-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
ESTETIKA STRUKTURAL SASTRA DAKWAH DALAM ASSALAMUALAIKUM BEIJING, SURGA YANG TAK DIRINDUKAN, DAN JILBAB IN LOVE KARYA ASMA NADIA Lukman Fahmi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
[email protected]
Abstract Accusation can do in everywhere, every time, everyone, and media or literature. But there are many kinds of structural citizen and culture that improved of them, so accusation needs adaptation base on that place. The literature creation speci ic of novel as product culture, this time increase to be the mass culture because as base of the story that published by ilm, radio, and television. The way of accusation makes attention by citizen because these novels wrote with daily language that covered by religion learning but not though the reader. That reason becomes way for Islamic novelist to develop their creation by accusation. Keywords: Literature, Esthetic, accusation
Abstrak Berdakwah dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, terhadap siapa saja dan dengan cara berbagai media or sastra. Akan tetapi, dengan sangat bervariasinya susunan masyarakat dan budaya yang berkembang di dalamnya, jadi berdakwah perlu adanya penyesuaian tergantung kepada keadaan setempat. Karya sastra khususnya novel sebagai produk kebudayaan, dewasa ini berkembang menjadi kebudayaan massa karena sebagai dasar cerita yang disiarkan secara massal melalui ilm, radio, dan televisi”. Cara berdakwah ini cukup menyita perhatian masyarakat karena novel-novel yang diterbitkan ditulis dengan gaya bahasa kehidupan sehari-hari dengan dibalut ajaran-ajaran agama yang sifatnya tidak menggurui para pembacanya. Alasan inilah yang mungkin menjadi celah bagi para novelis Islami untuk terus berdakwah melalui karya-karya mereka yang estetik. Kata Kunci: Sastra, Estetika, Dakwah
Pendahuluan Indonesia adalah negara yang sangat besar dan luas yang dihuni oleh berbagai macam suku bangsa dan agama. Agama Islam adalah salah satu agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Islam bahkan menjadi agama dengan mayoritas penganut di seluruh Nusantara. Hal ini bukan lagi hal yang mengejutkan mengingat penyebaran agama Islam dilakukan secara luas sejak zaman nenek moyang. Maksud dari kata luas di sini adalah penyebaran agama Islam dilakukan dengan cara dan media yang bervariasi dan kepada semua lapisan masyarakat. Bentuk penyebaran agama Islam ini disebut dengan istilah dakwah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dakwah adalah “penyiaran agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama” (Moeliono, dkk, [Eds.], 1990:181). Berdakwah dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, terhadap siapa saja dan dengan cara berbagai cara dan media. Akan tetapi, dengan sangat bervariasinya susunan masyarakat dan budaya yang berkembang di dalamnya, dalam berdakwah perlu adanya penyesuaian tergantung kepada keadaan setempat. Sebagai salah satu contohnya adalah penyiaran agama Islam yang dilakukan para wali. “Diceritakan bahwa Sunan Kudus pernah mengikat seekor lembu di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembuyang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkerumun di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini sangat praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang 261
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
keramat dan menarik hati orang Hindu. Menyaksikan bahwa lembu tidak dihinakan oleh Sunan Kudus, terbitlah minat dan simpati masyarakat penganut Hindu” (Fatkhan, 2003:125). Dari cerita tersebut dapat dipahami bahwa para wali, dalam hal ini contohnya Sunan Kudus, menyesuaikan cara berdakwahnya dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat itu di tempat beliau berdakwah sehingga dengan cara ini proses penyebaran agama Islam terjadi dengan damai. Contoh lainnya seperti “Sunan Gunung Jati mengajarkan tata cara berdoa, membaca mantra dan pengobatan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah” (Anam, 2013) dan masih banyak lagi wali-wali lainnya. Dewasa ini, sebuah genre baru karya sastra yang bercorak dan mengandung unsurunsur islami sedang mengalami masa kebangkitannya. Munculnya genre baru ini bisa dibilang merupakan sebuah tonggak baru dalam perkembangan sastra yang dipelopori oleh terbitnya Ayat-Ayat Cinta karya Habibburrahman El Shirazy pada 2004 silam. Setelah terbitnya novel yang mengangkat tema poligami ini, gelombang sastra islam populer mulai bergerak memenuhi bilik-bilik masyarakat sehingga menimbulkan beberapa implikasi pada beberapa hal. Pertama, sekaligus sebagai penanda bangkitnya genre sastra baru ini, adalah oleh menjamurnya penulispenulis baru di bidang sastra islam dan karya-karya sastra yang mengandung ideologi islam. Nama-nama seperti Asma Nadia dengan karyanya Assalamualaikum, Beijing! dan Ahmad Fuadi dengan karyanya Negeri 5 Menara adalah segelintir dari banyak penulis-penulis yang tidak mampu dilepaskan dari genre sastra islami ini. Kedua, keikutsertaan sineas-sineas per ilman tanah air semakin meramaikan bangkitnya sastra islami dengan diadaptasikannya novelnovel islami tersebut dan kreasi-kreasi produksi baru ke dalam bentuk layar kaca maupun layar lebar. Kisah seorang mahasiswa yang terpaksa berpoligami dalam novel Ayat-Ayat Cinta, setelah sukses dalam penerbitannya, diadaptasikan kedalam bentuk layar lebar dengan judul sama empat tahun setelah novelnya. Ketiga, pesan-pesan islami yang disisipkan dalam cerita mampu terabsorbsi dengan baik ke dalam aspek-aspek kehidupan. Bisa dilihat bahwa akhirakhir ini, sedang berkembang sebuah tren hijab dan pakaian islami di masyarakat yang menjadi sebuah tolak ukur bahwa genre sastra islami mampu diterima dengan baik oleh khalayak luas. Meskipun hal tersebut tidak mampu memberikan kesimpulan bahwa konsep-konsep keislaman yang dikandung dalam genre tersebut mampu diserap secara total oleh pembaca, dalam hal ini aqidah, hal tersebut mampu menjadi sebuah indikator yang memadai tentang diterima atau tidaknya sebuah genre baru di dalam masyarakat. “Karya sastra, khususnya novel sebagai produk kebudayaan dewasa ini berkembang menjadi kebudayaan massa karena dijadikan dasar cerita yang disiarkan secara massal melalui ilm, radio, dan televisi” (Suaka, 2013:1). Cara berdakwah ini cukup menyita perhatian masyarakat karena novel-novel yang diterbitkan ditulis dengan gaya bahasa kehidupan seharihari dengan dibalut ajaran-ajaran agama yang sifatnya tidak menggurui para pembacanya. Alasan inilah yang mungkin menjadi celah bagi para novelis Islami untuk terus berdakwah melalui karya-karya mereka. Maka judul konkret makalah ini yaitu Estetika Struktural Sastra Dakwah Dalam Assalamualaikum Beijing, Surga Yang Tak Terindukan, Jilbab In Love karya Asma Nadia. Pembahasan 1. Elemen Estetika Struktural Sastra Dakwah apa saja yang terkandung dalam Novel Assalamualaikum Beijing, Surga Yang Tak Dirindukan, Jilbab In Love karya Asma Nadia Menilik dari semesta para penciptanya, dalam hal ini para penulis sastra islami, sudah dapat dipastikan bahwa apa yang mereka tulis dalam genre tersebut merepresentasikan semesta atau dunia mereka yang agamis. Di sini bisa diajukan sebuah konklusi bahwa semesta yang tercermin dalam karya-karya mereka paling tidak adalah semesta para penulis dan kehidupan di sekitar penulis. Namun di sisi lain, jika ditinjau dari dunia para pembaca sebagai 262
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
penikmat seni, hal tersebut belum tentu menunjukkan kesimpulan yang sama. Pembaca adalah mediator yang tanpanya sebuah karya sastra seolah-olah tidak memiliki arti. Tanpa peran serta penikmat seni, khususnya pembaca itu sendiri, maka keseluruhan aspek-aspek kultural seolah kehilangan maknanya (Ratna: 2007).Di satu pihak, menilik dari semesta para penciptanya, dalam hal ini para penulis sastra islami, sudah dapat dipastikan bahwa apa yang mereka tulis dalam genre tersebut merepresentasikan semesta atau dunia mereka yang agamis. Di sini bisa diajukan sebuah konklusi bahwa semesta yang tercermin dalam karya-karya mereka paling tidak adalah semesta para penulis dan kehidupan di sekitar penulis. Namun di sisi lain, jika ditinjau dari dunia para pembaca sebagai penikmat seni, hal tersebut belum tentu menunjukkan kesimpulan yang sama. Pembaca adalah mediator yang tanpanya sebuah karya sastra seolaholah tidak memiliki arti. Tanpa peran serta penikmat seni, khususnya pembaca itu sendiri, maka keseluruhan aspek-aspek kultural seolah kehilangan maknanya (Ratna: 2007). Tentu saja ketika kita bicara mengenai pemaknaan sebuah aspek kultural oleh para penikmatnya, sesuatu yang universal dan objektif sangat sulit dicapai. Sulit dicapai dalam artian pemaknaan sebuah aspek kultural yang sama akan menimbulkan hasil yang berbeda, tergantung pada individu sebagai subyek pemberi makna. Hal ini teranalogikan dalam Cultural Studies, yang mendapatkan tempat di dalam konsep pemberian makna dan penguraian makna. Pemberian makna oleh para seniman dilakukan dalam bentuk material atau karya yang diekspos ke masyarakat sebagai penikmat yang kemudian akan melakukan proses encoding atau penguraian makna-makna (Storey: 2006). Makna-makna inilah yang berbeda antara satu pengurai dengan pengurai makna lain. Namun analogi tersebut dirasa cukup jauh dari titik kajian sastra sebab proses pemberian dan penguraian makna dalam Cultural Studies tersebut lebih memposisikan diri pada pergeseran nilai suatu aspek kultural. Hal yang sama juga terjadi pada genre sastra islami. Genre tersebut, sebagai bagian dari budaya populer, juga melalui proses yang sama. Penulis sebagai seniman mengekspos karya mereka ke pembaca sebagai subyek pemberi makna kedua dan para pembaca inilah yang kemudian melakukan proses penolakan atau penerimaan dalam rangka pemberian tanggapan. Terkait dengan fakta bahwa sastra islami sedang menapaki perkembangan yang pesat dan signi ikan, tentu menimbulkan kesimpulan lain yaitu genre tersebut mampu diterima penikmat dengan baik. Tentu saja, Ratna (2007) menjelaskan, penerimaan atau penolakan yang mungkin terjadi tidak hanya terbatas pada ciri-ciri intrinsik, melainkan juga terkait dengan hal-hal eksternal seperti masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi. Telah dijelaskan, dalam kaitannya dengan hal-hal eksternal, masyarakat Indonesia mampu menerima dengan baik genre sastra islami karena didasari oleh landasan historis panjang yang agamis. Namun tentu saja bukan berarti hal-hal internal menjadi berkurang daya tariknya. Justru hal-hal internal yang ada dalam karya sastra islami, seperti jalinan cerita dan bahasa yang digunakan, memiliki tempatnya dalam ranah penelitian.Teks inilah yang akan menjadi fokus dalam makalah ini. Konsep yang diusung dalam genre sastra islami adalah religiusitas. Menurut Atmosuwito (2010), religiusitas dapat diartikan dengan makna yang lebih luas dari agama (religi atau religion) itu sendiri yang mana merupakan akar kata dari ‘religiusitas’. Jika diartikan secara literal, religiusitas berarti perasaan keagamaan. Namun de inisi ini dirasa terlalu singkat. Sehingga muncul de inisi yang lebih kompleks dari kata ‘religiusitas’ yaitu lebih cenderung ke arah personalitas atau hal yang pribadi. Oleh karena itu ia menjadi lebih dinamis karena menunjukkan eksistensinya sebagai manusia. Konsep religiusitas inilah yang disisipkan ke dalam karya-karya sastra islami melalui penggunaan bahasa di dalam jalinan cerita. Pada tahun 2009, Dan Brown, seorang penulis berkebangsaan Amerika menuliskan sesuatu tentang agama dalam novelnya yang berjudul The Lost Symbol melalui tokoh rekaannya, Robert Langdon. Brown, melalui Langdon, menyebutkan tiga syarat utama sebuah ideologi mampu dikatakan sebagai sebuah agama. 263
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
“Religions assure salvation; religions believe in a precise theology; and religions convert nonbelievers.” (The Lost Symbol, Hal. 21) Pada syarat terakhir, Brown menyebutkan adanya istilah convert atau ‘mengimankan’. Tentu saja ada unsur mempengaruhi dan dipengaruhi di dalamnya. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana proses mempengaruhi-dipengaruhi yang ada pada agama sehingga pihak-pihak tertentu mampu dipengaruhi oleh dogma yang ada. Di sinilah posisi bahasa sebagai mediator memainkan peranannya. Komunikasi yang terjadi dalam konteks mempengaruhi-dipengaruhi di dalam agama membawa unsur bahasa di dalamnya yang juga merupakan aspek yang paling penting dalam komunikasi (Faizah & Effendi: 2006). Dalam kaitannya dengan konsep religiusitas, ketika dihubungkan dengan fakta bahwa genre karya sastra islami mampu diterima dengan baik oleh para penikmat seni, tentu saja dapat dikatakan bahwa ada campur tangan bahasa yang digunakan oleh para penulis dalam menyisipkan konsep religiusitas ke dalam sebuah karya sastra yang kemudian dinikmati oleh para pembacanya sehingga mempengaruhi ruang-ruang kebudayaan pembaca. Hal ini selaras dengan konsep dakwah atau ajakan dalam islam Faizah dan Effendi (2006) menjelaskan bahwa dakwah bisa dikatakan efektif apabila masyarakat merasa terhibur oleh adanya dakwah tersebut dan apabila dakwah mampu memancing respon dari masyarakat berupa tindakan. Terkait dengan dakwah tersebut, bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya yang para penulis karya sastra islami lakukan adalah berdakwah melalui karya sastra sehingga karya-karya sastra islami bisa juga disebut sastra dakwah. 2. Estetika struktural sastra dakwah apa saja dalam kaitannya dengan elemen-elemen yang terkandung di balik teks novel Assalamualaikum Beijing, Surga Yang Tak Dirindukan dan Jilbab in Love karya Asma Nadia? Diterima atau tidaknya sebuah karya sastra berkaitan erat dengan konsep estetika sebuah karya dimana estetika hanya bisa didapat ketika sebuah karya sastra telah ada diserap oleh penikmat seni. Karya sastra memang tidak mampu dipisahkan dari estetika. Bahkan analisa sebuah karya sastra menggunakan teori-teori sastra, baik murni atau terapan dari berbagai disiplin ilmu lain, pada hakikatnya bertujuan untuk mencari aspek estetika yang terkandung di dalamnya (Ratna: 2007). Wellek dan Warren (1990) bahkan mengatakan bahwa di antara puisi, lirik dan drama, mahakarya dipilih melalui pertimbangan estetis. Buku-buku lain, meskipun dianggap berharga karena unsur ilmiah, perlu ditambahkan penilaian dari segi estetis atas gaya bahasa, komposisi dan kekuatan penyampaian. Pada dasarnya, sebuah karya seni atau karya sastra tidak mampu dinilai keindahannya berdasarkan makna keindahan itu sendiri. Estetika sastra hanya mampu dicapai dengan campur tangan pembaca sebagai penikmat seni. Mead (dalam Ratna: 2007) menjelaskan bahwa aspekaspek keindahan, khususnya dalam kaitannya dengan peranan subjek, adalah gejala psikologis. Reaksi-reaksi sebagaimana yang ditangkap yang lantas menjadi awal aspek-aspek estetis. Namun, berbeda dengan estetika resepsi yang memposisikan pembaca ke dalam posisi sentral dimana pembaca merupakan sumber estetika sebuah karya sastra, Teeuw menjelaskan bahwa petunjuk terbentuknya aspek-aspek estetika adalah karya sastra sebagai objek penelitian yang bersifat relatif otonom dengan pembaca sebagai variabel. Meskipun pembaca memegang peranan penting dalam menentukan kualitas estetika dari sebuah karya sastra, namun, menurut Teew, teks-teks yang ada bersifat otonom sehingga aspek estetis lebih menitikberatkan pada teks itu sendiri. Aspek estetis yang terkandung dalam teks, dalam hal ini sastra dakwah, inilah yang nantinya mengandung beberapa unsur yang juga ikut mendukung terbentuknya aspek estetis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, permainan bahasalah yang memainkan peranan penting, baik dalam dakwah konvensional ataupun dakwah melalui karya sastra. Diketahui pula 264
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
bahwa genre sastra dakwah telah diterima masyarakat secara luas dimana pembaca memiliki peranan dalam menentukan estetis atau tidaknya sebuah karya sastra. Di sini, estetika resepsi dan estetika strukturalis memainkan peran masing-masing untuk saling terkait dan mendukung sehingga bisa diajukan sebuah kesimpulan bahwa sastra dakwah yang ada memiliki aspekaspek estetis. Singkatnya, sastra dakwah memiliki keindahan. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘keindahan yang bagaimana yang ada di dalam sastra dakwah’ atau ‘unsur-unsur apa yang ada pada sastra dakwah sehingga teks tersebut mampu dikatakan memiliki aspek estetis’ adalah pertanyaan yang muncul seiring pembahasan tentang estetika sastra dakwah yang faktanya memang indah menurut pandangan penikmatnya. Pada dasarnya, manusia tidak bisa hidup tanpa keindahan sehingga mereka cenderung mencari sesuatu yang memiliki aspek estetis. Contoh nyata adalah sastra dakwah yang mampu diterima penikmat seni karena keindahannya. Oleh karena itu, penting untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang muncul terkait keindahan dalam rangka menentukan kriteria keindahan itu sendiri. Aspek estetis bersifat dinamis. Artinya, kriteria keindahan akan bergerak bebas dan berubah-ubah sesuai jaman dimana estetika itu berada. Ratna (2007) menjelaskan bahwa ada lima ciri-ciri dalam rangka mewujudkan estetika yaitu kesatuan atau totalitas, keserasian, kesimetrisan, keseimbangan, dan pertentangan atau kontradiksi. Estetika di jaman modern ditandai oleh empat ciri pertama, sedangkan postmodern identik dengan ciri terakhir yaitu pertentangan atau kontradiksi yang oleh Lotman, seorang strukturalis Rusia, dikembangkan menjadi Estetika Oposisi (Luxemburg dkk: 1984). Bertolak dari pernyataan tersebut, pada jaman postmodern ini, diketahui bahwa ciri estetika karya sastra yang paling mendominasi adalah ciri pertentangan atau kontradiksi sebagaimana yang terkandung dalam Estetika Oposisi dimana karya-karya yang ada mendobrak seluruh kaidah dan konvensi sastra yang telah ada di jaman sebelumnya. Sastra dakwah, yang berkembang di era postmodern, menjadi salah satu yang berada di di bawah naungan estetika pertentangan ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih spesi ik terutama jika dikaitkan dengan genre sastra dakwah sebagai poin utama dalam penelitian ini yaitu pertanyaan tentang pertentangan-pertentangan yang seperti apa yang ada di dalam genre tersebut yang akhirnya mampu mewujudkan aspek estetika. Di sinilah fokus utama dalam penelitian ini. Kajian ini dimaksudkan untuk mencari tahu estetika yang seperti apa yang bernaung di balik teks-teks sastra dakwah, unsur-unsur apa yang membentuknya dan bagaimana kaitan unsur-unsur tersebut satu sama lain dalam suatu totalitas estetis. Berbicara tentang sastra dakwah, beberapa nama besar secara otomatis akan muncul mengingat dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, karya-karya tersebut yang akrab di dunia penikmat seni, khususnya seni sastra. Satu nama yang sudah sangat familier di dunia sastra islami yang juga menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Asma Nadia, penyandang penghargaan Tokoh Perbukuan Islam 2011 yang termasuk dalam The 500 Most In luential Muslim di dunia pada tahun 2012 sekaligus peserta terbaik Majelis Sastra Asia Tenggara tahun 2005 (Nadia: 2014). Karya penulis islami sekaligus traveller tersebut telah banyak meramaikan dunia sastra Indonesia. Beberapa karyanya bahkan telah diadaptasikan ke dalam layar lebar dan layar kaca, seperti Assalamualaikum Beijing, Jilbab in Love dan Surga Yang Tak Dirindukan dan ketiga karya tersebut sekaligus juga menjadi sumber data dalam penelitian ini. Jika dilihat, satu ciri khas dari karya-karya Asma Nadia yaitu berputar pada kehidupan tokoh utama perempuan di dalam cerita-cerita tersebut. Tidak terkecuali ketiga novel yang akan dikaji dalam penelitian ini yang ketiga-tiganya berkisah tentang tokoh utama perempuan; seorang istri yang dimadu dalam Surga Yang Tak Dirindukan, remaja putri berjilbab dalam Jilbab in Love, dan perempuan muda yang mencari cinta dalam Assalamualaikum Beijing.
265
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Masing-masing kisah memiliki keunikannya masing-masing. Fakta bahwa ketiganya meraih hits adalah indikasi bahwa ketiganya mampu diterima dengan baik di masyarakat dan menjadi tolak ukur kesuksesan sastra dakwah yang sedang berkembang. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa ketiga novel tersebut dipilih dalam penelitian ini sebagai representasi yang mewakili sastra dakwah pada umumnya. Meskipun pada dasarnya ketiga novel tersebut berbeda dengan sastra dakwah yang lain, namun kesuksesannya mampu membuat ketiga novel tersebut menjadi kriteria dasar sastra dakwah yang diterima secara luas. Penutup Aspek estetis bersifat dinamis. Artinya, kriteria keindahan akan bergerak bebas dan berubahubah sesuai jaman dimana estetika itu berada. Ratna (2007) menjelaskan bahwa ada lima ciriciri dalam rangka mewujudkan estetika yaitu kesatuan atau totalitas, keserasian, kesimetrisan, keseimbangan, dan pertentangan atau kontradiksi. Estetika di jaman modern ditandai oleh empat ciri pertama, sedangkan postmodern identik dengan ciri terakhir yaitu pertentangan atau kontradiksi yang oleh Lotman, seorang strukturalis Rusia, dikembangkan menjadi Estetika Oposisi (Luxemburg dkk: 1984). Bertolak dari pernyataan tersebut, pada jaman postmodern ini, diketahui bahwa ciri estetika karya sastra yang paling mendominasi adalah ciri pertentangan atau kontradiksi sebagaimana yang terkandung dalam Estetika Oposisi dimana karya-karya yang ada mendobrak seluruh kaidah dan konvensi sastra yang telah ada di jaman sebelumnya. Sastra dakwah, yang berkembang di era postmodern, menjadi salah satu yang berada di di bawah naungan estetika pertentangan ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih spesi ik terutama jika dikaitkan dengan genre sastra dakwah sebagai poin utama dalam penelitian ini yaitu pertanyaan tentang pertentangan-pertentangan yang seperti apa yang ada di dalam genre tersebut yang akhirnya mampu mewujudkan aspek estetika. Di sinilah fokus utama dalam makalah ini. Kajian ini dimaksudkan untuk mencari tahu estetika yang seperti apa yang bernaung di balik teks-teks sastra dakwah, unsur-unsur apa yang membentuknya dan bagaimana kaitan unsur-unsur tersebut satu sama lain dalam suatu totalitas estetis. Daftar Pustaka Brown, Dan. 2010. The Lost Symbol. Bandung: Mizan Pustaka Utama. Faizah.Effendi, Lalu Muchsin. 2006. Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenada media. Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang: Marjin Kiri. Kamil, Sukron. 2012. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. Jakarta: RajaGra indo Persada. Luxemburg, Jan van.Bal, Mieke. Weststeijn, Willem. G. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Nadia, Asma. 2014. Assalamualaikum Beijing. Depok: AsmaNadia Publishing House. Nadia, Asma. 2014. Surga yang Tak Dirindukan. Depok: AsmaNadia Publishing House. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Storey, John. 2006. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra. Wellek, Rene. Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 266