19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Penyebab Berdasarkan Karakter Morfologi Dalam pengembangan jeruk di lahan basah, penyakit Busuk Pangkal Batang yang disebabkan oleh organisme mirip cendawan (fungal like organisme) Phytophthora spp., patogen ini tersebar di seluruh dunia dan menyebabkan kehilangan hasil 10-30 % produksi jeruk (Timmer et al. 2000). Serangan lanjut penyakit tersebut menyebabkan mengering dan rontoknya daun, bunga, dan buah serta kematian semua stadia tanaman di pembibitan maupun di lapangan. Gejala spesifik dari BPB yaitu berupa busuk pada batang bawah atau di sekitar mahkota akar dekat dengan permukaan tanah. Busuk batang ditandai oleh jaringan batang dan kambium berwarna coklat-kekuningan. Di permukaan batang, infeksi sering nampak seperti terlokalisir atau sering kelihatan tidak meluas. Sebenarnya, infeksi mungkin meluas pada kambium yang menyebabkan jaringan batang retak, hancur dan mengeluarkan gumosis. Pada batang diatas permukaan tanah, gumosis dapat terjadi berlebihan, sedangkan dibawah permukaan tanah nampak pembentukan gumosis berkurang karena biasanya terabsorb oleh air tanah (Ditjen perlintan Hortikultura 2006; Graham and Timmer 2008). Gum yang telah mengering diambil dari pembibitan maupun lapangan dan diisolasi dalam media PDA. Namun tidak ditemukan adanya patogen. Sehingga dalam kondisi seperti ini tanamn mengeluarkan gum sebagai reaksi tanaman atas serangan patogen, namun gum yang dikeluarkan tidak selalu mengandung patogen. Gum dihasilkan untuk melokalisir pathogen agar tidak berkembang lebih luas. Menurut Agrios (2005), gum yang dihasilkan dari permukaan kulit jaringan tanaman menunjukkan tingkat serangan yang sudah lanjut. Setelah dilakukan pengamatan dan identifikasi baik makroskopis maupun mikroskopis. Didapatkan 11 isolat Botryodiplodia spp. dari Garut (Jawa Barat), Jember & Malang (Jawa Timur), Kintamani (Bali), Soe (NTT), Banjarmasin & Banjarbaru (Kalimantan Selatan), Berastagi (Sumatera Utara), Kampar (Riau), Muara Jambi (Jambi), dan Tulang Bawang Barat (Lampung).; 1 isolat Phytophthora spp. yang berasal dari desa Oehala, Kabupaten SOE (NTT); 1 isolat Gliocladium sp. yang berasal dari Banjarmasin.
20
20 Pada
identifikasi
secara
makroskopis,
miselium
yang
diduga
Botryodiplodia spp. awalnya berwarna putih dan pertumbuhannya aerial, namun setelah hari keempat miselium menjadi abu-abu sampai kehitaman. Setelah 7 atau 8 hari menjadi berwarna hitam. Secara umum pertumbuhan Botryodiplodia spp. sangat cepat, yaitu 3-7 Hsi pada media PDA. Sedangkan pada identifikasi secara mikroskopis, menunjukan hifa yang bersekat dan berwarna hialin kemudian menjadi coklat. Pembentukan klamidospora secara interkalar (Gambar 2b). Pertumbuhan piknidia pada media PDA sangat lambat yaitu ± 30 hari setelah isolasi. Sedangkan pada media water agar yang diberi potongan jerami padi yang telah disterilkan, piknidia lebih cepat terbentuk yaitu ± 14 hari setelah isolasi. Karena piknidia akan terbentuk jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan. Oleh karena itu piknidia akan lebih cepat tumbuh jika isolat ditanam pada media yang miskin nutrisi. Konidia dihasilkan dalam piknidia. Piknidia terdiri dari konidia muda dan konidia matang, keduanya berbentuk ovoid dan ellipsoid. Konidia muda berwarna hialin, dindingnya terdiri dari dua lapisan, berbentuk granular dan tidak bersekat sedangkan konidia matangnya berwarna coklat, dinding selnya hanya satu lapisan dan memiliki satu sekat sehingga membentuk dua sel. Ukuran konidia bervariasi, yaitu panjangnya 18.75 – 31.87 µm dan lebarnya 11.25 – 18.75 µm, atau rerata panjang x lebarnya adalah 25.31 µm x 15.00 µm (Tabel 1). Sedangkan pembentukan piknidia secara berkelompok dalam stroma, memiliki konidiofor tunggal.
A Gambar 2
B
C
Morfologi Botryodiplodia theobromae: Hifa yang bersekat (A), pembentukan klamidospora secara interkalar (B), konidia yang bersekat (C)
21
21 Tabel 1 Ukuran konidia Botryodiplodia theobromae Asal isolat
Ukuran konidia in vitro (µm)
Berastagi
26.26 – 30.00 x 13.12 – 15.00 (rerata = 27.75 x 14.25) Kampar 26.25 – 28.12 x 13.12 – 16.87 (rerata = 27.37 x 14.62) Jambi 24.37 – 28.12 x 13.12 – 16.87 (rerata = 26.25 x 15.00) Lampung 24.37 – 28.12 x 15.00 – 16.87 (rerata = 26.25 x 15.37) Garut 26.25 – 30.00 x 15.00 – 16.87 (rerata = 27.75 x 16.12) Jember 28.12 – 30.00 x 15.00 – 18.75 (rerata = 28.50 x 16.87) Malang 22.50-26.25 x 13.12-15.00 (rerata = 24.75x 14.25) Kintamani 18.75 – 24.37 x 11.25 – 15.00 (rerata = 21.75 x 13.12) Soe 18.75 – 26.25 x 11.25 (rerata = 22.50 x 11.25) Banjarbaru 24.37 – 26.25 x 15.00 (rerata = 25.50 x 15.00) Banjarmasin 28.12 – 31.87 x 15.00 – 18.75 (rerata = 29.62 x 16.50)
Panjang/lebar 1.95 1.87 1.75 1.71 1.72 1.69 1.74 1.66 2.00 1.70 1.79
Menurut Phillips (2000), konidia Lasiodiplodia spp. awalnya hialin kemudian menjadi berwarna dan memiliki satu sekat. Melanin tersimpan dalam bentuk garis yang teratur dan tetap pada bagian sebelah dalam dinding konidia, sehingga kelihatan seperti garis yang membujur. Begitu juga menurut Sato et al (2008), konidia matang Lasiodiplodia spp. berwarna coklat tua, berdinding tebal, memiliki garis membujur disekelilingnya dan terdapat satu sekat melintang pada bagian tengah konidia. Menurut Barnett & Hunter (1998), morfologi Diplodia natalensis hampir sama dengan Botryodiplodia theobromae perbedaanya hanya pada bentuk konidia matang dan piknidia, yaitu pada D. natalensis konidia matang lebih lonjong dan piknidiumnya tidak berkelompok (Gambar 3). Diplodia natalensis memiliki piknidium berwarna hitam dan letaknya tersebar, tidak berstroma, dibedakan dengan B. theobromae yang memiliki piknidium berkumpul dan berstroma (Deptan, 2009).
22
22
A
B
Gambar 3 Morfologi Diplodia natalensis: Piknidium berwarna hitam dan tidak berkelompok (A), konidia berbentuk lonjong (B) (www.mycology.adelaide.edu.au) Berdasarkan identifikasi morfologi terhadap 11 isolat dari lokasi yang berbeda ditemukan kesamaan karakter morfologi antara lain, konidia terbentuk didalam badan buah aseksual (piknidia); konidia berbentuk globose atau ellipsoid; konidia terdiri dari dua sel; konidia berpigmen gelap; dan piknidia terbentuk secara berkelompok didalam stroma. Dari beberapa karakter diatas, diketahui bahwa isolat-isolat tersebut merupakan Botryodiplodia theobromae Pat. sinonim dari Lasiodiplodia theobromae (Pat) Griffon dan Maubl. dan Diplodia natalensis Pole-Evans; teleomorph Botryosphaeria rhodina (Cooke) Arx). Menurut kunci identifikasi Erwin & Ribeiro (1996) secara makroskopis, koloni isolat Phytophthora citrophthora berwarna putih, pada media PDA berbentuk rosaceous; pada V8 agar, biakan muda berbentuk stellate dan biakan tuanya berbentuk cottony. Secara mikroskopis, Nampak hifa tidak bersekat, bercabang, catenulate, corraloid, hialin, halus sampai kasar, membengkak, bulat sampai lonjong (ovoid) dan tidak beraturan. Klamidospora globose terbentuk secara interkalar (Gambar 4b). Terdapat beberapa bentuk sporangia, yaitu globose, ellipsoid, ovoid, limoniform, dan beberapa bentuk distorsi atau asimetris (Gambar 5), tetapi yang paling dominan muncul pada identifikasi adalah bentuk distorsi atau asimetris. Pada suhu kamar, Phytophthora spp. yang dibiakkan pada media PDA dapat tumbuh memenuhi cawan petri dengan diameter 9 cm pada 12 Hsi. Sedangkan media V8 agar pada 10 Hsi.
23
23
B
A Gambar 4
Morfologi hifa dan klamidospora Phytophthora spp. : Hifa yang membengkak, bercabang dan tidak bersekat (A), klamidospora berbentuk globose (B)
A
B
C
Gambar 5 Bentuk spesifik sporangia Phytophthora citrophthora yang asimetris (A-C) Tabel 2 Ukuran sporangia Phytophthora citrophthora (panjang/lebar) Bentuk sporangia
Ukuran sporangia (µm)
A. distorsi
14.16 – 19.25 x 11.25 – 16.87
(asimetris)
(rerata=18.75 x 15.00)
B. distorsi
11.25 – 16.87 x 9.12 – 14.24
(asimetris)
(rerata=15.00 x 13.12)
C. distorsi
24.37 – 28.12 x 14.16 –
(asimetris)
19.25(rerata=26.25 x 18.75)
Panjang/lebar (µm) 1.25 1.14 1.40
24
24 Secara mikroskopis cendawan patogen yang diduga Phytophthora citrophthora. memiliki hifa tidak bersekat, bercabang, catenulate, corraloid, hialin, halus sampai kasar, membengkak, bulat sampai lonjong (ovoid) dan tidak beraturan. Klamidospora globose terbentuk secara interkalar (Gambar 4b). Menurut kunci identifikasi Erwin & Ribeiro (1996), isolat Phytophthora spp. yang berasal dari Desa Oehala, Kabupaten Soe (NTT) adalah Phytophthora citrophthora (RE Smith & EH Smith) Leonian (1925). Uji Postulat Koch Uji postulat koch dilakukan pada bibit jeruk JC, karena pada awalnya JC dianggap tahan terhadap Phytophthora spp. dan memiliki sifat kompatibel yang tinggi terhadap batang atas. Tetapi dari waktu ke waktu, patogen terus mengalami evolusi dan memiliki kemampuan merubah genetik yang tinggi sehingga dapat membentuk strain baru yang lebih kuat serta memiliki patogenesitas yang tinggi. Uji postulat dilakukan dirumah kasa dengan pelukaan buatan (Gambar 6A) menunjukan gejala yang positif. Patogen ini dapat hidup sebagai endofit dalam organ tanaman, tanpa menghasilkan gejala dan tanda penyakit yang jelas. Penyakit hanya muncul apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan bagi tanaman. Sehingga tipe perkembangan gejala penyakit seperti ini disebut gejala laten, yaitu tipe perkembangan yang berbahaya dan menyulitkan dalam pengendalian. Pada tanaman kontrol tidak terlihat adanya gejala (Gambar 6B), sedangkan tanaman yang diinokulasi patogen pada permukaan batang gejala akan terlihat jelas jika pada titik inokulasi disayat, terdapat perbedaan yang jelas antara tanaman kontrol dan tanaman dengan perlakuan patogen. Menurut Agrios (1996) klorosis merupakan gejala awal yang ditunjukan dengan gejala berupa menguningnya jaringan tanaman akibat nekrotik jaringan kloroplas. Klorosis yang terjadi pada tanaman disebabkan perkembangan patogen yang menghambat metabolisme tanaman. Penyakit BPB dapat terjadi oleh gangguan inokulum patogen terhadap translokasi air dan hara pada tanaman di pembuluh xylem dan floem (Agrios 1996). Sehingga untuk dapat melihat gejala
25
25 yang lebih jelas permukaan batang disayat sampai ke kambium. Maryono (2010) melaporkan gejala penyakit BPB dengan inokulasi buatan isolat B. theobromae yang sama pada bibit JC menyebabkan gejala nekrosis pada kambium dan pembuluh, namun perkembangannya lambat (Gambar 6C). Menurut Umezurike (1979), nekrotik terjadi karena adanya aktivitas patogen yang menghasilkan enzim selulitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa pada jaringan kayu bibit jeruk sehingga menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan dapat dimanfaatkan oleh patogen dan sebagai akibatnya jaringan tersebut mati.
A
B
C
Gambar 6 Gejala nekrotik pada permukaan batang yang disayat (A), Tanpa gejala pada tanaman kontrol (B), Bibit JC yang diinokulasi patogen (C) Perkembangan nekrosis
menyebabkan daun menjadi berubah warna
kemudian mati. Pada inokulasi P. citrophthora daun berubah warna menjadi coklat, sedangkan pada inokulasi B. theobromae daun menjadi berwarna hitam. Selanjutnya gejala berkembang menjadi gumosis. Gumosis adalah cairan yang dihasilkan oleh tumbuhan sebagai respon inang terhadap serangan patogen atau adanya benda asing yang ada dalam jaringan tanaman. Gumosis atau sering disebut blendok merupakan gejala khas pada BPB (Agrios 1996). Gejala Gumosis pada inokulasi oleh P. citrophthora dan B. theobromae terlihat berbeda berdasarkan warna dan kekentalannya (Gambar 7). Menurut Balitjestro (2006) permukaan batang atau kulit batang yang terserang Phytophthora spp.
26
26 Permukaannya menjadi cekung, tidak merata dan mengeluarkan gumosis berwarna kuning yang encer dan mudah meluas (Gambar 7A). Sedangkan B. theobromae menghasilkan gumosis berwarna kuning kecoklatan dan lebih kental (Gambar 7B).
A
B
Gambar 7 Gejala Gumosis pada planlet JC yang diinokulasi P. citrophthora (A), diinokulasi B. theobromae (B) (Dhita 2010) Pada uji planlet JC secara in vitro, secara berturut-turut menunjukan gejala klorosis,
berkembang
menjadi
nekrotik,
membentuk
gumosis
hingga
menyebabkan kematian. Perkembangan pertumbuhan dan infeksi B. theobromae lebih cepat dibandingkan P. cithrophthora meskipun diawali klorosis pada waktu yang sama yaitu pada 3 Hsi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh karakter masingmasing patogen. Menurut Sinaga (2000) P. citrophthora merupakan organisme hemibiotrop, dapat menyerang dan mendapatkan nutrisi dari jaringan hidup, tetapi masih mampu berkembang serta bersporulasi setelah jaringan inangnya mati. Meskipun perkembangan patogen ini lambat, namun pasti akan mematikan, begitupun B. theobromae memiliki siklus hidup yang cepat juga dapat mematikan inangnya. Sehingga teknik inokulasi secara in vitro lebih menguntungkan daripada teknik inokulasi langsung di lapang dilihat dari segi waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui terjadinya proses infeksi yang ditunjukan oleh BPB (Dhita 2010). Sedangkan gejala BPB pada pembibitan yaitu permukaan kulit batang yang terserang menjadi cekung dan mengeluarkan gumosis yang saat basah
27
27 terlihat bening, setelah mengering warnanya coklat keemasan. Bercak dapat meluas sampai mengelilingi batang. Akar terlihat membusuk sehingga bibit akan mengalami kematian (Gambar 8).
A
B
Gambar 8 Gejala gumosis di pembibitan (A), bercak yang meluas (B)
Uji Antagonisme Secara in vitro Pengujian dilakukan dengan metode Dual Culture secara in vitro dilaboratorium (Gambar 9). Isolat Gliocladium virens yang digunakan sebagai agens antagonis didapatkan dari eksplorasi bahan tanaman jeruk sakit yang berasal dari Banjarmasin. Sedangkan Trichoderma harzianum didapatkan dari koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Media yang digunakan dalam percobaan yaitu media PDA dan V8 agar. Pertumbuhan Phytophthora spp. rendah pada media yang memiliki kandungan gula (maltosa dan glukosa) yang tinggi. Media V8 agar merupakan salah satu jenis media yang sangat disukai Phytophthora spp. karena memiliki kandungan kolesterol yang tinggi dan merangsang pembentukan oospora. Pada media PDA, terdapat asam laktat yang memiliki pH rendah sehingga menghambat pembentukan spora tetapi tidak menghambat perkembangan miseliumnya (Erwin & Ribeiro 1996). Sehingga media PDA dapat digunakan sebagai media untuk uji biakan ganda (dual culture) dimana pertumbuhan antara ke-2 koloni tersebut optimal,
sehingga
mengurangi
Phytophthora spp. akibat media.
kejadian
penghambatan
pertumbuhan
28
28 Pengujian dilakukan selama tujuh hari dengan mengukur jari-jari pertumbuhan kedua isolat yang ditanam, dimana R1 adalah jari-jari koloni isolat yang menjauhi agens antagonis; R2 adalah jari-jari koloni yang mendekati agens antagonis. Trichoderma sp. merupakan cendawan antagonis bagi patogen yang menginfeksi di perakaran dan batang tanaman. Cendawan ini menghasilkan enzim kitinase dan glukanase yang dikenal sebagai enzim yang terlibat dalam proses lisis dinding sel cendawan patogen selama proses antagonisme terjadi (Sulistyowati 2005). Menurut Sinaga 1986, Trichoderma sp. Merupakan cendawan yang tersebar luas di dunia dan terdapat hampir di berbagai jenis tanah dan habitat alam, terutama pada tanah yang mengandung bahan-bahan organik dan tanah yang diaplikasi kompos.
B. theobromae
B. theob
G. virens
Gambar 9 Uji Antagonisme dengan metode dual culture Pada hari pertama perkembangan koloni tidak berbeda nyata antara koloni agens antagonis dan koloni patogen karena keduanya memiliki diameter yang hampir sama. Hal tersebut disebabkan belum adanya kontak langsung antara kedua koloni. Pertumbuhan koloni isolat P. citrophthora yang baru terpisah dari koloni asalnya berperan sebagai kelompok individu baru yang harus beradaptasi dengan media tumbuhnya yang baru. Kelompok individu baru yang dipindahkan akan langsung menyerap nutrisi dan memanfaatkan ruang kosong untuk perkembangannya (Smith & Onions 1994). Interaksi antara kedua koloni ditunjukkan pada hari ke-2 antara Trichoderma dan Botryodiplodia serta Gliocladium dan Botryodiplodia dengan persentase penghambatan masing-masing sebesar 41.32 % dan 9.52 % (Tabel 3).
29
29 Selanjutnya interaksi yang terjadi adalah over growth, yaitu pertumbuhan koloni agens antagonis diatas koloni patogen. Mekanisme kompetisi juga terjadi dalam memperebutkan ruang dan nutrisi. Walaupun kompetisi tidak langsung melawan patogen, tetapi menghambat inokulum primer dari P. citrophthora untuk menginvasi lebih lanjut (Whipps & Lumsden 1996). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 7 Hsi dengan mengukur jari-jari koloni patogen, nampak kemampuan antagonisme G. virens dan T. harzianum tidak berbeda nyata dan penghambatan patogen mencapai 100 % pada hari ketujuh. Peran Gliocladium maupun Trichoderma memberikan pengaruh yang nyata dengan mekanisme penghambatan yang sama yaitu hiperparasitisme, lisis dan toksisitas, serta kompetisi ruang dan hara (Tabel 3). Tabel 3
Pengaruh Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens terhadap persentase penghambatan Phytophthora citrophthora dan Botryodiplodia theobromae Persentase penghambatan pada hari ke-(%)a 2 3 4 5 6
No
Perlakuan
1
1
A1B1
0.00h
0.00h
22.89g
50.16ef
68.90cd
84.46ab
94.94a
2
A1B2
0.00h
41.32f
62.44cde
86.17ab
92.02ab
97.67a
100a
3
A2B1
0.00h
0.00h
38.12f
56.89de
77.71bc
96.99a
100a
4
A2B2
0.00h
9.52gh
40.58f
64.71cde
87.80ab
99,41a
100a
7
a
angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Pemberian Trichoderma maupun Gliocladium
dalam mengendalikan
Botryodiplodia tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata karena keduanya memiliki mekanisme menghambat yang sama. Sedangkan pertumbuhan Phytophthora citrophthora lebih cepat dihambat oleh G. virens dibandingkan T. harzianum, dengan persen penghambatan masing-masing sebesar 100% dan 94.94% pada 7 Hsi.