perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN DERAJAT DEPRESI PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD DR. MOEWARDI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Dwi Adhi Nugraha G0009064
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Hubungan Dukungan Sosial dengan Derajat Depresi Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi Dwi Adhi Nugraha, NIM: G0009064, Tahun: 2012 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Jumat, Tanggal 29 Juni 2012
Pembimbing Utama Nama : Istar Yuliadi, dr., M.Si. NIP : 19600710 198601 1 001
....................................
Pembimbing Pendamping Nama : H.Rifai Hartanto, dr., M.Kes. NIP : 19530621 198601 1 001
....................................
Penguji Utama Nama : Djoko Suwito, dr., Sp.KJ NIP : 19580223 198511 1 001
....................................
Penguji Pendamping Nama : Hardjono, Drs., M.Si. NIP : 19590119 198903 1 002
....................................
Surakarta, ……………………… Ketua Tim Skripsi
Dekan Fakultas Kedokteran UNS
commit to user Muthmainah, dr., M.Kes NIP. 19660702 199802 2 001
Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM
NIP. 19510601 197903 1 002 ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Juni 2012
Dwi Adhi Nugraha NIM. G0009064
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Dwi Adhi Nugraha, G0009064, 2012. Hubungan Dukungan Sosial dengan Derajat Depresi Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.Moewardi. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Latar Belakang: Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit yang diperkirakan insidensinya cenderung meningkat. Pada tahun 2011 di RSUD Dr.Moewardi terdapat 212 pasien terdiagnosis mengalami penyakit ginjal kronis dan memerlukan dialisis. Salah satu masalah psikopatologis yang sering ditemui pada pasien hemodialisis adalah depresi. Depresi akan menurunkan kepatuhan, menyebabkan disfungsi imun, dan nutrisi yang buruk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi depresi dan mencari adanya hubungan dukungan sosial dengan derajat depresi pada pasien hemodialisis di RSUD Dr.Moewardi. Metode: Jenis penelitian ini adalah observasi analitik dengan pendekatan cross sectional. Alat ukur yang dipakai adalah Beck Depression Inventor (BDI) dan Multidimensional Support of Perceived Social Support (MSPSS) yang telah dilakukan modifikasi. 30 pasien disertakan dalam penelitian ini. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi Pearson dan uji korelasi Spearman. Hasil: Depresi ditemukan pada 43,33% pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis, dengan skor cutoff BDI > 15. Nilai rata-rata BDI sebesar 16,3 dengan standar deviasi sebesar 7,433. Ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara dukungan keluarga dengan derajat depresi dengan r = 0,480 dan p = 0,007 (p = < 0,05). Simpulan: Depresi ditemukan pada pasien hemodialisis di RSUD Dr.Moewardi. Derajat depresi dapat berkurang dengan adanya dukungan keluarga. Kata kunci: Dukungan sosial, derajat depresi, penyakit ginjal kronis, hemodialisis
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Dwi Adhi Nugraha, G0009064, 2012. The Relationship of Social Support with Depression in Chronic Kidney Disease Patient Undergoing Hemodyalisis at RSUD Dr.Moewardi. Mini Thesis Medicine Faculty of Sebelas Maret University Surakarta. Background: Chronic kidney disease incidences are expected to rise. On 2011 at RSUD Dr.Moewardi there were 212 patients diagnosed suferring chronic kidney disease and need to be dyalised. One of the most pshycopatological problems in hemodyalisis patient is depression. Depression will decrease compliance, immnune dysfunction, and poor nutrition. This study aimed to know prevalence of depression and to search wether there were some relationship between social support with depression in hemodyalisis at RSUD Dr.Moewardi. Methods: This was an analitic observational study. Two measurement tools were used in this study, they were Beck Depression Inventor (BDI) and modified Multidimensional Support of Perceived Social Support (MSPSS). 30 patients were involved in this study. Statistic tests used in this study were Pearson test and Spearman test. Results: Depression was found in 43,33% chronic kidney disease patient undergoing hemodyalisis, with BDI cutoff >15. Mean of BDI score was 16,3 and deviation standard score was 7,433. Depression has significant negative relationship with family support, r = -0,480 and p = 0,007 (< 0,05). No significant relationship between social support from other source outside family with degree of depression. Conclusion: Depression was found in hemodyalisis patients at RSUD Dr.Moewardi. Degree of depression could be decreased by family support. Keywords: Social support, depression, chronic kidney disease, hemodyalisis
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, rahmat, hidayah serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Dukungan Sosial dengan Derajat Depresi Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Dr.Moewardi”. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini. 3. Istar Yuliadi dr.,M.Si. sebagai pembimbing utama yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis. 4. H.Rifai Hartanto, dr.,M.Kes. sebagai pembimbing pendamping yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis. 5. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ sebagai penguji utama yang telah memberikan nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. 6. Hardjono, Drs., M.Si. sebagai anggota penguji yang telah memberikan nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. 7. Seluruh staf ruangan Hemodialisis RSUD Dr.Moewardi untuk segala bantuan dan kemudahannya. 8. Seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan, khususnya Ayahanda Suponco Eddi Wahyono, dr., Sp.KJ., MARS dan Ibunda Dra. Kurnia Ningsih, M.Pd. 9. Teman-teman yang turut membantu jalannya penelitian, khususnya: Riza Deviana, Dicky Budi, dan Louis Hadyanto. 10. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
commit to user
vi
Surakarta, Juni 2012 Dwi Adhi Nugraha
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI PRAKATA …………………………………………………………..... DAFTAR ISI ………………………………………………………...... DAFTAR SINGKATAN …………………………………………….... DAFTAR TABEL ……………………………………………….......... DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..... DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………. B. Rumusan Masalah …………………………………… C. Tujuan Penenlitian …………………………………….. D. Manfaat Penelitian …………………………………….. BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Ginjal Kronis .............................................. 2. Depresi ...................................................................... 3. Depresi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis ............................................. 4. Dukungan Sosial ....................................................... 5. Manfaat Dukungan Sosial terhadap Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis ............. B. Kerangka Pemikiran …………………………………... C. Hipotesis ………………………………………………. BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ………………………………………... B. Lokasi Penelitian ……………………………………… C. Waktu Penelitian ............................................................. D. Subjek Penelitian ……………………………………… E. Teknik Sampling …………………………………….... F. Rancangan Penelitian ...............……………………….. G. Identifikasi Variabel .............................……………..... H. Definisi Operasional Variabel ……………………….... I. Alat dan Bahan Penelitian .............................................. J. Cara Kerja ………………………….............................. K. Teknik Analisis Data ………………………………….. BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian …………………………………........... B. Analisis Data …………………………………………... BAB V. PEMBAHASAN …………………………………………… BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ………………………………………………. B. Saran …………………………………………………... DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… LAMPIRAN commit to user
vii
Halaman vi vii viii xi xii xiii 1 4 4 4
6 12 26 27 32 35 35 36 36 36 36 37 38 38 38 40 40 41 42 45 48 55 55 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN
%
Persen
α
Alpha
β
Beta
mg%
Miligram persen
ml/menit/1,73 m2 Mili per menit per satu koma tujuh puluh tiga meter persegi 5-HT 1A
5-hydroxytryptamine
ACTH
Adrenocorticotropic Hormone
AINS
Anti Inflamasi Non-Steroid
A-V fistula
Arteriovenosa fistula
BDI
Beck Depression Inventory
BDNF
Brain Derived Neurotrophic Factor
BH4
Tetrahydrobiopterin
CRH
Corticotropin Releasing Hormone
CRP
C-Reactive Protein
DSM-IV
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition
FA
Family
FR
Friends commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
GBD
Global Burden of Disease
GH
Growth hormone
HADS
Hospital Anxiety and Depression Scale
HPA
Hypothalamic Pituitary Adrenal
IDO
Indolamine 2,3 dioxsigenase
IFN
Interferon
IL
Interleukin
KA
Kynurenic acid
KYN
Kynurenine
LFG
Laju Filtrasi Glomerulus
LES
Lupus Eritematosus Sistemik
MAOIs
Mono Amin Oxidase Inhibitors
MSPSS
Multidimensional Scale of Perceived Social Support
NFkB
Nuclear factor kappa beta
NMDA
N-methyl-D-aspartate
NO
Nitric oxyde
Pernefri
Perhimpunan Nefrologi Indonesia
PTH
Paratiroid Hormone
PVN
Paraventricular Nucleus
QUIN
Quinolinic acid commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RNS
Reactive Nitrogen Species
ROS
Reactive oxygen species
SCID
Structured Clinical Interview for the Diagnostic Statistical Manual
SO
Significant other
SSRI
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
TNF
Tumor Nuclear Factor
TRH
Thyroid Releasing Hormones
TSH
Thyroid Stimulating Hormones
UK
United Kingdom
WHO
World Health Organization
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Penyebab Gagal Ginjal Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia tahun 2000....................
Tabel 2.2.
Klasifikasi Sederhana Penyakit Ginjal Kronis Berdasarkan Diagnosis...............................................................................
Tabel 2.3.
7
9
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronis Sesuai dengan Derajatnya..............................................................................
11
Tabel 2.4.
Derajat Keparahan Depresi....................................................
22
Tabel 2.5.
Sebaran Butir BDI.................................................................
24
Tabel 2.6.
Sebaran Butir MSPSS............................................................
32
Tabel 4.1.
Deskripsi Sebaran Data Responden............................................
43
Tabel 4.2.
Sebaran Data Skor MSPSS............................................................
44
Tabel 4.3.
Skor Validitas dan Realibilitas Tiap Skala Ukur pada MSPSS.....
45
Tabel 4.4.
Nilai Normalitas Data Setiap Skala Ukur MSPSS.........................
46
Tabel 4.5
Hubungan Tiap Skala Ukur MSPSS dengan BDI.........................
46
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
GAMBAR
Parameter Psikososial Pasien Dialisis..............................
commit to user
xii
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 2
Lembar Informed Consent
Lampiran 2
Lembar Kuesioner Data Responden
Lampiran 3
Lembar Beck Depression Inventory
Lampiran 4
Lembar Multidimensional Scale of Perceived Social Support
Lampiran 5
Lembar Analisis Statistik
Lampiran 6
Lembar Data Reponden
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit ginjal kronis merupakan gangguan irreversible pada fungsi ginjal yang berkembang selama bertahun-tahun. Manifestasi awal penyakit ini hanya berupa abnormalitas biokimia saja. Pada akhirnya akan terjadi kehilangan fungsi ginjal meliputi ekskresi, metabolik, dan endokrin yang menimbulkan gejala klinis dan tanda dari gagal ginjal yakni uremia. Disaat ginjal tidak lagi menjalankan kebanyakan fungsinya maka secara klinis penderita dinyatakan mengalami gagal ginjal dan dialisis atau transplantasi dibutuhkan untuk memperpanjang hidup (Goddard et al., 2007; Mitch, 2007). Masalah penyakit ginjal kronis telah menjadi persoalan yang perlu diperhatikan dalam bidang kesehatan. Menurut WHO (2008) dan Global Burden of Disease (GBD) penyakit pada sistem genitourinaria, termasuk penyakit ginjal kronis, menempati peringkat ke-19 penyebab kematian di dunia. Di Asia Tenggara penyakit pada sistem genitourinaria merupakan penyebab kematian sebanyak 279 dari total 15.279 kematian dan merupakan penyebab kecacatan sebanyak 4.518 dari total 442.979 (WHO, 2008). Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1.800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini commit to user diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun (Suwitra dalam 1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sudoyo et al., 2009). Hasil laporan Sub Bagian Catatan Medik RSUD Dr. Moewardi, pada tahun 2011 ditemukan prevalensi penyakit ginjal kronik yang membutuhkan tindakan hemodialisis sebanyak 212 kasus. Meningkatnya jumlah penderita penyakit ginjal kronis berdampak pada peningkatan kebutuhan terapi pengganti ginjal misalnya dengan dialisis. Di UK, sebanyak 632 perjuta pasien menjalani terapi pengganti ginjal dan pertambahan pasien dewasa baru yang menyetujui menjalani dialisis setiap tahunnya mencapai 110 perjuta pasien (Goddard et al.,2007). Di RSUD Moewardi sendiri tercatat 281 pasien menjalani hemodialisis pada bulan Februari 2012. Dialisis dapat mencegah kematian akan tetapi tidak menyembuhkan dan mengembalikan fungsi ginjal sehingga tidak jarang penderita menjalani dialisis seumur hidupnya.
Prognosis untuk penyakit
gagal ginjal sendiri termasuk buruk, angka kematian 20% setiap tahunnya meskipun penderita telah melakukan dialisis (Mitch, 2007). Unit hemodialisis memiliki suatu paradigma lingkungan terapi medis yang modern dan kompleks. Pasien menghadapi penyakit yang seumur hidup, mencacatkan, dan membatasi; pasien tersebut sepenuhnya tergantung pada kelompok perawat untuk mesin yang mengendalikan kesehatannya mereka. Dialisis dijadwalkan 1-3 kali seminggu dan memerlukan waktu 4-6 jam, dengan demikian mengganggu rutinitas kehidupan sebelumnya (Kaplan et al., 2010b). Hasilnya pasien mengalami masalah psikososial, seperti cemas, depresi, isolasi sosial, kesendirian, tak berdaya, dan tak ada harapan (Tezel et al., 2011).Pada kebanyakan kasus, pasien mungkin merasa bersalah karena commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
penyakitnya dan merasa enggan untuk meminta dukungan (American Society of Nephrologist, 2010). Depresi merupakan masalah psikopatologikal yang umum pada pasien penyakit ginjal kronis terutama yang sedang menjalani dialisis. Menurut Cukor et al. (2007) di Amerika angka depresi pada pasien dengan penyakit ginjal sekitar 10% dari total populasi sedangkan angka depresi pada pasien yang menjalani dialisis meningkat menjadi 20-30%. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani dialisis dan mengalami depresi mempunyai kecenderungan memiliki kepatuhan terapi yang rendah, disfungsi imun, dan nutrisi yang buruk. Hal ini akan meningkatkan angka rawat inap dan angka mortalitas (Cohen et al., 2007). Screening terhadap depresi merupakan hal yang diperlukan bagi pasien penyakit ginjal kronis khususnya disini yang menjalani dialisis. Dengan mengetahui sejak awal maka terapi dapat diberikan sedini mungkin dan diharapkan terjadi penurunan angka mortalitas. Salah satu hal yang berpengaruh terhadap derajat depresi pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani dialisis adalah adanya dukungan sosial yang diterima. Pasien yang merasa tidak puas terhadap dukungan sosial yang diterimanya cenderung mengalami depresi (Tezel et al., 2011). Dukungan sosial yang kecil pada pasien yang menjalani dialisis juga akan membuat pasien cenderung mengabaikan perintah dokter, kecenderungan memiliki kualitas hidup yang buruk, dan kematian yang lebih cepat (American Society of Nephrologist, 2010). Jika dibandingkan dengan penyakit kronis lain seperti commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kanker atau penyakit kardiovaskular, jumlah penelitian tentang hubungan antara dukungan sosial dan angka mortalitas pada pasien yang menjalani dialisis masih kecil (Thong et al., 2006). Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang adanya prevalensi depresi dan adanya hubungan antara dukungan sosial dengan derajat depresi yang dialami pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi. B. Rumusan Masalah Adakah hubungan antara dukungan sosial dengan derajat depresi pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial dengan derajat depresi pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi. 2. Mengetahui derajat depresi pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Aspek Teoritis a. Membuka wawasan tentang adanya depresi pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Menunjukan adanya hubungan dukungan sosial dengan derajat depresi pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. 2. Aspek Praktis a. Mendorong para praktisi klinis, pelayan ,dan petugas kesehatan lain untuk memperhatikan aspek psikologis pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis agar menghasilkan outcome pasien yang lebih baik. b. Mendorong orang-orang terdekat pasien untuk lebih memperhatikan dan memberi dukungan terhadap pasien yang sedang menjalani hemodialisis.
commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Ginjal Kronis a. Definisi Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Adapun kriteria diagnosisnya adalah (Sukandar, 2006): 1) Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan Kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dengan presentasi: a) Kelainan struktur histopatologi ginjal. b) Petanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal. commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) LFG < 60 mL/menit/1.73 m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. b. Etiologi Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia sebagai berikut: Tabel 2.1. Penyebab Gagal Ginjal Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 2000 Penyebab Insiden Glomerulonefritis
46,39%
Diabetes Melitus
18,65%
Obstruksi dan infeksi
12,85%
Hipertensi
8,46%
Sebab lain
13,65%
(Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009) Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya: nefritis lupus, nefropati urat, intoksisasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, penyebab yang tidak diketahui (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). c. Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronis melibatkan dua mekanisme kerusakan: 1) tahap inisiasi mekanisme kerusakan spesifik akibat penyakit yang mendasari, 2) tahap mekanisme kerusakan progresif, di antaranya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa, yang merupakan konsekuensi umum akibat berkurangnya masa renal karena etiologi tertentu. Respon terhadap berkurangnya masa renal dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Proses commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap kompensasi tadi akan menyebabkan respon maladaptif akibat kenaikan tekanan dan aliran yang menyebabkan sklerosis dan rusaknya nefron yang tersisa (Fauci et al., 2008). Sindrom uremia dan keparahan penyakit berhubungan dengan kegagalan renal yang parah dan melibatkan bukan hanya kegagalan ekskresi renal. Fungsi metabolik dan endokrin yang normalnya dilakukan oleh renal juga mengalami kerusakan, hal ini menyebabkan anemia, malnutrisi, dan ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Lebih lanjut lagi, terjadi ketidaknormalan level plasma beberapa hormon termasuk PTH (Paratiroid Hormone), insulin, glukagon, hormon seks, dan prolaktin karena adanya penurunan degradasi dan regulasi abnormal. Lebih lanjut lagi gagal ginjal progresif menyebabkan inflamasi sistemik. Terjadi peningkatan level C-reactive protein dan acute phase reactant, sedangkan level albumin dan fetuin merendah. Maka gagal ginjal merupakan hal penting
yang
menyebabkan
malnutrition-inflammation-
atherosclerosis/calcification syndrome, yang berkontribusi dalam akselerasi penyakit vaskular dan komorbiditas terkait dengan penyakit ginjal lanjut (Fauci et al., 2008). d. Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronis meliputi: a) sesuai kondisi medis yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lupus Eritematos Sistemik (LES), dan lain sebagainya; b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang-kejang sampai koma; c) gejala komplikasi antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). e. Diagnosis Banding Diagnosis banding penyakit ginjal kronis adalah penyakit yang mendasarinya dan gejala yang menyertai. Klasifikasi sederhana dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.2. Klasifikasi Sederhana Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Diagnosis Penyakit
Major Types (contoh)
Diabetic kidney disease Nondiabetic kidney disease
Diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2 Gromerular diseases (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat-obatan, neoplasma) Vascular diseases (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Tubulointerstitial diseases (infeksi saluran kencing, obstruksi batu, drug toxicity)
Diseases in the transplant
Cystic diseases (penyakit ginjal polikistik) Chronic rejection, Transplant glomerulopathy Drug toxicity tacrolimus)
(cyclosporine
atau
Recurrent commit to userdiseases (glomerular diseases) (National Kidney Foundation, 2002)
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Diagnosis definitif membutuhkan biopsi renal, tetapi karena kemungkinan terjadi risiko yang serius biasanya biopsi renal hanya diperuntukan untuk pasien tertentu (National Kidney Foundation, 2002). f. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan memperhatikan gambaran klinis yang ada ditambah dengan pemeriksaan penunjang. Adapun pemeriksaan penunjang berupa gambaran laboratoris sesuai penyakit yang mendasari, pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), memeriksa adanya kelainan biokimiawi darah dan kelainan urinalisis. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan histopatologis ginjal. Pemeriksaan ditujukan untuk melihat adanya kelainan pada struktur maupun fungsi ginjal serta penyebab yang mendasarinya (Sukandar, 2006 ; Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). g. Penatalaksanaan Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis sesuai derajatnya adalah sebagai berikut:commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 2.3. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronis Sesuai dengan Derajatnya Derajat
LFG (ml/menit/1,73 Rencana Tatalaksana mm)
1
≥ 90
Terapi
penyakit
dasar,
kondisi komorbid, evaluasi pemburukan
fungsi
megurangi
ginjal, resiko
kardiovaskular 2
60-89
Menghambat
pemburukan
fungsi ginjal 3
30-59
Evaluasi
dan
terapi
untuk
terapi
komplikasi 4
15-29
Persiapan
pengganti ginjal 5
<15
Terapi pengganti ginjal
(Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). h. Hemodialisis Di saat ginjal tidak lagi mampu menjalankan fungsinya meliputi ekskresi, metabolik, dan endokrin yang menimbulkan gejala klinis dan tanda dari gagal ginjal yaitu uremia maka pasien membutuhkan terapi pengganti ginjal yaitu dialisis atau transplantasi ginjal (Arend et al.,2007). Di Indonesia terdapat dua macam terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis dan dialisis peritonial. Namun terdapat kendala pada program dialisis peritonial yaitu biaya yang lebih mahal dari hemodialisis dan sanitasi lingkungan serta tingkat pendidikan untuk sebagian besar pasien merupakan faktor yang tidak menunjang commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
program ini, membuat hemodialisis sebagai program pilihan terapi pengganti ginjal utama (Prasetya, 2011). Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk eliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen
darah
dan
dialisat
melalui
selaput
membran
semipermiabel/membran dialyzer. Hemodialisis dilakukan 3-4 kali seminggu atau 12-15 jam per minggu. Adapun persiapan dialisis reguler adalah psikologis yang stabil, finansial yang cukup untuk program terapi dialisis reguler selama waktu yang tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal, pemeriksaan laboratorium, disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi adjuvan seperti diet membatasi asupan cairan dan buah-buahan dan obat-obatan yang tidak terjangkau dialisis, dan operasi A-V (arteriovenosa) fistula dianjurkan saat kreatinin serum 7 mg% (Sukandar, 2006). 2. Depresi a.
Definisi Depresi memiliki arti salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood disorder), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, dan lain sebagainya (Hawari,2006).
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Etiologi 1) Faktor biologis a)
Amin Biogenik/Monoamin Dari amin biogenik, norepinerfin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood, selain itu dopamin juga telah diperkirakan memiliki peranan dalam depresi (Kaplan et al., 2010a). Hipotesis amin biogenik untuk gangguan mood didasarkan pada pengamatan bahwa obat trisiklik dan Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) efektif dalam menghilangkan gejala depresi (Kaplan et al., 2010a). Amir (2005) mengemukakan bahwa, pada stresor yang menetap terjadi penurunan norepinerfin. Penurunan ini menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada depresi. Menurut Kaplan et al. (2010a) penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin di dalam cairan serebrospinalis yang rendah. Menurut Amir (2005) dari penelitian pencitraan otak pasien depresi terdapat penurunan jumlah reseptor postsinaps 5-hydroxytryptamine (5-HT1A). Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dopamin juga terlibat dalam psikofisiologi gangguan mood. Aktivitas dopamin dapat rendah pada depresi. Beberapa penelitian telah menemukan kadar metabolit rendah pada pasien depresi (Kaplan et al., 2010a). b)
Gangguan pada regulasi hormonal Sumbu neuroendokrin utama yang menarik perhatian dalam gangguan mood adalah sumbu adrenal, tiroid, dan hormon pertumbuhan (Kaplan et al., 2010a). Hubungan terjelas antara depresi dan biologi stres kronis adalah peningkatan aksis Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA). Pengalaman sehari-hari kita tercatat dalam korteks serebri dan sistem limbik sebagai stresor atau emosi yang mengganggu, bagian dari otak ini akan mengirimkan pesan ke
seluruh
tubuh.
Nukleus
paraventrikular
(PVN;
Paraventricular Nucleus) akan melepaskan Corticotropin Releasing Hormone (CRH), yang menstimulasi pelepasan Adenocorticotropic Hormone (ACTH)
bersama-sama
dengan endorfin β dan lipoprotein β dari hipofisis anterior. ACTH selanjutnya menstimulasi pelepasan kortisol dari korteks adrenal. Pada pasien depresi akan terjadi hiperkortisolisme dan kerusakan mekanisme umpan balik negatif cepat yang dioperasikan oleh reseptor kortisol di hipokampus. Kadar commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kortisol tinggi akan merusak neuron hipokampus (Kaplan et al., 2010a). Stres akan memicu remodeling hipokampus, amigdala, dan prefrontal cortex, yang merubah perilaku dan respon fisiologik (McEwen, 2007). Kaplan
et
al.
(2010a)
mengemukakan
bahwa,
gangguan tiroid seringkali disertai dengan gejala afektif, dan
peneliti
telah
menggambarkan
adanya
regulasi
abnormal dari sumbu tiroid pasien dengan gangguan mood. Kira-kira sepertiga dari semua pasien dengan gangguan depresif berat yang memiliki sumbu tiroid yang normal memiliki pelepasan tirotropin yang tumpul, yaitu Thyroid Stimulating Hormones (TSH) terhadap infus Thyrotropin Releasing Hormones (TRH). Pasien depresi juga mengalami penumpulan stimulasi pelepasan hormon pertumbuhan yang diinduksi tidur, karena kelainan tidur adalah gejala yang sering pada depresi. c)
Depresi diinduksi sitokin Banyak bukti melaporkan, pemberian sitokin secara akut maupun kronik dapat menyebabkan perubahan perilaku yang overlap dengan perubahan yang terjadi pada depresi
mayor.
Sitokin
dapat
mencapai
otak
dan
berinteraksi dengan setiap patofisiologi yang relevan terhadap depresi, termasuk metabolisme neurotransmiter, commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
fungsi neuroendokrin, dan neural plasticity. Sinyal sitokin dapat mencapai otak melalui beberapa cara, yaitu: 1) melalui daerah yang lemah di sawar darah otak, 2) transpor aktif melalui molekul tertentu, 3) aktivasi sel endotelial dan sel tipe lain (termasuk makrofag perivaskular) yang berada di sepanjang vaskularisasi cerebral (yang kemudian memproduksi sitokin dan mediator inflamasi lain), 4) berikatan dengan reseptor sitokin di saraf perifer (Miller et al., 2009). Sitokin
memiliki
melepas,
dan
Perhatian
utama
kapasitas
untuk
mensintesis,
reuptake
neurotransmiter
monoamin.
ada
enzim
pada
Indolamine
2,3
Dioxsigenase (IDO) yang mampu merubah tryptophan, asam amino prekursor serotonin, menjadi Kynurenine (KYN). KYN dikonversi di astrosit menjadi kynurenic acid (KA) dan di mikroglia menjadi Quinolinic acid (QUIN). KA dapat
menghambat
pelepasan
dopamin
melalui
penghambatan pelepasan glutamat. QUIN merangsang pelepasan glutamat melalui aktivasi N-methyl-D-aspartate (NMDA), namun di sisi lain QUIN menginduksi stres oksidatif. Stres oksdatif ditambah dengan pelepasan glutamat akan meningkatkan exitotoxicity sistem saraf pusat. Exitotoxicity adalah suatu hipotesis bahwa stimulasi commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang berlebihan pada reseptor glutamat menyebabkan konsentrasi kalsium intraneuronal yang lama dan tinggi. Kondisi tersebut mengaktivasi banyak enzim, khususnya protease, yang bersifat destruktif terhadap integritas neuronal. Sitokin juga berpengaruh pada sintesis dopamin. Pemberian intramuskular Interferon Alpha (IFN α) pada tikus menurunkan Tetrahydrobiopterin (BH4), merupakan kofaktor enzim tyrosin hydroxylase yang merupakan rate limiting enzymes pada pembentukan dopamin, dan adanya peningkatan Nitric Oxyde (NO). BH4 dibutuhkan untuk memproduksi NO (Kaplan et al., 2010a; Miller et al., 2009). Sitokin juga menginduksi penurunan responsifitas Glucocorticoid
Receptor
(GR).
Sitokin
dapat
mempengaruhi aksis HPA melalui perusakan terhadap umpan balik negatif. Penurunan responsifitas GR juga menginhibisi efek supresi glukokortikoid terhadap inflamasi sehingga terjadi kenaikan petanda inflamasi. Penelitian menunjukan adanya peningkatan petanda inflamasi pada pasien depresi mayor (Miller et al., 2009). Sitokin Interleukin 1 (IL-1), Interleukin 6 (IL-6), dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNFα) yang menyebabkan inflamasi perifer memiliki peran kompleks dalam sistem saraf pusat. Dalam kondisi fisiologik sitokin tersebut commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penting dalam neurotrophic dan neurogenesis, yang berkontribusi
dalam
fungsi
kognitif
normal
pada
laboratorium binatang. Dalam patofisiologi depresi peran sitokin
berubah,
terdapat
peningkatan
aktivasi
glutamatergic, stres oksodatif, induksi apoptosis astrosit dan oligodendrosit. Peningkatan pelepasan glutamat oleh astrosit memediasi exitotoxicity dan penurunan Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Sitokin IL-1 dan TNFα dapat merangsang astrosit dan mikroglia melepaskan Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) dan menambah stres oksidatif. Penemuan konsisten kerusakan glia dan hilangnya glia termasuk oligodendrosit dan astrosit pada regio otak yang
relevan
mengatur
mood,
termasuk
subgenual
prefrontal cortex dan amigdala telah menjadi perubahan morfologi abnormal pada depresi mayor (Miller et al., 2009). c. Faktor Genetik Dalam dua dekade terakhir, teknologi genetik molekuler sangat berkembang. Beberapa penelitian yang dilakukan semenjak beberapa tahun lalu telah memberikan informasi tentang transmisi genetik gangguan mood alam perasaan (Amir, 2005). commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Faktor Psikososial 1) Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan Stres yang menyertai episode pertama gangguan mood menyebabkan perubahan biologis otak yang bertahan lama. Perubahan tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dan sistem pemberi sinyal intraneuron serta penurunan besar dalam kontak sinaptik yang menyebabkan seseorang berada pada risiko lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor eksternal (Kaplan et al., 2010a). 2) Faktor psikoanalitik dan psikodinamika Sigmund Freud mengemukakan terdapat hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia juga menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introyeksi mungkin merupakan satusatunya cara bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Freud membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri sedangkan melankolia tidak (Kaplan et al., 2010a).
commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Ketidakberdayaan yang dipelajari Premis dasar teori ini adalah kepasifan individu dan perasaan tidak mampu bertindak dan mengendalikan hidupnya terbentuk melalui pengalaman yang tidak menyenangkan dan trauma yang tidak berhasil dikendalikan oleh individu, menimbulkan rasa tidak berdaya yang kemudian memicu depresi (Daidson, 2006). e. Gambaran Klinis Depresi Secara lengkap gejala klinis depresi adalah sebagai berikut: a) afek distrofik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak semangat, merasa tidak berdaya; b) perasaan bersalah, berdosa, penyesalan; c) nafsu makan menurun; d) berat badan menurun; e) konsentrasi dan daya ingat menurun; f) gangguan tidur, dapat berupa insomnia (sukar/tidak dapat tidur) atau sebaliknya hipersomnia (terlalu banyak tidur). Gangguan ini sering disertai dengan mimpimimpi yang tidak menyenangkan (Hawari, 2006). f. Diagnosis Banding Banyak gangguan neurologis dan medis dan agen farmakologis dapat menghasilkan gejala depresi. Sebagian besar penyebab organik gangguan depresif dapat dideteksi dengan riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan fisik dan neurologis yang lengkap, dan tes darah, dan urin rutin. Pemeriksaan harus termasuk tes untuk fungsi tiroid dan adrenal. Obat-obat untuk jantung, antihipertensif, sedatif, commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hipnotik, antipsikotik, antiepileptik, obat parkinson, analgesik, antibakteri, dan antineoplastik semuanya sering disertai dengan gejala depresif (Kaplan et al., 2010a). Gangguan berhubungan dengan zat, gangguan psikotik, gangguan makan, gangguan penyesuaian, gangguan somatoform, dan gangguan kecemasan semuanya sering disertai dengan gejala depresif dan harus dipertimbangkan di dalam diagnosis banding seorang pasien dengan gejala depresif (Kaplan et al., 2010a). g. Diagnosis Diagnosis depresi berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) di Indonesia (Maramis et al., 2003). Adapun kriteria umum depresi menurut PPDGJ III (Maslim, 2003) adalah: 1) Gejala utama: a) Afek depresif, b) Kehilangan minat dan kegembiraan, c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. 2) Gejala lainnya: a) Konsentrasi dan perhatian kurang, b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang, c) Gagasan tentang rasa bersalah dan rasa tidak berguna, commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, f) Tidur terganggu. g) Nafsu makan berkurang. Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. Adapun pembagian kriteria keparahan depresi dapat dilihat pada tabel di bawah: Tabel 2.4. Derajat Keparahan Depresi Derajat Keparahan
Kriteria PPDGJ III / ICD 10
Depresi Ringan
a. Dua gejala tipikal/utama b. Dua gejala lainnya
Sedang
a. Dua gejala utama b. Tiga atau lebih gejala lainnya
Berat
a. Tiga gejala utama b. Empat atau lebih gejala lainnya Juga
dikelompokkan
berdasarkan gejala psikotik (Maslim, 2003; Sadock et al.,2007)
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
h. Penatalaksanaan Bentuk terapi bergantung pada diagnosis, derajat keparahan penyakit, umur pasien, juga respons terhadap terapi sebelumnya (Amir, 2005). 1) Terapi psikologik Psikoterapik suportif selalu diindikasikan. Terapi harus memberikan kehangatan, empati, mengerti, dan optimistik. Terapi kognitif-perilaku sangat bermanfaat pada pasien depresi sedang dan ringan. Pasien diberi latihan keterampilan dan diperlihatkan pengalaman-pengalaman kesuksesan. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran dan harapan negatif. Terapi ini mencegah kekambuhan (Amir, 2005). 2) Farmakoterapi Hampir semua depresi mayor dan depresi kronis atau depresi minor membutuhkan antidepresan (Amir, 2005). Mulai dengan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), misalnya: citalopram, flouxetine, fluvoxamine, paraxetine, dan setraline, bila tidak berhasil pertimbangkan antidepresan trisiklik, misalnya: notriptyline, amitiptrylin, lofepramine, dan lain-lain atau MAOIs (Mono
Amin
Oxidase
Inhibitors),
misalnya:
phenelzine,
isocarboxid, moclobemide, dan lain-lain (Amir, 2005 ; Sadock et al., 2007). Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk beberapa bulan, kemudian diturunkan. Untuk commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pasien yang telah kambuh beberapa kali dibutuhkan obat pemeliharaan untuk periode jangka panjang (Amir, 2005). Saat ini, pengobatan dengan antidepresan memerlukan waktu 3-4 minggu untuk mencapai efek teurapetik (Sadock et al., 2007). 3) Terapi kejang listrik mungkin merupakan terapi pilihan bila obat tidak berhasil setelah lebih dari 6 minggu pengobatan, kondisi pasien menuntut remisi segera (misalnya bunuh diri yang akut), pada beberapa pasien psikotik, pada pasien yang tidak mentoleransi obat (Amir, 2005). i. Beck Depression Inventory (BDI) BDI yang dibuat oleh Aaron T. Beck digunakan untuk membantu menentukan ada tidaknya depresi dan sebagai panduan untuk menilai tingkat keparahannya. BDI merupakan suatu kuesioner yang meminta pasien untuk memilih satu pernyataan yang paling menggambarkan perasaan pada waktu itu. Terdapat 21 pernyataan dalam kuesioner BDI (MacKinnon et al., 1986). Sebaran butir BDI dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.5. Sebaran Butir BDI Gejala
Sebaran Butir
Jumlah
Manifestasi emosional
1,4,5,10,11
5
Manifestasi kognitif
2,3,6,7,8,14
6
Manifestasi motivasional
9,12,13,15
4
Manifestasi vegetatif
16,17,18,19,20,21
6
(Idaini, 2003)
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahun 1992, Inu Wicaksana telah melakukan validasi alat ukur ini di Jogyakarta. Validasi dilakukan dengan cara membandingkan alat ukur tersebut dengan alat ukur lain yaitu Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Third Edition – Revised (DSM III-R). Hasilnya adalah sensitivitas 92%, spesifisitas 88%, nilai ramal negatif 91,6%, nilai ramal positif 88,46%, efektivitas 90%, indeks youden 0,80, nilai batas pemisah adalah 25/26 (Idaini, 2003). Perhitungan BDI dilakukan dengan cara menjumlahkan nomor-nomor pada jawaban yang dipilih. Dalam setiap pernyataan diberi nilai mulai dari 0-3. Nilai total terletak dari 0-63. Indikasinya adalah apabila total nilai berkisar 0-9 dianggap normal, total nilai 1015 dianggap depresi ringan, total nilai 16-23 dianggap depresi sedang dan total nilai 24-63 dianggap depresi berat (Idaini, 2003). Nilai cut off BDI 10 yang digunakan pada populasi umum ternyata memiliki penurunan spesivisitas pada pasien gagal ginjal. Hal ini disebabkan sulitnya membedakan gejala uremia dan depresi. Nilai cut off
BDI >15 dinilai memiliki sensitivitas, spesivisitas, dan
akurasi yang lebih tinggi untuk mendiagnosis depresi dengan nilai sensitivitas 92% dan spesifitas 80% (Cohen et al., 2007).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3.
26 digilib.uns.ac.id
Depresi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Seperti pada pasien lain yang didiagnosis mengalami penyakit medis kronis, pasien penyakit ginjal terminal/gagal ginjal pun memiliki faktor resiko terkena gangguan depresi major atau peningkatan afek depresif. Depresi pada pasien penyakit ginjal terminal dapat terjadi sekunder karena hilangnya peran utama dalam pekerjaan atau keluarga, menurunnya fungsi fisik, berkurangnya kemampuan kognitif, atau berkurangnya fungsi seksual (Cohen et al., 2007). Pada pasien gagal ginjal juga terjadi inflamasi sistemik dan stres oksidatif, dimana uremia menyebabkan aktivasi sistem imun innate (natural), yang didalangi oleh monosit, makrofag, granulosit, dan elemen sel organ/jaringan lain. Uremia juga menyebabkan defisiensi imun, dimana terdapat penurunan sel dendritik, sel T naive, sel T memori, sel B, kerusakan fungsi fagosit leukosit polimorfonuklear, dan monosit (Vaziri et al., 2012). Aktivasi sistem imun innate menyebabkan peningkatan level sitokin proinflamasi seperti IL-1β, TNFα, IL-6 dan kenaikan C-reactive protein (Grindt et al., 2003). Peningkatan level sitokin pada pasien penyakit ginjal kronis memungkinkan terjadinya depresi diinduksi sitokin dalam patogenesis depresi pasien penyakit ginjal kronis (Chilcot et al., 2008). Terdapat kesamaan dalam gejala depresi dan regulasi sitokin abnormal seperti fatigue, gangguan kognitif, dan gangguan nafsu makan commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan tidur pada pasien uremia. Disregulasi sitokin mungkin mirip antara depresi dan penyakit ginjal terminal, dan kemungkinan terdapat hubungan antara patogenesis gejala keduanya (Kimmel, 2001). Sejumlah studi menyatakan hemodialisis setiap hari memberikan keuntungan terhadap simptomatologi, meskipun sedikit bukti yang menyatakan hemodialisis setiap hari mengurangi depresi. Dua abstrak terakhir melaporkan penurunan skor BDI pada pasien yang menjalani hemodialisis yang frequent (Chilcot et al., 2007). Depresi lebih banyak terjadi pada pasien yang perlu menjalani terapi pengganti ginjal yang panjang dibandingkan pasien yang baru memulai terapi dialisis. Depresi cukup potensial dalam merubah outcome terapi
melalui
berbagai
macam
cara.
Stresor
psikologi
dapat
mempengaruhi kepatuhan terhadap regimen terapi. Dalam penelitian sebelumnya, peningkatan afek depresif berhubungan dengan buruknya kepatuhan pasien menjalani terapi dialisis. Depresi juga berhubungan dengan perubahan fungsi sistem imun, penurunan imunitas seluler secara spesifik, dan peningkatan level sitokin. Lebih jauh lagi, depresi dihubungkan dengan status nutrisi yang buruk dan telah ditunjukkan mampu untuk menurunkan level albumin (Cohen et al., 2007). 4.
Dukungan Sosial a. Definisi Menurut Jacobson dukungan sosial adalah suatu bentuk tingkah commit to user nyaman dan membuat individu laku yang menumbuhkan perasaan
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
percaya bahwa dirinya dihormati, dihargai, dicintai, dan bahwa orang lain bersedia memberikan perhatian dan keamanan. Adapun menurut Cooper dan Watson, dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh individu secara terus-menerus dari individu lain, kelompok dan masyarakat luas (Nurmalasari, 2007). Pendapat lain dikemukakan oleh Siegel yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa individu dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama (Taylor, 1999). Menurut Norris dan Kaniasty (1996) terdapat dua aspek utama dalam dukungan sosial yaitu: received support (dukungan yang diterima) dan perceived support (dukungan yang dirasakan ). Received support artinya perilaku membantu yang muncul secara alamiah yang diberikan, sedangkan perceived support diartikan sebagai keyakinan bahwa perilaku membantu akan tersedia ketika diperlukan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa received support adalah perilaku membantu yang benar-benar terjadi dan perceived support adalah perilaku membantu yang mungkin akan terjadi. Beberapa riset menunjukkan perceived support lebih tinggi tingkatannya dari pada received support karena perceived support lebih konsisten dalam mendukung kesehatan psikologis dan melindungi selama masa stres.
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Bentuk Dukungan Sosial Sarafino (1998) dan Taylor (1999) membagi dukungan sosial ke dalam lima bentuk, yaitu: 1) Dukungan instrumental (tangible assistance). Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan,
serta
pelayanan.
Bentuk
dukungan
ini
dapat
mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. 2) Dukungan informasional. Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran, atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan mudah. 3) Dukungan emosional. Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan, dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol. 4) Dukungan pada harga diri. Bentuk dukungan ini berupa penghargaan
positif
pada
individu,
pemberian
semangat,
persetujuan pada pendapat individu, dan perbandingan positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini akan membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi. commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Dukungan dari kelompok sosial. Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa menjadi anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktivitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib. c. Sumber dukungan sosial Sumber dukungan sosial yang paling utama adalah keluarga dan teman (Dalgard, 2009). 1) Keluarga. Anggota keluarga adalah orang-orang yang berada di lingkungan paling dekat dengan diri individu yang sangat besar kemungkinannya untuk saling memberikan dukungan. Keluarga dapat menimbulkan efek buffering terhadap dampak stresor. Munculnya efek ini dimungkinkan karena keluarga selalu siap dan bersedia untuk membantu individu ketika dibutuhkan serta hubungan antara anggota keluarga memunculkan perasaan dicintai dan mencintai. Intinya adalah bahwa anggota keluarga merupakan orang-orang
yang
penting
dalam
memberikan
dukungan
instrumental, emosional, dan kebersamaan dalam berbagai aktivitas maupun minat (Sholichah, 2009). 2) Teman. Derajat kepentingan teman bagi individu memang berada setelah anggota keluarga, namun hal ini tidak berarti bahwa dukungan sosial dari sahabat atau teman kurang bermanfaat. Suatu studi yang dilakukan oleh Argyle dan Furnham menemukan tiga proses utama dimana sahabat atau teman dapat berperan dalam commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan dukungan sosial. Proses yang pertama adalah membantu material atau instrumental. Stres yang dialami individu dapat dikurangi bila individu mendapatkan pertolongan untuk memecahkan masalahnya. Pertolongan ini dapat berupa informasi tentang cara mengatasi masalah atau pertolongan berupa uang. Proses kedua adalah dukungan emosional. Tekanan emosional dapat dikurangi dengan membicarakannya dengan teman yang simpatik. Dengan demikian harga diri meningkat, depresi dan kecemasan dapat dihilangkan dengan penerimaan sahabat karib. Proses yang terakhir adalah integrasi sosial, menjadi bagian dalam suatu aktivitas waktu luang yang kooperatif dan diterimanya seseorang dalam suatu kelompok sosial dapat menghilangkan perasaan kesepian dan menghasilkan perasaan sejahtera serta memperkuat ikatan sosial (Sholichah, 2009). Di luar keluarga dan teman tentunya terdapat sumber lain yang dapat memberikan dukungan sosial, kelompok ini disebut significant other, contohnya kelompok sosial, perawat, dokter, dan orang dewasa lain selain teman dan keluarga yang mampu memberikan dukungan sosial (Zimet et al.,1988). d. Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) MSPSS merupakan salah satu form yang digunakan untuk mengukur perceived social support yang berasal dari tiga sumber dukungan sosial yaitu keluarga (family), teman (friends), dan orang selain commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keluarga dan teman yang disebut significant other. Terdapat 10 item pernyataan yang perlu dijawab oleh sampel, terdiri dari 5 pernyataan tentang dukungan keluarga, 5 pernyataan tentang dukungan teman, dan 5 pernyataan tentang dukungan significant other (Cheng et al., 2004 ; Zimet et al., 1988). Sebaran butir pernyataan pada MSPSS dapat dilihat dalam tabel di bawah: Tabel 2.6. Sebaran Butir MSPSS Skala Ukur
Sebaran Butir
Jumlah
Family (FA)
3,4,8,11
4
Friends (FR)
6,7,9,12
4
Significant Other (SO)
1,2,5,10
4
(Cheng et al., 2004 ; Zimet et al., 1988) Tiap-tiap item diberi skor mulai dari 1 untuk sangat tidak setuju, 2 untuk tidak setuju, 3 untuk setuju, 4 untuk sangat setuju Terdapat empat penilaian yaitu Family (FA), Friends (FR), Significant Other (SO), dan total (Cheng et al., 2004 ; Hasyim, 2009; Zimet et al., 1988). Menurut Hasyim (2009), MSPSS memiliki reliabilitas yang baik dengan nilai Alpha Chronbach 0,837 dan memiliki validitas yang baik jika dinilai dengan korelasi Product Moment. 5.
Manfaat Dukungan Sosial terhadap Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Pasien yang menjalani hemodialisis akan kehilangan waktu seharicommit user harinya, rekreasi, aktivitas sosial,tokehilangan independensi, pensiun dini,
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
stres finansial, perubahan peran, masalah keluarga, perubahan gambaran diri, dan berkurangnya rasa percaya diri. Hasilnya Pasien mengalami masalah psikososial, seperti cemas, depresi, isolasi sosial, kesendirian, tak berdaya, dan tak ada harapan. Keadaan ini dapat berpengaruh terhadap hasil terapi (Tezel et al., 2011). Kondisi sakit yang dialami pasien secara kuat meningkatkan kebutuhan pasien untuk mendapatkan dukungan sosial dari sekelilingnya. Interaksi sosial berupa rasa pengertian, menghargai, dan mempercayai diharapkan mampu menurunkan gejala depresi. Di sisi lain interaksi sosial negatif yang menyebabkan pasien merasa tertekan akan memperberat gejala depresi. Pasien yang tidak mendapatkan dukungan sosial cenderung menyalahkan dirinya sendiri, banyak merenung, dan mengekspresikan perasaannya melalui cara yang salah seperti marah, menarik diri, atau depresi (Tezel et al., 2011). Untas et al. (2010) membuktikan bahwa angka mortalitas tinggi pada pasien yang aktivitas sosialnya terganggu, terisolasi, merasa dirinya beban bagi yang lain, dan yang tidak puas dengan dukungan keluarganya. Rendahnya kesadaran
dukungan pasien
keluarga
menjalani
berhubungan
dialisis
dan
dengan
rendahnya
berhubungan
dengan
menurunnya kualitas hidup pasien. Meskipun hubungan antara dukungan sosial dan illness konsisten dan kuat, namun mekanisme yang mendasari belum kuat. Kandidat untuk mediator antara dukungan sosial dan meningkatnya kesehatan adalah commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akses dan penggunaan yang lebih baik terhadap layanan kesehatan, kepatuhan terapi yang lebih baik, dan fungsi psikologik, neuroendokrin, atau imunologik yang lebih baik (Cukor et al., 2007). Dukungan sosial dapat membantu seseorang menghadapi stresor psikososial (McEwen, 2007). Stres psikososial dapat mengaktifkan respon inflamasi di perifer maupun di otak melalui mekanisme aksis HPA dan sistem saraf simpatis. Sebagai contohnya, katekolamin yang bereaksi terhadap reseptor alfa dan beta adrenergik menyebabkan aktivasi sinyal inflamasi Nuclear Factor Kappa B (NF-ϰB), merupakan faktor
transkripsi
utama
yang
menginisiasi
respon
inflamasi.
Perangsangan reseptor alfa dan beta adrenergik menyebabkan kenaikan jumlah sitokin yang beredar sebaliknya perangsangan saraf parasimpatis menginhibisi NF-ϰB dan penurunan aktivitas saraf parasimpatis meningkatkan petanda inflamasi, misalnya CRP dan IL-6. Pengaruh pada aksis HPA terlihat pada stres kronis, dimana terjadi resistensi GR yang menyebabkan sistem imun resisten terhadap daya supresi glukokortikoid (Miller et al., 2009). Dukungan sosial yang meningkatkan kepatuhan terapi termasuk kehadiran pasien dalam setiap sesi hemodialisis akan berdampak baik. Hemodialisis menghilangkan toksin, produk metabolik dan komponen darah. Pada
hemodialisis juga terjadi absorpsi komponen aktif,
komplemen, dan sitokin ke dalam membran dialyzer (Kimmel, 2001; Sukandar, 2006).
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran Dukungan sosial dari keluarga, teman, dan significant other
-
-
Akses dan penggunaan layanan kesehatan yang lebih baik Kepatuhan terapi yang lebih baik
Kemampuan menghadapi stresor ↑
Ekspresi NF-ϰB ↓ Terapi gagal ginjal yang optimal Aktivitas saraf simpatis ↓ Perbaikan kondisi uremia
Aktivasi aksis HPA ↓
Mencegah hiperkortisolisme berkepanjangan
Respons inflamasi ↓
Mengurangi efek buruk uremia terhadap abnormalitas sistem imun
Sitokin (IL-6, IL-1, TNFα) dan CRP ↓
Responsivitas GR terjaga
Inhibisi proses inflamasi optimal Mengurangi gejala depresi Sumber: (Cheng et al.,2004; Chilcot et al.,2007; Cohen et al., 2007; Cukor et al., 2007; Grindt et al, 2003; McEwen, 2007; Miller et al., 2009; Vaziri et al., 2012) C. Hipotesis Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan derajat depresi pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Dalam penelitian ini faktor pengaruh dan hal yang dipengaruhi diukur satu kali dalam waktu yang bersamaan. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang hemodialisis RSUD Dr.Moewardi. C. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tanggal 13-18 April 2012. D. Subjek Penelitian 1. Populasi sumber Populasi yang akan diteliti adalah pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi. 2. Besar sampel Terdapat teori yang menyatakan bahwa sampel berjumlah 30 orang atau lebih, karena mendekati distribusi normal. Teori ini mensyaratkan data yang dipakai adalah interval atau rasio (Santjaka,2011).
commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Kriteria inklusi dan eksklusi a. Kriteria inklusi 1) Sampel terdiagnosis oleh dokter mengalami penyakit ginjal kronis, 2) Sampel diharuskan menjalani hemodialisis oleh dokter, 3) Sampel berusia di atas 18 tahun, 4) Bersedia mengikuti penelitian. b. Kriteria eksklusi 1) Sampel menjalani hemodialisis untuk yang pertama kalinya, 2) Sampel tidak dapat berbahasa Indonesia. E. Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan kriteria tertentu yang sebelumnya ditetapkan oleh peneliti, subyek yang memenuhi kriteria tersebut menjadi anggota sampel (Santjaka,2011).
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Rancangan Penelitian Populasi
Purposive sampling Sampel
Mengisi BDI dan mengisi MSPSS
Uji statistik
G. Identifikasi Variabel 1. Variabel bebas
: Dukungan sosial
2. Variabel terikat
: Derajat depresi
3. Variabel luar a. Terkendali
: Usia
b. Tidak terkendali
: Status sosial, agama, penyedia dialisis,
lingkungan tempat tinggal, etnis, status ekonomi, asuransi, asupan nutrisi, aktivitas sehari-hari, obat-obatan, dan genetik. H. Definisi Operasional Variabel 1.
Dukungan sosial Dukungan sosial adalah dukungan yang diberikan oleh orang lain terhadap seseorang yang dapat menimbulkan perasaan nyaman dan menumbuhkan rasa percaya diri karena dirinya percaya bahwa dirinya dihormati dan diterima dalam suatu jaringan sosial. commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dukungan sosial dapat diperoleh dari keluarga, teman, dan orang di luar keluarga dan teman. Dukungan sosial dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan MSPSS yang telah divalidasi dalam penelitian yang dilakukan oleh Hasyim pada tahun 2009. Hasilnya termasuk dalam data skala interval. Dalam penelitian ini peneliti mengganti angka 1 sampai 7 pada form kuesioner dengan huruf A sampai G. Hal ini dilakukan untuk menghindari sampel memilih angka/skor yang terbesar. 2.
Derajat depresi Derajat depresi adalah tingkat keparahan depresi dilihat dari gejala-gejala yang timbul. Derajat depresi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan BDI yang telah divalidasi dalam penelitian yang dilakukan oleh Inu Wicaksana pada tahun 1992 di Jogyakarta (Idaini, 2003). Hasilnya merupakan data skala interval. BDI digunakan untuk membantu menentukan ada tidaknya depresi dan sebagai panduan untuk menilai tingkat keparahannya. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi alat ukur BDI, yaitu tidak mencantumkan nilai pada lembar kuesioner untuk menghindari subyek tidak memilih nilai yang rendah atau menghindari pengaruhpengaruh lain yang mungkin timbul. Pada BDI yang asli, nilai dicantumkan pada lembar kuesioner. Skor cut off BDI yang dipakai dalam penelitian ini sebesar >15, hal ini disebabkan sulitnya to user uremia. membedakan gejala commit depresi dengan
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Usia Usia adalah lama kehidupan seseorang dihitung mulai saat dilahirkan. Usia dalam penelitian ini dikendalikan dengan cara membatasi usia minimal pasien pada kriteria inklusi. Hal ini lebih ditujukan sebagai upaya mempermudah informed consent, karena peneliti merasa bahwa sampel usia lebih dari 18 tahun telah mampu untuk membuat keputusan sendiri. Usia termasuk data skala rasio.
I.
Alat dan Bahan Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner termasuk lembar informed consent. Adapun formatnya dapat dilihat pada lampiran.
J.
Cara Kerja Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Peneliti meminta surat ijin penelitian ke Bagian Skripsi yang ditujukan ke Direktur RSUD Dr.Moewardi. 2. Setelah mendapatkan ijin, peneliti mendapatkan surat pengantar ke Bagian Diklit RSUD dr.Moewardi Surakarta. Dari Bagian Diklit, peneliti mendapatkan surat pengantar ke ruang Hemodialisis RSUD Dr.Moewardi. 3. Selanjutnya peneliti melakukan penentuan sampel dari populasi pasien yang menjalani hemodialisis di ruang Hemodialisis RSUD Dr.Moewardi. commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Peneliti kemudian melakukan pengambilan data dari sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. 5. Setelah mendapatkan data, dilakukan perhitungan dan uji statistik terhadap data tersebut untuk menguji hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya. K. Teknik Analisis Data Analisis data statistik yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya menggunakan aplikasi Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 13.0. Langkah analisis yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Uji ulang validitas dan reabilitas kuesioner MSPSS dengan skor corrected item-total correlation dan alpha chronbach. 2. Uji normalitas sebaran sampel dengan menggunakan Shapiro Wilk Test, karena jumlah sampel <50 orang. 3. Jika hasil uji normalitas menunjukan bahwa sampel terdistribusi normal, maka dilakukan uji parametrik yaitu uji korelasi Pearson untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial dengan derajat depresi. 4. Jika hasil uji normalitas menunjukkan bahwa sampel tidak terdistribusi normal, maka dilakukan uji non-parametrik yaitu uji korelasi Spearman untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial dengan derajat depresi.
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan pada tanggal 13-18 April 2012 di ruang Hemodialisis RSUD Dr.Moewardi. Penelitian dilakukan pada shift pagi maupun shift siang jadwal hemodialisis dibantu oleh 3 orang teman. A. Hasil Penelitian Didapatkan 30 responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Deskripsi sebaran data responden dapat dilihat pada tabel 4.1. Responden yang terpilih mengisi kuesioner BDI terlebih dahulu. Responden akan dianggap mengalami depresi jika skor BDI > 15. Dengan cara tersebut, maka didapatkan 13 responden dari 30 responden mengalami depresi (43,33%) dan 17 responden dari 30 responden tidak mengalami depresi (56,67%).
Skor BDI maksimum yang diperoleh
responden adalah 32 dan skor minimumnya adalah 3, dengan rata-rata skor sebesar 16,3 dan standar deviasi 7,433.
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.1. Deskripsi Sebaran Data Responden Jenis data Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Usia ≤ 40 tahun > 40 tahun Status Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Status Perkawinan Menikah Tidak menikah Pendidikan Terakhir SMA atau lebih rendah Lebih tinggi dari SMA Biaya Hemodialisis Dengan asuransi Tanpa asuransi Lama Menjalani Hemodialisis ≤ 1 tahun > 1 tahun Frekuensi Hemodialisis 1x/minggu 2x/minggu Kehadiran Pengantar Keluarga Sendiri
Jumlah
Persentase
18 12
60% 40%
11 19
36,67% 63,33%
18 12
60% 40%
24 6
80% 20%
23 7
76,67% 23,33%
25 5
83,33% 16,67%
20 10
66,67% 33,33%
16 14
53,33% 46,67%
24 6
80% 20%
Setelah mengisi kuesioner BDI, setiap responden mengisi kuesioner MSPSS, hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.2. Sebaran Data Skor MSPSS Skala Ukur
Skor
Skor
Standar
Skor rata-
Maksimum
Minimum
Deviasi
rata
Keluarga
16
12
1,311
15,067
Teman
16
10
1,964
12,733
Significant Other
16
9
1,608
11,967
Pada tabel di atas terlihat bahwa sumber dukungan sosial yang diterima oleh responden kebanyakan berasal dari keluarga dengan skor rata-rata skala keluarga MSPSS sebesar 15,067 dengan Standar Deviasi 1,311. Skor maksimum skala keluarga MSPSS yang dimiliki responden adalah 16 dan skor minimum sebesar 12. Pada tabel di atas juga terlihat jika dukungan dari significant other memiliki skor terendah dengan nilai rata-rata 11,967 dengan Standar Deviasi sebesar 1,608. Setelah mendapatkan data yang telah disebutkan, peneliti melakukan validasi kuesioner MSPSS terhadap 30 responden menggunakan skor corrected item-total correlation, hasilnya item pertanyaan nomor 4 dan nomor 6 digugurkan karena memiliki skor di bawah 0,3. Skor alpha chronbach didapat adalah 0,788, ini berarti kuesioner yang digunakan adalah reliabel. Peneliti melakukan uji reliabilitas dan validitas ulang untuk tiap skala ukur pada MSPSS yang terdiri dari skala ukur keluarga, teman, dan significant other. Hasil validasi skala ukur keluarga, teman, maupun significant other pada kuesioner MSPSS menggunakan skor corrected itemtotal correlation tidak menggugurkan commit tosatupun user item pertanyaan pada tiap-tiap
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
skala ukur. Dan skor alpha chronbach pada setiap skala ukur memiliki skor di atas 0,70. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.3. Skor Validitas dan Realibilitas Tiap Skala Ukur pada MSPSS Skala Ukur Keluarga Teman Significant other
Kisaran Skor Corrected Item-Total Correlation 0,528-0,878 0,350-0,759 0,412-0,804
Skor Alpha Chronbach 0,829 0,775 0,777
Skor maksimal total MSPSS pada 30 responden setelah dilakukan uji validasi dan reliabilitas sebesar 40 dan skor minimum sebesar 26 dengan standar deviasi sebesar 3,202 dan skor rata-rata 32,567.
B. Analisis Data Hasil uji normalitas skor MSPSS dan BDI dengan menggunakan uji Saphiro wilk menunjukan bahwa keduanya terdistribusi normal. Skor MSPSS memiliki p = 0,181 dan skor BDI memiliki p = 0,371. Karena keduanya terdistribusi normal maka dilakukan uji parametrik korelasi Pearson untuk mengetahui apakah ada hubungan antara skor MSPSS dan skor BDI. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai korelasi Pearson (r) = -0,84 dengan p = 0,658. Hasil ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara skor MSPSS dan skor BDI. Dalam penelitian ini bukan hanya skor total MSPSS yang dihubungkan dengan skor BDI tetapi juga menguji statistik skor tiap skala ukur MSPSS dengan skor BDI. Langkah pertama yang dilakukan adalah menguji commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
normalitas data. Di bawah ini adalah tabel normalitas data setiap nilai skala ukur MSPSS yang diisi oleh responden: Tabel 4.4. Nilai Normalitas Data Setiap Skala Ukur MSPSS Skala ukur MSPSS
Skor normalitas
Kesimpulan
Keluarga
0,000
Sebaran data tidak normal
Teman
0,051
Sebaran data normal
Significant other
0,081
Sebaran data normal
Pada tabel di atas didapatkan bahwa skala ukur teman dan significant other terdistribusi normal sedangkan skala ukur keluarga terdistribusi tidak normal. Oleh karena tidak semua data terdistribusi normal maka peneliti melakukan uji korelasi non-parametrik Spearman, hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.5 Hubungan Tiap Skala Ukur MSPSS dengan BDI Hubungan yang Dicari
Nilai korelasi Spearman
Nilai p
(r) Skala ukur keluarga-BDI
-0,480
0,007
Skala ukur teman-BDI
-0,122
0,521
Skala
0,081
0,67
ukur
significant
other-BDI Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor skala ukur teman dengan skor BDI dan skor skala ukur significant other dengan skorcommit BDI, tetapi to userterdapat hubungan negatif yang
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
signifikan antara skor skala ukur keluarga dengan skor BDI dengan besar nilai korelasi Spearman (r) = -0,480 atau bisa dikatakan kekuatan hubungan negatifnya sedang. Dukungan keluarga menjelaskan penurunan gejala depresi sebanyak 23,04%, sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga terhadap derajat depresi pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, tetapi tidak terdapat hubungan antara dukungan sosial yang diberikan oleh orang di luar keluarga terhadap derajat depresi pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini tidak didapatkan adanya hubungan dukungan sosial dengan derajat depresi pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, tetapi terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan keluarga dengan derajat depresi pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan r = -0,480 dan p = 0,007 (p <0,05). Hal tersebut disebabkan dua skala ukur yang lain yaitu dukungan teman dan dukungan significant other tidak memberikan korelasi yang signifikan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa dukungan keluarga lebih berarti dibandingkan dukungan orang lain di luar keluarga dalam mengurangi gejala depresi pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Dukungan keluarga dalam penelitian ini menjelaskan penurunan gejala depresi sebanyak 23,04%, sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Nilai dukungan tertinggi yang diterima pasien berasal dari keluarga dengan skor rata-rata 15,067 dan Standar Deviasi sebesar 1,311, nilai dukungan terendah berasal dari significant other dengan skor rata-rata 11,967 dan standar deviasi sebesar 1,608. Dalam penelitian ini digunakan skor maksimal tiap skala ukur MSPSS sebesar 16. Penelitian yang dilakukan Tezel et al. (2011) di Turki memaparkan bahwa terdapat hubungan negatif antara dukungan keluarga dengan derajat depresi pasien commit to user yang menjalani hemodialisis dengan r = -0,169 dan p = <0,05. Dukungan keluarga
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diukur dengan Perceived Social Support from Family Scale dan derajat depresi dengan BDI. Dalam penelitian ini hanya dukungan keluarga yang diukur tanpa diperhitungkan dukungan dari sumber yang lain. Disebutkan bahwa dukungan keluarga akan lebih bermakna dibandingkan dukungan dari sumber lain karena adanya budaya ketimuran, karena hubungan setiap orang dengan keluarganya sangat kuat. Jenis dukungan keluarga yang paling berpengaruh adalah dukungan emosi dan instrumental. Keduanya dapat meningkatkan kepatuhan terapi, memberikan efek buffering stres, dan memperbaiki fungsi sistem imun. Kesemuanya dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup, juga kualitas kesehatan. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan peneliti yaitu terdapat hubungan negatif antara dukungan keluarga dengan derajat depresi. Bayat et al. (2011) melakukan evaluasi psikologis pada pasien hemodialisis di Iran. Salah satu yang diukur dalam penelitian ini adalah mencari hubungan antara dukungan sosial dengan depresi. Dukungan sosial diukur dengan MSPSS dan depresi diukur dengan
Hospital Anxiety and Depression Scale
(HADS). Hasilnya tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara tiap skala ukur MSPSS, yaitu dukungan keluarga, teman, dan significant other dengan depresi. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa sumber dukungan sosial yang terbesar didapatkan dari keluarga. Disebutkan bahwa faktor budaya dan agama di Iran membuat setiap anggota keluarga akan peduli terhadap anggota keluarganya yang sakit. Dalam penelitian yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa keluarga adalah sumber dukungan terbesar. commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penelitian di Indonesia tentang dukungan sosial dengan derajat depresi pasien yang menjalani hemodialisis juga telah dilakukan oleh Marthan et al. (2006) di RS DR.Sardjito Jogjakarta, yaitu terdapat hubungan negatif dengan r= 0,512 dan p = 0,03. Dalam penelitian tersebut dukungan yang diperhitungkan adalah skor dukungan sosial menurut Sarafino meliputi sumber primer yaitu dukungan yang berasal dari keluarga dan sahabat; sumber sekunder meliputi teman, tetangga, kenalan, dan rekan kerja; dan sumber tersier meliputi dukungan dari instansi serta petugas kesehatan. Dukungan terbesar berasal dari sumber primer dan sumber primer-sekunder masing-masing sebesar 37,5%, di sisi lain dukungan terkecil berasal dari sumber tersier dengan persentase 3,1%. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dimana dukungan terbesar yang diterima pasien berasal dari keluarga. Keluarga menurut macamnya dapat dibagi menjadi keluarga inti yaitu suatu bagian terkecil dari ikatan pernikahan yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang belum menikah. Selanjutnya adalah keluarga campuran yang merupakan suatu kesatuan keluarga erat yang terdiri dari mertua, beberapa orang saudara ibu atau ayah, keponakan, sepupu yang kehidupan ekonominya masing tergantung pada kepala keluarga (Salahuddin, 2009). Cukor et al. (2007) mencoba menjelaskan jaringan sosial pada pasien yang menjalani dialisis yang dibagi berdasarkan kekuatan pengaruhnya terhadap kondisi psikologis pasien seperti gambar berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
Gambar 5.1 Parameter psikososial pasien dialisis (Cohen et al., 2007) Pada gambar di atas orang yang paling dekat dan paling berpengaruh terhadap pasien adalah keluarga, teman dekat, dan pasangan hidup. Setelah itu diikuti oleh teman, dokter, staf dialisis, dan atasan. Dari penjelasan tersebut dapat dipastikan jika yang terdekat dan paling berpengaruh pada kondisi psikis pasien berturutturut adalah keluarga, teman, kemudian significant other. Dalam gambar di atas terdapat beberapa hal yang terkait dengan psikososial pasien dialisis yang tidak disertakan dalam penelitian ini, yaitu: status sosial, agama, penyedia dialisis, lingkungan tempat tinggal, etnis, status ekonomi, dan asuransi yang membantu pasien. Meskipun data yang telah disebutkan di atas menyebutkan bahwa sumber dukungan terbesar adalah keluarga dan dukungan commit to user keluarga berhubungan dengan
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
penurunan gejala depresi, hal ini tidak sekaligus menganggap bahwa dukungan dari teman maupun significant other tidak bermanfaat. Menurut Kimmel (2001) dukungan teman terhadap pasien dialisis memiliki peranan yang unik. Dukungan yang diterima dari teman memiliki hubungan negatif dengan mediator neuroendokrin yang berhubungan dengan mortalitas dan berhubungan positif dengan mediator yang berhubungan dengan survival. Swartz et al. (2008) melakukan penelitian tentang interaksi pasien dengan staf dan kesehatan mental pada pasien dialisis kronik. Dinyatakan bahwa sifat terbuka, dimana terdapat interaksi berbagi informasi personal, secara signifikan dapat memprediksi penurunan derajat depresi. Dukungan sosial diyakini memiliki peran penting dalam adaptasi seseorang saat mengalami penyakit kronis. Dukungan sosial juga dihubungkan dengan perbaikan outcomes pasien terhadap penyakit kronis. Meskipun hubungan antara dukungan sosial dan illness konsisten serta kuat, namun mekanisme yang mendasari belum kuat. Kandidat untuk mediator antara dukungan sosial dan meningkatnya kesehatan adalah akses dan penggunaan yang lebih baik terhadap layanan kesehatan, kepatuhan terapi yang lebih baik, dan fungsi psikologik, neuroendokrin, atau imunologik yang lebih baik (Cukor et al., 2007). Dalam penelitan ini peneliti juga menghitung besarnya prevalensi depresi pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr.Moewardi. Dari 30 responden sebanyak 43,3% di antaranya mengalami depresi setelah diukur dengan BDI. Nilai cut off BDI yang dipakai adalah >15, bukan dengan nilai cut off BDI >10. Hal ini dipilih oleh peneliti karena menurut Cohen et al. (2007) nilai cut off BDI >15 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dalam mendiagnosis depresi pada pasien gagal ginjal, karena sulitnya membedakan gejala uremia dan gejala depresi. Skor BDI rata-rata dalam penelitian ini adalah 16,3 (skor maksimum 63), dengan Standar Deviasi 7,433. Menurut Cukor et al. (2007), prevalensi depresi pada pasien hemodialisis di Amerika diperkirakan sebesar 20-30%. Hal ini tampaknya bervariasi berdasarkan daerah, alat ukur, dan skor yang digunakan dalam menentukan apakah seseorang dianggap mengalami depresi atau tidak. Dari Penelitian yang dilakukan oleh Tezel et al. (2011) di Turki terhadap 127 pasien, menghasilkan prevalensi depresi sebesar 74, 8% dengan skor rata-rata BDI sebesar 23,2 dan deviasi standar sebesar 10,5. Nilai cut off yang dipakai adalah 17. Penelitian lain yang dilakukan Bayat et al. (2011) terhadap 95 pasien hemodialisis di Iran menggunakan HADS didapatkan prevalensi depresi sebesar 43,6%. Di Indonesia sendiri penelitian tentang depresi pada pasien hemodialisis sudah pernah dilakukan. Misalnya, penelitian oleh Wijaya (2005) di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta terhadap 61 pasien hemodialisis,
menghasilkan
prevalensi depresi sebesar 31,1% dengan skor rata-rata BDI sebesar 20,6. Nilai cut off BDI yang dipakai dalam penelitian Wijaya (2005) adalah >10. Prevalensi lain didapat dari penelitian yang dilakukan Prasetya (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu sebesar 64,8% menggunakan alat ukur BDI-II. Skor BDI-II rata-rata sebesar 19,3 dan Standar Deviasi sebesar 10,7. Disebutkan bahwa terdapat kesamaan antara gejala depresi dengan uremia pada pasien gagal ginjal seperti fatigue, gangguan kognitif, gangguan nafsu commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
makan, dan tidur (Cohen et al., 2007; Kimmel, 2001). Dari penjelasan tersebut kemungkinan butir kuesioner BDI yang memiliki gejala tumpang tindih antara depresi dan uremia adalah butir pertanyaan tentang gangguan kognitif, motivasional yang berhubungan dengan rasa lelah, dan gangguan vegetatif. Depresi merupakan hal umum pada pasien penyakit ginjal terminal yang menjalani dialisis. Depresi dapat mempengaruhi outcomes pasien gagal ginjal melalui perubahan respons imun dan stres, status nutrisi, dan berkurangnya kepatuhan atau akses terhadap serangkaian terapi. Beberapa penelitian menghubungkan depresi dengan peningkatan mortalitas (Cukor et al., 2007). Untuk menangkal efek buruk depresi terhadap outcomes maka usaha screening terhadap depresi dibutuhkan untuk pasien penyakit ginjal terminal (Cohen et al., 2007). Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti ini memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah ukuran sampel yang terlalu kecil, masih banyaknya faktor yang tidak terkontrol, dan tidak adanya kuesioner dukungan sosial yang khusus ditujukan untuk pasien yang menjalani hemodialisis yang telah teruji validitas maupun reliabilitasnya. Kesulitan yang dialami peneliti dalam penelitian ini adalah pasien yang sedang menjalani hemodialisis tidak dapat membaca dan menulis sendiri sehingga peneliti perlu membacakan kuesioner untuk pasien, bahkan terkadang pengambilan data yang seharusnya dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner berubah menjadi wawancara sesuai dengan isi kuesioner. commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan: 1. Didapatkan adanya hubungan dukungan keluarga dengan derajat depresi pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr.Moewardi (r = -0,480 dan p = 0,007). 2. Prevalensi depresi pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
di
RSUD
Dr.
Moewardi
sebesar
43,3%
diukur
menggunakan BDI dengan skor cut off >15. 3. Pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr. Moewardi memiliki dukungan sosial dari keluarga yang lebih besar jika dibandingkan dengan dukungan sosial dari teman ataupun orang di luar keluarga dan teman.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis membutuhkan commit to user dukungan sosial dari berbagai pihak mulai dari keluarga, teman, maupun
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
petugas kesehatan untuk mengurangi kemungkinan depresi. Meskipun dalam penelitian ini yang paling berpengaruh adalah dukungan keluarga, bukan berarti pihak lain tidak dibutuhkan. Kurangnya dukungan yang diberikan oleh significant other (orang di luar keluarga dan teman, misalnya petugas kesehatan) perlu menjadi perhatian. Petugas kesehatan dapat memberikan informasi sejelas-jelasnya tentang kondisi pasien, memberikan pendidikan kesehatan pada pasien, berempati, memberi kehangatan, dan lain-lain. 2. Besarnya prevalensi depresi pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Dr.Moewardi perlu menjadi perhatian pelayan kesehatan. Hal yang dapat dilakukan misalnya dengan mengikutsertakan psikiater berkolaborasi dengan dokter spesialis penyakit dalam untuk menangani pasien di ruang hemodialisis. 3. Perlu dilakukan screening depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis untuk mengurangi efek buruk dari depresi, misalnya 4 minggu sekali. 4. Penelitian dengan sampel yang lebih besar, variabel yang lebih terkontrol, dan alat ukur yang lebih valid dan reliabel perlu dilakukan untuk mengetahui besarnya prevalensi depresi, hubungan dukungan sosial dengan depresi, dan untuk mengetahui adanya faktor-faktor risiko tertentu seperti status sosial, agama, penyedia layanan dialisis, lingkungan tempat tinggal, status ekonomi, dan adanya bantuan asuransi commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dapat berhubungan dengan depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis.
commit to user