HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE DAN PENGENDALIANNYA Elna Karmawati dan Tri Lestari Mardiningsih Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat ABSTRAK Helopeltis spp. merupakan hama yang paling dominan pada jambu mete, karena paling cepat menimbulkan kerugian dan mempunyai kisaran tanaman inang yang sangat luas. Helopeltis antonii merupakan spesies yang terbanyak di Indonesia dan mempunyai ciri-ciri : bewarna coklat kehitaman, panjang tubuh 4,5 – 6,0 mm, pada bagian toraks terdapat tonjolan seperti jarum pentul, antenanya 4 ruas dan panjangnya dua kali panjang tubuhnya. Gejala serangannya pada pucuk ditandai dengan adanya bercak hitam yang mengering, akibatnya pucuk mati. Serangan pada bunga atau buah muda menyebabkan gugur sebelum waktunya. Kerugiannya pada hasil dapat mencapai 60%. Banyak faktor yang mempengaruhi kelimpahan populasi hama ini di lapangan; di antaranya musuh alami, interaksi dengan hama lain, pola tanam, inang alternatif, kelembaban, radiasi matahari dan curah hujan. Oleh sebab itu, komponen pengendalian yang dapat dimasukkan ke dalam program PHT adalah konservasi populasi semut rangrang, bahan tanaman yang toleran, pemantauan, penggunaan tumpukan serasah, penggunaan Beauveria bassiana dan larutan biji mimba.
PENDAHULUAN Luas areal pertanaman jambu mete mengalami peningkatan tiap tahun, tetapi tingkat produktivitasnya masih sangat rendah. Pada tahun 2000 tercatat luas areal jambu mete di Indonesia sebesar 236.872 ha dengan total produksi 69.027 ton atau rata-rata kurang dari 300 kg/ha/tahun. Pada
tahun 2003 luas areal naik lebih dari 100% menjadi 581.641 ha dengan total produksi 112.509 ton (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004) dengan kisaran produksi 146 – 315 kg/th gelondong. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas ini, di antaranya adanya serangan hama dan penyakit. Di NTB misalnya, yang merupakan salah satu sentra produksi jambu mete yang peningkatan luasnya sangat pesat, serangan hama ini mencapai 1.217 ha pada tahun 2002 sehingga menurunkan hasil sebesar 10% atau taksasi kerugian hasil Rp. 13,8 milyar (Dinas Perkebunan NTB, 2002). Hama dan penyakit yang dominan dan hampir dijumpai di 6 kabupaten di NTB adalah Helopeltis spp., Sanurus indecora Jacobi, Jamur Akar Putih dan Jamur Akar Coklat (Puslitbang Perkebunan dan Ditjenbun, 2002). Helopeltis spp. merupakan hama yang paling cepat menimbulkan kerugian dan mempunyai kisaran tanaman inang yang sangat luas. Tercatat lebih dari 35 spesies dari 24 famili tumbuhan yang merupakan inangnya, antara lain : teh, kakao, jambu mete, kina, jambu, mangga, sirsak, bougenville dan beberapa jenis gulma (Siswanto et al., 2002). Minimal ada 3 jenis Helopeltis yang menyerang tanaman jambu mete di Indonesia yaitu
1
H. antonii Signoret, H. theivora Waterhouse dan H. bradyi Waterhouse. Di antara ketiga spesies tersebut, H. antonii yang paling banyak ditemukan. Pada makalah ini disajikan biologi yang terdiri dari ciri-ciri, gejala kerusakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Helopeltis spp. serta cara pengendaliannya. CIRI-CIRI HAMA Helopeltis spp. Bentuk serangga dewasa Helopeltis antonii berupa kepik bewarna coklat kehitaman, panjang tumbuh 4,5 – 6 mm, pada bagian toraks terdapat tonjolan seperti jarum pentul. Antena 4 ruas, panjangnya dua kali panjang tubuhnya. Lama hidup imago sekitar 24 hari. Seekor betina mampu meletakkan telur 93 butir selama hidupnya.
terlihat di atas permukaan bagian tanaman tempat telur diletakkan. Stadia telur rata-rata 7 hari. Nimfa tidak bersayap dan tubuhnya bewarna coklat muda. Stadia nimfa sekitar dua minggu dan mengalami 4 kali ganti kulit sebelum menjadi dewasa. Bentuk serangga H. theivora hampir sama dengan H. antonii hanya warnanya hijau atau kuning kehitaman. Perbedaan yang paling menyolok adalah tonjolan pada toraksnya yang membongkok ke belakang sedangkan pada H. antonii lurus ke atas (Lihat Gambar 2). H. bradyi mempunyai tubuh lebih panjang melebihi 8 mm, tapi warnanya lebih gelap dari H. antonii (Kalshoven, 1981).
(a)
(b)
Gambar 2. Tonjolan pada toraks H. antonii (a) tonjolan pada toraks H. theivora (b) GEJALA SERANGAN/ KERUSAKAN
Gambar 1. Serangan Helopeltis spp. Telur berbentuk lonjong bewarna keputihan diselipkan pada jaringan tanaman yang lunak secara berkelompok antara 2 dan 3 butir. Telur dicirikan dengan adanya 2 helai benang warna putih, panjangnya tidak sama
2
Hama ini merusak tanaman dengan jalan mengisap cairan tanaman pada bagian yang masih muda seperti tunas, pucuk, daun, bunga, buah dan biji. Serangan Helopeltis spp. dapat ditandai dengan adanya bercak hitam yang mengering pada bagian tanaman yang diserang mengakibatkan tanaman menjadi salah bentuk, pucuk mati, bunga atau buah gugur sebelum
waktunya pada tingkat serangan berat tangkai bunga dan pucuk terlihat ujung daunnya berwarna hitam. Akibat produksi menurun atau gagal berproduksi. Kerusakan akibat serangan Helopeltis spp. dapat mencapai 60%. Kerugian akan lebih besar lagi bila serangan Helopeltis spp. diikuti dengan infeksi patogen tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luka akibat tusukan Helopeltis spp. akan memudahkan infeksi jamur Pestalotiopsis sp. yang secara alami merupakan patogen sekunder yang hanya dapat menyerang tanaman dalam kondisi lemah atau luka. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN Helopeltis spp. Banyak faktor yang mempengaruhi fluktuasi populasi hama ini di lapangan, begitu pula dengan kelimpahannya. Faktor-faktor inilah yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan populasi di pertanaman. Berbagai faktor telah diteliti sejak jambu mete merupakan tanaman prioritas untuk dikembangkan di sentra-sentra produksi. Faktor ini dapat dibedakan menjadi faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang telah diteliti adalah a) penggunaan musuh alami yaitu jamur patogenik dan predator, b) interaksi antara Helopeltis dan hama lain, c) pola tanam, dan d) inang alternatif. Sedang faktor abiotik adalah a) kelembaban, b) radiasi matahari dan c) curah hujan. Pengaruh musuh alami terutama predator telah dipelajari di Jawa
Tengah. Serangga predator seperti Coccinella sp., semut hitam dan semut rangrang dapat menekan serangan Helopeltis spp. (Karmawati et al., 1999). Di Australia, semut rangrang Oecophylla smaragdina F. dapat melindungi tanaman jambu mete dari hama utama (Peng et al., 1999). Hasil penelitan tahun 2004 di NTB menunjukkan adanya interaksi antara Helopeltis dan S. indecora dapat menghadirkan semut lebih banyak dan semut dapat mengendalikan populasi Helopeltis spp. (Karmawati et al., 2004a). Musuh alami lain yang dapat menekan serangan Helopeltis adalah jamur Beauveria bassiana pada pertanaman jambu mete dengan sistem tumpang sari di Wonogiri (Karmawati et al., 2001). Jamur ini tidak hanya menyerang Helopeltis pada jambu mete, tapi juga H. theobromae pada kakao. Peranan tanaman sela di antara jambu mete dan adanya serasah disebutkan pula oleh Soebandrijo (2003) dapat meningkatkan populasi parasit. Adanya tanaman sela menyebabkan tanaman jambu mete lebih terpelihara dan bersih dari gulmagulma berdaun lebar terutama sintrong dan Ageratum sp. yang merupakan inang alternatif bagi Helopeltis. Sedangkan serasah, selain dapat menjaga kelembaban tanah pada musim kemarau, juga menyiapkan makanan bagi parasit-parasit di bawah tumpukan serasah tersebut. Pengaruh faktor abiotik paling berperan dalam fluktuasi populasi. Serangga dari genus Helopeltis ini
3
sangat peka terhadap sinar matahari langsung. Mereka menyukai lingkungan yang teduh dan kelembaban yang sedang. Pertanaman yang rimbun dan kotor sangat disukai hama ini. Dengan diperlukannya kelembaban, munculnya Helopeltis dipengaruhi oleh curah hujan. Di sentra pengembangan, curah hujan dimulai awal Januari dan berakhir pada bulan Mei atau Juni, artinya Helopeltis mulai pada bulan Januari dan mencapai puncak pada bulan April atau Mei, kemudian menurun pada bulan berikutnya. Fenomena ini ditunjang oleh hasil penelitian Karmawati et al. (1999) di Wonogiri dan Karmawati et al. (2004b) di Lombok Barat bahwa kemunculan hama ini ditentukan oleh curah hujan, suhu dan kelembaban mikro. Oleh sebab itu kebun yang kotor dan kurang terawat mendukung perkembangan populasi serangga ini karena akan tumbuh gulma yang selain menyebabkan lingkungan mikro menjadi teduh dan lembab, gulma merupakan lingkungan alternatif pada saat makanan pada jambu mete berkurang.
2.
3.
CARA PENGENDALIAN
4.
Penelitian yang telah dilaksanakan selama 5 tahun secara berkelanjutan sejak tahun 1999 memberikan petunjuk-petunjuk dan informasi sehingga mempunyai peluang untuk digunakan dalam komponen pengendalian secara terpadu. Masing-masing komponen yang dapat digunakan diuraikan sebagai berikut : 1. Apabila pertanaman jambu mete belum ada di lapangan, pilihlah
5.
4
bahan tanaman yang kira-kira relatif tahan dan toleran terhadap Helopeltis. Hasil penelitian di rumah kaca di Bogor ada 2 aksesi jambu mete yang tahan dan toleran terhadap hama tersebut, yaitu Mojokerto (XIII-8) dan Balakrisnan (B-02) (Amir et al., 2004). Helopeltis mulai muncul satu bulan sesudah hujan pertama seiring dengan munculnya pucuk/tunas. Monitoring pada saat itu harus sudah mulai dilakukan. Bila dilihat dari siklus hidupnya, setelah 21 hari sejak telur diletakkan, imago sudah dapat bertelur lagi, maka monitoring dilakukan setidaknya 5 - 7 hari sekali. Pada musim hujan, tumpangsari dengan tanaman pangan dapat dilakukan dan kebun harus bersih dari gulma agar imago tidak mempunyai tempat untuk berlindung pada inang alternatif. Tajuk-tajuk yang tidak perlu dan saling bersinggungan dianjurkan untuk dipangkas agar cahaya matahari dapat masuk ke sela-sela tajuk. Pada musim panas, tumpuklah serasah-serasah daun pada beberapa titik untuk menjaga kelembaban tanah dan tempat berlindung serta makanan bagi serangga-serangga parasit. Apabila populasi semut rangrang dan semut hitam berkurang, diupayakan untuk menarik dan mendatangkan semut misalnya dengan menyemprot sedikit air tapai sedikit atau air madu.
6. Apabila serangan Helopeltis mulai muncul pada saat monitoring, pengendalian dengan Beauveria bassiana dapat dilakukan pada sore atau pagi sekali. Pilihlah B. bassiana yang sudah diperbaharui. Juklak pembuatan dan perbanyakan jamur ini dapat dikonsultasikan dengan Dinas-Dinas Perkebunan Propinsi di sentra pengembangan jambu mete. 7. Apabila tanaman mimba banyak terdapat di lapangan, biji atau daun mimba dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Konsentrasi yang digunakan adalah 200 - 300 g biji mimba per 10 l air atau 1 kg daun mimba per 10 l air. KESIMPULAN Kerusakan hasil jambu mete oleh Helopeltis spp. sangat nyata terlihat di lapangan, tetapi banyak faktor kunci yang mempengaruhi kehadiran populasi hama ini di lapangan yang dapat dimanfaatkan untuk komponen pengendalian. Faktor tersebut adalah musuh alami, interaksi dengan hama lain, pola tanam, inang alternatif, kelembaban, radiasi matahari dan curah hujan. DAFTAR PUSTAKA Amir, A.M, Elna Karmawati dan Hadad E.A., 2004. Evaluasi ketahanan beberapa aksesi jambu mete (Anacardium occidentale L.) terhadap hama Helopeltis antonii Sign (Hemiptera : Miridae). Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10 (4): 149 – 153.
Dinas Perkebunan NTB, 2002. Laporan Pengamatan OPT Tanaman Perkebunan, taksasi kehilangan hasil dan kerugian hasil akibat serangan OPT di NTB. 10 hal. Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004. Statistik Perkebunan Indonesia (Statistical Estate Crops of Indonesia) 2001 - 2003. Jambu mete (Cashewnut). Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Deptan. 33 hal. Kalshoven, L.G.E., 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta. P. 119. Karmawati, E., T.H. Savitri, T.E. Wahyono dan I.W. Laba, 1999. Dinamika populasi Helopeltis antonii Sign pada jambu mete, Jurnal Penelitian Tanaman Industri 4 (6) : 163 – 167. Karmawati, E., T.H. Savitri, W.R. Atmadja, dan T.E. Wahyono, 2001. Pengendalian hama terpadu Helopeltis antonii pada tanaman jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 7 (1) : 1 – 5. Karmawati, E., E. Siswanto dan E.A. Wikardi, 2004a. Peranan semut (Oecophylla smaragdina dan Dolichoderus sp.) dalam pengendalian Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10 (1) : 1 – 7. Karmawati, E., T.L. Mardiningsih, A.M. Amir. I.G.N.R. Purnayasa, T.E. Wahyono, C. Sukmana, Rusli
5
dan Sahyun, 2004b. Peranan musuh alami dan faktor lingkungan dalam pengendalian Helopeltis spp. dan Sanurus indecora. Bagpro PHT Perkebunan Rakyat. Laporan Hasil Penelitian 2004. 19 hal. Peng, R.K., K. Christian and K. Gibb, 1999. The effect of colony isolation of the predacious ant, Oecophylla smaragdina (f.) (Hymenoptera : Formicidae), on protection of cashew plantations from insect pests. International Journal of Pest Management 45 (3) : 189 – 194. Puslitbangbun dan Ditjenbun, 2002. Evaluasi Pelaksanaan Pengendalian OPT Tanaman Perkebunan di NTT, NTB, Sulut, Sulsel dan
6
Kalsel pada Tahun Anggaran 2002. Kerjasama Puslitbangbun dan Ditjenbun. Tidak dipublikasikan. 18 hal. Siswanto, Supriadi, E.A. Wikardi, D. Wahyuno, Wiratno, M. Tombe dan E. Karmawati, 2002. Hama dan Penyakit Utama Tanaman Jambu Mete serta faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya. Booklet Bagian Proyek Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor 48 hal. Soebandrijo, 2003. Pengendalian hama terpadu dan prospeknya terhadap produksi dan pendapatan petani kapas. Bahan Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Litbang Pertanian. 69 hal.