Abdul Kadir Riyadi
361
GENEALOGI TEOLOGI NAHDLATUL ULAMA Suis Qa’im Abstract: NU, the largest social and religious organization in Indonesia has undergone many changes since its very inception decades ago. But the essence of the organization remains the same, namely its theological doctrine and “ideological” inclination toward the Sunna. This paper tries to speak of the struggle of NU in this changing era to remain as it is. It traces the theological genealogy of the organization, and how this theology has been transformed from time to time to meet the demands of Indonesian setting. Here NU is understood as a dynamic religious organization capable of translating certain theology and ideology into a totally different look. Hence, although it was originated in the theology of al-Asy’ariyyah and alMaturidiyah, NU was not at all representing any of these two Middle Eastern theologies. Unlike the two, NU emphasizes theoretically the idea of justice, moderation, and tolerance while practically upholding the adaptive and adoptive attitude toward local customs and traditions. Keywords: NU, genealogy, justice, moderation, tolerance
Pendahuluan Berbicara tentang organisasi masyarakat (ormas), Nahdlatul Ulama’ (NU) adalah salah ormas yang terbesar di Indonesia dan mempunyai kontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia. NU pulalah yang menyumbangkan para tokohnya untuk ikut rembuk dan bersifat partisipatif dalam penyusunan dasar-dasar negara, sebut saja KH. Wahid putra dari sang founding father NU, KH. Hasyim Asy’ari. Tidak berhenti sampai di sana, pada tahun 1952, NU juga tercatat sebagai salah satu partai politik yang ikut meramaikan pesta demokrasi rakyat Indonesia pada Pemilihan Umum. Namun pada akhirnya, organisasi yang didirikan pada tahun tanggal 31 Januari 1926 ini melepaskan baju partainya setelah pemilu tahun 1971 dan kembali menjadi ormas dengan slogan yang cukup terkenal, kembali ke khittah.1 NU adalah organisai Islam yang berhaluan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah. Dalam bidang teologi, mendasarkan dirinya kepada Abu> al-H{asan al-Ash‘ari> dan Abu> al-Mans}u>r al-Ma>turidi>. Dalam bidang fikih, bermazhab pada pada salah satu dari Ima>m Sha>fi‘i>, Ima>m Ma>lik, Ima>m Abu> Hani>fah, dan Ima>m Ah}mad bin H{anbal. Sedangkan dalam urusan tasawuf, NU berkiblat pada tasawuf al-Gaza>li> dan Junayd al-Baghda>di>.2 Selain itu, dalam hidup bersosial dengan masyarakat luas, NU selalu mengedapankan dan menumbuh kembangkan sikap adil dan lurus, penuh toleransi, penuh keseimbangan, dan amar ma‘ru>f nahy munkar. Prinsip umum diaplikasikan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara.3 Diskursus tentang pemikiran teologi dalam tubuh NU adalah sangat menarik untuk dikaji dalam tulisan ini. Kajian-kajian yang sifatnya dialektis selalu muncul di antara para anggota dan kadernya dengan harapan formulasi prinsip-prinsip dasar yang telah dibangun
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya. Ensklopedi Indonesia, jil. 4 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1980), 2327-2328. Lihat juga dalam Anggaran Dasar NU bab 1 pasal 1 dan Bab II pasal 3. 2 Pengurus Wilayah NU Jatim, Keputusan Muktamar NU XXVII (Surabaya: Pengurus Wilayah NU Jatim), 1984, 77-78. Lihat juga PBNU, Keputusan Munas Alim Ulama’ dan Kombes NU di Bandar Lampung (Jakarta: PBNU, 1992), 128. 3 Ibid. 1
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Charles J. Adams Reduksionisme TeologiAntara Nahdlatul Ulama dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama 362 Genealogi
sejak lama terus disempurnakan sehingga menjadikan organisasi NU ini selalu dinamis sepanjang masa. NU ibarat kaca prima yang memantulkan dan membiaskan beragam warna penafsiran. Oleh karena itu, banyak para pengamat dari internal NU ataupun dari outsider yang mencurahkan perhatiannya pada organisasi NU, baik sebagai organisasi kemasyarakatan ataupun sebagai wadah dari kajian-kajian keislaman yang terus menarik untuk dielaborasi lebih dalam. Sebut saja KH. M. A. Sahal Mahfudz yang mengkaji NU dalam bidang fikih. Menurutnya, selain bermazhab secara qawli>, NU harus berani melangkah lebih jauh dengan bermazhab secara manhaji>, yaitu mengikuti metode istinbat} para imam madha>hib al-arba‘ah sehingga konklusi hukum yang dihasilkan lebih aplikatif dan dinamis menjawab persoalanpersoalan masyarakat di dunia modern ini. 4 Dalam diskursus tasawuf, Said Aqil Siraj memosisikan dirinya sebagai orang yang menggugat tasawuf ‘amali> menuju tasawuf falsafi (filsafat).5 Sedangkan dalam bidang teologi, Khotibul Umam Wirano menggugat teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah dari teologi temporer menuju teologi kontemporer.6 Selain kajian tentang 3 bidang di atas (fikih, tasawuf, dan teologi), telah banyak karya lahir dari hasil penelitian yang dalam terhadap dinamika NU oleh para pengamat dan peneliti, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Mereka berlomba-lomba mendiskusikan NU secara panjang lebar dengan berbagai landasan epistemologis dan background pendidikan mereka masing-masing sehingga melahirkan sebuah karya berbentuk buku. KH. A. Wahid Hasyim menulis buku tentang Mengapa Memilih NU?: Konsepsi tentang Agama, Pendidikan, dan Politik. Dalam buku ini KH.A. Wahid pada awalnya mengamati bahwa NU adalah organisasi yang dipimpin oleh sekumpulan orang-orang tua yang pasti lamban bergerak, akan tetapi fakta yang terjadi bahwa NU di bawah kepemimpinan orang-orang tua tersebut dalam waktu 10 tahun sudah menyebar ke hampir seluruh Indonesia. Dia membandingkan dengan organisasi kepemudaan lainnya yang dalam kurun waktu 10 tahun juga hanya berdiri di dua karesidenan dan hanya tersebar di daerah itu-itu saja, dan karena itulah, dia memilih NU dalam berorganisasi (politik). Martin van Bruiessen menulis buku yang berjudul NU: Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terbit tahun 1994. Dalam buku ini Bruiessen menceritakan tentang sejarah panjang NU sampai proses Khittah. Dia juga menjelaskan tentang problematika NU dalam bidang keagamaan, sosial, dan ekonomi. M. Ali Haidar menulis buku Nahdlatul Ulama’ dan Islam Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik, terbit tahun 1994. Buku ini hadir seakan memberikan jawaban atas isu yang berkembang bahwa NU tidak konsisten dalam mengambil keputusan. M. Ali Haidar dalam buku ini menegaskan bahwa NU selalu konsisten dalam mengambil keputusan dengan qawa>‘id al-fiqhi>yah yang selalu dipegang oleh NU dalam mengambil keputusan. Bahkan, masih banyak buku-buku yang ditulis oleh para pengamat dan pemerhati NU yang secara umum membedah keorganisasian NU dan pemikiran-pemikiran yang lahir darinya. Akan tetapi diskursus tentang NU dari sisi teologi belum mendapatkan perhatian serius dari para pengamat dan peneliti. Padahal, teologi adalah salah satu disiplin keilmuan yang 4
M. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKIS,1994), 189. Ilyas Ruhiyat et al., Dinamika Kaum Muda, IPNU dan Tantangan Masa Depan (Jakarta: PP-IPNU), 1997, 39. 6 Khotibul Umam Wirano, Membaca Ulang Aswaja dan Upaya Transformasi PMII (Jakarta: PP-PMII), 1997. 5
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Abdul Kadir SuisRiyadi Qoim
363
membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama, suatu ilmu yang akan mengantar pengkajinya pada keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan dan peredaran zaman,7 dan sekaligus melahirkan potensi gerakan dalam melaksankan i>ma>n, Islam, dan ih}sa>n.8 Oleh karena itulah dalam tulisan ini, penulis akan memberikan perhatian lebih tentang konsep teologi yang dipegang kuat oleh NU, yaitu konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah yang didasarkan pada kedua tokohnya, Abu> al-H{asan al-Ash‘ari> dan Abu> al-Mans}u>r al-Ma>turidi>. Pembahasan ini menjadi urgen untuk dikembangkan karena menurut pengakuan NU, konsep teologi selalu dirujuk kepada kedua tokoh tersebut. Hal ini juga tidak terlepas dari doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah yang menjadi fokus kajian tidak terlupakan dalam proses kaderisasi masyarakat NU. Harapan yang ingin dicapai adalah agar doktrin teologi Ahl al-Sunnah wa alJama>‘ah tetap melekat dalam setiap pemikiran dan gerakan individu sebagai bagian dari masyarakat NU. Proses kaderisasi konsep teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah inilah yang menjadi amanah dari hasil Munas dan Muktamar NU sehingga menghasilkan produk-produk berupa bukubuku pokok acuan dalam pengkaderan yang dilakukan NU terhadap anggota-anggota dan kadernya. Ada dua buku pengkaderan yang secara detail menjelaskan tentang konsep teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah. Pertama, adalah “Konsep Dasar Pengertian Ahl Sunnah wal Jama’ah” yang ditulis oleh KH. Ahmad Masduqi. Buku ini diterbitkan oleh Pelita Dunia, Surabaya tahun 1986 sebagai buku acuan pengkaderan di Jawa Timur. Kedua, adalah “Konsepsi Ahl Sunnah wal Jama’ah” karya RS. Abdul Aziz yang diterbitkan oleh CV. Bahagia, Pekalongan, 1998, sebagai acuan pengkaderan di Jawa Tengah. Selain kedua buku pengkaderan ini, pengembangan konsep teologi NU dalam masyarakat luas masih dapat ditemukan dalam kitab-kitab teologi yang biasanya dikaji oleh di beberapa pesantren, sekolah diniyah, majlis ta’lim, dan forum diskusi atau ngaji lainnya. Kitab yang dimaksud adalah kitab ‘Aqi>dat al-‘Awa>m dan al-H{usun al-H{amidiyah yang sedemikian tersebar luas di masyarakat Indonesia pada umumnya, dan di warga NU pada khususnya. Dari latar belakang inilah penulis ingin mengulas lebih dalam tentang relevansi konsep teologi yang dicita-citakan dalam Munas dan Muktamar NU yang meliputi konsep tentang ke-Esa-an Tuhan, ke-Qadi>m-an al-Qur’an, serta Qad}a>’ dan Qadar Tuhan yang didasarkan pada konsep teologi al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi> dengan fakta yang terjadi di lapangan terkait proses pengkaderan NU, baik yang dilakukan dalam organisasi-organisasi otonomnya,9 dalam pondok-pondok pesantren, maupun dalam gerakan pendidikan masyarakat NU, dengan dua buku panduan pengkaderan dan dua kitab yang dijadikan dasar sebagaimna dijelaskan sebelumnya. Teologi al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi>: Cita-cita Teologi NU Sebagai basis teologi yang menjadi dasar pijakan oleh NU sebagaimna dicita-citakan dalam Munas dan Muktamar, Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah merupakan konsep teologi yang dianggap menjadi penengah dari “pertikaian alot” antara kaum salafi yang lebih menekankan 7
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), iv. Pengarus Nahdlatul Ulama’ Cabang Surabaya, Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia (Surabaya, t.p., 1980), 95. 8
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Charles J. Adams Reduksionisme TeologiAntara Nahdlatul Ulama dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama 364 Genealogi
pada otoritas nas}s} sebagai dasar pemikiran-pemikiran agama, dan Mu‘tazilah yang lebih “mendewakan” akal dalam aplikasi interpretasi nass}}, bahkan terkadang mendahulukan kekuatan akal dari pada menggunakan otoritas nass}}. Tokoh penting yang berperan dalam pengembangan dan penyebaran paham ini adalah al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi>. 1. al-Ash‘ari> Nama lengkapnya adalah ‘Ali> bin Isma>‘i>l bin Abi> Bashar Ish}a>q bin Sali>m bin Isma>‘i>l bin ‘Abd Alla>h bin Bila>l bin Abi> Burdah bin Abi> Mu>sa> al-Ash‘ari> al-Bas}ri>.10 Selain karena ada ikatan darah sebagai keturunan dari Abu> Mu>sa> al-Ash‘ari> salah satu tokoh penting dalam proses tah}ki>m, gelar al-Ash‘ari> disandarkan pada namanya karena dia berasal dari sebuah desa di Yaman yang bernama Ash‘ar, yang konon ibunya lahir di desa tersebut. 11 Menurut ‘Abd Alla>h Shaki>r dan Fuqiyah H{usayn, al-Ash‘ari> lahir pada tahun 160 12 H. Sedangkan mengenai kematiannya, para sejarawan tidak satu kata ketika menetapkan tahun berapa al-Ash‘ari> wafat. Ada yang berpendapat bahwa dia meninggal pada tahun 324 H. Ada juga yang mengatakan meninggal pada tahun 325 H. Ada juga yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun 335 H. Akan tetapi jika merujuk pada muridnya, alBa>hili>, al-Ash‘ari> meninggal pada tahun 324 H.13 Al-Ash‘ari> adalah tokoh besar yang menguasi berbagai disiplin ilmu yang berbasis keagamaan. Dia ahli dalam bidang h}adi>th, tafsir, dan ilmu kalam (teologi). Keahliannya ini tidak terlepas dari pengaruh besar dari guru-gurunya sehingga menjadikannya sebagai tokoh multidisipliner. Di antara gurunya adalah seorang ahli h}adi>th bernama Zakariya> bin Yah}ya> al-Saji> (w. 285 H) yang sekaligus mengasuh al-Ash‘ari> sepeninggal ayahnya ketika berumur dua tahun.14 Guru yang lain adalah Abu> Khali>fah al-Jahma>, Sahal bin Nu>h, Muh}ammad bin Ya’qu>b al-Maqri>, ‘Abd al-Rah}ma>n Khalfi> al-Dalbi>, dll.15 Al-Ash‘ari> adalah salah satu ulama’ yang produktif dalam bidang tulis menulis. Menurut ‘Abd Alla>h Shaki>r Muh}ammad al-Jundi>, dengan mengutip Ibn ‘Asa>kir dan alZarkashi>, mengatakan bahwa kitab yang ditulis oleh al-Ash‘ari> mencapai 300 kitab,16 di antranya adalah Risa>lah ila> Ahl al-S{aghar yang ditah}qi>q oleh ‘Abd Alla>h Shaki>r Muh}ammad al-Jundi>, al-Iba>nah fi Us}u>l al-Di>ya>nah, kitab Us}u>l Ahl Sunnah wa al-Jama>‘ah yang bernama Risa>lah ila> Ahl al-S{aghar yang ditah}qi>q oleh Muh}ammad al-Sayyid al-Jalinda, al-Luma‘ fi Radd ‘ala> Ahl al-Zaygh wa al-Bida’ yang ditah}qi>q oleh Hami>dah Ghara>bah, dan lain-lain yang sebagian besarnya banyak membahas tentang teologi. Walaupun pada awalnya alAsh‘ari> adalah pengikut Mu‘tazilah bahkan pernah menjadi salah satu tokohnya, akan 9
Bagian dari organisasi otonom NU terdiri dari: Ma’arif, ekonomi, dakwah, muslimat, Pertanu, dan lain-lain. termasuk juga bagian otonomnya adalah GP Anshor, IPNU, dan IPPNU. Lihat Ensklopedi Indonesia, jil. 4, 23272328. 10 Abu al-H{asan al-Ash‘ari>, Risa>lah ila> Ahl al-S{aghar, tah}q i>q ‘Abd Alla>h Sha> k ir Muh}ammad al-Jundi> (Madinah:Maktabat al-‘Ulu>m wa al-H{ukm, 1988), 33. 11 Ibid., 34. Lihat juga Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, tahqbi>q Muh}ammad Sayyid al-Jalinda (Mesir: Universitas Kairo, t.th.), 5. 12 Abdullah Syakir Muhammad, Risalah, 37-38. Lihat juga dalam Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, al-Iba>nah ‘an Us}u>l alDi>ya>nah, tah}qi>q Fuqiyah H{usayn Mah}mu>d (Kairo: Universitas ‘Ain al-Sha>m, 1998), 13-14. 13 Ibid., 37. 14 Ibid. 15 Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, al-Iba>nah fi> Us}u>l al-Di>niyah, tah}qi>q Muh}ammad al-Khadawi> Husayn (Kairo: Da>r alQadiri>, 1991), 10. 16 Abdullah Syakir Muhammad, Risa>lah, 47. ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Abdul Kadir SuisRiyadi Qoim
365
tetapi beberapa kitab yang ditulisnya ini lalu dijadikan dasar teologi yang selanjutnya disebut dengan konsep teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah. Dengan berbekal beberapa kitab inilah penulis akan mengkaji tiga pembahasan penting yang menjadi fokus penulisan ini, yaitu mengenai ke-Esa-an tuhan, ke-Qadim-an al-Qur’an, dan Qad}a>’ Qadar Tuhan. a. Ke-Esa-an Tuhan Hampir semua ulama’ termasuk al-Ash‘ari> sepakat bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa. Akan tetapi kajian definitif mengenai ke-Esa-an Tuhan seringkali mengalami perbedaan pendapat di antara mereka. Tentang ke-Esa-an Tuhan ini alAsh‘ari berhujjah dengan terciptanya alam semesta dari tidak ada menjadi ada, yang mana pasti diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa, Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Berbicara, Maha Mendengar, dan Maha Melihat.17 Sepintas pernyataan ini berimplikasi pada pernyataan bahwa Allah mempunyai beberapa sifat yang konsekuensi logisnya adalah akan berkumpul dzat dan sifat tuhan pada eksistensi tuhan sendiri. Dengan bahasa lain akan muncul istilah ta‘add al-qudama>’. Oleh karena itu, al-Ash‘ari> menegaskan bahwa sifat-sifat tuhan ini bukanlah Tuhan dan bukan selain Tuhan (la> hiya huwa wa la> hiya ghayruhu>). Sifat-sifat Tuhan tidak sedikitpun mengurangi kesempurnaan tuhan. Alasan logisnya adalah bahwa sifat-sifat Tuhan tidak sama dengan sifat yang melekat pada makhluqNya, berikut juga dzat Tuhan sangat berbeda dengan semua ciptaannya yang sifatnya baru.18 Di samping itu, al-Ash‘ari> dalam menyikapi ayat-ayat mutasha>biha>t yang berkaitan dengan wajah Tuhan, tangan Tuhan, dan mata Tuhan tidak mena’wil sebagaimna yang dilakukan kalangan al-Mu‘tazilah. Al-Ash‘ari> lebih mempertahankan makna aslinya dengan menjadikannya sebagai sifat “bila> kayfa”, sifat-sifat yang tidak perlu dirasionalisasikan dan dita’wil lebih jauh.19 Oleh karena itu, menurut al-Ash‘ari>, Tuhan adalah zat yang Maha Esa dengan sifat-sifat sebagai berikut: 1) Wuju>d (nafsi>yah), 2) Qadi>ran, Muri>dan, ‘Ali>man, H{ayyan, Sami>’an, Bas}i>ran, dan Mutakalliman (disebut dengan sifat Ma‘a>ni>), 3) Qudrah, Ira>dah, ‘Ilm, H{aya>h, Sama>’, Bas}ar, dan Kala>m (disebut sifat Ma‘nawi>yah), 4) Wajhun, Yadun, Ayn (disebut sifat bi la> Kayfa) b. Ke-Qadim-an al-Qur’an Al-Ash‘ari> menegaskan bahwa al-Qur’an itu adalah kalam Allah. Sedangkan kalam Allah adalah qadi>m. Oleh karenanya al-Qur’an bukanlah makhluq. Pendapat ini sekaligus mengkritik habis-habisan pendapat yang berbeda dari Mu‘tazilah bahwa al-Qur’an itu adalah makhluq. Dia memberi alasan bahwa “ketika Tuhan menghendaki sesuatu, kemudian berkata kun fa yaku>n atau ku>ni> bardan wa sala>man kepada api, maka kalam Tuhan di sini bukanlah kun atau ku>ni> karena keduanya ditujukan kepada sesuatu. Sedangkan kalam Tuhan adalah al-Qur’an itu sendiri yang juga merupakan sifat-sifat tuhan. Sedangkan sifat Tuhan adalah Qadi>m.20 Alasan lainnya menurut al-Ash‘ari>, semua 17
Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, Ahl al-Sunnah wal Jama>’ah, 65. Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, Risa>lah ila> Ahl al-S{aghar, 216-217. 19 Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, Ahl al-Sunnah wal Jama>‘ah, 75-76. 20 Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, al-Luma‘ fi> al-Radd ‘ala> Ahl al-Zaygh wa al-Bida>’, tah}qi>q H{ami>dah Gharabah (Kairo: Maktab al-Azha>r, t.th.), 33-35. 18
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Charles J. Adams Reduksionisme TeologiAntara Nahdlatul Ulama dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama 366 Genealogi
nama-nama Tuhan secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an. Paham teologi al-Ash‘ari> menegaskan bahwa nama-nama tersebut adalah Qadi>m dan bukan makhluq. c. Qad}a>’ dan Qadar Tuhan Pada dasarnya Qad}a>’ dan Qadar adalah salah satu dari rukun iman yang 6 sebagaimana dijelaskan oleh malaikat Jibril ketika bertemu dengna Nabi. Menurut alAsh‘ari>, Qad}a>’ dan Qadar adalah suatu keniscayaan dari Allah yang harus diimani secara mendalam oleh semua umat Islam, baik berupa kebaikan yang diperintahkan untuk dikerjakan, ataupun keburukan yang dilarang untuk dilakukan.21 Hal menarik yang perlu dicermati di sini, al-Ash‘ari> berpendapat bahwa Allah menciptakan baik dan buruk untuk manusia dan semua makhluqNya. Akan tetapi dia menegaskan bahwa keburukan adalah hasil perbuatan penciptaan Tuhan dan seluruh keburukan itu dilarang oleh Tuhan dan harus dijauhi. Sedangkan kebaikan itu adalah perintah Tuhan dan dianjurkan untuk melakukannya.22 2. al-Ma>turidi> Al-Ma>turidi> mempunyai nama lengkap Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Mans}u>r al-Ma>turidi> al-Samarqandi> al-Ans}ari>.23 Dijuluki Abu> al-Mans}u>r karena dia mempunyai anak laki-laki bernama al-Mans}u>r. Sedangkan gelar al-Ma>turidi> dikarenakan dia lahir di daerah Ma>turid, dan al-Samarqandi> karena Ma>turid tempat kelahirannya berada di wilayah Samarqand. Pada tahun 248 H al-Ma>turidi> lahir , dan tahun 333 H dia meninggal.24 Di belakang kesuksesan al-Ma>turidi> sebagai tokoh besar khususnya dalam bidang teologi tidak terlepas dari jasa-jasa gurunya yang selalu membimbingnya. Silsilah gurunya bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada awalnya al-Ma>turidi> berguru kepada Abu> Na>s}ir alIyad}i>, lalu ke Abu> Bakar Muh}ammad al-Jawzi>, lalu ke Abu> Sulayma>n al-Jawzi>, ke Muh}ammad, ke Abu> H{ani>fah, dan berhenti sampai Na>s}ir bin Yah}ya> serta Muh}ammad bin Maqat}il bin al-Ra>zi>.25 Sebagai tokoh agama yang multidisipliner, al-Ma>turidi> mempunyai banyak kitab yang ditulisnya sebagai aktualisasi dari keilmuan yang dia miliki. Di antara kitabnya adalah al-Jida>l, Ma’khad al-Shari>‘ah (dua kitab us}u>l al-fiqh yang bercorak H{anafi>), Ta’wi>lat al-Qur’an (Ta’wi>l Ahl al-Sunnah), Risa>lah fi> ma> la> Yaju>z al-Waqf fi>h al-Qur’a>n al-Kari>m: Sharh} al-Fiqh al-Akbar, dan al-Aqi>dah.26 Secara umum, corak pemikiran teologi al-Ma>turidi> adalah penengah antara menggunakan akal dan naql dalam penetapan ajaran agama sebagai penengah antara alMa>turidi> dan Salaf dalam pemikiran teologi. Oleh karena itu, al-Ma>turidi> dikenal sebagai tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah yang sangat paham terhadap ajaran agama baik dengan akal maupun naql. Maka, tidak jarang dia lebih rasional dalam menjabarkan konsep teologinya dibandingkan dengan al-Ash‘ari>.27 21
Ibid., 122-123. Abu> al-H{asan al-Ash‘ari>, Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, 70. 23 Abu> Mans}u>r al-Ma>turidi>, al-Tawh}i>d, tah}qi>q Fath} Alla>h Kha>lif (t.t.: al-Jama>‘ah al-Mis}ri>yah, t.th.), 1. 24 Ibid., 2. 25 ‘Ali> ‘Abd al-Fatta>h al-Maghrabi>, Ima>m Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah (t.t.: Maktabah Wahbah, 1989), 18-19. 26 Abu> Mans}ur> al-Ma>turidi>, al-Tawh}i>d, 22-29. 27 ‘Ali> ‘Abd al-Fatta>h al-Maghrabi>, Ima>m Ahl al-Sunnah, 31. 22
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Abdul Kadir SuisRiyadi Qoim
367
Menurut al-Ma>turidi>, untuk mengetahui ajaran agama diperlukan dua alat yang sangat urgen untuk digunakan, yaitu pendengaran (al-sima>‘) dan akal (al-‘aql), walaupun batas pengetahuannya hanya pada ruang lingkup yang global tanpa mendalami lebih jauh penjelasan secara hakiki dan spesifik. Untuk penjelasan secara hakiki dan spesifik, maka manusia perlu menggunakan daya rasa, berita, dan renungan. Berikut penjelasan lebih jauh tentang konsep teologi al-Ma>turidi> a. Ke-Esa-an Tuhan Allah adalah Tuhan yang Maha Esa. Untuk membuktikan ke-Esa-an Tuhan ini al-Ma>turidi> memberikan alasan dengan terciptanya alam semesta, yang pasti diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa. Secara pendengaran yang diperoleh dari al-Qur’an sudah pasti menunjukkan bahwa Tuhan Maha Esa. Sedangkan jika dirasionalisasikan dengan akal, maka kesimpulannya pun sama, Tuhan adalah Maha Esa. Andaikan alam diciptakan oleh dua Tuhan yang masing-masing dari keduanya mempunyai kehendak yang berbeda, maka alam ini akan rusak dan hancur. Jika kehendaknya sama, maka berarti Tuhan bukanlah zat yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, Tuhan pasti Maha Esa.28 Walaupun Tuhan adalah Maha Esa, ini bukan berarti Tuhan tidak memiliki sifat. Menurut al-Ma>turidi>, Allah mempunyai sifat-sifat yang Qadi>m sebagai berikut: 1) Nafsiyah (berupa wujud), 2) Ma‘a>ni> (Qadi>ran, Muri>dan, H{ayyan, Sami>‘an, Bas}i>ran, dan Mutakalliman), 3) Ma‘nawi>yah (Qudrah, Ira>dah, ‘Ilm, H{aya>h, Sama’, Bas}ar, dan Kala>m), 4) Dha>tiyah (berupa tangan, wajah, dan mata).29 b. Ke-Qadi>m-an al-Qur’an Al-Qur’an adalah Kalam Allah. Sedangkan Kalam Allah adalah Qadi> m sebagaimana zatNya. Oleh karena itu, al-Qur’an yang merupakan Kalam Allah yang Qadi>m ini bukanlah makhluk sebagaimana dinyatakan oleh kaum Mu‘tazilah. Menurut al-Ma>turidi>, untuk mengetahui ke-Qadim-an al-Qur’an, maka diperlukan pendengaran dan akal. Pendengaran diperoleh melalui banyak media termasuk dari penjelasan al-Qur’an. Untuk mengetahui kebenaran yang diperoleh dari pendengaran, maka akal mempunyai peranan penting, karena mampu mengetahui baik dan buruknya sesuatu.30 Sedangkan untuk mengetahui lebih dalam tentang ke-Qadim-an al-Qur’an, maka diperlukan media rasa, berita, dan berfikir. Termasuk bukti ke-Qadi>m-an al-Qur’an adalah adanya kemukjizatan yang ada pada diri al-Qur’an, di mana seluruh manusia dan makhluq Tuhan lainnya tidak mampu mengarang sebuah karya seperti al-Qur’an walaupun hanya satu ayat, dan tantangan ini berlaku sampai akhir dunia, bahkan sampai sekarang terbukti belum ada satu pun yang mampu melakukannya.31 c. Qad}a>’ dan Qadar Tuhan Qad}a>’ dan Qadar Tuhan adalah salah satu dari rukun iman yang wajib diimani 28
Abu> Mans}u>r al-Ma>turidi>, al-Tawh}i>d, 44 Inilah yang membedakan al-Ma>turidi> dan al-Ash‘ari>. Sifat tangan, wajah, dan mata disebut dha>tiyah oleh alMa>turidi>, dan disebut bila> kaifa oleh al-Ash‘ari>. Ibid., 12. 30 Ibid., 4. 31 Ibid., 44. 29
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Charles J. Adams Reduksionisme TeologiAntara Nahdlatul Ulama dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama 368 Genealogi
oleh seluruh umat Islam. Menurut al-Ma>turidi>, Qad}a>’ adalah keputusan Tuhan terhadap sesuatu dan dipastikan bahwa keputusan itu pantas baginya. Hikmah dari adanya Qad} a > ’ adalah tercapainya hakikat bagi segala sesuatu yang diciptakan dalam memerankannya sesuai dengan peranannya. Sedangkan Qadar adalah ukuran tentang baik dan buruk. Oleh karena itu, ukuran tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang pasti terjadi dan tidak akan bisa keluar dari ukuran tersebut. 32 Hakikat dari mengimani Qad}a’ dan Qadar menurut al-Ma>turidi> adalah mengimani dan meyakini kepada semua ketentuan dan keputusan Tuhan dengan segala keniscayaannya yang melekat pada keputusan tersebut, termasuk juga batas dan ukuran Tuhan tentang baik dan buruk, keterangan tentang hak dan batil, serta konsekuensi berupa pahala dan dosa. Teologi NU dalam Kaderisasi dan Pendidikan Konsep teologi al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi>, sebagaimana dipaparkan pada bagian awal, merupakan cita-cita agung dari Munas dan Muktamar NU dalam bidang teologi. Namun demikian, bagaimana praktiknya dalam proses kaderisasi dan pendidikan di NU, apakah sesuai dengan cita-cita awal ataukah ada beberapa konsep yang perlu dibenahi karena dianggap tidak sesuai dengan konsep teologi al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi>. 1. Konsep Teologi NU pada Proses Kaderisasi Pengurus NU mempunyai buku pokok yang digunakan sebagai acuan pada proses pengkaderan NU terhadap anggota dan kadernya. Ada dua buku pengkaderan yang secara detail menjelaskan tentang konsep teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah. Pertama, adalah Konsep Dasar Pengertian Ahl Sunnah wal Jama’ah yang ditulis oleh KH. Ahmad Masduqi. Buku ini diterbitkan oleh Pelita Dunia, Surabaya tahun 1986 sebagai buku acuan pengkaderan di Jawa Timur. Kedua, adalah Konsepsi Ahl Sunnah wal Jama’ah, karya RS. Abdul Aziz yang diterbitkan oleh CV. Bahagia, Pekalongan, 1998, sebagai acuan pengkaderan di Jawa Tengah. Dua buku ini secara konkret menjelaskan konsep teologi yang berkaitan dengan ke-Esa-an Tuhan, ke-Qadi>m-an al-Qur’an, serta Qad}a>’ dan Qadar Tuhan. a. Ke-Esa-an Tuhan Dalam buku pengkaderan Jawa Timur dan Jawa Tengah dijelaskan bahwa Tuhan adalah Maha Esa, dan dan ke-Esa-an Tuhan ini mempunyai sifat-sifat yang qadi>m dan Maha Sempurna.33 Walaupun sama dalam prinsip ke-Esa-an Tuhan, akan tetapi dua buku ini memuat dua perbedaan, yaitu: pertama, dalam buku pengkaderan Jawa Timur dijelaskan bahwa sifat-sifat Tuhan ada 13, yaitu Wuju>d (disebut Nafsiyah), Qidam, Baqa>’, Mukhalafatuh li al-Hawa>dith, Qiya>muh bi Nafsih, Wahda>niyah (disebut Salbiyah), Qadi>ran, Muri>dan, ‘A>liman, H}ayyan, Sami>‘an, Bas}i>ran, dan Mutakalliman (disebut Ma‘nawiyah). Sedangkan menurut buku pengkaderan Jawa Tengah, sifat-sifat Tuhan ada 20, yaitu: Wuju>d (disebut Nafsiyah), Qidam, Baqa>’, Mukhalafatuh li al-H}awa>dith, Qiya>muh bi Nafsih, 32
Ibid., 305-306. Ahmad Masduqi, Konsep Dasar Pengertian Ahl Sunnah wal Jama‘ah (Surabaya: Pelita dunia, 1986), 39. Lihat juga dalam RS. Abdul Aziz, Konsepsi Ahl Sunnah wal Jama’ah (Pekalongan: CV. Bahagia, 1998), 97. 33
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Abdul Kadir SuisRiyadi Qoim
369
Wah}da>niyah (disebut Salbiyah), Qudrah, Ira>dah, ‘Ilm, H}aya>h, Sama>‘, Bas}ar, Kala>m (disebut Ma‘a>ni>), Qadi>ran, Muri>dan, ‘A>liman, H}ayyan, Sami>‘an, Bas}i>ran, dan Mutakalliman (disebut Ma‘nawiyah), dan kedua, adalah dari segi rasionalisasi sifat-sifat Tuhan. Buku pengkaderan Jawa Tengah lebih panjang lebar penjelasannya dibandingkan buku pengkaderan Jawa Timur. b. Ke-Qadi>m-an al-Qur’an Semua kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada NabiNya, termasuk al-Qur’an, adalah Kalam Allah yang wajib diimani dan diyakini. 34 Karena al-Qur’an adalah Kalam Allah, maka konsekuensi logisnya adalah al-Qur’an adalah Qadi>m. Bukti ke-Qadi>m-an al-Qur’an adalah kemukjizatan yang terdapat dalam al-Qur’an sehingga tidak satu pun manusia yang mampu menciptakan apalagi menandingi kehebatan al-Qur’an.35 Di samping itu, dalam al-Qur’an terdapat arahan dan tuntunan bagi semua umat manusia untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Inilah yang membuktikan bahwa al-Qur’an itu Qadi>m. c. Qad}a>’ dan Qadar Tuhan. Dalam buku pengkaderan Jawa Timur dijelaskan bahwa mengimani Qad}a>’ dan Qadar adalah suatu kewajiban bagi semua umat Islam dengan carfa meyakini bahwa Tuhan telah menetapkan kebaikan dan keburukan sebelum Tuhan menciptakan makhluq. Oleh karena itu, seluruh apapun yang telah terjadi, sedang terjadi, ataupun akan terjadi tidak terlepas dari Qad}a>’ dan Qadar Tuhan, baik berupa hal yang baik dan ber manfaat bagi makhluq, ataupun ber upa keburukan yang mengkibatkan kesengsaraan bagi makhluq.36 Agak berbeda dengan di Jawa Timur, dalam buku pengkaderan Jawa Tengah dijelaskan bahwa Qad}a>’ adalah ketentuan dan ketetapan Tuhan pada zaman azali. Sedangkan Qadar adalah ketentuan Tuhan yang harus niscaya di dunia yang akan terjadi pada makhluq hidup dan mati, baik berupa kebaikan ataupun keburukan. Namun yang membedakan adalah manusia tetap mempunyai usaha (ikhtiya>r) tanpa menunggu Qadar Tuhan. Oleh karenanya, Qad}a>’ dan Qadar Tuhan bisa berubah dengan usaha (ikhtiya>r) dan doa manusia, walaupun keduanya (usaha dan doa) itu adalah bagian dari ketetepan Tuhan juga.37 2. Teologi NU di Tingkat Pendidikan NU telah melakukan proses kaderisasi kepada anggota dan kadernya dengan cara internalisasi teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah dengan media buku-buku pengkaderan. Tidak berhenti di sana, proses internalisasi ini terus berlanjut di tingkat pendidikan formal maupun informal, baik di pengajian-pengajian, majlis ta‘li>m, pesantren, dan forum lainnya. Sebagai acuan, forum ini biasanya menggunakan salah satu dari dua kitab yang sudah terkenal di kalangan masyarakat NU, yaitu kitab Aqi>dat al-‘Awa>m, karya Ahmad al-Marzuki>,
34
Ahmad Masduqi, Konsep Dasar, 41. RS. Abdul Aziz, Konsepsi, 15. 36 Ahmad Masduqi, Konsep Dasar, 43. 37 RS. Abdul Aziz, Konsepsi, 54. 35
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Charles J. Adams Reduksionisme TeologiAntara Nahdlatul Ulama dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama 370 Genealogi
dan al-H}usun al-H}amidiyah, karya Husein Afandi al-Jisr al-Tharabulusi dan ditas}h}i>h} oleh Ridwan Muhammad Ridwan. Dua kitab ini memberikan deskripsi yang lugas tentang teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, khususnya yang berkaitan dengan ke-Esa-an Tuhan, ke-Qadi>m-an al-Qur’an, serta Qad}a>’ dan Qadar Tuhan. a. Ke-Esa-an Tuhan Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ke-Esa-an Tuhan ini mempunyai sifatsifat yang melekat pada diriNya, dan berbeda dengan selainNya tanpa ada kemiripan sedikitpun. Menurut al-Marzuki, sifat Tuhan dibagi menjadi 4, yaitu 1) Nafsiyah, yaitu wuju>d, artinya adalah Allah benar-benar ada, 2) Salbiyah, artinya adalah Tuhan tidak pantas disifati dengan sifat-sifat sebaliknya. Sifat salbiyah ada 5, Qidam, Baqa> ’ , Mukha>lafatuh li al-H}awa>dith, Qiya>muh bi Nafsih, Wahda>niyah, 3) Ma‘a>ni>, yaitu sifat Qudrah, Ira>dah, ‘Ilm, H}aya>h, Sama>‘, Bas}ar, Kala>m, dan 4) Ma‘nawiyah, artinya berintegrasinya sifat-sifat ma‘a>ni> dengan zat Tuhan.38 Sedangkan menurut Husein Afandi dalam kitab al-H} u sun al-H} a midiyah menjelaskan bahwa mempercayai ke-Esa-an Tuhan adalah sebagian dari iman, dan ke-Esa-an Tuhan ini tidak terlepas dari sifat-sifat Tuhan yang 13, yaitu Wuju>d, Qidam, Baqa>’, Mukha>lafatuh li al-H}awa>dith, Qiya>muh bi Nafsih, Wah}da>niyah, Qudrah, Ira>dah, ‘Ilm, H}aya>h, Sama>‘, Bas}ar, Kala>m.39 Bedanya dengan kitab ‘Aqi>dat al-‘Awa>m adalah Husein Afandi tidak membagi sifat-sifat Tuhan ini menjadi Nafsiyah, Salbiyah, Ma‘a>ni>, dan Ma‘nawiyah sebagaimana ditulis dalam ‘Aqi>dat al-‘Awa>m. Husein Afandi mengeneralisasi semua sifat Tuhan dan menegaskan bahwa seluruh sifat Tuhan tersebut menyatu dalam zat-Nya (qa>im bi dha>tih). b. Ke-Qadi>m-an al-Qur’an Dalam ‘Aqi>dat al-Awa>m ditegaskan bahwa al-Qur’an adalah Kala>m Allah tanpa ada sedikitpun yang berasal dari manusia, termasuk Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril. Oleh karenanya, semua lafaz} dan ma‘na> al-Qur’an berasal dari Allah semata.40 Sangat berbeda dengan perkataan makhluq, Kala>m Tuhan adalah sifat yang azali> sesuai dengan dhat-Nya, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad tanpa media hurf ataupun suara (bi la> h}arf wa la> s}awt). Sedangkan al-Qur’an yang dapat dibaca, ditulis, dan diperdengarkan adalah Kala>m Tuhan yang berupa lafaz} (ucapan) yang menunjukkan kepada arti yang abadi (qadi>m).41 Menurut Husein Afandi, Kala>m Tuhan mempunyai dua makna, pertama, Kalam Tuhan adalah sifat Tuhan yang abadi karena dha>tNya yang bukan berupa huruf dan suara, dan kedua, Kalam Tuhan adalah kalam yang berupa lafaz} yang diturunkan kepada Rasul.42 Untuk membuktikan ke-Qadi>m-an al-Qur’an, Husein Afandi berargumentasi dengan adanya cerita-cerita dan sejarah masa lampau yang dijelaskan di dalam alQur’an seperti sejarah para Nabi dan Rasul. Bukti yang lain adalah kemukjizatan alQur’an yang tidak mampu ditandingi oleh semua makhluq di muka bumi ini dari dulu 38
Muh}ammad bin ‘Ali> bin Muh}ammad Ba’a>thiyah al-Da’uani>, Muji>z al-Kala>m (Surabaya: t.p., 2009), 53. Lebih lengkap mengenai sifat-sifat Tuhan beserta bukti-bukti kebenaran sifat tersbut, lihat Husein Afandi al-Jisr al-Tharabulusi, al-H{usun al-H{a>midiyah (Surabaya: t.p., 1970), 14-17. 40 Muhammad bin Ali> bin Muhammad Ba’a>thiyah al-Da’uani>, Muji>z al-Kala>m, 119. 41 Ibid., 89. 42 Husein Afandi al-Jisr al-Tharabulusi, al-H{usun al-H{amidiyah, 124. 39
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Abdul Kadir SuisRiyadi Qoim
371
sampai sekarang. c. Qad}a>’ dan Qadar Tuhan Qad}a>’ dan Qadar Tuhan adalah salah satu rukun iman. Esensi mengimaninya adalah dengan cara meyakini bahwa semua yang terjadi di dunia adalah copy paste dari suatu ketentuan yang telah ditaqdirkan Tuhan sebelum terciptanya alam, dan Allah adalah dha>t yang mengetahui semuanya secara detail. Tuhan telah menciptakan kebaikan dan keburukan untuk manusia agar bisa memilih, yang tentunya mempunyai konsekuensi dari masing-masing keduanya. Jika memilih perbuatan buruk, maka dia harus bertaubat sepenuhnya sehingga bisa terlepas dari dosa-dosa, jika tidak, maka dia berhak disiksa dengan siksaan yang pedih. Sebaliknya, jika manusia lebih memilih perbuatan baik, maka dia berhak mendapatkan satu tempat di surga sebagai konsekuensi logis dari pilihannya.43 Sedangkan menurut Husein Afandi, Qadar Tuhan adalah ketentuan Tuhan pada zaman azali> terhadap ukuran yang akan terjadi kepada makhluq, baik berupa kebaikan ataupun keburukan. Sedangkan Qad}a>’ adalah pelaksanaan Tuhan terhadap semua ukuran yang sudah terplanning pada zaman azali>.44 Oleh karena itu, Qad}a>’ dan Qada>r Tuhan, yang merupakan program-program Tuhan pada zaman azali> lengkap dengan ketentuan pelaksanaan dan rincian teknisnya, wajib diimani oleh semua umat Islam tanpa terkecuali. Mengingkari eksistensi Qad}a>’ dan Qadar akan mengantarkannya pada sebuah ke-kafir-an. Genealogi Teologi NU NU mempunyai seperangkat aturan yang dilahirkan dari Munas dan Muktamar yang memang rutin dilakukan untuk selalu meneguhkan eksistensi diri dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang selama ini masih menjadi titik celah bagi internal NU sendiri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, NU adalah organisai Islam yang berhaluan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah. Dalam bidang teologi, mendasarkan dirinya kepada Abu> al-H}asan al-Ash‘ari> dan Abu> al-Mans}u>r al-Ma>turidi>. Dalam bidang fikih, bermazhab pada pada salah satu dari Ima>m Sha>fi‘i>, Ima>m Ma>lik, Ima>m Abu> H}}ani>fah, dan Ima>m Ah}mad bin H}anbal. Sedangkan dalam urusan tasawuf, NU berkiblat pada tasawuf al-Gaza>li> dan Junayd al-Baghda>di>45 Oleh karena itu, dalam bidang teologi, NU selalu mendasarkan dirinya kepada konsep teologi yang dimotori oleh al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi> yang bernama ahl Ahl al-Sunnah wa alJama>‘ah, khusunya dalam bidang ke-Esa-an dan sifat-sifat Tuhan, Kalam Tuhan dan hubungan antara akal dan wahyu, serta kehendak manusia yang berkaitan dengan Qad}a>’ dan Qadar Tuhan. a. Ke-Esa-an Tuhan dan Sifat-sifatNya Berbicara tentang sifat-sifat Tuhan, al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi> sepakat bahwa Tuhan adalah Maha Esa, dan dalam ke-Esa-an-Nya Tuhan mempunyai sifat-sifat yang Qadi>m. Dalam merasionalisasikannya pun keduanya menggunakan bukti-bukti logis sehingga 43
Muhammad bin Ali> bin Muhammad Ba’a>thiyah al-Da’uani>, Muji>z al-Kala>m, 85. Husein Afandi al-Jisr al-Tharabulusi, al-H{usun al-H{amidiyah, 26. 45 Pengurus Wilayah NU Jatim, Keputusan Muktamar NU XXVII (Surabaya: Pengurus Wilayah NU Jatim, 1984), 77-78. Lihat juga PBNU, Keputusan Munas Alim Ulama’ dan Kombes NU di Bandar Lampung (Jakarta: PBNU, 1992), 128. 44
ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Charles J. Adams Reduksionisme TeologiAntara Nahdlatul Ulama dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama 372 Genealogi
tidak ada satupun yang menyangkal ke-Esa-anNya. Oleh karena itulah walaupun keduanya termasuk tokoh yang berpegang teguh pada teks, akan tetapi yang menjadikan nilai lebih bagi mereka adalah keduanya berusaha merasionalisasikannya dengan media akal, walaupun al-Ma>turidi> melebihi al-Ash‘ari> dari segi sistematisasi dalam berpikir karena menggunakan pendengaran dan akal dalam mengakses kebenaran agama secara global, kemudian merincinya melalui daya rasa, berita, dan berpikir lebih dalam. Ada beberapa hal yang membedakan antara al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi>. Selain jumlah sifat yang berbeda, yaitu menurut al-Ma>turidi> ada sifat Salbiyah, sedangkan al-Ash‘ari> tidak membahas tentang sifat Salbiyah, antara keduanya memiliki perbedaan dalam memberikan status pada sifat-sifat Tuhan tersebut. Baik al-Ash‘ari> maupun al-Ma>turidi> sama-sama sepakat bahwa Allah mempunyai sifat tangan, wajah, dan mata. Bedanya, jika al-Ash‘ari> menegaskan bahwa ketiga sifat tersebut adalah sifat bi la> kayf (tidak perlu dipertanyakan lagi), sedangkan sifat yang lain bukan, maka al-Ma>turidi> menjelaskan bahwa semua sifat-sifat Tuhan yang terdiri dari nafsiyah, salbiyah, ma’a>ni>, dan ma‘nawiyah merupakan sifat Tuhan yang bi la> kayf karena menunju kepada bentuk, sedangkan Tuhan tidaklah berbentuk. Konsep teologi tentang ke-Esa-an Tuhan dan sifat-sifat yang dikawal oleh al-Ash‘ari> dan al-Ma> turidi> inilah yang pada awalnya menjadi cita-cita NU dalam Munas dan Mukatamar. Ketika melihat fakta yang terjadi di lapangan dalam proses kaderisasi dan pendidikan NU, ada hubungan yang sangat dekat antara cita-cita dan fakta yang terjadi, walaupun dalam beberapa bidang belum maksimal dan perlu diperbaiki. Konkretnya, dalam buku pengkaderan NU Jawa Timur, walaupun secara umum memiliki kecocokan dengan konsep teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah versi al-‘Ash‘ari> dan al-Ma>turidi>, akan tetapi tidak menyebutkan sifat ma‘a>ni> tanpa ada alasan yang jelas. Kemudian, baik dalam buku pengkaderan NU Jawa Timur ataupun Jawa Tengah, keduanya tidak membahas tentang sifat Tuhan berupa tangan, wajah, dan mata. Walaupun dari sisi rasionalitas, buku pengkaderan NU Jawa Tengah memiliki nilai lebih dari pada Jawa Timur karena memberikan porsi yang cukup banyak dalam menjelaskan sifat-sifat Tuhan berikut bukti konkretnya. Kurangnya rasionalisasi terhadap sifat-sifat Tuhan ini juga berlaku dalam kitab ‘Aqi>dat al-‘Awa>m. Hal ini bisa dimaklumi karena objek kitab ini biasanya ditujukan kepada siswa ibtida>’iyah (tingkat SD). Hal yang berbeda adalah jika mengaca pada penjelasan Husein Afandi dalam kitab al-H}usun al-Hami>diyah. Dia menjelaskan secara panjang lebar tentang bukti-bukti sifat-sifat Tuhan. Bahkan dia menambahkan bahwa semua umat Islam harus mengetahui sifat-sifat Tuhan baik yang wajib, mustahil, maupun ja>iz. Pemahaman tersebut akan mudah didapatkan dengan cara mengerti tentang hukum-hukum akal, yaitu wajib ‘aqli>, mustahi>l ‘aqli>, dan ja>iz ‘aqli>. b. Mengenai Kalam Allah dan interaksi antara wahyu dan akal Sebagai pioner dari paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi> sepakat bahwa al-Qur’an adalah Kala>m Allah dan bersifat Qadi>m. Lalu, dengan media apakah manusia bisa mengetahui bahwa al-Qur’an adalah Kala>m Allah dan bersifat Qadi>m? Al-Ash‘ari> menjelaskan bahwa hanya dengan akallah manusia bisa mengetahuinya. Akal manusia merupakan anugerah Tuhan sehingga mampu mengetahui segala sesuatu yang ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Abdul Kadir SuisRiyadi Qoim
373
diberitakan Allah dan RasulNya. Al-Ma>turidi> menambahkan, untuk mengetahuinya tidak cukup dengan akal semata. Media yang mampu mengetahui al-Qur’an adalah melalui pendengaran dan akal, walaupun pengetahuan yang diperoleh hanya bersifat global. Melalui keduanya (akal dan pendengaran) manusia mampu memahami kebenaran dan keburukan yang dijelaskan oleh al-Qur’an secara global. Untuk mengetahui lebih rinci dari kebenaran dan keburukan yang hakiki, maka manusia mempunyai media tambahan berupa indera, khabar, dan berpikir. Dialektika berpikir dari konsep teologi inilah yang menjadi cita-cita NU dalam Munas dan Muktamar. Hal yang menggembirakan adalah ketika cita-cita itu mempunyai kecocokan dengan fakta yang terjadi di mana NU mampu mengaplikasikan cita-cita agung itu ke dalam fakta kaderisasi dan pendidikan di bawah NU, walaupun di sana sini masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu dibenahi. Dalam buku kaderisasi NU dijelaskan bahwa bukti ke-Qadi>m-an al-Qur’an adalah kemukjizatan yang terkandung di dalamnya, sehingga tidak ada satu pun yang mampu membuat apalagi menandingi kehebatan Tuhan berupa al-Qur’an ini. Untuk mengetahui seluruh isi al-Qur’an berikut juga kemukjizatannya adalah melalui akal. Hal yang sama juga berlaku pada kitab ‘Aqi>dat al-‘Awa>m, karya Ahmad Marzuki dan kitab al-H}usun alH}amidiyah, karya Husein Muhammad. Kemudian Ahmad Marzuki menambahkan bahwa Kalam Tuhan adakalanya diperdengarkan sendiri oleh Tuhan dan adakalanya disampaikan melalui malaikat Jibril. Namun yang pasti adalah Kalam Tuhan tersebut bersifat azali> (Qadi>m) dan diturunkan tanpa huruf dan suara (bi la> h}arf wa la> s}awt). c. Qad}a>’ dan Qadar Tuhan dan kehendak bebas manusia Baik al-Ash‘ari> maupun al-Ma>turidi> berpendapat bahwa Qad}a>’ dan Qadar Tuhan adalah sebuah keniscayaan yang sudah ditentukan di zaman azali>, baik berupa perbuatan baik ataupun perbuatan buruk. Namun yang perlu digarisbawahi di sini, manusia bebas memilih antara melakukan kebaikan dan keburukan yang tentunya juga bertanggung jawab atas konsekuensi pilihannya tersebut. Jika memilih keburukan, maka dia dianjurkan untuk selalu bertaubat dan tidak mengulangi lagi, jika tidak bertaubat, maka pintu neraka sangat terbuka lebar baginya. Sebaliknya, jika manusia lebih memilih perbuatan baik dalam kehidupannya, maka Allah menjanjikan surga yang kenikmatannya tidak bisa dibayangkan oleh panca indera. Cita-cita agung dari konsep teologi ini jauh berbeda dengan fakta NU pada tahap kaderisasi dan pendidikannya. Konsep Qad}a>’ dan Qadar dalam buku pengkaderan NU Jawa Timur lebih condong pada sikap pasrah pada ketentuan yang menjadi keniscayaan tanpa ada usaha yang dilakukan, sebuah konsep yang berkebalikan dengan konsep alAsh‘ari> dan al-Ma>turidi> yang memberikan ruang ikhtiya>r dan kasb pada diri manusia. Hal ini berbeda dengan konsep Qad}a>’ Qadar dalam kitab ‘Aqi>dat al-‘Awa>m dan al-H}usun alH}amidiyah yang lebih mirip dengan konsep al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi> walaupun masih ada sekat yang membedakan pada tahap rasionalisasi. Penutup Setelah membahas tentang relevansi antara cita-cita NU dalam Munas dan Muktamar tentang konsep teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah dan fakta yang terjadi dalam proses ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012
Charles J. Adams Reduksionisme TeologiAntara Nahdlatul Ulama dan Anti-Reduksionisme dalam Kajian Agama 374 Genealogi
kaderisasi dan pendidikan NU, maka beberapa kesimpulan yang bisa diambil adalah 1) teologi NU dalam masalah ke-Esa-an Tuhan sesuai dengan harapan, walaupun masih perlu perbaikan dalam argumen-argumen yang mempunyai kecenderungan tekstual, 2) teologi NU dalam masalah ke-Qadi>m-an al-Qur’an mendekati sempurna sesuai dengan harapan NU, akan tetapi argumen-argumennya cenderung tekstual dan tidak mencerminkan konsep teologi al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi>, 3) teologi NU dalam masalah Qad}a>’ dan Qadar Tuhan jauh dari konsep teologi al-Ash‘ari> dan al-Ma>turidi>
Daftar Rujukan: Ash‘ari> (al), Abu> al-H{asan. Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, tah}qi>q Muh}ammad Sayyid al-Jalinda. Mesir: Universitas Kairo, t.th. ————. al-Iba>nah ‘an Us}u>l al-Di>ya>nah, tah}qi>q Fuqiyah H{usayn Mah}mu>d. Kairo: Universitas ‘Ayn al-Sha>m, 1998. ————. al-Iba>nah fi> Us}u>l al-Di>ya>nah, tah}qi>q Muh}ammad al-Khadawi> H{usayn. Kairo: Da>r al-Qadiri>, 1991. ————. al-Luma’ fi>> al-Radd ‘ala> Ahl al-Zaygh wa al-Bida>’, tah}qi>q H{ami>dah Gharabah. Kairo: Maktab al-Azha>r, t.th. ————. Risa>lah ila> Ahl al-S{aghar, tah}qi>q Abdullah Syakir Muhammad al-Jundi>. Madinah: Maktabat al-Ulu>m wa al-Hukm, 1988. Aziz, RS. Abdul. Konsepsi Ahl Sunnah wal Jama’ah. Pekalongan: CV. Bahagia, 1998. Da’uani> (al), Muh}ammad bin Ali> bin Muh}ammad Ba’a>thiyah. Muji>z al-Kala>m. Surabaya: t.p., 2009. Maghrabi> (al), ‘Ali> ‘Abd al-Fatta>h Ima>m. Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah. t.t.: Maktabah Wahbah, 1989. Mahfudz, M. A. Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKIS. 1994. Masduqi, Ahmad. Konsep Dasar Pengertian Ahl Sunnah wal Jama’ah. Surabaya: Pelita Dunia, 1986. Ma>turidi> (al), Abu> Mans}u>r. al-Tawh}i>d, tah}qi>q Fath} Alla>h Khali>f. t.t.: al-Jama>‘ah al-Mis}ri>yah, t.th. Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 1986. PBNU. Keputusan Munas Alim Ulama’ dan Kombes NU di Bandar Lampung. Jakarta: PBNU. 1992. Pengarus Nahdlatul Ulama’ Cabang Surabaya. Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia. Surabaya. t.p.: 1980. Pengurus Wilayah NU Jatim. Keputusan Muktamar NU XXVII. Surabaya: Pengurus Wilayah NU Jatim. 1984. Ruhiyat, Ilyas et al. Dinamika Kaum Muda, IPNU dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: PPIPNU, 1997. Tharabulusi (al), Husein Afandi al-Jisr. al-H{usun al-H{amidiyah. Surabaya: t.p., 1970. Tim Penyusun. Ensklopedi Indonesia. Jilid 4. Jakarta: Ichtiar baru van Hoeve. 1980. Wirano, Khotibul Umam. Membaca Ulang Aswaja dan Upaya Transformasi PMII. Jakarta: PPPMII, 1997. ISLAMICA, Vol. 6, No. 2, Maret 2012