Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau...
10
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
GENDER DALAM KOMUNITAS MASYARAKAT MINANGKABAU; TEORI, PRAKTEK dan RUANG LINGKUP KAJIAN Siti Fatimah
Abstract Minangkabau is one of the largest ethnic groups in Indonesia, which has a matrilineal kinship system. In the matrilinal Minangkabau kinship system, women get a different position when compared with women in patrilineal societies. When carefully scrutinized, matrilineal culture actually contains the values of equality and justice, both in the order of philosophy, structure, and implementation should be Key words : gender, Minangkabau community
A. Pendahuluan Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai salah satu kelompok etnis di dunia yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Jarang sekali kelompok etnis yang memiliki sistem kekerabatan seperti ini, barangkali hanya dua atau tiga, antara lain, di Afrika Selatan dan India. Penduduk Indonesia yang terdiri dari beragam etnis masyarakat, hampir seluruhnya menganut sistem patrilineal, sementara masyarakat Minangkabau merupakan salah satu yang termasuk etnis terbesar di Indonesia yang memiliki sistem kekerabatan yang berbeda. Karena perbedaan yang unik inilah ia dikenal sampai ke manca negara. Dalam sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau yang matrilinal, perempuan mendapatkan posisi yang berbeda jika dibanding dengan perempuan dalam masyarakat patrilineal. Terdapat delapan ciri sistem matrilineal dalam masyarakat Minangkabau: 1. Keturunan dihitung menurut garis ibu; 2. Suku terbentuk menurut garis ibu; 11
Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau...
3. Perkawinan exogamy, artinya setiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya; 4. Pembalasan dendam (?) merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku; 5. Kekuasaan di dalam suku menurut teori terletak di tangan ibu, meskipun jarang sekali terjadi; 6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-laki; 7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah isteri; 8. Hak-hak pusaka diwariskan kepada perempuan berdasarkan garis keturunan ibu (Muhamad Radjab, 1969:210-211). Sangat berbeda dengan sistem budaya patrilineal, misalnya di Bali, Nusa Tenggara Timur dan wilayah lainnya di Indonesia, telah terjadi pembenaran budaya atas berbagai hak istemewa pada laki-laki, sedangkan apa yang sudah nyata–nyata dikerjakan perempuan tidak diberikan perhargaan atau pengakuan budaya (T.O Ihromi, 200: 216). Karena wilayah Minangkabau dikelilingi oleh budaya patriakhi, tidak tertutup kemungkinan pola budaya ini juga berimbas terhadap masyarakat Minangkabau, yang sebetulnya secara nyata menganut pengakuan dan penghargaan sistem budaya yang berbeda. Oleh karena itu, tulisan ini tidak bermaksud mengabaikan temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya, yang menyoroti tentang sub-ordinasi, distorsi, marginalisasi, bahkan dehumanisasi peran-peran perempuan yang didominasi oleh dunia patriakhi dalam masyarakat Minangkabau yang memiliki sistem matrilineal. Karya ini bermaksud untuk menafsirkan kembali (reinterpretating) serta membangun kembali (reconstructioning) peran perempuan pada komunitas masyarakat Minangkabau ke depan, dalam rangka menggali potensi sustainable development yang dimiliki olah etnis ini sebagai salah satu etnis yang terbesar di Sumatera, termasuk di Indonesia. Subject matter tersebut antara lain, adalah: a) Bundo Kanduang antara perspektif mitos dan sejarah; b) akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi; c) budaya matrilineal dan semangat 12
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
entrepreneurship. Hampir seluruh peran yang ditunjukkan perempuan dalam gagasan-gagasan ini, berfokus pada wilayah publik, yang selama ini dianggap sebagai milik kaum pria. Tulisan ini sekaligus diharapkan dapat menjawab sebagian kegelisahan rekan-rekan aktifis, LSM, termasuk juga akedemisi terhadap nasib perempuan yang semakin terpuruk di Minangkabau. Di samping itu, wacana ini, dapat menyongkel streotip negatif tentang perempuan Minangkabau yang berkembang selama ini. Dominannya institusi negara (penguasa) dapat menyebabkan melemahnya peran institusi masyarakat (lokal), sehingga kontrol rakyat terhadap negara pun menjadi sangat mengecil. Sebagai contoh, Bundo Kanduang sebagai salah satu instistusi independen yang seharusnya memperjuangkan hak-hak perempuan Minangkabau, tidak lebih dari alat perpanjangan tangan dari kekuasaan negara selama ini. Hal semacam ini, tidak jauh berbeda dengan Dharma Wanita, PKK dan organisasi perempuan lainnya yang diciptakan oleh negara. Menonjolnya simbol-simbol tentang perempuan dari perspektif patriakhi (negara), yang berkedok melindungi perempuan telah melemahkan posisi perempuan itu sendiri, terutama di sektor publik. Isu penting dalam sistem kekerabatan matrilineal sesungguhnya adalah keadilan dan kesetaraan gender. Perempuan tidak hanya memiliki akses dalam wilayah domestik, melainkan juga sangat berperan penting dalam wilayah publik. B. Bundo Kanduang antara Perspektif Mitos dan Sejarah Dalam perspektif sejarah, mitos menjadi penting kehadirannya, karena ia merupakan abstraksi dari realitas dalam komunitas masyarakat tertentu secara ideologis dan filosofis. Ia sarat dengan pesan-pesan, misalnya Kaba Sabai Nan Alui, Cindua Mato, Bundo Kanduang, Asal Usul Alam Minangkabau, dan ceritera-ceritera lainnya tentang Minangkabau. Di samping itu, mitos pun erat kaitannya dengan tradisi lisan. Ceritera yang disampaikan secara turun temurun, di mana penutur tidak tetutup kemungkinan menambah dan mengurangi isi ceriteranya tanpa bergeser dari ide yang ada di dalamnya. Sejalan dengan kerangka analisis yang dikemukakan oleh 13
Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau...
Roland Barthes (1972), mitos adalah satu jenis tuturan, ia merupakan pesan atau penanda ketimbang fakta sosial yang sebenarnya, sebagai sistem semiologi dari sistem nilai daripada sistem fakta. Oleh karena itu, Barthes berpendapat bahwa pendekatan yang dinamis untuk membaca mitos ialah dengan baralih dari pemahaman semiologi ke pemahaman ideologi dengan cara menghubungkan mitos dengan sejarah yang menjelaskan bagaimana mitos mewakili kepentingan sebuah masyarakat. Bila diterjemahkan kata Bundo Kanduang, maka dapat dimaknai antara lain: bundo berarti ibu, sedangkan kanduang berarti kandung atau sejati. Dalam lagenda dan Tambo Minangkabau, yang dikategorikan ke dalam mitos, Bundo Kanduang dilambangkan sebagai seorang perempuan pemimpin yang arif dan bijaksana. Hal tersebut tercermin dalam pepatah adat sebagai berikut: - Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang (ibu yang berfungsi sebagai penyanggah dari extended family) - Umbui parui pegangan kunci
(pemegang kunci harta kekayaan) - Umbun parui alun bunian
(sumber segala titah) - Pusek kumpulan tali
(kumpulan segala sistem) - Sumarak dalam kampuang (membuat desa menjadi meriah) - Hiasan dalam nagari (penghias negeri) - Nan gadang basa batuah (pembesar yang sakti) - Kok hidui tampek banasa (kehidupannya sumber segala keinginan) - Kok mati tampek baniaik (kematiannya menjadi sumber segala niat) - Ka undang-undang ka Madinah (Menjadi perlindungan ke Madinah) 14
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
- Ka payuang panji ka sarugo (menjadi payung besar menuju surga) (Idrus Hakimi, 1997). Dari bait-bait di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan perempuan Minangkabau, secara ideologis maupun filosofis, tidak terfokus pada peran-peran domestik, melainkan memberi peluang besar pada peran-peran publik, khususnya di bidang sosial, ekonomi dan politik. Kekeliruan yang hadir selama ini, adalah semakin menonjolnya peran-peran domestik dan semakin termarginalnya peran-peran publik. Pada hal ide yang tertuang dalam adat masyarakat matrilineal Minangkabau memberi peluang yang jauh lebih luas pada ranah publik ketimbang dalam wilayah domestik. Dalam konteks ini, Bundo Kanduang ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang sangat menentukan jalannya roda pemerintahan. Sebagai perempuan ia tidak hanya sebagai pelengkap atau penghibur dalam pertemuan, tetapi Bundo Kanduang memiliki tempat yang sejajar dengan elite lainnya dalam mengambil kebijakan dan keputusan. Kutipan dari sebagian isi tambo berikut, melihat bagaimana peran yang dimainkan Bundo Kanduang ketika mengambil putusan dalam kerajaan Pagaruyung. “Pertemuan yang dipimpin oleh Rajo Alam telah berlangsung sejak jam sembilan pagi, Bundo Kanduang, Dang Tuangku Romandung, Anggota Basa Ampek Balai dan Tuan Kadhi hadir dalam pertemuan itu. Bundo Kanduang memperlihatkan kegusarannya terhadap tingkah laku Tanjung Sungainyiang yang jelas-jelas dapat merusak keseimbangan alam dengan isinya. Dengan bahasa dan suara jernih, gejolak bathin yang terkendali, Bundo Kanduang menguaraikan perilaku busuk dari pimpinan Tanjung Sungainyiang yang bertujuan akhir merusak dan memporakporandakan rakyat. Di akhir pertemuan, Bundo Kanduang mengusulkan untuk menindak balas kelompok yang telah merusak citra Pagaruyung”(Agustiar Idrus, 1985:241). Dari kuitipan di atas dilambangkan bahwa Bundo Kanduang adalah seorang perempuan yang memilki watak yang cerdas, bijaksana dan keras. Perempuan tidak hanya dilambangkan sebagai pajangan dan pelengkap, melainkan memiliki akses dalam mengambil kebijakan dan 15
Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau...
keputusan. Ceritera lain yang menggambarkan Bundo Kanduang seorang perempuan yang bijaksana dan memainkan perannya di sektor publik, dapat dicermati dalam lagenda Sabai nan Alui. Seorang perempuan yang gagah dan berani, yang menggantikan posisi saudara laki-lakinya menentang musuh ayahnya, ketika saudara laki-lakinya tetap sibuk bermain layang-layang (Taufik Abdullah, 1974: 7). Dari uraian tentang Bundo Kanduang antara mitos dan sejarah, dapat ditarik dua kategori penting. Pertama, Bundo Kanduang sebagai personality, artinya, merujuk kepada beberapa karateristik perempuan Minangkabau sebagai individu, yang harus dan telah dilakukan perempuan dalam komunitas masyarakatnya. Untuk melihat gambaran tentang konsep Minangkabau dalam kategori ini, maka steriotip ini bisa ditunjukkan dari sosok Rahmah El Yunusiya dan Rohana Kudus ketika masa pergerakan. Dalam konteks ini, deStuers mencoba membandingkan antara Rahmah El Yunusiyah dengan sosok Kartini dari Jawa. Di pihak lain, dengan akses yang dimiliki perempuan di bidang ekonomi, Rahmah telah mampu membangun sebuah sekolah (yayasan) di atas tanahnya sendiri, yang diperoleh dari warisan ibunya (mother personal property), setelah terjadi gempa bumi di Padang Panjang pada tahun 1926. Di samping itu, menurut Joanne Prindiville dan Prof. Peggi R. Sandy (1984), mengemukakan setelah berulang kali datang ke Indonesia, mereka melihat perbedaan yang sangat signifikan antara perempuan Minang dengan perempuan lain pada setiap pertemuan yang dihadirinya. Kedua, Bundo Kanduang sebagai institusi, yang sejajar dengan kedudukan institusi lainnya, mempunyai kekuatan dan akses yang sama dalam struktur pemerintahan nagari (desa) di Minangakabau. C. Akses Perempuan terhadap Sumber Daya Ekonomi Garis keturunan sangat erat kaitannya dengan penguasaan sumber daya yang bernilai ekonomis. Filosofi adat Minangkabau memberi akses ekonomi yang sangat tinggi kepada perempuan. Minangkabau dengan sistem matrilinealnya, menunjukkan adanya kedudukan perempuan yang sangat kuat. Perempuan dilindungi oleh 16
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
sistem pewarisan matrilineal dan pola menetap setelah menikah yang bersifat matrilokal. Dalam adat Minangkabau ada dua bentuk harta warisan. Pertama, disebut pusako tinggi; yang kedua, pusako rendah. Pusako tinggi adalah harta benda berupa sawah, ladang, rumah, perhiasan, dan sebagainya, yang diwariskan kepada perempuan secara turun temurun menurut garis keturunan matrilineal. Pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan, kecuali digadaikan, dan itu harus melalui beberapa persyaratan yang ketat. Saudara laki-laki yang lazim disebut mamak, berperan sebagai penyangga atau pelindung dari apa yang sudah diwariskan kepada saudara perempuannya. Namun, akhir-akhir ini, sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman, telah terjadi distorsi dan perubahan nilai-nilai yang disebabkan dominasi patriakhis. Banyak diantara saudara laki-laki atau mamak yang menjual harta pusaka tinggi dengan alasan-alasan tersendiri. Rizal A.R. dalam bukunya menyatakan pembagian peran secara tradisional dalam sistem matrilineal telah menempatkan perempuan Minangkabau sebagai tokoh kunci dalam mengelola tanah dan rumah. Akan tetapi, akhir-akhir ini, perempuan tidak banyak dilibatkan dalam mengambil keputusan. Salah satu contoh di nagari (desa) Salido terjadi perkelahian antara mamak dengan keponakannnya, karena mamak telah menjual pusako tinggi (Lany Verayanti, 2003: 13). Akses perempuan terhadap sumber daya alam (ekonomi) menyebabkan laki-laki di Minangkabau tidak memiliki hak atas harta (property). Dampak positif dari fenomena ini adalah banyaknya lakilaki yang pergi dari kampung halamannya untuk merantau dengan dalih ekonomi. Meskipun menurut Mochtar Naim (1984: 249-250). banyak faktor yang menyebabkan laki-laki Minangkabau merantau, antara lain: faktor fisik (alam), pendidikan, politik, daya tarik kota dan sebagainya, akan tetapi adat matrilineal adalah persoalan penting kenapa orang Minangkabau pergi merantau. Di sisi lain, bagi laki-laki yang telah berkeluarga (mempunyai anak dan isteri), tidak begitu canggung dan ragu-ragu bagi mereka untuk meninggalkan keluarga. Karena isteri dan anak-anak yang mereka yang ditinggalkan mampu dan bisa survive dengan harta pusaka isteri mereka di kampung halamannya. Dengan demikian, tidak jarang perempuan Minangkabau 17
Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau...
sudah terbiasa mengatur dan menjadi pemimpin dalam keluarganya ketika laki-laki (bapak) tidak berada di tengah-tengah keluarganya. Perempuan Minang yang ditinggalkan oleh suaminya baik karena cerai maupun meninggal dunia, jarang mau menikah kembali, kecuali bagi mereka yang belum mempunyai keturunan atau anak. Bagi perempuan yang sudah memiliki anak, mereka lebih memilih sebagai single parent, orang tua tunggal dengan alasan anak sudah merupakan aset bagi masa depan mereka (Wawancara dengan beberapa perempuanYang ditinggal suami). Tidak jarang, perempuan Minangkabau sebagai single parent cukup berhasil dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini tentu tidak terlepas jika dihubungkan dengan sistem matrilineal itu sendiri, di mana anak-anak menjadi jauh lebih dekat kepada ibunya. Bagi laki-laki yang pergi merantau, biasanya mereka bekerja atau berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha, pegawai negeri atau pegawai swasta. Menurut Mochtar Naim (1984: 163-164). Profesi yang disukai orang Minangkabau di rantau adalah: a) bidang dagang, dari mengecer di kaki lima sampai eksportir; b) pekerjaan kantoran; c) pekerjaan professional lainnya, wartawan, dokter, ahli hukum, politisi dan sebagainya; d) guru atau dosen dan mubaligh. Dengan profesi yang beragam ini, tidak jarang perantau Minang memiliki harta benda (property) yang baru. Kekayaan yang dikumpulkan melalui usaha sendiri ini disebut dengan pusako rendah., artinya hasil property yang diperoleh dengan hasil usaha sendiri, biasanya diperoleh dari merantau. Sistem pewarisan pusaka rendah ini berbeda dengan sistem pewarisan pusaka tinggi. Ia tidak diwariskan kepada keponakan perempuan, melainkan diwariskan kepada anakanak secara fair (seimbang). Kadang-kadang menurut aturan Islam dan kadang-kadang juga mengacu kepada aturan adat. Namun dalam kenyataannya, tidak jarang terjadi, anak laki-laki biasanya menyerahkannya kepada saudara perempuan kandungnya. Dalam artian ini, dapat diterjemahkan bahwa perempuan dengan pusaka rendah pun tetap memiliki akses ekonomi yang tinggi di 18
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Minangkabau. Oleh karena itu, perempuan Minang disebut dengan urang rumah (orang rumah), yang berarti perempuan memiliki semua apa yang ada di rumah (akses property). Dalam hal ini, istilah orang rumah tidak mengandung konotasi domestik, sebagaimana yang sering disalah artikan ke dalam perspektif patriakis, bahwa tempat perempuan itu adalah di rumah yang meliputi wilayah domestik. Karena itu, perempuan Minang disebut urang kayo, yang berarti orang kaya. D. Budaya Minangkabau dan Semangat Entrepreneurship Dalam sebuah seminar Ulang Tahun Keseratus Bung Hatta, di Hotel Mulya, Jakarta, Nurcholis Madjid mengemukakan bahwa ada beberapa karakteristik penting dari masyarakat Minangkabau, antara lain: egalitarian, ovunturis, mobile, dan entrepreneurship. Ciri-ciri demikian sangat menonjol pada masyarakat Minangkabau. Persoalannya adalah apakah karakteristik demikian ada hubungannya dengan sistem kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Dalam mainstraim masyarakat Minangkabau yang bersifat egalitarian, maasyarakat mengembangkan budaya kompetitif antara komunal maupun individu untuk lebih maju satu yang lainnya. Sikap egalitarian ini, telah ditunjukkan sejak ketika awal masuknya Islam ke Minangkabau. Budaya adat matrilineal yang dianggap sangat bertentangan dengan ajaran Islam, berbaur secara harmonis dengan agama Islam yang datang ke wilayahnya (Siti Fatimah, Skripsi, 1985). Konflik baru terjadi ketika pemerintah kolonial Belanda mulai melihat unsur-unsur pertentangan ini, dan menjadikannya sebagai alat kekuatan adu domba antara kelompok adat dengan kelompok alim ulama (agama), yang dikenal dengan perang Paderi. Contoh lain, yang sangat menarik adalah analisis yang dilakukan Rudolf Marzek (1972) dalam artikelnya tentang Tan Malaka. Menurut dia, tipikal masyarakat Minangkabau pada akhir abad yang lalu atau permulaan abad ini yang mempunyai dinamisme atau antipaarokhialisme sebagai ciri khasnya. Melihat struktur pengalaman ini, masyarakat Minangkabau mempunyai perspektif yang sampai sekarang tampak masih kuat dipegang, bahwa adat dan falsafah 19
Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau...
Minangkabau memandang konflik sebagai hal yang esensiil buat mencapai dan mempertahankan integritas masyarakat. Alam Minangkabau dilihat dari kacamata dialektika yang selalu mampu menemukan keserasian dalam suasana kontradiksi (Alfian, 1988: 137139). Jika duhubungkan antara konsep rantau dengan sistem adat matrilineal, yang menjadi salah satu penyebab kenapa orang Minangkabau banyak merantau, maka analisis Rudolf tentang dialektika tercermin di sini. Di mana konflik bukanlah faktor penghalang bagi orang Minangkabau untuk maju melainkan sebaliknya. Konsep rantau memberi pelajaran pada masyarakat Minangkabau bagaimana menyesuaikan diri dengan unsur yang baru dari luar. Kemampuan untuk melihat mana yang baik dan mana yang buruk melatih orang untuk berfikir kritis, yang merupakan referensi untuk menumbuhkan sikap-sikap positif yang lain. Munculnya semangat entrepreneurship (kewirausahaan) adalah merupakan salah satu akibat dari unsur dialektis yang dipahami masyarakat Minangkabau. Hal ini dapat ditunjukkan dari perioritas berbagai pekerjaan yang diminati oleh masyarakat Minangkabau di rantau. Mochtar Naim dalam bukunya “Merantau Pola Migrasi Minangkabau”, menunjukkan bahwa tujuan utama orang Minang pergi merantau adalah pergi berdagang (berusaha), kemudian baru diikuti untuk melanjutkan sekolah, mencari pekerjaan lain dan mengunjungi keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh adat Minangkabau sangat erat kaitannya dengan sikap entrepreneurship yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, banyak ahli meyakini bahwa sistem matrilineal menyebabkan orang Minangkabau mempunyai mobilitas yang tinggi dan semangat entrepreneurship. Faktor ekonomi telah menyebabkan orang Minangkabau pergi merantau. Karena harta kekayaan (akses ekonomi) dimiliki oleh kaum perempuan, maka menyebabkan laki-laki memiliki mobilitas yang tinggi untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial ekonomi yang dihadapi di kampung halamannya (http:/www.peopleteams.org/ minang/mobile.htm, 4/25/2005). 20
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Meskipun tidak banyak data yang bisa menunjukkan bahwa orang Minangkabau mampu mencapai posisi sebagai pengusaha besar, dalam artian memenuhi kriteria entrepreneurship secara utuh, tetapi semangat dan jiwa kewirausahaan cukup tinggi dimiliki warga mereka. Ini dapat dibuktikan dari profesi yang paling banyak ditekuni oleh masyarakat Minang di rantau. Setidak-tidaknya, cukup banyak data menunjukkan bahwa kebanyakan mereka berkecimpung dalam sektor bisnis dari kelas menengah ke bawah. E. Penutup Salah satu aspek penting dari sustainable development adalah menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender. Tulisan ini berusaha memaparkan dan sekaligus mengkritisi tentang sistem kekerabatan dalam etnis Minangkabau yang menekankan persoalan perempuan atau isu gender. Jika dikritisi secara seksama, maka budaya matrilineal sesungguhnya mengandung nilai kesetaraan dan keadilan gender, baik dalam tatanan filosofi, struktur, maupun implementasi yang seharusnya. Tulisan ini telah berusaha menganalisis dan mengemukakan aspek manakah dari budaya matrilineal tersebut yang memberikan konstribusi terhadap perempuan dalam komunitas masyarakat Minangkabau itu sendiri, terutama yang berkenaan dengan isu kesetaraan dan keadilan gender, sehingga bisa dilihat sebagai bagian dari sustainable development. Sistem kekerabatan matrilineal ternyata menempatkan posisi perempuan dan laki-laki secara seimbang. Laki-laki ditempatkan sebagai pelindung dan pengawas, yang dipresentasikan dengan kedudukan terhormat (prestige) sebagai mamak, sedangkan perempuan memiliki akses dalam kepemilikan (property). Sementara dalam pengambilan keputusan seyogianya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai akses yang sama. Persoalan terjadi, ketika implementasinya tidak berjalan sebagaimana nilai-nilai budaya tersebut disepakati lagi. Di satu sisi terjadi pelanggaran hak-hak perempuan karena pengaruh budaya patriakhis, dan di sisi lain lakilaki merasa tersubordinasi dengan sistem budaya matrilineal, karena dikebiri oleh budaya patriakhi. Fakta dan analisis yang telah 21
Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau...
dikemukakan dalam uraian ini ternyata menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam sistem budaya matrilineal, yang mampu membuat masyarakat Minangkabau tersebut bisa survive dan sustainable. Tidaklah terlalu berlebihan jika penulis berpendapat, kenapa masyarakat Minangkabau ketika masa pergerakan dan awal-awal kemerdekaan sangat banyak melahirkan tokoh-tokoh terkenal di pentas nasional. Sebut saja, Tan Malaka, Moh. Hatta, H. Agussalim, Moh. Yamin, St. Syahrir, Rohana Kudus, Rahmah Elyunusiyah, Hamka, Syafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, dan banyak lagi tokoh-tokoh lainnya. Semua mereka disegani dan sangat diperhitungkan eksistensinya di tengah-tengah komunitas nasional bahkan internasional. Hal demikian, setidak-tidaknya, sangat erat kaitannya dengan sistem matrilineal yang belum banyak mengalami distorsi. Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau pada masa itu masih konsisten dalam menjalani adat matrilinealnya. Adat Minangkabau yang disepakati dan dijalankan secara benar dan baik, telah memberikan konstribusi yang cukup signifikan dalam melahirkan tokoh-tokoh atau orang-orang yang berkualitas dari Ranah Minang. Pertanyaan penting adalah apakah masyarakat Minangkabau mampu kembali menggali potensi filosofi dan struktural yang sudah pernah mereka miliki, yaitu, kembali ke esensi masyarakat yang memiliki nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender, sebagai salah satu komponen dari isu krusial dalam sustainable development, sehingga masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat Minangkabau khususnya mampu melakukan dekonstruksi terhadap budaya patriakhi yang telah mengkebiri mereka selama ini, terutama semenjak periode Orde Baru, ketika konsep dan strategi sustainable development itu sendiri diagung-agungkan. Sebaliknya, tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk masyarakat yang tidak memiliki sistem kekerabatan matrilineal agar mengadopsi sistem kekerabatan ini. Akan tetapi, selain persoalan ini penting bagi 22
Jurnal Ilmiah Kajian Gender
masyarakat Minangkabau sebagai komunitas lokal tersendiri, setidaktidaknya pun bisa memberi konstribusi tentang bentuk-bentuk dan pola kesetaraan gender di Minangkabau diangkat sebagai isu non-bias gender bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini, menunjukkan bahwa dari keragaman budaya, terdapat indikator-indikator yang bisa digali dan dikembangkan sebagai sustainable development. G. Referensi Abdullah, Taufik. (ed.). 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. ______, 1970. “Some Notes on Kaba Tjindua Mato: An Example of Minangkabau Tradisional Literature” dalam Indonesia. no. 9 (April). Cornell: Cornell Modern Indonesian Project. Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik. Yogyakarta: Galang Press. Bathes, Rolland. 1972. Mythologies. Paris Edision du Seuil. translated as Mythologies. New York: Hill and Wang. _____, 1968. Elements de Semiologie. Paris Edision du Seuil. 1964. translated. as elements of Semiology. New York: Hill and Wang. De Jong de Josselin, P,E. 1980. Minangkabau and Negri Sembilan Sosio-Political Structure in Indonesia. Den Haag Martinus Nijjhof. Dobbin, Cristine. 1983. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatera 1784-1847. London and Malmo: Curzon Press ltd. Errington, Frederick, K. 1984. Manners and Meaning in West Sumatera. New Haven and London: Yale University Press. Fatimah, Siti, 1985. “Islam Fase Awal di Minangkabau”. skripsi. Jurusan Sejarah. FPIPS. IKIP Padang. Hakimi, Idrus, H. 1988. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang dan Palito Alua Pasambahan Adat di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya. 23
Gender dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau...
Herwandi, dkk. 2004. Rakena : Mande Rubiah : Penerus Kebesaran Bundo Kanduang dalam Penggerogokan Tradisi. Padang: Museum Adityawarman. Kato,
Tsuyoshi. 1982. Matrilineal and Migration. Evolving Minangkabau Tradition in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.
Locher-Scholten, Elsbeth and Anke Nieof, (ed.). 1987. Indonesian Women in Focus : Past and Present Notions. Foris Publications. Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Minangkabau. Gajah Mada University Press. Naavis, A.A. 1986. Alam Takambang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers. Poerwandari, Kristi, (ed.). 2000. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang sedang Berubah. Program Studi Kajian wanita. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Prindiville, Joanne C. 1981. “Image and Role of Minagkabau Women”. dalam South East Asia: Women Changing Structure and Culture Continuity. University of Otawa. Radjab, Muhammad. 1969. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Center for Minangkabau Studies Press. Verayanti, Lany. dkk. 2003. Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Masyarakat Matrilineal. Padang: LP3M. Tapi Omas Ihromi. 2000. “Budaya dan Struktur Sosial yang Patriakal: Reproduksi dan Resistensi? Tinjauan Terhadap Beberapa Hasil Penelitian Tentang Perempuan dalam Sejumlah Kebudayaan Etnik di Indonesia”. dalam Perempuan Indonesia dalam masyarakat yang tengah berubah. Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia: Jakarta. Majalah Kebudayaan Minangkabau, 1974. Th. I. No. 3-4.
24