HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK
Lembar Fakta No. 21
Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia
1
PENGANTAR: PERANGKAT INTERNASIONAL TENTANG HAK ASASI MANUSIA Pilar kegiatan PBB untuk perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dan kebebasan dasar adalah Perangkat Internasional tentang Hak Asasi Manusia. Perangkat ini terdiri dari tiga instrumen: Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (1948); Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966); Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966). Ketiga dokumen ini mencantumkan dan menetapkan hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Dokumendokumen tersebut menjadi landasan yang telah membentuk lebih dari 50 konvensi, deklarasi, kumpulan peraturan dan prinsip-prinsip tambahan tentang hak asasi manusia PBB. Kovenan-Kovenan tersebut merupakan instrumen internasional. Hal ini berarti bahwa anggota PBB, ketika mereka menjadi Negara Pihak kovenan atau konvensi lainnya dengan meratifikasi atau menyetujuinya, mereka menerima sejumlah kewajiban yang dilandasi hukum. Dengan sukarela Negara Pihak mengikat diri untuk membuat perundang-undangan nasional mereka, kebijakan dan langkah-langkah mereka sejalan dengan kewajiban internasionalnya. Dengan meratifikasi dokumen-dokumen ini dan naskah perjanjian lainnya, maka Negara-negara tersebut mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap: warga negaranya, Negara Pihak lain yang meratifikasi instrumen yang sama, dan terhadap masyarakat internasional, dengan berjanji kepada diri mereka sendiri untuk menghormati dan menjamin hak dan kebebasan yang terdapat dalam dokumen ini. Banyak perjanjian internasional tentang hak asasi manusia, juga menghendaki Negara Pihak untuk memberikan laporan berkala tentang langkah-langkah yang telah mereka lakukan untuk menjamin pelaksanaan hak-hak ini, demikian pula dengan kemajuan yang telah dicapai ke arah tujuan ini. Lembar Fakta ini membahas tentang dasar-dasar, implikasi dan muatan suatu hak yang tercantum dalam sejumlah naskah hukum internasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta DUHAM: yakni hak asasi manusia untuk perumahan yang layak. Sejumlah perkembangan penting tentang hak-hak ini telah terjadi selama beberapa tahun terakhir di dalam badan-badan hak asasi manusia PBB. Masalah ini dan masalah lainnya akan dijabarkan di bawah ini. MENCAPAI HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Meskipun terdapat dua Kovenan yang masing-masing memberikan jaminan terhadap dua kelompok hak asasi manusia yang terpisah, telah disepakati dan berulangkali ditegaskan mengenai prinsip bahwa terdapat sifat yang saling tergantung dan tidak terpisahkan dari keseluruhan hak-hak tersebut. Dalam pelaksanaannya, hal ini berarti bahwa penghormatan terhadap hak sipil dan politik tidak dapat dipisahkan dari penikmatan hak ekonomi, sosial dan budaya dan, di pihak lain, bahwa partisipasi di dalam proses pembangunan ekonomi dan sosial yang sesungguhnya menghendaki adanya kebebasan politik dan sipil. Sifat saling tergantung dan tidak terpisahkan inilah yang menjadi prinsip dasar, sebagai pedoman PBB dalam menangani masalah hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Walaupun demikian, sifat saling menguatkan dari hak asasi manusia – yang berarti bahwa semua umat manusia harus diperlakukan dengan sama berdasarkan hukum dan secara nyata – terbukti sulit untuk dilaksanakan dalam
2
prakteknya. Sementara penerapan seluruh hak asasi manusia menjadi suatu problematik, kesulitan untuk melaksanakan hak ekonomi, sosial dan budaya ternyata merupakan masalah yang alot. Dalam menjawab tantangan ini dan dengan mengakui hubungan langsung antara hak asasi manusia dengan pembangunan, PBB telah meningkatkan perhatiannya pada hak ekonomi, sosial dan budaya, serta pada langkah-langkah yang dapat dilakukan bersama oleh masyarakat internasional untuk memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut. Sejumlah langkah khusus menuju penerapan hak ekonomi, sosial dan budaya telah dilakukan oleh berbagai badan hak asasi manusia PBB dalam tahun-tahun terakhir. Langkah-langkah ini mencakup pembentukan Komite untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada 1987 (lihat Lembar Fakta No.16); pertemuan Sub Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Kalangan Minoritas oleh Pelapor Khusus tentang masalah seperti hak atas makanan, pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya, kemiskinan yang amat-sangat, dan pemajuan pelaksanaan hak atas perumahan yang layak. Hak asasi manusia menembus seluruh kegiatan PBB, dan sejumlah lembaga-lembaga khusus seperti, Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) tetap mempertahankan agenda hak asasi manusia selama beberapa dasawarsa. Makin banyak pula organ-organ PBB yang mulai memasukkan masalah hak asasi manusia ke dalam program kerja mereka. Hal ini terbukti dengan adanya Dana Bantuan untuk Anak-Anak PBB (UNICEF), Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Setiap perkembangan tersebut di atas, telah mempermudah dan menambah perhatian PBB terhadap hak-hak ini. Hak atas perumahan yang layak merupakan salah satu di antara hak ekonomi, sosial dan budaya yang harus lebih diperhatikan dan ditingkatkan, tidak hanya oleh badan-badan hak asasi manusia, tetapi juga oleh Pusat Pemukiman PBB (Habitat). Hal ini diawali dengan Deklarasi Vancouver tentang Pemukiman Manusia yang disuarakan pada 1976, yang kemudian diikuti oleh proklamasi Tahun Internasional untuk Tempat Tinggal bagi Orang Yang Tidak Memiliki Perumahan (1987), dan ketetapan Majelis Umum PBB tentang Strategi Global untuk Pemukiman hingga Tahun 2000. APA HUBUNGAN ANTARA PERUMAHAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA? Pada pandangan pertama, mungkin tampak janggal bahwa masalah perumahan akan menjadi persoalan hak asasi manusia. Namun, apabila kita perhatikan lebih teliti hukum internasional dan nasional, seperti masalah tempat yang aman dan layak untuk didiami, baik bagi kesehatan fisik, mental dan semua kualitas hidup manusia, maka mulai tampak keterlibatan perumahan dengan hak asasi manusia. Perumahan yang layak, secara universal, dipandang sebagai salah satu kebutuhan paling dasar bagi manusia. Sekalipun masalah perumahan yang layak sungguh penting bagi semua orang, Pusat Pemukiman Manusia PBB memperkirakan bahwa lebih dari 1 miliar manusia di seluruh dunia tinggal dalam rumah yang tidak layak, sedang 100 juta manusia di antaranya hidup dalam kondisi yang dikategorikan tidak mempunyai rumah. Akses untuk mendapatkan air minum dan fasilitas sanitasi yang layak merupakan kebutuhan dasar tambahan yang berhubungan langsung dangan perumahan. Berdasarkan gambaran yang disampaikan oleh WHO, 1,2 miliar orang di negara berkembang tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum, dan 1, 8 miliar orang hidup tanpa memiliki
3
fasilitas sanitasi yang layak (Laporan Perkiraan Dasawarsa 1990 WHO). Gambaran ini memberikan ilustrasi tentang besarnya skala perjuangan global untuk memenuhi hak atas perumahan yang layak. Tahun Internasional bagi Pemukiman untuk Orang yang Tidak Memiliki Perumahan pada 1987 membuat semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap masalah perumahan dan masalah-masalah terkait yang masih tersebar di seluruh dunia. Setelah Tahun Internasional tersebut, Strategi Global tentang Pemukiman hingga Tahun 2000 terus mengedepankan masalah perumahan, dan berhasil menaikkan posisi masalah hak atas perumahan dalam agenda perhatian PBB tentang hak asasi manusia dibanding masa sebelumnya. Hak atas perumahan yang layak merupakan pilar dari Strategi Pemukiman Global: Hak atas perumahan yang layak mendapat pengakuan secara universal oleh masyarakat dari berbagai bangsa….Setiap bangsa, tanpa terkecuali, memiliki sejumlah kewajiban dalam masalah perumahan, misalnya nampak dengan dibentuknya kementerian perumahan atau lembaga-lembaga perumahan, pengalokasian dana untuk sektor perumahan, dan dengan kebijakan, program serta proyek….Setiap warganegara suatu Negara, semiskin apa pun dirinya, mempunyai hak untuk mengharap bahwa pemerintah akan memperhatikan kebutuhan mereka atas perumahan, dan untuk menerima kewajiban dasar untuk melindungi dan memperbaiki perumahan serta lingkungannya, dan bukan malahan merusak atau menghancurkannya. Pengertian dari perumahan yang layak dijabarkan di dalam Strategi Global sebagai: lingkungan pribadi yang layak, ruang yang layak, keamanan yang layak, penerangan dan ventilasi yang layak, prasarana dasar yang layak dan lokasi yang layak dengan memperhatikan pekerjaan serta fasilitas-fasilitas dasar – dan semua dengan harga yang layak. Lalu bagaimana peraturan internasional tentang hak asasi manusia dapat menterjemahkan masalah perumahan yang layak ini dalam pelaksanaan suatu rumusan hukum? Kedudukan Hukum Hak atas Perumahan. Dengan ditetapkannya DUHAM pada 1948, hak atas perumahan yang layak menjadi bagian dari hukum hak asasi manusia internasional yang diterima dan dapat diterapkan secara universal. Sejak saat itu hak ini telah berulangkali ditegaskan melalui sejumlah besar instrumen hak asasi manusia tambahan, yang masing-masing mempunyai relevansi pada kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat. Tidak kurang dari 12 naskah telah ditetapkan dan diproklamirkan oleh PBB yang secara tegas memberi pengakuan atas hak atas perumahan yang layak (Lampiran 1). Hak atas Perumahan untuk Setiap Orang Banyak dari instrumen yang mengakui hak atas perumahan yang layak mengedepankan bahwa setiap orang berhak mendapatkan hak ini. Hal ini penting, karena walaupun naskah-naskah lain menyebutkan bahwa hak atas perumahan yang layak merupakan hak yang melekat dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok tertentu (sehingga memberikan perlindungan hukum tambahan bagi kelompok-kelompok tersebut), pada akhirnya perumahan yang layak merupakan hak setiap anak-anak, perempuan dan pria – dimana pun mereka berada. Pasal 25 ayat 1 DUHAM memproklamirkan bahwa: Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak atas kesehatan dan kehidupan serta keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang dibutuhkan, dan hak untuk
4
diperlakukan sama pada saat menganggur, sakit, cacat, menjanda, lanjut usia, dan ketidak mampuan lain untuk menjalankan kehidupan yang bukan timbul atas kehendaknya. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah diratifikasi atau disetujui oleh 108 Negara. Naskah Kovenan ini memuat landasan yang mungkin paling signifikan bagi hak atas perumahan di antara semua prinsip hukum yang ada, yang memuat aturan tentang hak asasi manusia internasional. Pasal 11 ayat 1 dari Kovenan menyatakan bahwa: Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan, sandang dan papan, dan perbaikan kondisi hidup yang terus menerus. Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin perwujudan hak tersebut, dengan mengakui arti penting yang esensial dari kerja sama internasional yang didasarkan pada kesepakatan sukarela. Di samping kedua hal ini, Deklarasi PBB tentang Kemajuan dan Pembangunan Sosial (1969) serta Deklarasi Vancouver tentang Pemukiman Manusia PBB (1976) mengakui hak setiap orang atas perumahan yang layak. Hak atas Perumahan dan Non Diskriminasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras saat ini merupakan naskah yang paling banyak diratifikasi di antara seluruh naskah hak asasi manusia PBB. Pasal 5 (e) dari Konvensi ini memasukan kewajiban Negara pihak untuk: melarang dan menghapuskan diskriminasi rasial dalam segala bentuknya dan untuk memberi jaminan atas hak setiap orang, tanpa pembedaan seperti ras, warna kulit atau kebangsaan atau suku asal, atas persamaan di muka hukum, khususnya dalam penikmatan atas hak ekonomi, sosial dan budaya terutama.....hak atas perumahan. Hak atas Perumahan bagi Perempuan Perlakuan yang sama juga merupakan landasan yang berlaku bagi setiap perempuan dalam mendapatkan hak atas perumahan, di antara hak-hak lainnya. Berdasarkan Pasal 14 Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, secara khusus Negara-negara Pihak diminta untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan, dan untuk menjamin hak mereka dalam menikmati kondisi kehidupan yang layak bagi kaumnya, khususnya sehubungan dengan masalah perumahan, sanitasi, listrik dan distribusi air. Hak atas Perumahan bagi Anak-Anak Baik Deklarasi PBB tentang Hak Anak (1959) maupun Konvensi tentang Hak Anak (1989) membahas masalah khusus tentang hak atas perumahan bagi anak-anak. Pasal 27 Konvensi menghendaki Negara-negara Pihak agar melakukan upaya-upaya yang tepat untuk membantu para orang tua dan penanggungjawab anak-anak lainnya untuk menerapkan hak atas standar hidup yang layak, dan: apabila dibutuhkan (untuk) memberikan bahan-bahan bantuan dan program-program pendukung, khususnya tentang gizi, pakaian dan perumahan. Hak atas Perumahan bagi Pekerja Migran
5
Hak pekerja migran untuk mendapat perlakuan yang sama dalam masalah perumahan dijamin dalam Pasal 43 Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990). Pasal ini menyebutkan bahwa: Pekerja Migran harus dapat menikmati perlakuan yang sama dengan warganegara dari Negara tempat ia bekerja, sehubungan dengan......(d) akses atas perumahan, termasuk lingkungan sosial perumahan, dan perlindungan terhadap eksploitasi dalam hal sewa rumah. Hak atas Perumahan bagi Pekerja Naskah hukum internasional yang paling banyak membahas masalah perumahan adalah Rekomendasi Organisasi Buruh Internasional No. 115 tentang Perumahan bagi Pekerja, tahun 1961. Rekomendasi ini memuat sejumlah pasal yang mengakui pentingnya masalah perumahan, dan memperkokoh landasan hukum bagi hak atas perumahan. Setelah mencatat dalam pembukaannya bahwa Konstitusi ILO mengakui sejumlah besar kewajiban organisasi melanjutkan program-program untuk memenuhi ketentuan tentang perumahan yang layak. Rekomendasi No. 115 menyatakan bahwa: Harus ada kebijakan nasional yang obyektif tentang perumahan untuk.....(memastikan) bahwa akomodasi perumahan yang layak dan baik serta lingkungan hidup yang pantas dapat diperoleh setiap pekerja dan keluarganya. Skala prioritas harus diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan. Secara keseluruhan, 37 konvensi dan rekomendasi-rekomendasi menyebutkan – dalam satu atau lainnya – masalah tentang perumahan. Hak atas Perumahan bagi Pengungsi Berdasarkan Konvensi tahun 1951 mengenai Kedudukan Pengungsi, Negara-negara yang melakukan perjanjian diharuskan untuk memperlakukan para pengungsi sebaik mungkin, dan tidak lebih buruk daripada perlakuan yang diberikan pada orang asing umumnya dalam situasi yang sama, sehubungan dengan masalah perumahan. Hak atas Perumahan bagi Penduduk Asli Draft Deklarasi PBB tentang hak-hak penduduk asli, meskipun masih belum ditetapkan, telah menyebutkan masalah hak penduduk asli ini dua kali: penduduk asli harus memiliki hak untuk menentukan setiap program tentang perumahan serta program-program ekonomi dan sosial lainnya yang mempengaruhi kehidupan mereka; demikian pula penduduk asli harus memiliki hak otonomi dalam hal yang berhubungan dengan kegiatan internal dan lokal mereka, termasuk masalah perumahan. Di samping itu untuk menjadi bagian dari berbagai perjanjian dan deklarasi yang baru disebutkan, hak atas perumahan yang layak juga telah dikemukakan dalam sejumlah resolusi yang ditetapkan oleh berbagai jenis badan pembuat keputusan PBB. Walaupun resolusi-resolusi tersebut tidak mengikat secara hukum, resolusi tersebut menjalankan fungsi penting dalam menyampaikan standar yang diterima secara internasional. Metode pengakuan ini mengungkapkan perhatian dan dukungan global yang terus menerus diberikan terhadap hak atas perumahan oleh masyarakat internasional, setidaknya secara prinsip. Sebagian besar resolusi tentang hak-hak atas perumahan ditujukan
6
kepada Pemerintah-pemerintah, dengan maksud untuk mendorong mereka berusaha lebih banyak lagi bagi pelaksanaan hak-hak tersebut. Sebagai contoh, dalam resolusi 42/146, Majelis Umum menyatakan bahwa: perlu dilakukan upaya-upaya pada tingkat nasional dan internasional untuk pemajuan hak bagi setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk perumahan yang layak, dan mengajak semua Negara dan organisasiorganisasi internasional terkait untuk memberikan perhatian khusus terhadap pelaksanaan hak atas perumahan yang layak dalam melaksanakan upaya-upaya membangun strategi perumahan nasional dan program-program peningkatan pemukiman. Semangat yang termuat dalam resolusi tersebut telah dinyatakan kembali dalam sejumlah resolusi tambahan yang ditetapkan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial, Komisi Hak Asasi Manusia dan Sub Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kalangan Minoritas. Baru-baru ini, dalam resolusinya tahun 1991/26, Sub Komisi mendesak agar: setiap negara terus membuat kebijakan yang efektif dan menetapkan peraturan-peraturan untuk menjamin pelaksanaan hak atas perumahan yang layak bagi seluruh penduduk, dengan mengutamakan orang-orang yang tidak memiliki perumahan atau berada dalam rumah yang tidak layak. Perumahan dan Hak-Hak Lainnya: Kaitan yang Sering Tidak Diakui Sifat tidak terpisahkan dan saling tergantung dari seluruh hak asasi manusia dengan jelas tercermin dalam hak atas perumahan. Sebagaimana diakui oleh sejumlah badan hak asasi manusia PBB, penikmatan sepenuhnya hak-hak seperti hak atas martabat manusia, prinsip non diskriminasi, hak mendapatkan standar hidup yang layak, hak untuk bebas memilih tempat tinggalnya sendiri, hak untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat (seperti bagi penyewa dan kelompok komunitas lainnya), hak atas keamanan seseorang (dalam hal pengusiran secara paksa atau sewenang-wenang atau pelecehan dalam bentuk lainnya) serta hak untuk tidak menjadi korban dari campur tangan semena-mena terhadap masalah pribadi, keluarga dan rumah seseorang atau kenalannya merupakan hal yang sangat diperlukan supaya hak atas perumahan dapat diwujudkan, dilaksanakan dan dipertahankan oleh semua kelompok dalam masyarakat. Pada saat yang sama, dengan memiliki akses terhadap perumahan yang layak, aman dan terjamin secara substansial akan lebih memungkinkan masyarakat untuk dapat menikmati hak tertentu. Perumahan menjadi landasan untuk mendapatkan hak hukum lainnya. Sebagai contoh, kelayakan atas perumahan dan kondisi kehidupan seseorang mempunyai hubungan erat dengan tingkat penikmatan hak atas kesehatan lingkungan serta hak untuk mendapatkan kesehatan mental dan fisik yang sebaik-baiknya. WHO menegaskan bahwa perumahan merupakan suatu faktor lingkungan paling penting yang berhubungan dengan kondisi penyakit dan tingginya angka kematian dan morbiditas. Hubungan ini atau saling pengaruh antara hak asasi manusia tertentu dan hak atas perumahan yang layak, dengan jelas memperlihatkan betapa pentingnya sifat tidak terpisahkan dan saling tergantung menuju penikmatan sepenuhnya atas semua hak . Klarifikasi terhadap Kewajiban Pemerintah Pengakuan hukum secara luas terhadap hak atas perumahan yang layak merupakan kebutuhan yang bersifat mutlak. Meskipun begitu, dari sisi pelaksanaannya, perlu dinyatakan langkah-langkah khusus yang harus dilakukan
7
Pemerintah agar hak-hak yang diatur hukum ini dapat direalisasikan bagi setiap orang. Kadangkala terjadi salah penafsiran bahwa hak seperti hak atas perumahan hanya sekedar mewajibkan Negara untuk menyediakan dana masyarakat yang memadai untuk memenuhi kewajiban ini, dan bahwa pengalokasian lebih lanjut atas sumber moneter saja sudah cukup. Namun demikian, hak atas perumahan dan semua hak ekonomi, sosial dan budaya ternyata menuntut sejumlah kewajiban yang lebih banyak dan kompleks dari Negara-negara. Komite untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah membantu untuk mengklarifikasi berbagai kewajiban pemerintah yang timbul akibat pengakuan terhadap hak atas perumahan yang layak. Hal ini telah dilakukan melalui berbagai inisiatif. Inisiatif-inisiatif ini termasuk: (a) menyelenggarakan “diskusi umum” tentang hak ini; (b) secara komprehensif memperbaiki pedoman untuk laporan Negara berdasarkan Pasal 16 dan 17 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Lampiran 2); (c) menetapkan Keterangan Umum No. 4 tentang Hak atas Perumahan yang Layak (Apendiks III); (d) menyertakan catatan ke dalam kesimpulan akhir beberapa laporan Negara Pihak, yang menunjukkan bahwa Negara yang dimaksud telah menyalahi hak atas perumahan yang layak dengan melakukan pengusiran secara paksa. Langkah-langkah ini, dan tentu saja aturan Kovenan dan sumber hukum lain tentang hak atas perumahan tersebut di atas, telah meningkatkan berbagai kewajiban pemerintah terhadap pelaksanaan hak-hak ini. Kewajiban hukum Pemerintah berkenaan dengan hak atas perumahan terdiri dari (i) tugas-tugas yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1 Kovenan; dan (ii) kewajiban yang lebih spesifik untuk mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak ini dan hak-hak lainnya. Pasal 2 ayat 1 Kovenan merupakan masalah pokok untuk menentukan apa yang harus dilakukan Pemerintah dan apa yang harus dicegah untuk dilakukan dalam proses menuju penikmatan oleh masyarakat secara luas atas hak-hak yang tercantum dalam Kovenan. Pasal ini berbunyi seperti berikut: Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui bantuan dan kerja sama internasional, terutama dalam bidang ekonomi dan tehnis, dengan menggunakan secara maksimum sumberdaya yang dimilikinya, untuk secara bertahap mencapai pelaksanaan sepenuhnya hak-hak yang diakui dalam Kovenan saat ini melalui semua upaya yang tepat, khususnya termasuk penetapan peraturan-peratuaran legislatif. Tiga bagian kalimat dalam pasal ini sangat penting untuk memahami kewajiban Pemerintah dalam melaksanakan sepenuhnya hak-hak yang diakui dalam Kovenan, termasuk hak atas perumahan yang layak: (a) “berjanji untuk melakukan langkah-langkah …… melalui segala upaya yang tepat”; (b) “dengan memanfaatkan secara maksimum sumber daya yang tersedia”; dan ( c) “untuk secara bertahap mencapai.” (a) “berjanji untuk melakukan langkah-langkah……melalui segala upaya yang tepat” Kewajiban ini harus dilakukan segera. Negara harus melakukan langkah-langkah yang ditujukan untuk meratifikasi Kovenan ini. Salah satu dari langkah-langkah pertama yang patut dilakukan adalah bahwa Negara Pihak harus melakukan pengujian secara komprehensif terhadap peraturan yang relevan, dengan maksud untuk menjadikan hukum nasional benar-benar sesuai dengan kewajiban hukum internasional. Komite untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menemukan bahwa dalam sejumlah contoh, peraturan perundang-undangan sangat diinginkan, dan dalam sejumlah kasus lain sangat diperlukan, untuk memenuhi setiap hak
8
yang terdapat dalam Kovenan. Namun demikian, pada saat yang sama Komite menegaskan bahwa penetapan peraturan perundang-undangan saja, atau penyesuaian terhadap peraturan tidak cukup membuat Negara pihak memenuhi kewajibannya berdasarkan Kovenan. Kalimat “melalui upaya yang tepat” telah diterjemahkan secara luas. Di samping peraturan perundangan, langkah-langkah administratif, hukum, ekonomi, sosial dan pendidikan juga harus dilakukan. Secara umum, Pemerintah juga harus mengambil langkah yang hati-hati, konkrit dan terarah sebaik mungkin, dalam melaksanakan kewajiban yang diakui Kovenan. Dibutuhkan langkah cepat dan berkesinambungan untuk mempelajari keadaan yang terjadi berkenaan dengan hak-hak yang tercantum dalam Kovenan. Negara Pihak juga berkewajiban untuk membuat kebijakan dan menyusun prioritas sejalan dengan Kovenan, berdasarkan status berlakunya hak-hak tersebut. Mereka juga dituntut untuk mengevaluasi kemajuan atas upaya-upaya tersebut, dan untuk menyediakan bantuan hukum atau bantuan lainnya bagi suatu pelanggaran. Dengan secara khusus memperhatikan masalah hak atas perumahan yang layak, Negara Pihak dituntut untuk menetapkan strategi perumahan nasional. Strategi ini harus menjabarkan perkembangan kondisi pemukiman, mengenali sumber daya yang dapat mencapai tujuan ini, dan juga cara paling murah dalam penggunaannya, serta merumuskan tanggungjawab dan jangka waktu untuk melaksanakan upaya-upaya yang perlu. Strategi-strategi tersebut harus mencerminkan adanya suatu konsultasi yang sungguh-sungguh dan partisipasi dari seluruh sektor sosial, termasuk mereka yang tidak memiliki rumah dan memiliki rumah tidak layak, serta perwakilan dan organisasi mereka. Dibutuhkan langkah-langkah tambahan untuk menjamin efektifnya koordinasi antara kementerian nasional yang relevan dan pejabat regional dan lokal dalam rangka menyatukan kebijakan (ekonomi, pertanian, lingkungan, energi dan lain-lain) yang berubungan dengan kewajiban yang muncul dari Pasal 11 Kovenan. (b) “dengan memanfaatkan secara maksimum sumberdaya yang tersedia” Hal ini berarti bahwa baik sumberdaya yang ada dalam Negara maupun yang disediakan oleh Negara atau masyarakat internasional, harus dimanfaatkan bagi pemenuhan setiap hak yang tercantum dalam Kovenan. Bahkan di saat “sumber daya yang tersedia” ternyata tidak layak, Negara Pihak harus tetap berusaha untuk menjamin penikmatan yang seluas mungkin atas hak-hak yang relevan sesuai keadaan yang berlaku umum. Satu hal yang penting, prinsip ini menuntut adanya akses yang cukup serta penggunaan yang efektif dari sumberdaya yang tersedia. Walaupun ketidak-tersediaan sumber daya sering digunakan sebagai alasan tidak dapat dipenuhinya suatu hak tertentu, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah menegaskan bahwa meskipun di saat terjadi penurunan kondisi ekonomi yang hebat dan Negara sedang melakukan upaya-upaya perbaikan struktural, anggota kelompok masyarakat lemah dapat dan bahkan harus dilindungi melalui penetapan program-program murah. Apabila suatu Negara menyatakan bahwa ia tidak dapat memenuhi kewajiban terkecil sekalipun karena tidak adanya sumber daya, maka setidak-tidaknya harus dibuktikan bahwa segala usaha telah dilakukan untuk memanfaatkan setiap sumberdaya yang terbuang dalam usaha memenuhi kewajiban minimumnya. Namun demikian, tidak tersedianya sumber daya tidak selalu dapat digunakan untuk menilai kesalahan Negara dalam memenuhi kewajibannya untuk memantau tidak terpenuhinya hak-hak yang tercantum dalam Kovenan.
9
Pada pokoknya, kewajiban Negara adalah untuk membuktikan bahwa secara keseluruhan, upaya-upaya yang dilakukan telah mencukupi untuk melaksanakan hak atas perumahan yang layak bagi setiap orang, dalam waktu yang sesingkat mungkin dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia semaksimal mungkin. (c) “untuk secara bertahap mencapai” Hal ini mewajibkan Negara untuk bergerak cepat dan seefektif mungkin menuju pelaksanaan sepenuhnya setiap hak yang terdapat dalam Kovenan. Singkatnya, Negara tidak dapat menunda begitu saja usaha-usaha untuk menjamin pelaksanaan sepenuhnya terhadap hak-hak tersebut. Walau demikian, tidak semua hak berdasarkan naskah ini dapat diterapkan secara bertahap atau progresif. Baik penetapan peraturan yang berhubungan dengan pasal non diskriminasi dari Kovenan, maupun pemantauan tentang status pelaksanaan hak-hak tersebut, harus dilaksanakan segera setelah ratifikasi dilakukan. Kewajiban “untuk secara bertahap mencapai” ini harus dibaca dalam pengertian Pasal 11.1 Kovenan, khususnya pada masalah tentang hak untuk “perbaikan kondisi kehidupan yang berkesinambungan.” Setiap upaya untuk sengaja mengendurkan masalah (retrogesif) tersebut, harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati serta perlu diberikan alasan yang dapat diterima dengan mengacu pada keseluruhan hak yang dicantumkan dalam Kovenan, dan dalam konteks pemanfaatan sepenuhnya sumber-sumber yang tersedia. “Kewajiban pokok minimum” Berdasarkan Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, setiap Negara Pihak – tanpa memperdulikan tingkat pertumbuhan ekonominya – mempunyai kewajiban pokok minimum untuk menjamin pemenuhan, paling tidak tingkat minimum, dari hak yang terdapat dalam instrumen ini. Berdasarkan Kovenan yang sama, suatu Negara Pihak di mana sejumlah individu dicabut hak tinggal dan hak perumahannya, merupakan bukti kuat, bahwa Negara tersebut gagal dalam melaksanakan kewajibannya berdasarkan Kovenan. Di atas tuntutan pokok ini terdapat empat kewajiban tambahan bagi Negara sehubungan dengan hak atas perumahan yang layak. “Untuk Mengakui” Kewajiban Negara untuk mengakui hak atas perumahan dimanifestasikan dalam beberapa masalah kunci. Pertama, setiap Negara harus mengakui dimensi hak asasi manusia dari masalah perumahan, dan memastikan bahwa tidak satu upaya pun yang akan dilakukan dengan tujuan menggerogoti status hukum hak ini. Kedua, upaya-upaya legialatif berdampingan dengan kebijakan yang tepat dengan tujuan untuk secara bertahap mencapai pemenuhan hak atas perumahan, membentuk bagian dari kewajiban “untuk mengakui” ini. Setiap peraturan atau kebijakan yang jelas-jelas mengurangi hak hukum atas perumahan yang layak harus dicabut atau diubah. Kebijakan dan peraturan tidak boleh dirancang untuk meraih keuntungan dari kelompok sosial yang telah maju, dengan menarik biaya melebihi yang dibutuhkan. Dimensi lain dari kewajiban untuk mengakui hak ini dapat tercermin melalui kebijakan-kebijakan. Secara khusus, persoalan hak atas perumahan harus terkait dengan perkembangan masalah-masalah Negara secara keseluruhan.
10
Di samping itu, strategi nasional yang bertujuan untuk melaksanakan secara bertahap hak atas perumahan bagi semua orang melalui penentuan target-target tertentu, harus ditetapkan. Ketiga, pengakuan terhadap hak atas perumahan mengandung arti bahwa Negara harus melakukan upayaupaya meningkatkan derajat hak yang telah dinikmati oleh penduduk, pada saat dilakukan ratifikasi. Lebih penting lagi, Negara harus sungguh-sungguh menentukan pada tingkat mana hak ini tidak ditempatkan dengan benar, dan membuat target kebijakan dan peraturan yang menuju pada pencapaian hak ini bagi setiap orang, dalam waktu sesingkat mungkin. Dalam hal ini, Negara harus memberikan prioritas kepada kelompok sosial yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan dengan memberikan perhatian khusus pada mereka. “Untuk Menghormati” Kewajiban untuk menghormati hak atas perumahan yang layak mengandung arti bahwa Pemerintah harus mencegah setiap tindakan yang menghalangi orang untuk dapat menikmati hak-hak mereka apabila mereka mampu. Penghormatan terhadap hak ini akan seringkali menghendaki Pemerintah bersikap abstain dalam tindakan-tindakan tertentu dan membutuhkan komitmennya untuk memfasilitasi inisiatif
“menolong diri sendiri” dari kelompok-
kelompok yang memprihatinkan. Dalam konteks ini, Negara harus berhenti membatasi penikmatan sepenuhnya atas hak berpartisipasi secara murah dari para pemegang hak atas perumahan, serta menghormati hak dasar untuk berserikat dan berkumpul. Secara khusus, tanggung jawab untuk menghormati hak atas perumahan yang layak mengandung arti bahwa Negara tidak boleh melakukan suatu tindakan yang dapat mendukung pengusiran orang atau kelompok secara paksa atau semena-mena. Negara harus menghormati hak manusia untuk membuat rumah sendiri dan menata lingkungan mereka dengan cara paling efektif yang selaras dengan kebudayaan, keahlian, kebutuhan dan keinginan mereka sendiri. Menghormati hak untuk diperlakukan secara setara, hak atas “privacy” rumah mereka, dan hak-hak yang relevan lainnya juga merupakan bagian dari tugas Negara untuk menghormati hak atas perumahan. “Untuk Melindungi” Untuk memberi perlindungan yang efektif terhadap hak penduduk atas perumahan, Negara harus menjamin bahwa setiap pelanggaran yang mungkin terjadi terhadap hak-hak ini oleh “pihak ketiga” – seperti tuan tanah atau pengembang perumahan – harus dicegah. Apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran tersebut, petugas Negara terkait harus bertindak untuk mencegah setiap pengusiran selanjutnya. Juga menjamin agar orang-orang yang menjadi korban mendapatkan bantuan hukum untuk mendapat penggantian atas akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut. Dalam rangka memberi parlindungan terhadap hak warga negara dari tindakan seperti pengusiran secara paksa, Pemerintah harus segera melakukan upaya-upaya untuk memberi pengamanan terhadap status hukum hak milik setiap orang dan rumah tangga dalam masyarakat yang belum mendapatkan perlindungan-perlindungan tersebut. Di samping itu, penduduk harus mendapatkan perlindungan melalui undang-undang dan upaya-upaya efektif lainnya terhadap perlakuan diskriminatif, gangguan, penghentian pelayanan dan ancaman-ancaman lainnya. Negara harus melakukan langkah-langkah untuk menjamin bahwa biaya-biaya yang berhubungan dengan perumahan bagi seseorang, keluarga dan rumah tangga sepadan dengan tingkat pendapatan mereka. Suatu sistem subsidi
11
perumahan harus dibentuk bagi sektor-sektor masyarakat yang tidak mampu mendapatkan perumahan yang layak. Demikian juga dengan perlindungan bagi penyewa terhadap kenaikan harga sewa yang tidak beralasan atau sporadis. Negara harus memastikan penciptaan mekanisme penegakan hukum, kuasi hukum, administrasi dan politik yang mampu memberi penggantian kepada setiap korban pelanggaran hak atas perumahan yang layak. “Untuk Memenuhi” Dibandingkan dengan kewajiban untuk mengakui, menghormati dan melindungi, kewajiban Negara untuk memenuhi hak atas perumahan yang layak memiliki sifat positif dan sifat campur tangan. Termasuk dalam kategori ini terutama adalah masalah pengeluaran dana masyarakat, peraturan pemerintah tentang ekonomi dan harga tanah, pemberian pelayanan masyarakat dan masalah infrastruktur terkait, redistribusi pendapatan dan kewajiban positif lain yang timbul. Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah menegaskan perlunya disusun strategi pemerintahan yang bertujuan menjamin hak setiap orang untuk hidup dalam kedamaian dan bermartabat. Akses terhadap tanah sebagai suatu hak yang melekat harus dimasukkan dalam strategi-strategi tersebut. Komite ini lebih jauh menyatakan bahwa sebagian besar peraturan yang diperlukan untuk pemenuhan hak atas perumahan akan terkait dengan pengalokasian sumberdaya, dan bahwa dalam kasus tertentu, pengalokasian dana masyarakat untuk perumahan akan sangat bermanfaat bila langsung digunakan bagi pembangunan perumahan baru. Secara umum, dalam masalah pembiayaan perumahan, Negara harus menentukan bentuk dan tingkat pengeluaran yang sesuai dengan cerminan kebutuhan perumahan masyarakat, dan yang konsisten dengan kewajiban yang timbul dari Kovenan dan sumber-sumber hukum lainnya. Seperti diproklamirkan dalam Prinsip Limburg tentang Penerapan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan ditegaskan lebih lanjut oleh Komite, dengan mempergunakan semua sumberdaya yang tersedia, prioritas harus diberikan pada pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam Kovenan, dengan memperhatikan perlunya menjamin kebutuhan minimum setiap orang, seperti juga ketentuan tentang pelayanan yang dibutuhkan. Inisiatif-Inisiatif Lain Dalam laporan Sub Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Bagi Kalangan Minoritas pada 1990, Pelapor Khusus untuk pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya telah memprakarsai proses memperluas isi dari hak atas perumahan. Proses ini berjalan di dalam kerangka kerja penyusunan standar masa depan bidang-bidang tertentu oleh PBB. Pada 1992, kertas kerja yang dipersiapkan oleh Pelapor Khusus dengan judul “Hak Atas Perumahan yang Layak” mendapat perhatian dari Sub Komisi. Elemen kunci dari makalah ini adalah usaha untuk lebih menjelaskan kewajiban Negara berkenaan dengan hak ini. Penelitian tersebut juga membahas persoalan apakah PBB pada akhirnya perlu atau tidak untuk menetapkan Konvensi khusus tentang hak atas perumahan.
12
Kewajiban Masyarakat Internasional Kewajiban masyarakat internasional (suatu istilah yang mencakup seluruh Negara dan lembaga-lembaga internasional) menuju pelaksanaan hak atas perumahan yang layak, ternyata lebih luas daripada anggapan umum. Sebagai contoh, berdasarkan Pasal 55 dan 56 Piagam PBB dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang telah berlaku, kerja sama internasional untuk pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan kewajiban setiap Negara. Tanggung jawab ini secara khusus menjadi kewajiban Negara-negara yang berada dalam kondisi yang memungkinkannya membantu negara lain dalam masalah ini. Demikian pula Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan tahun 1986 menegaskan, bahwa bila tidak ada program kegiatan bantuan teknis dan keuangan serta kerja sama internasional, maka pelaksanaan secara utuh dari hak ekonomi, sosial dan budaya senantiasa akan tetap menjadi aspirasi yang tak terpenuhi di banyak negara. Lebih khusus lagi, sehubungan dengan hak atas perumahan yang layak, secara keseluruhan masyarakat internasional mempunyai kewajiban hukum untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak-hak ini melalui sejumlah upaya seperti : Menahan diri dari upaya paksa yang dirancang untuk memaksa suatu Negara agar mencabut atau melanggar kewajiban yang berkenaan dengan hak atas perumahan. Memberikan bantuan keuangan atau bantuan lain kepada Negara yang membutuhkannya akibat adanya bencana alam, masalah lingkungan, atau karena musibah lain yang mengakibatkan, misalnya, kerusakan perumahan atau tempat tinggal. Menjamin ketentuan mengenai tempat tinggal dan/atau perumahan bagi orang yang terpaksa pindah, pengungsi internasional yang melarikan diri akibat penyiksaan, pertikaian sipil, pertikaian bersenjata, kekeringan, kelaparan dll. Menanggapi pelanggaran yang melecehkan hak atas perumahan yang terjadi di setiap negara; dan Dengan tekun menegaskan kembali secara berkala tentang pentingnya hak atas perumahan yang layak, dan memastikan bahwa naskah hukum baru yang ditetapkan, dengan cara apapun tidak mengurangi tingkat pengakuan yang diberikan terhadap hak ini. Pemberian Hak atas Perumahan Salah satu rintangan dalam mewujudkan hak atas perumahan adalah tidak adanya pengakuan universal terhadap definisi dari sejumlah hal yang mencerminkan norma ini. Rintangan tersebut mungkin lebih merupakan hasil penafsiran daripada analisis hukum yang sebenarnya. Baru-baru ini, telah diambil sejumlah langkah-langkah untuk menjernihkan pendekatan hukum terhadap masalah ini. Hal terpenting adalah Keterangan Umum No. 4 dari Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tentang Hak atas Perumahan yang Layak, yang merumuskan hak ini sebagai kumpulan dari berbagai permasalahan yang spesifik. Secara keseluruhan, hak-hak ini membentuk suatu jaminan pokok, yang berdasarkan hukum internasional secara yuridis melekat pada setiap orang. 1.
Jaminan hukum atas hak huni
13
Semua orang harus memiliki tingkat jaminan hukum atas hak huni yang memberikan jaminan perlindungan terhadap pengusiran paksa, gangguan dan ancaman-ancaman lain. Oleh karena itu Pemerintah harus segera melakukan upaya-upaya untuk memberikan jaminan hukum atas hak huni kepada rumahtangga-rumahtangga yang saat ini tidak memiliki perlindungan tersebut. Langkah-langkah ini harus dilakukan melalui pertimbangan yang tulus dengan orang atau kelompok dimaksud. 2.
Ketersediaan pelayanan, material dan infrastruktur Semua pemegang hak atas perumahan yang layak harus terus mempunyai akses terhadap sumber daya alam
dan sumberdaya bersama, air minum yang bersih, energi untuk memasak, pemanas dan penerangan, fasilitas sanitasi, mencuci, tempat penyimpanan makanan, tempat sampah, saluran pembuangan, dan pelayanan-pelayanan darurat. 3.
Perumahan yang terjangkau harganya Pengeluaran pribadi atau rumah tangga yang berhubungan dengan perumahan harus berada pada tingkat yang
terjangkau tanpa merugikan hak-hak atas kebutuhan dasar lainnya. Subsidi untuk perumahan harus bisa didapat oleh mereka yang tidak mampu memiliki rumah, dan para penyewa harus dilindungi dari tingkat harga sewa atau kenaikan harga sewa yang tidak masuk akal. Di dalam masyarakat di mana bahan alam menjadi bahan utama pembangunan perumahan, Negara harus mengambil langkah untuk menjamin tersedianya bahan-bahan tersebut. 4.
Perumahan yang layak huni Perumahan yang memadai adalah yang layak huni. Dengan kata lain, rumah tersebut harus dapat memberikan
ruang yang cukup serta perlindungan terhadap udara dingin, lembab, panas, hujan angin atau ancaman lain yang membahayakan kesehatan, resiko struktur bangunan dan pembawa penyakit. Keselamatan fisik para penghuni juga harus dijamin. 5.
Perumahan yang dapat diakses Perumahan yang memadai harus dapat diakses oleh mereka yang berhak. Kelompok-kelompok yang kurang
beruntung harus diberikan akses penuh dan berkesinambungan ke sumber daya perumahan yang layak. Dengan demikian kelompok-kelompok tersebut – seperti orang yang lanjut usia, anak-anak, penderita cacat, orang sakit, pengidap HIV, orang yang terus bermasalah dengan kesehatannya, yang sakit jiwa, korban bencana alam, penduduk yang hidup di wilayah pusat bencana dan kelompok-kelompok yang kurang beruntung lainnya – harus mendapat jaminan untuk diprioritaskan dalam mempertimbangkan lingkungan perumahan. Baik hukum maupun kebijakan tentang perumahan harus benar-benar memperhatikan secara khusus kebutuhan perumahan bagi kelompok-kelompok ini. 6.
Lokasi Perumahan yang layak harus berada pada suatu lokasi yang menyediakan akses untuk memilih pekerjaan,
pelayanan kesehatan, sekolah, pusat penitipan anak dan fasilitas sosial lainnya. Perumahan tidak boleh dibangun pada
14
daerah yang berpolusi, juga tidak boleh dibangun pada daerah dekat sumber polusi yang membahayakan hak atas kesehatan bagi penduduk. 7.
Perumahan yang layak secara budaya Cara membangun rumah, penggunaan bahan bangunan dan kebijakan mengenai masalah ini harus
dapat mencerminkan identitas dan keanekaragaman budaya. Kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan atau memodernisasi lingkungan perumahan harus menjamin bahwa dimensi budaya dari perumahan tidak dikorbankan. Luasnya hak ini menunjukkan sejumlah permasalahan berkenaan dengan hak atas perumahan yang layak. Hakhak tersebut juga memperlihatkan banyaknya bidang yang harus benar-benar diperhatikan oleh Negara yang berkewajiban memenuhi hak atas perumahan dari penduduknya. Setiap orang, keluarga, rumah tangga, kelompok atau masyarakat yang hidup dalam kondisi di mana hak-hak ini tidak seluruhnya dipenuhi, mempunyai alasan untuk menyatakan bahwa mereka tidak menikmati hak atas perumahan yang layak seperti tercantum dalam hukum hak asasi manusia internasioanal. Memantau Hak atas Perumahan Yang Layak Luasnya ruang lingkup permasalahan yang timbul dari hak atas perumahan yang layak menuntut PBB untuk melakukan berbagai kegiatan pemantauan. Pemantauan oleh Habitat Sejumlah persoalan teknis yang berhubungan dengan hak ini dipantau oleh Pusat Pemukiman Manusia PBB (Habitat) sejalan dengan Strategi Global untuk Pemukiman sampai Tahun 2000. Habitat telah membuat sekumpulan indikator kunci yang dirancang untuk menangkap elemen-elemen penting dari kinerja sektor pemukiman di setiap negara. Indikator ini menekankan adanya pelayanan dasar sebagai komponen integral untuk mencukupi pemukiman. Faktor relevan lainnya termasuk harga, jumlah, mutu, pasokan dan permintaan. Laporan dari pemerintah-pemerintah berdasarkan berbagai indikator ini dipersiapkan setiap dua tahun sekali untuk dipertimbangkan oleh Komisi untuk Pemukiman Manusia. Pemantauan sehubungan dengan penerapan Strategi Global untuk Pemukiman sampai Tahun 2000 juga dikoordinir oleh Habitat. Proses ini dirancang untuk mengetahui langkah-langkah yang diambil beserta kemajuankemajuan yang telah dicapai, tidak hanya oleh Negara Anggota PBB, tetapi juga oleh badan-badan dalam sistem PBB seperti organisasi regional, bilateral dan organisasi non-pemerintah. Pada 5 Mei 1993, Komisi untuk Pemukiman Manusia menetapkan resolusi tentang hak asasi manusia untuk perumahan yang layak (lihat salinan kutipan dalam Lampiran I). Resolusi merekomendasikan antara lain, agar Komite Persiapan untuk rencana Konperensi PBB tentang Pemukiman Manusia tahun 1996 (Habitat II), memperhatikan persoalan hak asasi manusia atas perumahan yang layak. Pemantauan oleh Sistem Hak Asasi Manusia PBB
15
Berdasarkan Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Negara Pihak diminta untuk menyampaikan laporan sekali dalam lima tahun, yang menggambarkan antara lain, upaya legislatif dan upaya lainnya yang telah dilakukan dalam wilayah hukum masing-masing untuk melaksanakan hak atas perumahan yang layak bagi setiap orang. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya membahas pedoman untuk membantu Negara Pihak dalam menyusun laporannya. Pedoman ini telah selesai direvisi pada 1990. Pedoman mengenai hak atas perumahan yang layak tercantum dalam Lampiran 2. Berdasarkan pedoman yang baru, Negara Pihak pada Kovenan dianjurkan untuk melaporkan masalah perkembangan dan upaya-upaya yang dilakukan, misalnya: jumlah orang dan keluarga yang tidak memiliki rumah; jumlah orang yang tidak memiliki perumahan yang layak; jumlah orang yang diusir selama lima tahun terakhir; jumlah orang yang tidak memiliki perlindungan terhadap pengusiran paksa atau sewenang-wenang; peraturan yang ada sehubungan dengan pelaksanaan hak atas perumahan yang layak; upaya yang telah dilakukan untuk membebaskan tanah terlantar untuk tujuan pembangunan perumahan; dan upaya-upaya yang dilakukan untuk menjamin bahwa bantuan internasional untuk perumahan dan pemukiman manusia dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dari kelompokkelompok yang paling kurang beruntung. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mempelajari dengan sangat hati-hati laporan ini bersama informasi lain yang tersedia. Diskusi juga dilakukan dalam pertemuan dengan perwakilan Negara Pihak yang mempresentasikan laporan negaranya. Dalam proses ini, Komite berada pada posisi untuk memantau sampai sejauh mana hak-hak yang tercantum dalam Kovenan telah dilaksanakan oleh dan di dalam setiap Negara Pihak. Sehubungan dengan hak atas perumahan yang layak, Komite dan badan hak asasi manusia PBB lainnya mengakui bahwa pemantauan yang komprehensif terhadap tingkat penghormatan dan penikmatan hak ini merupakan tugas yang sulit. Bagian yang tersulit berasal dari kenyataan bahwa sangat sedikit Negara yang dapat mengumpulkan statistik perumahan secara sistematik atau indikatornya yang benar-benar relevan dengan masalah yang terdapat dalam Kovenan. Walaupun demikian, dalam Keterangan Umum No. 4, Komite telah menjelaskan bahwa kewajiban untuk memantau secara efektif situasi masalah perumahan merupakan suatu hal yang positif. Dengan demikian Negara pihak diminta untuk untuk melakukan langkah apapun yang diperlukan, baik secara sendiri-sendiri ataupun atas dasar kerja sama internasional, untuk mendapatkan kepastian jumlah orang yang tak memiliki rumah dan yang memiliki rumah yang tidak layak di dalam wilayah hukum mereka. Negara Pihak secara khusus harus memberikan informasi yang terinci kepada Komite, mengenai kelompokkelompok lemah dan yang tidak beruntung di dalam masyarakat sehubungan dengan masalah perumahan. Laporan dari setiap Negara Pihak pada Kovenan bersifat terbuka untuk umum. Salinan laporan dapat diperoleh melalui Pusat Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa. Menuju Pembenaran atas Hak atas Perumahan. Persoalan apakah prinsip hukum pembenaran (justiciability) atau ketentuan tentang upaya pemulihan hukum domestik dapat diterapkan pada hak ekonomi, sosial dan budaya – khususnya hak atas perumahan yang layak – telah
16
dengan tegas dijawab oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Menurut Komite ini, bidang-bidang di mana ketentuan tersebut dapat diterapkan mencakup: (a) Permohonan hukum untuk mencegah pengusiran terencana atau pembongkaran melalui putusan pengadilan berupa perintah untuk menghentikannya; (b) Prosedur hukum untuk permintaan ganti rugi akibat pengusiran yang melawan hukum (c) Pengaduan terhadap tindakan melawan hukum yang dilakukan atau didukung oleh tuan tanah (baik pemerintah atau swasta) sehubungan dengan tingkat harga sewa, pemeliharaan pemukiman, dan bentukbentuk diskriminasi ras atau diskriminasi lainnya. (d) Tuduhan atas setiap bentuk diskriminasi dalam pengalokasian dan penyediaan akses atas perumahan; (e) Pengaduan terhadap tuan tanah sehubungan dengan kondisi perumahan yang tidak sehat atau tidak layak; dan (f) Gugatan class action dalam situasi yang membuat makin bertambahnya jumlah orang yang tidak memiliki perumahan. Pelanggaran terhadap Hak atas Perumahan. Berbagai badan hak asasi manusia PBB telah menegaskan bahwa hak atas perumahan sangat mungkin dilanggar oleh Pemerintah. Dalam salah satu pendapat awal tentang masalah ini, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mencatat dalam sidangnya yang keempat (1990), bahwa: Hak atas perumahan dapat menjadi sasaran pelanggaran. Tindakan dan kelalaian untuk bertindak merupakan pelanggaran yang perlu dipelajari oleh Komite, khususnya dalam konteks pengusiran. Juga dalam sidangnya yang keempat, dalam Keterangan Umum No. 2, yang menangani upaya-upaya bantuan teknis internasional, Komite menegaskan bahwa lembaga keuangan internasional dan badan pembangunan: harus dengan teliti menghindari keterlibatan mereka dalam proyek-proyek yang….melibatkan pengusiran atau pemindahan orangorang dalam skala besar tanpa menyediakan semua perlindungan dan ganti rugi yang layak….Setiap usaha harus dilakukan, pada setiap tahap pembangunan proyek, untuk menjamin bahwa hak-hak yang tercantum dalam Kovenan benar-benar diperhatikan. Sejak saat itu, Komite memperkuat pendekatannya terhadap kepatuhan Negara Pihak kepada kewajiban atas hak atas perumahan. Dalam dua kesempatan yang berbeda Komite membuat ketentuan bahwa toleransi pemerintah atas pengusiran paksa di dalam wilayahnya merupakan pelanggaran terhadap Kovenan. Keterangan Umum No. 4 mengenai Hak atas Perumahan yang Layak menyampaikan pandangan Komite lebih lanjut mengenai masalah ini: Komite menyadari bahwa terjadinya pengusiran secara paksa sangat tidak sesuai dengan persyaratan dalam Kovenan, dan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan yang sangat ekstrim, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan. Demikian pula, dalam resolusinya tahun 1991/12, Sub Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kalangan Minoritas memberikan perhatian terhadap kenyataan bahwa praktek pengusiran secara peksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap hak atas perumahan yang layak, (dan) perlu segera dilakukan upaya-upaya di semua tingkat untuk menghapus praktek pengusiran secara paksa. Komisi Hak Asasi Manusia dalam resolusinya, yang lebih kemudian, tahun 1993 menegaskan bahwa praktek pengusiran secara paksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap hak atas perumahan yang layak.
17
Sampai saat ini, PBB hanya memperhatikan pelanggaran terhadap hak atas perumahan dalam konteks pengusiran secara paksa, baik yang dilakukan Negara atau yang dilakukan dengan persetujuan Negara. Namun demikian, nampaknya dalam waktu dekat akan dipertimbangkan juga pelanggaran atas hak perumahan yang benar-benar terjadi maupun yang mungkin akan terjadi. Pada 1991, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyampaikan pendapat bahwa “kemunduran kondisi kehidupan dan perumahan secara umum, merupakan akibat langsung dari kebijakan dan peraturan yang diputuskan oleh Negara Pihak, dan tidak adanya upaya untuk memberikan ganti rugi merupakan hal yang tidak sesuai dengan kewajiban yang terdapat dalam Kovenan.” Tindakan dan kelalaian lain yang mungkin dapat memicu pelanggaran terhadap hak atas perumahan yang layak termasuk – tetapi tidak terbatas pada – tindakan yang bersifat diskriminasi ras dan bentuk diskriminasi lainnya dalam lingkungan perumahan; pembongkaran atau perusakkan rumah sebagai upaya penghukuman; kegagalan untuk melakukan “langkah-langkah yang tepat” seperti tersebut di atas; kegagalan untuk mengubah atau mencabut peraturan yang tidak sesuai dengan Kovenan; atau tidak memberikan jaminan kepada sejumlah besar individu atas kebutuhan minimum dari tempat berteduh atau perumahan. Hak atas Perumahan: Adakah Hak untuk Mengajukan Pengaduan? Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tidak menciptakan mekanisme yang dapat digunakan oleh individu untuk menyampaikan pengaduan bahwa hak atas perumahan mereka tidak dipenuhi oleh Pemerintahnya. Namun kerja sama dengan organisasi non-pemerintah yang aktif mengikuti sidang tahunan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, bisa memungkinkan orang atau kelompok dimaksud dapat meminta perhatian dari badan ini terhadap praktek dan peraturan Negara Pihak yang diyakini tidak sesuai dengan kewajiban berdasarkan Kovenan. Mungkin jumlah pengaduan akan lebih besar di masa yang akan datang. Komite telah membahas gagasan untuk memasukkan suatu protokol opsional – seperti Protokol Opsional untuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Protokol tersebut, antara lain, memungkinkan warga negara suatu Negara yang telah meratifikasi Kovenan untuk menyampaikan pengaduan tentang pelanggaran terhadap hak-hak yang tercantum dalam instrumen tersebut, langsung kepada Komite agar diperhatikan. Di samping itu, mekanisme pengaduan berdasarkan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Lembar Fakta No.7, 12), Protokol Opsional untuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Lembar Fakta No. 7, 15), Konvensi tentang Hak Anak (revisi Lembar Fakta No. 10), Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 1503 tentang Prosedur dan Mekanisme Pemberlakuan Organisasi Buruh Internasional, dapat dimanfaatkan oleh seseorang untuk menyatakan bahwa mereka menjadi korban pelanggaran dalam bentuk-bentuk tertentu dari hak atas perumahan. Selanjutnya, masalah dan kasus khusus yang berhubungan dengan hak atas perumahan yang layak, dapat diajukan oleh Negara-negara Anggota, badan-badan khusus dan organisasi non-pemerintah, dalam sejumlah forum berlainan dari PBB: Sub Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kalangan Minoritas, Komisi Hak Asasi Manusia (baik secara langsung maupun melalui Pelapor Khusus negara dimaksud atau Kelompok Kerja – sesuai dengan kebutuhan), Dewan Ekonomi dan Sosial, serta Majelis Umum.
18
Negara-negara itu sendiri tentu saja dapat selalu memberikan perhatian mereka pada situasi hak atas perumahan di Negara lain, apabila situasi tersebut merupakan pelanggaran atas kewajiban hukum yang dimiliki Negara tersebut. Sejumlah perjanjian memasukkan hak dari Negara Pihak untuk memprakarsai “pengaduan antar-Negara” terhadap Negara Pihak lainnya dalam instrumen hak asasi manusia yang sama. Organisasi Non-Pemerintah dan Hak atas Perumahan Organisasi non-pemerintah baik lokal maupun internasional, merupakan aktor penting dalam usaha pemajuan dan penegakkan hak atas perumahan yang layak. Pada tingkat lokal dan nasional, organisasi non-pemerintah dapat menyampaikan gagasan yang dibuat untuk pemajuan pelaksanaan hak atas perumahan yang layak. Dengan memberi perhatian khusus pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, mereka dapat menerbitkan dan menyebarkan instrumen ini kepada kelompok-kelompok lemah dan tidak beruntung di dalam masyarakat. Mereka juga dapat berusaha untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan laporan yang dilakukan oleh Pemerintah. Sejumlah organisasi non-pemerintah memiliki status konsultatif dengan PBB. Hal ini memberikan hak-hak tertentu pada mereka untuk berpartisipasi dalam PBB. Perorangan, kelompok lokal dan organisasi non-pemerintah lainnya yang tidak memiliki status konsultatif dapat menyampaikan persoalan mereka melalui pemegang status konsultatif untuk disampaikan kepada Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan badan-badan lain yang menangani masalah hak atas perumahan. Di samping itu, setiap orang atau kelompok di mana saja, dapat mengirimkan informasi tentang pelanggaran oleh setiap Negara terhadap setiap hak yang tercantum dalam Kovenan, langsung kepada Sekretaris Komite pada Pusat Hak Asasi Manusia. Hasil komunikasi ini disimpan dalam arsip Negara yang bersangkutan untuk disebarkan kepada anggota Komite dalam acara-acara tertentu. Organisasi non-pemerintah dapat memberikan pendidikan hukum, pelatihan dan nasehat kepada warga negara suatu Negara yang telah meratifikasi Kovenan atau instrumen relevan lainnya, dengan tujuan untuk memberitahu masyarakat tentang hak-hak mereka dan bagaimana menegakkannya. Kampanye tentang hak atas perumahan telah dilakukan di banyak negara, demikian pula di tingkat internasional. Kampanye ini berusaha memantau situasi dan juga menegakkan hak atas perumahan yang layak melalui berbagai cara, termasuk mendasarkan diri pada standar hukum internasional seperti yang telah disampaikan dalam Lembar Fakta ini. Daftar organisasi terkemuka yang ikut memperjuangkan pengakuan universal terhadap hak atas perumahan yang layak dapat dilihat dalam Lampiran 4.
19
LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Sumber Hukum Hak Atas Perumahan yang Layak Berdasarkan Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Manusia KONVENSI DAN KOVENAN INTERNASIONAL Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) pada 16 Desember 1966, mulai berlaku tanggal 3 Januari 1976; 106 Negara menjadi Pihak pada Juni 1992. Negara yang tunduk pada Kovenan dipantau oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 11 AYAT 1 Kovenan ini menyatakan: “Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan, sandang dan papan, dan perbaikan kondisi hidup yang terus menerus. Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin perwujudan hak tersebut, dengan mengakui arti penting yang esensial dari kerja sama internasional yang didasarkan pada kesepakatan sukarela.” Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (1965), ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum PBB 2106 A (XXI) pada 21 Desember 1965, mulai berlaku tanggal 4 Januari 1969; 130 Negara menjadi Pihak pada Januari 1992. Negara yang tunduk pada Konvensi dipantau oleh Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras. Pasal 5 Konvensi ini menyatakan: “Dalam memenuhi kewajiban dasar seperti disebut dalam Pasal 2 konvensi ini, Negara-negara Pihak berjanji untuk melarang dan menghapus diskriminasi ras dalam segala bentuknya, dan memberi jaminan terhadap hak setiap orang, tanpa membedakan ras, warna kulit, atau asal-usul kebangsaan atau sosial, atas persamaan di muka hukum, terutama dalam penikmatan hak sebagai berikut:…..(e) Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, khususnya:….(iii) Hak atas Perumahan” Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1979), ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum PBB 34/180 pada 18 Desember 1979, mulai berlaku tanggal 3 September 1981; 99 Negara menjadi Pihak pada Januari 1992. Negara yang tunduk pada Konvensi dipantau oleh Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pasal 14.2 Konvensi ini menyatakan: “Negara-negara Pihak harus melakukan semua upaya yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan dalam rangka memberi jaminan, berlandaskan persamaan antara pria dan perempuan, bahwa mereka berpartisipasi dalam dan mendapat manfaat dari pembangunan pedesaan dan, terutama, terhadap perempuan harus dijamin hak:….(h) untuk menikmati kondisi kehidupan yang layak,
20
terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, pasokan listrik dan air,
angkutan dan
telekomunikasi.” Konvensi tentang Hak Anak (1989), ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum PBB 44/25 pada 20 November 1989, mulai berlaku tanggal 2 September 1990; 69 Negara menjadi Pihak pada Januari 1992. Negara yang tunduk pada Konvensi dipantau oleh Komite Hak Anak. Pasal 27.3 Konvensi menyatakan: “Negara-negara Pihak, sesuai dengan kondisi nasional dan sesuai batas kemampuan mereka, harus melakukan upaya-upaya yang tepat untuk membantu para orang tua dan penanggungjawab anak-anak lainnya untuk menerapkan hak ini, dan apabila dibutuhkan harus memberikan bantuan materil dan program-program pendukung, khususnya sehubungan dengan masalah gizi, pakaian dan perumahan” Konvensi Sehubungan Dengan Status Pengungsi (1951), ditetapkan pada 28
Juli 1951, oleh
Konferensi Duta Besar PBB untuk Status Pengungsi dan Orang yang Tidak Memiliki Negara mulai berlaku tanggal 22 April 1954. Pasal 21 Konvensi ini menyatakan: “Dalam masalah perumahan, Negara yang melakukan Perjanjian, sepanjang masalahnya diatur oleh hukum atau peraturan atau berada di bawah wewenang pejabat negara, berdasarkan atas hukum harus memberikan perlakuan sebaik mungkin terhadap pengungsi yang tinggal di wilayahnya, dalam setiap kesempatan, yang tidak lebih buruk daripada perlakuan yang diberikan kepada orang asing dalam situasi yang sama.” Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Hak Setiap Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990), ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada 16 Desember 1990, Belum diberlakukan; Negara yang tunduk pada Konvensi ini akan dipantau oleh Komite Perlindungan Terhadap Hak Setiap Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Pasal 14.2 Konvensi ini menyatakan: “Pekerja migran harus menikmati persamaan dalam perlakuan seperti warganegara dari Negara tempatnya bekerja sehubungan dengan:…..(d) akses atas perumahan, termasuk lingkungan sosial perumahan, dan perlindungan terhadap eksploitasi harga sewa” DEKLARASI DAN REKOMENDASI INTERNASIONAL Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (1948), ditetapkan dan diproklamirkan oleh resolusi Majelis Umum PBB 217 A (III) tanggal 10 Desember 1948. Pasal 25.1 Deklarasi ini menyatakan: “Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak atas kesehatan dan kehidupan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang dibutuhkan, dan hak untuk mendapat jaminan saat menganggur, sakit, cacat, janda, lanjut usia atau ketidakmampuan lain untuk melanjutkan kehidupan dalam situasi yang ada di luar kendalinya.”
21
Deklarasi tentang Hak Anak (1959), diproklamirkan oleh resolusi Majelis Umum PBB 1368 (XIV) tanggal 29 November 1959. Ketentuan 4 menyatakan: “Anak-anak harus menikmati manfaat jaminan sosial. Ia harus mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat; untuk hal ini, perawatan dan perlindungan khusus harus diberikan kepadanya dan ibunya, termasuk perawatan yang layak sebelum dan sesudah kelahiran. Anak-anak harus mempunyai hak untuk mendapatkan gizi yang layak, perumahan, hiburan dan pelayanan kesehatan” Rekomendasi Organisasi Buruh Internasional No. 115 tentang Perumahan bagi Pekerja (1961), ditetapkan pada sidang keempat puluh empat Badan Pelaksana ILO pada 7 Juni 1961.
Ketentuan 2
menyatakan: “kebijakan (perumahan) nasional harus bertujuan untuk memajukan pembangunan perumahan dan fasilitas umum terkait dengan tujuan untuk menjamin bahwa akomodasi perumahan yang layak dan baik serta lingkungan hidup yang nyaman tersedia bagi setiap pekerja dan keluarganya, dalam kerangkakerja kebijakan umum perumahan. Skala prioritas harus diberikan pada mereka yang paling membutuhkan” Deklarasi tentang Kemajuan Sosial dan Pembangunan (1969), diproklamirkan oleh resolusi Majelis Umum 2542 (XXIV) pada 11 Desember 1969. Bagian II menyatakan: “Kemajuan sosial dan pembangunan harus ditujukan untuk terus meningkatkan standar material dan spiritual dari kehidupan setiap anggota masyarakat, dalam kaitan dengan dan dalam memenuhi hak- asasi manusia dan kebebasan dasar, melalui pencapaian tujuan utama yang berikut: “…… “Pasal 10 “…. “(f) Memberikan kepada setiap orang, terutama orang yang termasuk kelompok berpenghasilan rendah dan keluarga besar, suatu perumahan yang layak dan pelayanan umum.” Deklarasi Vancouver tentang Pemukiman Manusia (1976), ditetapkan oleh Konferensi PBB tentang Pemukiman Manusia pada 1976. Bagian III dan Bab II (A.3) menyatakan, berturut-turut: “Tempat berteduh dan pelayanan yang layak merupakan hak asasi utama yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin pencapaiannya bagi setiap orang, dimulai dengan memberikan bantuan langsung kepada mereka yang paling membutuhkan melalui program-program mandiri dan kegiatan masyarakat yang terarah. Pemerintah harus berusaha keras untuk menghilangkan setiap rintangan yang menghalangi tercapainya maksud ini. Hal paling penting adalah menghapuskan pemisahan berdasarkan status sosial dan ras, misalnya dengan menciptakan keseimbangan lingkungan yang lebih baik, yang menyatukan perbedaan kelompok sosial, kedudukan, perumahan dan fasilitas.” “Ideologi suatu Negara tercermin dari kebijakan Pemukiman manusia. Hal ini menjadi instrumen yang amat kuat untuk melakukan perubahan, instrumen ini tidak boleh digunakan untuk mengusir penduduk dari rumah
22
atau tanah mereka atau menyerobot hak dan mengeksploitasi mereka. Kebijakan Pemukiman manusia harus sejalan dengan deklarasi tentang prinsip-prinsip dan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia.” Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan (1986), ditetapkan resolusi Majelis Umum 41/128 pada 4 Desember 1986. Pasal 8.1 Deklarasi ini menyatakan: “Negara harus melakukan setiap upaya yang dibutuhkan pada tingkat nasional untuk melaksanakan hak atas pembangunan, dan harus menjamin, antara lain, persamaan kesempatan bagi semua orang dalam hal akses terhadap kebutuhan dasar, pendidikan, pelayanan kesehatan, makanan, perumahan, pekerjaan dan pembagian penghasilan yang adil. Upaya-upaya yang efektif harus dilakukan untuk menjamin bahwa perempuan memiliki peran aktif dalam proses pembangunan. Perbaikan ekonomi dan sosial harus dilaksanakan dengan tujuan membasmi semua ketidakadilan sosial” BEBERAPA RESOLUSI PBB Resolusi Majelis Umum 41/146, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 4 Desember 1986 menyatakan antara lain: “Majelis Umum menunjukkan keprihatinan mendalam atas adanya jutaan orang tidak menikmati hak atas perumahan yang layak.” Resolusi Majelis Umum 42/146, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 7 Desember 1987 menyatakan antara lain: “Majelis Umum menyatakan kembali perlunya dilakukan upaya-upaya, pada tingkat nasional dan internasional, untuk pemajuan hak setiap orang untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk perumahan yang layak; dan mengajak semua Negara dan organisasi internasional terkait untuk memberikan perhatian khusus terhadap pelaksanaan hak atas perumahan yang layak dalam melakukan upayaupaya untuk membangun strategi tempat berteduh nasional dan program perbaikan pemukiman dalam kerangka kerja Strategi Global untuk Tempat Tinggal sampai tahun 2000” Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial tahun 1987/62, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 29 Mei 1987, antara lain menyatakan: “Mengakui bahwa Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menetapkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk perumahan yang layak, dan bahwa Negara harus melakukan langkah-langkah yang tepat untuk melaksanakan hak tersebut.” Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1986/36, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 29 Mei 1987, antara lain menyatakan:
23
“Komisi Hak Asasi Manusia menyatakan kembali hak bagi setiap orang untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya termasuk perumahan yang layak.” Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1987/22, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 10 Maret 1987, antara lain menyatakan: “Komisi Hak Asasi Manusia menyatakan kembali perlunya dilakukan, baik pada tingkat nasional maupun internasional, upaya-upaya untuk pemajuan hak setiap orang untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk perumahan yang layak” Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1988/24, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 7 Maret 1988, antara lain menyatakan: “Komisi Hak Asasi Manusia memutuskan….untuk tetap meninjau secara berkala persoalan hak atas perumahan yang layak’. Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1993/77, berjudul “Pengusiran secara Paksa,” ditetapkan pada 10 Maret 1993, antara lain menyatakan: “Komisi Hak Asasi Manusia ….menegaskan bahwa praktek-praktek pengusiran secara paksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap hak atas perumahan yang layak; “…mendesak pemerintah untuk segera melakukan upaya-upaya di semua tingkat, untuk menghapus praktekpraktek pengusiran secara paksa….untuk memberi jaminan hukum atas penghunian bagi semua orang yang saat ini terancam oleh pengusiran secara paksa;. “…mengajukan permintaan kepada Sekretaris Jenderal untuk mengumpulkan analisis laporan tentang praktek pengusiran secara paksa, berdasarkan analisis hukum dan yurisprudensi internasional dan laporan yang disampaikan (oleh) Pemerintah, badan PBB yang relevan…organisasi pemerintah regional dan organisasi nonpemerintah dan organisasi berwawasan lingkungan.” Resolusi Komisi Pemukiman Manusia 14/6, berjudul “Hak Asasi Manusia atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 5 Mei 1993, antara lain menyatakan: “Komisi Pemukiman Manusia mendesak semua Negara untuk menghentikan setiap praktek yang akan atau dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia atas perumahan yang layak, terutama praktek pengusiran paksa secara massal, dan semua bentuk diskriminasi ras atau diskriminasi lainnya dalam masalah perumahan; “Mengajak semua Negara untuk mencabut, mengubah atau mengamandemen setiap peraturan, kebijakan, program atau proyek yang mempunyai pengaruh negatif terhadap pelaksanaan hak atas perumahan yang layak; “Mendesak semua Negara untuk mematuhi perjanjian internasional yang ada tentang hak atas perumahan yang layak, dan untuk hal ini, membentuk…mekanisme pemantauan yang tepat untuk memberikan, demi pertimbangan nasional dan internasional, data akurat dan indikator-indikator besarnya jumlah orang tanpa
24
rumah, kondisi perumahan tidak layak, orang-orang yang tidak mendapatkan jaminan hukum atas penghunian, dan masalah lain yang muncul dari hak atas perumahan yang layak, serta memberikan pengertian terhadap kebijakan, struktur yang menghalangi atau rintangan lainnya agar sektor perumahan dapat berjalan dengan efisien” Resolusi Sub Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kalangan Minoritas 1991/12, berjudul “Pengusiran Secara Paksa” ditetapkan tanggal 28 Agustus 1991, antara lain menyatakan: “Sub Komisi, “Mengakui bahwa praktek-prakterk pengusiran secara paksa melibatkan pemindahan orang-orang, keluarga dan kelompok dari rumah dan lingkungan mereka secara tidak sukarela, yang mengakibatkan hancurnya kehidupan dan identitas penduduk di seluruh dunia, dan juga menambah jumlah orang tanpa rumah,” ……….. “Mengharapkan perhatian dari Komisi Hak Asasi Manusia terhadap….(b) kenyataan bahwa praktek-praktek pengusiran secara paksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak atas perumahan yang layak; (c) perlu segera dilakukannya upaya-upaya di semua tingkat untuk menghapuskan praktek pengusiran secara paksa;” ……….. “Menegaskan pentingnya untuk segera memberikan kompensasi yang tepat dan mencukupi dan/atau memberikan akomodasi alternatif, sesuai dengan keinginan dan kebutuhan orang-orang atau penduduk yang diusir secara paksa atau sewenang-wenang, setelah melakukan negosiasi yang memuaskan dengan orang-orang atau kelompok yang terusir.” Resolusi Sub Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kalangan Minoritas 1991/26, berjudul “Pemajuan Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak” ditetapkan tanggal 29 Agustus 1991, antara lain menyatakan: “Sub Komisi mendesak semua Negara untuk mengusahakan kebijakan yang efektif dan menetapkan peraturan untuk menjamin pelaksanaan hak atas perumahan yang layak bagi seluruh penduduk, dengan mengutamakan mereka yang saat ini tidak memiliki rumah atau memiliki perumahan namun tidak layak
25
LAMPIRAN 2 Revisi Petunjuk mengenai Bentuk dan Isi Laporan Negara-negara untuk disampaikan oleh Negara Pihak Berdasarkan Pasal 16 dan 17 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK
(a) Mohon lengkapi informasi statistik yang rinci mengenai situasi perumahan di Negara anda. (b) Mohon berikan informasi yang rinci tentang kelompok-kelompok lemah dan terbelakang dalam masyarakat anda sehubungan dengan masalah perumahan. Secara khusus terangkanlah: (i)
Jumlah orang-orang dan keluarga tanpa rumah;
(ii)
Jumlah orang dan keluarga yang saat ini memiliki rumah yang tidak layak dan tanpa fasilitas dasar seperti air, pemanas (bila perlu), tempat sampah, fasilitas sanitasi, listrik, kantor pos, dll. (sejauh anda anggap fasilitas ini relevan di Negara anda). Berikan data jumlah orang yang hidup di daerah padat, kumuh, dalam bangunan yang tidak aman, atau kondisi lain yang mengganggu kesehatan;
(iii)
Jumlah orang yang saat ini tinggal dalam klasifikasi perkampungan atau perumahan yang “ilegal”;
(iv)
Jumlah orang yang terusir dalam kurun waktu lima tahun terakhir dan jumlah orang yang saat ini tidak dilindungi oleh hukum terhadap pengusiran sewenang-wenang atau bentuk pengusiran lainnya;
(v)
Jumlah orang-orang yang pengeluaran biaya untuk rumahnya di atas batas kemampuan yang dibuat pemerintah, berdasarkan kemampuan membayar atau rasio penghasilan;
(vi)
Jumlah orang-orang yang masuk daftar tunggu untuk mendapatkan akomodasi, jangka waktu tunggu rata-rata, dan upaya yang dilakukan untuk menurunkan jumlah daftar tersebut dan juga untuk membantu mereka yang masuk dalam daftar tunggu dalam rangka mendapatkan rumah sementara;
(vii)
Jumlah orang dari berbagai jenis penghunian perumahan berdasarkan: perumahan sosial atau umum; sektor penyewaan pribadi; pemilik rumah sendiri; sektor “ilegal”; dan lain-lainnya;
(c) Mohon berikan informasi tentang peraturan yang ada yang mempengaruhi pelaksanaan hak atas perumahan yang layak, termasuk: (i)
Undang-undang tentang hak atas perumahan, yang menetapkan isi dari hak ini;
(ii)
Undang-Undang tentang peraturan perumahan, peraturan bagi orang tanpa rumah, peraturan tata kota;
26
(iii)
Undang-Undang yang terkait dengan penggunaan tanah, pembagian tanah, alokasi tanah, zona tanah, batas tanah, pengambilalihan termasuk ketentuan ganti rugi, perencanaan tanah, dan prosedur partisipasi masyarakat;
(iv)
Undang-Undang tentang hak-hak penyewa atas perlindungan hukum terhadap penghunian, atas perlindungan terhadap pengusiran, pembiayaan perumahan dan kontrol terhadap harga sewa (atau subsidi), keterjangkauan harga perumahan, dll;
(v)
Undang-Undang tentang pedoman bangunan, peraturan dan standar bangunan, dan ketentuan mengenai infrastruktur;
(vi)
Undang-Undang yang melarang segala bentuk diskriminasi dalam sektor perumahan, termasuk terhadap kelompok yang secara tradisional tidak dilindungi;
(vii)
Undang-Undang yang melarang semua bentuk pengusiran;
(viii)
Setiap pertimbangan legislatif untuk mengubah atau perubahan hukum yang ada yang menghambat pemenuhan hak atas perumahan;
(ix)
Undang-Undang yang membatasi spekulasi pada perumahan atau properti, terutama bila spekulasi tersebut berdampak negatif pada pemenuhan hak atas perumahan di semua sektor mayarakat;
(x)
Upaya legislatif untuk memberikan status hukum kepada mereka yang tinggal dalam sektor “ilegal”;
(xi)
Undang-Undang tentang perencanaan lingkungan dan kesehatan dalam perumahan dan pemukiman manusia.
(d) Mohon berikan informasi tentang upaya-upaya lain yang dilakukan untuk memenuhi hak atas perumahan, termasuk: (i)
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mendorong “strategi pemberdayaan” dimana organisasi masyarakat lokal dan “sektor informal” dapat membangun rumah dan pelayanan terkait. Apakah organisasi-organisasi tersebut bebas untuk beroperasi? Apakah mereka mendapat dana dari pemerintah?;
(ii)
Upaya-upaya yang dilakukan Negara untuk membangun unit perumahan dan untuk meningkatkan pembangunan rumah sewaan yang terjangkau harganya;
(iii)
Upaya-upaya untuk membebaskan tanah terlantar, tanah yang kurang dimanfaatkan atau tanah yang salah pemanfaatannya;
(iv)
Upaya-upaya finansial oleh Negara termasuk perincian anggaran Kementerian Perumahan atau kementerian terkait lainnya dalam perbandingan dengan anggaran nasional;
(v)
Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjamin bahwa bantuan internasional untuk perumahan dan pemukiman manusia digunakan untuk memenuhi kebutuhan kelompok yang paling membutuhkan;
(vi)
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mendorong pembangunan pusat perkotaan kecil dan menengah, khususnya pada tingkat pedesaan;
27
(vii)
Upaya-upaya yang dilakukan oleh siapa pun yang tinggal di atau dekat dengan suatu daerah yang dimaksud selama, antara lain, program pembaruan perkotaan, proyek pembangunan kembali, perbaikan tanah, persiapan untuk acara internasional (Olimpiade, Pameran Dunia, Konferensi dll.), kampanye “Kota Indah,” dan lain lain, yang memberikan jaminan perlindungan terhadap pengusiran atau penggantian rumah berdasarkan kesepakatan bersama;
(e) Selama periode pelaporan, apakah ada perubahan dalam kebijakan nasional, hukum dan praktek-praktek yang membawa pengaruh negatif terhadap hak atas perumahan yang layak? Bila ada, mohon jelaskan perubahan tersebut dan evaluasi atas pengaruhnya.
28
LAMPIRAN 3 Komentar Umum No. 4 tentang Hak atas Perumahan yang Layak (ditetapkan tanggal 12 Desember 1991 oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
1. Menurut Pasal 11. 1 Kovenan, Negara-negara Pihak “mengakui hak bagi setiap orang untuk mendapat standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya termasuk makanan yang layak, pakaian dan perumahan, dan untuk perbaikan kondisi kehidupan yang terus menerus.” Hak atas perumahan yang layak, yang merupakan turunan dari hak atas standar hidup yang layak, merupakan hal terpenting bagi penikmatan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
2. Komite telah dapat mengumpulkan sejumlah besar informasi yang menyinggung masalah hak ini. Sejak tahun 1979 Komite dan pendahulunya telah mempelajari 75 laporan mengenai hak atas perumahan yang layak. Komite juga telah menyediakan satu hari untuk diskusi umum tentang suatu masalah, pada setiap sidang ketiga dan keempatnya. Di samping itu Komite telah dengan hati-hati mencatat informasi yang dihasilkan dari Tahun Internasional untuk Pemukiman bagi Orang Tanpa Rumah (1987), termasuk Strategi Global untuk Pemukiman sampai Tahun 2000 yang disahkan oleh Majelis Umum. Komite juga telah mempelajari laporan yang relevan dan dokumentasi lainnya dari Komisi Hak Asasi Manusia dan Sub Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kalangan Minoritas.
3. Walaupun berbagai instrumen internasional telah memberikan dimensi berbeda tentang hak atas perumahan yang layak, Pasal 11.1 Kovenan merupakan naskah paling komprehensif dan barangkali yang terpenting di antara ketentuan-ketentuan yang relevan.
4. Meskipun terdapat kenyataan bahwa masyarakat internasional telah seringkali menegaskan pentingnya menghormati sepenuhnya hak atas perumahan yang layak, masih ada perbedaan besar yang mengganggu antara standarstandar yang terdapat dalam Pasal 11.1 Kovenan dengan situasi yang berlangsung di sejumlah belahan dunia. Walaupun persoalan perumahan ini seringkali terjadi di sejumlah negara berkembang yang mengalami masalah dana dan hambatan lain, Komite menilai bahwa masalah orang tanpa rumah dan perumahan yang tidak layak juga terjadi di beberapa negara yang secara ekonomis sudah maju. PBB memperkirakan bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 100 juta orang tanapa rumah/gelandangan dan lebih dari 1 miliar orang tidak memiliki rumah yang layak. Tidak ada tanda-tanda bahwa angka ini akan menurun. Tampak jelas bahwa tidak ada Negara Pihak yang bebas dari persoalan besar dalam satu atau lain hal yang berhubungan dengan hak atas perumahan.
5. Pada beberapa contoh, dalam laporan-laporan dari Negara-negara Pihak yang diteliti oleh Komite, telah diakui dan digambarkan kesulitan-kesulitan untuk menjamin hak atas perumahan yang layak. Namun sebagian besar informasi yang diberikan, tidak cukup untuk membuat Komite memperoleh gambaran yang benar mengenai situasi yang berlangsung dalam Negara yang bersangkutan. Oleh karenanya Komentar Umum ini ditujukan untuk mengidentifiikasi sejumlah masalah pokok yang dianggap penting oleh Komite sehubungan dengan persoalan hak ini.
6. Hak atas perumahan yang layak berlaku bagi semua orang. Walaupun pada kalimat untuk “dirinya dan keluarganya” secara umum mencerminkan pengertian terhadap peran gender dan masalah kegiatan ekonomi yang diterima pada 1966 saat Kovenan ini ditetapkan, kalimat tersebut saat ini tidak dapat diartikan sebagai suatu pembatasan
29
atas penerapan hak perorangan atau kepala rumah tangga perempuan, atau kelompok-kelompok seperti itu. Jadi konsep dari “keluarga” harus dipahami dalam suatu pengertian yang luas. Selanjutnya, perorangan – dan juga keluarga – mempunyai hak atas perumahan yang layak tanpa mempertimbangkan usia, status ekonomi, kelompok atau yang sejenisnya atau status dan faktor-faktor lainnya. Hal terpenting adalah bahwa penikmatan terhadap hak ini – sesuai dengan Pasal 2.2 dari Kovenan-- tidak boleh menjadi sasaran diskriminasi dalam bentuk apapun.
7. Komite berpendapat bahwa hak atas perumahan tidak boleh dipahami dalam pengertian sempit atau terbatas yang mempersamakannya dengan – misalnya, tempat berteduh sekedar berupa atap di atas kepala, atau semata-mata menganggap tempat bernaung sebagai suatu komoditas. Seharusnya hal tersebut dilihat sebagai hak untuk hidup di suatu tempat yang aman, damai dan bermartabat. Hal ini memang pantas setidak-tidaknya berdasarkan dua alasan. Pertama, hak atas perumahan memiliki hubungan integral dengan hak-hak asasi manusia lainnya dan dengan prinsip dasar Kovenan. Jadi, “martabat yang melekat pada seorang manusia” yang menjadi sumber hak-hak dalam Kovenan, menghendaki bahwa kalimat “perumahan” harus dimengerti dengan memperhitungkan berbagai pertimbangan, terutama bahwa hak atas perumahan pada setiap orang harus dijamin, seberapapun penghasilan atau akses mereka pada sumber-sumber ekonomi. Kedua, kalimat pada Pasal 11.1 harus diartikan bukan sebagai sekedar rumah belaka, akan tetapi rumah yang layak. Baik Komisi untuk Pemukiman Manusia maupun Strategi Global untuk Pemukiman sampai Tahun 2000, keduanya menyatakan bahwa: “Tempat berteduh yang layak berarti….lingkungan pribadi yang layak, ruang yang layak, keamanan yang layak, penerangan dan ventilasi yang layak, prasarana dasar yang layak dan lokasi yang layak sehubungan dengan pekerjaan dan semua fasilitas umum, semua dengan harga terjangkau.” (8) Oleh karena itu, konsep kelayakan benar-benar penting sehubungan dengan hak atas perumahan, karena konsep ini menggarisbawahi sejumlah faktor yang harus diperhitungkan untuk menentukan, apakah suatu bentuk tempat berteduh tertentu dapat dianggap telah merupakan “perumahan yang layak’ seperti yang dimaksud dalam Kovenan. Sementara kelayakan sebagian ditentukan oleh faktor sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekologi dan faktor-faktor lainnya, Komite percaya bahwa bukanlah tidak mungkin untuk mengidentifikasi aspek-aspek tertentu dari hak ini yang harus diperhitungkan untuk tujuan ini dalam konteks tertentu. Hal-hal tersebut termasuk sebagai berikut: (a)
Jaminan hukum atas penghunian Penghunian meliputi berbagai bentuk, termasuk akomodasi sewaan (pemerintah dan swasta), perumahan bersama, kredit, rumah pribadi, rumah darurat dan pemukiman tidak resmi, termasuk pendudukan tanah atau bangunan. Apapun jenis penghuniannya, setiap orang harus memiliki suatu jaminan tingkat penghunian yang menjamin perlindungan hukum terhadap pengusiran secara paksa, gangguan atau ancaman lainnya. Oleh sebab itu, Negara-negara Pihak harus segera melakukan upayaupaya untuk memberikan jaminan semacam ini kepada orang-orang atau rumah tangga yang tidak memiliki perlindungan dimaksud, melalui perundingan yang sungguh-sunguh dengan orang atau kelompok terkait.
(b)
Ketersediaan pelayanan, bahan bangunan, fasilitas dan prasarana Suatu perumahan yang layak harus memiliki fasilitas untuk kesehatan, keamanan, hiburan dan gizi. Setiap pemegang hak atas perumahan yang layak harus mendapatkan akses terhadap sumberdaya alam
30
dan sumberdaya bersama, air minum yang layak, energi untuk memasak, alat pemanas dan penerangan, sanitasi dan fasilitas mencuci, tempat sampah, saluran pembuangan dan pelayanan darurat. (c)
Harga yang terjangkau Pengeluaran keuangan seseorang atau rumah tangga yang berhubungan dengan perumahan, harus berada pada tingkat yang tidak mengancam atau merugikan perolehan dan pemenuhan kebutuhankebutuhan dasar lainnya. Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa persentase biaya yang berhubungan dengan perumahan, dapat dijangkau oleh tingkat penghasilan secara umum. Negara-negara Pihak harus memberikan subsidi perumahan bagi mereka yang tidak mampu memiliki rumah, dan juga memberikan bantuan pendanaan rumah dalam berbagai bentuk dan tingkat yang sesuai dengan cerminan kebutuhan atas perumahan. Sesuai dengan prinsip keterjangkauan, maka penyewa rumah harus dilindungi dari tingkat harga sewa dan kenaikan harga sewa yang tidak masuk akal, melalui upaya-upaya yang tepat. Dalam suatu masyarakat di mana bahan-bahan alam merupakan sumber utama untuk membangun perumahan, Negara-negara Pihak harus melakukan langkah-langkah untuk menjamin tersedianya bahan-bahan tersebut.
(d)
Dapat ditempati Perumahan yang layak harus dapat ditempati, dalam rangka memberikan ruang dan perlindungan kepada penghuninya dari udara dingin, lembab, panas, hujan, angin dan acaman lain yang membahayakan kesehatan, resiko struktur bangunan dan sumber-sumber penyakit. Keamanan fisik penduduk juga harus dipastikan. Komite mendorong Negara-negara Pihak untuk menerapkan secara komprehensif
“Prinsip-Prinsip Kesehatan suatu Perumahan” yang diberikan oleh WHO yang
mengganggap perumahan sebagai faktor lingkunan yang paling sering terkait dengan kondisi penyakit berdasarkan analisis epidemologis; yaitu rumah dan kondisi kehidupan yang tidak layak dan buruk selalu berhubungan dengan lebih tingginya tingkat kematian dan morbiditas. (e)
Akses yang dimiliki Akses terhadap perumahan yang layak harus dimiliki oleh mereka yang memang berhak. Kelompokkelompok lemah harus diberikan akses sepenuhnya dan berkesinambungan atas sumber-sumber perumahan yang layak. Dengan demikian maka kelompok-kelompok lemah seperti orang lanjut usia, anak-anak, cacat fisik, sakit terus menerus, pengidap HIV, orang-orang dengan masalah kesehatan yang tidak dapat disembuhkan, sakit mental, korban bencana alam, orang-orang yang hidup di pusat bencana dan kelompok-kelompok lainnya, harus diberikan jaminan prioritas sehubungan dengan masalah perumahan. Baik hukum maupun kebijakan tentang perumahan harus benar-benar memperhatikan kebutuhan khusus atas perumahan bagi kelompok-kelompok ini. Bagi Negara-negara Pihak, meningkatnya akses atas tanah dari orang-orang yang tidak memiliki tanah atau kelompok masyarakat miskin, harus menjadi tujuan utama kebijakan Negara. Kewajiban nyata pemerintah perlu
31
dikembangkan untuk menyokong hak atas tempat yang aman dan bermartabat untuk hidup termasuk akses terhadap tanah sebagai salah satu hak. (f)
Lokasi Perumahan yang layak harus berada di lokasi yang memiliki akses terhadap pilihan pekerjaan, pelayanan perawatan kesehatan, sekolah, pusat penitipan anak, dan fasilitas sosial lannya. Hal ini berlaku baik di kota besar maupun pedesaan, di mana biaya dan waktu perjalanan untuk pulang-pergi ke tempat kerja menghabiskan sebagian besar anggaran rumah tangga miskin. Demikian pula, perumahan tidak boleh dibangun di wilayah berpolusi atau dekat sumber polusi yang membahayakan hak atas kesehatan penduduknya.
(g)
Sesuai dengan budaya Cara sebuah rumah dibangun, bahan bangunan yang digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang mendukungnya harus dapat mencerminkan identitas budaya dan keragaman perumahan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan dan memodernisasi lingkungan perumahan harus menjamin bahwa dimensi budaya dalam perumahan tidak dikorbankan, dan bahwa harus dapat pula menjamin antara lain, fasilitas teknologi modern yang sesuai.
(9) Seperti disebutkan di atas, hak atas perumahan yang layak tidak dapat dianggap terpisah dari hak-hak asasi manusia lainnya yang tercantum dalam dua instrumen internasional. Masalah ini telah ditulis dalam hubungannya dengan konsep martabat manusia dan prinsip non diskriminasi. Di samping itu penikmatan sepenuhnya atas hak lainnya seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak atas kebebasan berserikat (seperti pada penyewa dan kelompok masyarakat lainnya), hak untuk bebas memilih tempat tinggal dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan umum, merupakan sesuatu yang amat diperlukan apabila hak atas perumahan hendak dilaksanakan dan dipertahankan oleh semua kelompok dalam masyarakat. Demikian pula, hak untuk tidak secara sewenang-wenang dicampuri lingkungan pribadi seseorang, keluarga, rumah atau kerabatnya, merupakan dimensi yang sangat penting dalam memahami hak atas perumahan. 10. Apapun tingkat pembangunan yang ada di Negara manapun, terdapat langkah-langkah tertentu yang harus segera dilakukan. Sebagaimana telah direkomendasikan dalam Strategi Pemukiman Global dan analisis internasional lainnya, banyak upaya yang dibutuhkan untuk pemajuan hak atas perumahan hanya menuntut Pemerintah supaya menghentikan praktek-praktek tertentu, dan membuat komitmen untuk membantu program “menolong diri sendiri” oleh kelompok dimaksud. Dalam hal langkah-langkah tersebut dianggap telah melebihi tingkat maksimum sumber daya yang tersedia di suatu Negara Pihak, layaklah bila secepat mungkin dimintakan adanya suatu kerja sama internasional sesuai dengan Pasal 11.1, 22 dan Pasal 23 Kovenan, dan kemudian menginformasikan hal ini kepada Komite. 11. Negara-negara Pihak harus memberikan prioritas kepada kelompok sosial yang hidup dalam kondisi memprihatinkan dengan memberikan perhatian khusus kepada mereka. Kebijakan dan peraturan yang dibuat tidak boleh hanya menguntungkan kelompok yang telah lebih maju sehingga membebani pihak lainnya. Komite menyadari bahwa faktor eksternal dapat mempengaruhi hak untuk perbaikan hidup yang berkelanjutan, dan bahwa secara keseluruhan telah terjadi penurunan kondisi kehidupan pada sejumlah Negara Pihak selama 1980-an. Namun demikian, seperti dicatat dalam Komentar Umum No. 2 Komite, kendati persoalan timbul akibat faktor eksternal, kewajiban yang
32
terdapat dalam Kovenan harus terus diterapkan dan mungkin akan menjadi lebih relevan di saat terjadinya kegentingan ekonomi. Komite melihat bahwa penurunan kondisi perumahan dan kehidupan secara keseluruhan, merupakan akibat langsung dari kebijakan dan keputusan legislatif Negara Pihak, dan bahwa tidak adanya upaya pemberian ganti rugi, merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kewajiban yang terdapat dalam Kovenan. 12. Walaupun upaya-upaya yang paling tepat untuk mencapai pelaksanaan sepenuhnya hak atas perumahan yang layak sangat berbeda antara satu Negara Pihak dengan Negara Pihak lainnya, dengan tegas Kovenan tetap menghendaki setiap Negara Pihak untuk mengambil langkah apa saja yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Seperti dinyatakan dalam Strategi Pemukiman Global, hal ini hampir tanpa terkecuali menghedaki ditetapkannya suatu strategi perumahan nasional. Strategi tersebut harus dapat “menentukan tujuan pengembangan kondisi hunian, mengenali sumber daya yang tersedia untuk melaksanakan tujuan ini dan cara yang paling efektif dalam menggunakan biaya, serta merumuskan tanggung jawab dan jangka waktu untuk melaksanakan upaya-upaya yang diperlukan” (ayat 32). Baik untuk alasan yang relevan dan efektif maupun dalam rangka menjamin penghormatan hak asasi manusia orang lain, strategi tersebut harus mencerminkan suatu musyawarah yang sungguh-sungguh dengan, dan atas partisipasi dari, semua yang bersangkutan, termasuk orang tanpa rumah/gelandangan, pemilik perumahan yang tidak layak dan para wakilnya. Langkah lebih jauh harus diambil untuk menjamin koordinasi antara departemen, pejabat regional dan lokal dalam rangka menetapkan kebijakan yang berhubungan (ekonomi, pertanian, lingkungan, energi dan lainnya) dengan kewajiban yang timbul dari Pasal 11 Kovenan. 13. Pemantauan yang efektif terhadap situasi perumahan merupakan kewajiban lain yang mempunyai pengaruh secara langsung. Untuk memenuhi kewajiban Negara-negara Pihak berdasarkan Pasal 11.1 harus ditentukan antara lain, bahwa Negara tersebut telah melakukan langkah yang diperlukan dalam wilayah hukumnya, baik secara sendiri-sendiri maupun lewat kerja sama internasional, untuk memastikan dengan benar jumlah orang tanpa rumah/gelandangan dan orang yang memiliki perumahan yang tidak layak. Sehubungan dengan masalah ini, revisi pedoman pelaporan yang ditetapkan oleh Komite menegaskan perlunya “memberikan informasi terperinci tentang kelompok-kelompok yang lemah dan miskin dalam masyarakat sehubungan dengan masalah perumahan.” Secara khusus kelompok-kelompok tersebut termasuk orang dan keluarga tanpa rumah/gelandangan, pemilik perumahan yang tidak layak dan tidak memiliki akses untuk fasilitas dasar, mereka yang hidup dalam pemukiman “ilegal,” mereka yang menjadi korban pengusiran secara paksa, dan kelompok berpenghasilan rendah. 14. Upaya-upaya yang dirancang untuk memenuhi kewajiban Negara-negara Pihak sehubungan dengan hak atas perumahan yang layak yang bisa mencerminkan berbagai paduan upaya dalam sektor umum dan swasta dianggap tepat. Sementara pada sejumlah Negara, dana umum perumahan akan sangat bermanfaat bila langsung digunakan untuk membangun perumahan baru, dalam banyak kasus, pengalaman membuktikan bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi masalah kekurangan perumahan melalui pembangunan perumahan umum. Pemajuan “strategi pemberdayaan” oleh Negara Pihak, yang dikombinasikan dengan komitmen penuh untuk melaksanakan kewajiban dalam masalah hak atas perumahan yang layak, harus terus didorong. Pada prinsipnya, kewajiban yang ada adalah menunjukkan bahwa semua upaya-upaya yang tengah dilakukan cukup memadai, sesuai dengan sumber daya yang tersedia, untuk mewujudkan secepat mungkin hak-hak setiap individu.
33
15. Banyak upaya yang dibutuhkan akan melibatkan pengalokasian sumber daya dan berbagai inisiatif kebijakan yang umum. Walaupun demikian, peran upaya-upaya legislatif dan administratif formal tidak boleh dianggap ringan dalam konteks ini. Strategi Pemukiman Global (ayat 66-67) memberikan perhatian pada jenis langkah-langkah yang dapat dilakukan berkaitan dengan masalah ini dan perhatian pada pentingnya masalah ini. 16. Pada sejumlah Negara, hak atas perumahan yang layak telah dirumuskan dalam konstitusi. Dalam kasus tersebut, Komite tertarik mempelajari masalah makna yuridis dan praktis dari pendekatan-pendekatan seperti itu. Rincian data mengenai kasus khusus dan cara lain yang membuktikan bahwa perumusan dengan cara di atas memang terbukti bermanfaat karenanya harus diberikan. 17. Komite melihat bahwa banyak bagian-bagian hak atas perumahan yang layak paling tidak telah konsisten dengan ketentuan tentang upaya pemulihan hukum di tingkat domestik. Tergantung pada sistem hukumnya, bidangbidang itu bisa termasuk, tetapi tidak hanya terbatas pada: (a) Permohonan hukum untuk mencegah pengusiran atau pembongkaran yang direncanakan, melalui putusan pengadilan berupa perintah untuk menghentikannya; (b) Prosedur hukum untuk permintaan ganti rugi akibat pengusiran yang melawan hukum (c) Pengaduan terhadap tindakan melawan hukum yang dilakukan atau didukung oleh tuan tanah (baik pemerintah atau swasta) sehubungan dengan tingkat harga sewa, pemeliharaan pemukiman, dan bentukbentuk diskriminasi ras atau diskriminasi lainnya. (d) Tuduhan atas setiap bentuk diskriminasi dalam pengalokasian dan penyediaan akses atas perumahan; (e) Pengaduan terhadap tuan tanah sehubungan dengan kondisi perumahan yang tidak sehat atau tidak layak. Dalam beberapa sistem hukum dimungkinkan pula untuk mempertimbangkan pengajuan gugatan class action dalam situasi yang membuat makin bertambahnya jumlah orang yang tidak memiliki perumahan. 18. Dalam kaitannya dengan hal ini, Komite menganggap bahwa pengusiran paksa secara prima facie bertentangan dengan persyaratan dalam Kovenan, dan hanya dapat dibenarkan dalam situasi sangat luar biasa dan sesuai dengan prinsip-prisnip hukum internasional yang relevan. 19. Akhirnya, Pasal 11 menyimpulkan kewajiban Negara pihak untuk “mengakui pentingnya kerja sama internasional berdasarkan persetujuan bebas.” Biasanya kurang dari lima persen dari seluruh bantuan internasional ditujukan langsung untuk perumahan atau pemukiman manusia, dan seringkali cara pemberian dana tersebut sedikit sekali berkenaan dengan kebutuhan perumahan bagi kelompok yang kurang beruntung. Negara-negara Pihak, baik penerima maupun pemberi dana, harus menjamin bahwa sebagian besar pembiayaan ini dicurahkan untuk menciptakan kondisi yang dapat menambah jumlah orang dengan perumahan yang layak. Lembaga keuangan internasional yang mendorong langkah-langkah penyesuaian struktural harus menjamin bahwa upaya-upaya tersebut tidak merugikan penikmatan hak atas perumahan yang layak. Pada saat mempertimbangkan kerja sama keuangan internasional, Negaranegara Pihak harus berusaha untuk menunjukkan bidang-bidang, yang relevan dengan hak atas perumahan yang layak, di mana bantuan keuangan akan memberikan manfaat terbesar.
Permintaan semacam ini harus benar-benar
memperhatikan kebutuhan dan pendapat dari kelompok-kelompok yang bersangkutan.
34
LAMPIRAN 4 Organisasi Non-Pemerintah yang Bekerja untuk Hak atas Perumahan Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) P.O. Box 24-27 Klongchan, Bangkapi Thailand, Bangkok 10240 Telp: 66 2 5380919 Centre on Housing Rights and Evictions havikstraat 38bis 3514 TR Utrecht Netherlands Telp: 31 30 731976 ENDA rue Carnot 54 Dakar 3370 Senegal Telp: 221 220924 Fedevivienda Avda (Calle) 40, No. 15-69 AA 57059, Bogota Clolombia Telp: 57 1 2880711 Habitat et Participation 1, place du Levant 1348 Louvain-la-Neuve Belgium Telp: 32 10 472314 Habitat International Coalition (HIC) Cordobanes No. 24, Col, San Jose Insurgentes Mexico D.F. 03900 Mexico Telp: 52 5 6516807 National Campaign for Housing Right (NCHR) Flat No. 119, Bldg No. 8, 1st floor, Jasmine Mill Road Mahim (East) Bombay 400 017 India Telp: 91 22 4070623 Rooftops International 2 Berkely St., Suite 207 Toronto, M5A 2W3 Canada Telp: 1 416 3661771
35
LAMPIRAN 5 Bibliografi dan Bacaan Lainnya CENTRE ON HOUSING RIGHTS AND EVICTIONS, Bibliography on Housing Rights and Evictions (1993). Utrecht, Netherlands. HARDOY DAN SATTERTHWAITE, Squatter Citizen: Life in the Urban Third World (1989). Earthscan Publication Ltd., London, United Kingdom. LECKIE, Housing as a Need, Housing as a Right: International Human Rights Law and the Right to Adequate Housing (1992). International Institute for Environment and Development, London, United Kingdom. MURPHY, A Decent Place to Live: Urban Poor in Asia (1990). Asian Coalition for Housing Rights, Bangkok, Thailand. NATIONAL CAMPAIGN FOR HOUSING RIGHTS, A People’s Bill of Housing Rights: Essential Requirement (1990), Calcutta, India. ORTIZ, The Right to Housing: A Global Challenge (1990). Habitat International Coalition, Mexico City, Mexico. SACHAR, Working Paper on the Right to Adequate Housing (1992). E/CN.4/Sub.2/1992/15.
United Nations Document No.
36