Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
EKSPLORASI RESPON PASIEN GANGGUAN JIWA SETELAH MENDAPAT HOME VISITE DARI PETUGAS KESEHATAN Wahyu Ekowati1, Suryanto2 1,2 Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ABSTRACT The success of treatment in cases of mental disorder should not be simply imposed on a psychiatric unit, especially when patients were treated at a mental hospital. But it should be followed up with monitoring of treatment when the patient has returned home and cared for by family. One of the important agenda for health workers in the psychiatric unit is to conduct home visits to patients with mental disorders when the patient has been allowed to go home. It can bring a positive impact on families as well as for patients who visited by the health officers. The study was conducted qualitatively with the aim to determine the perception of mental patients after getting home visit by health officers. Indepth interviews were conducted on 8 patients and were analyzed using Collaizzi analysis techniques. The study identified four themes: (1) there was a positive response of patients toward home visits by health officers, (2) needs for mental health information were identified, (3) there was an expectation of mental health services and (4) patient's negative thoughts were identified. Recommendations based on the results of this study is that a structured home visit programs should be appliedin each unit of mental health services,so the aim of psychiatric nursing interventions can be achieved optimally either in hospital or in the community. The family is also expected to enhance its function and continue to provide motivation and encouragement for patients so that patients can re-socialize and productive, return to normal for the field work. Key words: home visit, mental disorders, psychiatric unit, the family functions. PENDAHULUAN Saat ini jumlah penderita gangguan jiwa didunia cukup besar. WHO (World Health Organization) memperkirakan tidak kurang dari 450 juta penderita gangguan jiwa ditemukan di dunia. Bahkan berdasarkan data dari studi World Bank di beberapa negara menunjukkan 8,1% dari masalah kesehatan global masyarakat (Global Burden Disease) disebabkan gangguan jiwa. Di Indonesia jumlah penderita gangguan jiwa menurut data Departemen Kesehatan tahun 2007, mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori
gangguan jiwa ringan 11,6 persen dari populasi dan 0,46 persen menderita gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa telah menyebabkan seseorang mengalami gangguan ketidakmampuan atau kerusakan dalam hubungan sosial, sehingga seseorang hidup di alamya sendiri, berinteraksi dengan pikiran yang diciptakannya sendiri, perasaan yang dibuatnya sendiri, seolah-olah semuanya menjadi sesuatu yang nyata sebagaimana dunia luar realitas yang sebenarnya (Ade dkk, 2007). Gangguan kesehatan jiwa menurut Aris Sudiyantodalam Yosep (2009), ada
103
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
tiga golongan penyebabnya. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organik. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi, kecanduan obat dan alkohol. Kedua gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya karena salah dalam pola pengasuhan (Pattern of parenting) hubungan yang patologia di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial atau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orang tua, hubungan antar personal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain). Saat pasien harus menjalani perawatan di unit psikiatri maka petugas kesehatan memiliki tugas untuk memberikan perawatan baik yang bersifat farmakologi dengan kolaborasi medis maupun membangun kemampuan interaksi sosialnya. Hal ini sangat bermanfaat bagi pasien saat harus kembali ke rumah dan keluarganya, kembali berinteraksi dengan tetangga atau ke lingkungan pekerjaannya. Berbagai harapan akan kehidupan yang lebih baik digantungkan pada pasien gangguan jiwa pasca perawatan di unit rawat psikiatri. Namun terkadang saat kembali ke rumah, pasien menjumpai banyak kendala untuk mewujudkan harapan tersebut. Disinilah pentingnya peran petugas kesehatan untuk melakukan kunjungan rumah ke rumah pasien gangguan jiwa seusai pasien kembali ke rumah. Hal ini berdampak positif pada harapan yang
ingin diraih pasien untuk kembali mencapai kemandirian dan produktif, membangun persepsi yang positif dalam menjalani kehidupan pasca perawatan di unit psikiatri. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran persepsi pasien gangguan jiwa setelah mendapat kunjungan rumah oleh petugas kesehatan. Penelitian dilakukan melalui wawancara mendalam. Tahap wawancara dibagi menjadi 3 bagian, dimana tahap pertama dilakukan 2-3 kali setiap partisipan untuk menjalin hubungan yang saling percaya terlebih dahulu dan membuat pasien lebih nyaman saat berinteraksi dengan peneliti. Tahap kedua adalah wawancara mendalam untuk mengeksplorasi persepsi pasien. Hasil dari wawancara ini kemudian dilakukan analisis oleh peneliti menggunakan tehnik analisis menurut Collaizzi sehingga menemukan tema-tema utama. Wawancara tahap ketiga adalah mengkonfirmasi tema-tema sementara dari hasil analisis tahap kedua tersebut berdasar interpretasi data yang telah dibuat oleh peneliti. Selama wawancara dilakukan, peneliti juga membuat catatan lapangan sehingga respon verbal maupun non verbal partisipan dapat terdokumentasi dengan baik. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik responden Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang. Karakteristik partisipan dapat dilihat pada Tabel 1.
104
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
Kode Umur Jenis kelamin P1 18 Wanita P2 31 Wanita P3 43 Laki-laki P4 28 Laki-laki P5 21 Wanita P6 28 Laki-laki P7 30 Laki-laki P8 45 Wanita
Tabel 1. Karakteristik Responden Pendidikan Status Pekerjaan SMP SMP SD SMP SMP STM SD SD
Tema-tema yang dihasilkan Hasil penelitian memperoleh 4 tema tentang persepsi pasien gangguan jiwa pasca rawat inap di unit psikiatri setelah mendapatkan kunjungan rumah oleh petugas kesehatan. Tema I : Respon Positif Tema pertama adalah respon positif dari pasien saat melihat kedatangan petugas. Pasien menyatakan senang, gembira karena dikunjungi petugas. Respon ini terlihat secara verbal dan non verbal. Pasien mengatakan gembira dan
Belum menikah Janda Menikah Menikah Belum menikah Belum menikah Duda Janda
Tidak bekerja Ibu rumah tangga Tani Buruh kebun salak Karyawan pabrik Tambal ban sepeda Buruh Ibu rumah tangga
terlihat ekspresif dengan mata berbinar, tersenyum, tertawa dalam sesekali bercanda dengan petugas. Pasien bahkan masih mengenali dengan baik nama petugas (melihat petugas kesehatan memasuki halaman rumah, pasien sudah memanggil nama petugas) dan mempersilahkan masuk rumah dan duduk dengan ramah pada petugas. Bahkan menyambut petugas seperti layaknya tamu hingga menyajikan minuman teh dan makanan atau kue. Hal ini nampak dari kalimat :
“Iya... saya seneng sekali ibu-ibu sama bapak perawat sampai datang ke rumah saya, kok bisa nyampe kesini... (tertawa). Ayooo monggo silahkan masuk, ini silahkan duduk... maaf rumahnya berantakan....” (P1). “Monggo bu... ini teh-nya diminum dulu... ada kue itu... monggolah dicicipi....” (P3) “Saya nggak nyangka ibu-ibu perawat mau datang beneran ke rumah saya.... Saya seneng sekali.... didatangi seperti ini... (tersenyum-senyum)” (P8) Tema II : Kebutuhan Akan Informasi Kesehatan Tema kedua adalah informasi kesehatan yang diinginkan oleh partisipan. Banyak informasi kesehatan yang ditanyakan oleh pasien dan keluarga justru saat dilakukan kunjungan rumah oleh
petugas. Ada pula informasi yang selama ini saat dirawat tidak pernah didapatkan oleh pasien, justru saat kunjungan rumah informasi tersebut terungkap sebagai kebutuhan yang ungent bagi pasien dan keluarganya. Hal ini nampak dari pernyataan partisipan sebagai berikut :
105
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
“Lha wong.....pas di rumah sakit saya nggak pernah dijelaskan satu per satu obat yang diminum ini, saya tahunya pokoknya kalau habis minum ini (menunjuk ke arah obat) pasti saya jadi ngantuk banget.... pokoke ngantuuukke pol.. (mengernyitkan dahi, mengeluh efek obat yang membuat mengantuk)” (P7). “Ya kuwe bu... angger ngombe obate mesti dadi ngantuk banget, loyo kow.... ora bisa melek babar blas... matane mereemm bae, abot nggo melek ora bisa bisa....aku dadi males ngombe obate bu...(Ya itu bu... kalau minum obat mesti jadi ngantuk banget, loyo, tidak bisa buka mata sama sekali.... matanya merem terus terasa berat buat melek jadi tidak bisa melek... saya jadi malas minum obatnya bu...) ” (P6) “Lho saya pikir kalau sudah sembuh, obate habis ya nggak usah ke rumah sakit lagi. Lha itu kalau tipes (thypoid), kalau sudah sehat ya sudah... nggak usah nebus resep lagi... kan sudah sembuh....” (P5) “Saya sebenernya males minum obat terus, tapi sama istri saya ditakut-takuti katanya kalau obatnya tidak diminum bakalan kumat lagi... Apa ya gitu bu? Lha Wong minum obat sama yang nggak minum juga sama-sama konslet..... (terganggu)” (P4) Tema III : Harapan Terhadap Petugas Kesehatan Tema ini muncul berdasar pengakuan partisipan saat mendapat kunjungan rumah oleh petugas. Harapan yang disampaikan kepada petugas kaitannya dengan pelayanan atau perawatan tentang kasus gangguan jiwa
meliputi sikap ramah petugas saat merawat mereka, perlakukan fisik yang tidak diinginkan (tidak dipukul), dan program kunjungan rumah yang terjadual dari rumah sakit. Sikap petugas kesehatan yang diharapkan oleh pasien terungkap sebagai berikut :
“Waktu di rumah sakit kan saya dirawat sama bu X (menyebutkan nama perawat), itu galak... suka marah kalau saya nggak mau mandi. Tapi waktu sore saya sama bu Y (menyebutkan nama perawat yang lain), nah itu saya seneng tuh... soale bu Y enak kalau ngomong sama saya juga sama pasien lain yang sekamar sama saya itu pelanpelan, nggak suka marah.... kalau saya nggak mau mandi saya dibilangin mbok nanti gatelen kulitnya... soalnya nggak bersih....” (P8) “Sebenernya perawatnya baik-baik kok... tapi kalau ada yang mbandel yang nggak mau mandi atau nggak mau makan obat lha itu kadang marah... ya maksudnya kan baik biar kita ini sembuh... nggak mumet pikirannya lagi... konslet konslet gitu... (tersenyum). Iya kan bu....?” (P1). “Saya suka sama pak Z soalnya ramah, suka senyum... lha kan saya juga pasien bu yang lagi eror, jadi harus disayang- sayang, kan.... . ” (P6) Ungkapan pasien diatas mengindikasikan bahwa sebenarnya saat dirawat (sekalipun mengalami gangguan jiwa), pasien dapat merasakan perbedaan bentuk sikap petugas kesehatan yang
merawatnya. Mereka menyukai sikap petugas yang ramah, sopan, intonasi kalimat yang tidak keras/kasar, tersenyum. Hal ini memberikan gambaran bahwa meskipun mereka mengalami gangguan 106
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
jiwa namun tetap saja mereka harus diperlakukan dengan baik, tentunya sesuai dengan hubungan yang terapeutik. Harapan terhadap petugas selanjutnya adalah bentuk perlakukan
secara fisik. Pasien tidak menginginkan bentuk perlakukan fisik seperti saat mereka mendapat perlakukan kasar di rumah atau lingkungan sebelum masuk rumah sakit.
“Ya gimana ya, waktu itu kan saya ngamuk dirumah katanya saya mecahin kaca jendela, ngrusakin TV tapi wong saya nggak sadar... saya cuma lihat ada mahluk hitam di jendela rumah saya.... ya langsung saya pukul biar pergi ehhh dia malah ada lagi masuk TV ya sudah saya pukul lagi dia, biar kapok... tapi pas saya sadar tahutahu saya sudah di sini... kepala saya benjol, punggung saya sakit semua...., katanya saya dipukuli sama tetangga soalnya saya ngamuk... ” (P7) “Itu pas di pabrik... saya melihat ada yang terbang mau ngambil ilmu kesaktian teman saya... lha saya ya nggak terima... lalu saya seret teman saya ajak lari... sampai dia jatuh guling-gulingan.... terus malah saya dipukulin sama satpam pabrik... lalu saya diikat dibawa kesini.... Tapi kalau disini saya nggak ada lagi yang mukulin... perawatnya baik-baik.... ” (P5) “Nggak pernah dipukulin... nggak ada yang suka mukul kok.... baik semua” (P6, P8) Hal penting lain yang dikemukakan pasien adalah terkait dengan kelanjutan program kunjungan yang berkesinambungan. Pasien mengharapkan
bahwa kegiatan kunjungan rumah hendaknya dilakukan sering dengan kata lain diprogramkan secara berlanjut dari rumah sakit.
“Nah kalau sering -sering dikunjungi begini kita jadi semangat bu... ada yang ngasih tau kalau kitanya lagi mumet....” (P1) “Kalau dulu si nggak pernah bu ada dikunjungi begini.... apa ini baru ya bu? Kalau saya senang sekali kalau didatengi begini... saya jadi bisa banyak tanya-tanya soal penyakit saya.... apalagi kalau setiap pasien ora waras seperti saya selalu didatengi... ya di jadual mungkin bu dari rumah sakit begitu..... ” (P7) “Waahh saya seneng sekali..... besok-besok datang lagi ya bu....” (P4) Dampak positif kunjungan rumah diakui pasien bahwa dengan datangnya petugas ke rumah mereka maka mereka merasakan bahwa ada nara sumber kesehatan yang bisa dijadikan tempat bertanya dan mengetahui perkembangan kondisi kesehatan jiwanya. Pasien juga menginginkan bahwa kegiatan kunjungan rumah dapat terjadual dari rumah sakit sehingga setiap pasien yang mengalami gangguan jiwa dapat merawat masalah
gangguan yang dialaminya dengan lebih baik. Tema IV : Pikiran Negatif Tema terakhir ditemukan saat partisipan mengungkapkan keluhannya setelah kembali ke rumah. Pikiran negatif yang diidentifikasi meliputi kebingungan terhadap soal pekerjaan, kelangsungan masa depan, kekhawatiran mendapat penolakan dari tempat bekerja yang dulu, 107
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
beban psikologis terhadap stigma masyarakat. Ada keluhan, ada kecemasan dan terselip pikiran negatif yang tersirat dari ekspresi non verbalnya dan terungkap dalam kalimat verbal.
Kebingungan terhadap masalah pekerjaan dan masa depan terungkap sebagai berikut :
“Saya bingung... habis ini apa saya masih diterima di tempat kerja saya... saya takut ditolak bekerja lagi.....gimana masa depan saya nanti....” (P5) “Wah.... mumet bu.... pusing kalau mikirin biaya sekolah anak-anak..... apalagi saya cuma janda begini.... ya bingung mau kerja... kerja apa... siapa yang mau nerima saya kerja.... orang pikirannya nggak waras begini...(ibu rumah tangga, tidak punya pekerjaan tetap).” (P2) “Saya cuma buruh.... ya paling ke kebon salak lagi.... tapi saya juga kuatir kalau-kalau nggak diterima sama bos saya juragan salak.... mau kerja apalagi juga belum kepikiran... bingung bu...” (P4) Hal yang diungkapkan partisipan tersebut mengisyaratkan bahwa ada kebingungan mengenai pekerjaan dan jaminan keberlanjutan masa depan mereka. Kekhawatiran terhadap penolakan dari tempat bekerja yang mungkin akan berujung pada pemutusan hubungan kerja juga dirasakan. Hal ini tentu bukan sesuatu
yang menguntungkan bagi pasien. Disisi lain pasien merasa harus ikut terlibat dalam tanggung jawab memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya. Hal negatif lain adalah beban psikologis yang dirasakan oleh pasien. Hal ini terungkap dalam kalimat berikut :
“Sepertinya orang-orang pada nggak mau ketemu saya... kan saya pernah dirawat di tempat orang yang nggak waras gitu....” (P3, P7) “Saya sebenarnya masih minder... kadang kalau lagi mumet pikirannya terus kumat... nanti gimana... saya sebenarnya malu bu...” (P8, P2, P6) “Saya nggak mau dolan-dolan lagi (main) sama tetangga.... rasanya saya nggak sanggup ketemu mereka, malu bu.... ” (P4) Beban psikologis memerlukan penanganan segera, sebab jika hal ini tidak mendapat perhatian dan perawatan yang konsisten maka akan mengarah untuk menjadi pencetus kekambuhan gangguan jiwa sehingga mereka mungkin akan kembali di rawat di unit psikiatri. Perasaan minder, malu dan tidak bersedia untuk bertemu apalagi bergaul dan menjalin interaksi kembali dengan tetangga atau lingkungan rumah
mengindikasikan bahwa perawatan terhadap pasien gangguan jiwa belum final hanya saat di rumah sakit, namun harus dilanjutkan ke rumah atau unit komunitas. Petugas dapat memberikan bimbingan untuk cara bagaimana memulai komunikasi dan menjalin interaksi kembali dengan orang lain. Selain itu petugas juga dapat membarikan suport dan reward positif agar pasien selalu terpacu untuk kembali beraktifitas dengan lingkungan di 108
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
rumah, termotivasi untuk mengikuti kegiatan atau agenda sosial di masyarakat, mengikuti kegiatan olah raga bersama, kelompok pengajian di sekitar rumah dan sebagainya yang melibatkan banyak orang sehingga pasien kembali mendapat rasa percaya diri untuk bangkit kembali menjalani kehidupan yang lebih baik. Program kunjungan rumah atau home visit dapat menjadi sarana atau penghubung antara petugas kesehatan terhadap pasien/keluarga yang menimbulkan dampak positif juga efektif dalam mencapai keberhasilan perawatan yang optimal. Terkait dengan hal ini menurut Keliat (2006), kunjungan rumah bisa memberikan banyak informasi kesehatan tidak hanya bagi pasien yang bersangkutan, namun juga bagi keluarga pasien bahkan bagi masyarakat sekitar tempat tinggal pasien gangguan jiwa. Mengapa masyarakat juga harus dilibatkan dalam hal ini? Sebab keberhasilan perawatan pada kasus gangguan jiwa tidak akan berhasil jika pengaruh stigma dimasyarakat masih sangat kuat. Riset tentang stigma yang dilakukan Mubin (2008) menyebutkan bahwa sebagian besar pasien gangguan jiwa dan keluarganya menghadapi beban psikologis yang berat akibat adanya stigma negatif dari masyarakat sebagai dampak dari adanya labeling. Labeling ini terkait sebagai pengidap gangguan jiwa, mantan penghuni rumah sakit jiwa atau sebutan negatif lain yang secara psikologis membuat pasien gangguan jiwa dan keluarga menanggung beban psikologis yang tidak ringan. Hasil penelitian ini juga menguatkan temuan (Corrigan, 2002) yang menyatakan bahwa stigma akan mempengaruhi menurunnya harga diri
seseorang, adanya perasaan malu, minder dan harga diri yang rendah. Disisi lain, adanya kunjungan rumah yang terstruktur akan memberikan dampak terhadap percepatan program rehabilitasi pasien, dimana mereka dapat kembali bersosialisasi dengan orang lain, dapat kembali bekerja, dan dapat beraktifitas secara mandiri sesuai kemampuanya. Hal ini secara tidak langsung akan menguntungkan paien dan keluarga sebab pasien masih dapat berperan secara produktif sesuai kemampuannya. Melalui kunjungan rumah ke komunitas maka petugas dapat memantau dan mengetahui perkembangan pasien, termasuk kebutuhan akan informasi kesehatan yang sangat diperlukannya, pelayanan kesehatan jiwa yang diharapkannya, hingga kecemasan terhadap masadepan dalam menjalani kehidupan mereka pasca perawatan di unit psikiatri. Hal ini membawa isyarat bahwa keberlanjutan perawatan dalam seting komunitas mutlak dilakukan agar pasien dapat mencapai kemandirian dalam menjalani kehidupannya meski memiliki keterbatasan kemampuan sebagai individu yang unik dan berbeda dari individu lainnya yang tidak mengalami gangguan jiwa. Respon positif yang teridentifikasi pada pasien gangguan jiwa setelah mendapat kunjungan rumah dari petugas meliputi senang, gembira karena dikunjungi petugas, mengharapkan kedatangan kembali petugas diwaktu yang akan datang, teridentifikasinya kebutuhan terhadap informasi kesehatan seperti manfaat obat yang dikonsumsi, efek samping yang mungkin bisa muncul dan resiko kekambuhan jika obat tidak 109
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
dikonsumsi secara benar. Selanjutnya adalah teridentikasinya harapan terutama terhadap pelayanan kesehatan jiwa karena selama ini pengetahuan dan wawasan pasien dan keluarga yang sangat minimal terhadap perawatan kasus gangguan jiwa, pasien juga menginginkan bahwa mereka diperlakukan atau diberikan pelayanan yang sama dengan pasien yang tidak mengalami gangguan jiwa atau pasien yang sakit secara fisik. Riset ini juga menemukan bahwa meskipun pasien merasa senang dan gembira karena mendapat kunjungan dari petugas kesehatan namun ternyata pasien memiliki keluhan berupa kebingunan terhadap pekerjaan dan jaminan masa depan untuk diri dan keluarganya, ada perasaan rendah diri, minder jika bergaul dengan lingkungan dan adanya kecemasan bahwa suatu saat penyakitnya akan kambuh kembali, pasien juga merasa malu karena pernah menjalani perawatan di unit psikiatri. Maka berdasarkan kesimpulan diatas dapat diberikan saran yaitu kesinambungan perawatan di rumah sakit atau unit psikiatri hendaknya berlanjut hingga ke komunitas. Tentang adanya pikiran negatif yang muncul dan dirasakan oleh pasien, maka hal ini dapat menjadi indikasi dari 2 hal, yang pertama adalah bahwa mereka sebenarnya mulai menyadari keunikan diri mereka yang ”berbeda” dari individu lain yang tidak mengalami gangguan jiwa. Dibutuhkan energi berupa pemahaman dan pengertian yang konsisten bahwa meskipun mereka berbeda namun mereka masih dapat berperan seperti individu lain yang tidak mengalami gangguan jiwa. Hal kedua adalah teridentifikasinya bahwa ternyata kadangkala perawatan di rumah sakit belum mencapai hasil yang optimal.
Masih dijumpainya pasien yang mengeluh bahwa kadang mengalami halusinasi dapat mengindikasikan bahwa meskipun mereka telah diijinkan kembali ke rumah, namun pantauan terhadap kemampuan untuk mengatasi halusinasi tetap harus dilanjutkan. Jika selama di rumah sakit hal tersebut dilakukan oleh petugas kesehatan maka selama pasien di rumah maka keluarga-lah yang harus mampu membantu pasien untuk mengatasi hal tersebut. Pengetahuan dan pemahaman ini dapat diberikan saat petugas melakukan kunjungan rumah, yang memungkinkan petugas dapat bertemu dengan semua anggota rumah dan melakukan peran sebagai educator bagi keluarga. SIMPULAN DAN SARAN Berbagai respon yang ditampilkan pasien gangguan jiwa sejak dari respon yang positif, munculnya kebutuhan informasi kesehatan jiwa, adanya harapan terhadap pelayanan kesehatan hingga teridentifikasinya masih adanya pikiran negatif yang dirasakan pasien, mengindikasikan bahwa ternyata banyak hal yang bisa didapat dari kegiatan kunjungan rumah ini. Sebagai saran sebaiknya kegiatan kunjungan rumah seperti ini dapat dijadikan sebagai program yang terstruktur di unit psikiatri sehingga kelangsungan perawatan dapat mencapai tujuan yang optimal sejak dari rumah sakit hingga ke komunitas. DAFTAR PUSTAKA Boyd, M.A., & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice, Philadelphia: Lippincott. Copel, Linda C. (2007). Kesehatan Jiwa & Psikiatri, Pedoman Klinis Perawat 110
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 6, No.2, Juli 2011
(Psychiatric and Mental Health Care: Nurse’s Clinical Guide). Edisi Bahasa Indonesia (Cetakan kedua). Alihbahasa : Akemat. Jakarta : EGC. Corrigan, (2004). Stigmatitation. http://www. experimentcentral.org, diperoleh tgl 16 Mei 2011). Grandfa. (2007).Tanggulangi Depresi Secara Tepat. ¶ http://id.shvoong.com/ medicineand- health/neurology/1670144tanggulangi-depresi-secara-tepat/ Keliat, dkk., (2006), Modul IC-CMHN Manajemen Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : Desa Siaga Sehat Jiwa, Jakarta : FIK-UI dan WHO Kanto Sanggar. Dalam Burhan Bungin (2003). “Analisis Data Penelitian Kualitatif”. Cetakan I. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Moleong L. J. (2006). “Metodologi Penelitian Kualitatif”.Cetakan ke 25.Remaja Rosdakarya. Bandung. Mohr K.W.(2006). Pscychiatric health nursing. Philadelpia. Lippincot William & Wilkins NANDA (2005). Nursing Diagnoses : Definitions & Classification, Philadelphia : AR Shives, L.R. (1998). Basic concept of psychiatric mental health nursing. (4th ed). Philadelphia: Lippincott Streuebert, H.J., & Carpenter, D.R., (1999). Qualitative research in nursing advancing humanistic imperative.(2nd ed), Philadelphia: Lippincott. Stuart & Laraia. (2005). Principles and practice of psychiatric nursing. (7th
ed). St Louis: Mosby Varcarolis, E.M., Carson, V.B., & Shoemaker, N.C. (2006). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing : A Clinical Approach. (5th ed). St. Louis : Saunders Elsevier.
111