Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
HIKMAH IBADAH HAJI TERHADAP EKONOMI
Hendri Tanjung Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor Kandidat Doktor Ekonomi Islam di International Institute of Islamic Economics International Islamic University Islamabad Pakistan
Abstract Islamic Pilgrimage (Hajj) is one of the Islamic obligations for the one who are able to bear the cost to Macca. It is also a fundamental building for Moslems society. The holy Qur’an states that so many advantages for those who perform hajj. One of them is economic advantage. This paper explains the advantage of hajj in the view of economy of people, especially for Indonesians. The result shows that at least there benefits of hajj in the economic point of view, i.e., boosting Indonesia’s export which increases the wealth of nation, creating middle style of consumption and making distribution of income among people in the society. Keywords : Islamic Pilgrimage, export, consumption, distribution
I.
Pendahuluan A. Latar Belakang
Ibadah haji adalah rukun Islam Kelima. Sebagai rukun Islam, maka ibadah haji termasuk bangunan pokok masyarakat Muslim selain Syahadat, Sholat, Puasa, dan Zakat. Karena posisinya yang demikian penting dan strategis, maka ibadah haji merupakan peristiwa besar dalam sejarah muslim mulai dari Nabi Ibrahim sampai sekarang. Entah sudah berapa juta orang yang pergi menunaikan ibadah haji dari seluruh penjuru dunia. Dengan berhaji, maka diharapkan terjadi interaksi, saling kenal mengenal dan saling memperkokoh kesatuan dan persatuan sesama Muslim di seluruh dunia. Haji dimaknai sebagai berkunjung ke Bait Allah di bulan-bulan haji dengan mengerjakan wuquf, tawaf, sa’i, mabit/bermalam di Muzdalifah dan Mina dan jumroh/melontar karena Allah semata1. Hal ini menegaskan bahwa Ibadah haji harus dilakukan di bulan-bulan Haji. Oleh karena itu, tidak sah kalau haji dilakukan di luar bulan-bulan haji seperti Rabiul Awal, atau Rabiul Akhir seperti yang pernah diwacanakan untuk mengurangi kepadatan jamaah haji. Disamping waktunya tertentu, haji juga mempunyai rukun haji seperti Wukuf di Arafah dan kewajiban-
1
Ma’mun Efendi Nur, Menuju Bait Allah dan Medinah Rasul Allah, Agustus 2006 halaman 3.
6
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
kewajiban haji seperti: Ihram, Mabit di Muzdalifah, Melintar jumrah Aqobah, Mabit di Mina dan melontar jumrah pada hari tasyriq dan menjauhi larangan-larangan ihram2. Dengan menjalankan ibadah haji, pada hakekatnya bertujuan untuk mengagungkan Allah. Kalimat-kalimat Talbiyah yang diucapkan oleh jamaah haji adalah kalimatkalimat Tauhid yang betul-betul mengagungkan Allah. Disamping itu, Ibadah haji juga bertujuan untuk mendisiplinkan diri manusia dalam perekonomian dan kehidupan social. Dalam perekonomian, manusia diajarkan untuk disiplin dalam mengalokasikan pendapatannya untuk belanja spiritual seperti biaya haji, dan di sisi kehidupan social, akan tercipta ukhuwwah yang luar biasa antara jamaah haji yang datang dari seluruh penjuru bumi. Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 97 menegaskan bahwa ibadah haji hanya diperuntukkan bagi yang mampu. Menurut Imam Malik, istitha’ah bermakna mampu berjalan kaki. sedangkan Imam Syafi’i mengkategorikan mampu kepada dua bagian: langsung dan tidak langsung. Mampu secara langsung adalah kemampuan melaksanakan haji oleh dirinya sendiri. Mampu secara tidak langsung adalah kemampuan melaksanakan ibadah haji dengan bantuan orang lain. Adapun makna mampu (istitha’ah) adalah sehat secara jasmani dan rohani, serta mampu secara ekonomi. Sehat secara jasmani maksudnya tidak sakit, tidak lumpuh, dan tidak sulit melaksanakan ibadah haji. Sehat secara rohani berarti bahwa orang yang akan berhaji adalah sudah balig, Mumayyiz (tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang dalam ibadah haji), Berakal sehat dan siap mental. Mampu secara ekonomi bermakna bahwa orang yang hendak berhaji harus memiliki biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), mampu membiayai hidup dirinya dan keluarganya, serta ada bekal masa depan sehingga tidak miskin sepulang haji 3. Dari pengertian ini, ada dua ruang lingkup biaya, yaitu biaya dirinya sendiri, dan biaya keluarga yang ditinggalkan. Sehingga, termasuk kriteria tidak mampu secara ekonomi jika seseorang berangkat haji tanpa meninggalkan biaya sepeserpun untuk keluarga yang ditinggalkan.
B. Rumusan Masalah Dalam hal hikmah ibadah haji terhadap ekonomi, tulisan ini ingin mengetahui: 1. Bagaimana sisi-sisi ekonomi dalam ibadah haji? 2. Apa hikmah haji terhadap Ekonomi, khususnya Indonesia?
C. Tujuan Tujuan tulisan yang berkenaan dengan hikmah ibadah haji terhadap ekonomi ini adalah:
2
Abdurrahman Al Jazari dalam Fiqh Haji, Departemen Agama RI direktorat Jenderal Penyelenggaraan haji dan Umrah Jakarta, hal. 13. 3 Ma’mun Efendi Nur, op.cit, Hal 6.
7
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
1. Untuk menjelaskan sisi-sisi / aspek-aspek ekonomi dalam ibadah haji. 2. Untuk menjelaskan hikmah-hikmah haji terhadap Ekonomi, khususnya Indonesia.
D. Manfaat manfaat yang diharapkan dari tulisan tentang hikmah ibadah haji terhadap ekonomi ini adalah: 1. Bagi pemerintah, dapat mengambil manfaat dalam hal mengambil peluangpeluang usaha ekonomi terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. 2. Bagi jamaah, bermanfaat untuk mengerti hikmah ekonomi ibadah haji dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari hari pasca haji.
II.
Analisis dan Pembahasan A. Sisi-Sisi Ekonomi dalam Fase Haji
Dalam Ibadah haji, terdapat sisi-sisi ekonomi, yang dapat digolongkan kepada 3 bagian besar, yaitu sisi –sisi ekonomi pra haji, saat haji dan pasca haji.
1. Sisi-Sisi Ekonomi Pra Haji Sebelum melaksanakan ibadah haji, sudah terdapat aspek dan dampak ekonomi terhadap keputusan yang diambil dalam merencanakan perjalanan ibadah haji, yaitu: a.Persiapan ekonomi jamaah haji (Harta setoran haji harus halal) 1). Konsep Harta dalam Islam Harta merupakan unsur pokok dalam kehidupan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 5 yang artinya “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”. Disamping unsur pokok kehidupan, harta juga menjadi kebanggaan manusia, sehingga manusia berlomba-lomba untuk mendapatkannya “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu anak anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik” (Qs Ali Imran: 15).
8
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
2). Defenisi Harta Dilihat dari segi ta’rif dan definisi4: 1. Harta adalah segala sesuatu yang dimiliki manusia. 2. Harta adalah kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki oleh perusahaan. 3. Harta adalah segala yang dimiliki oleh orang perorangan atau sekelompok orang berupa barang, harta perniagaan, tanah, uang, atau hewan ternak. 4. Harta adalah benda yang dapat disimpan, dikumpulkan dan diambil manfaatnya.
3). Kepemilikan Harta Konsep kepemilikan harta dalam Islam adalah kepemilikan “Istikhlaaf” (menguasai), bukan kepemilikan mutlak. Manusia sebagai “mustakhlafiin” memiliki arti bahwa manusia hanyalah diberi kekuasaan mengelola dan mendayagunakan harta itu. “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (Qs 57:7). Konsep kepemilikan harus didasarkan atas keyakinan bahwa setiap orang yang memiliki kekuasaan pada hakekatnya adalah pemegang amanat (Qs 3:26), dan seluruh harta benda hanyalah milik Allah dimana manusia hanya berhak mengelolanya (Qs 24:33), serta di dalam harta milik seseorang ada hak orang lain yang wajib ditunaikan (Qs 51:19). Atas dasar itu, maka terdapat beberapa konsekuensi, pertama, Manusia harus menegakkan kekhalifahan itu menurut petunjuk dan aturan syariatNya, bukan menobatkan dirinya sebagai penguasa yang bertindak sebagai pemilik mutlak bumi (Qs 5:49); kedua, Manusia harus saling tolong menolong (ta’awun) dan saling menanggung (takaful) antara sesama, dimana sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian lainnya dengan cara memanfaatkan rezeki Allah yang telah dianugerahkan kepada mereka (Qs 9:71); ketiga, Menjauhi sifat boros dan mubazzir dalam menggunakan harta (Qs 17:26-27), keempat, Adanya peredaran harta, tidak hanya bertumpuk pada segelintir orang saja (Qs 59:7). Terkait dengan harta yang dipersiapkan untuk berangkat menunaikan ibadah haji, maka harta tersebut harus halal, tidak diperoleh dengan cara Korupsi, Kolusi, Menipu, Manipulasi, serta cara-cara kotor lainnya. Kalau Harta setoran haji halal, maka: Haji Mabrur. Kalau Harta setoran haji haram, maka: Haji Mardud Ketika seseorang akan berhaji keluar dari rumah dengan nafkah (ongkos haji) yang baik (halal) kemudian dia meletakkan kakinya di atas kenderaan 4
lihat Al-Qamus Al Muhith, Al-Mu’jam Al Wasith, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
9
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
lalu mengucapkan “Aku sambut panggilan-Mu yang Allah, aku sambut panggilan-Mu”, tiba-tiba terdengar suara dari langit “Aku sambut panggilanmu dan dua kebahagiaanmu, bekalmu dari yang halal, dan kenderaanmu halal, hajimu mabrur tidak tercampur dengan dosa”. Dan apabila seorang yang akan berhaji keluar dari rumah dengan bekal yang haram maka ketika dia naik kenderaan lalu mengucapkan “Aku sambut panggilan-Mu yang Allah”, tiba-tiba terdengar suara dari langit “ Tidak, Aku tidak menyambut panggilanmu dan engkau tidak mendapatkan dua kebahagiaan, bekalmu dari harta yang haram dan nafkahmu haram, hajimu tercampur dengan dosa, tidak mabrur (HR Thabrani dari Abu Hurairah).
Karena harta yang dibawa haji adalah kepemilikan individu, maka syaratnya adalah harus halal cara mendapatkannya, kemudian harus halal dari barang yang diusahakan (Barang yang diusahakan bukan barang haram), memanfaatkan harta tidak boleh mengganggu orang lain, dalam memanfaatkan harta hendaknya memperhatikan maslahat umum, serta memenuhi kewajiban berinfaq dan bersedekah (Qs 2:167). b. Melibatkan pengusaha kecil dan menengah Hal ini berarti memberikan kesempatan kepada masyarakat pengusaha kecil menengah untuk menyediakan perlengkapan-perlengkapan haji (peci, baju seragam, sendal, dll), dengan akad Salam atau Istisna’, yang hanya mungkin jika bank nya Bank Syariah. melalui cara ini, maka usaha kecil menengah akan terangkat secara ekonomi. Negara yang berhasil dalam hal ini adalah China yang menggalakkan usaha kecil untuk produksi-produksi mereka. Akad salam dapat ditempuh dengan cara, Depag melalui bank syariah membeli perlengkapan haji dari masyarakat (usaha kecil dan menengah) dengan membayar uangnya terlebih dahulu, kemudian barangnya diserahkan belakangan ke bank sesuai dengan waktu yang disepakati. Lalu, Depag membelinya dari Bank Syariah. Sementara akad Istishna’ dapat ditempuh dengan cara, Depag melalui bank syariah memesan perlengkapan haji ke masyarakat (usaha kecil dan menengah) dengan spesifikasi tertentu terlebih dahulu, kemudian masyarakat membuat barang-barang perlengkapan tsb dan kemudian menjualnya ke Bank Syariah dengan harga yang telah disepakati. Lalu, Depag membelinya dari Bank Syariah.
c. Memberikan jatah TEMUS Hal ini bermakna, bahwa Depag memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia untuk menjadi tenaga musim haji (TEMUS). Temus ini terdiri dari dua bagian, ada yang berasal dari dalam negeri dan ada yang berasal dari luar negeri.
10
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
Temus yang berasal dari dalam negeri terdiri dari pegawai beberapa departemen terkait. Hal ini sangat bermanfaat bagi pegawai. Sebagai apresiasi atas kinerja para pegawai departemen terkait, maka temus ini perlu untuk dijaga keberlangsungannya. Temus yang berasal dari luar negeri terdiri dari mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah dan sekitarnya, serta muqimin (orang Indonesia yang tinggal di Saudi) Aqad yang digunakan terhadap tenaga musim haji ini adalah akad Ijaroh. Akad Ijaroh adalah akad mempekerjakan tenaga orang dan membayar upahnya sesuai dengan upah yang disepakati. Direkrutnya mahasiswa menjadi TEMUS merupakan kontribusi langsung dalam membantu mahasiswa untuk membiayai kuliahnya dan membiayai hidupnya di negeri orang. Banyak hal-hal positif dari merekrut mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri menjadi TEMUS, seperti: Energik karena masih muda dan dapat berkomunikasi bahasa Arab dengan baik.
2. Sisi-Sisi Ekonomi Ketika Haji Ketika melaksanakan ibadah haji, terdapat aspek dan dampak ekonomi terhadap beberapa peristiwa dalam melaksanakan perjalanan ibadah haji, yaitu: sedekah, badal haji, dam dan asuransi haji.
a. Sedekah Diantara amalan khusus untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama berhaji. Rasullullah SAW pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, Beliau menjawab: “Memberi makan dan berkata-kata baik” (HR Baihaqi).5 Bersedekah juga akan mendapatkan pahala berlipat-lipat, minimal 700 kali (Qs Al-Baqarah: 261). Bahkan berkata-kata baik lebih baik daripada memberi sedekah dengan menyakiti hati orang yang menerima sedekah (Qs AlBaqarah: 263). Memberi sedekah dengan menyakiti hati orang yang menerima sedekah, adalah ciri orang riya dan tidak beriman dengan hari akhir (Qs Al-Baqarah : 264). Disamping sedekah, juga dianjurkan untuk membantu teman sesama jama’ah dari segi materi. Bentuk membantu ini bisa bermacam-macam, diantaranya membantu jama’ah yang kehilangan uangnya, dll. Bersedekah dan bantu membantu ini mempunyai hikmah menghilangkan sifat egoistik dan menumbuhkan kebersamaan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.
5
dihukumi Shahih oleh Al-Hakim dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits ash-Shahihah 3/262
11
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
b. Badal Haji Badal Haji adalah Haji yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal atau karena udzur baik jasmani dan rohani yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya sehingga ia tidak dapat melaksanakannya sendiri6. Badal haji merupakan suatu instrument distribusi kekayaan, dimana orang kaya yang punya harta dapat meminta seseorang yang kuat fisiknya untuk membadal hajinya dengan sejumlah upah yang disepakati.
c. Dam Dam menurut bahasa artinya Darah. Dam menurut istilah artinya adalah menyembelih binatang ternak (kambing, unta atau sapi) di tanah haram dalam rangka memenuhi ketentuan manasik haji 7. Ada dua jenis dam, yaitu : (1) Dam Nusuk, dam yang dikenakan karena ketentuan, misalnya : haji tamattu’ dan Qiran, (2) Dam Isa’ah, dam yang dikenakan karena pelanggaran seperti melanggar larangan ihram dan meninggalkan salah satu wajib haji8. Dam merupakan suatu instrument distribusi kekayaan. Hal ini disebabkan karena orang yang kena dam, memberi makan orang miskin, melalui dam nya itu.
d. Asuransi Haji “Bahwa perjalanan haji mengandung resiko berupa kecelakaan dan kematian, dan untuk meringankan beban risiko tersebut perlu adanya asuransi”, merupakan salah satu pertimbangan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan Fatwa no: 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi haji9. Akad asuransi haji adalah akad tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jama’ah haji sebagai pemberi tabarru’ dengan asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah10. Asuransi ini sangat bermanfaat bagi jamaah haji maupun keluarga yang ditinggalkan.
3. Sisi-Sisi Ekonomi Pasca Haji
6
Departemen Agama RI, Op.Cit. hal. 92 Departemen Agama RI, Ibid. hal. 85 8 Hasan Ayub, Fiqhulbadat al-Hajj Penerbit Darul Ulum Al-Haditsah Beirut, juz 3, hal. 501. 9 Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, edisi revisi tahun 2006, diterbitkan atas kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI- Bank Indonesia, hal. 253. 10 Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, ibid, hal. 261. 7
12
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
Setelah melaksanakan ibadah haji, tentunya semua jama’ah mengharapkan haji mabrur. Menurut Imam Hasan Al-Bashri, haji mabrur berarti adanya perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan menjadi panutan masyarakat11. Lebih lanjut, Beliau mengatakan “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat”12. Haji mabrur tercermin dari suksesnya pelaksanaan ibadah haji yang dilaksanakan oleh Pemerintah, asosiasi haji, KBIH, dll. Adapun aspek dan dampak ekonomi setelah melakukan ibadah haji adalah: a. Disiplin Membayar Zakat Orang yang berharap haji mabrur adalah orang yang beriman setelah kembali dari haji dan semakin bertambah keimanannya. Ciri-ciri orang yang beriman adalah disiplin membayar zakat (Qs Al-Baqarah 277). Zakat itu ibadah mahdoh, dikaitkan dengan sholat di banyak ayat, tetapi menariknya, zakat juga dikaitkan dengan riba. Artinya, selain punya dimensi mahdoh, zakat juga membersihkan diri dari kemusyrikan (Qs Fushilat ayat 7). Di antara ciri musyrik dalam ayat 7 itu adalah tidak mau bayar zakat dan tidak percaya akherat. Bicara zakat bukan hanya sekedar bicara tentang berbagi, tapi juga bicara multidimensi (keimanan, ukhuwwah, dll). Dan ternyata, menurut kajian ekonom barat, sharing based economy itu adalah cara-cara terbaik mengatasi krisis. Misalnya riset Smith Bankler, mengatakan bahwa ada hubungan positif antara semangat berbagi dengan tingkat produktivitas (economic growth). Sehingga, ketika menghadapi krisis, yang harus dipaksa untuk berbagi itu adalah kelompok kaya. Dan itulah zakat, suatu instrument pemaksaan untuk berbagi. Jadi, sharing based economy itu sudah ada, dan sudah diajarkan sejak abad 14 yang lalu. Menurut riset yang dilakukan Beik (2010), zakat yang telah disalurkan di Indonesia, benar-benar mengurangi kadar kemiskinan mustahik (penerima zakat). Berdasarkan penelitian lapang yang dilakukan pada bulan februari sampai Juli 2008 terhadap 104 rumah tangga miskin penerima manfaat program BAZNAS, yang dipilih secara acak di DKI Jakarta, ditemukan bahwa tingkat keparahan kemiskinan mustahik dapat dikurangi dengan zakat13. Hal ini berdasarkan penurunan nilai Sen index (19,30%) dan FGT index (27,96%)14.
b. Kesediaan Memberikan Harta kepada yang Membutuhkan
11
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif. Gema Insani Press Jakarta, 2003 hal. 129. At-Tarikh Al-Kabir 3/238, Al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an_Nadawi, Darul Fikr. 13 Harian Republika, 14 Juni 2010 14 Sen Index dan FGT (Foster-Greer and Thorbecke) index adalah ukuran untuk mengukur tingkat keparahan kemiskinan. 12
13
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
Orang berpredikat haji mabrur adalah orang yang sangat mencintai muslim lain karena Allah. Ia dengan senang hati menolong dan membantu sesama, dengan cara memanfaatkan rezeki Allah yang telah dianugerahkan kepada mereka (lihat Qs 9:71). Jika terdapat sanak saudara, kerabat, tetangga yang membutuhkan, maka dia tidak segan-segan untuk mengulurkan tangan membantunya. Bentuknya dapat berupa Infaq, sedekah dan Manihah. Konsep awal dari manihah ini adalah sapi, dimana orang boleh mengambil susu sapi itu. kemudian konsep ini dikembangkan secara lebih luas, yang barangkali bisa mencakup semua sector, misalnya sektor pertanian. Jamaah haji yang mempunyai lahan luas, dapat digunakan fasilitas-fasilitasnya untuk dinikmati masyarakat, misalnya membebaskan masyarakat menanam tanaman di lahan tersebut dan menikmati hasilnya. Infaq, sedekah dan Manihah ini akan sangat bermanfaat untuk melakukan redistribusi kekayaan dalam suatu masyarakat.
c. Memperbanyak investasi akherat dengan memperbanyak wakaf Orang berpredikat haji mabrur adalah orang sangat gemar berinvestasi untuk akherat. Dia akan zuhud terhadap dunia. Oleh karena itu, Haji mabrur adalah haji yang setelah pulang haji memperbanyak wakaf, baik wakaf barang, maupun wakaf tunai. Waqaf tanah di Indonesia sebanyak 358,710 lokasi dengan luas tanah 1,538,198,586 M2, atau kira-kira dua kali luas Singapura, dengan nilai sekitar 590 triliun rupiah. Belum lagi kalau dihitung tanah waqaf yang tidak terdata. Potensi ini belum termasuk potensi waqaf tunai. Jika waqaf tunai ini diamalkan oleh seluruh muslim yang telah menunaikan ibadah haji, maka jika setiap jemaah membayar waqaf tunai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dalam satu tahun (prediksi 200 ribu jamaah), akan terkumpul waqaf tunai sebesar Rp 20 milyar perbulan atau Rp 240 milyar pertahun. Maka, jika waqaf tunai ini mulai diamalkan tahun ini, maka dalam waktu 10 tahun ke depan, akan diperoleh waqaf tunai sebesar 18 trilyun 720 milyar rupiah. Wakaf ini akan membuat distribusi kekayaan terjadi dalam masyarakat dan menciptakan lapangan pekerjaan. Banyak lembaga pendidikan yang dapat hidup dan berkembang dari harta wakaf, misalnya Universitas Al-Azhar Cairo, dan Pondok Pesantren Modern Gontor. di Bosnia, waqaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7,000 orang melalui program Income Generation Waqf.
B. Hikmah Ekonomi Haji Ada beberapa hikmah ekonomi dari ibadah haji yang mencakup system produksi, konsumsi dan distribusi. Dari system produksi, tercipta peluang ekspor yang akan meningkatkan kekayaan negara. Sementara dari sisi konsumsi, haji mabrur akan mencintai pola konsumsi yang pertengahan (tidak boros dan tidak
14
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
kikir). Dari system distribusi, dengan adanya ibadah haji ini, tercipta distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. 1. Meningkatkan Kekayaan Negara melalui peningkatan Ekspor. Abdurrahman Ibn Khaldun (Abu Zayd) Ulama terkemuka kelahiran Tunisia (1332M), wafat di Kairo (1406M), menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi oleh Tingkat produksi domestik dan Neraca pembayaran yang positif. Jadi, lebih dari enam abad yang lalu, Ibn Khaldun telah menegaskan bahwa kekayaan Negara yang hakiki terletak di sector riel, bukan sector keuangan. Neraca Pembayaran positif akan meningkatkan kekayaan Negara. Jika produksi domestik tinggi dan efisien, maka supply akan lebih besar daripada demand. Akibatnya, kelebihan supply dapat diekspor. Karena efisien, maka harga yang terjadi adalah harga yang kompetitif. Adapun ekspor Indonesia yang punya potensi untuk dikirim ke Saudi adalah ekspor bahan-bahan sandang dan souvenir. Bahan sandang dan souvenir yang diproduksi secara efisien di dalam negeri, akan meningkatkan persaingan karena dapat diekspor dengan harga yang murah. Dapat dilihat pada Gambar 1, dengan tidak adanya ekspor, maka harga terjadi di garis P au, dengan kepuasan ada di titik A. Karena produksi sandang dan souvenir efisien, maka dapat memproduksi lebih banyak dengan harga yang lebih murah, sehingga tercipta ekxpor sandang dan souvenir sebesar (Y2-Y1) dengan harga baru, yaitu garis P tr. Dengan harga yang baru ini, maka kepuasan meningkat dari titik A ke titik B.
Gambar
1 . Neraca pembayaran Ibn Khaldun
Positif
Barang lainnya C A X1
X2
Pau
B
Ptr Y1
Y2
Sandang dan Souvenir
Melalui Gambar 1, ingin ditunjukkan bahwa konsep Ibn Khaldun lah yang dikembangkan menjadi konsep perdagangan international, dimana harga autarky (P au) yaitu harga yang terjadi ketika tidak ada perdagangan international lebih tinggi daripada harga trade (P tr), yaitu harga ketika terjadi perdagangan 15
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
internanional. Pertemuan Haji menjadi salah satu momen untuk melaksanakan perdagangan internasional. Pada akhirnya, perdagangan international ini akan meningkatkan kekayaan Negara.
2. Terciptanya Pola konsumsi Iqtishod Kepercayaan akherat pada haji mabrur itu pada akhirnya akan membentuk dua sikap dalam melakukan Konsumsi: (1) Haji mabrur akan menjadi orang yang iqtishod (moderate atau pertengahan). (2) Gaya hidup nya akan sederhana (simple life style). Inilah bedanya dengan Barat. Orang yang iqtishod adalah orang yang tidak boros membelanjakan hartanya dan tidak kikir, tetapi antara keduanya (Qs al Furqon: 67). Dengan demikian, gaya hidupnya akan sederhana, jauh dari sikap hedonism yang sangat mengagung-agungkan materi. Hal ini bertolak belakang dengan model ekonomi Barat yang sangat mengagungkan materi, meskipun diperoleh dengan cara eksploitasi. Jadi, model ekonomi Barat yang cenderung mengeksploitasi, tidak pantas diberi istilah ekonomi, tapi kalau boleh, penulis istilahkan dengan eksploitonomi (ekonomi yang mengeksploitasi), sementara model ekonomi islam yang menjaga sifat pertengahan inilah yang pantas disebut ekonomi. Pola pengeluaran konsumsi dalam Islam dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Budget Constraint Islami Y-keperluan akhirat A B C D
2,5% Penghasilan
E
X-keperluan dunia
Kebutuhan hidup sederhana
Dari gambar 2 diketahui bahwa konsumsi seorang muslim ada dua, yaitu untuk keperluan dunia dan keperluan akherat. Seorang muslim harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari penghasilannya. Selebihnya dapat digunakan untuk konsumsi keperluan dunia. Inilah batas minimal yang terletak di titik D. Tetapi, muslim yang terbaik adalah mereka yang mengeluarkan konsumsi untuk 16
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
keperluan dunia hanyalah sebatas kebutuhan hidupnya yang sederhana. Sisanya, dikeluarkan untuk keperluan akhirat (zakat, infaq, sedekah, waqaf, dll). Inilah pola konsumsi yang terbaik, yang digambarkan di titik B. Misalnya, Jika seseorang memiliki penghasilan 10 juta rupiah, dan kebutuhan hidupnya sederhana adalah 5 juta rupiah, maka yang 5 juta rupiah lagi hendaknya dimanfaatkan untuk keperluan akherat. Inilah contoh pola konsumsi terbaik bagi seorang muslim. Akan tetapi, bagi seorang muslim, terdapat pilihan-pilihan dalam melakukan konsumsinya. Sepanjang garis dari titik B ke titik D merupakan pilihan-pilihan seorang muslim untuk melakukan konsumsi atas pendapatan yang diperolehnya.
3. Terciptanya Pola Distribusi Melalui ibadah haji, tercipta distribusi kekayaan di dalam masyarakat, baik sebelum haji, ketika haji dan setelah haji. Distribusi yang terjadi sebelum haji dapat berupa pengalokasian petugas haji, pemberian order perlengkapan haji pada masyarakat pengusaha kecil dan menengah, dll. Distribusi kekayaan saat Haji berupa Badal haji, Dam, Infaq sedekah, dan Asuransi Haji. Distribusi kekayaan pasca Haji terbagi atas 3 ukuran, pertama, wajib, yaitu: Zakat dan waris. Kedua, Sukarela, yaitu: Infaq, sedekah, manihah dan waqaf, dan ketiga, Larangan, yaitu: Larangan riba dan larangan menimbun (termasuk spekulasi). Larangan menimbun di sini tidak hanya menimbun barang di pasar, tetapi dalam arti luas termasuk transaksi spekulatif, dan sebagainya. Oleh karena itu, memerangi kedua hal ini (riba dan menimbun) menjadi bagian penting. Kita tidak bisa di satu sisi mendorong zakat saja, sementara di sisi lain membiarkan system ekonomi berbasis riba ini tumbuh dan berkembang. Hal ini dikarenakan, system ekonomi berbasis riba tidak mendorong pertumbuhan ekonomi riel, bahkan menurunkannya. Dalam teori konvensional sendiri ada teori marginal Efficiency of Capital, yang menyatakan terdapat hubungan negative antara investasi sector riel dengan tingkat suku bunga. Inilah alasan kenapa penting mendorong perbankan syariah. Sejelek-jeleknya perbankan syariah, Financing to deposit Ratio (FDR) sangat tinggi, lebih dari 90% yang artinya uang itu mengalir ke sector riel. Kalaupun mampir di pasar keuangan, ujungnya pasti mengalir ke sector riel karena menurut hasil penelitian, pembiayaan syariah berkorelasi positif dengan pertumbuhan sector riel15. Inilah barangkali hikmah kenapa Allah mengatakan bahwa Riba tidak akan menambah di sisi Allah (Qs Ar-Rum ayat 39).
a. Distribusi dalam Ekonomi Islam
15
Lihat skripsi Qurroh ‘Ayuniyyah di Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2010 dengan judul “Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Pertumbuhan Sektor Riil di Indonesia”.
17
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
Aspek distribusi inilah yang menjadi biang kerok terjadinya KETIDAK ADILAN dalam bidang ekonomi. Kalau dilihat sejarah revolusi buku-buku teks mikro dan makro, maka ada satu topik yang hilang, yaitu topik tentang distribusi. Ada beberapa analisa yang menelaah mengapa topik distribusi ini tidak menjadi satu fokus yang khusus. Walaupun kemudian di era 80-an muncul suatu aliran yang disebut dengan Development Economics yang sebenarnya juga berangkat dari konsep distribusi. Namun demikian, ternyata apa yang digambarkan dalam konsep itu tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang menjadi perhatian ajaran Islam. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian system ekonomi konvensional yang dibangun saat ini melahirkan kesenjangan yang luar biasa. Sudah banyak riset yang menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan. Bahkan dalam konteks Indonesia sendiri, data BPS menunjukkan bahwa angka kesenjangan pendapatan mulai tahun 1999 hingga 2007 menunjukkan peningkatan pada Indeks Gini16. Terjadi peningkatan indeks gini sebesar 0.5 dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Artinya kesenjangan itu semakin meningkat.
b. Visi Ekonomi dari Distribusi Manusia secara natural diberi Allah skill dan kemampuan yang berbeda-beda. Hal itu dinyatakan secara eksplisit dalam banyak ayat. Hal ini pada dasarnya yang namanya ketidakmerataan merupakan sesuatu yang alami. Akibat adanya perbedaan-perbedaan tadi, maka secara ekonomi, ada perbedaan pendapatan dan kekayaan. Dalam Qs Al-An’am ayat 165 dijelaskan bahwa akibat adanya perbedaan-perbedaan skill dan kemampuan tadi, muncul kelompok yang lebih mampu mengakses kekayaan dibandingkan kelompok yang lain. Jadi, ada kelompok kaya dan ada kelompok miskin, dimana kekayaan dan kemiskinan itu merupakan ujian dari Allah SWT. Dalam Qs 43 ayat 32, secara eksplisit Allah mengatakan adanya perbedaan antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia yang lain, dimana kelompok manusia yang satu itu mempengaruhi dan bertanggungjawab terhadap kelompok manusia yang lain. Sehingga dalam konteks ini dimungkinkan adanya hubungan antara employee-employer relationship, capital-labor relationship, dsb. Hubungan-hubungan merupakan bagian dari sunnatullah. Konsep ini harus dipahami sehingga ketika bicara keadilan dalam distribusi ekonomi, umat Islam tidak menganut paham sosialis, komunis, dsb. Dalam Qs 43 ayat 32, digambarkan bahwa pendapatan atau penghasilan seseorang itu bergantung pada usaha yang dilakukannya. Artinya, ketika bicara kue kekayaan, sangat bergantung pada tingkat kontribusi dari orang tersebut. Dalam Islam, ada hubungan positif antara kerja dan penghasilan. Namun di sisi lain, secara maqasid syariah, ajaran Islam itu menginginkan bahwa walaupun ada perbedaan-perbedaan ini, tetapi setiap orang itu mesti terjamin kebutuhan pokoknya. Berangkat dari pemahaman ini, Islam mengajarkan bahwa sirkulasi kekayaan itu tidak boleh terkonsentrasi pada 16
Indeks Gini adalah ukuran untuk mengukur kesenjangan pendapatan, dimana semakin tinggi nilainya, maka kesenjangan semakin meningkat.
18
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
sekelompok kecil masyarakat. Kalau itu terkonsentrasi, maka peluang tidak terpenuhinya tingkat minimal hidup akan semakin besar. Ada korelasi yang kuat antara sirkulasi kekayaan dengan pemenuhan kebutuhan minimal. Oleh karena itu, Islam tidak membolehkan kekayaan itu hanya terkonsentrasi di segelintir orang, sementara di sisi lain, Islam mengajarkan konsep yang sangat menarik yaitu di dalam harta itu terdapat hak orang lain. Konsep ini tidak terdapat dalam konsep ekonomi apapun, kecuali ekonomi Islam. Artinya, Islam memaksa orang untuk berbagi. Ini merupakan titik berangkat (visi) distribusi dalam ekonomi Islam.
III.
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan Dalam Ibadah haji, terdapat sisi-sisi ekonomi, yang dapat digolongkan kepada 3 bagian besar, yaitu sisi –sisi ekonomi pra haji, saat haji dan pasca haji. Sisi-sisi ekonomi Pra haji mencakup perbekalan harta yang dibawa untuk ibadah haji harus harta yang halal, tidak diperoleh dengan cara korupsi, manipulasi, dsb. Diantara syarat kehalalan harta itu adalah, halal cara mendapatkannya. Aspek lain adalah memberikan kesempatan kepada usaha kecil untuk menyediakan perlengkapan-perlengkapan haji, dan kesempatan kepada warga Negara baik di dalam dan luar negeri untuk menjadi tenaga musim haji. Adapun sisi ekonomi ketika haji adalah sedekah, badal haji, dam. Termasuk dalam aspek ekonomi ketika haji adalah asuransi haji. Sedangkan sisi-sisi ekonomi pasca haji adalah disiplin membayar zakat, kesediaan member harta kepada yang membutuhkan (infaq, sedekah dan manihah). Memperbanyak investasi akherat dengan memperbanyak zakat. Ada beberapa hikmah ekonomi dari ibadah haji yang mencakup system produksi, konsumsi dan distribusi. Dari system produksi, tercipta peluang ekspor yang akan meningkatkan kekayaan negara. Sementara dari sisi konsumsi, haji mabrur akan mencintai pola konsumsi yang pertengahan (tidak boros dan tidak kikir). Dari system distribusi, dengan adanya ibadah haji ini, tercipta distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
B. Saran Untuk pelaksanaan ibadah haji ke depan, perlu diambil tindakan nyata seperti yang diuraikan dalam tulisan ini. Ini merupakan tugas dari direktur jenderal penyelenggaraan Haji kementrerian agama untuk merealisasikan ide-ide dan wacana yang digulirkan.
19
Tanjung – Hikmah Ibadah Haji Terhadap Ekonomi Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 1 No. 1, September 2010 pp. 6-20 Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh. 2003. Tanya-jawab tentang Rukun Islam. Penerbit Kerajaan Saudi Arabia, Departemen Urusan Islam dan Wakaf, da’wah dan penyuluhan, Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta. Ali Ahmad Al-Jurzawi, Syaikh. 1997. Hikmah at-Tasyri’ wa Falsagatuhu. Penerbit Dar al-Fikr, Beirut Lebanon. Abdurrahman Al Jazari dalam Fiqh Haji, 2009. Departemen Agama RI direktorat Jenderal Penyelenggaraan haji dan Umrah Jakarta. Amiruddin Aam, 2006. Bedah Masalah Kontemporer Ibadah dan Muamalah. Penerbit Khazanah Intelektual, Bandung. At-Tarikh Al-Kabir 3/238, Al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an_Nadawi, Darul Fikr. Hafidhuddin, Didin. 2003. Islam Aplikatif. Gema Insani Press. Jakarta. Hafidhuddin, Didin dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Syariah Dalam Praktik. Gema Insani Press. Jakarta. Hasan Ayub, Fiqhulbadat al-Hajj Penerbit Darul Ulum Al-Haditsah Beirut. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, edisi revisi tahun 2006, diterbitkan atas kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI- Bank Indonesia. Mahalli, Ahmad Mudjab. Manar. Yogyakarta.
2004.
Menyingkap rahasia Amal Shalih. Penerbit Al-
Ma’mun Efendi Nur, 2006. Menuju Bait Allah dan Medinah Rasul Allah. Perwataatmadja, Karnaen dan Hendri Tanjung. 2007. bank Syariah, Teori, Praktik dan Peranannya. Penerbit Celestial Publishing. Jakarta. Qurroh ‘Ayuniyyah. 2010. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Syariah dan Konvensional terhadap Pertumbuhan Sektor Riil di Indonesia. Skripsi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Tidak dipublikasikan.
20