Tasâmuh, Volume 14, No. 1, Desember 2016
Problematika Gender... (Siti Nurul Yaqinah)
HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Hamdan IAIN Mataram
[email protected]
Abstract Human rights were declared by United Nation in 1948. Human rights become a reference for international world and influence all aspect relations and contemporarily-international law. However, interpretation and implementation of human rights in national scope are not as smooth as its acceptance. Collision between culture and local law and universal human rights cannot be avoided. Islamic law is the product of Syariah that is applied in all over Muslim countries in which they are also United Nation member. Is there a collision between international law of human rights and Islamic law, then how to solve it. This is a statement that has to be answered thoroughly in those both perspectives. Dialogical approach gives the most satisfactory solution. Through the doctrine of marginal appreciation in one side and benefit in another side, both are entrance for other cases for opening dialogues in order to achieve collective understanding about human rights. The positive effect for Islamic law is Fiqih that is like to regain its spirit and the benefit is not merely jargons. Key words: International law, human rights, and Islam
85
Tasâmuh, Volume 14, No. 1, Desember 2016
HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Abstrak Hak Asasi Manusia (HAM) telah dideklarasikan pada tahun 1948 oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). HAM menjadi acuan dunia internasional dan mempengaruhi semua aspek hubungan dan hukum internasional kontemporer. Namun demikian, penafsiran dan penerapakan HAM dalam lingkup nasional tidaklah semulus penerimaannya. Benturan antara budaya dan hukum lokal dengan HAM yang bersifat universal seringkali tidak dapat dielakkan. Hukum Islam adalah produk dari Syari’at Islam yang diterapkan secara resmi hampir di berbagai negara muslim yang sekaligus merupakan anggota PBB. Apakah ada benturan antara hukum internasional hak asasi manusia dan hukum Islam lalu bagaimana penyelesaiannya. Ini merupakan pertanyaan yang harus dijawab dengan tuntas dalam perspektif keduanya. Pendekatan Dialogis memberikan jawaban yang cukup memuaskan. Melalui doktrin “Marjin Apresiasi” di satu pihak dan mashlahah di pihak lain, keduanya adalah pintu masuk bagi yang lain untuk saling membuka ruang dialog guna mencapai pemahaman bersama hak asasi manusia. Dampak positif bagi hukum Islam adalah fikih seperti menemukan ruhnya kembali dan mashlahah tidak hanya menjadi jargon belaka. Kata Kunci: Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia, Islam
86
Hak Asasi Manusia... (Hamdan)
A. Pendahuluan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dengan mudah diakui oleh dunia internasional. Pengaruh perspektif Barat dalam setiap diskursus hak asasi manusia menciptakan kecenderungan untuk selalu berpijak pada nilai-nilai Barat, untuk tidak mengatakan ‘westernisasi’, sehingga Barat, sebagai pencetus hak asasi manusia, dipandang memiliki agenda tersembunyi dalam rangka kolonialisme modern, dan kecurigaan ini memang terjadi. Hak asasi manusia memang terlahir di Barat, akan tetapi hal ini tidak dapat dikatakan sebagai kolonialime modern. Kecurigaan ini menjadi lebih menguat khusunya di negara Muslim dengan adanya orientalisme. Maraknya kelompok Barat dalam mengkaji Islam menimbulkan kecurigaan yang mendalam bagi Muslim dunia. Hal ini diperparah dengan hasil penelitian Barat yang tak jarang mengatakan bahwa dunia Muslim tidak ramah terhadap modernime dalam hal ini hak asasi manusia. Mashood Baderin telah merangkum sedikitnya ada lima respon kaum Muslim dunia terhadap hak asasi manusia internasional. Pertama, Islam selaras dengan hak asasi manusia internasional. Kedua, hak asasi manusia sejatinya hanya bisa sepenuhnya diwujudkan di bawah hukum Islam. Ketiga, tujuan hak asasi manusia internasional adalah agenda imperialis yang mesti ditentang. Keempat, Islam tidak selaras dengan hak asasi manusia internasional. Dan kelima, tujuan hak-hak asasi manusia internasional memiliki agenda anti-agama yang tersembunyi.18 Terlepas dari pandangan kaum Muslim dalam melihat hak asasi manusia, di Barat terdapat citra negatif tentang Islam. Negara yang memberlakukan sistem syari’ah selalu dianggap tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia internasional. Tidak adanya kepercayaan Barat terhadap penafsiran dan penerapan hak asasi manusia di dunia Muslim menunjukkan adanya penafsiran eksklusionis hukum internasional hak asasi manusia. Ini menambah kegusaran sebagian intelektual Muslim Pada poin pertama hingga keempat, Mashood Baderin mengikuti pendapat Halliday dan menambahkan poin kelima. Lihat Mashood Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj. Musa Kazhim dan Edwin Arifin (Jakarta: Komnas HAM, 2010), 11-12. 18
87
Tasâmuh, Volume 14, No. 1, Desember 2016
untuk membela, pada tingkat tertentu dapat dikatakan apologetik, yang kemudian hampir jatuh pada titik anti-Barat.19 Akan tetapi, mengikuti Mashood Baderin, ada kendala penafsiran garis-keras yang kaku terhadap syari’ah dan penerapan non-relatif atas yurisprudensi tradisional Islam pada beberapa aspek hubungan antar-manusia. Hukum Islam atau syari’ah kerap secara samar diajukan oleh sejumlah negara Muslim sebagai dalih atas catatan hak asasi manusia mereka yang jelek tanpa memberikan penjelasan tuntas mengenai ketentuan Islam dalam masalah yang bersangkutan.20 Kajian terdahulu misalnya yang dilakukan oleh An-Na’im yang mengatakan bahwa jika dasar hukum modern tidak digeser dari teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah masa Madinah sebagai dasar konstruksi Syari’ah, maka tak ada jalan untuk menghindari pelanggaran yang mencolok dan serius terhadap standar-standar universal hak-hak asasi manusia.21 Karya An-Na’im meletakkan hukum Islam tradisional di bawah jurisprudensi hak asasi manusia internasional, dengan mengabaikan pembenaran fikih Islam. Proposisi utamanya adalah demi reformasi hukum Islam ‘dari dalam’ guna mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional melalui proses terbalik ‘nasakh’.22 Kenyataan di atas menuntut adanya pengkajian yang tuntas dalam masalah tertentu dalam hak asasi manusia dan hukum Islam dengan menggunakan pendekatan dialogis guna mencapai pemahaman bersama sehingga mampu mengitegrasikan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dalam hukum Islam dan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum Islam meniscayakan perubahan. Kemampuan beradaptasi hukum Islam harus dipakai secara positif untuk memajukan hak asasi manusia di dunia Muslim.
Pemakalah sering mendengar hal tersebut pada saat Khutbah Jum’at. Mashood Baderin, Hukum Internasional.., 10. 21 Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997), 343. 22 Lihat catatan kaki nomor 15 dalam Mashood Baderin, Hukum Internasional…, 3. 19 20
88
Hak Asasi Manusia... (Hamdan)
B. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Internasional Dalam amanat yang tercantum pada pasal 1.3 Piagam PBB, mewajibkan kerja sama bagi seluruh anggota PBB untuk mempromosikan dan memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa maupun agama.23 Seluruh negara anggota PBB wajib mengakui dan menerapkan hak asasi manusia di negara masing-masing. Sejak saat itulah universalitas hak asasi manusia terakui. Namun, kesulitan utama membangun standar universal, yang melintas batas kultural, khususnya agama, adalah bahwa masing-masing tradisi memiliki kerangka acuan internalnya sendiri, karena masing-masing tradisi menjabarkan validitas ajaran dan normanormanya dari sumber-sumbernya sendiri.24 Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan hak asasi manusia internasional sering melibatkan budaya dan agama. Universalisme hak asasi manusia internasional masih menyimpan perdebatan yang harus dijawab guna mencapai kesepahaman bersama. Ini menutut adanya tindak lanjut mengenai universalisme hak asasi manusia internasional itu sendiri. Terkadang sering terjadi kekacauan pemahaman terkait ‘universalitas’ dan ‘universalisme’ hak asasi manusia internasional. Dengan tegas Mashood Baderin mengatakan bahwa ‘universalitas’ hak asasi manusia mengacu pada sifat penerimaan yang universal atau mendunia atas ide hak asasi manusia, sedangkan universalisme hak asasi manusia berkaitan dengan penafsiran dan penerapan hak asasi manusia.25 Teori universalisme menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah sama di mana pun juga, baik dalam subtansi maupun dalam penerapan. Universalisme menginginkan adanya kesamaan baik dalam penafsiran maupun penerapannya di berbagai negara yang berbeda-beda baik secara kultur maupun agama. Seolah-olah ada pemaksaan pemahamanseragam dengan di mana hak asasi manusia itu dicetuskan, yaitu di Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah…, 308. Ibid., 309. 25 Mashood Baderin, Hukum Internasional…, 22. 23 24
89
Tasâmuh, Volume 14, No. 1, Desember 2016
Barat. Hal ini di antaranya di kemukakan Mashood Baderin melalui pernyataannya sebagai berikut: “Praktik negara yang sekarang hampir tidak menunjukkan kesan bahwa dalam mengadopsi atau meratifikasi perangkat-perangkat hak asasi manusia internasional, pihak-pihak negara non-Barat mengindikasikan penerimaan pada perspektif atau penafsiran Barat yang ketat dan eksklusif atas norma-norma hak asasi manusia internasional.”26
Penafsiran Barat yang cenderung eksklusif menuai kecaman dari negara non-Barat. Mereka mengajukan argumen bahwa hak asasi manusia tidak secara eksklusif berakar di Barat, tapi inheren dalam watak dasar manusia dan berpijak pada moralitas. Oleh karena itu, hak asasi manusia, klaim mereka, tidak bisa ditafsirkan tanpa penghormatan terhadap perbedaan-perbedaan budaya masyarakat.27 Hal ini membutuhkan keterbukaan penafsiran terhadap hak-hak asasi manusia baik di Barat maupun non-Barat. Penafsiran dan penerapan dalam memberikan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama di Barat pun masih berbeda. Di Perancis misalnya, tidak boleh melakukan ibadah atau menunjukkan simbol-simbol agama dalam ruang publik. Alasannya adalah karena dapat mengganggu ketertiban umum. Kebalikan di Perancis bisa dilihat di Amerika Serikat, bahwa setiap warga negara boleh melakukan ibadah atau ritual keagamaan di ruang publik dan dijamin oleh negara.28 Contoh tersebut mengkonfirmasi akan campur tangan budaya lokal masingmasing negara. Di samping teori inklusif, doktrin ‘Marjin Apresiasi (Margin of Appreciation)’ sangat melengkapi tatanan hak asasi manusia regional dalam menafsirkan perjanjian-perjanjian internasional hak asasi manusia. Doktrin ‘Marjin Apresiasi’ berkembang dalam tatanan hak asasi manusia di Eropa, dan sudah didefinisikan sebagai ‘garis batas dimana pengawasan internasional Ibid., 26. Ibid., 28 Disampaikan oleh Dr. Phil dari Kanada pada kuliah umum di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. 26 27
90
Hak Asasi Manusia... (Hamdan)
harus mengalah pada pertimbangan Negara Pihak dalam merancang atau menegakkan hukumnya.29
C. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam Hukum Islam adalah hasil produksi dari syari’ah dan fikih. Sekalipun syari’ah dan fikih acapkali diacu sebagai hukum Islam, keduanya secara teknis tidak semakna. Oleh sebab itu, maka harus ada pemilahan secara tegas agar dapat menentukan sifat masing-masing. Hal ini untuk menghindari miskonsepsi tentang hukum Islam yang bersifat ilahi dan bersifat temporal. Bagi umat Islam, syari’ah adalah tugas umat manusia yang menyeluruh, meliputi moral, teologi, dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual yang rinci.30 Secara sederhana syari’ah dapat dijelaskan sebagai ‘jalan’ atau ‘perintah Tuhan’ dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak Tuhan.31 Secara tidak langsung syari’ah dapat dikatan sebagai sumber hukum Islam yang bersifat Ilahi dan tetap yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Berbeda dengan syari’ah, fikih yang berarti ‘pemahaman’ adalah produk manusia yang bisa berubah mengikuti zaman dan keadaankeadaan yang ada.32 Secara sederhana fikih dapat dikatan sebagai sebuah pemahaman yang diproses melalui metode-metode tertentu dan bersifat temporal. Dengan demikian, hukum Islam terdiri dari dua kompenin: (1) syaria’ah yang merupakan wahyu ilahi dan bersifat tetap dan (2) fikih yang merupakan penafsiran manusia atas syari’ah dan bersifat temporal. Pemilahan ini menjadi penting guna memberikan isyarat bagian mana yang bersifat kekal atau tidak dapat dirubah, dan bagian yang bersifat sementara atau dapat disesuaikan dengan konteks zaman.
Ibid., 239-240. Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah.., 25. 31 Fazlur Rahman¸ Islam, terj. Ahsin Mohammad., (Bandung: Pustaka, 2010), 141. 32 Mashood Baderin, Hukum Internasional…, 33.
29 30
91
Tasâmuh, Volume 14, No. 1, Desember 2016
Kasus atau peristiwa yang tidak tercantum dengan jelas dalam alQur’an dan Sunnah menuntut adanya sebuah ijtihad (penalaran legas). Konsep ijtihad kemudian berkembang sebagai metode hukum Islam yang darinya muncul metode-metode legal ijma’ (konsensus yuristis) dan qiyas (analogi legal) seperti juga kaidah istihsan (preferensi yuristis), istishlah atau mashlahah (kemaslahatan), ‘urf (kebiasaan/kelaziman) dharurah (kemestian hidup, kebutuhan pokok), yang melalui semua itu sumber-sumber formal diperluas untuk mencakup perkembanganperkembangan baru dalam kehidupan manusia.33 Disini tampak jelas adanya pengakuan terhadap proses penalaran manusia sejak awal-awal pembentukan Islam. Meskipun taklid tidak dicela tetapi berijtihad adalah usaha yang mulia dan humanis. Adapun sasaran dan tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah), sebagai peningkatan kemaslahatan manusia (mashlahah) dan pencegahan kerusakan (mafsadah), adalah pendekatan holistik yang penting untuk mewujudkan lingkup yang tepat dan luhur dari hukum Islam.34 Oleh sebab itu, tujuan dan sasaran syari’ah ialah peningkatan kemaslahatan dan pencegahan kerugian bagi manusia, yang selalu harus diingat saat menafsirkan maupun menerapkan hukum Islam. Kaidah mashlahah menjadi sangat penting untuk membuka pintu masuknya hak asasi manusia dalam pergumulannya dengan hukum Islam. Dengan tegas, Mashood Baderin mengatakan: “Sekalipun hak asasi manusia secara khusus bertujuan untuk melindungi hak-hak individu, tujuan tertinggi ialah menjamin kepentingan manusia dan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan di mana pun mereka berada. Melindungi kesejahteraan individu pada akhirnya memastikan kesejahteraan masyarakat atau publik dan demikian pula sebaliknya. Hal ini menjadikan kaidah mashlahah sangat relevan dengan pembahasan hak asasi manusia dalam hukum Islam.”35
Istilah Mashlahah (kemaslahatan) secara harifiah berarti ‘kepentigan’ atau ‘kesejahteraan’ dan secara umum dan secara umum dipakai dalam Ibid., 36. Ibid., 39. 35 Ibid., 42. 33 34
92
Hak Asasi Manusia... (Hamdan)
fikih Mailiki, dalam makna yang lebih sempit, untuk mengungkapkan prinsip ‘kepentigan publik’ atau ‘kesejahteraan publik’ dan sering sering diberi syarat dengan ‘mashlahah mursalah’ (secara harfiah berarti ‘kepentingan yang dilepaskan’) saat kepentingan itu tidak terikat pada otoritas tekstual spesifik tapi didasarkan pada pertimbangan kebaikan bersama. Dalam makna itu mashlahah sering dipahami berkonotasi pada ‘mashlahah al-ummah’ yakni kepentingan dan esejahteraan umat Muslim sebagai keseluruhan. Bagaimanapun, penggunaan mashlahah untuk mencapai kepentingan atau kesejahteraan bersama atau umat tidak mesti menghalangi penerapannya yang lebih luas untuk melindungi hak asasi manusian dan kesejahteraan individu. Konsep umum mashlahah juga mengakomodasi apa yang bisa disebut sebagai mashlahah syakhshiyyah, yakni kepentingan atau kesejahteraan individu, demi menjamin perlindungan hak asasi manusia.36 An-Na’im mempertegas mashlahah yang dikutip dari al-Ghazali bahwa mashlahah sebagai pertimbangan bagi agenda kemanusiaan dalam hukum meliputi pemeliharaan agama, kehidupan, akal atau pikiran, keturunan dan kekayaan. Mashlahah dapat digunakan jika ada pertimbangan yang meyakinkan dan tegas mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Dalam pengertian ini, mashlahah mirip dengan ide tentang ‘kebijakan publik (public policy)’ atau ‘kebijakan hukum (the policy of the law)’ dalam tradisi Barat.37 Dengan doktrin ‘Marjin Apresiasi’ dan kaidah ‘Maslahah’ memungkin hak asasi manusia internasional dan hukum Islam berdialog guna mencapai pemahaman bersama dalam rangka mewujudkan hak asasi manusia di dunia Muslim. Sehingga penerapan hak asasi manusia internasional diterima dengan tangan terbuka di dunia Muslim modern. Untuk mencapai harmonisasi kontruktif sistem hukum internasional hak asasi manusia harus dikedepankan -jika dibutuhkan- pendekatan komplementer dan akomodatif, dimana unsusr-unsur terbaik dari dua sistem hukum itu digabungkan untuk keseluruhan umat manusia. Agar 36 37
Ibid. Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah…, 51.
93
Tasâmuh, Volume 14, No. 1, Desember 2016
pelaksanaan hak asasi manusia internasional secara tepat dan akurat dapat mempertimbangkan nilai-nilai Islam, khususnya ketika berhubungan dengan negara-negara yang menerapkan hukum Islam. Pendekatan ini tentu akan sangat membantu dunia Muslim dalam meratifikasi hak asasi manusia internasioanl tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam. Perdebatan utama adalah penafsiran eksklusionis terhadap hukum internasional hak asasi manusia di satu pihak, dan penafsiran fikih statis Islam tradisional di pihak lain. Kedua sistem hukum tersebut perlu didialogkan secara terus menurus untuk membuka peluang terwujudnya pemahaman bersama tentang hak asasi manusia yang pada gilirannya akan memudahkan tercapainya efektifitas pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Tentu dari pendekatan Dialogis ini diharap terjadinya sintesis, yaitu menafsirkan hak asasi manusia dengan mempertimbangkan nilai-nilai Islam dan sebaliknya. Pentingnya suatu pendekatan dialogis, sebagaimana ditegaskan Mashood Baderin, terlihat dari kesimpulan yang diambil Dewan Eropa pada akhir pertemuan inter-regionalnya bahwa: “Kita harus kembali menyimak. Lebih banyak pikiran dan upaya harus dituangkan untuk memperkaya wacana hak asasi manusia melalui referensi eksplisit pada tradisi agama dan budaya non-Barat.”38
Secara teoritik, mengikuti Amin Abdullah yang mengukutip dari Ian G. Barbour dan Holmes Rolston, ada 3 kata kunci yang menggambarkan hubungan agama dan ilmu yang bercorak Dialogis dan Intergratif, yaitu Semipermeable, Intersubjektif Testability, dan Creative Imagination.39 Lebih lanjut dalam konteks hak asasi manusia dan hukum Islam, Semipermeable mengindikasikan terjadinya saling menembus antara hak asasi manusia dan hukum Islam. Sehingga hak asasi manusia dan hukum Islam tidak terisolasi dan berdiri sendiri-sendiri. Tentu perbedaan corak keduanya tidak sampai hilang, memudar pun tidak, hanya saja saling bertegur-sapa. 38 39
94
Mashood Baderin, Hukum Internasional…, 4. http://aminabd.files.wordpress.com/2013/10/agama-ilmu-dan-budaya.pdf.
Hak Asasi Manusia... (Hamdan)
Dalam Filsafat Ilmu diketahui bahwa kebenaran harus bersifat objektif. Namun Karl R. Popper menyangkal itu. Menurutnya, objektivitas pernyataanpernyataan ilmiah terletak dalam fakta bahwa pernyataan tersebut dapa diuji secara inter-subjektif (Intersubjektif Testability).40 Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia dan hukum Islam, maka menafsirkan hak asasi manusia harus memasukkan nilai-nilai dari luar, yang dalam hal ini adalah nilai-nilai Islam. Sehingga hak asasi manusia tidak berdiri sendiri dan bebas dari subjek, yakni Islam. Amin Abdullah mengikuti Koesler dan Ghiselin mengatakan bahwa imajinasi kreatif (creative imagination) baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam dunia sastra sering kali dikaitkan dengan upaya untuk memperjumpakan dua konsep framework yang berbeda.41 Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Mashood Baderin dalam hal Aborsi yang dilihat dari dua sudut pandang hak asasi manusia dan hukum Islam, kemudian ia mengatakan: “ketimbang membela aborsi demi hak-hak perempuan, pendekatan hak asasi manusia yang lebih baik dan bisa didamaikan dengan hukum Islam adalah kewajiban negara untuk menyediakan bantuan sosial yang memadai bagi ibu yang mengandung janin yang tidak dikehendaki ataupun bagi bayi yang tidak dikehendaki setelah ia lahir”. Telaah kritis yang dilakukan Mashood Baderin tentang Hak Asasi Manusia dalam perspektif hukum Islam perlu diapresiasi. Ada beberapa hal penting yang dapat dirasakan dari hasil penelitian tersebut ialah: (1) fikih tampak dinamis dan (2) mashlahah tak hanya menjadi jargon belaka. Bagi penulis, dua hal ini merupakan penemuan yang sangat progresif karena selama ini fikih tampak mati suri dan mashlahah terlihat seperti hanya sebuah jargon yang tak dapat memberi dampak nyata bagi kehidupan masyarakat.
Fikih yang selama ini dipelajari di mayoritas lembaga Islam di Indonesia khususnya Pondok Pesantren adalah fikih yang tak ada ruhnya sehingga tampak stagnan. Ruhnya adalah realitas sosial dimana ilmu modern merupakan hasil produksinya. Tak heran jika kemudian fikih tampak statis disaat tidak bersinggungan dengan keilmuan mutakhir Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah, terj. Saut Pasaribu dan Aji Sastrowardoyo (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2008), 28. 41 http://aminabd.files.wordpress.com/2013/10/agama-ilmu-dan-budaya.pdf. 40
95
Tasâmuh, Volume 14, No. 1, Desember 2016
khususnya yang berkaitan dengan realitas kehidupan masyarakat seperti hak asasi manusia. Maka sejatinya hak asasi manusia yang merupakan hak inheren manusia tidak dapat dipisahkan ketika berbicara fikih modern. Mashlahah yang sejak pembentukan Madzhab menjadi bagian tak terpisahkan dari fikih klasik belum diaplikasikan secara maksimal dalam realitas kehidupan masyarakat modern upaya meningkatkan kesejahteraan bersama. Dalam momentum ini, Mashood Baderin berhasil mengaplikasikan mashlahah dalam hubungannya dengan hukum internasional hak asasi manusia. Oleh karena itu, penting kiranya memperluas ruang lingkup dan pemaknaan baru terhadap mashlahah itu sendiri. Tak hanya memberikan perspektif baru, Mashood Baderin juga memberikan fasilitas untuk melandingkan hak asasi manusia di dunia Muslim. Salah satu usulannya ialah pemerintah harus memberikan pendidikan hak asasi manusia. Memasukkan hak asasi manusia internasional dan Islam dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, atas dan tinggi tentu memberikan andil yang besar dalam hal ini. Hal yang lebih penting lagi ialah menciptakan kesadaran hak asasi manusia bagi masyarakat secara luas. Mashood Baderin tidak berhenti pada sumbangan perspektif dan fasilitas, ia juga mengusulkan adanya norma hukum yang mengikat untuk pemajuan hak asasi manusia. Hal ini mendukung pihak yudikatif dalam penegakan hak asasi manusia di tingkat domestik. Oleh karena itu, pengadilan dan para hakim dituntut sadar akan pentingnya membuat pertimbangan yang sensitif terhadap hak asasi manusia. Apa yang telah ditawarkan oleh Mashood Baderin mungkin akan lebih berguna bagi negara yang memang menerapkan hukum Islam secara saklek. Akan tetapi bagi negara yang semi-sekular, misalnya Indonesia, itu tidak terlalu mempunyai dampak yang besar mengingat sistem pemerintahannya sangat moderat. Moderat yang dimaksud disini ialah negara tidak memberikan pembatasan secara keras bahwa ini Barat dan ini murni Islam.
96
Hak Asasi Manusia... (Hamdan)
D. Penutup Perbedaan budaya dan agama bukan hambatan yang serius dalam menerapkan hak asasi manusia internasional. Penafsiran yang inklusif terhadap hak asasi manusia internasional menjadi penting untuk mencapai pemahaman bersama. Doktri Marjin Apresiasi menjadi pintu masuk untuk kelangsungan nilai-nilai budaya lokal dan nilai-nilai agama sembari melaksanakan hukum internasional hak asasi manusia. Dalam hukum Islam, mashlahah menjadi jembatan masuknya hak asasi manusia di dunia Muslim. Dengan mashlahah yang berorientasi kepada kepentingan dan kesejahteraan umum, hukum Islam dapat berjalan beriringan dangan hukum internasional hak asasi manusia. Menghilangkan kendala klasik yaitu penafsiran statis hukum Islam tradisional menjadi kunci utama dalam meratifikasi hukum internasional hak asasi manusia di negara Muslim.
97
Tasâmuh, Volume 14, No. 1, Desember 2016
Daftar Pustaka An-Na’im, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, ter. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997) Baderin, Mashood, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, ter. Musa Kazhim dan Edwin Arifin (Jakarta: Komnas HAM, 2010) http://aminabd.files.wordpress.com/2013/10/agama-ilmu-dan-budaya.pdf
Popper, Karl R., Logika Penemuan Ilmiah, ter. Saut Pasaribu dan Aji Sastrowardoyo (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Rahman, Farzlur, Islam, ter, Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2010)
98