FEMINISME RADIKAL DALAM NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU Oleh: Asrofah email:
[email protected] Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang Abstract The novel as a literary form part, is a universe reality in which events and behaviors experienced and done man (figure). Social reality, the psychological reality, religious reality, these terms are often heard when someone questions the novel as a reality of life. Specifically psychological reality as such, is the presence of certain psychological phenomenon experienced by the main character when responding or reacting to themselves and the environment. Feminism's core purpose is to improve women's status and the degree to match or align with the position and the degree of men. Feminist struggles and efforts to achieve this goal include a variety of ways. One way is to obtain the rights and opportunities equal to those of men. In that regard, then comes the term equal right's movement or motion persamaanhak. Another way is to free women from the bonds of the domestic environment or the family and household. This method is often called women's liberation movement, abbreviated women's lib or women's emancipation movement, the women's liberation movement. Novel written by Djenar Maesa Ayu Nayla very interesting when examined with a psychological approach, particularly in the analysis of frustration. This novel has the advantage of which is the story's main character was able and brave to face the various phenomena of life even though it has many conflicts. On the other hand, through the characters author wants to convey a moral message to the reader that the importance of parents to give good education to children. Keywords: feminism, psychological, novel Abstrak Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Realita sosial, realita psikologis, realita religius, merupakan terma-terma yang sering didengar ketika seseorang menyoal novel sebagai realita kehidupan. Secara spesifik realita psikologis sebagai misal, adalah kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespons atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan hal itu, maka muncullah istilah equal right's movement atau gerakan persamaanhak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering dinamakan women's liberation movement, disingkat women's lib atau women's emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan wanita Novel Nayla karangan Djenar Maesa Ayu sangat menarik bila dikaji dengan pendekatan psikologis, khususnya dalam analisis frustrasi. Novel ini mempunyai kelebihan di
antaranya ialah tokoh utama cerita ternyata mampu dan tegar menghadapi berbagai fenomena hidup meskipun di dalamnya banyak terjadi konflik. Di lain pihak, melalui tokoh cerita pengarang ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca bahwa pentingnya orang tua memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Kata Kunci :feminisme, psikologis, novel
A. PENDAHULUAN Kritik sastra feminisme merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Kritik sastra feminis lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Lahirnya bersamaan dengan kesadaran perempuan akan haknya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki.Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan hal itu,maka muncullah istilah equal right's movement atau gerakan persamaanhak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungandomestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini seringdinamakan women's liberation movement, disingkat women's lib atauwomen's emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan wanita(Saraswati, 2003: 156). Kritik sastra feminisme berawal dari hasrat para feminis untukmengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam dan untukmenunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yangmenampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan,disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan(Djajanegara, 2000: 27). Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagairagam cara mengkritik yang kadangkadang berpadu. Misalnya, dalammeneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita, perhatiandipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanan-tekanan yangdiderita tokoh wanita. Oleh karena telah menyerap nilai-nilai patriarki,mungkin saja seorang penulis wanita menciptakan tokoh-tokoh wanitadengan stereotip yang memenuhi persyaratan masyarakat patriarki.Sebaliknya, kajian tentang wanita dalam tulisan laki-laki dapat sajamenunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justrumendukung nilainilai feminis.
Sejarah Feminisme Gerakan feminis dimulai sejak akhir abad ke- 18, namun diakhiri abad ke-20, suara wanita di bidang hukum, khususnya teori hukum, muncul dan berarti.Hukum feminisyang
dilandasi sosiologi feminis, filsafat feminis dan sejarah feminis merupakan perluasan perhatian wanita dikemudian hari. Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar. Walaupun pendapat feminis bersifat pluralistik, namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriaki. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh idiologi pembuat keputusan, dan idiologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Sifat patriaki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku. Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya hegemoni patriaki. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya manusia untuk bertahan hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan. Kritik Feminisme Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanyakeadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupundalam karya sastra-karya sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapatdipisahkan dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikatpada tahun 1770-an (Madsen, 2000:1). Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminisdianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang ingin menumbangkanwacana yang dominan yang dibentuk oleh suara tradisional yang bersifat patriarki(Ruthven, 1985:6). Sejak bangkitnya kembali gerakan feminis tahu 1960-an diAmerika, para ilmuwan yang feminis sadar bahwa studi dan penelitian
sosialselama
kuantitatifkonvensional
ini yang
cenderung sama
male
sekali
bias tidak
dan
mengusung
mengungkap
pendekatan
persoalan
yang
dihadapiperempuan (Sihite, 2007:85). Aliran feminisme mengritik ilmu pengetahuan sosialkonvensional sebagai androsentris dan bias laki-laki. Ilmu sosial mengungkapkandata dan mengalasisnya melalui sudut pandang laki-laki; menggeneralisikantemuan mereka sebagai relevan untuk semua orang tanpa memperhatikangender, ras, atau kelas (Holzenr, via Sihite, 2007:86) Aliran-Aliran Feminisme 1. Feminisme liberal Feminisme Liberalmerupakan pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.FeminisLiberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminis Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. 2. Feminisme post modern Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial. 3. Feminisme anarkis Feminisme Anarkismelebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. 4. Feminisme Marxis Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini - status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran
(exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja. 5. Feminisme sosialis Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme".Feminisme sosialisberjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendakmengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan. 6. Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.” 7. Feminisme Nordic Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktik-praktik yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara. 8. Feminisme radikal Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal". Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat,
masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Feminisme radikal adalah sebuah aliran yang berpandangan bahwa penindasan terhadap kaum wanita terjadi karena sistem budaya patriarki. Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya (Faqih 2008: 84-85). Penganut feminisme radikal beranggapan bahwa penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki berakar dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian ”kaum laki-laki” secara biologis maupun politis adalah sumber dari permasalahan. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan tubuh, seksualitas, dan kekuasaan laki-laki. Para penganut paham ini beranggapan bahwa itu semua adalah bentuk penindasan secara biologis, maka paham ini menentang penindasan tersebut secara radikal.
Relasi Gender Relasi gender adalah pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yangdikonstruksi secara sosial. Dalam relasi gender kelompok gender tertentudianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi (mendominasi), yang didominasi,dan yang setara. Dalam masyarakat patriarki, laki-laki dianggap memilikikedudukan yang dominan, semantara perempuan berada dalam subordinat.Relasi yang tidak setara dan lebih bersifat dominasi-subordinasi tersebut pada akhirnya memberi peluang munculnya berbagai bentuk kekerasan terhadapperempuan baik di dalam wilayah rumah tangga seperti kekerasan fisik, psikis,dan ekonomi Peran gender berhubungan dengan pembagian peran laki-laki danperempuan yang secara sosial dirumuskan berdasarkan polarisasi stereotipeseksual maskulinitas-feminitas. Contoh peran gender, misalnya laki-lakiditempatkan sebagai pemimpin dan pencari nafkah karena dikaitkan dengananggapan bahwa laki-laki adalah makhluk yang lebih rasional, lebih kuat sertaidentik dengan sifat-sifat superior lainnya—dibandingkan dengan perempuan,sementara perempuan dianggap memiliki tugas utama untuk melayani suami,kalau perempuan bekerja, maka dianggap sebagai pekerjaan sambilan ataumembantu suami, karena nafkah dianggap sebagai tugas suami (Fakih, 2006:16).Selanjutnya, relasi gender yang tidak setara juga
menimbulkan persoalan dalamhubungannya dengan seksualitas dan perkawinan, hingga menimbulkankekerasan seksual.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Feminisme 1. Realita Psikologis Isi sebuah karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Sangat beragam perilaku manusia yang bisa dimuat dalam cerita. Kadang-kadang hal ini terjadi perulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu seperti gejala kejiwaan, sosial, dan masyarakat. Sebagai misal perilaku yang berhubungan gejala kejiwaan yaitu fenomena frustrasi atau kekecewaan. Pemahaman fenomena frustrasi ini dapat dilakukan dengan mengadakan pendekatan psikologis. Novel sebagai bagian bentuk sastra, merupakan jagad realita di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Realita sosial, realita psikologis, realita religius, merupakan terma-terma yang sering didengar ketika seseorang menyoal novel sebagai realita kehidupan. Secara spesifik realita psikologis sebagai misal, adalah kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespons atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Sebagai contoh, penampakan gejala jiwa terdapat di dalam novel Nayla oleh Djenar Maesa Ayu. Tokoh utama “Nayla” adalah seorang perempuan muda, yang harus meninggalkan ibunya sejak berumur 13 tahun untuk belajar hidup mandiri. Nayla, demikian nama tokoh utama cerita, mengalami rasa kecewa ketika ia teringat dengan sosok ibunya yang menjebloskan dirinya ke rumah Perwawatan Anak Nakal dan Narkotika. Sejak itu ia menjadi frustrasi. Ia meninggalkan ibunya dan belajar hidup mandiri. Dalam menjalani kehidupan, Nayla mulai berhadapan dengan berbagai konflik/pertentangan batin, baik pertentangan terhadap dirinya sendiri maupun reaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Di dalam diri tokoh kadang-kadang timbul persepsi negatif tentang makna kehidupan. Dari berbagai fenomena yang dialami oleh tokoh cerita, muncul kekuatan mental dan pemahaman baru tentang cara memaknai kehidupan. Karena terus dirundung berbagai konflik, akhirnya telah menghasilkan perubahan sikap pada sang tokoh cerita. Ia akhirnya larut dalam kehidupan malam, bekerja sebagai penata lampu di sebuah nite club. Apa yang dilakukan oleh Nayla, sang tokoh cerita adalah sebagai bentuk pelarian dari lingkungan keluarga sehingga lama kelamaan ia hanyut dalam lingkungan yang baru yang serba gemerlapan yang kini selalu menghantui hidupnya.
Novel Nayla karangan Djenar Maesa Ayu sangat menarik bila dikaji dengan pendekatan psikologis, khususnya dalam analisis frustrasi. Novel ini mempunyai kelebihan di antaranya ialah tokoh utama cerita ternyata mampu dan tegar menghadapi berbagai fenomena hidup meskipun di dalamnya banyak terjadi konflik. Di lain pihak, melalui tokoh cerita pengarang ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca bahwa pentingnya orang tua memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Hanya saja pada akhir cerita, pengarang tidak memberikan penilaian bahwa apa yang diperbuat oleh sang tokoh cerita merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap susila agama sehingga apa yang diperbuat oleh sang tokoh cerita semata-mata akibat dari rasa frustrasi dan kecewa yang berat dengan kedua orang tuanya. 2. Relasi dan Peran Gender Djenar Maesa Ayu mencoba melawan dominasi laki-laki dengan menghadirkan sosok perempuan yang mandiri, dominan, bahkan terkesan kejam dan disiplin dalam pandangan anaknya. Dalam novel Nayla, Djenar Maesa Ayu mempresentasikan perempuan lebih dominan dalam hubungannya dengan laki-laki baik di sektor publik maunpun sektor domestik. Digambarkan tokoh ibu yang bertahan hidup dan membesarkan anak perempuannya tanpa suami. Kalaupun ibu berhubungan dengan para laki-laki yang bukan sauaminya, mereka hanya dijadikan sumber uang. Di dalam novel tersebut juga nampak adanya penekanan kepada anak perempuannya (Nayla) untuk bisa mandiri. Kutipan berikut ini menandai perempuan yang dominan, bahkan memiliki nafsu untuk mendominasi laki-laki. (1) Aku tak butuh mereka. Lihat banyak laki-laki yang takluk padaku. Lihat betapa mereka rela menyerahkan jiwa dan raganya untukku. Kamu pun harus bisa seperti aku. Akan ada banyak laki-laki seperti ayahmu yang kelak mencampakkanmu jika kamu tak sekuat dan sepandai aku (Ayu, 2005: 8). (2) ....ibu punya aneka ragam jurus penakluk. Tak jarang ibu harus memakai alat bantu semisal borgol, tali, atau semeti. Bagi binatang yang sedikit kemayu, cukup dirangkul dengan bujuk rayu. Binatang yang rakus, Ibu tinggal memasak atau menyediakan hidangan khusus. Terbukti memang, binatang-binatang itu tak berdaya di depan Ibu. Apa yang Ibu butuhkan, mereka dengan suka hati menyediakan. Apa yang Ibu minta, mereka dengan suka rela memberikan (Ayu, 2005: 39). Tokoh perempuan dalam sektor publik digambarkansebagai model, peragawati, polwan, perawat, juru lampu diskotik. Peran domestik juga dijalankan oleh ibu Nayla, selain dia sebagai seorang peragawati, di sinilah peran ganda yang dijalani ibu Nayla. Lihat kutipan berikut ini:
(3) Ya, Om Billy sangat mengagumi Ibu. Di mata Om Billy, Ibu dalah perempuan cantik dan mandiri. Ibu bisa menjadi seorang ibu sekaligus ayah. Sebagai seorang peragawati ternama di jamannya, Ibu mampu membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus rumah (Ayu, 2005: 95). a. Penolakan terhadap dominasi laki-laki Penolakan dominasi laki-laki dalam Nayla, tampak pada pilihan Juli dan Nayla untuk menjadi lesbian, yang memilih orientasi seksual terhadap sesama perempuan seperti tampak pada kutipan berikut ini. (4) Perawakan dan sikap Juli tak ubahnya seorang laki-laki. Ia memang pecinta sesama jenis.Tetapi kelainannya bukan faktor genetis. Keluarganya normal-normal saja, akunya. Normal dalam pengertian, bukan pecinta sesama jenisnya (Ayu, 2005: 4). (5) Saya juga punya pacar. Bukan laki-laki, tapi perempuan. Yang laki-laki Cuma untuk hit and run. Mereka benar-benar makhluk menyebalkan, sekaligus menggiurkan (Ayu, 2005: 54). Pandangan tokoh Juli dan Nayla mengenai laki-laki yang minor, pilihan mereka menjadi lesbian, sesuai dengan keyakinan bahwa feminisme radikal yang melihat relasi male-female sebagai hal yang menindas, sehingga perempuan harus hubungan tersebut. b. Menolak mitos-mitos yang diciptakan dalam budaya patriarki demi kepentingan laki-laki Di samping memilih hubungan lesbian, tokoh Juli dan Nayla juga sampai kepada kesadaran untuk merenungkan dan menolak mitos-mitos yang diciptakan dalam budaya patriarki demi kepentingan laki-laki, seperti tampak dalam kutipan di bawah ini. (6) Syarat-syarat menjadi perempuan yang mudah mendapatkan laki-laki sudah merakyat dan turun temurun. Bahwasanya perempuan harus perawan, harus pandai mengatur keuangan, harus sabar, harus bisa memasak, harus bisa memberi keturunan, harus bisa memuaskan suami di ranjang. Sementara syarat menjadi suami hanya satu, pandaipandailah mencari uang (Ayu, 2005: 85). Feminisme radikal menyatakan bahwa relasi gender yang bersifat patriarki menimbulkan penindasan terhadap perempuan, karena perempuan ditempatkan dalam kelas inferior dibanding dengan kelas laki-laki dengan menggunakan basis gender. Oleh karena itu perempuan harus melakukan kontrol terhadap tubuh dan kehidupan mereka (Humm, 2007: 383). Novel Nayla, mempresentasikan relasi gender yang mengarah pada perempuan yang superior, perempuan yang mencoba melawan kekuatan budaya patriarki. Bentuk feminisme yang digambarkan dalam novel tersebut selain hal-hal tersebut di atas adalah pantang menyerah, tidak bergantung orang tua, dan berperilaku menyimpang. a. Pantang menyerah Nayla adalah tipe perempuan pekerja keras, perhatikan kutipan berikut ini.
(7) Tapi berkali-kali pula Nayla dengan sangat kepala batunya menjelaskan bahwa ia bukan orang yang bisa meninggalkan pekerjaan hanya untuk kesenanagan. Katanya, ia tak seperti Juli yang namanya sudah terkenal dan mendapat banyak prestasi. Lebih gampang bagi Juli mendapatkan pekerjaan ketimbang dirinya jika bos memecat meraka nanti. Nayla sangat membutuhkan pekerjaan ini (Ayu, 2005: 67). (8) Nayla ingin sebaik-baiknya memanjakan rasa kehilangan. Meresapi kesendirian. Menikmati kegagalan, menurut kalimat bijak yang begitu umum, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Tawa Nayla nyaris muncrat dari mulutnya ketika kalimat itu melintas. Tapi ia menahannya. Begitu bijak. Begitu dusta. Keberhasilan apakah yang tertunda karena kegagalan? Tidak semua orang punya kesempatan berambisi dan bermimpi. Banyak orang yang hidup hanya untuk bertahan mengatasi kegagalan demi kegagalan. Yang penting hidup. Yang penting makan. Yang penting tidak kehujanan dan kedinginan. Jadi haruskah Nayla merasa bersedih hanya karena putus dengan Ben? (Ayu, 2005: 109). (9) ....Nayla asyik dengan dunia barunya dengan penulis-penulis tanpa pernah melibatkan Ben.... Nayla tak ingin apapun, siapapun, membuatnya terkesan lagi bagai orang gila. Ia ingin senormal-normalnya. Maka Nayla menangis. Seharian, dan mencoba menulis. Ia tak ingin membuang waktunya hanya untuk ajojing bersama olin, Lydia dan Nathalia...... Ia hanya ingin berbagi. Ia hanya ingin berkarya (Ayu, 2005: 110). (10) Bahagia itu ilusi. Membuat saya lengah dan tak menyadari kalau luka sedang mengambil ancang-ancang untuk merampas posisi kembali. Dan ketika dalam kedaan tak siap itulah, sakitnya terasasekali. Saya tak ingin terpuruk lagi (Ayu, 2005: 177).
Nayla pun berusaha bangkit dari kesediahan dan terus berkarya untuk menulis dan tidak akan terpuruk dengan persoalan asmaranya.
b. Tidak Bergantung Kepada Orang Tua Nayla yang usianya baru 12 tahun sudah berani mengambil keputusan yang berat dalam hidupnya. Dia berani meninggalkan rumah dan memilih hidup sebatangkara. Perhatikan kutipan di bawah ini. (11) Saya punya kehidupan sendiri, walaupun saya anak dari ayah dan ibu. Hidup saya bukan hidup mereka. Pilihan saya bukan pilihan mereka. Tapi setiap tindakan yang menurut saya benar, tidak benar di mata Ibu (Ayu, 2005: 176) (12) Saya punya teman yang bekerja jadi sopir antar jemput karyawan untuk sebuah diskotek dan menwari saya pekerjaan. Di diskotek itu kebetulan butuh juru lampu. Saya ikut training selama satu bulan, selama itu saya diperbolehkan tidur di dikotek itu, sehingga saya tak bingung luntang-lantung mencari rumah teman yang bisa dijadikan tempat bermalam atau terpaksa tidur di terminal atau emperan jalan......
Saya diterima, Ibu. Gaji pertama saya dua ratus ribu. Akhirnya saya bisa membayar perbulan untuk sewa kamar, walaupun teman-teman yang datang sering bilang kamar saya persis kandang ayam (Ayu,2005: 54). Kutipan di atas merupakan cerita Nayla pada ibunya melalui surat yang dia kirim. Nayla menunjukkan pada ibunya bahwa dia bisa mandiri. c. Berperilaku Menyimpang Penyimpangan perilaku dalam Novel Nayla digambarakan pada sosok Nayla yang begitu membenci laki-laki karena trauma masa lalu dan
menemukan kenyaman batin
bersama teman perempuannya. (13) Tak pernah saya mencintai satu pun laki-laki. Tak sebagai ayah, tidak sebagai kekasih (Ayu, 2005: 5). (14) Saya juga punya pacar. Bukan laki-laki, tapi perempuan. Yang laki-laki Cuma untuk hit and run. Mereka benar-benar makhluk yang menyebalkan, sekaligus menggiurkan. Tapi untuk urusan perasaan, saya lebih nyaman dengan perempuan (ayu, 2005: 54-55). Dari kutipan di atas tampak bahwa Nayla begitu membenci sosok laki-laki. Karena setiap laki-laki yang hadir dalam kehidupannya hanya menginginkan tubuhnya saja. Dia ingin membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki saja yang bisa mempermainkan perasaan perempuan, namun perempuan juga bisa melakukan hal yang biasa dilakukan laki-laki (15) Bersama Juli, saya merasakan kehangatan kasih yang pernah ingin saya berikan kepada Ibu. Saya mulai dibakar cemburu. Saya benci ketika kekasih semampainya itu datang dengan sabar menunggu. Tak jarang di depa mata saya mereka bercumbu. Seakan saya tak berada di tempat itu. Saya sering kesal setiap Juli bersikap ingin melindungi. Di matanya, saya hanyalah perempuan empat belas tahun yang frustarsi dan sedang mencari jati diri. Padahal saya mampu mencinta dan bercinta. Saya ingin belajar merasa. Tapi saya tak ingin memberi cinta saya kepada orang-orang yang tak semestinya menerima. Lebih baik saya memilih mencintai Juli ketimbang laki-laki yang menginginkan selaput dara saja (Ayu, 2005:5-6). (16) Semua berjalan cepat. Kami bercinta dalam waktu singkat. Maka dalam waktu sesingkat itu tak ada satu orang pun yang bisa memuaskan saya seperli Juli, tetapi memang bukan sekedar kepuasan kelamin yang saya cari. Saya butuh kepuasan rohani (Ayu, 2005: 101). Nayla lebih memilih Juli sebagai kekasihnya. Bersama Juli dia menemukan dan merasakan kedamaian dan kenyamanan. Meski penyimpangan itu sangat melanggar norma-
norma di masyarakat. Kebahagiaan dicari dengan caranya sendiri, yaitu dengan menyingirkan laki-laki dalam kehidupannya. C. PENUTUP Hasil analisis feminisme radikal dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dapat disimpulkan: 1. Merepresentasikan relasi gender yang mengarah pada perempuan superior, perempuan yang mencoba untuk melawan kekuatan partiarki, menginginkan adanya kesejajaran perempuan bahkan ingin keunggulan dari perempuan. 2. Dominasi laki-laki harus dilawan dengan memunculkan sosok perempuan yang mendominasi. 3. Perempuan harus mampu bersaing dengan laki-laki, khususnya dalam peran publik. 4. Adanya sikap pantang menyerah, tidak bergantung pada orang tua, dan adanya penyimpangan perilaku. 5. Faktor yang meletarbelakangi semangat feminisme adalah trauma dan didikan keras orang tua.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2000. “Penelitian Berwawasan Gender dalam Ilmu Sosial” dalam Humaniora. Vol. XVI, No. 3. Ayu, Djenar Maesa. 2005. Nayla. Jakarta: Gramedia. Bandel. Katrin. “Pascakolonialitas Dalam Novel Cantik Itu LukaTetapi Kutukanku Akan Terus Berjalan" David Lodgan. 1988. Modern Criticis And Theory. New York: Longman. Fakih, Mansoer, 1998. “Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Islam Indonesia dan Yayasan IPPSDM. _______________. 2006. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Cet. Ke-10). Showalter, Elaine. 2005. The New Feminist Criticism, Esasays on Woman
Literature, and Theory. New York: Pantheon Books. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.