EKSERGI Jurnal Teknik Energi Vol 10 No. 1 Januari 2014; 9 - 13
FOULING DAN PENGARUHNYA PADA FINAL SECONDARY SUPERHEATER PLTU TANJUNG JATI B UNIT 2 F Gatot Sumarno(1) , Wahyono (2), Ova Imam Aditya (3), , Dosen Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang (3) . Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof.H. Sudarto, S.H, Tembalang, Semarang (1) (2)
Abstrak Salah satu unit yang paling penting dalam produksi uap pada PLTU Tanjung Jati B adalah boiler. Superheater merupakan salah satu komponen terpenting pada boiler. Superheater berfungsi untuk memanaskan uap agar kandungan energi panas dan kekeringannya bertambah sehingga menjadi uap superheat. Permasalahan yang sering terjadi pada superheater khususnya final secondary superheater yaitu penumpukan abu (fouling) yang terjadi pada tube final secondary superheater tersebut. Fouling dapat menyebabkan penurunan laju perpindahan panas antara flue gas dengan steam pada final secondary superheater. Indeks fouling dapat diukur menggunakan suatu persamaan,tetapi persamaan tersebut hanya memperhitungkan chemical composition dari batubara tersebut. Indeks fouling yang didapatkan dari perhitungan yaitu sebesar 0,346 dimana nilai tersebut masuk dalam kategori medium untuk ash bituminous. Kata kunci: fouling, Final Secondary, Superheater
1. Pendahuluan Superheater digunakan sebagai pemanas lanjut uap agar uap tersebut menjadi uap kering. Pemanasan pada superheater diambil dari panas gas buang hasil pembakaran diruang pembakaran (furnace). Superheater pada PLTU Tanjung Jati B dibagi menjadi 3 tahap yaitu primary superheater I, primary superheater II dan, final secondary superheater. Primary superheater I menerima gas yang relatif dingin untuk dipanaskan dengan gas buang yang diialari searah dengan aliran uap tersebut. Kemudian uap keluar dari primary superheater I outlet melalui transfer yang dilengkapi dengan pipa spray type attemperator untuk mengatur suhu uap menuju primary superheater II. Disini uap akan dipanas lebih lanjut seperti di primary superheater I, selanjutnya uap akan ke final secondary superheater dimana uap juga akan dipanasi. Uap yang keluar dari final supperheater akan masuk ke high pressure turbine. Uap kering dari final secondary superheater yang mempunyai temperatur dan tekanan tinggi yang dialirkan ke turbin tekanan tinggi. Didalam turbin ini terdapat sudu-sudu gerak yang mempuyai bentuk sedemikian rupa sehingga dapat mengekspansikan uap. Energi yang diterima
sudu-sudu turbin digunakan menggerakan poros turbin.
untuk
Gambar 1 Lokasi terjadinya fouling Gangguan yang sering terjadi pada superheater khususnya final secondary superheater yaitu fouling. Fouling merupakan fenomena menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas (super heater maupun re-heater) yang dipasang di lingkungan dimana suhu gas pada bagian belakang furnace lebih rendah dibandingkan suhu melunak abu (ash softening temperature). Unsur yang paling berpengaruh pada penempelan abu ini adalah material basa terutama Na, yang dalam hal ini kadar Na2O. Bila kadar abu batubara banyak, kemudian
9
Fouling Dan Pengaruhnya Pada Final Secondary Superheater
unsur basa dalam abu juga banyak, ditambah kadar Na2O yang tinggi, maka fouling akan mudah terjadi. Evaluasi karakteristik fouling dinilai berdasarkan rasio unsur basa dan asam, serta kadar Na2O di dalam abu. Jika nilai – nilai tadi tinggi, maka secara umum kecenderungan fouling juga meningkat. Selanjutnya, kadar sulfur yang tinggi juga cenderung mendorong timbulnya fouling melalui pembentukan senyawa bersuhu lebur rendah, melalui persenyawaan dengan unsur basa ataupun besi. Fouling yang berkembang akan dapat menyebabkan bermacam – macam masalah seperti penurunan suhu uap pada keluaran (outlet) super heater dan reheater, serta menyempit dan tersumbatnya jalur aliran gas. Untuk menghilangkan abu ini dapat digunakan soot blower. Efektifitas penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga bergantung dari kemampuan peralatan pembangkit uap untuk mengakomodasi sisa pembakaran tak aktif yang umumnya disebut ash (abu). Kuantitas dan karakteristik dari ash tidak dapat dipisahkan dari bahan bakar yang merupakan perhatian utama dari desain dan operasi dari peralatan pembangkit listrik. Pada umumnya bahan bakar komersial mengandung sejumlah ash yang menjadi pertimbangan dalam desain dan operasi yang spesifik. Ash akan menurunkan nilai kalor bahan bakar dan membuat fuel storage menjadi berat, maka diperlukan peralatan yang besar untuk mengumpulkan, memindahkan dan membuang ash. Peralatan tersebut mengindikasikan biaya yang juga dibutuhkan dan secara langsung berhubungan dengan ash dalam batubara. Dalam boiler pembakaran batubara pulverized, umumnya ash batubara terbawa ke furnace oleh produk gas hasil pembakaran (flue gas). Partikel gas yang terbawa dalam aliran gas dapat menimbulkan masalah erosi dan korosi pada permukaan yang dilalui panas konveksi. Namun, masalah utama dari ash adalah endapannya. Selama proses pembakaran, material mineral yang membentuk ash dilepaskan dari batubara pada temperatur ± 3000ºF (1649ºC). Ash dapat dilepaskan dalam bentuk leburan atau
10
(F. Gatot S, Wahyomo, Ova Imam A,)
dalam keadaan plastis. Akibatnya akan berpengaruh pada dinding furnace dan permukaan panas lainnya. Walaupun dalam porsi kecil, namun dapat menjadi besar pengaruhnya terhadap kerja boiler. Akumulasi dari endapan ash pada dinding furnace akan mempengaruhi perpindahan panas, menurunkan absorbsi panas, menunda pendinginan flue gas dan meningkatkan temperatur keluar furnace.
1.2. Tinjauan Pustaka Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap fouling. a. Metode evaluasi representatif Karena karakteristik dari ash bituminous dan lignit bervariasi secara signifikan, langkah pertama dalam menghitung indikasi fouling adalah menentukan jenis ash. Ash diklasifikasikan sebagai bituminous jika : Fe2O3 > CaO + MgO (1) Sedangkan ash diklasifikasikan sebagai lignit jika : Fe2O3 < CaO + MgO Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor utama yang mempengaruhi kondisi menempelnya abu adalah Na2O. Oleh karena itu, perusahaan B & W menentukan penilaian fouling berdasarkan persamaan di bawah ini Abu tipe bituminous (CaO + MgO < Fe2O3)
Tabel 1 Standar nilai potensi fouling pada ash bituminous Potensi fouling Rf Low 0.2< Medium 0.2 ~ 0.5
EKSERGI Jurnal Teknik Energi Vol 10 No. 1 Januari 2014; 9 - 13
High Severe
0.5 ~ 1.0 >1.0
Abu tipe lignit (CaO + MgO > Fe2O3) Rf = kadar Na2O (%) Tabel 2 Standar nilai potensi fouling pada ash lignit Potensi fouling Rf Low 1.2< Medium 1.2 ~ 3.0 High 3.0 ~ 6.0 Severe >6.0 b.
Unsur lainnya Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi kecenderungan fouling. Diantaranya adalah - Na2O Unsur yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan fouling adalah unsur alkali, terutama Na. Seperti dijelaskan di atas bahwa pengaruh Na2O adalah besar. Batubara yang abunya (baik tipe lignit maupun bituminous) mengandung Na2O dengan kadar lebih dari 1~2% (sebagian fabrikan menunjuk angka lebih dari 2 ~ 4%) mengindikasikan memiliki kecenderungan fouling yang tinggi. Di Jepang, standar kualitas Na2O pada batubara adalah 0.1%~3% untuk pembangkitan listrik. Batas bawah untuk pembangkitan listrik adalah 0.1%, karena bila angkanya kurang dari ini akan menyebabkan turunnya performa keterambilan debu (untuk proses pengambilan debu dengan Electrostatic Precipitator suhu rendah yang banyak digunakan di Jepang). - CaO. Batubara dengan kadar CaO dalam abu yang tinggi menunjukkan kecenderungan fouling yang tinggi pula. Disini, yang perlu mendapat perhatian adalah bila kadar CaO dalam abunya lebih dari 15~20%.
1.3. Data Sertifikat Batubara Beberapa tabel dibawah ini menunjukan data sertifikat dan analisis batubara yang dipakai untuk pasokan pada tanggal 1 November 2013. Tabel 3 Chemical composition batubara pasokan tanggal 1 November 2013 Chemical Composition (%) SiO2 53,78 Al2O3 18,69 Fe2O3 11,49 CaO 3,45 MgO 2,01 Na2O 1,25 K2O 1,99 TiO2 0,56 P2O5 0,19 SO3 5,99 1. Metode Penelitian Ada beberapa metode pengambilan data dalam penelitian ini. Metode pengambilan data memberikan kejelasan dalam penelitian serta menghasilkan sekumpulan data parameter unjuk kerja yang siap untuk diolah melalui perhitungan secara teoritis. Dalam proses pengambilan data ada beberapa metode pengambilan data yang dilakukan, diantaranya : a. Wawancara, dengan melakukan diskusi langsung dengan beberapa pegawai dan operator PLTU Tanjung Jati B. b. Observasi, dengan mencari dan mengumpulkan data yang dibutuhkan secara online di ruang kontrol PLTU Tanjung Jati B unit 2 maupun top i solvo, selanjutnya data tersebut diolah dengan perhitungan secara teoritis. c. Studi Kepustakaan, merupakan proses mencari landasan teori dan formulasi yang dibutuhkan pada saat pengolahan data yang sudah didapatkan. Kegiatan tersebut meliputi berbagai buku manual pada PLTU Tanjung Jati B dan melakukan pencarian lewat internet
11
Fouling Dan Pengaruhnya Pada Final Secondary Superheater
d.
e.
berupa jurnal – jurnal penelitian tentang siklus dan komponen utama PLTU. Proses Pengolahan Data, dari data – data parameter yang berhasil dikumpulkan diolah dengan formulasi yang selanjutnya hasil perhitungan ditabelkan dan dibuat grafik untuk kemudian di analisis dan ditarik kesimpulan. Analisis data, proses analisis dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan menggunakan formulasi yang diterapkan.
3. Hasil dan Pembahasan Klasifikasi ash dari batubara campuran adalah ash bituminous karena, Fe2O3 > CaO + MgO 11,49 % > 3,45 % + 2,01 % ≈ 11,49 % < 5,46 % (ash bituminous) Klasifikasi fouling untuk ash bituminous Rf (Fouling index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / (SiO2 + Al2O3 + TiO2 )} X Na2O
Indeks Fouling berdasarkan perhitungan masuk ke dalam kategori 0,2 < Rf < 0,5 yang merupakan indeks fouling dengan kategori medium. Fouling yang terjadi pada final secondary superheater dapat diatasi dengan beberapa cara maupun dengan beberapa pencegahan yaitu : a. Sootblower
12
(F. Gatot S, Wahyomo, Ova Imam A,)
Efisiensi pada boiler banyak dipengaruhi oleh proses perpindahan panas yang terjadi di dalamnya. Perpindahan panas pada boiler dapat ditingkatkan dengan melakukan pembersihan permukaan tube dari abu-abu yang menempel. Pada superheater dan reheater, fly ash yang merupakan hasil dari pembakaran akan menempel pada dinding-dinding permukaan tube. Penanganan fouling yang terjadi pada final secondary superheater dapat diatasi salah satunya dengan menggunakan sootblower. Sootblower merupakan alat mekanik yang digunakan untuk membersihkan abu dan deposit secara periodik. Alat tersebut mengarahkan media pembersihan melalui nosel terhadap abu yang telah terakumulasi pada permukaan perpindahan panas dari boiler untuk mempertahankan efisiensi perpindahan panas. Pada final secondary superheater, sootblower yang digunakan bertipe Long Rectractable (IK) sootblower. Rectractable sootblower dirancang untuk pembersihan yang efektif dari permukaan pemanas di zona suhu tinggi gas dari boiler dan penukar panas lainnya. Setiap sootblower dilengkapi dengan poppet valve untuk mengatur kebutuhan uap sootblower. Katup ini membuka pada saat sootblower dioperasikan dan menutup kembali saat lance tube dari sootblower tersebut mundur menuju stop. Steam yang digunakan pada sootblower menggunakan steam keluaran dari primary superheater dengan tekanan sebesar 34,5 barg. Prinsip kerja dari sootblower secara umum adalah sebagai berikut : Electric motor yang terkopel dengan shaft memutar gearbox, yang menggerakkan nozzle kedalam boiler. Ketika nozzle mecapai posisi full extend, maka cam pada nozzle akan megaktifkan trigger yang membuka poppet valve . Hal ini menyebabkan uap superheat disemprotkan kedalam boiler secara berputar
EKSERGI Jurnal Teknik Energi Vol 10 No. 1 Januari 2014; 9 - 13
Ketika trip pin pada control box Mencapai LSF (Limit switch forward), arah putaran motor berbalik, poppet valve ditutup, dan nozzle ditarik kembali ke posisi istirahat. Ketika trip pin pada control box mencapai LSR (Limit switch reverse), Proses sootblow tersebut selesai, dan proses dilanjutkan kepada sootblower di posisi berikut b.
Batubara
Penyebab terjadinya fenomena fouling salah satunya juga disebabkan oleh kualitas batubara, terutama pada parameter AFT (Ash Fusion Temperature) memiliki nilai yang relatif rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan peningkatan kualitas batubara untuk meningkatkan nilai AFT. Metode yang bisa dilakukan untuk meningkatkan parameter tersebut adalah dengan coal blending (pencampuran batubara) dan mengurangi kadar sulfur pada batubara yang digunakan. 4. Kesimpulan Setelah mempelajari sistem pembangkitan listrik tenaga uap pada umumnya dan fouling serta pengaruhnya pada final secondary superheater, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Unsur yang paling berpengaruh pada fouling adalah material basa terutama Na, yang dalam hal ini kadar Na2O. Bila kadar abu batubara banyak, kemudian unsur basa dalam abu juga banyak, ditambah kadar Na2O yang tinggi, maka fouling akan mudah terjadi. 2. Indeks fouling yang dihitung dari data analisis batubara pada pasokan tanggal 1 November 2013 menunjukkan nilai Rf = 0,346 yang masuk dalam kategori indeks fouling medium pada ash bitominous. 3. Terjadinya fouling akan berpengaruh pada proses perpindahan panas yang terjadi pada final secondary superheater antara steam dan flue gas. Dengan
adanya penumpukan ash pada tube final secondary superheater maka akan menghambat laju perpindahan panas yang terjadi pada final secondary superheater. Dengan adanya penumpukan ash juga akan menyebabkan timbulnya hotspot pada tube final secondary superheater. Ketidakmerataan temperatur akibat adanya hotspot dapat menyebabkan thermal shock pada tube sehingga tube akan pecah. Daftar Pustaka Budi, Arifiyan. 2012. Siklus PLTU. http://arifiyan-budiman.blogspot.com/.(4 Maret 2014) Budiraharjo, Imam. 2009. Slagging dan Fouling. http://imambudiraharjo.wordpress.com/2009 /06/19/slagging-dan-fouling/ (10 April 2014) Kadir, Abdul. 1996.Pembangkit Tenaga Listrik.Jakarta: Universitas Indonesia, Mulyono, Ir. 1999. Sumber Energi. Semarang : Politeknik Negeri Semarang. The Babcock & Wilcox Company. 2004. Tanjung Jati B Training Boiler Overview.Charlotte Toshiba Corporation. 2005.Tanjung Jati B Plant Overview Wikipedia. 2013. Coal Rank. http://en.wikipedia.org/wiki/Coal_rank. (3 April 2014)
13