EPISTEMOLOGI STUDI HADIS ORIENTALIS (STUDI KOMPARATIF ANTARA JOSEPH SCHACHT DAN HARALD MOTZKI)
Oleh: LUTFI RAHMATULLAH NIM. 1320512067
TESIS Diajukan Kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi al-Qur’an dan Hadis
YOGYAKARTA 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt, cahaya bagi seluruh alam semesta dan setiap yang ada di dalamnya. Segala puji bagi-Nya, Z\at yang paling haq untuk disembah. Shalawat dan salam dihaturkan kepada yang terkasih, Rasulullah saw.
Alhamdulillah, setelah menempuh penelitian, akhirnya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Selesainya tesis ini tidak luput dari bantuan berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu dalam hal ini saya ucapkan terimakasih yang mendalam kepada: 1. Prof. Akh. Minhaji, M.A, Ph.D, selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga periode 2015-2020, Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana periode 2015-2020. 2. Dr. Moch. Nur Ichwan, M.A. dan Dr. Muti’ullah, M.Hum., selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Agama dan Filsafat. 3. Dr. Abdul Haris, M.Ag, selaku pembimbing tesis, penyumbang ide, pemberi inspirasi dan motivasi yang telah membimbing dan mengarahkan kami dengan penuh ketelatenan, kesabaran, dan pengertian. Dari beliau, penulis mendapatkan banyak tambahan ilmu khususnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan bapak. 4. Bapak Al Makin, M.A, Ph.D., selaku penguji tesis, yang telah memberikan pengarahan agar penelitian ini semakin komprehensif.
vii
5. Seluruh dosen Pascasarjana, khususnya dosen Studi Al-Qur'an dan Hadis, yang telah mengajar dan membimbing kami dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan dedikasi. Semoga ilmu yang telah diberikan bermanfaat dan menjadi pencerah dalam kehidupan. 6. Seluruh pengelola UPT dan Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang dengan ringan hati melayani kami. 7. Rekan-rekan sekelas SQH Reguler dan Non-Reguler di Pascasarjana yang senantiasa memberikan spirit dan motivasi untuk terus berdialektika. 8. Dan untuk segenap pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, sudi kiranya memberikan saran dan kritik konstruktif dalam rangka perbaikan tesis ini.
Yogyakarta, 18 Juni 2015
Lutfi Rahmatullah, S.Th.I
viii
MOTTO
*
....
“…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”
*
Al-Isra’ ayat 85. Al-Qur’an al-Karim wa Tarjamah Ma’anihi ila al-Lugah alIndunisiyah (Kudus: tp., 1997), hlm. 291. ix
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Tesis ini kupersembahkan khusus kepada Abah dan umi tercinta yang dengan kasih sayangnya telah mendidik dan menuntunku dalam menjalani kehidupan serta kakak-kakakku yang telah memberikan perhatian dan kasih sayang hingga dapat menyelesaikan penelitian ini”
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan
Transliterasi
Arab-Latin
dalam
penelitian
tesis
ini
menggunakan pedoaman transliterasi dari Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543b/U987, tanggal 22 Januari 1988 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: A. Konsonan Tunggal Huruf
Nama
Huruf Latin
Nama
Alif
Tidak
Tidak dilambangkan
Arab
dilambangkan Ba
b
Be
Ta
t
Te
Śa
s|
Es (dengan titik di atas)
Jim
j
Je
Ha
h}
Ha (dengan titik di bawah)
Kha
kh
Ka dan ha
Dal
d
De
Zal
z\
Zet (dengan titik di atas)
xi
Ra
r
Er
Zai
z
Zet
Sin
s
Es
Syin
sy
Es dan ye
Sad
s}
Es (dengan titik di bawah)
Dad
d}
De (dengan titik di bawah)
Ta
t}
Te (dengan titik di bawah)
Za
z}
Zet (dengan titik di bawah)
‘ain
‘
Koma terbalik di atas
Gain
g
Ge
Fa
f
Ef
Qaf
q
Qi
Kaf
k
Ka
Lam
l
El
Mim
m
Em
Nun
n
En
Waw
w
We
xii
Ha
h
Ha
Hamzah
‘
Apostrof
Ya
y
Ye
B. Vokal Vokal Bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap diftong. 1. Vokal Tunggal Vokal tunggal Bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat yang transliterasinya dapat diuraikan sebagai berikut: Tanda
Nama
Huruf latin
Nama
Fathah
a
a
Kasrah
i
i
D}ammah
u
u
xiii
Contoh - kataba
- yaktubu
- su'ila
- z|ukira
2. Vokal Rangkap Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya sebagai berikut: Tanda dan huruf
nama
Gabungan huruf
nama
Fathah dan ya
ai
a dan i
Fathah dan waw
au
a dan u
Contoh - kaifa
- haula
C. Vokal Panjang vokal panjang atau maddah yang lambangnya berupa harkat huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Harkat dan huruf
Nama
Huruf dan tanda
Nama
Fathah dan alif atau
a>
a dan garis di atas
ya ـِـي
Kasrah dan ya
i>
i dan garis di atas
ــُـو
D}ammah dan waw
ū
u dan garis di atas
xiv
Contoh – qa>la
– yaqu>lu
– qi>la
D. Ta’ Marbuthah Transliterasi untuk ta’ marbutah ada dua: 1. Ta’ marbutah hidup Ta’ marbutah hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah dan d}ammah. trnsliterasinya adalah (t). 2. Ta’ Marbutah mati Ta’ marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah (h) Contoh
- t}alhah
3. Kalau pada kata yang terahir dengan ta’ marbutah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang ‚al‛ serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta‛ marbutah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh
- raud}ah al-jannah
E. Syaddah/Tasdid Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid, dalam transliterasinya ini tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Contoh
– rabbana.
xv
F. Kata sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu " "الdalam transliterasi ini kata sandang tersebut dibedakan atas dasar kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah. Contoh ‚ ‛الsyamsiah
- ar-raju>lu
Contoh ‚ ‛الqamariyah
- al-badi>’u
G. Hamzah Dinyatakan di depan hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif.
H. Huruf Kapital Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasi huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama diri, dan sebagainya seperti ketentuan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama diri tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali jika terletak pada permulaan kalimat. Contoh ----- Wa ma Muhammadun illa rasul
xvi
I. Penulisan kata Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il (kata kerja), isim (kata benda) maupun huruf di tulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaian dengan kata lain karena huruf atau harkat yang dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya. Pengecualian: Sistem transliterasi ini tidak penulis berlakukan pada: 1. Kosa kata Arab yang sudah lazim dalam bahasa Indonesia dan terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, seperti al-Qur'an dan lain sebagainya. 2. Judul buku atau nama pengarang yang menggunakan kata Arab tetapi sudah dilatinkan oleh penerbit. 3. Nama pengarang yang menggunakan nama Arab tetapi berasal dari Indonesia. 4. Nama penerbit di Indonesia yang menggunakan kata Arab.
xvii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .............................................................
iii
PENGESAHAN DIREKTUR ..........................................................................
iv
PERSETUJUAN TIM PENGUJI UJIAN TESIS ............................................
v
NOTA DINAS PEMBIMBING.......................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
MOTTO ...........................................................................................................
ix
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN ........................................
xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xviii ABSTRAK .......................................................................................................
BAB I
xii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Rumusan Masalah ...................................................................
14
C. Tujuan dan Kegunaan penelitian ............................................
14
D. Telaah Pustaka ........................................................................
15
E. Kerangka Teori ........................................................................
22
F. Metodologi Penelitian ............................................................
26
G. Sistematika Pembahasan ........................................................
30
xviii
BAB II SKETSA GENERAL EPISTEMOLOGI STUDI KALANGAN MUSLIM DAN ORIENTALIS
H}ADI>S|
DI
A. Epistemologi Sebagai Kerangka Dasar Kerja Ilmiah : Pengertian dan Ruang Lingkup ...............................................................
34
1. Pengertian dan Ruang Lingkup ...........................................
37
2. H}adi>s| dalam Potret Epistemologi .......................................
51
B. Kerangka Epistemik Studi H}adi>s| di kalangan Muslim Scholars 60 1. Fundamental and Logical Structure Konsep Sunnah .........
67
a) Otoritas "Muhammad” Sebagai Nabi .............................
70
b) Imitatio Muhammad Sebagai Basis Nalar dari Struktur Logis Konsep Sunnah ...............................................................
76
2. Elemen-Elemen Dasar dalam H}adi>s|...................................
84
a) Distingsi Sunnah dan H}adi>s............................................
84
b) Konsep H}adi>s| ..................................................................
89
c) Unsur-Unsur yang Terkandung dalam H}adi>s| .................
94
• Ra>wi> ...........................................................................
94
• Sanad ..........................................................................
95
• Matan .........................................................................
97
• Kitab Kitab Hadis ......................................................
99
3. Metodologi Otentisitas H}adi>s| ........................................... 102
4. Pelembagaan dan Perkembangan Studi H}adi>s| ................... 109 C. Spektrum Studi H}adi>s| dikalangan Orientalis ......................... 116 1. Orientalis Sebagai Institusi Kajian Ketimuran .................. 116
2. Wacana Islamic Studies di Dunia Barat ........................... 124 3. Studi H}adi>s| di Kalangan Orientalis .................................. 133
xix
BAB III
KERANGKA STUDI HADIS JOSEPH SCHACHT DAN HARALD MOTZKI A. Konteks Pemikiran Joseph Schacht dan Harald Motzki dalam
Islamic Studies di Dunai Barat ............................................ 145 B. Josep Schacht 1.
Biografi Josep Schacht ................................................. 153
2. Review General Wacana yang Dikembangkan Joseph Schacht dalam Islamic Law .......................................... 156
3. Fundamental Idea Joseph Schacht Mengenai H}adi>s| ..... 164 a) Konsep dan Eksistensi H}adi>s|/Sunnah .....................
166
b) Projecting Back........................................................ 174 c) Argumentum E Silentio ........................................... 182 d) Common Link .......................................................... 193 C. Harald Motzki 1. Profil Singkat .................................................................. 204 2. Fundamental Idea Harald Motzki dalam Studi H}adi>s| ...... 206 a) Latar Belakang Pemikiran ......................................... 207 b) Logika Pembuktian Otentisitas Hadis ....................... 216 1) Mus}annaf 'Abdul ar-Razza>q…………………..... . 216 2) Analisis Prosentase Periwayatan .......................... 224 3) External dan Internal Criteria of Authenticity ..... 230 3. Analisis Isnad Cum Matan .............................................. 242
xx
BAB IV
TELAAH ATAS EPISTEMOLOGI STUDI HADIS JOSEPH SCHACHT DAN HARALD MOTZKI A. Struktur Epistemologi Studi H}adi>s| Joseph Schacht 1. Sumber Kajian ................................................................... 251 2. Metode dan Pendekatan .................................................... 256 3. Akar Pemikiran, Pra Anggap dan Asumsi Dasar .............. 259 B. Struktur Epistemologi Studi H}adi>s Harald Motzki 1. Sumber Kajian ................................................................... 263 2. Metode dan Pendekatan .................................................... 268 3. Akar Pemikiran Studi H}adi>s| Harald Motzki .................... 274 C. Analisis Komparatif : Letak Persamaan dan Perbedaan ......... 278 D. Implikasi Pemikiran Schacht dan Motzki Terhadap Perkembangan Studi Hadis ................................................... 289 E. Posisi Pemikiran Joseph Schacht dan Harald Motzki dalam Peta Studi Hadis di Barat .............................................................. 292
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 299 B. Saran-Saran ........................................................................... 302
xxi
ABSTRAK Masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah : pertama, apa dan bagaimana fundamental idea (pokok-pokok pemikiran) dari Joseph Schacht dan Harald Motzki yang berkaitan dengan studi hadis ? kedua, Bagaimana kerangka epistemologi (sumber, metode, pendekatan dan basis nalar) Josep Schacht dan Harald Motzki dalam studi hadis ? ketiga, Apa perbedaan dan persamaan epistemologi dari kedua tokoh H}adi>s| ? keempat, Apa implikasi dari pemikiran Josep Schacht dan Harald Motzki terhadap perkembangan studi H}adi>s| ? Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode analisis-komparatif (analytical-comparative method), yaitu mencoba mendeskripsikan konstruksi epistemologi studi H}adi>s| dari kedua tokoh tersebut, lalu dianalisis secara kritis, serta mencari sisi persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkah bahwa : Fundamental ideas (pokok-pokok pemikiran) Joseph Schacht dan Harald Motzki yang berkaitan dengan studi H}adi>s| tercermin dalam teori-teori yang dikembangkannya. Adapun pokok-pokok pemikiran Joseph Schacht yang berkaitan dengan Sunnah/H}adi>s| yaitu, pertama, Konsep dan eksistensi Sunnah sebagai ‚living tradition‛. Kedua, Projecting Back, sebagai teori yang menggambarkan proses terbentuknya sanad dan kecendrungan kaum Muslim terhadap otoritas referensial masa lalu. Ketiga, Argumentum e silentio, suatu teori untuk mendeteksi keberadaan h}adi>s| pada suatu masa, dengan cara pembuktian bahwa sebuah h}adi>s| tidak ada pada satu masa adalah dengan merujuk bahwa hadis tersebut tidak digunakan sebagai dalil dalam suatu diskusi hukum, yang merupakan sebuah keharusan kalau memang h}adi>s| itu ada. Keempat, Common Link, yakni pendeteksi validitas h}adi>s| atau asal usul sumber h}adi>s|. Keempat tesis ini sesungguhnya saling berkaitan satu sama lain, dan sekaligus menggambarkan fundamental idea pemikiran Schacht dalam merekonstruksi asal usul H}adi>s|. Adapun Fundamental ideas (pokok-pokok pemikiran) Harald Motzki yang berkaitan dengan Sunnah/H}adi>s| yaitu, terbingkai dalam logika pembuktian otentisitas h}adi>s| yang meliputi keotentikan Mus}annaf ‘Abdul ar-Razza>q, analisis prosentase periwayatan, External Criteria of Authenticity dan Internal Formal Criteria of Authenticity, dan analysis isna>d cum matan, yaitu menganalisis teks sanad maupun matan h}adi>s yang terdapat dalam Mus}annaf 'Abdul ar-Razza>q. Adapun Implikasi pemikiran Josep Schacht terhadap perkembangan studi H}adi>s|. Terlihat bahwa kajian yang dilakukan Schacht memiliki pengaruh besar terhadap para sarjanawan lainnya. Pengembangan studi h}adi>s| khusunya di dunia Barat masih mengacu pada teori yang dikembangkannya. Bahkan banyak teoriteori baru tentang h}adi>s| yang muncul sebagai respon dari teori-teori yang digulirkan Joseph Schacht, dalam hal ini termasuk Harald Motzki sendiri. Adapun Implikasi dari pemikiran Motzki terhadap perkembangan studi h}adi>s| dapat dilihat, pertama, melalui penelitiannya tersebut Motzki mampu merubah imej atau asumsi dasar yang selama ini diyakini oleh para orientalis. xxv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pergulatan pemikiran kontemporer mengenai H}adi>s|, baik yang dilakukan oleh para pemikir Muslim maupun para orientalis mengalami dinamika perkembangan yang cukup signifikan. Selama berabad-abad, para sarjana Muslim (insider) telah mengabdikan diri mereka dalam studi hadis dengan berbagai motif. Para ahli hukum (legal theorists) misalnya, menempatkan teks-teks hadis sebagai suatu sumber hukum. Sebagian menjadikan teks-teks hadis sebagai inspirasi moral dan keagamaan, sebagian lainnya lagi memandang hadis sebagai sumber penting bagi sejarah Islam awal.1 Dengan berbagai motif lain, para orientalis (outsider) juga mengembangkan studi hadis, mulai dari kepentingan akademisi/keilmuan (research), sejarah, imperialisme, sampai tendensi yang bermotif sensitivitas agama. Posisinya yang vital menjadikan studi H}adi>s| menjadi krusial, bahkan tidak jarang menimbulkan kontroversial, terlebih yang berkaitan dengan problem “otentisitas”.2 Kondisi ini dapat difahami dari sentralitas H}adi>s|
1
Harald Motzki, “Dating Muslim Traditions: A Survey”, Arabica Journal of Arabic and
Islamic Studies 42, April 2005, hlm. 204. 2
“Otentisitas” dimaknai dengan, dapat dipercaya, benar, asli, murni. Kata ini sepadan dengan kata autentik. Llihat: Pius A Partanto dan M Dahlan AL Barry, Kamus Ilmiayah Popular (Surabaya: Arkaloka, 1994), hlm. 552. Adapun pemaknaan “otentisitas hadis” dalam penelitian ini, penyusun mengartikan dengan mencakup dua poin penting, yaitu: “sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi” dan “sesuatu yang dijadikan rujukan hukum karena berasal dari Nabi”
1
2
sebagai tempat penyimpanan (repository) Sunnah Nabi3 yang merupakan sumber kedua (second source) ajaran Islam setelah al-Qur’an, meskipun secara teologis-normatif tidak mendapatkan garansi akan keterpeliharaannya secara transendental. Di sisi lain keberadaan hadis Nabi memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka revitalisasi syariat Islam.4 Sejak pertengahan abad ke-19, para pemikir muslim menghadapi banyak tantangan berulang terhadap gagasan Islam klasik tentang “otoritas keagamaan”. Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam. Salah satu isu utama pada abad ini yaitu mengenai problematika “otentisitas H}adi>s|”.5 Kedudukan otoritas Rasulullah saw. menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan Muslim. Desakan untuk dilakukannya reformasi pada gilirannya menghasilkan tekanan untuk mengkaji kembali fondasi esensial kewenangan agama di dalam Islam. Keprihatinan mengenai hadis Nabi saw. menjadi titik pusat dalam proses pengkajian kembali.6 Akhir abad ke-19 juga merupakan periode ketika orang muslim menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana orientalis7 yang bersikap kritis dalam studi hadis. 3
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Literature: With a Critical Edition of Some Early Texts (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1968), hlm. xvii. 4
Lihat Abdul Mustaqim “Teori Sistem Isna>d Otentisitas Hadis menurut Perspektif M.M Azami” dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer, Hamim Ilyas dan Suryadi (ed.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 68. 5
G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 218. 6
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 37. 7
Kata “Orientalis” dalam tulisan ini sepenuhnya mengacu pada definisi yang diberikan oleh Robert D. Lee dalam bukunya Overcoming Tradition and Modernity, yakni semua sarjana
3
Gugatan orientalis terhadap H}adi>s| bermula pada pertengahan abad ke-19 tatkala hampir semua dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger yang menjadi sarjana Barat pertama yang mengekspresikan skeptisisme tentang rehabilitasi
H}adi>s| sebagai sumber sejarah.8 Kemudian diikuti oleh William Muir, yang juga bersikap kritis terhadap keaslian H}adi>s|, di mana ia mempertanyakan apakah literatur H}adi>s| benar-benar mencerminkan perbuatan Rasulullah saw. apakah proses penyampaiannya dapat dipercaya, dan apakah metode klasik untuk menyeleksi H}adi>s| antara yang otentik dan tidak itu absah.9 Kemudian muncul Ignaz Goldziher sebagai kritikus hadis paling penting abad
ke-19.
Melalui
karyanya
Muhammedanische
Studien
yang
dipublikasikan pada tahun 1896, Goldziher berpendapat bahwa hadis Nabi sesungguhnya merupakan hasil evolusi sosial-historis Islam selama abad kedua Hijriah. Dibandingkan dengan pendahulunya, pendapat Goldziher ini non muslim, baik Barat maupun Timur yang mempelajari dan mengadakan riset tentang ke-timur tengahan secara khusus, dan atau ke-Islaman secara umum. Lihat Robert D. Lee, Overcoming Tradition and Modern : The Search for Islamic Authenticity (Boulder dan Oxford: Westview Pres, 1997), hlm.12. Wasim Ahmad mendefinisikan orientalisme sebagai “sebuah upaya atau usaha Barat untuk memahami Timur”, khususnya kaum muslim dan agama Islam”. Wasim Ahmad, “Orientalism: Its Changing Face and Nature”, Hamdard Islamic, XXIV, OktoberDesember 2001, hlm. 73. 8
Alois Sprenger, “On The Origin of Writing Down Historical Records among the Musulmans”, Journal of the Asiatic Society of Bengal 25 (1859), hlm. 303-329, 375-381. Lihat juga Ignaz Goldziher, Muhammedanische Studien, terj. S.M. Stern sebagai Muslim Studies, (t.p: London, 1967), jilid II, hlm. 20 dan 5. Sprenger mengklaim bahwa hadis merupakan anekdot belaka (cerita-cerita bohong tapi menarik) sebagaimana yang dikutip Syamsuddin ‘Arif, “Gugatan Orientalis Terhadap Hadis”, dalam Jurnal al-Insan, Vol. 2, Jakarta: LKP al-Insan, 2005, hlm. 10. 9
Salah satu statement Muir menyatakan bahwa nama Nabi sengaja dicatut untuk menutupi berbagai macam kebohongan dan keganjilan “the name of Muhammad was abused to support all possible lies and ubsurdites”. Oleh karena itu, dari 4000 hadis yang dianggap s}ahi>h oleh imam Bukhari, paling tidak separuhnya harus ditolak. Lihat William Muir, The Life of Muhammad and The History of Islam to The Era of Hegeria jilid 4 (London: Osnaburk, 1988), XIII.
4
tampak jauh lebih transparan, dan sikapnya lebih skeptis ketimbang Sprenger dan Muir terhadap prospek identifikasi secara positif hadis-hadis Nabi yang autentik.10
Dengan tegas, sebagaimana dikutip
Juynboll, Goldziher
mempertanyakan otentisitas hadis dengan menyatakan : “scarcely a single tradition could be proven to be the genuine words of prophet or reliable description of his behavior”.11 Pengetahuan Eropa (orientalis) tentang hadis mencapai puncaknya pada karya Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950.12 Dalam studinya mengenai hadis hukum, sebagaimana Goldziher, Schacht menyimpulkan bahwa hanya sedikit hadis yang asli berasal dari Nabi saw. Karena itulah, ‘H}adi>s|’ yang disandarkan pada abad pertama hijriah/ketujuh masehi (Nabi dan S}ah}ab> at) secara umum harus dianggap fiktif, sementara yang disandarkan kepada Ta>bi‘i>n (abad kedua) sebagian besar tidak otentik. Ia percaya bahwa lewat studi yang cermat dapat diperkirakan kapan sebuah hadis disebarkan. Dari “studi H}adi>s|” yang dilakukannya, Schacht melahirkan berbagai teori mengenai ‘historisitas hadis.13 Dia beranggapan bahwa isna>d sebuah H}adi>s| dapat menunjukkan asal
10
Ignaz Goldziher, Muhammedanische Studien, terj. S.M. Stern sebagai Muslim Studies, (t.p: London, 1967), jilid II, hlm. 19. Mengenai profile Ignaz Goldziher dapat di lihat Abdurrahman Badawi, Ensiklopedia Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 128. 11
G.H.A Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir..., hlm. 1.
12
Di dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introductions to Islamic Law, Schacht mengangkat isu apakah hukum Islam sudah ada atau belum pada abad pertama hijriah. Lebih lanjut lihat Faisar Ananda Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis Tentang Hukum Islam di Mata Barat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 10-14. 13
Salah satunya adalah teori pendeteksian terhadap eksistensi hadis, yang dikenal dengan istilah argumentum e silintio, yakni suatu cara pembuktian bahwa sebuah hadis dianggap tidak ada pada satu masa, dengan merujuk bahwa hadis tersebut tidak digunakan sebagai dalil dalam
5
muasal H}adi>s|. Metode yang diajukannya didasarkan pada hipotesis bahwa
isna>d cendrung mundur ke belakang (Projecting Back). Semakin awal suatu hadis muncul, semakin kecil kemungkinan H}adi>s| tersebut memiliki isna>d yang lengkap. Semakin lengkap isna>d, semakin belakangan H}adi>s| itu muncul.14 Perkembangan sanad tersebut sebagai akibat proses penyandaran ide atau pendapat ke generasi yang lebih tua (Projecting Back). Menurut Schacht "the most complete isnads are the latest" (semakin lengkap sanad tersebut, semakin belangan munculnya).15 Schacht mengembangkan wawasan ini menjadi suatu metode yang kemudian dimodifikasi kembali dalam bentuk yang brilian oleh Juynboll. Teori Schacht menimbulkan kontroversi hampir setengah abad. Bagian-bagian tertentu dari teorinya diterima secara luas, terutama kesimpulan bahwa isna>d bergerak ke belakang. Akan tetapi, belakangan hari karya Schacht mendapat banyak kritik yang cukup beragam. Bagi Schacht “sunnah” tidak lebih dari sekedar revisi atas tradisi dan kebiasaan nenek moyang Arab, yang berlaku kembali sebagai salah satu pusat suatu diskusi hukum, yang merupakan sebuah keharusan kalau memang hadis itu ada. Menguatkan teori ini, Juynboll menegaskan bahwa teori ini diindikasikan dengan kebiasaan bagi kolektor hadis untuk mengumpulkan setiap hadis yang telah dikumpulkan oleh para pendahulunya. Kenyataan beberapa hadis luput dari kolektor berikutnya, harus dipertimbangkan sebagai fakta yang relevan untuk menguji kronologi materi tersebut serta para perawinya. Juynboll juga berkesimpulan bahwa semakin terkenal sebuah hadis maka keluputannya dapat dijadikan sebagai alasan untuk meniadakan keberadaannya. Lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 163-164. Lihat juga Juynboll,
Muslim Tradition: Studies In Chronology Provenance And Authorship Of Early Hadith
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm. 98-101. 14
Joseph Schacht “Law and Justice” dalam The Cambridge History of Islam, terj. INIS (Jakarta: INIS, 1988), hlm. 125. 15
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical Schools, Translated by Marion H. Katz (Leiden: Brill, 2002), hlm. 13.
6
pemikiran dalam Islam. Karena itu konsep “H}adi>s|” lebih berarti pada praktek ideal dari komunitas setempat atau doktrin yang muncul ke permukaan. Sedangkan “sanad” sebagai bagian dari H}adi>s|, merupakan hasil dari kreativitas para ulama hadis yang belum muncul pada zaman Nabi maupun sahabat dengan kata lain sistem isna>d bersifat ahistoris dan merupakan kesewenang-wenangan dan kecerobohan yang dilakukan ulama pada saat itu.16 Teori monumental lainnya yang digulirkan Schacht adalah teori yang dikenal dengan istilah “Common Link Theory” yang bermakna bahwa seorang tokoh selalu dijadikan sebagai penghubung antara dua grup perawi H}adi>s|.17 Teori ini kemudian diadopsi dan dimodifikasi lebih canggih oleh Juynboll. Meskipun demikian, dalam pandangan Juynboll, “Schacht” dinilai gagal dalam mengamati frekuensi fenomena common link dan kurang memberi perhatian dan elaborasi yang memadai. Belakangan muncul upaya-upaya untuk merevisi dan menetralisir pandangan-pandangan Goldziher dan Schacht yang dianggap terlalu keras dan tajam. John Burton, orientalis Inggris, misalnya berpendapat bahwa menolak seluruh hadis dan menganggap semuanya palsu adalah keliru.18 Namun kritik dan revisi yang paling signifikan dilakukan oleh Harald Motzki, yang membangun sebuah spektrum baru dalam studi H}adi>s|, di mana ia mencoba 16
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 163-164. 17 18
Joseph Schacht, The Origins…, hlm. 172.
John Burton, An Introduction to The Hadith (Edinburg: Edinburg University Press, 1994), hlm. 181.
7
meninjau kembali teori Schacht yang menyatakan bahwa isna>d cendrung membengkak jumlahnya semakin ke belakang dan sanad yang paling lengkap adalah yang paling belakang. Selain itu ia juga menyanggah skeptisisme Schacht yang menganggap sebagian besar dari H}adi>s| yang ada tidak otentik.19 Harald Motzki (selanjutnya disebut Motzki) melalui karyanya The
Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical Schools dan The Mus{annaf of ar-Razza>q as}-S{an'a>ni>: a Source of Authentic Ahadith of
the First Century, mencoba merekonstruksi bagaimana sejarah hukum Islam berkembang di Makkah sebelum masa klasik (Abu> H}ani>fah, Ma>lik, Sya>fi'i> dan Ibn Hanba>l), sumber apa yang ada, serta sejauh mana reliabilitas (kes|iqqahan) dan signifikansi sumber tersebut. Dalam penelitiannya tersebut Motzki menggunakan pendekatan Traditional-Historical, yang mencoba menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi tertentu.20
19
Lihat Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden Boston Koln: Brill, 2002). 20
Hal ini dilakukan Motzki dengan cara meneliti empat tokoh yang menjadi sumber otoritas utama dari 'Abdul ar-Razza>q yakni Ma’mar, Ibnu Jurayj, as|-S|auri>, dan Ibnu ‘Uyainah. Dari Ma’mar, ‘Abdul ar-Razza>q meriwayatkan materinya sekitar 32 %, dari Ibnu Jurayj 29 %, dari as|-S|auri 22 %, dan 4 % dari Ibnu Uyainah. Sisanya sekitar 13 % berasal dari 90 % dari tokoh-tokoh yang berbeda. Kurang dari 1 % dari tokoh yang berasal dari abad kedua Hijriah seperti Abu> Hani>fah (0,7 %), Ma>lik (0,6 %). Bagi Motzki fenomena ini menunjukkan bahwa setiap koleksi memiliki keunikan tersendiri, dan hampir tidak mungkin seorang pemalsu dapat memberikan sumber yang begitu variasi, belum lagi kalau penelitian ini difokuskan pada perawi dan karakter (bentuk) teks yang diriwayatkan, misalnya analisis tentang distribusi teks di kalangan sumber sumber teks itu, perbandingan rakyu dan hadis, nisbah riwayat yang berasal dari Nabi saw. sahabat, tabi’in, penggunaan dan kualitas rangkaian rawi, terminologi periwayatan, keberadaan pendapat pribadi, komentar-komentar berbeda dan berlawanan terhadap teks, keberadaan periwayatan tak langsung bersama dengan periwayatan langsung, ketidakpastian mengenai kata kata yang digunakan sumber, laporan tentang adanya perubahan pendapat, tentang kontradiksi kontradiksi. Lihat Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden Boston Koln: Brill, 2002), hlm. 58, xiv.
8
Meskipun pendekatan ini sesungguhnya sudah dikenal dalam diskursus studi Islam di Barat, namun kesimpulan yang dicapai Motzki dengan pendekatan ini tergolong spektakuler, karena ia bukan hanya merevisi teoriteori tokoh orientalis sekaliber Goldziher dan Schacht, tapi yang uniknya lagi Motzki menganggap Mus}annaf
'Abdul ar-Razza>q bukan hanya sumber
otentik pada abad kedua Hijriah/kedelapan, melainkan juga sebagai sumber otentik pada abad pertama Hijriah/ketujuh. Dalam karyanya tersebut, Motzki melakukan dating, yaitu menentukan asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian sejarah. Apabila dating yang dilakukan oleh seorang peneliti sejarah terhadap sebuah sumber sejarah terbukti tidak benar di kemudian hari, maka seluruh premis, teori dan kesimpulan yang dibagun di atas sumber sejarah tersebut menjadi collaps (roboh). Teori inilah yang menjadi basis Harald Motzki dalam melakukan rekonstruksi sejarah masa awal Islam pada karyanya tersebut. Dengan menggunakan metode Isnad Cum
Matn Analysis, Motzki mencoba mengkonstruksi diskursus baru dalam studi H}adi>s|, yang selama ini didominasi oleh paradigma lama yang digulirkan oleh kolega Baratnya (orientalis) seperti Goldziher, Schacht, Noldeke, Schwally, Norman Calder, dan lain-lain.21 Motzki memilih Mus}annaf 'Abdul ar-Razza>q sebagai kajian utamanya untuk membuktikan otentisitas H}adi>s| pada abad pertama Hijriah, dengan asumsi, ketika data sejarah, misalnya Mus}annaf ‘Abdul ar-Razza>q terbukti 21
Ibid., hlm. 2.
9
sebagai dokumentasi sejarah pada abad pertama Hijriah yang otentik, maka apa yang ada di dalamnya yang merupakan rekaman berbagai persoalan hukum Islam, yang berupa hadis-hadis secara tidak langsung diakui pula otentisitasnya. Pergulatan wacana di atas menggambarkan “studi H}adi>s|” di dunia Barat yang terus mengalami perkembangan secara signifikan. Sejauh pengamatan penulis, hal ini dikarenakan dasar epistemologi studi hadis yang dikembangkan oleh para orientalis di Barat selalu mengalami akselarasi yang progresif. Munculnya berbagai “teori baru” yang dikembangkan dari teori sebelumnya mengindikasikan tingginya tingkat mobilitas rekonstruksi epistemologi studi hadis di dunia orientalis. Tradisi studi H}adi>s| di kalangan orientalis memang memiliki akar sejarah yang cukup kuat. Berawal dari kajian yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher (Honggaria), Joseph Schacht (Austria), dan G.H.A. Juynboll (Belanda) yang paradigma epistemologis-nya telah mapan di kalangan orientalis bahkan menjadi trend yang mendominasi diskursus studi hadis di Barat selama ini. Pada masa berikutnya, muncul kajian-kajian baru yang ikut meramaikan diskursus tentang H}adi>s|, yang dimotori oleh sejumlah Orientalis sekaliber Harald Motzki, Joseph Van Ess, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler dan lain lain. Kelompok terakhir ini mencoba melakukan rekonstruksi epistemologis yang merevisi kajian-kajian sebelumnya melalui metodologi dan teori yang mereka kembangkan.
10
Atas dasar ini, Herbert Berg, seorang tokoh orientalis kontemporer, mengklasifikasikan kedua kelompok yang saling bersitegang tersebut ke dalam kategori skeptis dan sanguine (non-skeptis). Tidak hanya dua kelompok itu saja, Berg juga menambahkan satu kelompok lagi yang diistilahkannya dengan middle ground.22 Menurut Berg, perdebatan yang dilakukan oleh kedua kelompok di atas telah menghasilkan jalan buntu. Meskipun argumen mereka terkesan meyakinkan, akan tetapi bersifat sirkular.23 Begitu juga dengan mereka yang mengambil posisi middle ground, meskipun terkesan sebagai intermediate antara keduanya, akan tetapi pada hakikatnya mereka merupakan bagian dari kedua kelompok tersebut.24 Fenomena kontroversi di atas kemudian mendasari ketertarikan penulis untuk menelusuri lebih jauh tentang struktur epistemologi studi H}adi>s| orientalis, yang mengacu kepada tokoh-tokoh yang dianggap sebagai “originator theori” dari dua arus besar studi H}adi>s| di kalangan orientalis. 22
Di dalam bukunya The Development of Exegesis in Early Islam, Berg tidak memberikan definisi yang jelas mengenai ketiga posisi ini. Dari hasil pembacaan penulis, yang dimaksud oleh Berg dengan skeptis adalah para sarjana yang meragukan bahwa hadis dan isnad merupakan fakta sejarah. Sedangkan sanguine (non-skeptis) adalah mereka yang meyakini bahwa hadis dan isnad merupakan fakta sejarah. Jadi, berdasarkan asumsi awal ini, maka kesimpulan dari pemikiran mereka mengikuti apa yang mereka asumsikan. Argumen semacam ini sering diistilahkan oleh Berg dengan sirkular. Adapun middle ground adalah mereka yang mencari jalan tengah di antara kedua kelompok di atas dengan mengabaikan asumsi awal mengenai kualitas hadis. Herbert Berg,
The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period (Richmond, Surrey: Curzon, 2000), hlm. 49-50. 23
Yang dimaksud dengan sirkular adalah bahwa argumen-argumen yang dikemukakan sebenarnya sudah dapat dibaca dari asumsi yang ditekankan sejak awal. Sehingga kesimpulan yang dihasilkan pun tidak lebih dari sekedar pembenaran atas asumsi tersebut. 24
Mengapa mereka yang mengambil posisi middle ground masih dikategorikan oleh Berg ke dalam dua kelompok yang saling berseberangan, yaitu skeptis dan sanguine. Hal ini dikarenakan kesimpulan dari penelitian mereka pada akhirnya mengarah kepada masing-masing kelompok itu. Jika kesimpulan mereka mengarah pada posisi skeptis, maka mereka layak dikategorikan ke dalam kelompok skeptis, begitu juga sebaliknya. Sehingga menurut Berg, tidak ada posisi middle ground, yang ada hanya antara skeptis dan sanguine (non-skeptis). Herbert Berg, The Development…, 49-50.
11
Dalam hal ini untuk kelompok skeptis diwakili oleh Joseph Schacht dan non
skeptis diwakili oleh Harald Motzki. Signifikansi dari kajian ini setidaknya dapat dilihat dari eksistensi ilmu pengetahuan (science) yang selalu menuntut adanya perkembangan. ‘Studi hadis’ khususnya di kalangan sarjana Muslim nampaknya belum mengalami perkembangan yang signifikan. Upaya untuk menuju hal tersebut setidaknya dapat dimulai dengan membangun epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Amin Abdullah bahwa perkembangan situasi sosial budaya, politik, ilmu pengetahuan dan revolusi informasi juga turut memberi andil dalam usaha bagaimana mengkaji kembali teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Hadis).25 Senada dengan hal tersebut, merujuk pada apa yang dikemukakan Khaled Abou El Fadl, bahwa pembaharuan ‘studi Islam’ secara garis besar berada pada tiga wilayah, yaitu pembaharuan pada aras epistemologi, pembaharuan pada aras metodologi, dan pembaharuan pada aras materi atau topik-topik studi Islam.26 Sebagai konsekuensinya, kajian epistemologi (theory of knowledge)
27
dalam studi H}adi>s| kontemporer menjadi sesuatu yang urgent. Tidaklah
25
Lihat M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman pada Era Melinium Ketiga” dalam Jurnal al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies IAIN SUKA, No. 65/VI/2000, hlm. 93. 26
Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld Publication, 2003), hlm. 25-26. 27
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat, jangkauan, pengandaian, pertanggungjawaban dan pelbagai batasan pengetahuan. Epistemologi sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge) juga mencakup sumber, metode penemuan, dan validasi pengetahuan. Kendati demikian, epistemologi tidak hanya ditemukan secara terang-terangan
12
berlebihan jika dikatakan bahwa perumusan epistemologi dapat dipandang sebagai upaya pengembangan studi H}adi>s| dalam rangka merespon tantangan zamannya, mengingat pengembangan kajian hadis tidak dapat dilepaskan dari persoalan theory of knowledge. Melalui kajian epistemologi ‘studi H}adi>s| orientalis’ diharapkan dapat memberikan inspirasi dan peluang (setidaknya pembanding) bagi para pengkaji hadis (khususnya dari sarjana Muslim) untuk mengembangkan wacana studi H}adi>s| kontemporer baik pada tataran epistemologi maupun interpretasi. Adapun alasan penulis memilih Josep Schacht dan Harald Motzki sebagai objek kajian, dikarenakan kajian hadis orientalis khususnya yang
skeptis, mencapai puncaknya di tangan Schacht sehingga memiliki pengaruh besar terhadap para sarjanawan lainnya. Schacht juga dianggap tokoh yang memformulasikan fondasi dasar kajian hadis di Barat secara sistematis, sehingga siapapun yang ingin mengkaji hadis dan eksisitensi hukum Islam akan
selalu
merujuk
pada
karya
Schacht
dan
teori-teori
yang
dikembangkannya. Di sisi lain, ketika mayoritas para sarjana Barat (Orientalis) secara umum telah meragukan otentisitas hadis, bahkan meragukan eksisitensi hukum Islam, Motzki justru secara tegas menolak hasil penelitian sebagai posisi atau ajaran mengenai pengetahuan. Oleh karena itu, seorang epistemolog berusaha untuk menyelidiki “pengetahuan” atau “ilmu” untuk memaparkan dan menganalisis pengandaianpengandaian dasar yang menjadi latar belakangnya. Sebagai sebuah cabang filsafat yang menaruh perhatian secara serius pada theory of knowledge, maka isu-isu sentral yang ada dalam epistemologi adalah suatu hakikat dan derivasi pengetahuan, suatu lingkup atau skup pengetahuan, serta reliabilitas atas klaim-klaim bagi pengetahuan. Lihat Donal Gotterbarn dalam Barnes dan Noble, New American Encyclopedia (USA: Grolier Incorporated, 1991), hlm. 221. Bandingkan Antony Flew, A Dictionary of Philosophy (New York: St. Martin’s Press, 1979), hlm. 101.
13
pendahulunya (orientalis) dengan mengemukakan argumen-argumen baru. Bahkan pendekatan yang digunakan Motzki dalam penelitiannya terbilang langka dibandingkan dengan pendekatan yang sering digunakan oleh para orientalis lainnya dalam mangkaji hadis. Di samping itu, ditinjau dari peta perdebatan sekitar otentisitas H}adi>s|, Motzki menempati posisi yang unik, karena ia bukan hanya membantah premis dan kesimpulan historis yang diajukan para pendahulunya (orientalis), tetapi juga mengkritik pandapat yang mengkritik pandahulunya, sehingga Motzki mengambil posisi di antara dua posisi ekstrim. Basis nalar yang mendasari berbagai ide fundamental dari kedua tokoh (Schacht dan Motzki) tersebutlah yang menjadi persoalan utama serta titik tolak penelitian kesarjanaan ini. Batasan dan ruang lingkup penelitian ini juga tercermin dalam judul yang diajukan “Epistemologi Studi Hadis Orientalis
(Studi Komparatif antara Josep Schacht dan Harald Motzki)”. Jadi, kajian penelitian ini berkisar pada ‘epistemologi’ yang mendasari bangunanbangunan teori mengenai kajian hadis yang dihasilkan dari aktifitas ilmiah oleh sarjana orientalis, dalam hal ini adalah Joseph Schacht dan Harald Motzki. Penelusuran pemikiran kedua tokoh tersebut dilacak melalui ide ide fundamental yang mencuat ke permukaan dan berimplikasi kuat terhadap perkembangan studi H}adi>s|.
14
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang tersebut, maka masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Apa dan bagaimana fundamental idea (pokok-pokok pemikiran) dari Joseph Schacht dan Harald Motzki yang berkaitan dengan studi hadis ? 2. Bagaimana kerangka epistemologi (sumber, metode, pendekatan dan basis nalar) Josep Schacht dan Harald Motzki dalam studi hadis ? 3. Apa perbedaan dan persamaan epistemologi dari kedua tokoh H}adi>s| ? 4. Apa implikasi dari pemikiran Josep Schacht dan Harald Motzki terhadap perkembangan studi H}adi>s| ? Penulis memilih pertanyaan-pertanyaan tersebut karena hal itu merupakan inti dari persoalan epistemologi. Dengan menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, maka diharapkan pertanyaan tentang implikasi dan konsekuensi dari epistemologin studi H}adi>s| Schacht dan Motzki akan terjawab. Demikian pula, aspek persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari masing-masing epistemologi tersebut akan terjawab.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Beranjak dari ketertarikan dan minat penyusun dalam kajian hadis kontemporer, khususnya pada studi H}adi>s| orientalis, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji
dan
memahami
secara
serius
pokok-pokok
pemikiran
(fundamental idea) Josep Schacht dan Harald Motzki mengenai studi H}adi>s|.
15
2. Mendeskripsikan kerangka epistemologi Josep Schacht dan Harald Motzki dalam studi H}adi>s|. 3. Menguraikan perbedaan dan persamaan epistemologi Joseph Schacht dan Harald Motzki dalam studi H}adi>s|. 4. Menelusuri implikasi dari pemikiran Josep Schacht dan Harald Motzki terhadap perkembangan studi H}adi>s|. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan-kegunaan sebagai berikut : 1. Dalam tataran wacana diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan studi H}adi>s| kontemporer. 2. Memberikan wawasan pada peneliti hadis sehubungan dengan kajian
H}adi>s| di kalangan orientalis.
D. Telaah Pustaka Kepentingan utama telaah pustaka dari penelitian ini adalah untuk memastikan apakah ada penelitian dengan tema kajian yang sama dengan judul yang penulis angkat dalam tesis ini, sehingga dikhawatirkan nantinya terjadi pengulangan yang serupa dengan penelitian sebelumnya. Untuk itu, penulis melakukan penelusuran terhadap sejumlah literatur literatur yang berkaitan. Dari telaah kepustakaan yang telah dilakukan dalam rangka penulisan tesis “Epistemologi Studi Hadis Orientalis (Studi Komparatif Antara Josep Schacht dan Harald Motzki)” diperoleh gambaran bahwa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masalah tersebut cukup banyak, artinya penulis
16
bukanlah orang pertama yang mengkaji pemikiran Schacht maupun Motzki. Beberapa hasil karya yang berkaitan dengan pemikiran dua tokoh tersebut di antaranya adalah : Penelitian yang berkaitan dengan pemikiran Schacht antara lain dilakukan oleh G.H.A. Juynboll, yaitu Muslim Tradition: Studies in
Chronology, Provenance and Authorship of Early H{adith.28 Dalam karyanya tersebut Juynboll mengelaborasi metode-metode Schacht, khususnya common
link theory. Dia juga mengkritik secara serius terhadap temuan Nabia Abbott (pengkritik Schacht) yang secara pasti menolak terhadap kesimpulan yang dicapai Schacht. Karya ini fokus berkisar pada pengembangan dan justifikasi terhadap ide ide yang di gulirkan Schacht. Kemudian Fazlur Rahman dalam karyanya Islamic Methodology in
History di mana Rahman mengelaborasi historisitas pembentukan sunnah yang berkaitan dengan teori Schacht. Dalam buku tersebut Rahman mencoba untuk memberikan pembedaan antara Sunnah dan H}adi>s|. Baginya hadis terbentuk setelah Sunnah, bukan sebelumnya. H}adi>s| hanyalah refleksi dan dokumentasi dari “sunnah yang hidup”. Kebanyakan hadis awal tidak bersambung kepada Nabi saw, tetapi kepada kaum Muslim terkemudian yang sibuk memfomulasikan “sunnah yang hidup” ini.29 Begitu gerakan H}adi>s| berkembang, ada tekanan yang tidak dapat di negosiasikan “untuk
28
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early H{adith, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983). 29
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), hlm. 33.
17
memproyeksikan hadis kebelakang” (projecting back) ke titik labuhnya yang paling alamiah, yaitu Nabi saw.30 Dalam masalah ini, Rahman menganggap temuan-temuan Schacht tak terbantahkan dalam garis besar dasarnya. Nabia Abbott melalui karyanya Studies in Arabic Literary Papyri31 yang mengkaji pemikiran Schacht dan mencoba melakukan polemik terhadapnya, di seputar masalah keberadaan hadis sebagai sumber hukum Islam pada abad pertama Hijrah. Meski tidak membantah gagasan Schacht secara langsung, akan tetapi dalam karyanya tersebut Abbott menyatakan bahwa koleksi H}adi>s|\ telah dimulai pada masa hidup Nabi dan diriwayatkan pada generasi berikutnya hingga era koleksi kanonik (al-kutub al-sittah). Tulisan Akhmad Minhaji dalam tesisnya Kontroversi Pembentukan
Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht. Dalam karnya tersebut, Minhaji mengungkapkan berbagai gagasan Schacht tentang pembentukan hukum Islam awal, yang secara signifikan telah memberikan kontribusi besar terhadap studi Islam khususnya yang berkaiatan dengan jurisprudence dan sunnah Nabi. Menurut Minhaji Schacht telah memotivasi sejumlah sarjana untuk mempertimbangkan keprcayaan umum mengenai pembentukan sejarah hukum Islam awal. Teorinya, backward projection, common link dan
argumentum e silentio telah digunakan oleh para sarjana berikutnya untuk
30 31
Ibid.,
Nabia Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri, Vol.II, (Chicago: The University of Chicago Press, 1957).
18
pengembangan lebih jauh. Bahkan tidak hanya dalam bidang hukum dan
h}adi>s|, melainkan juga merambah pada ranah kajian bahasa Arab.32 Sedangkan penelitian terdahulu mengenai pemikiran Motzki antara lain dilakukan oleh Kamaruddin Amin yang terdapat dalam jurnal al-Ja>mi’ah yang merupakan book review dari karya Motzki The Origins of Islamic
Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical Schools.33 Dalam book review tersebut, Kamaruddin memaparkan secara singkat mengenai isi dari karya Motzki, dimana Motzki menegaskan pembuktian bahwa hukum Islam telah eksis sejak abad pertama Hijriah. Motzki juga menolak kesimpulan Schacht yang menyatakan bahwa hukum Islam tidak ada sebelum abad dua Hijriah. tersebut. Kemudian karya Faisar Ananda Arfa Sejarah Pembentukan Hukum
Islam: Studi Kritis Tentang Hukum Islam di Barat.34 Karya ini banyak membahas sekitar kontroversi eksistensi hukum Islam pada masa awal, disinggung pula mengenai penelitian Motzki sekalipun tidak begitu banyak, akan tetapi memberikan informasi yang signifikan. Apa yang diuraikan Faisar tentang Motzki hanya berkisar polemiknya dan kritik umumnya terhadap teori teori Schacht mengenai pembentukan hukum Islam.
32
Akhmad Minhaji, Joseph Schacht’s Contribution to the Study of Islamic Law, terj. Ali Masrur, dengan edisi Indonesianya Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 81. 33
Kamaruddin Amin, "Book Review Te Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh Before the Classical Schools", dalam al-Ja>mi'ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 41, No. 1, 2003. 34
Faisar Ananda Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis Tentang Hukum Islam Di Barat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).
19
Karya tulis Ali Masrur berjudul Teori Common Link G.H.A. Juynboll:
Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi sedikit menyinggung tentang pemikiran Hadis Harald Motzki.35 Buku yang semula merupakan disertasi doktoral penulisnya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menguaraikan pemikiran Motzki secara umum, sebagai pembanding dengan tema sentral yang diangkatnya, yakni teori common link Juynboll. Hasil kesimpulan penelitian yang dilakukan Ali Masrur, menegaskan bahwa, G.A.H Juynboll menggunakan teori common link untuk menelusuri asal usul
h}adi>s|. Menurutnya teori ini berpijak pada asumsi bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertumpu pada seorang periwayat, baik yang meninggalkan ataupun yang tertuju padanya, semakin besar klaim kesejarahannya. Sementara jalur sanad yang berkembang ke satu arah saja (single strand) tidak dapat dianggap historis. Teori ini berimplikasi pada upaya revisi metode kritik
h}adi>s| konvensional. Karya paling signifikan dan sangat terkait dengan penelitian tesis yang penulis angkat adalah karya Kamaruddin Amin “Menguji Kembali Keakuratan
Metode Kritik Hadis”. Buku ini awalnya merupakan disertasi penulisnya di Rheinischen Friedrich Wilhelms Universitaet Bonn Jerman.36 Dalam karyanya tersebut Kamaruddin Amin banyak membahas metode Schacht maupun Motzki, sekalipun kecenderungannya terfokus pada kajian Motzki khususnya 35
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi (Yogyakarta: LKiS, 2007). 36
Kamruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009). Secara khusus karya ini memperkenalkan pemikiran Harald Motzki dalam bidang hadis, dari seorang guru besar hadis di Universitas Nijmegen Belanda.
20
teori Isnad Cum Matan. Kajian yang dilakukan Amin terfokus pada aplikasi metode tersebut dan belum menyentuh pada ranah epistemologi ide ide fundamental Schacht maupun Motzki dalam studi h}adi>s|. Kamaruddin Amin mencoba menekankan metode yang digulirkan Motzki menjadi sebuah tawaran alternatif diantara berbagai teori otentisitas H}adi>s| yang muncul di kalangan sarjana Muslim maupun orientalis. Problem pokok yang dikaji dalam buku tersebut adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentikasi H}adi>s|. Karena itu, tema utama yang jadi fokus kajian Kamaruddin Amin berkisar pada, pertama, sejauh mana literatur h}adi>s| mencerminkan peristiwa yang sebenarnya? apakah lietaratur h}adi>s| menyajikan h}adi>s| yang sesungguhnya, sebagaimana yang diklaim atau literatur ini tidak lain kecuali hanya sekedar cerminan kepentingan yang muncul pada masa awal Islam? dengan kata lain benarkah
h}adi>s| itu adalah ucapan verbal nabi, tingkah laku nabi atau persepsi masyarakat Islam tentang Nabi ? Kedua, apakah isna>d yang dinisbahkan dalam literatur h}adi>s| untuk menjamin autensitas matan itu merepresentasikan jalur periwayatan yang asli ? atau hanya merupakan pemalsuan yang dimaksudkan untuk melegitimasi pernyataan yang baru beredar di kemudian hari? Ketiga, Apakah metodologi yang ada dalam ulumul h}adi>s| untuk menyeleksi h}adi>s| Nabi sudah cukup akurat sehingga semua h}adi>s| yang terdapat di dalam canonic terutama Bukha>ri Muslim dianggap s}ah}ih> } sehingga kritik sejarah tidak perlu lagi dilakukan ? atau dengan kata lain apakah kitab
21
h}adi>s| yang kita warisi dari abad ketiga seperti S}ah}ih> } Bukha>ri> dan Muslim, merupakan refleksi sunnah Nabi ?37 Dalam buku tersebut Kamaruddin Amin mengkaji secara cermat metode metode yang digunakan untuk menguji otentisitas H}adi>s|, baik dari kalangan sarjana Muslim maupun yang dikembangankan oleh sarjana Barat. Hal ini diajukan untuk menentukan keterpercayaan H}adi>s| sebagai sumber sejarah. Kamaruddin Amin juga memfokuskan pada pendekatan pendekatan baru yang hingga sekarang jarang dievaluasi. Yang paling menarik dari penelitian Kamruddin Amin ini, adalah bahwa dia tidak hanya menyuguhkan pendekatan pendekatan
teoritis
yang
berbeda,
tetapi
juga
mengujinya
dengan
menggunakan satu h}adi>s| yang sama untuk semua pendekatan guna memeriksa hasil yang diberikan. Studi Kamaruddin Amin ini merupakan sumbangan penting bagi sebuah diskusi kontroversial yang berlangsung sejak lama, yang problem utamanya berkisar pada pertanyaan tentang apakah nilai historis
H}adi>s| dan dengan metode apa nilai itu dapat ditentukan. Dalam kajiannya terhadap berbagai metode kritik H}adi>s| yang dibahasnya, Kamaruddin Amin tidak mengunggulkan metode Barat (method
of dating a particular hadith) atas metode kritik H}adi>s| (takhrij al-hadith) atau sebaliknya. Baginya kedua metode tersebut memiliki kelebihan masing masing yang perlu disinergikan untuk mencapai kesimpulan tentang historisitas penyandaran H}adi>s| kepada nabi saw. S}ah}ab> at atau Ta>bi’i>n.38
2009).
37
Ibid., hlm. 7-8.
38
Kamruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah,
22
Dari beberapa bahan pustaka tersebut terlihat adanya perbedaan baik objek maupun ruang lingkup kajian dengan penelitian tesis ini, dan sejauh penelusuran data, penulis belum menemukan studi-studi tentang pemikiran Hadis Josep Schacht dan Harald Motzki yang mengkhususkan diri pada telaah epistemologis dengan perspektif analisis komparatif. Oleh karena itu, dapat diyakinkan bahwa tidak akan terjadi pengulangan penelitian terdahulu dengan adanya penelitian akademis ini. Penelitian ini juga layak dan penting untuk dilakukan, sebagai upaya pengembangan wacana H}adi>s| hadis kontemporer.
E. Kerangka Teori Dalam sebuah penelitian ilmiah, kerangka teori sangat diperlukan antara lain untuk membantu memecahkan dan mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti. Di samping itu, kerangka teori juga dipakai untuk memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.39 Adapun dalam penelitian ini, ‘kerangka teori’ difahami sebagai ‘cara atau kerangka berfikir’ yang digunakan untuk membedah objek material dari sebuah penelitian. Untuk menjelaskan pertanyaan pertanyaan mendasar yang ada dalam rumusan masalah, baik yang berkaitan dengan epistemologi ataupun ‘otentisitas” H}adi>s|, penulis menggunakan teori yang ada dalam filsafat ilmu yang berkaitan dengan “epistemologi’ dan teori kesahihan hadis baik dalam
39
Teuku Ibrahim Alfian, “Tentang Metodologi Sejarah” Suplemen buku, Teuku Ibrahim Alfian et al., Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis (Yogayakarta: Gajah Mada University Press, 1987), hlm. 4.
23
‘Ulu>m al-H}adi>s| klasik maupun orientalis. Dari perspektif epistemologi persoalan yang dianggap urgen adalah bagaimanakah hadis yang merupakan peristiwa masa lalu yang sudah terlepas dari masa kini bisa diketahui kebenarannya? Adakah yang menjembatani untuk sampai kesana? Inilah ‘kerangka teori’ yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji struktur epistemik studi H}adi>s| Joseph Schacht dan Harald Motzki.
H}adi>s| dalam tradisi Islam menduduki prioritas kedua dalam pembentukan hukum sesudah al-Qur’an. Akan tetapi, karena jarak pengkodifikasiannya yang begitu jauh dengan masa kehidupan Nabi, h}adi>s| memiliki masalah tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Masalah utamanya adalah mengenai pembuktian asal-usul hadis yang dipandang bersumber dari Nabi. Oleh karena itu, dalam studi hadis, terdapat dua diskursus
besar:
pertama,
pembicaraan
seputar
orang-orang
yang
meriwayatkan h}adi>s| (isna>d); kedua, pembicaraan seputar redaksi h}adi>s| (matn). Sebuah redaksi hadis kadang memiliki 5 atau 6 orang perawi yang menjembatani jarak antara pengumpul h}adi>s| sampai kepada Nabi saw. Ini tidak aneh karena masa-masa pengoleksian H}adi>s| secara massif dilakukan sekitar awal abad ketiga Hijriah, yang mana H}adi>s| sendiri muncul sekitar masa awal Hijrah. Rentang jarak ratusan tahun tentunya memunculkan banyak tanda tanya dari para peneliti, baik yang berusaha memfalsifikasi maupun yang
mencoba
memverifikasi.
Masalah
utamanya
adalah
mengenai
keotentikan sebuah H}adi>s|, terutama ditinjau dari sudut isna>d yang memuat begitu banyak orang-orang dari beberapa generasi. Panjangnya suatu isna>d
24
tentu saja menambah kemungkinan berkembangnya suatu redaksi hadis dari yang sangat sederhana menjadi sesuatu yang cukup sempurna. Hal ini tentunya banyak mendapat sorotan, terutama oleh kelompok orientalis yang notabene meragukan keotentikan hadis berasal dari Nabi Muhammad. Berdasarkan masalah tersebut, belakangan muncul banyak teori yang digunakan untuk membuktikan apakah sebuah hadis otentik bersumber dari Nabi atau tidak. Untuk maksud ini para ulama melakukan kritik terhadap hadis (naqd al-h{adi>s\) dengan menjadikan isna>d dan matn sebagai objeknya. Kritik
sanad atau isna>d dilakukan dengan memeriksa ke-d}ab> it}-an
(kecermatan) dan ke-‘a>dil-an (kepribadian) perawi h}adi>s| berserta lambanglambang yang digunakan perawi untuk mentransmisikan h}adi>s|. Adapun kriteria-kriteria yang umumnya diberlakukan dalam menilai isna>d al-h}adi>s| adalah sebagai berikut: isna>d hadis harus bersambung; para perawinya harus
’a>dil dan d}ab> it}; serta tidak mengandung sya>z\ dan ‘illah.40 Sedang dalam menilai matn, diberlakukan ukuran keterhindaran dari sya>z\ dan ‘illah. Khat}ib> al-Bagda>di> (w. 463H/1072M) mengemukakan enam tolok ukur dalam menentukan maqbu>l tidaknya sebuah matan : (1) harus tidak bertentangan dengan akal sehat; (2) tidak bertentangan dengan hukum alQur’an yang telah muh}kam;41 (3) tidak bertentangan dengan hadis yang
mutawa>tir; (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi 40
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2002), hlm.
141. 41
Adapun yang dimaksud dengan istilah muh}kam dalam hal ini ialah ketentuan hukum yang telah tetap, namun sebagian ulama ada yang memasukkan ayat yang muh}kam ke dalam salah satu pengertian qat}’iy al-dala>lah.
25
kesepakatan ulama masa lalu (’ulama> al-salaf); (5) tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; (6) tidak bertentangan dengan h}adi>s| ah}ad> yang kualitas kesahihannya lebih kuat.42 Dalam filsafat ilmu, epistemologi dikembangkan beberapa teori kebenaran. Namun untuk mengkaji kebenaran laporan sejarah, ada dua teori yang relevan, yaitu teori korespondensi dan teori koherensi. Menurut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta; dan sebaliknya apabila tidak sesuai dengan fakta, maka pernyataan itu tidak benar. Sedang menurut teori koherensi, ukuran kebenaran suatu pernyataan adalah terletak pada koherensinya dengan pernyataan-pernyataan terdahulu yang sudah diterima kebenarannya.43 Teori koherensi atau konsistensi ini sering digunakan oleh orientalis untuk membuktikan apakah isnad dan matan hadis yang dianggap berasal dari Nabi konsisten dengan hadis-hadis yang ada sekarang. Demikianlah tolok ukur yang digunakan dalam melakukan kritik terhadap isnad dan matan hadis. Semua teori yang berkenaan dengan otentikasi H}adi>s| tersebut di atas nantinya akan penulis gunakan untuk memotret penelitian Josep Schacht dan Harald Motzki dalam menguji otentisitas H}adi>s|. Sehingga dengan pembingkaian seperti ini, akan terlihat
42
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.126. Lihat juga Abu> Bakr bin ‘Ali> Tsa>bit al-Khati>b al-Bagda>di>, Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm alRiwa>yah (Mesir: Mat}ba’ah al-Sa’a>dah, 1972), hlm. 206-207. 43
Syamsul Anwar, “Paradigma Pemikiran Hadis Modern,”dalam Makalah Beberapa Kajian Hadis, (Yogyakarta:tp,tt), hlm. 100. Lihat juga W.H.Walsh, Philosophy of History, An Introduction, (New York: Harper Torcbook, 1968), hlm. 73
26
dengan jelas bagaimana pandangan Josep Schacht dan Harald Motzki mengenai historisitas H}adi>s|.
F. Metodologi Penelitian Sebagai karya ilmiah, penelitian tesis ini tidak bisa dilepaskan dari penggunaan metode. Metode merupakan pedoman agar kegiatan penelitian terlaksana dengan sistematis.44 Dengan demikian, metode merupakan patokan agar penelitian mencapai hasil maksimal. Dalam penulisan tesis ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut: 1) Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) an
sich yang bersifat literer,45 artinya penelitian ini akan didasarkan pada data tertulis yang berbentuk buku, ensiklopedia, jurnal atau artikel lepas baik yang berada dalam media cetak maupun media elektronik yang terkait dengan objek kajian. Berdasarkan atas data yang dikumpulkan tersebut, jenis penelitian ini masuk dalam wilayah kualitatif.46 Dalam pelaksanaannya, sumber data dibagi dalam dua kategori: data primer dan data sekunder. Data primer adalah data-data yang merupakan karya dua tokoh yang dikaji, terutama yang terkait dengan persoalan hadis. Sedangkan data sekunder adalah buku-buku, kitab atau artikel mengenai pemikiran dua tokoh 44
Anton Bekker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.10. 45
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar dan Metode Teknik (Bandung: Tarsio, 1990), hlm. 182. 46
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hlm. 112-113.
27
(Schacht dan Motzki) yang merupakan hasil interpretasi orang lain, dan buku-buku lain yang terkait dengan objek kajian ini, yang sekiranya dapat digunakan untuk menganalisis persoalan epistemologi dalam studi hadis dari dua tokoh tersebut. Adapun data primer dari Harald Motzki yang pokok antara "The
Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical Schools",47 “The Mus{annaf of ar-Razza>q as}-S{an'a>ni a Source of Authentic Ahadith of the First Century”,48 dan The Propeht and Car on dating Ma>lik's Muwat}t{a and legal Tradition.49 Sedangkan data primer dari pemikiran Josep Schacht The Origins of Muhammadan Jurisprudence50 dan An Introduction to
Islamic Law.51 Sedangkan yang sekunder adalah karya G.H.A. Juynboll yaitu Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early H{adith.52
47
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical Schools (Breil Leiden: Boston Koln, 2002). 48
Harald Motzki, “The Mus{annaf of al-Razza>q al-S{an'ani a Source of Authentic Ahadith of the First Century”, dalam jurnal Near Eastern Studies, Vol. 50. No. 1, Chicago: Chicago University Pres, 1991. 49
Harald Motzki, “The Propeht and Car on dating Ma>lik's Muwat{a and legal Tradition”, dalam jurnal Jerussalem Studies in Arabic and Islam, Vol. 22. No. 1, 1998. 50
Joseph Schacht, The Origins Of Muh}ammadan Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press,
1953). 51 52
Joseph Schacht, An Inrtroduction to Islamic Law, (Oxford: Clarendon Press, 1950).
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early H{adith, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983).
28
2) Metode dan Pendekatan Metode53 yang digunakan dalam penelitian ini metode analisis-
komparatif (analytical-comparative method), yaitu mencoba mendeskripsikan konstruksi epistemologi studi H}adi>s| dari kedua tokoh tersebut, lalu dianalisis secara kritis, serta mencari sisi persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Dengan metode perbandingan ini, penulis akan menghubungkan pemikir satu dengan yang lainnya, memperjelas kekayaan alternatif yang terdapat dalam satu permasalahan tertentu dan menyoroti titik temu pemikiran
mereka
dengan
tetap
mempertahankan
dan
menjelaskan
perbedaan-perbedaan yang ada, baik dalam metodologi maupun materi pemikirannya. Tidak hanya itu, penulis juga akan melakukan kritik pemikiran dan pengembangannya, ditambah dengan melakukan proses rethinking (i`âdah
al-naz}r) dari sudut pandang atau konteks kekinian, sehingga tidak terjebak kepada taklid buta.54 Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama penulis akan menginventarisasi data dan menyeleksinya, khususnya karyakarya yang Schacht dan Motzki serta buku-buku lain yang terkait dengan persoalan epistemologi studi hadis. Kedua, penulis dengan cermat akan mengkaji data tersebut secara komprehensif dan kemudian mengabstraksikan 53
Metode adalah way of doing anything, yaitu suatu cara yang ditempuh untuk mengerjakan sesuatu, agar sampai kepada suatu tujuan. A.S. Hornbay, Oxford Advanced Leaners Dictionary of Current English (Oxford: Oxford University Press, 1963), hlm. 533. 54
Lihat Hassan Hanafi, dalam Pengantar buku M. Aunul Abid Shah et. al., Islam Garda
Depan, hlm. 25.
29
melalui metode deskriptif,55 bagaimana konstruksi epistemologi studi H}adi>s| kedua tokoh. Hal itu dilakukan dengan menganalisis terhadap apa hakikat (ontologis) hadis menurut keduanya, bagaimana metode otentifikasi hadis, sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mengetahui eksistensi hadis, serta validitas yang dapat dijadikan tolok ukur keotentikan suatu hadis. menurut kedua tokoh tersebut.
Ketiga, secara komparatif penulis akan mencari sisi-sisi persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari masing-masing tokoh serta implikasi-implikasinya.
Dalam
memerhatikan aspek-aspek
metode
komparatif,
penulis
akan
komparatif yang bersifat kasus dan mana
komparatif yang bersifat konsep dasar. Setelah itu, penulis akan membuat kesimpulan-kesimpulan secara cermat sebagai jawaban terhadap rumusan masalah, sehingga menghasilkan pemahaman baru yang komprehensif holistik dan sistematik. Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan yang sesuai dan relevan dengan studi epistemologis, yakni pendekatan filosofis, dalam hal ini pendekatan filsafat keilmuan. Sebagai pendekatan keilmuan, salah satu ciri filsafat yaitu kajian, telaah dan penelitiannya selalu terarah kepada pencarian dan perumusan ide-ide dasar (gagasan) yang bersifat mendasar-fundamental (fundamental idea) terhadap obyek persoalan yang dikaji. Ide ataupun pemikiran fundamental biasanya diterjemahkan dalam 55
Metode deskriptif yaitu dengan menggambarkan hasil penelitian yang didasarkan atas perbandingan dari berbagai sumber yang ada yang berbicara tentang tema yang sama. Lihat Winarno Surakhmad, Dasar dan Tehnik Research (Bandung: Tarsito, 1978), hlm. 132.
30
istilah teknis kefilsafatan sebagai ”al-falsafah al-u>la>”, substansi, hakekat dan esensi. Pemikiran fundamental biasanya sangat bersifat umum (general), mendasar dan abstrak.56 Selain itu juga digunakan pendekatan historis-filosofis model
strukturalisme genetic,57 yaitu dengan menganalisis tiga unsur kajian: 1) menganalis intrinsik teks itu sendiri, 2) merunut akar-akar historis secara kritis latar belakang kedua tokoh tersebut; mengapa mereka menggulirkan gagasan yang kontroversial, dan 3) menganalisis kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Dengan pendekatan historis, akan tampak kerangka keragaman
(diversity),
perubahan
(change)
dan
kesinambungan
(continuity).58 Sedangkan dengan pendekatan filosofis akan tampak struktur dasar dari pemikiran kedua pemikir tersebut, meskipun latar sosio historis kedua tokoh tersebut berbeda. Mencari fundamental struktur itulah yang menjadi ciri pendekatan filosofis.59
G. Sistematika Pembahasan Berdasarkan uraian dan tujuan penelitian ini, maka sistematika pembahasan penelitian ini disusun sebagai berikut:
56
M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam Ahmad Baidowi, dkk. (ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA-Press, 2003), hlm. 9. 57
Strukturalisme genetic merupakan teori yang diusung Golgman. Lihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1996), hlm. 164-165. 58
Trygver R. Tholfsen, Historical Thinking; an Introduction (New York: Hewven an Row Publisher, 1967), hlm. 249. 59
Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 285.
31
Bab I adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah untuk menjelaskan secara akademik mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan dan mengapa penulis memilih dua tokoh sebagai representasinya dan apa yang unik dari kedua tokoh tersebut. Selanjutnya dirumuskan masalah atau problem akademik yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini sehingga jelaslah masalah yang akan dijawab. Sedangkan tujuan dan signifikansinya dimaksudkan untuk menjelaskan pentingnya penelitian ini dan kontribusinya bagi pengembangan keilmuan, terutama dalam studi hadis. Kemudian kerangka teori yang penulis pakai dalam penelitian ini sebagai framework atau kerangka berfikir. Dilanjutkan dengan telaah pustaka untuk memberikan penjelasan di mana posisi penulis dalam penelitian ini dan apa yang baru dalam
penelitian
dimaksudkan untuk
ini.
Sedangkan
metode
dan
langkah-langkahnya
menjelaskan bagaimana proses dan prosedur serta
langkah-langkah yang akan dilakukan penulis dalam penelitian ini, sehingga sampai kepada tujuan menjawab problem-problem akademik yang menjadi kegelisahan penulis. Bab II merupakan uraian tentang sketsa general epistemologis atau gambaran umum peta studi hadis dikalangan sarjana Muslim maupun orientalis. Dalam dua ini penulis akan mengkaji sejarah asal-usul dan basis nalar perkembangan studi H}adi>s| hingga membentuk sebuah bangunan keilmuan. Pembahasan ini menjadi penting sebagai titik pijak untuk memahami lebih lanjut persoalan epistemologi dalam bangunan ilmu H}adi>s|. Dari sini, diharapkan penulis akan menemukan kejelasan mengenai akar-akar
32
pemikiran kedua tokoh tersebut dalam wacana epistemologi studi H}adi>s| kontemporer. Jadi, pada dasarnya bab dua ini merupakan pemetaan sejarah epistemologi studi H}adi>s| yang juga dapat berfungsi sebagai landasan teori untuk memotret pemikiran kedua tokoh tersebut. Bab dua ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan “epistemologi” sebagai kerangka dasar kerja ilmiah. Pemaparan ini merupakan deskripsi teoritis mengenai epistemologi itu sendiri, mulai dari pengertian, ruang lingkup, serta kajian mengenai H}adi>s| dalam poteret epistemologi. Pemaparan ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum problem-problem yang dikaji dalam epistemologi, sehingga akan mudah difahami ketika perspektif epistemologi ini diaplikasikan dalam studi hadis. Bab III merupakan kajian tentang fundamental idea atau pokok-pokok pemikiran Josep Schacht dan Harald Motzki dalam studi H}adi>s|. Bab ketiga ini dimulai dengan pembahasan mengenai profile atau biografi dari kedua tokoh tersebut, bagaimana setting sosio-historis, karir akademik dan karyakaryanya serta pandangan para pemikir (baca: ulama) mengenai kedua tokoh. Hal ini penting untuk diungkap, sebab setiap pemikiran seseorang adalah anak zamannya, ia pasti selalu terkait dengan setting sosio-historisnya (based on socio-historical contexts). Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan ide-ide pokok yang digulirkan Schacht dan Motzki, meliputi kajian mengenai metodologi otentikasi Hadis serta teori teori yang dikembangkan oleh keduanya. Dari sini akan tampak bagaimana akar-akar pemikiran dan posisi Schacht dan Motzki di kalangan pengkaji H}adi>s| di dunia Barat (orientalis).
33
Bab ketiga ini akan menjawab rumusan masalah pertama yaitu tentang apa dan bagaimana fundamental idea (ide-ide pokok/pokok-pokok pikiran) yang digulirkan oleh Schacht dan Motzki dalam studi H}adi>s|. Bab IV akan dibahas struktur epistemologi Schacht dan Motzki dalam studi H}adi>s|. Kemudian dilanjutkan dengan analisis komparatif terhadap kerangka epistemologi tersebut dari sisi persamaan dan perbedaan diantara keduanya (Schacht dan Motzki). Dalam bab keempat ini akan dibahas juga mengenai kontribusi serta implikasi dari ‘studi H}adi>s|’ yang dilakukan oleh Schacht dan Motzki terhadap perkembangan kajian H}adi>s| kontemporer. Bab keempat ini akan menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga, yaitu bagaimana kerangka epistemologi dan implikasi dari studi H}adi>s| yang dilakukan oleh Schacht dan Motzki. Bab V adalah penutup berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas rumusan masalah sebelumnya dan diakhiri saran-saran konstruktif bagi penelitian lebih lanjut.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari seluruh pemaparan pada bab-bab terdahulu maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok masalah yang diajukan, sebagai berikut :
1. Fundamental ideas (pokok-pokok pemikiran) Joseph Schacht dan Harald Motzki yang berkaitan dengan studi H}adi>s| tercermin dalam teori-teori yang dikembangkannya. Adapun pokok-pokok pemikiran Joseph Schacht yang berkaitan dengan Sunnah/H}adi>s| yaitu, pertama, Konsep dan eksistensi
Sunnah sebagai “living tradition”. Kedua, Projecting Back, sebagai teori yang menggambarkan proses terbentuknya sanad dan kecendrungan kaum Muslim terhadap otoritas referensial masa lalu. Ketiga, Argumentum e
silentio, suatu teori untuk mendeteksi keberadaan h}adi>s| pada suatu masa, dengan cara pembuktian bahwa sebuah h}adi>s| tidak ada pada satu masa adalah dengan merujuk bahwa hadis tersebut tidak digunakan sebagai dalil dalam suatu diskusi hukum, yang merupakan sebuah keharusan kalau memang h}adi>s| itu ada. Keempat, Common Link, yakni pendeteksi validitas
h}adi>s| atau asal usul sumber h}adi>s|. Keempat tesis ini sesungguhnya saling berkaitan satu sama lain, dan sekaligus menggambarkan fundamental idea pemikiran Schacht dalam merekonstruksi asal usul H}adi>s|.
299
300
Adapun Fundamental ideas (pokok-pokok pemikiran) Harald Motzki yang berkaitan dengan Sunnah/H}adi>s| yaitu, terbingkai dalam logika pembuktian otentisitas h}adi>s| yang meliputi keotentikan Mus}annaf ‘Abdul ar-Razza>q, analisis prosentase periwayatan, External Criteria of Authenticity dan
Internal Formal Criteria of Authenticity, dan analysis isna>d cum matan, yaitu menganalisis teks sanad maupun matan h}adi>s yang terdapat dalam
Mus}annaf 'Abdul ar-Razza>q, 2. Adapun perbedaan dan persamaan kerangka epistemologi studi H}adi>s| Joseph Schacht dan Harald Motzki terlihat dari beberapa aspek. gugus
paradigmatik yang jadi acuan Schaht adalah paradigma skeptis revisionis, sedangkan Motzki adalah midle ground traditionalis. Sumber rujukan yang digunakan Schacht dalam penelitiannya mengacu pada al-Umm, al-Risa>lah dikomparasikan dengan al-Muwat}t}a’ Ma>lik ibn Anas, Abu> Yu>suf dan alSyaiba>ni>. Mewakili peradaban hukum Mesir, Madinah dan Kuffah Bas}rah, sedangkan Motzki mengacu pada Mus}annaf ‘Abdul Razza>q, yang Mewakili tradisi hukum Makkah. Jika Schacht menggunakan pendekatan Historical
approach yang menelusuri kondisi sosial historis dan politik, sedangkan Motzki menggunakan Historical approach yang terfokus pada biographical
literature. Adapun metode yang digunakan Schacht dalam penelitiannya adalah Historical Critical Method atau kritik sejarah dengan pola kritik sumber (Source Criticism), sedangkan Motzki menggunakan Historical
Critical Method atau kritik sejarah dengan pola form and redaction criticisme. Thoeritical framework yang digunakan Schacht bertumpu pada
301
Dating (kapan, siapa dan dimana) dengan pola penanggalan berdasarkan sanad dan berdasarkan kitab-kitab h}adi>s|, sedangkan Motzki bertumpu pada
Dating (kapan, siapa dan dimana) dengan pola penanggalan berdasarkan sanad dan matan. 3. Implikasi pemikiran Josep Schacht terhadap perkembangan studi H}adi>s|. Terlihat bahwa kajian yang dilakukan Schacht memiliki pengaruh besar terhadap para sarjanawan lainnya. Pengembangan studi H}adi>s| khusunya di dunia Barat masih mengacu pada teori yang dikembangkannya. Bahkan banyak teori-teori baru tentang h}adi>s| yang muncul sebagai respon dari teoriteori yang digulirkan Joseph Schacht, dalam hal ini termasuk Harald Motzki sendiri. Adapun Implikasi dari pemikiran Motzki terhadap perkembangan studi H}adi>s| dapat dilihat, pertama, melalui penelitiannya tersebut Motzki mampu merubah imej atau asumsi dasar yang selama ini diyakini oleh para orientalis, yaitu meragukan keotentikan Sunnah atau h}adi>s|, menjadi sesuatu yang
secara
akademis
dapat
dibuktikan
oetentisitasnya.
Kedua,
menunjukkan bahwa tidak semua orientalis, khususnya yang mengkaji
h}adi>s, meragukan atau menolak keotentikan hadis. Ketiga, melalui penelitian yang tergolong baru ini, Motzki telah melakukan terobosan baru dalam kajian h}adi>s kontemporer yang memberikan inspirasi terhadap peneliti selanjutnya. Jenis penelitian Motzki dapat dibilang langka di kalangan orientalis, karena secara umum para orienlais dalam melakukan kajiannya terhadap Islam, khususnya yang berkaitan dengan h}adi>s, mempunyai asumsi dasar skeptisisme dan curiga. Sehingga mereka enggan
302
mengambil kesimpulan dari literatur-literatur klasik yang ada. Sedangkan Motzki justru menyimpulkan setelah melakukan dating terhadap kitab
Mus}annaf ‘Abdul ar-Razza>q, terlebih dengan menggunakan pendekatan traditional-historical.
B. Saran-Saran Berkaitan dengan penelitian ini ada beberapa saran yang perlu peneliti sampaikan: 1. Penelitian ini sangat terbatas dan jauh dari sempurna, hal ini karena penulis hanya mendasarkan penelitaannya pada sebagian kecil apa yang diungkapkan oleh Joseph Schacht dan Harald Motzki dalam karya-karya mereka. Karenanya untuk mendapatkan hasil yang komprehensif perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan tidak hanya mendasarkan pada karya-karya utama Schacht dan Motzki. 2. Mengingat masih minimnya kajian terhadap penelitian tentang pemikiran orientalis khususnya dalam bidang h}adi>s, maka diharapkan penelitian ini dapat menggugah rasa ingin tahu atau ketertarikan bagi peneliti berikutnya dan berupaya menggunakan berbagai sumber data yang jauh lebih lengkap dan terjangkau. Akhirnya dengan bersyukur kepada Allah SWT yang atas rahmat dan karunianyalah penelitian ini dapat selesai, dengan segala kekurangannya. Tanpa rahmat dan hidayah-Nya kita tidak akan mampu melakukan apa yang ingin kita lakukan. Dan yang terakhir penyusun haturkan hormat dan banyak
303
terimakasih kepada pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, serta segenap kawan-kawan yang telah banyak membantu
dalam proses
penelitian kesarjanaan ini. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis dan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA A’z}ami>, Muh}ammad Mus}t}afa,> Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muh}addis}i>n: Nasy’atuh wa Ta>ri>khuh, Saudi Arabia: Maktabah al-Kaus}ar, 1990. -------, Studies in Hadith Methodology and Literature, terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera Basritama, 2003. -------, Dira>sa>h Fi> al-Hadi>s| an-Nabawi> wa Tari>kh Tadwi>nihi, Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>>, 1980. -------, Studies in Early Hadith Literature: With a Critical Edition of Some Early Texts, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1968. A>midi>, al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983. Abbot, Nabia, Studies in Arabic Literary Papyri, Vol.II, Chicago: The University of Chicago Press, 1957. Abd al-Wahha>b Khala>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, Beirur: Da>r al-Fikr, 1968. Abdul Aziz Dahlan, “Pengajaran Tentang Tuhan dan Alam: Faham Tauhid Ibn ‘Arabi, dalam Ulum al-Qur’an, vol. III, No. 4/1992. Abdullah, Amin, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman pada Era Melinium Ketiga” dalam Jurnal al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies IAIN SUKA, No. 65/VI/2000. -------, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam Ahmad Baidowi, dkk. (ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003. -------, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. -------, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Adams, Charles J, “Islamic Religious Traditions”, dalam The Study of the
Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, (ed.) Leonard Binder, New York: John Wiley&Sons, 1976.
Amin, Kamaruddin, "Book Review Te Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh Before the Classical Schools", dalam al-Ja>mi'ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 41, No. 1, 2003. -------, “Non-Muslim (Western) Scholar’s Approach to H{adi>ts: An Analytical Study on the Theory of Common Link and Single Strand”, Al-Jami’ah, Vol. 40, No. 1, Januari-Juni 2002. -------, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah, 2009.
Ankersmit, F.R, Refleksi tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern tentang Sejarah, alih bahasa. Dick Hartoko, Jakarta: PT. Gramedia, 1987. Anton Bekker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999. Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, New York: St. Martin’s Press, 1979. Anwar, Syamsul, “Paradigma Pemikiran Hadis Modern” dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer, Hamin Ilyas dan Suryadi (ed.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. -------, Epistemologi Hukum Islam Dalam al-Mustas}fa> Min ‘Ilm al-Us}u>l karya alGhazza>li> (450-505/1058-1111), Disertasi, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000. Arfa, Faisar Ananda, Sejarah Pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis Tentang Hukum Islam di Mata Barat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Arif, Syamsuddin, “Gugatan Orientalis Terhadap Hadis”, dalam Jurnal al-Insan, Vol. 2, Jakarta: LKP al-Insan, 2005. Asqala>ni>, Syiha>b al-Di>n Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H}ajar, Tahz|ib> al-Tahz|ib> , juz iv, cet. I, ttp: Dar al-Fikr, 1984. Asy’ari, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berfikir, Yogyakarta: LESFI, 1999. Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedia Tokoh Orientalis, terj. Amroeni Drajat, Yogyakarta: LkiS, 2003. Bagda>di>, Abu> Bakr bin ‘Ali> Tsa>bit al-Khati>b, Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm alRiwa>yah (Mesir: Mat}ba’ah al-Sa’a>dah, 1972. Bakar, Osman Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1997. Bas}ri>, al-Mu’tamad fi> Us}u>l al-Fiqh, edisi Muhammad Hamidullah dkk, Damaskus: Institut Francis de Damas, 1964. Benjamin, A. Cornelis “Philosophy of Science”, dalam Dagabert D. R. Runer (ed.), Dictionary of Philosophy, Totowa, 1975. Berg, Herbert, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period, Richmond, Surrey: Curzon, 2000. Brown, Daniel W., Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000. Brown, Harold I, Perception, Theory, and Commitment: the New Philosophy of Science, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1977. Bukha>ri>, Abu> ’Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, juz II, Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Burton, John, An Introduction to The Hadith, Edinburg: Edinburg University Press, 1994. C. Varhak dan R. Haryanto Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991. Charles J. Adam, “Islamic Religious Tradition,” dalam The Study of the Middle
East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, edited by Leonard Binder, New York, John Wiley & Sons,1976.
Chilsolm, Roderick M, Theory of Knowledge, New Jersey: Prentice Hall, 1989. Cornman, J.W, “Epistemology”, dalam Encyclopedia Americana, Vol. 10, 1973. D. W. Hamlyn, “History of Epistemology”, dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, New York-London: Macmillan Publishing Co., Inc., & The Free Press, 1990. Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy, New York: Barnes & Noble, inc., 1971. Daya, Burhanuddin, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar Dasar Oksidentalisme, Yogyakarta: SUKA Press, 2008. E. Doyle McCarthy, Knowledge as Culture: The New Sociologi of Knowledge, London and New York: Routledge, 1996. El Fadl, Khaled Abou, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld Publication, 2003. Emmanuel Sivan, Interpretations of Islam: Past and Present, Princeton New Jersey: The Darwin Press, 1985. Fadl, Khaled M. Abou, Speaking In God's Name: Islamic Law, Authority And Women, Oxford: Oneeword Press, 2001. Ghazza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, Kairo: Syairkah al-T}iba>’ah al-Fanniyyah al-Muttah}idah, t.th. Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1991. Goldziher, Ignaz, Muhammedanische Studien, terj. S.M. Stern sebagai Muslim Studies, t.p: London, 1967. Gotterbarn, Donal, dalam Barnes dan Noble, New American Encyclopedia, USA: Grolier Incorporated, 1991. Gregory Baum, Agama dalam Bayang-Bayang Relativisme Sebuah Analisis
Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim tentang Sintesa Kebenaran Historis Normatif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
H.A.R Gibb, “Islamic Biographical Literature” dalam Historians of the Middle East, ed. Bernard Lewis dan P.M Holt, London: Oxford University Press, 1962.
Hallaq, Wael B, “On Inductive, Probability and Certainty in Sunni Legal Thought”, dalam Heer (ed.), Islamic Law and Jurisprudence, SeattleLondon: University of Washington Press, 1990 -------, “The Authenticity of Prophetic H{adi>th: A Pseudo-Problem”, Studia Islamica, 1999. Hanafi, Hasan, Islam in The Modern World: Tradition, Revolution and Culture, Kairo: Dar Kebaa, 2000. Harold Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Delhi India: Adam Publisher & Distributors, 1994. Abbas, Hasjim, “Pembakuan Redaksi (matan) Hadis Pasca Al-Kutub Al-Sittah Dalam Konteks Istibat Hukum”, dalam Jurnal Al-Tahrir, Vol. 2 No. 1 Januari 2002. -------, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: TERAS, 2004. Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1963. Heddy Shri Ahimsa Putra, “Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu SosialBudaya”, Makalah Pelatihan Metodologi Penelitian diselenggarakan oleh Center for Religious and Cultural Studies dan Universitas Gadjah Mada (CRCS-UGM), 12 Februari s.d. 19 Maret 2007. Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey, Philadelphia: Temple University Press, 1987. Hornbay, A.S, Oxford Advanced Leaners Dictionary of Current English, Oxford: Oxford University Press, 1963. Ian Richard Newton, Al-Farabi and His School, London: Routledge, 1992. Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Beirut: Dar Lisa>n al-‘Arab, t.t. Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. -------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. -------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. -------, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994. Jala>luddi>n ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> Bakr Al-Suyu>t}i>, al-Tadri>b al-Ra>wi> Syarh Taqri>b al-Nawa>wi>, Mesir: Maktabah Dar al-Hadis, 2002. Jauzi, Ibn Qayyim, I’la>m al-Muwaqqi’i>n ’an Rabb al-’A
n (Al-Muqaddimah), Abu> ’Ubaidah Masyhu>r ibn H{asan An (ed.), Jilid I, Riyadh: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H.
Juwaini>, al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh, Qatar: Ida>rah al-Syu’u>n al-Di>niyyah, t.t. Juynboll, G.H.A, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early H{adith, Cambridge: Cambridge University Press, 1983. Karier, The Scientists of Mind, Chicago: University of Illinois Press, 1986. Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2002. -------, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003. Lee, Robert D., Overcoming Tradition and Modern : The Search for Islamic Authenticity, Boulder dan Oxford: Westview Pres, 1997. Lewis White Beck, Philosophy Inquiry: an Introduction to Philosophy of Science, New York: Prentice Hall, 1952. Longhurst, Brian, Karl Mannheim and the Contemporary Sociology of Knowledge, New York: St. Martin’s Press, 1989. Mah}mu>d al-Tah}h}a>n, Taisir Mus}t}alah} al-H{adi>s|, Beirut: Da>r al-Fikr, t.th. Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}is\ fi> Ulu>m al-H{adi>s|, Beirut: Maktabah Wahbah, 1425 H Margaret Smith, Readings from the Mystical of Islam, London: 1970. Masrur, Ali, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta: LKiS, 2007. Minhaji, Akhmad, Joseph Schacht’s Contribution to the Study of Islamic Law, terj. Ali Masrur, dengan edisi Indonesianya Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta: UII Press, 2001. Motzki, Harald “Dating Muslim Traditions: A Survey”, Arabica Journal of Arabic and Islamic Studies 42, April 2005. -------, “The Mus{annaf of al-Razza>q al-S{an'ani a Source of Authentic Ahadith of the First Century”, dalam jurnal Near Eastern Studies, Vol. 50. No. 1, Chicago: Chicago University Pres, 1991. -------, “The Propeht and Car on dating Ma>lik's Muwat{a and legal Tradition”, dalam jurnal Jerussalem Studies in Arabic and Islam, Vol. 22. No. 1, 1998. -------, The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical Schools, Translated by Marion H. Katz, Leiden: Brill, 2002. Muh}ammad ‘Abd al-‘Az|i>m al-Zarqa>ni>, Syarh al-Zarqa>ni> ‘Ala al-Muwat}t}a> alMa>lik, juz I, Beirut: Da>r al-Fikr, 1936. Muh}ammad ‘Aja>j al-Khat}ib> , Us}u>l al-H{adi>s;\ ‘Ulu>muhu wa Mus}t}alah}uhu, Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
--------, al-Sunnah Qabla Tadwi>n, Kairo: Maktabah Wahbah, 1963. Muh}ammad Ibn Sa’ad, At-T}aba>qat Al-Kubra, 9 Jilid, Beirut: Dar Shadir, t.t. Muh}ammad Mah}fu>z} al-Tarmusy, Manhaj Z|awi> al-Naz}ar, Beirut: Da>r al-Fikr, t.th. Muh}ammad T}a>hir al-Jawabi, Juhu>d al-Muh}addis|i>n fi> Naqd Matn al-H}adi>s| alNabawiy al-Syari>f , Tunisis: Muassasah ‘Abd al-Karim, 1986. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Reka Sarasin, 1996. Muhammad ‘Âbid Al-Jâbirî, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Beirut: Markaz Dirâsât al-Wihdah al-‘Arabiyah, cet. 4, 1989. Muir, William, The Life of Muhammad and The History of Islam to The Era of Hegeria jilid 4, London: Osnaburk, 1988. Muslim bin al-H}ajja>j, Muqaddimah al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}, jilid. I, Mesir: Isa al-Babi wa Syurakah, 1955. Muslim, Ima>m, S{ah}i>h} Muslim, Juz II, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th. Mustaqim, Abdul, “Teori Sistem Isna>d Otentisitas Hadis menurut Perspektif M.M Azami” dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer, Hamim Ilyas dan Suryadi (ed.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Nasr, Sayyed Hoesen, “Mulla Shadra: His Teaching” dalam Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy, jilid I, London: Routledge, 1996. Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H}adi>s|, Beirut: Da>r al-Fikr, 1981. O’Connor nad Carr, Introduction to the Theory of Knowledge, Brighton: Harvaster Press, 1982. Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Jilid III, New York: Macmillan Publishing Co, 1972. Philip Babcock Gove (ed.), Webster’s Third International New Dictionary of the English Language (Massachusetts, USA: G. & C. Merriam Company, 1966. Pius A Partanto dan M Dahlan AL Barry, Kamus Ilmiayah Popular, Surabaya: Arkaloka, 1994. Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965. Ramahurmuzi, Al-H}asan Ibn ‘Abd Rahma>n, al-Muh}addis al-Fa>s}il Baina al-Ra>wi>, di tahqi>q oleh Muh}ammad ‘Aja>j al-Khat}ib> , cet. I, Beirut: Dar al-Fikr, 1971. Rif’at Fauzi ‘Abd al-Mut}t}alib, Taus|i>q al-Sunnah fi> al-Qarni al-S|a>ni> al-Hijri> Ususuhu wa Ittija>ha>tuh, Mesir: Maktabah al-Khanji, 1981.
Robson, James, “Tradition The Second Foundation of Islam” dalam Edwin E. Calvzrery (ed.), The Muslim World A Quarterly Review of History, Culture, Religion & The Cristian Mission In Islamdom, volume XLI, No. 1, Januari 1951. Rosenthal, Franz, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Leiden: E.J Brill, 1970. Russell, Bertrand Religion and Science, London: Oxford University Press, 1982. S}a>lih}, S}ubh}i>, ‘Ulu>m al-H}adi>s| wa Mus}t}alah}uhu, Beirut: Da>r al-‘Ilm li al-Malayin, 1977. Said, Edward, Orientalism, Rutledge and Kegon Poul, London an Henley: 1978. Sardar, Ziaudin, Explorations in Islamic Science, Albany: SUNY Press, 1989. Schacht, Joseph, “Law and Justice” dalam The Cambridge History of Islam, terj. INIS, Jakarta: INIS, 1988. -------, An Inrtroduction to Islamic Law, Oxford: Clarendon Press, 1950. --------, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press, 1950. Schimmel, Annemarie, And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Pietty. Edisi Indonesia Dan Muhammad Adalah Utusan Allah: Cahaya Purnama Kasih Tuhan, Bandung, Mizan, 2012. ---------, dalam karyanya, Introduction to Islam, edisi Indonesianya Islam
Interpretatif: Upaya Menyelami Islam Dari Inti Ajaran, Aliran-Aliran Sampai Realitas Modernnya, terj. M. Chairul Annam, Jakarta: Inisiasi Press, 2003.
---------, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Sprenger, Alois, “On The Origin of Writing Down Historical Records among the Musulmans”, Journal of the Asiatic Society of Bengal 25, 1859. Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002. Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet. XVI, Jakarta: Sinar Harapan, 2003. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar dan Metode Teknik, Bandung: Tarsio, 1990. Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003. Sya>fi‘i>, Muh}ammad Ibn Idri>s, Ikhtila>f al-H}adi>s|, Beirut: Da>r al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1986.
Sya>t}ibi, Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn Mu>sa> ibn Muh}ammad al-Lakhmi> > (w. 790 H.), AlMuwa>faqa>t, Juz IV, t.t.: Da>r Ibn ‘Affa>n, t.th. Syira>zi, Abu> Ish}a>q, T}abaqa>t al-Fuqaha>, ed. Ih}sa>n Abba>s, Beirut: Da>r al-Ra>’id al‘Arabi, 1980. T}abari>, Muh}ammad Ibn Jari>r, Tārīkh al-Rusūl wa al-Mulk, Ed. Muh}ammad Abu> Fad}l Ibra>hi>m, cet. Ke-4, 13 Jilid, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1382 H/1962. Teuku Ibrahim Alfian, “Tentang Metodologi Sejarah” Suplemen buku, Teuku Ibrahim Alfian et al., Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, Yogayakarta: Gajah Mada University Press, 1987. Trygver R. Tholfsen, Historical Thinking; an Introduction, New York: Hewven an Row Publisher, 1967. Waardenburg, Jacques “Islamic Studies”, Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 7, New York: MacMillan, 1996. Walsh, W.H, Philosophy of History, An Introduction, New York: Harper Torcbook, 1968. Wansbrough, John, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, translated by Andrew Rippin, New York: Prometheus Books, 2004.
Webster’s New World Dictionary of the American Language, Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1962. Weiss, Bernard, “Knowledge of the Past: the Theory of Tawa>tur According to Ghazali”, SI, LXI, Paris, 1985. Wibisono, Koento, “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”, dalam Tim Penyususn Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Klaten: Intan Pariwara, 1997. Willian James Earle, Introduction to Philosophy, New York-Toronto: Mc. GrawHill, Inc., 1992. Zaman, Iftikhar, “The Evolution of a Hadith: Transmission, Growth and the Science of Rija>l in a Hadith of Sa’d B. Abi Waqqas”, Disertasi Ph.D., Illinois: University of Chicago, 1991. Zuhri, Studi Islam Dalam Tafsir Sosial: Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Suka, 2008.
Appendiks I
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN EPISTEMOLOGI a) Spektrum Epistemologi di Dunia Barat Sejarah epistemologi di dunia Barat dapat kita telusuri titik pijaknya dimulai dari era Plato. Diskursus epistemologi pada era ini berkisar pada problem the origin of knowledge, yakni pembahasan mengenai sumber pengetahuan untuk memahami realitas atau alam. Dalam pandangan Plato, segala sesuatu yang dapat diketahui oleh manusia adalah berasal dari “idea”, yaitu ide ide yang telah tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide ‘kebaikan’ atau ‘keadilan’ misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui melalui pengalaman historis empiris induktif, tetapi diperoleh dari ‘ide bawaan’ yang dibawa oleh manusia sejak ‘sebelum’ lahir.1 Dengan ide bawaan tersebut manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu, dan dari sinilah muncul pengetahuan. Jadi, untuk memperoleh ‘pengetahuan’, setiap orang cukup “mengingat kembali” (recollection) ide ide bawaan tersebut yang bersifat tetap, tidak berubah dan kekal.2 Atas dasar
1
Plato tidak pernah menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia lewat pengalaman inderawi. Baginya, pengetahuan empiris sebagai hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh (pasti) karena sifatnya yang selalu berubahubah, sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya. Sesuatu yang tidak mengalami perubahanlah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato juga menegaskan bahwa alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya, melainkan dunia ‘idea’ inilah alam sesungguhnya (reality). Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 158. 2
Dalam hal ini nampaknya Plato banyak terpengaruh oleh Phytagoras dan menaruh perhatian begitu besar kepada matematika untuk mempelajari dunia. Alam idea yang tidak berubah-ubah itu dianalogikan dengan rumus matematika yang bersifat tetap. Lihat Amin
1
inilah kemudian dunia ‘idea’ oleh Plato lebih diunggulkan dari pada dunia pengalaman empirik.3 Konsep “idea” yang digulirkan oleh Plato kemudian mendapat respon dari Aristoteles dengan menegaskan bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Kalau Plato menekankan adanya dunia “idea” yang berada di luar benda-benda yang konkret (empirik), maka Aristoteles tidak mengakui adanya dunia seperti itu.4 Pengetahuan dan pemahaman yang bersifat universal bukan hasil bawaan dari sejak lahir, melainkan hasil dari proses panjang pengamatan empirik manusia. Inilah yang disebut sebagai proses “abstraksi”. Aristoteles mengakui bahwa pengamatan inderawi itu berubah-berubah, tidak tetap, tidak kekal, tetapi dengan pengamatan dan penyelidikan yang terus-menerus terhadap hal-
Abdullah, “Aspek Epistemologi Filsafat Islam”, dalam Seri Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 29-30; Harold Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat..., hlm. 256. 3
Dari pola ini maka Plato lebih menekankan “monisme” dan bukan “Pluralisme”. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar, kapankah ide ide bawaan yang “telah dilihat manusia sebelum hidup itu tumbuh berkembang? Bagaimana mekanisme tumbuh dan berkembangnya potensi tersebut? Apakah pengalaman inderawi tidak punya andil sama sekali dalam mengaktualisasikan potensi tersebut? Apakah tanpa pengalaman empirik manusia dapat memperoleh pengetahuan? Sekalipun Plato tidak menafikan sama sekali fungsi inderawi, akan tetapi peran pengalaman inderawi tetap saja dianggap minor. Plato juga tidak mendeskripsikan secara tuntas bagaimana munculnya hukum-hukum dan ide-ide yang bersifat universal, bahkan tidak membicarakan juga bagaimana hubungan antara dunia “idea” yang dianggap tetap, kekal, dan tidak berubah-ubah dengan dunia yang tidak kekal itu. Lihat Harun Hadiwiyono, Seri Sejarah Filsafat Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 40-42; Amin Abdullah, “Aspek Epistemologi Filsafat Islam”..., hlm. 30; Edith Hamilton and Huntington Cairns (ed.), Plato: The Collected Dalogues (Pricenton University: Press, 1961). 4
Aristoteles adalah murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Meskipun demikian Pemikiran Aristoteles tentang asal-usul pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan merupakan kritik sekaligus sanggahan terhadap pemikiran Plato. Lihat Harun Hadiwiyono, Seri Sejarah..., hlm. 50.
2
hal dan benda-benda konkret, maka akal atau rasio akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya dari benda-benda yang konkret tersebut. 5 Kerangka epistemologi Plato dan Aristoteles secara singkat dapat dikemukakan seperti yang tertera pada tabel berikut: TABEL I KOMPARASI EPISTEMOLOGI PLATO DAN ARISTOTELES KERANGKA PLATO ARISTOTELES PEMIKIRAN Pandangan tentang dunia Ada 2 dunia: dunia ide & dunia Hanya 1 dunia: Dunia nyata sekarang (semu) yang sedang dijalani Kenyataan yang sejati Ide-ide yang berasal dari Segala sesuatu yang di alam “dunia idea” yang dapat ditangkap indra Pandangan tentang Terdiri dari badan dan jiwa. Badan dan jiwa sebagai satu manusia Jiwa abadi; badan fana (tidak kesatuan tak terpisahkan. abadi). Jiwa terpenjara badan. Asal pengetahuan Dunia idea. Namun tertanam Kehidupan sehari-hari dan alam dunia nyata dalam jiwa yang ada dalam diri manusia. Cara mendapatkan Mengeluarkan dari dalam diri Observasi dan abstraksi, pengetahuan (Anamnesis) dengan metoda diolah dengan logika bidan
Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filusuf di era berikutnya, khususnya era ‘filsafat modern’ (abad 14 M – 16 M), dan melahirkan beberapa aliran pokok dalam
5
Kebalikan dari Plato, Aristoteles menekankan perlunya memanfaatkan pengalaman inderawi untuk menemukan konsep dan idea yang bersifat universal. Bagi Aristoteles tanpa pengamatan inderawi, manusia tidak bisa menemukan pengetahuan dan kebenaran. Diferensiasi tersebut kemudian membentuk karakteristik dari episteme masing masing. Jika Plato dengan tegas memisahkan secara radikal antara “dunia idea” yang dianggap kekal dan tetap, dengan “dunia empiris” yang berubah-ubah, maka Aristoteles menyatakan adanya relevansi antara “dunia idea” dan “dunia empiris” dalam menemukan pengetahuan, terutama pada pengalaman dan pengamatan empiris terhadap objek eksternal. Sehingga hubungan antara wilayah empirisinderawi dengan wilayah idea-intelektual tetap dipertahankan oleh Aristoteles. Dari sini kemudian muncul ide-ide dan hukum-hukum yang bersifat universal dan dirumuskan oleh akal atau intelek manusia melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi. Perbedaan ini mengesankan bahwa, Plato adalah filusuf yang serba merenung, mengingat-ingat ide yang telah dilihatnya sebelum hidup di alam dunia, sedangkan Aristoteles adalah figur seorang pemikir yang memperhatikan dan menekankan pengalaman empiris. Lihat Harun Hadiwiyono, Seri Sejarah..., hlm. 52.
3
epistemologi. Filsafat modern lahir dari sebuah drama besar yang mengisahkan tentang kegelisahan pencarian kepastian bagi kebenaran dan pengetahuan manusia. Era ini dikenal dengan istilah renaissance atau pencerahan, serta kebangkitan manusia terhadap jati dirinya melalui akal/budi (rasio) setelah mengalami masa dominasi Gereja pada ‘abad pertengahan’ (abad 4 M – 13 M). Seluruh hasil pengetahuan dari masa lalu disangsikannya. ‘Meragulah’, maka kau akan menemukan kebenaran, begitu kira-kira semangat zaman saat itu, dan ‘skeptis’ menjadi cara hidup yang dibudayakan.6 Di era filsafat modern diskursus epistemology tidak hanya berada di seputar pembahasan mengenai sumber ilmu pengetahuan, melainkan juga pembahasan mengenai “metodologi”. Orientasi umum yang menjadi karakteristik pembahasannya adalah mempertentangkan secara tegas antara dunia “subject” dan “object”, yakni perbedaan yang tajam antara “akal fikiran manusia yang dapat mengetahui” (knowing subject) dan “dunia luar” (the
external world) yang selalu dijumpai setiap hari dan diupayakan untuk diketahui dan difahami.
6
Era ‘filsafat modern’ adalah babak baru dalam sejarah pemikiran manusia di mana ‘rasio’ menempati puncak singgasana kehormatan. Dengan ‘rasio’ manusia modern telah menemukan dirinya sebagai makhluk yang benar-benar merdeka, tidak lagi menjadi subordinasi dari otoritasotoritas palsu yang berada di luar dirinya, seperti di era filsafat ‘abad pertengahan’, di mana ‘Gereja’ memiliki otoritas penuh untuk menentukan kebenaran dan pengetahuan bagi setiap orang. Karakteristik episteme ‘abad pertengahan’ adalah bahwa pengetahuan dan ilmu didasari dari penalaran yang berada dalam subordinasi institusi keimanan (Gereja), bahkan Gereja dan aparat inkuisisinya punya hak untuk menggunakan kekerasan terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan doktrin Gereja. Aktivitas ilmu pengetahuan hanya diorientasikan untuk memahami makna dan signifikansi segala sesuatu, dan bukan dalam rangka observasi atau discovery. Lihat H. Suhar, Filsafat Umum: Konsepsi, Sejarah dan Aliran (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), hlm. 122 dan 143.
4
Gaya berfikir Plato yang dikenal dengan istilah “idealism”, di kemudian hari melahirkan aliran ‘rasionalisme’ yang mencapai puncaknya pada abd ke-17 dan ke-18.7 Paham Idealisme atau rasionalisme lebih menekankan pentingnya peran ‘akal’, ‘idea’, ‘category’, ‘form’, sebagai sumber utama pengetahuan. Berkenaan dengan persoalan ‘dasar’ dan justifikasi atau pembenaran pengetahuan, kaum rasionalis menegaskan bahwa seluruh pengetahuan ditemukan dalam akal, yang tidak perlu menuntut bukti pengalaman untuk menunjukkan kebenarannya. Akal (rasio/ide) adalah pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran, dengan akal pula manusia dapat mengetahui struktur dasar alam dunia ini secara a-priori. Rasionalisme
mengidealkan
cara
kerja
deduktif
dalam
memperoleh
pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari kebenaran kebenaran a-priori yang diketahui secara jernih oleh akal manusia.8
7
Gerakan ini bermula pada era renaisans (pencerahan/aufklarung) pada abad 14-16 M, pada zaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk pola baru dalam filsafat. Zaman renaissans terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir. Pada zaman ini juga manusia di Barat mulai berpikir untuk melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah mengungkung kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan. Lihat Rizal Mustasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 69-71. 8
Di alam fikir Rasionalisme, akal/rasio berada pada subjek, dan asal pengetahuan tentu harus dicari pada subjek. Dengan aktifitas rasio yakni “berfikir” inilah yang membentuk pengetahuan dan dengan pengetahuannya manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Berbeda pengetahuan maka berbeda pula perbuatan dan tindakannya. Tumbuhan dan binatang tidak berfikir, maka mereka tidak berpengetahuan, mereka juga memperoleh pengalaman seperti manusia, namun demikian tidak mungkin mereka membentuk pengetahuan dari pengalamannya. Lebih jauh baca D.W. Hamlyn dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy (London: Collier-Macmillan Limited, 1967), hlm. 16-17, 23, 28.
5
Rasionalisme menemukan momentum besarnya di tangan Rene Descartes (1596-1650). Dialah tokoh yang pertama kali meletakkan dasar teori rasional dalam wacana filsafat Modern, terutama pada kesadaran budi (akal/rasio) sebagai upaya pencapaian kepastian bagi kebenaran dan pengetahuan manusia. Descartes dianggap sebagai protagonis pencerahan (renaissance). Ia mengklaim telah menemukan metode filsafat yang tajam dan kritis, yaitu “metode” yang dimulai dengan meyangsikan segalanya. Ia merumuskan dalam satu helaan nafas, dengan satu kalimat yang sangat terkenal “cogito ergo sum”. Rumusan dasar mengenai cogito ergo sum diakui Descartes sebagai primum philosopicum yang dipandangnya final bagi segala jenis pengetahuan. Baginya, filsafat adalah pencarian tentang kepastian. Kepastian ini hanya mungkin bila didasarkan pada evidensi yang meyakinkan.
Cogito ergo sum adalah simpul penegas untuk kepastian yang diupayakan itu.9
9
Rene Descartes adalah filusuf Francis. Tulisan-tulisan pentingnya ialah Discourse on Method, The Meditations, Principles of Philosophy, The Passions of the Soul dan Rules for the Direction of the Mind. Ciri utama dari sistem filsafatnya adalah penekanan pada kenyataan bahwa manusia seluruhnya dapat merasa yakin seyakinnya akan satu hal, bahkan oleh orang yang mengalami keraguan teramat sangat, hal tersebut adalah “keberadaan dirinya sendiri”. “Cogito Ergo Sum” (I think, therfore I am). Sistem filsafatnya disusun untuk menguji bagaimana sesungguhnya seseorang dapat memahami segala apa yang ada di luar dirinya (outside). Menurut Descartes metode untuk memperoleh pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya. Ia bermaksud menjalankan metode ini seradikal mungkin, oleh karena itu seluruh pengetahuan yang dimiliki seseorang harus diragu-ragukan. Baginya, apapun yang datang dari luar harus disangsikan. Descartes menyatakan bahwa dalam diri kita dapat ditemukan 3 ide bawaan (innate ideas): 1) ide pemikiran; karena aku mengenal diriku sebagai makhluk yang berpikir; 2) ide Tuhan sebagai wujud yang sempurna yang disimpulkan dari adanya ide yang sempurna dalam diriku padahal aku adalah makhluk yang tak sempurna. Pasti ada sesuatu yang sempurna telah menanamkannya padaku, yaitu Tuhan; dan 3) ide keluasan; aku mengerti materi sebagai keluasan (extention), sebagaimana dipelajari dan dilukiskan oleh ahli ilmu ukur. Lebih jauh lihat D.W. Hamlyn dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy …, ibid.; HB. Sutopo, “Metode Mencari Ilmu Pengetahuan: Rasionalisme dan Empirisme” dalam M. Toyibi (ed.), Filsafat Ilmu dan Perkembangannya (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 1999), cet ke-2, hlm. 72-73; Frederick Copleston, S.J, A History of Philosophy (London: Search Press, 1958).
6
Pijakan rasio yang dipegang Descartes, berpangaruh besar terhadap perkembangan pemikiran tokoh-tokoh filsafat sesudahnya, diantaranya di Prancis dengan tokohnya Blaisc Pascal (1623-1662M), Baruch Spinoza di Netherland (1632- 1677M), Leibniz (1646-1716) di Jerman, dan Cristian von Wolf (1679-1754).10 Walaupun corak pemikirannya berbeda menurut sudut pandang masing-masing, akan tetapi substansi teorinya yang digunakan sebagai landasan hipotesisnya tetap tunggal yakni rasio. Jika idealisme Plato melahirkan rasionalisme, maka karakter episteme Aristoteles yang dikenal dengan “realism” melahirkan aliran ‘empiricism’.
Realisme atau empirisme lebih menekankan peran ‘indera’ sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomor duakan. Dalam pandangan “empirisme”, penginderaan adalah satusatunya yang membekali akal manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasangagasan, dan potensi mental akal budi adalah potensi yang tercerminkan dalam berbagai persepsi inderawi.11 Kaum empiris percaya bahwa seluruh pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan hanya kebenaran logika, geometri dan matematika yang bisa diterima sebagai kebenaran walaupun
10
Tahap awal rasionalisme ditandai oleh tokoh tokoh besar di atas, yang memfokuskan kajiannya pada cara kerja ‘a priori’ dan ‘a posteriori’ dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Baru pada abad Ke-20-an cara kerja maupun dasar teoritis ilmu-ilmu disoroti lebih tajam dalam lingkup filsafat. Sebelumnya ilmu pengetahuan didekati dengan hukum dan aturan-aturan yang ketat dan harus dirumuskan dalam suatu teori dari hasil observasi. Dengan kata lain, mereka lebih memusatkan perhatiannya pada hubungan antara teori dengan keterangan observasi, tanpa memperhatikan asal mula dan pertumbuhan teori yang kompleks dalam kajian ilmiah. 11
Jadi, ketika kita menginderai sesuatu, kita dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal-budi kita. Adapun gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, tidak dapat diciptakan oleh jiwa, tidak dapat direkonstruksi secara esensial dan dalam bentuk yang berdiri sendiri.
7
tanpa referensi akan pengalaman. Empirisme juga menjadikan pengalaman inderawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan menjadi penjamin kepastian kebenaran pengetahuan dengan metode verifikasi induktif .12 Aliran ini muncul di Inggris, sebagai reaksi terhadap cara pandang ‘rasionalisme’. Pada awalnya dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626)13, dan mencapai puncaknya pada tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes (1588– 1679 M)14, John Locke (1632-1704)15 yang membantah Descartes dan kaum
12
Jullian Baggini, Philosophy: Key Themes (New York: Palgrave Macmillan, 2002), hlm.
40-41. 13
Francis Bacon hidup pada era renaisans (14-16 M). Bacon merupakan orang yang paling berjasa dalam mengembangkan metode ‘induksi’. Menurut Bacon, ilmu pengetahuan dan ilmuwan sampai dengan zamannya terlalu berupaya untuk mengontrol dan memanipulasi alam menurut kehendaknya. Alam tidak didekati sebagaimana adanya melainkan menurut kehendak manusia. Alam dipaksa untuk cocok dengan pengandaian dan cara pandang manusia. Alam tidak dibiarkan untuk memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya, tetapi selalu ditangkap dalam bingkai sudut pandang manusia. Dalam ‘induksi’ murni, ada empat tahapan penting yang harus dilalui. Pertama, identifikasi masalah. Kedua, pengamatan dan pengumpulan data. Ketiga, merumuskan hipotesis atas dasar fakta dan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis tadi. Keempat, tahap pengujian hipotesis. Tahap ini bermaksud untuk menguji lebih lanjut kebenaran hipotesis tadi dengan melakukan penelitian dan percobaan lebih lanjut untuk membuktikan apakah sebab yang menjadi dugaan dalam hipotesis tadi terbukti benar. Sasaran kritik Bacon di sini adalah kaum rasionalis yang lebih mengandalkan akal budi dalam menentukan kebenaran dan dengan demikian mengesampingkan peran pengamatan indrawi. Akibatnya, mereka sudah memiliki kebenaran atau kesimpulan apriori tertentu dalam benaknya. Karya terpentingnya adalah Magna Instauratio atau Great Instauration (pembaharuan besar), kemudian The Advancement of Learning yang terbit tahun 1606 dan Novum Organum (bab II dari Magna Instauratio). Lihat John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 55; The Experimental Philosophy: Francis Bacon (1561-1626 AD), hlm. 1. 14
Menurut Thomas Hobbes, ‘pengalaman inderawi’ merupakan permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah penggabungan data-data inderawi belaka. Lihat Harun Hadiwiyono, Seri Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 33. 15
John Locke, filusuf Inggris. Ia mengingkari adanya ide-ide fitri, yaitu ide-ide sejak lahir. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes tetapi ia menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman, dengan metode induksi. Menurutnya, sumber segala ‘ide’ kita adalah pengalaman, yang terdiri atas sensasi dan refleksi. Locke juga memandang manusia sebagai makhluk yang ditentukan oleh pengalaman dan lingkungannya. Ketika lahir, manusia seperti tabula rasa, kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman
8
rasionalis lainnya. Pasca John Locke, tokoh-tokoh empirisme selanjutnya adalah, George Berkeley (1684-1753)16 dan David Hume (1711-1776).17 Aliran
empirisme berusaha mengembalikan segala konsepsi dan ide kepada indera. Belakangan, aliran ini tersebar luas di kalangan filusuf-filusuf Eropa dan bahkan, sampai batas-batas tertentu, mampu menggugurkan teori "ide-ide fitri atau ide bawaan” yang digulirkan rasionalisme. Ketika aliran rasionalisme dan empirisme sudah mencapai puncak kejayaan dan dominasinya, muncullah Immanuel Kant (1724-1804) filusuf Jerman yang berusaha mengkritik dan meluruskan sikap eksklusif kedua arus pemikiran yang bersikap antagonistis tersebut. Kant merupakan pemikir kritis indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. Karya filosofis terkenalnya adalah Essay concerning Human Understanding (1690). Ibid, hlm. 36. 16
George Berkeley, filusuf Irlandia. Menurutnya, apa yang disebut Locke sebagai kualitaskualitas primer atau objektif, seperti jarak, ukuran dan situasi hanya ada dalam benak. Ada berarti ada bagi benak, yaitu menjadi ide, atau menjadi benak. Tulisan-tulisan utamanya: A New Theory of Vision, Treatise concerning the Principles of Human Knowledge dan Three Dialogues between Hylas and Philonous. Lihat K Bertnes, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 200i), 52. 17
David Hume adalah filusuf asal Skotlandia. Tema sentral filsafatnya adalah penegasan bahwa pengalaman terdiri atas kesan dan ide. Kesan lebih hidup dan menjadi sumber dari pada ide. Ada prinsip-prinsip tertentu yang memandu kita dalam mengasosiasi ide-ide, yaitu persamaan (resemblance), perhampiran (contiguity), serta sebab dan akibat. Pengalaman menghasilkan pada diri kita kebiasaan (custom) yang bertanggung jawab menghubangkan dua peristiwa suksesif secara kausal. Ia membuat pembedaan penting antara hal-hal faktual dan hubungan-hubungan ide-ide. Hanya yang terakhirlah yang melibatkan keniscayaan. Hume memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (a bundle or collection of perceptions). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolaholah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja. Tulisantulisan utamanya: Treatise on Human Nature, Enquiry concerning Human Understanding, Enquiry concerning the Principles of Morals, History of England dan Dialogue Corcerning Natural Religion. Lihat K Bertnes, Ringkasan Sejarah Filsafat..., hlm. 52; Joko Siswanto, SistemSistem Metafisika Barat Dari Aristoteles Sampai Derrida (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 34.
9
karena mempertanyakan the conditions of possibility dari pengetahuan manusia. Melalui karya monumentalnya The Critique of Pure Reason dan
Critique of Judgement, kemudian Groundwork of Methaphysics of Morals, Kant berusaha untuk menunjukkan bagaimana seseorang dapat memadukan pandangan yang terbaik dari pihak rasionalis dan empiris, namun ia sendiri tidak menyetujui keduanya secara total.18 Upaya-upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis yang berupaya mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Kemudian Kant menawarkan sebuah konsep “kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme sekaligus. Ia menyebut
18
Posisi Kant merupakan sintesis rasionalisme dan empirisisme masa itu. Dalam
masterpiece-nya, Critique of Pure Reason, Kant menjelaskan bahwa istilah kata "pure/murni" di sini digunakan dalam arti "a priori", yaitu, apa-apa yang dapat dikctahui tanpa melalui pengalaman inderawi. Kant secara kritis menelaah watak nalar. Ia menyimpulkan bahwa tak ada ide-ide fitri, yaitu ide-ide yang diketahui sebelum pengalaman inderawi apa pun. Namun, ini tak membuatnya menyimpulkan seperti yang disimpulkan oleh kaum empirisis, yaitu bahwa segenap pengetahuan adalah produk pengalaman inderawi. Ia menyatakan bahwa fakultas-fakultas sensibilitas dan pemahaman kita memiliki struktur-struktur formal yang memola pengalaman kita. Ini berarti bahwa kualitas-kualitas tertentu yang kita persepsi pada objek-objek diberikan kepada objek-objek itu dari struktur alami sensibilitas dan pemahaman kita. Sensibilitas memberi kita objek-objek yang tak memiliki regularitas apa pun. Lalu pemahaman mengambil alih dan mengorganisasikan pengalaman inderawi kita sebagai pengalaman akan dunia alami. Pandangan Kant sangat jelas. Regularitas alam adalah kontribusi pemahaman kita sendiri. Ia percaya bahwa pemahaman ini memiliki dua belas konsep atau "kategori" yang bukan diturunkan dari pengalaman inderawi. Terlepas dari pengalaman inderawi, konsep-konsep ini hampa, dan tanpa konsep-konsep ini pengalaman inderawi akan kacau dan takkan dapat dipahami. Aplikabilitas konsep-konsep ini terbatas pada lingkungan pengalaman inderawi. Kant menyimpulkan bahwa metafisika spekulatif itu sia-sia, karena ia berusaha menerapkan konsep-konsep ini pada objekobjek yang ada di luar alam empirikal. Namun upaya tak layak seperti itu merupakan suatu kecenderungan alami pikiran manusia. Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 123-126; Rizal Mustanyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Cet 3, hlm. 81; Yusriah, “Pengaruh Kritisisme Kant Terhadap Filsafat Modern” dalam Jurnal Teologia, (Semarang : Media Komunikasi Informasi Keilmuan, 1989), hlm. 9; Joko Siswanto, SistemSistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida (Yogyakarta: Pusataka Pelajar. 1998), hlm. 61.
10
pemikirannya sebagai revolusi Copernican.19 Epistemologi Kant menegaskan bahwa manusia tidak dapat menangkap realitas sesungguhnya dari objek (das
ding ansich). Rasio manusia memaksakan dirinya memberi makna kepada objek-objek yang ditangkapnya. Pengertian yang dicapainya adalah hasil ‘perkawinan’ dari pengetahuan a-priori dengan pengetahuan a-posteriori Pada perkembangan selanjutnya, ketika memasuki era “filsafat kontemporer”, diskursus mengenai epistemologi semakin komplek. Bermula dari gugatan terhadap gaya berfikir atau konsepsi epistemologi pada ‘filsafat modern’ yang didominasi oleh pola pikir yang membedakan antara subjek dan objek’, kemudian melahirkan kebenaran yang bersifat correspondence theory of truth. Melalui gerakan ‘pragmatisme’ dan ‘filsafat analitik’, para pemikir kontemporer berupaya membangun kerangka epistemologi baru yang mencoba keluar dari berbagai kesulitan cara pemecahan yang biasa dikemukakan oleh filsafat modern. Filsafat kontemporer berusaha untuk meninggalkan seluruh orientasi pembedaan antara subjek dan objek untuk memahami hakekat pengetahuan. Kemudian diskursus epistemologinya difokuskan pada persoalan-persoalan yang terkait dengan logika penelitian (the logic of inquiry) atau metodologi, sekaligus dengan memperjelas makna atau arti bahasa (language) yang
19
Pemecahan Immanuel Kant terhadap permasalahan epistemologi menandai perkembangan yang menentukan dalam sejarah ‘filsafat modern’ menuju era berikutnya yakni era ‘filsafat kontemporer’. Lihat D.W. Hamlyn dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy …, hlm. 23.
11
digunakan untuk mengkonsepsikan pengetahuan dan kepercayaan.20 Jadi, persoalan filsafat kontemporer bukan pada pertanyaan apakah mungkin kita memperoleh pengetahuan, akan tetapi persoalan yang terpokok adalah bagaimana menunjukkan cara-cara pengetahuan tersebut diperoleh yakni syarat-syarat (condition) dan cara (procedures) untuk memperoleh pengetahuan tersebut.21 Dengan
demikian,
konsepsi
epistemologi
kontemporer
adalah
bagaimana kita dapat keluar dan terhindar dari keraguan, ketidaktahuan (ignorance), dan mengganti kepercayaan (beliefs) yang tidak valid dan tidak didukung oleh data yang memadai dengan kepercayaan yang absah dan didukung data. Konsep ini bermula dari pemikiran keilmuan corak pragmatism. Di antara tokohnya adalah Charles Sander Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952) dan George Herbert Mead (18631931).22
20
Orientasi epistemologis di era filsafat kontemporer tidak lagi memusingkan dengan pertanyan-pertanyaan bagaimana (how) atau apakah (whatever) mungkin akal fikiran dapat mengetahui dunia luar (external world). Karena bagi mereka (penggerak filsafat kontemporer) lebih suka memulai dengan asumsi-asumsi bahwa pada kenyataannya kita telah benar-benar mempunyai pengetahuan apapun arti pengetahuan tersebut. Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:…, hlm. 127-128. 21
Milton K Munitz, Contemporary Analytic Philosophy (New York: MacMillan Publishing Co. IN. 1981) 22
Pragmatisme muncul dari kehidupan dan pengalaman Amerika, gerakan filsafat ini pada dasarnya bukan satu gerakan akademis, dan para pemimpinnya tersohor dengan kebebasan pertimbangan. Dikenal juga dengan istilah “nama baru bagi cara berfikir yang lama”. Pragmatisme adalah suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat pragmatis dari pemikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Pragmatisme juga menekankan pada metode dan pendirian lebih dari pada doktrin filsafat yang sistematis. Ia adalah metode penyelidikan eksperimental yang dipakai dalam segala bidang kehidupan manusia. Lihat H Suhar, Filsafat Umum: Konsepsi…, hlm. 238.
12
Diskursus epistemologi terus mengalami perkembangan dengan kecendrungan bergeser pada wilayah ‘filsafat ilmu’ (philosophy of science) kontemporer. Dengan lahirnya Vienna Circle (lingkaran Wina) di Austria pada awal abad ke-20, dan setelah perang dunia kedua, diskursus ini diwarnai dengan munculnya tokoh tokoh seperti Karl Poper,23 Thomas Kuhn,24 Imre Lakatos25 dan lain lain.
23
Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 juli 1902. Pemicu pergolakan Popper untuk mengetahui lebih dalam tentang klaim kebenaran suatu teori adalah beberapa pertanyaan berikut: “kapan suatu teori dikatakan sebagai suatu yang ilmiah?” atau “adakah kriteria untuk karakter ilmiah atau status teori?” yang menjadi permasalahannya ketika itu bukanlah “kapan sebuah teori dikatakan benar?” atau “kapan suatu teori dikatakan bisa diterima?” Permasalahan Popper merupakan suatu yang berbeda. Ia ingin memisahkan antara keilmuan (ilmiah) dengan pseudo science (keilmuan yang palsu). Ia mengetahui bahwa ilmu pengetahuan sering keliru, bahkan bisa jadi pseudo science juga mengandung kebenaran. Popper mengajukan teori demarcation-nya yang mencakup testability atau falsifability dan refutability. Lihat Karl R Popper, Conjectures and Refutations, (London: Routledge & Kagen Paul, 1985), hlm.39; The Logic of Scientific Discovery (London: Unwin Hymann, 1987). 24
Thomas Samuel Kuhn lahir di Cicinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922. Karyanya The Structure of Scientific Revolution Kuhn telah banyak mengubah persepsi orang terhadap ilmu. Kuhn mempertanyakan dominasi alur pemikiran objektif-positivistik dan lebih memusatkan sudut pandangnya pada satu sisi peran subjektifitas serta kesejarahan manusia dalam memberikan corak dan menentukan arah perjalanan ilmu pengetahuan. Kuhn berhasil memberikan paradigma baru bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya semata-mata didukung oleh logis-objektif-historismatematis, tetapi juga oleh faktor subjektifitas kesejarahan ekonomi, sosial, budaya dan bahkan politik praktis yang melingkupi manusia itu sendiri. Thomas Kuhn menekankan pada sebuah gagasan bahwa sains tidak "berkembang secara bertahap menuju kebenaran", tapi malah mengalami revolusi periodik (scientific revolution) yang dia sebut pergeseran paradigma (shifting paradigm). Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970), hlm. 23-24, 92-110. 25
Pemikiran Imre Lakatos merupakan respon sekaligus perluasan terhadap gagasan ‘falsifikasi’ Popper dan ‘paradigma’ yang diusulkan Kuhn. Imre Lakatos mengembangkan teori alternatif mengenai peran teori-teori traditional dalam evolusi pemikiran keilmuan dengan menawarkan “metodologi program riset ilmiah”. Proyeknya dinamakan ‘research program’ yang mengandung 2 komponen: 1). Hard core (negative heuristic) sebagai inti ajaran yang solid dari asumsi-asumsi fundamental yang tidak dapat dibatalkan atau dimodifikasi. 2). Protective belt sebagai ajaran-ajaran yang dikembangkan dari intinya, dan hipotesa-hipotesa pendukungnya. Lihat Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes” dalam Criticism and the Growth of Knowledge, (ed.) Imre Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), hlm. 132-138.
13
b) Spektrum Epistemologi di Dunia Muslim Pergulatan mengenai ‘epistemologi’ nampaknya tidak hanya terjadi di dunia Barat sebagaimana yang dijelaskan di atas, hal ini juga terjadi pada
islamic civilization (peradaban Islam). Framework epistemologi pemikiran Islam, atau epistemologi Islam nampaknya memiliki alur yang berbeda dengan perkembangan epistemologi di Barat. Epistemologi Islam secara spesifik-
partikular sangat terkait dengan dunia pengalaman religiusitasnya dan sudah barang tentu tidak selalu sama dengan dunia pengalaman lainnya. Karena itu epistemologi pemikiran keagamaan Islam tidak dapat disamakan begitu saja dengan menggunakan istilah rasionalisme, empirisme, atau pragmatisme. Perdebatan, pergumulan dan perhatian epistemologi keilmuan di Barat tersebut lebih terletak pada wilayah natural sciences dan sebagian pada wilayah humanities dan social sciences, sedangkan islamic studies khususnya
syari>‘ah, ‘aqi>dah, tas}awwu>f, ‘ulu>m al-qur‘a>n dan ‘ulu>m al-h}adi>s| lebih berada pada wilayah humanities. Dengan demikian, untuk menelusuri perkembangan epistemologi Islam diperlukan perangkat kerangka analisis epistemologis yang khas dalam pemikiran Islam, sebagaimana yang disebut Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri> dengan term-term al-niz}a>m al-ma‘rifi> al-baya>ni>, al-niz}a>m al-ma‘rifi> al-burha>ni> dan al-niz}a>m al-ma‘rifi> al-‘irfa>ni>.26 Untuk memahami term-term ini, secara singkat dapat dilihat dari table berikut:
26
Melalui prinsip-prinsip metodolgis yang dipaparkan dalam karyanya nah}nu wa al-tura>s| kemudian disempurnakan lagi dalam nah}nu wa al-h}adas|ah, yakni (1) al-mu‘a>lajah albunyawiyyah (pendekatan strukturalisme). (2) al-tah}li>l al-ta>rikhi (kritik sejarah). (3) al-t}arh al-
14
TABEL II SKETSA EPISTEMOLOGI BAYA>NI27 > STRUKTUR FUNDAMENTAL 1. Origin (sumber) 2. Metode (proses dan prosedur)
3. Approach 4. Theoretical Framework
5. Fungsi dan peran akal
EPISTEMOLOGI BAYANI
Nas}/teks/wahyu (otoritas Teks) al-Akhba>r, al-Ijma>’ (otoritas salaf) al-‘ilm al-tauqi>fi Ijtiha>diyyah Istinba>t}iyyah/Istinta>jiyyah/Istidla>liyyah/qiya>s, Qiya>s (Qiya>s al-Gha>ib ‘ala al-Sya>hid) Lugha>wiyyah (bahasa), Dala>lah Lugha>wiyyah Al-As}l–al-Far’, Istinba>t}iyyah (pola pikir dedukatif yang berpangkal pada teks), Qiya>s al-‘Illah (fikih), Qiya>s al-Dala>lah (kalam), Al-Lafdz-al-Ma‘na,‘A>mKha>s},Musytarak, Haqi>qah,Maja>z,Muhkam,Mufassar,Z}a>hir,Kha>fi,Musyk il,Mujmal,Mutasya>bih Akal sebagai pengekang/pengatur hawa nafsu (lihat Lisa>n al-‘Arab Ibn Manz}u>r), Justifikasi-RepetitifTaqli>di (pengukuh kebenaran/otoritas teks), al-‘Aql
al-Di>niy
6. Types of Argument 7. Tolok Ukur Validitas Keilmuan 8. Prinsip-Prinsip Dasar 9. Ilmu-Ilmu Pendukung 10. Hubungan subjek dan objek
Dialektik (Jada>liyyah); al-‘Uqu>l al-Muntana>fisah, defensif-Apologetik-Polemik-dogmatik, Pengaruh pola logika stoic (bukan logika Aristoteles) Keserupaan / Kedekatan Antara teks dengan realitas
Infisa}>l (discontinue) / atomistic, Tajwi>z (keserba bolehan/tidak ada hukum kausalitas), Analogi deduktif, Qiya>s Teologi, Jurisprudensi, Bahasa Subjective
idiulu>ji> (kritik ideology) al-Ja>biri> mampu menguraikan kompleksitas tradisi, budaya Arab Islam serta struktur nalar yang membangunnya dalam berbagai aspek yang kemudian menghasilkan tipologi epistemologi Islam tersebut (baya>ni>, burha>ni> dan ‘irfa>ni>). Konstruksi tipologi ‘epistemologi Islam’ dituangkan al-Ja>biri> dalam karya triloginya sebagai magnum opus yang berjudul Naqd al-‘Aql al-A‘rabi> (Kritik Nalar Arab). Seri pertama dari trilogi ini diberi judul Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> (Formasi Nalar Arab) (Beirut: Markaz Dirâsât al-Wih}dah al-‘Arabiyah) terbit tahun 1984. yang kedua adalah Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi>: Dira>sah Tah}li>liyah Naqdiyyah li Nuz}um al-Ma’rifah fi> S|aqa>fah al-‘Arabiyyah (Struktur Nalar Arab: Studi Kritik Analisis atas Sistem-Sistem Pemikiran dalam Budaya Arab) (Beirut: Markaz Dirâsât al-Wih}dah al-‘Arabiyah) terbit tahun 1986. Seri terakhir berjudul Al-‘Aql al-Siya>si> al-‘Arabi> Muh}addidah wa Tajalliyatuh (Nalar Politik Arab: Faktor-Faktor Penentu dan Manifestasinya) (Beirut: Markaz Dirâsât alWih}dah al-‘Arabiyah) terbit tahun 1990. 27
Sketsa ini dikutip dari M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif Interkonektif..., hlm. 215.
15
Berdasarkan analisis historis perkembangan nalar Arab Islam, al-Jâbirî mengajukan istilah baya>ni> sebagai nama salah satu “struktur berfikir” (episteme)
yang
dibangun
berdasar
teks
(nas}),
ijma>’ dan ijtiha>d.
Representasinya terdapat dalam disiplin ‘ilm al-fiqh, h}adi>s|, kala>m (teologi),
nah}wu dan bala>ghah.28 Karena menjadikan nas} sebagai sumber pengetahuan, maka yang menonjol dalam epistemologi baya>ni> adalah tradisi memahami dan memperjelas teks, sehingga sarana yang dipakai adalah kaidah-kaidah bahasa Arab. Metode berikutnya adalah dengan memperhatikan proses transmisi (al-
naql) nas} dari generasi ke generasi.29 Dalam epistemologi baya>ni> sumber utama pengetahuan adalah teks agama (al-Qur’an dan hadits), karena itu epistemologi ini menaruh perhatian yang besar pada ketelitian pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Penggalian teks tersebut harus menggunakan kaidah bahasa Arab sehingga
nah}wu dan s}arf digunakan sebagai alat analisa. Proses berikutnya adalah menggunakan
metode
qiya>s (analogi) yang menjadi prinsip utama
epistemologi baya>ni>.30 Menurut al-Jâbirî, karena baya>ni> mendasarkan pada teks, maka proses pemikiran menjadi “terbatas” karena berkutat pada tataran teks bukan kedalaman makna, sehingga terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental 28
Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biry>, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi>: Dira>sah Tah}li>liyah Naqdiyyah li Nuz}um al-Ma’rifah fi> al-S|aqa>fah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirâsât al-Wih}dah al‘Arabiyah,1993), hlm. 9, 15-37 dan 485; Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> (Formasi Nalar Arab) (Beirut: Markaz Dirâsât al-Wih}dah al-‘Arabiyah, 1989), hlm. 29-30. 29
Proses ini menjadi sangat penting karena sebagai tolok ukur validitas pengetahuan yang dihasilkan. Ibid. 30
Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biry, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> (Formasi Nalar Arab) (Beirut: Markaz Dirâsât al-Wih}dah al-‘Arabiyah, 1989), hlm. 384.
16
bukan substansial yang pada gilirannya kurang dinamis dan lambat dalam merespon perkembangan sejarah dan perubahan sosial yang sangat cepat.31 Ruang gerak dari nalar baya>ni> sangat kental menaungi seluruh bangunan keilmuan Islam, hal ini dapat terlihat dari theoretical framework nalar baya>ni> berupa us}ûl dengan furû‘ atau cabang yang intinya adalah mengaitkan satu kata dengan berbagai kemungkinan makna dan mengaitkan makna yang satu dengan berbagai lafaz}. Ini dilakukan pada konteks fiqh atau dasar-dasar teoritis dalam penalaran fiqh sebagaimana juga hal yang sama telah dilakukan dalam ilmu bahasa dan ilmu kalam. Dalam kondisi yang demikian ini, maka yang menjadi pegangan pokok adalah bahasa atau teks sehingga teks merupakan rujukan pokok bagi nalar Arab-Islam murni. TABEL III SKETSA EPISTEMOLOGI IRFANI32 STRUKTUR FUNDAMENTAL 1. Origin (sumber) 2. Metode (proses dan prosedur)
3. Approach 4. Theoretical Framework
EPISTEMOLOGI IRFANI
Experience, al-Ru>h} al-Muba>syirah, al-‘ilm al-Hud}u>ri> Al-Z|auqiyyah (al-Tajri>bah al-Ba>t}iniyyah), alRiya>d}ah, al-Muja>hadah, al-Kasyfiyah, al-Isyra>qiyah, al-Laduniyyah, penghayatan batin Psiko Gnosis, Intuitif, Qalbu
Z}a>hir – batin Haqi>qi-majazi Nubuwah-wilayah
5. Fungsi dan peran akal
Partisipatif
6. Types of Argument
Át}ifiyah-Wijda>niyah
7. Tolok Ukur Validitas Keilmuan 8. Prinsip-Prinsip Dasar 9. Ilmu-Ilmu Pendukung 10. Hubungan subjek dan objek
Spirituality (esoterik) Universal Reciprocity Empati, simpati understanding other
Al-Ma’rifah, al-Ittiha>d / al-Fana’, al-Hulu>l Al-Mutas}awwifin, As}ha>b al-‘Irfa>n (esoteric) Intersubjective, Wih}dah al-Wuju>d (unity
31
Ibid.
32
M. Amin Abdullah, Islamic Studies..., hlm. 216.
17
in
difference, unity in multiplicity), ittih}a>d al-‘Árif wa al-Ma‘ru>f (lintas ruang dan waktu) Kata ‘irfa>ni> berasal dari kata ‘irfan yang merupakan bentuk dasar
(masdar) dari kata ‘arafa yang semakna dengan ma’rifah. Tetapi kata ini berbeda dengan kata ilmu (‘ilm). Kalau ‘ilm menunjukkan perolehan pengetahuan melalui transformasi (naql) atau rasionalitas (aql), tetapi irfan
(ma’rifat) diperoleh secara langsung melalui pengalaman.33 Dalam tradisi sufisme Islam, ‘irfa>n (gnosis) diyakini sebagai pengetahuan batin terutama tentang Tuhan. Pengetahuan ini diperoleh melalui
kasyf (ketersingkapan), ilha>m atau isyra>q, yaitu ketersingkapan lewat pengalaman intuitif akibat persatuan antara “yang mengetahui” dan “yang diketahui” yang dianggap sebagai pengetahuan yang tertinggi. Pengalaman yang otentik atau sesungguhnya pada diri seseorang dapat digunakan untuk mengetahui zat yang tertinggi tanpa harus menunggu turunnya “teks”.34 Jika dalam baya>ni> terdapat qiya>s baya>ni>, maka dalam ‘irfa>ni> pun terdapat qiya>s yang disebut dengan i’tiba>r ba>tini> sebagai mekanisme berfikir yang menjadi titik pijak yang oleh kalangan ‘irfa>niyyu>n disebut dengan al-
kasyf. Dalam metode ini, kondisi pikiran (batin) dijadikan sebagai as}l sedangkan z}ah> ir teks sebagai far‘u (cabang). Sehingga, menurut al-Jâbirî, qiya>s
‘irfa>ni> tidak memperhatikan aturan rasional, tapi kecenderungan hati.
33
Muh}ammad Âbid al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi>: Dira>sah Tah}li>liyah Naqdiyyah li Nuz}u>m al-Ma’rifah fi> S|aqa>fah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirâsât al-Wih}dah al‘Arabiyah,1993), hlm. 251. 34
Ibid.
18
TABEL IV SKETSA EPISTEMOLOGI BURHANI35 STRUKTUR FUNDAMENTAL 1. Origin (sumber) 2. Metode (proses dan prosedur)
3. Approach 4. Theoretical Framework 5. Fungsi dan peran akal
6. Types of Argument 7. Tolok Ukur Validitas Keilmuan
EPISTEMOLOGI BURHANI Realitas / al-Waqi>’ (alam, sosial, humanitas)
al-‘Ilm al-H}us}u>li
Abstraksi
Bah}s|iyyah, tahli>liyah, tarki>biyyah, naqdiyyah Filosofis - saintifik
Al-tas}awwur, al-Tas}di>q, al-H}add, al-Burha>n Premis-premis logika (al-Mant}iq) Silogisme (2 premis + konklusi) Heuristik, analitik, kritis
Idra>k al sabab wa al musabab Al-‘aql al-kauni>
Demonstratif (eksploratif, verifikatif, eksplanatif) Pengaruh logika Aristoteles dan logika keilmuan pada umumnya Korespondensi (hubungan akal-realitas) Koherensi (konsistensi logik) Pragmatik (faliability of knowledge)
8. Prinsip-Prinsip Dasar
Idra>k al sabab Al-hatmiyyah (kepastian) Al-mut}abaqah baina al-‘Aql wa niz}a>m al-t}abi>’ah
9. Kelompok Ilmu- Ilmu Pendukung 10. Hubungan subjek dan objek
Falasifah Ilmu humaniora (alam, sosial, humanitas) Objective (al-naz}rah al-Maud}u>’iyyah) Objective rationalisme (terpisah antara subjek dan objek)
Adapun burhânî sebagai praktek pengetahuan adalah proses induksi dan deduksi yang menggunakan premis-premis dan juga konklusi yang dihasilkannya. Sedangkan sebagai wilayah pengetahuan, ia adalah dunia pengetahuan filsafat ilmiah yang masuk di dalam budaya Arab melalui aktifitas penerjemahan, yaitu penerjemahan buku-buku Aristoteles secara khusus. Karena wilayah pengetahuan ini berpindah ke dalam budaya ArabIslam untuk memenangkan bayânî yang menjadi dasarnnya ketika berlawanan dengan irfânî yang berkonfrontasi dengannya dari dalam, maka praktek teoritis 35
M. Amin Abdullah, Islamic Studies..., hlm. 217.
19
burhânî juga terpengaruh dengan kondisi konflik dan pertentangan ini. Oleh sebab itulah perlu melakukan sistematisasi hubungan antara bayânî dengan
burhânî pada level metode (bahasa dan logika) dan perlu juga untuk mensisitematisasikan hubungan antara keduanya pada level perspektif atau cara pandang (ilmu kalam dan filsafat). Dalam bahasa Arab, burhânî berasal dari kata burha>n yang berarti argumen yang jelas. Dalam bahasa Inggris memiliki padanan kata
demonstration yang mempunyai akar kata bahasa Latin demonstratio yang berarti memberi isyarat, sifat, keterangan dan penjelasan. Istilah ini digunakan al-Jâbirî sebagai sebuah sistem pengetahuan yang berdasarkan pada kekuatan natural manusia berupa indera, pengalaman dan akal. Epistemologi burha>ni> mempunyai akar pada pemikiran filsafat Aristoteles.36 Secara struktural, proses tersebut terdiri dari tiga hal, yaitu (1) proses eksperimentasi, yaitu pengamatan terhadap realitas; (2) proses abstraksi, yaitu terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; (3) ekspresi, yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.37 Sebagaimana dalam baya>ni> dan ‘irfa>ni>, dalam burha>ni> pun dikenal
qiya>s burhânî atau silogisme demonstatif, yaitu silogisme yang premispremisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, meyakinkan, sesuai
36
Muh}ammad Âbid al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi>:..., hlm. 400-420.
37
Dalam memandang proses keilmuan, kaum burha>niyyu>n bertolak dari cara pikir filsafat di mana hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini menempatkan “makna” dari realitas pada posisi yang otoritatif. Sedangkan “bahasa” yang bersifat pertikular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Nalar burha>ni> bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedangkan makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti sehingga dibutuhkan kata-kata. Ibid.
20
dengan realitas (bukan nas}) dan diterima oleh akal.38 Dalam aplikasinya silogisme ini harus melalui tiga tahap, yaitu tahap pengertian (ma’qu>lat), tahap pengertian (‘iba>rat), dan tahap penalaran (tah}li>lat).
38
Ibid.
21
Appendiks II
Evolusi Sunnah: Transmisi dan Transformasi Sunnah Menjadi H}adi>s| Dari perspektif epistemologis, penelusuran evolusi konsep sunnah menjadi h}adi>s| merupakan pembahasan yang penting, dari sinilah ide dasar (asal usul) sunnah itu akan ditelusuri melalui kerangka historisitas yang identik dengan istilah origin, change and development (change and continuity). Dari penelusuran ini akan terlihat tarnsmisi sunnah dari masa ke masa hingga mengalami tarnsformasi (perubahan bentuk) menjadi h}adi>s|. Karena sunnah mengalami proses sejarah yang panjang dan rumit, sebelum mencapai konstruksi sistematis yang memiliki nilai normatif pada perkembangan selanjutnya Secara singkat kronologis historis munculnya sunnah dapat diruntut dari proses awalnya, dimana Muhammad sebagai utusan Tuhan punya kewajiban dan kewenangan menyampaikan apa yang diperintahkan Tuhan. Maka secara moral, Nabi saw bertugas menterjemahkan ke dalam bahasa prilaku dan tindakan agar umat Islam yang masih lemah pada waktu itu bisa memahaminya dengan baik. Aplikasi inilah yang dikenal oleh ulama’ h}adi>s| dengan istilah sunnah. Karena itulah semasa Nabi saw masih hidup, sunnah mengandung kesesuaian tindakan para s}ah}ab> at dengan tindakan Nabi saw. Mereka menata kehidupan mereka berdasarkan al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan dan digambarkan oleh prilaku Rasulullah.
1
Praktik yang berasal dari masa Rasulullah ketika masih hidup berlangsung terus dalam bentuknya yang origin sejauh masa khalifah empat yang pertama. Mereka berhasil melestarikan tradisi secara berkesinambungan, dan berusaha untuk menutup celah bagi masuknya perubahan yang tak serasi. Orang-orang di sekitar para s}ah}ab> at tentunya bertanya pada mereka tentang tindakan Rasululah dalam pelbagai persoalan. Penuturan mengenai prilaku Rasulullah oleh para
s}ah}ab> at secara perorangan inilah yang dinamakan dengan h}adi>s|. Kondisi ini menunjukan bahwa, pada fase ini ada dua cara bagi orang untuk mengetahui ‘sunnah Nabi’, pertama, praktek ummat, sejauh praktek itu masih murni dan berkesinambungan, dan kedua, melalui h}adi>s|. 1 Setelah Rasulullah wafat, para s}ah}ab> at masih memiliki al-Qur’an dan kebiasaan-kebiasaan mereka sendiri yang mereka praktekkan semasa beliau hidup. Ketika Islam sudah tersebar ke berbagai negeri di luar jazirah Arabia, para sahabat pun banyak yang tinggal di luar daerah tersebut. Mereka tidak hanya menjadi penyampai sunnah Rasul tetapi menjadi penafsir dan pengurainya. Hal ini secara sosial meluaskan cakupan sunnah itu sendiri. Artinya sunnah berkembang menurut perkembangan dan tuntutan zaman. Sunnah menjadi lebih luas dari orbitnya semula. Dalam kondisi semacam ini lambat laun prilaku dan 1
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 84. Pemahaman Nabi terhadap wahyu Allah dan teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk ”tradisi” atau ”sunnah” kenabian (al-sunnah al-nabawiyyah). Sedangkan h}adi>s| adalah bentuk reportase atau penuturan tentang apa yang dikerjakan Nabi atau yang dijalankan dalam praktek, atau tindakan orang lain yang ”didiamkan” beliau (yang dapat diartikan ”pembenaran”), itulah makna kata h}adi>s|, yang sekarang ini difinisinya telah terformulasikan secara baku. Namun demikian, tidak berarti bahwa h}adi>s| dengan sendirinya mencakup seluruh sunnah. Ini berarti bahwa bentuk reportase yang dilakukan Muslim awal tidak menjamin mencangkup seluruh ‘sunnah’, dalam pengertian bahwa tidak semua ‘sunnah Nabi’ terekam dalam kitab h}adi>s| yang ada pada kita sekarang.
2
pendapat para s}ah}ab> at dipandang sebagai cermin dari kehidupan dan prilaku Rasulullah oleh generasi selanjutnya, kemudian diikuti sebagai teladan yang lebih dekat dengan kehidupan ideal Nabi saw.2 Fase ini menunjukkan pemahaman terhadap ‘sunnah’ secara luas, yakni tidak hanya sunnah yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw saja, tetapi juga sumber preseden lain, termasuk tradisi yang dilakukan oleh para s}ah}a>bat dan praktek yang telah diterima secara umum. Pengertian ini membawa pada kesimpulan bahwa gagasan sunnah berkembang dalam konteks perubahan sosial dan politik yang cepat, sewaktu gagasan mengenai kewenangan keagamaan masih berubah-ubah. Sehingga masyarakat Muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan. Fleksibelitas konsep sunnah pada masa awal ini tercermin dalam ajaran ajaran hukum yang ada dari maz|hab hukum awal, Sebagai contoh ‘Umar ibn Khat}t}ab> ketika menjadi khali>fah, pernah ia menjatuhkan hukuman 100 kali cambuk pada salah satu seorang gubernurnya. Lalu Amr Ibn al-‘A>s} datang kepada Umar dan berkata: “Jika engkau memperkenalkan jenis hukuman seperti ini pada gubernur-gubernurmu, hal ini akan merupakan sesuatu yang berlebihlebihan bagi mereka dan akan menjadi sunnah pada masa-masa yang akan datang”.3 2
Para sahabat yang berdomisili diluar daerah Arabia, pada umumnya mereka menduduki posisi pemimpin keagamaan dan intelektual. Mereka menjadi tumpuan bertanya oleh orang orang disekitarnya dan dimintai keputusan mengenai berbagai persoalan. Lihat Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 83. 3
Abu Yusuf, Kitab al-Kharra>j (Kairo: 1302 H), hlm. 66. Contoh lain mengenai hal ini adalah kisah pembagian tanah khaibar yang dilakukan Nabi saw kepada para prajurit perang setelah tanah itu ditaklukan. Ketika ‘Umar menjabat khalifah, ia mengganti sunnah/tradisi tersebut, tanah yang ditaklukan tidak lagi dibagi bagi kepada prajurit perang, seperti dalam kasus penaklukan tanah Iraq yang sangat luas dan subur itu. ‘Umar berpendapat bahwa tanah yang
3
Dalam sunnah lain disebutkan, pada zaman khalifah ‘Umar bin Khat}t}ab> , seorang muaz|in mengumandangkan adzan subuh, ketika didapati khali>fah masih tertidur pulas, muaz|in membaca “al-s}ala>t khairun min naum”, kemudian ‘Umar menjadikannya sebagai adzan subuh. Hal ini kemudian menjadi sunnah bagi generasi Muslim selanjutnya hingga sekarang.4 Riwayat ini jelas memperlihatkan bahwa prilaku para s}ah}a>bat menjadi terserap ke dalam sunnah. Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa “Umar Bin Khattab, ketika ditanya tentang penunjukkan seorang pengganti, menjawab bahwa dia dapat mengikuti Nabi saw, dan membiarkan masalahnya terbuka, atau mengikuti Abu> Bakr dengan membuat perjanjian, kedua tindakan itu adalah sunnah.5 Dalam perkara lainnya, ‘Ali> meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw dan Abu> Bakr mengenakan 40 kali cambukan sebagai hukum mabuk mabukan, sementara ‘Umar menerapkan 80 kali cambukan, kemudian ‘Ali> menerapkan kembali 40
ditaklukan tersebut adalah diwakafkan untuk kemaslahatan para generasi umat Islam, produk hasil buminya digunakan untuk membiayai para muja>hidi>n, para pegawai pemerintahan Islam, dan lain sebagainya, sehubungan dengan hal ini ‘umar mengatakan, “aku menginginkan suatu kebijakan yang bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Lihat Yusuf AlQaradlawi, al-Sunnah Mas}daran li al-Ma’rifah wa al-Had}arah (Kairo: dar al-Syuruq, 1998), hlm. 79. 4
Malik bin Anas, al-Muwatta, edit Muhammad Fuad Abdul Baqi, juz I (Lebanon: Dar alKutub al-Ilmiyah, tth), hlm. 72. Kisah lain mengenai ‘Umar ibn Khat}t}ab> , ketika menjelang wafatnya, berpesan kepada orang orang Muslim mengenai sumber sumber yang harus mereka rujuk jika mencari pedoman seandainya dia wafat, Al-Qur’an, orang orang Muslim yang hijrah ke Madinah bersama Nabi saw, orang Muslim Madinah yang mengulurkan pertolongan (Ans}a>r), orang orang digurun pasir dan terakhir masyarakat Yahudi dan Kristen yang terlindungi (ahl z|immah). Lihat Abu> Yu>suf, Kitab al-Kharra>j..., hlm. 99. Setelah formalisasi yurisprudensi Islam, tiadanya sunnah dalam daftar ini tidaklah masuk akal, ketiadannya di sini menginformasikan kepada kita bahwa meskipun gagasan mengenai sunnah Rasul saw mungkin ada sejak tahun tahun awal Islam, hal ini tidaklah memperoleh penerimaan secara universal sebagai suatu sumber kewenangan agama yang tidak bisa diabaikan. 5
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (New York USA: Cambridge University Press, 1966), hlm. 10. Merujuk pada Muh}ammad Ibn Sa’ad, Kitab AlT}abaqat Al-Kubra> , peny. E. Sachau (Leiden, 1904-1940), III/I, hlm. 248.
4
kali cambukan, dalam kata kata tradisi, semua ini adalah sunnah.6 Abu> Yu>suf menambahkan “para s}ah}ab> at kami sepakat bahwa hukum untuk minum anggur adalah 80 kali cambukan”7. Gagasan sunnah yang fleksibel ini kemudian membentuk polarisasi kaum Muslimin pada masa awal khususnya yang berkaitan dengan Hukum Islam. Hal ini terlihat ketika Rasulullah saw sudah tidak lagi bersama mereka, secara alamiah para s}ah}ab> at menerima model yang diwariskan Nabi saw. Pada masa awal Islam, belum terdapat hierarki antara sunnah Nabi, s}ah}ab> at, dan komunitas Muslim secara umum.8 ‘Umar menyatakan bahwa baik keputusan Nabi Muhammad saw maupun Abu> Bakr adalah Sunnah. Demikian halnya komunitas
s}ah}ab> at, mereka menganggap bahwa keputusan ‘Umar adalah Sunnah.9 Namun 6
Ibid., merujuk pada Abu Yusuf, Kitab al-Kharra>j (Kairo: 1302 H), hlm. 99. Bandingkan Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University, 1950), hlm. 75. 7
Ibid., merujuk pada Abu Yusuf, Kitab al-Kharra>j (Kairo: 1302 H), hlm. 99.
8
Shofiyulloh, MZ, Epistemologi Ushul Fikih Al-Syafi’i (Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010), hlm. 167. Pemahaman konsep sunnah pada masa awal juga terlihat pada riwayat yang menjelaskan ‘Umar bin Khat}t}ab> pernah melarang haji tamattu’, padahal Al-Qur’an dan sunnah secara tegas menetapkannya, ketika Us|ma>n juga melarang, ‘Ali> secara demonstratif melakukannya didepan Us|ma>n, Us|ma>n berkata: aku melarang manusia melakukan haji tamattu’ dan engkau sendiri melakukannya. ‘Ali> menjawab: aku tidak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw, hanya karena pendapat seseorang, setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah ibn Zubayr, Us|ma>n berkata: sesungguhnya laranganku itu hanya ra’yuku, siapa yang mau, boleh menjalankannya, siapa yang tak mau, boleh meninggalkannya. Lebih lanjut lihat, Sahih Bukhari, 3:69, Sunan al-Nasai, 5:148, Sunan Al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22, lihat juga Shahih Muslim, I:349. 9
Basis nalar ini dapat difahami dengan merujuk pada masa awal Islam dimana Nabi Muhammad, sebagai pembawa risalah Ilahi, telah menjadi fokus kewenangan keagamaan. Namun setelah Rasulullah tidak lagi bersama mereka, orang-orang Muslim tidaklah satu fikiran mengenai bagaimana pengganti Nabi saw. Hal ini kemudian menjadi cikal bakal dilema dikemudian hari. Pada periode awal Islam, meskipun s}ah}ab> at selalu berkonsultasi kepada Nabi terhadap pemecahan persoalan yang tidak diketahui oleh mereka, namun Nabi terkadang menerima pendapat para s}ah}ab> at dengan menyetujui atau membenarkan kesalahan mereka. Situasi ini memperlihatkan bahwa kewenangan Nabi dalam memutuskan masalah masalah diluar wahyu disertai musyawarah dengan para s}ah}ab> at-nya, bahkan terkadang para s}ah}ab> at tidak sepakat dengan Nabi, kemudian wahyu membenarkan mereka, Posisi tersebut menjadikan polemik bagi generasi berikutnya berkaitan dengan otoritas Nabi. Sebagaimana dalam mengatasi para tawanan perang Badr, Nabi
5
demikian baik pada masa Nabi maupun masa sahabat belum mengarah pada keputusan-keputusan detail tentang hukum dan teologi. Dalam memutuskan masalah hukum, para s}ah}ab> at sudah menampakkan beberapa perbedaan mendasar.10 Karakteristik penting menyangkut perkembangan ‘sunnah’ pada fase awal ini dapat disimpulkan, pertama, sunnah Nabi saw terformulasikan berupa aturanaturan tertentu yang secara garis besarnya memungkinkan untuk diadaptasikan, diperluas, diperinci melalui interpretasi para s}ah}ab> at. Kedua, sunnah pada umumnya merupakan a general directive (pengarahan umum) sebagai hasil dari interaksi Nabi dengan masyarakatnya, yang kemudian diikuti secara praktis, aktual, reflektif dan responsif oleh para s}ah}ab> at.11 Pola ‘sunnah’ yang demikian ini terus berkembang sampai pada generasi berikutnya dengan berpijak pada sikap Nabi saw yang memberikan ruang gerak yang luas bagi munculnya beragam interpretasi, mengingat masa itu adalah masa evolusi bagi suatu penciptaan pola prilaku untuk generasi yang akan datang.
bermusyawarah dengan para s}ah}ab> at. Terjadi perbedaan pendapat antara “‘Umar dan Abu> Bakr”, maka Nabi memilih pendapat Abu> Bakr, tetapi wahyu membenarkan pendapat ‘Umar, dengan turunnya surat Al-Anfal : 67. 10
Lihat Muh}ammad Ibn Sa’ad, al-T}abaqat al-Kubra> (Beirut: dar al-Shadr, tth), Jilid II, hlm. 248. Bandingkan Abu Yusuf, Kitab Al-Kharra>j (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1202 H), hlm. 46. Hal ini juga dapat dilihat dari keputusan Ibnu Mas’u>d terhadap hak waris sang istri yang ditinggal suami, keputusannya ditegaskan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ma’qil bin Sinan (w. 63 H). Namun keputusan Ibn Mas’u>d ditentang Ibn ‘Umar (w. 73 H) dan Zayd bin S|abit yang memberikan keputusan yang berbeda. Lebih jauh lagi keputusan masing masing dikembalikan sebagai sabda Nabi. 11
Pada porosesnya, para s}ah}ab> at terkadang mengajukan pertanyaan kepada Nabi mengenai persoalan tertentu, dan Nabi memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan mereka. Masyarakat disekitar Nabi tidak tertarik ke dalam perbincangan filosofis yang tidak perlu ataupun perincian hal hal terkecil mengenai semua aturan. Ketika sejumlah s}ah}ab> at mempertanyakan hal hal yang tidak perlu kepada Nabi saw, al-Qur’an langsung memperingatkan sebagaimana dalam QS. 5:101.
6
Transmisi konsep ‘sunnah’ terus berjalan dari masa ke masa dengan pertimbangan “nilai dan semangat tindakan” (dibalik sunnah itu sendiri), dan bukan bentuk tindakan itu sendiri. Karena dalam hal ini yang terpenting dan mendasar adalah kepatuhan pada Perintah Nabi saw.12 Segi praktis dari kehidupan Nabi dan s}ah}ab> at memberikan pengaruh kesinambungan pola bagi perilaku generasi berikutnya dari para ta>bi‘i>n. Deskripsi di atas memperlihatkan bahwa praktek aktual masyarakat dan periwayatan hadis sebagai wahana transmisi sunnah Nabi setelah beliau wafat berjalan paralel. Akan tetapi dalam hal ini praktek aktual masyarakat lebih ditekankan, karena memiliki sifat “continuitas” dan kesesuaian dengan sunnah ideal (perilaku teladan) dari Nabi. Praktek aktual masyarakat tidak membutuhkan pendokumentasian dengan suatu hukum atau undang undang apapun, karena ia sudah merupakan bukti bagi dirinya sendiri. Dimungkinkan validitas ‘sunnah’ tidak bergantung pada dokumentasinya dalam hadis karena ‘praktik paling baik disampaikan lewat praktik’ dan selama ‘praktik itu tidak terputus dan terjaga kemurniannya, maka ia akan membentuk hujjah akan dirinya sendiri’. Yang dibutuhkan adalah kesinambungan dan kemurnian praktik, dan hadis dapat diabaikan
12
Karena itulah sangat memungkinkan pada era Nabi dan s}ah}ab> at, bagi dua orang mengambil tindakan yang berbeda dalam situasi yang sama karena perbedaan interpretasi terhadap perintah Nabi saw. Dengan pola perintah perintah Nabi yang bersifat umum ini dapat mengabsahkan dua tindakan yang berbeda dalam situasi yang sama. Riwayat terkenal mengenai hal ini adalah peristiwa perang Bani Quraizah, dimana Nabi mengirim sejumlah pasukan ke daerah musuh dan memerintahkan agar mereka tidak melakukan shalat Ashar kecuali sampai pada tempat yang dituju. Lebih lanjut lihat Abu> ‘Abdillah Muh}ammad Ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h al-Bukha>ri>, juz I, cet. I (Libanon: Da>r al-Kutu>b al-Ilmiyyah, 1992), hlm. 284; Ibn Sa‘ad, Kita>b al-T}abaqat al-Kubra>, juz II (Beirut: Da>r al-Sadir, t.th), hlm. 76.
7
Belakangan setelah ‘praktek aktual’ masyarakat mulai kehilangan kesesuaiannya dengan sunnah ideal karena kesenjangan waktu, situasi dan kondisi, terutama ketika Islam sudah mulai menyebar ke berbagai negeri dan beradaptasi dengan budaya setempat, maka kebutuhan akan hadis menjadi semakin mendesak karena ‘praktek aktual’ masyarakat tidak mampu lagi menjadi bukti bagi dirinya sendiri. Maka saat ini ‘sunnah’ yang bersifat non verbal menjadi verbal. Sunnah yang awalnya merupakan tradisi yang hidup dalam masyarakat dengan sifatnya yang informal, menjadi h}adi>s| yang membakukan pengertian sunnah dengan sifatnya yang formal. Pada era pasca Al-Sya>fi’i> (w. 204 H), perkembangan sunnah selanjutnya merupakan hasil penafsiran dari teks hadis. Artinya, apa yang disebut Sunnah kemudian adalah wacana yang diproduksi dari penafsiran oleh generasi kemudian terhadap teks hadis. Akibatnya, tentu saja wacana sunnah awal telah mengalami proses penciutan atau pengeringan.13 Studi hadis menjadi bidang yang sangat rigit, kaku dan sensitif.14 Atau menurut Fazlur Rahman, formulasi Sunnah ke dalam hadits, di mana hadis adalah verbalisasi sunnah, telah mengekang proses kreatif sunnah dan menempatkannya pada rumus-rumus kaku.15 Disadari atau tidak, sunnah sebagai “a living tradition” (tradisi yang hidup/sunnah) yang dinisbahkan kepada Nabi saw, telah berubah menjadi “a 13
Cecep Ramli, Angin Segar Tafsir Hadits; Dari Hadits ke al-Qur’an, dalam Metafor, No.I/Tahun I/1998, hlm. 85 14
Sahiron Syamsudin, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika,
2003) 15
Jalaluddin Rakhmad, “Dari Sunnah ke Hadits, atau sebaliknya?” dalam Budhy Munawwar Rachman, Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 227.
8
verbal tradition” sekaligus “a literary tradition” (tradisi tertulis) yang diproduksi pada abad ke-2 dan ke-3 H berupa kitab kitab kumpulan hadis. Kondisi ini sesungguhnya membawa pada poses pembakuan dan pembukuan pemahaman serta pemaknaan sunnah sekaligus. Hal ini juga menjadikan perubahan yang sangat mendasar, transisi yang terjadi dari tradisi “praktek aktual” yang hidup, longgar dan fleksibel menjadi tradisi “lisan” hingga “tertulis” yang bersifat kaku atau baku, menyebabkan hilangnya wacana dan horizon sosio kultur yang menyertai sunnah itu sendiri.16 Sehingga kalau dilihat dari perspektif, epistemologi keilmuan, ada proses panjang yang bersifat historis dalam pelembagaan teks hadis, dan proses ini seringkali dilupakan oleh ummat Islam, yang tidak jarang menyebabkan ummat Islam bersikap kaku dalam memahmi sunnah lewat pendekatan-pendekatan a-
historis, literalis dan atomistis pendekatan-pendekatan semacam ini telah menceraikan sunnah dari kesejarahannya, serta mereduksi keduanya menjadi
compendia yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terpisah satu sama lain.
16
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 140.
9