PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG PESAWAT UDARA BERDASARKAN UU NO.8 TAHUN 1999 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STANDAR TARIF TIKET PESAWAT DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
OLEH ADRIANY M.F. HASIBUAN NIM:050200173
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG PESAWAT UDARA BERDASARKAN UU NO.8 TAHUN 1999 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STANDAR TARIF TIKET PESAWAT DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
OLEH ADRIANY M.F. HASIBUAN NIM:050200173 Bagian Hukum Ekonomi Disetujui oleh: Ketua Bagian
Prof.Dr.Bismar Nasution,SH.MH NIP: 131570455
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait,SH.MLI NIP: 131570455
Dr.Sunarmi,S.H,M.Hum NIP:131 835 566
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang penulis selesaikan ini berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG PESAWAT UDARA BERDASARKAN UU NO.8 TAHUN 1999 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STANDAR TARIF TIKET PESAWAT DI INDONESIA” yang diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan
kemampuan,
baik
pengetahuan
dan
keterampilan
tentang
perlindungan hukum bagi penumpang pesawat udara berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 dalam hubungannya dengan standar tarif tiket pesawat di Indonesia. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Skripsi ini juga dapat selesai tidak terlepas dari dukungan ataupun semangat dari banyak pihak kepada penulis, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof.Dr.Bismar Nasution, S.H.,M.H sebagai Ketua Bagian/Jurusan Hukum Ekonomi 2. Ibu Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait, S.H.,MLI sebagai Dosen Pembimbing I 3. Ibu Dr.Sunarmi, S.H.,M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
4. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 5. Bapak Prof.Dr.Suhaidi, S.H.,M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 6. Bapak Syarifudin Hasibuan, S.H.,DFM,M.H sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 7. Bapak Muhammad Husni, S.H.,M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 8. Ibu Dr.T.Keizerina D.A, S.H.,CN.MH sebagai Dosen Wali selama perkuliahan 9. Seluruh Dosen dan Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Penulis juga mempersembahkan ucapan terimakasih yang teramat besar kepada kedua orang tuaku Ir.T.U.Hasibuan dan H.Silaban yang selalu memberikan dukungan dan cinta kasihnya bagi penulis. Tidak lupa kepada adikku tersayang Michael Hasibuan yang selalu kritis dalam memberikan masukan bagi penulis (thx God I have u aLL). Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada sahabat-sahabatku: Elfrida, Helena, Lisma, Prisnok, Eka, Anisa, Andina, Anti, Yosep, Ipho, Rio, Yunus (makasih buat dukungannya…hari-hari yang melelahkan tercerahkan karena kalian). Tidak lupa juga buat Iqbal, Melda, Tri, Reza, Indri, Lili, Chipi, Lila, Kiki, Lola, dan semua teman-teman stambuk 2005 yang tidak mungkin penulis jabarkan satu-persatu.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Buat b’Dedy, b’Ricardo, Ralph, b’Robert yang selalu memberi dukungan (thanks for everything) dan terutama buat Hasibuan big fam, Silaban big fam, om Prof.Dr.Mauly Purba, tante Dra.Tety Aritonang, om Ir.Luhut Matondang, tante R.Sembiring (terimakasih buat semangat dan dukungannya). Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada teman sepelayanan: amang Pdt.Jahenos
Lumbantobing,
inang
Pdt.Kumala
Lumbantobing,
inang
Pdt.Aritonang, inang Hutapea, amang Simatupang, inang Marbun, k’Nona, k’Lina, k’Tiwi, k’Delis, k’Novelyn, k’Ema, k’Era, k’Nelvi, b’Patar, b’Carlos, b’Pendi (terimakasih buat dukungan doa yang tiada henti). Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Medan, Februari 2009 Hormat Saya,
Adriany M.F. Hasibuan
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................
iv
ABSTRAKSI ................................................................................................
vi
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................
1
B. Perumusan Masalah .....................................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .....................................................
6
D. Keaslian Penulisan ......................................................................
7
E. Tinjauan Kepustakaan .................................................................
8
F. Metode Penulisan ........................................................................
14
G. Sistematika Penulisan ..................................................................
16
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENUMPANG PESAWAT UDARA A. Macam-Macam Penumpang ........................................................
18
B. Hak dan Kewajiban Penumpang ..................................................
19
C. Aspek Perlindungan Hukum bagi Penumpang .............................
24
BAB III STANDAR TARIF TIKET DI INDONESIA A. Standar Tarif Tiket Pesawat berdasarkan Peraturan yang Berlaku ...............................................................
29
B. Faktor Penyebab Tinggi-Rendahnya Tarif Tiket Pesawat Udara ............................................................................
35
C. Hubungan Tarif Tiket Pesawat Udara dengan Pelayanan Maskapai .................................................................. 37 D. Peranan Pemerintah-Departemen Perhubungan Republik Indonesia dalam Pengawasan Tarif Tiket Pesawat ...................................... 41 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
E. Para Pihak yang Berkompeten Mengawasi Tarif Tiket berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 .................................................................. 44
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG PESAWAT UDARA BERDASARKAN UU NO.8 TAHUN 1999 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STANDAR TARIF TIKET PESAWAT A. Unsur-unsur Perlindungan Hukum bagi Penumpang Pesawat Udara ............................................................... 52 B. Perlindungan Hukum bagi Penumpang Pesawat Udara berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 ........................................................................ 62 C. Sanksi terhadap Maskapai Penerbangan ............................................ 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................. 82 B. Saran ........................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
“Perlindungan Hukum bagi Penumpang Pesawat Udara berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 dalam Hubungannya dengan Standar Tarif Tiket Pesawat di Indonesia”
*)Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait,SH.MLI **)Dr.Sunarmi,S.H,M.Hum ***)Adriany M.F. Hasibuan
ABSTRAK Bagi perusahaan penerbangan, tarif merupakan penerimaan perusahaan yang digunakan untuk menutup seluruh biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan guna memproduksi jasa angkutan udara. Keputusan Menteri Perhubungan yang menetapkan tarif jarak batas atas membuat perusahaan penerbangan dapat menentukan tarif sebebas mungkin, asalkan tidak melebihi ketentuan tarif batas atas. Ini membuka peluang untuk memainkan harga sehingga terjadi perang tarif murah. Dampak yang timbul dari perang tarif murah itu adalah buruknya pengelolaan perusahaan dengan menempatkan aspek keselamatan jauh lebih rendah dari persoalan biaya dan tarif. Kemudian pemerintah juga menerbitkan tarif referensi (batas bawah) untuk melakukan pengawasan khusus terhadap keamanan dan keselamatan. Aturan itu tidak dimaksudkan untuk melarang maskapai menentukan tarif lebih rendah dari tarif referensi. Tapi lebih pada upaya pengawasan keselamatan dan keamanan dengan ancaman sanksi mencabut rute penerbangan bagi yang melanggarnya. Namun tetap saja kesetaraan hukum antara maskapai penerbangan dan penumpang pesawat udara masih saja menjadi persoalan. Contohnya pada saat harga tiket selangit di waktu peak season, pelayanan justru semakin menurun dibandingkan pada saaat harga normal. Namun penumpang tidak dapat berbuat apa-apa dalam menuntut haknya. Hal ini memberi kesan pemilik maskapai cuma bisa mengeruk untung besar, tetapi tidak bisa memberi pelayanan yang berkelas. Maskapai penerbangan selaku produsen selalu dianggap kedudukan hukumnya lebih tinggi dari penumpang pesawat udara selaku konsumen. Padahal kelalaian dan keteledoran dari maskapai penerbangan dapat berakibat fatal bagi penumpang pesawat udara. Adapun metode yang dipakai dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normative atau doktrinal, yaitu penelitian hukum dengan menggunakan data bahan hukum primer, data bahan hukum sekunder, dan data bahan hukum tersier untuk memperkuat fakta ilmiah. Hendaknya, dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi penumpang pesawat udara dalam hal standar tarif tiket, pemerintah melalui departemen perhubungan dapat lebih mengintensifkan sosialisasi Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen. Biaya tambahan untuk bahan bakar pesawat (fuel surcharge) yang merupakan salah satu faktor penyebab tinggi rendahnya tarif tiket pesawat juga perlu disusun standar perhitungannya agar maskapai tidak semena-mena dalam menaikkan fuel Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
surcharge yang selalu mengacu pada kenaikkan harga BBM dunia. Selain itu untuk meningkatkan kepuasan konsumen pengguna jasa transportasi udara, maskapai penerbangan harus lebih meningkatkan kesesuaian harga dengan layanan yang diberikan kepada konsumen. Pemerintah melalui Departemen Perhubungan juga perlu menyusun suatu Standar Pelayanan Minimum (SPM) angkutan udara berdasarkan besaran tarif tiket. Dengan standarisasi dan kewajiban melapor, tersebut, maskapai dapat dipantau konsistensinya. Sehingga maskapai penerbangan tidak dapat lagi dengan seenaknya memangkas biaya operasional agar dapat memberlakukan tarif murah.
Kata kunci : Perlindungan Hukum,Penumpang pesawat, Standar Tarif Tiket *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara ***) Mahasiswi Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Industri jasa penerbangan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan dengan pesatnya dari tahun ke tahun. Kondisi ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat Jenderal Penerbangan Udara Departemen Perhubungan Republik Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 1999 jumlah perusahaan penerbangan niaga tidak berjadwal mencapai 55 buah perusahaan. Namun demikian untuk kategori perusahaan penerbangan niaga yang berjadwal dari tahun 1996 terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2001, sehingga jumlahnya mencapai 19 buah perusahaan. 1 Undang-undang No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan merupakan salah satu tonggak deregulasi bisnis penerbangan di Indonesia. Dengan adanya Undangundang ini, maka jumlah perusahaan jasa penerbangan meningkat tajam. Sebelum adanya Undang-undang ini perusahaan jasa penerbangan di Indonesia hanya beberapa perusahaan, khususnya yang tergabung dalam International Air Transport Association (IATA). Banyaknya pemain dalam industri jasa penerbangan
ini
antara
lain
karena
industri penerbangan
memberikan
kemungkinan memperoleh keuntungan yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui dalam jangka pendek, meskipun pada kondisi merugi, keuntungan dari penjualan
1
Mardiharto Tjokrowarsito, “Kebijakan Persaingan pada Industri Jasa Penerbangan dilihat dari Perspektif Perlindungan Konsumen”, www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Januari 2009 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
tiket pesawat masih mampu untuk membayar variable cost.
2
Apalagi dalam
kondisi perusahaan memperoleh untung, kondisi harga tiket masih lebih tinggi dari average cost 3, keuntungan yang diperoleh perusahaan jasa penerbangan akan berada di atas keuntungan normal. Kondisi ini merupakan daya tarik bagi investor atau pelaku usaha untuk masuk dalam bisnis jasa penerbangan. Dengan semakin banyaknya pemain dalam industri penerbangan ini, menyebabkan tingkat persaingan antar operator transportasi udara menjadi semakin tinggi. Sebagai akibatnya industri jasa penerbangan tersebut harus melakukan penyesuaian harga jual tiketnya. 4 Namun demikian, perlu diperhatikan oleh semua pihak bahwa harga tiket yang murah bukan merupakan satu-satunya variabel yang diperhatikan. Faktor keamanan dan kenyamanan dalam angkutan udara merupakan faktor yang cukup penting mengingat tingkat resiko keamanan angkutan udara cukup tinggi. Jangan untuk menekan biaya produksi agar dapat menjual tiket dengan harga yang rendah, maka maskapai penerbangan tidak lagi memperhatikan faktor keamanan penumpang, misalnya dengan mengurangi biaya perawatan armadanya. 5 Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2003
terhadap rute penerbangan
Jakarta-Medan, Jakarta- Surabaya, Jakarta-Yogyakarta dan Jakarta-Solo alasan yang paling sering dipakai oleh responden untuk memilih salah satu operator 2
Variable cost adalah pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan sebuah perusahaan atau industri, yang berubah dengan jumlah benda-benda yang dihasilkan. Contoh: biaya-biaya untuk bahan mentah dan tenaga kerja. (EC.Winardi, Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974), hal.304) 3 Average cost- biaya rata-rata adalah biaya total yang dibagi dengan jumlah units yang dihasilkan. Kurve biaya rata-rata biasanya berbentuk huruf u . Jumlah biaya sebuah perusahaan, yang tidak berubah dengan bertambahnya produksi (sampai titik tertentu), dibagi dengan jumlah kesatuan yang dihasilkan pada titik yang sedang dipersoalkan. (ibid. hal.21) 4 Ibid. 5 Ibid. Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
angkutan udara adalah harga tiket yang murah. Alasan tersebut sangat masuk akal karena naluri konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk secara alamiah adalah berusaha untuk memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya dengan mengeluarkan biaya serendah mungkin, hal ini sesuai dengan prinsip utility maximisation. 6 Tabel 1 menunjukan beberapa alasan yang dipakai oleh responden dalam memilih salah satu operator angkutan udara. Survey ini dilakukan terhadap 619 orang responden penumpang pesawat udara di bandara Soekarno Hatta Jakarta, Medan, Yogyakarta, Batam dan Pakanbaru. Tabel 1 ALASAN PEMILIHAN MASKAPAI PENERBANGAN 7
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Alasan Harga murah Pelayanan baik Tepat waktu Keamanan/ keselamatan Jadwal/ jaringan banyak Kenyamanan Dipesankan kantor Kebiasaan Kepercayaan/ pengalaman Fasilitas Makanannya enak Lainnya Jumlah keseluruhan
Jumlah 168 108 42 37 36 34 28 19 14 13 4 116 619
% 27.14 17.45 6.79 5.98 5.82 5.49 4.52 3.07 2.26 2.1 0.65 18.74 100
Sumber: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Hasil penelitian YLKI (2003) juga menunjukkan dampak tarif murah mengindikasikan banyak kelemahan layanan dan berkurangnya layanan
6
Prinsip Utility maximisation adalah prinsip dimana untuk memenuhi suatu kebetuhan diusahakan hanya dengan mengeluarkan biaya serendah mungkin. (www.bappenas.go.id terakhir kali diakses pada tanggal 10 Maret 2009) 7 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), “Kajian Implikasi Kebijakan Kompetisi pada Tarif Transportasi Udara”, www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Januari 2009 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
keselamatan dari maskapai akibat perang tarif. Sangat wajar memang jika permintaan tinggi, dengan dalih musim liburan, harga tiket melonjak. Akan tetapi hal yang mengganjal adalah pada saat permintaan penumpang tinggi, operator maskapai penerbangan menaikkan harga membubung tinggi sekali (lebih dari 100 persen) tanpa dimbangi dengan pelayanan yang memuaskan. Misalnya, tiket Medan-Jakarta bisa mencapai angka Rp.1.600.000-an. Harga itu memang di luar batas kendali yang wajar, meski juga belum melewati tarif batas atas yang telah ditentukan. Situasi itu menunjukkan pemilik maskapai dapat mendeteksi harga, sehingga kemudian masyarakat konsumen nyaris tidak berdaya dibuatnya. Bahkan otoritas regulator tutup mata-tutup telinga dengan fakta ini. 8 Dari segi pelayanan maskapai, pada saat harga tiket normal bahkan di bawah nominal Rp500.000, penumpang lumayan dimanjakan. Setidaknya di dalam pesawat konsumen masih dapat menikmati sebotol minuman mineral ditambah sepotong makanan ringan. Lalu, kini meski harga tiket selangit pelayanan justru jauh menurun. Mengenai makanan ringan dan minuman itu hanya cerita masa lalu. Jangankan mendapat minuman dan makanan ringan, pramugari malah menjadi pedagang asongan di dalam pesawat. Hal ini memberi kesan pemilik maskapai cuma bisa mengeruk untung besar, tetapi tidak bisa memberi pelayanan berkelas. 9 Persoalan lainnya adalah mengenai praktek pelayanan di maskapai penerbangan. Ketika muncul persoalan pihak yang senantiasa disalahkan adalah konsumen. Dalam hal kehilangan barang misalnya, operator selalu berpatokan segenap kerugian atau kehilangan barang bagasi akan dikonversi dengan 8
Farid Wajdi, “Antara Tiket Mahal dan Pelayanan Maskapai”, http://faridw70.multiply.com/reviews,diakses terakhir kali pada tanggal 13 Januari 2009 9 Ibid. Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
penggantian senilai Rp.20.000,- perkilogram dengan melalui prosedur yang cukup lama. Padahal tidak sedikit barang milik konsumen yang tidak bisa dinilai dengan materi karena terkait dengan nilai historis. Seringkali kelalaian ini tidak mutlak akibat konsumen, namun juga akibat tercecer atau longgarnya operator dalam mengangkut atau mengawasi barang milik konsumen tersebut. Jika tidak ada pertanggungjawaban atas kerugian konsumen oleh maskapai penerbangan, apa yang harus diperbuat konsumen? Karena, apakah adil ijazah sebagai dokumen penting dan sangat berharga dapat diganti begitu saja dengan nilai Rp.20.000.- perkilogram. Sampai kini Departemen Perhubungan dan instansi teknis lain nampaknya belum mau repot untuk urusan ’kecil’ seperti itu. 10 Kesetaraan hukum antara maskapai penerbangan dan penumpang pesawat udara masih saja menjadi persoalan. Maskapai penerbangan selaku produsen selalu dianggap kedudukan hukumnya lebih tinggi dari penumpang pesawat udara selaku konsumen. Padahal kelalaian dan keteledoran dari maskapai penerbangan dapat berakibat fatal bagi penumpang pesawat udara. Namun tampaknya hukum masih belum berpihak pada penumpang pesawat udara selaku konsumen. Mudahmudahan melalui tulisan skripsi yang singkat ini dapat memberi sedikit gambaran yang singkat tentang perlindungan hukum bagi penumpang pesawat udara berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 dalam hubungannya dengan standar tarif tiket pesawat di Indonesia.
10
Ibid.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
B. Perumusan masalah Adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan dibahas dalam Penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana pengaturan mengenai standar tarif tiket di Indonesia?
2.
Apakah ada relevansi antara tarif tiket pesawat dengan standar pelayanan yang diberikan?
3.
Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan bagi penumpang pesawat udara dalam hubungannya dengan standar tarif tiket di Indonesia? Dimana permasalahan-permasalahan tersebut diatas merupakan kerangka
acuan dalam melakukan pembahasan agar terstruktur dan tidak keluar dari apa yang diangkat sebagai judul dalam penulisan skripsi ini.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai standar tarif tiket di Indonesia. b. Untuk mengetahui apakah ada relevansi antara tarif tiket pesawat dengan pelayanan yang diberikan suatu maskapai penerbangan. c. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan bagi penumpang pesawat udara dalam hubungannya dengan standar tarif tiket di Indonesia. Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
2. Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Secara
teoritis,
penulisan
ini
diharapkan
dapat
menambah,
menyumbangkan konsep-konsep pemikiran bagi pengembangan khazanah Hukum Ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi penumpang pesawat udara berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 dalam hubungannya dengan standar tarif tiket di Indonesia. b. Secara praktis, dapat memberikan masukan kepada penumpang pesawat udara selaku konsumen bahwasanya terdapat kesetaraan hukum antara maskapai penerbangan selaku produsen dan penumpang pesawat udara selaku konsumen.
D. Keaslian Penulisan Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya di bagian hukum ekonomi bahwa penulisan tentang Perlindungan Hukum bagi Penumpang Pesawat Udara berdasarkan UU No.8 Tahun1999 dalam Hubungannya dengan Standar Tarif Tiket Pesawat di Indonesia ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan hasil pemikiran sendiri dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur yang di peroleh dari perpustakaan dan dari Media Massa baik Media Cetak maupun Media Elektronik, yang dituangkan dalam skripsi ini. Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan skripsi ini semata dijadikan pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan dalam menyempurnakan skripsi ini.
E. Tinjauan kepustakaan Sebelum melanjutkan penulisan skripsi ini, maka ada baiknya apabila terlebih dahulu dijelaskan pengertian judul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG PESAWAT UDARA BERDASARKAN UU NO.8 TAHUN 1999 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STANDAR TARIF TIKET DI INDONESIA Yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan dalam hal ini bagi penumpang pesawat udara.11 Upaya perlindungan hukum itu tampak dalam UU Perlindungan Konsumen, dimana penumpang memiliki hak untuk mendapatkan advokasi/ perlindungan di dalam hukum dan juga hak untuk mendapatkan kompensasi/ ganti rugi bilamana penumpang telah melaksanakan kewajibannya. Menurut E.Suherman, unsur perlindungan hukum bagi penumpang dalam penerbangan terdiri dari unsur keselamatan, keamanan, kenyamanan, pelayanan dan tarif serta perjanjian. Kemudian juga masih menurut E.Suherman bahwa yang pokok dalam suatu perlindungan jasa angkutan udara adalah kepentingan konsumen itu karena konsumenlah (penumpang) yang menjadi alasan pokok atau
11
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hal.105 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
raison d’etre
seluruh kegiatan angkutan udara. Tanpa konsumen tidak ada
justifikasi bagi investasi untuk sarana dan prasarana angkutan udara yang begitu besar. 12 Suatu sistem perlindungan hukum bagi konsumen jasa angkutan udara adalah suatu sistem yang terdiri dari peraturan-peraturan dan prosedur yang mengatur semua aspek yang baik langsung maupun tidak langsung mengenai kepentingan konsumen jasa angkutan udara. Perlindungan hukum terhadap penumpang harus dianggap sebagai hak yang paling hakiki yang harus disadari baik oleh penumpang sendiri maupun pihak penyelenggara penerbangan dan juga pemerintah. Tujuan
perlindungan
konsumen
adalah
meningkatkan
kesadaran,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
12
E.suherman, Aneka Masalah Kedirgantaraan (Himpunan Makalah 1961-1995), (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.112 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Untuk lebih jelasnya maka akan diberikan pengertian secara etimologi (arti kata), agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dengan bab-bab berikut. 1. Pengertian Penumpang Dalam Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Lembaran Negara No.53 Tahun 1992 tentang penerbangan, Lembaran Negara No.53 Tahun 1992 tidak dijumpai rumusan pasal mengenai pengguna jasa. Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut. Dalam perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian, dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang diangkut. 13 Penumpang pesawat udara adalah pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan perusahaan penerbangan. Penumpang bersedia membayar harga tiket dan pengangkut sanggup membawa penumpang ke tempat tujuan. 14
2. Pengertian Pesawat Udara Menurut ketentuan Pasal 1 butir (3) Undang-undang No.15 Tahun 1992, pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara. 15 Tidak termasuk pengertian pesawat udara adalah alatalat yang dapat terbang bukan oleh daya angkat dari reaksi udara, melainkan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi, misalnya roket. Pesawat udara ini ada yang digolongkan pesawat udara negara dan pesawat udara sipil. Pesawat 13
Abdulkadir Muhammad, Hukum pengangkutan Niaga, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998), hal.50 14 K.Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, (Bandung: Alumni, 1987), hal.120 15 Pasal 1 butir (3) Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
udara negara adalah pesawat udara yang dipergunakan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pesawat udara instansi pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat udara negara ( Pasal 1 butir (7) dan (8) Undang-undang No.15 Tahun 1992 ).16 Dalam pengertian pesawat udara sipil termasuk pesawat udara yang dipergunakan untuk angkutan udara niaga. Menurut ketentuan Pasal 1 butir (14) Undang-undang No.15 Tahun 1992, angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut bayaran. 17 Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa pesawat udara niaga adalah pesawat udara yang dipergunakan untuk angkutan udara umum dengan memungut bayaran. 18
3. Pengertian Standar Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia, yang dimaksud dengan standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. 19
16
Pasal 1 butir (7) dan (8) Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Pasal 1 butir (14) Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan 18 Abdulkadir Muhammad .Op.Cit, hal.74 19 Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia 17
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Sedangkan standardisasi menurut ayat (3) adalah proses merumuskan, merevisi, menetapkan, dan menerapkan standar, dilakukan secara tertib dan kerja sama dengan semua pihak. 20 Jika dirumuskan dalam bentuk lain, standardisasi berkaitan dengan proses penetapan dan penerapan standar yang dilakukan secara tertib dalam suatu kerja sama yang melibatkan semua pihak. Standarisasi mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kepada konsumen, tenaga kerja dan masyarakat, mewujudkan jaminan mutu produk dan/ atau jasa serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mantap dan tercapainya persaingan yang sehat dalam perdagangan serta menunjang kelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, standardisasi harus dapat mendorong para produsen untuk meningkatkan mutu dan daya saing produksinya dan tercapainya persaingan yang sehat dalam perdagangan serta menunjang kelestarian lingkungan hidup.
4. Pengertian Tarif Tiket Dalam Stb.No.100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Pasal 5 ayat (1), pengangkut udara harus memberikan kepada penumpang suatu tiket penumpang. Tiket ini merupakan syarat yang harus dipenuhi, dan ini membuktikan bahwa pemegang sudah membayar lunas biaya angkutan udara. Seorang penumpang tidak mungkin memiliki tiket penumpang tanpa membayar
20
Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional
Indonesia Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
biaya angkutan lebih dahulu. Dengan demikian, perjanjian pengangkutan udara sudah terjadi dan mengikat sejak tanggal yang tertera dalam tiket itu. 21 Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) OPU, tiket penumpang diterbitkan tidak atas nama, sebab dalam pasal tersebut tidak ada ketentuan mencantumkan nama penumpang. Pasal itu hanya membuat butir-butir berikut ini: a. Tempat dan tanggal penerbitan; b. Bandara pemberangkatan dan tujuan; c. Pendaratan yang direncanakan di tempat antara bandara pemberangkatan dan tujuan mengingat hak pengangkut udara untuk mengajukan syarat bahwa dia bila perlu dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan; d. Nama dan alamat pengangkut udara; e. Pemberitahuan bahwa angkutan udara tunduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur oleh ordonansi ini atau perjanjian Warsawa. 22 Dalam praktik perjanjian pengangkutan udara niaga, nama penumpang justru harus dicantumkan dalam tiket penumpang. Jadi, tiket penumpang harus diterbitkan “atas nama”. Pencantuman nama penumpang perlu karena dia adalah pihak dalam perjanjian, dan untuk kepastian dalam angkutan udara niaga. Berdasarkan praktik perjanjian pengangkutan udara niaga, rincian keterangan isi yang dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) OPU dilengkapi lagi dengan keterangan sebagai berikut: a. Nomor tiket penumpang; b. Jenis pesawat udara pengangkut; c. Nomor penerbangan; 21 22
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.95 Pasal 5 ayat 1 Stb. No.100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
d. Tanggal dan waktu keberangkatan; e. Waktu melapor dan status OK; f. Masa berlaku tiket penumpang; g. Jumlah biaya angkutan termasuk premi asuransi; h. Syarat-syarat perjanjian; i.
Tanda tangan pengangkut atau orang atas nama pengangkut.
F. Metode Penulisan Adapun studi penelitian yang dipilih mencakup materi di bidang ilmu hukum, khususnya pada hukum penerbangan. Jenis penulisan skripsi mengenai perlindungan hukum bagi penumpang pesawat udara berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1999 dalam hubungannya dengan standar tarif pesawat tiket di Indonesia ini merupakan penelitian hukum normatif yang mengacu pada normanorma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. 23 Sifat penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif sebab penulisan dalam skripsi ini menggambarkan dan melukiskan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penulisan ini. Pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori, doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual, dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Adapun data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu: 23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 51
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
1. bahan hukum primer, yaitu bahan hukum berupa peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini, seperti UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 8 Tahun 2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 81 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, Stb.No.100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU), UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Kepmen. Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001
tentang
Pemberhentian
Pengangkatan
Anggota
Sekretariat
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia; 2. bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar dan pendapat para ahli hukum; 3. bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hokum, kamus ekonomi dan kamus bahasa.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
G. Sistematika Penulisan BAB I
:
PENDAHULUAN
Merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II :
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENUMPANG PESAWAT UDARA Hal ini terdiri dari pembahasan mengenai Macam-macam Penumpang, Hak dan Kewajiban Penumpang, dan Sistem Perlindungan Hukum bagi Penumpang Pesawat
BAB III :
STANDAR TARIF TIKET PESAWAT DI INDONESIA Memberikan penjelasan mengenai Standar Tarif Tiket Pesawat berdasarkan Peraturan yang Berlaku, Faktor Penyebab TinggiRendahnya Tarif Tiket Pesawat Udara, Hubungan Tarif Tiket Pesawat Udara dengan Pelayanan, dan Para Pihak yang Berkompeten Mengawasi Tarif Tiket Pesawat.
BAB IV :
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG PESAWAT DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STANDAR TARIF TIKET PESAWAT
Bab ini merupakan bagian yang paling pokok dalam penulisan skripsi ini, dalam bab ini diuraikan mengenai Perlindungan Hukum
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
bagi Penumpang Pesawat Udara berdasarkan Peraturan Perundangundangan yang Berlaku, Penyelesaian Sengketa antara Penumpang Pesawat Udara dengan Maskapai Penerbangan, Sanksi terhadap Maskapai Penerbangan., dan Contoh Kasus. BAB V :
KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bagian akhir yang berisikan beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan serta saran-saran atas jawaban permasalahan tersebut.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENUMPANG PESAWAT UDARA
A. Macam-Macam Penumpang Secara umum penumpang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penumpang legal dan penumpang illegal. Penumpang legal adalah merupakan penumpang yang terbukti secara sah melakukan penerbangan dan namanya tertera di dalam tiket penerbangan. Sedangkan penumpang illegal/ gelap (stowawas) adalah penumpang yang tidak mempunyai tiket yang sah dalam suatu penerbangan atau nama yang tertera di tiket penerbangan itu bukanlah nama penumpang tersebut. Selain penumpang dan penumpang gelap, masih ada pembedaanpembedaan lain mengenai penumpang ini. Menurut R.Felix Hadi Mulyatno,24 berdasarkan pemesanan tempat/ reservasinya penumpang dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain: 1. Penumpang yang sudah OK, di tiketnya tertera OK dan namanya ada di daftar penumpang atau Passenger Name List (PNL); 2. Penumpang tidak ada rekord atau no record, penumpang yang di tiketnya tertera OK, tapi namanya tidak ada dalam PNL; 3. Penumpang menunggu atau stand by, penumpang yang di tiketnya belum OK dan namanya juga tidak ada dalam PNL; 4. Penumpang tidak datang atau no-show, nama penumpang ada dalam PNL tetapi yang bersangkutan tidak datang melapor;
24
R.Felix Hadi Mulyatno, Ground Handling Tata Operasi Darat, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1999), hal.3 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
5. Penumpang bisa pergi atau can go, penumpang yang tidak tertera dalam PNL, di tiket belum OK tapi dapat melakukan penerbangan. Dalam bukunya, Edi Wardojo juga membagi penumpang menjadi dua macam yaitu: 25 1. Inadmissable Passenger, yaitu penumpang yang tiba dari suatu penerbangan tapi kedatangannya ditolak oleh badan yang berwenang di negara tersebut; 2. Incapacitated Passenger, yaitu penumpang yang memerlukan penanganan atau permintaan khusus melebihi penumpang lainnya, baik karena keadaan fisik, kesehatan atau mentalnya; dan 3. Local Passenger, yaitu penumpang setempat yang menghubungi airline baik melalui kantor penjualan setempat, travel agent, maupun penerbangan lainnya di wilayah kota yang sama.
B. Hak dan Kewajiban Penumpang Menurut ketentuan Pasal 41 UU No.15 Tahun 1992, perusahaan angkutan udara niaga wajib mengangkut penumpang dan/ atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan. Tiket penumpang merupakan tanda bukti telah disepakati perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan. Perjanjian angkutan dan pembayaran biaya angkutan merupakan perbuatan yang dipenuhi secara berurutan, artinya setelah perjanjian terjadi biaya angkutan dibayar. Dengan demikian, kewajiban pokok penumpang adalah membayar biaya angkutan yang dibuktikan dengan dokumen angkutan. Sebagai imbalannya, penumpang berhak atas angkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut.
25
Edi Wardojo, Airline Passenger Aviation, (Bekasi: Eviexena Mediatama, 2006), hal xiv
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Mengenai pembatalan
pemberangkatan pesawat
udara tidak
ada
pengaturan tegas dalam UU No.15 Tahun 1992. Namun pada dokumen angkutan dapat dicantumkan kewajiban pengangkut untuk mengembalikan biaya angkutan yang sudah dibayar lunas lebih dahulu. Untuk memperoleh pengembalian biaya angkutan dari pengangkut, penumpang wajib menyerahkan dokumen angkutan kepada pengangkut. Penyerahan dokumen itu penting karena berfungsi sebagai bukti bahwa penumpang sudah melunasi biaya angkutan lebih dahulu. Karena pembatalan pemberangkatan oleh pengangkut, wajarlah jika pengembalian biaya angkutan itu disertai dengan penyerahan dokumen angkutan sebagai bukti kepada pengangkut. Dalam hal terjadi keterlambatan atau penundaan dalam pengangkutan karena kesalahan pengangkut, penumpang berhak memperoleh pelayanan yang layak, atau penumpang berhak memperoleh ganti kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang. Yang dimaksud dengan pelayanan yang layak adalah pelayanan dalam batas kelayakan sesuai dengan kemampuan pengangkut kepada penumpang selama menunggu keberangkatan, antara lain berupa penyediaan tempat dan konsumsi secara layak, atau penumpang berhak untuk diupayakan pengalihan angkutan ke perusahaan angkutan udara niaga lainnnya sesuai dengan kesepakatan. Mengenai masalah keterlambatan ini, pemerintah tengah merevisi Peraturan Menteri Perhubungan KM 81/2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara yang mewajibkan maskapai memberi kompensasi dan informasi yang jelas ketika pesawat mengalami keterlambatan. Penetapan perhitungan kompensasi dimulai sejak keterlambatan 30 menit. Adapun kompensasi atas keterlambatan
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
antara 30-90 menit adalah refreshment. Misalnya pemberian snack dan minuman. Sedangkan kompensasi untuk keterlambatan 90-180 menit, adalah refreshment ditambah makan lengkap dan mengakomodir tuntutan penumpang yang meminta pengalihan penerbangan berikutnya atau penerbangan lain. Di atas 180 menit, maka penumpang harus diberikan akomodasi lengkap, snack, makanan dan penginapan. 26 Penumpang yang mengalami kecelakaan selama dalam angkutan udara dan terjadi di dalam pesawat udara, atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat udara, berhak memperoleh santunan. Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara niaga (Pasal 42 UU No. 15 Tahun 1992). Pelayanan khusus dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan angkutan udara dengan baik. Pelayanan khusus tersebut dapat berupa pembuatan jalan khusus di bandara dan sarana khusus untuk naik ke atau turun dari pesawat udara, atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur. Sedangkan cacat yang dimaksud dalam ketentuan ini misalnya penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, tuna netra. Tidak termasuk dalam pengertian orang sakit menurut ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban penumpang hampir sama dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam Pasal 4 dan 5
26
“Aturan Direvisi, Maskapai Wajib Beri Kompensasi Jika Pesawat Telat", Sinar Indonesia Baru, 3 Maret 2008 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Undang-undang Perlindungan Konsumen. Menurut ketentuan Pasal 5 Undangundang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut: 27 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa; 2. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa, serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan; 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan; 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk itu, penumpang pesawat selaku konsumen perlu memerhatikan hakhak yang harus diperjuangkan. Sebagai konsumen, penumpang tidak bisa tinggal
27
Pasal 5 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
diam, tanpa bisa berbuat apa-apa ketika hak-haknya jelas-jelas telah dirugikan. Namun, konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 5, dinyatakan bahwa kewajiban konsumen sebagai berikut. 28 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/ jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya. 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/ jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan. 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar yang disepakati. 4. Mengikuti upaya penyelesaian sengketa hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/ jasa yang telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik
28
Pasal 5 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan asalkan memerhatikan norma dan prosedur yang berlaku. 29 Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Dengan cara seperti itu, setidaknya konsumen dapat terlindungi dari kemungkinankemungkinan masalah yang bakal menimpanya. Untuk itulah, perhatian terhadap kewajiban sama pentingnya dengan perhatian terhadap hak-haknya sebagai konsumen.
C. Aspek Perlindungan bagi Penumpang Setelah mengetahui hak dan kewajiban penumpang pesawat, perlu diketahui juga bagaimana cara memberikan perlindungan bagi penumpang pesawat.Cara yang dikehendaki adalah cara-cara perlindungan yang sempurna dan saling menunjang antara satu dengan yang lain dan didukung juga dengan profesionalisme perusahaan yang tinggi. Perlindungan konsumen penerbangan yang sempurna dapat dicapai melalui tiga jalur yakni jalur pengawasan, jalur pembinaan dan jalur pengaturan. 1. Jalur Pengawasan Sistem yang pertama kali harus diperhatikan sebagai upaya memberikan perlindungan hukum yang maksimum bagi penumpang adalah melalui jalur pengawasan.
29
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visi Media, 2008), hal
27 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Pengawasan
yang
diberikan
meliputi
pengawasan
atas
unsur-unsur
perlindungan hukum, yakni unsur keselamatan, keamanan, kenyamanan, pelayanan dan tarif serta perjanjian angkutan. 30 Berikut penjelasannya lebih lanjut: a. Pengawasan atas unsur keselamatan Pengawasan atas unsur ini dimulai dari pembuatan pesawat udara dan prasarana yang mutlak diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat keselamatan penerbangan. Di Indonesia mungkin belum ada industri khusus pembuatan pesawat udara bagi angkutan niaga yang dipakai secara global sehingga pengawasan cukup dilakukan oleh teknisi-teknisi maskapai penerbangan yang bersangkutan. b. Pengawasan atas unsur keamanan Dalam pengawasan atas unsur ini, masalah yang pokok adalah pihak mana yang mempunyai wewenang untuk menangani masalah keamanan ini. Pihak-pihak yang berwenang dalam menangani dan berusaha mencegah masalah keamanan adalah maskapai penerbangan sendiri, pengelola bandara atau pihak kepolisian. Namun, selain ketiga pihak tersebut masih ada pihak lain yang juga berwenang untuk menangani masalah keamanan ini, yakni KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) bentukan pemerintah dan juga tim EKKT (Evaluasi Kinerja Keselamatan Transportasi). KNKT bertugas untuk menangani masalah-masalah seputar penyebab kecelakaan transportasi, baik itu di darat, laut maupun udara. Tim EKKT
30
E.Suherman, Op.Cit, hal.139
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
ini bertugas untuk melakukan evaluasi-evaluasi terhadap kerja maskapai penerbangan secara keseluruhan. c. Pengawasan atas unsur kenyamanan Aspek kenyamanan selama di dalam pesawat menjadi tanggung jawab pihak maskapai penerbangan, sedangkan kenyamanan selama di bandara menjadi tanggung jawab pihak pengelola bandara. Seyogyanya, harus terdapat hubungan yang sinergi di antara pihak maskapai
penerbangan
dengan
pihak
pengelola
bandara
dalam
memberikan kenyamanan bagi penumpang. d. Pengawasan atas unsur pelayanan Sampai saat ini belum ada instansi khusus yang mengawasi pelayanan yang diberikan terhadap penumpang, kecuali mungkin ada divisi-divisi khusus dalam maskapai penerbangan yang sifatnya internal atau biro/ agen perjalanan yang bersangkutan. e. Pengawasan atas unsur tarif Tarif penerbangan ditetapkan atau disetujui oleh Departemen Perhubungan atas usul yang diajukan oleh maskapai penerbangan yang bersangkutan. Departemen Perhubungan menetapkan batas atas tarif yang tidak boleh dilanggar oleh maskapai penerbangan. Pemerintah melalui Departemen Perhubungan mempunyai wewenang untuk mengawasi perkembangan tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan. Hal ini dimaksudkan agar tercipta persaingan usaha yang sehat diantara penyedia jasa penerbangan.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
f. Pengawasan atas unsur perjanjian angkutan Pengawasan atas unsur ini menyangkut kontrak-kontrak baku dan syaratsyarat di dalamnya. Seyogyanya, setiap maskapai penerbangan wajib mempunyai syarat-syarat umum pengangkutan (General Condition of Carriage) sehingga sewaktu-waktu penumpang dapat mengetahuinya apabila diminta. 2. Jalur Pembinaan Pembinaan usaha penerbangan dalam rangka tercapainya perlindungan konsumen yang sempurna telah diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Penerbangan. Melalui jalur pembinaan ini, hendaknya seluruh maskapai penerbangan dibina secara berkesinambungan bersama-sama dengan Pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu sistem penerbangan yang berorientasi pada pembangunan dan berekonomi sehat. Selain ditujukan kepada maskapai penerbangan, pembinaan itu juga harus diberikan kepada masing-masing personil yang menjalankan tugasnya. Pembinaan personil tersebut menjadi tanggung jawab dari badan-badan dimana personil tersebut terlibat dalam setiap kegiatan penerbangan. Personil inilah yang nantinya menentukan baik tidaknya pelayanan yang diberikan dengan memperhatikan juga syarat-syarat keselamatan penerbangan sehingga pembinaan mereka merupakan faktor yang penting dan bahkan menentukan baik tidaknya sistem pengangkutan udara di Indonesia. 31
31
Ibid., hal.141
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
3. Jalur Pengaturan Dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi penumpang pesawat, hendaknya segala pengaturan baik dalam hukum nasional maupun internasional, dapat diterapkan seadil-adilnya. Pemerintah harus menyediakan payung hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi penumpang seandainya terjadi hal-hal yang dapat merugikan penumpang. Di Indonesia, pengaturan penerbangan mengenai masalah perlindungan bagi penumpang terdapat dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 121 dan 135 yang mengatur tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil. Selain itu, setidaknya pemerintah turut terlibat dalam beberapa pertemuanpertemuan internasional yang membahas tentang perlindungan hukum bagi penumpang dan ikut meratifikasinya dengan memperhatikan pertimbanganpertimbangan atas keadaan penerbangan yang sesuai di Indonesia. 32
32
Ibid., hal.142
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
BAB III STANDAR TARIF TIKET DI INDONESIA
A. Standar Tarif Tiket Pesawat berdasarkan Peraturan yang Berlaku Penjelasan umum UU No.15 Tahun 1992 khususnya alinea 6 menyatakan bahwa pelayanan jasa angkutan udara harus memperhatikan keselamatan, keamanan, kecepatan, kelancaran, ketertiban, keteraturan dan efisiensi dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Maka untuk mewujudkan biaya yang wajar serta terjangkau tadi diterbitkanlah beberapa peraturan yang mengatur mengenai standar tarif tiket, di antaranya: 1. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 8 Tahun 2002 mengenai Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi Departemen Perhubungan merevisi tarif dasar angkutan penumpang udara karena besarnya tidak sesuai lagi dengan tipe pesawat yang beroperasi. Salah satu alasan revisi itu adalah karena pesawat yang digunakan airlines nasional sudah beragam, sementara yang menjadi acuan tarif dasar adalah Boeing. Pihak INACA juga mengusulkan perubahan tarif dasar angkutan udara yang memungkinkan tarif penerbangan domestik naik sekitar 25%. Besaran tarif yang diusulkan terdiri dari dua alternatif, dan merupakan hasil pembahasan para operator asosiasi. 33 Tarif dasar yang diusulkan anggota asosiasi mengubah pengelompokan dari lima kategori jarak terbang menjadi enam kategori jarak terbang. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut: a. 0-200 km 33
”INACA Usul Perubahan Tarif Dasar Udara”, Bisnis Indonesia, 15 Agustus 2001
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
b. 201-400 km c. 401-600 km d. 601-800 km e. 801-1000 km f. Dan diatas 1000 km 34 Koordinator Tim Tarif INACA juga mengatakan, bahwa setelah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 25 Tahun 1997 dicabut, maskapai penerbangan bebas menentukan “batas bawah”. Hal ini penting, agar airline yang terbang di rute yang pangsa pasarnya besar tidak mendikte harga sesuai keinginannya. Tarif penumpang angkutan udara berjadwal dalam negeri kelas ekonomi secara periodik akan dievaluasi setiap enam bulan sekali setelah penetapan tarifnya diambil alih oleh pemerintah. 35 Selanjutnya, pada tanggal 1 Februari 2002. pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 8 Tahun 2002 mengenai Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Keputusan Menteri tersebut menetapkan, antara lain perihal mekanisme penetapan tarif. Tarif penumpang angkutan niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi merupakan tarif jarak, jarak terbang, serta dengan memperhatikan faktor daya beli. Besaran tarif dasar dan tarif jarak diusulkan oleh Direktorat Jenderal kepada Menteri Perhubungan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik. setelah dilakukan pembahasan terlebih dahulu dengan asosiasi
34 35
“Tarif Dasar Angkutan Udara sudah Direvisi”, Bisnis Indonesia, 7 Agustus 2001 “INACA Usul Perubahan Tarif Dasar Udara”, Bisnis Indonesia, 15 Agustus 2001
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
perusahaan angkutan udara, perusahaan angkutan udara, dan pengguna jasa angkutan udara.
2. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi Selain KM 8 Tahun 2002, Departemen Perhubungan mengeluarkan pula Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi yang menetapkan pedoman pada tarif dasar. Tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi yang akan dipaparkan di bawah ini, belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), iuran wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang dari PT Jasa Raharja (Persero), asuransi tambahan lainnya yang dilaksanakan secara sukarela dan tarif jasa pelayanan penumpang pesawat udara yang dikenakan sesuai ketentuan yang berlaku. Tarif yang diberlakukan tahun 2002 tersebut disesuaikan dengan harga avtur (bahan bakar pesawat) saat itu berkisar Rp 1.900-Rp 2.000 per liter dan setiap pungutan yang dikaitkan dengan tarif angkutan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Perhubungan. Dihapuskannya keputusan mengenai “batas bawah” dalam penetapan tarif menyebabkan operator penerbangan saling bersaing untuk meraih pasar dengan melakukan perang tarif. Perkembangan tersebut menyebabkan pemerintah meninjau kembali Keputusan Menteri Nomor 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi, serta menghapus mekanisme pasar melalui penetapan tarif
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
“batas bawah”. Rencana tersebut ditolak Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), karena disinyalir hanya merupakan hasil lobi maskapai penerbangan tertentu yang tidak mampu bersaing. Adapun pedoman pada tarif dasar sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 PEDOMAN TARIF DASAR No
Kelompok Jarak (Km) Di bawah 150 150 s/d 225 226 s/d 300 301 s/d 375 376 s/d 450 451 s/d 600 601 s/d 750 751 s/d 900 901 s/d 1.050 1.051 s/d 1.400 Di atas 1.400
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Tarif Dasar per Pnp-Km (Rp) 1.450,1.365,1.295,1.230,1.170,1.100,1.050,1.000,950,900,850,-
Sumber: Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi Pasal 1
3. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 36 Tahun 2005 tentang Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan Udata Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi Pada tanggal 10 Juni 2005 Departemen Perhubungan mengeluarkan Peraturan Nomor: KM 36 Tahun 2005 tentang Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Latar belakang
dikeluarkannya
Peraturan
Menteri tersebut
adalah
kondisi
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
perusahaan penerbangan nasional yang masih tertekan karena kenaikan avtur. 36 Hal lain yang mendorong dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut adalah kondisi persaingan yang semakin tajam antara perusahaan-perusahaan penerbangan nasional, sehingga memungkinkan terjadi persaingan-persaingan yang tidak sehat. Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian, baik terhadap perusahaan penerbangan maupun masyarakat pengguna jasa tersebut. Pemerintah
sebagai
regulator,
mempunyai
kewajiban
dalam
rangka
tercapainya jasa angkutan udara yang mempunyai kelangsungan hidup jangka panjang dengan tetap memenuhi aspek keamanan dan keselamatan penerbangan. 37 Perusahaan angkutan udara berjadwal dalam menawarkan harga tiket jual harus memenuhi aspek keamanan dan keselamatan penerbangan. Selain itu juga harus menjaga persaingan usaha dan bertanggung jawab terhadap harga jual tiket, baik yang dilakukan sendiri maupun yang dilakukan mitra usaha. Terkait penetapan tarif referensi ini, Menteri Perhubungan menekankan bahwa pemerintahdalam hal ini Departemen Perhubungan tidak akan melakukan pengawasan khusus apabila terjadi penyimpangan terhadap tarif referensi. 38 Tarif referensi adalah alat bagi Departemen Perhubungan (Dephub) sebagai regulator untuk menjaga agar tarif penumpang yang ditetapkan maskapai penerbangan tidak melanggar aspek keamanan terbang. Tarif referensi antara lain mencakup komponen ongkos perawatan pesawat, asuransi, pilot, dan 36
“Menteri Perhubungan Terapkan Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi”, www.dephub.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Januari 2009 37 Ibid. 38 Ibid. Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
manajemen. 39 Di dalam tarif yang telah diatur dalam Keputusan Menteri tersebut di atas, tidak termasuk biaya tambahan lainnya seperti biaya tambahan untuk bahan bakar pesawat (fuel surcharge). Hal ini tentu saja menimbulkan polemik fuel surcharge dimana maskapai domestik enggan menurunkannya meski harga minyak mentah dunia sudah turun. Di dalam tarif yang telah diatur dalam Keputusan Menteri tersebut di atas, tidak termasuk biaya tambahan lainnya seperti biaya tambahan untuk bahan bakar pesawat (fuel surcharge). Hal ini tentu saja menimbulkan polemik fuel surcharge dimana maskapai domestik enggan menurunkannya meski harga minyak mentah dunia sudah turun. Selain itu formula penghitungan harga avtur dari Pertamina yang penetapannya berdasarkan harga avtur rata-rata dalam dua bulan terakhir juga sangat disayangkan. Seharusnya lebih 'real time' (seketika) sehingga 'lack of time' (keterlambatan waktu)-nya
tidak terlalu lama. Seperti diketahui,
Pertamina mengumumkan, harga avtur yang pada Agustus tahun lalu mencapai Rp 11.825 per liter termasuk PPn, pada 1 September kemarin turun menjadi Rp 10.021 per liter. Namun, sejauh ini belum ada maskapai yang mengumumkan penurunan fuel surcharge. Ini
tentu sudah memberatkan
penumpang karena rata-rata biaya fuel surcharge per 1 jam terbang saat ini sudah mencapai Rp300 ribu per penumpang. 40 Maka dari itulah Departemen Perhubungan telah merencanakan untuk merevisi KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Angkutan Udara. Rumusan standarisasi akan mengacu pada rumusan internasional yang berlaku tentang 39 40
“Menhub akan Minta KPPU Mengaudit Airlines”, Investor Daily, Rabu 8 Juni 2005 “Tiga Sanksi bagi Pelanggar Tarif Udara”, Republika News Room, 8 September 2008
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
perhitungan fuel surcharge. Adapun rumusannya adalah harga minyak setelah pajak dikurangi harga dasar avtur yang dipergunakan pada waktu hitung tarif. Kemudian dikalikan rata-rata konsumsi avtur per kilometer. Dengan rumusan standar tersebut, maskapai akan menghitung besaran berdasarkan lama penerbangan, ukuran, tipe dan usia mesin pesawat. Selain itu untuk setiap maskapai, terutama yang terbang reguler diwajibkan melaporkan setiap perubahan biaya tambahan tersebut. Maka dengan standarisasi dan kewajiban melapor tersebut, maskapai dapat dipantau konsistensinya dalam menaikkan dan menurunkan fuel surcharge sesuai perkembangan harga bahan bakar minyak dunia.
B. Faktor Penyebab Tinggi-Rendahnya Tarif Tiket Pesawat Udara Tinggi-rendahnya tarif tiket pesawat udara sangat dipengaruhi oleh biaya operasi penerbangan. Adapun komponen biaya operasi penerbangan minimal terdiri dari: 1. Biaya Operasi Langsung a. Biaya Operasi Langsung Tetap 1) Biaya sewa pesawat udara dan atau penyusutan pesawat udara 2) Biaya asuransi pesawat udara 3) Biaya gaji tetap awak pesawat 4) Biaya gaji tetap fight engineer, teknisi, mekanik dan FOO. 5) Biaya
amortisasi
training
crew
(bagi
pemohon
yang
akan
menggunakan crew yang membutuhkan initial training) 41 41
Amortisasi adalah suatu pengurangan dalam jumlah hutang dengan jalan melakukan pembayaran periodik yang meliputi rente (jumlah uang yang dibayar untuk penggunaan tanah atau Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
6) Biaya training crew (untuk training yang sifatnya dilakukan secara berjangka/ berkala) b. Biaya Operasi Langsung Variabel 1) Biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pelumas 2) Biaya perawatan/ pemeliharaan pesawat udara 3) Biaya tunjangan awak pesawat 4) Biaya pelayanan jasa bandar udara {jasa pelayanan penerbangan (route charge), pendaratan, penempatan dan penyimpanan (kalau ada)} 5) Biaya pelayanan di darat (ground handling) 6) Biaya catering 2. Biaya Operasi Tidak Langsung a. Biaya umum dan organisasi b. Biaya penyusutan aktiva tetap non pesawat c. Biaya amortisasi non aktiva tetap d. Biaya gaji tetap SDM tidak langsung e. Biaya pemasaran dan penjualan f. Biaya komisi agen 42 Jika biaya operasi suatu maskapai penerbangan tinggi, maka sudah barang tentu tarif tiket yang ditawarkan kepada penumpang juga tinggi. Demikian juga
faktor produksi lain) dan sebagian dari pinjaman pokok. (EC.Winardi, Kamus Ekonomi InggrisIndonesia, (Bandung: Alumni, 1974), hal. 16) 42 Acuan Penyusunan Study Kelayakan untuk Persyaratan Permohonan Izin Usaha Perusahaan Angkutan Udara Niaga (E:\REVISI KM 11 SEPT 2004\Diksi Lampiran 2\ Kerangka Acuan Niaga. Doc) Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
sebaliknya. Selain operational cost, masih banyak juga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tarif tiket pesawat udara, di antaranya: 43 1. Jarak Tarif pesawat dihitung dari besaran 'average fare per mile' yang berbanding lurus terhadap jarak. Jadi semakin jauh jarak tujuan line penerbangan, semakin mahal harga tiket yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan. 2. Demand/ Permintaan Dalam prinsip ekonomi dikenal adanya istilah semakin tinggi permintaan (demand) terhadap suatu barang dan/ atau jasa, maka semakin tinggi harga yang ditawarkan. Hal ini berlaku juga dalam maskapai penerbangan dimana pada saat peak season (misalnya musim liburan) harga tiket bisa melonjak tajam lebih dari 100%. 3. Load Factor Semakin sedikit jumlah seat yang tersedia dalam suatu penerbangan, semakin besar biaya yang dibebankan kepada penumpang. Demikian juga sebaliknya, jika semakin banyak jumlah seat yang tersedia dalam suatu penerbangan, semakin sedikit biaya yang dibebankan kepada penumpang.
C. Hubungan Tarif Tiket Pesawat Udara dengan Pelayanan Maskapai Selama ini penumpang pesawat seakan buta atas kualitas layanan dari maskapai penerbangan. Bisa jadi penumpang hanya meraba-raba dan juga mendengar dari mulut ke mulut terkait kualitas pelayanan sebuah maskapai penerbangan. Penumpang bahkan tidak jarang dibutakan oleh harga tiket yang
43
“Tiket Pesawat”, www.kapanlagi.com, terakhir kali diakses pada tanggal 21 Juli 2008
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
murah sehingga lupa dengan kualitas layanan yang lain, baik kelayakan pesawat maupun kualitas kenyamanan dan keselamatan. Di sisi lain ada maskapai dengan menjual tiket murah kurang memperhatikan kualitas keamanan, keselamatan serta ketepatan jadwal. Masalah
utama
soal
pelayanan
maskapai
penerbangan
muncul
kepermukaan, adalah ketika maskapai ini mengandalkan tarif murah. Studi YLKI (2003) dampak tarif murah mengindikasikan banyak kelemahan layanan dan berkurangnya layanan keselamatan dari maskapai akibat perang tarif. 44 Beberapa maskapai penerbangan menjadikan harga sebagai salah satu daya tarik bagi penumpang. Pemilihan maskapai penerbangan pun lebih banyak dipengaruhi oleh faktor harga daripada aspek kenyamanan, ketepatan waktu, apalagi aspek keselamatan. Salah satu contoh buruknya pelayanan maskapai dapat dilihat mulai dari cara melayani penumpang sampai kepada memberikan suguhan makanan di dalam pesawat dimana penyajian meals on board dari catering yang tidak jelas lisensinya dan toilet yang kerap kali beraroma kurang sedap. Selain itu ada juga airline yang dicurigai memakai ban vulkanisir yang melanggar ketentuan, fuel diisi pas-pasan sehingga pilot harus memaksa mendarat meski cuaca buruk, anak-anak yang membayar penuh tapi dipaksa untuk dipangku bila tempat duduk di pesawat overbooked 45, dan pembajakan kopilot untuk kemudian dijadikan sebagai kapten. 46
44
Farid Wajdi, “Antara Tiket Mahal dan Pelayanan Maskapai”, http://faridw70.multiply.com/reviews, terakhir kali diakses pada tanggal 13 Januari 2009 45 Overbooked adalah suatu praktek yang merugikan konsumen jasa angkutan udara dimana membukukan penumpang melebihi kapasitas angkut pesawat. (E.Suherman, ibid. hal. 126) 46 Bachrul Hakim, “Harga Referensi dan Harapan Industri Penerbangan”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/18/uang02.html, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Januari 2009 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Selain itu terdapat pengelolaan perusahaan yang buruk dimana menempatkan aspek keselamatan jauh lebih rendah dari persoalan biaya dan tarif. Fakta maskapai obral tiket murah, lalu mengabaikan komponen lainnya, menyebabkan ada yang dikorbankan, siapa lagi kalau bukan penumpang termasuk faktor keselamatannya. Diduga akibat tarif murah banyak pilot yang dipaksa mengoperasikan pesawat di dalam jadwal yang ketat, sehingga mereka berada di bawah tekanan atau intervensi pemilik perusahaan untuk ’kejar setoran’. 47 Selain itu, mengenai tiket misalnya, calon penumpang sering merasa dirugikan. Terlambat sebentar saja, penumpang langsung ditinggal pesawat. Tidak ada toleransi sama sekali. Giliran penerbangan di delay terutama terjadi pada sore hari, penumpang tidak diberi kompensasi apa pun dari maskapai penerbangan. Hal ini tentu sangat tidak adil dimana pengguna jasa lebih banyak dirugikan. 48 Terjadinya pemangkasan harga semata-mata untuk mengejar pendapatan dan bertahan dalam bisnis transportasi udara yang sangat ketat namun mengenyampingkan aspek ’safety’ yang tidak dibenarkan. Perilaku buruk maskapai penerbangan dapat terlihat dari segi standar pemeriksaan dimana yang berlaku secara umum adalah satu dalam kurun waktu tiga bulan. Karena itu tidak cukup relevan jika demi alasan penghematan biaya pemeriksaan yang seharusnya empat kali dalam satu tahun cuma dilakukan satu kali. Apalagi hal itu terkait dengan
trik
persaingan
usaha
dengan
menjual
tiket
murah,
namun
mempertaruhkan nyawa penumpang. 49
47
Ibid. “Izin Operasi Pesawat Kecelakaan Terancam Dibekukan”, http://www.poskota.co.id/, terakhir kali diakses pada tanggal 13 Januari 2009 49 Ibid. 48
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Dalam Pasal 4 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa. Hal ini menunjukkan bahwa kenyamanan, keamanan, dan keselamatan penerbangan merupakan hak mutlak penumpang yang seharusnya diberikan oleh maskapai penerbangan. Bila mengacu pada Pasal 4 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, standar pelayanan minimal dan standar keselamatan minimal merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Dengan kata lain, upaya meningkatkan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh maskapai penerbangan serta-merta juga memperhatikan pemenuhan standar keselamatan. Untuk memastikan bahwa standar keselamatan dipenuhi oleh suatu maskapai penerbangan, pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab harus menjalankan fungsinya secara optimal karena fungsi pengawasan pemenuhan standar keselamatan oleh maskapai penerbangan sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah. 50 Oleh karena itu pemerintah melalui Departemen Perhubungan (Dephub) tengah menyusun Standar Pelayanan Minimum (SPM) angkutan udara berdasarkan besaran tarif tiket. Pemerintah berencana mengatur Standar Pelayanan Minimum (SPM) maskapai penerbangan berpelayanan penuh (full service) dan maskapai berbiaya murah (low cost carrier/LCC). Aturan ini disusun beriringan dengan perumusan sanksi keterlambatan (delay) penerbangan dan akan memberikan kepastian standar pelayanan minimum dan perlindungan kepada konsumen maskapai penerbangan nasional. Peraturan Menteri Perhubungan itu 50
“Keselamatan Penerbangan, Kapan Bisa Terwujud”, http://mediaindonesia.com, terakhir kali diakses pada tanggal 13 Januari 2009 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
juga akan mengatur sistem pentarifan maskapai full service dan LCC dikaitkan dengan standar pelayanan minimum angkutan udara dimana nantinya terdapat dua mekanisme yang mengatur tarif batas atas dan tarif referensi. 51 Dalam keterlambatan
penetapan akibat
sanksi
faktor
delay
eksternal,
kepada
maskapai
dalam revisi
untuk
Keputusan
setiap Mentri
Perhubungan No. 81 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, sedikitnya terdapat tiga jenis kompensasi yang wajib diberikan pada penumpang. Pertama, untuk keterlambatan mulai 30 menit sampai 90 menit, maskapai harus memberikan refreshment. Kedua, lebih dari 90 menit hingga 180 menit, wajib memberikan makan sesuai waktunya. Ketiga, 180 menit keatas, penumpang berhak mendapat fasilitas akomodasi atau penginapan. Dengan catatan, ketika sudah tidak ada lagi penerbangan lanjutan. Kewajiban kompensasi hanya berlaku untuk setiap kesalahan teknis dan operasi maskapai, di luar itu operator tidak diwajibkan mengganti pelayanan apapun kepada penumpang. Namun, operator dipersilahkan jika tetap ingin memberikan kompensasi karena akan menjadi nilai promosi bagi maskapai tersebut. Dengan adanya aturan yang menegaskan tentang SPM ini diharapkan dapat memberi kepastian standar pelayanan minimum dan perlindungan kepada konsumen maskapai penerbangan nasional. 52
51
“Menteri Perhubungan Terapkan Tarif Dasar Referensi untuk Penumpang Angkutan Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi”, http://hubud.dephub.go.id/, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Jauari 2009 52 ibid. Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
D. Peranan Pemerintah-Departemen Perhubungan Republik Indonesia dalam Pengawasan Tarif Tiket Pesawat
Penyelenggaraan
transportasi
udara
tidak
dapat
dilepaskan
dari
pertumbuhan ekonomi masyarakat pengguna jasa transportasi udara yang dilayani dan juga kecenderungan perkembangan ekonomi global. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik, peran pemerintah yang semula sebagai penyedia jasa dan pelaku kegiatan ekonomi, akan berubah peran menjadi sebagai regulator. Sebagai regulator, Pemerintah melalui Departemen Perhubungan Republik Indonesia hanya bertugas menerbitkan berbagai aturan, melaksanakan sertifikasi dan pengawasan. Terkait dengan tarif tiket pesawat di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan peraturan perundang-undangan dalam bidang penerbangan antara lain: 1. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan; 2. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 8 Tahun 2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi; 3. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi; 4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 81 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Adapun bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap penumpang di udara antara lain: 1. Menjamin bahwa sarana transportasi yang disediakan memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan secara konsisten dan terus menerus; 2. Secara konsisten dan terus menerus melakukan pengawasan dengan melakukan pengecekan terhadap pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Penegakan hukum secara konsisten terhadap pelanggaran pemenuhan regulasi secara admnisistrsi berupa pencabutan sertifikat. Pengawasan khusus apabila terjadi penyimpangan terhadap tarif referensi dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara dengan menggunakan alat bukti berupa: harga jual yang tercantum di dalam tiket dan atau bukti pembayaran lainnya, pemberitaan agen yang mencantumkan harga jual di bawah referensi, iklan dalam media cetak/ elektronik, informasi dan/ atau laporan dari pengguna jasa, perusahaan angkutan udara niaga dan/ atau organisasi yang terkait di bidang penerbangan yang merasa dirugikan. 53 Apabila hasil pengawasan khusus membuktikan adanya pelanggaran ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan dan pelanggaran ketentuan di bidang angkutan udara, maka perusahaan penerbangan akan diberikan tindakan korektif dengan mencabut rute penerbangan yang bersangkutan. Tarif referensi ini akan dievaluasi secara berkala setiap enam bulan atau apabila terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap biaya operasi pesawat
53
“Tarif Referensi untuk Tarif Pesawat”, www.kompas.com, terakhir kali diakses pada tanggal 6 Januari 2009 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
udara. Sedangkan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan tersebut akan dilakukan oleh Dirjen Perhubungan Udara. Untuk rencana ke depannya, Menteri Perhubungan menyatakan akan menetapkan dua kebijakan dalam rangka meningkatkan dan menguatkan jasa dari industri pelayanan udara. Kebijakan tersebut adalah penutupan izin-izin baru usaha penerbangan dan pengetatan pengawasan dengan meningkatkan kewajibankewajiban yang harus dipenuhi maskapai penerbangan yang beroperasi. Peningkatan kewajiban tersebut yaitu modal kerja harus tinggi dan jumlah pesawat minimum 5 (lima). Menteri Perhubungan mengatakan bahwa semua ini bukan dalam rangka mempersulit maskapai nasional, akan tetapi dalam rangka meningkatkan keamanan dan keselamatan penumpang. 54
E. Peranan INACA (Indonesia National Air Carrier Association)
Industri penerbangan adalah salah satu industri yang paling dinamis dan cepat berubah di Indonesia. Dalam menentukan penetapan tarif batas atas dan bawah di industri penerbangan, pemerintah-departemen perhubungan tidak sendiri tetapi dibantu juga oleh pihak maskapai penerbangan selaku pelaku usaha, penumpang selaku konsumen, dan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau disebut Indonesia National Air Carriers Association (INACA). INACA berkedudukan di Ibu Kota Republik Indonesia, didirikan oleh para pengusaha perusahaan penerbangan pada tanggal 19 Oktober 1970. Adapun misi
54
Ibid.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
dari INACA adalah untuk mewakili dan melayani idustri penerbangan Indonesia. 55
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor: KP5/AU.701/PHB-89 tanggal 23 Nopember 1989, INACA telah dikukuhkan sebagai satu-satunya Wadah Usaha Penerbangan Nasional Indonesia dan Mitra Kerja Pemerintah. 56 Adapun anggota dari INACA adalah perusahaan maskapai penerbangan, diantaranya:
1.
Untuk penerbangan berjadwal (schedule) a. Dirgantara Air Service b. Deraya Air Services c. Garuda Indonesia,pt (Persero) d. Jatayu Airlines e. Kartika Airlines f. Lion Air g. Mandala Airlines h. Merpati Nusantara Airlines,pt (Persero) i.
Batavia Air
j.
Pelita Air Services
k. Sriwijaya Air l.
Trigana Air Services
m. Star Air n. SMAC o. Bayu Indonesia Air p. Bouraq Indonesia q. Bali International Air Services r. Indonesia Airlines
55 56
http://www.inaca.net, diakses terakhir kali pada tanggal 13 Maret 2009 http://www.inaca.org
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
2.
Untuk penerbangan charter (non schedule) a. Derazona Air Services b. Gatari Air Service c. Indonesia Air Transport d. National Utility Helicopter e. Sabang Mereuke Raya Air Charter f. Dayajasa Transindo Pratama g. Eastindo h. Germania Trisila Air Keputusan Menteri Perhubungan No.25 Tahun 1997 memberi kewenangan
kepada INACA dalam menentukan tarif penerbangan, dimana tarif jarak adalah tarif dasar dikalikan dengan jarak penerbangan. Sehingga apabila kewenangan INACA dicabut sebagaimana yang diinginkan KPPU 57, maka penentuan tarif penerbangan akan diserahkan kepada mekanisme pasar dan mengakibatkan tarif penerbangan fluktuatif. Walaupun pada dasarnya pentarifan yang disepakati oleh anggota INACA juga mengandung prinsip mekanisme pasar. Hanya saja, mekanismenya dibatasi oleh tarif maksimal dan minimal.
F. Para Pihak yang Berkompeten Mengawasi Tarif Tiket menurut UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 1. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah lembaga non-pemerintah yang didirikan khusus untuk melindungi kepentingan konsumen dari perilaku para pelaku usaha yang menjalankan kegiatannya tidak sesuai
57
“Tarif INACA Masih Menjadi Acuan”, Bisnis Indonesia, 26 Juli 2001
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
dengan hukum yang berlaku, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada harta, keselamatan tubuh maupun keamanan jiwa konsumen. Walaupun Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dikatakan sebagai Lembaga non Pemerintah, tetapi bukanlah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang selama ini diketahui “independen”,
mengingat
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat yang dimaksud dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 ini harus didaftarkan dan mendapat pengakuan pemerintah, dengan tugas-tugas yang masih diatur dengan Peraturan Pemerintah. Adapun tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat berdasarkan Pasal 44 UU No.8 Tahun 1999 meliputi: 58 a. menyebar informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Penyebaran informasi sebagaimana yang disebutkan di atas meliputi penyebarluasan
58
berbagai pengetahuan
mengenai
perlindungan
konsumen
Pasal 44 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
termasuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen. Adapun informasi yang dimaksud misalnya hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai proses produksi, standar, label, promosi dan periklanan, klausula baku dan lain-lain. Sedangkan penyebaran informasi yang dilakukan LPKSM dapat dilaksanakan melalui kegiatan: pendidikan, pelatihan, penyuluhan, pelayanan informasi, dan lain-lain. 59 Dalam hal memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan, dilaksanakan oleh LPKSM secara lisan atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Selain itu, pelaksanaan kerja sama LPKSM dengan instansi terkait meliputi pertukaran informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen. Dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok.
Pengawasan
perlindungan
konsumen
oleh
LPKSM
bersama
pemerintah dan masyarakat dilakukan atas barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/ atau survei. Adapun pelaksanaan penelitian, pengujian dan/ atau survei dilakukan terhadap barang dan/ atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, LPKSM dapat bekerjasama dengan organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun 59
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 217-218 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
internasional. LPKSM melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota setiap tahun. Laporan tersebut dimaksudkan sebagai sarana komunikasi antara Pemerintah Kabupaten/ Kota dengan LPKSM. Sedangkan dalam rangka penyelenggaraan perlindungan konsumen secara nasional, menteri dapat meminta laporan kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota mengenai LPKSM yang ada di wilayahnya. 60 Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 Mei 1973. YLKI ini didirikan dengan tujuan untuk membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi barang dan/ atau jasa. 61
2. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara dan bertanggung jawab kepada presiden. BPKN memiliki kedudukan yang kuat di dalam mengembangkan upaya perlindungan konsumen dimana badan ini tidak dapat diintervensi oleh pihak departemen di dalam pelaksanaan tugasnya. Kedudukannya independent dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kedudukan seperti ini sangat baik untuk kepentingan perlindungan konsumen. Sifat lebih otonom diharapkan dapat berperan memberikan perlindungan konsumen secara lebih maksimal. Berdasarkan Pasal 34 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mempunyai tugas: 62
60
Ibid., hal 219 C. Tantri D. dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, ( Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, 1995), hal. 9-10 62 Pasal 34 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 61
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen; b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; c. melakukan penelitian terhadap barang dan/ atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen; d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen; f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. Sebelumnya tugas ini pada umumnya diemban oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kehadiran Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, merupakan bentuk perlindungan dari arus atas (“top-down”). Sementara arus bawah (bottom-up) dalam hal ini diperankan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang representatif dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi konsumen. Perlindungan konsumen akan efektif jika secara simultan dilakukan dalam dua level/ arus sekaligus, yaitu dari arus bawah ada lembaga konsumen yang kuat dan terisolasi secara luas di masyarakat dan sekaligus secara representatif dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi konsumen. Sebaliknya dari arus atas,
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
ada bagian dalam struktur kekuasaan yang secara khusus mengurusi perlindungan konsumen. Semakin tinggi bagian tersebut semakin besar pula power yang dimiliki dalam melindungi kepentingan konsumen. Jadi efektif tidaknya perlindungan konsumen suatu negara tidak semata-mata tergantung pada lembaga konsumen, tapi juga kepedulian pemerintah, khususnya melalui institusi yang dibentuk untuk melindungi konsumen. 63
3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat 12, BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Disamping bertugas menyelesaikan masalah sengketa konsumen, BPSK juga bertugas memberikan konsultasi perlindungan konsumen. Bentuk konsultasinya sebagai berikut: 64 a. Memberikan penjelasan kepada konsumen atau pelaku usaha tentang hak dan kewajibannya masing-masing. b. Memberikan penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha. c. Memberikan penjelasan tentang bagaimana memperoleh pembelaan dalam hal penyelesaian sengketa konsumen. d. Memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa konsumen. BPSK dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Kedudukan badan ini berada di daerah kota dan/atau daerah 63 64
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, loc.cit, hal 199 Happy Susanto, ibid., hal. 83
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
kabupaten. Susunan pengurusan BPSK dibentuk oleh gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan oleh Menteri Perdagangan. Untuk pertama kali Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dibentuk pada setiap Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makasar. Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 52, tugas dan wewenang BPSK sebagai berikut: 65 a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/ atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i.
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
65
Pasal 55 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; j.
mendapatkan, meneliti, dan/ atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/ atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak konsumen; l.
memberitahukan
putusan
kepada
pelaku
usaha
yang
melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis. Jumlah anggota majelis harus ganjil dan sedikit-dikitnya tiga orang yang mewakili unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha (dibantu oleh seorang panitera). Secara
teknis
peradilan
semu
(quasi
rechtspraak),
permohonan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Bentuk permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) diajukan secara lisan atau tertulis ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melalui Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat oleh konsumen. Dalam hal konsumen yang mengajukan gugatan: 66 a. meninggal dunia; b. sakit atau telah lanjut usia (manula); c. belum dewasa;
66
Shofie,Yusuf, Op.Cit, hal.30
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
d. orang asing (Warga Negara Asing), maka permohonan dapat diajukan oleh ahli waris atau kuasanya. Isi permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) harus memuat secara benar dan lengkap (Pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001): a. identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri; b. nama dan alamat pelaku usaha; c. barang atau jasa yang diadukan d. bukti perolehan, keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan barang atau jasa yang diadukan; e. saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa, foto-foto barang atau kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) ditolak, jika: a. tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonan Penyelesain Sengketa Konsumen (PSK) tersebut; b. permohonan gugatan bukan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dari segi administratif, permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dicatat Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sesuai format yang disediakan. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dibubuhi tanggal dan nomor registrasi serta diberikan bukti tanda terima. 67 BPSK dalam menangani/ menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrasi disertai jangka waktu penyelesaian yang singkat (21 hari kerja). Dalam waktau paling lambat tujuh hari kerja sejak menerima
67
Ibid., hal.31
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
putusan BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUPK, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. Sekalipun putusan BPSK bersifat final dan mengikat (Pasal 53 ayat (3)), tetapi keberatan atas keputusan tersebut masih dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri (PN) dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan BPSK disampaikan. PN wajib memutusnya dalam jangka waktu 21 hari (Pasal 58 ayat (1)). Selanjutnya terhadap putusan PN dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan PN diterima. MA wajib memutus perkara dalam jangka waktu 30 hari sejak saat permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat (3)). Pengadilan mengacu pada ketentuan proses peradilan umum yang berlaku dan harus memperhatikan ketentuan Pasal 45 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 68
68
Majalah Teropong Vol II No.8, Mei 2003, hal 12
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENUMPANG PESAWAT BERDASARKAN UU NO.8 TAHUN 1999 DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STANDAR TARIF TIKET PESAWAT A. Unsur-Unsur Perlindungan Hukum bagi Penumpang Pesawat Udara Pemakai jasa angkutan udara perlu memperoleh perlindungan hukum untuk tiga hal yang utama yaitu keselamatan penerbangan, perkembangan tarif atau harga dari jasa angkutan udara itu dan kwalitas dari pelayanan pengangkutan udara. 69 Menurut E.Suherman dalam sistem perlindungan hukum bagi konsumen jasa angkutan udara, khususnya penumpang, masih ada hal-hal lain yang merupakan unsur-unsur dalam perlindungan konsumen, yang lengkapnya adalah sebagai berikut: 70 1. Keselamatan Penerbangan Keselamatan penerbangan menempati urutan utama dalam unsur-unsur dari sistem perlindungan bagi konsumen, karena langsung mengenai kepentingan konsumen yang paling utama, yaitu jiwanya. Unsur keselamatan penerbangan mempunyai beberapa aspek yang amat relevan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang satu dengan lainnya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisah-pisahkan. 69
Seminar Hukum Pengangkutan Udara, (Bina Cipta, 1980), hal 15. ( E.Suherman, Op.Cit, hal.112) 70 E.Suherman. Op.Cit, hal.113 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
a. Disain dan konstruksi pesawat udara Tahap pertama dari keselamatan penerbangan adalah desain dan konstruksi pesawat udara yang dapat terbang dengan selamat. Suatu aspek yang patut diperhatikan pada desain dan konstruksi pesawat udara adalah aspek “crashworthiness”
71
suatu pesawat udara, yaitu sifat-
sifat atau karakteristik pesawat udara yang sedemikian rupa, sehingga pada suatu kecelakaan yang seharusnya “survivable”
72
tidak ada penumpang
yang cedera atau luka parah. 73 Desain yang memenuhi syarat “crashworthiness” adalah misalnya penempatan
mesin
di
bagian
belakang
badan
pesawat
sehingga
kemungkinan mesin menghujam ketubuh pesawat diperkecil, kabin penumpang diperkuat secara khusus sehingga tidak mudah ringsek, kursi yang mempunyai konstruksi yang melindungi penumpang, sekat-sekat tahan api dan pintu-pintu darurat yang mudah terlihat dan mudah dibuka oleh penumpang. b. Kelaikan udara Suatu sertifikat kelaikan udara merupakan suatu bukti bahwa pesawat udara dinyatakan memenuhi syarat-syarat untuk dapat terbang dengan selamat, dalam batas-batas kemampuan yang ditetapkan oleh desain dan konstruksi. Namun dari beberapa kecelakaan pesawat udara dapat ditarik kesimpulan
71
Crashworthiness adalah kemampuan sebuah konstruksi pesawat untuk melindungi penumpangnya selama terjadi tubrukan yang kuat. (http://id.wikipedia.org diakses terakhir kali pada tanggal 10 Maret 2009) 72 survivable adalah kemampuan suatu sistem atas pesawat untuk tetap berfungsi (http://id.wikipedia.org diakses terakhir kali pada tanggal 10 Maret 2009) 73 Ibid., hal 114 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
bahwa tidak selalu sertifikat kelaikan udara merupakan sesuatu yang mutlak menjamin kemampuannya untuk terbang dengan selamat. 74
c. Perawatan pesawat Perawatan pesawat yang rutin umumnya dilakukan oleh perusahaan penerbangan sendiri, sedangkan overhaul 75 dilakukan oleh perusahaanperusahaan yang khusus yang mempunyai peralatan dan keahlian untuk melakukannya. Kelaikan udara harus ditunjang oleh perawatan pesawat udara yang dilakukan terus menerus dan karenanya perawatan pesawat merupakan suatu aspek yang harus mendapatkan pengawasan yang ketat. Dalam sistem perlindungan bagi konsumen, kecakapan tehnisi yang akan melakukan perawatan harus secara berkala dibina untuk menyesuaikan kecakapannya dengan perkembangan-perkembangan baru dalam tehnologi penerbangan. Yang sangat membantu perlindungan hukum bagi konsumen adalah suatu kenyataan bahwa bagaimanapun juga industri penerbangan merupakan salah satu industri yang paling banyak diatur, juga dengan pengaturan internasional. Manual-manual perawatan bagi setiap tipe pesawat udara umumnya cukup lengkap dan oleh pabrik terus menerus dilengkapi, apabila terjadi modifikasi-modifikasi pada pesawat. 76 d. Pengoperasian pesawat udara
74
Ibid., hal 115 Overhaul adalah pemeriksaan menyeluruh (http://id.wikipedia.org diakses terakhir kali pada tanggal 10 Maret 2009) 76 Ibid. 75
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Pengaturan pertama dalam rangka pengoperasian pesawat udara ditujukan pada pengaturan lalu-lintas udara, dan di Indonesia dapat dijumpai dalam “Luchtverkeersverordening”, (Staatsblad 1936 No.425) yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Luchtvaartbesluit 1932 (Staatsblad 1933 No.118). Di dalamnya terdapat peraturan tentang: Lampu-lampu pesawat dan tandatanda pesawat, isyarat-isyarat kalau akan mendarat atau keadaan darurat, dan sebagainya. Selain itu juga ada peraturan lalu lintas di udara, misalnya cara menyusul pesawat lain, lapangan terbang dan peraturan lalulintas di sekitar dan di atas lapangan terbang yang kesemuanya bertujuan agar pengoperasian pesawat udara dapat terlaksana dengan selamat. 77 e. Awak pesawat Seorang penerbang, ditinjau dari beberapa aspek adalah orang pilihan, yang tidak boleh mempunyai cacat baik rohani maupun jasmani. Yang perlu mendapat perhatian pula adalah masalah penjadwalan waktu tugas dan waktu istirahat yang tepat, yang dengan sendirinya dapat berbeda-beda untuk tiap jenis pesawat. Para pramugari-pramugari bagi seorang konsumen jasa angkutan udara seringkali merupakan tolok ukur mengenai pelayanan dari suatu perusahaan penerbangan dan seringkali menyebabkan seorang konsumen memilih suatu perusahaan penerbangan tertentu. Akan tetapi ada tugas pramugari-pramugari yang lebih serius daripada sekedar melayani penumpang . Dalam keadaan darurat seringkali mereka
77
Ibid., hal 117
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
dapat menentukan hidup matinya penumpang. Ia harus hafal benar prosedurprosedur penyelamatan yang berlaku disuatu pesawat udara tertentu sampai hal yang sekecil-kecilnya, termasuk lokasi dan cara membuka semua pintu darurat. 78
f. Prasarana penerbangan Prasarana penerbangan yaitu pelabuhan udara dengan segala alat bantu dan fasilitasnya mulai dari alat bantu navigasi yang paling mutakhir sampai ruang tunggu yang cukup nyaman bagi penumpang. Prasarana lain adalah rambu-rambu lalu lintas udara atau alat bantu navigasi yang terletak diluar pelabuhan udara. Perawatan prasarana ini merupakan unsur pula dalam rangka perlindungan bagi konsumen. 79
2. Keamanan Penerbangan Secara fisik aspek keamanan merupakan suatu aspek yang paling terasa oleh konsumen jasa angkutan udara disamping kecelakaan pesawat udara, yang termasuk hal yang dicoba dicegah dengan ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan penerbangan. Di samping tindak pidana yang bersifat menyolok, seperti pembajakan atau sabotase, memang sudah lama pula terjadi pencurian, perampokan barang dari gudang dan sebagainya yang dapat digolongkan pada tindak pidana biasa, akan tetapi yang khusus mendapat perhatian dalam konvensi-konvensi
78 79
Ibid., hal 118 Ibid., hal 119
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
internasional adalah tindak pidana yang lebih langsung dirasakan akibatnya oleh para penumpang pesawat udara, seperti halnya pembajakan.
3. Kenyamanan Menurut hukum
seorang penumpang yang mengadakan perjanjian
angkutan, mempunyai hak untuk diangkut dengan selamat ketempat tujuan. 80 Akan tetapi penumpang bukan saja harus sampai dengan selamat ditempat tujuan, melainkan juga mempunyai hak untuk diangkut dengan nyaman. Beberapa faktor harus diperhatikan dalam rangka kenyamanan bagi penumpang adalah: 81 a. Kelengkapan pesawat udara Bagi pesawat udara yang khusus mengangkut penumpang harus ditetapkan peralatan-peralatan minimum yang harus ada dalam pesawat udara. Bagi pesawat udara yang terbang pada ketinggian yang mengharuskan adanya kabin yang bertekanan udara, peralatan yang memberikan tekanan ini harus berfungsi dan dalam keadaan hal tidak berfungsi, harus disediakan topeng oksigen. Kamar kecil dalam jumlah yang mencukupi untuk jumlah penumpang yang diangkut merupakan suatu kelengkapan mutlak bagi pesawat pengangkutan penumpang, demikian pula persediaan minum. Airconditioning dan instalasi sirkulasi udara dalam pesawat udara berkapasitas besar juga mutlak diperlukan. b. Konfigurasi tempat duduk dipesawat udara 80 81
Pasal 522 Kitab Undang-undang Hukum Dagang Op.Cit, hal 124
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Suatu tendensi dari pengusaha angkutan diudara adalah untuk mengatur tempat duduk penumpang sedemikian rupa sehingga dapat diangkut penumpang sebanyak mungkin. Pada jarak-jarak pendek hal ini tidak begitu berpengaruh akan tetapi lain halnya dengan perjalanan jarak jauh. Dipesawat udara komersial perbedaan antara klas satu dan klas ekonomi, hanyalah dalam hal tempat duduk dan pelayanan makanan dan minuman. c. Fasilitas pelabuhan udara Suatu cafeteria, kamar-kamar kecil yang bersih, ruang tunggu yang cukup luas dengan tempat duduk yang tidak terlalu keras, merupakan fasilitas minimal yang harus ada pada suatu pelabuhan udara yang agak besar.
4. Pelayanan Pelayanan bagi penumpang dimulai sejak ia membeli tiket dan akan berakhir setelah ia tiba dengan selamat di tempat tujuan. Pelayanan selama penerbangan hanyalah sebagian dari aspek pelayanan itu. 82 a. Prosedur pembelian tiket Mudah tidaknya memperoleh tiket secara normal, merupakan tolok ukur dari taraf perlindungan kepentingan konsumen jasa angkutan. b. Prosedur pembukuan tempat Suatu praktek yang merugikan konsumen jasa angkutan udara adalah praktek “overbooking”
yang
dilakukan
oleh
perusahaan
penerbangan,
yang
membukukan penumpang melebihi kapasitas angkut pesawat dengan harapan
82
Ibid., hal 125
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
ada penumpang yang membatalkan penerbangannya atau “no-show”. Dalam hal semua penumpang muncul, maka semua penumpang harus di cancel. c. Pelayanan didarat Karena kesibukan yang biasanya terdapat menjelang keberangkatan pesawat, kemungkinan bahwa penumpang mendapat pelayanan yang tidak memuaskan memang besar sekali. Suatu hal yang sering kali menjengkelkan penumpang adalah kurangnya pemberitahuan pada penumpang mengenai hal-hal yang perlu diketahuinya, seperti waktu pemberangkatan, pesawat yang mana untuk jurusan mana, ditambah dengan kurang jelasnya suara dari sistem pemberitahuan. d. Angkutan didarat Meskipun tidak merupakan bagian dari suatu angkutan udara, angkutan ke dan dari pelabuhan udara seringkali merupakan masalah bagi penumpang. e. Penyelesaian klaim Penyelesaian klaim biasanya dilakukan menurut prosedur klaim yang berlaku dan seringkali merupakan sumber kejengkelan bagi para penumpang yang kehilangan bagasinya atau bagasinya salah diangkut ke tempat lain. Dari sudut ini penyelesaian klaim yang mudah, cepat dan memuaskan merupakan suatu unsur pelayanan yang tidak boleh dilupakan.
5. Pertarifan Salah satu perlindungan utama bagi konsumen jasa angkutan udara adalah pertarifan yang wajar. Akan tetapi masalah pertarifan bukanlah suatu hal yang
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
sederhana dan bukan sekedar menetapkan suatu tarif dengan begitu saja tapi harus melihat faktor-faktor penentu yang berpengaruh atas tinggi rendahnya tarif. Mengenai unsur pertarifan tiga aspek perlu dikemukakan yaitu: 83 a. Sistem angkutan udara Sistem angkutan udara adalah sistem yang berdasarkan pada kebijakan pokok mengenai angkutan udara, yang kemudian menjabarkan kebijaksanaan tersebut dalam bentuk pengaturan mengenai “airline system” di Indonesia, struktur rute-rute penerbangan dan pembinaan industri angkutan udara. Indonesia menganut suatu multi-airline system. Sistem demikian memerlukan struktur rute yang adil bagi semua perusahaan penerbangan, dalam arti bahwa semua perusahaan penerbangan harus mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat beroperasi dengan ekonomis. b. Kompetisi Kompetisi yang ideal adalah kompetisi yang diatur dan dibina, sehingga akan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat, karena akan menghasilkan suatu tarif yang wajar, suatu pelayanan yang mengikuti tolok ukur yang ditetapkan dan perlindungan bagi konsumen yang memuaskan. c. Tarif yang wajar Perhitungan tarif suatu perusahaan penerbangan merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian, apalagi kalau yang dikehendaki adalah suatu tarif yang wajar, yaitu tidak merugikan bagi perusahaan penerbangan akan tetapi tidak terlampau berat bagi konsumen. Suatu tarif yang ideal, yaitu tarif yang dapat dijangkau oleh rakyat banyak (bisa dikatakan 20% dari seluruh 83
Ibid., hal 128
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
penduduk Indonesia), yang ditentukan oleh faktor-faktor diluar kekuasaan perusahaan penerbangan yaitu kondisi perekonomian pada umumnya.
6. Perjanjian Angkutan Udara Antara penumpang pada angkutan udara berjadwal dan pengangkut tidak terdapat suatu perjanjian angkutan tertulis, karena tiket penumpang hanya merupakan suatu bukti adanya perjanjian angkutan, karena tidak diberikannya tiket penumpang tidak menghilangkan adanya perjanjian angkutan udara, yang pada penerbangan domestik tetap tunduk pada Ordonansi Pengangkutan Udara. 84 a. Perjanjian Standar Syarat-syarat perjanjian angkutan sebenarnya adalah yang ditetapkan oleh perusahaan penerbangan secara sepihak. Penumpang tidak kuasa merubah syarat-syarat ini, karena perjanjian angkutan merupakan perjanjian standar. Dari segi inilah diperlukan jaminan bahwa perjanjian standar tersebut cukup adil dan memperhatikan kepentingan konsumen. b. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam syarat-syarat perjanjian angkutan tidak boleh ada suatu ketentuan yang membebaskan pengangkut dari tanggung jawab atau menetapkan suatu batas tanggung jawab yang rendah dari batas yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat demikian batal demi hukum. 85
84 85
Pasal 5 Stb. No.100 Tahun 1939 tetnang Ordonansi Pengangkutan Udara Pasal 31 Stb. No.100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Pengangkut bisa bebas dari tanggung jawab apabila pengangkut bisa membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian. c. Masalah Asuransi Suatu aspek penting dalam rangka perlindungan bagi penumpang pesawat udara adalah bahwa pengangkut pada umumnya mengasuransikan dirinya terhadap risiko-risiko
yang dihadapinya dalam melakukan kegiatan-
kegiatannya, antara lain yang terpenting bagi penumpang adalah bahwa ia mengasuransikan resiko tanggung jawabnya terhadap penumpang. Di Indonesia ada dikenal suatu jenis asuransi yang bernama asuransi wajib Jasa Raharja. Dalam asuransi Jasa Raharja ini yang membayar premi adalah penumpang sendiri dan perusahaan penerbangan hanya bertindak selaku pemungut premi. d. Prosedur penyelesaian akibat-akibat kecelakaan pesawat udara Materi perlindungan hukum apabila seorang penumpang meninggal atau lukaluka, tercantum dalam Pasal 24 Ordonansi Pengangkutan Udara yang menentukan prinsip bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian yang diderita penumpang atau ahli warisnya, kalau ia luka atau meninggal. Yang penting dalam rangka perlindungan hukum adalah bahwa prosedur penyelesaian hak penumpang atas ganti rugi harus mudah, murah, cepat dan memuaskan.
B. Perlindungan Hukum bagi Penumpang Pesawat Udara berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 1. Strategi Pengaduan Konsumen Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Ketika dihadapkan pada soal ketidakpuasan terhadap produk-produk ataupun jasa tertentu, sebagian besar konsumen tidak bisa berbuat apa-apa. Keluhan yang mereka kemukakan biasanya hanya disampaikan melalui surat pembaca di media massa. Cara ini masih sangat sederhana. Meskipun surat pembaca yang berisi keluhan konsumen tersebut bisa dimuat, pada akhirnya tidak menyelesaikan secara hukum. Oleh karena itu, konsumen perlu menyampaikan keluhan secara kreatif. Menurut Sudaryatmo, anggota pengurus harian dan pengacara publik Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Pusat, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan konsumen untuk mengadukan keluhannya. 86 a. Sebelum melakukan keluhan, konsumen perlu mengetahui alamat produsen atau alamat purnajual ketika melakukan transaksinya. Konsumen juga perlu menanyakan nama dan jabatan tertinggi orang yang akan mengurusi segala bentuk keluhan. b. Ketika ada masalah atau keluhan terhadap barang yang telah dibeli, perlu melayangkan surat terlebih dahulu kepada pelaku usaha. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pengaduan yang masuk ke lembaga konsumen. c. Konsumen perlu melayangkan pengaduan pertama kali secara lisan. d. Jika pengaduan secara lisan tidak ditindaklanjuti, konsumen bisa mengirimkan pengaduan tertulis kepada orang yang bertanggung jawab. Jangan lupa untuk
86
Happy Susanto, Op.Cit, hal.32
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
memberikan batas waktu. Misalnya, jika sampai 14 hari surat tidak direspon, persoalan tersebut akan dibawa ke lembaga konsumen.
2. Proses Beracara Jika dilihat secara individual, mungkin saja nilai perkara antara konsumen dengan pelaku usaha sangat kecil, tetapi secara komunal kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Dalam kaitan dengan karakteristik ini, maka proses beracara dalam hukum perlindungan konsumen mengenal antara lain adanya: a. Small Claim Sistem peradilan yang ada dewasa ini, belum dapat mengakomodasi sengketasengketa yang nilai nominal kasusnya relatif kecil, termasuk sengketa konsumen. Untuk itu, alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan diperkenalkannya Small Claim Court dalam dunia peradilan di Indonesia. Secara sederhana, Small Claim Court dapat didefenisikan sebagai peradilan kilat, dengan hakim tunggal, prosedurnya sederhana, tidak ada keharusan menggunakan pengacara, tidak ada upaya banding dan biaya ringan. 87 Small Claim adalah jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Ada tiga alasan mengapa Small Claim diizinkan dalam perkara konsumen, yaitu (1) kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya, (2) keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya
87
Erman Rajagukguk,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 66 82 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 198
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
terbuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan (3) untuk menjaga integritas badan-badan peradilan. 88 Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, dibentuk satu unit yang disebut Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang tidak memiliki kewenangan untuk menggugat mewakili konsumen. Perwakilan untuk menampung gugatan-gugatan bernilai kecil ini justru diserahkan kepada kelompok konsumen atau lembaga swadaya masyarakat yang disebut lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). 89 b. Class Action Gugatan Perwakilan Kelompok atau Class Action adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok atau anggota kelompok dimaksud. 90 Selain itu, ada juga yang memberikan pengertian bahwa class action hanya sebagai suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien. Dan, seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan. Untuk class action ini keterlibatan pengadilan
83
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hal.65 84 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta:FH Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal. 211 85 Erman Rajagukguk, dkk, Op.Cit, hal 72
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
sangat besar karena setiap perwakilan untuk dapat maju ke pengadilan harus mendapat persetujuan dari pengadilan dengan memperhatikan: 91 1) class action merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan, 2) mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama, 3) penggugat sangat banyak, dan 4) perwakilan layak/patut. Saat ini, di Indonesia, masyarakat sudah dapat mengajukan gugatan dengan prosedur class action yang oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 disebut dengan nama “gugatan perwakilan kelompok”. Peraturan Mahkamah Agung tersebut mengartikan class action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. 92 Dahulu seandainya gugatan ganti rugi dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, hanya kepada korban yang secara formal yang ikut menggugat yang akan mendapatkan ganti rugi. Sedangkan korban lain yang tidak ikut menggugat, untuk mendapatkan ganti rugi, harus mengajukan gugatan baru. Mekanisme ini jelas kurang praktis. Maka dari itu ada gugatan kelompok dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan gugatan kelompok, terhadap mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak
92
Loc.cit, hal 67
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
korban dimenangkan, maka korban lainnya yang secara formal tidak mengajukan gugatan dengan berdasar kepada putusan tersebut, langsung dapat meminta ganti rugi, tanpa harus mengajukan gugatan baru. 93 Dalam Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002, ditentukan suatu perkara gugatan hanya dapat diajukan dengan menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok atau class action apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 94 a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan. b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya. c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya. d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya. UUPK mengakomodasikan gugatan kelompok (class action) ini dalam Pasal 46 ayat (1) Huruf (b). Ketentuan itu menyatakan, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Penjelasan dari rumusan itu menyatakan, gugatan kelompok tersebut harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan 93 94
Loc.cit., hal 66 Pasal 2 PERMA No.1 Tahun 2002
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adanya bukti transaksi. Prinsip class action berbeda dengan legal standing. Umumnya class action wajib memenuhi empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam Pasal 23 US Federal Rule of Civil Procedure. Keempat syarat itu sebagai berikut: 95 1) Numerosity Maksudnya, jumlah penggugat harus cukup banyak. Jika diajukan secara sendiri-sendiri tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien. 2) Commonality Artinya, adanya kesamaan soal hukum (question of law) dan fakta (question of fact) antara pihak yang diwakilkan (class members) dan pihak yang mewakilinya (class representative). 3) Typicality Adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara class members dan class representative. 4) Adequacy of representation Kelayakan class representative dalam mewakili kepentingan class members. Ukuran kelayakan ini diserahkan kepada penilaian hakim. Adapun manfaat menggunakan gugatan perwakilan kelompokk (class action) ialah :
96
1. Agar supaya proses perkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien. 2. Memberikan akses pada keadilan, dan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang pada umumnya berposisi lemah. 95
Shidarta, loc.cit., hal 67 Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis Gugatan Perwakilan Kelompok, ( Jakarta : Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahakamah Agung RI, 2003) , hlm.95. 96
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
3. Merubah sikap pelaku pelanggaran dan menumbuhkan sikap jerah bagi mereka yang berpotensi untuk merugiakan kepentingan masyarakat luas. Yang menjadi landasan hukum pengaturan gugatan perwakilan kelompok (class action) ialah : 97 1.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
c. Legal Standing untuk LPKSM Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Subjek penggugat, yaitu: Organisasi non-Pemerintah (Ornop) (nongovernmental organizations, disingkat NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (c): “Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.” 98 Untuk memiliki legal standing tersebut LPKSM yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. 97 98
Ibid., hlm. 95. Pasal 46 ayat (1) huruf (c) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Inilah perbedaan pokok antara gugatan berdasarkan class action dengan NGO’s legal standing. Oleh karena itu, unsur commonality dan typicality tidak dipersyaratkan dalam NGO’s legal standing. Selanjutnya, syarat adequacy of representation dalam NGO’s legal standing tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada kondisi objektif, yaitu harus memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf (c) UUPK . 99
3. Penyelesaian Sengketa Penumpang Sengketa penumpang adalah sengketa yang berkenaan dengan pelanggaran hak-hak penumpang. 100 Ada perbedaan tata cara penyelesaian sengketa penumpang pada saat Undang-undang Perlindungan Konsumen belum berlaku dan setelah berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen. Adapun perbedaannya adalah: a. Sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen (UU No.8 Tahun 1999) Adapun dasar hukum dalam pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri sebelum adanya UU No.8 Tahun 1999 adalah Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Kualifikasi gugatannya adalah gugatan perbuatan melawan hukum, gugatan perbuatan melawan hukum penguasa, gugatan wanprestasi. Sedangkan petitum gugatannya adalah penghentian kegiatan, sita jaminan, pembayaran ganti kerugian, permintaan maaf, pembayaran uang paksa
99
loc cit., hal 70 Shidarta, loc cit., hal 167
100
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
(dwangsom). 101 Gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen dengan menggunakan instrumen hukum acara perdata (konvensional), dilakukan oleh seorang konsumen atau lebih atau ahli warisnya. 102 Proses beracara dalam penyelesaian sengketa penumpang selaku konsumen sebelum Undang-undang Perlindungan Konsumen berlaku diatur dalam Herziene Indonesische Reglement (HIR). Adapun prosesnya adalah gugatan yang diajukan oleh penggugat ke Pengadilan Negeri harus diputus dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya gugatan tersebut. Jika salah satu pihak atau para pihak keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut, maka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi sebelum 14 hari setelah putusan diucapkan kepada para pihak yang hadir atau jika para pihak hadir sebelum 14 hari setelah putusan diberitahukan kepada para pihak. Terhadap putusan Pengadilan Tinggi dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan Pengadilan Tinggi diterima. Selanjutnya Mahkamah Agung wajib memutus perkara dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan. Terhadap putusan Mahkamah Agung ini dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK). Peninjauan Kembali dapat diajukan 180 hari sejak hari diberitahukan kepada para pihak.
b. Setelah Undang-undang Perlindungan Konsumen (UU No.8 Tahun 1999) Setelah berlakunya UUPK dikenal adanya alternatif penyelesaian sengketa yang sama sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia. Penyelesaian sengketa
101
Ibid., hal.72 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hal.71 102
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) ini mempunyai daya tarik khusus karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat. Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berbunyi: Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsoliasi atau penilaian ahli. Setelah berlakunya UU No.8 Tahun 1999, pihak konsumen yang diberi hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah: 103 1) seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 2) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; 3) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; 4) pemerintah dan/ atau instansi terkait jika barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/ atau korban yang tidak sedikit. Kemudian berdasarkan isi Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka
103
Pasal 46 undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
alternatif penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan cara berikut.104 1) Konsiliasi Pasal
1
angka
(9)
Kepmen.
Deperindag
No.350/MPP/Kep/12/2001
menjelaskan bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator (Pasal 5 ayat (1) Kepmen ini). Sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa, Majelis BPSK bertugas (Pasal 28 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001): a) memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b) memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c) menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d) menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara konsiliasi ada 2 (dua) (Pasal 29 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK bertindak pasif sebagai konsiliator. Kedua, hasil
104
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hal 199
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.
2) Mediasi Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi berdasarkan Pasal 1 angka (10) Kepmen. Deperindag
No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pengangkatan
Pemberhentian Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, menjelaskan bahwa mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak
aktif sebagai mediator (pasal 5 ayat 2 Kepmen.
Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Cara mediasi ini hampir sama dengan cara konsiliasi, yang membedakan di antara keduanya adalah kalau mediasi didampingi oleh majelis yang aktif, sedangkan cara konsiliasi didampingi majelis yang pasif. Keaktifan Majelis BPSK sebagai pemerantara dan penasihat Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara mediasi terlihat dari tugas Majelis BPSK, yaitu: 105 a) memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b) memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c) menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
105
Ibid., hal 200
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
d) secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; e) secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara mediasi ada 2 (dua) (Pasal 31 SK Menperindang No. 350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan
nasehat,
petunjuk,
saran dan
upaya-upaya
lain dalam
menyelesaikan sengketa. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.
3) Arbitrase Lain dengan cara konsiliasi dan mediasi, berdasarkan Pasal 1 angka (11) arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaiannya kepada BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase ini berbeda dengan dua cara sebelumnya. Dalam cara arbitrase, badan atau majelis yang dibentuk BPSK bersikap aktif dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa jika tidak tercapai kata sepakat diantara mereka. Cara pertama yang dilakukan adalah badan ini memberikan penjelasan kepada pihak-pihak
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
yang bersengketa perihal perundang-undangan yang berkenaan dengan hukum perlindungan konsumen. Lalu, masing-masing pihak yang bersengketa diberikan kesempatan yang sama untuk menjelaskan apa saja yang dipersengketakan. Nantinya, keputusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa ini adalah menjadi wewenang penuh badan yang dibentuk BPSK tersebut. Proses pemilihan Majelis BPSK dengan cara arbitrase ditempuh melalui 2 (dua) tahap (Pasal 32 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis BPSK. Kedua, arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis BPSK. Jadi, unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi Ketua Majelis. 106 Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara arbitrase dilakukan dengan 2(dua) persidangan, yaitu persidangan pertama dan persidangan kedua. Pertama, prinsip-prinsip pada persidangan pertama, yaitu: 107 a) Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) memberikan petunjuk tentang upaya hukum bagi kedua belah pihak (Pasal 33 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); b) Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 34 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001), dalam hal terjadi perdamaian, maka 106 107
Ibid., hal 201 Shofie,Yusuf, Op.Cit, hal 38
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
hasilnya wajib dibuatkan penetapan perdamaian oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 35 ayat (3) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); c) Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku
usaha
memberikan jawaban, dituangkan dengan surat pernyataan, disertai kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mengumumkan pencabutan gugatan tersebut dalam persidangan (Pasal 35 ayat (1) dan (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); d) Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak (asas audi et alteram partem)
(Pasal 34
ayat
(2)
SK Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001),yaitu: (1) Kesempatan yang sama untuk mempelajari berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya (Pasal 34 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); (2) Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha, jika tidak tercapai perdamaian (Pasal 34 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); Kedua, prinsip-prinsip pada persidangan kedua, yaitu: a) Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) memberikan kesempatan terakhir sampai persidangan kedua disertai kewajiban para pihak membawa alat bukti yang diperlukan, bila salah satu pihak tidak hadir pada persidangan pertama (Pasal 36 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001);
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
b) Persidangan kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak hari persidangan pertama (Pasal 36 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); c) Kewajiban Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberitahukan persidangan kedua dengan surat panggilan kepada para
pihak
(Pasal
36
ayat
(2)
SK
Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001); d) Pengabulan gugatan konsumen, jika pelaku usaha tidak datang pada persidangan kedua (verstek), sebaliknya gugatan digugurkan jika konsumen yang tidak datang (Pasal 36 ayat (3) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); Dalam menyelesaikan sengketa konsumen dibentuk Majelis yang terdiri dari sedikitnya 3 (tiga) anggota dibantu oleh seorang panitera (Pasal 54 ayat (1) dan (2) UU No.8 Tahun 1999). Sengketa yang diselesaikan dengan cara-cara tersebut di atas, wajib diselesaikan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima di sekretariat BPSK (Pasal 7 ayat (1)). Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diterimanya dimana berdasarkan Pasal 54 ayat (3) keputusan majelis BPSK tersebut bersifat final dan mengikat. Pada penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditegaskan bahwa kata bersifat final itu berarti tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun, ternyata Undang-undang Perlindungan
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Konsumen mengenal pengajuan keberatan kepada pengadilan Negeri dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan BPSK disampaikan. 108 Konsumen dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) terhadap pelaku usaha atas pelanggaran norma-norma Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sebaliknya, pelaku usaha tidak diperkenankan menggugat konsumen atau mengajukan gugatan balik (rekonvensi) dengan merujuk pada pelanggaran konsumen atas norma-norma Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), kecuali menyangkut pelanggaran hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud Pasal 6 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), misal: hak untuk menerima pembayaran (payment) dari konsumen. 109 Pengadilan Negeri yang menerima keberatan yang diajukan oleh salah satu pihak yang berperkara harus memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut ( Pasal 58 ayat (1) UUPK). Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan Pengadilan Negeri diterima. Selanjutnya Mahkamah Agung wajib memutus perkara dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat (3) UUPK). 110 Selain itu menurut penjelasan Pasal 45 ayat (2) UUPK, penyelesaian sengketa dapat pula diselesaikan secara damai oleh mereka yang bersengketa. Yang dimaksud dengan cara damai adalah penyelesaian yang dilakukan kedua belah pihak tanpa melalui pengadilan ataupun BPSK. Dengan cara penyelesaian 108
Majalah Teropong Vol II No.8, Mei 2003 Yusuf Shofie, Op.Cit, hal.71 110 Loc cit., hal 229 109
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
sengketa secara damai ini, sesungguhnya ingin diusahakan bentuk penyelesaian yang mudah, murah dan (relatif) lebih cepat. Dasar hukum penyelesaian tersebut terdapat pula dalam KUHPerdata Indonesia (Buku ke-III, Bab 18, Pasal 18511854 tentang perdamaian/ dading) dan dalam UU Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999, Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47). Penyelesaian sengketa ini dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen ( UU No.8 Tahun 1999 Pasal 47). Untuk memenuhi tujuan tersebut maka diperlukan adanya jaminan tertulis dari pihak (pelaku usaha) bahwa perilaku yang merugikan konsumen itu tidak akan terjadi lagi. 111 Sampai saat ini memang belum ada ditemukan kasus mengenai penumpang pesawat udara yang menuntut ganti rugi dalam hal pentarifan ke Pengadilan Negeri. Namun dalam hal keterlambatan pesawat (delay), sebuah maskapai penerbangan pernah digugat oleh seorang penumpang di Pengadilan Negeri. Adapun kronologis beritanya: 112 Pada hari Kamis tanggal 16 Agustus 2007, seorang penumpang bernama David akan berangkat dari Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Jakarta menuju Bandara Juanda, Surabaya dengan menggunakan pesawat Lion Air. Namun setelah menunggu lebih dari 90 menit dan tidak ada kejelasan waktu keberangkatan dimana tidak ada penjelasan resmi atas delay atau keterlambatan
111
Az.Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hal.227 112 “Delay Pemberangkatan Penumpang, Lion Air Dihukum Ganti Rugi”, http://www.hukumonline.com, terakhir kali diakses pada tanggal 11 Maret 2009 Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
yang dilakukan Lion Air, maka David memutuskan untuk membeli tiket pesawat lain. Merasa dirugikan, David terpaksa melayangkan gugatan kepada Lion Air. Dalam gugatannya, David menuntut agar Lion Air dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena tidak memberikan informasi atas delay keberangkatan. David juga menuntut agar Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp718.500. Angka itu adalah biaya tiket pesawat Garuda sebesar Rp688.500 ditambah airport tax sebesar Rp30.000. Selain itu, David juga menuntut agar klausula baku yang di dalam tiket Lion Air bertuliskan “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi” batal demi hukum. Adapun tujuan David menggugat adalah agar hak-hak penumpang sebagai konsumen tidak dipermainkan oleh pengusaha di bidang jasa. Seperti di atur Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungn Konsumen. Karena selama ini hak penumpang selalu diremehkan oleh pihak maskapai. Apabila penumpang terlambat 5 menit chek in, maka dia harus ikut penerbangan selanjutnya, dengan konsekwensi membayar biaya tambahan yang tidak sedikit. Sementara jika terjadi penundaan, pihak maskapai cukup hanya meminta maaf. Hal ini tentu sangat tidak adil. Upaya David dalam memperjuangkan haknya sebagai konsumen akhirnya membuahkan hasil. Dalam sidang yang digelar pada hari Senin tanggal 28 Januari 2008, majelis hakim yang diketuai Moerdiyono mengabulkan seluruh gugatan David. Pada bagian pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan bahwa Lion Air
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, yaitu melaksanakan penerbangan tepat waktu sesuai jadwalnya. Tergugat juga tidak memberikan informasi yang jelas mengenai alasan keterlambatan, kepastian keberangkatan dan pesawat pengganti. Hakim mengaku tidak sependapat dengan sanggahan Lion Air. Saat itu, Lion Air berdalih keterlambatan terjadi karena alasan teknis sehingga pesawat terpaksa digrounded
113
pada 15 Januari 2007. Lion Air juga berlindung di balik faktor cuaca
dan kondisi bandara yang tidak kondusif untuk keselamatan penerbangan. Menurut hakim jika pesawat tergugat di-grounded pada 15 Januari 2007, tergugat seharusnya bisa memprediksi apakah pesawat yang sedang diperbaiki itu bisa digunakan pada 16 Januari 2007 atau tidak. Jika tidak dapat digunakan, tergugat seharusnya menyiapkan pesawat pengganti. Tapi ini tidak dilakukan. Lebih jauh hakim menunjuk ketentuan Pasal 43 Ayat (1) huruf c UU No 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa perusahaan pengangkut harus bertanggung jawab atas keterlambatan pengangkutan. Ketentuan itu dipertegas lagi di dalam Pasal 42 huruf c Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1995. Sementara Pasal 43 Ayat (4) dari PP itu menjelaskan bahwa perusahaan pengangkut harus membayar ganti rugi maksimal Rp1 juta atas keterlambatan pengangkutan. Putusan hakim ini adalah pertanda baik bagi penumpang selaku konsumen dimana hakim mau memperhatikan perlindungan konsumen. Karena perlu dicatat, sampai
113
Grounded adalah suatu keadaan dimana pesawat tidak boleh terbang karena alasan kelaikan udara, jadi pesawat tidak laik terbang, bisa disebabkan kerusakan teknis, bisa juga karena sertifikat yang habis masa berlakunya. (http://aviationsafety.multiply.com/journal, diakses terakhir kali pada tanggal 13 Maret 2009) Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
saat ini konsumen masih rendah kedudukannya ketika berhadapan dengan pelaku usaha.
C. Sanksi terhadap Maskapai Penerbangan Setelah pemerintah melalui departemen perhubungan mengeluarkan berbagai peraturan mengenai formula perhitungan tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi, maka pengawasann terhadap peraturan ini dapat langsung dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 19
Keputusan
Menteri Perhubungan No KM 8 Tahun 2002, Direktur Jenderal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan ini. Adapun mekanismenya jika ada maskapai yang melanggar tarif maka dapat dicatat nomor dan tanggal penerbangannya, dimana tarifnya adalah besaran sesuai dengan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 9 tahun 2002 tentang tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi. Pada Pasal 20 dikatakan bahwa dalam melakukan pengawasan, Direktur Jenderal dapat menggunakan alat bukti sebagai berikut: 1. harga jual yang tercantum di dalam tiket dan atau bukti pembayaran lain; 2. pemberitaan agen (agent news); atau 3. iklan dalam media cetak dan/ atau elektronik. Dalam Pasal 21 juga dinyatakan perusahaan angkutan udara yang melakukan pelanggaran atas ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Pelayanan Ekonomi dan KM No.8 Tahun 2002 akan dikenai sanksi administrasi.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Adapun sanksi administrasi itu dapat berupa: 1) pengurangan frekuensi; atau 2) pembekuan rute penerbangan; atau 3) penundaan pemberian izin rute baru. Pengurangan frekuensi atau pembekuan rute penerbangan berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu yang sama bila terbukti tidak menunjukkan perbaikan. Pemberian sanksi tersebut akan diberikan melalui tahapan peringatan I, II dan III dengan tenggang waktu masingmasing 7 (tujuh) hari kelender. Dalam UU No.8 Tahun 1999 juga ada diatur mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha jika terbukti bersalah melanggar hak-hak konsumen, yakni: 1) Sanksi administrasi diatur dalam Pasal 60 UUPK, bahwa: a) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha. b) Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). c) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan. 2) Sanksi pidana pokok diatur dalam Pasal 61 UUPK, bahwa: a) Pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 ( lima tahun) atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). b) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
c) Sanksi pidana tambahan diatur dalam Pasal 63 UUPK berupa: perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran atau pencabutan izin usaha. 3) Sanksi pidana tambahan Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 63, dimungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok yang dijatuhkan berdasarkan Pasal 62. Sanksi-sanksi tersebut berupa: a) perampasan barang tertentu; b) pengumuman keputusan hakim; c) pembayaran ganti rugi; d) pencabutan izin usaha; e) dilarang memperdagangkan barang/jasa; f) wajib menarik barang/jasa dari peredaran; dan g) hasil pengawasan disebarkan kepda masyarakat umum.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan pada penulisan skripsi ini, maka secara garis besar dapat ditarik suatu kesimpulan: 1. Untuk mengakhiri adanya perang tarif penerbangan diantara airline dan untuk mewujudkan biaya yang wajar serta terjangkau
sebagaimana yang
dicantumkan dalam Penjelasan Umum UU No.15 Tahun 1992 khususnya alinea 6 maka pemerintah-departemen perhubungan selaku regulator menerbitkan beberapa peraturan yang mengatur mengenai standar tarif tiket, diantaranya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 8 Tahun 2002 mengenai Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi yang menyatakan bahwa tarif penumpang angkutan niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi
merupakan tarif jarak, jarak terbang, serta dengan
memperhatikan faktor daya beli; Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dimana dalam keputusan ini ditetapkan pedoman tarif dasar yang di dalamnya belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), iuran wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang dari PT Jasa Raharja (Persero), asuransi tambahan lainnya yang dilaksanakan secara sukarela dan tarif jasa pelayanan penumpang pesawat udara yang dikenakan sesuai ketentuan yang berlaku ; Peraturan Menteri
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Perhubungan Nomor: KM 36 Tahun 2005 tentang Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan Udata Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. 2. Terdapat relevansi antara tarif tiket pesawat yang ditawarkan dengan standar pelayanan yang diberikan. Fakta menunjukkan bahwa maskapai mengobral tiket murah, lalu mengabaikan komponen lainnya, yang menyebabkan ada yang dikorbankan, siapa lagi kalau bukan penumpang termasuk faktor keselamatannya. Sebagai contoh, diduga akibat tarif murah banyak pilot yang dipaksa mengoperasikan pesawat di dalam jadwal yang ketat, sehingga mereka berada di bawah tekanan atau intervensi pemilik perusahaan. Terjadinya pemangkasan harga semata-mata untuk mengejar pendapatan dan bertahan dalam bisnis transportasi udara yang sangat ketat namun mengenyampingkan aspek ’safety’. Perilaku buruk maskapai penerbangan dapat terlihat juga dari segi standar pemeriksaan dimana yang berlaku secara umum adalah satu dalam kurun waktu tiga bulan. Karena itu tidak cukup relevan jika demi alasan penghematan biaya pemeriksaan yang seharusnya empat kali dalam satu tahun cuma dilakukan satu kali. Apalagi hal itu terkait dengan trik persaingan usaha dengan menjual tiket murah, namun mempertaruhkan nyawa penumpang. Harga murah ternyata dikompensasikan dengan menurunnya mutu layanan. Jadi dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan harga yang ditawarkan. 3. Apabila ada perbuatan maskapai penerbangan yang menimbulkan kerugian bagi penumpang pesawat udara, maka selaku konsumen, penumpang pesawat udara dapat meminta perlindungan hukum. Sebelum berlakunya UU No.8 Tahun 1999, perlindungan hukum hanya dapat dimintakan melalui Pengadilan
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Negeri. Dimana apabila salah satu pihak keberatan terhadap keputusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan terhadap putusan Pengadilan Tinggi ini dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Dan yang terakhir, terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK). Setelah UU No.8 Tahun 1999 berlaku, dikenal adanya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) yang dapat ditempuh dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase melalui BPSK. Keputusan BPSK dalam penyelesaian sengketa tersebut bersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat (3) UU No.8 Tahun 1999). Namun dalam Undangundang Perlindungan Konsumen Pasal 56 ayat (3) juga mengenal pengajuan keberatan atas putusan BPSK kepada pengadilan Negeri dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan BPSK disampaikan. Dimana apabila salah satu pihak keberatan terhadap keputusan Pengadilan Negeri dapat
mengajukan
kasasi
kepada
Mahkamah
Agung.
Dengan
dimungkinkannya upaya hukum banding dan selanjutnya kasasi maka sebenarnya pembentuk undang-undang bersikap tidak konsisten. Penjelasan Pasal 54 ayat (3) tidak konsisten dengan rumusan-rumusan Pasal 58 Undangundang Perlindungan konsumen (UUPK).
B. Saran Beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mencermati terhadap permasalahan perlindungan hukum bagi penumpang pesawat udara menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 sebagai berikut:
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
1. Pemerintah melalui Departemen Perhubungan diharapkan dapat lebih mengintensifkan sosialisasi Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena faktor utama yang menjadi penyebab sering terjadinya eksploitasi terhadap konsumen adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, sosialisasi secara intensif mengenai keberadaan UU No.8 Tahun 1999 diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pengertian penumpang pesawat udara selaku konsumen terhadap hak-haknya. 2. Biaya tambahan untuk bahan bakar pesawat (fuel surcharge) merupakan salah satu faktor penyebab tinggi rendahnya tarif tiket pesawat. Untuk itu Departemen perhubungan perlu menyusun standar perhitungan biaya tambahan untuk bahan bakar pesawat (fuel surcharge) agar maskapai tidak semena-mena dalam menaikkan fuel surcharge karena maskapai selalu menaikkan fuel surcharge dengan mengacu pada kenaikkan harga BBM dunia. Namun, beberapa kali harga BBM sempat turun namun fuel surcharge tidak juga turun. Selain itu maskapai diwajibkan melaporkan setiap perubahan fuel surcharge. Dengan standarisasi dan kewajiban melapor tersebut, maskapai dapat dipantau konsistensinya dalam menaikkan dan menurunkan fuel surcharge sesuai perkembangan harga bahan bakar minyak dunia. 3. Untuk meningkatkan kepuasan konsumen pengguna jasa transportasi udara, maskapai penerbangan harus lebih meningkatkan kesesuaian harga dengan layanan yang diberikan kepada konsumen. Peningkatan kesesuaian harga
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
dengan pelayanan tersebut meliputi perbaikan keseluruhan pelayanan kepada konsumen, antara lain: sajian minuman atau makanan kepada penumpang, waktu keberangkatan (on time performance), profesionalisme awak kabin dan karyawan dalam melayani penumpang, kondisi pesawat keseluruhan (interior, eksterior, mesin, dan atribut pesawat lainnya) yang kesemuanya
mempunyai
dampak
langsung
terhadap
keamanan,
keselamatan, dan kenyamanan konsumen maskapai penerbangan itu sendiri. 4. Walaupun penjelasan Pasal 54 ayat (3) tidak konsisten dengan rumusanrumusan Pasal 58 Undang-undang Perlindungan konsumen (UUPK), keadaan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Semestinya penjelasan suatu undang-undang tidak boleh menimbulkan masalah dikemudian hari.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Daftar Pustaka BUKU Adi Nugroho, Susanti, Naskah Akademis Gugatan Perwakilan Kelompok (Claass Action), Jakarta:Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI,2003.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Martono, H.K., Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Martono,K. dan Usaman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1996.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum pengangkutan Niaga, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998.
Mulyatno, R.felix Hadi, Ground Handling Tata Operasi Darat, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1999.
Nasution, Az., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2002.
Rajagukguk, Erman dan Nurmardjito, Hukum Perlindungan Konsumen , Bandung: Mandar Maju, 2000.
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: FH Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Sri Wahyuni, Endang, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen , Bandung: PT.Citra aditya Bakti, 2003.
Suherman, E., Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan Makalah 1961-1995), Bandung: Mandar Maju, 2000.
Susanto, Happy, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visi Media, 2008.
Wardojo, Edi, Airline Passenger Aviation, Bekasi: Eviexena Mediatama, 2006.
Winardi, E.C, Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia, Bandung: Alumni, 1974
KORAN DAN MAJALAH Menhub akan Minta KPPU Mengaudit Airlines ( Investor Daily, Rabu 8 Juni 2005). Tiga Sanksi bagi Pelanggar Tarif Udara (Republika News Room; 8 September 2008). Aturan Direvisi, Maskapai Wajib Beri Kompensasi Jika Pesawat Telat (Sinar Indonesia Baru, 3 Maret 2008).
Tarif INACA Masih Menjadi Acuan ( Bisnis Indonesia, 26 Juli 2001)
Tarif Dasar Angkutan Udara sudah Direvisi (Bisnis Indonesia, 7 Agustus 2001. Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
INACA Usul Perubahan Tarif Dasar Udara (Bisnis Indonesia, 15 Agustus 2001).
Majalah Teropong Vol II No.8, Mei 2003.
Kompas, 22 November 2006. INTERNET www.bappenas.go.id www.dephub.go.id www.kompas.com http://hukumonline.com http://id.wikipedia.org http://mediaindonesia.com http://faridw70.multiply.com/reviews http://www.poskota.co.id http://www.sinarharapan.co.id
UNDANG-UNDANG UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 8 Tahun 2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 81 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara Stb.No.100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009
Kepmen. Deperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pengangkatan Pemberhentian Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia
Adriany M.F. Hasibuan : Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Pesawat Udara Berdasarkan Uu No.8 Tahun 1999 Dalam Hubungannya Dengan Standar Tarif Tiket Pesawat Di Indonesia, 2009. USU Repository © 2009