ETNISITAS DAN POLITIK LOKAL PROVINSI LAMPUNG (Study Kasus Etnisitas pada Pemilukada Lampung Selatan 2010) Oleh Dega Okta Munaleza (D2B009020) Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Kotak Pos 1269 Website : http://www.fisip.undip.ac.id/ Email :
[email protected] ABSTRACT In the political arena in the district / city , competition between local and ethnic immigrants looks very strong . Regional Head Election ( Election ) June 30, 2010 , held simultaneously in five districts / cities in Lampung has prove it . The combination of Java and Lampung ethnic almost always arise until the geopolitical characteristics of an area in Lampung could be represented on the winner of Regional Head Election . In Metro Citie majority ethnic Javanese , for example , Lukman Hakim and Saleh Chandra Java bloody win the General Election . In Pesawaran district the ethnic composition was balanced between Lampung and Java , the winner is Aries Password ( Lampung ) and Musiran ( Java ) . The same case is seen in East Lampung , although with suspect status , Satono , was dominate sound among 60 percents in the middle of Java bloody . In South Lampung regency with dominant Lampung ethnic composition than Javanese , so winning the Regents and Vice Regents elected, they are Waki Rycko Menoza SZP - Eki Setyanto . The purpose of this study is to determine " the role of ethnicity in the general election in South Lampung regency at 2010”. The research methods are qualitative - descriptive type because descriptive studies systematically describe a situation , problem , phenomenon , service or program , the provision of information about a situation , problem , social life , or describe the attitude of the people responding to a particular issue. The study shows a year before the General Election held in South Lampung regency , political dynamics nomination process Regent and Vice Regent South Lampung regency preceded the existence of rumors in the community about the pair potential between the " sons of ethnic " with " settlers " . The issue of ethnicity appears seven pairs of candidates Regent and Vice Regent South Lampung , the whole family tries to accommodate the heterogeneity of ethnic groups in South Lampung . Number 1 ( one ) ; H. Rycko Menoza , SE , SH , . MBA ( ethnic Lampung ) and H. Eky Setyanto ( Javanese ) won the South Lampung Election at 2010. Theoretically ethnicity can be a serious issue in the election , but in South Lampung at 2010, the issue of ethnicity could not be negative or even conflict access , so until the vote count ends, it can take place smoothly and without significant disruption . The efforts of politicization of ethnicity in South Lampung Election can be clearly addressed by the community. Potential force of Rycko - Eky is in the socio antrpologis adequate approach, which is combined synergistically and regardless of bad sounds to this couple . Integrative and egalitarian approach undertaken by the couple is able to reach people's hearts as both are popular figure in the people of South , and is known to have positive social attitudes , as well as representing the interests of ethnic Lampung and Java , as the majority of the population of South Lampung regency . Keywords: Ethnic, Regional Head Election, South Lampung regency 1
menguat pada era reformasi dan otonomi daerah, mulai dari percaturan pengurus partai, pertarungan gubernur dan bupati/walikota, hingga ke urusan aparatur pemerintahan daerah. Dikenal sebagai ”miniatur” Indonesia, komposisi penduduk di Provinsi Lampung sangatlah heterogen. Dari 7,6 juta penduduknya saat ini, populasi suku Jawa masih sangat mendominasi, yaitu hingga 61 persen, lalu diikuti suku Sunda sekitar 11 persen. Sementara penduduk asli (Lampung) hanya 25 persen. Kuatnya dominasi masyarakat Jawa membuat Lampung kerap dijuluki ”Jawa Utara”, mulai dari nama daerah hingga jalan sangat kental dengan nuansa Jawa. Begitu pula dengan pemimpin daerahnya. Berpuluh-puluh tahun Lampung dikuasai pemimpin berlatar belakang etnis Jawa. Kondisi mulai berubah pada era reformasi dan otonomi daerah. Putra-putra daerah mulai berani tampil seiring semangat membangun daerahnya sendiri. Putra daerah macam Alzier Dianis Thabrani, lalu Sjachroedin ZP, tampil mendominasi percaturan politik di Lampung. Pada masa Sjachroedin ZP menjadi gubernur sejak 2004, banyak perubahan besar yang dilakukan terkait dikotomi pribumi dan nonpribumi. Sjachroedin yang dikelilingi orangorang berdarah Jawa di dekatnya, seperti istri dan wakilnya, yaitu Joko Umar Said, melakukan gebrakan besar, antara lain mengubah simbolsimbol pemerintahan yang semula bernuansa Jawa kini lebih menapak ke Sang Bumi Ruwai Jurai (Lampung). Dalam percaturan politik di kabupaten/kota, tarikan antara putra daerah dan etnis pendatang terlihat sangat kuat. Pemilu kepala daerah (pilkada) 30 Juni 2010 yang dilangsungkan serentak di lima kabupaten/kota di Lampung membuktikannya. Kombinasi Jawa-Lampung hampir selalu muncul. Sampai-sampai, karakteristik geopolitik suatu daerah di Lampung bisa direpresentasikan dari kepala daerah yang memenangi pilkada. Di Kota Metro yang mayoritas penduduknya beretnis Jawa, misalnya, pilkada dimenangi Lukman Hakim dan Saleh Chandra yang berdarah Jawa. Di Kabupaten Pesawaran yang komposisi etnisnya masih berimbang antara Lampung dan Jawa, pemenangnya adalah Aries Sandi (Lampung) dan Musiran (Jawa). Hal sama terlihat di Lampung Timur, meskipun berstatus tersangka, Satono, yang berdarah Jawa mendominasi suara di tengah masyarakat yang 60 persen beretnis Jawa. Di kabupaten Lampung Selatan dengan ibukotanya Kalianda memiliki komposisi etnisnya lebih dominan kepada etnis Lampung dari pada etnis
Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung sejak awal abad ke-20 pada masa pemerintahan kolonial Belanda pernah melakukan transmigrasi secara besar-besaran dengan mendatangkan berbagai macam suku yang khususnya masyarakat suku Jawa dalam jumlah yang banyak atau dalam bentuk kolonisasi. Hal tersebut dikarenakan Provinsi Lampung memiliki letak geografis yang sangat strategis bagi pintu masuknya pulau Sumatra. Letaknya yang menjadikan pulau Sumatra sebagai pintu gerbang dari arah selatan, khusunya melalui darat, sekaligus menjadi pintu penyebrangan antar pulau yaitu, pulau Sumatra dengan Jawa. Dengan derasnya arus perpindahan penduduk yang terjadi di Provinsi Lampung karena adanya program pada pemerintahan saat itu untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa, menjadikan Provinsi Lampung berpenduduk mayoritas suku Jawa. Lampung juga dikenal sebagai miniatur Indonesia, karena terdapat jumlah suku/etnisitas yang beraneka ragam. Karena letak dalam posisinya yang demikian strategis itu serta ditambah dengan tingkat mobilitas penduduknya yang demikian tinggi, baik karena faktor posisisnya yang merupakan “perlintasan” maupun karena latar belakang penduduknya yang sebagian besar adalah “kaum pendatang”, maka keberadaan Provinsi Lampung tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka jelas kiranya jika provinsi Lampung yang terbentuk sejak 18 Maret 1964 tersebut memiliki peranan yang cukup penting dalam peta percaturan kehidupan politik secara keseluruhan. Dengan kuatnya arus pendatang di provinsi Lampung mengakibatkan hampir semua kepala daerah dipimpin oleh non etnis Lampung. Khususnya pada sebelum era reformasi kebanyakan dari setiap daerah di Lampung dikepalai serta dikuasai mayoritas oleh suku Jawa, seperti pada Gubernur Lampung dari tahun ke tahun dipimpin oleh yang notabene bukan putra daerah. Putra daerah sosio-ideologis, yakni kandidat yang dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan masyarakat tempat ia tinggal. Ia telah menginternalisasi identitas dan karakter masyarakat, membangun ikatan emosional dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat setempat. Provinsi Lampung memiliki kondisi geopolitik unik, dikenal sebagai daerah transmigrasi terbesar di Tanah Air selama berpuluh-puluh tahun. Hal ini mengakibatkan kuatnya tarikan politik antara pribumi dan warga pendatang, khususnya Jawa. Tarikan itu kian 2
Jawa, sehingga memenangkan Bupati dan Waki Bupati terpilih Rycko Menoza S.Z.P.- Eki Setyanto.
melalui mekanisme pemilihan umum, maka keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum dengan makna demokrasinya adalah tempat berkompetisinya partai politik yang secara umum dapat menjadi tempat pembelajaran bagi elit dan komponen bangsa lainnya. Selain itu, “pemilihan umum juga terkait dengan peran serta masyarakat dalam memberikan dukungan suara kepada kandidat dan partai politik yang ada”. 1. Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang diawali setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi lokal di Indonesia. Melalui pelaksanaan otonomi daerah sebagai media untuk menyebarkan sistem demokrasi yang semakin disempurnakan, termasuk melalui Pemilihan Kepala Daerah secara langsung diharapkan memacu tumbuhnya kekuatan yang pro demokrasi di daerah. Artinya melalui Pemilihan Kepala Daerah yang secara langsung ini, akan lahir aktoraktor demokrasi di daerah, yang kemudian diharapkan mampu melakukan gerakangerakan baru bagi perubahan. Pemilihan Kepala Daerah merupakan momen politik yang telah diadakan serentak semenjak bulan Juni 2005 sebagai ekses dari pemilihan presiden langsung untuk alasan penegakan demokrasi lokal di daerah. Pelaksana dari pemilihan kepala daerah langsung ini menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah, tidak saja merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tetapi juga diberi kewenangan menyusun semua tata cara yang berkaitan dengan tahap persiapan dan pelaksanaan dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, akan tetapi pemberian wewenang kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah sama sekali tidak sedikit pun dikaitkan dengan Komisi Pemilihan Umum Pusat yang menjadi induk Komisi Pemilihan Umum Daerah tersebut seperti yang terdapat di dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 (http://www.kpu.go.id/wacana/). 2. Model perilaku memilih Menurut Jack Plano voting behavior atau perilaku memilih adalah: “Salah satu bentuk perilaku politik yang terbuka.” Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah: “Kegiatan warga negara yang mempunyai hak
Rumusan Masalah Perumusan masalah yang diajukan adalah “Bagaimana peran etnisitas pada Pemilukada Kabupaten Lampung Selatan 2010?” Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “peranan etnisitas dalam Pemilukada di Kabupaten Lampung Selatan 2010 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Penelitian ini juga dapat menjadi refrensi dalam memahami teori-teori yang berhubungan dengan peranan etnisatas dalam politik lokal . 2. Manfaat praktis : Hasil penelitian ini dapat memberi manfaat pengetahuan kepada pembaca khusunya, masyarakat pada umumnya, dan juga diharapkan dapat memberi masukan dalam rangka memcahkan permasalahan yang sama atau untuk melakukan penenlitian selanjutnya.
Kerangka Teori Di negara-negara yang demokratis, pemilihan umum merupakan alat untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dan sistem politik yang berlaku. Dengan hal itu pula, pemilihan umum tetaplah merupakan bentuk partisipasi politik rakyat. Suatu proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutannya menjadi pemilihan. Dalam hal pemilihan itu semua rakyat harus ikut, tanpa dibeda-bedakan, maka dipakailah sebutan pemilihan umum, disingkat dengan pemilu (Donald Parulian 1997:4). Dengan demikian pemilu berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin negara. Hal tersebut juga dikatakan Doni Hendrik (2003:52) bahwasanya “Pemilihan umum adalah mekanisme pergantian kepemimpinan nasional yang secara demokratis melibatkan seluruh masyarakat di suatu negara”. Begitu bermaknanya pemilihan umum bagi semua orang, maka pemilihan umum yang menjadi indikator demokratisnya pemerintahan yang dibentuk 2
orientasi terhadap isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidiat. Inti dari mazhab ini adalah identifikasi seseorang terhadap partai tertentu yang kemudian akan mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap para calon dan isu-isu politik yang berkembang. Kekuatan dan arah identifikasi kepartaian adalah kunci dalam menjelaskan sikap dan perilaku pemilih. c. Pendekatan Ekonomi Pendekatan ini lahir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis dan psikologis. Pemikiran baru ini mempergunakan pendekatan ekonomi yang sering pula disebut sebagai pendekatan rasional. Tokoh dalam pendekatan ini antara lain Downs dengan karyanya “An Economic Theory of Democracy” (1957) dan Riker & Ordeshook, yang dituangkan dalam tulisan berjudul “A Theory of the Calculus Voting”, (1962). Menekankan kepada penilaian rasional pemilih dengan mengadaptasi teori tentang ekonomi politik untuk menjelaskan perilaku pemilih dengan memperhitungkan apa dampak yang bisa dirasakan langsung oleh pemilih di masa datang kalau ia memilih partai tersebut. 3. Karakteristik pemilih Ikatan primordialisme keagamaan dan etnis, menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas calon legislatife. Jika seorang kandidat memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional tersebut menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Ikatan emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistim kekerabatan semata, akan tetapi agama menjadi pengikat ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal, ras/suku, budaya, dan status sosial ekonomi, sosial budaya juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal komunitas masyarakat tertentu. Hal tersebut terlihat pada basis komunitas masyarakat di daerah pemilihan, daerah/wilayah atau kantongkantong basis massa yang ditandai dengan adanya simbol-simbol partai yang memberikan gambaran dan sekaligus sebagai pertanda bahwa di wilayah tersebut merupakan kantong basis massa partai tertentu.
untuk memilih dan di daftar sebagai seorang pemilih, memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya”. Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat memberikan suara. Nilai yang di maksud di sini adalah preferensi yang dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu. Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan. Perilaku memilih atau voting behavior secara umum teori tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ;Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan (Fadillah Putra, 2003:201). Pada penelitian mengenai voting behavior dalam pemilu pada dasarnya mempergunakan beberapa mazhab yang telah berkembang selama ini yakni: a. Pendekatan sosiologis Mazhab sosiologis pada awalnya berasal dari Eropa yang kemudian berkembang di Amerika Serikat, yang pertama kali dikembangkan oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Colombia (Colombia`s University Bureau of Applied Social Science), sehingga lebih dikenal dengan kelompok Colombia. Kelompok ini melakukan penelitian mengenai The People’s Choice pada tahun 1948 dan Voting pada tahun 1952. Di dalam 2 karya tersebut terungkap perilaku memilih seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sosial ekonomi, afiliasi etnis, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain. b. Pendekatan Psikologis Mazhab ini pertama kali dipergunakan oleh Pusat Penelitian dan Survey Universitas Michigan (University of Michigan`s Survey Research Centre) sehingga kelompok ini dikenal dengan sebutan kelompok Michigan. Hasil penelitian kelompok ini yang dikenal luas adalah The Voter`s Decide (1954) dan The American Voter (1960). Pendekatan mazhab psikologis ini menekankan kepada 3 aspek variabel psikologis sebagai telaah utamanya yakni, ikatan emosional pada suatu partai politik, 3
Komunitas masyarakat, yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional, pragmatis, tidak mudah untuk dipengaruhi, terkadang memiliki sikap ambivalen, berorientasi ke materi. Sikap dan pandangan untuk memilih atau tidak memilih dalam proses politik lebih besar, sehingga tingkat kesadaran dan partisipasi politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan individu yang bersangkutan, tidak mudah untuk dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme tertentu. Kondisi sosial masyarakat pada strata demikian diperlukan adanya kandidat yang memiliki kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis (memiliki kemampuan untuk mudah beradaptasi dengan kelompok masyarakat dan mampu mempengaruhi sikap dan orientasi komunitas masyarakat tersebut), atau popularitas dan reputasi tinggi pada kelompok masyarakat tersebut. Jika hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang kandidat, maka sangat terbuka perolehan suara pemilih didapat dari komunitas masyarakat tersebut. Etnis dapat dipahami melalui pengertian dari etnis tersebut secara umum. Menurut Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis berkenaan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan menurut Suyono dalam Kamus Antropologi Pressindo Jakarta, etnis adalah hal yang mempunyai kebudayaan tersendiri. Kelompok etnis adalah suatu kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas untuk memisahkanantara satu kelompok etnis dengan etnis lainnya. Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya ada kesamaan strukutur sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Namun, dalam situasi tertentu, kesadaran laten ini bisa mengental dan mengedepan. Dalam kaitan itu, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”. (Kompas, 29 mei 2000)
Etnisitas mempunyai tiga dimensi yang berbeda yaitu horizontal, vertikal, dan intensitas atau kedalamannya. Dalam dimensi horizontal, etnisitas bisa menjadi strategi untuk memperoleh keuntungan politik dan ekonomi. Dan sebagai pembatas sosial yang membedakan kita dengan mereka. Kemudian sebagai kreativitas kultural. Dalam dimensi horizontalnya, etnisitas tidak mengandung hirarki antar etnis, atau memiliki pandangan merendahkan etnis lain. Etnisitas sekedar digunakan sebagai alat untuk melegitimasi tuntutan perolehan sumber daya yang semakin langka atau digunakan untuk memperkukuh posisi dalam persaingan dengan individu lain. Dalam dimensi vertikal etnisitas diwarnai predikat negatif seperti rendah diri, terbelakang, sempit, dan sejenisnya. Sedangkan dimensi berikutnya menunjuk pada kedalamannya. Intensitas dari ketegangan kepentingan nasional sentralistik dan etnikregionalistik akan mengamnil dua bentuk yang belawanan yaitu perpecahan antar etnik dan kekeyaaan kultural (Ivan.A.Hadar. ibid) Menguatnya identitas kesukuan mempunyai berbagai konsekuensi. Dua jenis konsekuensi antara lain pertama, adalah menjauhkan diri atau bahkan keluar dari tatanan negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan seharihari di dalam jajaran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah di mana para pejabat lebih senang mendudukkan orang di sekitarnya dalah orang yang seetnis atau sedaerah dengannya. Etnisitas masih menjadi kajian penting dalam diskursus tentang identitas ke-Indonesiaan. Sejarah panjang Nusantara hadir dengan keragaman adat dan etnis dalam konteks persatuan yang dicitakan oleh idealisme kuasa. Konsepsi nusantara inilah yang menjadi model bagaimana etnisitas menjadi penanda pluralitas, namun dibingkai dalam semangat integrasi maupun bayang-bayang kekuasaan. Fredrik Barth (1969), etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim identitas tertentu bagi dirinya dan didifinisikan oleh orang (yang) lain juga dengan identitas yang diklaimnya itu. Etnisitas, dengan demikian, harus dimaknai sebagai identifikasi seseorang dalam berafiliasi dengan kelompok sosialnya. Sementara itu, Schultz & Lavenda (2001) berpendapat bahwa identitas dan etnisitas sesungguhnya merupakan sebuah konsep yang dikontruksi secara budaya. Identitas dan etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu. 4
Selanjutnya, Schultz & Lavenda memberi penjelasan sebagai berikut Identitas dan etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Askripsi, proses penandaan sekelompok orang/masyarakat tertentu dengan sembarang: apa pun tandanya (sebagai ciri khas, labelling kelompok tertentu), umumnya berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Dalam proses itu terjadi interaksi orang dari aneka latar belakang di berbagai bidang kehidupan. Artinya, proses askripsi tidak akan berlangsung/terjadi justru ketika orang-orang benar-benar menyendiri, tidak berinteraksi. Itulah sebabnya, dalam banyak hal, seseorang sering tidak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tetapi diperlakukan sebagai anggota atau wakil kelompok/masyarakat tertentu dengan askripsi tertentu pula. Senada dengan pendapat itu, Phinney dan Alipora (1990) pun menulis bahwa identitas etnik adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnik akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Dari berbagai pendapat itu, dapat diketahui bahwa identitas etnik seseorang ternyata tidak berhenti ketika seseorang itu ditasbihkan sebagai anggota etnik tertentu melalui bukti darah/garis keturunan. Identitas terbentuk melalui sosialisasi, baik dalam keluarga maupun masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai keturunan Jawa, misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis Jawa jika sebelumnya tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya. Hal ini dikuatkan oleh Weinreich (1985) yang berpendapat bahwa identitas sosial (termasuk identitas etnik) merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Begitulah, faktor utama yang mendorong terbentuknya identitas etnik adalah adanya kesamaan-kesamaan besar (seperti pengalaman, latar belakang, adat-istiadat, bahasa, dan perilaku) antaranggota kelompok masyarakat (etnik) yang terbentuk melalui sebuah proses (sosialisasi). Kesamaan-kesamaan itu pada awalnya akan menumbuhkan perasaan seidentitas dan pada gilirannya akan menumbuhkan pula kesadaran
bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Dengan kata lain, terbentuknya identitas etnik ternyata juga memerlukan kehadiran entitas atau etnik lain sebagai komparasi dan penegas identitas etnik yang bersangkutan. Hal ini menegaskan kembali bahwa identitas etnik merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaankesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnik mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etniknya. Identitas sosial, etnisitas dan pelilaku politik cenderung menjadi referensi penting dalam melihat arah kontestasi politik. Pendapat yang membahas adanya keterkaitan antara identitas sosial dengan perilaku politik dan pemilihan setidaknya ada dua hal. Pertama, identitas sosial yang sama dapat ditemukan pada keanggotaan sebuah kelompok sosial di mana dalam arena pemilihan hal ini direpresentasikan melalui keberpihakannya terhadap kebijakan-kebijakan publik tertentu (Robert Bates 1974 ). Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa identitas sosial merupakan faktor yang melekat pada masingmasing individu sehingga berpengaruh pada motivasi individu dalam sebuah arena pemilihan. Masing-masing individu di sini bahkan mengembangkan kelekatan psikologis (psychological attachment) kepada kelompok sosial masing-masing (Donald Horowitz 1985). Daniel N.Posner dkk (2007) berpendapat bahwa ada dua kecenderungan kalangan elit politik dan kandidat dalam menggunakan isuisuetnis (playing ethnic card). Pertama, para politisi dan kandidat biasanya penggunakan berbagai pola pendekatan terhadap etnisitas menjelang arena pemilihan. Target yang ingin didapat adalah adanya kelekatan dengan etnis yang menjadi obyeknya (ethnic attachment). Kedua, para politisi dan kandidatmemainkan kartu etnis (playing ethnic card) untuk mengamankan batas keunggulan yang dimilikinya dalam sebuah arena kompetisi baik ketika pemilu berlangsung maupun setelah pemilu (Daniel N.Posner 2007:1). Perilaku politik dari sesuatu masyarakat dipengaruhi dan mempunyai hubungan dengan etnisitas/kesukubangsaan, karena etnisitas itu menjadi salah satu unsur pembentuk perilaku politk, selain masih ada faktor-faktor yang lain, seperti pengaruh luar melalui difusi dan akulturasi, pendidikan, perubahan sosial dan lainlain. Namun bagi bangsa Indonesia faktor etnisitas itu dalam kehidupan politik sampai sekarang masih menjadi salah satu yang termasuk 5
terpenting. Kesadaran akan etnisitas masih cukup besar dan berpengaruh dalam kehidupan individu atau perorangan maupun dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (Ethnic loyalty) yang relatif tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas.8 Kesetiaan etnis di Indonesia masih tampak signifikan dan pengabaian faktor etnis dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal di atas menunjukkan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang. Kajian berupa penelitian mengenai perilaku politik etnis pernah dilakukan oleh Profesor.R.Willian Liddle. 9 Di mana Liddle melakukan penelitian tentang tingkah laku politik di sebuah daerah di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Simalungun dan Pematang Siantar sebagai kota utamanya. Dalam penelitian ini Liddle mencoba mengaitkan analisa makronya tentang tingkah laku politik lokal dengan apa yang kelihatan makro di tingkat nasional.
proses sosialisasi dan resosialisasi seperti keluarga, lembaga pendidikan, orang tua, dan media masa. Pendekatan politis rasional; Perilaku memilih didasarkan pada kandidat atau partai yang memberikan keuntungan bagi pemilih seperti melalui programprogram yang diusung oleh partai atau kandidat. Metode Penelitian Metodologi penelitian kualtitatif biasanya disebut dengan metode penelitian yang naturalistik, karena penelitianya dilakukan dalam kondisi yang alamiah tidak dibuat-buat, objeknya alamiah, tidak dimanipulasi oleh peneliti, dan peran peneliti didalam pengumpulan data dan analisis data merupakan instrumen kunci dalam penelitiian kualitatif. Selain itu, pengumpulan data dalam penelitian kualitatif tidak hanya dipandu oleh teori, melainkan juga oleh fakta fakta yang ditemukan pada saat penelitian (Afifudin dan Beni Achmad Saebani 2009:57 ). 1. Desain penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian kualitatif-deskriptif karena penelitian deskriptif menggambarkan secara sistematik suatu situasi, masalah, fenomena, pelayanan atau program, penyediaan informasi mengenai suatu situasi, masalah, kehidupan masyarakat, atau menggambarkan sikap masyarakat menanggapi suatu isu tertentu (Ahmad Taufiq 2006:11). Selain itu penelitian deskriptif menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan. Metode ini dipandang cocok karena dengan pandangan penelitian kualitatif, gejala akan bersifat holistc (menyeluruh, tidak dapat dipisahkan), sehingga peneliti tidak hanya menetapkan penelitianya hanya berdasarkan variable penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti maliputi aspek tempat, pelaku dan aktifitas yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono 2009:64). 2. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan lokasi yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui peran Etnisitas pada Pemilukada di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung . Pada Pemilukada periode 2010/2015 oleh Bupati dan Waki Bupati terpilih Rycko Menoza S.Z.P.- Eki Setyanto yang merupakan berdarah asli Lampung. Di mana masyarakat pada Kabupaten Lampung selatan memilik jumlah yang tinggi pada penduduk etnis Lampung . sehingga penulis ingin meneliti mengenai
Operasional Konsep 1. Etnis Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya ada kesamaan strukutur sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Karakter yang tumbuh berdasarkan karakter individu yang terlahir dan menjadi sebuah identitas dasar yang kemudian membentuk ‘keakuan’ dan membedakan dengan yang lain siapa dia, aku dan mereka. 2. Pendekatan Perilaku memilih Perilaku memeilih adalah keikutsertaan komunitas masyarakat dalam pemilihan langsung yang merupakan serangkaian kegatan dalam membuat keputusan, yaitu memilih atau tidak memilih dalam pemilihan kepala Daerah. Serta alasan yang digunakan untuk menentukan pilihan dalam pemilihan kepala daerah. Pendekatan Sosiologis; Kecenderungan pilihan yang diberikan oleh pemilih terhadap kandidat atau partai tertentu yang dipengaruhi oleh latar belkang sosiologis dan kararteristik sosio-ekonomim, kelas, agama, etnis, pekerjaan, pendidikan idiologi, dan kondisi-kondisi sosiologi lainya. Pendekatan Psikologis; Perilaku memilih yang didasarkan pada pengalamanpengalaman pribadi individu terhadap kandidat ataupun partai tertentu melalui 6
peran etnisitas pada Pemilukada Di Kabupaten Lampung Selatan Provinsii Lampung . 3. Jenis data Data diperlukan dalam setiap penelitian, karena merupakan sumber informasi yang dapat memberikan gambaran utama tentang ada atau tidaknya fenomena yang akan diteliti. Untuk itu dalam penelitian ini jenis datanya adalah teks atau kata-kata tertulis yang akan memdeskripsikan tindakantindakan dan fenomena yang terjadi dalam suatu penelitian. 4. Sumber Data a. Data Primer Data yang diperoleh dan dikumpulkan peneliti secara langsung dari sumbernya, yaitu responden melalui wawancara. Pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti pencatatan sumber data primer melalui wawancara atau pengamatan merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, merekam, mendengar dan bertanya. b. Data Sekunder Data yang diperoleh dan dikumpulkan peneliti secara tidak langsung dari obyek obyek penelitian. Data tersebut meliputi kajianpustaka, laporan, literatur, buku, monografi, dokumen, brosur, internet jurnal dan data yang lain berkaitan dengan penelitian. 5. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
permasalahan yang dibahas yaitu Peran Etnisitas Pada Pemilukada di kabupaten Lampung Selatan. 6. Analisis Data Langkah langkah yang ditempuh dalam proses analisis data adalah: a. Reduksi data Diartikan sebgai proses pemikiran, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis lapangan. Dan pengumpulan data yang ada kemudian direduksi untuk mengorganisasikan data guna memudahkan dalam penarikan kesimpulan/verivikasi. b. Penyajian data Data disajikan sehingga berbentuk sekumpulan informasi yang tersususn sehingga memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data di sajikan secara tertulis berdasarkan kasus kasus faktual yang saling berkaitan dan dalam penyajian data digunakan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi guna penarikan kesimpulan lebih lanjut.
c. Menarik kesimpulan / Verivikasi Data yang telah disusun melalui tahap pengolahan reduksi kemudian disimpulkan. Hasil kesimpulan ini senantiasa diverivikasi, sehingga akan diperoleh suatu keyakinan tentang data di lapangan.
a. Interview Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak pewawancara atau yang megajukan pertanyaan dan pihak yang di wawancarai atau yang memberikan Jawaban atas pertanyaan. Wawancara di gunakan untuk dapat lebih mudah memahami makna secara lebih dalam hasil observari yang telah digunakan. Melalui wawancara akan lebih banyak informasi yang diperoleh untuk menJawab permasalahan peneliti yang di ajukan. b. Dokumentasi Pengumpulan data yang dilakukan melalui pencatatan dan penelaahan terhadap catatan catatan, arsip-arsip, dokumen serta peraturan-peraturan lainnya yang ada kaitanya dengan
Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam Pemilihan Umum Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2010 dan sesuai dengan Pasal 8 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bahwa Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota paling lambat 7 (tujuh) bulan sebelum hari pemungutan suara memberitahukan kepada Pemerintah Daerah untuk menyampaikan data kependudukan yang akan digunakan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah, secara rinci tiap Desa/Kelurahan. Berkenaan dengan Surat KPU Kabupaten Lampung Selatan Nomor 270/387/08.01/KPU_LS/2009 tanggal 11 Nopember 2009 perihal Permintaan data jumlah penduduk Kabupaten Lampung Selatan. 7
Pemilih tetap sejumlah 648.691 jiwa di atas akan diperebutkan oleh 7 pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lampung Selatan yang telah dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2010 diikuti oleh 7 kandidat pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Selatan. KPU Lampung Selatan berhasil menetapkan pasangan calon dan nomor urut peserta pilkada setempat. Pengundian nomor dipimpin Ketua KPU Lampul Selatan M. Abdul Hafid didampingi empat komisioner lainnya, yaitu Erlina, Dwi Riyanto, Sri Fatimah, dan Hargito. Tujuh pasangan calon bupati dan wakilnya hadir dalam penetapan serta pengundian nomor urut tersebut. Ketua KPU Provinsi Lampung Edwin Hanibal dan anggota Handi Mulyaningsih serta jajaran Muspida Lampul Selatan turut menyaksikan penetapan dan pengundian nomor serta deklarasi pilkada damai. Setelah ketujuh pasangan calon mendapatkan nomor urut, dilanjutkan deklarasi pilkada damai. Pembacaan naskah deklarasi dipimpin Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Lampung Selatan Jamhari. Menurut Ketua KPU Kabupaten Lampung Selatan M. Abdul Hafid, setiap tahapan pelaksanaan pengundian nomor urut hingga penetapan deklarasi berjalan lancar dan aman. Semua tahapan berjalan lancar, dan semua elemen masyarakat yang ada di Kabupaten Lampung Selatan berharap Pilkada Kabupaten Lampung Selatan dapat berjalan lancar. Setahun sebelum dilangsungkan Pemilukada di Kabupaten Lampung Selatan, dinamika politik proses pencalonan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lampung Selatan diawali adanya kasak-kusuk di masyarakat tentang pasangan potensial antara “putra daerah” dengan “penduduk pendatang”. Pasangan dimaksud adalah Calon Bupati diisi putra daerah (etnis Lampung), dan wakil Bupatinya mewakili entitas suku pendatang, bisa dari etnis Jawa, Sunda maupun Bali. Namun dalam rangka memperoleh kemenangan, yang diperhatikan adalah menakar popularitas dan elektabilitas calon yang memiliki nilai jual dan image positif sehingga berpotensi besar untuk dipilih. Dari isu etnisitas pada Pemilukada di atas, muncul 7 pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Selatan, yang seluruh pasangan mencoba mengakomodir heterogenitas etnis yang ada di Lampung Selatan, dan tidak terbatas pada perpaduan antara Lampung dengan Jawa saja, akan tetapi ada juga pasangan yang justru
memasang Calon Bupatinya berasal dari etnis Jawa dan Wakil Bupatinya berasal dari etnis Lampung. Berdasarkan Surat Keputusan KPU Kabupaten Lampung Selatan Nomor 21 Tahun 2010, maka diputuskan dan menetapkan perolehan suara pasangan calon dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Lampung Selatan Tahun 2010 dengan rincian: 1. H. Rycko Menoza, SE, SH,. MBA dan H. Eky Setyanto, SE, dengan perolehan suara sah 166.089 (35,84 persen). 2. H.Wendy Melfa, SH,. MH dan Antoni Iman, SE, dengan perolehan suara sah 126.427 (27,28 persen). 3. Andi Warisno, S. PdI,. M. Pd dan A Ben Bella, dengan perolehan suara sah 7.594 (1,64 persen) 4. Dr. H. Zainudin Hasan, SH,. MM dan Drs. H. Ahmad Zulfikar Fawzi (Ikang Fawzi), dengan perolehan suara sah 118.098 (25,48 persen) 5. Ir. H.Taufik Hidayat, S.Sos., M.M., M.E.P. dan K. Agus Revolusi, S.Sos, dengan perolehan suara sah 12.705 (2,74 persen). 6. Fadhil Hakim YHZ, B.B.A. dan H.Andi Azis, S.H, dengan perolehan suara sah 10.405 (2,25 persen) 7. dr. Kiswoto dan H. Syahrul Alim, S.H., M.H, dengan perolehan suara sah 22.125 (4,77 persen). Berdasarkan diktum di atas, tidak ada pasangan calon kepala daereah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara sah dari 50 persen jumlah suara sah, maka pasangan calon yang memperoleh suara sah lebih dari 30 persen jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Dengan demikian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lampung Selatan hanya berlangsung dalam satu putaran saja yang telah dimenangkan oleh pasangan calon H. Rycko Menoza, SE, SH,. MBA dan H. Eky Setyanto yang diusung oleh partai PDIP, PD, PKNU & Gerindra dengan perolehan suara 166.089 atau 35,84 persen. Secara teoritis etnis dapat menjadi persoalan serius dalam pemilukada, namun dalam Pemilukada di Lampung Selatan 2010, isu etnisitas tidak sempat berakses negatif atau bahkan konflik, sehingga sampai pasca penghitungan suara pun bisa berlangsung dengan lancar serta tanpa gangguan yang berarti. Upaya politisasi etnis dalam Pemilukada Lampung Selatan dapat disikapi secara jernih oleh masyarakat Sebagai salah satu entitas wilayah yang heterogen, masyarakat Kabupaten Lampung 8
Selatan dinilai cukup terbuka dan sangat menjunung nilai-nilia kebersamaan. Masyarakat Lampung Selatan terdiri dari beragam etnis yang saling berdampingan dan bekerjasama, baik dalam hal sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya, sehingga Lampung Selatan berkembang menjadi suatu kawasan wilayah yang sangat cepat pertumbuhan ekonominya. Isu etnis sebagai komoditas politik masih kerap terjadi. Pemilihan isu yang diusung pun semakin canggih. Semula diharapkan pembauran beragam etnis dengan sendirinya akan mengaburkan isu tersebut. Tetapi sebagian masyarakat masyarakat Lampung Selatan masih hidup di wilayah perdesaaan yang bersifat homogen dan sangat peka pada isu identitas sosial mereka. Isu tentang etnis Jawa dan Lampung kembali menjadi perbincangan hangat menjelang pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), dan bukan hanya di Kabupaten Lampung Selatan, akan tetapi juga di Tanggamus, Tulangbawang dan Lampung Barat pada September 2012 yang lalu. Isu etinisitas yang kental juga diusung oleh beberapa pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Selatan pada Pemilukada 2010, khususnya pasangan calon nomor 1. Seperti misalnya apa yang diusung oleh Eky (calon bupati pasangan nomor 1). Eki Setyanto, kelahiran Kudus, Jawa Tengah pada 26 Desember 1968, sebagai pendatang baru di dunia politik, Eki termasuk figur yang sangat diperhitungkan. Eky bergaung dengan Partai Demokrat pada 2010 dan kini dia dipercaya oleh partainya untuk mendampingi Bupati Lampung Selatan, H. Rycko Menoza. SZP, untuk memimpin masyarakat Kabupaten Lampung Selatan periode 2010 – 2015. Oleh karena itu, dia selalu berusaha istiqamah dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Kepercayaan DPD Partai Demokrat memberikan jabatan sebagai Wakil Bupati Lampung Selatan juga sebagai ujian, sebab memang tidak mudah memimpin 923.002 jiwa masyarakat Lampung Selatan yang berbeda–beda sifatnya dan karakternya. Ketika menjabat sebagai Wakil Bupati pada 2010, usia Eki baru menginjak 42 tahun. Keputusan DPD Partai Demokrat untuk mengusung Eki sebagai Wakil Bupati Lampung Selatan tersebut, sangat tepat, karena dari jumlah sekian kader partai Partai Demokrat yang ada di Lampung Selatan maupun di Provinsi Lampung yang mengikuti uji kelayakan untuk menjadi Wakil Bupati Lampung Selatan, hanyalah Eki yang memiliki pendidikan yang cukup cemerlang. Dalam pilkada Lampung Selatan, Rycko Menoza dan Eki Setyanto diusung Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pasangan ini memenangkan kontestasi setelah meraih 35,85 persen atau 166.089 suara. Kemenangan ini pun dinilai memiliki potensi positf bagi recovery perseteruan beberapa kelompok etnis yang sempat bertikai sebelum pelaksanaan Pemilukada 2010, antara Jawa, Lampung dengan etnis Bali. Etnis Jawa dan Lampung yang merepresentasikan barisan nasionalis religius cenderung memilih pasangan nomor 1, begitu pula etnis Bali yang berbasis kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan cenderung memilih pasangan nomor 1. Dengan demikian, dalam Pemilukada Kabupaten Lampung Selatan ini seolah terjadi “konsiliasi semu” antara beberapa suku atau etnis yang sempat bertikai di Kalianda beberapa waktu sebelum Pemilukada, yaitu antara Lampung, Jawa, Sunda dengan Bali. Pada tahap awal pencalonan pun sudah terlihat kerjasama dan konsiliasi antar etnis, sehingga dinamika politik Pemilikada Lampung Selatan terutama tampak pada tahap pencalonan karena terjadi kerjasama, kesepakatan dan akhirnya koalisi antar partai pendukung tentang pasangan kandidat yang diusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat. Bahkan tidak jarang terjadi konflik internal di dalam satu partai apabila tidak ada kesepakatan antara pimpinan partai di tingkat kabupaten, ataupun di antara sesama pengurus kabupaten, namun penyelesaiannya dilakukan berdasarkan dengan kepentingan etnis per etnis, sehingga konflik manifest tersebut tidak jadi muncul. Seperti dikemukakan sebelumnya, mekanisme pencalonan pilkada yang diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005, hanya mengenal satu jalur, yakni pencalonan melalui atau oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Meskipun demikian, Pemilukada secara langsung ternyata telah membuka peluang berbagai elemen masyarakat untuk menjadi kandidat di luar para politisi yang berasal dari partai-partai politik. Selain politisi partai, kepala daerah yang sedang menjabat (incumbent) dan birokrat, pertarungan dalam Pemilukada juga diminati oleh para pengusaha, purnawirawan TNI/Polri, dan kalangan profesional lain serta aktivis LSM. Seperti dikemukakan sebelumnya, regulasi Pemilukada mengatur bahwa proses penyaringan bakal calon oleh partai atau gabungan partai politik dilakukan secara “demokratis dan transparan”. Dalam penjelasan aturan tersebut ditegaskan bahwa selain sesuai dengan mekanisme internal partai atau gabungan 9
partai, yang dimaksud dengan proses pencalonan yang “demokratis dan transparan” adalah terbukanya proses tersebut dari “akses publik”. Namun demikian dalam realitasnya, hampir semua proses pencalonan Pemilukada yang telah berlangsung selama ini mengabaikan urgensi akses publik. Pada umumnya masyarakat di daerah pemilihan tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya proses seleksi calon oleh partai atau gabungan partai politik. Sejumlah tokoh masyarakat di daerah penelitian bahkan sama sekali tidak tahu, mengapa suatu partai tertentu memilih untuk mencalonkan tokoh tertentu sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Sebagaimana kecenderungan yang terjadi dalam pemilu legislatif yang terdahulu, masyarakat pada umumnya merasa di fait acompli oleh partai atau gabungan partai dalam proses pencalonan pasangan kandidat dalam Pemilukada. Dampak lebih jauh dari kecenderungan pencalonan seperti ini adalah berlangsungnya proses seleksi calon yang elitis. Hak politik masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam proses pencalonan diabaikan karena segenap prosesnya cenderung berlangsung tertutup dan elitis. Hampir tidak ada akses bagi masyarakat untuk sekadar mengetahui, mengapa partai atau gabungan partai tertentu cenderung mencalonkan tokoh tertentu ketimbang yang lain. Pada awalnya, pengangkatan Rycko sebagai calon Bupati yang hendak dipasangkan dengan Eky, sempat mengalami konflik internal, karena beberapa konstituen yang mayoritas etnis Jawa mengajukan Eky sebagai Calon Bupati dan Rycko sebagai Calon Wakil Bupati. Namun setelah dilakukan pertimbangan dari beberapa aspek menyangkut politis, sosial dan akseptabilitas, ditetapkan pasangan calon nomor 1 sebagaimana akhirnya terpilih sekarang ini. Dalam hal ini, pertimbangan dasar yang diangkat untuk penetapan pasangan Rycko dan Eky adalah terletak pada akseptabilitas, yaitu dengan menempatkan putra daerah sebagai Bupati, dan kepentingan mayoritas konstituen (etnis Jawa) untuk calon Wakil Bupati, yang didukung pula bahwa etnis Jawa relatif mudah melakukan adaptasi dan legowo untuk menerima kondisi apa pun, terlebih secara geografis etnis Jawa sedang berada dalam posisi “tamu” di Kabupaten Lampung Selatan, sehingga dipandang kurang pantas untuk menempati kursi Lampung Selatan 1 (Bupati). Perhitungan dan kalkulasi yang pragmatis dan cenderung sederhana ini dirasakan berpotensi meningkatkan kecenderungan tingkat apriori masyarakat untuk menghadiri pemilukada, seperti dianalisis oleh Lingkaran Survei Indonesia, dari
172 pilkada yang diselenggarakan di kabupaten, kota, dan propinsi, tingkat partisipasi di bawah 70 persen ditemukan di 37,7 persen daerah pemilihan. Selain itu, realitas di atas tampaknya berhubungan dengan semua persyaratan yang bersifat formal seperti diatur dalam UndangUndang dan Peraturan Pemerintah, faktor terpenting bagi partai-partai dan gabungan partai dalam menentukan pasangan kandidat yang diusung dalam pilkada adalah kemampuan finansial para kandidat. Di daerah Lampung Selatan misalnya, proses Pemilukada cenderung diwarnai praktik persekongkolan politik dan bisnis di antara para elite partai dan birokrasi di satu pihak dan elite pengusaha atau bisnis di pihak lain. Dalam kaitan ini seorang kandidat yang gagal dalam Pemilukada di daerah yang relatif minus secara ekonomi misalnya, mengaku mengeluarkan biaya sekitar Rp 4 miliar untuk berbagai jenis pengeluaran, mulai dari “setoran” ke gabungan partai pengusung, biaya kampanye, dan biaya operasional lainnya. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa inisiatif pencalonan tampaknya sebagian besar datang dari para kandidat yang berminat, merasa mempunyai kapabilitas, dan juga memiliki dana ataupun dukungan finansial yang cukup ketimbang sebagai suatu inisiatif partai. Meskipun belum ada data yang akurat berkaitan dengan kecenderungan tersebut, namun gejala bahwa partai atau gabungan partai lebih memposisikan diri sebagai “perahu” bagi para kandidat daripada pengambil inisiatif, tampak dalam berbagai kasus Pemilukada di sebagian besar daerah. Kekecualian hanya berlaku bagi partai yang benar-benar memiliki kader yang telah “siap” bertarung. Kecenderungan yang disebut terakhir pada umumnya terjadi pada partai-partai yang kadernya sedang memegang pemerintahan di daerah, entah sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, atau kader partai di tingkat pusat yang hendak menjadi kepala daerah, diwarnai adanya beberapa tahapan. Pertama, kandidat memiliki dana dan dukungan finansial yang cukup namun belum cukup populer secara publik. Sang kandidat berusaha dicalonkan oleh partai besar di daerah atau gabungan partai yang memperoleh minimal 15 persen suara/kursi. Partai besar di daerah atau gabungan partai akan memilihnya menjadi calon jika tidak memiliki kader yang siap bertarung termasuk siap dari aspek pendanaan namun demikian sang kandidat jenis ini belum tentu bisa memenangkan pertarungan pilkada. Kedua, kandidat tidak memiliki dana dan dukungan finansial yang cukup, tetapi memiliki 10
kemampuan dan cukup populer secara publik. Kandidat jenis ini tentu berusaha diusung juga oleh partai besar di daerah, namun cenderung ditolak oleh partai-partai besar jika ada kandidat lain, meskipun belum populer, namun memiliki dana dan dukungan finansial yang lebih besar. Sang kandidat memiliki peluang jika dapat memilih pasangan wakil kepala daerah yang relatif tidak bermasalah kendati tidak memiliki basis politik. Ketiga, kandidat memiliki dana dan dukungan finansial yang cukup besar, belum populer, namun secara pribadi sang kandidat “merasa” telah populer secara publik. Kandidat jenis ini juga cenderung ditunggu oleh partaipartai untuk diusung sebagai calon dalam Pemilukada, kendati gabungan partai meragukan keberhasilannya. Kandidat jenis ini cenderung diusung oleh gabungan partai kecil di daerah. Keempat, kandidat tidak memiliki dana dan dukungan finansial yang memadai, tetapi memiliki kharisma sebagai keturunan tokoh berpengaruh di daerah (raja, sultan, ulama terkemuka, pahlawan daerah, dan sebagainya). Partai atau gabungan partai akan memilihnya untuk diusulkan sebagai calon jika sang kandidat sekaligus merupakan pimpinan atau pengurus teras partai di daerah. Kelima, kandidat adalah kepala daerah atau wakil kepala daerah yang hendak menjabat kembali sebagai kepala atau wakil kepala daerah untuk masa jabatan kedua. Jika sang kandidat sekaligus adalah pengurus atau pimpinan partai, maka dia cenderung akan dicalonkan oleh partainya karena telah memiliki dana “tabungan” sebagai kepala atau wakil kepala daerah. Apabila kinerja sebelumnya dianggap baik, maka kandidat jenis ini berpeluang didukung pula oleh partaipartai lain, namun jika kinerja dan popularitasnya dinilai buruk secara publik, kemungkinan hanya partai sendiri yang mau mengusungnya. Di satu pihak hal ini tampak positif karena kerjasama tersebut seolah-olah didasarkan pada kesamaan isu lokal yang hendak diusung, tetapi di sisi lain memperlihatkan bahwa partai-partai sesungguhnya tidak memiliki ideologi dan platform politik yang jelas. Selain itu, pola dan kerjasama antarpartai di tingkat nasional tidak sepenuhnya terjadi di tingkat lokal. Partai-partai besar bisa saling berkoalisi dengan partai besar, partai sedang, ataupun partai kecil. Begitu pula sebaliknya, partai kecil berkoalisi dengan sesama partai kecil ataupun dengan partai besar dan partai sedang. Hampir tidak ada suatu pola yang bersifat menetap antara daerah yang satu dengan lainnya, termasuk di antara suatu partai yang sama di kabupaten/kota yang berbeda tetapi di dalam
propinsi yang sama. Dari Pemilukada sebelumnya yang dianalisis, diperkirakan hanya 83 pilkada (38 persen) yang dimenangkan oleh pasangan kandidat yang diusung oleh satu partai secara sendiri. Dengan demikian, kemenangan RyckoEky dapat dikatakan sebagai adanya peranan koalisi antar partai pengusung, yang kebetulan memiliki basis massa yang meluas di Lampung Selatan, yaitu PDI-Perjuangan dan Partai Demokrat. Ditinjau dari aspek pencalonan dan koalisi partai, ada sejumlah problematik di balik regulasi Pemilukada Lampung Selatan ini. Pertama, terbatasnya akses masyarakat lampung Selatan untuk berpartisipasi dalam proses pencalonan, sehingga para kandidat cenderung di fait-accompli oleh partai-partai dan koalisi partai. Hak konstituen untuk turut mengajukan calon yang dianggap layak oleh masyarakat tertutup sama sekali, padahal kompetisi Pemilukada bukan kompetisi partai-partai seperti pemilu legislatif, melainkan kompetisi para kandidat secara perseorangan. Partai atau koalisi partai semestinya hanyalah salah satu wadah bagi para kandidat untuk turut bersaing dalam Pemilukada. Kedua, kemampuan kandidat dalam menyiapkan dana yang cukup besar menjadi faktor penting di balik pencalonan yang dilakukan oleh partai atau gabungan partai. Akibatnya, partai-partai cenderung mengabaikan kapabilitas dan kualitas pasangan calon yang diusung dalam kompetisi Pemilukada. Dampak lebih jauh dari kecenderungan ini adalah bahwa format Pemilukada Lampung Selatan yang telah berlangsung 3 (tiga) tahun terakhir cenderung menjadikan partai-partai sebagai “makelar” atau “broker politik” yang lebih menunggu datangnya kandidat berdompet tebal, ketimbang mempersiapkan calon yang benar-benar berkualitas bagi pembentukan kepemimpinan daerah. Tidak mengherankan jika kader-kader partai besar di daerah yang tidak memiliki dukungan dana yang cukup cenderung “mengalah” menjadi calon wakil 12 kepala daerah, karena calon kepala daerah disediakan bagi kandidat berkantong tebal kendati bukan kader dari partai atau partai-partai yang berkoalisi. Realitas semacam inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pengusaha yang akhirnya turut berlomba untuk menjadi kepala daerah. Ketiga, format pencalonan dalam regulasi tentang Pemilukada lampung Selatan mengabaikan aspek kesetaraan kesempatan bagi para pejabat yang bertarung. Seperti diuraikan sebelumnya, regulasi Pemilukada cenderung berpihak pada elite partai-partai, anggota parlemen (nasional dan lokal), dan para kandidat 11
incumbent, dan sebaliknya cenderung merugikan pejabat yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian. Peluang yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bagi anggota DPRD, DPR, dan DPD menjadi kandidat dalam Pemilukada tanpa kewajiban mundur bagi mereka, jelas berpotensi besar menumbuhsuburkan para politisi oportunistik yang tidak pernah belajar bertanggung jawab terhadap para pemilihnya. Keempat, format koalisi partai dalam Pemilukada Lampung Selatan cenderung mengabaikan penguatan aspek akuntabilitas kepala-kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pemilukada. Benar bahwa Pemilukada secara langsung dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih stabil selama lima tahun karena tidak “diganggu” oleh DPRD. Akan tetapi, format koalisi partai dalam Pemilukada versi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memberikan jalan keluar bagaimana jika kinerja kepala daerah mengecewakan dan DPRD tidak mau bekerjasama dengan kepala daerah. Hal ini dikarenakan koalisi partai dalam Pemilukada tidak disertai persyaratan kesepakatan yang bersifat transparan dan akuntabel di antara kandidat dan partai atau gabungan partai. Dengan demikian, apabila terjadi perpecahan atau konflik di dalam pasangan ataupun konflik antara pasangan dengan DPRD, tidak terdapat suatu mekanisme yang memadai bagi kepentingan masyarakat yang disediakan oleh partai politik dan regulasi yang ada. Selain sejumlah problematik di atas, format Pemilukada juga bermasalah sehubungan dengan format KPUD versi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berpeluang besar menjadi sasaran amarah massa karena cenderung didesain “tidak independen” seperti halnya KPU Kabupaten Lampung Selatan ketika melakukan Pemilukada Lampung Selatan 2010. Terbukti terdapat empat pasangan calon bupati-wakil bupati Lampung Selatan yang menolak hasil Pemilukada yang digelar 30 Juni 2010. Keempatnya, yakni Wendy Melfa-Antoni Imam, Fadhil Hakim Yohansyah-Andi Aziz, Taufik Hidayat-Agus Revolusi, dan Andi Warisno-A. Ben Bella, dan hanya pasangan Zainudin HasanIkang Fawzi yang tidak ikut menggugat. Keempat calon pasangan bupati dan wakil Bupati Lampung Selatan sepakat menilai bahwa telah terjadi kecurangan sistematis yang dilakukan KPU Lampung Selatan terkait penghitungan suara sah yang masuk bagi semua kandidat, di antaranya yang menguntungkan pasangan calon nomor 1. keempatnya akhirnya sepakat mengajukan legal standing ke Mahkamah Konstitusi, namun
akhirnya pengaduan legal standing mereka ditolak oleh Mahka,ah Konstitusi. Ikatan primordialisme etnis dan keagamaan, menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas calon legislatif. Jika seorang kandidat memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional tersebut menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Hal tersebut terlihat pada basis komunitas masyarakat di daerah pemilihan, daerah/wilayah atau kantong-kantong basis massa yang ditandai dengan adanya simbol-simbol partai yang memberikan gambaran dan sekaligus sebagai pertanda bahwa di wilayah tersebut merupakan kantong basis massa partai tertentu. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh DPC PDI-P Lampung Selatan pada Pemilukada 2010, di mana untuk wilayah dan lokasi yang notabene merupakan komunitas Jawa dan Bali, spandukspanduk dan baliho besar yang intinya mengajak orang Jawa dan Bali unttuk mendukung calon pasangan nomor 1 begitu mencolok dan dominan sekali. Hal seperti ini dengan mudah dapat ditemukan di desa Sidomulyo, Sidomukti, dan Balinuraga. Terlebih masyarakat di sini cenderung homogen sehingga mudah dipengaruhi dengan isu etnis serta tidak mengedepankan program serta visi dan misi yang jelas. Pelaksanaan Pemilukada yang telah dilangsungkan di Kabupaten Lampung Selatan 2010 yang lalu, menggambarkan perimbangan etnis yang ada, yaitu eksistensi antara tiga suku (etnis) yang dominan. Di wilayah tersebut, muncul calon yang berasal dari etnis berlainan. Dengan kondisi seperti itu akan dilihat apakah pemilih cenderung untuk memilih kandidat yang mempunyai etnis sama dengan dirinya.Terdapat beberapa daerah/wilayah yang merupakan kumpulan komunitas masyarakat yang terbentuk atas dasar sistem kekerabatan dan paguyuban berdasarkan keturunan (gemeinschaft by blood), dan yang menjadi pemuka masyarakat tersebut berasal dari keluarga/kerabat asli keturunan dari orang yang dipandang terkemuka dari segi sosial ekonomi atau terkemuka karena ketokohannya, sehingga warga masyarakat seringkali menyandarkan diri dan sikapnya terhadap pemuka/tokoh masyarakat tersebut. Sikap ini mencerminkan adanya dominasi ketokohan yang berperan untuk menentukan sikap dan perilaku serta orientasi warga bergantung pada pemuka masyarakat tersebut. Ikatan primordialisme keagamaan dan etnis, menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat 12
dalam menyikapi terhadap elektabilitas calon legislatife. Jika seorang kandidat memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional tersebut menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Ikatan emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistim kekerabatan semata, akan tetapi agama menjadi pengikat ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal, ras/suku, budaya, dan status sosial ekonomi, sosial budaya juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal komunitas masyarakat tertentu. Hal tersebut terlihat pada basis komunitas masyarakat di daerah pemilihan, daerah/wilayah atau kantong-kantong basis massa yang ditandai dengan adanya simbol-simbol partai yang memberikan gambaran dan sekaligus sebagai pertanda bahwa di wilayah tersebut merupakan kantong basis massa partai tertentu. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh DPC PDI-P Lampung Selatan pada Pemilukada 2010, di mana untuk wilayah dan lokasi yang notabene merupakan komunitas Jawa dan Bali, spandukspanduk dan baliho besar yang intinya mengajak orang Jawa dan Bali unttuk mendukung calon pasangan nomor 1 begitu mencolok dan dominan sekali. Hal seperti ini dengan mudah dapat ditemukan di desa Sidomulyo, Sidomukti, dan Balinuraga. Terlebih masyarakat di sini cenderung homogen sehingga mudah dipengaruhi dengan isu etnis serta tidak mengedepankan program serta visi dan misi yang jelas. Di pihak lain, komunitas masyarakat, yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional, pragmatis, tidak mudah untuk dipengaruhi, terkadang memiliki sikap ambivalen, berorientasi ke materi. Sikap dan pandangan untuk memilih atau tidak memilih dalam proses politik lebih besar, sehingga tingkat kesadaran dan partisipasi politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan individu yang bersangkutan, tidak mudah untuk dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme tertentu. Kondisi sosial masyarakat pada strata demikian diperlukan adanya kandidat/calon yang memiliki kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis (memiliki kemampuan untuk mudah beradaptasi dengan kelompok masyarakat dan mampu mempengaruhi sikap dan orientasi komunitas masyarakat tersebut), atau popularitas dan reputasi tinggi pada kelompok masyarakat tersebut. Jika hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang kandidat, maka sangat terbuka perolehan suara pemilih didapat dari komunitas masyarakat tersebut.
Kekuatan-kekuatan yang dipadu secara sinergis dan terlepas dari suara sumbang yang masuk terhadap pasangan calon nomor urut 1 tersebut dinilai merupakan sebuah kajian sistematis dan integratif dengan mengandalkan pendekatan sosio antrpologis yang memadai, sehingga dengan cara dan metode seperti itu, pasangan nomor urut 1 bisa memenangkan Pemilukada Lampung Selatan 2010. Kesimpulan Setahun sebelum dilangsungkan Pemilukada di Kabupaten Lampung Selatan, dinamika politik proses pencalonan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lampung Selatan diawali adanya kasak-kusuk di masyarakat tentang pasangan potensial antara “putra daerah” dengan “penduduk pendatang”. Pasangan dimaksud adalah Calon Bupati diisi putra daerah (etnis Lampung), dan wakil Bupatinya mewakili entitas suku pendatang, bisa dari etnis Jawa, Sunda maupun Bali. Namun dalam rangka memperoleh kemenangan, yang diperhatikan adalah menakar popularitas dan elektabilitas calon yang memiliki nilai jual dan image positif sehingga berpotensi besar untuk dipilih. Dari isu etnisitas pada Pemilukada di atas, muncul 7 pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lampung Selatan, yang seluruh pasangan mencoba mengakomodir heterogenitas etnis yang ada di Lampung Selatan, dan tidak terbatas pada perpaduan antara Lampung dengan Jawa saja, akan tetapi ada juga pasangan yang justru memasang Calon Bupatinya berasal dari etnis Jawa dan Wakil Bupatinya berasal dari etnis Lampung. Ketujuh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lampung Selatan di atas terlihat selalu menampilkan kandidat yang berasal dari etnis Lampung, yang sekaligus mencerminkan tingginya minat dan keinginan masyarakat Lampung Selatan untuk memimpin dan dipimpin oleh etnis dari kalangan mereka sendiri, sehingga muncullah isu “putra daerah”. Di sini terlihat pula bahwa isu etnis sebagai komoditas politik masih layak jual. Terbukti di lapangan pasangan nomor urut 1 (satu); H. Rycko Menoza, SE, SH,. MBA (etnis Lampung) dan H. Eky Setyanto (etnis Jawa) berhasil memenangkan Pemilukada Lampung Selatan 2010. Secara teoritis etnis dapat menjadi persoalan serius dalam pemilukada, namun dalam Pemilukada di Lampung Selatan 2010, isu etnisitas tidak sempat berakses negatif atau bahkan konflik, sehingga sampai pasca penghitungan suara pun bisa berlangsung dengan lancar serta tanpa gangguan yang berarti. Upaya 13
politisasi etnis dalam Pemilukada Lampung Selatan dapat disikapi secara jernih oleh masyarakat Potensi yang menjadi kekuatan pasangan Rycko-Eky adalah pada aspek pendekatan sosio antrpologis yang memadai, yang dipadu secara sinergis serta terlepas dari suara sumbang yang masuk terhadap pasangan ini. Pendekatan yang integratif dan egaliter yang dilakukan oleh pasangan ini mampu meraih hati masyarakat karena keduanya merupakan tokoh terkenal di masyarakat Lampung Selatan, serta dikenal memiliki sikap sosial yang positif yang sekaligus merepresentasikan kepentingan etnis Lampung dan Jawa, sebagai penduduk mayoritas Kabupaten Lampung Selatan. Pendekatan tersebut dinilai sangat sistematis dan integratif dengan mengandalkan pendekatan figur kedua personal yang kondusif, sehingga dengan cara dan metode seperti itu, pasangan nomor urut 1 bisa memenangkan Pemilukada Lampung Selatan 2010. Ikatan primordialisme etnis dan keagamaan, menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas calon legislatif. Pasangan Rycko-Eki sebagai kandidat memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional tersebut menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Hal tersebut terlihat pada basis komunitas masyarakat di daerah pemilihan, daerah/wilayah atau kantongkantong basis massa yang ditandai dengan adanya simbol-simbol partai yang memberikan gambaran dan sekaligus sebagai pertanda bahwa di wilayah tersebut merupakan kantong basis massa partai tertentu. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh DPC PDI-P Lampung Selatan pada Pemilukada 2010, di mana untuk wilayah dan lokasi yang notabene merupakan komunitas Jawa dan Bali, spanduk-spanduk dan baliho besar yang intinya mengajak orang Jawa dan Bali unttuk mendukung calon pasangan nomor 1 begitu mencolok dan dominan sekali. Hal seperti ini dengan mudah dapat ditemukan di desa Sidomulyo, Sidomukti, dan Balinuraga. Terlebih masyarakat di sini cenderung homogen sehingga mudah dipengaruhi dengan isu etnis serta tidak mengedepankan program serta visi dan misi yang jelas.
dan bijakasana, dengan tidak mengesampingkan potensi-potensi konflik horisontal, sebagaimana terjadi pada beberapa peristiwa kerusuhan massal yang melibatkan antara etnis; Lampung dengan Jawa; Lampung dengan Sunda; Lampung, Jawa dengan Bali; Jawa dengan Bali, dan lain sebagainya, sehingga peristiwa seperti di Balinuraga tidak terulang kembali. Dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum masyarakat Lampung Selatan, maka pihak instansi terkait dituntut untuk semakin intensif melakukan pembinaan kesadaran mengenai indahnya kebersamaan hidup di Sang Bumi Ruwai Jurai.
Saran
Fadillah Putra. (2003). Partai Politik dan Kebijakan Publik. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Buku Bacaan Adman Nursal. (2004). Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ahmad Taufiq. (2006). Pendidikan Agama Islam: Pendidikan Karakter Berbasis Agama. Yuma Pustaka. Surakarta. Arifin, Anwar. (2011). Komunikasi Politik. Graha Ilmu. Yogyakarta. Ariyuno Suyono (1985). Kamus Antropologi. Penerbit PT. Pressindo Jakarta Daniel N.Posner dkk. (2007). Mobilizing versus Chasing: How do Parties Tarhet Voters in Election Campaighns”? Electoral Studies. Politics and Public Policy Research Paper. Harvard University Donald Parulian. (2003). Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi. LP2IS Press. Semarang. Doni
Hendrik. (2003). Indonesia Komunikasi Politik. Gramedia. Jakarta.
dan PT.
EM. Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja. (2002). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher. Jakarta.
Isu promordialisme yang selama ini melekat pada setiap Pemilukada yang berlangsung di Lanpung dengan berdasarkan pada paham etnisitas idealnya harus dapat dikelola secara arif 14
Iskandar Syah. (2008). Marketing Politik antara Pemahaman dan Realitas Budaya, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Ivan
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
A. Hadar. (2004). Utang, Kemiskinandan Globalisasi: Pencarian Solusi Alternatif, Lapera, Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
Kantaprawira, Rusadi. (2003). Sistem Politik Indonesia. Penerbit Sinar Baru. Bandung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD..
Lexy
J.
Moleong, (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 100 Tahun 2003 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. (2000). Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 636 Tahun 2003 tentang Perubahan Terhadap Keputusan KPU No.100 Tahun 2003 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Miriam Budiardjo. (2002). Dasar-dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Payung Bangun.(1998). Dari Medan Ke Sipirok Area, Yayasan Merga Silima. Jakarta. Ramlan Surbakti. (2002). Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 701 Tahun 2003 tentang Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Schultz
Media Massa dan Internet
& Lavenda. (2001). Political Communication and Public Opinion in America, Goodyear Publishing, Co. New York.
http://www.kpu.go.id/wacana/. Kompas, 29 Mei 2000
Subana (Ed). (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sugiyono. (2009). Metodologi Penelitian Administrasi. Penerbit Alfabeta, Bandung. Widagdo, H.B. dkk. (2001). Manajemen Pemasaran Parpol Era Reformasi. PT. Golden Terayon Press. Jakarta. Wiyono, R. (2002). Organisasi Kekuatan Sosial Politik di Indonesia. Alumni. Bandung. 15