FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR PEMERINTAH DAERAH Eko Budi Sulistio
Abstrak Otonomi daerah di Indonesia digulirkan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat daerah, setelah sekian lama dipinggirkan oleh Pemerintah Otoriter Orde Baru. Namun harapan besar tersebut, rupanya masih merupakan mimpi besar dan sulit terwujud. Salah satunya karena masalah sumber daya aparatur. Berbagai cara dan upaya telah banyak dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya aparatur tersebut. Namun sayangnya pemerintah daerah melupakan penyebab rendahnya kualitas sumber daya aparatur tersebut. Oleh sebab itu memahami secara baik “the root of problem” dari sulitnya mengembangkan sumber daya aparatur di daerah perlu dilakukan oleh segenap pemerintah daerah. Beberapa masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah itu adalah: rendahnya kualitas sumber daya aparatur dan buruknya penempatan, seringnya terjadi perubahan peraturan kepegawaian, rendahnya mental aparatur dan terlalu gemuknya organiasi pemerintahan daerah Kata Kunci: sumber daya aparatur, pemerintah daerah,
LATAR BELAKANG Sejak digulirkannya kebijakan otonomi daerah pasca reformasi 1998, posisi dan peran pemerintah daerah semakin penting dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sejak 1 Januari 2010 secara efektif diberlakukan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan undangundang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan ini pemerintahan daerah (terdiri atas pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah/ DPRD) diberikan kewenangan yang sangat luas untuk mengatur urusan rumah tangga daerah. Kewenangan ini tidak lain dan tidak bukan adalah semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah baik di bidang ekonomi, politik, pendidikan maupun social budaya. Akan tetapi setelah beberapa lama berjalan, rupanya kebijakan tersebut justru menimbulkan kesan bahwa otonomi yang 1| Sosialita Vol. I/2010
diberikan kepada pemerintah daerah justru menimbulkan beberapa dampak negatif. Beberapa diantaranya adalah masalah pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang rawan menimbulkan money politic dan intimidasi; korupsi merajalela di kalangan DPRD; lemahnya posisi Eksekutif di mata legislative (DPRD) yang menimbulkan kesan legislative heavy; serta mimimnya partisipasi masyarakat di dunia politik. Atas dasar beberapa permasalahan tersebut maka pada tahun 2004 dilakukanlah revisi oleh undang-undang nomor 22 dan 25 tersebut menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang baru ini memberikan perspektif yang baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Melalui undang-undang ini pemerintah daerah diberikan kewenangan yang semakin besar yang diharapkan dapat mengimbangi kewenangan DPRD yang sangat besar dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999. Dengan adanya
kewenangan yang semakin besar ini tentu pemerintah daerah harus memiliki sumber daya manusia/ sumber daya aparatur yang handal (berkualitas). Tanpa adanya sumber daya aparatur yang berkualitas tersebut, maka akan sangat sulit bagi pemerintah daerah untuk dapat mengelola berbagai urusan pemerintahan dengan baik. Justru sebaliknya jika tidak memiliki kualitas sumber daya yang baik, besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dapat menjadi boomerang yang dapat menghancurkan kewibawaan pemerintah daerah itu sendiri. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peran sumber daya aparatur bagi pemerintah daerah menjadi hal yang sangat vital. Pemerintah daerah (terutama kepala daerah) harus memberikan perhatian yang lebih dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya aparaturnya. Sudah banyak cara, teori dan metode yang dikemukakan oleh berbagai pakar sumber daya aparatur tentang bagaimana upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas sumber daya aparatur tersebut. Oleh sebab itu tulisan ini tidak ditujukan untuk membahas cara-cara tersebut. Tulisan berupaya untuk melihat sumber daya aparatur pemerintah daerah dalam perspektif lain, yakni meninjau permasalahanpermasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam mengembangkan sumberdaya aparaturnya. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa apapun cara yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan aparaturnya, tidak akan efektif apabila pemerintah daerah tidak dapat memahami sebenarnya apa masalah yang dihadapi oleh aparaturnya. Pelaksanaan pemerintahan daerah didasarkan atas prinsip-prinsip otonomi daerah sebagai berikut: (1) penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, (2) pelaksanaan pemerintahan daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, (3) pelaksanaan pemerintahan daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan 2| Sosialita Vol. I/2010
daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi terbatas, (4) pelaksanaan pemerintahan daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah, (5) pelaksanaan pemerintahan daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi, (6) kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom, (7) Pelaksanaan pemerintahan daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, (8) pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah, (9) pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Beberapa permasalahan utama yang banyak dihadapi daerah dalam melaksanakan otonomi daerah ini diantaranya adalah: (1) peran dan fungsi DPRD, baik sebagai lembaga legislasi dalam penampung dan memperjuangkan aspirasi dan kehendak masyarakat belum optimal, begitupun dalam melaksanakan tugas pengawasan, (2) kenyataan yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar Parpol dan Ormas masih menggantungkan kebutuhannya pada bantuan pemerintah dan dukungan pengurus pusat; (3) kualitas sumber daya aparatur pemerintah daerah dalam mendukung kinerja pemerintah daerah kurang memadai; (4) Penetapan dan perumusan kebijakan organisasi masih belum sepenuhnya
mandiri dan belum mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat didaerah secara maksimal (4) pada kewenangan daerah, misalnya, variabel yang ditampilkan adalah tumpang-tindihnya urusan antara kabupaten/kota dengan provinsi, atau antara kabupaten/kota dengan departemen (pemerintah pusat), (5) masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban politiknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (6) keberhasilan pembangunan sistem politik yang demokratis dan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kesiapan berbagai pihak untuk berperan aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat diberbagai bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Untuk itu penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu didukung oleh aparatur daerah yang profesional dan memiliki kualitas mental yang baik. Aparatur pemerintah daerah perlu kreatif dalam mengelola sumber daya, termasuk mendorong berkembangnya prakarsa masyarakat dalam pembangunan. Aparatur pemerintah daerah harus memiliki mental yang baik demi menciptakan pemerintahan daerah yang bersih dari praktek-praktek KKN, sehingga pada gilirannya akan mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Disamping itu "Pergeseran mental" aparat dari yang selama ini cenderung bersifat "Penguasa" (abdi negara) menjadi "Pelayan" masyarakat (abdi masyarakat) perlu terus dikembangkan. Untuk itu langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan pengawasan, secara berkesinambungan, penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, peningkatan kualitas pelayanan publik serta peningkatan kualitas SDM yang diikuti oleh penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung pemerintah umum dan pembangunan yang memadai. Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik (Good Local Governance) Pemerintahan Daerah Dalam sistem tata Negara Republik Indonesia pemerintahan daerah (local government) merupakan bagian tak terpisahkan dari dari pemerintahan nasional (national 3| Sosialita Vol. I/2010
government) yang dibentuk secara politis berdasarkan undang-undang yang memiliki lembaga atau badan yang menjalankan pemerintahan yang dipilih masyarakat daerah tersebut dan dilengkapi dengan kewenangan untuk membuat peraturan, memungut pajak serta memberikan pelayanan kepada warga yang ada didalam wilayah kekuasaannya. Namun demikian pemerintahan daerah memiliki otonomi yang luas untuk menjalankan roda pemerintahannya dalam suatu daerah otonom. Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara RI. Bertolak dari pandangan diatas dapat dikatakan bahwa pemerintahan daerah adalah seluruh organ, badan atau lembaga pemerintah yang berada di daerah yang berlandaskan atas dasar negara, dan rakyat untuk mencapai tujuan Negara Rebublik Indonesia. Atas dasar uraian tersebut pemerintahan daerah menempati posisi yang strategis dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Eksistensi pemerintahan daerah ini, dapat dilihat dari alasan-alasan adanya (perlunya) pemerintahan daerah, sebagaimana dikemukakan Sarundajang (1997) bahwa pemerintahan daerah merupakan konsekuensi logis dari adanya perbedaan etnis, linguistik, agama, dan institusi sosial berbagai kelompok masyarakat lokal di suatu negara. Fungsi pelayananan dan pengaturan umum di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan perlu didistribusikan secara sentral dan lokal agar ia benar-benar aspiratif, baik terhadap kepentingan nasional maupun terhadap tuntutan heterogenitas lokal dimaksud. Di samping itu, adanya pemerintahan daerah akan memperbesar akses setiap warga negara untuk berhubungan langsung dengan pemimpinnya dan sebaliknya pimpinan daerah akan memperoleh kesempatan luas untuk mengetahui potensi sumber daya, masalah, kendala, dan kebutuhan daerahnya dan menghilangkan mekanisme pembuatan keputusan yang kurang efisien. Demikian juga,
bagi suatu daerah dengan populasi yang relatif homogen akan lebih berpeluang untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang tidak antagonistik dengan kondisi dan kebutuhan anggota masyarakat yang dominan di wilayah tertentu. Dengan dasar pemikiran tersebut maka otonomi daerah dimaksudkan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok masyarakat yang paling bawah, dengan memperhatikan ciri khas budaya dan lingkungan setempat, sehingga kebijakan publik dapat lebih diterima dan produktif dalam memenuhi kebutuhan serta rasa keadilan masyarakat akar rumput. Otonomi daerah dengan demikian dianggap jauh lebih demokratis dibanding sistem yang terpusat, bahkan lebih menjamin adanya pluralitas, karena menghindari dominasi suatu kekuasaan berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ ideologi tertentu. Dengan otonomi maka daerah diberikan kesempatan seluasluasnya untuk mengembangkan kebijakan sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian maka otonomi itu berarti suatu kondisi atau ciri untuk meniadakan control oleh pihak lain ataupun kekuatan luar. Otonomi daerah berarti bentuk pemerintahan sendiri (Self Government), hak untuk memerintah atau menentukan nasib sendiri. Pemerintah ini sendiri perlu dihormati, diakui dan dijamin tidak adanya control oleh pihak lain terhadap fungsi daerah atau terhadap minoritas suatu bangsa ( Martin 2005 ). Pelaksanaan otonomi daerah haruslah mengedepankan kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah dengan mengupayakan berbagai potensi yang dimiliki agar pemerintahan daerah dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi di samping karena memadainya kewenangan otonom yang dimiliki, juga harus didasarkan pada suatu keyakinan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh lembaga yang terdesentralisasi adalah lebih baik daripada yang tersentralisasi. Menurut Kaho (1995) beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut: (1) Manusia pelaksananya harus baik, 4| Sosialita Vol. I/2010
(2) Keuangannya harus cukup baik, (3) Peralatanya harus baik dan (4) Organisasi dan manajemennya harus baik. Manusia Merupakan faktor pelaku dan penggerak dalam proses kegiatan pemerintahan. Dalam proses pemerintahan maka ada pihak legislatif yang merupakan orang-orang yang dipercayai oleh komunitasnya tentunya orang-orang yang mampu melakukan dialog mengenai kewenangan daerahnya dengan pemerintah pusat dan bersama dengan pemerintah daerah (eksekutif) dengan keleluasaan dan kewenangan menggali berbagai sumber keuangan daerah. Keuangan yang baik mengandung arti setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Peralatan yang cukup baik berarti setiap benda atau alat yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintahan daerah. Organisasi dan manajemen yang baik adalah organisasi dalam arti struktur yaitu susunan yang terdiri dari satuan-satuan organisasi beserta segenap pejabat, kekuasaan, tugas dan hubungannya satu dengan yang lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan manajemen dalam arti proses manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan benar-benar dapat dicapai. Pemerintahan daerah saat ini tidak dapat melepaskan diri dari isu-isu kepemerintahan global. Isu yang sampai saat ini masih hangat adalah isu mengenai perlunya diimplementasikan konsep good governance di Indonesia, khususnya di dalam pemerintahan daerah. Menurut Ghani (dalam Widodo, 2001) yang dimaksud dengan Good Governance adalah Mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor publik/ Pemerintah dan sektor swasta/ privat serta masyarakat dalam suatu kegiatan kolektif. Pemerintah sebagai komponen pembuat sekaligus pelaksana kebijakan sudah saatnya untuk bertindak secara transparan terhadap pelaksanaan-pelaksanaan tugasnya. Untuk itu, Pemerintah hendaknya tidak membuat dan menjalankan suatu kebijaksanaan secara
otokratis berdasarkan kemauannya sendiri. Akan tetapi Pemerintah harus selalu melibatkan unsurunsur lain dalam masyarakat, baik sektor swasta maupun komponen civil society yang sering disebut sebagai Good Governance. Dalam hal ini Pemerintah harus mampu memberikan respon terhadap dinamika masyarakat yang menghendaki adanya sebuah kondisi yang transparan dan akuntabel. Good Governance juga diartikan sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya (Pinto dalam Nisjar, 1997). World bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi politik maupun administrasi. Artinya Good governance adalah penyelenggaraan pemerintah yang solid dan bertanggung jawab, efisien, dan efektif dengan unsur-unsur profesionalisme, akuntabilitas, dan transparansi. Akhirnya Good Governance sering diartikan sebagai pemerintahan yang baik (Tjokroamidjojo, 1999). Dengan Demikian Good Governance secara sederhana dapat dimaknai sebagai bentuk terbaik dari proses penyelenggaraan pemerintahan dalam mengadakan public goods and services. Tata kelola Pemerintahan yang baik hanya dapat dilakukan oleh sumber daya aparatur yang handal. Tanpa adanya sumber daya yang handal maka gagasan pelaksanaan good governance pada Pemerintahan daerah di Indonesia hanyalah merupakan mimpi besar yang tak akan terwujud. Dalam rangka itu pemerintah daerah harus menjalankan prinsipprinsip good governance sebagai berikut (UNDP dalam Mardiasmo, 2002): Adanya Partisipasi publik (public participation); Aturan Hukum (Rule of Law); Keterbukaan (Transparency); Responsif (Reponsiveness); Berorientasi pada konsensus (Consensus Orientation); Persamaan (equity); Efektitifas dan Efisiensi (Effectiveness and efficiency); Akuntabilitas (Accountability); dan Visi yang Strategis (Strategic Vision). Kesembilan karakteristik good governance 5| Sosialita Vol. I/2010
tersebut pada prinsipnya akan membawa prosesproses kenegaraan pada suatu kondisi dimana terjadi sinergitas antara ketiga domain good governance tadi. Akantetapi peran dominan tetap berada pada kekuasaan state (negara), sehingga mau tidak mau para pejabat negara harus mampu menjadi motor penggerak good governance ini. Namun permasalahannya adalah apakah unsur negara/ pemerintah sebagai penggerak ini telah memenuhi kualifikasi yang baik dibanding dengan kedua unsur yang lain. Atau paling tidak apakah swasta dan masyarakat mau memahami bahwa unsur pemerintah masih perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, sehingga mereka memaklumi tentang kondisi para pejabat negara itu. Peran Sumber Daya Aparatur dalam Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah Manusia merupakan subjek dan objek pembangunan, karenanya pengembangan sumber daya manusia merupakan aspek yang cukup penting dilakukan dalam jangka pendek untuk memenuhi tenaga kerja terampil, berwawasan luas serta punya visi jauh ke depan. Semua bangsa di dunia seyogyanya ingin untuk mengadakan pembangunan nasional, melalui berbagai sistem pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan politik. Namun, berdasarkan berbagai alasan, hasil kemajuan pembangunan yang dilakukan masing-masing negara berbeda satu sama lainnya. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi usaha pembangunan suatu negara, salah satu diantara faktor yang mempengaruhi adalah mutu dan jumlah sumber daya manusia yang menjalankan pembangunan. Melalui suatu produk kebijaksanaan atau program Maslow (dalam Notoadmodjo, 1992) menyatakan bahwa diantara segala sumber daya yang tersedia bagi seorang manajer, sumber daya manusia/ aparatur adalah yang paling penting. Sebab Manusialah yang merupakan unsur pemberi kehidupan dalam organisasi.Tuntutan akan sumber daya aparatur yang berkualitas tinggi tidak saja pada tingkat pusat, akan tetapi juga pada tingkat daerah yang berhubungan. secara langsung dengan masyarakat. Berbicara tentang kualitas sumber daya manusia menurut Ginanjar Kartasasmita,
ada dua ciri pokok manusia Indonesia masa depan yang ingin dibangun, yaitu: Manusia yang memiliki idialisme kuat dan Manusia profesional yang mampu memberikan sumbangan bagi masyarakatnya. Untuk mencapai harapan yang demikian ini maka pada saat ini dan nantinya dibutuhkan sumber daya aparatur yang dinamis, proakfif, memiliki visi, inovatif, korektif, sadar teknologi dan peka terhadap perubahan dan tuntutan. Atas dasar kualifikasi sumber daya aparatur yang demikian ini, tidak saja akan menghadapkan daerah untuk bersifat terbuka, tetapi juga akan mengubah kebijakan daerah terhadap pembentukan Quality of Working Life (QWL). Dalam organisasi apa pun, manusia merupakan sumber daya paling penting, karena dapat menunjang organisasi dengan karya, bakat, kreatifitas dan dorongan. Betapapun sempurnanya aspek teknologi dan ekonomi tanpa aspek manusia sulit kiranya tujuan organisasi akan tercapai (The man behind the gun). Manusia dalam hal ini adalah unsur vital dalam suatu organisasi ( Winarty, 2003). Terlebih lagi dalam kondisi persaingan saat ini, maka peran manusia (aparatur) sangat menentukan. Kemampuan dan potensi sumber daya aparatur perlu dikembangkan dalam upaya mewujudkan eksistensinya berupa tercapainya tujuan organisasi dan manfaat-manfaat lainnya. Begitu pula halnya dalam organisasi publik, maka peran sumber daya aparatur perlu mendapatkan perhatian. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa sumber daya aparatur dalam organisasi perlu dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan yang menunjang dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu dorongan (motivasi) dalam mencapai tujuan bersama merupakan hal yang harus ada. Aparatur yang tangguh adalah aparatur yang memiliki QWL (Kualitas Pekerjaan) yang tinggi yang berorientasi kepada: 1. Participation in decision making (partisipasi dalam pengambilan keputusan) 2. Career development programme (program pengembangan karir) 3. Leadership Skill (Keahlian dalam kepemimpinan) 6| Sosialita Vol. I/2010
4. The degree of stress experienced by employees (derajat stress yang dialami oleh karyawan) 5. The culture of the organization (Budaya Organisasi) (Bryson, 1995 dalam Abdul Wahab, 1997) Karena itu dalam menjalankan roda administrasi pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan pada umumnya, pemerintah dituntut untuk berbenah diri, mendinamisasikan dirinya menjadi sebuah pemerintah yang efisien, disemangati oleh jiwa kewiraswastaan atau enterpreneural government (Abdul Wahab, 1997). Dengan demikian maka tidak berlebihan jika aparatur Pemerintah Daerah harus memiliki semangat kewiraswastaan. Karena semangat kewiraswastaan merupakan "spotting opportunities and marshalling resources to produce inovation" (Drucker, 1985). Peningkatan Sumber daya aparatur sebenarnya bertujuan meningkatkan kualitas profesionalisme aparatur negara atau entrepreneurial profesionalism. Enterpreneurial profesionalisme, yang ditandai oleh: Pertama, kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi, keberanian mengambil resiko dalam memanfaatkan peluang, dan kemampuan untuk menggeser alokasi sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah, menuju ke kegiatan yang berproduktivitas tinggi yang terbuka dalam peluang, kualitas profesional. Kedua adalah kemampuan empowering sehingga mampu untuk membuat keputusan dan langkah-langkah yang perlu dengan mengacu pada misi yang ingin dicapai (mission driven profesionalisme), dan tidak semata-mata mengacu kepada peraturan yang berlaku (rule-driven profesionalisme), Ketiga adalah kemampuan untuk environmental-scanning, yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengindentifikasi subyek-subyek yang mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses pembangunan. Faktor-faktor Penghambat Pengembangan Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian maka kedudukan Pegawai Negeri adalah adalah sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Untuk dapat menjalankan tugas berat tersebut apartur pemerintah harus dibekali dengan berbagai kemampuan. Dalam perspektf sumber daya manusia, kemampuan sumber daya aparatur dapat dikelompokkan menjadi 3 yakni kemampuan teknis (technical skill), kemampuan hubungan manusia (human relation skill) dan kemampuan manajerial (managerial skill). Ketiga jenis kemampuan ini idealnya dimiliki oleh setiap aparatur pemerintah. Namun jika tidak memungkinkan, maka sumber daya aparatur tersebutlah yang perlu diklasifikasikan tugas-tugasnya agar dapat disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah maka keberadaan sumber daya aparatur (PNS) ini sangatlah penting/ vital. Sumber daya aparatur ini merupakan kekuatan penggerak dan pengendali (driver and mover) jalannya roda pemerintahan daerah. Aparatur merupakan penggerak pembangunan dan pelaksana pelayanan publik. Sebagai inti dari kegiatan administrasi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik maka tentu saja aparatur pemerintah daerah ini memiliki berbagai kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu maka aparatur ini senantiasa harus dikembangkan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun demikian, di era otonomi daerah ini proyek pengembangan sumber daya aparatur bukanlah merupakan perkara yang mudah. Banyak proyek dan program telah diselenggarakan untuk memperbaiki kualitas sumber daya aparatur pemerintah daerah, namun demikian kenyataannya hingga saat ini perbaikan sumber daya aparatur tersebut belum menampakkan hasil yang nyata. Hal ini diperparah oleh sistem penerimaan aparatur pemerintah daerah yang masih sarat dengan kolusi, suap dan nepotisme (KSK). Sudah bukan 7| Sosialita Vol. I/2010
rahasia lagi jika untuk menjadi seorang abdi masyarakat dan abdi Negara seorang calon pegawai negeri harus mengeluarkan sejumlah uang yang tidak kecil untuk ukuran pekerjaan yang gajinya tidaklah besar itu. Namun inilah realitas yang dihadapi oleh pemerintah daerah saat ini. Perlu ada keberanian dari kepala daerah untuk memotong rantai yang buruk dalam sistem seleksi PNS di daerah. Kemampuan aparatur pemerintah daerah merupakan satu faktor yang menentukan apakah suatu daerah dapat atau mampu menyelenggarakan urusan rumah tangganya dengan baik atau tidak. Berhasil atau tidaknya suatu kegiatan dilaksanakan dalam pelaksanaan otonomi daerah akan sangat tergantung kepada manusia sebagai pelaksananya pemerintah itu sendiri. Menurut Kaho (1995), pentingnya faktor ini, karena manusia merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan. Manusialah yang merupakan pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Oleh sebab itu, agar mekanisme pemerintahan tersebut berjalan dengan sebaik-baiknya, yakni sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau subyek pelakunya harus baik pula. Atau dengan kata lain, mekanisme sistem pemerintahan, baik daerah maupun pusat, hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang dikehendaki, apabila manusia sebagai subyek yang menggerakkannya baik pula. Tanpa manusia pelaksana yang baik, maka mekanisme pemerintahan pun tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, tujuan yang diharapkan tidak akan dapat terwujud. Pengertian baik disini meliputi: Mentalitas/moral baik dalam arti jujur, mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaannya, dapat bersikap sebagai abdi masyarakat atau public servant dan sebagainya ; Memiliki kecakapan/kemampuan yang tinggi untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk mendukung hal ini, maka daerah mau tidak mau memerlukan sumber daya pembangunan yang memadai, berupa tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Sebanyak dan sebaik apapun kuantitas dan kualitas sumber daya alam suatu daerah tanpa pengelolaan yang baik dari
aparatnya maka semua itu akan menjadi sia-sia belaka. Masyarakat daerah akan tetap mengalami kondisi stagnasi dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sumber daya manusia yang berkualitas menjadi salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam menghadai globalisasi yang saat ini telah berlangsung. Sumber daya manusia di daerah harus memadai skill, moral, semangat, kekompakan, jika sumber daya aparaturnya tidak karu-karuan meskipun sumber pemasukan pendapatan daerah banyak maka akan habis dikorup, yang menjadi kaya adalah aparat birokrasi, sementara rakyat tidak akan merasakan dampak apa-apa. Oleh sebab itu otonomi daerah kemudian dimaknai secara diametris. Satu sisi dinilai telah memberikan kebebasan dan kesempatan bagi daerah untuk melakukan apa saja untuk daerahnya. Namun di sisi lain dinilai justru menjerumuskan daerah kepada kondisi yang lebih buruk, mengingat rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kesiapan Aparatur Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan hasil dari fase aktivitas di masa transisi yang mempunyai dimensi peran penting, karena sukses tidaknya suatu daerah memasuki era pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung dari kualitas dan kuantitas kesiapan yang telah dilakukan. Hal ini dapat diamati dari sisi, yaitu kesiapan konsep dan kesiapan menjabarkan konsep ke dalam rincian langkah-langkah kebijakan dan praktika penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kesiapan konsep akan tampak dari rumusan hasil diskusi yang dilakukan secara intensif untuk mengakomodasi pemikiran-pemikiran cemerlang dalam rangka memperoleh konsep final pengelolaan daerah berdimensi jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Dari sini dapat diketahui bahwa bagaimana visi dan misi serta strategi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Sedangkan kesiapan menjabarkan konsep ke dalam rincian langkahlangkah kebijakan tampak dari tersedianya program operasional, tahapan-tahapan dan pencapaiannya, rancangan berbagai Peraturan Daerah (Perda), rencana pengembangan serta langkah-langkah nyata yang telah ditempuh selama masa persiapan. Semua itu merupakan 8| Sosialita Vol. I/2010
potret dari kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam mengahadapi pelaksanaan otonomi daerah. Penyerahan wewenang yang sedemikian besar dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, menuntut untuk mendorong peningkatan kemampuan aparatur pemerintah daerah. Sebab dengan adanya penyerahan wewenang yang besar itu maka aparatur pemerintah daerah memiliki peran yang luas untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitasnya., mencari solusi terbaik atas setiap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Namun, penerapan teori terkadang belum tentu bisa dilaksanakan secara baik, seringkali berbeda dalam kenyataannya, sehingga sampai saat ini dalam implementasi otonomi daerah masih banyak masalah-masalah yang dihadapi dalam bidang sumber daya aparatur. Beberapa permasalan yang dialami oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah adalah sebagai berikut: a. Rendahnya Skill (keahlian) Sumber Daya Aparatur Di era keterbukaan, globalisasi. seorang aparatur pemerintah dan abdi Negara dituntut memiliki skill untuk peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat secara efektif an efisien. Terlebih lagi di zaman yang serba modern saat ini dimana masyarakat sudah lebih maju sehingga masyarakat membutuhkan informasi yang cepat dan tepat tanpa harus mengunggu proses yang lama. Hal ini menuntut seoarang aparatur pemerintah harus lebih pintar dari masyarakatnya agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur negara yang ideal merupakan suatu keniscayaan hakiki bagi keberlangsungan pembangunan nasional khususnya daerah otonom. Pada realitanya, keahlian sumber daya aparatur dalam memberikan pelayanan publik masih sangat minim sekali. Setiap pemerintah daerah pada dasarnya membutuhkan pegawai yang handal, berwawasan, dan mandiri, agar kedepannya pekerjaan pegawai diharapkan dapat lebih profesional dan optimal. Pada kenyataannya, tingkat kemampuan keahlian aparatur
pemerintah daerah pasca otonomi daerah, tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pada penyelenggaraan sistem pemerintahannya masih banyak sumber daya aparatur yang kurang memahami tugas dan fungsinya. Salah satu permasalahan tentang skill ini adalah disebabkan oleh penempatan pegawai yang tidak didasarkan atas keahlian formal pegawai yang bersangkutan. Sudah menjadi hal yang jamak jika penempatan pegawai di era otonomi daerah lebih banyak didasarkan atas spoil system dari pada merit system. Spoil system adalah sistem seleksi pegawai yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan emosional dari pada selektornya, misalnya kedekatan keluarga, jender, pertemanan dan sebagainya. Sedangkan merit system adalah sistem seleksi pegawai (termasuk penempatan) yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional seperti keahlian formal, prestasi, pengalaman kerja, inovasi dan kreatifitas. Kondisi saat ini yang dihadapi oleh pemerintah daerah di Indonesia secara umum menunjukkan bahwa SDM aparatur yang ada sangat jauh dari apa yang diharapkan. Potret SDM aparatur saat ini masih menunjukkan profesionalisme rendah banyaknya praktek KKN yang melibatkan aparatur, pelayanan kepada masyarakat yang berbelit-belit, hidup dalam pola patron-klien, kurang kreatif dan inovatif, bekerja berdasarkan juklak dan juknis sehingga sulit diharapkan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keahlian skill yang tidak memadai akan sangat berpengaruh sekali terhadap peran tugas, dan tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai, kode etik, dan moral dalam melayani kepentingan publik. Pelayanan publik adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan (kepuasan) masyarakat sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Seiring dengan berlakunya otonomi daerah, maka tingkat pelayanan di tingkat lokal akan sangat benar-benar bisa dirasakan oleh 9| Sosialita Vol. I/2010
masyarakat di dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Ini berarti bahwa SDM aparatur merupakan sebagian dari keseluruhan elemen sistem pelayanan publik yang begitu luas dan kompleks, karena tugas dan fungsi SDM aparatur yang begitu penting dan strategis mengharapkan SDM aparatur menjadi stabilisator yaitu sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa; menjadi motivator yaitu memberdayakan masyarakat agar terlibat secara aktif dalam pembangunan; menjadi inovator dan kreator yaitu menghasilkan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan masyarakat agar menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien dan menjadi inisiator yaitu selalu bersemangat, mengabdi dengan berorientasi pada fungsi pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat yang dilandasi dengan keikhlasan dan ketulusan, oleh karenanya daerah dalam melaksanakan citacita otonomi harus memiliki aparatur pemerintahan yang profesional, handal dan berkemampuan dibidangnya. Melalui semangat otonomi daerah seharusnya segera dilakukan suatu reformasi birokrasi dengan menempatkan sumber daya manusia yang ada sesuai keahlian yang dimilikinya (spoil system), agar dapat benar-benar memahami tugas dan wewenang yang menjadi kewajibannya. b. Rendahnya Mentalitas Sumber Daya Aparatur Pelajaran moral perlu menjadi prioritas dalam setiap jenjang pendidikan. Pelajaran itu dimaksudkan untuk membentuk manusia Indonesia yang mempunyai optimisme, kejujuran dan tanggung jawab pribadi untuk daerahnya dalam pembangunan bangsa kedepannya. Lebih daripada itu, pendidikan moral akan membentuk sumber daya aparatur pemerintahan yang mempunyai keyakinan untuk berkompetisi yang antara lain dilandasi dengan kejujuran dan penghargaan terhadap orang lain. Pemerintahan daerah masih dihadapkan pada rendahnyan mentalitas sumber daya aparatur pemerintahan yang seharusnya dimiliki yang secara tidak langsung menyebabkan munculnya penyakit birokrasi yang secara umum telah menjangkit semua sistem tataran pemerintahan kita yakni KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme). Berdasarkan pengamatan dilapangan, bahwa pada akhir-akhir ini pengaruh untuk mendorong para penyelenggara atau aparatur pemerintahan dan aparatur penegak hukum di daerah dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya bukannya semakin surut akan tetapi semakin meningkat khususnya dari segi kualitasnya semakin besar. Hal ini tentunya membuktikan mentalitas aparatur daerah masih kurang tertata baik moral ataupun budi pekertinya. Rendahnya mentalitas pegawai tersebut disebabkan karena kurangnya perhatian dan komitmen pemerintah daerah terhadap profesionalisme aparatur Negara, akibatnya sebahagian aparatur publik memanfaatkan setiap jabatan dan kebijakan yang ada bagi kepentingan diri dan kelompoknya. Adanya kedekatan pribadi seperti kelompok kepentingan yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama dengan pejabat daerah yang berkuasa menyebabkan sistem penempatan yang tidak sesuai pada tempatnya, akibatnya jabatan struktural tersebut diisi oleh orang-orang yang tidak sesuai dengan kapasitas kemampuannya, ibarat sebuah mobil, banyak yang dapat mengendarainya, akan tetapi tidak semua orang mampu mengendalikannya ketika harus rem dan gas mendadak. Rendahnya moralitas dan budi pekerti yang dimiliki sumber daya aparatur menyebabkan administrasi negara dilakukan secara apa adanya, tidak berbasis kompetensi, tidak memperhatikan kinerja sebagai ukuran utama penilaian aparatur Negara, akibatnya seringkali yang dijadikan sebagai dasar dalam proses seleksi dan rekrutmen, remunerasi, dan promosi jabatan didasarkan hubungan-hubungan kekeluargaan, pertemanan, dan afiliasi politik. Aparatur negara hanya akan berfungsi secara profesional dan independen jika kompetensi dan kinerja menjadi dasar dalam semua proses pengukuran. Ini berarti, pemerintah harus melakukan perombakan secara fundamental terhadap sistem kepegawaian daerah Rendahnya mentalitas aparatur juga dapat disebabkan karena tidak terkontrolnya etika aparatur negara selama ini ditengarai telah menjadi penyebab penyalahgunaan wewenang dalam pemerintahan dan pembangunan. Esensi 10 | S o s i a l i t a V o l . I / 2 0 1 0
etika adalah pengawasan moral terhadap setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh aparatur negara yang terikat dengan mandat kedaulatan rakyat. c. Seringnya terjadi perubahan Aturan Kepegawaian dan Organisasi Pemerintahan Daerah Meskipun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah diberlakukan selama kurang lebih lima tahun, namun demikian dalam kurun waktu tersebut, muncul ekses yang menyertai penyelenggaraan otonomi daerah, khususnya dalam penyelenggaraan manajemen sumber daya manusia PNS di daerah. Hal tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan para pejabat kepegawaian daerah dalam menetapkan keputusan/kebijakan yang kurang selaras dengan peraturan perundang-undangan kepegawaian yang berlaku secara nasional. Banyak peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksana terkaitnya. Salah satu studi yang dilakukan penulis pada salah satu pemerintah daerah di propinsi Lampung, diketahui bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan, sehingga seringkali menyebabkan tidak konsistennya peraturan dengan tujuan yang ditetapkan akibatnya menjadikan pelayanan publik tidak sesuai dengan tujuan dan harapan di daerah tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang informan dari kalangan birokrasi Pemerintah daerah sebagai berikut: “Sering sekali peraturan tidak sinkron satu sama lainnya, selain Undang-Undang 32 tahun 2004 yang mengatur tentang otonomi daerah muncul aturan-aturan yang berasal dari pecahan-pecahan, misalnya adanya Permendagri yang tidak sejalan dengan tujuan UU itu sendiri, sehingga seringkali terjadi tarik-menarik tujuan,sehingga pelaksanaan otonomi daerah menjadi setengah-setengah. Untuk contohnya masalah pembuatan KTP yang setelah otonomi muncul, tugas pelayanan KTP menjadi wewenang Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil, akibatnya banyak masyarakat sulit untuk mendapatkan pelayanan dikarenakan sistem yang semakin rumit dan jarak yang jauh dari jangkauan masyarakat, dibandingkan sebelum otonom yang hanya berurusan dengan pihak kecamatan saja.” Melihat adanya inkonsistensi dan seringnya terjadi perubahan peraturan perundang-undangan dalam hubungannya dengan pelaksanaan pelayanan publik tersebut diatas, menjadikan masalah peningkatan sumber daya aparatur semakin rumit, karena dengan adanya ketidaksesuain peraturan yang ada dengan situasi dan kondisi penyelenggaraan pelayan akan sangat mempengaruhi baik atau tidaknya kinerja aparatur, karena pada dasarnya aparatur melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, maka jika terjadi inkonsistensi maka dampaknya sangat besar terhadap produk kinerja yang dihasilkan. d. Situasi Birokrasi Pemerintahan Kaya Struktur Miskin Fungsi Kelemahan utama kelembagaan birokrasi Indonesia terletak pada strukturnya yang gemuk, terlebih lagi ketika otonomi daerah diberlakukan, struktur ini bertambah gemuk dengan lahirnya sejumlah kabupaten/provinsi baru. Sementara itu, pemerintah pusat membentuk berbagai badan/komisi yang semestinya merupakan bagian dari tugas pokok fungsi departemen yang ada. Selain itu, pemerintah pusat terkesan setengah hati memberikan kewenangan kepada daerah dengan tetap mempertahankan beberapa instansi vertical di daerah atau kembali memekarkan struktur organisasi birokrasi pada beberapa departemen. Hal ini sangat ironis dengan kebijakan pemerintah pusat yang dituangkan dalam beberapa peraturan, agar pemerintah daerah melakukan efisiensi dan perampingan struktur organisasi. Gemuknya struktur birokrasi juga menjadi kendala peningkatan sumber daya aparatur pada pemerintahan daerah. Saat ini 11 | S o s i a l i t a V o l . I / 2 0 1 0
sistem pemerintahan daerah terkesan boros dalam penyelenggaraannya. Banyaknya struktur yang ada bukannya memberikan produk pelayanan yang baik kepada masyarakat, akan tetapi sebaliknya, menyebabkan kualitas penyelenggaraan administrasi negara semakin tidak teratur yang pada akhirnya hanya akan menyebabkan pemborosan anggaran ditengah kondisi pendapatan asli daerah (PAD) yang begitu minim jika dibandingkan dengan dana perimbangan dari pusat. Masih banyak pemerintah daerah kurang memberikan perhatian terhadap penataan fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat lebih memadai, efektif dengan struktur lebih ramping, luwes dan responsif. Realitas tersebut menunjukkan bahwa banyaknya struktur yang dimiliki daerah, secara otomatis telah berdampak pada ada pelayanan, banyaknya struktur tidak akan mencapai efesiensi dan efektif. Dalam sistem birokrasi modern seperti sekarang ini, yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah adalah birokrasi pemerintah yang dapat berjalan secara efektif dan efisien dimana dalam sistem birokrasi tersebut memiliki sedikit struktur, tetapi dari struktur itu memiliki banyak fungsi. Sehingga yang lebih difokuskan adalah kinerja-kinerja aparatur birokrasinya. Penutup Paradigma Good Governance yang saat ini berkembang dalam ruang birokrasi, khususnya pemerintaha daerah di dasarkan kepada pendekatan manajemen baru. Pendekatan ini ditandai dengan beberapa karakteristik (Hughes dalam Sulistio, 2009) sebagai berikut: 1. Perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju keprihatinan yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggungjawaban pribadi pimpinan. 2. Adanya keinginan untuk menjadikan suatu organisasi, pegawai dan kondisi birokrasi menjadi lebih luwes (fleksibel) dari kondisi birokrasi yang tradisional 3. Dibuat tolok ukur yang jelas sebagai indikator kinerja dalam pencapaian
tujuan organisasi publik, termasuk evaluasi program-programnya. 4. Staf pimpinan yang senior mungkin bisa mempunyai komitmen politik kepada pemerintah yang ada daripada bersikap non-partisipan dan netral 5. Fungsi-fungsi pemerintah dapat dinilai lewat suatu uji pasar, misalnya: program dikontrakkan kepada pihak ketiga 6. Mengurangi peran-peran pemerintah melalui upaya privatisasi. Disamping itu, masalah etika birokrasi juga perlu mendapatkan perhatian. Mengembangkan etika pemerintahan dalam arti tidaklah semata-mata mengindoktrinasikan apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan (baikburuk; benar-salah) oleh aparat pemerintah tetapi lebih dari itu adalah upaya yang terus menerus dilakukan untuk meningkatkan profesional integrity yang bermanfaat bagi penyempurnaan pelayanannya kepada masyarakat (Sulistio, 2009). Di negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat pengembangan nilai-nilai etika pemerintahannya diarahkan kepada integritas profesional para aparat. Elemen pokok integritas profesionalnya diarahkan ke 4 hal yaitu (lihat Martins Jr, 1979): Pertama: equality- perlakuan yang adil atas pelayanan yang diberikan. Hal ini didasarkan atas tipe perilaku birokrasi rasional yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang afilasi politik, status sosial dan sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik dengan berlaku jujur, suatu perilaku yang sangat dihargai. Kedua: equity- perlakuan yang sama kepada masyarakat tidak cukup, selain itu juga perlakuan yang adil. Untuk masyarakat yang pluralistik kadang-kadang diperlukan perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama (misalnya menghapus diskriminasi pekerjaan, sekolah, perumahan dan sebagainya), dan kadang-kadang pula dibutuhkan perlakuan yang adil tetapi tidak sama kepada orang tertentu (misalnya: pemberian subsidi untuk pembangunan rumah tipe RSS; pemberian kredit tanpa 12 | S o s i a l i t a V o l . I / 2 0 1 0
bunga kepada pengusaha lemah dan sebagainya). Ketiga: loyality- kesetiaan diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, jawaban, dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain, dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. Keempat: responsibility-- setiap aparat pemerintah harus siap menerima tanggung jawab tas apa pun yang ia kerjakan dan harus menghindari diri dari sindrome “saya sekedar melaksanakan perintah atasan”.
Mempertahankan dan menjalankan keempat prinsip diatas sangat sulit, tetapi tidak mampu apalagi tidak mau menjalankannya malah dinilai sebagai aparat yang tidak memiliki integritas profesional. Oleh karena itu, selain keempat komponen tersebut di atas, pengembangan nilai-nilai etika pemerintahan juga perlu diarahkan ke 3 inti kualitas moral pribadi (menurut Bailey dalam Stillman II, 1988) yaitu: optimism; courage; fairness tempered by charity. Optimisme adalah merupakan kualitas moral pertama yang harus dimiliki oleh aparat pemerintah berupa kemampuan untuk menangani situasi moral yang penuh dengan ambiguitas dan yakin mampu mengatasinya secara baik. Keberanian adalah kapasitas untuk membuat keputusan dan melakukan tindakan dalam situasi yang sulit dan tidak menentu secara tepat dan berhasil. Kejujuran adalah kemampuan untuk mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan demi kepentingan masyarakat. Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kualitas moral-etis aparat sehingga mampu berhadapan dengan situasi organisasi dari lingkungan yang penuh dengan kompleksitas nilai-nilai yang seringkali saling bertentangan satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA Agus J. Purwanto, 2002, Transformasi Birokrasi dan Perbaikan Pelayanan Publik (Artikel) dalam http://www.kompas.com Downs, A. (1967). Inside bureaucracy. Boston: Little Brown and Company. Gore, A. (1995). Common sense government: Works better and cost less. Toronto: Random House. Hariyoso, S., 2002. Pembaharuan Birokrasi dan Kebijaksanaan Publik. Penerbit Pembaharuan. Jakarta Hughes, O.E, 1994, Public Management & Administration, New York : Martin’s Press Inc, Dalam Irfan Islamy 1998. Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Brawijaya Malang Islamy, Irfan, M. 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Brawijaya, Malang. Ismani, HP, 2001, Etika Birokrasi, artikel dalam Jurnal Administrasi Negara, edisi September 2001 Volume III Nomor 1 Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI, Yogyakarta Mertins Jr, Herman, 1979, Professional Standards and Ethics A Workbook for Public Administrators, American Society for Public Administration, Washington D.C Osborne, D. and Plastrick, P.(1997). Banishing bureaucracy: The five strategies for reinventing government. Reading, Addison Wesley Publishing Company Inc. Osborne, David dan Gaebler, Ted. Mewirausahakan Birokrasi. Terjemahan. Pustaka Biman Pressindo. Jakarta Sulistio, E.B, 2009. Birokrasi Publik: Perspektif Ilmu Administrasi Publik. Penerbit: STISIPOL Dharma Wacana Metro dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP Universitas Lampung. Bandar Lampung. Sulistio, E.B. 2009. Strategi Pemerintah Daerah dalam Mengatasi Hambatan Otonomi Daerah: Studi Di Kabupaten Lampung Tengah. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 13 | S o s i a l i t a V o l . I / 2 0 1 0
Wahab, Solichin Abdul, 1998, Ekonomi Politik Pembangunan: Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah Krisis Moneter, Malang, Danar Wijaya Universitas Brawijaya Press, Widodo, Joko, 2001. Good Governance: Telaah Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya, Insan Cendekia