EVALUASI PROGRAM PELATIHAN 6S PADA KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI DI PT X Yuliana Lestari Fakultas Ekonomi, Universitas Katolik Parahyangan Abstract Many companies give a training to employees in order to increase their performance. With the increase of employee’s performance can improve the companies growth. However, there’s one important thing that lot of companies ignore it, that is an evaluation of training. Usually companies only focus on what training programs will be given to the employees without follow up to evaluate whether the training effective or not. With this evaluation companies can understand what the strengths and the weaknesses of training that has been done. The purpose of this research is to explain the production employee’s opinion about 6S training, application of 6S after training, the difference of production target achievement before and after training and the reduction of spoilage product after 6S. Key words: 6S training, evaluation of training (reaction, behavior/ performance, organizational results level) I. Pendahuluan Pengembangan sumber daya manusia (SDM) pada semua sektor merupakan kebijaksanaan yang sangat strategis dalam upaya menghadapi globalisasi. Salah satu upaya pengembangan SDM adalah melalui pelatihan. Tujuan pelatihan bagi suatu negara adalah untuk meningkatkan kualitas SDM-nya secara keseluruhan. Sedangkan bagi perusahaan swasta, pelatihan diharapkan dapat memperbaiki lingkungan kerja, menumbuhkan kegairahan bekerja dan akhirnya dapat menghasilkan pertumbuhan perusahaan yang sehat. Kunci keberhasilan investasi di bidang SDM terletak pada kemampuan mengembangkan sistem pelatihan yang responsif yaitu terwujudnya tingkat kesesuaian antara pelatihan yang diberikan dengan kebutuhan di sektor lapangan kerja. Perusahaan dapat mengikuti model pelatihan yang dikembangkan oleh beberapa pakar teori agar pelatihan menjadi responsif. Salah satunya adalah model sistem pelatihan yang dibuat oleh Bernardin & Russell yang mencakup 3 tahapan utama yaitu: needs assessment, development dan evaluation phase. Kebutuhan organisasi dan karyawan dianalisis pada tahapan needs assessment, untuk kemudian direspon secara rasional, logis dan strategis di tahapan development. Tahapan terakhir yaitu evaluation yang seringkali terlupakan oleh perusahaan maupun organisasi lainnya. Pada prakteknya, sebuah organisasi hanya sibuk memikirkan pelatihan apa yang harus diberikan kepada karyawannya tanpa ada tindak lanjut untuk mengevaluasi apakah pelatihan tersebut sudah efektif atau tidak. Evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan pelatihan di kemudian hari.
50
Volume 16, Nomor 1, Januari 2012
Salah satu perusahaan yang belum melaksanakan evaluasi atas pelatihan yang diberikan adalah PT X. Perusahaan ini merupakan perseroan terbatas yang bergerak di industri tekstil dan berlokasikan di Bandung. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional sumber daya manusia khususnya SDM bagian produksi, PT X pun menyelenggarakan pelatihan. Pelatihan tersebut diberikannya melalui jasa konsultan internasional yang ahli pada bidang manajemen lean. Lean sigma atau manajemen lean merupakan konsep bisnis yang mengejar kesempurnaan dengan perbaikan berkelanjutan. Pelatihan ini membahas salah satu alat dari lean sigma yaitu sistem 6S yang harus diterapkan di bagian produksi. Pelatihan tersebut diselenggarakan pada 1-5 Desember 2008 bertempat di PT X. Jika dirincikan secara garis besar, 6S terdiri atas: Seiri/ Sorting/ Pemilahan Arti: membedakan antara yang diperlukan dan tidak diperlukan, serta membuang yang tidak diperlukan. Prinsip: manajemen stratifikasi (membagi sesuai dengan urutan kepentingan). Seiton/ Set in Order/ Penataan Arti: menentukan tata letak yang tertata rapih sehingga karyawan selalu dapat menemukan barang yang diperlukan. Prinsip: penyimpanan fungsional dan menghilangkan waktu untuk mencari barang. Seiso/ Sweeping/ Systematic Cleaning/ Pembersihan Arti: menghilangkan sampah, kotoran sehingga lingkungan menjadi lebih bersih. Prinsip: pembersihan merupakan bagian dari pemeriksaan / inspeksi. Seiketsu/ Standarization/ Penstadarisasian Arti: memelihara barang dengan teratur, rapih, bersih dan pemberian label sebagai standarisasi. Prinsip: manajemen visual Shitsuke/ Sustaining/ Membiasakan Arti: melakukan kebersihan sebagai kebiasaan. Prinsip: pembentukan kebiasaan dan tempat kerja yang mantap. Shigoto/ Safety/ Keselamatan Arti: melakukan sesuatu pekerjaan dengan kondisi yang aman bagi keselamatan karyawan. Prinsip: membuat sarana & tempat kerja yang aman. Adapun tujuan akhir dari sistem 6S adalah: menghilangkan / mengeliminasi pemborosan di proses produksi, memperkecil biaya produksi, meningkatkan hasil produksi dan memperpendek waktu tunggu produksi, terus menerus mengidentifikasi dan menghilangkan aktivitas yang tidak ada nilai tambah (pemborosan) di semua proses produksi. Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar
51
Sangat disayangkan bahwa PT X tidak mengevaluasi hasil dari pelatihan 6S, apakah memang betul memberikan manfaat yang positif sehingga biaya yang dikeluarkan tidak sia-sia. Maka dari itu, penulis tertarik melakukan penelitian yang dapat memberikan masukan bagi PT X dalam hal perbaikan pelaksanaan program pelatihan di masa yang akan datang dan menjelaskan efektivitas program pelatihan yang telah dilaksanakannya. Kefektivan tersebut dilihat melalui ukuran kinerja (behavioral/ performance measure) yakni dalam hal penerapan 6S dan peningkatan pencapaian target produksi secara menyeluruh, serta pengurangan kerugian atas barang cacat (organizational results). II. Tinjauan Pustaka Pelatihan didefenisikan sebagai segala upaya yang dilaksanakan untuk meningkatkan kinerja karyawan berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan sekarang atau pekerjaan lain yang berhubungan (Russel & Bernadin, 1993:297). Sedangkan evaluasi pelatihan merupakan proses untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada peninjauan kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan yang dikaitkan dengan kinerja sumber daya manusia. Terdapat alat bantu atau metodologi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pelatihan, yang paling terkenal dan sering digunakan adalah metode 4 level. Donald L Kirkpatrick, Professor Emeritus, University Of Wisconsin, pertama kali mempublikasikan idenya tentang level evaluasi pelatihan pada tahun 1959. Menurutnya, ada 4 level yang harus dievaluasi untuk menentukan efektivitas suatu pelatihan. Keempat level yang dimaksud adalah sebagai berikut: Level reaction: mengukur reaksi para peserta terhadap program pelatihan, instruktur, fasilitas, dan sebagainya. Mengukur opini, apa yang dirasakan dan dipikirkan peserta pelatihan. Level learning: mengenai bagaimana perkembangan pengetahuan atau kemampuan peserta setelah mendapat pelatihan. Apakah dia menjadi semakin pintar? Apakah dia menjadi semakin terampil? Level behavior/ performance: apakah terjadi perubahan perilaku (menjadi lebih baik) setelah mengikuti pelatihan, apakah setelah pelatihan para peserta tidak mengulangi lagi kebiasaan lamanya? Adakah kebiasaan professional yang baru yang dilakukannya setelah pelatihan? Level results: perubahan ukuran organisasional (seperti: produktivitas, turnover, absensi) setelah pelatihan. Pertanyaan yang biasanya dipertimbangkan pada level evaluasi ini seperti: seberapa besar peningkatan produktivitas, penghematan biaya atau pengurangan kerugian yang dapat dilakukan setelah pelatihan.
52
Volume 16, Nomor 1, Januari 2012
Penelitian ini akan mengevaluasi pada level: reaction yakni melalui kuesioner untuk mengetahui opini peserta pelatihan terhadap materi, instruktur, fasilitas, metode pelatihan, dsb. behavior/ performance yakni melalui kuesioner untuk mengetahui penerapan 6S oleh peserta setelah mengikuti pelatihan. results yakni melalui laporan pencapaian target produksi dan laporan barang cacat pada 2 bulan sebelum dan setelah pelatihan. Setelah menentukan kriteria atau level evaluasi yang akan digunakan, maka langkah selanjutnya adalah menentukan experimental design yang akan dipakai dalam penelitian. Beberapa desain evaluasi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut (Russel & Bernadin, 1993): One-Shot Posttest-Only Design Evaluasi dilakukan dengan hanya mengukur hasil kinerja pada kelompok yang mendapatkan pelatihan. Sebelumnya tidak pernah dilakukan pengukuran kinerja pada kelompok tersebut. One-Group Pretest-Posttest Design Evaluasi dilakukan dengan mengukur kinerja sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok yang mendapatkan pelatihan. Posttest-Only Control Group Design Evaluasi dilakukan dengan hanya mengukur kinerja setelah pelatihan pada kelompok yang mendapatkan pelatihan dan kelompok yang tidak mendapatkan pelatihan. Pretest-Posttest Control Group Design Evaluasi kinerja dilakukan dengan mengukur kinerja sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok yang mendapatkan pelatihan dan kelompok yang tidak mendapatkan pelatihan. Penelitian ini akan mengevaluasi pelatihan dengan menggunakan desain: One-Shot Posttest-Only Design untuk mengevaluasi level reaction dan level behavior/ performance. One-Group Pretest-Posttest Design (2 bulan sebelum dan setelah pelatihan) untuk mengevaluasi level organizational results. III. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dan penelitian berupa analisis data sekunder. Pada penelitian survei yang bersifat deskriptif, penulis menyebarkan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya kepada anggota populasi yaitu seluruh karyawan bagian produksi PT X yang mengikuti pelatihan 6S dengan jumlah 107 orang. Penelitian dilakukan menggunakan 1 variabel yaitu variabel evaluasi program pelatihan. Adapun operasionalisasi variabel penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 1: Operasionalisasi Variabel Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar
53
Variabel Subvariabel Evaluasi Materi Program pelatihan Pelatihan
Instruktur/ konsultan pelatihan
Konsep Subvariabel Pernyataan negatif hingga positif peserta pelatihan terhadap materi pelatihan.
1. 2. 3. 4.
5. Pernyataan negatif 1. hingga positif 2. terhadap konsultan 3. pelatihan 4. 5.
Fasilitas pelatihan
Pernyataan hingga terhadap pelatihan
negatif 1. positif 2. fasilitas
Metode pelatihan
Pernyataan negatif hingga positif terhadap metode pelatihan
Ceramah/ perkuliahan
Pelatihan Pernyataan negatif 1. secara hingga positif 2. menyeluruh terhadap 3. keseluruhan kegiatan pelatihan 4.
Penerapan 6S setelah dilaksanak annya pelatihan
5. Pernyataan negatif 1. hingga positif terhadap penerapan 2. 6S 3.
4. 5. 6.
54
Indikator Manfaat Kemudahan Informasi Kesesuaian dengan tujuan pelatihan Penggambaran Penguasaan materi Cara penyampaian materi Respon terhadap pertanyaan Kemampuan memotivasi Kemampuan dalam menggunakan contohcontoh yang relevan dengan pengalaman di perusahaan Kenyamanan ruangan Kelengkapan alat bantu
Waktu Maksud dan tujuan Hubungan pelatihan dengan pekerjaan Motivasi pengaplikasian pelatihan Kepuasan Pemilahan material/ bahan yang tidak diperlukan Penyusunan material/ bahan Kebersihan mesin, peralatan dan tempat kerja. Penyusunan peralatan kerja. Kepatuhan pada etika kerja. Keamanan lingkungan kerja
Volume 16, Nomor 1, Januari 2012
Pada analisis data sekunder, penulis mengolah dan menganalisis lebih lanjut data yang sudah tersedia yaitu laporan produksi dan laporan barang cacat PT X. Pada laporan produksi: pencapaian target produksi pada 2 bulan sebelum pelatihan yaitu Oktober & November 2008 dibandingkan dengan pencapaian target produksi pada 2 bulan setelah pelatihan yaitu Desember 2008 & Januari 2009. Untuk mengetahui perbedaannya secara statistik maka dilakukan uji beda dengan rumus paired sample t-test:
t
d sd n
Keterangan: t = nilai t hitung
d = rata-rata selisih pengukuran kondisi 1 & 2 sd = standar deviasi selisih pengukuran kondisi 1 & 2. n = jumlah anggota sample Pada laporan barang cacat PT X, persentase barang cacat pada Oktober & November 2008 dibandingkan dengan persentase barang cacat pada Desember 2008 & Januari 2009. Perbandingan juga dilakukan dengan menghitung perkiraan besarnya kerugian akibat dijualnya barang cacat antara sebelum & setelah pelatihan. Perkiraan kerugian atas barang cacat dihitung dengan cara: (total produksi barang cacat per bulan x perkiraan rata-rata harga pokok produksi) – (total produksi barang cacat per bulan x perkiraan rata-rata harga jual barang cacat). IV. Hasil Penelitian Analisis Hasil Kuesioner Reaksi/ Pendapat Peserta Terhadap Pelaksanaan Program Pelatihan 6S (Reaction Level) Berdasarkan hasil pengolahan data, adapun rincian frekuensi beserta nilai indeks rata-rata untuk setiap subvariabel yang memiliki jawaban dengan tingkat ketidaksetujuan tertinggi adalah sebagai berikut: Tabel 2: Frekuensi & Nilai Indeks Rata-rata Kuesioner Reaction Level No. Subvariabel 1
Materi
Pernyataan Materi pelatihan memberikan informasi penting yang Anda butuhkan
Jawaban Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju
Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar
Frekuensi Nilai rata-rata 0
4,20
6 12 44 45
55
2
3
4
5
Instruktur/ Konsultan
Fasilitas
Metode
Konsultan pelatihan menggunakan contohcontoh yang relevan dengan pengalaman di perusahaan Alat bantu yang digunakan seperti komputer, papan tulis dapat mempermudah Anda untuk mengerti isi pelatihan
Metode pelatihan yang digunakan yaitu melalui ceramah seperti pada perkuliahan mempermudah Anda untuk mengerti isi pelatihan Hal-hal lain Waktu yang penyelenggaraan berhubung pelatihan cukup bagi an Anda untuk memahami dengan jelas topik yang disampaikan
Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju
0
4,11
5 13 54 35 0
4,18
5 7 59 36 0
4,22
4 8 56 39 0
4,16
2 13 58 34
Menanggapi hal tersebut maka langkah perbaikan yang dapat dilakukan PT X untuk pelatihan yang akan datang yaitu: Meskipun materi disiapkan oleh konsultan, sebaiknya PT X ikut berpatisipasi dalam menetapkan point penting yang harus ada pada materi. Point penting tersebut didasarkan pada tujuan pelatihan, kriteria untuk mencapai tujuan, prinsip belajar dan gaya belajar yang ingin diterapkan. Contohnya: pada materi dicantumkan gambar-gambar atau kalimat yang dirasa penting ditulis dengan warna berbeda atau dicetak tebal (hal ini terkait gaya belajar visual). Pada materi harus berisikan tes kecil untuk mengulang pemahaman peserta (terkait prinsip belajar review). Sebaiknya menggunakan jasa konsultan lokal yang memiliki pengalaman sesuai dengan keadaan industri tekstil di Indonesia. Apa yang terjadi di negara lain belum tentu sama dengan kondisi di negara sendiri. Selain itu sebaiknya PT X menginstruksikan kepada semua calon peserta untuk menguraikan masing-masing pengalamannya yang dapat menghambat proses produksi, untuk kemudian ditanyakan kepada konsultan melalui forum tanya jawab.
56
Volume 16, Nomor 1, Januari 2012
Terkait dengan fasilitas pelatihan, PT X sebaiknya tidak hanya menggunakan komputer & papan tulis tetapi juga menggunakan objek yang sesungguhnya (dalam hal yang memungkinkan). Contoh: pada saat instruktur menjelaskan pengendalian sampah sisa kain menggunakan polybag. Instruktur sebaiknya menyertakan polybag yang sesungguhnya. Pemilihan metode melalui ceramah sudah tepat karena tujuan utama pelatihan 6S adalah mengembangkan pengetahuan karyawan dan bukan keterampilan melakukan 6S secara spesifik. Namun begitu, tidak ada salahnya jika pelatihan dikemudian hari ditambahkan dengan tes tertulis yang dikerjakan secara berkelompok. Bekerja berkelompok sangat memungkinkan transformasi informasi yang lebih interaktif dan partisipatif serta memberikan setiap orang lebih banyak porsi waktu untuk mengajukan pertanyaan dan kesempatan untuk berkontribusi. Tes tertulis dapat membantu peserta untuk menemukan sendiri apa yang sudah dan belum mereka pahami. Jika memungkinkan setiap kelompok didampingi oleh 1 instruktur. Tes tertulis dapat membantu instruktur untuk mengetahui siapa saja peserta yang memerlukan bantuan lebih banyak. Terkait dengan waktu penyelenggaraan pelatihan, sebaiknya PT X perlu membuat perencaan yang harus dituangkan dalam jadwal pelatihan (timetable) yang lengkap. Adapun jadwal tersebut harus mencakup penentuan skala prioritas berdasarkan urgensinya dan perhitungan jadwal kerja pada masing-masing unit kerja/ regu. Setelah membuat timetable yang lengkap maka langkah selanjutnya adalah melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan proses pelatihan apakah telah sesuai dengan jadwal yang disusun. Analisis Hasil Kuesioner Penerapan 6S Setelah Dilaksanakannya Pelatihan (Behavior/ Performance Level) Adapun rincian frekuensi beserta nilai indeks rata-rata untuk pertanyaan dengan tingkat ketidaksetujuan tertinggi adalah sebagai berikut: Tabel 3: Frekuensi & Nilai Indeks Rata-rata Kuesioner Behavior/ Performance Level No. 1
Subvariabel Penerapan 6S
Pernyataan Menyusun peralatan kerja yang diperlukan agar selalu berada pada tempatnya (seiketsu/ standarization/ pemantapan)
Jawaban
Frekuensi Nilai rata-rata Sangat tidak 0 4,20 setuju Tidak setuju 1 Ragu-ragu 15 Setuju 36 Sangat setuju 25
Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar
57
Langkah perbaikan yang dapat dilakukan agar penerapan seiketsu maupun 6S lainnya lebih maksimal adalah: Menjelaskan kembali kepada karyawan mengenai efek buruk jika peralatan kerja disimpan sembarangan. Memasang poster penerapan 6S di tempat kerja. Pada poster dituliskan secara singkat hal-hal terkait 6S yang harus dilakukan karyawan. Poster tersebut merupakan pengingat atas pentingnya pelaksanaan 6S. Penjelasan Perbedaan Pencapaian Target Produksi Antara Sebelum dan Setelah Dilaksanakannya Pelatihan (Organizational Results) Pencapaian target produksi dari bulan Oktober 2008 sampai Januari 2009 adalah sebagai berikut: Tabel 4 : Pencapaian Target Produksi Bulan Oktober 2008-Januari 2009 Target Produksi Produksi Nyata Pencapaian Bulan per bulan per bulan Target Produksi (Yards) (Yards) per bulan Oktober 2008 3.111.404,5 2.756.628,5 88,5% November 2008 2.996.066,8 2.686.9854,7 89,6% Desember 2008 3.219.268,4 2.968.338 92,2% Januari 2009 3.143.110,5 2.931.223,6 93,2% Dengan demikian perbandingan pencapaian target produksi per bulannya adalah sebagai berikut: Tabel 5 : Perbandingan Pencapaian Target Produksi Bulan Oktober 2008 November 2008 Desember 2008 Januari 2009
Pencapaian Target Produksi per bulan 88,5% 89.6% 92,2% 93,2%
Selisih Pencapaian Target Produksi 1,1% 2,6% 1%
Jika dibandingkan dengan 2 bulan sebelum pelatihan yaitu Oktober 2008 maka total peningkatan yang terjadi adalah 4,7% (93,2% 88,5%). Dua bulan setelah adanya pelatihan, pencapaian target produksi meningkat hingga di atas 90% dimana 2 bulan sebelum pelatihan, pencapaian target produksi hanya di sekitar angka 80%. Jika melihat pada peningkatan tersebut maka dapat dikatakan bahwa pelatihan 6S sudah berjalan dengan efektif karena pencapaian target produksi terus meningkat hingga menembus angka 90%. Pernyataan ini didasarkan pada kondisi lainnya (di luar pelatihan) yang tetap stabil. Kondisi lainnya adalah: kondisi mesin, jumlah pekerja, waktu kerja, serta gaji & upah karyawan.
58
Volume 16, Nomor 1, Januari 2012
Untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan pencapaian target produksi yang signifikan maka dilakukan uji beda secara statistik. Pada penelitian ini yang menjadi sampel berpasangan adalah pencapaian target Oktober & November (2 bulan sebelum pelatihan) dan Desember & Januari (2 bulan setelah pelatihan). Adapun perhitungan statistiknya sebagai berikut: Tabel 6 : Selisih Pencapaian Target Produksi Antara Sebelum dan Setelah Pelatihan Pencapaian Target Produksi Sebelum Pelatihan Oktober 2008 88,5% November 2008 89,6% Rata-rata 89,05% Jumlah 178,1%
Pencapaian Target Produksi Setelah Pelatihan Desember 2008 92,2% Januari 2009 93,2% Rata-rata 92,7% Jumlah 185,4%
Selisih 3,7% 3,6% 3,65% 7,3%
Standar deviasi selisih pengukuran sebelum & setelah pelatihan: s
X2
X 2
n 1
n
=
3.7
7.23
2
2
3.6 2 2 1
= 0,07
Nilai t hitung: t
d 3.65 73 sd 0.07 2 n
Nilai df adalah n-1 sehingga df = 2-1= 1; dengan nilai α 5% dan df =1 maka diperoleh t tabel sebesar 12.706 (sumber data tabel diambil dari buku Statistical Techniques in Business & Economics). Nilai t hitung lebih besar dari t tabel. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan pencapaian target produksi yang signifikan setelah dilaksanakannya pelatihan. Penjelasan Pengurangan Kerugian Atas Barang Cacat Setelah Diberikannya Pelatihan (Organizational Results) Pada tiap perusahaan terdapat kebijakan dalam mengkategorikan produk mulai dari yang terbaik sampai yang terburuk. Kebijakan pengkategorian produk pada PT X adalah sebagai berikut: Produk grade A produk yang sempurna ataupun produk yang dalam 25 yard memiliki poin cacat tidak lebih dari 5 (0 poin cacat 5). Produk grade B produk yang dalam 25 yard memiliki poin cacat lebih besar dari 5 tetapi tidak lebih dari 15 (5 < poin cacat 15).
Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar
59
Produk grade C produk yang dalam 25 yard memiliki poin cacat lebih besar dari 15 tetapi tidak lebih dari 25 (15 < poin cacat 25). Produk grade D produk yang dalam 25 yard memiliki poin cacat lebih dari 25 (poin cacat 25). Berdasarkan defenisi barang cacat/ spoilage (Horgren, Datar dan Foster, 2002:628), maka dapat dikatakan bahwa produk grade A adalah normal spoilage, sedangkan grade B, C dan D adalah abnormal spoilage. Penelitian dilakukan pada produk grade D disebabkan produk yang tingkat kecacatannya paling parah dan merupakan permasalahan yang harus diselesaikan terlebih dulu karena menyebabkan kerugian besar untuk perusahaan. PT X tidak membuang produk cacatnya melainkan dijual kembali. Khusus untuk produk grade D dijual lebih rendah dari harga pokok produksinya. Dalam penetapan harga jual untuk produk grade D, perusahaan membaginya ke dalam beberapa kategori yaitu: Produk cacat grade D kurang dari 1 yard (D<1): dijual dengan harga terendah dibandingkan produk cacat grade D lainnya dikarenakan tingkat kegunaannya yang terbatas. Produk cacat grade D lebih besar sama dengan 1 yard tetapi lebih kecil sama dengan 10 yard (10 D 1)/ 1-10 yard. Produk cacat grade D lebih besar dari 10 tetapi lebih kecil sama dengan 25 yard (25 D>10)/ 11-25 yard: dijual dengan harga tertinggi dibandingkan produk cacat grade D lainnya dikarenakan tingkat kegunaannya yang lebih tinggi. Adapun rincian persentase kain grade D untuk bulan Oktober, November, Desember 2008 dan Januari 2009 berdasarkan data yang diperoleh dari bagian produksi PT X adalah sebagai berikut: Tabel 7 : Rincian Persentase Kain Grade D Oktober 2008 Total Produksi 2.756.629 yard = 267.434 kg
Total Kain Grade D (kg) 668,7
Persentase Kain Grade D (%) 0,25
Rincian Kain Grade D D<1 1 - 10 11 - 25 Yard(kg) Yard (kg) Yard (kg) 263 217,3 188,4
Tabel 8 : Rincian Persentase Kain Grade D November 2008 Total Produksi 2.686.955 yard = 266.035 kg
60
Total Kain Grade D (kg) 691,7
Rincian Kain Grade D Persentase Kain Grade D D<1 1 - 10 11 - 25 (%) Yard (kg) Yard (kg) Yard (kg) 0,26 240 233,7 218
Volume 16, Nomor 1, Januari 2012
Tabel 9 : Rincian Persentase Kain Grade D Desember 2008 Total Produksi 2.968.338 yard = 300.543 kg
Total Kain Grade D (kg) 661,2
Persentase Kain Grade D (%) 0,22
Rincian Kain Grade D D<1 1 - 10 11 - 25 yard (kg) Yard (kg) Yard (kg) 237
226,2
198
Tabel 10 : Rincian Persentase Kain Grade D Januari 2009 Total Produksi 2.931.224 yard = 296.083 kg
Total Kain Grade D (kg) 562,6
Rincian Kain Grade D Persentase Kain Grade D D<1 1 - 10 11 - 25 (%) yard (kg) yard (kg) yard (kg) 0,19 195 185,2 182,4
Pada Oktober sampai dengan November 2008, kain grade D meningkat 23 kg (691,7-668,7). Secara persentase, peningkatan kain grade D adalah 0,01% (0,26-0,25). Peningkatan terjadi akibat ketidakefisienan proses produksi. Salah satu solusi untuk mengatasinya adalah pelatihan 6S yang tujuannya tidak lain untuk menciptakan efisiensi melalui pengurangan waktu tunggu, pemborosan dan peningkatan hasil produksi. Satu bulan setelah adanya pelatihan 6S ternyata kain cacat grade D menurun sebesar 30,5 kg (691,7-661,2). Secara persentase, penurunannya adalah 0,04% (0,26-0,22). Pada Januari 2009, ternyata kain cacat grade D juga terus menurun sebesar 98,6 kg (661,2-562,6) dibandingkan dengan bulan Desember. Secara persentase, penurunannya 0,03% (0,22-0,19). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya pelatihan 6S dapat memberikan dampak positif yaitu penurunan persentase kain cacat grade D pada Desember 2008 dan Januari 2009. Meskipun secara persentase kain grade D menurun, akan tetapi diperlukan data pendukung lainnya sehingga dapat memperkuat pernyataan bahwa pelatihan 6S memberikan dampak positif. Data pendukung tersebut adalah perkiraan kerugian atas dijualnya kain cacat grade D. Melalui data tsb, dapat diketahui apakah terjadi pengurangan kerugian dan seberapa besar perkiraan pengurangan kerugian yang bisa dilakukan setelah adanya pelatihan. Dengan demikian diperlukan indikator pendukung untuk menghitung besarnya perkiraan kerugian. Indikator tersebut adalah perkiraan rata-rata harga pokok produksi per kg dan harga jual kain cacat grade D pada setiap kategori. Harga pokok produksi bervariasi untuk setiap jenis kain. Harga pokok produksi untuk PT X berkisar antara Rp35.000-55.000,-/kg. Pada penelitian ini, perkiraan rata-rata harga pokok produksi yang digunakan adalah Rp45.000,-/kg.
Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar
61
Digunakannya perkiraan rata-rata harga pokok maupun harga jual dikarenakan keterbatasan penulis untuk memperoleh data yang jumlahnya terlalu banyak dan bersifat rahasia bagi perusahaan. Selain itu, didasarkan pada pertimbangan bahwa hal yang ingin ditekankan pada penelitian ini adalah mengetahui apakah kerugian perusahaan atas kain cacat grade D dapat berkurang setelah adanya pelatihan. Adapun perincian perkiraan rata-rata harga pokok produksi dan harga jual grade D adalah sebagai berikut: Tabel 11 : Perkiraaan Rata-rata Harga Pokok Produksi dan Harga Jual Grade D Perkiraan Rata-rata Harga Pokok Produksi (Rp) 45.000/ kg
Perkiraan Rata-rata Harga Jual Grade D (Rp) D<1 yard 1 - 10 yard 11 - 25 yard (30% lebih rendah) (20% lebih rendah) (10% lebih rendah) 31.500/kg 36.000/ kg 40.500/ kg
Perhitungan perkiraan kerugian atas kain cacat grade D untuk bulan Oktober, November, Desember 2008 dan Januari 2009 adalah sebagai berikut: Tabel 12 : Perkiraan Kerugian Atas Kain Grade D Oktober 2008 Total Total Harga Kain Pokok Grade Produksi Yang Dikeluarkan D (Rp) (Kg) 668,7 668,7 x 45.000 = 30.091.500
Total Penjualan Kain Grade D (Rp) 23.701.500
Total Kerugian (Rp) 6.390.000
Rincian Perhitungan Penjualan Kain Grade D (Rp) D<1 1 – 10 11 – 25 Yard Yard Yard 188,4 x 263x 217,3x 40.500 = 31.500= 36.000= 8.248.500 7.822.800 7.630.200
Tabel 13 : Perkiraan Kerugian Atas Kain Grade D November 2008 Total Total Harga Kain Pokok Grade Produksi Yang Dikeluarkan D (Rp) (Kg)
Total Penjualan Kain Grade D (Rp)
691,7
24.802.200 6.324.300 240x 31.500= 7.560.000
691,7 x 45.000 = 31.126.500
Total Kerugian (Rp)
Rincian Perhitungan Penjualan Kain Grade D (Rp) D<1 1 - 10 11 - 25 Yard Yard Yard 233,7x 36.000= 8.413.200
218x 40.500 = 8.829.000
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa total kerugian untuk bulan November lebih rendah dibandingkan Oktober. Padahal jika dilihat dari jumlah kain dan persentase kain grade D untuk November justru lebih tinggi dibandingkan Oktober.
62
Volume 16, Nomor 1, Januari 2012
Hal tersebut dikarenakan total kerugian tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah kilogram kain grade D tetapi juga dipengaruhi oleh penyebaran jenis-jenis kain grade D yang dijual. Tabel 14 : Perkiraan Kerugian Atas Kain Grade D Desember 2008 Total Total Harga Kain Pokok Grade Produksi Yang D (Kg) Dikeluarkan (Rp) 661,2 661,2 x 45.000 = 29.754.000
Total Penjualan Kain Grade D (Rp) 23.627.700
Total Kerugian (Rp) 6.126.300
Rincian Perhitungan Penjualan Kain Grade D (Rp) D<1 1 - 10 11 - 25 Yard Yard Yard 237x 31.500= 7.465.500
226,2x 36.000= 8.143.200
198x 40.500 = 8.019.000
Tabel 15 : Perkiraan Kerugian Atas Kain Grade D Januari 2009 Total Total Harga Kain Pokok Grade Produksi Yang D (Kg) Dikeluarkan (Rp) 562,6 562,6 x 45.000 = 25.317.000
Total Penjualan Kain Grade D (Rp) 20.196.900
Total Kerugian (Rp) 5.120.100
Rincian Perhitungan Penjualan Kain Grade D (Rp) D<1 1 - 10 11 - 25 Yard Yard Yard 195x 31.500= 6.142.500
185,2x 36.000= 6.667.200
182,4x 40.500 = 7.387.200
Maka perbandingan perkiraan kerugian antara 2 bulan sebelum dan setelah pelatihan adalah sebagai berikut: Tabel 16 : Perbandingan Perkiraan Kerugian Atas Kain Grade D antara sebelum dan setelah Pelatihan Perkiraan Kerugian Sebelum Pelatihan Oktober 2008 Rp 6.390.000,November 2008 Rp 6.324.300,Total Rp 12.714.300,-
Perkiraan Kerugian Setelah Pelatihan Desember 2008 Rp 6.126.300,Januari 2009 Rp 5.120.100,Total Rp 11.246.400,Selisih = Rp 1.467.900,-
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan 6S memang memberikan dampak positif dikarenakan 2 bulan setelah pelatihan, kain cacat Grade D mengalami penurunan baik dalam jumlah persentase maupun kerugian dalam bentuk nominal uang. Dalam jumlah persentase, kain cacat Grade D menurun menjadi 0,19% sedangkan kerugian berkurang sekitar Rp 1.467.900,-.
Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar
63
V. Kesimpulan & Saran Berdasarkan hasil kuesioner reaksi peserta terhadap penyelenggaraan 6S dan kuesioner penerapan 6S dapat disimpulkan bahwa pelatihan sudah berjalan dengan efektif. Evaluasi pada reaction level menunjukkan peserta bereaksi positif terhadap subvariabel materi, instruktur, fasilitas, metode dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pelatihan. Sama halnya dengan evaluasi pada behavior/performance level menunjukkan peserta memiliki kinerja positif atas penerapan pelatihan ke dalam praktek kerja. Hal ini terlihat dari nilai indeks rata-rata jawaban responden yang cukup tinggi untuk seluruh atribut penerapan 6S yang diukur. Dampak positif juga terlihat pada saat mengevaluasi level organizational results. Dua bulan setelah pelatihan, pencapaian target produksi terus meningkat hingga menembus angka 90%. Pernyataan ini didasarkan pada kondisi lainnya (di luar pelatihan) yang tetap stabil. Kondisi lainnya tersebut adalah: mesin, jumlah pekerja, waktu kerja serta gaji dan upah karyawan. Berdasarkan perhitungan statistik, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pencapaian target produksi yang signifikan setelah dilaksanakannya pelatihan 6S. Terkait dengan produk cacat grade D, dua bulan setelah pelatihan produk tersebut menurun baik dalam jumlah persentase maupun kerugian nominal uang. Total penurunan yang dapat dicapai setelah adanya pelatihan adalah 0,1% ((0,25%+0,26%)-(0,22%+0,19%)), sedangkan kerugian dapat berkurang sekitar Rp 1.467.900,-. Menanggapi jawaban kuesioner reaksi peserta dan penerapan 6S dengan tingkat ketidaksetujuan tertinggi terdapat beberapa saran untuk PT X, diantaranya: Walaupun pelatihan dilakukan melalui konsultan, sebaiknya PT X ikut berpartisipasi dalam penetapan gaya belajar dan prinsip belajar yang akan digunakan pada saat pelatihan. Sebaiknya menggunakan jasa konsultan lokal daripada internasional. Konsultan lokal memiliki pengalaman yang lebih relevan dengan keadaan industri tekstil di Indonesia. Tentu saja konsultan lokal yang dipilih memiliki reputasi dan kemampuan yang baik. Terkait dengan fasilitas pelatihan, PT X sebaiknya tidak hanya menggunakan komputer dan papan tulis tetapi juga menggunakan objek yang sesungguhnya (dalam hal yang memungkinkan). Contoh: pada saat instruktur menjelaskan pengendalian sampah sisa kain menggunakan polybag. Instruktur sebaiknya menyertakan polybag yang sesungguhnya. Pelaksanaan pelatihan sebaiknya dilengkapi dengan tes tertulis yang dikerjakan secara berkelompok. Jika memungkinkan setiap kelompok didampingi oleh 1 instruktur. Terkait dengan waktu penyelenggaraan pelatihan, sebaiknya PT X perlu membuat perencaan yang dituangkan dalam jadwal pelatihan 64
Volume 16, Nomor 1, Januari 2012
yang lengkap. Adapun jadwal tersebut harus mencakup penentuan skala prioritas berdasarkan urgensinya dan perhitungan jadwal kerja pada masing-masing unit kerja/ regu. Penulis hanya meneliti pengurangan atas produk cacat grade D. Bagi yang ingin meneliti lebih lanjut, dapat dilakukan tambahan perbandingan atas pengurangan produk cacat pada grade yang lain seperti grade B & C. Diharapkan dengan semakin banyaknya grade product yang dibandingkan akan menghasilkan penelitian yang lebih akurat. Penelitian ini hanya menggunakan kriteria evaluasi: reaction level, behavior/ performance level dan organizational results. Untuk penelitian yang akan datang dapat dilakukan evaluasi pada level yang lain yaitu learning level & return on investment level. Pada saat mengevaluasi return on investment (ROI) maka sebaiknya ROI diukur untuk beberapa periode setelah pelatihan. Contohnya, dilakukan perhitungan ROI untuk 6 bulan pertama setelah pelatihan. Semakin lengkapnya kriteria yang digunakan diharapkan dapat menghasilkan penelitian yang lebih akurat. Daftar Pustaka Bernardin, H. John. 2003. Human Resource Management: An Experiential Approach. McGraw-Hill Book, Co. Bernardin, H. John & Russell, Joyce E.A. 1993. Human Resource Management: An Experiential Approach. McGraw-Hill Book, Co. Blanchard, P. Nick & Thacker, W. James. 2007. Third Edition. Effective Training: Systems, Strategies, and Practices. Pearson Prentice Hall. Effendi, Sofian & Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survai. PT Pustaka LP3ES Indonesia, Anggota IKAPI. Foster, Datar & Horngren. 2003. Eleventh Edition. Cost Accounting: A Managerial Emphasis. Pearson Education Asia Pte Ltd. Kirkpatrick, L. Donald & D. James. 2006. Third Edition. Evaluating Training Programs: The Four Levels. Berrett- Koehler Publishers, Inc. Lind Douglas, Marchal William & Mason Robert. 2001. Eleventh Edition. Statistical Techniques in Business & Economics. McGraw-Hill, Inc.
Bina Ekonomi Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Unpar
65