REPUBLIK INDONESIA
EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN
Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2009
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Kata Pengantar Laporan Evaluasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun merupakan salah satu dari serangkaian kajian yang dilakukan di lingkup Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan pada tahun 2008. Dengan penyesuaian dan penyempurnaan laporan itu disusun kembali pada tahun 2009. Program Wajardikdas 9 Tahun sebagai titik berat kajian merupakan upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Selain faktor output seperti jumlah guru dan jumlah sekolah, keberhasilan pembangunan pendidikan dasar dipengaruhi pula oleh karakteristik sosial ekonomi penduduk. Untuk itu, upaya lebih keras lagi perlu dilakukan agar rumah tangga penduduk miskin dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Diharapkan laporan kajian ini dapat memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan di masa yang akan datang. Kami sangat mengharap masukan, saran, dan kritik yang membangun apabila masih terdapat kekurangan pada kajian ini. Terima kasih dan penghargaan kami ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu dalam penyusunan kajian ini. Jakarta, Desember 2009 Plt. Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan
Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi
ii
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Ruang Lingkup 1.3. Tujuan Evaluasi BAB II. SEKILAS TENTANG PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN 2.1. Tujuan Wajib Belajar 2.2. Pelaksanaan Wajib Belajar 2.3. Analisis Determinan Wajardikdas 2.4. Landasan Hukum Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun 2.5. Outcome Program Wajardikdas 9 Tahun BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Analisa Kuantitatif 3.2. Analisis Kualititatif 3.3. Data BAB IV. HASIL REGRESI : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APK DAN APM 4.1. Nasional 4.2. Sumatera 4.3. Jawa 4.4. Bali, NTB dan NTT 4.5. Kalimantan 4.6. Sulawesi iii
ii iii v vii 1 1 3 3 4 4 5 7 12 14 23 23 29 30 33 33 37 41 45 48 51
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
4.7. Papua dan Maluku BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN: EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN (2005-2007) 5.1. Outcome Program Wajardikdas Angka Partisipasi Kasar (APK) Angka Partisipasi Murni (APM) 5.2. Faktor-Faktor yang Signifikan Mempengaruhi Capaian APK dan APM 5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto 5.2.2. Akses Air Bersih 5.2.3. Rasio Murid Sekolah 5.2.4. Tingkat Kemiskinan 5.2.5. Angka Melek Huruf 5.2.6. Dana Alokasi Umum (DAU) 5.2.7. Dana Alokasi Khusus (DAK) 5.2.8. Rasio Murid Guru BAB VI. KESIMPULAN
53
Daftar Pustaka
98
iv
57 57 58 61 65 65 66 69 71 72 74 80 85 95
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Daftar Gambar
Gambar 2.1.
Target dan Realisasi Disparitas APK Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota
17
APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007
18
APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama 2007
19
Disparitas APK dan APM Antara Kabupaten-Kota Dalam Provinsi 2007
20
APK SD dan SMP menurut Klasifikasi Daerah
22
Gambar 5.1.
APK SD/MI Tahun 2006
59
Gambar 5.2.
APK SMP/MTs Tahun 2006
60
Gambar 5.3.
APM SD/MI Tahun 2006
62
Gambar 5.4.
APM SMP/MTs Tahun 2006
63
Gambar 5.5.
Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2006
66
Gambar 5.6.
Akses Air Bersih Tahun 2006
68
Gambar 5.7.
Rasio Murid Sekolah SD/MI Tahun 2006 Rasio Murid Sekolah SMP/MTs Tahun 2006 Tingkat Kemiskinan Tahun 2006 Angka Melek Huruf Rata-Rata 2004-2006
Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5.
Gambar 5.8. Gambar 5.9. Gambar 5.10
v
69 70 72 73
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.11.
Gambar 5.12. Gambar 5.13. Gambar 5.14. Gambar 5.15. Gambar 5.16. Gambar 5.17. Gambar 5.18. Gambar 5.19. Gambar 5.20.
Perkembangan Alokasi Anggaran Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional Kontribusi DAU terhadap Total P Penerimaan APBD Kabupaten/Kota Persentase DAU Rata-Rata 2004-2006 Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) 2004-2007 Persentase DAK Rata-Rata Tahun 2004-2006 Rasio Murid Guru Rasio Siswa per Guru Tahun 2001/2002-2005/2006 Kepala Sekolah dan Guru menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006 Persentase Guru SD dan SMP yang Layak Mengajar Tahun 2007 Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi Tahun 2007
vi
75 76 77 81 82 86 88 89 91 93
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Daftar Tabel
Tabel 2.1. Indikator Kunci dan Target Kebijakan Pendidikan Nasional 2005-2009
16
Tabel 3.1. Pemilihan Sampel
32
Tabel 4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Nasional
34
Tabel 4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Nasional
35
Tabel 4.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Nasional
36
Tabel 4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Nasional
37
Tabel 4.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sumatera
38
Tabel 4.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sumatera
39
Tabel 4.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Sumatera
40
Tabel 4.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Sumatera
41
Tabel 4.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Jawa
42
Tabel 4.10.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Jawa
43
vii
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.11.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Jawa
44
Tabel 4.12.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Jawa
45
Tabel 4.13.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Bali, NTB dan NTT
46
Tabel 4.14.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Bali, NTB dan NTT
46
Tabel 4.15.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Bali, NTB dan NTT
47
Tabel 4.16.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Bali, NTB dan NTT
48
Tabel 4.17.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Kalimantan
49
Tabel 4.18.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Kalimantan
49
Tabel 4.19.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Kalimantan
50
Tabel 4.20.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Kalimantan
50
Tabel 4.21.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sulawesi
51
Tabel 4.22.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sulawesi
52
Tabel 4.23.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Sulawesi
52
viii
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.24.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Sulawesi
53
Tabel 4.25.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Papua dan Maluku
54
Tabel 4.26.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Papua dan Maluku
54
Tabel 4.27.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Papua dan Maluku
55
Tabel 4.28.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Papua dan Maluku
56
Tabel 5.1. Variabel Bebas yang Mempengaruhi APK dan APM
58
Tabel 5.2. DAU Tahun 2004-2007
78
Tabel 5.3. DAK Tahun 2004-2006
83
Tabel 5.4. Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah dan Guru menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2006
90
ix
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting bagi pembangunan bangsa. Ketika di Asia Timur muncul negara-negara industri baru, banyak ahli menyatakan keberhasilan pembangunan negara-negara tersebut karena didukung oleh tersedianya penduduk yang terdidik dalam jumlah yang memadai. Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan nasional mereka. Sumber Daya Manusia bermutu yang merupakan produk pendidikan adalah merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara. Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting dalam pembangunan manusia, bahkan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi. Pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pembangunan pendidikan nasional di Indonesia dalam kurun waktu 2004–2009 telah mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the right of child) dan Millenium Development Goals (MDGs) serta World Summit on Sustainable Development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan 1
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial. Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All Declaration) pada konferensi UNESCO, di Thailand (1990) merupakan komitmen bersama dalam menyediakan pendidikan dasar yang bermutu dan non diskriminatif. Realisasi deklarasi tersebut juga sekaligus merupakan upaya untuk memenuhi Hak Pendidikan (sesuai pasal 26 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia : “Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus Cuma-Cuma, setidaktidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan dasar diperlukan untuk menjaga perdamaian”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjamin hak atas “pendidikan dasar” bagi warga negara Indonesia yang berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Sehingga diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009. Untuk mengetahui pencapaian hasil kerja atau output berdasarkan alokasi biaya atau input yang ditetapkan terkait dengan program Wajardikdas 9 Tahun, maka evaluasi pelaksanaan program tersebut sangat penting untuk dilakukan. 2
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
1.2. Ruang Lingkup
Evaluasi Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun ini akan fokus pada evaluasi outcomes yang berkaitan dengan: 1. Pengaruh faktor input dan faktor output SD/MI dan SMP/MTs terhadap outcomes Wajardikdas (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs). 2. Pengaruh faktor eksternal dan karakteristik wilayah terhadap outcomes Wajardikdas (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs).
1.3. Tujuan Evaluasi Secara khusus, tujuan dari evaluasi ini adalah untuk; (1) Mengidentifikasi faktor input dan output yang mempengaruhi outcomes program Wajardikdas 9 tahun (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs); (2) Memperoleh gambaran pelaksanaan program Wajardikdas, yang berkaitan dengan faktor input dan faktor output program Wajardikdas.
3
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
BAB II SEKILAS TENTANG PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN
Wajib Belajar telah menjadi prioritas kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 70-an. Sejak dikeluarkan Inpres No 10 pada tahun 1973, Pemerintah secara terencana meningkatkan pembangunan sarana pendidikan dasar. Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan program Wajib Belajar 6 Tahun untuk anak usia 7-12 tahun secara nasional. Sejalan dengan kesuksesan Program Wajib Belajar 6 Tahun, sejak bulan Mei tahun 1994, Pemerintah Indonesia melanjutkan program Wajib Belajar dengan Wajib Belajar 9 Tahun. Kelanjutan Program Wajib Belajar 9 Tahun ini dipicu oleh beberapa faktor sebagai berikut; (1) Lebih dari 50 persen angkatan kerja hanya berpendidikan SD atau kurang; (2) Program wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kualitas SDM dan dapat memberi nilai tambah pula pada pertumbuhan ekonomi; (3) Semakin tinggi pendidikan akan semakin besar partisipasi dan kontribusinya di sektor-sektor yang produktif; (4) Dengan peningkatan program Wajib Belajar 6 Tahun menjadi Wajib Belajar 9 Tahun akan meningkatkan kematangan dan keterampilan siswa; dan (5) Peningkatan Wajib Belajar 9 Tahun akan meningkatkan umur kerja minimum dari 10 sampai 15 tahun (Syarif, 1994). 2.1. Tujuan Wajib Belajar Program Wajib Belajar 9 Tahun didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses terhadap pendidikan yang sama untuk semua 4
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
anak. Hal ini sesuai dengan kaedah-kaedah yang tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak (Prayitno, 2000). Melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke lembaga pendidikan sekolah ataupun luar sekolah. Dengan wajib belajar, mereka akan dapat menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu, menurut May (1998) wajib belajar adalah merangsang aspirasi pendidikan anak yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Oleh karena itu, target penyelenggaraan Wajib Belajar 9 Tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang sekarang ini masih jauh dari standar nasional. Agar sasaran tersebut terwujud secara optimal perlu diupayakan adanya kesinambungan penyelenggaraan pendidikan SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan sederajat berkenaan dengan berbagai komponen pendidikan yang mendukung. 2.2. Pelaksanaan Wajib Belajar Pelaksanaan program Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia memiliki empat ciri utama, yaitu; 1) dilakukan tidak melalui paksaan tetapi bersifat himbauan, 2) tidak memiliki sanksi hukum tetapi menekankan tanggung jawab moral dari orang tua untuk menyekolahkan anaknya, 3) tidak memiliki undang-undang khusus dalam implementasi program, 4) keberhasilan dan kegagalan program diukur dari peningkatan partisipasi bersekolah anak usia 6-15 tahun. Menurut Ibrahim (1992) pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun dilakukan melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah meliputi program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Untuk 5
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
tingkat SD diberlakukan pada SD regular, SD Kecil, SD Pamong, SD terpadu, MI, Pondok Pesantren, SDLT, dan kelompok belajar Paket A. Sedangkan untuk tingkatan SLTP dilaksanakan SLTP Reguler, SLTP Kecil, SLTP Terbuka dan SLTP-LB dan kelompok belajar Paket B. Sejak mulai diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2000, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan (PP No.25 tahun 2000). Dengan kebijakan otonomi daerah ini terbuka kesempatan bagi para ahli, praktisi, dan pengamat pendidikan untuk bersama-sama memberdayakan pendidikan secara menyeluruh, termasuk Wajib Belajar 9 Tahun. Otonomi pendidikan merupakan salah satu kesempatan yang sangat baik bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-masing yang merupakan tolok ukur kualitas sumber daya manusia. Ada keberagaman daerah dalam menyikapi diberlakukannya otonomi pendidikan. Di satu pihak ada daerah yang optimis, dan di pihak lain ada yang pesimis. Daerah yang merasa pesimis disebabkan oleh realitas kondisi daerahnya, khususnya kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang berbeda-beda (Suyanto, 2001). Di samping itu muncul pula “kepanikan” bagi daerah dalam menyediakan dana alokasi umum (DAU) untuk menggaji guru dan pegawai yang didaerahkan. Di lain pihak, daerah yang optimis, yaitu daerah yang mampu membuat rencana anggaran untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan di daerahnya. Namun demikian, apapun sikap daerah segala kendala yang muncul dalam penyelenggaraan Wajib Belajar 9 Tahun harus ditangani secara otonom oleh daerah masing-masing. Diyakini atau tidak, pendidikan dasar 9 tahun merupakan wahana yang paling efektif untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun berat dan sulitnya permasalahan yang ada pada awalnya, dengan adanya 6
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
kebijakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan akan dapat dikelola dengan lebih murah dan lebih cepat. Desentralisasi pendidikan dapat mengembangkan kreativitas siswa, guru, kepala sekolah, dan masyarakat. Untuk itu perlu diberlakukan manajemen berbasis sekolah (school based management) dengan tujuan agar sekolah dapat mengelola proses belajar mengajar dengan lebih baik sehingga dapat meningkatkan pembelajaran siswa. Artinya, manajemen berbasis sekolah harus mampu melaksanakan perbaikan proses belajar mengajar di kelas (classroom change) agar membuahkan pengalaman yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupan siswa (Zais, 1976).
2.3. Analisis Determinan Wajardikdas Keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajardikdas 9 Tahun) dapat dilihat dari beberapa indikator capaian. Indikator utamanya adalah pencapaian APK SD/MI dan SMP/MTs. Beberapa indikator pendidikan dasar digunakan untuk menggambarkan kondisi dan tingkat pencapaian pembangunan pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah bersama orangtua dan masyarakat yang berkaitan dengan aspek perluasan
dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, relevansi, efesiensi dan efektivitas pengelolaan. Beberapa indikator tersebut antara lain:
Angka Partisipasi, dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Jika angka APK lebih besar dari APM, hal ini menunjukkan adanya anak di luar kelompok usia 7-12 tahun yang bersekolah di SD/MI. Mereka adalah anak yang berusia di bawah 7 tahun dan diatas 12 Tahun. Sesuai dengan prioritas program Wajardikdas 9 tahun, adanya anak-anak berumur kurang dari 7 tahun tetapi sudah bersekolah di jenjang SD/MI dapat terjadi karena Sekolah tersebut masih dapat 7
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
menampung siswa. Di sisi lain, adanya anak-anak usia di atas 12 tahun yang masih bersekolah pada jenjang SD/MI dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu (1) anak-anak tersebut terlambat masuk SD atau mereka masuk diatas usia 7 tahun, dan (2) adanya anak-anak yang mengulang kelas, sehingga mereka baru dapat menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar (SD) pada usia di atas 12 tahun. Selain itu, APK maupun APM juga dapat dilihat berdasarkan gender sehingga dapat diketahui keseimbangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Hal yang sama terkait dengan APK dan APM juga terjadi untuk jenjang SMP/MTs. Angka Putus Sekolah. Jika ditemukan masih adanya anak yang putus sekolah pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor sosial ekonomi seperti membantu orang tuanya dalam mencari nafkah. Jika jumlah ini cukup tinggi maka akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap angka putus sekolah. Untuk itu perlu ditangani secara lebih serius, dengan mengefektifkan sejumlah lembaga pendidikan alternatif, sehingga tidak berdampak hilangnya akses anak usia 7-15 tahun terhadap lembaga-lembaga pendidikan dasar. Angka melanjutkan Lulusan SD/MI ke jenjang SMP/MTs. Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin besar para lulusan SD/MI dapat melanjutkan ke SMP sesuai dengan program Wajardikdas 9 Tahun yang dicanangkan Pemerintah. Rasio siswa per sekolah pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs yang menunjukkan kepadatan sekolah. Rasio siswa per sekolah berkaitan erat dengan rasio siswa per kelas, dimana standar ideal siswa per kelas adalah 32 siswa. Rasio siswa per guru. Semakin besar rasio siswa per guru ini menunjukkan adanya kekurangan guru pada jenjang tersebut. Rasio kelas per ruang kelas. Semakin besar nilainya menunjukkan ruang kelas tersebut digunakan untuk lebih dari 8
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
satu kelas. Besarnya rasio tersebut mengindikasikan masih perlunya ruang kelas tambahan. Dalam hal ini diharapkan ruang kelas sama dengan jumlah kelas, sehingga tidak ada ruang kelas yang digunakan lebih dari sekali. Tingkat kelayakan guru. Angka ini menunjukkan persentase guru yang layak mengajar pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs. Mutu guru. Kinerja sekolah dapat terlihat dari mutu guru yang ditunjukkan dengan kesesuaian ijasah guru dengan bidang studi yang diajarkan. Tingkat Pelayanan Sekolah, yang menunjukkah terjadinya pemerataan dan keberhasilan program Wajib Belajar Sekolah Dasar sembilan tahun. Tingkat kesulitan sekolah. Dari angka ini dapat diketahui ada tidaknya hubungan antara angka partisipasi dengan keadaan daerah. Misalnya APK cukup tinggi di daerah yang secara geografis tidak mendukung (terpencil). Hal ini menunjukkan minat anak untuk bersekolah di daerah tersebut cukup tinggi.
Jika dikaitkan dengan kinerja dari program pendidikan nasional secara umum, berbagai indikator tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga prioritas kebijakan pendidikan sebagai berikut ini.
Mutu dan Relevansi Pendidikan Terkait dengan mutu dan relevansi pendidikan, beberapa indikator keberhasilan pendidikan perlu dimonitor. Mutu pendidikan dapat diukur dari seberapa efektif pengelolaan sistem pendidikan dapat memberikan efek terhadap prestasi belajar siswa secara optimal. Yang paling tepat untuk mengukur mutu pendidikan sebenarnya adalah hasil evaluasi ujian akhir yang diukur melalui Ujian Akhir Nasional, namun kegiatan monitoring yang dilakukan ini tidak secara langsung mengukur output pendidikan dalam pengertian prestasi belajar siswa secara 9
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
akademis. Sedangkan yang dimaksud dengan relevansi pendidikan adalah, kesesuaian hasil-hasil pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bidang, misalnya penghasilan lulusan, keterampilan lulusan, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dan sebagainya. Beberapa indikator mutu dan relevansi pendidikan yang dapat dipantau oleh sistem ini antara lain sebagai berikut: (1) Peningkatan persentase lulusan terhadap jumlah murid tingkat akhir yang mengikuti ujian, (2) Pendayagunaan sarana-prasarana belajar yang lebih optimal di sekolah-sekolah (seperti buku pelajaran, perpustakaan, alat pelajaran, media pendidikan, dan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar, (3) Peningkatan kualitas guru yang diukur dari rata-rata tingkat pendidikan guru dan jumlah penataran yang diikuti, dan (4) Persentase siswa pendidikan pra sekolah terhadap jumlah penduduk usia pra sekolah. Indikator Pemerataan dan Perluasan Pemerataan dan perluasan pendidikan sebaiknya bukan hanya diukur dari seberapa banyak jumlah sarana-prasarana belajar tetapi juga menyangkut persebaran sarana-prasarana pendidikan antarsekolah dan antardaerah. Hal ini akan menyangkut prinsip keadilan dalam pendidikan bagi setiap anak-anak dimanapun untuk memperoleh akses terhadap sarana pendidikan yang sama. Pemerataan dan perluasan pendidikan juga akan berkaitan dengan tingkat partisipasi pendidikan bagi semua anak usia sekolah dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Partisipasi pendidikan itu merupakan indikator pendidikan yang digunakan oleh semua negara, sehingga dapat dibandingkan antardaerah dan bahkan antar negara. Beberapa indikator pemerataan dan perluasan pendidikan yang dapat dipantau adalah sebagai berikut: (1) Peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK), yaitu persentase jumlah murid pada suatu 10
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang berkaitan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (2) Angka Partisipasi Murni (APM), yaitu persentase jumlah murid pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu satuan pendidikan yang bersangkutan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (3) Angka Partisipasi Sekolah (APS) yaitu jumlah siswa pada kelompok usia tertentu yang merepresentasikan beberapa satuan pendidikan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (4) Jumlah penerima beasiswa pada suatu satuan pendidikan atau suatu daerah tertentu, dengan tanpa membedakan beberapa variabel karakteristik siswa seperti: jenis kelamin, daerah, status sosial-ekonomi, dan sejenisnya, dan (5) Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan pada setiap satuan pendidikan, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat. Indikator Manajemen Pendidikan Sampai saat ini masalah paling mendasar dalam sistem pendidikan nasional adalah efisiensi manajemen pendidikan. Oleh karena itu berbagai ukuran efisiensi dan optimasi dalam manajemen pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi secara terus-menerus dan dalam waktu yang teratur. Beberapa indikator manajemen pendidikan yang dapat dipantau secara terus-menerus adalah sebagai berikut: 1. Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah otonom) yang diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat termasuk sumber lain seperti dunia usaha; 2. Kemampuan pengadaan sarana-prasarana pendidikan di sekolah yang diperoleh dari masyarakat; 3. Kemampuan pengadaan sumberdaya manusia (guru dan tenaga kependidikan) yang diperoleh dari sumber masyarakat; 11
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
4. Perubahan dalam tingkat efisiensi pendayagunaan tenaga guru di sekolah yang diukur dengan tingkat “turn-over”; 5. Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu satuan pendidikan tertentu; 6. Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan pendidikan; serta 7. Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari suatu sekolah ke sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya.
2.4. Landasan Hukum Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Seluruh kebijakan pendidikan yang telah diambil tidak terlepas dari reformasi kerangka hukum bidang pendidikan yang diawali dengan amandemen UUD RI (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia) 1945 pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Melalui amandemen ini, bangsa Indonesia menetapkan bahwa pendidikan tidak lagi hanya sekedar hak warga negara sebagaimana termaktub dalam UUD RI 1945 sebelum amandemen, melainkan lebih dari itu, juga merupakan hak azasi manusia. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib pula membiayainya. Dalam sejarah perjalanan UUD 1945 yang telah mengalami 4 (empat) kali amandemen, hanya bidang pendidikan saja yang ditetapkan alokasi anggarannya sebesar 20 persen dari anggaran dalam APBN dan APBD. Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah bertekad untuk memajukan dunia pendidikan, terutama pendidikan dasar. Perubahan sangat mendasar dalam pengelolaan di bidang pendidikan terjadi setelah dilakukan amandemen kedua dan keempat. Amandemen kedua pada tahun 2000 memasukkan BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya memuat Pasal 28 C ayat 1 12
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
mengenai pendidikan sebagai hak azasi manusia. Sedangkan amandemen keempat pada tahun 2002 memasukkan BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, yang di dalamnya memuat Pasal 31 yang khusus mengatur secara mendasar masalah pendidikan. Pasal 31 ayat 1 menetapkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara, yang tentu saja konsisten dengan pasal 28 C ayat 1. Ayat 2 mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat 3 mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan mengusahakan serta menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Untuk menjamin terlaksananya semua hal itu ayat 4 mengamanatkan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD, serta ayat 5 mengamanatkan Pemerintah memajukan teknologi. Satu tahun kemudian, amanat reformasi dalam amandemen UUD RI 1945 tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang tiga tahun kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan selanjutnya pada tahun 2007 dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Pada tingkat operasional, selanjutnya amanat UU No. 20 Tahun 2003 dan UU No. 14 Tahun 2005 dijabarkan dalam berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan pada tingkat yang lebih teknis pada berbagai Peraturan Menteri (Permen). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan yang sederajat). Selain itu yang penting adalah: (a) Kewajiban bagi orangtua 13
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
untuk memberikan pendidikan dasar bagi anaknya (pasal 7 ayat 2), (b) Kewajiban bagi masyarakat memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (pasal 9), dan (c) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Pada tahun 1994 pemerintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, dan pada tahun 2006 tekad tersebut diperkuat dengan diterbitkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menyatakan bahwa Pendidikan termasuk dalam urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Berdasarkan PP tersebut maka Pendidikan termasuk urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar. 2.5. Outcome Program Wajardikdas 9 Tahun Keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 tahun dapat dilihat dari outcomes nya, yaitu APM SD/MI dan APK SMP/MTs. APM SD/MI mengalami peningkatan antara periode tahun 2004-2007, walaupun tidak terlalu signifikan. Sedangkan, APK SMP/MTs mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada periode tahun 2005-2007. Arah kebijakan nasional secara umum sejalan dengan arah kebijakan desentralisasi. Dalam Rencana Strategis Departemen 14
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Pendidikan Nasional 2005-2009 salah satu pilarnya adalah pemerataan akses pendidikan. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Untuk itu, sampai dengan tahun 2009 Depdiknas melaksanakan upaya-upaya sistematis dalam pemerataan dan perluasan pendidikan, yaitu dengan mempertahankan APM-SD/MI pada tingkat 95 persen, memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 98 persen serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5 persen. Dari target di atas, tampak bahwa kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan difokuskan pada pendidikan dasar dan menengah. Hal ini erat kaitannya dengan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan desentralisasi pemerintahan. Di satu sisi Wajardikdas 9 tahun bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan pelayanan pendidikan dasar sehingga semua anak usia 7-15 tahun setidaknya memperoleh pendidikan sampai sekolah menengah pertama atau sederajat. Sedangkan desentralisasi pendidikan ditujukan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah. Oleh karena itu dalam konteks desentralisasi, pemerataan dan perluasan akses pendidikan ditujukan pula untuk mengurangi kesenjangan akses pendidikan antar daerah. Pemerintah menargetkan penurunan disparitas APK pendidikan dasar dan menengah antara kota dan kabupaten secara signifikan. Hal ini tercermin dari Indikator kunci dan target kebijakan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Untuk tingkat pendidikan dasar misalnya, Depdiknas menargetkan penurunan disparitas APK antara kabupaten dan kota dari 2,49 persen di tahun 2004 menjadi 2 persen di tahun 2009. Sementara itu, untuk tingkat pendidikan menengah pertama ditargetkan penurunan disparitas APK 15
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
antara kabupaten dan kota dari 25,14 persen di tahun 2004 menjadi 13 persen di tahun 2009. Tabel 2.1. Indikator Kunci dan Target Kebijakan Pendidikan Nasional 2005-2009 Pemerataan Akses Pendidikan 1. Disparitas APK PAUD antara kabupaten-kota 2. Disparitas APK SD/MI/SDLB antara kabupaten-kota 3. Disparitas APK SMP/MTs/SMPLB antara kabupaten-kota 4. Disparitas APK SMA/MA/SMK/ SMALB antara kabupaten-kota 5. Disparitas gender APK di jenjang pendidikan Menengah 6. Disparitas gender APK di jenjang pendidikan tinggi 7. Disparitas gender persentase buta aksara
2004
2005
2006
2007
2008
2009
16,94
16,94
15,54
14,04
12,54
11,04
2,49
2,49
2,40
2,30
2,15
2,00
25,14
25,14
23,00
19,00
16,00
13,00
33,13
33,13
31,00
29,00
27,00
25,00
6,16
6,07
5,98
5,89
5,80
5,71
9,90
9,62
9,33
9,05
8,76
8,48
7,32
6,59
5,86
5,13
4,40
3,65
Smber: Renstra Depdiknas 2005-2009.
Secara umum pencapaian target (realisasi) penurunan disparitas APK antara Kabupaten dengan Kota baik pada tingkat SD dan sederajat maupun SMP dan sederajat menunjukkan pencapaian-pencapain yang positif. Pada tingkat SD, disparitas APK Kabupaten dengan Kota mengalami penurunan dari 2,49 persen pada tahun 2004 menjadi 2,4 persen di tahun 2007. Sementara itu pada tingkat SMP disparitas APK Kabupaten dengan Kota mengalami penurunan dari 25,1 persen di tahun 16
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
2004 menjadi 23 persen di tahun 2007. Namun beberapa permasalahan masih menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun ini. Gambar 2.1. Target dan Realisasi Disparitas APK Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota Disparitas APK SMP 28% 26% 24%
Disparitas APK SD 3,0%
25,1%
2,9%
25,1% 23,4%
25,1%
25,1%
22% 20% 18%
23,0%
2,8% 2,7%
23,0%
2,6% 19,0%
2,49%
2,49% 2,49%
2,43%
2,49%
2,40%
16%
2,40%
2,5% 2,4% 2,3%
2,30%
14% 12% Target SMP
Realisasi SMP
Target SD
Realisasi SD
10%
2,2% 2,1% 2,0%
2004
2005
2006
2007
Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah, Depdiknas, 2007, diolah.
Pada tingkat SD dan sederajat misalnya, tahun 2007 ditargetkan disparitas APK Kabupaten dengan Kota sebesar 2,3 persen namun realisasinya masih mencapai 2,4 persen. Sementara itu disparitas Kabupaten dengan Kota tingkat SMP dan sederajat yang ditargetkan mencapai 19 persen pada tahun 2007, realisasinya sebesar 23 persen. Selain itu pula, terdapat kecenderungan semakin besarnya rentang antara target dengan realisasi disparitas APK antara Kabupaten dengan Kota sepanjang 2005-2007 baik di tingkat SD maupun SMP (Gambar 2.1.). 17
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
APM SD
Gambar 2.2. APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007 98
IV
97
DIY
Indonesia: 94,90
DKI Jakarta
Sultra
96
Lampung
I Bali Jatim
Jateng Jabar Sumbar Jambi Sulut Banten Sulsel Kalteng Kaltim Maluku Sumut Babel Kalsel Sulteng Bengkulu Gorontalo Kalbar NAD Malut NTB Sumsel
95 94
NTT
93
Riau 92 91
Kepri Sulbar
Papua barat
Indonesia: 115,51
II
III
107,3;87,51 90 105
110
115
120
125 APK SD
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah .
Belum optimalnya pemerataan akses pendidikan 9 tahun khususnya dalam kerangka desentralisasi pendididikan dapat terlihat dari beberapa hal. Pertama, masih terdapat provinsi-provinsi dengan akses pendidikan di bawah rata-rata nasional. Hal ini terlihat dari sebaran pencapaian APK dan APM baik di tingkat SD maupun tingkat SMP. Gambar di atas merupakan analisis kuadran untuk capaian APKAPM tahun 2007 tingkat Sekolah Dasar. Sumbu X dan Y dibentuk oleh nilai rata-rata nasional APK dan APM. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa banyak provinsi yang telah memiliki APK tingkat SD di atas rata-rata nasional, walaupun dari sisi APM masih berapa di bawah tingkat nasional (kuadran II). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Gorontalo, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Namun masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki APM dan APK di bawah rata-rata nasional (Kuadran III). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Papua, Sulawesi Barat, Riau, Bengkulu dan Sumatra Utara. Sementara itu provinsi-provinsi seperti Jawa Timur, 18
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Jawa Tengah, Bali dan Jawa Barat; memiliki APM dan APK di atas rata-rata nasional (Kuadran I). Sementara itu untuk APK-APM tingkat SMP menunjukkan kondisi yang sedikit berbeda (Gambar 2.3). Pemetaan dengan analisis kuadran untuk APK-APM SMP tahun 2007 menunjukkan 2 kecenderungan umum. Pertama, provinsi-provinsi yang memiliki APKAPM di bawah rata-rata nasional (kuadran III). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan NTT. Kedua, provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM di atas rata-rata nasional (Kuadran I). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Riau dan Sumatra Utara. Hanya sedikit provinsi yang berada di kuadran II atau IV. Secara umum dapat dikatakan masih cukup besar kesenjangan APK-APM di tingkat SMP, apalagi jika dibandingkan dengan pencapaian APK-APM di tingkat Sekolah Dasar. Gambar 2.3. APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama 2007 APM SMP
79 76
Jatim Bengkulu Indonesia: 71,60
73
Jambi
67
Sumsel Kalteng
61
55
Lampung
Malut Jabar Papua Barat Sulsel
64
Gorontalo
III 60
Sulteng Papua
Kalsel Kalbar
I
NTB
Kaltim
70
58
NAD Riau Sumut Kepri Jateng Sumbar
Sulut
IV
Maluku Babel Sultra
DKI Jakarta (105,69; 88,48) DI Yogyakarta (106,62; 87,68)
Sulbar
Indonesia: 85,15
Banten (50,77; 57,15)
II
NTT 65
70
75
80
85
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
19
90
95
100 APK SMP
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 2.4. Disparitas APK dan APM Antara Kabupaten-Kota Dalam Provinsi 2007
Disparitas APK SMP/MTs Kabupaten - Kota 2007
Disparitas APK SD/MI Kabupaten - Kota 2007 Malut Riau Jateng Jambi Banten Lampung Sumsel Sulsel Babel NTT Papua Barat Kalteng Sumut Indonesia NAD Maluku Jabar Jatim Sulteng Papua DKI Jakarta Kepri Kalsel NTB Kalbar Sulut Kaltim Gorontalo Sulteng Bali DIY Sumbar Bengkulu
0,17 1,28 1,75 2,41 2,42 3,23 3,30 3,36 3,51 3,93 4,97 5,76 5,76 6,08 6,33 7,05 8,25 8,36 9,38 9,68 11,24 11,67 12,56 13,08 13,20 13,51 17,89 17,97 18,08 18,87 19,77 20,07 22,95
60
40
20
1,3
- -
8,6 11,0 11,6 12,1 13,7 17,9 18,4 22,6 22,6 22,8 23,2 23,5 23,5 23,9 25,6 25,7 27,1 28,3 28,7 29,4 30,1 30,4 30,8 32,0 32,1 32,2 32,8 33,1 33,3 34,1
20
Malut Sulut Riau Jambi NTB Sulsel Jatim Sultra Lampung Bali Kaltim Jateng Kepri Sumsel Indonesia Kalsel NAD Maluku DKI Jakarta Jabar Bengkulu Sumut DIY Babel Gorontalo Banten Papua Barat Papua Sulteng Sumbar Kalbar 45,3 NTT 51,6 Kalteng
40
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah. 20
60
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Kedua, masih banyaknya provinsi dengan disparitas antara kabupaten-kota yang lebih tinggi dibandingkan disparitas kabupatenkota secara nasional. Dari Gambar 2.4. ini tampak bahwa masih banyak provinsi-provinsi dengan APK yang berada di bawah rata-rata nasional. Untuk APK SD misalnya dengan disparitas antara kabupaten-kota di tingkat nasional sebesar 6,08 persen (tahun 2007), provinsi-provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara memiliki disparitas di atas tingkat nasional. Bahkan Propinsi seperti Bengkulu dan Sumatera Barat memeliki disparitas antara kota dan kabupaten hingga di atas 20 persen. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh disparitas APM baik di tingkat SD maupun tingkat SMP. Ketiga, masih tingginya disparitas antara kabupaten dengan kota untuk tingkat pendidikan SD dengan SMP. Secara nasional disparitas APM kabupaten-kota mencapai 2,2 persen untuk tingkat SD dan mencapai 20,06 persen untuk SMP. Demikian juga untuk masingmasing provinsi, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Tengah memiliki disparitas kabupaten-kota untuk APK SMP masing-masing sebesar 45,3 persen dan 51,6 persen serta 36,22 persen dan 40,14 persen untuk APM. Kedua provinsi ini menunjukkan disparitas kabupaten-kota yang terbesar diantara provinsi lainnya. Keempat, kesenjangan akses pendidikan juga masih terjadi antar daerah-daerah seperti misalnya kota-kabupaten, Jawa-Luar Jawa, Daerah Tertinggal-Non Daerah Tertinggal maupun Daerah Otonom Baru-Non Daerah Otonom Baru. Gambar 2.5. menunjukkan kesenjangan antar daerah dimaksud. Secara umum, daerah kota menunjukkan akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan kabupaten. Sementara itu, daerah-daerah tertinggal memiliki akses relatif rendah dibandingkan daerah lainnya. Satu hal yang menarik dalam hal pencapaian APK baik SD maupun SMP ini ditunjukkan bahwa daerah otonom baru (DOB) menunjukkan rata-rata APK yang 21
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya (bukan DOB). Dari sini dapat pula dikataan bahwa pemekaran daerah memiliki dampak yang positif paling tidak dalam pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun. Gambar 2.5. APK SD dan SMP menurut Klasifikasi Daerah 119
124
APK SD 120
Kota 119,4
117
119,5
119,5 116
Jawa 118,5 114,7
114
114,7
112
Kabupaten 113,49
115
115,1
114,9
115,1
114,9
113,97
113,73
Luar Jawa 114,0
115
2005
70
113,32
2007
113,58
113,84
Non DOB 113,61 DT 112,06
2004 100
107,5 Kota 119,4
91,46
101,8 96,8 93,2
90
Jawa 118,5
85
88,9 83,4 79,5 81,59
76,3
Luar Jawa 114,0 83,08
86,90
2006
2007
94,84
Non DT 93,90
89,84
80,90 76,37
74,31
77,67
DOB 89,92
86,28
82,04
80 75
2005
APK SMP
95
103,8
85
75
2006
APK SMP
95
80
113
115,29 114,14
111
110
90
115,12 113,90
DOB 115,94
115,46 114,38
110
2004
100
114
116,17
116,02
115,88
112
113,47
110
105
Non DT 117,77
121,8
118 116
APK SD
118
122
77,40
Non DOB 80,69 DT 78,51
72,93
Kabupaten 113,49
70
65
70,48
65
2004
2005
2006
2007
2004
2005
2006
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
22
2007
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Analisa Kuantitatif Untuk dapat mengetahui dampak input dan output Wajardikdas terhadap outcome, maka digunakan Metode Panel Data Analysis. Sebagaimana metode ekonometrika lainnya, metode analisa data panel ini dapat digunakan untuk menguji atau memperkirakan dampak dari perubahan satu faktor terhadap outcome yang diharapkan (misalnya: Angka Partisipasi Sekolah). Kelebihan estimasi menggunakan data panel adalah sebagai berikut: 1. Menghasilkan kumpulan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, memperbaiki degree of freedom, lebih efisien dan menurunkan colinearity antar variabel (Baltagi, 2001:6). 2. Memungkinkan menganalisa beberapa isu penting dalam perekonomian yang tidak dapat diterangkan dengan analisa time series atau cross section (Hsiao, 1989: 2). 3. Menghitung tingkat keberagaman karakteristik individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan analisa time series (Baltagi, 2001:6). 4. Memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pemodelan perbedaan perilaku dibandingkan dengan analisa cross section (Greene, 1997:615). 5. Mampu menerangkan lebih baik dalam dynamic adjustment (Baltagi, 2001:6). Adapun model dasar yang digunakan dalam evaluasi ini adalah Model Bank Dunia 2007 mengenai investasi pendidikan. Model ini mengangkat masalah Investasi dalam Pendidikan di Indonesia dengan 23
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
menggunakan satu model dasar yang meneliti sisi penawaran dan permintaan sebagai penentu (determinat) dari outcomes pendidikan. Spesifikasi model yang digunakan adalah sebagai berikut: Ri 1 E1 2 E 2 3 S 4 GDRP 5 Po 6 R 7 A 8 Sc 9 D 10 K 11 L i
Dimana: = R E1
Kabupaten/ kota = 1…N
= =
Net Enrollment Rates Log dari pengeluaran pendidikan per jumlah penduduk dalam usia sekolah (Total pengeluaran pendidikan per jumlah penduduk usia 7-18 Tahun). E2 = Log dari rata-rata belanja pemerintah kabupaten/kota (per populasi penduduk usia sekolah) dari 2001-2003. S = Belanja untuk gaji tenaga pendidikan terhadap total belanja pendidikan (rasio belanja pegawai terhadap toal belanja pendidikan). GDRP = Log PDRB per kapita. Po = Poverty Head Count R = Remote Area (Jarak rata-rata geometrik dari desa terhadap kabupaten terdekat) A = Akses jalan (% desa dengan akses jalan paving) Sc = Jumlah sekolah SD dan SMP tiap KM2 D = Bencana, variabel yang mengindikasi apakah daerah merupakan daerah pasca bencana selama 1 tahun yang lalu. K = Dummy untuk kabupaten/ kota (urban /rural) L = Persentase penduduk dalam usia sekolah yang bekerja Berdasarkan model investasi pendidikan Bank Dunia tersebut, maka dilakukan pengembangan model dan modifikasi model tanpa meninggalkan esensinya dengan mempertimbangkan data yang dimiliki. Pengembangan model dalam kajian ini bertujuan untuk menganalisis dampak sejumlah faktor terhadap outcomes Wajardikdas 9 Tahun. 24
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Salah satu outcomes utama dalam pelaksanaan program Wajardikdas 9 Tahun adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk tingkat sekolah dasar dan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk sekolah menengah pertama. Faktor pertama yang digunakan adalah faktor output dalam pendidikan yang dikombinasikan dengan faktor eksternal dan faktor karakteristik wilayah. Dalam kajian ini akan disajikan hasil dari APK dan APM baik untuk SD maupun SMP. Adapun Persamaan Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar dapat dituliskan sebagai berikut:
Dalam spesifikasi ini, simbol-simbol didefinisikan sebagai berikut: APSDMI
=
Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah
APSSMMTs
=
Angka Partisipasi Murni dan Angka Partsipasi Kasar Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah
Rycko
=
Rasio Produk Domestik Regional Bruto Terhadap Rata-Rata Nasional
POV
=
Tingkat Kemiskinan
AIRA
=
Akses Air Bersih
RLF
=
Jumlah Angkatan Kerja 25
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
LITER
=
Angka Melek Huruf
STAT
=
Dummy untuk kabupaten/kota
DT
=
Dummy untuk Tertinggal
JAWA
=
Dummy untuk daerah yang berada di Pulau Jawa/Luar Pulau Jawa
RDAU
=
Rasio Dana Alokasi Umum Terhadap APBD
RDAK
=
Rasio Dana Alokasi Khusus Terhadap APBD
RPAD
=
Rasio Pendapatan Asli Daerah Terhadap APBD
MGSDMI
=
Rasio Murid Guru SD/MI (Murid/Guru SD/MI)
DTSDMI
=
Rasio Murid Sekolah (Murid/Sekolah SD/MI)
MGSMTS
=
Rasio Murid Guru (Murid/Guru SMP/MTs)
SMP/MTs
DTSMTS
=
Rasio Murid Sekolah (Murid/Sekolah SMP/MTs)
SMP/MTs
daerah
Indonesia
SD/MI
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian outcome dari Program Wajardikdas 9 Tahun, yaitu faktor input dan output program serta faktor eksternal seperti karakteristik sosial ekonomi suatu daerah. Yang termasuk faktor input antara lain alokasi Dana Alokasi Khusus untuk Pendidikan, Rasio Dana Alokasi Umum Terhadap APBD, Rasio Dana Alokasi Khusus Terhadap APBD, dana BOS (BOS tunai dan BOS Buku). Dalam hal ini, tercapainya outcome program Wajardikdas dipengaruhi oleh besarnya dana dan pembiayaan26
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
pembiayaan yang dialokasikan untuk program tersebut. Dengan hipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara besarnya dana yang dialokasikan dengan pencapaian APK dan APM. Sedangkan, output Wajardikdas antara lain unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), perpustakaan dan rehabilitasi prasarana dan sarana SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs/SMPLB, dan guru. Melalui perbaikan ruang kelas, maka akan meningkatkan daya tampung siswa secara maksimal. Demikian halnya dengan rehabilitasi gedung sekolah, dengan demikian dapat meningkatkan daya tampung secara maksimal dan memperlancar proses pembelajaran. Pembangunan USBRKB dapat mendekatkan lembaga pendidikan dengan tempat tinggal siswa serta dapat menambah daya tampung. Pembangunan perpustakaan dan laboratorium akan meningkatkan mutu dan proses pembelajaran. Berkaitan dengan guru, maka yang harus diperhatikan adalah peningkatan ketersediaan guru yang akan memperlancar proses pembelajaran, serta peningkatan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi guru, sehingga guru dapat mengajar secara profesional sesuai dengan kompetensinya. Dalam model ini faktor output yang digunakan antara lain Rasio Murid Guru SD/MI, Rasio Murid Sekolah SD/MI (daya tampung sekolah SD/MI), Rasio Murid Guru SMP/MTs dan Rasio Murid Sekolah SMP/MTs (daya tampung sekolah SMP/MTs). Dengan hipotesis terdapat hubungan yang negatif antara Rasio Murid guru SD/MI dan SMP/MTS terhadap APK dan APM SD/MI dan SMP/MTs. Semakin banyak guru yang tersedia akan meningkatkan APK dan APM. Sedangkan hubungan antara rasio murid sekolah dengan APK dan APM diharapkan positif. Artinya semakin banyak sekolah yang tersedia akan meningkatkan APK dan APM. Sedangkan untuk faktor eksternal, antara lain angka melek huruf, tingkat kemiskinan, pendapatan masyarakat, jumlah angkatan kerja, serta akses terhadap fasilitas umum. Tingkat kemiskinan diharapkan 27
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
mempunyai hubungan negatif terhadap besarnya APK dan APM. Sedangkan, angka melek huruf diharapkan mempunyai hubungan positif terhadap APK dan APM. Dengan argumentasi bahwa ketika angka melek huruf meningkat (mencerminkan tingkat pendidikan masyarakat) maka hal ini akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Demikian juga dengan tingkat kemiskinan. Tingkat pendapatan masyarakat dan akses terhadap fasilitas umum mempunyai hubungan yang positif terhadap APK dan APM. Dengan semakin terpenuhinya akses fasilitas umum, maka akan memudahkan siswa untuk menjangkau sekolah. Tingkat pendapatan masyarakat yang juga dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat, juga akan mempengaruhi orangtua dan anak untuk melanjutkan sekolah. Selain itu, juga terdapat beberapa faktor karakteristik daerah yang dapat mempengaruhi pencapaian APK dan APM. Antara lain Kabupaten/Kota, Daerah Tertinggal, dan keberadaan daerah di Pulau Jawa/Luar Pulau Jawa. Faktor karakteristik daerah digunakan sebagai variabel dummy. Dengan manggunakan beberapa variabel dummy tersebut diharapkan dapat diketahui apakah karekteristik tertentu dari suatu daerah akan mempengaruhi capaian APK dan APM. Sebagai hipotesis sementara daerah kota akan mempunyai tingkat capaian yang lebih tinggi daripada kabupaten. Hal ini dimungkinkan karena beberapa indikator input dan output daerah kota lebih baik daripada kabupaten. Demikian juga halnya jika daerah tersebut bukan merupakan daerah tertinggal (dilihat dari besarnya desa tertinggal di daerah tersebut). Hal yang sama juga terjadi untuk daerah di luar dan di Pulau Jawa. Dapat diduga bahwa daerah di Jawa capaiannya lebih baik daripada daerah di luar Jawa. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang menjadi salah satu alasan bahwa capaian APK dan APM di daerah dipengaruhi oleh 28
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
pendapatan yang diproksi dengan PDRB. Penelitian tersebut diantaranya pernah dilakukan oleh Schultz (1960), Becker (1964) dan Mincer (1974). Ketiganya menyimpulkan bahwa hubungan antara ratarata tingkat pendidikan dengan pendapatan (diperimbangkan juga faktor distribusinya) mempunyai hubungan positif. Selain itu, Bils dan Klenow (2000) melakukan penelitan yang menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat korelasi antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, dimana semakin tinggi tingkat pertumbuhan akan menyebabkan pendidikan yang semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi sabagai variabel bebas dan tingkat pendidikan sebagai variabel terikatnya, bukan sebaliknya. 3.2. Analisis Kualititatif Dari hasil analisis kuantitatif akan diperoleh gambaran secara umum evaluasi kegiatan-kegiatan program Wajardikdas. Sebagai satu hasil desk studi, hasil analisis kuantitatif ini perlu diverifikasi di lapangan melalui diskusi dengan narasumber baik stakeholder di daerah maupun tim teknis di tingkat pusat. Di samping itu, juga digunakan analisis kualitatif untuk merumuskan berbagai bahan masukan mengenai pelaksanaan program Wajardikdas 9 tahun. Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkategorisasi dan menginterpretasikan secara komprehensif hasil studi yang dilakukan. Miles, dalam Moleong (2000) juga mengungkapkan studi kualititatif dilakukan beberapa tahap kegiatan analisis yakni : 1. Metode Identifikasi. Kegiatan ini dilakukan setelah semua informasi dan data terkumpul yang didasarkan atas beberapa fokus studi di atas. Identifikasi ini secara sederhana dilakukan berdasarkan poinpoin penting dan hal-hal yang menarik maupun kesamaan informasi maupun pandangan narasumber. 29
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
2. Metode Kategorisasi Yaitu pengelompokkan data berdasarkan hasil identifikasi yang disandingkan dalam sebuah matriks yang didasarkan pada fokus studi serta sumber informasi. Kategorisasi juga dilakukan sebagai dasar penyusunan kerangka kerja logis. 3. Metode Interpretasi/penafsiran Yang dilakukan setelah pengaitan hubungan antar data. Interpretasi juga dilakukan dengan disertai teori-teori yang relevan. Sesuai kaidah penelitian kualitatif, melalui metode analisis yang dipilih, tim peneliti dapat membuat interpretasi dan dapat mempunyai kekuatan argumentasi didasarkan data yang diperoleh dari lapangan.
3.3. Data Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan dalam studi ini bersumber dari berbagai publikasi instansi dan lembaga terkait. Untuk data-data yang berkait dengan komponen kegiatan program Wajardikdas 9 tahun seperti output Guru, ruang kelas, sekolah dan lainnya; digunakan data sekunder yang bersumber dari Departemen Pendidikan Nasional. Sementara itu data yang berkaitan dengan kerangka makro, perencanaan dan anggaran digunakan data sekunder yang bersumber dari Bappenas dan Departemen Keuangan. Data sekunder pendukung lainnya yang berkaitan dengan kependudukan dan kewilayahan digunakan data yang bersumber data BPS. Selain itu juga untuk mendukung analisis dengan data sekunder di atas, digunakan data dan informasi yang bersifat primer yang bersumber 30
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
dari stakeholder pendidikan dasar baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Data dan informasi yang bersifat primer ini dikumpulkan melalui indepth interview dan FGD yang dilakukan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Deskripsi mengenai mekanisme indepth interview dan FGD dijabarkan lebih lanjut pada bagian lain laporan ini. Pengumpulan Data dan Sampling Evaluasi ini menggunakan data sekunder dari dokumen-dokumen pemerintah, seperti RPJM, RKP, Renstra, laporan-laporan resmi dari Depdiknas untuk analisa kuantitatif. Selain data sekunder, evaluasi ini akan menggunakan data primer untuk mempertajam analisa kualitatif. Provinsi dipilih berdasarkan kriteria besarnya Angka Partisipasi Murni (APM) SD-SMP setara dan Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah. Berdasarkan kriteria dan pertimbangan tersebut di atas, empat provinsi terpilih adalah Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Sumatera Selatan. Jawa Timur mewakili daerah dalam kelompok normatif tinggi, atinya baik APM maupun anggaran Dikdasmen 2006 berada di atas rata-rata nasional. Kalimantan Selatan mewaliki daerah normatif rendah, yaitu daerah yang mempunyai APM di atas rata-rata nasional sedangkan anggaran Dikdasmen pada tahun 2006 berada di bawah ratarata nasional. Provinsi Riau mewakili daerah pada kelompok anomali positif, artinya APM berada di bawah rata-rata nasional, sedangkan anggaran Dikdasmen pada tahun 2006 berada di atas rata-rata nasional. Sumatera Selatan mewakili kelompok anomali negatif, yaitu baik APM maupun anggaran Dikdasmen 2006 berada di bawah rata-rata nasional. Di setiap provinsi dilakukan in-depth interview dan Focus Group Interview (FGI) terhadap stakeholder yang terkait dengan program Wajardikdas 9 Tahun untuk verifikasi hasil analisa serta untuk mengetahui persepsi program Wajardikdas di empat provinsi tersebut.
31
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 3.1. Pemilihan Sampel No.
Sampling Based
Normatif Tinggi
Normatif Rendah
Anomali Positif
Anomali Negatif
1
APK-Anggaran Dikdasmen
Jabar
Sulteng
Sumbar
Jawa Timur
2
APM-Anggaran Dikdasmen 2006
Jatim
Kalsel
Riau
Sumsel
3
APM-APK
DIY
Papua
Riau
Gorontalo
4
APK-PDRB per Kapita
Kep. Riau
NTT
DIY
Papua
5
APM-PDRB per Kapita
Riau
NTT
DIY
Papua
32
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
BAB IV HASIL REGRESI: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APK DAN APM
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan model panel data dari 440 kabupaten/kota di Indonesia dari tahun 2004-2006, maka dihasilkan persamaan regresi sebagai berikut: 4.1. Nasional Hasil regresi menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni SD/MI, Angka Partisipasi Kasar SD/MI dan Angka Partisipasi Kasar SMP/MTs dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto, akses air bersih, angka melek huruf, rasio murid sekolah, rasio murid guru dan kemiskinan. Terlihat di sini bahwa APM SD/MI, APK SD/MI dan APK SMP/MTs tidak hanya dipengaruhi oleh sisi penawaran dari sektor pendidikan, tapi juga dari sektor permintaan. Semakin banyak guru dan sekolah akan meningkatkan APM SD/MI, APK SD/MI dan APK SMP/MTs.
33
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Nasional Variabel Tidak Bebas: APK SD/MI Variabel Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
Koefisien
t-Statistik
0.076778*
4.110717
Akses Air Bersih
2.711565*
37.45248
Angka Melek Huruf
-1.904861*
-20.60537
-0.231774***
-1.700838
0.131564*
3.297393
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.090350**
-2.568953
Tingkat Kemiskinan
-0.027549***
-1.666266
Adjusted R-squared
0.901847
Rasio Murid Guru SD + MI Rasio Murid Sekolah SD + MI
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Selain itu, karakteristik sosial ekonomi wilayah juga memegang peranan penting dalam peningkatan APM SD/MI, APK SD/MI dan APK SMP/MTs, seperti akses air bersih dan angka melek huruf. Akses air bersih menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut dan memiliki hubungan yang positif dengan APM SD/MI. Semakin sejahtera masyarakat tersebut, maka semakin besar anggaran rumah tangga yang dapat dialokasikan untuk pendidikan. Selain itu, dengan semakin sejahtera masyarakat tersebut, maka anak-anak tidak perlu membantu orang tuanya untuk mencari nafkah, sehingga mereka dapat bersekolah. Dalam hal ini, dana alokasi khusus memiliki dampak yang positif terhadap APM SD/MI dan APK SMP/MTs.
34
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Nasional Variabel Tidak Bebas: APM SD/MI Variabel Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
Koefisien
t-Statistik
0.081356*
4.844254
Akses Air Bersih
1.972894*
23.12154
Angka Melek Huruf
-1.203693*
-10.22201
-0.240565***
-1.707245
Rasio Murid Guru SD + MI Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.131332*
2.936992
-0.090502**
-2.019313
Tingkat Kemiskinan
-0.027079**
-2.342351
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.016126***
1.932059
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
Adjusted R-squared
0.886536
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
35
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Nasional Variabel Tidak Bebas: APK SMP/MTs Variabel
Koefisien
t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
0.078094*
4.685874
Akses Air Bersih
2.360315*
35.24491
Angka Melek Huruf
-1.580470*
-16.80796
-0.244102***
-1.820343
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs
0.196896*
7.312505
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.153360*
-5.675825
Tingkat Kemiskinan
-0.028160***
-1.937160
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.016129***
1.879393
Rasio Murid Guru SMP+MTs
Adjusted R-squared
0.893469
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Lebih lanjut, untuk Angka Partsipasi Murni SMP/MTs dipengaruhi oleh faktor input pembiayaan (dana alokasi umum, dana alokasi khusus), Produk Domestik Regional Bruto dan angka melek huruf. Dengan perkataan lain APM SMP/MTs tidak dipengaruhi factor output SMP/MTS (rasio murid guru SMP/MTs dan rasio murid sekolah SMP/MTs).
36
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Nasional Variabel Tidak Bebas: APM SMP/MTs Variabel
Koefisien
t-Statistik
0.977557*
108.7135
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.113300**
-2.096720
Angka Melek Huruf
-0.021072*
-5.719985
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.008336*
4.583468
Adjusted R-squared
0.982429
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.2. Sumatera Berdasarkan hasil regresi per pulau, diketahui bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sumatera dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), akses air bersih, angka melek huruf, rasio murid guru, rasio murid sekolah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, tingkat kemiskinan dan pendapatan asli daerah. Koefisien untuk PDRB, akses air bersih, rasio murid guru, rasio murid sekolah, tingkat kemiskinan dan Dana Alokasi Khusus menunjukkan tanda sesuai yang diharapkan. Semakin tinggi PDRB, akses air bersih, jumlah guru, jumlah sekolah dan Dana Alokasi Khusus di daerah-daerah di Pulau Sumatera akan meningkatkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di daerah tersebut. Lebih lanjut, semakin rendah tingkat kemiskinan di daerah-daerah di Pulau Sumatera akan meningkatkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sumatera. Sedangkan untuk koefisien Dana 37
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Alokasi Umum dan pendapatan asli daerah tidak memberikan tanda sesuai yang diharapkan. Hasil regresi menunjukkan semakin tinggi Dana Alokasi Umum dan pendapatan asli daerah maka akan menurunkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sumatera. Tabel 4.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sumatera Variabel Tidak Bebas: APK SD/MI Variabel Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional Akses Air Bersih
Koefisien
t-Statistik
0.098050*
4.029139
3.516948*
10.87035
Angka Melek Huruf
-1.633439*
-28.62164
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.138194**
-2.394641
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.174514*
3.367378
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.158839*
-2.955319
Tingkat Kemiskinan
-0.026381*
-2.985773
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.042265*
3.436729
Rasio Pendapatan Asli Daerah
-0.030613**
-1.980118
Jumlah Angkatan Kerja
-1.008180*
-2.669166
Adjusted R-squared
0.898480
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
38
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sumatera Variabel Tidak Bebas: APM SD/MI Variabel
Koefisien
t-Statistik
0.096854*
4.091205
2.237844*
6.898597
Angka Melek Huruf
-1.061186*
-19.02510
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.146951**
-2.601000
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional Akses Air Bersih
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.165003*
3.238149
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.147722*
-2.701593
Tingkat Kemiskinan
-0.027505*
-2.947435
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.045034*
3.981653
-0.031675**
-2.405074
Rasio Pendapatan Asli Daerah Adjusted R-squared
0.877867
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
39
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Sumatera Variabel Tidak Bebas: APK SMP/MTs Variabel
Koefisien
t-Statistik
0.096610*
4.117671
2.893954*
8.540914
Angka Melek Huruf
-1.361039*
-36.14922
Rasio Murid Guru SMP+MTs
-0.155252**
-2.224515
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs
0.190214*
5.184828
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.174908*
-5.361128
Tingkat Kemiskinan
-0.026538*
-2.874317
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.040445*
3.881820
Rasio Pendapatan Asli Daerah
-0.026822***
-1.859926
Jumlah Angkatan Kerja
-0.693564***
-1.875052
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional Akses Air Bersih
Adjusted R-squared
0.889106
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Dari hasil regresi APM SMP/MTs di Pulau Sumatera, menunjukkan bahwa APM SMP/MTs dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto, rasio murid sekolah dan dana alokasi umum. Variabel-variabel lain seperti jumlah guru, tingkat kemiskinan, dana alokasi khusus, pendapatan asli daerah, angka melek huruf, akses air bersih dan jumlah angkatan kerja tidak mempengaruhi APM SMP/MTs di Pulau Sumatera.
40
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Sumatera Variabel Tidak Bebas: APM SMP/MTs Variabel
Koefisien
t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
0.889368*
144.7513
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs
0.094525*
3.043892
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.108500*
-2.617168
Adjusted R-squared
0.985205
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.3.
Jawa
Hasil regresi APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs menunjukkan bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Jawa dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto, akses air bersih, angka melek huruf, rasio murid guru, rasio murid sekolah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah. Berbeda dengan yang terjadi di Pulau Sumatera, APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Jawa tidak dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Semua koefisien dalam hasil regresi sesuai dengan yang diharapkan kecuali untuk koefisien dana alokasi umum, angka melek huruf dan pendapatan asli daerah.
41
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Jawa Variabel Tidak Bebas: APK SD/MI Koefisien
t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
Variabel
0.059697**
2.028994
Akses Air Bersih
3.391389*
9.570248
Angka Melek Huruf
-1.658186*
-38.42005
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.133773**
-2.552648
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.168800*
3.634498
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.159090*
-3.282316
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.045731*
3.363481
Rasio Pendapatan Asli Daerah
-0.033673**
-2.291331
Jumlah Angkatan Kerja
-0.869071**
-2.008927
Adjusted R-squared
0.876612
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
42
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Jawa Variabel Tidak Bebas: APM SD/MI
Variabel
Koefisien
t-Statistik
0.059190***
1.856114
Akses Air Bersih
2.115185*
6.243977
Angka Melek Huruf
-1.149257*
-18.13486
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.140564*
-2.801881
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.158347*
3.433768
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.145383*
-2.986876
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.047074*
3.662207
-0.033522**
-2.347194
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
Rasio Pendapatan Asli Daerah Adjusted R-squared
0.850987
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
43
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Jawa Variabel Tidak Bebas: APK SMP/MTs Variabel Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional Akses Air Bersih
Koefisien
t-Statistik
0.057148***
1.839534
2.794775*
7.833466
Angka Melek Huruf
-1.430296*
-37.61932
Rasio Murid Guru SMP+MTs
-0.148784**
-2.275301
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs
0.211877*
7.854631
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.198957*
-14.10825
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD Rasio Pendapatan Asli Daerah Adjusted R-squared
0.044040*
3.802586
-0.029349***
-1.828683
0.865553
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Lebih lanjut, dari hasil regresi APM SMP/MTs diketahui bahwa APM SMP/MTs di Pulau Jawa dipengaruhi oleh Produk Domestic Regional Bruto, rasio murid sekolah dan dana alokasi umum. Patut digarisbawahi disini, faktor output sektor pendidikan yaitu jumlah guru dan karakteristik sosial ekonomi wilayah (tingkat kemiskinan, akses air bersih, angka melek huruf) tidak mempengaruhi APM SMP/MTs di Pulau Jawa, hal ini mungkin disebabkan Pulau Jawa lebih developed dibandingkan dengan pulau-pulau lain.
44
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Jawa Variabel Tidaak Bebas: APM SMP/MTs Variabel
Koefisien
t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
0.888118*
500.8579
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs
0.091550***
1.759806
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD
-0.109013**
-2.034745
Adjusted R-squared
0.984092
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.4. Bali, NTB dan NTT Hasil regresi menunjukkan bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Bali, NTB dan NTT dipengaruhi oleh produk domestic regional bruto, akses air bersih, angka melek huruf, dana alokasi khusus, rasio murid guru dan rasio murid sekolah. Tingka kemiskinan, dana alokasi umum, jumlah angkatan kerja dan pendapatan asli daerah tidak mempengaruhi APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Bali, NTB dan NTT.
45
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Bali, NTB dan NTT Variabel Tidak Bebas : APK SD/MI Variabel Rasio Produk Domestik Regional Brutoterhadap rata-rata nasional Akses Air Bersih
Koefisien
t-Statistik
0.175733*
4.520846
3.490324*
14.71599
Angka Melek Huruf
-2.687008*
-9.081887
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.214985*
-21.54179
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.222308*
3.363073
-0.063241***
-1.724599
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD Adjusted R-squared
0.904322
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Tabel 4.14 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Bali, NTB dan NTT Variabel Tidak Bebas : APM SD/MI Variabel Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional Akses Air Bersih
Koefisien
t-Statistik
0.172864*
4.682514
2.689874*
11.77904
Angka Melek Huruf
-1.925692*
-6.859082
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.231255*
11.50066
Rasio Murid Sekolah SD + MI Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD Adjusted R-squared
0.243356*
3.268313
-0.061187***
-1.921033
0.884561
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
46
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Bali, NTB dan NTT Variabel Tidak Bebas : APK SMP/MTs Variabel Rasio Produk Domestik Regional Brutoterhadap rata-rata nasional
Koefisien
t-Statistik
0.171418*
4.137493
Akses Air Bersih
3.070322*
13.06765
Angka Melek Huruf
-2.296683*
-7.934807
Rasio Murid Guru SMP+MTs
-0.249504*
-8.610191
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs
0.218861*
2.846654
-0.068817***
-1.895376
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD Adjusted R-squared Keterangan:
0.894658
*** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Selanjutnya, APM SMP/MTs di Pulau Bali, NTB dan NTT dipengaruhi produk domestik regional bruto, akses air bersih, angka melek huruf dan dana alokasi khusus. Hal ini menunjukkan bahwa factor output di sektor pendidikan (jumlah guru dan jumlah sekolah) tidak mempengaruhi APM SMP/MTs di Pulau Bali, NTB dan NTT. Hanya koefisien PDRB dan angka melek huruf yang menunjukkan sesuai dengan tanda yang diharapkan, sedangkan koefisien akses air bersih dan dana alokasi khusus menunjukkan tanda terbalik.
47
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.16. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Bali, NTB dan NTT Variabel Tidak Bebas : APM SMP/MTs Variabel
Koefisien
t-Statistik
0.918323*
62.43071
Akses Air Bersih
-0.582024*
-1.941161
Angka Melek Huruf
0.247084**
2.287796
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
-0.033195*
-12.68169
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap rata-rata nasional
Adjusted R-squared
0.984314
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.5. Kalimantan Dari hasil regresi menunjukkan bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Kalimantan dipengaruhi oleh akses air bersi, angka melek huruf, rasio murid guru dan rasio murid sekolah. Kecuali koefisien angka melek huruf, semua koefisien dari variabelvariabel tersebut menunjukkan tanda sesuai yang diharapkan. Semakin besar akses air bersih, jumlah sekolah dan jumlah guru akan meningkatkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Kalimantan.
48
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.17. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Kalimantan Variabel tidak Bebas : APK SD/MI Akses Air Bersih
Variabel
Koeffisien 3.089036*
t-Statistik 20.11029
Angka Melek Huruf
-2.926424*
-10.59775
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.175082*
-5.217537
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.153286*
13.15548
Jumlah Angkatan Kerja
0.707082**
2.593842
Adjusted R-squared
0.875242
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Tabel 4.18. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Kalimantan Variabel Tidak Bebas : APM SD/MI Akses Air Bersih
Variabel
Koefisien 1.778391*
t-Statistik
Angka Melek Huruf
-2.353068*
8.201671 -8.487357
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.181256*
-4.901191
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.148025
8.453066
Jumlah Angkatan Kerja
1.391025*
5.891224
Adjusted R-squared
0.850676
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
49
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.19. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Kalimantan Variabel Tidak Bebas : APK SMP/MTs Variabel Akses Air Bersih
Koefisien 2.359518*
t-Statistik
Angka Melek Huruf
-2.610614*
11.61753 -10.04898
Rasio Murid Guru SMP+MTs
-0.211885*
-3.760548
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs
0.120729**
2.600437
Jumlah Angkatan Kerja
1.093025*
5.267472
Adjusted R-squared
0.863360
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Selanjutnya dari hasil regresi menunjukkan bahwa APM SMP/MTs di Pulau Kalimantan dipengaruhi oleh produk domestik regional bruto, tingkat kemiskinan dan rasio murid guru. Selain koefisien rasio murid guru, koefisien tingkat kemiskinan dan produk domestic regional bruto sejalan dengan yang diharapkan. Tabel 4.20. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Kalimantan Variabel Tidak Bebas : APM SMP/MTs Variabel Rasio PDRB terhadap rata-rata nasional
Koefisien 0.952113*
t-Statistik 41.54931
Tingkat Kemiskinan
-0.015602*
Rasio Murid Guru SMP+MTs
0.031121*
-3.394972 1.952409
Adjusted R-squared
0.985236
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
50
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
4.6. Sulawesi Hasil regresi menunjukkan bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sulawesi dipengaruhi oleh akses air bersih, jumlah angkatan kerja, angka melek huruf, rasio murid guru, rasio murid sekolah. Kecuali koefisien angka melek huruf, semua koefisien variabel tersebut sudah sesuai dengan yang diharapkan, dimana akses air bersih, jumlah angkatan kerja dan rasio murid sekolah memiliki tanda positif terhadap APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sulawesi. Sedangkan, koefisien rasio murid guru memiliki tanda negatif terhadap APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sulawesi. Tabel 4.21. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sulawesi Variabel Tidak Bebas : APKSD/MI Variabel
Koefisien
t-Statistik
Akses Air Bersih
3.027147*
22.66528
Jumlah Angkatan Kerja
0.725055**
2.482233
Angka Melek Huruf
-2.892212*
-11.43470
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.194328*
-5.346503
Rasio Murid Sekolah SD + MI Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD Adjusted R-squared
0.138269*
15.98044
-0.013112***
-1.797208
0.873218
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
51
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.22. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sulawesi Variabel Tidak Bebas : APM SD/MI Akses Air Bersih
Variabel
Koefisien 1.692878*
t-Statistik 10.30015
Jumlah Angkatan Kerja
1.436512**
5.619716
Angka Melek Huruf
-2.322908*
-9.011343
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.199811*
-5.143880
Rasio Murid Sekolah SD + MI Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD Adjusted R-squared
0.131165*
8.395571
-0.015774**
-2.137111
0.848358
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Tabel 4.23. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Sulawesi Variabel Tidak Bebas : APKSMP/MTs Variabel Akses Air Bersih
Koefisien 2.318431*
t-Statistik 13.11883
Jumlah Angkatan Kerja
1.089849*
4.661326
Angka Melek Huruf
-2.575233*
-10.89031
Rasio Murid Guru SMP + MTs
-0.229661*
-3.878391
Rasio Murid Sekolah SMP + MTs
0.111893**
2.422842
Adjusted R-squared
0.861307
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Selanjutnya, APM SMP/MTs di Pulau Sulawesi dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto, angka melek huruf, dana alokasi khusus. Hal ini mengindikasikan bahwa APM SMP/MTs di Pulau 52
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Sulawesi sama sekali tidak dipengaruhi oleh factor output di sektor pendidikan seperti jumlah guru dan jumlah sekolah. Tabel 4.24. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Sulawesi Variabel Tidak Bebas : APM SMP/MTs Variabel Rasio PDRB terhadap APBD Angka Melek Huruf Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
Koefisien
t-Statistik
0.935567*
126.6755
0.278755*
7.201041
-0.016108***
-1.943829
Adjusted R-squared
0.986430
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.7. Papua dan Maluku Hasil regresi menunjukkan bahwa APK SD/MI dan APM SD/MI di Papua dan Maluku dipengaruhi oleh akses air bersih, jumlah angkatan kerja, angka melek huruf, rasio murid guru SD/MI dan rasio murid sekolah SD/MI. Kecuali koefisien angka melek huruf, koefisien seluruh variabel lain menunjukkan tanda yang sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat menunjukkan perbaikan akses air bersih diperlukan untuk meningkatkan capaian APK dan APM SD/MI di Maluku dan Papua berdampak juga pada sektor pendidikan SD/MI. Selain itu, jumlah sekolah dan jumlah guru juga harus ditingkatkan di Pulau Maluku dan Papua agar APK SD/MI dan APM SMP/MTs di Pulau Maluku dan Papua dapat meningkat.
53
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.25. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Papua dan Maluku Variabel Tidak Bebas : APKSD/MI Koefisien
t-Statistik
Akses Air Bersih
Variabel
3.010160*
11.73092
Jumlah Angkatan Kerja
1.260446**
2.624262
Angka Melek Huruf
-3.440476*
-15.02188
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.140627*
-3.075243
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.131107*
5.424433
Adjusted R-squared
0.875629
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Tabel 4.26. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Papua dan Maluku Variabel Tidak Bebas : APMSD/MI Variabel Akses Air Bersih
Koefisien 1.816903*
t-Statistik 5.733387
Angkatan Kerja
1.766787*
3.404175
Angka Melek Huruf
-2.805207*
-11.63039
Rasio Murid Guru SD + MI
-0.150323*
-3.073467
Rasio Murid Sekolah SD + MI
0.135703*
4.842683
Adjusted R-squared
0.850840
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
54
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Lebih lanjut berdasarkan hasil regresi ditunjukkan pula bahwa APK SMP/MTs di Pulau Maluku dan Papua dipengaruhi oleh jumlah angkatan kerja, dana alokasi khusus, rasio murid guru dan rasio murid sekolah. Dengan perkataan lain, jika pemerintah ingin meningkatkan APK SMP/MTs di Pulau Maluku dan Papua, maka harus ditingkatkan jumlah guru, sekolah dan dana lokasi khusus di Pulau Maluku dan Papua. Sedangkan APM SMP/MTs di Pulau Maluku dan Papua hanya dipengaruhi oleh produk domestik regional bruto dan alokasi dana umum. Hal ini mengindikasikan bahwa jika pemerintah ingin meningkatkan APM SMP/MTs di Maluku dan Papua, pertama kali yang dilakukan adalah bukan membangun sekolah atau meningkatkat jumlah guru, tapi yang harus dilakukan adalah membangun ekonomi terlebih dulu di Maluku dan Papua.
Tabel 4.27. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Papua dan Maluku Variabel Tidak Bebas : APK SMP/MTS Variabel
Koefisien
t-Statistik
Jumlah Angkatan Kerja
1.105378*
8.037470
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD
0.030967*
2.666148
Rasio Murid Guru SMP+MTs
-0.258627*
-4.191364
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs
0.067258*
4.141648
Adjusted R-squared
0.828702
Keterangan:
*** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
55
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 4.28. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Papua dan Maluku Variabel Tidak Bebas : APMSMP/MTS Variabel
Koefisien
Rasio PDRB terhadap rata-rata nasional Angka Dana Alokasi Umum terhadap APBD Adjusted R-squared
0.943590*
74.60301
-0.125707***
-1.719374
0.987746
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
56
t-Statistik
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN: EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN (2005-2007)
5.1. Outcome Program Wajardikdas Capaian Program Wajardikdas 9 Tahun dapat dilihat dari APM dan APK baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs. Angka ini menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum pada tingkat pendidikan SD/MI maupun SMP/MTs. Capaian APK dan APM di masing-masing 33 provinsi cenderung meningkat antara periode 20042007. Berdasarkan hasil regresi, terdapat beberapa faktor signifikan yang mempengaruhi outcome Program Wajardikdas 9 Tahun, yaitu APM dan APK baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs secara nasional sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini. APK dan APM nasional tingkat SD/MI maupun SMP/MTs, secara bersamaan sangat dipengaruhi oleh faktor signifikan Produk Domestik Regional Bruto, Angka Melek Huruf, dan Dana Alokasi Umum. Disamping itu APK dan APM tingkat SD/MI maupun SMP/MTs juga dipengaruhi oleh Tingkat Kemiskinan, Akses Air Bersih, Dana Alokasi Khusus, Rasio Murid Guru, dan Rasio Murid Sekolah.
57
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 5.1. Variabel Bebas yang Mempengaruhi APK dan APM
No
Independent Variable
Outcome APK SMP/MTs
APK SD/MI
APM SD/MI
X
X
X
X
X
X
APM SMP/MTs
2
Rasio PDRB terhadap Rata-Rata Nasional Tingkat Kemiskinan
3
Akses Air Bersih
X
X
X
4
Angka Melek Huruf Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD Rasio Murid Guru SD/MI
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
1
5
6 8 9 11 12
Rasio Murid Sekolah SD/MI Rasio Murid Guru SMP/MTs Rasio Murid Sekolah SMP/MTs
X
X X
Keterangan: X adalah variabel yang signifikan
Angka Partisipasi Kasar (APK) Berdasar data Departemen Pendidikan Nasional, rata-rata nasional APK tingkat SD/MI tahun 2006 adalah sebesar 114,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah siswa di luar usia 7-12 tahun yang sedang menempuh pendidikan tingkat SD atau sederajat terhadap jumlah penduduk usia pendidikan SD atau sederajat (usia 7-12 tahun) 58
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
adalah 114,27 persen. Berdasar data APK SD/MI tahun 2006 terdapat 16 (enam belas) provinsi yang memiliki APK SD/MI di bawah rata-rata nasional yaitu provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Sumatera Utara, NTB, Kalimantan Timur, Papua Barat, NTT, Banten, Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, Riau, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, DKI Jakarta dan Papua. Provinsi Riau merupakan provinsi dengan nilai capaian APK SD/MI terendah yaitu sebesar 101,61 persen sedang provinsi Gorontalo merupakan provinsi dengan nilai capaian APK SD/MI tertinggi yaitu sebesar 134,69 persen. Gambar 5.1. APK SD/MI Tahun 2006
Sumber: Depdiknas
59
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.2. APK SMP/MTs Tahun 2006
Sumber: Depdiknas
Pada tahun 2006, rata-rata nasional APK SMP/MTs mencapai 88,68 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara nasional tingkat partisipasi siswa di luar usia 13-15 tahun yang sedang menempuh pendidikan tingkat SMP atau sederajat terhadap jumlah penduduk usia pendidikan SMP atau sederajat (usia 13-15 tahun) adalah 88,68 persen. 60
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Dari grafik di atas, terdapat 20 provinsi yang memiliki APK SMP/MTs di bawah rata-rata nasional yaitu Lampung, Bengkulu, Maluku, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Maluku Utara, Banten, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Gorontalo, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Papua dan NTT. Dimana provinsi DI Yogyakarta memiliki APK SMP/MTs tertinggi, yaitu sebesar 106,85 persen. Sedangkan, provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki APK SMP/MTs terendah, yaitu sebesar 64,46 persen. Angka Partisipasi Murni (APM) Capaian rata-rata nasional untuk APM SD/MI pada tahun 2006 adalah sebesar 94,48 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa persentase siswa SD atau sederajat dengan usia jenjang pendidikan SD atau sederajat terhadap jumlah penduduk usia 7-12 tahun adalah sebesar 94,48 persen. Dari grafik di bawah ini terlihat 20 provinsi yang memiliki APM SD/MI di bawah rata-rata nasional yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Kepulauan Riau, Riau, NTT, Maluku, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Bengkulu, Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Banten, NTB, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara. Provinsi dengan APM SD/MI tertinggi tahun 2006 adalah provinsi DKI Jakarta sebesar 97,12 persen, sedang yang terendah adalah provinsi Papua sebesar 85,74 persen.
61
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.3. APM SD/MI Tahun 2006
Sumber: Depdiknas
Tidak jauh berbeda dengan Angka Partisipasi Murni di tingkat SD/MI, Provinsi Papua merupakan provinsi yang memiliki APM SMP/MTs terendah pada tahun 2006 yaitu sebesar 45,34 persen. Sedang APM SMP/MTs tertinggi terdapat di provinsi DI Yogyakarta sebesar 79,78 persen. Nilai rata-rata nasional untuk APM SMP/MTs adalah sebesar 66,01 persen yang menunjukkan bahwa persentase siswa SMP atau sederajat dengan usia jenjang pendidikan SMP atau sederajat terhadap jumlah penduduk usia 13-15 tahun adalah sebesar 94,48 persen. Adapun provinsi-provinsi yang memiliki APM SMP/MTs di bawah rata-rata nasional adalah provinsi Maluku Utara, Sulawesi Barat, 62
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Sulawesi Utara, Bengkulu, Jawa Barat, Maluku, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Banten, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, NTT, Papua Barat dan Papua. Gambar 5.4. APM SMP/MTs Tahun 2006
Sumber: Depdiknas
Dari hasil capaian APK SD/MI, APK SMP/MTs, APM SD/MI, dan APM SMP/MTs tahun 2006 terdapat provinsi-provinsi yang 63
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
memiliki capaian yang menarik untuk diperhatikan. Terdapat beberapa provinsi yang memiliki APK SD/MI di bawah rata-rata nasional namun memiliki APM SD/MI di atas rata-rata nasional, bahkan berada pada urutan tertinggi. Seperti provinsi DKI Jakarta yang memiliki APK SD/MI urutan empat terbawah setelah Papua Barat dari rata-rata APK SD/MI nasional. Rata-rata APK SD/MI nasional adalah 114,27 persen, sedang APK SD/MI provinsi DKI Jakarta adalah 103,96 persen. Sedangkan capaian APM SD/MI berada pada urutan teratas yaitu sebesar 97,12 persen di atas rata-rata nasional yaitu sebesar 94,48 persen. Kondisi ini dapat menunjukkan jumlah penduduk usia di luar 712 tahun yang sedang menempuh jenjang pendidikan SD/MI relatif lebih sedikit dibandingkan dengan provinsi lain. Hal yang mungkin perlu menjadi catatan antara lain adalah kemungkinan penduduk usia di luar 7-12 tahun di Provinsi DKI Jakarta relatif banyak yang sudah menyelesaikan pendidikan SD/MI atau jumlah penduduk usia 7-12 tahun relatif lebih banyak sehingga mempengaruhi capaian APK SD/MI nya. Sementara itu, terdapat keadaan yang sebaliknya seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), capaian APK SD/MI tahun 2006 adalah sebesar 127,98 persen berada jauh di atas APK SD/MI rata-rata nasional sebesar 114,27 persen. Sedangkan capaian APM SD/MI pada tahun yang sama adalah sebesar 92,94 persen berada di bawah rata-rata nasional yang besarnya 94,48 persen. APK SD/MI yang lebih tinggi dapat menunjukkan bahwa masih banyak siswa di luar usia 7-12 tahun yang sedang menempuh pendidikan SD atau sederajat. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan antara lain terjadinya mengulang kelas pada jenjang pendidikan SD/ sederajat atau mulai masuk pendidikan jenjang SD/sederajat tidak tepat pada usia 7 tahun.
64
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
5.2. Faktor-Faktor yang Signifikan Mempengaruhi Capaian APK dan APM Hasil regresi terhadap capaian APK dan APM nasional telah menjelaskan beberapa faktor yang signifikan mempengaruhi. Faktorfaktor signifikan tersebut adalah Produk Domestik Regional Bruto, Akses Air Bersih, Rasio Murid Sekolah, Tingkat Kemiskinan, Angka Melek Huruf, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Rasio Murid Guru. Berdasarkan hasil pencapaian APK SD/MI, APK SMP/MTs, APM SD/MI, APM SMP/MTs, dapat dikelompokkan 9 (sembilan) provinsi yang selalu berada di bawah rata-rata nasional, yaitu: Provinsi Sulawesi Barat, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Papua. Kesembilan provinsi tersebut akan dibahas secara mendalam pada bagian-bagian berikut. 5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto Jika dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto, terdapat 8 (delapan) provinsi dari sembilan provinsi yang memiliki pencapaian outcomes Wajardikdas 9 Tahun di bawah rata-rata nasional yaitu Provinsi Sulawesi Barat, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Kalimantan Barat, NTT, dan Papua Barat. Sementara itu Provinsi Papua pada tahun 2006 memiliki PDRB sekitar 1,8 Milyar Rupiah. Angka ini berada di atas rata-rata PDRB nasional sebagaimana terlihat pada Gambar 5.5. Untuk kasus Provinsi Papua ini, kemungkinan terjadi karena tingginya PDRB tidak diikuti oleh distribusi yang merata dari pendapatan tersebut, sehingga masih banyak penduduk Papua yang jauh dari tingkat sejahtera yang pada akhirnya tidak memprioritaskan pendidikan dalam kehidupan masyarakatnya. Akibatnya, tingginya PDRB di Papua tidak mempengaruhi peningkatan pencapaian outcome program Wajardikdas 9 Tahun. Kondisi ini sejalan dengan temuan pada akses air bersih, dimana akses air bersih di Papua berada di bawah ratarata nasional, yang merefleksikan rendahnya tingkat kesejahteraaan 65
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
masyarakat Papua. Dengan kata lain, apabila ingin meningkatkan capaian outcome program Wajardikdas 9 Tahun di provinsi yang masih di bawah rata-rata nasional, maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya selain meningkatkan input dan output sektor pendidikan. Gambar 5.5. Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2006
Gorontalo Bangka Belitung Banten Papua Barat Papua Maluku Utara M a l u ku Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bali Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jam b i Kepulauan Riau Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Nanggroe Aceh Darussalam 0.000
0.100
2006
0.200
0.300
0.400
0.500
Sumber: BPS
5.2.2.
Akses Air Bersih
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa akses air bersih menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Akses air 66
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
bersih merupakan rasio jumlah rumah tangga yang dapat mengakses air bersih terhadap jumlah rumah tangga di wilayah tertentu. Semakin tinggi akses air bersih di wilayah tersebut maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut. Dari hasil regresi diperoleh adanya hubungan yang positif antara akses air bersih dengan APM SD/MI, APK SD/MI, APK SMP/MTs dan APM SMP/MTs. Pada tahun 2006 provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Selawesi Selatan, Maluku Utara, Kalimantan Barat, NTT, Papua Barat dan Papua yang merupakan delapan dari sembilan provinsi dengan capaian APK dan APM terendah masih memiliki akses air bersih di bawah rata-rata nasional. Sedangkan provinsi Banten memiliki akses air bersih sebesar 57,01 persen berada di atas nilai akses bersih rata-rata nasional sebesar 48,94 persen. Akses air bersih ini merupakan salah satu faktor yang dapat menjelaskan capaian APM dan APK karena merupakan kebutuhan dasar yang merefleksikan tingkat kesejahteraan suatu daerah.
67
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.6. Akses Air Bersih Tahun 2006
Bangka Belitung Banten Papua Barat Papua Maluku Utara M a l u ku Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bali Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jam b i Kepulauan Riau Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Nanggroe Aceh Darussalam -
20.00
40.00
2006
60.00
Sumber: BPS
68
80.00
100.00
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
5.2.3.
Rasio Murid Sekolah Gambar 5.7. Rasio Murid Sekolah SD/MI Tahun 2006
Sumber: BPS
Selain akses air bersih, output sektor pendidikan seperti jumlah sekolah juga ikut mempengaruhi APM SD/MI, APK SD/MI dan APM SMP/MTs, APK SMP/MTs. Pada tahun 2006, kesembilan provinsi yang memiliki capaian APK dan APM di bawah rata-rata nasional juga memiliki rasio jumlah murid sekolah di bawah rata-rata nasional. 69
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa jumlah sekolah di provinsiprovinsi tersebut masih belum mencukupi. Implikasinya, jika pemerintah ingin meningkatkan outcome program Wajardikdas 9 Tahun di provinsi-provinsi yang memiliki APM SD/MI, APK SD/MI dan APM SMP/MTs, APK SMP/MTs di bawah rata-rata nasional, maka jumlah sekolah di provinsi-provinsi tersebut perlu ditingkatkan. Gambar 5.8. Rasio Murid Sekolah SMP/MTs Tahun 2006
Sumber: BPS
70
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
5.2.4. Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan juga mempengaruhi pencapaian APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs, APM SMP/MTs provinsi. Pada tahun 2006, terlihat bahwa provinsi Papua Barat, Papua, Sulawesi Tengah dan NTT juga memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi (di atas rata-rata nasional yang bernilai sebesar 19,24 persen). Provinsi Papua Barat dan Papua memiliki tingkat kemiskinan kedua tertinggi dibandingkan dengan 33 provinsi lain pada tahun 2006, yaitu 41,20 persen dan 39,63 persen. Sedangkan DKI Jakarta memiliki tingkat kemiskinan terendah pada tahun 2006, yaitu sebesar 6,78 persen. Hal ini memperkuat dugaan awal, bahwa walaupun PDRB di provinsi Papua tinggi, namun tidak diikuti oleh distribusi pendapatan yang merata, akibatnya tingginya PDRB di Papua tidak meningkatkan pencapaian outcome program Wajardikdas 9 Tahun. Hal ini semakin memperjelas bahwa kesejahteraan suatu daerah sangat penting dalam pencapaian outcome program Wajardikdas 9 Tahun selain output sektor pendidikan (jumlah sekolah dan guru). Sehingga, selain dari sisi supply sektor pendidikan, pemerintah juga perlu memperhatikan sisi permintaan sektor pendidikan. Walaupun, jumlah sekolah banyak di suatu daerah, namun apabila penduduknya miskin, PDRB rendah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (seperti akses air bersih), maka penduduk cenderung memilih untuk bekerja dari pada sekolah.
71
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.9. Tingkat Kemiskinan Tahun 2006
Sumber: BPS
5.2.5. Angka Melek Huruf Dari grafik di bawah ini dapat diketahui terdapat 6 (enam) provinsi dengan APK dan APM di bawah rata-rata nasional mempunyai angka melek huruf lebih rendah dari rata-rata nasional, yaitu provinsi Kalimantan Barat, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi 72
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Selatan, Sulawesi Barat, dan Papua. Hal ini menunjukkan bahwa pada provinsi tersebut terkonsentrasi penyandang buta huruf. Gambar 5.10. Angka Melek Huruf Rata-Rata 2004-2006
Sumber: Depdiknas
Pemberantasan buta aksara, tidak sekadar mengajarkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta berbahasa Indonesia. Tetapi juga memiliki makna yang luas yaitu sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin agar mereka 73
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
menjadi manusia yang cerdas, sehat, produktif dan mandiri. Faktor utama yang menjadi kendala upaya pemberantasan buta aksara adalah masalah kemiskinan serta masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, terutama di daerah perdesaan. Di daerah-daerah dengan tingkat ekonomi rendah, upaya untuk menyukseskan program Wajardikdas 9 Tahun perlu didukung dengan upaya ekstra dari pemerintah. Karena ketiadaan biaya, banyak anak usia sekolah terpaksa membantu orang tuanya mencari nafkah. Kendala lain adalah apresiasi dan persepsi pejabat, tokoh-tokoh masyarakat yang tidak sama mengenai pentingnya pendidikan. Selain itu, pemberlakuan otonomi daerah atau desentralisasi pendidikan juga ikut berpengaruh terhadap keberhasilan pemberantasan buta aksara di satu daerah. Ini bisa terjadi karena kalangan stakeholder belum memiliki apresiasi atau persepsi yang sama mengenai pentingnya masalah pendidikan. 5.2.6.
Dana Alokasi Umum (DAU) Program Wajardikdas 9 Tahun dapat dikatakan sebagai program yang krusial dalam pembangunan nasional utamanya dalam pembangunan jangka menengah 2005-2009. Bahkan Program Wajardikdas ini dapat dikatakan sebagai program utama Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini dapat dilihat tidak saja dari alokasi anggaran untuk program Wajardikdas 9 Tahun yang terus meningkat setiap tahun tetapi juga porsinya yang cukup besar dibandingkan dengan program-program lainnya yang dilaksanakan oleh Depdiknas. Dari gambar berikut tampak bahwa porsi anggaran untuk Wajardikdas 9 tahun terus mengalami peningkatan tiap tahunnya, dari 41,9 persen di tahun 2005 hingga mencapai 48,19 persen di tahun 2008. secara nominal anggaran Program Wajardikdas juga terus mengalami peningkatan dari Rp.10,82 Miliar di tahun 2005 hingga Rp.23,96 Miliar di tahun 2008. 74
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.11. Perkembangan Alokasi Anggaran Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional Wajardikdas 9 Tahun Total Belanja Depdiknas % Anggaran Wajardikdas 9 Tahun
Rp. Miliar
100.000 90.000
50,15%
80.000 70.000
41,90%
46,13%
48,19%
60% 50% 40%
60.000 50.000
30%
40.000 20%
30.000 20.000
10%
10.000 -
0%
2005
2006
2007
2008
Sumber: Depdiknas, 2007, diolah.
Sejak diberlkukannnya otonomi daerah pada tahun 2000, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam mengelola pendidikan. Namun pengelolaan pendidikan ini perlu didukung dengan kemampuan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan dan juga kesiapan daerah dalam penyediaan dana alokasi umum (DUA) untuk menggaji guru dan pegawai yang didaerahkan.
75
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.12. Kontribusi DAU terhadap Total Penerimaan APBD Kabupaten/Kota 90,00% 80,00% 70,00%
Kabupaten
Kota
76,96%
69,30%
68,98% 61,51%
68,23% 61,53%
60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% 2004
2005
2006
Sumber: Depatemen Keuangan, diolah.
Gaji tenaga pendidik dan tenaga kependidikan termasuk dalam sistem keuangan antara pemerintah pusat dan daerah termasuk anggaran yang didesentralisasikan melalui Dana Alokasi Umum. DAU juga masih merupakan sumber penerimaan utama keuangan pemerintah daerah. Baik di tingkat kabupaten maupun kota, DAU berkontribusi hampir 70 persen dari total penerimaan APBD pemerintah daerah. Dari gambar di bawah ini tampak bahwa kontribusi DAU terhadap penerimaan pemerintah daerah kota relatif lebih rendah dibandingkan kabupaten, namun secara umum rata-rata kontribusi DAU hampir mencapai 70 persen.
76
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.13. Persentase DAU Rata-Rata 2004-2006
Sumber: Depkeu
Dari Tabel 5.2. dan Gambar 5.13 dapat diketahui terdapat 3 (tiga) provinsi yang memiliki capaian APK dan APM di bawah rata-rata nasional memiliki persentase DAU di atas 3 persen, antara lain: Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan. Hal ini sejalan dengan hasil regresi dimana terdapat hubungan yang negatif antara rasio DAU terhadap APBD dengan capaian APK dan APM, baik SD maupun SMP. 77
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 5.2. DAU Tahun 2004-2007
PROVINSI Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan
2005
2,479.39
2,675.26
4,560.00
3,238.21
4,181.82
4,509.18
7,793.87
5,494.96
2,411.03
2,590.15
4,651.67
3,217.62
1,535.93
1,542.52
1,784.68
1,621.04
524.76
628.18
854.03
668.99
1,424.26
1,561.58
2,424.99
1,803.61
2,108.36
2,271.43
3,615.54
2,665.11
784.33 2,203.78 0.00 7,947.75
879.68 2,393.18 0.00 8,475.53
1,922.91 3,800.62 0.00 11,527.45
1,195.64 2,799.19 0.00 9,316.91
9,408.43
9,904.66
14,959.95 11,424.35
1,268.93
1,327.24
9,983.61 10,494.00 1,549.97 1,624.58
2006
RataRata
2004
2,049.98
1,548.72
15,795.99 12,091.20 2,500.82 1,891.79
1,485.96
1,662.16
2,594.67
1,914.26
2,472.82
2,605.65
4,049.98
3,042.81
1,981.35
2,148.04
4,068.60
2,732.67
78
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Banten Bangka Belitung Gorontalo Indonesia
1,740.56
2,072.39
3,821.82
2,544.93
1,544.27
1,741.06
2,981.65
2,088.99
1,624.12
1,624.12
2,134.98
1,794.41
1,118.26
1,289.81
2,354.99
1,587.69
1,435.54
1,567.76
2,785.06
1,929.45
3,532.40
3,826.82
6,076.77
4,478.66
0.00
0.00
1,070.42
356.81
942.64
1,216.15
2,466.40
1,541.73
976.03
1,028.38
2,037.31
1,347.24
571.71
664.70
1,525.57
920.66
2,556.24 900.56 1,593.50
2,894.64 1,093.43 1,729.83
6,441.68 2,395.75 2,459.66
3,964.19 1,463.25 1,927.66
417.58
517.79
1,192.70
709.35
439.56 483.48 861.86 594.97 73,145.42 79,043.38 129,562.34 93,917.04
Sumber: Depkeu
Hasil regresi menunjukkan bahwa rasio DAU terhadap APBD tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan APK dan APM. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah dalam pengalokasian DAU tidak menjadikan sektor pendidikan dasar sebagai prioritas. Dengan demikian untuk mendorong peningkatan capaian APK dan 79
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
APM di daerah yang masih di bawah rata-rata nasional maka pengalokasian DAU untuk sektor pendidikan perlu menjadi prioritas. 5.2.7. Dana Alokasi Khusus (DAK) Salah satu komponen yang erat kaitannya dengan Pelaksanaan Wajardikdas dalam kerangka desentralisasi adalah DAK bidang Pendidikan. DAK bidang pendidikan ini bersumber dari APBN dan dialokasikan ke daerah untuk membantu pembangunan dan rehabilitasi fisik sarana pendidikan khususnya pendidikan dasar 9 tahun seperti unit sekolah, ruang kelas dan perpustakaan. Porsi alokasi DAK Pendidikan relatif cukup besar dibandingkan alokasi DAK untuk bidang lainnya. Dari Gambar 5.14. tampak bahwa sepanjang 2004-2007, porsi alokasi DAK Pendidikan rata-rata adalah 27,28 persen dari total alokasi DAK setiap tahun. Porsi ini tertinggi setelah DAK bidang Infrastuktur dengan porsi rata-rata sebesar 35,71 persen setiap tahunnya. DAK pendidikan sendiri sangat erat kaitannya dengan desentralisasi pendidikan. Pertama, karena alokasi DAK Pendidikan memprasyaratkan adanya dana pendamping dari APBD yang besarnya minimal 10 persen dari alokasi dana DAK. Hal ini mendorong peran serta pemerintah daerah dalam pembangunan bidang pendidikan, dalam hal ini rehabilitasi fisik. Kedua, DAK pendidikan diprioritaskan pada daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif lebih rendah dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Tahun 2006 menggunakan acuan Indeks Fiskal Netto di bawah 1, sedangkan tahun 2007 menggunakan dasar penerimaan umum dikurangi belanja pegawai.
80
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.14. Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) 2004-2007 100%
Prasarana Pemerintahan
90% 10,8%
4,2% 8,0%
Pertanian
9,5% Kelautan Perikanan
6,7%
80% 70%
16,1%
15,5%
8,7% 6,4%
Kesehatan 20,8%
19,8%
60% 50%
23,0%
Pendidikan 30,5% 25,3%
40%
30,4%
30%
Infrastruktur
20% 10%
42,1%
38,3%
33,0%
2005
2006
29,5%
0%
2004
2007
Keterangan: - Alokasi DAK bidang Pertanian sejak tahun 2005. - Alokasi DAK Bidang Lingkungan Hidup sejak 2006 - Alokasi Infrastruktur sejak tahun 2005 termasuk infrastruktur air bersih. Sumber: Departemen Keuangan, berbagai periode, diolah.
Ketiga, DAK Pendidikan diprioritaskan bagi daerah-daerah tertinggal dan terpencil, daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan, daerah rawan banjir, daerah rawan pangan serta kriteria-kriteria lainnya terkait dengan karakteristik daerah. Keempat, alokasi DAK Pendidikan dikelola langsung oleh sekolah sebagai satuan pendidikan terendah.
81
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.15. Persentase DAK Rata-Rata Tahun 2004-2006
Sumber: Depkeu
82
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Tabel 5.3. DAK Tahun 2004-2006
PROVINSI Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
2004
2005
2006
RataRata
156.09
229.55
592.80
326.15
184.97
221.89
645.95
350.94
132.54
191.24
466.48
263.42
0.00
8.33
161.58
56.64
8.00
12.56
81.76
34.11
87.22
110.54
200.36
132.71
57.16
66.57
312.81
145.51
47.22 92.54 0.00 130.53
85.22 99.01 0.00 117.91
292.78 308.39 0.00 685.68
141.74 166.65 0.00 311.37
212.58
295.99
897.17
468.58
45.66
51.41
126.50
74.52
241.46 72.03
257.63 90.21
914.09 235.59
471.06 132.61
69.02
103.28
291.01
154.44
136.60
212.92
492.05
280.52
83
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Banten Bangka Belitung Gorontalo Indonesia
99.15
145.91
352.96
199.34
94.34
174.81
378.72
215.96
95.43
159.49
326.60
193.84
5.00
56.14
213.10
91.41
70.34
110.20
314.21
164.92
90.72
119.71
286.43
165.62
220.14
275.00
649.79
381.64
37.05
56.40
147.01
80.15
54.08
101.69
321.56
159.11
52.20
86.47
250.85
129.84
51.15
88.11
283.65
140.97
109.52 52.73 36.93
218.24 99.06 50.23
656.74 259.95 99.68
328.17 137.25 62.28
39.79
41.78
178.44
86.67
31.21 44.73 104.44 60.13 2,813.40 3,982.23 11,529.08 6,108.24
Sumber: Depkeu
Dari hasil regresi diketahui bahwa besarnya rasio DAK terhadap APBD secara positif mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pencapaian APK dan APM SD dan SMP. Selanjutnya, dari grafik dan tabel tersebut di atas maka dapat kita ketahui beberapa daerah dengan 84
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
capaian APK dan APM di bawah rata-rata nasional yang memperoleh porsi DAK di bawah 3 persen, antara lain: Banten, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Pada tahun 20042006, hampir seluruh provinsi-provinsi yang memiliki APK dan APM di bawah rata-rata nasional, kecuali provinsi Papua, provinsi Sulawesi Selatan, dan provinsi Nusa Tengara Timur, memiliki dana alokasi khusus di bawah rata-rata nasional. Implikasi temuan ini, baik dari hasil regresi maupun analisis kualitatif adalah apabila pemerintah ingin meningkatkan APK dan APM di provinsi-provinsi yang memiliki APK dan APM di bawah rata-rata nasional, maka pemerintah perlu mendorong peningkatan input di sektor pendidikan seperti jumlah sekolah dan guru dengan pembiayaan yang bersumber dari DAK. 5.2.8. Rasio Murid Guru Guru merupakan salah satu pilar atau komponen utama yang dinamis dalam mencapai tujuan pendidikan serta untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu. Pendekatan yang berorientasi pada perbaikan sarana dan prasarana tidak mampu mengangkat mutu pendidikan secara berarti. Suatu kenyataan di lapangan banyak fasilitas pembelajaran seperti peralatan laboratorium, referensi pustaka, studio atau workshop yang ada di sekolah tidak termanfaatkan secara optimal oleh sekolah. Ruang laboratorium dijadikan ruang kelas, ruang perpustakaan dipersempit dan dijadikan ruang guru bahkan gudang. Salah satu faktor penyebab adalah guru tidak siap untuk memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh berbagai macam proyek yang ditujukan ke sekolah tersebut. Oleh karena itu, maka pencapaian standar kompetensi guru merupakan suatu keharusan. Sebab tanpa ada standar maka jaminan kepada stakeholder tidak mungkin terpenuhi secara optimal.
85
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.16. Rasio Murid Guru
86
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Sumber: Depdiknas
87
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Rasio murid guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi APK dan APM. Rasio murid per guru, yaitu rasio yang menunjukkan jumlah murid (siswa) yang diampu oleh 1 (satu) orang guru. Semakin kecil angka ini, semakin baik karena guru tersebut akan dapat memberi perhatian lebih pada murid-muridnya daripada jika guru tersebut mengampu murid lebih banyak. Namun, jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yang tersedia saat ini masih belum proporsional, sehingga tidak jarang satu ruang kelas diisi lebih dari 30 anak didik. Angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang dianggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal. Data antara tahun 2001/02-2005/06 menunjukkan bahwa tren rasio siswa per guru semakin kecil, kecuali untuk MTs, dimana pada tahun 2003/2004 dan 2004/2005 menurun, tetapi pada tahun berikutnya meningkat kembali. Gambar 5.17. Rasio Siswa per Guru Tahun 2001/2002-2005/2006
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
88
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Secara rata-rata rasio siswa per guru pada tahun 2005 dan 2007 masing-masing sebesar 21 dan 19 siswa per guru. Selain itu, distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tidak meratanya angka rasio siswa per guru antar daerah serta kesenjangan pendidikan guru tiap daerah. Jika dilihat rasio siswa per guru per daerah maka akan terlihat perbedaan antar daerah. Pada tahun 2005, secara nasional ratarata rasio siswa per guru sebesar 21 siswa per guru, dimana terdapat beberapa provinsi dengan rasio yang lebih besar dari rata-rata, diantaranya provinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Banten. Kemudian pada tahun 2007, secara nasional rata-rata rasio siswa per guru adalah sebesar 19 siswa per guru, hal ini mengindikasikan kinerja yang lebih baik. Pada tahun tersebut terdapat beberapa provinsi yang rasionya di atas rata-rata nasional, antara lain Nusa Tenggara Timur, Papua, Kalimantan Barat, Banten dan Papua Barat. Gambar 5.18. Kepala Sekolah dan Guru menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006 Tingkat Sekolah Dasar
Tingkat Sekolah Menengah
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
89
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Lebih jauh, selain kuantitas maka perlu diperhatikan juga kinerja kualitas guru, yang dapat dilihat dari tingkat pendidikan kepala sekolah dan guru. Semakin tinggi pendidikannya tentu saja kualitasnya semakin bagus. Tingkat pendidikan dari kepala sekolah dan pengajar ini juga sekaligus memcerminkan tingkat kelayakan guru. Apabila dilihat dari mutu SDM dalam hal ini guru, maka persentase guru yang layak mengajar pada jenjang SD/MI yaitu 15 persen layak dan masih 85 persen yang tidak layak. Sedangkan untuk SMP dan MTs, sebesar 60 persen layak dan sisanya 40 persen tidak layak. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah, hal itu terlihat pada kesesuaian ijasah guru dengan bidang studi yang diajarkan. Tabel 5.4. Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah dan Guru menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2006
Jenjang Pendidikan
Negeri
%
Swasta
%
Jumlah
%
178,052
14
27,958
26
206,010
15
Tidak Layak
1,060,788
86
80,048
74 1,140,836
85
Jumlah
1,238,840 100
SD & MI Layak
28,038 100 1,346,846 100
SMP & MTs Layak
247,560
63 124,331
56
371,891
60
Tidak Layak
146,634
37
44
244,473
40
Jumlah
394,194 100
97,839
97,963 100
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
90
616,364 100
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Jika membandingkan kelayakan guru di sekolah swasta dan sekolah negeri maka diketahui bahwa kelayakan guru lebih tinggi di sekolah swasta daripada sekolah negeri. Dari data tahun 2006 di bawah ini terlihat bahwa untuk SD dan MI negeri pengajar yang layak mengajar sebesar 14 persen, sedangkan untuk SD dan MI swasta sebesar 21 persen. Sebaliknya untuk SMP dan MTs, pengajar yang layak mengajar lebih besar di SMP dan MTs negeri, yaitu sebesar 63 persen. Untuk SMP dan MTs swasta sebesar 56 persen. Gambar 5.19. Persentase Guru SD dan SMP yang Layak Mengajar Tahun 2007
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
91
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Persentase guru yang layak mengajar di tiap daerah juga berbeda. Beberapa provinsi yang tingkat kelayakan gurunya rendah sebagian besar terletak di Kawasan Timur Indonesia seperti seluruh provinsi di Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, Maluku serta sebagian provinsi di Sumatera, yaitu Lampung, Bengkulu, Jambi dan Bangka Belitung. Namun secara umum persentase rata-rata guru yang layak mengajar pada tahun 2007 adalah sebesar 10.87 persen. Guna memenuhi amanat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mensyaratkan guru harus berkualifikasi akademik minimal S1 atau D-4, maka Depdiknas telah melakukan berbagai upaya kebijakan dalam rangka meningkatkan kualifikasi guru, mulai dari guru TK sampai SMA/ SMK/MA. Dari jumlah keseluruhan sekitar 2,7 juta guru, 1.528.472 orang guru berstatus PNS. Sedangkan, sisanya yaitu 1.254.849 guru berstatus non-PNS. Guru berstatus PNS dengan kualifikasi S1/D4 dan di atas S1/ D4, sebanyak 539.406 (43 persen), dan yang berkualifikasi pendidikan di bawah S1/D4 sebanyak 989.983 (66 persen). Sedangkan untuk guru nonPNS yang berkualifikasi pendidikan S1/D4 sekitar 502.667 (42 persen) dan yang berkualifikasi di bawah S1/D4 sekitar 657.741 (58 persen). Dengan demikian, dari jumlah keseluruhan guru berkualifikasi S1/D4 adalah sekitar 1.042.073 (38,6 persen), sedangkan yang berkualifikasi di bawah S1/D4 sekitar 1.656.548 (61,4 persen). Ini berarti persentase guru yang berkualifikasi S1/D4 meningkat 6,1 persen. Kenaikan ini berkat beasiswa peningkatan kualifikasi guru dari APBN Depdiknas sebesar Rp. 382.395.000.000 bagi 191.271 guru, APBN Depag, APBD, serta kontribusi para guru itu.
92
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Gambar 5.20 Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi Tahun 2007
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Berkaitan dengan upaya peningkatan mutu guru, salah satu program yamg telah dilaksanakan adalah program sertifikasi. Sertifikat profesi guru diterbitkan oleh perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi di atas S1, seperti pendidikan profesi akuntansi, apoteker, dokter, dokter gigi, guru, notaris, dan psikolog. Sebenarnya, pendidikan tinggi profesi sudah berlangsung cukup lama kecuali untuk 93
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
guru. Dalam upaya untuk meningkatkan kompetensi guru, pada tahun 2007 telah dimulai program sertifikasi profesi guru dengan memberikan kuota sejumlah 200.450 orang untuk mengikuti sertifikasi guru melalui penilaian portofolio. Dari sejumlah kuota tersebut, sebanyak 185.328 guru atau 96,7 persen dinyatakan lulus sebagai guru professional dan memiliki sertifikat pendidik. Di samping pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan melalui penilaian portofolio, Depdiknas juga menyelenggarakan sertifikasi guru melalui jalur pendidikan. Peserta sertifikasi guru melalui jalur pendidikan diwajibkan mengikuti pendidikan selama dua semester dan diberikan beasiswa penuh. Sejumlah 769 guru dalam jabatan mengikuti pendidikan profesi di 27 perguruan tinggi yang telah ditetapkan dan selesai pada bulan November 2008. Sampai dengan tahun 2007, secara nasional kelulusan guru mencapai 89,41 persen. Papua dan Papua Barat mempunyai persentase kelulusan terendah, masing-masing sebesar 27,07 persen dan 32,63 persen.
94
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
BAB VI KESIMPULAN
1. Dari hasil regresi menunjukkan bahwa secara nasional faktor-faktor yang secara signifikan positif mempengaruhi capaian APK SD/MI adalah rasio PDRB terhadap rata-rata nasional dan akses terhadap air bersih. Variabel rasio murid guru, rasio murid sekolah, rasio DAU terhadap APBD dan tingkat kemiskinan berpengaruh terhadap capaian APK SD/MI secara negatif. Demikian juga dengan APM SD/MI, ditambah dengan variabel rasio DAK terhadap APBD. Variabel-variabel tersebut juga mempengaruhi capaian APK SMP/MTs. 2. Sedangkan untuk APM SMP/MTs hanya dipengaruhi oleh rasio PDRB terhadap rata-rata nasional, rasio DAU terhadap APBD, angka melek huruf, serta rasio DAK terhadap APBD. Dengan perkataan lain APM SMP/MTs tidak dipengaruhi faktor output SMP/MTs, yaitu rasio murid guru SMP/MTs dan rasio murid sekolah SMP/MTs. 3. Koefisien untuk PDRB, akses air bersih, rasio murid guru, rasio murid sekolah, tingkat kemiskinan dan rasio DAK terhadap APBD menunjukkan tanda positif sesuai yang diharapkan. Sedangkan untuk koefisien rasio DAU terhadap APBD tidak memberikan tanda sesuai yang diharapkan. 4. Meningkatkan Angka Partisipasi Murni SD/MI dan Angka Partisipasi Kasar SMP/MTs, tidak hanya memerlukan peran dari faktor output (jumlah guru dan jumlah sekolah), tapi juga memerlukan peran dari karakteristik sosial ekonomi populasi. Rumah tangga di daerah miskin tidak dapat menyelokahkan anakanaknya, walaupun mereka memiliki akses terhadap pendidikan, 95
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
karena anak-anak mereka harus membantu orang tuanya mencari nafkah (opportunity cost untuk bersekolah sangat tinggi). 5. Penetapan besarnya anggaran program pendidikan di tingkat pemerintahan daerah sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, sehingga besaran dan komposisi alokasi anggaran pendidikan termasuk pendidikan dasar juga bervariasi. Secara umum alokasi anggaran pendidikan masih terfokus pada kegiatankegiatan yang bersifat fisik. Sebagai konsekuensinya, anggaran yang berkaitan langsung dengan peserta didik atau layanan pendidikan masih terbatas. Hal ini erat kaitannya dengan instrumen penerimaan pemerintah daerah yang secara umum masih banyak bersumber dari alokasi dana perimbangan pemerintah pusat, utamanya DAU dan DAK. 6. Masih lebarnya kesenjangan alokasi anggaran pemerintah daerah kepada sektor pendidikan. Di tingkat provinsi misalnya, kesenjangan yang cukup lebar tampak dari anggaran untuk pendidikan dasar dan menengah per jumlah penduduk usia 7-15 tahun. Di provinsi-provinsi seperti Gorontalo, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung justru jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Lampung dan Jawa Barat. 7. Rasio murid guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi APK dan APM. Namun, jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu ruang kelas diisi lebih dari 30 anak didik. Angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal. Secara rata-rata rasio murid per guru pada tahun 2005 dan 2007 masing-masing sebesar 21 dan 19. Selain itu, distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia 96
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
pendidikan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tidak meratanya angka rasio murid per guru antar daerah serta kesenjangan pendidikan guru tiap daerah. 8. Kualitas guru juga sangat memprihatinkan. Apabila dilihat dari mutu guru, maka persentase guru yang layak mengajar pada jenjang SD dan MI yaitu 15 persen layak dan 85 persen tidak layak. Sedangkan untuk SMP dan MTs, sebesar 60 persen layak dan sisanya 40 persen tidak layak. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan.
97
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ______________, 1965. Illustrated World Encyclopedia, Bobley Publishing Company. ______________, 1965.The World University Publishing Company, Washington.
Encyclopedia,
______________, 1994. Inpres No.1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. ______________, 2006. Inpres No.5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. ______________, 2007.Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. ______________, 1993. Encyclopedia Incorporated.
Americana,
Glolier,
______________, 2003. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. ______________, 2003. Desentralisasi Pendidikan Butuh Kejelasan Kewenangan, KOMPAS, 18 Desember. 98
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
______________, 2007. Akibat Desentralisasi www.wawasandigital.com, 24 Juli.
Pendidikan,
_____________,2008. Prospek dan Tantangan Desentralisasi Pendidikan, http://caturratna.wordpress.com, 10 Juni. Bayhaqi, Akhmad, 2004. Decentralization in Indonesia: The Possible Impact on Education (Schooling) and Human Resource Development for Local Regions, LPEM-UI. Bentri, Alwen.,et.al “Efektifitas Pelaksanaan Wajib Belajar Sembilan Tahun di Sumatera Barat. Universitas Negeri Padang Bruce Joyce, Improving America’s Schools. Longman Publishing Group (January 1986) Charles P. Cozic , Education in America, Greenhaven Pr, 1992 Depdiknas, 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009, Desember. ______________, Lakip 2005-2008 http://endang965.wordpress.com/2007/05/06/potret-pendidikan-dijepang http://forum.wgaul.com/archive/thread/t-47086-Pendidikan -di-AmerikSerikat.html http://one.indoskripsi.com/content/sistem-pendidikan-di-argentina http://panmohamadfaiz.com/2007/08/29/hukum-dan-pendidikan-diindia Kingdon, Geeta Gandhi. (2007).”The Progress of School Education in India”. Global Poverty Research Group (GPRG) and Economic and Social Research Council (ESRC) Pereira, J and M.St.Aubyn. 2008. Jurnal Economics of Education Review xxx 99
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
SMERU “Kajian Cepat PKPS-BBM bidang Pendidikan: Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2005” September 2006 Subroto, Purwanto, 2007. Financing education Sectot Under the Curret Decetralized System in Indonesia: Disparities in Education Expenditures per Student at Public Junior Secondary Schools, University of Pittsburgh, June. Toyamah N., Usman S, 2004. Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar, SMERU, Juni. Tiedao, Zhang., Minxia, Zhao., Xueqin, Zhao., Xi, Zhang and Yan, Wang. (2004).”Universalizing Nine-Year Compulsory Education for Poverty Reduction in Rural China. Scaling Up Poverty Reduction: A Global Learning Process and Conference. Shanghai. Usman S.,dkk, 2008. Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK), SMERU, April. World Bank:Poverty Reduction & Economic Management Unit East Asia & Pacific Region “ Investing in Indonesia’s Education: Allocation, Equity & Efficiency of Public Expenditure”. Januari 2007 Wu, F. et all. 2008. Jurnal Economics of Education Review 27. Hal 308-318
100