas…. 43 Tabel 3.2 Bluprrint Skala Kematangan Emosi………………………….. 44 Tabel 3.3 Blueprint Skala Agresivitas…………………………………… 45 Tabel 3.4 Hasil Uji Validitas Skala Kematangan Emosi………………… 47 Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Skala Agresivitas…………………………. 49 Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Usia………. 52 Tabel 4.2 Descriptive Statistics………………………………………….. 53 Tabel 4.3 Kategorisasi skor skala Kematangan Emosi………………….. 54 Tabel 4.4 Klasifikasi Kematangan Emosi sesuai Usia…………………... 54 Tabel 4.5 Descriptive Statistics………………………………………….. 55 Tabel 4.6 Kategorisasi Skor Skala Agresivitas………………………….. 55 Tabel 4.7 Klasifikasi Agresivitas sesuai Usia…………………………… 56 Tabel 4.8 Korelasi Skala Kematangan Emosi dan Agresivitas................. 57
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir………………………………… 39
xi
mahasiswa tersebut dikarenakan adanya perubahan yang terjadi pada beberapa aspek fungsional individu, yaitu fisik, psikologis dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin banyak tanggung jawab yang perlu dilaksanakan. Perubahan biologis pada masa ini meliputi perubahan fisik, termasuk perkembangan otak, perubahan hormon pubertas dan semua reflek proses biologis ; perubahan kognitif meliputi perubahan berpikir dan kecerdasan remaja; sedangkan perubahan sosioemosional meliputi interaksi remaja dengan orang lain, kematangan emosi, kepribadian dan peran konteks sosialnya (Santrock, 2007). Masa remaja adalah suatu periode yang sering dikatakan sebagai periode “badai dan tekanan” yaitu sebagai suatu masa dimana terjadi ketegangan emosi yang tinggi yang diakibatkan adanya perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1980). Jadi, dimasa ini remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu, karena mereka ada dalam masa peralihan dan mereka berusaha menyesuaikan perilaku baru dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Gejolak ditimbulkan baik oleh fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri dan memantapkan posisinya dalam masyarakat); oleh pertumbuhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder), perkembangan inteligensi (penalaran yang tajam dan kritis), serta perubahan emosi (lebih peka, cepat marah dan agresif). Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock (2007), bahwa proses perkembangan sosio-emosional (socio-emotional process) melibatkan perubahan dalam hal emosi, kepribadian, relasi dengan orang lain dan konteks sosial. Contohnya seperti menanggapi perkataan orang tua, agresi terhadap kawan-kawan
2
sebaya, kegembiraan dalam pertemuan sosial semuanya mencerminkan proses sosio-emosional dalam perkembangan remaja. Menurut Sarwono (2008), remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda tergantung faktor sosial budaya. Kurun usia remaja sering disebut sebagai periode strum und drang, yaitu periode peralihan antara anak-anak dengan masa dewasa yang penuh gejolak. Gejolak yang terjadi ditimbulkan baik oleh fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri, memantapkan posisi dalam masyarakat tersebut) maupun oleh pertumbuhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder, pertumbuhan tubuh yang tidak proposional) dan perubahan emosi (lebih peka, lebih cepat marah, agresif ) serta perkembangan intelegensinya (makin tajam bernalar, makin kritis). Emosi remaja menurut Hall (dalam Hurlock, 1980), digambarkan dengan ketegangan emosi yang meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormon. Goleman (1996), menyatakan bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Emosi akan mempersiapkan tubuh untuk suatu reaksi, misalnya seseorang yang berada pada keadaan yang tidak menyenangkan hingga menyebabkan orang tersebut marah, secara biologis, darah akan mengalir ke tangan, detak jantung meningkat, hormon adrenalin akan membangkitkan energi yang cukup kuat untuk bertindak dahsyat, sehingga dengan mudah tangan memukul orang yang menyebabkan marah (dalam Fauza, 2004).
3
Emosi marah yang bersifat negatif dan meledak-ledak disertai dengan faktor eksternal seperti frustrasi dan provokasi, menyebabkan terjadinya proses penyaluran energi negatif berupa dorongan agresi yang akan mempengaruhi perilaku individu. Individu dengan tingkat kematangan emosional tinggi mampu meredam dorongan agresi dan mengendalikan emosinya, pandai membaca perasaan
orang
lain,
serta
dapat
memelihara
hubungan
baik
dengan
lingkungannya. Sehingga, apabila individu memiliki kematangan emosi yang baik maka individu tersebut mampu untuk mengendalikan perilaku agresifnya (Rahayu, 2008). Adapun yang dimaksud dengan kematangan emosi adalah satu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial (Hurlock, 1980). Kematangan emosi dipengaruhi oleh faktor usia dan pengalaman. Meski usia tidak menjamin kematangan seseorang, namun dengan bertambahnya usia diharapkan seseorang akan menjadi lebih matang (psikis, fisik, sosial-emosional), sehingga seseorang akan mampu menerima berbagai hal yang mungkin menimbulkan perasaan marah, takut, dan sebagainya. Makin bertambahnya usia seseorang, makin baik kemampuannya dan makin luas perspektifnya dalam memandang suatu masalah. Pertambahan usia juga menyebabkan emosi semakin terdiferensiasi dan ekspresi emosi semakin terkontrol (Hurlock, 1980; Jersild, 1965). Remaja akan mengalami kematangan emosi di usia 17 tahun, sebagaimana
4
yang diungkapkan Al-Mighwar (2006), dalam aspek fisik dan psikis, laki-laki muda dan wanita muda menunjukkan kestabilan emosi. Hurlock (1980) juga mengemukakan hal yang sama, bahwa remaja akhir telah memasuki kematangan emosi di mana remaja mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya Kekerasan sangat dekat dengan istilah agresi, tindakan ini berakibat pada kerusakan atau tersakitinya pihak lain. Tindakan agresi lebih pada sikap seseorang, sedangkan kekerasan lebih pada tindakan atau perilaku seseorang yang semuanya memiliki faktor pencetus baik dari luar maupun dari dalam (Khisbiyah; Wahab, 2006; Rahayu, 2008). Istilah agresivitas/agresi sering digunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku. Pada dasarnya semua perilaku agresivitas mempunyai satu kesamaan yaitu bertujuan untuk menyakiti orang lain. Berkowitz (1995, dalam Luthfi dkk, 2009) mendefinisikan agresivitas sebagai suatu usaha untuk melukai atau menghancurkan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Moore dan Fine (1968 dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara visik ataupun secara verbal terhadap individu lain. Maka perilaku agresi bukan hanya secara fisik saja, perkataan yang ditujukan kepada seseorang dan mengakibatkan orang lain tersakiti hatinya merupakan salah satu bentuk perilaku agresi. Tidak sedikit pula diberitakan di media massa, terjadinya perkelahian antar mahasiswa yang di picu oleh hal-hal yang kurang rasional dan akibat dari perilaku agresif yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut akan menimbulkan peristiwa-
5
peritiswa yang mengganggu kegiatan perkuliahan, dan lingkungan, seperti diberitakan oleh Kompas (2008), bentrokan antara ratusan mahasiswa Universitas UKI dan Universitas Persada Indonesia (UPI YAI), menyebabkan jatuh korban dari dua pihak dan arus kendaraan di sekitar Jalan Salemba macet, mahasiswa kedua universitas itu saling lempar batu dan bom molotov. Bahkan, sebuah gedung di areal Kampus UKI terbakar akibat lemparan bom Molotov (Liputan 6, 2009). Peristiwa di atas dapat dijadikan sebagai suatu gambaran bahwa agresivitas merupakan manifestasi penyaluran kebutuhan naluri yang ditekan oleh suatu sistem kepribadian yang disebut ego. Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial yang memiliki egosentris yaitu terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri, namun di masa perkembangannya, egosentrisme itu akan berubah menjadi keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain (Sarwono, 2008). Apabila dikaitkan dengan peristiwa bentrokan di atas, hal ini mungkin karena telah berkembangnya egosentrisme mahasiswa, sehingga mereka merasa tidak menerima ketika ada temannya yang dilecehkan atau diserang dan terjadilah perkelahian massal antara dua Universitas swasta tersebut. Dalam hal ini, kita dapat
melihat
betapa
besarnya
pengaruh
lingkungan
terhadap
proses
perkembangan individu. Hurlock (1980) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang menimbulkan perasaan aman serta keterbukaan akan berpengaruh dalam hubungan sosial dan pembentukkan perilaku. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri
6
secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, mereka seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang negatif, salah satunya adalah munculnya agresivitas dan perilaku agresi seperti penganiayaan terhadap teman sebaya, pemalakan dan sebagainya. Tingkah laku agresif merupakan perilaku fisik atau lisan yang disengaja, tujuannya untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Myres dalam Sarwono, 2002). Hasil penelitian membuktikan bahwa masa remaja adalah masa yang paling rawan terhadap tindak kekerasan dan dapat dikatakan merupakan puncak keterlibatan seseorang dengan tingkah laku agresif (Moffit & Wolfgang dalam Soffat, 1998). Masalah perilaku agresi memang rumit dan penanggulangannya tidak hanya secara individual, melainkan lingkungan juga harus diciptakan agar perilaku agresif tidak berkembang sehingga berada di luar kontrol. Perilaku agresif hampir selalu punya konotasi negatif karena dampaknya sering kali destruktif dan menakutkan. Oleh karena itu, tidak heran bila masyarakat di Indonesia masih menganggap bahwa mengekspresikan perilaku agresif itu tabu dan dilarang. Namun faktanya, kekerasan ataupun perilaku agresif setiap harinya tetap ditampilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, padahal dampaknya adalah sedikit demi sedikit akan memberikan penguatan bahwa hal itu (agresif) merupakan hal yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan (Davidof, 1991 dalam Sarwono, 2009).
7
Sebagai
kelas
masyarakat
terdidik,
mahasiswa
diharapkan
dapat
menggantikan generasi-generasi sebelumnya dengan kualitas, kinerja, emosi dan mental yang baik. Mereka merupakan contoh bagi penerus bangsa yang lebih muda, menjadi miris jika remaja yang berstatus mahasiswa yang diharapkan menjadi penerus bangsa tersebut banyak yang bertingkah laku agresif. Menurut Lickona (dalam Fauza, 2004) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, salah satunya yaitu tingkah laku agresif dikalangan remaja. Dalam realitas sehari-hari dapat terlihat fenomenafenomena yang sangat memprihatinkan dan mencengangkan di mana banyak remaja yang ikut andil dalam perilaku agresif seperti kekerasan dan kriminalitas yang sering terjadi akhir-akhir ini. Semakin sering dihadapkan pada perilaku agresif, maka akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah orang dewasa seperti mahasiswa yang melakukan tindakkan agresi pula. Situasi demikian akan membentuk penerus bangsa yang lebih muda untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di dunia pendidikkan dianggap biasa dan akan semakin meluas. Dibawah ini, peneliti lampirkan catatan bentrokan di dunia pendidikan yang terjadi di daerah Jakarta Pusat.
8
Tabel 1.1 Data Bentrokan UPI YAI - UKI No
Tanggal
Tempat
Kejadian
Korban/
Sumber
Kerugian 1
2
27- 28 mei Jl. Diponegoro 2008, 16:16 Jakarta Pusat WIB
Mahasiswa YAI bentrok dengan Mahasiswa UKI
4 Juni 2009, 19:19 WIB
Mahasiswa YAI bentrok dengan Mahasiswa UKI
Jl. Diponegoro Jakarta Pusat
3 mahasiswa UKI dan 8 orang mahasiswa YAI cidera dan dirawat di ST. Carolus dan RS. Cipto Satu gedung di UKI terbakar akibat lemparan bom molotov
www.komp as.com
www.liputa n6.com
Pada penelitian terdahulu, banyak yang telah membahas tentang pengaruh kematangan emosi terhadap perilaku agresi, Aryanto (2005) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara kematangan emosi dengan agresi pada anggota POLRI”, dan hasilnya adalah ada hubungan antara kematangan emosi dengan agresi pada anggota POLRI, dimana semakin tinggi kematangan emosi maka agresinya semakin rendah begitu pula sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka agresinya semakin tinggi. Sofia dan Nilam (2007), dengan penelitiannya yang berjudul “hubungan antara kematangan emosi dengan agresivitas pada wanita yang menikah diumur tua” juga menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan. Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan kematangan emosi (emotional maturity) dengan agresivitas pada remaja akhir laki-laki”. Remaja
9
akhir (late adolescence) mempunyai reaksi emosional yang lebih stabil dari periode sebelumnya (Hurlock, 1980), sehingga diharapkan pada masa ini, remaja telah mempunyai kematangan emosi yang lebih baik dalam mengendalikan, mengatur dan mengontrol emosinya, membaca emosi orang lain dan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sehingga dapat diharapkan pula dapat mengontrol agresivitasnya. Pada penelitian ini, penulis hanya akan meneliti kematangan emosi dan perilaku agresif pada remaja akhir laki-laki dalam keterampilan untuk mengatur dan mengontrol emosi, remaja laki-laki pada umumnya kurang menunjukkan kontrol diri dibandingkan dengan remaja perempuan. Berdasarkan data dari lebih 100 studi dibeberapa negara, menemukan bahwa laki-laki tidak hanya lebih agresif secara fisik tetapi juga lebih agresif secara verbal dibandingkan dengan perempuan (Maccoby; Jacklin; Tieger dalam Soffat, 1998). Edmunds & Kendrick (1980) menyatakan bahwa dua faktor penting yang amat mempengaruhi frekuensi respon agresif, yaitu kelamin (sex) dan status sosial (social class). Hal ini dibuktikan pula oleh lansky et al. 1961, Becker et al. 1962, Levin dan Sears 1956), dengan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai subyeknya, bahwa anak laki-laki lebih menunjukkan agresif fisiknya dari pada anak perempuan. Menurut Feshbach (1970 dalam Soffat, 1998), laki-laki lebih agresif secara fisik dibanding dengan perempuan karena laki-laki mempunyai otot-otot yang kuat sehingga cenderung melakukan agresi fisik dan lebih sukses untuk mencapai tujuannya. Selain itu, ditemukan adanya hubungan antara
10
karakteristik
temperamen
dengan
kekuatan
otot-otot
yang
menambah
kecenderungan agresi (Soffat, 1998). Meskipun kesenjangan gender sudah menipis pada tahun tahun belakangan ini, anak dan remaja laki-laki tetap menunjukkan tingkah laku bermasalah dengan level yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilakukan anak perempuan (Farrington, 1987 dalam Soffat, 1998). Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan sampel mahasiswa Universitas Persada Indonesia (UPI YAI) laki-laki. Peneliti mengambil sampel mahasiswa UPI YAI, dengan pertimbangan beberapa kasus perilaku agresif pernah terjadi beberapa kali dalam kurun 2 tahun terakhir, yakni pada tahun 2008 dan 2009.
1.2
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah Dalam hal ini peneliti membatasi permasalahan sebagai berikut : 1. Kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial. 2. Agresivitas adalah suatu perilaku, kecenderungan atau stimulus yang tidak menyenangkan atau merugikan, baik perilaku fisik maupun lisan, yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya dengan maksud menyakiti, dan
11
dengan harapan bahwa perilaku atau tindakan tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan. 3. Remaja akhir laki-laki yang berusia sekitar 18-22 tahun, apabila ditinjau dari tahapan perkembangan, maka termasuk masa remaja akhir. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel mahasiswa UPI YAI. 1.2.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi (emotional maturity) dengan perilaku agresivitas pada remaja akhir lakilaki?”.
I.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungannya antara kematangan emosi dengan perilaku agresivitas pada remaja akhir laki-laki.
I.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat antara lain: a. Memperkaya khasanah teoritis khusunya dalam bidang psikologi perkembangan dan psikologi sosial. b. Dari sisi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu sumber acuan atau pendorong untuk penelitian selanjutnya mengenai kematangan emosi dan fenomena agresivitas.
12
c. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan intervensi psikologis pada remaja akhir dalam menurunkan agresivitas.
1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan Berisi latar belakang permasalahan, permasalahan yang akan diteliti oleh peneliti, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian.
BAB II : LANDASAN TEORI Berisi teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu teori mengenai perkembangan dewasa awal, teori kematangan emosi (emotional maturity), definisi kematangan emosi, cirri-ciri orang yang matang emosinya dan karakteristik kematangan emosi, serta agresivitas yang meliputi definisi agresiagresivitas, jenis-jenis agresivitas, dan faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas. BAB III : METODE PENELITIAN Berisi Pendekatan Penelitian, Populasi dan Sampel, Variabel Penelitaian, Instrumen Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data, Teknik Analisis Statistik, Prosedur Penelitian.
13
BAB IV : HASIL PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA Berisi mengenai uraian tentang hasil dan analisis data penelitian. BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Berisi mengenai uraian kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diskusi mengenai hasil penelitian yang dibahas secara teoritis serta saran-saran yang diberikan sehubungan dengan hasil yang diperoleh dan kekurangan-kekurangan selama penelitian
14
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kajian pustaka yang mendasari permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori yang akan dijelaskan meliputi teori mengenai agresivitas, kematangan emosi dan teori mengenai perkembangan remaja. 2.1 AGRESIVITAS 2.1.1 Definisi Agresivitas Para ahli ilmu sosial menggunakam istilah agresi untuk setiap perilaku yang bertujuan menyakiti badan atau perasaan orang lain. Untuk memberikan batasan yang lebih terarah mengenai agresi, mayoritas ahli psikologi memberikan berbagai definisi yang dikemukakannya dalam berbagai tulisan, namun jika diperhatikan ternyata pada masing-masing definisi yang akan dikemukakan nanti, mengandung persamaan dan saling melengkapi sehingga pengertian tentang agresi sendiri menjadi lebih terarah. Terdapat bermacam-macam definisi agresivitas, yang secara umum lebih menekankan pada tujuan ingin menyakiti. Istilah agresivitas/agresi sering digunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku. Pada dasarnya semua perilaku agresivitas mempunyai satu kesamaan yaitu bertujuan untuk menyakiti orang lain. Menurut Myers (dalam Sarwono, 2002) yang dimaksud dengan perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Secara operasional,
15
Murray (dalam Luthfi, dkk, 2009) memberikan gambaran agresi sebagai kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, menganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemooh atau menuduh secara jahat, menghukum berat atau melakukan tindakkan sadistis lainnya. Buss (1980 dalam Luthfi dkk, 2009) menyatakan bahwa agresivitas merupakan suatu variabel kepribadian, suatu kelas respon yang menetap dan luas. Secara operasional agresivitas merupakan kebiasaan menyerang. Buss (1961 dalam Edmunds dan Kendrick, 1980) juga mendefinisikan agresivitas sebagai sebuah respon yang melancarkan stimulus yang merugikan atau menyakitkan pada individu lainnya. Berkowitz (1995, dalam Luthfi dkk, 2009) mendefinisikan agresivitas sebagai suatu usaha untuk melukai atau menghancurkan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Definisi agresivitas menurut Baron & Richardson (Luthfi dkk, 2009) adalah setiap perilaku yang ditujukan untuk membahayakan atau melukai mahkluk hidup lain dan telah diperkirakan akan menghasilkan konsekwensi tersebut (ada harapan dan niat). Agresivitas menurut Chaplin (2008) adalah kecenderungan habitual (yang dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan. Sementara itu, Baron (2005) memberikan pengertian bahwa agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti mahluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu. Moore dan Fine (1968, dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik atau pun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek.
16
Agresi menurut Setiadi (2001) adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Agresi dapat berarti pelanggaran hak asasi orang lain dan tindakan atau cara yang menyakitkan, juga perilaku yang memaksakan kehendak. David O. Sears dkk (1985) mengemukakan bahwa terdapat tiga perbedaan definisi agresi. Definisi yang paling sederhana yang menggunakan pendekatan belajar atau pendekatan perilaku (Behavioristik) adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Perbedaan yang kedua adalah antara agresi antisosial dengan agresi prososial. Agresi ini merupakan tindakan yang disetujui, meliputi tindakan agresif yang tidak diterima oleh norma sosial tetapi masih berada dalam batas yang wajar. Tindakan tersebut tidak melanggar standar norma yang telah diterima. Perbedaan yang ketiga adalah antara perilaku agresif dengan perasaan agresif, seperti misalnya rasa marah, mungkin saja seseorang yang sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agresivitas yang dimaksud adalah suatu perilaku, kecenderungan atau stimulus yang tidak menyenangkan atau merugikan, baik perilaku fisik maupun verbal, yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya dengan maksud menyakiti baik secara fisik maupun psikologis, dan dengan harapan bahwa perilaku atau tindakan tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan atau mempunyai tujuan. 2.1.2
Jenis-jenis Agresivitas
Myers (1966, dalam Sarwono, 2002) membagi agresi kedalam dua bentuk, yaitu:
17
1.
Agresi Instrumental (instrumental Agression) Agresi berbentuk instrumental ini merupakan agresi yang dilakukan individu sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu, atau perilaku yang mempunyai tujuan lain. Misalnya serdadu membunuh untuk merebut wilayah musuh sesuai perintah komandan, teroris yang menyandera penumpang untuk menebus kawan-kawannya yang dipenjara, polisi yang menembak kaki tahanan yang berusaha kabur.
2. Agresi Benci (Hostile agressional) atau agresi emosional Agresi bentuk emosional ini merupakan jenis agresi yang tujuannya adalah berbuat jahat. Agresi jenis ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri. Jadi agresi emosional semata-mata bertujuan untuk melukai atau menyakiti sasaran. Contohnya seperti mahasiswa yang berkelahi massal karena ada temannya yang dikeroyok. Agresi dapat juga dibedakan berdasarkan sifat aksinya, yaitu: agresi fisik dan agresi verbal. Agresi fisik merupakan aksi fisik, seperti memukul atau menendang. Sedangkan agresi verbal merupakan pernyataan verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain, seperti umpatan, makian atau ancaman (Berkowitz, 1995). Pembagian jenis agresi menurut Myres dan Berkowitz diatas mungkin masih terlalu umum, maka hal tersebut perlu diperinci lebih lanjut. Pembagian yang lebih rinci itu, antara lain dikemukakan oleh Buss dan Durkee (dalam
18
Edmunds & Kendrick, 1980) menggolongkan beberapa bentuk tindakkan agresif, yaitu sebagai berikut : 1) Penyerangan: kekerasan fisik terhadap manusia, termasuk perkelahian namun tidak termasuk perusakan terhadap properti. 2) Agresi yang tidak langsung, misalnya menyebarkan gossip yang berkonotasi negatif atau gurauan (yang negatif) dan tempertantrum. 3) Negativisme: tingkah laku menantang, termasuk penolakan untuk bekerja sama, menolak untuk patuh dan pembangkangan. 4) Agresi Verbal: berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki. 5) Irritability: kesiapan untuk marah meliputi temperamen yang cepat meninggi dan tindakkan kekasaran. 6) Resentment: iri dan rasa benci terhadap orang lain. 7) Kecurigaan: ketidakpercayaan dan proyeksi permusuhan terhadap orang lain, bentuk ekstrim dari kecurigaan ini adalah paranoia. Buss dan Perry (1992), menggolongkan tindakkan agresif ke dalam empat golongan yang mana diadaptasi dari Buss dan Durkee, yakni : 1. Agresi fisik
: kekerasan fisik dan termasuk perusakan properti.
2. Agresi verbal : berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki. 3. Amarah (anger) : temperamental, mudah tersulut amarah. 4. Rasa permusuhan : pendemdam, mudah cemburu, mudah curiga. Dari berbagai pendapat mengenai jenis perilaku agresi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku agresif dapat dilakukan dengan cara
19
langsung maupun tidak langsung, secara fisik (seperti; menendang, memukul, menginjak) maupun non fisik (contohnya; mencibir, memeletkan lidah ), verbal aktif (seperti; berbicara kasar dan kotor, mengata-ngatai) maupun verbal pasif (mengumpat, berbisik-bisik dengan teman membicarakan keburukan temannya yang lain), yang memiliki caranya sendiri. 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas di antaranya : 1.
Frustasi Yang dimaksud dengan frustasi adalah situasi di mana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang di inginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan (Koeswara, 1988). Frustasi (keadaan tidak tercapainya tujuan perilaku) menciptakan suatu motif untuk agresi. Ketakutan akan hukuman atau tidak disetujui untuk agresi melawan sumber penyebab frustasi mengakibatkan dorongan agresi diarahkan melawan sasaran lain (Meier, 1983 dalam Dayakisni, 2009). Dollard dan kolega-koleganya (1939, dalam Myers, 2005) menyatakan bahwa frustasi selalu mengarah pada tindakkan agresi.
2.
Stress Hingga saat ini, belum ada kesepakatan mengenai definisi stress. Para peneliti dalam bidang fisiologi mendefinisikan stress sebagai reaksi, respons, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal atau perubahan lingkungan (Selye, 1946, Mason, 1971 dalam Koeswara, 1988).
20
Sedangkan para ahli psikologi, psikiatri dan sosiologi mengonsepsikan stress bukan sebagai respon, melainkan sebagai stimulus. Engle (1993 dalam Koeswara, 1988) mengajukan definisi stress yang lebih lengkap, yang meliputi sumber-sumber stimulus eksternal dan internal: “ stress menunjuk pada segenap proses, baik yang bersumber
pada kondisi-
kondisi internal maupun lingkungan eksternal yang menuntut penyesuaian atas organisme”. 3.
Media Kekerasan Dalam penelitian yang dilakukan oleh Black & Bevan (dalam Baron & Byrne, 1993), para relawan yang menonton film kekerasan mempunyai skor
lebih
tinggi
pada
pengukuran
kecenderungan
agresivitas,
dibandingkan dengan mereka yang menonton film non-kekerasan. Menurut Berkowitz (1995), meluasnya agresi antara lain disebabkan oleh banyaknya adegan kekerasan yang ditayangkan dalam film-film dan televisi. Karena 2 dari 3 acara televisi mengandung kekerasan, dampaknya adalah peniruan dan peningkatan agresivitas (Eron, 1987;Gerbner, 1994 dalam dalam Sarwono, 2002). Menonton model agresif dapat melancarkan keinginan agresivitas dan mengajarkan mereka cara baru untuk melakukan agresi (Myers, 2005). Pengararuh media lainnya khususnya bagi anak-anak adalah video game, menurut Anderson (2004 dalam Myers, 2005) 59% pada anak perempuan
21
dan 73% anak laki-laki melaporkan bahwa mereka lebih memnyukai permainan yang mengandung unsur kekerasan. 4.
Deindividuasi Menurut Lorenz (dalam Dayaksini, 2009), deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi lebih intens.
5.
Kekuasaan dan Kepatuhan Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan (compliance) (Dayaksini, 2009). Koeswara (1988) juga menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang mengubah kekuasaan menjadi kekuatan yang memaksa (Coercieve), memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi.
6.
Faktor Lingkungan Kondisi lingkungan yang ada, dapat mempengaruhi perilaku agresi. Pada manusia, bukan hanya sakit fisik saja yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit hati (psikis) (Berkowitz, 1983,1989 dalam Sarwono 2002). Kondisi lingkungan sering sekali mempengaruhi mood seseorang (Deaux et al, 1993). Demikian pula udara yang sangat panas lebih cepat memicu kemarahan dan agresi (Griffit, 1971, dalam Sarwono 2002). Dalam penelitian juga terbukti bahwa dalam kurun waktu antara 1967-1971, huru-hara lebih sering terjadi dimusim panas disaat udara panas menyengat dari pada
22
dimusim gugur, musim dingin atau musim semi (Clarsmith & Anderson dalam Sarwono, 2002). Faktor lingkungan lainnya adalah rasa sesak dan berjejal (crowding), yang juga dapat memicu agresi. Menurut Flemming, Baum & Weiss (1987, dalam Sarwono 2002), didaerah perkotaan yang padat penduduk selalu lebih banyak terjadi kejahatan dengan kekerasan. 7.
Provokasi Provokasi atau verbal attack menurut Deaux et al(1993), secara langsung merupakan pengaruh nyata dalam timbulnya suatu perilaku agresi. Wolfgang (1957, dalam Dayaksini, 2009), mengemukakan bahwa ¾ dari 600 pembunuhan yang diselidiknya terjadi karena adanya provokasi dari korban. Sedangkan Beck (dalam Dayaksini 2009) mencatat bahwa sebagian besar pembunuhan dilakukan oleh individu-individu yang mengenal korbannya, dan pembunuhan itu terjadi dengan didahului adanya adu argumen atau perselisihan antara pelaku dan korbannya.
8.
Pengaruh obat-obatan terlarang (drug effect) Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengkonsumsi alkohol. Menurut penelitian Phil & Ross (dalam Dayaksini,
2009),
mengkomsumsi
alkhohol
dalam
dosis
tinggi
meningkatkan kemungkinan respon agresi ketika seseorang di provokasi. Mengkomsumsi alkohol dalam dosis tinggi akan memperburuk proses kognitif (cognitive disruption), yaitu mengurangi kemampuan seseorang untuk mengatasi atau bertahan dalam situasi-situasi yang sulit. Gangguan
23
kognitif ini khususnya mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-isyarat (cues) yang samar, sehingga lebih mungkin mereka akan melakukan interprestasi yang salah tentang perilaku orang lain sebagai agresif atau mengancam dirinya. Laporan dari komisi pengawasan obat-obatan non-medis di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa, mengkomsumsi alkohol yang berlebihan oleh individu-individu yang berkepribadian labil dan atau individuindividu yang memiliki masalah-masalah psikiatris dan neurologis tertentu adalah suatu tindakkan yang bisa mengarahkannya kepada kemunculan tindak kekerasan termasuk agresi seksual (1973, dalam Koeswara, 2002). 9.
Arousal yang bersifat umum Agresi sebenarnya disebabkan oleh ketergugahan (arousal) bersifat umum yang akan meningkatkan kecenderungan munculnya tingkah laku agresif (Deaux et al, 1993). Teori ini dikemukakan oleh Zillman yang disebut dengan excitation transfer theory (Zillman, dalam Deaux et al, 1993). Menurut teori ini, ketergugahan yang dihasilkan dalam suatu situasi, dapat ditransfer kepada berbagai keadaan emosional dan dapat meningkatkan itensitas emosional tersebut. Secara spesifik, Zillman (dalam Deaux et al, 1993) menyatakan bahwa ekspresi kemarahan (atau berbagai emosi lain) tergantung pada tiga faktor, yaitu: a) Disposisi atau kebiasaan yang dipelajari seseorang.
24
b) Beberapa sumber energi dari ketergugahan. c) Interprestasi yang diberikan seseorang terhadap ketergugahan yang dialami. 10.
Pengaruh Kepribadian Salah satu teori sifat (trait) mengatakan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian A (kompetitif, cepat tersinggung, selalu terburu-buru dan sebagainya) lebih cepat menjadi agresif daripada orang dengan tipe kepribadian B (ambisinya tidak tinggi, puas dengan keadaan dirinya, tidak terburu-buru dan sebagainya) (Glass dalam Sarwono, 2002). Pengaruh lainnya dari sifat kepribadian terhadap perilaku agresif adalah sifat pemalu. Orang yang bertipe pemalu cenderung menilai rendah diri sendiri, tidak menyukai orang lain dan cenderung mencari kesalahan kepada orang lain. Oleh karena itu tipe pemalu cenderung lebih agresif dari orang yang tidak pemalu (Tangney, 1990; Harder & lewis, 1986 dalam Sarwono, 2002).
11.
Efek Senjata Terdapat dugaan bahwa senjata memainkan peranan dalam agresi tidak saja karena fungsinya mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresi, tetapi juga karena efek kehadirannya. Suatu penyelidikan antar negara mengenai penggunaan senjata api pada tahun 1973 menyatakan bahwa pada tahun tersebut di Amerika Serikat korban yang tewas karena agresi dengan menggunakan senjata api tercatat 67% sedangkan di Inggris
25
korban yang tewas karena agresi dengan menggunakan senjata api berjumlah 10% dari seluruh korban agresi (Koeswara, 1988). 2.2 Kematangan Emosi 2.2.1 Pengertian Kematangan Emosi Rice (2004, dalam Khairani, 2009), mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan untuk menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan keberanian individu mampu mengubah hal-hal yang sebaiknya di ubah, serta adanya kebijaksanaan untuk menghargai perbedaan. Menurut Hurlock (1980) emotional maturity (kedewasaan emosional) adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial. Smitson (dalam Katkovsky , 1976) kematangan emosi adalah suatu proses yang mana kepribadian secara terus menerus berusaha keras untuk mencapai sense emosional yang sehat, baik secara intrapsikis maupun interpersonal. Sedangkan kematangan emosi menurut Jersield (1965) adalah di mana individu dapat menyesuaikan diri pada stereotip kematangan yang berlaku di budaya di mana individu tersebut tinggal. Walgito (2002) menjelaskan bahwa individu yang memiliki kematangan emosi adalah individu yang dapat mengendalikan emosinya maka individu akan berpikir secara matang, berpikir secara obyektif. Orang yang telah matang emosinya akan dapat mengontrol emosinya dengan baik, merespons
26
stimulus dengan cara berpikir baik, tidak mudah frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu keadaan di mana individu dapat mengendalikan emosinya tidak seperti masa sebelumnya, baik secara psikis maupun dalam hubungan interaksinya dengan lingkungannya sehingga individu mampu untuk mencapai tingkat emosional yang sehat. 2.2.2 Ciri-Ciri Orang yang Matang Emosinya Hollingworth (1928 dalam
Jersild, 1965), mengidentifikasi orang yang telah
mencapai kematangan emosi adalah sebagai berikut: 1. Dapat menyikapi perubahan bertahap atau tingkat perubahan respon emosional. 2. Dapat menunda responnya; dan tidak bersikap impulsif seperti anak kecil 3. Tidak menunjukkan kekecewaan yang berlebihan, dapat mengendalikan self pity. Ini dilihat pada caranya untuk memberikan/mengatasi rasa kasihan pada diri sendiri. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan rekasi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain dengan keterbukaan perasaan. Sedangkan menurut Hurlock (1980), remaja yang emosinya matang mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau
27
suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Ciri-ciri remaja yang matang emosinya seperti apabila pada akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain, melainkan menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya pada saat, waktu dan tempat yang tepat. Petunjuk yang lainya adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Walgito (2002) mengemukakan beberapa ciri-ciri orang yang matang emosinya, sebagai berikut : 1. Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan bahwa orang yang telah matang emosinya dapat berpikir secara baik dan berpikir secara obyektif. 2. Tidak bersifat impulsif. Individu yang memiliki kematangan emosi mampu merespon stimulus dengan cara berpikir baik dan dapat mengatur pikirannya. 3. Dapat mengontrol emosi dan ekspresi emosinya secara baik. Meskipun dalam keadaan marah, individu yang memiliki kematangan emosi tidak akan menampakkan kemarahannya itu keluar serta dapat mengatur kapan kemarahan itu perlu dimanifestasikan. 4. Bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya mempunyai toleransi yang baik.
28
5. Memiliki tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang matang emosinya adalah yang dapat menyikapi respon emosional dengan tepat, tidak bersifat impulsif, dapat mengendalikan self pity, mempunyai reaksi emosional yang stabil, dan dapat mengendalikan emosinya di segala situasi. 2.2.3 Karakteristik Kematangan Emosi Menurut Smitson (dalam Katkovsky,1976), karakteristik kematangan emosi adalah sebagai berikut: 1. Kemandirian (toward independence) Pengalaman dari bayi dan masa kanak-kanak menciptakan keinginan yang kuat untuk meraih kesenangan yang diinginkan. Melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang tua, tidak seperti masa sebelumnya. Kemampuan untuk dapat menentukan dan memutuskan apa yang dikehendakinya serta bertanggung jawab akan keputusannya itu. 2. Kemampuan untuk menerima realita (ability to accept reality) Dapat menerima realita kehidupan dengan segala keanehannya, kejujuran maupun ketidak jujurannya, segala keindahan dan keburukkannya. Bisa menyikapi masalah dengan berbagai jalan dan cara yang ia punya. Dapat menerima kenyataan bahwa dirinya tidak selalu sama dengan orang lain, bahwa ia memiliki kesempatan, kemampuan serta tingkat intelegensi yang berbeda dengan orang lain.
29
3. Penyesuaian diri (adaptability) Ini adalah salah satu unsur yang amat penting dalam kematangan emosi. Salah satu hal yang membedakan antara orang yang emosinya sehat adalah pada tingkat fleksibilitasnya, di mana pada orang yang tidak sehat emosinya akan memberikan respon kaku dalam berinteraksi dan dalam situasi tertentu. Kemampuan untuk mudah menerima orang lain atau situasi tertentu dengan cara-cara yang berbeda. Dengan kata lain dapat bersikap fleksibel dalam menghadapi orang lain atau situasi tertentu. 4. Kesiapan untuk merespon dengan tepat (readiness to respond) Hal ini meliputi kesadaran diri tentang keunikan yang dimiliki setiap orang, sehingga kita dapat merespon sesuai dengan keunikan-keunikan yang individu miliki. Dengan demikian dapat diharapkan individu mampu merespon dengan tepat pada keunikan masing-masing individu. 5. Kepasitas untuk seimbang (capacity to balance) Orang yang matang emosinya selalu melihat segala situasi dari berbagai sudut. Kematangan emosi tergantung terhadap pengembangan ketahanan seseorang terhadap kegagalan disetiap interaksinya. Individu dengan tingkat kematangan emosi yang tinggi menyadari bahwa sebagai mahkluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain, namun ia tidak harus takut bahwa ketergantungannya itu akan menyebabkan ia diperalat oleh orang lain. 6. Kemampuan berempati (empathic understanding)
30
Kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain, sehingga dapat memahami perasaan dan pikirannya. 7. Pengendalian kemarahan (challenging anger) Agar dapat mengendalikan kemarahannya, maka seseorang harus dapat mengenal batas sensitivitas dirinya. Dengan mengetahui apa saja yang dapat membuatnya marah, maka ia dapat mengendalikan perasaan amarahnya. 2.3 Remaja Akhir 2.3.1Pengertian Remaja Akhir Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Ada beberapa definisi tentang remaja : “Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emsional, sosial dan fisik”(Piaget dalam Hurlock, 1980) “adolescence didefinisikan sebagai periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mana tengah terjadi perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional” (Santrock : 2007) “Definisi remaja untuk masyarakat Indonesia berkisar pada umur 11-24 tahun” (Sarwono, 2008) “masa remaja menurut Hall (1844-1924, dalam Sarwono, 2008) berkisar pada umur 12-25 tahun”
31
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan suatu perkembangan periode transisi antara masa anak dan masa dewasa yang meliputi suatu perkembangan periode transisi perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional, dimulai pada saat mereka pubertas menuju kearah kedewasaan. Perubahan biologis meliputi perubahan fisik, termasuk perkembangan otak, perubahan hormon pubertas dan semua reflek proses biologis; perubahan kognitif meliputi perubahan berpikir dan kecerdasan remaja; sedangkan perubahan sosioemosional meliputi interaksi remaja dengan orang lain, termasuk emosi, kepribadian dan peran konteks sosialnya (Santrock, 2007). Masa remaja dibagi menjadi remaja awal (early adolescence) usia antara 10-13 tahun dan remaja akhir (late adolescence) usia 18-22 tahun (Santrock 2007), sedangkan menurut Harlock (1980) awal masa remaja berlangsung kirakira dari usia 13 tahun sampai 16 tahun dan akhir masa remaja bermula dari 16 atau 17 tahun sampai dengan 18 tahun, yaitu usia yang matang secara hukum serta menurut Hall (1844-1924, dalam Sarwono, 2008) yaitu pada umur 12-25 tahun Remaja akhir kira-kira berada pada setengah terakhir dari dekade kedua dalam kehidupan. Pada masa ini, remaja akhir lebih mempunyai perhatian pada karir dan eksplorasi identitas lebih tegas dibandingkan pada masa remaja awal (Santrock, 2007). Pada periode ini, remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap dan perilaku yang semakin dewasa.
32
2.3.2 Perkembangan pada masa remaja 1) Perubahan Biologis Perubahan fisik pada masa ini, meliputi berat dan tinggi badan, terjadinya menstruasi pada remaja wanita, produksi sperma pada remaja laki-laki, kematangan alat-alat reproduksi, seperti menarche atau haid pertama bagi wanita dan pubertas, tumbuhnya rambut pubic dan perubahan suara yang lebih berat serta pertumbuhan otot-otot pada remaja pria (Santrock, 2007). Pada laki-laki, masa remaja ditandai oleh peningkatan produksi hormon androgen, khususnya testoteron, yang menstimulasi perkembangan alat kelamin laki-laki, tinggi badan dan perubahan suara (Santrock, 2007). Pada masa remaja, hormon testosteron pada remaja laki-laki meningkat sehingga secara signifikan meningkatkan agresi terhadap teman-teman sebayanya dan orang dewasa (Angold, Costello & Worthman, dalam Santrock, 2007). Faktor hormonal dianggap dapat menjelaskan minimal sebagian dari meningkatnya emosi-emosi negatif dan emosi yang berubah-ubah, yang merupakan karakteristik remaja (Archibald, Graber & Brooks-Gunn, 2003; Dorn, Williams & Ryan 2002 dalam Santrock, 2007) 2) Perubahan Kognitif Perubahan kognitif meliputi perubahan berpikir dan kecerdasan remaja. Menurut teori perkembangan Piaget, pada saat remaja akhir, mereka telah memasuki tahap perkembangan kognitif yang tertinggi yaitu tahap berpikir formal operational. Pada tahap ini kemampuan berpikir remaja akhir lebih abstrak
33
dibandingkan dengan tahap berpikir sebelumnya yaitu concrete operational. Kemampuan berpikir yang abstrak ini meningkatkan kecenderungan remaja akhir untuk berpikir tentang gagasan, ide atau pemikiran tentang itu sendiri seperti, “aku mulai berpikir mengapa aku memikirkan apa yang aku pikirkan”, hal ini yang disebut dengan metakognisi (metacognition). Mereka juga mencoba untuk membuat alasan yang logis dan sudah mulai mampu membuat dan menguji hipotesa
(hypothetical
deductive
reasoning),
mengolah
informasi
dan
mengadaptasikan dengan proses berpikirnya untuk memperoleh pemahaman serta membuat teori mengenai berbagai hal dalam kehidupan mereka (Santrock, 2007). Dengan demikian remaja akhir sudah mampu menyadari apa yang dilakukannya, serta dapat membedakan perilaku yang baik dan perilaku yang tidak baik bagi dirinya. 3) Perubahan Sosio-emosional Perubahan sosio-emosional meliputi perubahan remaja dalam berinteraksi dengan orang lain, emosinya, kepribadiannya dan peran konteks sosialnya. Masa remaja merupakan masa yang penuh emosi. Menurut Hall (dalam Santrock, 2007), masa remaja merupakan periode yang penuh dengan “Badai dan tekanan” yang bergejolak dengan konflik dan suasana hati. Pada masa ini, ketegangan emosi sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormon. Menurut
Santrock
(2007)
proses
perkembangan
sosio-emosional
melibatkan perubahan dalam hal emosi, kepribadian, relasi dengan orang lain, dan konteks social. Menanggapi perkataan orang tua, agresi terhadap kawan-kawan
34
sebaya, kegembiraan dalam pertemuan sosial semuanya mencerminkan proses sosio-emosional dalam perkembangan remaja. Santrock juga mengemukakan bahwa perubahan-perubahan sosio-emosional yang berlangsung dimasa remaja meliputi tuntutan untuk mencapai kemandirian, konflik dengan orang tua dan keinginan lebih banyak untuk meluangkan waktu bersama kawan-kawan sebaya. Pada masa ini, seseorang sudah mencapai kematangan emosi, serta sudah dapat menilai situasi sebelum bereaksi secara emosional. Kematangan emosi pada remaja akhir tersebut memberikan reaksi emosional yang lebih stabil dari periode sebelumnya (Hurlock, 1980). Menurut Sarwono (2008), emosi yang meninggi memang menyulitkan orang lain dalam mengerti remaja, namun emosi yang tinggi ini bermanfaat untuk remaja dalam mencari identitas dirinya. Dengan adanya emosi-emosi ini, remaja secara bertahap mencari jalan menuju kedewasaan. Reaksi orang-orang disekitarnya terhadap emosinya juga akan menyebabkan remaja belajar dari pengalaman untuk mengambil langkah-langkah yang terbaik. Erickson (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa remaja berada pada tahap identitas vs kebingungan identitas. Pada tahap ini, remaja ingin menentukan siapakah ia dan ingin menjadi apakah ia dimasa yang akan datang; remaja mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti sesuatu yang ia sukai atau tidak suka dan tujuan-tujuan yang dikejarnya dimasa depan. Apabila seorang remaja berhasil mengatasi atau menyelesaikan tahapan krisis ini, maka diharapkan ia akan memiliki identitas diri yang jelas, sehingga ia dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya serta mampu untuk menentukan peranan-peranan manakah
35
yang paling cocok dan efektif. Tapi sebaliknya apabila tahapan krisis ini tidak dapat diselesaikannya dengan baik, maka remaja tersebut memiliki identitas diri yang tidak jelas, ia akan merasa terisolasi, hampa, cemas dan bimbang. Hal ini akan mempengaruhi kehidupan dewasanya, karena apa yang terjadi pada masa ini, sangat penting bagi kepribadian dewasa kelak. Seperti yang telah dinyatakan oleh Hurlock (1980), pada remaja akhir, mereka sudah dapat menilai situasi sebelum bereaksi secara emosional, maka diharapkan seorang remaja akhir telah mempunyai keterampilan dalam menyadari emosinya, mengatur dan mengontrol emosinya, membaca emosi orang lain, sehingga remaja akhir tersebut diharapkan juga dapat mengontrol tingkah laku agresifnya. 2.3.3 Ciri-ciri Remaja Akhir Ciri-ciri remaja akhir menurut Sarwono (2008) : 1. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-funngsi intelek. 2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru. 3. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. 4. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).
36
2.4 Kerangka Berpikir Pada masa remaja, perubahan fisik, kognisi dan sosioemosional sudah memasuki masa kematangan (maturity) dimulai dari perkembangan fisik yang meliputi peningkatan hormon pubertas dan perkembangan otak. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan emosional yang meningkat dan berubah-ubah, yang merupakan karakteristik remaja (Archibald, Graber & Brooks-Gunn, 2003; Dorn, Williams & Ryan 2002 dalam Santrock, 2007). Namun hal ini diseimbangi dengan perubahan kognitif yang amat baik, dimana pada remaja akhir, perubahan kognitif meliputi kemampuan dalam membuat hipotesa dan mengujinya, membuat ide atau gagasan (Santrock, 2007) dan perubahan sosio-emosional yang matang meliputi, perubahan remaja dalam berinteraksi dengan orang lain dan perubahan emosinya seperti dapat menilai situasi sebelum bereaksi secara emosional (Hurlock 1980) Dalam hubungannya dengan perilaku agresif, tidak bisa lepas dari salah satu faktor pemicu agresi yaitu frustasi. Berkowitz (dalam sarwono, 2002) menyatakan bahwa frustasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah inilah yang memicu agresi. Menurut (Goleman, 1996) emosi pada dasarnya adalah suatu dorongan untuk bertindak, dan marah adalah salat satu bagian dari emosi. Faktor lainnya adalah kegagalan dalam menyesuaikan diri, menurut Sarwono (2008), ketidak mampuan dalam menyesuaikan diri adalah salah satu faktor pribadi yang menyebabkan perilaku menyimpang pada masa remaja. Ciri-ciri orang yang matang emosinya mempunyai kemampuan yang baik dalam penyesuaian diri (Smitson, 1976).
37
Fenomena yang terjadi saat ini, remaja akhir atau mahasiswa yang seharusnya telah matang emosinya dalam masa perkembangannya, sebaliknya malah menunjukkan peluapan emosi pada cara, saat dan tempat yang tidak tepat, yang menurut Hurlock (1980) merupakan ciri-ciri orang yang belum matang emosinya. Perilaku agresif baik fisik maupun verbal yang ditimbulkan merugikan mereka dan orang lain. Dengan kematangan emosi tersebut, diharapkan mahasiwa/remaja dapat mengontrol emosinya, tidak lagi menanggapi rangsangan emosi, misalnya berupa provokasi, sehingga tidak meledak seperti dimasa perkembangan sebelumnya melainkan memberi reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati yang lain (Hurlock, 1980). Dengan kematangan emosi ini, diharapkan remaja dapat pula mengurangi agresi dengan teman sebaya (Santrock, 2007). Penelitian serupa, telah dilakukan oleh Faizal (2001), Faizal menggunakan sampel remaja SMU dengan hasil yang menyatakan bahwa pada anak SMU, kematangan emosinya telah menuju kematangan yang sangat baik. Maka peneliti tertarik untuk menggunakan sampel remaja akhir seperti mahasiswa, dengan pertimbangan mahasiswa telah berkembang secara kognisi dan sosieoemosional lebih baik dari remaja SMU Dengan adanya kematangan emosi yang tinggi, maka perilaku agresif pada remaja akhir akan semakin minim dan sebaliknya, apabila kematangan emosi remaja akhir tersebut rendah maka perilaku agresifnya akan semakin tinggi.
38
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
Kematangan emosi tinggi
Perilaku agresif rendah (agresi fisik, agresi verbal, amarah dan rasa permusuhan)
Remaja Akhir
Kematangan emosi rendah
2.5
Perilaku agresif tinggi (agresi fisik, agresi verbal, amarah dan rasa permusuhan)
Hipotesis Ha : Ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi (emotional maturity) dengan agresivitas pada remaja akhir Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi (emotional maturity) dengan agresivitas pada remaja akhir
39
BAB 3 Metode Penelitian 3.1
Pendekatan dan Jenis Penelitian
3.1.1
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif
dimana
penelitian
ini
mengkuantifikasikan
skor
kematangan emosi dengan skor agresivitas. 3.1.2
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional, sesuai dengan tujuan penelitian yang meneliti hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku agresi pada remaja akhir. Menurut Santrock (2007), penelitian korelasional adalah sebuah angka yang diperoleh berdasarkan analisis statistik yang digunakan untuk mendeskripsikan taraf asosiasi antara dua variabel. Dengan penelitian korelasional, pengukuran terhadap beberapa variabel dan ada atau tidak ada hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat dilakukan serentak dalam kondisi realistik. Penelitian korelasional ini dipilih karena dalam penelitian ini ingin melihat ada atau tidaknya hubungan antara variable independent dan variable dependent tersebut. 3.2
Definisi Konseptual Variabel dan Definisi Operasional Variabel
40
3.2.1
Definisi Variabel a. Independent variable (IV) : Kematangan Emosi (Emotional Maturity) b. Dependent variable(DV) : Agresivitas
3.2.2
Definisi Konseptual Variabel
Dalam penelitian ini, definisi konseptual yang dipakai untuk kedua variabel adalah: 1. Kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang sepantasnya dilakukan pada usia anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial. 2. Agresivitas adalah suatu perilaku, kecenderungan atau stimulus yang tidak menyenangkan atau merugikan, baik perilaku fisik maupun lisan, yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya dengan maksud menyakiti, dan dengan harapan bahwa perilaku atau tindakan tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan. 3.2.3
Definisi Operasional Variabel
1. Kematangan emosi adalah skor yang diperoleh dari aspek-aspek skala kematangan emosi antara lain : menuju kemandirian, mampu menerima realita, mampu menyesuaikan diri (adaptasi), kesiapan untuk merespon,
41
kapasitas
untuk
seimbang,
kemampuan
berempati,
kemampuan
pengendalian amarah. 2. Agresivitas adalah skor yang diperoleh dari aspek-aspek skala agresivitas antara lain : agresi fisik, agresi verbal, kemarahan dan rasa permusuhan. 3.3
Pengambilan Sampel
3.3.1
Populasi
Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subyek yang lain. Gay dalam Sevilla (1993) mendefinisikan populasi sebagai kelompok dimana peneliti akan menggeneralisasikan hasil penelitiannya. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah mahasiswa laki-laki UPI YAI. Jumlah populasi di UPI YAI sebanyak 1.643 mahasiswa. 3.3.2
Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah mahasiswa UPI YAI berjumlah 95 orang yang berumur antara 18 tahun – 22 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. 3.3.3
Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling yaitu sampel diambil berdasarkan kemudahan data yang diperlukan/dilakukan seadanya, seperti mudah ditemui/dijangkau/ kebetulan
42
ditemukan (Eka Putri, 2007). Dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kematangan emosi dan agresivitas pada remaja akhir laki-laki. 3.4
Pengumpulan Data
3.4.1
Teknik Pengumpulan Data
Karena dalam penilitian ini peneliti menggunakan metode penelitian korelasi, maka instrument yang digunakan berupa skala Likert yang diambil dari skala baku dan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti. Model skala Likert ini menggunakan empat kemungkinan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS) , sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS).. Peneliti sengaja menghilangkan pilihan jawaban netral, agar responden tidak cenderung untuk memilih jawaban netral (Sevilla, 1993). Pernyataan-pernyataan tersebut ada yang mengandung sikap favourable dan sikap unfavourabel. Tabel 3.1 Skor pada masing-masing skala
3.4.2
Pilihan Jawaban
Fav
Unfav
Sangat sesuai
4
1
Sesuai
3
2
Tidak Sesuai
2
3
Sangat Tidak sesuai
1
4
Instrumen Penelitian
Alat pengambilan data dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
43
1. Skala Kematangan Emosi Tabel 3.2 Blue Print Skala Kematangan Emosi Aspek
Fav
Unfav
Jumlah
2, 4
1, 3
4
5, 7
6
3
8
9
2
10, 12
11, 13
4
masalah
14
15
2
ketidak
16
17
2
18, 20, 22
19, 21, 23
6
Kesiapan untuk - Cepat tanggap terhadap kondisi merespon teman dengan tepat
24, 26
25
3
- Mampu merespon dengan tepat sesuai dengan keunikan yang dimiliki teman-teman Kapasitas untuk - Menyadari akan kebutuhannya seimbang sebagai mahkluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian - Dapat melihat situasi atau kejadian dari berbagai sudut Kemampuan - Mampu menempatkan diri dan untuk memahami perasaan teman
27, 28, 29, 31
30
5
32, 33, 35
34
4
36
-
1
37,40,
38, 39,
6
Kemandirian
Kemampuan menerima realita
Indikator - Tidak bergantung pada orang lain - Berani untuk mengambil keputusan sendiri - Bertanggung jawab atas tugas - Mampu menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dirinya dan orang lain - Mampu menyikapi dengan bijaksana - Mampu jujuran
Kemampuan untuk menyesuaikan diri
menerima
- Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
44
berempati Pengendalian kemarahan
- Mampu mengendalikan emosi/amarah
41
42
43, 45, 47
44, 46, 48, 49
7
28
21
49
Jumlah
Smitson (Garlow & Katkouvsky, 1976) 2. Skala Agresivitas Skala agresivitas yang digunakan dalam penyusunan blue print ini merupakan skala yang telah disusun berdasarkan konsep Buss dan Perry (1992): Tabel 3. 3 Blue print Skala Agresivitas ASPEK AGRESI FISIK AGRESI VERBAL
RASA MARAH
a) b) c) a) b) c) d) a) b)
c) RASA a) PERMUSU b) HAN c)
INDIKATOR Berkelahi Merusak sesuatu Menyerang Pengucapan kata-kata kasar Ketidaksetujuan Mengejek Menyebarkan gosip Balas dendam Perbuatan yang menyinggung seseorang Mudah marah Iri hati Prasangka buruk Ketidakpuasan
TOTAL
45
FAV 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 10, 11 12, 13, 14
UNFAV -
TOTAL 9
-
5
15, 16 7 17, 18, 19, 20, 21 22, 23, 8 24, 25, 26, 27, 28, 29 29 29 Buss & Perry (1992)
3.5 Teknik Analisa Data 3.5.1 Uji Reliabilitas Uji reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka di-uji ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda atau dalam kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi, 1998). Dalam aplikasinya reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxy’) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Sebuah instrument dikatakan reliable apabila memiliki koefisien reliabilitas di atas 0,630 (Anastasi, 1998). Untuk menghitung korelasi antar variabel digunakan rumus koefisien korelasi pearson product moment dan perhitungannya dibantu dengan program SPSS 16.0. 3.5.2 Uji Validitas Suatu tes atau skala dapat valid atau tidak valid untuk maksud ilmiah atau praktis yang hendak dicapai oleh si pengguna/pemakai tes atau skala itu. Untuk pengukuran kevalidan dilakukan korelasi antara skor item dengan skor total. Apabila skor yang didapat rendah maka item tersebut gugur atau dimodifikasi dan apabila skor yang didapat tinggi maka skor tersebut valid dan dijadikan sebagai item dalam skala penelitian. 3.5.3 Uji Korelasional Untuk uji korelasional, peneliti menggunakan analisis korelasi product moment dari Pearson untuk mengetahui korelasi jumlah skor variabel kematangan emosi
46
dengan jumlah skor variabel agresivitas. Untuk perhitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0. 3.6 Hasil Uji Instrumen Penelitian 3.6.1
Hasil Uji Validitas Skala Kematangan Emosi
Berdasarkan hasil uji coba (try out) terhadap 49 item dalam instrumen ini, di ujikan pada 44 responden. Peneliti melaksanakan try out pada mahasiswa laki-laki UIN Syarif Hidayatullah,dengan hasil 27 item yang valid baik pada taraf signifikansi 0,3 item nomor: 2, 7, 8, 9, 10, 12, 14, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 34, 35, 36, 38, 42, 44, 46, 48, 49. Sedangkan item yang tidak valid yaitu: 1, 3, 4, 5, 6, 11, 13, 15, 16, 17, 22, 24, 31, 32, 33, 37, 39, 40, 41, 43, 45, 47. Dengan reliabilitas sebesar 0, 900. Semua item yang valid digunakan sebagai alat ukur penelitian. Berikut ini adalah blue print revisi skala kematangan emosi yang valid: Tabel 3.4 Hasil Uji Validitas Skala Kematangan Emosi Aspek Kemandirian
Indikator - Tidak bergantung pada orang lain - Berani untuk mengambil keputusan sendiri - Bertanggung jawab atas tugas
Kemampuan menerima realita
- Mampu menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dirinya dan orang lain - Mampu menyikapi dengan bijaksana
47
masalah
Fav 2
Unfav
Jumlah
-
1
7
-
1
8
9
2
10, 12
-
2
14
-
1
18, 20,
19, 21, 23
5
Kesiapan untuk - Cepat tanggap terhadap kondisi merespon teman dengan tepat
26
25
2
- Mampu merespon dengan tepat sesuai dengan keunikan yang dimiliki teman-teman Kapasitas untuk - Menyadari akan kebutuhannya seimbang sebagai mahkluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian - Dapat melihat situasi atau kejadian dari berbagai sudut Kemampuan - Mampu menempatkan diri dan untuk memahami perasaan teman berempati
27, 28, 29
30
4
35
34
2
36
-
1
-
38, 42
2
-
44, 46, 48, 49
4
14
13
27
Kemampuan untuk menyesuaikan diri
Pengendalian kemarahan
- Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
- Mampu mengendalikan emosi/amarah
Jumlah
Smitson (Garlow & Katkouvsky, 1976)
3.6.2
Hasil Uji Validitas Skala Agresivitas
Berdasarkan hasil uji coba (try out) terhadap 29 item dalam instrumen agresivitas, diperoleh 20 item yang valid pada taraf signifikansi 0.3 yaitu item nomor: 1, 2, 3, 5, 6, 9, 10, 11, 13, 15, 16, 18, 19, 21, 22, 23, 25, 26, 28, 29. Sedangkan item yang tidak valid yaitu: 4,7, 8, 12, 14, 17, 20, 24, 27. Dengan reliabilitas sebesar 0, 921. Semua item yang valid digunakan sebagai alat ukur penelitian. Berikut ini adalah blue print revisi skala perilaku agresif yang valid:
48
Tabel 3.5 Hasil uji validitas Skala Agresivitas NO ASPEK 1 Agresi Fisik 2 Agresi Verbal
FAV 1, 5, 9, 13, 21, 29 2, 6, 10, 18
UNFAV -
JUMLAH 6 4
3
Amarah
3, 11, 15, 19, 22,25
-
6
4
Sikap Permusuhan
16, 23, 26, 28
-
4
-
20
Jumlah
20
3.6.3 Hasil Uji Reliabilitas Skala Kematangan Emosi dan Skala Agresivitas Uji reliabiltas dilaksanakan pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah dengan menggunakan 44 responden. Uji reliabilitas kedua skala ini menggunakan uji statistik Alpha Croncbach dengan menggunakan program SPSS versi 16.0 untuk hasil uji reliabilitas skala kematangan emosi dan skala agresivitas, maka diperoleh hasil : 1. Reliabilitas skala kematangan emosi dengan 22 item adalah 0,854 jadi skala kematangan emosi ini memiliki tingkat reliabilitas tinggi atau reliabel. 2. Reliabilitas skala agresivitas dengan 20 item adalah 0,895 jadi skala agresivitas ini memiliki tingkat reliabilitas tinggi atau reliabel. Dari uji reliabiltas tersebut, diperoleh koefesien sebesar 0,854 untuk skala kematangan emosi dan 0,895 untuk skala agresivitas termasuk dalam kategori tinggi atau reliabel, nilai Alpha Cronbach > dari 0,60.
49
3.7 Prosedur Penelitian Prosedur dalam penelitian ini dilakukan melalui empat tahapan umum, yakni sebagai berikut : 3.7.1
Persiapan Penelitian
a. Dimulai dengan perumusan masalah yang akan diteliti. b. Menentukan variabel yang akan diteliti. c. Melakukan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan teori yang tepat mengenai variabel penelitian. d. Menentukan, menyusun dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu skala kematangan emosi dan skala agresivitas. e. Menentukan lokasi penyebaran skala 3.7.2 Tahap Uji Coba Alat Ukur a. Melakukan uji coba terhadap alat ukur yang telah dibuat. Uji coba dilakukan pada tanggal 9 November 2010 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di Fakultas Psikologi dan Fakultas Syari’ah dengan jumlah sampel sebanyak 44 mahasiswa laki-laki. b. Memilih item-item dari skala yang valid dan reliabel. c. Memilih dan menyusun kembali item-item yang valid dan reliabel untuk dijadikan alat ukur siap pakai dalam penelitian ini.
50
3.7.3
Tahap Pelaksanaan
Setelah instrumen yang akan digunakan siap, maka sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat, peneliti mengadakan penelitian pada tanggal 11-12 November 2010, bertempat di Universitas Persada Indonesia YAI Salemba Jakarta Pusat, dengan jumlah sampel sebanyak 95 mahasiswa laki-laki. Proses tahapan pelaksanaannya adalah: a. Mendatangi kampus UPI YAI yang menjadi sampel dalam penelitian ini dan memilih kampus yang terdekat dengan lokasi tawuran/bentrokan . b. Memberikan penjelasan singkat mengenai cara mengisi kuesioner dan memberikan kesempatan kepada subjek untuk bertanya. c. Membagikan kuesioner kepada subjek penelitian. d. Memberi waktu kepada subjek untuk memeriksa kuesioner yang telah diisi untuk menghindari kesalahan atau ketidaklengkapan dalam pengisian. 3.7.4
Tahap Pengolahan Data
a. Setelah data penelitian terkumpul, maka peneliti melakukan skoring terhadap hasil kuesioner yang telah diisi oleh masing-masing objek penelitian. b. Menghitung dan membuat tabulasi data yang diperoleh kemudian dibuat tabel data. c. Melakukan analisis data dengan menggunakan metode statistik untuk menguji hipotesis penelitian dan korelasi antar variabel penelitian.
51
52
BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA Pada bab ini akan diuraikan hasil pengolahan dari data yang diambil pada penelitian yang meliputi gambaran umum responden serta hasil penelitian yang telah dilaksanakan. 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11-12 November 2010 di Universitas Persada Indonesia UPI/YAI. Sampelnya yaitu mahasiswa UPI/YAI yang berumur antara 18 tahun sampai 22 tahun. Penelitian ini melibatkan 95 mahasiswa. 4.1.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia Pada Tabel 4.1 berikut digambarkan banyaknya subjek penelitian berdasarkan usia. Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia
1. 2. 3. 4. 5.
Usia
Frekuensi
Persentase
18 tahun 19 tahun 20 tahun 21 tahun 22 tahun
13 21 14 25 22
13,68% 22,10% 14,74% 26,32% 23,16%
95
100%
Jumlah:
53
Gambaran umum berdasarkan usia yaitu usia 18 tahun, 19 tahun, 20 tahun, 21 tahun dan 22 tahun. Seperempat lebih responden berusia 21 tahun (26, 32%), hampir seperempatnya lagi berusia 22 tahun (23,16%), 22,10% responden berusia 19 tahun dan sebagian kecilnya berusia 20 dan 18 tahun. 4.2 Deskripsi Hasil Penelitian Berikut ini dijelaskan mengenai presentasi data penelitian. 4.2.1 Gambaran Kematangan Emosi Untuk menentukan tingkat kematangan emosi (emotional maturity) pada remaja akhir mahasiswa UPI YAI, maka peneliti menggunakan kategorisasi jenjang yaitu tinggi, sedang dan rendah yang didapat melalui penghitungan rumus yang telah ditentukan dan telah dicantumkan di tabel. Berikut ini akan diuraikan deskripsi hasil penelitian statistik skor sampel penelitian kematangan emosi yang dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel 4.2 Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
kematangan_emosi
95
67.00
105.00
82.4000
6.89496
Agresivitas
95
25.00
67.00
45.1684
7.33057
Valid N (listwise)
95
Diketahui jumlah responden 95 orang, skor tingkat kematangan emosi mean 82,4 kemudian standar deviasi 6,89.
54
Tabel 4.3 Kategori skor skala Kematangan Emosi Kategori Tinggi
Rumus X>2X+MIN
Sedang
X+MIN≤X≤X+MIN
Rendah
X<X+MIN
Rentang
Jumlah
Persentase
Raw Score
Subjek
(%)
>92,32
5
5,3%
79,67-92,32
55
57,9%
<79,67
35
36,8%
95
100%
Total
Berdasarkan hasil pengolahan dari persebaran data di atas dapat kita lihat bahwa dari 95 orang responden 5 orang diantaranya (5,3%) memiliki skor kematangan emosi yang masuk dalam kategori tinggi, 55 orang (57,9%) masuk dalam kategori sedang dan 35 orang (36,8%) masuk dalam kategori kematangan emosi yang rendah. Dan dibawah ini, telah diklasifikasikan kategori kematangan emosi sesuai usia. Tabel 4.4 Klasifikasi Kematangan Emosi sesuai Usia No
Usia
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
1
18 tahun
5
6
2
13
2
19 tahun
9
11
1
21
3
20 tahun
6
8
0
14
4
21 tahun
8
17
0
25
5
22 tahun
7
13
2
22
Jumlah
35
55
5
95
55
4.2.2 Gambaran Agresivitas Untuk menentukan tingkat agresivitas menggunakan kategorisasi jenjang yaitu tinggi, sedang dan rendah yang didapat melalui penghitungan rumus yang telah ditentukan dan telah dicantumkan di tabel. Berikut ini akan diuraikan deskripsi hasil penelitian statistik skor sampel penelitian agresivitas. Dalam menentukan jenjang diperoleh nilai skala yaitu 1, 2, 3, 4 dengan jumlah responden 95 orang, yang dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel sebagai berikut:. Tabel 4.5 Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
kematangan_emosi
95
67.00
105.00
82.4000
6.89496
Agresivitas
95
25.00
67.00
45.1684
7.33057
Valid N (listwise)
95
Diketahui jumlah responden 95 orang, skor tingkat agresivitas mean 45,16 kemudian standar deviasi 7,33. Tabel 4.6 Klasifikasi skor skala Agresivitas Kategori Tinggi Sedang Rendah Total
Rumus
Rentang Raw
Jumlah
Persentase
Score
Subjek
(%)
>49
21
21,1%
37-49
60
64,2%
X<X+MIN
<37
14
14,7%
-
-
95
100%
X>2X+MIN X+MIN≤X≤X+MIN
56
Berdasarkan hasil pengolahan dari persebaran data di atas dapat kita lihat bahwa dari 95 orang responden 20 orang diantaranya (21,1%) memiliki skor agresivitas yang masuk dalam kategori tinggi, 61 orang (64,2%) masuk dalam kategori sedang dan 14 orang lainnya (14,7%) memiliki agresivitas yang rendah. Dan dibawah ini telah diklasifikasikan kategori agresivitas sesuai usia. Tabel 4.7 Klasifikasi Agresivitas sesuai Usia No
Usia
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
1
18 tahun
2
8
3
11
2
19 tahun
4
13
4
21
3
20 tahun
1
8
5
14
4
21 tahun
5
16
4
25
5
22 tahun
2
15
5
22
Jumlah
14
60
21
95
4.3 Hasil Penelitian 4.3.1 Hasil Uji Hipotesis Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis korelasi product moment dari Pearson untuk mengetahui korelasi jumlah skor variabel kematangan emosi dengan jumlah skor variabel agresivitas. Untuk perhitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:
57
Tabel 4.8 Korelasi Skala Kematangan Emosi dan Agresivitas Correlations Kemosi agresivitas Kemosi
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N agresivitas Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
-.241* .019
95
95
-.241*
1
.019 95
95
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Berdasarkan hasil penghitungan yang ditampilkan pada tabel di atas diketahui bahwa taraf signifikasi sebesar 0,019 maka (dimana 0,019 <0,05). Keputusannya : yaitu Ha diterima jika r hitung < r table Karena r hitung lebih kecil dari 0,05, maka, hipotesis alternative (Ha) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir diterima. Dengan demikian hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir ditolak. Dari data yang diperoleh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa adanya hubungan yang negatif antara kematangan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, dapat juga dikatakan bahwa semakin rendah tingkat kematangan emosinya maka akan semakin tinggi tingkat agresivitasnya dan
58
sebaliknya semakin tinggi tingkat kematangan emosinya maka akan semakin rendah tingkat agresivitasnya.
59
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang penelitian serta hasil penelitian, diskusi tentang penelitian serta saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan uji hipotesis dengan menggunakan program SPSS versi 16.0 for windows dengan nilai taraf signifikansi sebesar 0,019 (dimana 0,019<0,05) maka keputusannya adalah menerima hipotesis penelitian (H1) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir (mahasiswa UPI YAI). Dengan hubungan yang negatif, artinya bahwa semakin rendah tingkat kematangan emosinya maka akan semakin tinggi tingkat agresivitasnya dan sebaliknya semakin tinggi tingkat kematangan emosinya maka akan semakin rendah tingkat agresivitasnya. 5.2 Diskusi Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kematangan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hurlock (1980) yang menyatakan bahwa kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai
60
tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengahtengah situasi sosial. Dengan demikian seseorang yang mempunyai kematangan emosi yang tinggi mampu menampilkan pola emosional yang pantas dengan masa perkembangannya, mampu mengelola emosinya dengan baik dan memenuhi karakteristik individu yang matang emosinya seperti, mandiri, mempunyai kemampuan untuk menerima realita, dapat beradaptasi dengan baik, kesiapan merespon emosi orang lain dengan tepat, kemampuan untuk seimbang dengan kehidupan sosialnya, kemampuan berempati dan pengendalian amarah yang baik. Hasil ini juga diperkuat oleh Hurlock (1980) yang menyatakan bahwa remaja yang matang emosinya memberikan reaksi emosional yang stabil, dengan ciri-ciri seperti apabila pada akhir masa remaja nya tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain, melainkan menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk meluapkan emosinya, ciri-ciri lainnya adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi. Hollingworth (1928 dalam mengidentifikasi orang yang telah mencapai
Jersild, 1965), juga
kematangan emosi dapat menunda
responnya; dan tidak bersikap impulsif seperti anak kecil Teori yang dijelaskan diatas diperkuat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dari 95 responden terdapat 35 responden (36,8%) yang memiliki kategori kematangan emosi rendah, 55 responden (57,9%) memiliki
61
kategori kematangan emosi sedang dan 5 responden (5,3%) yang memiliki kategori kematangan emosi yang tinggi. Dan untuk pengukuran tingkat agresivitas diperoleh hasil, 14 responden (14,7%) memiliki agresivitas rendah, 61 responden (64,2%) memiliki agresivitas sedang dan 20 responden (21,1%) memiliki agresivitas emosi tinggi. Perilaku agresif yang pernah dilakukan beberapa kali oleh mahasiswa UPI YAI dan dikaitkan dengan hasil penelitian secara tidak langsung menggambarkan bahwa kematangan emosi sangat mempengaruhi tingkat agresivitas mahasiswa UPI YAI. Hasil penelitian ini mendukung penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aryanto (2005) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara kematangan emosi dengan agresi pada anggota POLRI”, dan hasilnya adalah ada hubungan antara kematangan emosi dengan agresi pada anggota POLRI, dimana semakin tinggi kematangan emosi maka agresinya semakin rendah begitu pula sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka agresinya semakin tinggi. Serta penelitian yang dilakukan oleh Sofia dan Nilam (2007), yang berjudul “hubungan antara kematangan emosi dengan agresivitas pada wanita yang menikah di umur tua” juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikat antara kematangan emosi dengan agresivitas. Remaja yang belum matang emosinya, akan mudah terprovokasi atau frustasi ketika berinteraksi dengan lingkungannya, ketika itulah maka dengan mudah remaja menimbulkan perilaku yang mengakibatkan kerugian bagi diri mereka dan juga orang
62
lain seperti perilaku agresif. Pentingnya kematangan emosi yang baik pada remaja dapat mengurangi perilaku agresi dengan teman sebayanya (Santrock, 2007) Namun peneliti sadar, masih banyak kekurangan pada penelitian ini, seperti sampel yang kurang banyak dan tidak sampai seperempat dari populasi mahasiswa UPI YAI. Mungkin dengan lebih banyaknya sampel yang digunakan maka hasil dapat lebih digeneralisasikan, item pernyataan yang tata bahasanya kurang dimengerti dan kurang baik. Penelitian ini yang bersifat kuantatif, yang mana variabel data yang diperoleh lebih ditekankan pada jawaban subjek dilembaran skala, sedangkan observasi dan wawancara dilakukan hanya sekedar penunjang untuk memperjelas pembahasan. Sehingga hasil data yang ada hanya dapat digunakan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antar variabel tetapi tidak mengetahui dinamika dan mengapa terdapat hubungan antar variabel kematangan emosi dengan agresivitas. Tetapi penulis tetap berharap pada peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian yang sama baik dari segi variabel bebas atau variabel terikatnya agar mengambil sampel yang berbeda dari yang pernah peneliti ambil, misalnya mengambil sampel pada masa dewasa awal atau dewasa madya, dan dapat lebih fokus serta lebih dapat memberikan banyak informasi seputar kematangan emosi dan perilaku mereka. Sehingga pada akhirnya bisa dilihat apakah ada hubungannya kematangan emosi dengan agresivitas pada tahap perkembangan yang berbeda. Peneliti juga berharap pada penelitian selanjutnya sebaiknya menambahkan variabel penelitian yang lain sepeti konformitas atau self esteem. Selain itu, bagi peneliti
63
selanjutnya, agar lebih fokus lagi terhadap fenomena tawuran ini, sebaiknya mengambil sampel dari kedua universitas yang terlibat tawuran agar hasilnya nanti dapat menjadi perbandingan. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena kematangan emosi (emotional maturity) dan agresivitas terdapat dalam diri setiap orang. Bagi mahasiswa, tingkat pendidikan yang tinggi, usia yang matang baik dalam perkembangan fisik, kognitif dan sosio-emosionalnya menjadikan mereka lebih matang, baik dalam menghadapi realita kehidupan, mengontrol agresivitasnya dan mengendalikan emosinya. Dengan begitu, mereka akan mampu menjadi penerus bangsa dan tauladan bagi mereka yang usianya lebih muda. 5.3
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan. Oleh karenanya peneliti mengajukan beberapa saran, sebagai berikut: 5.3.1
Saran Teoritis
1. Pada penelitian selanjutnya dalam
hal mengambil sampel penelitian
sebaiknya mengambil sampel dari kedua universitas yang terlibat tawuran agar hasilnya nanti dapat menjadi perbandingan.
64
2. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah kematangan emosi dan agresivitas, sedangkan subjek penelitiannya adalah remaja akhir lakilaki. Untuk peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian dengan salah satu variabel yang sama atau subjek penelitian yang sama, diharapkan dapat melibatkan variabel-variabel lainnya seperti self esteem dan konformitas misalnya. 3. Untuk peneliti selanjutnya yang ingin mengambil subjek dari usia remaja, agar dapat mengungkap lebih dalam megenai kematangan emosi pada remaja akhir. Karena pada usia remaja, kematangan emosi sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan perilakunya. 5.3.2 1.
Saran Praktis Untuk
mahasiswa yang memasuki remaja akhir, agar lebih dapat
mengontrol emosinya dan jangan mudah terhasut oleh gossip yang belum tentu benar, menghindari konflik yang sepele yang semestinya dapat diselesaikan dengan musyawarah tanpa perilaku agresivitas. 2.
Untuk remaja akhir agar dapat menyalurkan emosinya dengan tepat dan
benar, seperti yang dinyatakan oleh Hurlock (1980), beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyaluran emosi yang tepat seperti latihan fisik yang berat, bermain, berkerja atau tertawa/menangis. Untuk menangis dan tertawa dapat dilakukan apabila memperoleh dukungan sosial.
65
3.
Bagi para remaja, untuk mencapai kematangan emosinya, maka harus
memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional, dengan cara membicarakan pelbagai masalah pribadi dengan orang yang dipercaya, karena dengan adanya keterbukaan akan menimbulkan perasaan aman dalam hubungan sosial.
66
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, M. A. (2004). Konsep diri, diskrepansi dan kecenderungan perilaku agresi pada remaja di Jakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas psikologi Universitas Indonesia Aini, F. Q .(2004). Kecerdasan emosi dan agresivitas pada remaja akhir. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Al-Mighwar, M. (2006). Psikologi remaja petunjuk bagi guru dan orangtua. Bandung : Pustaka Setia Anastasi, A. (1998). Tes psikologi (psycological test) edisi ketujuh. Jakarta: PT. Prenhallindo Aryanto, D. (2005). Hubungan kematangan emosi dengan agresi pada anggota POLRI. Universitas Muhammadiyah Malang Baron, R. A. & Byrne, D. (2003). Psikologi sosial jilid 2 edisi kesepuluh. Jakarta : Erlangga Berkowitz,. L. (1995). Agresi 1 sebab dan akibatnya. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo Buss, H. A. Perry, M. (1992). The Agression Questionaire. Journal of personality & social psychology, vol. 63, No. 3, 452-459. American Psychological Association, Inc Chaplin, J. P. (2008). Kamus lengkap psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Dayaksini, T. H.(2009). Psikologi sosial. Malang : UMM-Press Deaux, K. D, F. C. & Wrightman, L. S.(1993). Social psychology in the 90’s (6th ed). Pacific Grove, California : Brooks/Cole Publishing Company Edmunds, G. & Kendrick, D.C.(1980). The measurement of human aggressiveness. International edition : Jhon Willey & Sons Eka P, S, L. (2007). Metodologi penelitian untuk bidang sains. Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Jakarta & UIN Jakarta Press____ Faizal, N. (2001). Hubungan antara partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah dengan kematangan emosi siswa SMU. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Goleman, D. (2002). Kecerdasan emosional. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
67
Hurlock, E. B. (1980). Delvelopmental psychology a life-span approach 5th ed. McGraw-Hill Companies Jersild, A. T. (1965). The psychology adolescence 2nd ed. New York : The Macmillan Company Katkovsky, W. & Garlow, L. (1976). The psychology of adjustment : current concept and applications : New York : McGraw Hill Book Company Khairani. R. & Putri, E. D. (2009). Perbedaan kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda. Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma Koeswara, E.(1988). Agresi manusia. Bandung : PT. Eresco Luthfi, dkk. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta : lembaga penelitian UIN Jakarta Myers, G. D.(2005). Social psychology 8th edition. Mc-Graw Hill Companies Rahayu, C, D. (2008). Hubungan Kematangan Emosi dan Konformitas dengan Perilaku Agresif pada Suporter Sepak Bola. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Sandji, A. (2008) ”Belasan cidera akibat tawuran mahasiswa di Salemba”. www.kompas.com Santrock, J. W. (2007). Remaja tenth edition. New York : McGraw Hill Sarwono, S. W. (2008). Psikologi perkembangan remaja . Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial : individu dan Teori-teori psikologi social. Jakarta : PT. Balai Pustaka Sarwono, S. W.& Meinarno, E. A. (2009). Psikologi sosial. Jakarta : Salemba Humanika Sears, O. D. (1985). Psikologi sosial jilid 2. Jakarta : Erlangga Setiadi, B. N.(2001). Terjadinya tindak kekerasan dalam Masyarakat : suatu analisis teoritik. Jurnal psikologi social. Tidak diterbitkan. Fakultas psikologi Universitas Indonesia Sevilla, C. (1993). Pengantar metode penelitian. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Soffat, C. C. (1998). System motif agresi remaja (studi perbandingan mengenai pembentukkan system motif agresi pada kelompok remaja pelaku tindakkan
68
criminal dan remaja non-pelaku tindakkan criminal di Jakarta dalam kaitannya dengan praktik pengasuhan anak). Tesis. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sofia, I. R. & Widyarini, N. M.M (2007). Relationship between emotional maturity with aggressiveness in women in late-merried. Gunadarma University Syaiful, A. (2009).”Tawuran www.liputan6.com
mahasiswa
kembali
meletus
di
Salemba”.
Walgito, B .(2002). Bimbingan dan konseling perkawinan. Yogyakarta : ANDI OFFSET
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Kuesioner penelitian skala kematangan emosi dan agresivitas
Lampiran 2
: Skor penelitian penilaian kematangan emosi dan agresivitas
Lampiran 3
: Hasil uji reliabilitas dan
Lampiran 4
: Hasil uji Validitas
Lampiran 4
: Hasil uji hipotesis
xii
LAMPIRAN – LAMPIRAN