EPISTEMOLOGI ISLAMIC STUDIES KONTEMPORER (Relasi Sirkular Epistemologi Bayânî, ‘Irfânî dan Burhânî)
Oleh M. Rasyid Ridho (Dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah Prodi Bahasa Arab STAIN Pamekasan dan Peserta Program Doktor Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Abstrak : Dalam tradisi keilmuan Islam, terdapat tiga pola epistemologi, Bayânî, ‘‘Irfânî dan Burhânî, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Makalah ini berusaha menyajikan kekuatan dan kelemahan ketiga epistemologi Islamic Studies tersebut, sekaligus berusaha menentukan hubungan yang mutualistis diantara ketiganya sehingga menghasilkan wajah tradisi keilmuan Islam yang up to date dengan tanpa mengorbankan dimensi transendentalitas dalam Islam.
Kata Kunci : Epistemologi bayânî, ‘irfânî dan burhânî, paralel, linier, sirkular, Islamic Studies
Pendahuluan Beberapa pemikir Muslim kontemporer, sebut saja misalnya Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed alNa’im, Riffat Hassan, dan Fatima Mernisi menyoroti secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies, khususnya paradigma keilmuan Fikih. Fikih dan implikasinya terhadap pranata sosial dalam Islam dianggap terlalu kaku (rigid) sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan jaman, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan-persoalan hudud, hak asasi manusia, hukum publik, wanita, dan pandangan terhadap non-Muslim. Tegasnya, ilmu-ilmu Fikih --yang berimplikasi
pada tatanan pranata sosial dalam masyarakat Muslim-- belum berani dan terkesan selalu menahan diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke18-19 M, seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat dan begitu selanjutnya.1 Adalah Mohammad Arkoun2 dari Universitas Sorbonne, Perancis dan Nasr Hamid Abu Zayd3 dari Mesir yang dengan Kegelisahan akademik para ilmuan Islamic Studies sebagian telah dihimpun secara baik oleh Charles Kurzman (Ed.), Liberal Islam: A Source Book (New York: Oxford University Press, 1988). 2 Mohammed Arkoun, Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Araby al-Islamy, ter. Hashim Salih (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmiy, 1986), hlm. 51-63. 3 Lihat elaborasi selengkapnya dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Falsafat al-Ta’wil (Beirut: Dar al-Wahdah, 1983). 1
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
tegas ingin membuka kontak langsung antara tradisi berpikir dalam Islamic Studies konvensional (‘Ulûm al-Dîn, meminjam istilah al-Ghazali pada abad 10-11 M) dan tradisi berpikir dalam Religious Studies kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang berkembang sekitar abad ke-18 dan 19 M. Dialog dan pertemuan antara keduanya telah mulai dirintis oleh ilmuan-ilmuan Muslim kontemporer yang sebagian telah disebutkan.4 Dialog diantara kedua tradisi berpikir tersebut sudah barang tentu berimplikasi kepada perubahan kerangka teori, metodologi dan epistemologi yang telah digunakan sebelumnya. Sebagai contoh, Fazlur Rahman beranggapan bahwa tidak lagi cukup memadai untuk menggunakan teori Fikih atau Usul Fikih yang biasa sangat populer di kalangan fuqahâ’ dan usuliyyûn, yaitu qat‘iyyât dan zanniyyât. Ia telah memodifikasinya dalam formula “idealmoral” dan “legal-spesifik” Fikih dan syariat.5 Mohammad Arkoun mempertanyakan hilangnya dimensi historisitas (târikhiyyât) dari keilmuan Fikih dan Kalam. Ia dengan lantang mempertanyakan keabsahan pengekalan teori-teori ilmu Kalam, Fikih dan juga Tasawwuf yang disusun beberapa puluh abad silam, untuk diajarkan terus-menerus pada era sekarang, Pemikiran-pemikiran tokoh ini tergolong liberal dan radikal sehingga acapkali memancing reaksi-reaksi keras dari kalangan konservatif-ortodoks. Salah satu bentuk sanksi yang dijatuhkan kepada Nasr Hamid Abu Zayd adalah diceraikan dari isterinya dengan dakwaan murtad dan diusir dari Mesir. Periksa Abd. Moqsith Ghazali et. al., “Menolak Islam Politik” dalam Jurnal Tashwirul Afkar (Edisi 12, 2002), hlm. 180. 4 Amin Abdullah, “Kata Pengantar” untuk buku Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, ter. Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hlm. iii-ix. 5 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 13-42.
setelah problem dan tantangan zaman berubah. Arkoun mensinyalir bahwa kondisi sosio-religius tersebut merupakan bagian dari gejala pensakralan pemikiran keagamaan (taqdîs al-afkâr al-dînîyyah) di lingkungan umat Islam.6 Muhammad Shahrur, dalam karyanya seperti al-Kitâb wa al-Qur’ân,7 mempertanyakan akurasi analisis dan kerangka keilmuan klasik jika harus diterapkan seluruhnya pada era kontemporer. Sedangkan al-Na’im, mengkritisi teori nasikh-mansukh yang biasa difahami oleh ulama’ Usul Fikih selama ini dengan mengajukan tesis bahwa ayat-ayat Makkiyyah yang lebih menekankan pada bobot nilai-nilai universal kemanusiaan tidak dapat dihapus begitu saja oleh ayatayat Madaniyyah yang berorientasi kepada persoalan yang lebih bersifat partikularspesifik.8 Kesemuanya itu, sesungguhnya hanya dimaksudkan untuk mengupayakan “pengembangan” dan “pengayaan” wacana 6 7
8
Arkoun, Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Araby al-Islamy, hlm. 54. Periksa Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah (Dimashq: t.p., 1990). Buku ini sedemikian fenomenal, sebab di satu sisi dinyatakan sebagai the bestseller book di Timur Tengah, dan di sisi lain, buku ini memiliki watak kontroversial karena melahirkan sikap pro dan kontra. Nama-nama seperti Wahbah Zuhayli, Salim al-Jabi, Tahir al-Shayyaf dan Khalid al-Akk adalah di antara mereka yang kontra terhadap buku ini. Sebaliknya, Wael B. Hallaq, Dale F. Eickelman, dan Halah al-Quri adalah di antara mereka yang pro dan menunjukkan kekaguman terhadapnya. Dualisme penilaian ini ternyata tidak hanya bergema di tingkat individual, tetapi juga membawa implikasi di tingkat kenegaraan. Pemerintah-pemerintah seperti Saudi Arabia, Mesir, Qatar dan Uni Emirat Arab, secara keras melarang peredaran buku itu ke negaranya. Tetapi di pihak lain, Sultan Qaboos di Oman, malah memberikan penilaian positif, sampai ia membagibagikan buku itu kepada para menterinya, dan merekomendasikan mereka untuk membacanya. Periksa Sibawaihi, “Pembacaan al-Qur’an Muhammad Shahrur” dalam Jurnal Tashwirul Afkar (Edisi 12, 2002), hlm. 111112. Abdullahi Ahmed al-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990).
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
883
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
analisis keilmuan dan penelitian Islamic Studies (Dirâsât Islâmiyyah), khususnya dimensi Fikih dan pranata sosial. Pasalnya, cara berfikir, beribadah dalam arti luas, bergaul, berdialog dengan orang lain, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada era kontemporer, adalah sama sekali berbeda dari era abad ke-10 ketika kerangka fondasi keilmuan Islam era ‘asr tadwin itu dibakukan. Dengan kata lain, ada arus cukup deras yang menuntut dilakukannya humanisasi hukum Islam, bahkan lebih luas lagi humanisasi ilmu-ilmu keislaman (‘Ulûm al-Dîn). Merenungkan Kembali Perangkat Analisis Ilmu-Ilmu Keislaman Tidak ada sebuah ilmu pun--lebihlebih yang telah tersistematisasi sedemikian rupa--yang tidak memiliki struktur fundamental (paradigma filosofis), yang dapat mengarahkan dan menggerakkan kerangka kerja teoritik maupun praksis keilmuannya, serta membimbingnya ke arah penelitian dan pengembangan lebih lanjut, termasuk di dalamnya ilmu-ilmu agama (‘Ulûm al-Dîn) dan studi-studi agama (Religious Studies). Struktur fundamental yang mendasari, melatarbelakangi dan mendorong kegiatan praksis keilmuan itulah yang dimaksud dengan Filsafat Ilmu.9 Dalam perspektif Filsafat Ilmu, kerangka teori sangat pokok dan memiliki posisi strategis dalam wilayah kerja keilmuan, karena basis rasionalitas keilmuan memang ada di situ. Bahkan, arah dan kedalaman analisis akademik juga dapat dilacak dari kerangka teori yang digunakan. Berangkat dari paradigma ini, merupakan tugas bagi setiap Muslim yang mendalami Islamic Studies (‘Ulûm al-Dîn) untuk menjawab, mencermati dan 9
M. Amin .Abdullah, “al-Ta’wil al-‘Ilmiy: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” dalam Jurnal al-Jami’ah, 39 (Juli-Desember, 2001), hlm. 366.
884
merumuskan ulang kerangka berpikir Filsafat Ilmu dalam wilayah Islamic Studies. Jika Islamic Studies adalah bangunan keilmuan biasa seperti layaknya bangunan ilmu-ilmu lain, karena ia disusun dan dirumuskan oleh fuqahâ’, mutakallimûn, mutasawwifûn, mufassirûn dan muhadditsûn pada era terdahulu dengan tantangan kemanusiaan dan keagamaan yang dihadapi saat itu, maka tidak ada alasan yang dapat dikedepankan untuk menghindarkan diri dari pertemuan, perbincangan dan pergumulannya dengan telaah Filsafat Ilmu.10 Pemahaman terhadap asumsi-asumsi dasar dan kerangka teori yang digunakan oleh bangunan keilmuan Islamic Studies, serta implikasi dan konsekuensinya pada wilayah praksis sosial-keagamaan itu merupakan persoalan yang fundamental. Selanjutnya, pengkaji Islamic Studies diharapkan mampu melakukan perbandingan antar berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan auto-kritik terhadap bangunan keilmuan yang tengah dipelajarinya itu untuk maksud pengembangan lebih lanjut. Pada tahap berikutnya, mampu menghubungkan asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh suatu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lain untuk memperluas horizon analisis keilmuannya.11 Pada sisi lain, perlu disadari, bahwa tidak ada satu bangunan keilmuan dalam wilayah manapun --termasuk wilayah agama-- yang terlepas sama sekali dari persoalan-persoalan kultural, sosial dan politik yang melatarbelakangi munculnya, disusunnya, dan bekerjanya sebuah paradigma keilmuan. Dengan demikian, 10 11
Ibid., hlm. 367-368. Ibid., hlm. 368.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
Filsafat Ilmu tidak dapat berdiri sendiri sehingga perlu berdialog dengan Sosiologi Ilmu Pengetahuan. Jika dialog antara keduanya tidak dilakukan maka transendensi pemikiran keagamaan (taqdîs al-afkâr al-dînîyyah) tidak akan dapat terelakkan, sebagaimana hal itu telah diperingatkan oleh Arkoun.12 Akibatnya, hanya lantaran perbedaan kerangka teori, metodologi, epistemologi, serta variasi dan kedalaman literatur yang digunakan, umat Islam mudah sekali terfragmentasi. Atau dengan kata lain, fenomena taqdis al-afkar al-diniyyah lebih mudah menyulut emosi individu dan kelompok dibandingkan kemampuannya untuk mematangkan kepribadian, membina integritas, dan mendewasakan cara berpikir individu dan kelompok.13 Ironisnya, dalam kenyataan empiris, pola pengajaran Islamic Studies (Akidah, Fikih, Filsafat Islam, Ulum al-Qur’an, Ulum al-Hadis, Tasawwuf dan seterusnya) justru terkesan mengesampingkan aspek pemahaman terhadap asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, epistemologi, cara kerja dan struktur fundamental keilmuan yang melatarbelakangi dibangunnya ilmu-ilmu tersebut oleh generasi pencetusnya ratusan tahun silam.14 12Gregory
Baum, Agama Dalam Bayang-Bayang Relativisme: Sebuah Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Manheim Tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, ter. Achmad Mustajib et. al. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999). 13 Aspek yang tidak terpisahkan dari fenomena ikhtilaf adalah pemahaman dan kesadaran yang mendalam untuk berbeda pendapat, atau yang dikenal luas dengan istilah Fiqh al-Ikhtilaf. Hal ini adalah penting untuk menghindari perpecahan yang kerapkali timbul dari kasus silang pendapat, di mana masing-masing pihak mengklaim bahwa pendapatnya adalah kebenaran satusatunya. Oleh karena itu, perlu untuk selalu ditanamkan bahwa lawan pendapat adalah kawan berfikir. Lihat Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Ikhtilaf (Kairo: Dar al-Da’wah, 1990), 24. Periksa juga Anwar Haryono, “Lawan Pendapat adalah Kawan Berfikir”, dalam Media Dakwah (November, 1990), hlm. 197. 14 Menurut Shahrur, pemikiran Islam kontemporer memiliki problem-problem berikut: (1) Tidak adanya
Tak pelak, secara alamiah, terjadi proses pengeringan sumber mata air dinamika keilmuan keislaman yang merupakan jantung dan prasyarat bagi pengembangan keilmuan Islamic Studies, khususnya dalam menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul kepermukaan sebagai akibat langsung dari pengembangan jangkauan wilayah pengalaman manusia. Pada gilirannya, hal ini mengakibatkan “terpencilnya” Islamic Studies dari wilayah pergaulan keilmuan sosial dan budaya, serta sulitnya upaya pengembangan wilayah bagi Islamic Studies itu sendiri. Dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa prasyarat yang harus dipenuhi untuk mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan Islam dan studi-studi keislaman pada umumnya adalah perlunya dialog intensif terlebih dahulu dengan Filsafat Ilmu. Sejauh mana ilmuwan ‘Ulûm al-Dîn mampu bersentuhan dan berdialog dengan disiplin-disiplin keilmuan sejenis yang lain, khususnya yang terkait dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti Sosiologi, metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan kajian nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad. (2) Kajian-kajian keislaman yang ada seringkali bertolak dari perspektifperspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya. (3) Tidak dimanfaatkannya Filsafat Humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat. (4) Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang. (5) Produk-produk Fikih yang ada sekarang (al-fuqaha’ al-khamsah) sudah tidak lagi relevan dengan tuntutan modernitas. Yang diperlukan adalah formulasi Fikih baru. Kegelisahan akademik semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, tapi umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru. Lihat Sibawaihi, “Pembacaan al-Qur’an Muhammad Shahrur”, hlm. 116.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
885
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
Sejarah, Filsafat, Kritik Sastra, Linguistik, Hermeneutika, Cultural Studies, Psikologi, Antropologi dan seterusnya, seukuran itulah lompatan pengembangan keilmuan yang akan digapai. Epistemologi Bayânî, ‘Irfânî dan Burhânî sebagai Epistemologi Islamic Studies Filsafat Ilmu yang dikembangkan di Barat seperti Rasionalisme, Empirisme dan Pragmatisme, “tidak begitu cocok” untuk dijadikan kerangka teori dan analisis bagi Islamic Studies. Perdebatan, pergumulan dan perhatian epistemologi keilmuan di Barat tersebut lebih terletak pada wilayah Natural Sciencies dan bukannya pada wilayah humanities dan Social Sciencies. Padahal Islamic Studies dan ‘Ulûm al-Dîn, khususnya Syariah, Akidah, Tasawwuf, Ulum alQur’an dan Ulum al-Hadis, lebih terletak pada wilayah Classical Humanities. Untuk itu diperlukan perangkat analisis epistemologis yang khas untuk pemikiran Islam, yakni apa yang disebut oleh Muhammad ‘Abid alJabiri15 dengan Epistemologi Bayânî, ‘Irfânî dan Burhânî.16 15
Muhammad ‘Abid al-Jabiry adalah seorang filosof Maroko kontemporer yang dilahirkan pada tahun 1936. Dia menjalani pendidikan tingginya di Fakultas Adab, Universitas Muhammad V, Rabath, hingga mencapai gelar doktoralnya dalam bidang Filsafat pada tahun 1970. Sampai sekarang, dia menjadi staf pengajar di almamaternya. Dia telah menulis beberapa buku yang telah diterbitkan berulang-ulang dalam bidang Filsafat Ilmu, Filsafat Sejarah, Filsafat Islam, dan masalahmasalah kearaban. Dia juga memberikan kontribusinya dalam penulisan Ensiklopedi Filsafat Arab dalam entri Avicennaism dan Hermetisme. Lihat Muhammad Aunul Abied Shah et. al., “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik al-Jabiri,” dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, ed. M. Aunul Abied Shah (Bandung: Mizan, 2001), 301302. Belakangan, muncul temuan bahwa “Trilogi Epistemologi al-Jabiri” itu sesungguhnya berangkat dari gagasan-gagasan Ibn Rushd. Atau dengan ungkapan lain, al-Jabiri hanya memulung pemikiran-pemikiran epistemologis-filosofis Ibn Rushd yang terserak-serak dalam manuskrip-manuskrip kuno. Akurasi temuan di atas semakin kukuh jika mengingat bahwa al-Jabiri banyak menghabiskan waktunya untuk men-tahqiq
886
Epistemologi Bayânî (Retorika) Menurut al-Jabiri, corak Epistemologi Bayânî didukung oleh pola pikir Fikih dan Kalam. Dalam tradisi keilmuan Islam, corak pemikiran Islam model Bayânî sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi Epistemologi ‘‘Irfânî maupun Burhânî. Corak pemikiran ‘‘Irfânî (Tasawwuf; intuitif; al-‘âtify) kurang begitu disukai oleh tradisi berpikir keilmuan Bayânî (Fikih dan Kalam) yang murni, lantaran bercampuraduknya bahkan dikaburkannya tradisi berpikir keilmuan ‘‘Irfânî oleh kelompokkelompok (organisasi-organisasi) tarekat beserta satahat-satahat-nya. Belum lagi, pola pikir dan struktur fundamental Epistemologi ‘‘Irfânî serta nilai manfaat yang terkandung di dalamnya sukar untuk difahami. Sebenarnya ketiga kluster sistem epistemologi ‘Ulûm al-Dîn ini adalah masih berada dalam satu rumpun, tetapi dalam karya-karya Ibn Rushd yang masih belum terpublikasikan. (Pen). 16 Kedua buku al-Jabiri, yakni Takwin al-‘Aql al-‘Araby dan Bunyan al-‘Aql al-‘Araby: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma’rifah fi al-Thaqafah al-‘Arabiyyah, oleh banyak kalangan dianggap cukup representatif untuk melihat struktur fundamental kefilsafatan ilmu-ilmu keislaman dalam dataran humanities. Sedangkan buku ketiganya, al‘Aql al-Siyasy al-‘Araby merupakan pengejawantahan dari konsep-konsep dan paradigma humanities dalam pemikiran keislaman pada wilayah sosial-politik yang kongkret dalam masyarakat Muslim. Dengan begitu, buku ketiga tersebut lebih terkait dengan operasionalisasi (social aplication) dari konsep-konsep humanities dalam pemikiran keislaman. Lihat elaborasi selengkapnya dalam Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), v. Tiga jilid karya monumentalnya di atas ia namakan “Proyek Kritik Nalar Arab” (Mashru’ Naqd al‘Aql al-‘Araby). Proyek ilmiah tersebut banyak mendapat sambutan dari kalangan akademis Arab kontemporer. Jurnal ilmiah berbahasa Arab, al-Mustaqbal al-‘Araby menganggap karya al-Jabiri tersebut sebagai Perestroika dan Glasnot-nya Arab karena keberaniannya dalam membongkar struktur epistemologi Arab (juga Islam) yang sudah mapan. Lihat A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Pemikiran Arab Kontemporer” dalam Jurnal Paramadina (Juli-Desember, 1998), hlm. 78.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
prakteknya hampir-hampir tidak pernah mau akur. Tidak jarang, antar masingmasing penganut tradisi epistemologi ini saling kafir-mengkafirkan, murtadmemurtadkan dan sekular-mensekularkan. Oleh karena pola pikir tekstual Bayânî secara politis lebih dominan, maka dia membentuk mainstream pola pemikiran Islam yang hegemonik. Sebagai akibatnya, pola pemikiran Islam model Bayânî menjadi rigid. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi Usul Fikih klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain, seperti alam (kaunyyah), akal (‘aqliyyah) dan intuisi (wijdâniyyah). Dominasi pola pikir tekstual-Bayânî menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstualbahtsiyyah. Pengembangan pola pikir Bayânî hanya dapat dilakukan jika ia mampu memahami, berdialog, dan mengambil manfaat dari sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola fikir ‘‘Irfânî maupun pola fikir Burhânî dan begitu pula sebaliknya. Jika saja masing-masing sistem kefilsafatan ilmu keagamaan dalam Islamic Studies dan ‘Ulûm al-Dîn ini berdiri sendiri-sendiri, tidak bersentuhan antara satu dengan lainnya, maka agak sulit dibayangkan akan terjadi pengembangan ilmu-ilmu keislaman dalam menghadapi problem-problem kontemporer. Dalam tradisi nalar Epistemologi Bayânî (tekstual-keagamaan), fungsi akal hanya digunakan sebatas untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Sama sekali di luar kalkulasi pendukung corak epistemologi ini: apakah pelaksanaan dan implementasi ajaran teks dalam kehidupan masyarakat luas masih seorisinil dan seotentik lafal teks itu sendiri atau tidak, karena diskusi semacam itu akan
diintrodusir dan diambil-alih oleh pola pemikiran Epistemologi Burhânî.17 Sedari awal, pola pikir Bayânî lebih mendahulukan qiyas dan bukannya mantiq lewat silogisme dan premis-premis logika. Epistemologi tekstual-lughawiyyah (al-asl wa al-far’; al-lafz wa al-ma’nâ) lebih diutamakan daripada epistemologi kontekstualbahtsiyyah maupun spiritualitas-‘‘Irfânîyyahbatiniyyah. Di samping itu, nalar Epistemologi Bayânî selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai muncul kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.18 Epistemologi ‘Irfânî (Gnostik) Perpaduan “teks” dan “akal” rupanya memunculkan rigiditas dan keteganganketegangan tertentu bahkan tidak jarang menimbulkan konflik dan kekerasan yang bersumber dari pola pikir ini. Untuk menghindari kekakuan (rigiditas) dalam berpikir keagamaan yang menggunakan teks sebagai sumber utamanya, epistemologi pemikiran Islam, sesungguhnya, telah mempunyai dan menyediakan mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam (internal control) lewat Epistemologi ‘‘Irfânî, yang lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Status keabsahan ‘‘Irfânî selalu dipertanyakan baik oleh tradisi berpikir Bayânî maupun Burhânî. Epistemologi Bayânî mempertanyakan keabsahannya karena dianggap tidak mengindahkan pedoman-pedoman yang diberikan teks, sedang Epistemologi Burhânî Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Araby (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989), hlm. 29-30. 18 Ibid. 17
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
887
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
mempertanyakan keabsahannya karena dianggap tidak mengikuti aturan dan analisis logika. Agak sulit memang untuk mengembalikan citra positif Epistemologi ‘‘Irfânî dalam pangkuan gugus epistemologi Islam yang lebih komprehensif-integrated karena kecelakaan sejarah dalam hal kedekatannya dengan perkumpulan tarekat. Padahal tarekat itu sendiri adalah institusi (organizational expression) dari tradisi Gnosis (Tasawwuf) dalam budaya Islam. Fazlur Rahman sampai-sampai pernah menyebutnya sebagai religion within religion.19 Jika sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi Bayânî adalah “teks wahyu”, maka sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir ‘‘Irfânî adalah “pengalaman” (experience). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya, merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan, dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Dzat yang Maha Suci dan Maha segalanya. Untuk mengetahui Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu turunnya “teks”. Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam, otentik, fitri, dan hampirhampir tidak terditeksi logika dan tidak terungkapkan oleh bahasa inilah yang disebut-sebut sebagai al-‘Ilm al-Hudûry (direct experience). Semua pengalaman otentik tersebut dapat “dirasakan” secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan “bahasa” maupun “logika”. Validitas kebenaran Epistemologi ‘‘Irfânî hanya dapat dirasakan dan dihayati secara 19
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm. 132-135, 150.
888
langsung (al-ru’yâ al-mubâshirah; direct experience) oleh intuisi dan al-dhauq (psikognosis). Sekat-sekat formalitas lahiriah yang diciptakan oleh tradisi Epistemologi Bayânî maupun Burhânî baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit, golongan, kultur, dan tradisi, yang ikut andil merenggangkan hubungan interpersonal antar umat manusia, ingin diketepikan oleh tradisi berfikir orisinal ‘‘Irfânî. Untuk itulah, prinsip memahami keberadaan orang, kelompok dan penganut agama lain (verstehen; understanding others) dengan cara menumbuhsuburkan sikap empati, simpati, social skill dan berpegangteguh pada prinsip-prinsip universal reciprocity akan mengantarkan tradisi epistemologi ‘‘Irfânî pada pola pikir yang lebih bersifat unity in difference, toleran dan pluralis. Dengan demikian, hubungan antar “subyek” dan “obyek” bukannya bersifat subyektif (seperti yang biasa terjadi dalam tradisi Bayânî) dan bukan pula bersifat obyektif (seperti yang biasa terjadi dalam tradisi Burhânî), tetapi lebih kepada intersubyektif. Kebenaran apapun, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial-keagamaan, selalu bersifat intersubyektif. Oleh karena itu, kajian-kajian baru dan serius tentang kerangka berpikir ‘‘Irfânî perlu terusmenerus digali dan dikaji ulang agar dapat difahami secara praktis-fungsional.20 Epistemologi Burhânî (Demonstrasi) Hegemoni Epistemologi Bayânî menjadikan corak Epistemologi Burhânî dan juga ‘‘Irfânî tersingkir dari panggung sejarah pemikiran keislaman. Oleh karena keduanya, yakni Epistemologi Burhânî dan ‘‘Irfânî cukup vital perannya dalam 20.Abdullah,
“al-Ta’wil al-‘Ilmiy”, hlm. 377.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
pemikiran keislaman, maka keduanya perlu direkonstruksi ulang dengan pemaknaanpemaknaan yang baru (al-qirâ’ah al-muntijah) untuk mendampingi Epistemologi Bayânî. Jika sumber (origin) dari corak Epistemologi Bayânî adalah teks, sedang ‘‘Irfânî adalah pengalaman langsung (direct experience), maka Epistemologi Burhânî bersumber pada realitas (al-wâqi’), baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi Burhânî disebut sebagai al-‘Ilm alHusûli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan hanya melalui premis-premis logika (al-mantiq al-‘ilmiy), Premis-premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerjasama antara proses abstraksi (al-mawjudât barî’ah min almâdah) dan pengamatan inderawi yang sahih, atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium dan proses penelitian lapangan (grounded research) serta studi bibliografis mendalam. Peran akal sedemikian menentukan karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebabakibat (idrâk al-sabâb wa al-musabbab).21 Untuk mencari sabâb dan musabbab yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Fungsi dan peran akal bukannya untuk mengukuhkan kebenaran teks seperti yang ada dalam nalar Bayânî, tetapi lebih ditekankan untuk melakukan analisis dan menguji secara terus-menerus (heuristik) kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan melalui premispremis logika keilmuan. Fungsi akal yang bersifat heuristik dengan sendirinya akan membentuk budaya kerja penelitian, baik
yang bersifat eksplanatif, eksploratif maupun verifikatif.22 Tolok ukur validitas keilmuannya pun sangat berbeda dari nalar Bayânî dan nalar ‘‘Irfânî. Jika nalar Bayânî tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks dan realitas; nalar ‘‘Irfânî lebih kepada kematangan empati, simpati, verstehen dan social skill; maka dalam nalar Burhânî yang ditekankan adalah korespondensi (al-mutabaqah bayn al‘aql wa nizâm al-tabî’ah), yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi, juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis). Upaya terusmenerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumusrumus dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh akal manusia (pragmatik). Dengan demikian, sebagai kesimpulan sementara, dapat dinyatakan, bahwa kebudayaan ilmu (hadârah al-‘ilm) dibangun di atas pondasi tata kerja nalar Burhânî, sedang kebudayaan Fikih (hadârah al-fiqh) dibangun di atas otoritas teks dengan qiyas sebagai metode kerja yang utama, sedang kebudayaan filsafat (hadârah al-falsafah) dibangun di atas koherensi argumenargumen logika. Ta’wil al-Ilmiy: Gerak Lingkar Hermeneutis Nalar Epistemologi Keislaman yang HumanistikTransformatif (Mempertimbangkan Sintesis M. Amin Abdullah)23 Setelah mengenal ketiga corak epistemologi pemikiran keislaman di atas, langkah penting lain yang tidak kalah nilai fundamentalnya adalah menentukan bentuk hubungan di antara ketiganya. 22 23
21
Ibid., hlm. 24. Disarikan dari Abdullah, “al-Ta’wil al-‘Ilmiy”, hlm. 359391.
Al-Jabiri, Takwin, hlm. 20.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
889
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
Bagaimana bentuk relasi yang ideal di antara ketiganya; pararel, linear, atau sirkularkah?. Ketepatan dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan out put yang akan dicapai. Jika hubungan antara ketiga corak epistemologi tersebut di atas dipilih dalam pola “pararel”, maka masing-masing corak epistemologi akan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara yang satu dan yang lain dalam diri seorang ilmuwan atau agamawan. Nilai manfaat teoritis maupun praktis yang akan diperoleh juga akan minim sekali. Bentuk hubungan yang pararel mengasumsikan bahwa dalam diri seorang ilmuwan agama Islam terdapat tiga jenis epistemologi keilmuan agama Islam sekaligus, namun masing-masing bangunan epistemologi itu berdiri sendiri-sendiri, tidak saling berdialog dan berkomunikasi antara yang satu dan lainnya. Tergantung pada situasi dan kondisi; jika seseorang berada pada wilayah doktrinal-teologis, dia menggunakan Epistemologi Bayânî sepenuhnya dan tidak berani menoleh kepada epistemologi keilmuan agama Islam yang lain. Meski demikian, seminim-minimnya hasil yang akan diperoleh dari pola hubungan yang pararel ini, si pemilik wawasan ketiga pola epistemologi masih jauh lebih baik daripada hanya menguasai satu corak epistemologi saja, atau bahkan tidak mengenal sama sekali jenis epistemologi yang lain. Sedangkan pola hubungan yang “linear”, pada ujung-ujungnya akan menghadapi jalan buntu keilmuan. Pola hubungan linear dari semula telah berasumsi bahwa salah satu dari ketiga epistemologi tersebut akan menjadi primadona. Seorang ilmuwan agama Islam tidak akan mengindahkan masukan yang ia peroleh dari berbagai corak epistemologi yang ia kenal, karena secara a-priori telah 890
menyukai dan mengunggulkan salah satu dari tiga corak epistemologi yang ada. Jenis epistemologi yang ia pilih dianggap sebagai satu-satunya epistemologi yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini, pada gilirannya, akan mengantarkan seseorang pada kebuntuan. Kebuntuan itu dapat berbentuk kebuntuan dogmatis-teologis (biasanya terekspresikan dalam truth claim yang berlebihan dan eksklusivitas yang tidak mengenal kompromi), atau juga kebuntuan nihilistik (dalam bentuk pandangan yang bersifat skeptis terhadap semua tata banguanan rasionalitas manusia), juga dapat pula berbentuk kebuntuan scientifistik (tergantung kepada jenis disiplin keilmuan yang digeluti). Keduanya, baik bentuk hubungan yang pararel maupun linear, bukan merupakan pilihan ideal yang dapat memberikan guidance untuk umat beragama era kontemporer yang sarat dengan berbagai tantangan dan keprihatinan. AlTa’wil al-‘Ilmiy sebagai bentuk model tafsir alternatif dalam memahami al-Qur’an dan teks-teks suci lain, tidak dapat dibangun di atas pola hubungan pararel maupun linear. Pola hubungan pararel tidak dapat membuka horizon, wawasan dan gagasangagasan baru yang bersifat transformatif. Masing-masing epistemologi terhenti dan bertahan pada wilayahnya masing-masing serta sulit untuk berdialog antara satu corak epistemologi dan epistemologi lainnya. Ibarat rel kereta api, maka ketiganya akan berada pada jalurnya sendiri-sendiri dan tidak akan dapat bertemu pada titik convergent. Sedang pola hubungan linear yang mengasumsikan adanya finalitas akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eksklusif-polemis-dogmatis. Di lingkungan komunitas intern umat Islam yang pluralistik --lebih-lebih dalam era multikultural dan multireligius ini--
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Epistemologi Islamic Studies Kontemporer M. Rasyid Ridla
pola hubungan yang baik antara ketiganya adalah relasi yang berbentuk “sirkular” dalam arti bahwa masing-masing corak epistemologi keilmuan agama Islam yang digunakan dalam studi keislaman dapat memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang melekat pada diri masingmasing, untuk kemudian bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya sendiri. Cara berfikir dan spirit keilmuan demikian yang dimaksud dengan al-Ta’wil al-‘Ilmiy dengan model kerja memanfaatkan gerak putar hermeneutis antar ketiga corak tradisi epistemologi keilmuan Islam yang telah “baku” tersebut. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, anomali-anomali, kesalahan yang melekat pada masing-masing epistemologi pemikiran keagamaan Islam dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis epistemologi yang datang dari luar dirinya, baik masukan itu datang dari Epistemologi Bayânî, Epistemologi ‘‘Irfânî maupun Epistemologi Burhânî. Dengan demikian, dalam pola relasi sirkular tidak menunjukkan adanya finalitas, eksklusivitas dan hegemoni keilmuan. Yang ada adalah tradisi dialog dan semangat paralogy24. Relasi antara ketiga epistemologi tersebut –Bayânî, ‘‘Irfânî dan Burhânî dapat
Paralogy adalah suatu epistemologi keilmuan yang memandang bahwa tidak ada kebenaran tunggal, sepanjang masih merupakan perenungan manusiawi. Atau mudahnya, paralogy merupakan epistemologi ilmu yang menjunjung tinggi ide-ide pluralis serta sekuat mungkin berusaha melenyapkan –apa yang disebut dengan— ontoteologis (usaha untuk mencari substansi realitas). Periksa Heri Santoso, “Metode Dekonstruksi Jacques Derrida: Kritik Atas Metafisika dan Epistemologi Modern”, dalam Epistemologi Kiri, . Ed. Listiyono Santoso, et.al. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), hlm. 247-259. 24
disimak pada illustrasi sebagaimana tabel pada lampiran artikel ini: Penutup Spesialisasi keilmuan apapun – termasuk ilmu-ilmu agama Islam- yang terlalu rigid (kaku) tidak lagi menarik bagi generasi ilmuwan Islamic Studies kontemporer. Diperlukan transdisiplin untuk mengembangkan dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu-ilmu agama Islam serta membongkar eksklusivisme, ketertutupan dan kekakuan disiplin keilmuan agama yang hidup dalam bilikbilik sempit epistemologi. Jika itu tidak terwujud, maka yang terjadi bukanlah enrichment dan development (pengayaan dan pengembangan keilmuan), tetapi malah penyempitan wilayah horizon keilmuan Islamic Studies (Dirasah Islamiyyah) atau ‘Ulûm al-Dîn itu sendiri. Pendekatan al-Ta’wil al-‘Ilmiy sebagai model tafsir alternatif terhadap teks menggunakan jalur lingkar hermeneutis yang mendialogkan secara sungguhsungguh antara paradigma Epistemologi Bayânî, paradigma Epistemologi Burhânî dan paradigma Epistemologi ‘‘Irfânî dalam satu gerak putar yang saling mengontrol, meng-kritik, memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-masing paradigma, khususnya jika masing-masing paradigma berdiri sendirisendiri, terpisah antara yang satu dengan lainnya. Hanya dengan demikian – barangkali-- apa yang disebut transformasi sosial dan humanisasi ilmu-ilmu keislaman melalui penafsiran dan pemaknaan pesanpesan kitab suci yang bersifat emansipatoris dapat teraktualisasi baik secara teori maupun praksis. Wa Allâh a’lam bi alshawâb
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
891
Lampiran Model Pola Hubungan Pararel
Nalar Bayânî Nalar ‘‘Irfânî
Nalar Burhânî
Model Pola Hubungan Linear NalarBayânî25
Nalar Bayânî
Nalar ‘‘Irfânî
Nalar Bayânî
Model Pola Hubungan Sirkular Nalar Bayânî
Tekstual Normatif
Nalar Burhânî
Kontekstual Historis-Empiris
Nalar ‘‘Irfânî
Nalar Bayânî di sini bisa berubah menjadi nalar Burhânî atau ‘‘Irfânî tergantung pada latar belakang pendidikan, keilmuan serta kecenderungan dan kepentingan masing-masing pribadi atau kelompok. 25