FARID ESACK DAN PAHAM PLURALISME AGAMA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)
Oleh Tati Castiah NIM: 9933116554
PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H./2008 M.
FARID ESACK DAN PAHAM PLURALISME AGAMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)
Oleh Tati Castiah NIM: 9933116554
Pembimbing,
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan NIP: 150062821
PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H./2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul FARID ESACK DAN PLURALISME AGAMA telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S. FIL. I) pada program studi Akidah Filsafat.
Jakarta, 12 Juni 2004 Disahkan Oleh Dekan Fakultas Uhulluddin dan Filsafat
Prof. DR. H. Hasanuddin, AF, M.A. NIP. 150 050 917 Panitian Ujian Munaqasyah Sekretaris,
Ketua,
Drs. Asep Syarifuddin, S.H. NIP.
Dra . Hj. Halimah Ismail NIP. Pembimbing, Prof. DR. Abdul Aziz Dahlan NIP.
Penguji II,
Penguji I,
Drs. NIP.
Drs. NIP.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, penulis panjatkan kepada-Nya karena atas kehendak-Nya, dan kuasa-Nya-lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin menghaturkan banyak terimakasih yang tulus kepada pihak-pihak yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini: Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A.; Pudek I Bapak Dr. Hamid Nasuhi M.A.; Pudek III Bapak Dr. Masri Mansoer, M.A.; Ketua Jurusan Akidah Filsafat Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils.; dan Sekretaris Jurusan Akidah Filsafat Bapak Drs. Ramlan Abdul Gani M.Ag. Penulis juga haturkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing akademik, Bapak Dr. Fariz Pari, M.Fils., yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam proses penulisan proposal skripsi. Penulis juga sangat bersyukur dan sangat berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan sebagai dosen pembimbing, beliau telah banyak membimbing penulis dalam proses penulisan skripsi, khususnya dalam teknik penulisan. Atas masukan dan bimbingannya selama ini penulis haturkan banyak terimakasih yang tulus kepada beliau. Penulis juga tak kan pernah lupa kepada sahabat-sahabat yang telah mensupport dan berbagi dalam banyak hal dengan penulis: “Loi” April dan Vivannya; Ka ul, “kue pukis” Maya, “karkata” V, Fahim, Susi (terimakasih karena mau direcokin, terutama dalam hal pinjam-meminjam buku di perpustakaan Pasca); Tina dan nDe, yang selalu memotivasi dari jauh; T’ neng Sri, Wati, Neli, Hida, Rositoh, Mun Ari, Chotib May, Mukhlis, Maftuhah dan si Bontot Lis; kemudian kepada sahabat-sahabat di kelas AF: Iqbal Hasanuddin,
teman semasa sekolah hingga kuliah (terimakasih ya Iq, sudah mau berbagi dalam banyak hal, terutama ilmu); Nanang, terimakasih karena telah banyak membantu penulis, di saat kelimpungan, khususnya dalam menghadapi urusan perkuliahan; Tantowi, yang selalu mensupport (kapan giliran kamu wi?); “mamad” Jafar alHadar, terimakasih atas pertemanannya selama ini; Hamid dan Eemnya; Pranyoto, Baehaqi, Sun, Anita, Iik, dan Pay. Tak lupa juga sahabat-sahabat Fomacian lainnya, tempat diskusi dan berbagi dalam banyak hal: Te Piti (nuhun nya…), Neng Indri dan Saidimannya; Biya, Linda, Ayi, Zen, Ridwan, Empi, Ken Husni dan Yangnya; Akib dan lisnya; Adri, Mud, Nana, Dedi, Didi, Arif dan pujinya. Akhirnya penulis ucapkan terimakasih yang tak terkira kepada ayah, ibu, kakak-kakak, dan ade yang telah mensupport dan mendo’akan penulis dalam banyak hal, terutama dalam menghadapi masa perkuliahan di Universitas ini, serta keponakan-keponakan tercinta, yang selalu dirindu disetiap saat: Hanoy, Ebi, Kekeh, Ge Ima, Desiti, Neng, Dean, Pitpit, Bulan, dan Si Bongsor Dafiq Ar. Terimakasih ya …
Ciputat, 10 Juli 2008 Tati Castiah
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara Huruf Arab
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل
Huruf Latin
Keterangan Tidak dilambangakan
b
be
t
te
ts
te dan es
j
je
h
h dengan garis di bawah
kh
ka dan ha
d
de
dz
de dan zet
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan ye
s
es dengan garis di bawah
d
de dengan garis di bawah
t
te dengan garis di bawah
z
zet dengan garis di bawah
‘
Koma terbalik di atas hadap kanan
gh
ge dan ha
f
Ef
q
Ki
k
Ka
l
El
م ن و ء ي
m
Em
n
En
w
We
h
Ha
`
Apostrof
y
Ye
Vokal Tunggal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin a
Keterangan fathah
ِ ُـ
i
kasrah
u
dammah
Vokal Rangkap
َ___ي ِ___ و
ai
a dan i
au
a dan u
Vokal Panjang
$َــ ْ ِـــ & ْ'ـُــ
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang
dialih akasrakan menjadi
ل اKata sandang dalam sistem tulisan arab
huruf /L/, baik yang diikuti huruf syamsiyyah maupun qamariyyah.
Syaddah (Tasydîd) Syaddah dalam sistem tulisan arab dialihaksarakan dengan menggandakan huruf.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia, sebagai negara kepulauan, mempunyai ragam bahasa, suku, adat istiadat dan agama, dan hal ini merupakan fenomena kini, dulu dan akan datang yang tidak bisa dihindari dan dipungkiri.1 Dengan kondisi semacam itu, Indonesia berada dalam situasi yang rawan bagi timbulnya pertentanganpertentangan sosial. Apalagi jika sudah menyentuh persoalan agama.2 Telah banyak disaksikan konflik dan kekerasan yang terjadi di bumi ini karena alasan agama. Kerusuhan yang terjadi di Ambon dan di Poso beberapa tahun lalu, atau pengeboman di Bali dan Hotel JW. Marriot di Kuningan adalah fakta, yang tidak bisa bisa dipungkiri, bahwa agama menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya hal tersebut.3 Bahkan peristiwa 11 September 2001 yang
1
Clive Gifford, “Indonesia,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., (Jakarta: Lentera Abadi., 2006), h. 328-333. 2 Azyumardi Azra, dkk., Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia (Ciputat: INCIS, 2003), h. 25. 3 “Kerusuhan Ambon,” diakses pada 10 September 2007 dari www.hamline.edu/apakabar/basis data/1999/08/26/0037.html, sedangkan kerusuhan poso adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah yang melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. Peristiwa tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu Poso I terjadi pada 25-29 Desember 1998, Poso II 17-21 April 2000, dan Poso III 16 Mei-15 Juni 2000. “Kerusuhan Poso,” diakses pada 10 september 2007 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso. Peristiwa terakhir kerusuhan di Poso terjadi pada 28 Mei 2005. Pelaku kerusuhan adalah dari golongan Muslim yang membunuh pendeta dan mutilasi siswa Kristen. “Pengeboman Poso Divonis 18 Tahun,” Media Indonesia, 4 Desember 2007, h. 3. Kemudian peristiwa pengeboman di Bali terjadi pada malam hari 12 Oktober 2002 di Kuta Pulau Bali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002 dan tahun 2005 terjadi tiga kali pengeboman di Jimbaran dua kali dan di Kuta satu kali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2005. selanjutnya pengeboman JW. Marriot terjadi pada 5
meruntuhkan gedung WTC di New York telah mengubah pandangan dunia tentang agama karena pada saat peristiwa tersebut terjadi para pelakunya adalah dari golongan kaum beragama, yakni Islam.4 Konflik dan kekerasan atas nama agama pun bisa terjadi dalam satu agama. Dahulu, pada perempat kedua abad ke-16 M Syaikh Siti Jenar dihukum mati di Masjid Demak oleh kelompok-kelompok Muslim bersenjata yang dipimpin oleh Jakfar Shadiq, Susuhunan Kudus, dengan tuduhan telah menyebarkan ajaran bid’ah yang, menurut mereka, ajarannya tersebut akan membahayakan kerajaan dan masyarakat Muslim lainnya.5 Peristiwa serupa pun terjadi di Aceh, yakni menimpa pada para pengikut Syaikh Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (w.1630). Mereka dihukum bunuh karena pemikiran mereka dianggap telah membahayakan syariat oleh alRaniri (w.1658).6 Selain mereka dihukum bunuh, literatur yang mereka miliki dibakar.7
agustus 2003 sekitar pukul 12.45. “Bom JW. Marriot,” diakses pada 10 September 2007 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_ Marriot _2003 4 Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Penerjemah Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi, 2003), h. 27. 5 Pemikiran Syaikh Siti Jenar yang dianggap menyesatkan adalah ajaran tauhid yang bersifat universal khususnya tentang ajaran sasyahidan atau wahdatusyuhud. Lebih lanjut lihat Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, Buku Satu (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. xxiii-xxiv. 6 Pemikiran yang dianggap menyesatkan kedua tokoh ini di antaranya adalah yang menyatakan bahwa: alam dan manusia sama saja dengan Tuhan; wujud alam dan manusia adalah wujud Tuhan; Tuhan itu imanen; alam itu qadim; dan ketika mereka mengatakan shatiyyat; menurut al-Raniri mereka tidak berada dalam keadaan fana; selain itu menurut al-Raniri, keilmuan mereka dalam pencapaian makrifat masih rendah. Lihat Abdul Hadi Widji Muthari, “Estetika Sastera Sufistik Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Shaikh Hamzah Fansuri,” (Tesis S2 Universitas Sains Malaysia, 1996), h. 272-273. Lihat juga pemahaman lebih jauh mengenai pembahasan wahdat al-wujud Syamsuddin al-Sumatrani dan kontroversinya dengan al-Raniri, dalam Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud): Tuhan Alam Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN IB-Press, 1999), h. 35-159. 7 Lihat, Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud), h. 24.
Peristiwa-peristiwa tersebut cukup menjelaskan bahwa ketegangan yang terjadi di antara penganut agama yang sama dapat menimbulkan tindak kekerasan dan kekejaman, jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Walaupun misalnya, kematian Syekh Siti Jenar telah banyak menimbulkan kontroversi yang sangat membingungkan.8 Demikian juga halnya, yang menimpa kepada para pendahulunya sufi, al-Hallaj (w. 308 H). Pada usia 53 tahun, telah dibunuh dengan sangat kejam oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah tahun 922 M/308 H. Selain ia dipenjara dan dipertontonkan di khalayak ramai, tubuhnya disalib, dicameti dan dilempari batu. Tangan, kaki dan lidahnya dipotong, dan matanya dicukil. Bahkan setelah meninggal, jasadnya dibakar dan abunya di buang ke sungai Tigris.9 Sejak dulu, hingga sekarang sejarah terus berulang-ulang menyaksikan peristiwa tersebut. Tidak saja di negara kita, di negara lain pun sama. Hanya karena alasan agama, manusia saling membunuh, merusak, dan mencaci. Peperangan yang terjadi di Palestina antara umat Yahudi dan Muslim yang berlangsung sampai sekarang adalah peperangan atas nama agama. 10 Demikian
8
Pasalnya tokoh-tokoh yang menentukan hukum bunuh terhadap Syaikh Siti Jenar, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah dan Sunan Ampel telah meninggal belasan, bahkan puluhan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi, dan dikabarkan bahwa susuhunan Kudus yang membunuh Syaikh Siti Jenar bersama bala tentaranya adalah orang yang sangat menghormati dan memuliakan Syaikh Siti Jenar. Lihat Sunyoto, Suluk Abdul Jalil, h, xvi-xx. 9 Tak jauh beda dengan pembunuhan sufi-sufi lainnya, ia pun dibunuh oleh penguasa karena ajarannya dipandang menyesatkan. Lebih jauh lihat, Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 27-30. 10 Mereka berperang memperebutkan tanah suci, Israel. Salah satu alasan umat Yahudi memerangi Palestina adalah karena secara religius mereka telah dijanjikan oleh Tuhan, bahwa satu-satunya tempat suci yang diperuntukan bagi mereka adalah Israel. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, mereka harus mengusir dan mengosongkan tanah Palestina dari orang-orang yang bukan Yahudi. Sedangkan di daerah tersebut telah lebih dulu umat Muslim tinggal dan bermukim di sana. Oleh karena itu, mereka menolaknya karena mereka telah lebih dulu tinggal dan bermukim di sana selama beratus-ratus tahun, maka terjadilah peperangan di antara mereka sampai sekarang demi memperebutkan tanah suci Israel. Lihat, Huston Smith, Agama-Agama Manusia. Pengantar Djohan Effendi. Penerjemah Yayasan Obor Indonesia
juga, pertentangan yang terjadi di Irlandia adalah pertentangan antara kaum Katolik dan Protestan. Kemudian konflik yang terjadi antara pemerintahan Iran dan Irak, juga didominasi oleh Islam Sunni dan Syii’. Demikian pula yang terjadi di Pakistan, adalah konflik antara Islam Sunni dengan Islam Syii’.11 Sedangkan di Philipina, konflik antar Katolik dengan Hindu, dan di Thailand, adalah konflik antara Islam dengan Buddha.12 Jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat bahwa perang Salib yang dilakukan oleh umat Kristen terhadap umat Muslim dan Yahudi beberapa abad yang lalu, atau hukum bunuh yang dilakukan oleh golongan Mutakallimin adalah karena alasan agama. Di antara golongan Mutakalimin yang telah melakukan hukum bunuh adalah kaum Khawarij Muhakkimah dan Azariqah. Ketegangan ini bermula dari peristiwa arbitrase antara pihak Ali dan pihak Muawiyah. Bagi kaum Khawarij Muhakkimah, orang yang menerima arbitrase adalah kafir dan telah murtad, maka mereka wajib dibunuh. Selanjutnya permasalahan ini bagi Azariqah, berkembang menjadi faham yang sangat ekstrem. Selain mereka membunuh orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, mereka pun membunuh orang Islam yang telah masuk golongan mereka dan tidak tinggal di daerah kekuasaan mereka. Bahkan untuk menguji orang yang mengaku-ngaku
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 341-352. Untuk penjelasan mengenai sejarah Yahudi lihat juga Armstrong, Perang Suci, h. 29-65. 11 Kedua mazhab ini satu sama lain suka saling mencela. Celaan yang sering dilontarkan oleh siswa-siswa di Karachi, Pakistan yang bermazhab Syi’ah mengatakan, bahwa orang-orang Sunnah melipat tangan mereka ketika shalat karena mereka menyembunyikan berhala-berhala kecil di dalamnya. Sementara celaan yang dilontarkan oleh seorang Maulana yang bermazhab Sunnah ketika mengajar murid-muridnya di kelas tiga mengatakan, bahwa orang-orang Syi’ah tidak percaya terhadap al-Quran karena mereka percaya, bahwa kambing milik istri nabi memakan sepuluh surat. Lihat, Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam LiberalPlural. Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 232. 12 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta:Paramadina, 2003), h. 125.
pengikutnya pun, terlebih dahulu mereka mengujinya dengan disuruh membunuh tawanan. Jika ternyata tidak membunuhnya, maka kepalanya orang tersebutlah yang akan mereka penggal. Tak hanya itu, mereka juga membunuh, menawan dan menjadikan budak, anak, istri dan keluarga mereka yang tidak sefaham dengan mereka, golongan Azariqah.13 Tampaknya undang-undang kerukunan umat beragama14 atau Pancasila bagi masyarakat Indosesia tidak bisa menahan kaum beragama untuk tidak saling melakukan tindak kekerasan. Padahal di setiap periode beberapa kepengurusan Menteri Agama sering diadakan dialog agama-agama, tentang pentingnya kerukunan hidup umat beragama. Di antara keputusan Menteri Agama pada kepengurusan Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti Ali adalah ditanamkannya prinsip agree with disagree (setuju dalam perbedaan).15 Namun tampakmya belum berhasil.16 Bahkan dialog agama-agama tidak saja dilakukan di dalam Negeri, di tingkat dunia pun seringkali dilakukan. Namun sayang, pada tingkat itu
13
Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), h.5-15. 14 Hal tersebut tercantum dalam pasal 29 ayat I dan 2 UUD (Undang-Undang Dasar) 45 berikut, “Negara berdasarkan Tuhan yang maha Esa”, dan “Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Lihat, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, Kompilasi Perundang-Undang Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemaen Agama RI, Edisi Ketujuh (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 7. 15 MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta, Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara, Ham, dan Agama-Agama. Pengantar Quraish Shihab (Jakarta: MUI, 1996), h. xii-xiv. 16 Data yang dihasilkan dari penelitian yang diadakan oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan di beberapa propinsi mengenai kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, masih menunjukan adanya potensi konflik yang setiap saat bisa muncul. Konflik tersebut di antaranya adalah isu Kristenisasi dan Islamisasi yang diadakan oleh umat Kristen atau Islam; penolakan pendirian rumah ibadah oleh penganut yang berbeda agama; dendam karena pembakaran gereja atau masjid yang dilakukan oleh salah satu umat beragama tersebut; konflik antara Hindu Bali dengan Hindu yang berafiliasi ke India; Protestan dengan Katolik. Lihat, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Riuh di Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Seri II (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 75-270.
pun tampaknya dialog belum berhasil karena ironisnya ketika kegiatan tersebut berlangsung, ada sebagian peserta dialog yang menghina agama lain.17 Ada dua hal penting, khususnya bagi Indonesia, yang menjadi alasan mengapa fenomena tersebut bisa terjadi. Pertama karena sebagian besar penduduknya masih percaya terhadap agama dan mengkaitkan hidup dalam aturan dan keyakinan agama. Kedua, terlebih lagi jika dalam setiap kelompok agama ada kelompok yang mempunyai klaim kebenaran, yang menyatakan bahwa ajarannya merupakan totalitas sistem makna yang berlaku bagi seluruh kehidupan, baik individual maupun sosial. Namun keyakinan tersebut ketika hadir dalam pluralitas keagamaan, maka akan membawa dampak yang berbahaya dalam hubungan beragama.18 Pengaruhnya sangat dahsyat kepada kelangsungan hidup manusia. Sama dahsyatnya, seperti pengaruh narkotika kepada manusia. Namun bahayanya berbeda, tapi keduanya sama-sama akan mengancam kelangsungan daya tahan sebuah kehidupan. Jika narkotika memberi pengaruh kepada pribadi saja, maka klaim kebenaran, selain memberi pengaruh pada pribadi, juga akan mengasilkan gerakan sosial, yaitu suatu gerakan yang melahirkan sikap eksklusif dan intoleran bagi penganutnya. 19 Mereka memandang bahwa hanya pandangan mereka sajalah yang benar, keselamatan hanya ada pada diri mereka dan tidak ada keselamatan bagi orang lain. Oleh karena itu, untuk menyampaikan misi mereka, mereka melakukan ekspansi dan penetrasi, yang kemudian dikenal dengan konsep jihad dalam Islam, atau misionaris dalam Kristen. Mereka sama-sama membawa misi
17
Penganut Islam menghina penganut agama lain. Lebih lanjut lihat, MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta, Kerukunan Beragama, h. 91-96. 18 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. xxi. 19 Nurcholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang,” Ulumul Quran IV, no. 1 (1993): h. 10-12.
keselamatan, maka tak heran jika setiap penganut keyakinan saling memaksakan pandangannya. Mereka tak segan-segan mencaci, mengejar, dan membunuh orang yang tidak sepaham dengan mereka. 20 Jika pandangan seperti itu dibiarkan dan dipertahankan, maka konflik dan kekerasan yang terjadi di bumi ini akan terus berlangsung. Apalagi jika melihat perkembangan sejarah, Indonesia merupakan lahan subur untuk pertumbuhan dan perkembangan agama atau aliran kepercayaan,21 maka untuk menopang kehidupan yang damai, dibutuhkan wawasan yang membawa masyarakat ke dalam suasana rukun, damai egaliter, toleran dan saling menghargai tanpa harus ada konflik dan kekerasan. Di antara beberapa pemikir yang telah berusaha keras untuk mengatasi hal itu adalah Wilfred Cantwell Smith. Ia adalah seorang teolog Kristen dan sejarawan yang telah menyusun teori-teori teologis dan meyakinkan secara akademis bahwa semua agama, baik itu dari golongan Islam, Kristen, Yahudi atau Buddha akan mengarah kepada tujuan akhir, yakni Allah. Allah adalah tujuan akhir dari semua agama. Kemudian pahamnya tersebut dikenal dengan paham pluralisme agama. Oleh karena itu, agama manapun menurutnya, tidak berhak mengklaim kebenaran agamanya atas agama lain, dan pada tataran itu, menurutnya, konsep agama berakhir.22 Ia juga mengatakan bahwa kebenaran
20
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 995), h. 229. 21 Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 229. 22 Mengenai pengertian agama, lihat juga Armstrong. Menurutnya, terlepas dari sifat non duniawinya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik karena pada kenyataannya seringkali disaksikan bahwa sebuh ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah yang penting bisa diterima. Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun. Penerjemah Zainul Am (Bandung: Mizan, 2002), h. 22.
agama bersifat relatif dan mempunyai nilai yang sama sehingga kita harus berusaha
menghilangkan
hambatan-hambatan,
menjembatani
perbedaan-
perbedaan, dan mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa yang sedang berupaya menemukan Dia yang sedang dicari-cari oleh-Nya, dan mustahil jika orang Kristen mengatakan, kami diselamatkan, kalian orang Islam, Hindu atau Buddhis dihukum. Padahal mereka semua, orang Islam, Hindu atau Buddhis adalah orang-orang yang saleh dan cerdas. Baginya tidak logis jika mereka dihukum dengan alasan mereka bukan seorang Kristiani.23 Smith mendasarkan pandangannya tersebut pada Allah yang diwahyukan melalui Kristus, yakni yang menyatakan bahwa Allah mengulurkan tangan kepada semua orang dalam cinta, dan sebagai makhluk Allah yang terbatas, menurutnya, kita tidak dibatasi oleh cinta itu. Kemudian wahyu Allah yang lain adalah yang menyatakan, bahwa Allah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam, dan Hendaknya agama dipandang sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Ilahi dan manusia.24 Selanjutnya salah satu tokoh muslim Indonesia yang mempopulerkan paham tersebut adalah Nurcholish Madjid (1939-2005). Ia menyatakan, bahwa pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu,25 dan tidak boleh hanya dipahami sebagai bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,
23
Coward, Pluralisme, h. 61-64. Coward, Pluralisme, h. 62-63. 25 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000), h. Ixxv. 24
tetapi hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat manusia26 yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari.27 Selain dalam Islam dan Krisrten, paham pluralisme agama pun terdapat dalam Hindu dan Buddha. Dalam Hindu dikatakan bahwa setiap konsep adalah benar dalam perpektifnya sendiri. Oleh karena itu, setiap pandangan merupakan suatu kesimpulan logis yang didasarkan pada praanggapan pada perspektifnya sendiri. Namun karena keterbatasan manusiawi, terpaksa manusia harus memilih salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk untuk menyalurkan apresiasi kecintaanya pada Yang Ilahi,28 dan dalam Bhagawad-Ghita dikatakan bahwa Yang Ilahi menerima orang-orang yang datang kepada-Nya melalui jalan agama yang berbeda-beda, dan Hindu menurutnya telah menyesuaikan dirinya dengan rahmat yang tak terbatas untuk setiap kebutuhan manusia tersebut.29 Salah satu tokohnya adalah Radhakrishnan, sedangkan dalam Buddha dinyatakan terdapat pengakuan nilai-nilai yang terdapat dalam agama-agama lain, serta tidak perlu merubah label-labelnya, dan yang menyatakan hal tersebut adalah sang Buddha sendiri. 30
26 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramida, 2001), h. 31. 27 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixxvii- Ixxviii. 28 Coward, Pluralisme, h. 118. 29 Coward, Pluralisme, h. 138-139. 30 Fazlur Rahman, dkk., Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 129.
Sebenarnya jauh sebelum itu pun, pendekatan esoteris yang dibawa oleh al-Hallaj dan pengikutnya, Ibnu Arabi (1165-1240)31 melalui konsep wahdatul wujudnya,32 telah membawa mereka kepada konsep wahdatul al adyan, satunya semua agama. Menurut al-Hallaj, keanekaragaman agama di dunia ini hanya sekedar bentuk, hakekatnya sama, bertujuan sama, yakni mengabdi kepada Tuhan pencipta alam semesta. Bahkan Allahlah menurutnya, yang telah menetapkan dan memilihkan agama untuk masing-masing orang sehingga manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilihnya. Oleh karena itu, manusia menurutnya, tidak boleh saling mencela dan menyalahkan agama yang dianut oleh orang lain,33 sementara Ibnu Arabi mengatakan, bahwa yang ada di balik semua agama yang hanya merupakan bayangan itu adalah Al-Haqq, yang dipuja oleh orang Nasrani Yahudi, Hindu, Buddha dan lain-lain adalah sama, dengan yang dipuja oleh orang Islam, yaitu hakikat yang satu, Al-Haqq. Dia adalah Allah, Tuhan seluruh manusia (rabb al-nas), Tuhan alam semesta (rabb al-‘alamin), dan Tuhan seluruh langit dan bumi (rabb al-samawat wal al-ard).34 Oleh karena itu, menurutnya, hamba Tuhan merasakan ketentraman yang sama di dalam sinagog, kuil, gereja, atau masjid 31
Nama lengakap Ibnu Arabi Adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Abdullah Hatimi Al-Thai. Dia adalah seorang sufi terbesar dalam dunia Islam, bahkan seorang pemikir mistik besar dalam dunia Islam. Untuk penjelasan ini, lihat Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ibnu Arabi,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. II (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997), h. 150. 32 Konsep wahdatul wujud Ibnu Arabi yaitu yang menyatakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Di sebalik benda, manusia, alam, langit atau bumi Ia-lah yang sebenarnya ada. Dia menampakan diri melalui alam. Alam adalah bayangan-Nya. Melalui bayangan-Nyalah Ia dikenal. Perumpamaannya, seperti pohon dan bayangannya. Pohonlah yang mempunyai wujud, bayangan pohon tidak mempunyai. Dengan demikian, yang ditangkap oleh sufisme adalah Al Haqq itu sendiri. Sedangkan bagi non sufi, yang ditangkap oleh mereka hanyalah bayangannya saja. Lihat Harun Nasution, dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, Penyunting Imran Rasyidi (Jogja: Tiara Wacana, 1997), h. 252. Lihat juga Armstrong mengenai penjelasan wahdatul wujud Ibnu Arabi. Menurutnya Arabi mendasarkan pemikirannya tersebut kepada hadits Qudsi yang menyatakan, bahwa aku adalah perbendaharaan tersebunyi dan aku ingin dikenal kemudian aku diciptakan makhluk-makhluk agar dikenal oleh mereka. Armstrong, Sejarah Tuhan, h. 315. 33 Usman, Wahdat Al-Adyan, h. 11-14. 34 Nasution, Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, h. 253-253.
karena semuanya menyediakan pemahaman yang sama tentang Tuhan. Ia juga mengecam sikap eksklusif karena sama artinya dengan mengingkari yang lain, dan telah gagal menemukan kebenaran sejati. Baginya, Tuhan yang Maha Berada tidak dibatasi oleh keyakinan apa pun, sebagaimana firman-Nya, “Kemanapun engkau memalingkan pandanganmu, maka di sanalah ada wajah Allah” (Q.S. alBaqarah/2: 102.).35 Namun dalam hal ini penulis akan meneliti paham pluralisme agama dalam perpektif Farid Esack. Adapun alasan penulis memilih Esack sebagai bahan kajian penulisan skripsi ini, pertama adalah karena ia mempunyai perspektif yang lebih progress dalam memahami pluralisme agama, yakni untuk mendukung pahamnya tersebut, selain ia membahas pluralisme agama melalui pembuktian alQuran, ia juga meredifinisi pengertian iman, islam dan kafir dengan penggunaan dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang, khususnya pluralitas agama. Alasan kedua, adalah latar belakang budaya Esack ada kemiripan dengan konteks Indonesia, yakni memiliki kekayaan budaya, agama, dan aliran kepercayaan yang beragam,36 sedangkan alasan terakhir adalah karena konflik dan kekerasan yang terjadi di kedua negeri ini kebanyakan didominasi oleh faktor agama, dan Esack adalah salah satu sosok intelektual Muslim Afrika Selatan yang telah ikut andil besar dalam meruntuhkan sistem apartheid,37 yakni dengan mengusung gagasan pluralisme agama berdasarkan
35
Armstrong, Sejarah Tuhan, h, 317. Gifford, “Afrika Selatan,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., (Jakarta: Lentera Abadi., 2006), h. 380-383. 37 Apartheid secara harfiah artinya keterpisahan, yakni suatu politik pemisahan rasial antara golongan warna kulit yang dijalankan oleh pemerintah Afrika Selatan. Tujuannya adalah untuk memisahkan perkembangan dan pembangunan orang kulit berwarna dari orang kulit putih 36
perspektif al-Quran, setidaknya pada waktu itu masyarakat Afrika Selatan dari berbagai agama telah sadar akan pentingnya bergabung bersama dan berjuang dalam
meruntuhkan
sistem
apartheid
di
Afrika
Selatan
yang
telah
menyengsarakan kehidupan mereka semua. Pasalnya, ada juga sebagian kelompok agama yang tidak bersedia ikut bergabung karena takut terjerumus pada kekufuran, khususnya Islam. Bagi mereka agama yang diterima disisi Allah hanyalah Islam, dan kaum yang berada di luar diri mereka adalah kafir. Oleh karena itu, orang Muslim yang ikut bergabung dengan Call of Islam38 adalah kafir. Padahal menurut Esack, mereka juga sama-sama telah mengalami penderitaan dan telah menumpahkan darah akibat kekejaman apartheid.39 Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang punya tanggungjawab moral terhadap umatnya, maka dalam bukunya yang pertama,40 sebagaimana yang telah dikemukakan di muka, selain ia membahas pluralisme agama melalui pembuktian al-Quran, termasuk juga di dalamnya ia banyak membahas penggunaan dan pemaknaan istilah iman, islam dan kafir, namun dengan
terutama dalam bidang politik dan ekonomi, misalnya secara politik orang kulit hitam yang mayoritas tidak diperbolehkan duduk di pemerintahan; secara ekonomi tidak diperbolehkan mempunyai pekerjaan, sebagaimana yang diperuntukan untuk orang kulit putih; dan dilarang tinggal di lokasi yang tidak ditentukan untuk mereka. Sistem aparteid telah dipraktikkan sebelum tahun 1948 diberlakukan. Lihat, Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, “Apartheid,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, vol. II (Jakarta: Delta Pamungkas., 2004), h. 187-188. 38 Call of Islam adalah nama kelompok yang didirikan oleh Adli Jacobs, Ebrahim Rasool, Shamiel Manie dan Farid Esack sendiri pada Juni 1984. Sebenarnya nama The Call of Islam adalah nama yang dipakai pada lembar beritanya, sedangkan pertama kali kelompok tersebut dinamakan Muslims Against Oppression. Nama tersebut dipakai untuk keperluan resmi publikasi pamflet. Komunitas tersebut sangat berperan penting dalam membujuk kaum Muslim untuk menerima keharusan politik dan legitimasi teologis bagi solidaraitas antar iman dan menerima tanpa ragu kaum Kristen dan Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman, dan hal tersebut merupakan babak baru bagi kehidupan agama-agama di Afrika Selatan, yakni ketika dari berbagai penganut agama ikut bersedia bergabung bersama dalam meruntuhkan aparteid di Afrika Selatan. Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah Watung A. Budiman (Badung: Mizan, 2000), h.h. 66-79. 39 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66. 40 Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligous Solidarity Against Oppression, Oxford: Oneworld Publications, 1997.
penggunaan dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang, khususnya dengan konteks pluralisme agama. Terlebih lagi al-Quran bagi umat Islam adalah satu-satunya kitab suci yang dipercaya sebagai yang betulbetul otentik,41 maka diharapkan dengan adanya penelusuran makna tersebut, menurut Esack orang atau sekelompok orang tidak sembarang untuk mengatakan orang lain sebagai kawan dan lawan, juga agar kaum lain dari agama apa pun tidak akan menderita akibat ketidakberimanan oleh golongan lain karena ia yakin, bahwa al-Quran memperhatikan dan menampilkan Tuhan sebagai yang memperhatikan apa yang dilakukan manusia, yang artinya Tuhan telah ikut campur dalam sejarah manusia.42 Ia tidak berbicara pada ruang yang hampa. Terlebih manusia itu lebih banyak dibentuk oleh konteks dari pada teks.43 Selain itu, ia juga ingin memperlihatkan bahwa adalah mungkin kaum beriman dari berbagai agama hidup berdampingan dalam keimanan kepada al-Quran dalam konteks kekinian dan bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih manusiawi.44 Maka dengan sosok dan pemikirannya tersebut, penulis tertarik untuk menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul, “Farid Esack dan Paham Pluralisme Agama”. Diharapkan dengan pengalaman dan keberhasilan Esack, khususnya dalam menghadapi pluralitas agama di Afrika Selatan dapat menjadi kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah pemikiran intelektual Indonesia, dan masyarakat umumnya dalam mewujudkan proses demokrasi yang rukun, aman dan damai, serta berkeadaban.
41
Esack, Membebaskan yang Tertindas. h. 39-40. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 34. 43 Esack, Membebaskan Yang Tertindas, h. 131. 44 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 38. 42
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan beberapa alasan dan pemilihan judul tersebut, maka penulis akan membatasi pembahasan paham pluralisme agama dalam perspektif Esack dan agama-agama pada umumnya. Namun pada pembahasan paham pluralisme agama dalam perpektif agama-agama penulis membatasinya pada empat agama, yakni Islam, Buddha, Hindu dan Kristen. Adapun perumusan masalah yang akan dirumuskan adalah pertama, bagaimana paham pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, kedua bagaimana paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama pada umumnya, yakni dalam perspektif Islam, Buddha, Hindu dan Kristen.
C. Tinjauan Kepustakaan Terdapat beberapa karya ilmiah, yang penulis telusuri yang berkaitan dengan paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama dan yang berkaitan dengan Farid Esack. Di antara buku yang membahas pluralisme agama dalam perpektif Islam adalah Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), karya Budi Munawar Rahman. Buku tersebut, di antaranya memuat tulisan mengenai prinsip-prinsip pluralisme agama yang diusung oleh gurunya, Nurcholish Madjid, seperti pentingnya pemikiran pluralisme dalam teologi agama-agama demi tercapainya kedamaian dan keadilan di bumi ini, sedangkan Nurcholish Madjid sendiri membahas pluralisme agama yang terangkum lengkap dalam bukunya yang berjudul Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000). Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu, dan tidak boleh hanya dipahami sebagai bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, tapi hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat manusia karena merupakan sebuah aturan, sunatullah yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Kemudian
buku
Wahdat
Al-Adyan:
Dialog
Pluralisme
Agama
(Yogyakarta: LkiS, 2002) karya Fathimah Usman. Buku tersebut berisi gagasan pluralisme agama dalam al-Quran, dan gagasan wahdat al-adyan yang diusung oleh al-Hallaj. Selanjutnya buku The Children of Adam: An Islamic Perspektif on Pluralism (Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, 1996) karya Mohamed Fathi Osman, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah dan Perdaban (Jakarta: Paramadina, 2006). Buku tersebut mengusung gagasan pluralisme agama berdasarkan al-Quran dan sejarah kehidupan agama-agama pada masa pemerintahan Islam di Yasrib, sekarang Madinah. Pembahasan pluralisme agama dalam konteks pemerintahan Islam, ia banyak menguraikan pluralisme dari banyak hal; sisi agama, sosial, hukum, sampai bagaimana caranya melaksanakan pemilihan-pemilihan umum dalam suatu negara.
Secara garis besar pada dasarnya buku-buku tersebut sama-sama menggagas nilai-nilai pluralisme agama berdasarkan perpektif al-Quran dan sejarah kehidupan agama-agama pada masa pemerintahan Islam. Demikian juga dengan bukunya Jalaluddin Rakhmat yang berjudul Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006), isi pembahasannya hampir sama dengan penulis sebelumnya. Namun masing-masing penulis dalam merujuk ayat-ayat pluralisme agama dalam al-Quran berbeda-beda, ada yang sama dan ada yang menambahkannya, misalnya dalam buku Fathimah Usman dan Jalaluddin Rakhmat sama-sama merujuk Q.S. al-Baqarah/2: 62 untuk menjelaskan pengakuan atas eksistensi agama-agama. Kemudian Jalal menambahkannya dengan Q.S. al-Maidah/5: 69 dan Q.S. al-Hajj/22: 17. Fathimah Usman merujuk Q.S. al-Baqarah/2: 256 untuk menjelaskan tidak ada paksaan dalam beragama, Q.S. al-Anam/6: 108, dan Q.S. al-Syuro ayat 13 untuk menjelaskan kesatuan kenabian, Q.S. al-Nisa/3: 131. Selanjutnya pluralisme agama dalam bentuk skripsi di antaranya adalah yang berjudul: Gagasan Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003) ditulis oleh Sutisna; Pluralisme Agama dalam Penafsiran Sayyid Quthb Kajian Tematik atas Tafsir fi Zhilal Al-Quran (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Akbar Imanuddin; Konsep Pluralisme Agama Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Muhammad Arham Mursidin. Isi ketiga skripsi tersebut sama-sama membahas pluralisme agama dengan merujuk ayat-ayat yang sama, sebagaimana
yang telah dirujuk oleh penulis-penulis buku sebelumnya, yang berbeda hanyalah pada pemikiran tokohnya saja. Demikian juga dengan skripsi yang berjudul Konsep Al-Quran Tentang Pluralisme (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004) ditulis oleh Faturrahman. Walaupun ia tidak merujuk pada pemikiran tokoh, tapi ayat-ayat yang ia rujuk dalam menjelaskan pluralisme agama sama, sebagimana yang telah dirujuk oleh penulis-penulis skripsi dan buku yang telah disebutkan di muka. Namun dalam membahas kesatuaan keagamaan, ia menambahkannya dengan merujuk pada Q.S. al-Baqarah /2: 132 dan Q.S. Ali Imran/3: 85, pesan kenabian, Q.S. al-Baqarah 2: 132, dan pesan Tuhan Q.S. al-Nisa/3: 131. Sedangkan buku yang membahas pluralisme agama dalam perpektif agama-agama di antaranya adalah buku Harold Coward. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Di dalamnya di jelaskan tentang kandungan paham pluralisme agama dari berbagai agama-agama dunia. Kemudian yang menulis tokoh pemikiran Farid Esack adalah Burhanuddin dan Irwandi dalam bentuk skripsi. Keduanya tidak membahas pluralisme agama dalam pemikiran Farid Esack, tapi keduanya sama-sama membahas hermeneutik dalam pemikiran Farid Esack. Mereka sama-sama menjelaskan prinsip-prinsip hermeneutik yang digunakan oleh Farid Esack berdasarkan perspektif al-Quran. Prinsip-prinsip hermeneutiknya adalah taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid (keutuhan dan kesatuan ketuhanan), al-nâs (manusia), al-mustada’fun fi al-ard (yang tertindas dan tersisih di dunia), qist dan ‘adl (keseimbangan dan keadilan), terakhir adalah jihad (perjuangan dan praksis).
Letak perbedaan tulisan Burhanuddin dan Irwandi adalah dalam tulisan Burhanuddin, selain membahas prinsip-prinsip hermeneutik Farid Esack, ia juga menyandingkannya dengan hermeneutik Charles Kurzman, sedangkan Irwandi, khusus membahas prinsip-prinsip hermeneutik Farid Esack saja. Lebih lanjut skripsi Burhanuddin berjudul Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perpektif Farid Esack dan Charles Kurzman tentang Islam, Modernitas, dan Masa Lalu yang Diciptakan (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003), sedangkan skripsi Irwandi berjudul Reception Teori Hermeneutika Farid Esack (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).
D. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui paham pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, dan menjelaskan paham pluralisme agama dalam perspektif agama-agama sebagai bahan pengantar. Adapun tujuan lain dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah pemikiran intelektual Indonesia dalam mewujudkan proses demokrasi yang aman dan damai di Indonesia.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode pustaka (library research), yakni penulis melakukan
penelitian kepustakaan terhadap buku-buku, jurnal-jurnal, majalah-majalah, atau data-data yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ini, baik itu yang bersumber dari penulis asli atau penulis lain.45 Buku yang dijadikan rujukan utama adalah buku yang ditulis oleh penulis asli dan telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yaitu Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme dan On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural, sedangkan untuk pluralisme agama-agama, menggunakan buku Harold Coward. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Selanjutnya setelah penulis melakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan, penulis melakukan analisa. Analisa data yang digunakan penulis adalah analisa data deskriptif,46 yakni penulis berusaha menggambarkan dan menggali penjelasan pluralisme agama baik itu dalam perpektif agama-agama dan Farid Esack. Adapun dalam teknik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang ditulis oleh Tim Penyusun Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 47
F. Sistematika Penulisan
45
John W. Creswell, Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitaf. Pengantar Supardi Suparlan. Penerjemah Angkatan III dan IV KIK-UI dengan Nur Khabibah (Jakarta: KIIK Press, 2003), h. 21. 46 Creswell, Desain Penelitian, h. 147-150. 47 Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) (Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2007.
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Uraiannya sebagai berikut: bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah; pembatasan dan perumusan masalah; tinjauan kepustakaan; tujuan penelitian; metode penelitian dan teknik penulisan; terakhir adalah sistematika penulisan. Pada bagian latar belakang masalah di antaranya berisi tentang alasan penulis mengambil judul skripsi. Kemudian pada bagian pembatasan masalah berisi tentang batasan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini, yakni membatasinya pada pembahasan pluralisme agama dalam perpektif agama-agama dan khususnya dalam perpektif Farid Esack. Pada bagian tinjauan kepustakaan berisi tentang siapa saja orang yang telah membahas pluralisme agama dan menulis tokoh Farid Esack, sedangkan pada metode penelitian dan teknik penulisan berisi tentang metode penelitian dan teknik penulisan yang digunakan oleh penulis, dan yang terakhir dari penulisan bab pertama ini adalah sistematika penulisan yang berisi tentang pembagian bab dari skripsi ini, disertai dengan uraian singkat pada masing-masing babnya. Selanjutnya pada bab dua berisi tentang riwayat hidup Farid Esack, yang terdiri dari: latar belakang sosial; latar belakang intelektual; dan karya-karyanya. Pada bab ini sangat diperlukan untuk mengetahui landasan pemikiran dia mengenai pluralisme agama. Oleh karena itu, pada bab ini penulis berusaha menguraikan sekilas faktor sosial dan intelektual Esack yang berkaitan dengan lahirnya pemikiran dia mengenai paham pluralisme agama. Pada bab tiga berisi tentang pembahasan pluralisme agama perspektif agama-agama; dibatasi hanya empat agama saja yaitu Islam, Hindu, Buddha, dan Kristen. Pembahasan pluralisme agama dalam perspektif agama-agama ini sangat
penting untuk dibahas, yakni untuk mendukung dan mengimbangi pemikiran pluralisme agama dalam pemikiran Farid Esack yang notabene seorang pemikir pluralisme agama dari Muslim. Lebih lanjut sistematika penulisan bab tiga ini sebagai berikut: pluralisme agama dalam perspektif Islam; pluralisme agama dalam perspektif Hindu; pluralisme agama dalam perspektif Buddha; pluralisme agama dalam perspektif Kristen. Kemudian, bab empat berisi tentang konsep pluralisme agama dalam pemikiran Farid Esack dan pengertian pluralisme agama dalam beberapa perspektif. Adapun isinya adalah sebagai berikut: pengertian pluralisme agama; konsep pluralisme agama dalam perspektif Esack, alasan dan argumentasinya, dan diakhiri dengan kritik terhadapa pemikiran Esack. Selanjutnya bab terakhir dari penulisan ini adalah bab lima sebagai penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Dalam simpulan penulis berusaha menyimpulkan hasil penelitian mengenai paham pluralisme agama dalam perpektif Esack dan agama-agama, yakni dengan merujuk kepada rumusan masalah yang telah disebutkan pada penulisan skripsi ini. Kemudian diakhiri dengan penulisan saran-saran.
BAB II RIWAYAT HIDUP FARID ESACK
A. Latar Belakang Sosial Farid Esack Esack adalah seorang aktivis dan intelektual Muslim asal Afrika Selatan yang dikenal luas oleh dunia melalui pemikiran-pemikirannya mengenai persoalan agama, politik dan sosial,48 terutama yang tertuang dalam karyanya yang berjudul Quran Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Agains Oppression (England: Oneworld, 1997). Bahkan beberapa kali ia pernah datang ke Indonesia dalam rangka mensosialisasikan pemikiranpemikirannya tersebut, salah satunya datang ke Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 23 Maret 2001. Ia dilahirkan di South Road, Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan, tahun 1959,49 dan dibesarkan di Bonteheuwel, Cape Flats. Ia tinggal bersama ibu dan kelima saudara laki-lakinya. Ia adalah anak ketiga dari perkawinan ibunya yang kedua. Namun ayahnya meninggalkanya ketika ia baru mencapai usia tiga minggu sehingga ibunyalah yang mengurus semua keenam anaknya, sedangkan tiga saudara laki-lakinya yang lain adalah hasil dari pernikahan ibunya yang pertama. Namun pernikahan pertama ibunya kandas ketika anak ketiganya baru berusia tiga bulan. 50 Menurut Esack, inilah
48
Farid Esack. On Being A Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern. Penerjemah Dadi Darmadi dan Jajang Jamroni (Jakarta: Erlangga, 2004), h. xii. 49 The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack,” artikel diakses tanggal 10 September 2007 dari http://www.hsf.org.za/%23article_view.asp?id=34 50 Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah Watung A. Budiman (Badung: Mizan, 2000), h. 24.
kebetulan-kebetulan serba tiga yang cukup untuk mendorong orang pada trinitarianisme.51 Menurut Esack peranan agama dalam seluruh lapisan masyarakat Afrika Selatan sangat memainkan peranan penting. Bahkan sistem apartheid yang diberlakukan oleh pemerintahan tersebut pun disebabkan atas nama dan terkadang dukungan kitab suci agama. Salah satunya adalah umat Kristen. Tidak sedikit mereka dengan kitab sucinya ikut mendukung tindakan tersebut, tapi tidak seluruhnya karena ada juga organisasi, seperti Christian Institute atau individuindividu, seperti pendeta Theo Kotze dan Beyers Naude yang tidak ikut mendukung tindakan tersebut.52 Bonteheuwel, Cape Flats, tempat Esack dibesarkan adalah salah satu bentuk pemberlakuan sistem apartheid. Daerah tersebut merupakan daerah pembuangan bagi orang kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna, dan merupakan daerah yang tanahnya paling tandus yang berada di Afrika Selatan. Tidak ada apa pun di sana, selain terdapat bukit-bukit pasir dan pohon Port Jackson. Di sanalah Esack dan keluarganya beserta sekian banyak penduduk tinggal. Mereka dipaksa pindah ke daerah tersebut oleh Akta Wilayah Kelompok (Group Areas Act) ketika pada tahun 1961 daerah mereka, Milford Road, dideklarasikan sebagai kawasan kulit putih (South Road White).53 Pengusiran tersebut menurut Esack adalah salah satu bentuk pemberlakuan sistem apartheid yang sangat menghancurkan dan menyengsarakan kehidupan
51
Rasisme, kapitalisme, dan patriarkhi. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 7. Esack, Membebaskan yang Tertindas h. 27. 53 Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural. Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h.187. Lihat juga Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 24. 52
mereka. Dua juta orang manusia tidur di lantai, tanah berdebu, dan tumpukan jerami. Mereka tertidur dalam keadaaan perut kosong. Terkadang untuk mengenyangkan perut, mereka terpaksa mencampur pasir dengan tepung.54 Bahkan kekejaman yang dilakukan oleh rezim apartheid tidak itu saja, pada tahun 1980-an, orang kulit hitam yang jumlahnya hampir tiga perempat total populasi, hanya mendapat seperempat dari pendapatan nasional. Sementara orang kulit putih yang jumlahnya hanya seperenam total populasi, memperoleh hampir dua pertiganya. Jutaan orang penganggur, tidur dimana saja. Mereka tertidur dengan perut kosong, dan bangun tanpa ada yang bisa dimakan. Jika keesokan hari mereka mencari-cari kerja, kemudian tidak mendapatkanya, maka ketika pulang, mereka mencari-cari sesuatu di tempat sampah yang kira-kira bisa dikunyah. 55 Selama Esack dan keluarganya tinggal di daerah pengusiran, kehidupan mereka tak jauh berbeda dengan yang lainnya, sangat mengkhawatirkan. Apalagi jika musim dingin tiba. Jika Esack dan kakaknya hendak pergi ke sekolah, mereka harus berlari agar kaki mereka tidak sempat membeku karena mereka tidak memakai alas kaki, dan biasanya pada musim itu, tidak ada makanan di rumah sehingga terpaksa mereka harus memungut sisa apel yang dibuang di jalanan atau pun di selokan. Jika mereka tidak menemukannya, maka terpaksa mereka harus berkeliling rumah mengetuk pintu untuk meminta sepotong roti.56 Beruntunglah tetangganya, Nyonya Ellen Batista yang selalu membantu di masa-masa sulit mereka selama mereka tinggal di tempat pengusiran. Ia selalu memberi mereka secangkir gula, minyak ikan, atau pinjaman uang. Terkadang ia
54
Esack, On Being A Muslim, h. 33. Lihat juga, Esack, Membebaskan yang Tertindas, h.
24. 55
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 24 Esack, On Being A Muslim, h. 219.
56
hanya sekedar teman berbincang ibunya, sedangkan tetangganya yang lain adalah Tuan Frank. Dia adalah orang yang selalu memberi perpanjangan waktu pembayaran pinjaman uang kepada mereka, yang seolah tanpa akhir.57 Sebenarnya ibu Esack bekerja. Namun pekerjaannya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup beserta keenam anaknya. Walaupun ia bekerja dari pagi buta hingga malam gelap.58 Bahkan mulai sejak kecil pun ibunya sudah bekerja di sebuah binatu Wynberg. Namun upah mingguannya amat kecil. Perjalanan yang ia tempuh menuju tempat pekerjaannya
pun sangatlah jauh. Ia harus berlari
mengejar kereta di pagi hari, jauh sebeum fajar menyingsing, di saat para mandornya masih asyik menikmati kopi hangat dan membaca koran pagi. Yang dipedulikan para bosnya, hanyalah produksi, produksi, dan produksi. Tidak ada waktu untuk istirahat. Kalaupun ada, hanyalah sekotak kecil coklat di Hari Natal. Itupun hanya sebagai pengganti bonus istirahat.59 Sebenarnya, sebagian anak-anaknya yang lain membantu pekerjaan ibunya. Namun tugas-tugas mereka hanya sebatas mencuci, membersihkan rumah, dan menyeterika. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang berat tetap dipikul oleh ibunya karena menurut tradisi mereka, pekerjaan berat bukanlah panggilan utama bagi hidup laki-laki. Laki-laki adalah sultan dalam keluarga, dan merupakan syahadat yang harus selalu diikuti oleh tradisi mereka. 60 Ibunya meninggal dalam
57
Mereka adalah tetangga Esack yang berlainan agama dengannya di tempat pengusiran, South Road Wynberg, Cape. Nyonya Ellen Batista adalah seorang Katolik yang taat, juga sahabat ibunya. sedangkan Tuan Frank adalah berdarah Yahudi dan Tahiroh. Dia berprofesi sebagai tukang kredit. Kemudian teman sekolah dasarnya adalah seorang gadis Baha’i yang orang tuanya melarang anak tersebut untuk membicarakan agamanya kepada siapa pun. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 25. 58 Esack, On Being A Muslim, h. 188. 59 Esack, On Being A Muslim, h. 187. 60 Mengenai sistem patriarki di Afrika Selatan sangatlah kuat, hal tersebut terlihat dalam pemikiran mereka mengenai kepemerintahan: perempuan boleh memerintah jika mereka mampu,
usia lima puluh dua tahun, tepat sebelum Hari Raya ‘Id. Pada saat ibunya meninggal, ibunya sedang bekerja sebagai tukang seterika di Parow.61
B. Latar Belakang Intelektual Farid Esack Esack dididik di sekolah berdasarkan Pendidikan Nasional Kristen yang mempunyai sebuah ideologi keagamaan konservatif. Tujuan pendidikan mereka adalah untuk membentuk warga apartheid yang patuh dan takut pada Tuhan. 62 Sebagaimana tradisi di Cape Town, sejak usia dini ia dikirim oleh ibunya ke madrasah dan berpindah-pindah dari satu madrasah ke madrasah yang lain. Sampai kemudian ketika usianya mencapai dua belas tahun ia bertemu dengan Boeta Samodin Friseslar, gurunya di sekolah baru. Di sekolah tersebut, Esack mendapat pengalaman yang melukai hatinya, yaitu ditertawakan oleh temantemannya saat membaca al-Quran di depan kelas karena ia tidak bisa membedakan antara alif dan ba. Padahal menurut pendapatnya, ia sudah bisa membaca, meskipun surat-surat pendek di bagian akhir al-Quran. Bahkan di sekolah lamanya, ia adalah termasuk anak yang paling pandai di antara temantemannya. Maka, setibanya di rumah, Esack menceritakan peristiwa tersebut kepada ibunya sambil memperlihatkan buku kaidah membaca al-Quran yang ia beli dari gurunya tersebut. Kemudian ibunya berkonsultasi dengan bibinya yang juga guru di sebuah madrasah. Namun menurut bibinya, buku tersebut tidak baik. Dengan alasan tersebut, keesokan harinya, Esack tidak kembali lagi ke sekolah
sementara untuk laki-laki tidak ada prasarat “jika mampu” karena dengan gender laki-laki sudah cukup memenuhi persyaratan untuk jadi penguasa dalam pemerintahan tersebut. Esack, On Being A Muslim, h. 189. 61 Esack, On Being A Muslim, h. 219. 62 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 25.
tersebut. Sebenarnya lebih jauh, menurut Esack karena buku tersebut adalah milik Ahmadiyah Qodaniyah63 yang keberadaan mereka dianggap bid’ah oleh kebanyakan Muslim lainnya. 64 Sejak kanak-kanak sampai remaja Esack sudah dianggap alim oleh masyarakat Muslim sekitarnya. Saat masih sekolah, ia pernah menjadi guru madrasah, dan ketika dewasa, ia menjadi wakil masyarakat yang mengelola masjid. Bahkan, di saat usianya masih kecil, pada umur sembilan tahun, demi kecintaannya pada Islam ia sudah bergabung dengan Jama’ah Tabligh. Namun secara formal, ia bergabung dengan jama’ah tersebut pada usia sepuluh tahun. Semua hari libur dan akhir pekan ia habiskan dengan jama’ah tersebut selama sebelas tahun. Namun karena alasan absolutisme, akhirnya ia keluar, yakni yang menyatakan bahwa “hanya kita, dan kegiatan kita yang penting dan bermakna”. Sedangkan alasan lain adalah ia merasa bahwa selama bergabung dengan jama’ah tersebut, spiritualitasnya hanya merupakan upaya menghindar dari kenyataankenyataan yang tidak menyenangkan tentang dirinya.65 Namun ia juga tidak menghindar untuk mengatakan bahwa ia merasa senang selama sepuluh tahun berada dalam jama’ah tersebut.66 Ketika masih sekolah, Esack pernah ditahan oleh polisi keamanan karena bergabung dengan Aksi Pemuda Nasional (National Youth Action) dan Asosiasi Cendikiawan Kulit Hitam Afrika Selatan (South African Black Scholars Association). Kedua organisasi ini menuntut adanya perubahan sosial politik 63 Ahmadiah Qodian adalah salah satu sekte yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, yang menganggap bahwa ia adalah Nabi. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ahmad, Mirza Ghulam,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 81. 64 Esack, On Being A Muslim, h. 83. 65 Esack, On Being A Muslim, h. 35. 66 Esack, On Being A Muslim, h. 216.
radikal. Markas yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul, adalah gedung Christian Institut, yang dipimpin oleh pendeta Theo Kotze. Pendeta Theo Kotze sangat baik. Dialah yang memberikan fasilitas beribadah bagi para Muslim, dan pendeta Theo jualah yang datang mengunjungi keluarganya setelah ia lepas dari tahanan untuk menghibur dan meyakinkan keluarganya bahwa berurusan dengan polisi sebenarnya merupakan suatu kehormatan.67 Setelah menyelesaikan sekolah madrasahnya, pada umur lima belas tahun Esack mendapatkan beasiswa untuk belajar teologi selama delapan tahun (19741982)68 di sebuah Institut Karachi, Pakistan, yang sebagian besar, menurutnya, teramat konservatif, yang memandang jelek sesuatu yang berbau duniawi.69 Di sana, Esack belajar di dua tempat yang berbeda, yaitu di Jama’ah Al-Islamiyah dan Jama’ah ‘Alimiyah. Di Jama’ah Al-Islamiyah ia mendapat gelar BA dalam hukum Islam, dan di Jama’ah ‘Alimiyah Al-Islamiyah ia juga mendapat gelar BA dalam bidang teologi. Di sana juga ia mendapatkan gelar Maulana.70 Selain belajar di Pakistan, Esack juga pernah belajar hermeneutik di Jerman dan teologi di Inggris selama beberapa tahun. 71 Ia mendapat gelar Ph.Dnya dari University of Birmingham, Inggris dalam bidang Tafsir al-Quran dan pernah tercatat sebagai associate professor dalam studi Islam di University of Western Cape, Afrika Selatan.72 Selama belajar di Pakistan dan tetap aktif di Jama’ah Tabligh yang dipimpin oleh Haji Bhai Padia, ia juga aktif terlibat dalam gerakan Islam Ittihad 67
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 26. The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack.” 69 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27. 70 Irwandi, “Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002), h. 16. 71 Esack, On Being A Muslim, h. 19-20. 72 Esack, On Being A Muslim, h. xiv. 68
Al-Tulaba Al-Muslimin (Persatuan Pelajar Muslim),73 dan sering ikut dalam diskusi yang diadakan oleh kelompok pelajar Kristen
yang bernama
Breakthrough,74kemudian bergabung bersama mereka, melibatkan para medis di penjara pusat Karachi, dan mengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kriten, serta merawat anak-anak terlantar di sebuah rumah75 hingga kemudian pada tahun 1970-an, dia diundang dan diminta oleh Norman Wray untuk mengajar Studi Islam di sekolah yang ia pimpin. 76 Selama delapan tahun tinggal di Pakistan dan bergaul dengan orangorangnya. Esack telah banyak menyaksikan penderitaan yang disebabkan oleh agama, khususnya penderitaan yang dialami kaum minoritas Kristen oleh kaum Muslim. Mereka dilecehkan secara secara sosial maupun agama.77 Padahal
73
Esack, On Being A Muslim, h. 19-20. Breakthrough adalah kumpulan pemuda Kristen yang peduli dengan nasib kaum yang tertindas dan yang berjuang menegakkan keadilan di Pakistan dengan iman mereka. Para pendirinya adalah Norman Wray, Derrick Dean, Lucia Gomes, Kenny Fernandes. Esack, On Being A Muslim, h. 18. 75 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27-28. 76 Esack diminta untuk mengajar di Sekolah Menengah Teknik St. Patrick, Karachi. Dia ditawari untuk mengelola studi Islam di Sekolah tersebut dan mentransformasikannya menjadi suatu program diskusi perkemahan dan kegiatan darmawisata. Lihat Esack, On Being A Muslim, h. 16. 77 Secara sosial, mereka dilarang makan di café-cafe pinggir jalan. Mereka juga dilarang minum dari sumber air kepunyaan kaum Muslim sehingga mereka, Kristen Punjab, harus berjalan bermil-mil jauhnya demi mendapatkan air, padahal sumber air yang dimiliki kaum Muslim lebih dekat. Alasan kaum Muslim melakukan hal itu adalah karena mereka beragama Kristen ketika peristiwa tersebut sampai ke telinga Jerman, maka Jerman membuatkan sumur untuk saudara mereka sesama Kristen di Pakistan. Namun setelah sumur itu selesai dibangun, ternyata perlakuan mereka sama persisnya seperti perlakuan kaum Muslim terhadap mereka. Bedanya yang mereka balas adalah orang Hindu yang dekil dan lemah. Tindakan chauvinisme yang dilakukan oleh kaum Muslim lainya adalah mereka menutup mata pada kebenaran. Anak seorang Kristen yang berusia delapan tahun diadili dan di hukum mati di depan regu penembak ketika umurnya mencapai empat belas tahun. Dia dituduh oleh teman sebayanya, seorang Muslim karena telah menulis kata-kata penghinaan kepada Nabi. Padahal jelas-jelas anak Kristen itu tidak bisa menulis dan membaca. Namun karena desakan dan kekuatan masa dari beratus-ratus tokoh agama serta pengikutnya, pengadilan tidak bisa menyelamatkan anak tersebut karena mereka mengepung pengadilan dan menuntut hukuman mati. Jika para hakim tidak mengikutinya, maka mereka akan mengirimkannya pula pada kematian. Alasan mereka menuntut hukuman mati adalah karena menurut mereka ada konspirasi Kristen untuk menjatuhkan Islam. Setelah pengadilan selesai, kemudian beberapa gereja dan sekolah yang dijalankan oleh penganut Kristen dibakar. Setelah itu sebuah perkampungan Krstiani termasuk sebuah gereja diratakan oleh Buldozer. Pada beberapa desa yang sebelumnya anak-anak Kristen diizinkan untuk bersekolah meskipun duduk secara terpisah di 74
mereka pun, umat Islam Pakistan pernah mengalami perlakuan tidak adil selama berabad-abad oleh kaum Hindu kelas atas ketika mereka masih bersatu dengan India, dan menjadi kaum minoritas.78 Namun pengalaman tersebut ternyata tidak menyadarkan mereka untuk tidak berlaku adil terhadap mereka, kaum minoritas Kristen. Perlakuan mereka sama buruknya, sebagaimana yang pernah dilakukan kaum Hindu kelas atas terhadap mereka saat itu.79 Kasus serupa pun menurut Esack, pernah menimpa kaum minoritas beragama di Afrika Selatan, tapi kebalikannya. Di Afrika Selatan, kaum minoritas Muslimlah yang pernah mendapat perlakuan tidak adil oleh penguasa Kristiani yang mayoritas, dan akibat pemberlakuan apartheid yang dijalankan oleh mereka, hampir dua abad kaum minoritas Muslim mengalami penderitaan; perkawinan mereka dianggap tidak sah dan dihinakan; kewarganegaraannya ditolak; mereka juga tidak boleh memiliki tanah atau menetap di wilayah koloni, walaupun mereka dilahirkan di sana; mereka juga melakukan kerja paksa tanpa dibayar; dihukum sekehendak tuannya dengan cambuk dan dipenjara; mereka juga tidak bisa keluar dari kampung halamannya tanpa izin, dan rumah-rumah mereka dimasuki dan dijamah oleh polisi dengan sewenang-wenang.80 Menurut Esack, tindakan-tindakan buruk tersebut yang dilakukan oleh kaum beragama karena ditopang oleh paham keagamaan mereka masing-masing karena tidak yakin orang Muslim melakukan hal itu karena mereka Muslim,
belakang murid-murid Muslim dikeluarkan dari sejumlah sekolah. Lebih jauh lihat Esack, On Being A Muslim, h. 222-232. 78 Pemisahan kedua daerah tersebut terjadi pada tahun 1948. Para penganut Hindu mendirikan negara sendiri yaitu Republik India, sedangkan para penganut Islam mendirikan Republik Islam Pakistan. Esack, On Being A Muslim, h. 222. 79 Esack, On Being A Muslim, h. 222-223. 80 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 74.
ataupun orang Kristen karena mereka Kristen,81 maka sekembalinya dari Pakistan, tepatnya tahun 1982, untuk menyalurkan aspirasinya, ia bergabung dengan Gerakan Pemuda Muslim (Muslim Youth Movement),82 tapi hanya sebentar karena ternyata pemikiran Esack dengan organisasi tersebut, tidaklah cocok. Oleh karena itu, untuk melanjutkan aspirasinya, pada Juni 1984, ia bersama temannya Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Syamiel Manie mendirikan Call of Islam.83 Di sana mereka membangun kembali apresiasi yang baru terhadap al-Quran. Mereka melakukan pembacaan ulang terhadap ajaran Islam, seperti bagaimana seharusnya memaknai teks al-Quran dalam konteks perjuangan dan kebebasan dari eksploitasi ekonomi, penindasan rasial, atau penindasan terhadap kaum wanita, dan ketidakadilan politis yang dilakukan oleh rezim apartheid karena Esack percaya, bahwa Tuhan telah dan sedang ikut dalam sejarah. 84 Call, hanyalah satu dari sekian banyak organisasi berbasis agama yang terlibat dalam perjuangan dalam Front Demokasi Bersatu (United Democratic Front). UDF adalah organisasi pergerakan Muslim terbesar untuk kemerdekaan yang berdiri pada tahun 1983. Organisasi ini paling aktif dalam memobilisasi aktivitas perjuangan dalam menentang apartheid, diskriminasi gender, dan pencemaran lingkungan, serta menggalang usaha antar iman. 85 Selanjutnya untuk mendukung perjuangan tersebut, Call mengajak kaum beriman dari semua golongan untuk bergabung membentuk solidaritas antar iman dan berjuang bersama melawan apartheid tanpa memandang apakah ia beragama
81
Esack, On Being A Muslim, h. 223. MYM adalah gerakan pemuda Muslim yang didirikan pada 1670. 83 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 79. 84 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 31-32. 85 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 29. 82
Islam atau bukan karena mereka pun, baik itu dari golongan Kristen, Yahudi atau Islam sama-sama mengalami penindasan dan telah menumpahkan darah yang disebabkan oleh kebrutalan apartheid, maka apa salahnya jika para penganut berbagai agama itu bergabung dan berjuang bersama menentang apartheid.86 Oleh karena itu, peranan Call dalam konteks Afrika Selatan yang apartheid paling signifikan dalam membujuk kaum Muslim lainnya untuk berjuang bersama-sama dengan para penganut agama lain dalam menghancurkan apartheid karena apartheid pun dilarang oleh agama, dan menerima secara tanpa ragu mereka, kaum Kristen atau Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman.87 Apartheid menurut Esack jelas-jelas telah melanggar al-Quran karena telah dengan sengaja memilah-milah dan memecah orang secara etnis, yang berarti telah menolak kesatuan umat manusia yang merupakan refleksi tauhid, “manusia adalah bangsa yang satu” (Q.S. al-Baqarah/2: 213), sedangkan orang yang telah mempraktikannya menurut Esack termasuk syirk.88 Namun sangat disayangkan ajakan Call tersebut ditentang oleh kaum konservatif Muslim lainnya. Ternyata hidup berdampingan dengan penganut agama lain meski sama-sama tertindas, menurut Esack, tidak cukup mengubah
86
Ketika sembilan belas pemimpin agama dijebloskan ke sel-sel di Pengadilan Tinggi Wynberg karena telah melanggar larangan memasuki kota Kulit Hitam Gugulethu, pengalaman tersebut telah menjadikan pengalaman penting bagi antar agama di Afrika Selatan. Pasalnya, di sana mereka dari berbagai penganut agama telah mengalami dialog pada tataran tertinggi, dan hanya dalam delapan jam, kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara mereka selama bertahuntahun pun luluh. Mereka sama-sama menemukan komitmen bersama pada dan kebutuhan akan Tuhan. Kemudian Allan Boesak pemimpin Kristen membacakan kitab suci, Pendeta Lionell Louw memimpin koor bersama, Hassan Solomon berdoa dan Esack sendiri berkhutbah dan selanjutnya mereka semua bersatu bahu-membahu mengupayakan masyarakat yang adil. Yakni di antaranya adalah dengan melakukan berbagai aksi jalanan dan kehadiran pendeta-pendeta di pertemuan Call dan ulama-ulama Islam di gereja-gereja, serta sejumlah besar layanan antar iman, memperkuat citra antar agama dalam menentang penindasan di Afsel. Sebagai simbol komitmen keterlibatan mereka, mereka membentuk World Conference Religion and Peace (WCRP) cabang Afrika Selatan pada Agustus 1984. Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66. 87 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66-67. 88 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 130.
seseorang untuk hidup bersama dalam damai. Apalagi pengembangan rasa hormat pada keanekaragaman agama bisa dipastikan tidak akan terjadi.89 Alasan mereka menentang dan menolak ajakan tersebut karena menurut mereka, keikutsertaan orang-orang yang bergabung dengan solidaritas semacam itu akan mengaburkan iman Islam seseorang. Bagi mereka, hanya pembebasan melalui jalan Islamlah yang dapat berhasil karena Islam mempunyai jawaban terhadap masalah-masalah di seluruh dunia, dan MYMlah menurut mereka, yang pantas mewarisi kepemimpinan untuk membebaskan manusia dari pengekangan manusia lain. Oleh karena itu, kaum Muslim punya hak untuk memimpin. Dengan demikian, menurut mereka, orang-orang yang bergabung dengan komunitas semacam, Call of Islam itu adalah kafir, arogan, penuh nafsu dan bathil.90 Maka dengan alasan itulah dalam tulisannya, Esack merumuskan kembali isu-isu teologisnya yang mendasar mengenai istilah iman, islam dan kafir secara sistematis. Diharapkan dengan adanya pembacaaan ulang terhadap istilah-istilah tersebut, adalah mungkin untuk hidup dalam keimanan kepada al-Quran sekaligus dalam konteks kekinian bersama orang-orang yang berbeda agama, bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih manusiawi, terhindar dari segala macam diskriminasi dan eksploitasi, dan bisa jadi untuk alasan itu pula, Esack keluar dari MYM.91 Perubahan pemikiran Esack ke arah yang liberal tersebut, selain dari pengalaman refleksi sosial dan pendidikannya, juga mendapat pengaruh yang
89
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 270-271. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 68-79. 91 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 16. 90
kukuh dari beberapa tokoh pemikir progresif. Di antaranya adalah Paul Knitter,92 Gustavo Gutierrez,93 Juan Luis Segundo,94 Hassan Hanafi95 Amina Wadud,96 Abdullah Ahmed al-Na’im97dan Fatima Mernissi.98 Mereka adalah termasuk orang-orang yang memiliki kerangka acuan yang sama dengan Esack dalam
92
Paul F. Knitter adalah seorang ahli studi agama dari Xavier University, Cincinnati, Amerika Serikat. Ia banyak menulis dan melakukan riset tentang tema pluralisme dan dialog antar agama dibeberapa negara. “Paul F. Knitter,” diakses tanggal 11 http://www.freedom- November 2007 dari Pelayanan » Halaman Utamainstitute.org/id/index.php?page=kegiatan&detail=diskusi&id=224 Gereja 93 Gustavo Gutierrez adalah pastor dari Peru, lahir tahun 1928. Ia banyak menerbitkan buku di antaranya adalah buku Teologia de la Liberacion pada 1971. buku tersebut yang telah menginspirasi para uskup di Amerika Latin. “Gustavo Gutierrez,” diakses dari http://fppi.blogspot.com/2007/07/teologi-pembebasan.htmlPerihal Teologi Pembebasan 94 Juan Luis Segundo, S. J (lahir di Montevideo, Uruguay 31 Maret 1925-meninggal 17 Januari 1996) adalah seorang imam Yesuit dan teolog pembebasan. Ia menulis banyak buku tentang teologi, ideologi, iman, hermeneutika, dan keadilan sosial. Ia juga merupakan teman Gustavo Gutiérrez selama belajar di seminari-seminari Yesuit di Argentina, di Louvain, Belgia dan di Sorbonne. “Luis Segundo,” diakses tanggal 11 November dari http://id.wikipedia.org/wiki/Juan_Luis_Segundo 95 Hassan Hanafi lahir dari leluhur Berber dan Badui, Mesir pada 1935. Ia banyak terlibat dalam aksi kehidupan nasional Mesir daripada kehidupan pribadi dan keluarganya. Ia pernah masuk dalam organisasi al-Ikhwan al-Muslimun(IM). Ia juga Pernah menjadi mahasiswa teladan pada jurusan Filsafat di Universitas Kairo, tapi dicabut statusnya karena dianggap telah melecehkan sejumlah guru besarnya. Ia menciptakan metodologi dan teologi baru Islam dengan pendekatan berdarkan rasionalias, yakni kontemporer filosofis yaitu suatu pendekatan fenomenologi. Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama (Jakarta: Paramadina, 2003), h. xvi-xvii. 96 Amina Wadud adalah profesor pada Universitas Commonwealth di Richmond, Virginia, lahir di Amerika Serikat tahun 1952. Ia adalah seorang Feminis Muslim Afrika-Amerika yang melakukan pendekatan historis terhadap al-Quran, yakni dengan cara mengkombinasikan bacaanbacaan gender di dalam al-Quran dengan pengalaman kaum perempuan Afrika-Amerika. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Penerjemah Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Penyunting E. Kusnadiningrat dan Din Wahid (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 185. 97 Abdullah Ahmed al-Na’im adalah seorang pemikir Muslim terkemuka asal SudanAmerika Serikat lahir tahun 1946, dan dikenal luas sebagai pakar Islam dan HAM dalam perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-negeri Islam dan Afrika. Disamping isu-isu tentang Islam dan politik, dia juga menekuni riset-riset lain yang difokuskan pada advokasi strategi reformasi. Ia mendapat gelar doktor di bidang hukum dari Universitas Khartoum, Sudan dan dari Universitas Cambridge, Inggris serta dari Edinburgh, Skotlandia dalam bidang yang sama, hukum. Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 369. 98 Fatima Mernissi adalah seorang Feminis Arab-Muslim, lahir di Maroko tahun 1940. Dia merupakan generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Dia kuliah di Universitas Muhammad V di Rabat, kemudian mendapat gelar doktor dalam bidang sosiologi di Amerika Serikat tahun 1973. Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 156.
pencarian, peninjauan dan pembentukan hakikat dan peran agama demi keadilan dan pluralisme keagamaan.99
C. Karya-Karya Farid Esack Di antara gagasan-gagasan Esack yang berbentuk esai terdapat dalam buletin-buletin: buletin bulanan al-Qalam yang diterbitkan di Afrika Selatan,100 Assalamualaikum yang diterbitkan di New York, dan Islamica yang diterbitkan di London.101 Selain menulis esai, Esack juga menulis dalam bentuk buku. Jumlah buku yang penulis temukan di media elektronik terdapat tujuh buah, yaitu: Quran Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Agains Oppression, diterbitkan oleh Oneworld, Oxford, England tahun 1997; The Struggle Islam and Politic, London tahun 1988; The Quran: A Short Introduction, diterbitkan oleh Oneworld, Oxford tahun 2002; On Being a Muslim: Finding a Religious Path in the World Today diterbitkan oleh Oneworld, Oxford, England tahun 1999; The Quran: A User’s Guide, Oxford tahun 2005; But Musa Went to Fir’aun!: A Compilation of Questions and Answers about the Role of Muslims in the South African Struggle for Liberation; Children of Africa Confront AIDS: From Vulnerability, Editor Stephen Howard, Ohio University Press tahun 2003.102
99
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 37-38. Esack, On Being A Muslim, h. 16. 101 Esack, On Being A Muslim, h. 11. 102 Artikel diakses pada 10 September 2007 org./wiki/farid_Esak/2007/1110 100
dari
http:/en.
Wikipedia,
Sementara ini, terdapat dua buah buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligous Solidarity Against Oppression dan On Being a Muslim: Finding a Religious Path in the World Today, buku yang pertama diterjemahkan menjadi Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme, penerjemah Watung A. Budiman diterbitkan oleh Mizan, Bandung tahun 2000, sedangkan buku yang keduanya telah diterbitkan oleh dua penerbit, yaitu oleh IRCISoD tahun 2003 dan Erlangga tahun 2004. Yang diterbitkan oleh IRCISoD diterjemahkan oleh Nuril Hidayah menjadi On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural. Sedangkan yang diterbitkan oleh Erlangga diterjemahkan oleh Dadi Darmadi dan Jajang Jahroni menjadi On Being a Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern sekaligus, pengantar oleh Dadi Darmadi dan Farid Esack sendiri. Namun dalam penulisan skripsi ini penulis banyak merujuk pada buku yang telah diterbitkan oleh IRCISoD dari pada Erlangga. Alasannya adalah karena penulis lebih dulu menemukan buku yang telah diterbitkan oleh IRCISoD dari pada buku yang telah diterbitkan oleh Erlangga. Adapun mengenai isi kedua buku tersebut, merupakan hasil refleksi dari perjalanan intelektual dan aktivitas Esack selama ia tinggal di Afrika Selatan dan di berbagai negeri yang ia singgahi. Dalam bukunya yang pertama, di antaranya adalah Esack lebih banyak berbicara dalam konteks Afrika Selatan, sedangkan pada bukunya yang kedua, selain dalam konteks Afrika Selatan, ia juga bebicara dalam konteks berbagai negeri, seperti India, Pakistan, dan Makkah.
Kemudian dalam bukunya yang pertama, Esack banyak menuliskan gagasan-gagasan teologisnya yang sudah mapan, seperti bagaimana seharusnya memaknai dan menggunakan istilah iman, islam, dan kafir agar terhindar dari pemaknaan dan penggunaan yang sempit. Ia juga menjelaskan tentang pentingnya perangkat hermeneutika dalam memahami al-Quran demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan, hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama tanpa harus menjauh dari kitab suci, dan bukunya yang kedua, lebih berisi catatancatatan yang gamblang dan ringan, semacam catatan keseharian (diary) karena penjelasan yang ia tulis lebih rinci lagi, seperti bagaimana ia mengomentari ketidakadilan dan penderitaan yang ia lihat dan rasakan selama ia tinggal di Afrika Selatan dan Pakistan. Kemudian kecurigaan-kecurigaan yang ia pertanyakan
dalam
hatinya
terhadap
kebaikan
di
luar
agamanya.
Ia
mempertanyakan apakah adil jika Tuhan menempatkan tetangganya, nyonya Batista atau tuan Frank dalam Neraka.103 Padahal mereka telah banyak membantu dan meringankan beban penderitaan keluarganya di saat mereka kelaparan dan tidak punya uang. Tidak itu saja, mereka juga adalah orang-orang yang taat dalam beribadah.104 Bisa dikatakan buku yang keduanya ini, On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural sebagai pelengkap buku yang pertama, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme karena penjelasannya saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Terkadang jika orang membaca bukunya yang kedua kemudian tidak paham, maka ia bisa
103
Mengenai profil nama-nama tersebut, telah dijelaskan pada bagian latar belakang sosial Farid Esack pada halaman 2 dari tulisan ini. 104 Esack, On Being A Muslim, h. 219.
membacanya dan memahaminya pada buku pertama. Begitu pula sebaliknya jika ia membaca buku yang pertama kemudian tidak memahaminya, maka dianjurkan untuk membaca bukunya yang kedua. Selanjutnya dalam buku The Quran: A Short Introduction, Esack mengatakan, bahwa realitas mempunyai otoritas yang lebih penting dari pada teks,105 dan dalam bukunya But Musa Went to Fir’aun!: A Compilation of Questions and Answers about the Role of Muslims in the South African Struggle for Liberation, Esack menjelaskan tentang pentingnya politik sebagai medium untuk menyampaikan aspirasi serta mengubah stuktur eksploitatif melalui prosedur-prosedur demokratis, untuk mengkampanyekan ide-ide perlawanan terhadap rezim apartheid, ia tuliskan kisah-kisah para Nabi tentang perjuangannya melawan penindasan dan ketidakadilan di masyarakatnya. Buku ini berukuran kecil dan berisi tanya jawab hanya berjumlah 84 halaman karena sebenarnya, buku ini ditulis untuk keperluan Call of Islam yang sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan perlawanan terhadap rezim Apartheid.106
105
“Esack Books,” diakses pada 10 September 2007 dari http://books.goole.com/books?id=6 106 Burhanudin, “Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif,” h. 29-30.
BAB III PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA
Pada bab ini penulis akan menjelaskan pluralisme agama dalam perpektif agama-agama; Islam dalam al-Quran, Hindu di antaranya dalam Bhagawad-Ghita, Buddha dalam ajaran dhammanya dan Kristen dalam wahyu Allah dalam Kristus, Matius, Yohanes dan metafora astronominya. Di bab ini pula penulis sedikit akan menyinggung pembahasan mengenai alasan orang atau sekelompok orang yang tidak menyetujui pluralisme agama yang terdapat dalam beberapa agama-agama. Namun untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan pembahasan-pembahasan tersebut sebagai berikut:
A. Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam Pluralisme agama dalam perspektif Islam tercantum dalam Q.S alBaqarah/2: 62107, Q.S. al-Maidah/5: 69108 dan Q.S. al-Hajj/22: 17109. Teks-teks tersebut menjelaskan tentang pengakuan terhadap keanekaragaman agama-agama, baik itu agama Yahudi, Sabi’in, Nasrani atau Najusi. Yang terpenting menurut
107
Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”. 108 Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in dan Nasrani, siapa saja yang benar-benar beriman, kepada Allah dan Hari Kemudian, dan beramal saleh, maka tak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” 109 Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang majusi, dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu”.
teks tersebut adalah beriman kepada Allah, Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan di sisi Tuhan. Oleh karena itu, mereka tidak perlu khawatir dan bersedih hati.110 Selain penjelasan tentang pengakuan terhadap keanekaragaman agamaagama, pesan ketuhanan yang disampaikan oleh para nabi, sejak Ibrahim sampai Muhammad adalah sama, yakni berserah diri kepada Tuhan. Hal tersebut tercantum dalam Q.S. al-Anam/6: 108111, Q.S. al-Syuro/42: 13112, Q.S. al-Nisa/4: 131113, Q.S. al-Baqarah /2: 132114 dan Q.S. Ali Imran/3: 85115, sedangkan Q.S alBaqarah/2: 256116 menjelaskan legitimasi tidak ada paksaan dalam beragama.117 Salah satu tokoh muslim Indonesia yang mendukung gagasan tersebut adalah Nurcholis Madjid (1939-2005), atau yang sering disapa Cak Nur. Pluralisme menurutnya, adalah sistem nilai yang memandang secara positif-
110 Jalaluddin Rakhmat, “Menundukkan Makna Pluralisme Agama,” Buletin Kebebasan V, no. 3 (Mei 2007), h. 22. 111 Terjemahannya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat mengangap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang trelah mereka kerjakan. 112 Terjemahannya: “Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memiliah orang yang dia kehendaki kepada agama tauhid dan dan memberi petunjuk kapada (agama)-nya bagi orang yang kembali kepada-Nya”. 113 Terjemahannya: “dan milik Allahlah apa yang ada di langit baik yang di bumi dan sungguh kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab sebelum kamu dan jiga kepadamu gar bertaaqwa kepada Allah”. 114 Terjemahannya: “Dan Ibrahim mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub “wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim”. 115 Terjemahannya: “Siapa saja yang mencari din selain Islam dia tidak akan diterima dan diakhirat ia temasuk orang yang rugi. 116 Terjemahnnya: “Tidak ada pakasaaan dalam din, sesunguhnya telah jelas perbedaan antar jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpengang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar, Maha mengetahui”. 117 Usman, Fatimah, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 36.
optimis terhadap kemajemukan dengan menerimanya sebagai kenyataaan dan berbuat baik sesuai dengan kenyataan itu,118 dan tidak boleh hanya dipahami sebagai bentuk kemajemukan, beraneka ragam terdiri dari berbagai suku dan agama, tapi hal tersebut harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, hal tersebut merupakan keharusan bagi keselamatan umat manusia119 karena merupakan sebuah aturan, sunatullah120 yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari, dan Islam adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui hak-hak agama lain.121 Bangunan epistemologi Cak Nur tentang pluralisme diawali dengan tafsiran al- Islam. Al-Islam menurutnya adalah sebagai sikap pasrah terhadap kehadiran Tuhan. Kepasrahanlah yang menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Karakter tersebut dalam al-Quran diistilahkan dengan kalimatun sawâ, titik temu, ajaran bersama yang menjadi titik pertemuan, common platform antar berbagai kelompok manusia, dan hal tersebut menurutnya telah diisyaratkan dalam Q.S. Ali Imran/3: 64.122
118
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2000), h. Ixxv. 119 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramida, 2001), h. 31. 120 Sunatullah adalah hukum Allah yang tidak pernah berubah dan bersifat pasti. Tercantum dalam Qs. Fathir/35: 43: “Karena kesombongan mereka di muka bumi dan karena rencana mereka yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan berlakunya kepada orang-orang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah dan sekali-kali tdak pula tidak akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 176. 121 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixxvii- Ixxviii. 122 Terjemahannya: "Katakanlah (Muhammad) wahai Ahli Kitab marilah kita menuju kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain Tuhan-Tuhan selain Allah". Lihat Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 184-188.
Dalam al-Islam terkandung dua makna yaitu al-Istislam (sikap berserah diri) dan al- Inqiyad (tunduk patuh).123 Kedua makna tersebut mengacu kepada sikap penuh pasrah dan berserah diri serta tunduk dan patuh kepada dzat yang Maha Esa yaitu Allah dan tiada serikat bagi-Nya. 124 Hal tersebutlah menurut Cak Nur, intisari ajaran agama yang benar disisi Allah. Tanpa sikap tersebut, menurutnya, suatu keyakinan keagamaan akan tidak memiliki kesejatian, sekalipun secara sosiologis dan formal kemasyarakatan seseorang beragama Islam. Ia tetap akan tertolak,125 dan hal tersebut telah disampaikan oleh para nabi kepada umatnya, meskipun syariatnya berbedabeda.126 Pendapat Cak Nur tersebut disambut baik oleh Romo Magnis.127 Dalam tulisannya ia menyatakan dukungan atas dobrakan Cak Nur yang menyatakan bahwa istilah Islam tidak ditujukan kepada orang yang secara formal menjadi anggota agama Islam, melainkan sikap orang yang menyerahkan hatinya dengan tulus kepada yang Ilahi sesuai dengan keyakinan agamanya, itulah orang Islam, maka implikasinya, siapa saja yang menyerahkan hatinya dengan tulus kepada
123
Ia mengutip pernyataan Ibn Taymiyah (1263-1328) mengenai pengertian al-islam. Menurut bn Taymiyah, perkataan al-islam mengandung pengertian al-istislam (sikap berserah diri) dan al-inqiyad (tunduk patuh) serta al-ikhlash (tulus). Ia juga menyatakan bahwa “Pangkal agama yaitu al-islam, itu satu, meskipun syariatnya bermacam-macam, maka Nabi Muhammad bersabda dalam hadis shahih, “kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu, dan para nabi itu bersaudara tunggal, ayah dan lain ibu bersaudara”. Lebih jauh lihat Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 181-182. 124 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182. 125 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182. 126 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 2-3. 127 Nama lengkapnya adalah Franz Magnis-Suseno. Ia adalah rohaniawan yang lahir tahun 1936 di Eckersdorf, Jerman, dan sejak tahun 1961 hidup di Indonesia. Ia adalah guru besar Filsafat Driyarkara di Jakarta dan guru besar luar biasa di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Ia juga adalah salah satu teman dekatnya Cak Nur (almarhum). Selain ia seorang rohaniawan, ia juga adalah seorang penulis yang sangat produktif. Telah banyak karangan ilmiah dan populer yang ia tulis, mulai dari etika, sosial, sampai filasafat. Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 283.
yang ilahi, dia akan masuk surga. Dengan demikian, menurut Romo Magnis, Cak Nur telah memperlihatkan bahwa paham keselamatan Islam bukan eksklusif, seperti lazimnya anggapan umat Islam, melainkan inklusif sekaligus pluralis. Oleh karena itu, orang Kristiani, Yahudi, Budha, Hindu, Konghucu dan penganut agama lain dapat masuk surga, asal mereka menyerahkan diri pada Yang Ilahi.128 Adapun perbedaan pendapat yang terjadi kemudian antara sesama kaum beriman, menurut Muhammad Asad, adalah akibat dari kebanggaan sektarian dan saling menolak karena pada mulanya, intisari yang terkandung dalam agama adalah paham kemahaesaan Tuhan. Bagi Asad, satu-satunya agama yang benar dalam penglihatan Tuhan adalah sikap berserah diri manusia kepada-Nya.129 Menurut Cak Nur, jika berselisih, maka harus selalu diusahakan ishlah karena kitab suci telah mengajarkan prinsip bahwa semua orang yang beriman adalah bersaudara dan jika berselisih maka harus selalu diusahakan ishlah.130 Terlebih lagi al-Quran menegaskan, bahwa siapa pun dapat memperoleh keselamatan asalkan dia beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berbuat baik, akan mendapat keselamatan tanpa memandang apakah dia keturunan Ibrahim atau bukan.131
Beriman
kepada
Allah
adalah
mempercayai
kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun
128
Franz Magnis-Suseno, “Terima Kasih, Cak Nur, Kesaksian Intelektual,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Ahmad Rifki, ed., Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 102-103. 129 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 183-184. 130 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. xii. 131 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 187-188.
yang lain sehingga konsekuensi dari percaya kepada Allah, adalah harus bersandar dan menggantungkan harapan hanya pada-Nya (tawakal). 132 Iman menurut Cak Nur, tidak hanya sekedar percaya karena setan pun percaya kepada Tuhan. Bahkan iblis sempat berdialog dan berargumentasi langsung dengan Tuhan. Sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai tempat menyandarkan diri dan menggantungkan harapan yang menjadikan Tuhan satusatunya arah dan tujuan kegiatan hidup dengan jalan ridla dan lillahita’ala adalah wujud dari iman,133 sedangkan yang dimaksud dengan kategori perbuatan baik adalah amal saleh dan budi luhur. Amal saleh adalah setiap tingkah laku pribadi yang menunjang usaha mewujudkan tatanan hidup sosial yang teratur dan berkesopanan, dan budi luhur adalah konsekuensi nyata dari taqwa.134 Taqwa adalah kesadaran ketuhanan yang bersifat monoteisik, yaitu kesadaran tentang adanya Tuhan yang Maha Hadir dalam hidup. Pengertian mendasarnya adalah sejajar dengan pengertian rabbâniyyah (semangat ketuhanan) sehingga dengan kesadaran tersebut mendorong seseorang untuk berbuat sesuai dengan hati nuraninya dan menempuh hidup mengikuti garis yang diridlai-Nya dan sesuai dengan ketentuan-Nya karena pada dasarnya takwa berasal dari semangat ketuhanan. Dalam konteks sosial bentuknya, seperti zakat. Terlebih lagi Nabi Muhammad mengatakan bahwa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan budi luhur.135
132
Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 4 -5. Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 94. 134 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 45. 135 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 45. 133
Namun tentunya ada juga dari beberapa golongan kaum eksklusif136 yang tidak sependapat dengan pemahaman Cak Nur tersebut. Menurut golongan ini, pengertian Islam hanyalah untuk nama sebuah agama yakni agama Islam. Makna islam menurut golongan ini adalah sebatas bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad dalah utusan Allah, menegakkan shalat, zakat, sahaum ramadan, dan haji ke Baitullah jika mampu.137
B. Pluralisme Agama dalam Perspektif Hindu Pluralisme agama dalam perspektif Hindu terdapat dalam sanata dharma, yakni
yang
menyatakan,
bahwa
kebajikanlah
yang
harus
jadi
dasar
kontekstualisasi agama dalam situasi apa pun sehingga agama menjadi selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis dan keluhuran hidup manusia.138 Pandangan tersebut telah dijelaskan dalam agama Hindu Klasik sejak agama ini lahir. Alasannya adalah karena menurut agama tersebut, seluruh segi dunia berasal dari satu leluhur yang sama. Oleh karena itu, tidak diperlukan persamaan, baik itu berupa bunyi, bentuk, jumlah, warna, atau gagasan, termasuk agama yang bermacam-macam tersebut.139 Bagi agama Hindu, agama haruslah dipahami sebagai perspektif-perspektif yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan, maka dengan adanya paham tersebut, agama Hindu mengajarkan keharusan bersikap toleran dan terbuka
136
Golongan eksklusif adalah golongan yang tidak menerima keberadaan agama lain. Mereka menganggap bahwa keselamatan hanya ada pada agamanya sendiri. Lihat, Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 44. 137 Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI Yang Tegas Dan Tidak Kontroversial (Jakarta: Pustaka al Kaustar, 2005), h. 100. 138 Sukidi, New Age Wisata Spiritual Lintas Agama (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 28. 139 Harold Coward, Pluralisme:Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 117.
terhadap agama-agama lain. Bahkan dalam agamanya sendiri, dituntut adanya toleransi yang besar untuk merangkul semua sekte karena makin banyak segi Ilahi yang dapat diamati, maka makin sempurnalah pemahaman kita.140 Pada dasarnya agama tersebut sudah memperkirakan adanya perbedaan mengenai yang Ilahi. Hal tersebut terlihat dalam penjelasan mengenai pengertian tentang konsep. Menurut ajaran ini, setiap konsep adalah benar dalam perpektifnya sendiri. Artinya setiap pandangan merupakan suatu kesimpulan logis yang didasarkan pada praanggapan pada perspektifnya sendiri. Dengan demikian karena keterbatasan manusiawi, terpaksa manusia harus memilih salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk untuk menyalurkan apresiasi kecintaanya pada Yang Ilahi.141 Terdapat dua perspektif pluralisme agama dalam agama Hindu, yakni yang membiarkan eksistensi agama-agama dan yang menyatukan agama-agama. Yang
mengakui
eksistensi
agama-agama,
selain
Hindu
Klasik
adalah
Radhakrishnan.142 Ia mengatakan bahwa agama tidak harus sama dengan suatu wahyu yang akan kita capai dalam iman sebagai suatu upaya untuk menyingkapkan lapisan-lapisan terdalam keberadaan manusia dan menjalin hubungan abadi dengan-Nya. Menurutnya, agama-agama yang berbeda harus mengembangkan semangat saling mengerti dan menerima kultus-kultus mengenai kelompok lain. Yang Nyata ada satu. Yang berpengetahuan menyebutnya dengan bermacam-macam nama: Agni, Yama, Matarisvan, sebagaimana yang dikatakan
140
Coward, Pluralisme, h. 117-118. Coward, Pluralisme, h. 118. 142 Radhakrishnan adalah seorang filosof dan apologi Hindu. Dia lahir tahun 1888 di India Selatan. Dia juga merupakan profesor agama-agama timur dan budaya, dosen filsafat di Mysore Calkuta dan di Universitas Hindu Banares. “Radhakrishnan” dalam Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol. VII-VIII (New York: Collier Macmillan, 1967), h. 62 141
dalam Upanisad, Brahman ada satu; dewa-dewa yang beda hanyalah perwujudan bermacam-macam aspek dari Brahman.143 Sikap demikian juga dinyatakan jelas dalam Bhagawad-Ghita, bahwa Yang Ilahi menerima orang-orang yang datang kepada-Nya melalui jalan agama yang berbeda-beda, dan agama Hindu menurutnya telah menyesuaikan dirinya dengan rahmat yang tak terbatas untuk setiap kebutuhan manusia tersebut. Agama ini mempunyai sikap simpati dan hormat sehingga agama ini tidak segan-segan menerima setiap segi Allah yang dipahami manusia. Sikap tersebut telah mampu menyatukan keanekaragaman agama. Agama ini juga menyatakan bahwa masalah agama adalah masalah kepuasan pribadi. Syahadat dan dogma, kata dan lambang, hanya berfungsi sebagai alat karena bagi ajaran ini, nama yang digunakan untuk menyebut Allah dan upacara yang dilakukan untuk mendekati-Nya bukanlah persoalan. Selain mengutip Bhagawad-Ghita, Radhakrishnan pun membenarkan apa yang telah diucapkan oleh Yesus yang mengatakan bahwa orang yang melakukan kehendak Allah adalah saudara-saudari-Ku dan ibu-Ku.144 Bagi Radhakrishnan, keabsahan setiap agama terdapat dalam nilainya sebagai alat, yaitu jika setiap agama memungkinkan pengikutnya mencapai kebahagiaan. Kebahagian adalah letak keabsahan dari sebuah agama. Letak keabsahan orang Hindu terletak kepada melagukan Veda di tepi sungai Gangga, sedangkan bagi orang Cina dengan merenungkan ajaran-ajaran Konghuchunya, bagi orang Jepang adalah memuja patung Budha bagi orang Eropa adalah percaya
143
Coward, Pluralisme, h. 137. Coward, Pluralisme, h. 138-139.
144
pada Kristus, bagi orang Arab membaca al-Quran, dan bagi orang Afrika adalah memuja Fetis.145 Fakta tersebut merupakan penegasan setiap agama atas keabsahannya, bahwa hanya melalui agama yang bersangkutan para pengikutnya menemukan diri. Lebih jelasnya Radhakrishnan ingin mengatakan, bahwa pembebasan manusia itu beraneka ragam sesuai dengan sifat dan latar belakang budayanya. Agama Kristen sangat cocok untuk orang Eropa yang baginya tradisi lain seperti agama Hindu atau Budha sama sekali tidak cocok.146 Lebih lanjut Radhakrishnan menjelaskan, bahwa kepercayaan terhadap satu agama, akan membunuh kepercayaan terhadap agama-agama lain karena tindakan tersebut cenderung berusaha memaksakan iman pada orang lain, dan hanya akan merampok kekayaan agama, yakni keanekaragaman jalan menuju Allah, dan tentu saja ajaran tersebut bertolak belakang dengan ajaran Hindu yang mengakui kebenaran yang beragam pada setiap agama.147 Dengan demikian pemecahan masalah pluralisme keagamaan, menurut Radhakrishnan, bukanlah dengan menghancurkan atau menghilangkan tradisitradisi agama individu, melainkan dengan menegaskan dan menghormati kepercayaan dari orang lain karena baginya tradisi adalah merupakan kenangan masyarakat akan jalan dan sarana yang mereka gunakan untuk mencapai pembebasan.148 Berbeda dengan Radhakrishnan, adalah Kabir dan Namdev, mereka adalah dua orang Hindu sejati yang memadukan ajaran agama Islam dan Hindu. Kabir
145
Coward, Pluralisme, h. 139. Coward, Pluralisme,, h. 139. 147 Coward, Pluralisme, h. 140. 148 Coward, Pluralisme, h. 140. 146
mengatakan bahwa Allah yang sama yang dicari dalam semua agama, yang berbeda hanya cara menamakan-Nya. Beberapa ajaran yang diambil dari ajaran Islam di antaranya adalah menjauhkan diri lambang-lambang kehidupan agama termasuk kasta, berhala-berhala dan praktek-praktek ziarah termasuk penolakan terhadap pemujaan berhala-berhala.149 Selain Namdev dan Kabir adalah Nanak. Ia adalah seorang penganut Hindu yang menyatukan ajaran Islam dan Hindu, menjadi agama Sikh. Namun latar belakang kebijaksanaannya lebih banyak dipengaruhi oleh agama Hindu. Ia menyatakan bahwa kegiatan kasih sayang dan penuh semangat dituntut dari semua orang. Allah adalah yang mutlak tanpa bentuk (nirguna) dan sekaligus adalah realitas yang terwujud (saguna).150 Selanjutnya adalah Keshub Chunder Sen. Ia adalah seorang penganut Hindu yang memadukan ketiga ajaran agama menjadi satu, yakni Islam, Hindu, dan Kristen. Dasar pemikirannya adalah bahwa semua semua yang baik dan mulia yang ada dalam yang lain harus diambil. Masukkan dan terimalah seluruh umat manusia dan semua kebenaran. Ia mengatakan hendaknya orang Hindu dan Kristen mengerti dan memahami keduanya. Tidak saling membenci dan meniadakan.151
C. Pluralisme Agama dalam Perspektif Buddha Paham pluralisme agama dalam agama Buddha termuat dalam sikap-sikap yang ditujukan oleh sang Buddha ketika ia dituduh oleh seorang pertapa akan
149
Coward, Pluralisme, h. 126-128. Coward, Pluralisme, h. 129-130. 151 Coward, Pluralisme, h. 133-134. 150
meruntuhkan sekte-sekte agama lain. Di antaranya adalah: ia hanya akan menerima murid yang pandai, cerdik dan jujur, dari pada seorang murid yang berakal licik dan penipu; ia tidak berharap dapat membuat orang lepas dari janjijanji agama yang mereka anut; ia tidak berharap orang lain meninggalkan jalan hidup yang mereka tempuh; ia tidak berharap dapat membuat jalan orang lain di jalan yang salah atau meninggalkan jalan-jalan yang baik. Tidak sama sekali.152 Sikap-sikap yang diajarkan oleh sang Buddha tersebut menandakan bahwa ia mengakui nilai-nilai yang terdapat dalam agama-agama lain, dan tidak perlu merubah label-labelnya. Tujuan ia mengajar, hanya menginginkan para penganut baru meningkatkan kebenaran dan kebaikan seperti yang diajarkan dalam agama yang mereka anut sebelumnya. Dengan demikian tuduhan yang disampaikan oleh sang pertapa tidak terbukti karena pada kenyataanya sikap-sikap yang diajarkan oleh Sang Buddha, tidaklah seperti yang dituduhkan oleh sang pertapa. Sebaliknya, sang Buddha sangat toleran terhadap agama lain.153 Sikap lainnya yang menunjukkan bahwa ia sangat pluralis adalah ketika ia mengkritik para Pendeta Brahmin yang mengklaim kitabnya sajalah yang memuat kebenaran, dan hanya dia sajalah yang harus mengajarkan kebenaran itu, sekaligus menyatakan yang lain salah. 154 Sikap-sikap yang ditujukan oleh sang Buddha tersebut, sesuai dengan ajarannya yakni dhamma. Ajaran tersebut selain mengajarkan sikap yang pluralis, juga mengajarkan hal-hal yang baik yang harus diperbanyak dan menjauhkan diri dari korupsi sehingga dengan kemampuan yang luar biasa orang akan mencapai
152
Rahman, Agama untuk Manusia, h. 123. Rahman, Agama untuk Manusia, h. 129. 154 Rahman, Agama untuk Manusia, h. 129. 153
dan masuk dalam pengetahuan dan menyadari secara penuh kebijaksanaan yang sempurna.155
D. Pluralisme Agama dalam Perspektif Kristen Pluralisme
agama
dalam
perpektif Kristen,
selain menggunakan
pendekatan wahyu Allah dalam Kristus, ada juga yang menggunakan pendekatan metafora astronomi. Salah satu tokoh Kristen yang membicarakan pluralisme agama dengan menggunkan pendekatan metafora astronomi ini adalah John Hick. Ia menggunakan pendekatan ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Ptolemeus dan Copernicus, yakni membicarakan tentang apa yang menjadi pusat tata surya di planet ini, apakah matahari atau bumi. Ptolemeus mengatakan bumilah yang menjadi pusat tata surya. Matahari dan planet lainnya mengelilingi bumi. Sebaliknya, Copernicus mengatakan bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya, maka jika dikaitkan dengan agama-agama, Ptolemeus mengatakan, bahwa agama Kristenlah yang menjadi pusat seluruh agama, dan agama lain berputar mengelilinginya. 156 Lain halnya dengan Hick, ia mengatakan bahwa yang menjadi pusat bukanlah agama Kristen atau pada salah satu agama-agama yang lain, melainkan Allah. Dia adalah matahari, sumber azali dari cahaya dan kehidupan, yang digambarkan oleh semua agama. Dengan caranya masing-masing agama-agama mengelilingi pusat, sesuai dengan apa yang mereka pahami dan pengalaman
155
Rahman, Agama untuk Manusia, h. 125. Coward, Pluralisme, 57-59.
156
mereka mengenai yang tak terbatas itu sekalipun ada perbedaan di antara bermacam-macam wahyu. Menurutnya, kita dapat percaya bahwa dimana-mana Allah sedang bekerja pada jiwa manusia. Sebagai bentuk kongkrit lainnya adalah agama-agama mempunyai banyak nama untuk menyebut realitas yang tak terbatas itu. Ada yang menggunakan nama Allah, Yahwe, Shiva, Vishnu, atau Bapa Surgawi. Sedangkan Hick lebih suka menggunakan istilah “Yang Nyata” untuk menunjukkan realitas yang tak terbatas itu.157 Selanjutnya salah satu tokoh yang pendekatan melalui wahyu Allah dalam Kristus adalah Wilfred Smith. Menurutnya, secara moral wahyu Allah dalam Kristus menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Oleh karena itu, kita harus berusaha menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani perbedaan-perbedaan, dan mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa yang sedang berupaya menemukan Dia yang sedang dicari-cari olehNya sehingga mustahil jika orang Kristen mengatakan kami diselamatkan, kalian orang Islam, Hindu atau Budhis dihukum. Padahal mereka semua, orang Islam, Hindu atau Budhis adalah orang yang saleh dan cerdas. Tidak logis bagi Smith jika mereka dihukum dengan alasan mereka bukan seorang Kristiani.158 Dasar yang menyatakan pandangan tersebut terdapat pada wahyu Kristus, yang mengatakan bahwa Allah mengulurkan tangan kepada semua orang dalam cinta, dan sebagai makhluk Allah yang terbatas karena menurrtnya, kita tidak dibatasi oleh cinta itu. Ia juga mengatakan bahwa jika kita ingin berlaku adil kepada sesama, agama haruslah dipandang sebagai suatu perjumpaan yang
157
Coward, Pluralisme, h. 59-60. Coward, Pluralisme, h. 62.
158
penting dan berubah-ubah antara Yang Ilahi dan manusia karena semua agama mengarah pada tujuan akhir, yakni Allah.159 Oleh karena itu, visi yang ia tawarkan kepada agama-agama adalah pertemuan antarpribadi, bukan dalam kesunyian telaah para teolog karena menurutnya, dengan hal itu kita akan mengenal Allah, dunia kita, dan diri kita sendiri. Kita dapat mengenal satu sama lain dalam kebersamaan. Tentunya atas dasar hormat, kepercayaan, persamaan dan kasih timbal balik. Ia juga mengatakan bahwa kita harus berhenti membicarakan agama lain sebagai dia (objek), ke mereka (subjek), tetapi harus berkembang menjadi kami. Aku dan kamu, kita semua berbicara tentang kita karena kita adalah sesama anggota yang sederajat dari komunitas keagamaan yang meliputi seluruh dunia.160 Selain Hick dan Smith adalah Hans Kung, Ia mengatakan, bahwa ada suatu hukum yang tanpa syarat dan kategoris sehingga bisa dipraktikkan oleh seluruh individu atau kelompok kita hidup dalam kedamaian. Hukum tersebut adalah hukum emas. Dalam Konfusius dikatakan, bahwa apa yang kamu sendiri tidak ingin lakukan jangan lakukan pada orang lain. Hal ini setara dengan yang dikatakan dalam Yahudi, jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan padamu. Dalam khutbahnya dikatakan bahwa apa pun yang kamu inginkan pada orang lain untuk dilakukan padamu, lakukan pula pada mereka.161 Namun sebagaimana dalam pandangan Islam, pandangan eksklusifisme dalam Kristen pun ada, yang terumus dalam Injil: akulah jalan kebenaran dan
159
Coward, Pluralisme, h. 63-64. Coward, Pluralisme, h. 65. 161 Rahman, Agama untuk Manusia, h. 259-261. 160
hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada bapak kalau tidak melalui aku (Yohanes/ 14: 6), atau yang dikenal dengan exstra ecclesian nulla salus, tidak ada keselamatan di luar Gereja.162 Bagi yang menganut paham tersebut, bagi mereka Yesus Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik. Wahyu universal untuk seluruh umat lain. Oleh karena itu, menurut mereka agama lain adalah sebagai kegelapan rohani, sedangkan pengikutnya dikutuk. Menurut mereka agama-agama lain dapat memiliki pengetahuan alami mengenai Allah, tapi pengetahuan tersebut tidak akan memberi keselamatan karena pengetahuan itu secara utuh ada dalam Kristus. Mereka meyakini kebenaran hadir paling sempurna dalam Yesus Kristus. Selain mendasarkan
pandangan
dalam
Yohanes,
mereka
juga
mendasarkan
pandangannya dalam Matius/ 28: 18-19: kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam bapak dan anak dan roh kudus.163
162
Rachman, Islam Pluralis, h. 44. Coward, Pluralisme, h. 68-70.
163
BAB IV PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF FARID ESACK
Pada bab ini penulis akan membahas pengertian pluralisme agama dalam beberapa perspektif dan pluralisme agama dalam perspektif Esack, namun pada bab ini penulis juga akan membahas pengertian ulang istilah iman, islam dan kafir dalam perspektif Esack karena penggunaan maknanya sangat kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang, khususnya dalam memahami pluralisme agama. Oleh karena itu, pembahasan mengenai istilah tersebut menjadi sangat penting untuk terciptanya wawasan pluralisme agama dalam berbagai agama, khususnya dalam Islam. Pasalnya, menurut Esack, selama ini istilah tersebut telah mengalami pemaknaan yang sempit, tidak lagi dipahami sebagai kualitas yang dapat dimiliki individu, dinamis dan beragam intesitasnya sesuai dengan tahapan individu, tapi menjadi pagar karakteristik etnis tertentu yang mengakibatkan terjadinya konflik antar kaum beragama. Oleh karena itu, dalam memaknai istilah tersebut, Esack lebih menelusuri makna yang kontekstual dan eksistensial dalam situasi sekarang, khususnya dengan pluralisme agama. 164 Adapun tujuan Esack menelusuri kembali makna-makna tersebut adalah agar orang atau sekelompok orang tidak sembarang untuk mendefinisikan siapapun sebagai kawan dan lawan, bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih manusiawi.165 Selanjutnya, mengenai pembahasan-pembahasan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 164
Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah Watung A. Budiman (Badung: Mizan, 2000), h. 155-156. 165 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 38.
A. Pengertian Pluralisme Agama Jika dilihat dari segi bahasa, pluralisme terdiri dari dua kata, plural dan isme. Plural yang menyatakan jamak, lebih dari satu atau dua,166 sedangkan isme yang menyatakan paham atau sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, ekonomi, yang biasa dipakai sebagai akhiran dan dapat dilambangkan pada setiap kata atau agama.167 Oleh karena itu, jika kata tersebut dilambangan pada agama, maka kata tersebut berarti paham tentang kemajemukan agama. Dalam kamus ilmiah populer, plural adalah bentuk jamak yang berarti banyak, yang menyatakan, bahwa realitas terdiri dari banyak substansi.168 Selanjutnya dalam kamus filsafat, pluralisme adalah pluralism, dalam bahasa Inggris, sedangkan dalam bahasa Latinnya adalah pluralis. Keduanya menyatakan arti jamak. 169 Dalam kamus tersebut ditulis terdapat tiga ciri keyakinan-keyakinan yang menyatakan pengertian pluralism. Di antaranya adalah pertama, yang menyatakan bahwa realitas fundamental bersifat jamak, kebalikan dari dualisme dan monisme.170 Ciri yang kedua, adalah menyatakan bahwa ada banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang tidak dapat diredusir dan pada dirinya independen. Ciri yang terakhir adalah menyatakan bahwa alam semesta pada dasarnya tidak tertentukan dalam bentuk; tidak memiliki kesatuan atau
166
J. S Badudu, Kata-Kata Serapan Asing Dalam B. Indonesia (Jakarta: Kompas, 2003),
h. 279.
167
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P & K), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 340. 168 Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer (Surabaya: Karya Harapan, 2005), h. 505. 169 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 853. 170 Dualisme menyatakan, bahwa realitas fundamental ada dua, sedangkan monisme menyatakan, bahwa realitas fundamental hanya satu. Lihat, Bagus, Kamus Filsafat, h. 853-855.
kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental.171 Jika merujuk pada tiga ciri tersebut, maka pengertian pluralisme agama, dapat disimpulkan sebagai upaya membenarkan keragaman dengan menegaskan, bahwa semua kebenaran bersifat relatif dan menganggap semua keyakinan religius dalam pengertian relatifisme murni sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama karena pada dasarnya pluralisme agama mempunyai ciri, sebagaimana yang terdapat pada ciri dasar pluralisme, yakni beragam, independen dan tidak tertentukan dalam bentuk. 172 Dalam bukunya, Siswanto mengatakan, bahwa dalam metafisika pluralisme menerima prinsip azali banyak. Prinsip azali adalah prinsip yang memberikan makna dan hukum kenyataan yang sesungguhya yang berada di belakang gejala-gejala, bisa yang material, yang hidup, yang rohani dan yang ilahi, maka pluralisme azali yang ilahi adalah prinsip yang memberikan makna dan hukum kenyataan yang sesungguhnya yang berada di belakang gejala-gejala yang memberikan watak kenyataan yang sama pada semua kenyataan yang ada. Sebagai contoh dalam pandangan Yunani, mereka menyatakan bahwa dalam hukum kosmos segala sesuatu mendapat tempat yang sesuai.173 Adapun paham pluralisme agama tersebut hadir, menurut Abd Al-Ghaffar karena kenyataan yang menggambarkan bahwa agama-agama di dunia ini banyak (plural), yang kemudian menimbulkan pertanyaan bagi para penganutnya
171
Bagus, Kamus Filsafat, h. 853-855. Lebih jauh lihat dalam Bagus, yang menyatakan tipe-tipe pluralisme. Ia membaginya dalam enam tipe. Dua di antaranya adalah yang membicarakan pluralisme dalam bidang sosial dan filosofis. Bagus, Kamus Filsafat, h. 855. 173 Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida (Yogayakarta: Pustaka Pelajar), h. 160-161. 172
mengenai kedudukan agama-agama lain yang berada diluar agama yang dianutnya.174 Jalaludin Rakhmat, membahas permasalahan tersebut ke dalam dua bahasan yakni membicarakan tentang keselamatan dan kebenarannya. Apakah kedudukan agama-agama yang berada di luar agama yang dianutnya adalah benar dan akan mendapat keselamatan, atau hanya agama yang dianutnya saja yang benar dan akan mendapat keselamatan,175 dan paham pluralisme agama bagi Rakhmat, adalah paham yang memandang bahwa semua agama akan memperoleh keselamatan, dan ia tidak sependapat kepada orang yang berfikir bahwa pluralisme membuat orang boleh pindah-pindah agama karena pandangan tersebut akan membawa ke arah sinkretisme, yaitu pandangan yang mencampurkan semua agama sekaligus karena semuanya dianggap memberi jalan keselamatan,176 sedangkan Hans Kung177 membaginya ke dalam empat bagian. Pertama, tidak ada satu pun agama yang benar atau semua agama sama-sama tidak benar. Kedua, hanya ada satu agama yang benar atau semua agama lainnya tidak benar. Ketiga hanya ada satu agama yang benar, dalam arti semua agama lainnya mengambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu.178 Terakhir, setiap agama adalah benar, semua agama sama-sama benar.179
174
Purwanto Abd Al-Ghaffar, Tuhan yang Menentramkan, Bukan yang Menggelisahkan: Studi Banding Tauhid dan Trinitas (Jakarta: Serambi, 2006), h. 25. 175 Jalaluddin Rakhmat, “Menundukkan Makna Pluralisme Agama,” Buletin Kebebasan V, no. 3 (Mei 2007), h. 19-21. 176 Rakhmat, “Menundukan Makna Pluralisme Agama,” h. 21. 177 Hans Kung adalah guru besar teologi fundamental di University of Tubingen. Dalam Konsili Vatikan kedua, ia ditunjuk oleh Paus XXIII menjadi penasehat resmi. Fazlur Rahman, dkk., Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 269-270. 178 Menurutnya sikap ini termasuk pada kesombongan tersembunyi karena menganggap orang lain sebagai kristen anonim, menganggap diri super. ST. Sunardi mendefinisikan sikap tersebut kepada inklusifistik yang menyatakan bahwa hanya ada satu agama yang benar dalam arti
Sikap yang ditujukan oleh penganut paham pluralis tersebut biasanya dalam memandang agama-agama lain sangat toleran karena bagi mereka, agamaagama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, walaupun berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran agama yang sah, atau setiap agama menyatakan, bahwa ekspresi agama lain merupakan bagian penting sebuah kebenaran.180 Adapun dalam jurnalnya, Hamid Fahmi Zarkasi menjelaskan, bahwa terdapat dua paham pluralisme agama yakni pluralisme teologi global dan religius filosofis. Pendekatan yang digunakan oleh kedua aliran ini berbeda, yang pertama menggunakan pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua menggunakan pendekatan religious filosofis.181 Paham pluralisme teologi global menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain; semua akan melebur menjadi satu. Menurut paham ini, agama-agama yang ada di dunia akan berevolusi dan kelak akan saling mendekat, yang pada akhirnya akan melebur jadi satu dan tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan yang lainnya, sedangkan paham pluralisme religius filosofis, adalah paham yang membela eksistensi agama-agama. Bagi paham ini, agama-agama tidak bisa diubah dan dilebur begitu saja karena di dalam setiap agama terdapat tradisitradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap
semua agama lainnya mengambil bagian dari kebenaran agama yang satu itu. Abdurrahman Wahid, dkk., Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Interfidei, 1994), h. 63. 179 Abdurrahman Wahid, dkk., Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Interfidei, 1994), h. 63. 180 Nurcholish Madjid, “Dialog Antara Ahli Kitab (Ahl Al-kitab) Sebuah Pengantar,” dalam George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard, ed., Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog. Penerjemah Santi Indra Astuti (Bandung: Mizan, 1998), h. xix. 181 Hamid Fahmi Zarkasi, “Islam dan Paham Pluralisme Agama,” Majalah dan Pemikiran Islam Islamia I, no. 3 (September-Nopember 2004): h. 6-7.
salah satunya lebih superior dari yang lainnya karena menurut paham ini, agamaagama adalah seperti jalan-jalan yang mengantarkan manusia pemeluknya ke puncak yang sama. Semua agama adalah sama dan benar. Dengan caranya masing-masing, agama-agama itu akan menyampaikan manusia pemeluknya kepada satu surga yang sama.182 Selanjutnya, konsep pluralisme religius filosofis disebut konsep sophia perrenis. Di antara tokoh-tokoh yang mewakili paham ini, adalah Titus Buckhart, Fricthof Schuon, Huston Smith dan Sayyed Hossein Nasr.183
B. Konsep Pluralisme Agama dalam Perspektif Farid Esack 1. Pengertian Pluralisme Agama Pluralisme menurut Esack dapat dijabarkan sebagai pengakuan dan penerimaan, bukan sekedar toleransi, atas keberbedaan dan keberagaman, baik di antara sesama maupun pada penganut agama lain, maka dalam konteks agama berarti, penerimaan perbedaan cara menanggapi dari dorongan, baik yang terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang transenden.184 Argumentasi tersebut menurutnya, telah tertulis dalam al-Quran, baik secara sosial maupun spiritual. Al-Quran menurutnya, mengakui dan menerima keberadaan kehidupan religius komunitas yang lain; keberadaan hukum-hukumnya, norma-norma sosial dan praktik-praktik keagamaannya.
182 Yesus Kristus adalah jalan keselamatan bagi Kristen, Sanata Dharma bagi Hindu, dan Dharma bagi Budha. Lihat Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), h. 22-23. 183 Fahmi Zarkasi, “Islam dan Paham Pluralisme Agama,” h. 6-7. 184 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 21.
Bahkan tidak itu saja, menurutnya, Al-Quran pun akan memberikan keselamatan bagi pemeluk-pemeluk setia, meskipun jalan yang mereka lalui berbeda-beda.185
2. Argumentasi Pluralisme Agama Berikut ini adalah beberapa argumentasi mengenai penerimaan dan pengakuan keberadaan kehidupan religius komunitas lain menurut Esack dalam al-Quran, baik secara sosial maupun spiritual, dan sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa pembahasan ulang mengenai istilah iman, islam, dan kafir dalam pandangan Esack menjadi salah satu argumentasi yang sangat penting untuk memahami pengertian pluralisme agama, khususnya dam Islam karena ia telah menggunakan istilah-istilah tersebut dengan makna yang kontekstual dan eksistensial
dengan
paham
pluralisme
agama.
Adapun
argumentasi-
argumentasinya adalah sebagai berikut:
a. Pengakuan dan Penerimaan Kaum Lain Sebagai Komunitas Sosioreligius yang Sah Menurut Esack, argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan atas kaum lain sebagai komunitas sosioreligius yang sah, tertulis
185
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 205-215.
dalamteks Q.S. al-Baqarah/2: 62186, dan ayat yang sejenis dalam Q.S. alMaidah/5: 69.187 Teks tersebut menjelaskan bahwa kaum Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in, diakui sebagai komunitas sosioreligius yang sah, dan siapa saja akan mendapat keselamatan asalkan mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir dan berbuat kebajikan. Kebajikan yang mereka lakukan tidak akan sia-sia. Allah akan memberi pahala sesuai dengan apa yang telah Ia janjikan.188 Ia mengutip penjelasan tersebut yang dijelaskan oleh Ridha (18651935)189 dan Al-Thabathaba’i (1903-1981)190; mereka menyatakan bahwa semua yang beriman kepada Allah dan beramal saleh tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka, akan diselamatkan sebab Allah tidak mengutamakan satu kelompok seraya menzalimi kelompok yang lain.191 Bagi al-Thabathaba’i, tak ada nama dan tak ada sifat yang bisa memberi kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal saleh, dan aturan ini berlaku untuk seluruh umat manusia. Satu-satunya kriteria dan standar ketinggian martabat dan kebahagiaan menurutnya adalah keimanan
186
Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”. 187 Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in dan Nasroni, siapa saja yang benar-benar beriman, kepada Allah dan Hari Kemudian, dan beramal saleh, maka tak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” 188 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 207. 189 Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid Ridha, (Suriah, 1865-1935). Dia adalah seorang pemikir dan ulama pembaru dalam Islam di Mesir pada awal abad ke 20. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Rasyid Ridha, Syekh Muhammad,” Dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. IV (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 161. 190 Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i, lahir pada 29 Zulhijjah 1321 H/1903-1401/1981 M. Rosihan Anwar, “Tafsir Esoterik Menurut Pandangan AlThabathaba’i,” (Disertasi S3 Tafsir Hadits, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 8. 191 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 212.
yang benar kepada Allah dan Hari Kiamat, disertai dengan amal-amal yang saleh. Begitupun dengan Ridha, ia menyatakan bahwa keselamatan tidak dapat ditemukan dalam sektarianisme keagamaan, tetapi di dalam keyakinan yang benar dan kebajikan. Aspirasi kaum Muslim, Yahudi, atau Nasrani terhadap pentingnya keberagaman tak memberi pengaruh apa pun bagi Allah, tidak juga menjadi dasar ditetapkannya suatu keputusan. Adapun orang yang mengklaim agama dan kebajikannya saja yang dapat memberi keselamatan, menurut keduanya, mereka adalah termasuk orangorang
yang
terkungkung
dalam
sektarianisme
dan
chauvinisme
keberagaman yang sempit.192
b. Pengakuan dan Penerimaan Kaum Lain Sebagai Komunitas Spiritual yang Sah
Adapun argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan spiritual komunitas lain yang sah, menurutnya, tertulis dalam Q.S. alHajj/22: 40.193 Teks tersebut menjelaskan tentang perintah yang pertama kali ketika diizinkannya berperang adalah keharusan memelihara kesucian tempat-tempat ibadah, baik itu biara, gereja, sinagog ataupun masjid. Pemeliharaan tempat-tempat tersebut, menurut Esack, tidak semata-mata untuk menjaga integritas masyarakat multi agama saja, tapi selain itu
192
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 212-213. Terjemahannya: “Dan sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” 193
karena Tuhan merupakan zat tertinggi bagi agama-agama itu telah disembah di dalam tempat-tempat tersebut.194
c.
Pengakuan dan Penerimaan Aturan-Aturan dan Hukum-Hukum Komunitas Lain
Selanjutnya argumentasi mengenai pengakuan dan penerimaan aturan-aturan komunitas lain, menurut Esack, tertulis dalam Q.S. alMaidah/5: 42-43195dan 47.196 Teks tersebut menjelaskan pengakuan dan penerimaan aturan-aturan yang dibawa oleh Taurat dan Injil.197 Menurutnya, Tuhan telah menetapkan aturan dan jalan yang berbeda-beda bagi semua orang, baik sebagai individu maupun komunitas agama, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Maidah/5: 48.198 Dia telah mengirimkan nabi-nabi-Nya kepada mereka sesuai dengan konteks situasi umat mereka yang bermacam-macam dan berbeda-beda tersebut. Namun
194
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 207. Terjemahannya: “Mereka sangat suka berita bohong, banyak memakan makanan yang haram. Jika orang Yahudi datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan) maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikitpun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil dan bagaimana mereka akan mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, nanti mereka berpaling (dari putusanmu) setelah itu? Sungguh mereka bukan orang-orang yang beriman.” 196 Terjemahannya: “Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya; barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang Fasik.” 197 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 205. 198 Terjemahannya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian atas kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syir’ah dan minhaj. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu telah dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu tentang apa yang telah kamu perselisihkan itu.” 195
misi yang dibawa oleh mereka sama, yaitu untuk menyadarkan kembali komitmen umatnya kepada tauhid, dan mengingatkannya tentang pertangungjawaban kepada Tuhan, juga untuk menegakkan keadilan, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Syuro/42: 13199 yang menjelaskan bahwa din yang sama telah diwasiatkan kepada Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa.200 Oleh karena itu, dengan penjelasan-penjelasan tersebut, klaim eksklusif yang ditujukan oleh sebagian, atau kelompok orang, menurutnya, tidaklah dibenarkan karena secara eksplisit al-Quran benar-benar mengakui keberadaan komunitas lain di luar komunitas Nabi Muhammad, baik secara sosial maupun spiritual. Bahkan celaan Allah pun pernah terlontar pada komunitas Yahudi dan Nasrani yang mengklaim keimanan dan kepemilikan sosioreligius mereka adalah satu-satunya keimanan yang diterima oleh Allah Swt. Celaan-celaan-Nya tersebut tertulis dalam Q.S.alBaqarah/2: 111-113 dan 135, Ali Imran/3 : 67 dan 69.201
199
Terjemahannya: “Dia Allah telah mensyariatkan kepadamu din yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu tegakkanlah din dan janganlah kamu pecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik din yang kamu serukan untuk mereka. Allah memilih orang yang dia kehendaki dan dan memberi petunjuk kepada orang yang kembali padanya.” 200 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 205. 201 Terjemahan QS. al-Baqarah 111-113 berikut: “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasroni. Itu hanya angan-angan mereka, katakanlah tunjukanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar. Barang siapa tidak menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendpat pahala disisi Tuhan-Nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Dan orang Yahudi berkata, “orang-orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani juga berkata, “orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu pegangan padahal Mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, seperti ucapan mereka itu . Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan”. Ayat 135 Terjemahannya berikut: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian atas kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
Oleh karena itu, menurut Esack, kedatangan Nabi Muhammad tidaklah menghapus keberimanan umat sebelumnya. Dia hanyalah sebagai pemberi peringatan bagi umat sebelumnya karena sebenarnya menurut Esack, jika Tuhan menghendaki tentu Dia telah membuat manusia menjadi umat yang satu, dan alasan Tuhan menghendaki keanekaragaman jalan keimanan, menurutnya adalah agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan, dan sekiranya jalan itu penuh cobaan sehingga tidak memungkinkan seseorang untuk melewatinya, maka dia bebas memilih jalan lain yang telah ditetapkan oleh-Nya. 202
d. Pengertian Ulang Iman Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka bahwa pengertian ulang istilah iman dalam pemikiran Esack sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham pluralisme agama. Oleh karena itu, dalam memahami istilah tersebut, Esack lebih menelusuri makna yang sebenarnya yang terkandung dalam istilah tersebut. Menurutnya, jika pengertian iman merujuk pada pengunaannya dalam al-Quran dan teologi Islam, iman adalah bentuk kata benda verbal
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syir’ah dan minhaj. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu telah dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu tentang apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Q.S. Ali Imran/3: 67 Terjemahannya berikut: “Ibrahim bukanlah Seorang yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus dan tidak lah termasuk orang-orang yang musyrik.” Ayat 69 Terjemahannya adalah berikut: “Segolongan Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal sesungguhnya mereka tidak menyesatkan melainkan diri mereka sendiri, tetapi mereka tidak menyadar.” Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 204-205. 201 Terjemahannya: “Dan mereka berkata, jadilah kamu penganut Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.“ katakanlah, “(tidak) tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan dia tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.” 202 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 207.
keempat dari akar kata a-m-n, pengertiannya merujuk pada aman, mempercayakan, berpaling kepada. Kemudian dari pengertian tersebut diperoleh makna keyakinan yang baik, ketulusan, ketaatan atau kesetiaan, sedangkan dalam bentuk keempatnya adalah amanah, mempunyai makna ganda, yaitu percaya dan menyerahkan keyakinan. Makna primernya adalah menjadi setia pada apa yang telah dititipkan Tuhan kepada dirinya dengan keyakinan teguh di dalam hati bukan hanya di lidah. Ketika a-m-n yang diikuti oleh partikel bi, kata tersebut berarti mengakui atau mengenali. Kata tersebut juga dipakai dalam makna percaya, yaitu ketika orang merasa aman untuk mempercayakan sesuatu kepada seseorang.203 Penggunaan dalam arti menyerahkan sesuatu kepada seseorang untuk disimpan (u΄tumina), tercantum dalam Q.S. al-Baqarah/2: 283. Kemudian dima'nai sebagai rasa tentram dan kepuasan hati (âminatan), tercantum dalam Q.S. an-Nahl/16: 112. Perlindungan terhadap ancaman dari luar (amnan), tercantum dalam Q.S. al-Baqarah/2: 125. Iman kepada Nabi Muhammad atau para nabi secara umum (âmana), tercantum dalam Q.S. al-Baqarah/2: 177. Hari akhir (yu΄minûna) Q.S. al-Baqarah/2: 4.204 Dari beberapa pengertian tersebut, menurut Esack, dapat diasumsikan bahwa objeknya dapat dipahami, dan penggunaan dalam bentuk tersebut menghubungkan makna keamanan dan kepercayaan dengan ide implisit bahwa siapapun yang beriman akan memperoleh kedamaian dan perasaan aman. Dapat dikatakan iman menurut al-Quran adalah tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan 203
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 159. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 159.
204
dan firman-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman dan benteng terhadap cobaan,205 sedangkan, kata Mu’min dalam al-Quran bentuk kata bendanya adalah mu'minûn, yakni tercantum dalam Q.S. al-Anfal/8: 2-4 berikut: “Sungguh mu'minûn adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, semakin kuatlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka menyerahkan diri, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. Itulah mu'minûn yang sebenar-benarnya mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian disisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (ni'mat) yang mulia.”206 Menurut Esack, jika melihat teks tersebut, maka dapat dipetakan tiga pengertian iman, yaitu iman dalam pengertian spiritual/personal secara esensial,
religius,
dan
sosioekonomi.
Iman
dalam
pengertian
spiritual/personal secara esensial, dijelaskan dengan bergetarlah hati mereka ketika disebut nama Allah, sedangkan pengertian religius, dijelaskan dengan mereka tak henti-hentinya beribadah, dan dalam pengertian sosioekonomi, menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepadanya. Teks tersebut menggambarkan sifat orang yang benar-benar beriman
atau
orang-orang
yang
benar-benar
percaya.
Menurut
Zamakhsyari, karakter ini adalah syarat bagi iman yang sempurna, sedangkan menurut al-Razi, iman harus berakibat pada kepatuhan, dan bagi Ibn al-Arabi, iman secara intrinsik terkait dengan pencarian keyakinan yang lebih mendalam, tidak sekedar pengakuan rasional akan
205
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 159-160. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 158.
206
kehadiran Tuhan, tetapi lebih dari itu, perhatian pada kualitas dan kehadiran hati yang harus mewarnai ibadah seseorang.207 Namun, persoalan yang paling penting mengenai iman, menurut Esack, adalah iman merupakan pengakuan pribadi akan, dan respon aktif terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di dalam sejarah. Aspek aktif dan pribadi iman tersebut mengimplikasikan bahwa ia berfluktuasi dan dinamis,208 yakni tetap terkait dengan kesadaran terdalam manusia, sosok makhluk yang hingga tingkat tertentu senantiasa berubah oleh berbagai pengalaman sosial maupun personalnya, meski sumber aslinya adalah karunia dari Tuhan. 209 Beberapa penafsir merujuk dua hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa iman akan menyelamatkan manusia di akhirat nanti, dan iman itu bermacam-macam dan punya tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Kerendahan hati adalah salah satu cabangnya. 210
e. Pengertian Ulang Islam
207
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 163-164. Esack memberi tiga alasan bagi iman bersifat dinamis dan senantiasa berubah. Pertama, pengertian iman dalam al-Quran dan Muslim awal lebih dalam satu jenis dan dalam berbagai tingkatan. Kedua, ketika al-Qur’an menghimbau para pemeluk Islam awal sebagai “wahai orang-orang yang beriman”, imbauan tersebut, mengajak mereka untuk membawa diri kearah tertentu, menjauh dari berbagai kesesatan di dalam masyarakat dan mendekat kepada Tuhan. Mereka dituntut dengan cara tertentu, bukan untuk mengklaim diri sebagai pemilik substansi khusus yang disebut iman itu. Ketiga, pemahaman bahwa iman merupakan sebuah atribut karakter yang aktif, juga didukung oleh fakta lawan katanya, yaitu kufr. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 162. 209 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 161. 210 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 161-162. 208
Sebagaimana dalam memahami pengertian iman, pengertian istilah islam pun dalam Esack sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham pluralisme agama. Oleh karena itu, dalam memaknai istilah tersebut Esack lebih menelusuri makna yang sebenarnya. Adapun teks al-Quran yang biasa dijadikan klaim kaum Muslim sebagai satu-satunya ekspresi keagamaan yang diterima Tuhan sejak kenabian Muhammad adalah Islam, menurut Esack, tercantum dalam Q.S. Ali Imron/3: 19 adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya din di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali telah datang pengetahuan kepada mereka, karena dengki di antara mereka. Siapa saja yang menolak ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” 211 Padahal menurut Esack, penjelasan din tersebut menitikberatkan pada proses, pada din sebagai penyerahan diri kepada Tuhan. Bukan pada bentuk ekspresi kehidupan agama yang sistematis dan terlembagakan. Smith menjelaskannya dengan ketundukan, kepatuhan, berbakti menuju kebenaran dalam huda dan bayan-Nya, berbakti kepada Tuhan, respon total kepada Tuhan itu sendiri, bukan diartikan sebagai agama Tuhan. 212 Demikian juga dengan penggunaan istilah islam dalam teks tersebut, mengandung muatan universal. Istilah tersebut memberi pemahaman bahwa teks tersebut ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak Tuhan, lebih untuk menyebut kepada tindakan pribadi
211
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168-176.
212
daripada untuk menyebut nama dari suatu sistem agama.213 Cakupan tersebut menurut Esack, memasukkan agama lain serta beragam kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya dan apa-apa yang telah menjadi bagian dari mereka, dan penjelasan tersebut bisa dilihat dengan merujuk teks selanjutnya,214 yang menjelaskan perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada para penentangnya bahwa ajaran yang dibawanya adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dan ajaran tersebut ini juga ditujukan kepada mereka, orang Kristiani.215 Lagi pula, menurut Esack, pada masa-masa awal pemikir Muslim dan istilah Arabnya arti islam adalah tunduk, menyerah memenuhi atau melakukan, dan merupakan bentuk infinitif dari aslama, dan satu-satunya orang yang membedakan secara eksplisit antara islam yang dilembagakan dengan yang tidak, adalah Ridha. Munurutnya, penggunaan al islam dengan makna doktrin, tradisi, dan praktik yang dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut muslim masih relatif baru, dan didasarkan atas prinsip fenomenologi, yaitu agama sebagai apa yang dianut oleh para 213
Penjelasan tersebut tercantum dalam Q.S. al-Hujurat/49: 17 dan al-Taubah/9: 74. Q.S. al-Hujurat/49: 17 Terjemahannya berikut: “Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka, katakanlah janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu sebenarmya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukan kamu kepada keimanan jika kamu orang yang benar.” Sedangkan Q.S. al-Taubah/9: 74 berikut: “Mereka (orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti) Muhammad. Sungguh mereka telah mengatakan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya. Dan mereka tidak mencela Allah dan rasulnya sekiranya Allah dan Rasulnya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di Dunia dan Akhirat. Dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di bumi.” 214 Q.S. Ali Imran/3: 20 Terjemahannya berikut: “Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, “aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orangorang yang mengikuti.” Dan katakanlah orang-orang yang telah diberi Kitab dankepada orangorang buta hurufsudahkah kamu berserah diri? jika mereka sudah berserah diri berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyapaikan. Dan Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” 215 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168-176.
pemeluknya. Yang demikian, menurutnya, adalah al din dalam arti komunitas (jinsi) atau kebiasaan (urf) etno-sosiologis, maka jika islam dilakukan seperti itu, menurutnya, adalah penerimaan yang tidak kritis dan tidak ada hubungannya dengan Islam yang sebenarnya, sebaliknya ia menyimpang dari iman yang sejati.216 Bagi Ridha, muslim yang sejati adalah yang tak ternodai oleh dosa syirk, tulus dalam tindakannya dan memiliki iman, dari komunitas apa pun, dalam periode kapan pun dan tempat asal mana pun inilah makna “Barang siapa yang mencari din selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima pilihannya itu”. Q.S. Ali Imron/3: 85.217 Adapun
penggunaan
istilah
din
dalam
al-Quran
tidak
menggunakan kata adyan sebagai bentuk pluralnya, menurut Esack, hal tersebut mencerminkan kenyataan bahwa kehidupan beragama pada saat itu tidak sepenuhnya terlembagakan, seperti yang terjadi kemudian,218dan hal tersebut menunjukkan bahwa al-Quran selalu berada dalam hubungan yang dinamis dengan pendengarnya dan dapat dimengerti oleh komunitas atau individu sesuai dengan tahapan tertentu perkembangan mereka,219 maka pengertian yang universal saat ini tentang din sebagai agama dan 216
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 172-174. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 176. 218 Din mengalami perubahan makna dari komitmen pribadi menjadi komitmen kolektif dan dipakai sebagai respon yang benar terjadi sejak akhir periode Makkah berlanjut hingga periode Madinah. lihat perubahan makna din disetiap periode yang dijelaskan oleh Yvonne Haddad dalam Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171. 219 Menurut Esack istilah din dalam bahasa Arab selama abad ke tujuh sudah dipakai dalam makna yang berbeda-beda dan selalu berubah. Ia memiliki beragam makna berbeda yang bisa dimasukan ke dalam tiga kelompok utama: pertama, konsep agama sistematik; kedua, kata benda verbal, “menilai”, “melakukan penilaian”, “menetapkan keputusan”, dan, bersamaan dengan ini, “penilaian”, “keputusan”; ketiga, kata benda verbal “mengarahkan diri”, “menjaga diri”, “menjalankan praktik tertentu”, “mengikuti tradisi”, dan setelah itu kata benda abtrak, “kesesuaian”, “kepatutan”, “ketaatan”, “kebiasan” dan “perilaku standar”. Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 170. 217
penghapusan pengertiannya sebagai respon pribadi kepada Tuhan, menurutnya, tidak memiliki dasar di dalam teks al-Quran dan tafsir-tafsir tradisional.220 Namun, menurut Esack, tafsir tradisional bukannya tidak memiliki benih pluralisme sama sekali, mengingat konteks ketika para pemikir tradisional merumuskan karyanya tidak berada dalam konteks yang membangkitkan jenis persoalan-persoalan
yang dimunculkan oleh
modernitas atau situasi apartheid Afrika Selatan.221 Oleh karena itu, menurutnya, al-Quran memotret Muslim sebagai sosok yang tunduk pada ketuhanan yang lebih dari sekedar Muslim dari sebuah agama reifikasi. Menurutnya, Tuhan adalah akbar (lebih besar) dari pada konsepsi apa pun tentang diri-Nya atau dari segala bentuk ketaatan terlembaga ataupun tidak terlembaga kepada-Nya. Kepada Tuhanlah Islam yang dimaksud al-Quran itu. Islam adalah untuk menyebut suatu tindakannya.222 Para pemikir Islam pun membenarkan ide bahwa istilah Islam di dalam al-Quran bukan semata merujuk pada agama kaum Muslim. Mereka juga membenarkan bahwa islam primordial dan universal, yaitu penyerahan diri pada yang absolut, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang. Setiap respon tulus terhadap panggilan dari sang misteri yang tersembunyi, sumber segala yang ada, membuktikan islam eksistensial dan personal.
220
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171-172. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 176. 222 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 177. 221
Islam adalah agama yang dibawa semua nabi dalam beragam ajaran mereka.223 Selanjutnya mengenai penjelasan din, Esack juga mengutip dari beberapa pemikir Muslim, di antaranya adalah Ibn al-‘Arabi (1165-1240), Ridha, dan al-Razi. Pengertian din menurut Ibn al-‘Arabi adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya din yang benar disisi Allah adalah tawhid, yang Dia telah tetapkan bagi Diri-Nya, maka din Allah adalah ketundukan, keseluruhan wujud seseorang membebaskan diri dari ego dan mencapai peniadaaan diri dalam Diri-Nya.”224 Sedangkan menurut al-Razi adalah sebagai berikut: “Asal bahasa din adalah balasan, din berarti ketundukan yang mengakibatkan balasan itu. Islam memiliki tiga makna: masuk ke dalam Islam yaitu ke dalam penyerahan diri, dan ketundukan, masuk dalam kedamaiaan, dan mensucikan segala tindakan hanya bagi Allah semata.” 225 Selanjutnya menurut Ridha, definisi din secara universal adalah yang tidak mencakup identifikasi formal dengan Islam sosiohistoris, sembari secara terbuka mengakui keabsahan jalan agama-agama lain di luar Islam 226 karena baginya al din adalah perintah Tuhan dan respon yang diwajibkan hamba atas diri mereka sendiri, merupakan penyerahan diri pribadi kepada Tuhan dan ruh universal yang ada di dalam semua komunitas beragama. Ketundukan tersebut menurutnya tidak ada hubungannya dengan Islam konvensional yang terjebak dalam imitasi dan
223
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 157. Esack, Membebaskan Yang Tertindas, h. 169. 225 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 170. 226 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171. 224
dalam komunitas-komunitas etno-sosiologis. 227 Sedangkan bagi Esack, din adalah sebuah pola, sebuah jalan Tuhan yang berlaku umum bagi seluruh kaum, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Syura/42: 13, yang menjelaskan bahwa ada kesatuan din yang sama yang telah diwasiatkan oleh al-Quran kepada Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Nabi-nabi tersebut datang membawa misi yang sama, yang mereka sampaikan dalam konteks situasi umat mereka yang bermacammacam dan berbeda-beda. Namun tetap berada dalam kesatuan din yang sama, yakni jalan Tuhan.228
f. Pengertian Ulang Kafir Sebagaimana istilah iman dan islam, penggunaan istilah kafir pun dalam
perspektif
Esack,
penggunaannya
sangat
kontekstual dan
eksistensial dengan pluralisme agama. Adapun penggunaan istilah kafir sebagai penolak keyakinan, Menurut Esack, pertama kali dipakai adalah untuk menunjuk beberapa warga Makkah yang menghina Nabi Muhammad, sedangkan di Madinah menunjuk kepada berbagai unsur di kalangan Ahli Kitab. Selanjutnya setelah Nabi Muhammad wafat penggunaannya secara bebas diperluas oleh berbagai kelompok untuk mengeluarkan kelompok lain yang berbeda dengannya karena mereka telah mengidentifikasikan istilah tersebut dengan makna tak percaya.229
227
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 170. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 175-176. 229 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180. 228
Menurutnya, dari sanalah awal mula penggunaan istilah kafir dikaitkan sebagai pelabelan bagi kaum yang tertolak dari komunitas Muhammad dan menjadi orang yang tidak percaya atau tak beragama. Padahal menurutnya, sebagaimana yang telah dijelaskan, baik itu dalam alQuran, literatur pra-Islam atau secara linguistik dan para pemikir, penggunaan maknanya tidaklah demikian.230 Berdasarkan
literatur pra-Islam, inti dari stuktur semantik dan
makna kata asalnya adalah menutup atau tak tahu terimakasih,231, sedangkan secara linguistik artinya menutup asal kata dari k-f-r, bentuk kata bendanya (masdar) adalah kufr, sebagai pelaku (failnya) adalah kafir, dan bentuk jamaknya kuffar atau kafirun.232 Kemudian, kata tersebut digunakan untuk penutupan sesuatu untuk menghancurkannya. Demikian juga yang telah disepakati oleh beberapa pemikir, mereka menyepakati arti kufr sebagai menutup karena secara linguistik kufr benar-benar merujuk pada perilaku penyangkalan atau penolakan yang disengaja atas suatu pemberian dari Tuhan. Namun, pemakaian awal yang paling lazim adalah penutupan perbuatan baik, yaitu tidak bersyukur. Kemudian ketika Islam diartikan sebagai tindakan karena kebaikan Tuhan, kufr menjadi sinonim penolakan. Seorang kafir berarti orang yang menerima kebaikan dari
230
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180. Menurut Izutsu kufr arti dasarnya adalah tidak bersyukur lawan kata dari syakira (bersyukur), untuk menunjukan rasa tidak bersyukur terhadap perbuatan baik atau pertolongan yang ditujukan orang lain. Kemudian menyimpang menjadi makna tidak percaya. Perubahan tersebut menurutnya sepintas dipersiapkan untuk memainkan bagian terpenting dalam sejarah pemikiran Islam berikutnya baik secara teologis maupun politis. Lebih jauh ia menjelasakan tranformasi semantik kufr dari tidak bersyukur ke tidak percaya, lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-Quran. Penerjemah Agus Fahri Husein, dkk., (Jogja : Tiara Wacana, 1994), h. 258-261. 232 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 177. 231
Tuhan, tapi tak bersyukur atau malah mengingkarinya. Jadi, kafir adalah orang yang tidak tahu terimakasih, tidak bersyukur atau malah mengingkari dan menutupi atas kebaikan dari Tuhan.233 Demikian halnya dalam al-Quran, menurut Esack, penggunaan maknanya digambarkan sebagai tak bersyukur dan menutup yang bersifat aktif dan dinamis yang mengarah pada penolakan atas kebenaran Tuhan secara sengaja dan intrinsik, terkait dengan suatu tingkah laku yang arogan dan menindas.234 Beberapa contoh penggunaan arti tersebut tercantum dalam Q.S. Azumar/39: 7235 (takfurû, kufr, taskurû), Q.S. al-Baqarah/2: 152236 (wasykurû lî walâ takfurûn), Q.S. Ibrahim/14: 7237 (lain syakartum, walain kafartum); Q.S. al-Baqarah/2: 42 (taktumû), 159 dan 174 (yaktumûna),238 Q.S. al-‘Araf/7: 45239 (kâfirûn) sebagai sikap perilaku orang yang mengalangi orang di jalan Tuhan dan menghalangi karunia
233
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 178-179. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 180. 235 Terjemahannya: “Jika kamu kafir ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengetahuimu, dan dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya.. Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu. Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sungguh Dia mengetahui apa yang tersimpan dalam dadamu.” 236 Terjemahannya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, “sesunguhnya jika kamu bersyukur, nscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingakari, maka pasti azab-Ku sangat berat.” 237 “(yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.” 238 Q.S. al-Baqarah/2: 42 Terjemahannya berikut: “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya. Q.S. al-Baqarah/2: 159 Terjemahannya berikut: “Sungguh orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk-petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (al-Quran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat pula oleh mereka yang melaknat.” Q.S. al-Baqarah/2: 174 Terjemahannya berikut: “Sungguh orang yang telah menyembunyikan apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu Kitab dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya dan Allah tidak akan menyapa mereka di hari kiamat, dan tidak akan mensucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.” 239 Terjemahannya: “Yaitu orang-orang yang menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.” 234
Tuhan kepada manusia; Q.S. al-Baqarah/2: 254240, Q.S. Fussilat/41: 7241, Q.S. at-Taubah/9: 34-35242 (kâfirûna) sebagai orang yang menolak untuk memberi sedekah kepada orang miskin; Q.S. al-Anfal/8: 36243 (kafarû) sebagai orang yang menafkahkan hartanya demi menghalangi orang ke jalan Tuhan dan kebaikan; Q.S. al-A’raf/7:48244, Maryam/19: 77245, sebagai sikap kesombongan mereka dalam hal kekayaan dan status sosial. Dengan kekayaan mereka yang berlimpah-ruah dan status sosial yang tinggi mereka sama sekali tidak membutuhkan orang lain dan Tuhan. Mereka juga mengira bahwa kekayaan yang mereka miliki akan membebaskan mereka dari kewajiban moral apa pun terhadap kaum lain dan pertanggungjawaban dihadapan Tuhan; Q.S. al-Nisa/4: 168246 (kafarû wa zalamû), sebagai orang yang menindas kaum lemah dan berbuat zalim;
240
Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kapadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang yang kafir itulah orang-orang yang zalim.” 241 Terjemahannya: “(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka inkar terhadap kehidupan akhirat.” 242 Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orangorang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan merka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih). Ingatlah pada hari ketika emas dan perak dipaskan dalam nereka Jahanam lalu dengan itu diseterika dahi, lambung dan punggung mereka, inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang telah kamu simpan.” 243 Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menginfakan untu menghalangi-halangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan terus menginfakkan harta itu, kemudian mereka akan menyesal sendiri, dan mereaka akhirnya akan dikalahkan. Ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang kafir itu akan dikumpulkan.” 244 Terjemahannya: “Dan orang-orang yang di atas A’raf (tempat yang tertinggi) menyeru orang-orang yang mereka kenal dengan tanda-tandanya sambil berkata, harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, (ternyata) tidak ada manfaatnya buat kamu.” 245 Terjemahannya: “Lalu apakah engkau telah melihat orang yang telah mengingkari ayat-ayat Kami dan dia mengatakan, “pasti aku akan diberi harta dan anak.” 246 Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) akan menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.”
Q.S. al-Maidah/5:79247 (lâ yatanâhauna ‘an munkarin), sebagai orang yang berdiam diri dihadapan kejahatan dan penindasan.248 Kemudian, pengertian lain dari menutup adalah petani karena biasanya para petani suka melakukan kegiatan menutup, yakni menutupi biji-bijiannya dengan tanah.249 Pengunaan makna-makna tersebut, menurut Esack, mencerminkan adanya hubungan yang dinamis antara wahyu dan masyarakatnya250 yang dilakukan dalam konteks sosio-historis yang real dan yakin bahwa kepercayaan yang tulus pada keesaan Tuhan dan pertanggungjawaban akhir kepada-Nya akan membawa pada terwujudnya masyarakat yang adil.251 Sikap penolakan merekalah menurut Esack, yang menyebabkan mereka disebut kafir karena mereka telah menolak dan menutupi ajaran yang dibawa Nabi Muhammad kepada mereka. Alasan mereka melakukan hal tersebut adalah karena Tuhan yang disangkal oleh mereka saat itu adalah Tuhan yang menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari eksploitasi ke keadilan, dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari arogan ke kerendahan hati, dari kesukuan yang sempit menuju persatuan, sedangkan Nabi Muhammad datang kepada mereka yang membawa ajaran yang sebaliknya, yakni Islam, yang mengajarkan nilai-nilai keadilan dalam hidup, baik secara ekonomi maupun sosial, mala dengan jelas mereka 247 Terjemahannya: “Mereka tidak saling mencegah perbuaan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh sangat buruk apa yang telah mereka perbuat.” 248 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-181. 249 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179. Lihat juga penggunaan predikat kafir dalam Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 62. 250 Dalam konteks Makkah. 251 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 182.
menolaknya mentah-mentah karena akan menggoyahkan tatanan sosial secara radikal yang selama ini mereka pertahankan.252 Oleh karena itu, pemaknaan kufr dalam al-Quran menurut Esack adalah pencelaan kepada perilaku yang bermusuhan kepada orang yang memilih jalan Islam dan memperolok-olok Islam dan Muslim dalam pengertian sebagai tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasikan keberadaan kolektif
atas dasar ketundukan itu,
termasuk didalamnya yang mengajarkan nilai-nilai keadilan dalam hidup, baik secara ekonomi maupun sosial.253 Adapun gambaran olok-olokkan mereka tersebut, tercantum dalam Q.S. Yunus/10: 79254, al-Hijr/15: 11255, al-Kahfi/18: 106256.257 Dengan demikian, menurut Esack, ide tentang kafir jangan dicampuradukan dengan penolakan teologis, rasional, atau filosofis atas ketuhanan karena seorang kafir menurutnya, adalah sosok yang mengetahui kehadiran entitas 252 Karena pada saat Muhammad diutus, keadaan masyarakat Makkah saat itu sangat arogan dan suka menindas. Diharapkan dengan kedatangnan Islam, keadaan masyarakat bisa berubah ke arah keadilan, baik secara sosial maupun ekonomi. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181-183. Dalam bukunya, Dawam menulis salah satu gejala sosial yang menonjol dalam kalangan aristokrat pedagang Makkah zaman nabi adalah kecintaaan pada harta yang melebihi batas. Mereka telah menuhankan hartanya, sehingga mengakibatkan timbulnya gejala prilaku yang asosial, seperti kebiasaan memakan harta warisan dengan rakus, tidak memiliki rasa tanggungjawab terhadap kemiskinan, tidak menyantuni anak yatim, sebaliknya mereka malah melakukan akumulasi kekayaan. Menyimpan harta dan menumpuknya. Mereka mengira kekayaan akan menyebabkan mereka hidup abadi. Maka dengan kehadiran Islam diharapkan dapat memuai ajaran humanis yang mementingkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Makkah saat itu. Bagi Dawam, makna Islam dalam konteks sosial adalah menyerahkan diri kepada Allah berarti pembebasan diri dari segala seauatu yang dipertuhankan. Baik itu berhala atau harta atau sesuatu yang bisa membuat kehidupan kearah yang tidak adil dan sejahtera. Lihat M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 204-205. 253 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181-183. 254 Terjemahannya: “Dan Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya), “datangkanlah kepadaku semua pesihir yang ulung!” 255 Terjemahannya: "Dan setiap kali seorang rasul datang kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokknya." 256 “Demikianlah, balasan mereka itu neraka Jahanam karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan olok-olok.” 257 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181-183.
semacam itu, yakni mereka mengetahui keberadaan Tuhan dan para rasulNya. Namun mereka memilih untuk menolak dan menutupinya.258 Bahkan mereka
bertekad
menghancurkan
misi-misinya
dengan
cara
membunuhnya.259 Jadi, kafir adalah sesuatu yang disadari, sesuatu yang disengaja aktif bukan sekedar ketidakpedulian atau ketidaktahuan atas keberadaan Tuhan, juga bukan merupakan label-label etnis tertentu, tapi lebih kepada menunjukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sikap-sikap kafir, sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Quran.260 Esack menambahkan pengertian kafir yang dikutip dari Asad. Asad mengatakan bahwa kafir adalah penunjukan bagi orang-orang yang menyangkal kebenaran dalam arti yang paling luas, dan spiritual, tidak terbatas pada pengertian orang yang tidak percaya atau tak beragama karena menolak sistem doktrin dan hukum yang diajarkan al-Quran dan disampaikan oleh Nabi, tapi lebih dari itu, memiliki makna yang lebih luas dan umum.261
3. Status Iman dan Nilai Amal Saleh Penganut Agama Lain Apabila iman bisa mencakup tindakan menyingkirkan duri dari jalanan, sebagaimana telah dikemukakan di muka, maka menurut Esack, mengapa iman tidak bisa mencakup pula tindakan seorang individu yang sepanjang hidupnya merespon suara Tuhan. Terlebih lagi jika penganut agama
258
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181. Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 188. 260 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 188. 261 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180. 259
lain itu melakukan tindakan amal saleh. Menurutnya, sangat tidak mungkin bagi Tuhan untuk berlaku tidak adil dan zalim pada yang lainnya.262 Dengan demikian, menurut Esack, status iman dan nilai amal saleh penganut agama lain akan diterima dan mendapat pahala dari Tuhan, sebagaimana yang telah Ia janjikan dan tegaskan bahwa Ia akan memberi pahala bagi siapapun yang melakukan tindakan amal saleh walaupun mereka tidak beriman seperti yang dibahas dalam teologi Islam, sedangkan ayat alQuran yang menjelaskan hal itu adalah Q.S al-Baqarah/2: 62.263 Bagi Esack, iman adalah keyakinan kepada Tuhan yang sama sekali melampaui konsepsi kemanusiaan, suatu keyakinan yang diungkapkan dalam kehidupan yang sesuai dengan etos al-Quran dan tuntutannya untuk beramal saleh.264 Terlebih Ridha menyatakan, bahwa penggunaan kalimat siapa saja di antara orang yang beriman adalah spesifikasi bagi tiga kelompok lain, yaitu orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabi’in yang percaya dengan keimanan yang benar, benar-benar hanya berserah diri pada Tuhan semata.265 Selanjutnya alasan lain yang menyatakan status iman komunitas lain diterima oleh Tuhan, menurut Esack, dapat dipetakan ke dalam beberapa alasan: pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka bahwa penggunaan istilah-istilah iman, seperti mu’minûn dalam al-Quran dan para pemikir, pengertiannya tidak merujuk pada komunitas Nabi Muhammad saja, tetapi juga di luar itu, mereka yang sepanjang hidupnya merespon suara 262
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168. Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”. 264 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 167. 265 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 211-212. 263
Tuhan. Kedua, sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat/49: 1415266, yakni yang menjelaskan peringatan terhadap tindakan kaum Badui yang memeluk Islam secara formal berbeda dengan iman itu sendiri. Islam dalam makna tunduk secara formal pada aturan baru yang dibawa Nabi Muhammad, adalah awal dari terbitnya keyakinan yang masih menumbuhkan akarnya di dalam hati. Bergabungnya mereka dengan komunitas Muslim secara formal tidak lantas mencerminkan keyakinan personalnya karena kata "Muslim" bisa saja merujuk pada identitas baru berdasarkan perjanjian itu, bukan karena keyakinan, dan makna yakin dan mengakui adalah tafsiran lebih akurat bagi iman dari pada sekedar percaya. Makna iman merupakan suatu kualitas yang aktif yang membuat seseorang berada dalam hubungan yang dinamis dengan penciptanya dan sesamanya, mencakup kemampuan untuk melihat yang transenden dan memberi respon kepadanya, mendengar bisikan Tuhan dan bertindak, seperti yang diperintahkan-Nya.267 Alasan ketiga, bentuk aktualisasi keberimanan individu atau kelompok itu banyak dan berbeda-beda, namun penunjukan, seperti kata mu’minûn terkadang hanya menunjuk pada komunitas kaum beriman yang sudah mapan, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-An’am/6: 82, berbicara tentang orang beriman dan tidak mencampuradukan imannya dengan ketidakadilan dan Q.S. al-Hujurat/49: 9, menunjuk satu kelompok mu’minûn yang berbuat aniaya.
266
Terjemahannya: “Orang Badui ini berkata kami telah beriman katakanlah kepada mereka kamu belum beriman. Tetapi katakanlah kami telah tunduk karena iman itu belum masuk kedalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasulnya dia tidak akan mengurangi sedikit pun amalanmu sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya arangorang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa. Raga mereka pada jalan Allah mereka itulah orang-orang yang beriman.” 267 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 166-168.
Alasan keempat, adalah ada yang disebut mu’minûn sekalipun perilaku individual mereka tidak sesuai dengan komitmen keimanannya, sebagaimana dalam pandangan masyarakat Muslim, mereka yang dilahirkan di dalam keluarga Muslim cukup untuk memasukkan seseorang sebagai anggota kalangan mu’minûn, selama orang itu tak pernah secara verbal mengingkari asal-usulnya sekalipun perilaku individual mereka tidak sesuai dengan komitmen keimanannya. Ini berarti bahwa faktor pengakuan lewat mulut pun dalam praktiknya tidak diperlukan karena tidak ada mekanisme formal untuk menguji keimanan seseorang ketika dia telah menginjak usia dewasa.268 Alasan terakhir, adalah penggunaan kalimat "orang-orang yang beriman" sudah dipakai di Makkah, sekalipun tidak sering, pada periode ketika Muslim secara sosial berada dalam posisi paling rentan dan tidak aman. Mereka membentuk kelompok mu’minûn dalam arti ketidakamanan, dan mengapresiasikan komitmen tersebut dalam satu ikatan tanpa melihat komitmen keimanannya, yakni merujuk kepada mu’minûn berasal dari amn, yang artinya menjadi aman atau memperoleh perlindungan yang digunakan untuk kaum yang berkelompok atas dasar ketidakamanan.269 Kata tersebut digunakan bukan karena pilihan iman yang telah mereka ambil, tetapi karena mereka berada pada posisi lemah dan rentan (Q.S. Saba/34: 32). Mereka juga tidak merasa aman karena pemihakkan mereka kepada kaum lemah dan telah menyedekahkan hartanya kepada golongan itu.270
268
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 165-166. Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 166. 270 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181. 269
C. Kritik Terhadap Farid Esack Jika dilihat dari pernyataan-pernyataannya mengenai paham pluralisme agama dan beberapa argumentasinya melalui penguatan al-Quran dan pemahaman ulang istilah iman, islam dan kafir, serta pandangannya mengenai status iman dan nilai amal saleh penganut agama lain, maka dalam perspektif Fahmi Zarkasi, Esack dikelompokkan ke dalam penganut paham pluralisme religius filosofis atau dalam ungkapannya Siswanto, menganut prinsip azali banyak karena ia mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menyatakan pengakuan dan penerimaan terhadap eksistensi agama-agama dan menyatakan prinsip yang memberikan makna dan hukum kenyataan yang sesungguhnya yang berada di belakang gejala-gejala yang memberikan watak kenyataan yang sama pada semua kenyataan yang ada adalah ilahi. 271 Adapun pernyataan-pernyataan yang menujukkan ia ke dalam paham tersebut, jika diuraikan adalah pertama, pernyataannya mengenai pengertian pluralisme agama; ia menyatakan bahwa pluralisme agama bukan sekedar toleransi saja, tapi lebih dari itu adalah pengakuan dan penerimaan atas keberbedaan dan keberagaman, baik di antara sesama maupun pada penganut agama lain; ia juga mengakui dan menerima apa pun yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang transenden, dari yang terlihat maupun tidak. Lebih jelasnya pernyataan Esack yang menyatakan pengertian tersebut adalah sebagai berikut: “Pluralisme dijabarkan sebagai pengakuan dan penerimaan, bukan sekedar toleransi, atas keberbedaan dan keberagaman, baik di antara sesama maupun pada penganut agama lain, maka dalam konteks agama 271
Mengenai penjelasan tersebut, lihat hal. 57-60 pada bab ini, IV.
berarti, penerimaan perbedaan cara menanggapi dari dorongan, baik yang terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang transenden”.272 Kedua, pernyataannya mengenai alasan-alasan teologis komunitas lain dalam alQuran; Ia menyatakan bahwa al-Quran mengakui dan menerima keberadaan kehidupan religius komunitas lain, baik itu dalam keberadaan hukum-hukumnya, norma-norma sosial dan praktik-praktik keagamaannya; artinya jika dilihat dari pernyataannya tersebut, Esack benar-benar mengakui keberadaan mereka, baik dari segi sosial, religius dan hukum-hukumnya terlebih lagi jika al-Quran yang menyatakan hal itu.273 Ketiga, pernyataannya mengenai pengertian istilah iman, islam, dan kafir; Ia menyatakan bahwa pengertian iman tidak merujuk pada komunitas Nabi Muhammad saja, tetapi juga di luar itu, adalah tindakan yang merespon aktif kehadiran Tuhan dan alam semesta dan sejarah sepanjang hidupnya;274 demikian juga dengan pengertian islam tidak diartikan sebagai label nama dari salah satu agama, tapi istilah tersebut mengandung muatan universal yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak Tuhan, yang hanya berserah diri pada yang absolut, dan penyerahan diri pada yang absolut, menurut Esack, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang sehingga cakupannya memasukkan agama lain serta beragam kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya dan apa-apa yang telah menjadi bagian dari mereka; yang terpenting menurut Esack adalah setiap tindakan respon tulus terhadap panggilan dari sang misteri yang tersembunyi, sumber segala yang
272
Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 60 pada bab ini, IV. Bag. Pengertian Pluralisme
Agama. 273
Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 60-66 pada bab ini, IV. Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 66-69 pada bab ini, IV.
274
ada.275 Demikian juga dengan pernyataan istilah kafir. Ia menyatakan bahwa istilah tersebut tidak diartikan sebagai label bagi kelompok yang berbeda atau bagi orang yang tidak percaya pada Tuhan, tapi lebih digunakan kepada tindakantindakan yang menggambarkan tindakan yang tidak menghiraukan perintah Tuhan, seperti berbuat kebaikan, berbagi kekayaan dengan orang miskin; orang yang tidak tahu terimakasih, tidak bersyukur mengingkari dan menutupi atas kebaikan dari Tuhan.276 Terakhir, adalah pernyataannya mengenai status iman dan nilai amal saleh agama lain; ia menyatakan bahwa status iman dan nilai amal saleh agama lain akan diterima dan mendapat pahala dari Tuhan, sebagaimana yang telah Tuhan janjikan dan tegaskan bahwa Ia akan memberi pahala bagi siapapun yang melakukan tindakan amal saleh walaupun tidak beriman seperti yang dibahas dalam teologi Islam karena Islam tidak lantas semata-mata merujuk pada kebetulan biologis yang dilahirkan dalam keluarga Muslim. Begitu juga dengan kafir tidak lantas merujuk pada kebetulan dilahirkan bukan dari keluarga Muslim, sebagaiman yang telah dijelaskan di muka, pengertian kufr tidak digunakan dalam pengertian orang yang tidak percaya terhadap Nabi dan Tuhan, tetapi digunakan sebagai penunjukan perilaku yang bermusuhan terhadap Islam dan Muslim sebagai pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasikan keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan itu, yakni islam, yaitu ajaran yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang adil, baik secara ekonomi maupun sosial: menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari eksploitasi ke keadilan, dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari arogan ke 275
Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 69-75 pada bab ini, IV. Mengenai penjelasan tersebut lihat hal. 75-81 pada bab ini, IV.
276
kerendahan hati, dari kesukuan yang sempit menuju persatuan. Dengan kata lain Esack lebih melihat tindakan seseorang yang merespon tulus kehadiran Tuhan yang dilakukan oleh siapa pun.277 Demikianlah pernyataan-pernyataan Esack yang menunjukkan ia ke dalam paham tersebut karena dari pernyataan-pernyataannya, ia telah mengemukakan hal-hal yang mengedepankan eksistensi transenden di dalam diri setiap manusia di sepanjang hidupnya. Dengan demikian, penulis memasukkan pandanganpandangannya tersebut ke dalam kelompok paham pluralisme agama religius filosofis atau dalam bahasanya Siswanto, menganut prinsip azali banyak.
277
Mengenai penjelasan tersebut lihat. hal. 81-84 pada bab ini, IV.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan penelitian terhadap paham pluralisme agama dalam perspektif Esack, maka penulis mengambil simpulan bahwa pluralisme agama menurutnya, tidak hanya sekedar toleransi atas keberbedaan, tapi lebih dari itu adalah penerimaan perbedaan cara menanggapi dari dorongan, baik yang terlihat maupun tidak, yang ada dalam diri setiap manusia ke arah yang transenden, dan secara teologis al-Quran menurutnya, mengakui keberadaan agama-agama lain, baik secara sosial maupun spritual; hukum-hukumnya, normanorma sosialnya dan praktik-praktik keagamaannya. Bahkan tidak itu saja, agamaagama lain pun menurutnya akan mendapat keselamatan meskipun jalan yang mereka lalui berbeda-beda. Yang terpenting menurutnya adalah keimanan yang benar kepada Allah, Hari Akhir dan disertai dengan berbuat kebajikan, sedangkan pluralisme agama dalam perspektif agama Hindu, Buddha, dan Kristen, secara teologis di dalamnya dijelaskan tentang pengakuan paham pluralisme agama; dalam Hindu dikatakan bahwa Yang ilahi menerima orang-orang yang yang datang kepadanya melalui jalan agama yang berbeda-beda; dalam Buddha dikatakan sang Buddha tidak berharap meninggalkan agama mereka sebelumnya, ia hanya ingin meningkatkan kebenaran dan kebaikan, seperti yang diajarkan agama mereka sebelumnya; demikian juga dalam Kristen, dikatakan Allah mengulurkan tangan kepada semua orang dalam cinta.
Adapun penjelasan-penjelasan Esack yang menyatakan paham pluralisme agama adalah selain mendasarkan pada al-Quran, adalah meredifinisi pengertian iman, islam dan kafir dengan makna yang sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham pluralisme agama. Menurutnya, pengertian islam mengandung muatan universal yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak Tuhan, dan lebih untuk menyebut kepada tindakan pribadi daripada untuk menyebut nama dari suatu sistem agama. Oleh karena itu, Islam tidak lantas semata-mata merujuk pada kebetulan biologis yang dilahirkan dalam keluarga Muslim. Begitu juga kafir tidak lantas merujuk pada kebetulan dilahirkan bukan dari keluarga Muslim. Pengertian kufr tidak digunakan dalam pengertian orang yang tidak percaya terhadap Nabi dan Tuhan, tetapi digunakan sebagai penunjukan perilaku yang bermusuhan terhadap Islam dan Muslim sebagai pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasikan keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan itu, yakni islam, yaitu ajaran yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang adil, baik secara ekonomi maupun sosial: menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari eksploitasi ke keadilan, dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari arogan ke kerendahan hati, dari kesukuan yang sempit menuju persatuan. Demikian juga, dengan istilah din. Istilah tersebut tidak diartikan sebagai agama Tuhan yang diekspresikan melalui kehidupan agama yang sistematis dan terlembagakan, tetapi untuk menjelaskan proses. Pada din sebagai penyerahan diri kepada Tuhan dengan ketundukan, kepatuhan, berbakti menuju kebenaran dalam huda dan bayan-Nya. Begitupun pengertian iman. Iman merupakan pengakuan pribadi akan, dan respon aktif terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di
dalam sejarah yang mencakup tindakan seorang individu yang sepanjang hidupnya merespon suara Tuhan, juga sebagai kualitas yang dapat dimiliki individu, dinamis dan beragam intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap dalam hidup individu itu. Terlebih lagi Allah telah berjanji akan memberikan pahala bagi siapa pun yang berbuat kebajikan sehingga tidak mungkin jika Ia ingkar janji seraya menzalimi yang lain. Adapun alasan Tuhan menghendaki keanekaragaman jalan keimanan, menurut Esack, agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan. Namun sekiranya jalan itu penuh cobaan, yang tidak memungkinkan seseorang untuk melewatinya, maka dia bebas memilih jalan lain yang telah ditetapkan olehNya. Oleh karena itu, para penganut agama apa pun tidak berhak mengklaim kebenaran atas kebenaran yang lainnya karena selain itu pun Tuhan telah mengutus para nabi-Nya dengan misi yang sama, yakni untuk menyadarkan kembali komitmen umatnya kepada tauhid, dan mengingatkannya tentang pertangungjawabannya kepada Tuhan, serta untuk menegakkan keadilan sesuai dengan konteks situasi umat mereka yang bermacam-macam dan berbeda-beda, dan kedatangan Nabi Muhammad tidak akan menghapus keberimanan umat sebelumnya karena ia hanyalah sebagai pemberi peringatan yang sama, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Oleh karena itulah jika digolongkan, penulis memasukkan Esack kepada kelompok yang menganut paham pluralisme agama religius filosofis atau dalam bahasanya Siswanto, menganut prinsip azali banyak.
B. Saran
Dalam hal ini penulis menyarankan untuk lebih menggali literatur perpektif agama-agama lain selain Islam karena sementara ini penulis sedikit menemukan literatur yang berkaitan dengan pembahasan pluralisme agama dalam perspektif agama-agama, seperti Hindu dan Buddha. Kemudian paham pluralisme agama yang dijelaskan oleh Esack, juga tidak jauh berbeda dengan gagasan pluralisme agama yang diusung oleh pemikir-pemikir Muslim lainnya, dalam konteks Indonesia salah satunya adalah Nurcholis Madjid. Namun tetap Esack memiliki keunggulan karena ia lebih berani mendefinisikan ulang istilah-istilah iman, islam dan kafir secara bersamaan dengan makna yang lebih luas. Selanjutnya dalam mengutip gagasan-gagasan pluralisme agama ia juga banyak mengutip pemikir Muslim terdahulu, seperti Ridha, al-Razi, Ibn al-Arabi, Asad, dan al-Thabathaba’i, seperti mengutip penggunaan dan pemaknaan istilah-istilah iman, islam dan kafir. Walaupun demikian, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa gagasan-gagasan yang diusung Esack mengenai paham pluralisme agama, khususnya bagi Afrika Selatan tidak hanya sekedar wacana, tetapi telah menjadi solusi bagi perubahan situasi politik dan agama di Afrika Selatan pada saat itu, dan hal tersebut layak menjadi kontribusi pemikiran yang sangat berharga bagi dunia, khususnya dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abd
Al-Ghaffar, Purwanto. Tuhan yang Menentramkan, Bukan yang Menggelisahkan: Studi Banding Tauhid dan Trinitas. Jakarta: Serambi, 2006.
Alex, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer. Surabaya: Karya Harapan, 2005. Anwar, M. Rosihon. “Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Al-Thabathaba’i.” Disertasi S3 Tafsir Hadits, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Anwar, M. Syafii’. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995. Arkoun, Mohammed. Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Armstrong, Karen. Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Penerjemah Hikmat Darmawan Jakarta: Serambi, 2003. -----. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan Oleh OrangOrang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Penerjemah Zaimul Am Bandung: Mizan, 2002 Azra, Azyumardi. dkk. Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia. Ciputat: INCIS, 2003. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. Riuh di Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Seri II. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003. -----. Kompilasi Perundang-Undang Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemaen Agama RI. Edisi Ketujuh. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003. Badudu, J. S. Kata-Kata Serapan Asing dalam B. Indonesia. Jakarta: Kompas, 2003. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996. Burhanudin. “Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perspektif Farid Esack dan Charles Kurzman tentang Islam, Modernitas, dan Masa Lalu yang Diciptakan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.
“Bom Bali 2002.” Diakses tanggal 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002
September
2007
dari
“Bom Bali 2005.” Diakses tanggal 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2005
September
2007
dari
“Bom JW. Marriot.” Artikel diakses tanggal 10 September 2007 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002 Coward, Harold. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Penerjemah Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Creswell, John W. Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Pengantar Supardi Suparlan. Penerjemah Angkatan III dan IV KIK-UI dan bekerjasama dengan Nur Khabibah. Jakarta: KIK Press, 2003. Dahlan, Abdul Aziz. Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud (Kesatuan Wujud): Tuhan Alam Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani. Padang: IAIN IB-Press, 1999. Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnnya. Bandung: Syaamil, 2004. Esack, Farid. Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah Watung A. Budiman. Bandung: Mizan, 2000. -----. Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligous Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997. -----. On Being a Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural. Penerjemah Nuril Hidayah Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. -----. On Being a Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern. Penerjemah Dadi Darmadi dan Jajang Jamroni. Jakarta: Erlangga, 2004. Galib, M Muhammad. Ahl Al-Kitab: Makna dan Cakupannya. Jakarta: Paramadina, 1998. Gifford, Clive. “Afrika Selatan.” Dalam Henry P. dkk, ed. Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk. Jakarta: Lentera Abadi., 2006: h. 380-383. -----. “Indonesia.” Dalam Henry P. dkk, ed. Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk. Jakarta: Lentera Abadi., 2006: h. 328-333. “Gustavo Gutierrez.” Diakses dari http://fppi.blogspot.com/2007/07/teologipembebasan.htmlPerihal Teologi Pembebasan Hanafi, Hassan. Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama. Jakarta: Paramadina, 2003.
Husaini, Adian. Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI Yang Tegas Dan Tidak Kontroversial. Jakarta: Pustaka al Kaustar, 2005. Irwandi. “Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack.” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002. Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap AlQuran. Penerjemah Agus Fahri Husein, dkk. Jogja: Tiara Wacana, 1994. “Juan Luis Segundo.” Diakses tanggal http://id.wikipedia.org/wiki/Juan_Luis_Segundo
11
November
dari
Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global. Penerjemah Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Penyunting E. Kusnadiningrat dan Din Wahid. Jakarta: Paramadina, 2001. “Kerusuhan Ambon.” Diakses pada 10 September www.hamline.edu/apakabar/basis data/1999/08/26/0037.html
2007
dari
“Kerusuhan Poso.” Diakses pada 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Poso
2007
dari
September
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta:Paramadina, 2003. -----. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina, 2000. -----. “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang.” Ulumul Quran IV, no. 1 (1993): h. 10-12. -----. “Dialog Antara Ahli Kitab (Ahl Al-kitab) Sebuah Pengantar.” Dalam George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard, ed. Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog. Penerjemah Santi Indra Astuti. Bandung: Mizan, 1998. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta. Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara, Ham, dan Agama-Agama. Pengantar Quraish Shihab. Jakarta: MUI, 1996. Muthari, Abdul Hadi Widji. “Estetika Sastera Sufistik Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaikh Hamzah Fansuri.” Tesis S 2, University Sains Malaysia, 1996. Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986. Nasution, Harun. dkk. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia. Jogja: Tiara Wacana, 1997. Osman, Mohamed Fathi. Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah dan Perdaban. Penerjemah Irfan Abubakar. Jakarta: Paramadina, 2006. http://www.freedom-“Paul F. Knitter.” Diakses tanggal 11 November 2007 dari Halaman institute.org/id/index.php?page= kegiatan&detail= diskusi&id =224 Pelayanan Gereja » Utama “Pengeboman Poso Divonis 18 Tahun.” Media Indonesia, 4 Desember 2007. Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001. “Radhakrishnan.” Dalam Paul Edwards, ed. The Encyclopedia of Philosophy, vol. VII-VIII. New York: Macmillan., 1967: h. 62. Rahardjo, M. Dawam. Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005. Rahman, Fazlur. dkk. Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Rakhmat, Jalaluddin. “Menundukkan Makna Pluralisme Agama.” Buletin Kebebasan V, no. 3 (Mei 2007): h. 19-21. Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Sukidi. New Age Wisata Spiritual Lintas Agama. Jakarta: Gramedia, 2002. -----. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Kompas, 2001. Sunyoto, Agus. Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar. Buku Satu Yogyakarta: LkiS, 2003. Suseno, Franz Magnis. “Terima Kasih, Cak Nur!.” Dalam Muhamad Wahyuni Nafis dan Ahmad Rifki, Penyunting. Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa. Jakarta: Paramadina, 2005: h. 102-103. -----. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia, 1999.
Smith, Huston. Agama-Agama Manusia. Pengantar Djohan Effendi. Penerjemah Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam. “Ahmad, Mirza Ghulam.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997: h. 161. -----. “Ibnu Arabi.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. II. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve., 1996: h. 150. -----. “Rasyid Rida, Syekh Muhammad.” Dalam Abdul Aziz Dahlan. dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. IV. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve., 1997: h. 161. Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia. “Apartheid.” Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, vol. II. Jakarta: Delta Pamungkas., 2004: h. 187-188. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P & K). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Umi Basiroh. dkk, peyunting. Jakarta: Balai Pustaka., 1988: h. 340. The Helen Suzman Foundation. “Profile of Farid Esack.” Artikel diakses pada 10 September 2007 dari http://www.hsf.org.za/%23article_view.asp?id=34 Usman, Fatimah. Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta: LkiS, 2002. Wahid, Abdurrahman. dkk. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Interfidei, 1994. Zarkasi, Hamid Fahmi. “Islam dan Paham Pluralisme Agama.” Majalah dan Pemikiran Islam Islamia I, no. 3 (September-Nopember 2004): h. 6-7.