GAGASAN TASAWUF PADA KUMPULAN PUISI ISYARAT KARYA KUNTOWIJOYO Heri Isnaini
ABSTRAK Gagasan tasawuf yang berusaha ditampilkan Kuntowijoyo di dalam kumpulan puisi Isyarat adalah gagasan sufi. Gagasan yang berpijak pada konsep “perjalanan”. Perjalanan yang dimaksud adalah perjalanan salik dalam mendaki tingkatan demi tingkatan maqam. Salik yang sudah mencapai maqam tertentu akan merasakan “kenikmatan” psikologis (ahwal). Maqamat (maqam-maqam) yang diperoleh salik dalam perjalanannya (suluk) harus diikuti pula dengan ikhtiyar. Ikhtiyar yang dimaksud adalah upaya yang harus diusahakan salik dalam menjaga dirinya agar maqam yang sudah didapatnya dapat terus meningkat sehingga salik dapat bermakrifat dengan khalik-nya. Konsep-konsep tersebut tersebar dalam beberapa sajak, tidak runtut satu demi satu, hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah kegamangan dalam perjalanan mistis dan spiritual yang dilakukan oleh narator. Konsep-konsep tersebut akan digali dengan melihat tanda-tanda yang hadir di dalam teks serta mengaitkannya dengan teks-teks lain. Akhirnya, akan ditemukan kesatuan alur gagasan yang merujuk pada gagasan di dalam tasawuf yang memengaruhi teks secara keseluruhan. Kata kunci: Gagasan tasawuf, maqamat, ahwal, ikhtiyar, salik, suluk, puisi, dan perjalanan ABSTRACT The sufi`s idea is one of the tasawuf`s idea which tries to be shown by Kuntowijoyo on the collection of Isyarat poetry. That idea is placed on “journey” concept. The intended journey is salik`s journey in reaching of maqam`s level by level. The salik that has been reached the certain maqam would feel the psychologist “enjoyment” (ahwal). Salik got maqamat (maqams) on its journey (suluk) must be followed by ikhtiyar. The ikhtiyar means the effort that must be tried by salik to keep its self, therefore the maqam that it has been got would increase so the salik able to know its khalik. Those concepts spread out in some poem and those are not arrange one by one. This thing describes that there is a doubtful on the spiritual and mystical journey which has been done by the narrator. Those concept will be recite by seeing appearance signs on the text and connect them to the other text. In the conclusion, there will be found the unity of idea`s plot point to the tasawuf`s idea that will effect the totality text. Keywords: Tasawuf`s idea, maqamat, ahwal, ikhiyar, salik, suluk, poetry, and journey
87
I. Pendahuluan Gagasan di dalam karya sastra (baik itu puisi, novel, maupun drama) merupakan sebuah bukti yang menunjukkan bahwa karya sastra tidak otonom. Artinya, selalu ada keterkaitan antara karya sastra dengan hal-hal lain dalam kehidupan. Gagasan-gagasan yang tertuang di dalam karya sastra tersebut seringkali implisit dan “dikemas” dalam suatu seni sastra, sehingga karya tersebut harus dipelajari dalam kaitannya yang ganda, yaitu antara gagasan yang terkandung dalam karya sastra tersebut sekaligus keindahannya sebagai seni sastra. Salah satu gagasan yang implisit dalam karya sastra adalah gagasan tasawuf. Ada beberapa sumber perihal etimologi tasawuf. Kata ini berasal dari kata di dalam bahasa Arab shuf (bulu domba) merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asketik muslim; Safa (kemurnian); shaf (barisan); shuffah (emper Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad); ashab al-suffa (Sahabat Beranda); dan ahl al-suffa (orang-orang beranda) merujuk pada sekelompok yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi dan mendedikasikan waktunya untuk berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan (Al-Taftazani, 2003:21). Lebih jauh al-Taftazani (2003:6) menjelaskan bahwa tasawuf atau mistisisme adalah falsafah hidup yang dimaksudkan untuk peningkatan jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis yang tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan fana dalam realitas yang tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional yang buahnya adalah kebahagiaan rohaniah yang hakikat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata karena karakternya bercorak intuitif dan subjektif. Dengan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan kondisi psikologis seseorang dalam memahami Tuhan melalui perjalanan-perjalanan mistis yang “berbeda” kondisi psikologis yang lain, bersifat subjektif. Sejalan dengan itu istilah tesebut, tasawuf dapat diartikan sebagai a member of a Muslim group who try to become united with God through prayer and meditation and by living a very simple, strict life (Oxford online). Di dalam KBBI, lema tasawuf diartikan sebagai ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya (KBBI, 2008: 1456). Lema tasawuf juga mempunyai kedekatan makna (sinonim) dengan istilah mistik, kebatinan, suluk, tarekat; ilmu sufi (Tesaurus Bahasa Indonesia, 2008: 499). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gagasan tasawuf yang terkandung di dalam karya sastra harus dimaknai sebagai sebuah ide pemikiran yang harus digali dengan pranata khusus yang berkaitan dengan “sistem karya sastra” yang tunduk dengan konvensikonvensi pada karya itu sendiri. Misalnya, gagasan tasawuf pada novel mungkin akan terlihat pada tataran penokohan, alur, tema, maupun latar. Hal ini tentu saja berbeda ketika gagasan terebut berada pada konvensi puisi. Karya sastra yang dianggap berisi ajaran tasawuf adalah karya sastra yang memiliki ciri-ciri ajaran tasawuf, yaitu ajaran kebajikan rohani, ihsan. Kebajikan rohani inilah yang mendasari gagasan-gagasan tasawuf karena lebih mementingkan rasa cinta kepada Tuhan melebihi rasa cinta pada diri sendiri. Kebajikan rohani
88
tersebut yang akan mengantarkan seorang hamba yang melakukan perjalanan rohani (salik) dalam perjalanan mistis (suluk) untuk menuju Tuhan. Perjalanan transedental seorang hamba untuk menuju Tuhan harus melewati beberapa tahap atau tingkatan. Dalam terminologi sastra sufi disebut maqamat (stations, stages). Seorang hamba atau pelaku rohani harus menempuh ‘jalan’ yang disebut thariqah, yang panjang berisi tingkatan-tingkatan atau maqam-maqam (Nasution, 1990). Hubungan yang sangat erat antara karya sastra dan perjalanan mistik dalam tasawuf terlihat dalam beberapa aspek. Aspek-aspek inilah yang kemudian akan dijadikan wahana untuk memperdalam dan memperkaya pemahaman gagasangagasan tersebut. Hakikat tasawuf dalam sastra sufi adalah upaya keras seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan merepresentasi kemanunggalan diri atau penyatuan hamba dengan sang Khalik. Representasi diri ini dalam bahasa, hadir dengan melakukan ketidaklangsungan ekspresi atas konsep kehambaan penyair kepada Tuhannya (Konsep Keilahian) melalui citraan-citraan dalam puisi atau karya sastra lainnya. Dengan demikian, penelitian ini akan dititikberatkan pada aspek penganalisisan gagasan-gagasan tasawuf yang “melebur” dalam sajak-sajak pada kumpulan puisi Isyarat. Hal ini dipertajam dengan asumsi bahwa sajak-sajak yang terkandung di dalam kumpulan tersebut berpretensi mempunyai gagasan tasawuf, tentu saja sejalan dengan makna yang “tersembunyi” di dalamnya. Makna tersembunyi tersebut yang kemudian dimaknai sebagai gagasan implisit, gagasan tasawuf. Dalam perjalanan sastra Indonesia, khususnya puisi. Hamzah Fansuri dan Amir Hamzah dalam puisi “Doa” (1937), J.E. Tatengkeng dalam puisi “Anankku” (1934), merupakan para penyair yang sering mengangkat tema-tema tasawuf dalam puisi-puisi mereka. Setelah itu kemudian barulah muncul nama-nama seperti Kuntowijoyo dengan kumpulan puisi Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun Daun Makrifat (1995), Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono dan beberapa penyair sufi lainnya yang pada dasarnya tengah memosisikan diri dalam spiritualisme dan antroposentrisme sebagai bentuk representasi jati diri. Antroposentrisme transeden semacam ini merupakan bentuk mistifikasi antara Aku dan Dia, antara hamba dan Tuhan (Malna, 2000). Pengalaman mistis inilah yang menjadi dasar penciptaan puisi-puisi sufi. Kuntowijoyo tergolong sebagai sastrawan yang mampu menulis dalam berbagai genre. Sebagai penyair ia telah menghasilkan tiga kumpulan sajak, yaitu Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Sebagai cerpenis ia menghasilkan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), fabel Mengusir Matahari (2000), dan beberapa cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas yang kemudian diterbitkan oleh Kompas dalam Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997). Dalam bidang drama ia menghasilkan Rumput-Rumput Danau Bento (1968), Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (1972), dan Topeng Kayu (1973). Sebagai novelis ia telah menulis Kereta
89
Api yang Berangkat Pagi Hari (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), dan Impian Amerika (1998). Dari banyak karyanya itu Kuntowijoyo juga telah memperoleh berbagai penghargaan sastra. Selain karya sastra, Kuntowijoyo pun menulis beberapa buku di bidang sejarah, agama, politik, sosial, dan budaya seperti di antaranya: Dinamika Sejarah Umat Islam (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991), Radikalisasi Petani (1994), Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994), dan Metodologi Sejarah (1994). Kumpulan puisi Makrifat Daun Daun Makrifat merupakan kumpulan sajak paling akhir yang dihasilkan Kuntowijoyo. Makrifat Daun Daun Makrifat diterbitkan oleh Gema Insani Press (1995), memuat 47 sajak-sajak pendek dengan nafas religiusitas yang kental yang tetap tidak mengabaikan kenyataan horisontal. Makrifat Daun Daun Makrifat dapat dipakai untuk melacak adanya tema sastra profetik yang dianjurkan oleh Kuntowijoyo. Dalam pengantar untuk Makrifat Daun, Daun Makrifat sendiri Kuntowijoyo juga secara tegas menulis. “Sajak-sajak ini adalah serbuan dari langit. Akan tetapi, ia tidak menjadikan sastra terpencil. Lihatlah ia juga berbicara tentang pemogokan, kalau yang dimaksud dengan kenyataan ialah penderitaan. Sajak-sajak ini adalah sebuah pemberontakan, pemberontakan metafisik terhadap materialisme....” (Kuntowijoyo, 1995:5). Kuntowijoyo mendasarkan perumusan sastra profetik (dan profetisitas secara umum) kepada Al Quran surat Ali Imran (3:110). Bagi Kuntowijoyo (1997), ada empat hal tersirat dari ayat ketiga surat Ali Imran ini, yaitu (1) konsep tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etik profetik. Pertama, konsep tentang umat terbaik (the choosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut oleh ayat tersebut. Jadi, sebuah umat tidak akan secara otomatis menjadi the choosen people. Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia (ukhriyat li an nas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai Ilahiyah menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etik Islam dari etik materialistis. Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa saja, baik individu (orang awam, ahli, superahli), lembaga (ilmu, universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok masyarakat). Semua diharuskan untuk mengamalkan ayat ini, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah kejelekan), dan iman (tu’minuna) bi Allah (beriman kepada Allah). Ketiga hal ini adalah unsur yang tak terpisahkan dari etik profetik. Sedangkan Abdul Hadi WM (1989:23) menilai sastra profetik sebagai sastra yang berjiwa transendental dan sufistik karena berangkat dari nilai-nilai ketauhidan, tetapi yang setelah itu juga memiliki semangat untuk terlibat dalam mengubah sejarah kemanusiaan yang karena itu memiliki semangat kenabian. Sebagai aliran di dalam tradisi intelektual Islam, sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental
90
karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis. Konsep yang ditawarkan oleh Kutowijoyo dalam Isyarat dibangun dengan struktur konvensi puisi. Pembahasan terhadapnya tentu saja harus melalui pirantipiranti yang ada di dalam konvensi puisi tersebut. Sehingga untuk memahami dan mendalami gagasan-gagasan tersebut, kita harus menganalisis dengan piranti dalam kovensi puisi yang dikombinasikan dengan konsep-konsep yang ada di luar konvensi tersebut. Artinya, Isyarat akan dibahas sebagai karya sastra sekaligus sebagai karya yang mengandung gagasan dengan mempertimbangkan pola-pola intertekstualitas yang digunakan di dalam teks. Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini akan dititikberatkan pada aspek penganalisisan gagasan-gagasan tasawuf yang “melebur” dalam sajak-sajak pada kumpulan puisi Isyarat karya Kuntowijoyo. Hal ini dipertajam dengan asumsi bahwa sajak-sajak yang terkandung di dalamnya mempunyai simbol-simbol yang digunakan dalam ajaran tasawuf. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gagasan tasawuf yang terkandung di dalam Isyarat harus dimaknai sebagai sebuah ide atau hasil pemikiran yang berhubungan dengan nilai-nilai dalam ajaran tasawuf, seperti: kedudukan (maqamat); perjalanan mistis (suluk); kondisi psikologis (ahwal); dan upaya batin (Ikhtiyar). Semua bentuk ajaran tasawuf tersebut bermuara pada tujuan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. I.
Pembahasan Bagian ini akan membahas kumpulan puisi Isyarat yang dititikberatkan pada gagasan tasawuf yang terefleksi pada sajak-sajaknya. Gagasan tasawuf tersebut kemudian dimaknai sebagai gagasan yang menjiwai kumpulan puisinya. Hal ini akan menarik karena kekontradiktifannya, mengingat posisi Kuntowijoyo yang bukan seorang sufi formal. Secara garis besar, bab ini akan membicarakan gagasan tasawuf yang berpijak pada konsep maqamat, ahwal, dan ikhtiyar yang secara implisit terkandung dalam tiap-tiap sajak. Konsep-konsep tersebut akan dihubungkan dengan keterkaitannya dengan konsep-konsep yang berada di dalam teks-teks yang lain. Dalam ajaran tasawuf, seorang salik yang menginginkan tujuan bermakrifat dengan Tuhan, dia harus mendaki tingkatan demi tingkatan dalam beberapa maqam. Salik yang sudah mencapai maqam tertentu akan merasakan “kenikmatan” psikologis atau ahwal. Maqamat (maqam-maqam) yang diperoleh salik dalam perjalanannya (suluk) harus diikuti pula dengan ikhtiyar. Ikhtiyar yang dimaksud adalah upaya yang harus diusahakan salik dalam menjaga dirinya agar maqam yang sudah didapatnya dapat terus meningkat sehingga salik dapat bermakrifat dengan Tuhannya. Gagasan tasawuf tersebut tergambar pada sajak-sajak dalam kumpulan puisi Isyarat. Gagasan tersebut tersebar dalam beberapa sajak, tidak runtut satu demi satu. Untuk pembahasan dalam penelitian ini, penggambaran maqam-maqam akan dibuat berdasarkan maqam sufi yang paling awal menuju tingkatan yang lebih tinggi. Hal ini untuk melihat gagasan tasawuf pada kumpulan puisi Isyarat secara utuh, mengingat
91
bahwa Kuntowijoyo bukan pengikut tarekat sufi tertentu sehingga puisi yang dihasilkan bukan puisi sufi, melainkan puisi yang mempunyai nilai-nilai sufi. Asumsi ini terlihat pada sajak-sajak yang tergambar di dalam kumpulan Isyarat yang menggambarkan secara acak konsep-konsep tasawufnya serta gambaran mengenai pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dari teks-teks yang lain. Nilai-nilai sufi yang terdapat dalam tiap sajak akan diklasifikasikan berdasarkan konsep maqamat, ahwal, dan ikhtiyar. Pengklasifikasian ini dilakukan dengan melihat konteks kalimat (sintaksis) dan konsep makna (semantik). Dengan demikian, pembahasan akan lebih mengerangka pada gagasan tasawuf. Kerangka ini kemudian akan menjadi satu kesatuan alur gagasan mengenai perjalanan sufi, yaitu salik, suluk, dan khalik. Maqamat sufi yang akan dibahas dimulai dengan urutan sebagai berikut: 1. taubat; 2. zuhud; 3. fakir; 4. sabar; 5. syukur; 6. rida; dan 7. tawakal. Selain urutan maqam-maqam, bentuk-bentuk ahwal dalam perjalanan sufi, seperti: muhasabahmuraqabah (waspada dan mawas diri); raja`-khauf (harap dan takut); syauq (rindu); dan uns (intim), serta bentuk-bentuk ikhtiyar dalam perjalanan sufi, seperti: riyadhah (Internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji); mujahadah (kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat buruk); tafakur (merenung); tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa); dan dzikrullah (mengingat Allah). Konsep-konsep tersebut akan digunakan sebagai kerangka utama pada pembahasan sajak-sajaknya. a. Maqamat Sufi Maqamat yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. taubat; 2. zuhud; 3. fakir; 4. sabar; 5. syukur; 6. rida; dan 7. tawakal. Maqam-maqam tersebut akan berkaitan erat dengan keadaan psikologis salik dan usaha yang dilakukannya (ahwal dan ikhtiyar). Berikut penjelasan maqam-maqam berdasarkan kandungan gagasan yang ada dalam setiap sajak. 1. Taubat Di dalam kumpulan puisi Isyarat, ada beberapa sajak yang membicarakan masalah ini, seperti pada sajak “Danau”. Sajak ini membicarakan maqam taubat secara jelas, seperti pada kutipan larik-larik berikut. Kutemukan danau baru pada musim kering jernih dan mengaca menjamu burung masih terdengar tetes air yang jatuh kembali. (Kuntowijoyo, 2000:10) Bait pertama sajak pertama mengisahkan peristiwa aku lirik yang menemukan danau baru pada musim kering. Tentu saja menemukan danau pada musim kering adalah “anugerah”. Tergambar, danau tersebut “jernih”, saking jernihnya sampai “mengaca” (dapat dibuat untuk berkaca atau jernih seperti kaca). Danau tersebut dapat
92
menjamu burung bahkan masih terdengar tetes-tetes air yang jatuh kembali. Peristiwa tersebut menggambarkan keadaan yang sangat sejuk, tenang dan menyenangkan. Pada bait tersebut digambarkan salik yang menemukan “danau baru” pada musim kering. Menemukan “danau baru” merupakan simbolisasi dari “kehidupan baru”. Kehidupan baru di tengah-tengah kehidupan yang susah (kering). Istilah menemukan secara sederhana dapat dimaknai sebagai “mendapat anugerah” di saat dan waktu yang sangat sulit. Kehidupan baru yang dimaksud adalah anugerah Tuhan kepada salik berupa kehidupan yang berbeda, kehidupan yang lebih bahagia dari kehidupan sebelumnya. Keadaan ini membuat salik bahagia. Hal ini terlihat pada larik-larik berikut: “jernih dan mengaca//menjamu burung//masih terdengar//tetes air//yang jatuh kembali”. Keadaan tersebut sangat jelas terlihat pada larik-larik dengan diksi: jernih, mengaca, menjamu, tetes air. Diksi-diksi tersebut menggambarkan keadaan salik yang sedang bahagia. 2. Zuhud Pada sajak “Pejalan” konsep zuhud sudah tercantum pada kutipan berikut. “(ternyata ia hanya harus berjalan atas putusannya sendiri di pagi hari) ” (Kuntowijoyo, 2000: 24). Artinya, perjalanan yang dilakukan oleh salik adalah perjalanan dengan niat sendiri, putusannya sendiri. Begitu pun dengan zuhud. Zuhud harus dipastikan adalah keinginan salik dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan. Hal ini disebabkan pada maqam zuhud, salik harus sudah bisa meminimalisasi keinginan duniawinya. Tidak lagi menjadi syarat dan fokus hawa nafsunya, melainkan sekadar untuk kebutuhan beribadah saja. Menurut Junayd al-Baghdadi seperti dijelaskan Rif`i (2010:207) zuhud adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa dan pengosongan hati dari cita-cita. Artinya, ketika seorang salik yang sudah mencapai maqam zuhud dia dapat meninggalkan harta benda dan kemewahan duniawi untuk menuju Tuhan yang dicintinya. Selanjutnya, pejalan tersebut digambarkan dengan muka yang pucat pasi, terbungkuk di bawah kain lusuh, tak ada lagi cahya matanya. Dengan kata lain, sang Pejalan adalah seorang yang “tidak terurus” secara fisik. Pejalan tersebut bergegas pulang ke rumah yang tidak jelas di mana. Sang Pejalan berhasrat keras melepas beban yang lama mendera punggungnya. Akan tetapi ada bisikan “rumahmu tidak di sini tetapi jauh di dasar mimpi”. Artinya, kesusahan dan kesedihan salik akan terbayar di akhirat kelak (jauh di dasar mimpi). Simbolisasi dari kehidupan yang tidak pernah terpikirkan karena berada di “dasar mimpi”. Penggambaran sang Pejalan pada larik-larik tersebut mengisyaratkan nilainilai kezuhudan. Nilai seorang salik yang tidak mengupayakan duniawi. Dunia bagi para salik yang berada pada maqam zuhud adalah sebatas pada kecukupannya untuk bekal beribadah saja. Maqam ini sangatlah berat tergambar pada bait keempat terlihat salik merintih pelan, menahan lelah yang sangat sempoyongan dan terbatuk-batuk. Ah, alangkah penat. Dengan gambaran seperti itu, sangatlah jelas bagaimana keteguhan salik diuji dengan derita. Tetapi pada akhir sajak dikatakan “ternyata ia hanya harus berjalan atas putusannya sendiri di pagi hari”. Artinya, keteguhan jiwa salik-lah yang menentukan pada maqam zuhud ini.
93
3. Fakir Setelah salik melewati maqam zuhud maka dia akan memasuki maqam fakir. Pada sajak “Jalan Terbuka” (2000: 59) konsep fakir dapat ditemukan pada larik-larik berikut menambatkan bebanmu di Pohon Kemerdekaan semua isi ransel sudah jadi air kudus dan bunga setaman memandikan masa lalu. Tertambatnya jiwa salik kepad Tuhan mengakibatkan semua daya, semua upaya, dan semua hal yang dilakukan oleh salik akan tetap bermuara pada Tuhan. Kenyataan ini secara rinci digambarkan pada larik-larik di bait pertama. Bait tersebut menjelaskan bahwa salik adalah orang yang pertama tiba. Tiba dari perjalanan jauh, perjalanan yang juga dilakukan oleh orang lain dalam menempuh kebaikan dari Tuhan. Akan tetapi, salik-lah yang peratama tiba. Semua isi ransel yang digunakan dalam perjalanan tersebut telah berubah menjadi “air kudus” dan “bunga setaman”. Ini adalah “imbalan” bagi salik yang tetap konsisten menjaga dirinya dalam maqam yang sedang diusahakan. 4. Sabar Maqam sabar menjadi begitu penting setelah salik melalui maqam fakir. Hal ini menandakan bahwa kedudukan sabar titik tolak setelah salik memenuhi maqammaqam sebelumnya. Pada sajak “Meja-meja”, Tidak kita temukan sukma. Hanya jiwa-jiwa mati. Terkapar di meja, menelungkupkan rambut kusut. Angka mengabarkan botol kosong. Ada yang berteriak di dalam. Kita mengenal juga suara itu di bukit. Gagak menemukan bangkai katak. Lihatlah yang bersembunyi di balik kartu. Keluh-kesah abadi. Sengaja kartu-kartu dibalikkan di meja sebelum dimainkan. Tunggu, ketika kartu dijatuhkan: nasib yang kemarin tiba lagi. bagai hanya mengulang kebosanan yang gelisah. Masya Allah! (Kuntowijoyo, 2000:74) 5. Syukur Maqam kelima yang harus dilalui oleh salik adalah syukur. Pada Sajak “Musim Panen”. Rasa syukur digambarkan dengan pengungkapan rasa syukur yang sangat tulus dari salik kepada Tuhannya. “Hari itu derita dihapuskan//Keluarlah lelaki-perempuan//memainkan udara dengan selendang//menyulap siang dalam impian//warna-warni dan wewangi” (Kuntowijoyo, 2000:25). Syukur dalam bentuk perbuatan untuk menyikapi anugerah yang diberikan Tuhannya. Hal ini berkaitan dengan rasa terima kasih atas apa yang diberikan Tuhan. Seorang salik tidak selayaknya berkeluh kesah menerima anugerah yang diterimanya. Adapun salik yang
94
berada pada maqam syukur pasti segala hal yang dirasakan adalah mutlak dalam rangka pendekatan dirinya pada Tuhan. 6. Rida Rida adalah maqam yang harus dilalui setelah salik menempuh maqam syukur. Rida adalah puncak kecintaan yang diperoleh salik setelah menjalani proses pengabdian yang panjang kepada Allah. Pada sajak “Tak Seorang Mengerti” (2000:64-65) terdapat larik-larik yang secara implisit mengambarkan rida. Tak seorang mengerti mengapa gagak berbulu hitam dan kuntul putih terbang ke arah barat pada sore hari meninggalkan kepak di udara Pemburu tak paham daging burung gurih seperti ayam tak seorang mengerti dari mana mereka dapatkan. Konsep rida yang paling penting adalah meninggalkan segala kepentingan dunia dengan memfokuskan pada kepentingan Tuhan. Artinya, ada aspek pemahaman yang dimaknai sebagai kecintaan terhadap Tuhan. Kecintaan tersebut bermuara pada keridaan atas apapun yang diberikan Tuhan, tidak ada sedikitpun dalam hati salik untuk mengingkari ketetapan Tuhan. Seperti pada larik-larik di atas, salik dengan yakin mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu dan tidak ada seorang pun yang mengerti mengapa gagak berbulu hitam, mengapa kuntul berbulu putih, dan sebagainya. Keyakinan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa dalam hati salik yang ada hanyalah keridaan akan Tuhan dan penerimaan apapun yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. 7. Tawakal Maqam tawakal merupakan maqam tertinggi setelah salik melewati maqammaqam sebelumnya. Tawakal adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Pada sajak “Petuah” menggambarkan maqam tawakal sebagai sebuah perjalanan yang sedang dilakukan narator. Seperti tertulis pada larik-larik berikut. Langkah tidak untuk dihitung ia musnah disapu hujan Ketika engkau sampai pangkalan Ingatlah, itu bukan tujuan (Kuntowijoyo, 2000:71). Perjalanan yang dilakukan salik bukan untuk menghitung berapa langkah yang sudah dia tapaki karena langkah pasti akan hilang. Sebuah keyakinan bahwa apapun yang dilakukan tetap Tuhanlah yang memberi wewenang untuk mengabulkan
95
dan menolaknya. Salik hanya berkewajiban untuk melakukan usaha maksimal dan ikhtiar aktif dalam rangka mendekatkan diri padaNya. Pada larik keempat dikatakan bahwa ketika salik berada pada suatu pangkalan (tujuan), seyogianya salik harus selalu ingat bahwa pangkalan itu bukan tujuan, dia hanya berupa perantara untuk mencapai tujuan teringgi, yakni bermakrifat dengan Tuhannya. Pada sajak “Kemenangan”, makna tawakal diibaratkan “Seperti air dan matahari” yang selalu dinikmati oleh semua makhluk dimana pun. Tawakal yang juga berarti kemenangan salik atas dirinya sendiri tetap menjadi “kemenangan (yang selalu) mengalir dan dibagi” (Kuntowijoyo, 2000:84). Kemenangan yang bukan merupakan kemenangan subjektif dan egois, melainkan kemenangan atas kehendak Allah swt. Dalam tasawuf, tawakal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik dalam keadaan suka maupun keadaan duka. Tawakal bukanlah bermakna pasif dan melarikan diri dari kenyataan hidup, melainkan sikap aktif dan menghadapi persoalan hidup dengan berusaha mencari penyelesaian. Itulah yang harus ditempuh salik dalam maqam tertinggi. Ketika sikap tawakal ini bersemayam di dalam hati salik maka dia akan membuka hijab (penghalang) antara dirinya dan Tuhan menjadi terbuka (kasyaf). b. Perjalanan Salik Menuju Khalik Penjelasan-penjelasan tersebut memberikan gambaran yang utuh mengenai proses perjalanan sufi. Perjalanan seorang salik yang menempuh maqam satu ke maqam yang lain. Perjalanan melewati maqam-maqam tersebut tidak akan berjalan mulus, melainkan terdapat banyak rintangan dan halangan. Untuk itu seorang salik harus selalu melakukan ikhtiyar sehingga keadaan untuk lebih dekat dengan Tuhan tetap terjaga. Selain maqamat dan ikhtiyar, bentuk lain yang sangat penting adalah ahwal atau kondisi psikologis salik di dalam tahapan maqam tertentu. Ahwal yang akan dirasakan oleh salik di antaranya adalah sebagai berikut. Setelah tahapan-tahapan ini telah dilalui maka salik akan mendapatkan kondisi mahabbah dan makrifat dengan Tuhan. Mahabbah dan makrifat adalah puncak dari perjalanan esoteris sufi. Kedua kondisi tersebut dapat membuka hijab yang ada antara makhluk dengan Tuhan. Tidak ada batasan lagi antara keduanya (kasyaf). Sehingga salik sudah tidak lagi membutuhkan sesuatu selain Dia dan tidak akan lagi mencari sesuatu selain dari-Nya. Perjalanan salik menuju khalik adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang yang sedang melakukan perjalanan esoteris dalam ajaran tasawuf. Perjalanan yang dilakukan salik adalah perjalanan “rahasia” yang hanya berlaku pada seseorang yang mempunyai tarekat tertentu. Tarekat inilah yang kemudian membimbing seorang salik menuju pencapaian tertinggi dengan Tuhannya. Sajaksajak pada kumpulan puisi Isyarat memperlihatkan hal tersebut. Seperti dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa keadaan untuk mencapai tujuan dalam perjalanan sufi dapat ditempuh sebagaimana tergambar dalam tabel berikut. Salik
96
Suluk
Maqamat
Ahwal
Khalik
Perjalanan seperti tergambar pada bagan tersebut memperlihatan perjalanan seorang salik menuju Khalik. Perjalanan tersebut tidak mudah karena di dalam sebuah perjalanan sufi (suluk) seorang salik harus memenuhi syarat yang terdapat di dalamnya. Syarat tersebut adalah maqamat, ahwal, dan ikhtiyar. Ketiga syarat tersebut tidak dapat dipisahkan di dalam pencapaian salik kepada khalik. Setelah pencapaian tersebut sudah terpenuhi maka salik akan mendapatkan “kemenangannya” yaitu dapat bermakrifat kepada Tuhan. Dengan demikian, semua hijab antara Tuhan dan dirinya (salik) dapat terbuka sehingga apapun yang dilakukan salik tidak lagi berorientasi selian dari pada Tuhan melainkan selalu terfokus hanya padaNya. II. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas, penelitian ini mengetengahkan pembahasan gagasan tasawuf pada kumpulan puisi Isyarat karya Kuntowijoyo. Gagasan ini terlihat secara implisit, pengungkapan gagasan ini dapat dilihat pada tiaptiap sajak dengan memperhatikan aspek sintaksis dan aspek semantik. Kedua aspek ini menjadi bagian penting karena menjadi dasar pengklasifikasian gagasan tasawuf yang tersebar secara acak pada tiap-tiap sajak. Pengklasifikasian berdasarkan kedua aspek tersebut menghasilkan gagasan tasawuf yang terdiri atas: maqamat, ahwal, dan ikhtiyar. Ketiga gagasan tasawuf ini kemudian menjadi kerangka di dalam pembahasan. Artinya, gagasan-gagasan tasawuf yang tersebar secara acak tersebut kemudian di”rapi”kan menjadi gagasan yang utuh berdasarkan konsep maqamat, ahwal, dan ikhtiyar. Pembahasan berdasarkan ketiga konsep tasawuf tersebut menghasilkan gambaran yang utuh mengenai gagasan tasawuf dalam kumpulan puisi Isyarat. Pada tiap-tiap sajak dalam kumpulan puisi tersebut terlihat konsep tasawuf yang mengacu pada perjalanan esoteris sufi yang tergambar dalam puisi dengan mengaitkan hubungan-hubungan teks dengan teks yang lain. Hubungan ini terlihat seperti pada sajak “In Memoriam: Yang terbunuh” dalam sajak tersebut terlihat hubungan dengan
97
teks lain, Injil Kejadian (1-16) dan Quran surat Al-Maidah (27-32). Artinya, secara struktur tematik sajak-sajak yang dibahas tidak berdiri sendiri dan selalu mengaitkan dengan teks-teks lain. Setelah itu, pembahasan kemudian dapat dikembangkan menjadi Pendeskripsian pada keterkaitan gagasan tasawuf dan perjalanan sufi (suluk) yang ditampilkan dalam tiap-tiap sajak. Perjalanan sufi yang dimaksud adalah perjalanan “ketat” yang memiliki aturan-aturan tertentu. Perjalanan tersebut secara sederhana dapat dipaparkan sebagai berikut. Seorang salik yang akan melakukan perjalanan rohani (suluk) harus memenuhi syarat lahiriah dan syarat batiniah. Syarat-syarat tersebut harus menjadi dasar untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Setelah syarat-syarat dipenuhi, salik akan menapaki maqam demi maqam, mulai dari maqam taubat sampai ke maqam tawakal. Pada perjalanan tersebut, salik akan merasakan keadaan psikologis atau ahwal seperti rindu, intim, dan sebagainya. Maqam-maqam yang sudah diperoleh harus diusahakan oleh salik agar maqam yang capai dapat terus meningkat, usaha salik tersebut dinamakan ikhtiyar. Setelah sampai pada maqam tawakal (maqam tertinggi) maka salik akan menemukan kebahagiaan tertinggi, yakni “bertemu” dengan Tuhan. “Pertemuan” tersebut ditandai dengan makrifat dan mahabbah yang sempurna. Daftar Pustaka Al-Taftazani, Abu al-wafa` al Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman (terj. Ahmad Rofi Utsman). Pustaka: Bandung. Al-Jailani, Abdul Qadir. 2012. Tasawuf: Memahami Spiritual Islam dan Tarekat dari Ahlinya (terj . Aguk Irawan). Jakarta: Zaman. Aminudin. 1995. Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press. Baruri, Agus S.R. 1983. “Meramal Isyarat-nya Kuntowijoyo: Nada Pesimisme yang Sentimental“ dalam Terbit 16 Juli 1983. Bashri, Agus S. 1985. “Catatan dari Isyarat-nya Kuntowijoyo: Tanpa Diimbangi Kedalaman Filsafat“ dalam Terbit 8 Juni 1985. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Djoko Pradopo, Rachmat. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kubra, Syaikh Najm Al Din. 1995. “Adab Al Suluk: Sebuah Risalah tentang Perjalanan Spriritual” (terj. Hizbullah Maulana) dalam Al Hikmah: Jurnal Studi-studi Islam. Nomor 15 Volume 6. Kuntowijoyo. 1993. Khotbah di Atas Bukit. Yogyakarta: Bentang. Kuntowijoyo. 1995. Makrifat Daun Daun Makrifat. Jakarta: Gema Insani Press. Kuntowijoyo. 1997. “Menuju Ilmu Sosial Profetik” dalam Republika 7 Agustus 1997. Jakarta.
98
Kuntowijoyo. 2000. Isyarat. Jakarta: Pustaka Jaya. Luxemburg, Jan Van dkk. 1991. Tentang Sastra (terj. Akhadiati Ikram). Jakarta: Intermasa. Malna. Afrizal. 2000. Sesuatu Indonesia. Personifikasi Pembaca-yang-TakBersih. Yogyakarta: Bentang Budaya. Nasution, Harun. 1990. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Nata, Abuddin. 2000. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rif`i, A. Bachrun dan Hasan Mud`is. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. Rosidi, Ajip. 2008. Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Verhaar, J. W. M. 1983. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Aplikasi Puisi. Jakarta: Erlangga Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. W.M., Abdul Hadi. 1984. Hamzah Fansuri: Penyair Sufi Aceh. Jakarta: Lotkala. W.M., Abdul Hadi. 1989. “Semangat Profetik Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam majalah Ulumul Quran No. 1, Jakarta: Aksara Buana. Zoest, Art van. 1993. Semiotik. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
99