HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum IPDC IPDC adalah sebuah lembaga pendidikan dengan misi mengembangkan asimilasi pengetahuan dan kemampuan untuk membangunnya dan membentuk pribadi yang kritis dan bertanggung jawab, dengan pelayanan yang rendah hati dan cuma-cuma kepada orang lain terutama mereka yang sangat membutuhkan (Statuta IPDC: 5). Misi ini memerlukan iklim
universitas
yang
memiliki
budaya
akademik
dan
menghargai nilai-nilai dan etika akademik. Pengembangan iklim ini menjadi penting artinya bagi penjaminan mutu proses pembelajaran yang melibatkan interaksi yang dinamis antara dosen sebagai fasilitator dan mahasiswa sebagai pembelajar yang memerlukan pendampingan. IPDC menciptakan suasana yang kondusif bagi kegiatan akademik, interaksi antara dosen dan mahasiswa, antara sesama mahasiswa, antara sesama dosen atau karyawan yang mendorong mereka menjadi pribadi yang proaktif, kritis, inovatif, dinamis, dan etis dalam terang karisma Santa Magdalena dari Canossa (Faculty Manual IPDC 2012:6). IPDC menjunjung
tinggi
etika
dan
budaya
akademis
sebagai
pedoman berperilaku dan berinteraksi bagi civitas akademik dalam mewujudkan visi misi melalui kegiatan pembelajaran, bukan
hanya
untuk
membentuk
intelektual
mahasiswa
namun terlebih bagaimana membentuk hati dan menjadi pribadi yang utuh dalam keluarga maupun negara. Selain itu IPDC menyediakan sarana dan prasarana yang berkualitas 1
untuk
mendukung
kegiatan
keberhasilan
monitoring
dan
akademik
evaluasi
mendorong
untuk
menjamin
akuntabilitas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan akademis. Observasi peneliti menunjukkan kehidupan kerja yang tertib. Karyawan di IPDC biasanya mulai kerja dari 08.00 sampai 17.00, dengan jam istirahat antara jam 12.00-13.00. Selama jam istirahat umumnya karyawan menggunakan waktu tersebut untuk makan siang ke berbagai rumah makan atau
warung.
Sebagian
karyawan
memilih
untuk
tetap
mengerjakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan. Profil usia karyawan cukup merata dari yang masih di bawah usia 30 tahun sampai dengan yang telah berusia di atas 50 tahun dan mereka sudah bekerjasama cukup lama. Semangat kerja karyawannya bervariasi, namun secara umum dapat dikategorikan dalam dua hal yakni, karyawan yang memiliki semangat kerja yang tinggi. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab, pun untuk
membantu
teman-temannya
dalam
menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan. Karyawan yang memiliki semangat kerja yang rendah, pada umumnya mereka yang tergolong dalam kelompok
ini
menampakkan
karakteristik
pribadi
yang
cenderung kurang bersemangat. Mereka bekerja tidak lebih dari hanya apa yang dipercayakan kepada mereka. Inisiatif untuk melakukan tugas lebih dari yang dipercayakan kepada mereka sangat rendah. Suasana kerja itu di bentuk juga oleh budaya Canossian yakni rasa kekeluargaan yang begitu tinggi. Budaya ini 2
menciptakan suasana yang kondusif bagi kegiatan akademik, interaksi antara dosen dan mahasiswa, antara sesama dosen dan karyawan yang mendorong mereka menjadi pribadi yang proaktif, etis dan bertanggung jawab, serta melayani dengan sikap rendah hati dalam terang semangat Santa Magdalena dari Canossa, pendiri Kongregasi Canossian. Kondisi Perilaku OCB/DOCB Berdasarkan hasil wawancara dengan model Story Telling dan observasi yang dilaksanakan satu setengah hingga dua bulan (Desember 2013 sampai Februari 2014) di IPDC ditemukan fakta yang dapat digunakan untuk membedakan kelompok karyawan yang berOCB tinggi dan yang berOCB rendah (atau DOCB). Karyawan yang OCBnya tinggi tampak melalui tindakan karyawan yang bekerja dengan lapang hati dan memberikan waktu untuk melayani dan bekerja dengan sungguh-sungguh
tanpa
menunggu
atasan
dan
ikut
memberikan ide dalam meningkatkan standar serta ikut terlibat dalam memperbaiki keadaan manajemen sehingga merekapun berkesempatan untuk belajar dari pengalamanpengalaman baru yang lebih membantu dan mengembangkan dirinya melalui tugas-tugas yang mereka lakukan secara sukarela. Disisi lain karyawan yang DOCB tampak dari tindakannya yang mengutamakan pekerjaanya sendiri dan sukar membantu orang lain. Namun dengan berjalannya waktu, norma IPDC ikut membentuk karyawan menjadi pribadi yang suka akan pekerjaan dan belajar rendah hati untuk saling membantu dalam kelompok. 3
Perbandingan OCB/DOCB Di bawah ini dapat dilihat tabel perbandingan antara kar yawan yang memiliki OCB dengan karyawan yang DOCB melal ui gambaran organisasi dan dari data empiris bahwa kelompo k-kelompok itu eksis, mereka masing-masing memiliki pola pe rilaku atau tindakan kerja yang berbeda. Tabel 2. Perbandingan Tindakan karyawan OCB/DOCB Kategori
Perbandingan OCB
Tindakan
Sumber:
DOCB
Kerja dengan lapang hati dan tidak menunggu atasan. Belajar dari pengalaman. Melayani dan memberikan waktu melampaui batas kerja Tepat waktu, Meningkatkan standar Terlibat memperbaiki keadaan manajemen. Hasil Olahan Data Primer (2014)
Tindakan
Karyawan
yang
Utamakan pekerjaannya sendiri. Kurang tepat waktu dan kurang terlibat dalam organisasi. Sukar membantu orang lain.
berperilaku
OCB
adalah
melibatkan diri dalam pekerjaan organisasi dan merasa puas dan senang dengan pekerjaan itu sendiri sehingga dengan sukarela memberikan waktu dan tenaga dalam melayani melampaui batas dengan lapang hati dan tanpa merasa terbebani. Merekapun ikut terlibat dalam organisasi dalam memperbaiki
manajemen
untuk
meningkatkan
standar
organisasi itu sendiri. Sedangkan bagi karyawan DOCB 4
mereka bersikap kurang puas dengan kebijakan yang ada dan merasa kurang dilibatkan dalam organisasi sehingga mereka lebih
mengutamakan
pekerjaannya
sendiri
dan
sukar
membantu teman kerja sendiri, juga kurang terbuka untuk melibatkan diri dalam kegiatan organisasi. Tabel 3. Perbandingan Konsekuensi OCB/DOCB Perbandingan Kategori
OCB
Konsekuensi
DOCB
Berhasil Menjadi Mahir dalam melakukan pekerjaannya Bekerja dengan semangat. Mencintai pekerjaan Aktif dan kreatif Pekerjaan menjadi utama dan imbalan menjadi nomor dua.
Menuntut untuk memperbaiki sistem yang ada. Perlu Sosialisasikan setiap kebijakan. Perlu perjelas job description dan perbaikan manajemen organisasi. Imbalan menjadi nomor satu dari pada pekerjaannya.
Sumber: Hasil Olahan Data Primer (2014) Konsekuensi bagi karyawan yang berpilaku OCB adalah menjadi mahir dalam pekerjaannya dan dilakukannya dengan semangat, mereka tidak menunggu atasan tetapi aktif dan kreatif dalam pekerjaan, dan bagi mereka pekerjaan menjadi nomor satu dan imbalan menjadi nomor dua. “Saya bekerja lebih dari jam kerja biasanya yakni di atas jam 5. Saya bekerja demi keperluan mahasiswa dan
dosen
yang
memakai
komputer
dan
mengerjakanya dengan senang hati tanpa terbebani
5
suatu apapun” (Resp. A). Mereka dikatakan memiliki OCB tinggi karena suka bekerja keras, suka berkelompok atau bergotongroyong dan memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Mereka menikmati pekerjaan yang mereka lakukan sampai melupakan waktu untuk beristirahat. Mereka bahkan bekerja sampai melampaui batas waktu yang ditentukan (waktu kerja). Mereka tidak pernah mengeluh dan keberatan, jika harus bekerja lembur. Hal ini didorong oleh rasa tanggungjawab dan semangat kelompok.
Pada
umumnya
rasa
keterikatan
terhadap
kelompok di mana mereka berada cukup tinggi terutama di tempat
kerja
mereka.
Bilamana
organisasi
menghadapi
masalah atau tugas yang mendesak dan harus segera dituntaskan, maka para karyawan merasa terpanggil untuk ikut
memikul
beban
kerja
bersama-sama,
dengan
mengesampingkan kepentingan dan kesenangan pribadi. Sedangkan konsekuensi bagi karyawan DOCB adalah lebih mengutamakan pada imbalan dari pada pekerjaan itu sendiri, mereka merasa gaji yang mereka terima kurang memuaskan
dan
tidak
keluarganya.
Mereka
mencukupi
kurang
terlibat
bagi dalam
kebutuhan kegiatan
organisasi karena tidak merasa tidak dilibatkan maka mereka menuntut perlu memperbaiki sistem manajemen organisasi dan
memperjelas
job
description
yang
ada,
dan
perlu
dilibatkan dalam kebijakan-kebijakan baru yang ada di dalam organisasi. Selain itu, mereka lebih menomorsatukan imbalan daripada pekerjaan sehingga dampak yang terjadi adalah karyawan merasa gaji tidak cukup dan selalu merasa 6
kebijakan yang diambil merugikan, sehingga mereka meminta untuk dilakukan sosialisasi kebijakan. “Gaji
yang
minim
kurang
mendukung
untuk
kebutuhan kami sehari-hari” (Resp. D) Mereka juga merasa terbebani dengan pekerjaan ketika ada anggota organisasi yang absen yang menyebabkan mereka harus mengisi kekosongan tersebut. Hal ini bisa jadi alasan mengapa informan D menginginkan pimpinan lebih memiliki rasa percaya yang besar kepada stafnya. “Banyak kerjaan yang harus saya lakukan, bukan di satu tempat saja tapi kadang harus membantu teman lain yang absen atau tidak masuk kantor dan saya harus mengisi kekosongan tersebut” (Resp. D) Para karyawan yang berkarakteristik DOCB tersebut di atas
adalah
mereka
yang
kurang
berkomitmen
dalam
kehidupan mereka dan kurang mampu bekerjasama dalam berinteraksi dengan patner kerja ataupun lingkungan kerja di mana mereka berada. Mereka sibuk dengan pekerjaanya sendiri
dan
kurang
terbuka
pada
hal-hal
yang
perlu
dikerjakan bersama. Mereka ini perlu belajar membentuk kepribadiannya secara terus-menerus dalam keterbukaan pada lingkungan kerjanya sehingga terbentuk kerjasama di dalam organisasi termasuk di dalamnya kerjasama dengan teman
kerja.
Hal
lain
yang
juga
dibutuhkan
adalah
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan IPDC sehingga budaya lingkungan organisasi yang suka terbuka, rasa kekeluargaan dan bekerja dengan rendah hati, lama kelamaan ikut membentuk pribadi mereka walaupun kadang sulit dan 7
memerlukan proses waktu yang panjang. Tabel 4. Perbandingan Karakteristik Pribadi OCB Vs DOCB Perbandingan Kategori Karateristik Pribadi
OCB
DOCB
Pekerja keras, Suka membantu, Suka akan pekerjaan. Bertanggung jawab penuh Memberi yang terbaik, Peduli akan pekerjaan, Bekerja sesuai bakat dan talenta, Tulus dan tidak menuntut. Selalu bersyukur, Rasa memiliki terhadap pekerjaan.
Bukan pekerja keras, Bekerja karena kewajiban Terasa suntuk dengan pekerjaan. Kurang terbuka pada hal baru. Tidak puas dgn kebijakan. Mengeluh dengan gaji yang kecil Kurang tulus dalam bekerja.
Sumber: Hasil Olahan Data Primer (2014) Tabel
diatas
menunjukkan
bahwa
karyawan
yang
OCBnya tinggi adalah mereka yang pada dasarnya memiliki karakteristik kepribadian yang suka membantu dan suka akan pekerjaan. Pekerjaan bagi mereka merupakan sesuatu yang tidak bisa terlepas dari pribadinya dan menjadi suatu beban berat jika mereka tidak melakukan pekerjaan itu dengan baik, sehingga bekerja menjadi kecenderungan bagi mereka. Rasa suka akan pekerjaan menjadi dorongan bagi mereka untuk selalu bertanggung jawab dan bagi mereka
8
bekerja merupakan suatu keharusan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan mereka membantu orang lain dan suka bekerja keras. Orang yang bekerja keras adalah orang yang suka akan pekerjaannya; karena mereka suka akan pekerjaan, maka dengan mudah mereka membantu yang lain dan sulit melepaskan pekerjaan dan bertanggungjawab atasnya. Hal itu dapat dilihat dari hasil wawancara dari responden A dan C yang mengatakan: “Saya bekerja melebihi jam kerja saya dan itu saya kerjakan tanpa mengeluh karena saya suka dengan pekerjaan itu” (Resp. A). “Saya lebih merasa kerjaan itu milik saya dan saya merasa memiliki[nya]” (Resp. C). Pada saat yang sama, ditemukan karakteristik karyawan yang bekerja keras di mana mereka melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan memanfaatkan waktu luang untuk belajar dan tidak membuang waktu untuk melakukan sesuatu yang tidak berguna. Mereka ini tidak mudah putus asa dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya, bersikap ramah, peduli dan suka menolong rekan kerja, bersikap rendah hati dan tidak angkuh dalam setiap kesempatan. Pribadi pekerja keras ini juga tidak menuntut imbalan, artinya yang utama bagi mereka adalah pekerjaan dan imbalan bukan hal utama. Sedangkan
perilaku
DOCB
muncul
dalam
bentuk
tindakan yang lebih mengutamakan pada pekerjaannya dan mereka kurang kerja keras. Perilaku karyawan yang memiliki DOCB ini terungkap bahwa kurang terbiasa dalam keluarga dengan bekerja keras, kurang penghayatan pada budaya 9
kekeluargaan, ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan semangat organisasi dan kurang kepercayaan dari pimpinan. Mereka terlibat dan menaati norma-norma organisasi dan menghidupi
misi
organisasi
yakni
bertanggung
jawab,
melayani dengan rendah hati dan memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Namun, di sisi lain mereka menjalankan itu semua dengan berat hati karena karakteristik kepribadian mereka yang sering kali suka mengeluh dan merasa suntuk dengan pekerjaan-pekerjaan yang ada. Tabel 5. Perbandingan Konteks Kondisi Sosial dan Budaya Organisasi OCB/DOCB Perbandingan Kategori Kondisi Sosial
OCB
DOCB
Dukungan keluarga dan lingkungan Rasa kekeluargaan, Saling menghargai
Dukungan organisasi, Kepercayaan pimpinan, Organisasi Fasilitas yang mendukung Etika kerja yang bagus Rasa aman, Bekerja sama, Rasa kepercayaan, Cinta akan pelayanan Sumber: Hasil Olahan Data Primer (2014) Budaya
10
Lingkungan keluarga yang kurang mendukung, Lingkungan masyarakat yang kurang mendukung. Kurang adanya dukungan organisasi, Kurang Kepercayaan dari pimpinan Kurang adanya kerjasama.
Dari
tabel
ini terlihat
bahwa
semangat
kerja
dan
pembentukkan karakter yang menjadikan mereka memiliki OCB tinggi tidak terlepas dari lingkungan (keluarga dan budaya) asal karyawan tetapi juga oleh organisasi IPDC itu sendiri.
Dari
lingkungan
keluarga
dan
kondisi
sosial,
terungkapkan bahwa mereka yang memiliki OCB tinggi pada umumnya berasal dari keluarga yang sudah terbiasa dengan bekerja
keras,
suka
menolong
dan
memiliki
semangat
pelayanan yang tinggi. Mereka terbiasa bekerja tanpa terlalu mempedulikan upah yang mereka dapatkan. Bagi mereka pekerjaan
adalah
sebuah
bentuk
pelayanan.
Selain
lingkungan keluarga, sosial budaya juga memainkan peranan yang
sangat
kuat
dalam
rangka
membentuk
karakter
karyawan yang memiliki OCB tinggi. Semangat
bekerjasama
dan
kekeluargaan
ini
telah
dimiliki oleh masyarakat Timor Leste sejak lama. Namun bagi karyawan
yang
berperilaku
DOCB
terungkap
bahwa
lingkungan keluarga dan lingkungan social budayanya kurang mendukung dalam proses perkembangan mereka sehingga mereka sendiri kurang adanya keterbukaan pada nilai-nilai yang sudah tertanam di dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial sehingga membentuk perilaku-perilaku terbalik atau DOCB pada pribadi tersebut. Penanaman nilai– nilai moralitas etika dan rasa kekeluargaan telah diwariskan oleh nenek moyang sebagai bentuk peradaban masyarakat. Sejak dahulu daerah Timor dikenal sebagai daerah yang masyarakatnya suka bergotong royong, suka menolong, ramah dan suka bermusyawarah. Nilai–nilai dasar inilah yang telah 11
mendarah daging dalam diri para karyawan untuk melakukan pekerjaan penuh dengan tanggung jawab tanpa mengeluh dan ingin bekerja tanpa ada suatu paksaan dari pribadi karyawan tersebut. Nilai-nilai itupun mempengaruhi perilaku karyawan di tempat kerja dan diterapkan pada tingkatan yang berbeda. Hal
ini
mendorong
karyawan
yang
OCB
tinggi
untuk
memberikan kontribusi individu yang mendalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja. Mereka merasa bonus yang mereka peroleh adalah kemahiran dalam pekerjaan dan bertambahnya
pengalaman
kerja
mereka.
Perilaku
OCB
seperti menolong orang lain, menjadi sukarela untuk tugastugas ekstra, patuh terhadap peraturan-peraturan organisasi dan prosedur-prosedur di tempat kerja, merupakan bentuk perilaku
prososial,
yaitu
perilaku
sosial
yang
positif,
konstruktif dan bermakna membantu. Selain itu lingkungan IPDC juga memberikan kontribusi tersendiri dalam membentuk karakter dari karyawan yang memiliki OCB tinggi. Hal ini disebabkan oleh semangat dasar IPDC itu sendiri yang diambil dari semangat hidup Canossian yaitu cinta akan pelayanan dan kekeluargaan. Semangat inilah yang kemudian memotivasi semua anggota IPDC dalam membangun kerjasama dan menanamkan karakter pribadi yang mencintai pekerjaan dan bahkan menganggap pekerjaan itu
sebagai
pelayanan
cinta.
Semangat
ini
pula
yang
mendorong para karyawan untuk bekerjasama dalam suasana kekeluargaan, semangat ini disadari oleh karyawan sebagai pendorong bagi mereka dalam membentuk diri menjadi pribadi yang memiliki OCB tinggi. Selain itu hal yang 12
menunjang karyawan memiliki OCB tinggi adalah kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan. Bagi karyawan yang memiliki OCB tinggi, kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan IPDC merupakan sebuah semangat yang mendorong mereka untuk semakin bekerja dengan baik dan bertanggungjawab. “Gaya
kepemimpinan
kebutuhan
yang
staf/karyawan,
terbuka rasa
terhadap
percaya,
yang
diberikan kepada karyawan untuk mencoba, dan terlibat secara utuh sehingga dapat memfasilitasi karyawan dalam kegiatan organisasi” Bagi
karyawan
dalam
kelompok
ini,
kepercayaan
yang
diberikan dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab, kepercayaan
inilah
yang
memicu
mereka
semakin
bersemangat dalam bekerja. Iklim
IPDC
prasarana
yang
yang
memberikan
menjamin
didukung
dukungan oleh
sarana
adanya
rasa
kepercayaan dari pimpinan dan teman kerja menjadi pelajaran yang berharga bagi para karyawan. Ada rasa ingin belajar terus menerus sehingga tampak proses perubahan perilaku karyawan DOCB ketika bergabung dengan lingkungan kerja yang suka menolong dan peduli pada pekerjaan yang ada. Bagi karyawan ini bekerja merupakan kewajiban yang harus dikerjakan dan sebatas mengikuti norma-norma organisasi, namun
sebagai
kemampuan
makhluk
untuk
sosial,
memiliki
empati
mereka dan
mempunyai
terbuka
pada
lingkungan kerjanya dan menyelaraskan nilai-nilai yang dianutnya dengan nilai-nilai yang dimiliki IPDC yakni bekerja dan melayani dengan rendah hati dan penuh cinta. Mereka 13
yang awalnya suka mengeluh dan merasa terbebani akhirnya lama-kelamaan belajar dan dengan sendirinya menjadi pribadi yang terbiasa dan senang dengan pekerjaan yang ada. Selain itu, dengan melihat karyawan yang selalu disiplin,
mereka
yang sebelumnya suka telambat perlahan-lahan belajar untuk berdisiplin. Dalam
interaksi
sosial
terjadi
hubungan
saling
mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain. Melalui interaksi sosial, individu bereaksi membentuk pola sikap
tertentu
terhadap
lingkungan
organisasi
yang
dihadapinya. Proses terbentuknya perilaku DOCB diawali oleh adanya rasa kepercayaan dan dukungan organisasi dan teman kerja. Kepercayaan inilah yang mempengaruhi sikap DOCB, sehingga
kepercayaan
membentuk
sikapnya
terhadap dan
budaya
menguatkan
organisasi
niatnya
untuk
berperilaku sesuai dengan budaya organisasi dan belajar terus menerus sehingga pribadinya terbentuk dengan sikap-sikap positif dari teman kerjanya dan lingkungan kerja. Pada akhirnya
mereka
menjadi
terbiasa
dengan
lingkungan
kerjanya, walaupun bagi karyawan DOCB dibutuhkan proses waktu yang lama dan perlu adanya keterbukaan untuk belajar terus-menerus. Oleh karena itu baik karyawan yang memiliki OCB tinggi ataupun DOCB sama-sama memiliki keinginan
untuk
membantu
rekan
kerja
yang
sedang
kewalahan. Perbedaannya adalah jika karyawan yang memiliki OCB tinggi tulus membantu rekan lain yang membutuhkan sedangkan karyawan yang memiliki OCB
14
rendah ingin segera membantu rekan lain agar tampak bahwa dia telah outstanding dengan pekerjaannya dan juga telah membantu
rekan
kerja
sehingga
sudah
saatnya
dia
meninggalkan kantor untuk bekerja di tempat lain. Untuk menjelaskan mengapa ada perilaku OCB dan DOCB yang seperti digambarkan pada perbandingan hasil analisis
dari
tabel
diatas
terhadap
data
empiris
itu
mengajukan beberapa hal yang tampak di bawah ini yang membedakan dua perilaku karyawan yang berperilaku OCB dan DOCB. Berikut gambar dari penjelasan tersebut. Gambar 1. Pola Konstruksi OCB/DOCB Karakteristik
Individu:
Konsekuensi OCB
Kondisi Sosial Budaya
Tindakan
+
DOCB Budaya Organisasi
Sumber: Hasil Olahan Data Primer (2014) Gambar 1 menampilkan bagaimana perilaku OCB dan DOCB itu terbentuk melalui interaksi antara karakteristik individu, dimana karakteristik itu sendiri merupakan produk dari interaksi sosial dan budaya organisasi itu sendiri, yakni
15
-
melalui program-program pembinaan yang lebih dalam untuk membentuk karakter individu yang lebih baik dan dapat menghasilkan konsekuensi perilaku OCB dan DOCB yang berpengaruh pada lingkungan sosialnya; dikatakan karyawan OCB karena membuka diri pada lingkungan sosial dan budaya organisasi yang ada sehingga memengaruhi tindakan dan perilakunya yang ingin membantu dengan lapang hati dan memberikan diri secara sukarela untuk mengerjakan tugas-tugas yang ada tanpa batas dan ikut terlibat dalam memperbaiki keadaan manajemen. Sedangkan konsekuensi dari perilaku DOCB muncul karena kurang membuka diri pada lingkungan sosial maupun budaya organisasi sehingga tindakannya berubah menjadi kecewa terhadap lingkungan sosialnya yang menghasilkan tindakan-tindakan yang kurang menguntungkan, merasa terasing sehingga memunculkan perilaku yang aneh di dalam lingkungan kerja khususnya di IPDC. Walaupun karyawan yang OCB maupun DOCB berada dalam budaya dan lingkungan sosial yang sama namun masih ada karyawan yang berperilaku DOCB, hal ini dipengaruhi oleh hal lain yakni bukan normative tetapi yang actual ada didalam orang-orang yang kemudian menstimulasi mereka sehingga muncul DOCB atau kadang juga dalam masyarakat, ketika mengalami direl OCB ke DOCB lalu memunculkan tindakan-tindakan yang kurang menguntungkan, maka untuk memperbaiki pemulihan Sedangkan
kembali perilaku pada
perilaku melalui
kondisi
tersebut
pelatihan sosial
perlu atau
budaya
adanya
konseling. seharusnya
membentuk juga budaya organisasi namun pada penelitian ini 16
tidak ditemukan. Hasil lain yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa penyebab munculnya OCB adalah karyawan merasa adanya dukungan dari budaya organisasi yakni sistem nilai organisasi yang dianut, yakni diberi kepercayaan oleh pimpinan dan dukungan dari partner kerja mempengaruhi cara kerjanya dan berperilaku
sebagai
anggota
organisasi
yang
baik
di
lingkungan IPDC. Hal ini juga seperti yang dikemukakan oleh Sloat (Novliadi, 2007), bahwa di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah diisyaratkan dalam uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlakukan oleh para atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran, serta percaya bahwa mereka diperlakukan secara
adil
oleh
organisasi.
Keterikatan
terjadi
ketika
seseorang peduli dengan pekerjaannya secara kognitif atau secara
emosional
terhubung
dengan
karyawan
lainnya.
Tindakan karyawan yang OCB ini didukung juga oleh lingkungan organisasi IPDC yakni adanya rasa kepercayaan pimpinan pada karyawannya. “Perilaku
yang
diinginkan
antara
lain
adalah
perilaku karyawan yang loyal dan partisipatif, yang artinya bersedia bekerja sama dengan pimpinan dan rekan kerja, bersedia berkorban dan mudah diajak kerja sama, menawarkan bantuan bila diperlukan atau bila melihat ada yang membutuhkan tanpa mengeluh” (Resp G). Perilaku karyawan yang perlu aktif dalam kegiatan 17
organisasi dalam banyak hal, yang artinya bersedia bekerja sama dengan pimpinan dan rekan kerja, bersedia berkorban dan mudah diajak kerja sama, menawarkan bantuan bila diperlukan. Hal ini berarti mereka perlu menghilangkan sekat birokratis yang dapat mengurangi kerjasama tim yang kompak dan sinergis. Selain partisipatif, karyawan juga harus loyal kepada organisasi karena mereka bekerja untuk organisasi, sehingga harus memberikan waktu dan kemampuan terbaik untuk organisasi. Selain usaha melalui proses kepemimpinan partisipatif seperti yang diungkapkan di atas, dilakukan juga tindakan pembinaan oleh pimpinan (manajemen). Selain itu manajemen juga perlu melakukan tindakan antisipatif untuk mendapatkan karyawan yang memiliki OCB yang tinggi. Tindakan antisipatif ini dilakukan dengan cara melakukan seleksi karyawan yang ketat saat rekrutmen. Calon karyawan yang dipilih adalah karyawan yang memiliki kesamaan visi misi dengan IPDC. “Seleksi karyawan pada saat rekrutmen untuk menjadi staf diutamakan calon yang memiliki visi dan misi yang mirip dengan visi dan misi IPDC. Hal ini berarti tidak hanya difokuskan pada kemampuan dan skill, tapi juga pada karakteristik orang yang cenderung untuk lebih terlibat dalam organisasi dan mudah bekerja sama. (Resp G) Sedangkan karyawan yang memiliki DOCB memiliki ciri pribadi yang ingin selalu mencari kesibukan dengan orientasi bonus, kurang bersyukur dalam mendapatkan/menerima penghasilan, berkeinginan untuk selalu mendapatkan lebih 18
dan suka mengeluh. Karyawan ini kadang memisahkan diri mereka dari peran mereka dan menarik diri secara emosional dan kognitif, sehingga mereka tampil seperti robot dan tidak menunjukkan diri apa adanya. Konsekuensi dari perilaku DOCB ini adalah menyalahkan sistem manajemen yang kurang mendukung. Usaha yang telah dan akan dilakukan oleh pimpinan IPDC dalam meningkatkan OCB karyawan cukup bervariasi. Dalam hal ini, bagi karyawan yang DOCB, usaha yang dilakukan antara lain: mengembangkan sikap dan rasa memiliki melalui pelatihan-pelatihan dan acara-acara yang menumbuhkan kebersamaan. “Menumbuhkan kebersamaan:
sikap
memiliki
perayaan-perayaan
melalui
ulang
tahun,
outing untuk staf, karyawan dan dosen, pesta Institusi seperti hari jadi IPDC, hari pelindung IPDC, dimana diadakan bina keakraban. Bina keakraban adalah
kebiasaan
mengharuskan sehingga
dalam
pegawai
untuk
menjadikannya
Institusi
yang
bekerja
sama,
sebagai
karakteristik
institusi IPDC. Sikap ini juga ditimbulkan melalui pemberian
pelatihan
spiritualitas
Canossian,
tentang sebagai
karisma
dan
lembaga
yang
menyayangi IPDC, sehingga staf ikut menjiwai misi dan visi Canossian” (Resp G). Instrumen kepemimpinan yang digunakan dilakukan dengan
gaya
kepemimpinan
yang
terbuka
dan
bersifat
memberdayakan karyawan. Pemimpin juga melakukan usaha 19
yang bersifat memfasilitasi keterlibatan karyawan dalam aktivitas organisasi. Dengan kepemimpinan yang terbuka dan selalu
mengikutsertakan
karyawan
dalam
kegiatan
berorganisasi maka diharapkan karyawan akan semakin solid dan menyatu. OCB
yang
rendah
disebabkan
karena
sikap
dan
kepribadian karyawan yang kurang mendukung pencapaian OCB
yang
tinggi.
Kepribadian
merupakan
karakteristik
individu yang sulit untuk dapat diubah sehingga perilaku sikap yang dapat diintervensi oleh pemimpin. Upaya pimpinan untuk meningkatkan sikap karyawan yang memiliki DOCB adalah dengan menggunakan gaya kepemimpinan partisipatif dan memberdayakan karyawan yakni diajak untuk terus aktif berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi. Pembahasan Penelitian ini menemukan konsistensi antara perilaku empiris karyawan dengan lima dimensi perilaku OCB yang dikemukakan
oleh
Organ
et
al.
(2006)
yakni
perilaku
membantu orang lain (altruism), adanya ketelitian dan kehatihatian dalam bekerja (conscientiousness), perilaku yang sportif (sportsmanship), seperti tidak komplain dan memaksimalkan waktu yang dipergunakan dalam organisasi dengan bekerja melampaui batas waktu yang ditentukan, menjaga hubungan baik dengan patner kerja (courtesy) dan civic virtue (adanya kebijaksanaan warga).
20
Pembentukkan perilaku khususnya bagi karyawan yang memiliki perilaku OCB tinggi semakin hari semakin konsisten dan kematangan perilaku semakin kuat. Perilaku OCB itu bertumbuh
melalui
pelatihan-pelatihan
pembinaan
program-program yang
dilakukan
oleh
IPDC
dan
sehingga
membentuk perilaku karyawan lebih berkembang dan terus lebih baik sehingga mencapai pada tahap kematangan. Sedangkan karyawan yang berperilaku DOCB mengalami distorsi karena mempunyai karakteristik individu yang sudah menjadi bawaan dan kadang mengalami krisis atau gangguan pada karyawan DOCB yang kadang keluar dari rel, sebagai perilaku OCB yang konsisten, karyawan yang memiliki DOCB, meminta agar manajemen percaya kepada staf (karyawan) yang
menjalankan
dikemukakan
oleh
menginterpretasikan
pekerjaan. Beck
(1960)
pengalaman
Hal
ini
bahwa dalam
seperti jika hal
yang
seseorang apakah
ia
kompeten dan adekuat, pikirannya mungkin didominasi oleh skema”
jika
saya
tidak
melakukan
segalanya
dengan
sempurna, saya adalah gagal”. Sebagai akibatnya, ia bereaksi terhadap situasi dalam hal keadekuatan kendati pun hal tersebut tidak berhubungan dengan apakah ia kompeten secara pribadi atau tidak. Cara untuk memulihkanya melalui terapi kognitif behavioral yang merupakan salah satu bentuk
konseling yang bertujuan membantu klien agar dapat menjadi lebih sehat, memperoleh pengalaman yang memuaskan, dan dapat
memenuhi
gaya
hidup
tertentu,
dengan
cara memodifikasi pola pikir dan perilaku tertentu. Upaya pimpinan
untuk
terus
meningkatkan 21
karyawan
yang
berperilaku
DOCB
dengan
menggunakan
pendekatan
partisipatif. Diharapkan dengan para karyawan yang ikut secara aktif dalam kegiatan organisasi timbul rasa memiliki. Dari rasa memiliki kemudian mereka juga akan merasa tidak terasingkan di organisasi karena dilibatkan. Dengan rasa memiliki dan tidak asing maka kemudian akan meningkatkan kadar OCB karyawan yang tinggi dan dengan berjalanya waktu karyawan tersebut dibentuk oleh budaya orgnanisasi melalui pembinaan-pembinaan tentang kematangan diri dan pelatihan dalam organisasi yakni pemberian pelatihan tentang karisma dan spiritualitas Canossian, sebagai lembaga yang menyayangi IPDC, sehingga para karyawan ikut menjiwai misi dan
visi
Canossian
yang
membentuk
perilaku
tersebut
menjadi lebih baik. Karakteristik karyawan dengan DOCB tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena perilaku OCB adalah kesadaran pribadi dan tidak ada hukuman bagi yang tidak melaksanakannya. Hal ini seperti dijelaskan oleh Organ (dalam Purba dan Seniati, 2004) yang menegaskan bahwa OCB merupakan bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal
organisasi
tetapi
secara
agregat
meningkatkan
efektivitas organisasi. Hal ini berarti bahwa perilaku tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman. Sehingga OCB ini akan nampak seperti tuntutan hati nurani dari para karyawan yang bekerja di IPDC. Karena tidak ada kewajiban atau hukuman atas perilaku yang 22
ditunjukkan oleh karyawan yang memiliki OCB tinggi maka tidak heran jika jumlah karyawan yang memiliki OCB tinggi tidak banyak. OCB merupakan sikap ikut memiliki organisasi dan bertanggungjawab untuk memajukan dan memelihara kinerja organisasi melalui tindakan yang positif di luar peran formalnya sebagai karyawan, Organ et al. (2006) Karyawan yang memiliki OCB tinggi akan totalitas terhadap organisasi, bekerja sepenuhnya untuk organisasi. Karyawan seperti inilah yang sering mendapatkan promosi dari atasan/organisasi karena keloyalan mereka terhadap organisasi. Selanjutnya perilaku OCB merupakan suatu dinamika dimana suatu proses sosial digambarkan melalui tindakan dan interaksi individu, yang mana individu menciptakan secara terusmenerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif di mana dalam paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu (Bungin, 2010). Sebagai contoh persoalan gaji yang didapatkan
karyawan;
ada
sebagian
karyawan
yang
menyatakan gaji yang diterima sudah mencukupi dan tidak perlu bekerja di tempat lain, sedangkan sebagian yang lain menyatakan gaji yang diterima terlalu kecil dan tidak mencukupi kebutuhan sehingga mereka merasa perlu bekerja di tempat lain. Dengan bekerja rangkap di tempat lain, hal itu akan membuat konsentrasi karyawan terpecah sehingga tidak dapat memberikan usaha dan waktu yang maksimal untuk organisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada konstruksi sosial yang muncul sebagai akibat dari adanya interaksi sosial 23
dan situasi yang dihadapi oleh karyawan. Konstruksi OCB dalam suatu organisasi adalah memberikan perhatian pada individu
dalam
organisasi
untuk
membentuk
dan
merefleksikan keyakinan, kepentingan dan mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai yang melandasi individu untuk bertindak,
seperti
yang
oleh
dikemukakan
Berger
dan
Luckman (1966) bahwa proses sosial melalui tindakan dan interaksi
individu
dimana
individu
menciptakan
terus-
menerus suatu realitas yang dialami bersama secara subjektif. Penyebab
adanya
perilaku
DOCB
pada
karyawan
diperoleh dari pribadi karyawan itu sendiri yang kurang terbuka pada lingkungan sosial dan budaya organisasi itu sendiri. Menurut Organ (1995), terdapat bukti-bukti kuat yang mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu kondisi awal yang memicu terjadinya OCB. Selain itu menurut Sloat (Novliadi, 2007), di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan
merasa
lebih
ingin
melakukan
pekerjaannya
melebihi apa yang telah disyaratkan dalam uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlakukan oleh para atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran, serta percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasi. Hasil
lain
yang
ditemukan
dalam
penelitian
ini
berimplikasi pada rekrutmen calon karyawan untuk masa yang akan datang. Diharapkan manajemen dalam merekrut karyawan memperhatikan perilaku kepribadian yang baik. Meskipun kemampuan mereka baik, tetapi jika mereka tidak memiliki
komitmen
keorganisasian, 24
loyalitas
terhadap
organisasi atau kepribadian yang kurang baik, maka mereka dapat saja bekerja di luar organisasi untuk mengoptimalkan waktu kerja mereka.
25