Eksistensialisme dan Absurdisme dalam Drama Karya Putu Wijaya Engkin Suwandana Abstrak Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan eksistensialisme dalam drama Aduh, Edan, dan Dag Dig Dug karya Putu Wijaya yang meliputi: (a) kebebasan, (b) kecemasan, (c) kegagalan, (d) kesia-siaan, (e) kematian, (2) mendeskripsikan absurdisme dalam drama Aduh, Edan, dan Dag Dig Dug karya Putu Wijaya yang meliputi: (a) bunuh diri filosofis, (b) sifat simbolik, (c) tragedi dan komedi. Penelitian ini berfokus pada (1) eksistensialisme dalam drama Aduh, Edan, dan Dag Dig Dug karya Putu Wijaya yang meliputi: (a) kebebasan, (b) kecemasan, (c) kegagalan, (d) kesia-siaan, (e) kematian dan (2) absurdisme dalam drama Aduh, Edan, dan Dag Dig Dug karya PutuWijaya yang meliputi: (a) bunuh diri filosofis, (b) sifat simbolik, (c) tragedi dan komedi. Penelitian yang berpendekatan kualitatif ini, menggunakan metode pengumpulan data penelitian deskriptif kualitatif. Metode deskriptif adalah metode yang berupaya mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa yang terjadi saat itu. Dalam penelitian ini metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan konsep eksistensialisme dan absurdisme. Data penelitian ini menggunakan teorieksistensialisme dan absurdisme dalam drama karya PutuWijaya. Dengan menggunakan teknik dengan sumber data berupa tiga drama, teknik pengumpulan data yang relevan adalah teknik baca, simak, catat (BSC). Membaca dalam kegiatan pengumpulan data teks drama dilakukan dengan cara member perhatian yang benar-benar berfokus pada objek. Membaca dan menyimak adalah serangkaian teknik untuk memperoleh data yang valid dengan diikuti kegiatan mencatat data. Penelitian ini menyimpulkan lima konsep eksistensialisme dan tiga konsep absurdisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensialisme dalam drama Aduh, Edan, Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, tampak Pada segi kebebasan, kecemasan, kegagalan, kesia-siaan, dan kematian.Tiga konsep absurdisme dalam drama Aduh, Edan, Dag Dig Dug karya Putu Wijaya tampak melalui bunuh diri filosofis, sifat simbolik, tragedi dan komedi. Kata-kata Kunci; kebebasan, kekecewaan, kegagalan, kesia-siaan, kematian.
1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya Putu Wijaya yang tidak pernah berhenti mengalir sejak tahun 1964 hingga kini baik cerkak maupun drama.Tentu harus dicatat oleh dunia sastra Indonesia, Lebih-lebih
karena
menunjukkan
karya
tersebut
kualitas
yang
membanggakan. Putu menyatakan bahwa dalam bercerita ia memilih anekdot. Halhal lucu, remeh, aneh, kadang kala tak masuk akal.Ia mendapatkan ide dari tokohtokoh film kartun; bertolak dari hal-hal yang naïf, sederhana, lugu, terang-terangan, penuh humor. Pada film kartun ada dua dimensi dan tidak pernah ada kematian, setiap
tokohnya
dimaksudkan
elastis. untuk
Semua
itu
menyulut,
menghidupkan, mengagetkan, mencubit, menarik perhatian, mengganggu, meneror orang supaya berhenti sebentar dan berfikir bahwa ia juga manusia biasa seperti yang lain.
Sebagai seorang pengarang, Putu juga memperhatikan hal-hal seputar sastra. Terhadap persoalan sastra kontekstual yang menyerang sastra universal, ia beranggapan bahwa persoalan tersebut muncul akibat kecurigaan terhadap nilai sastra yang menggunakan tolok ukur keterpencilan; sastra yang dianggap berbobot kalau ‘terpencil’ dan sastra ‘terpencil’ itu adalah sastra yang dihasilkan oleh pengarangpengarang intelektual di Jakarta. Putu sendiri berpendapat, sastra kontemporer yang
baik
sulit
dibayangkan
tidak
kontekstual dan sekaligus tidak universal. Fakta lain yang menarik untuk disimak adalah bahwa sejumlah lakon pada waktu itu mengingatkan kita pada (ciri) drama eksistensialsme dan absurd, satu jenis drama yang berkembang di Barat sejak pasca perang dunia II. Ada kemungkinan para penulis lakon dan aktivis teater pada waktu itu ‘terpengaruh’ oleh masuknya drama eksistensialisme dan absurd ke
Putu juga mengakui bahwa ia gemar akan hal-hal yang samar, karena ia berpendapat bahwa di tengah kehidupan kita banyak sekali hal-hal samar, tidak jelas, dan semrawut. Ia beranggapan pula bahwa di Indonesia ini sebenarnya hal-hal yang absurd merupakan makanan seharihari yang konkret. Sebab kita berhasil hidup dengan santai dalam hujan peluru, bagaikan kelelawar yang dikaruniai radar dan terbang ngawur tanpa ketanggor apa-apa.
Indonesia. Perlu diketahui bahwa sejak 1960-an telah ada sejumlah dramawan yang menerjemahkan dan mementaskan drama eksistensialisme dan absurd. Jim Adilimas misalnya,
pada
tahun
1960-an
telah
mementaskan ‘Biduanita Botak’ yang diadaptasi dari salah satu karya Ionesco. Juga
Rendra
telah
mementaskan
‘Menunggu Godot.’Ciri lain yang juga menonjol adalah hadir dan kentalnya unsur humor dalam lakon yang ditulis pada waktu 132
itu yang segera mengingatkan kita pada
diciptakan sesudah tahun 1967. Lakon
cirri teater rakyat di Indonesia.Warna
Edan dikatakan sulit dipahami, tetapi
absurd dan eksistensialisme yang hadir
menarik karena berhasil memenangkan
dalam lakon-lakon pada waktu itu teraduk
hadiah
sedemikian rupa dengan humor sehingga
naskah lakon yang diselenggarakan oleh
membentuk sajian yang khas dan unik.
Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976. Di
pertama
sayembara
penulisan
warna
tahun1974 Putu Wijaya memenangkan
eksistensialisme dan absurdisme memang
berturut-turut juara satu dalam Sayembara
ada dalam lakon-lakon tahun 1970-an di
Penulisan Naskah Lakon yang diadakan
Indonesia. Dalam lakon yang ditulis Putu
oleh DKJ dengan judul Dag Dig Dug. Sejak
Wijaya seperti Edan, Aduh, Dag Dig Dug,
saat itu karya-karya drama Putu Wijaya
eksistensialisme
seakan-akan menjadi ukuran bagi mereka
Jadi,
sebetulnya
dan
absurdisme
itu
tampak. paling tidak kalau dilihat dari
yang
penggambaran
yang
kontemporer. Ciri khas karyanya yaitu
cenderung tidak beridentitas dan barangkali
cenderung menggunakan gaya atau metode
juga plotnya.
obyektif dalam pusat pengisahan dan gaya
tokoh-tokohnya
Ciri khas lakon Putu Wijaya nampak,
akan
stream
menulis
naskah
of
drama
consciousness
baik dari aspek struktur maupun tekstur.
dalam pengungkapannya. Maksudnya, cara
Penokohan dalam lakon Edan, sebagai
mendekati tokoh, Putu seperti tidak pernah
salah satu unsur eksistensi. Tokoh tidak
menyentuhnya.
memiliki identitas yang jelas: hal ini dapat
dibiarkan bergerak dengan tindakan dan
dijumpai dalam lakon-lakon Putu Wijaya
pikiran- pikirannya, tak ubahnya seperti
seperti
Aduh,
Dug.”Banyak
Edan,
dan
sastrawan,
Dag
Dig
dramawan,
Seolah-olah
tokoh
orang yang mengamati gerak-gerik ikan di dalam akuarium (Abdullah, 1985:9).
peminat lakon/teater yang membicarakan
Menurut Atmaja (Sumardjo, 1994:9),
lakon Aduh, Edan dan lakon Dag Dig Dug
ide yang mendasari perubahan karya-karya
karya
yang
Putu Wijaya adalah konsep psikoanalisis
membicarakan pementasannya. Kehadiran
dan absurdisme. Putu Wijaya sendiri
Putu menarik untuk diketahui, bagaimana
mengaku bahwa konsep kepengarangannya
dia memenangkan sayembara lakon DKJ.
adalah
Putu
Wijaya,
ada
pula
Lakon Aduh pernah mendapatkan juara
“teror
mental”,
usaha
untuk
memberikan pencerahan dengan kejutan,
I pada sayembara pada penulisan lakon
dengan
pematahan
atau
pembalikan
kedua DKJ pada tahun 1973. Lakon Edan
yangtiba-tiba (Wijaya, 2003:213). Sebagai
merupakan lakon Indonesia mutakhir sebab
pemain, Putu Wijaya sejak tahun 1991 133
bersama
Teater
Mandiri
pertunjukkan tidak
memainkan
lagi menggunakan
pengamat sering disebut realis, sudah menawarkan
tema-tema
absurd
dan
dialog tetapi gerak, bunyi danseni rupa
eksistensialis. Ini artinya, lakon-lakon
(Wijaya, 2003:218). Kelebihan naskah
absurd kiranya tak cukup diselesaikan
drama Dag Dig Dug dibanding dengan
dengan pengamatan bentuk, tetapi juga
naskah-naskah drama PutuWijaya yang
pandangan-pandangan, vison de monde
lain. Naskah-naskah drama Putu Wijaya
atau weltanschauung atau world view,
biasa berdurasi antara 90 sampai 120 menit.
sungguh harus dilihat. Sartre melihat bahwa
Tak pernah lebih panjang dari itu, kecuali
drama adalah suatu potret suatu proses
Dag
keterlibatan,
Dig
Dug.
Teater
Mandiri
bukan
dengan
sibuk
sampaisekarang belum pernah memainkan
mempersoalkan fakta, tetapi ‘hak’ yang
naskah itu (Wijaya, 2003:218). Lakon Dag
harus menunjukkan bahwa setiap tokoh,
Dig Dug tidak pernah dimainkan, karena
“bereaksi karena ia terlibat dalam suatu
Putu Wijaya tidak punya aktor kuat di
tindakan
dalam
(Teater
karena ia merasa yakin bahwa ia berhak
Mandiri). Naskah tersebut memerlukan
untuk menjalankan pilihan itu” (Damono,
minimal dua pemain yang hebat, agar
2007: 24).
kelompok
teaternya
mampu mengangkat peristiwanya (Wijaya,
riskan
(mengandung
resiko)
Gatra eksistensialisme dan absurdisme sudah masuk di Indonesia sejak awal 1960-
2003:213). Lakon yang bergaya absurd dan
an. Akan tetapi, konsep, filsafat, atau
hanya
idiologi eksistensialisme dan absurdisme
sekedar mewujud dalam bentuk, betapapun
belum tampak benar. Baru pada awal 1970-
tokoh seperti Wietkiewics menstudi secara
an tatkala Bengkel Teater pimpinan Rendra
eksistensialisme,
khusus
bentuk
ternyata tidak
atau
form.
Untuk
memainkan
Menunggu
Godot,
yang
mendapatkan kejelasan lebih jauh, kita
kemudian disusul dengan munculnya Aduh,
harus
mencermati pemikiran-pemikiran
sebagai lakon eksistensialisme dan Absurd
orang-orang teater yang pada dasarnya
di Indonesia mantap pertama, orang melihat
adalah filsuf. Mereka itu antara lain Jean
bahwa teater realisme sudah benar-benar
Paul Sartre (1905-1980) dan yang tak kalah
mulai mendapat tandingan, jika tidak boleh
pentingnya adalah Albert Camus (1913-
dikatakan
1960).
(Damono, 2007: 38).
Kedua
filsuf,
sastrawan,
dan
sudah
mulai
ditinggalkan.
dramawan dari prancis ini harus kita
Sejak Putu Wijaya menang berturut-
perhitungkan pandangannya dan karyanya
turut sebagai juara pertama dalam penulisan
sebab
lakon yang diadakan oleh Dewan Kesenian
sebelum
lakon
mereka
yang
134
Jakarta tahun 1973 (Aduh), tahun 1976
METODE
(Edan), dan Tahun 1974 (Dag Dig Dug).
Rancangan Penelitian
Sejak tahun tersebut nama Putu Wijaya
Penelitian tentang eksistensialisme dan
semakin popular. Dia mempunyai ciri khas
absurdisme dalam drama karya Putu
dalam menyajikan karya-karyanya. Ciri
Wijaya termasuk kajian teks tekstual, yaitu
khas tersebut dapat dilihat dalam ketiga
kajian yang difokuskan pada teks yang ada
lakon tersebut diatas.
di dalam drama karya Putu Wijaya. Oleh
Dalam perkembangan lakon Indonesia
karena itu, metode yang penelitian yang
modern, pembaharuan dibidang bentuk dan
sesuai adalah metode penelitian deskriptif
corak
kualitatif
sangat
menarik.
Istilah
Ratna
(2009:
58).
Metode
eksistensialisme dan absurdisme mewarnai
deskriptif yang dimaksud adalah metode
lakon Indonesia modern. Dalam hal ini DKJ
yang berupaya mendeskripsikan suatu
mempunyai
dalam
gejala, peristiwa yang terjadi saat itu.
mampu
Dalam penelitian ini metode deskriptif
merangsang sastrawan/dramawan untuk
digunakan untuk mendeskripsikan konsep
berkarya dan bersaing melalui sayembara.
eksistensialisme dan absurdisme. Metode
Ternyata
mampu
kualitatif yang dimaksudkan bahwa dalam
dalam lakon
penelitian ini data bukan berupa angka yang
sayembaralah
teknis analisisnya menggunakan statistik
ditemukan potensi-potensi baru dalam
tetapi berupa pemberian kata-kata. Data
penulisan lakon. Disamping itu, sayembara
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
melalui pemberian hadiah yang kurang
kata-kata yang terdapat dalam drama karya
lebih
dalam
Putu Wijaya yang berhubungan dengan
menyongsong reputasi seorang pengarang
eksistensialisme dan absurdisme. Metode
secara lebih meluas.”
dalam penelitian ini diharapkan mampu
andil
pembaharuan
yang
ini,
karena
sayembara
melahirkan warna Indonesia.
telah
baru
Melalui
pengakuan
besar
berfungsi
Aduh, Edan, dan Dag Dig Dug sebagai
mencegah
timbulnya
penyimpangan
lakon Indonesia modern menarik untuk
pengumpulan data yang diperoleh data
diteliti. Ada keinginan mengetahui lebih
objektif.
jauh apa keistemewaan lakon ini. Benarkah lakon Aduh, Edan dan, Dag Dig Dug pantas
HASIL DAN PEMBAHASAN
mendapatkan hadiah pertama atau juara
4.1Eksistensialisme dalam Drama Aduh,
satu karena bermutu? Dapatkah dibuktikan
Edan, Dag Dig Dug Karya Putu
dari
Wijaya
aspek
eksistensialisme
dan
Absurdisme? 135
Berdasarkan kenyataan di atas, maka
muncullah tokoh Perintis yang berteriak,
eksistensialisme dan absurdisme dalam
‘Tunggu (keluar) aku merintis jalan’
penelitian ini dikaji berdasarkan bentuk.
(Wijaya: 23). Dengan teks seperti ini,
4.1.1 Kebebasan
siapapun yang muncul di pentas dalam
Kebebasan bukan sesuatu yang harus
produksi lakon ini dapat menjadi siapa saja. Menurut
dibuktikan atau dibicarakan, tetapi suatu
Sartre,
manusia
adalah
realitas yang harus dialami. Kebebasan
kebebasan dan hanya dengan kebebasan ia
manusia yaitu bebas memilih diantara
bisa
kemungkinan. Kemungkinan yang ada,
(Hassan,1992:139).
menetapkan
serta
melanjutkan
bertanggung jawab tentang semua itu.
mengatakan
bahwa
dalam
Dialog yang dominan dalam drama Aduh
tindakannya,
manusia
harus
ada dalam tokoh Salah Seorang dan Yang
proyek-proyek yang fundamental untuk
Berani, sebagai sosok eksistensialisme ia
hidupnya. Di sinilah manusia mendapatkan
menganut kebebasan.
kebebasannya. Manusia bebas memilih
keputusan-keputusan
Dalam diskursus mengenai kebebasan
bertanggung
jawab
Sartre
kemudian
penjelasannya
proyek-proyek tersebut
dengan setiap memilih
sesuai dengan
Sartre
kehendaknya.
dalam
(1) (pemimpin berjalan-jalan meninggalkan
merumuskan doktrin kebebasan. Bahkan
yang kesurupan itu menyesal. Kelompok
dalam sejarah pemikiran barat.Manusia
ini mulai tidur. Pemimpin berjaga-jaga,
adalah
memeriksa
diantara adalah
kaum eksistensialisme yang
paling
bebas,
kebebasannya.
radikal
manusia Tidak
adalah
ada
yang
untuk
baik
keadaan,
maupun
ketuhanan.
sekeliling
lalu
menghampiri mayat. Tergerak hatinya
membatasinya dan membelenggu manusia keduniaan
keadaan
mencuri. merasa
Setelah aman
memeriksa ia
mulai
Kebebasan manusia adalah absolute dengan
melepaskan cincin yang mati. Kemudian
konsekuensi
pertanggungjawaban
yang lain-lainnya juga. Sementara itu di
perilaku-perilaku,
kejauhan perintis jalan sedang sibuk
dan
merintis.)
individual
terhadap
pemikiran-pemikiran,
situasinya
sendiri adalah juga absolute (Abidin, 2006: 201).
(Wijaya, Ad/1973: 25) Bahwa ada yang mencuri barang milik
Muncul
tokoh
didahului
orang yang tidak mempunyai apa-apa.
petunjuk dari nebentext, yang berbunyi
Adanya tindakan bebas oleh si tokoh untuk
demikian; (Salah seorang berlari keluar
mencuri, setelah melihat keadaan aman.
hendak
Hal ini adanya dorongan eksistensi pada
merintis
perintis,
jalan).
Kemudian,
136
diri
tokoh
untuk
mengambil
cincin.
ada perasaan yang menghantui dirinya dan
Pemimpin tega mencuri barang-barang
seolah-olah apapun yang dilakukannya
milik kelompok tatkala ada kesempatan.
adalah bebas.
Para eksistensialisme secara umum menekankan
pentingnya
Adegan enam berakhir setelah ketiga
kebebasan
pengintai mengaku bahwa mereka juga
manusia dan pilihan kreatif yang bebas.
telah ikut memakan daging korban dari
Kebebasan manusia ini muncul dalam
kelompok
eksistensialisme sebagai konsekuensi logis
memperhatikan bungkusan itu. Dengan
dari pernyataan existence precedes essense
diawali
yang berarti penegasan subyektifitas yang
memakan daging, membuat para tokoh
tidak di dahului oleh sesuatu yang disebut
lainpun ikut juga meramaikan perbuatan
human nature atau juga skema rasional
yang berdosa itu. Pengintainya maju dan
tentang realitas. Pada babak satu tema dapat
mengambil kembali.
diketahui pada dialog yang diucapkan oleh
bersenjata.
oleh
Pengintip
Semua
yang
mulai
PENGINTAI:..yang
(3)
harus
tokoh-tokohnya.
dilakukan adalah langsung membuka,
(2) YANG KALAP: Kamu mau seenak
menyentuh,
perut sendiri saja. Lihat dong kami sedikit, tetangga di depan pantat kamu sendiri kamu gobrak, sialan! Katanya kita masih saudara, saudara tai buktinya kamu gebrak saja hantam kromo, apa namanya itu kalau bukan bar-bar, ya tidak! Kamu bukan Cuma kotor, jahat tapi biadab! PENGUNTIT: Mengapa mereka punya hak lebih tinggi, begitu santainya saja memakan kita mentah-mentah. YANG KALAP: Kalau kita diganyang, mereka akan ganyang kita (Wijaya, Ed/1976: 6)
mengecap,
melihat,
meraba,
menelan,
dan
mencintainya. Seperti ini (dengan tenang
membuka
bungkusan
dan
memulai makan isinya). Semua orang takjub melihat pengintai itu
makan.Akhirnya
mereka
mendekat.Merubung. PENGINTAI: Mari makan silahkan, kalu ini dosa biar saya menanggung hukumannya, paling sedikit kamu tahu
Data (2) Yang Kalap mengalami kebebasan
dengan
memakan
daging
manusia tanpa rasa takut dan beban. Yang Kalap bebas memakan yang ingin di makannya, ia makan dengan santai seperti memakan nasi atau roti pada kehidupan umumnya.
Tanpa
melihat
dan
memperdulikan orang lain yang ada. Tidak
nanti ini terkutuk atau enak. Mula-mula semua malu-malu, tetapi kemudian dengan segan-segan akhirnya semua ikut mengerumuni pengintai dan ikut makan.Suara pertempuran di kejauhan menghebat lagi. Di kejauhan terdengar seseorang berteriak-teriak. Ini adalah orang yang menyusul pengintai pertama yang 137
hendak
mengembalikan
curiannya.Ia
realitas yang harus dialami. Kebebasan
Cari pelan-pelan saja. Keduanya diam dan minum. ISTRI : Amak Baljun? SUAMI: Dia sibuk! ISTRI : Zubaidi? SUAMI: Kurang berpengalaman ISTRI : Syu’bah? SUAMI: Lebih baik yang lain! ISTRI : Karto Kadri? SUAMI: Terlalu tua! ISTRI : Samiun Tabak! SUAMI: Makelar! ISTRI : Sardono? Dia juga makelar. SUAMI:Danarto…akan menasehatkanmu beli marmer ISTRI : Susilo? SUAMI: Sakit-sakitan! ISTRI : Kadri? Terlalu muda? SUAMI: Tidak akan mau! ISTRI : Lalu? SUAMI: Ibrahim? ISTRI : Hah! Hah! SUAMI: Siapa lagi kalau semua hahhah- hah! (Wijaya, Dg/1994: 44)
manusia yaitu bebas memilih diantara
Percakapan pada data (4) begitu bebas
kemungkinan. Kemungkinan yang ada,
memunculkan sebuah nama. Tidak ada
menetapkan
serta
batasan sampai muncul sepuluh nama yang
bertanggung jawab tentang semua itu.
terlontar dari Suami. Setiap usulan nama
Kebebasan menurut May (1993: 179)
yang terlontar selalu ditolak. Begitu banyak
adalah kemampuan untuk berpartisipaasi
alasan-alasan
dalam
sendiri.
kesulitan dalam menentukan nama tukang
untuk
yang layak guna membangun sebuah
membentuk diri sendiri dan merupakan sisi
makam untuk mereka. Hal ini sangat jelas
lain dari kesadaran seorang terhadap diri
kebebasan yang ada begitu melekat pada
sendiri. Kebebasan ini ada dalam dialog
dialog Suami dan Istri.
berseru-seru minta tolong sembari muntahmuntah. (Wijaya, Ed/1976: 9) Data (3) Adegan tujuh pada babak kedua yang membuat kejutan (surprise), karena ternyata kedua kelompok tersebut pada akhirnya sama. Yaitu sama-sama mau memakan
daging
manusia.Pengintai
dengan bebas membuka bungkusan itu dan dengan bebas pula menyentuh sampai menelan daging itu. Kebebasan yang dilakukan akhirnya mampu mempengaruhi yang lain untuk ikut sama-sama memakan daging manusia. Kebebasan bukan sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan, tetapi suatu
Kebebasan
keputusan-keputusan
perkembangannya merupakan
potensi
Suami dan istri.
(4) SUAMI:
Kebebasan
yang
membuat
dari
data
mereka
tersebut
Permasalahan yang muncul adalah
merupakan kebebasan yang ada pada drama
tentang kebebasan pemilihan nama tukang.
Putu Wijaya. Hal ini ditandai dengan nama
Suami Istri mencari seorang tukang yang
tokoh yang bebas, dialog yang bebas,
sekiranya layak untuk membuat kuburan
kebebasan menentukan keputusan, tokoh
yang tampak dalam dialog di bawah ini.
tanpa
adanya
batasan
antar
tokoh. 138
Kebebasan dalam drama Dag Dig Dug
ketiga, mereka ‘tidak ada waktu.’Rasa
lebih dominan dibanding dalam drama
cemas muncul dalam perasaan tertindih,
Aduh dan Edan karena kekuatannya terletak
dapat muncul berbagai bayangan yang
hanya pada kedua tokoh yaitu Suami dan
menakutkan
Istri.
misalnya
dalam
bahwa
benak
seseorang,
seakan-akan
mereka
melihat makhluk halus. 4.1.2 Kecemasan
Kecemasan
disuatu
pihak
adalah
Dalam kehidupan setiap manusia pasti
suasana hati dasariah yang menyingkapkan
mengalami rasa cemas. Kecemasan adalah
keterlemparan Dasein, dan dilain pihak
respon terhadap situasi tertentu yang
adalah suasana hati yang timbul dengan
mengancam, dan merupakan hal yang
latar belakang tersingkapnya keterlemparan
normal terjadi menyertai perkembangan,
itu dalam suatu momen eksistensial. Orang-
perubahan, pengalaman baru atau yang
orang
belum pernah di lakukan, serta dalam
mengatakan tidak bersalah. Di samping itu,
menemukan identitas diri dan arti hidup.
mereka takut sekali kalau ditangkap polisi,
Kecemasan adalah reaksi yang dapat
bahkan sangat takut kepada peronda.
dialami siapapun. Kecemasan merupakan
(6) PERINTIS :‘Kenapa? apa yang kau
suatu
perasaan
subjektif
mengenai
ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai
reaksi
umum
dari
ketidak
mampuan. Begitu pula yang dialami oleh Salah Seorang ketika merasa terdesak oleh keadaan
untuk
segera
menentukan
(5) SALAH SEORANG: Kita dituduh lagi
seperti dulu. Cepat kita terdesak SALAH SEORANG : Salah sedikit kita bisa hancur. Tentukan cepat, tidak ada waktu. Kita terdesak (Wijaya, Ad/1973: 10) Kutipan tersebut menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, orang-orang yang bergerombol itu ternyata pernah
mereka
sesuatu
traumatik,
yang
tidak
berhak
takutkan? ulat? bau? ulat kan hanya ulat, bau kan hanya bau. Ayo, ini sudah lewat pukul tiga, kita bisa tertangkap orang peronda. Mau masuk penjara? kan bukan kita yang membunuhnya… (Wijaya, Ad/1973: 27) Kutipan data (6) memberikan dukungan penegasan bahwa kelompok itu bukanlah orang-orang yang dilindungi
keputusan yang tepat.
mengalami
tersingkir
yang
menjadikan
‘dituduh
seperti
dulu.’Kedua, mereka merasa terdesak, dan
hukum. Mereka, seperti banyak terjadi dalam kasus di masyarakat, dengan serta merta menjadi kambing hitam. Adanya kecemasan
yang
menghantui
dengan
pertanyaan dan jawaban yang dilontarkan oleh Perintis. Kecemasan yang muncul pada data (6) disebabkan karena ada rasa tidak percaya dan curiga. Untuk itu guna meyakinkan meraka, Yang ngibul menyuruh mereka 139
untuk berterus terang dengan berhadapan
adalah suasana hati yang timbul dengan
dengan mereka yang modal tubuh. Dengan
latar belakang tersingkapnya keterlemparan
rasa cemas itu akhirnya mampu membuat
itu dalam suatu momen eksistensial.
mereka melakukan perbuatan membuka
Kecemasan berkaitan dengan ada. Rasa
baju, guna meyakinkan mereka untuk
cemas menghempaskan kita pada eksistensi
bersikap jujur. Seandainya mereka tidak
kita di dunia ini, yaitu menyingkap bahwa
takut dan tidak cemas, maka perbuatan itu
kita ini ada untuk kemungkinan kita sendiri
tidak akan terjadi.
(Sein
zum
eigensten
seinkonnen).Jadi
Kehadiran Wakil muncul kembali
kecemasan
dengan adanya suara bersin-bersin dari
eksistensial
kelompok pemakan. Suara bersin tersebut
menyadari kebebasan kita, dan kita bebas
berhasil
membangkitkan
dalam kecemasan itu (Heidegger, 2003:
kelompok
penguntit
kemarahan
sehingga
sampai
melakukan kekerasan dengan menampar
menguak kita.
Kita
kebebasan cemas
karena
77). Perang batin muncul antar tokoh gara-
tokoh lain.
gara uang. Dalam pemikiran mereka
(7) PENGUNTIT:
seandainya saja apa yang mereka lakukan
Pantas, baunya tak sedap (mendekatkan hidungnya) seperti bau apa ini ya (mendekatkan hidung ke mulut orang itu bersin). Bajingan! (langsung menampar). PENGUNTIT: Jangan! (memegang kawannya). Maaf, sumpah mati kami tidak bermaksud melakukan kekerasan itu, tadi gerak refleknya (orang itu bersin lagi). Bangsat! (menampar). Dikasih hati melonjak (mendorong yang makan itu). (Wijaya, Ed/1976: 4) Pada data (7) kelompok makan itu mulai lagi makan barang-barang bukti itu tanpa berusaha menguraikan buntalannya. Mereka tampak begitu tenang kembali sehingga para penguntit itu cemas lagi. Kecemasan itu pun muncul karena ada bau tak sedap yang melekat pada hidungnya. Kecemasan
disuatu
pihak
adalah
suasana hati dasariah yang menyingkapkan
dilihat dan diketahui oleh orang lain, maka rasa malu yang tak terhingga menyelimuti Suami Istri itu. Kecemasan itu terus ada karena dihantui rasa ketakutan yang mendalam. (8) SUAMI: (Menghitung)….kembalikan,
tidak, kembalikan, tidak, kembalikan, tidak, kembalikan, tidak kembalikan. TIDAK…kembalikan, ah! ISTRI : Hhhhhhh! SUAMI: (sesudah lama diam) Jadi? ISTRI : TERSERAH! (Wijaya, Dg/1994: 21) Dalam data (8) kecemasan pada Suami semakin menguat, karena dalam hatinya selalu
muncul
pertentangan
antara
kembalikan dan tidak. Istripun tidak mampu membantu menghilangkan rasa cemas sang Suami. Hal ini dibuktikan
keterlemparan Dasein, dan dilain pihak 140
dengan
sang
Istri
hanya
mampu
selalu berhadapan dengan keterbatasan-
akhirnya memekakkan. Orang-orang tersebut menunggu. Perlahan-lahan jerit sirine itu lampau. Lalu terasa kosong. Orang-orang itu berpandangpandangan. Salah serang tertawa. Beberapa yang lainnya mengikuti. Kemudian mencoba menyambung kegiatannya kembali. Tetapi. Hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada seseorang yang datang. Ia berselimut dan tampak sakit lahir dan batin. Ia muncul seperti hendak mengadukan nasibnya pada kelompok itu. Hal ini menggerakkan salah seorang dari keompok itu untuk bertanya: “Kenapa? Yang sakit menunjukkan sakitnya semakin sarat. Salah seorang yang lain kemudian mengajukan pertanyaan: “kenapa?, sakit ya? Yang lain pun ikut bertanya: “sakit apa? Sakit apa? Karena si sakit tidak dapat menjawab, kelompok itu meneliti dengan seksama dengan penuh simpati. Kemudian untuk jelasnya mereka melanjutkan lagi pertanyaanpertanyaan) (Wijaya, Ad/1973: 3) Pada data (9) Usaha untuk
keterbatasan, baik yang berada pada diri
menyambung kegiatannya kembali tidak
sendiri maupun di luar dirinya. Eksistensi
dilaksanakan karena ada seseorang yang
gagal muncul jika dalam usaha untuk
datang. Di samping itu kegagalan juga
menjadi pribadi yang utuh tidak tercapai.
tampak pada Si Sakit yang tidak bisa
Apabila
kebebasan,
menjawab pertanyaan dari Salah Seorang.
eksistensi kegagalan semakin jelas terlihat
Ini merupakan bukti kegagalan dalam
karena kebebasan itu pada akhirnya harus
eksistensialisme.
memberikan jawaban terserah. Berdasarkan
analisis
tersebut,
Kecemasan pada drama Putu Wijaya ditandai
dengan
perasaan
tertindih,
ketakutan, ketidakpercayaan dan curiga, kebingungan pada tokoh, perang batin yang terdapat pada dialog. Kecemasan dalam drama Edan dan Dag Dig Dug lebih dominan dan kecemasannya terlihat dalam segi psikis dari masing-masing tokoh.
4.1.3 Kegagalan Kegagalan
dalam
perspektif
eksistensialisme berarti kegagalan manusia dalam usaha mengada, menjadi dirinya secara utuh. Kegagalan merupakan bagian dari kehidupan manusia, karena manusia
dikaitkan
dengan
berhenti di suatu titik (Camus, 1999: 22).
Di sini dapat dilihat bahwa tegangan
Begitu pula dalam drama Aduh, dialog ini
yang
mengalami kegagalan yang terdapat pada
menjadi menurun. Wakil yang diharapkan
nebentext sebagai berikut:
dapat
(9) (Sekelompok orang sedang melakukan
berunding dengan kelompok pemakan,
kegiatan. Mereka tiba-tiba menghentikan kegiatannya tatkala terdengar suara sirine. Sayup-sayup kemudian bertambah santer dan pada
telah tercipta tersebut
mewakili
kelompoknya
tiba-tiba
untuk
kenyataannya justru, jika dipikirkan secara logis, mengucapkan kata-kata lucu bahkan konyol. Hal ini berlawanan sekali dengan 141
sikap dan niat mereka semula untuk
diharapkan oleh
menyerang kelompok pemakan.
selamanya terpenuhi secara penuh.
(10) Wakil kembali kepada kawan-
(11) ISTRI : Buku catatan alamat Cairul SUAMI: Jadi bukan surat. Tapi coba saja. Tapi ingat ini pelajaran lagi, lain kali jangan BERLAGAK tahu. Tunggu dulu. Aku ingat. Ya, Chairul, Chairul, Chairul Umam. Ia TIDAK PERNAH MONDOK di sini. Tapi dia sering datang ke mari. Agak pendek. Kumal, dekil, berbau. Matanya melotot. Tidak memperhatikan dirinya. Jarang mandi. Tapi serius, otaknya bukan main, pikiran-pikirannya sulit seperti benang kusut. Banyak orang mengaguminya. ISTRI : itu kan Akhmad Wahid (suami berfikir keras) SUAMI: Ya. Itu akhmad Wahid. (diam sejenak. Kemudian bersiul-siul lagi berfikir-fikir). Kau sendiri juga belum ingat! (Wijaya, Dg/1994: 22)
kawannya. PENGUNTIT : Terus dong sudah naik WAKIL : Cukup, saya tidak kuat lama-lama bicara, habis ada kenalan di situ PENGUNTIT : Peduli apa kenalan, ini kan perjuangan. WAKIL : Soalnya masih ada hutang sama dia, malu ah. (Wijaya, Ed/1976: 9) Perundingan pada data (10) yang dilakukan oleh kelompok penguntit tidak berhasil, bahkan bukti-bukti yang dibawa ikut dimakan oleh kelompok pemakan karena
mereka
telah
kehabisan
makanan.Mereka makan karena dalam
manusia tidak akan
keadaan terpaksa. Inilah kegagalan yang terjadi dalam dialog tersebut.Tidak adanya
Suami untuk mengingat nama merupakan
bukti membuat mereka gagal. Kegagalan merupakan bagian dari kehidupan manusia, karena manusia selalu berhadapan
dengan
keterbatasan-
keterbatasan, baik yang berada pada diri sendiri maupun di luar dirinya. Eksistensi gagal muncul jika dalam usaha untuk menjadi pribadi yang utuh tidak tercapai. Kegagalan adalah sebuah peristiwa yang biasa terjadi pada diri manusia. Kegagalan muncul karena manusia selalu dihadapkan pada keterbatasan diri. Selain itu, kegagalan muncul karena manusia adalah sosok yang terbatas. perwujudan
Kegagalan bahwa
Dalam data (11) ketidakmampuan
merupakan sesuatu
yang
kegagalan,
karena
usahanya
untuk
mengingat sebuah nama tidak tercapai. Suami terus berfikir keras guna mengingatingat kembali, tapi masih juga belum ingat. Dengan
demikian,
Suami
mengalami
kegagalan dalam usaha mengingat nama. Berdasarkan analisis tersebut, drama Putu Wijaya terdapat aspek kegagalan. Dalam hal ini ditandai dengan tidak bisa menjawab pertanyaan, tidak ada bukti dalam
berunding,
ketidakmampuan
mengingat nama pada dialog antar tokoh. Yang mempunyai kekuatan adalah drama Dag Dig Dug karena aspek kegagalannya lebih banyak dibanding drama yang lain.
142
4.1.4 Kesia-siaan Dia tidak dapat menemukan keberadaannya diri sendiri di dunia ini dan dia merasakan untuk apa dia berbuat adalah sia-sia dan tidak berarti. Dalam hal tidak berguna ini, dia tidak merasakan, tanpa takut, dan rasakan tidak ada kebimbangan, lebih dari itu di situ adalah tidak ada daya pisah pada semua. Rasa dari hal tidak berguna adalah perasaan dari berputus-asa dan pesimisme (Alssid, 1964: 210). Kesiasiaan ini ada dalam tokoh Salah Seorang yang digambarkan sebagai berikut. (12) SALAH SEORANG: Apa yang kita tunggu lagi? SALAH SEORANG: Dari tadi kita tidak menunggu apa-apa (Wijaya, Ad/1973: 11) Dialog data (12) ada kata tunggu dan menunggu yang diucapkan oleh Salah Seorang. Sangat sia-sia yang dilakukan oleh Salah Seorang karena menunggu tapi tidak tahu yang ditunggu. Tidak ada kejelasan objek apa yang sebenarnya ditunggu. Salah Seorang sebenarnya sudah tahu kalau tindakannya untuk menunggu tidak ada artinya tapi meskipun demikian tetap saja dilakukan oleh tokoh itu. Rasa dari hal tak berguna adalah perasaan dari berputus-asa dan pesimisme (Alssid, 1964:210). Ini adalah karena akibat kerenggangan lengkap atau kerenggangan manusia itu awal untuk mengisi kehampaan hebat dan hal tak berguna. Pada babak ke dua adegan empat tentang membawa lari korban terdapat rasa kesia-siaan. (13) Setelah korban itu diperebutkan di sekitar itu, kemudian mereka melarikannya jauh-jauh tanpa memutuskan talinya terlebih dahulu. Ada juga yang sebetulnya berusaha untuk memustuskan tapi entah kenapa tali itu tak bisa putus. Korban itu dilarikan menjauh. YANG NAIK : (makin pilu). Tolonggg, tolonggg PENGANGKUT: Aneh, itu kawan mereka sendiri?
PENGANGKUT: Apalagi kalau salah satu diantara kita bagaimana ya? (Wijaya, Ed/1976: 2) Pada data (13) dengan di bawanya lari korban maka kesia-siaan itu ada. Hal ini karena masih terdapatnya tali pada diri korban. Secara otomatis tali itu melekat pada korban dan masih menyatu pada tubuhnya. Orang lari tetapi dalam tubuhnya masih terikat maka sangat sulit bagi dirinya untuk bisa bebas beraktivitas. Untuk itu tindakan yang dilakukan sangatlah sia-sia. Kesia-siaan terlihat pada data (13) ketika
Suami
yang
ingin
membuat
bangunan makam untuk dirinya, padahal mereka masih hidup. Ini merupakan tindakan tidak berarti. Makam merupakan tempat orang mati bukan tempat orang yang masih hidup. Tetapi Suami Istri ini berencana membuat makam untuk dirinya yang masih hidup. Seandainya bangunan sudah jadi, maka tidak ada yang menempati karena mereka masih hidup. Ini pun dipertegas dalam dialog di bawah ini. (14) ISTRI
: Orang belum tahu kapan mati kok sudah bikin kuburan SUAMI : Apa? ISTRI : Pantas Ibrahim mengambil tali. Mau ngukur tanah ya! SUAMI : Memang! ISTRI : Kok tidak bilang kemarin? SUAMI : Apa? ISTRI : Tidak rundingan dulu?! SUAMI : Kalau nunggu sampai bilang ya, Ibrahim sudah duluan mati. 143
mengikuti
(Wijaya, Dg/1994: 64) Data (14) menunjukkan Dia tidak dapat menemukan keberadaan dirinya sendiri di dunia ini dan dia merasakan apa yang dia berbuat adalah sia-sia dan tidak berarti. Orang masih hidup sudah menyiapkan kuburannya sendiri dengan tanpa berunding dengan yang lain, padahal belum tahu kapan dia mengalami mati. Berdasarkan analisis tersebut, drama Putu Wijaya mempunyai aspek kesia-sian yang
ditandai
dengan
tokoh
yang
menunggu, pengulangan peristiwa, kondisi capek,
pembuatan
makam.
Hal
ini
merupakan kekuatan yang ada dalam ketiga drama Putu Wijaya karena saling terkait antara cerita dan alur.
pola
linier.
menghubungkannya
Cara
memanfaatkan
peranan nebentext. Untuk menyambung babak pertama dengan babak kedua, nebentext
menyajikan
uraian
sebagai
berikut. (15) Mayat itu masih di tempatnya semula.
Kelompok itu menunggunya dengan setia tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kegelapan ditempat itu berangsurangsur memecah karena cahaya bintang-bintang. Yang kesurupan menggeletak dekat mayat. Ia bergumam. Yang simpati menangis dalam gelap. Kelompok orang-orang itu berjongkok di kejauhan dengan sepi. Mereka pun kehilangan kepercayaan. (Wijaya, Ad/1973: 10) Nebentext produksi
petunjuk
memberikan
pelaksanaan isyarat
bahwa
kelompok itu tetap berada di tempat yang 4.1.5 Kematian
sama. Kematian terlihat pada kata mayat
Kematian menurut Martin Heidegger merupakan suatu kejadian yang paling nyata (Lavine, 2003: 19). Adapun kematian bagi
Sartre
merupakan
ketidakberdayaan
diri
secara
sesuatu total.
Kematian sama dengan kelahiran tidak ada namanya kejadian penting dan berarti dalam hidupku, bukan apa-apa selain mengisi eksistensiku sebagai makhluk sadar. Kematianku hanyalah saksikan atas ketidakmasukakalan eksistensi manusia (Lavine, 2003: 20). Hubungan
antara
yang ada dengan kelompok yang setia menungguinya. Dengan adanya kematian ada tokoh yang merasa kehilangan dengan tergeletak dan menangis. Kematian selalu dan tidak sekali saja. Dimengerti
secara
eksistensial,
tulis
Heidegger, ’kelahiran tidak dan tak pernah merupakan hal yang telah lewat dalam arti tidak ada lagi, begitu juga kematian bukanlah hal yang belum ada...Dasein faktis bereksistensi dengan selalu lahir, dan mati dengan selalu lahir dalam arti ada-
babak
pertama,
menuju-kematian.’(Heidegger, 2003:90).
kedua, dan ketiga bersifat kronologis dan 144
Kematian merupakan kejadian nyata. Tak
ada
orang
mampu
korban adalah sebuah petanda bahwa
menasehatinya.
dengan adanya upaya pembunuhan dalam
Sartre menyatakan bahwa ”kalau kita mati,
dialog itu. Setelah kelompok Pengangkut
kematian itu bukan milik kita sendiri,
korban mencatat data-data korban, muncul
melainkan
Entah Siapa yang ikut masuk dalam
mengubahnya
lain
yang
tidak masuk akal. Tragisnya kematian
ataupun
untuk
mereka
yang
kita
tinggalkan.” Merekalah yang memberi arti
persoalan.
terhadap kematian kita, bukan kita sendiri.
Kematian
menurut
Martin
Adegan ini merupakan klimaks dari alur
Heidegger merupakan suatu kejadian yang
dramatik yang ada pada cerita ini. Lakuan
paling nyata. (Lavine, 2003: 19). Adapun
menyusul
kematian
memuncak
menanjak, melalui
ketegangan
klimaks
sehingga
menurut
Sartre
merupakan
sesuatu ketidakberdayaan diri secara total.
mencapai sebuah kematian.
Kematian sama dengan kelahiran tidak ada
(16) PENGANGKUT: Di perutnya ada
namanya kejadian penting dan berarti
bekas tertancap, waktu dia tidak berhasil lari melompat pagar, sebab (menerangkan dengan gerakan tubuh, salah seorang kawannya menancapkan pagar ke perut). Kok satu, paling sedikit tiga! PENGANGKUT: Empat ah (menambahkan) Beberapa orang mengambil tongkat dan menonjok-nonjok tubuh korban itu sehingga meronta-ronta. MANDOR : Terus, terus! Keras dikit! PENCATAT : Ya, dan sebuah jari manisnya putus sehingga cincinnya lepas. MANDOR : Laksanakan! (dilaksanakan). (Wijaya, Ed/1976: 4) Penggantungan korban pada data (16) yang dilanjutkan dengan penyiksaan oleh kelompok pengangkut dimaksudkan untuk
membuktikan
menemukan
korban
bahwa
mereka
dalam
keadaan
dalam hidupku, bukan apa-apa selain mengisi eksistensiku sebagai makhluk sabar.
Kematian adalah saksian atas
ketidakmasukakalan eksistensi manusia (Lavine, 2003: 20). Kematian merupakan problematika yang tidak dapat dihindarkan. Kematian tersebut juga ada pada Chairul Umam. Suami mengingat tampangnya berkumis putih, dan hatinya baik. (17) SUAMI: Dikubur keesokan harinya di
Menteng Pulo. Di mana Menteng Pulo? Aku tahu kuburan di Jakarta yang bernama karet. (pause) ditabrak motor dari belakang. Kepala patah. Ditolong oleh kere-kere. Yang menabrak lari. Mulai lumrah sekarang. Motor terlalu murah, padahal berbahaya. Perlu selamatan? ISTRI : Ah? (Wijaya, Dg/1994: 11) Dalam data (17) Suami menceritakan
demikian. Di sini tampaklah kegilaan
kejadian yang
mereka dalam memecahkan masalah secara
Umam meninggal. Banyak peristiwa yang
mengakibatkan Chairul
145
terjadi, mulai dari peristiwa kecelakaan
lain tidak……..tidak tampak. Dikejauhan
sampai proses penguburannya. Semuanya
terdengar suara-suara anjing seperti digoda
diceritakan dengan rinci dan lengkap sesuai
oleh sesuatu.Kelompok itu mendengarkan
kejadian yang sebenarnya. Ini adalah bukti
suara itu dengan penuh perhatian.
bahwa adanya kematian yang dialami oleh
(Wijaya, Ad/1973: 40)
si tokoh yang bernama Chairul Umam.
Nebentext yang memberikan petunjuk
Berdasarkan analisis tersebut, drama
pelaksanaan produksi untuk babak dua dan
Putu Wijaya mengalami kematian yang
tiga memberikan isyarat bahwa kelompok
ditandai dengan suasana ironis, proses
itu tetap berada di tempat yang sama.
penguburan dan kecelakaan, pembunuhan
Pengulangan yang terjadi menunjukkan
tragis yang terjadi pada tokoh. Kematian
bahwa mereka tidak beranjak dari masalah
yang ada pada drama Aduh, Edan, Dag Dig
maupun tempatnya. Hal ini manusia
Dug tidak disebabkan karena sakit tetapi
ditantang untuk menyelesaikan masalah,
karena adanya proses untuk membunuh dari
tapi kelompok hanya mendengarkan suara,
orang
sedangkan yang satu dan yang lain tidak
lain.
Kematian
inilah
yang
mempunyai nilai kesamaan dari ketiga drama itu.
berbuat apa-apa. Bunuh diri psikis artinya bahwa manusia
jenis
ini
berakhir
dengan
4.2 Absurdisme dalam Drama Aduh,
rasionalitas. Namun sebagaimana halnya
Edan, Dag Dig DugKarya Putu
bunuh diri, dewa-dewapun berbeda-beda
Wijaya
seperti manusia. Ada beberapa cara untuk
4.2.1 Bunuh Diri Filosofis
meloncat, tetapi yang penting adalah
Bunuh diri psikis artinya bahwa manusia
jenis
ini
berakhir
dengan
meloncat (Camus, 1999: 51-52). Pengintai
pertama
tidak
mau
rasionalitas. Dengan hanya menolak, tidak
mengatakan apa yang telah dilakukan
berbuat, dengan hanya membunuh sikap
olehnya
filosofi aslinya (Martin, 2001: 55). Bunuh
bersenjata; dia hanya menceritakan bahwa
diri filosofis terlihat dalam sambungan
kelompok
babak
temannya sendiri.
kedua
nebentext
dengan
babak
ketiga,
menyajikan uraian sebagai
berikut. (18) Pagi hari, Kelompok itu telah berkumpul di tempat semula, perintis jalan, yang satu dan yang
selama
mengintai
bersenjata
telah
kelompok
memakan
(19) PENGINTAI: ….Wah kalau kamu
lihat bagaimana laparnya mereka, bagaimana mereka persetankan semuanya. Tangan mereka mengamuk beramai-ramai, semuanya ingin bagian lebih banyak, sementara mulut mereka mulai terbuka lantas 146
mengunyah daging kawannya sendiri. Lezat dan asyik! (Wijaya, Ed/1976: 9) Data (19) ditandai dengan adanya laporan dari pengintai pertama telah berhasil menaikkan klimaks dan kemudian diperkuat oleh Pengintai kedua. Melalui laporan pengintai kedua inilah, diperoleh kejelasan apa yang telah dilakukan oleh kelompok bersenjata yang telah membawa lari temannya (korban) yang telah ditembak itu. (20) Pengintai yang lain muncul. Datang
dengan mengendap-endap sambil menundukkan kepalanya. SALAH SATU : Nah ini dia! Benar? PENGINTAI : (Menundukkan kepalanya) Hmm (tak bisa ngomong). SALAH SATU: Betul mereka makan mentah-mentah kawannya? PENGINTAI :(Mengangguk, tapi terus tunduk). Hmm! SALAH SATU :Barangkali mereka kerasukan setan! (Wijaya, Ed/1976: 18) Informasi yang diberikan oleh pengintai
kedua
menimbulkan
dalam
tegangan
data
(20)
karena
dia
mengaku terus terang telah ikut memakan daging korban. Dengan adanya sebuah informasi dan pengakuan dari Pengintai, maka bunuh diri filosofis itu ada pada adegan ini. Secara otomatis maka akan mempengaruhi
tokoh
lain
untuk
mengetahui siapa yang memakan daging itu. Bunuh diri psikis artinya bahwa manusia jenis ini berakhir dengan
rasionalitas. Dengan hanya menolak, tidak berbuat, dengan hanya membunuh sikap filosofi aslinya (Martin, 2001: 55). Problematika dalam Suami terus bergejolak dengan sikap bunuh diri filosofinya. Dalam hati selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang memberatkan keputusannya, sehingga muncul perasaan sulit untuk mengambil sebuah keputusan. : Jadi uang ini bagaimana? (21) ISTRI SUAMI : Bagaimana? ISTRI : Terima? SUAMI : Terima? ISTRI : Terima tidak? SUAMI : Terima tidak? ISTRI : Kalau aku terima SUAMI : Tapi aku tidak tahu siapa Chairul Umam ini! (Wijaya, Dg/1994: 23) Penolakan yang dilakukan pada data (21) atas uang yang diberikan menimbulkan rasa untuk tidak bisa berbuat.Ini merupakan sikap bunuh diri filosofi karena ingin membunuh rasa
yang
muncul untuk
menerima pemberian uang itu. Sulit untuk memutuskan antara rasa ingin menerima dan menolak. Sebenarnya mereka ingin menerima tapi karena tidak tahu siapa Chairul Umam membuat mereka untuk berfikir kembali. Berdasarkan analisis tersebut, drama Putu Wijaya mengalami bunuh diri filosofis dengan ditandai dengan rasa tidak bisa berbuat, dan tindakan kontradiktif yang dialami tokoh dalam cerita. Drama Edan menjadi faktor penguat dalam aspek bunuh diri filosofis karena mempunyai makna yang lebih dengan jumlah yang banyak pula dibandingkan dengan drama Aduh dan Dag Dig Dug. 147
Pada data (22) kalau nyanyian itu 4.2.2 Sifat Simbolik
dicermati secara tekstual, tampaknya tidak
Semuanya bermakna simbolik belaka
menunjukkan apa-apa. Apabila ditilik lebih
unsur ‘cerita’ yang tidak jelas di zaman dan
rinci, nyanyian itu menyarankan bahwa
tempat yang mana, kostum yang tak dikenal
pada dasarnya manusia dimana-mana sama
dalam kenyataan di luar pentas, tata laku
sekaligus saling berbeda. Pada bait ketiga,
yang karikatural dan simbolik, adegan slow
predikat sama dan berbeda dihilangkan dan
motion, adegan still, peristiwa yang tak
diganti dengan ‘mm’. semacam gumam
lazim (mayat memanjang atau makin berat)
yang menunjukkan sulitnya menemukan
dan sebagainya. Semua tadi dikemukakan
kata yang tepat untuk mengatakan sesuatu.
di pentas bukan untuk berbicara atas nama
Semuanya bermakna simbolik belaka
bentuknya, tetapi atas makna lain yang
unsur ‘cerita’ yang tidak jelas di zaman dan
lebih abstrak dan hakiki (Damono, 2007:
tempat yang mana. Bukan untuk berbicara
59).
atas nama bentuknya, tetapi atas makna lain Dalam teks lakon Aduh ada kata-kata
yang lebih abstrak dan hakiki (Damono,
untuk nyanyian yang di nyanyikan oleh
2007: 59). Sifat simbolik dapat dilihat dari
Perintis. Lagu itu terdiri dari tiga bait.
sesuatu yang sekiranya dapat dijadikan
Lewat sebuah lagu unsur simbol menyatu
simbol. Dalam dialog ini bau tak sedap
menjadi sebuah makna yang berarti, yang
merupakan simbol yang menjadikan hidung
tidak bisa dipisahkan. Seluruh lagu itu
untuk bersin.
terdapat unsur simbolik seperti tampak di
(23) PENGUNTIT:
bawah ini. (22) Kita semua lain
Mereka semua lain Karena sifat kita lain Karena bentuk kita lain Tetapi karena perut kita sama Kita semua sama Mereka semua sama Karena nama kita sama Karena otak kita sama Tetapi mulut kita lain Kita semua mm! Kamu semua mm! Karena adat kita mm! Karena sifat kita mm Tetapi karena Anu kita mm. (Wijaya, Ad/1973: 26)
Pantas, baunya tak sedap (mendekatkan hidungnya) seperti bau apa ini ya (mendekatkan hidung ke mulut orang itu bersin). Bajingan! (langsung menampar). PENGUNTIT: Jangan! (memegang kawannya). Maaf, sumpah mati kami tidak bermaksud melakukan kekerasan itu, tadi gerak refleknya (orang itu bersin lagi). Bangsat! (menampar). Dikasih hati melonjak (mendorong yang makan itu). (Wijaya, Ed/1976: 4) Bau tak sedap pada data (23) merupakan
sifat
simbolik
menyebabkan
orang
bersin,
yang sehingga
sampai ada yang menampar dan melakukan kekerasan. Penguntit sudah tahu kalau 148
hidungnya sebenarnya mencium bau tak
hidungnya untuk mayakinkan dari mana
meja). Hah! Tertipu, goblok! Goblok. (Wijaya, Dg/1994: 30) Pada data (25), ada pernyataan tanggal
bau itu sebenarnya. Tetapi setelah mencium
merah yang merupakan sifat simbolik dari
bau itu malah hidungnya bersin-bersin.
hari libur. Mereka lupa kalau ada tanggal
sedap tapi Penguntit malah mendekatkan
Bermakna
simbolik
belaka
unsur
merah. Untuk itu semua kantor dan kantor
‘cerita’ yang tidak jelas, berupa huruf atau
pos yang mau dituju untuk mengantar dan
abjad yang terlontar dalam dialog Suami
mengembalikan
Istri. Satu per satu huruf itu terucap hingga
mengalami tutup.
tersusun menjadi sebuah nama yang
surat
secara
otomatis
Berdasarkan analisis tersebut, drama
terdapat dalam dialog di bawah ini.
Putu Wijaya mengalami sifat simbolik yang
(24) SUAMI: O ya! Chairul, Chairul….ini
ditandai dengan kejadian misterius, waktu,
U atau N ISTRI : U! SUAMI: Ini? ISTRI : M! SUAMI: Ini? ISTRI : A. Ini M! SUAMI: Seperti tulisan dokter. (Wijaya, Dg/1994: 8) Data (24) Suami itu tidak bisa
suara, nyanyian, angka abjad, bau, tanggal merah yang merupakan simbol pada dialog.Dalam hal ini drama Aduh menjadi kekuatan simbol Putu Wijaya sebagai ungkapan sebagai
untuk
mewakili
dramawan
prosesnya
besar
dengan
membaca tulisan yang ada. Ada beberapa
menciptakan
huruf yang di eja, guna meyakinkan nama
disekelilingnya sebagai kekuatannya.
simbol-simbol
yang
ada
Chairul Umam. Angka-angka itu muncul satu-persatu membentuk sebuah nama. Huruf yang dimaksud merupakan sifat simbolik
dari
penyempurnaan
sebuah
4.2.3Tragedi dan Komedi Teater rakyat Indonesia umumnya tidak mengenal pembagian ‘tragedi’ dan
nama. Di samping itu ada simbol yang
‘komedi’.Teater
tampak pada dialog Suami Istri ketika
berbentuk drama tradisional maupun drama
terkejut karena seruan yang tiba-tiba.
modern, baik naskah drama maupun
(25)
SUAMI : Ah! ISTRI : Apa? SUAMI : Merah. Tu, itu tanggalan. Sekarang kan rebo tanggal Dua Belas. Ya nggak? ISTRI : Ah? SUAMI : Pantas, Koran tidak terbit. Kantor tutup, (meletakkan tasnya di atas
mutakhir
pertunjukkan
baik
drama
yang
telah
mencampuradukkan suasana getir, pahit, duka, dengan tawa, lelucon, dan farce. Dialog kekonyolan.
kadang-kadang Ini
menyajikan
bertujuan
untuk
memberikan suasana baru dalam dialog serta
untuk
menghibur
supaya
rasa 149
kejenuhan dan ketegangan bisa teratasi
dari teater rakyat juga mencampuradukkan
dengan adanya unsur komedi. adapun
suasana getir, pahit, duka, dengan tawa,
masalah lain
muncul yakni tentang bau
lelucon, dan farce. Dialog kadang-kadang
mayat yang dinyatakan oleh Salah Seorang.
menyajikan kekonyolan. Ini bertujuan
(26) SALAH SEORANG
untuk memberikan suasana baru dalam
: “Waduh,
baunya sudah
dialog serta untuk menghibur supaya rasa
mulai!”
kejenuhan dan ketegangan bisa teratasi dengan adanya unsur komedi.
YANG SIMPATI: “Mari kita pindahkan dulu ke
Untuk membuktikan dirinya bersih
sebelah situ. Ayo,
dan jujur mereka ingin berunding dengan
kenapa?Ternyata
kelompok
memindah mayat
sebelum berunding mereka mengadakan
tidak mudah, karena
diskusi, dan diskusinya berakhir dengan
beratnya.Lalu
kekonyolan. Guna membuktikan dirinya
muncullah bau
jujur, kelompok penguntit rela melepaskan
kentut.
semua pakaian dan meletakkan senjata dan
(Wijaya, Ad/1973: 18)
tinggal memakai selembar celana kolor
pemakan.
Kenyataannya
saja. Persoalan
data
(26)
tentang
pemindahan jenazah itu menjadi tragedi perdebatan yang panjang dikarenakan berat badan jenazah yang sangat berat. Yang Simpati membuat
kekonyolan dengan
mengatakan mayat yang mau dipindahkan tiba-tiba mengeluarkan kentut. Ini yang menjadi
kekuatan dalam dialog, karena
mayat bisa kentut. Unsur humor pun ada ketika
mereka
memindahkan
belum
mayat
tapi
berhasil muncul
permasalahan baru yaitu dengan adanya bau kentut. Teater rakyat Indonesia umumnya tidak mengenal pembagian ‘tragedi’ dan ‘komedi’. Teater mutakhir yang menimba
(27) PENGUNTIT
:Ya (sambil membuka segan). Yalah (cepat membuka sehingga tinggal celana kolor saja). Kalian di sana harus percaya saya tidak menyimpan senjata tajam di bawah kolor ini, tetapi kalian harus dibuka juga, demi kebenaran apa boleh buat (siap membuka, tapi tidak berani). Tak usah saja ya? YANG NGIBUL: Yakin tidak menyembunyikan apa-apa di bawah ya? YANG NGIBUL: Sssst!!!! Saudarasaudara, sedikit demi sedikit, demi kehormatan kita, buka semuanya cepat! (yang setuju semuanya cepat membuka sehingga rata-rata mereka memakai kolor saja). Jangan malu berterus terang, mari berhadapan dengan mereka dengan modal tubuh, kalau dengan ini toh masih tetap mereka tidak percaya dan curiga, baru 150
kita gebrak! (memperhatikan hasil seruannya dengan cukup puas, lalu mendatangi yang jujur). Begini maksudnya bukan? (Wijaya, Ed/1976: 15) Dalam data (27) Rangsangan yang ditimbulkan
oleh
penguntit
membuat
kekonyolan dalam adegan ini.Hal ini dibuktikan
dengan
adanya
adegan
membuka celana kolor dan bermodal tubuh saja
untuk
membuktikan
sebuah
kebenaran.Inilah tragedi dan komedi yang lucu
dan
jarang
ada
dalam
sebuah
mau beli peti mati sebelum mati! SUAMI: Itu gagasan! ISTRI : Gagasan edan! (Wijaya, Dg/1994: 49) Data membeli
(28)
tentang
marmer
untuk
penyesalan peti
mati
merupakan tragedi. Dialog Suami Istri semakin konyol dengan gagasan edannya untuk mau membeli peti mati sebelum mati. Inilah letak humornya, yang mana kalau
kehidupan. Tragedi dan komedi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Setiap tindakan
ISTRI : Orang normal tidak ada yang
yang
dilakukan
sering
mengandung humor. Banyak hal tanpa disadari terkadang membuat kita tertawa dan menangis. Manusia seakan gembira dan tersenyum ketika ada sebuah humor yang merasuk pada otaknya. Orang yang sedih bisa gembira ketika tersenyum, orang sakit bisa sembuh ketika bisa tertawa. Lelucon itu terkadang ada bisa berupa lewat dialog, tulisan, kejadian atau peristiwa. Masuknya unsur humor dan lelucon sebagai
dinalar akal sehat tidak masuk akal. Berdasarkan
analisis
tersebut,
drama Putu Wijaya mengalami tragedi dan komedi yang ditandai dengan pemindahan jenazah dan bau kentut, adegan membuka celana kolor, mandi dalam keadaan sakit, suara pecah dan teriakan Istri. Yang paling kuat unsur humornya adalah drama Aduh dan Edan karena dialog yang ada begitu lucu dan menghibur sehingga banyak orang tertawa ketika menikmati adegan-adegan yang diciptakan oleh Putu Wijaya.
bentuk kesempurnaan dalam dialog Suami PENUTUP
dan Istri. (28) ISTRI : Memang! Kalau normal, apa
mesti beli marmer! SUAMI: Kalau tidak dibeli harganya sudah lima kali lipat! Kau menyesal beli barang ini? Bodoh!
Simpulan Eksistensialisme dalam drama Aduh, Edan, Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, adalah (1) kebebasan yang ditandai dengan nama tokoh yang bebas, dialog yang bebas, kebebasan menentukan keputusan, tanpa adanya batasan antar tokoh, (2) kecemasan 151
yang ditandai dengan perasaan tertindih,
Pusat
katakutan, ketidakpercayaan dan curiga,
Pendidikan Nasional.
kebingungan pada tokoh, perang batin, (3)
Camus,
Bahasa
Albert.
Departemen
Mite
1999.
Sisifus
bisa
Pergulatan dengan Absurditas.
menjawab pertanyaan, tidak ada bukti
Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
dalam
Utama.
kegagalan
yang
ditandai
berunding,
tidak
ketidakmampuan
mengingat nama, (4) kesia-siaan yang ditandai
tokoh
yang
Dagun,
M.
Filsafat
1990,
Eksistensialisme, Jakarta: Rineke
menunggu,
Cipta.
pengulangan peristiwa, kondisi capek, pembuatan makam, dan (5) kematian yang
Save
Damono,
Sapardi
Djoko,
dkk.2007.
ditandai suasana ironis, proses penguburan
Absurdisme
dalam
sastra
dan kecelakaan, pembunuhan tragis.
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Absurdisme dalam drama Aduh, Edan,
Darma, Budi. 1990 "Sastra Indonesia
Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, adalah (1)
Mutakhir" dalam Aminuddin,
bunuh diri filosofis; yang ditandai rasa
(Ed.). 1990. Sekitar Masalah
tidak bias berbuat, tindakan kontradiktif,
Sastra. Malang: Yayasan Aslh
(2) sifat simbolik; yang ditandai dengan
Asah Asuh.
kejadian misterius, waktu, suara, nyanyian,
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi
angka abjad, bau, tanggal merah, (3) tragedi
Penelitian Sastra Bandingan.
dan komedi; yang ditandai pemindahan
Jakarta: Bukupop.
jenazah dan bau kentut, adegaan membuka
Endraswara, Suwardi. 2012. Metodologi
celana kolor, mandi dalam keadaan sakit,
Penelitian
suara pecah dan teriakan istri.
Yogyakarta: Layar Kata. Endraswara,
Abdullah, Imran (Ed.). 1985. Memahami
Bertens,
Suwardi.
2012.
Sartra.
Filsafat
Sastra.Yogyakarta: Layar Kata.
DAFTAR PUSTAKA
Drama Putu
Filsafat
Absurd,”
dalam
On
Jakarta:PusatPengembangan
Contemporary
Literature,
ed.
Bahasa Dekdipbud.
Richard Kostelanetz. New York:
K.
1987.
Wijaya:
Aduh.
Esslin, Martin. 1964. “Theatre of the
Fenomenologis
Eksistensialis. Jakarta: Penerbit Gramedia. Budianta, Melani dkk. 2007. Absurdisme
An Avon Book. Hasan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Eksistensialisme.
Jakarta:
Pustaka Jaya.
dalam Sastra Indonesia. Jakarta: 152
Siddhartha karya Herman Hesse.
Heidegger, Martin. 2003. Heidegger dan Mistik
Keseharian
(suatu
pengantar menuju sein und zeit).
Tesis Magister, Unesa. Ratna,
Nyoman Kutha.
Jakarta: Kepustakaan Popular
Metode, dan Teknik Penelitian
Gramedia.
Sastra.
Hidya Tjaya, Thomas. 2004. Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri
Yogyakarta.
Sartre,
Jean
Paul.
Populer Gramedia.
Kanisius.
Sastra.
Filsafat
2002.
Eksistensialisme.
Yogyakarta:
Penelitian
Malang.
Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Waluyo, Herman. 2003. Drama: Teori dan Pengajarannya.
Nugroho, WahyuBudi. 2013. Orang Lain Adalah
Neraka
Eksistensialisme
Sosiologi Jean
Yogyakarta:
Paul
Wellek. Rene dan Austin Warren. 1990. Teori
Pustaka
Kesusastraan
Melani
Ostina Panjaitan, 1992. Manusia sebagai Eksistensi Menurut Pandangan Kierkegaard.
Jakarta:
Yayasan
Sumber Agung. Purnamasari, Deasy. 2013. Absurditas dan
Jakarta:
Wijaya, Putu. 1973. Aduh.Jakarta: Pustaka Jaya. Wijaya, Putu.1976. “Edan” dalam Budaya
Panjaitan, Ostina. 1996 Manusia Sebagai Eksistensi,
Budianta).
(Terj.
Gramedia.
Jakarta:
Yayasan Sumber Agung.
Yogyakarta:
HaninditaGraha Widia.
Pelajar.
Søren
Lisan.
Sumardjo, Jakob, dan Saini K.M. 1994.
Pustaka
Pelajar.
Sartre.
Sastra
Surabaya: Citra Wacana.
Muzairi. 2002.Eksistensialisme Jean Paul Yogyakarta:
Penerbit
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode
Maryaeni, 1992.Teori Drama. Malang:
Sartre,
Bandung:
AngkasaBandung.
Pustaka Pelajar.
Proyek OPF IKIP
Yogyakarta:
Semi, M. Atar,1993. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Hanindita. O.P.
Filsafat
2011.
Eksistensialisme.
Vincent
Putaka
Pelajar.
Sendiri. Jakarta: Kepustakaan
Jabrohim, dkk. 2000. Metodologi Penelian
Martin,
2009. Teori,
Jaya X no.106, Maret 1976. Wijaya,
Putu.1994.
Dag
Dig
Dug
(Sandiwara Tiga Babak). Jakarta: Balai Pustaka.
Eksistensialisme dalam novel
153