Riptek Vol. 5, No.II, Tahun 2011, Hal.: 53 - 60
EFEK PENGGUNAAN BATU ALAM PADA FASAD RUMAH TINGGAL TERHADAP PEMAKAIAN ENERGI LISTRIK Eddy Prianto*) Abstract House facade reflects the owner sensitivity on environmental problems. Electricity consumption problem drew attention to scrutinized on bulding design. An effort to efficient electricity consumption is by making use of natural stone on facade wall. How is the influence of natural stone on facade wall on reducing indoor temperature? What sort of natural stone that reduce indoor temperature? This paper is a part sequence research on saving energy building model in laboratory of Architecture Department – University of Diponegoro. Temperature measurement on natural stone covered wall of building model carried out by aiming the wall in the direction of sun ray all day long (from 7 am – 6pm). The main result showed the use of natural stone on facade has a significant influence on indoor temperature compared to outdoor temperature, about 6, 7%-8, 1%. Cement uncovered wall increased the indoor temperature about 6, 7%. Painted wall increased indoor temperature just 0, 1% compared to outdoor temperature. The result of second examination showed among the four types of observed natural stone, palimanan stone had lowest wall surface temperature increase, about 8%. The increase of wall surface temperature on cement plastered wall, candi and andesit stone covered wall, painted wall, and tile covered wall are 45%, 30%, 25%, 21% and 10% consecutively. Key words : natural stone, electricity, facade, residential building, Semarang
Pendahuluan Trend tampilan bagian depan perumahan yang berkembang di Kota Semarang sekarang ini ditandai dengan pemakaian lapisan batu alam (marmer, andesit, palimanan, candi, keramik, batu kali, lempengan), baik didesain untuk memenuhi dinding bagian depan atau hanya sebatas aksen dari fasad tersebut. Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa beban panas juga disebabkan oleh pilihan penyelesaian dinding dengan pengecatan. Kondisi rumah akan semakin panas bila dinding tidak difinishing/ kondisi plesteran/ belum dicat sama sekali. Pemakaian warna putih atau nuansa putih lebih tepat diterapk.an pada fasad rumah kita dibanding dinding yang beragam warna (Prianto, 2010)
Tampilan batu alam pada fasad rumah juga memiliki dampak meningkatkan suhu interior karena terpaan sinar matahari. Pengaruh iklim luar tersebut tertransmisi ke dalam bangunan melalui kulit bangunan sehingga menyebabkan beban pendinginan semakin besar. Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa beban panas karena kulit bangunan (skin load dominated) mempengaruhi 80% suhu interior rumah tinggal. Sebesar 40 hingga 50% energi listrik dalam rumah tinggal dikonsumsi untuk proses pendinginan (air conditioner) (Prianto,2007), Besaran prosentase ini akan berkurang bila kita mendesain fasad rumah secara tepat. konsumsi pemakaian listrik dalam rumah tangga (dari study rumah type 21,36,45,60&90)
Rice 10%
lampu pemanas air 5% kolam 4% 1%
Setrika 9%
Mesin cuci 9%
Gambar 1 Fenomena ‘Trend’ Tampilan Perumahan di Kota Semarang, yang Menggunakan Finishing Façade dengan Pelapisan Batu Alam
Sanyo 6% Radio/Tape 1% TV 2% Komputer 10%
AC 38%
KulkasKipas 2% 3%
Gambar 2 Profil Prosentase Konsumsi Listrik dalam Rumah Tinggal (Prianto,2007)
*) Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang
Efek Penggunaan Batu Alam Pada Fasad Rumah Tinggal Terhadap Pemakaian Energi Listrik Tidak sedikit arsitek dan pengembang perumahan di Kota Semarang yang mencoba mempertimbangkan efek desain fasad terhadap konsumsi listrik pasca huni. Dengan mengetahui „trend‟ pemakaian batu alam yang makin meningkat, maka sebenarnya peran dari mereka menjadi salah satu usaha mengefisienkan pemakaian energi listrik dalam rumah tinggal. Hal ini menjadi perhatian penelitian kali ini. Data di lapangan, menunjukan bahwa kehadiran penyedia bahan batu alam berkembang pesat, hampir di setiap bagian dari zona pembangunan kawasan perumahan dapat kita temui. Pemakaian batu alam candi, andesit dan paliaman menjadi favorit/ trend di kalangan pemakai/ pengolah desain rumah tinggal.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sebuah Model Rumah berskala 1: 1, dalam arti dimensi dan bahan pembentuk rumah menggunakan batu bata ukuran sebenarnya. Merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya, seperti pengamatan tentang pengaruh pemakaian cat dinding dan desain tritisan yang respon terhadap kenyamanan penghuni. Uji coba dilakukan di lapangan (in-situ experimentation), dengan kondisi cuaca berawan /cerah. Penelitian dilakukan di bulan Juni-Juli dimana lintasan matahari berada di daerah tropis dengan pancaran panas maksimal. Alat Ukur dan Obyek Penelitian Perbedaan obyek penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya adalah, obyek diletakkan di atas meja putar, sehingga kondisi terpaan panas langsung dari matahari untuk sepanjang hari (selama 12 jam) dapat terus diamati. Obyek utama dalam penelitian ini adalah pelapisan dinding fasad rumah dengan pelapisan batu alam.
(Eddy Prianto) dinding eksterior tersebut.
dan
interior
bangunan
b.
Metode Pengukuran Tujuan pengukuran adalah mengetahui profil panas permukaan masing-masing dinding berlapis batu alam, pada kondisi permukaan dinding selalu terkena panas matahari sepanjang hari – untuk itu model selalu diputar mengikuti posisi lintasan matahari setiap jamnya (minimum 12 kali putar perhari. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan posisi dimana suhu interior yang lebih kecil dari suhu udara eksterior, agar dapat dijadikan bahan analisa beban panas di dalam ruangan. Dengan demikian usaha penghematan energi melalui efisiensi penggunaan alat pendingin (air conditioner) akan tercapai.
a)
a.
Infrared thermometer
Light meter
Termo-higro clock
Gambar 3 Ragam Peralatan Yang Digunakan dalam Penelitian Pengukuran yang dilakukan selama 16 jam/hari dengan menggunakan “infrared thermometer, light meter dan thermo-higro meter”, dengan rentang pengambilan data setiap jam pada 14 titik ukur. Tujuan dari pengukuran adalah mendapatkan data profil panas seluruh permukaan dinding lapisan batu alam dan suhu 58
b)
c)
Gambar 4 a,b)Rumah Model di Atas Meja Putar & c)Perletakan Titik Ukur Profil panas dinding eksterior, interior dan suhu rata-rata ruangan didapatkan dari
Riptek Vol. 5, No.II, Tahun 2011, Hal.: 53 - 60 penggunaan lapisan batu alam yang telah diamati sebelumnya. c.
Metoda Analisa Data-data yang diperoleh dalam tahap pengukuran, dianalisa sesuai tujuan penelitian ini. Pertama, mengetahui profil panas kondisi dinding yang belum di lapisi batu alam(dinding berplester) Kedua, untuk mengetahui efek dari suatu pengecatan dinding. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa pewarnaan dinding cat juga mempengaruhi panas suhu udara di dalam ruangan.
Batu alam Palimanan
Batu alam Candi
BatuAlam Andesit
Ceramic tile
Gambar 5 Pelapis Dinding yang Diujicoba : Candi, Palimanan, Andesit dan Keramik Model batu alam yang di uji ada 4 (empat) jenis,yaitu batu alam candi, palimanan, andesit dan keramik. Terdapat 3 (tiga) pengukuran prinsipal, untuk bahan penganalisaan peran dari batu alam tersebut : Pertama : profil panas dinding sebelum dilapisi batu alam. Kedua : profil panas dinding dengan penggunaan cat, dan Ketiga, profil panas dinding dengan menggunakan keempat batu alam. Ketiga, untuk mengetahui seberapa besar efek dari perbedaan jenis batu alam yang dilapiskan pada dinding bangunan, kita membandingkan kondisi dinding sepanjang hari dengan terpaan panas 12 jam terus menerus. Hal ini dapat mudah dilakukan karena model dapat diputar. Dari tiga langkah di atas diharapk.an dapat diketahui perbedaan suhu permukaan dinding dengan ketiga finishing tersebut, dan berapa besar perbedaannya dan konstribusi dalam penghematan energi listrik.
Hasil dan Pembahasan Kajian pertama : Profil suhu rata-rata interior dari 4 lapisan dinding fasad : plesteran, pengecatan dan pemasangan batu alam
penurunan suhu dalam ruangan sangat signifikan terjadi pada dinding berlapis batu alam a.
Teknis pelaksanaan : Untuk mengetahui tingkat perbedaan suhu interior dari berbagai perubahan finishing dinding fasad rumah model, pengukuran data direkapitulasi dan dibandingkan. Pengukuran dilakukan dari pk. 05.00 – 21.00 WIB setiap hari dengan kondisi cuaca harus cerah tak berawan dan posisi fasad prinsipal harus selalu mengikuti lintasan matahari setiap jam. Model yang diletakkan di meja putar, memungkinkan posisi yang sesuai dengan lintasan matahari sehingga data rata-rata suhu udara interior dan rata-rata suhu udara eksterior bisa diperoleh dan dibandingkan.
b.
Hasil pengukuran dapat dilihat pada grafik (gambar 5). Suhu udara rata-rata Kota Semarang, pada bulan Juni-Juli-Agustus 2011 adalah 29 °C. Suhu dinding interior rumah model dari ketiga kondisi pemakaian material fasad sangatlah bervariatif, yaitu 31°C untuk kondisi fasad yang belum terfinishing atau masih berupa plesteran, 29,1°C untuk kondisi fasad di cat, 26,6°C untuk kondisi fasad berlapis batu alam palimanan, dan 27°C untuk kondisi fasad berbatu candi. Dari data yang diperoleh, kondisi fasad berupa plesteran tanpa finishing mengakibatkan kondisi suhu dalam ruangan lebih panas dari suhu eksterior dengan selisih sebesar 2°C.
Gambar 5 Grafik Profil Suhu Ruang dalam Bangunan dari Hasil Penerapan Berbagai Finishing Dinding Eksterior ( Plesteran, Cat dan Ragam Batu Alam) Kondisi dinding fasad yang dicat menghasilkan suhu rata-rata dalam ruangan relatif sama dengan suhu udara di bagian eksterior, hanya mengalami kenaikan 0,4% dari suhu rata-rata eksterior atau sebesar 59
Efek Penggunaan Batu Alam Pada Fasad Rumah Tinggal Terhadap Pemakaian Energi Listrik
(Eddy Prianto)
0,1ºC. Dinding berlapis batu alam menunjukan penurunan suhu interior dibanding eksterior sebesar 2°C-2,4°C atau sebesar 6.7%-8,1% . Perbandingan selisih suhu interior pada variasi fasad rumah dapat dilihat pada tabel di bawah ini
c.
KELEMBABAN (%)
40.7
SUHU EKSTERIOR (°C)
29.0
SUHU INTERIOR-plesteran (°C)
31.0
SUHU INTERIOR-Pengecatan (°C)
29.1
SUHU INTERIOR- batu palimanan (°C)
26.6
SUHU INTERIOR-batu candi (°C)
27.0
2.0 0.1 -2.4 -2.0
prosentase
selisih interior dan ekterior
rata-rata (°C)
Tabel 1 Rekap Profil Perbandingan Suhu RataRata Udara Eksterior dan Berbagai Suhu Udara Interior
6.7% 0.3%
berplester. Perbedaan suhu antara eksterior dan interior pada kondisi dinding dilakukan pengecatan atau hanya sebesar 0,1°C. Dinding fasad berlapis batu alam mengami penurunan hingga 8% dibawah suhu rata-rata eksterior (26,6-27 °C). Jadi pelapisan dinding fasad dengan batu alam sangat signifikan dalam menurunkan suhu udara interior rata-rata harian terhadap suhu udara rata-rata eksterior. Kajian kedua : Profil panas dinding fasad dengan perbedaan finishing : antara plesteran, pengecatan dan pemasangan batu alam terhadap suhu udara eskterior ratarata suhu permukaan dinding plesteran meningkat 45% dari suhu udara eksterior sedangkan suhu dinding batu alam hanya 8%, pilihan finishing fasad berdampak pada suhu udara lingkungan.
-8.1% -6.7%
Kesimpulan Berdasarkan analisa di atas, disimpulkan bahwa suhu rata-rata udara interior justru mengalami peningkatan sebesar 6,7% dibanding suhu eksterior pada kondisi fasad
a.
Teknis pelaksanaan : Tahap selanjutnya dari penelitian ini adalah pengukuran terhadap dinding-dinding yang telah dilapisi empat ragam batu alam, yaitu batu candi, batu andesit, batu palimanan dan keramik tile.
Gambar 6 Grafik Profil Panas Dinding Eksterior dan Interior dari Kondisi Dinding Berwarna Merah dan Dinding Tanpa Warna
60
Riptek Vol. 5, No.II, Tahun 2011, Hal.: 53 - 60 Pemilihan keempat ragam batu alam ini didasarkan pada hasil survey lapangan seluruh kawasan perumahan di Kota Semarang pada tahun 2011. Fasad prinsipal dari masing-masing batu alam tetap diarahkan ke posisi lintasan matahari, dengan cara pemutaran model pada setiap jamnya. Pengukuran dilakukan dari pk. 05.00-21.00 WIB setiap hari dengan kondisi cuaca cerah tak berawan. b.
Hasil pengukuran dapat dilihat di grafik (Gambar 6) Suhu rata-rata eksterior pada kondisi percobaan ini masih relatif stabil, cuaca cerah dan tak berawan, yaitu 29°C dan kelembaban udara rata-rata 40,7%. Perbedaan tertinggi suhu permukaan dinding fasad dan suhu rata-rata eksterior dicapai dinding plesteran, dengan peningkatan hingga 45% dari rata-rata suhu eksterior (42,1°C). Perbedaan suhu terendah diperoleh pada fasad berlapis batu alam palimanan, sebesar 8% (31,3°C). Urutan peningkatan suhu permukaan dinding adalah sebagai berikut 45% pada plesteran, 30% batu candi, 25% batu andesit, 21% pengecatan, 10% lapisan keramik dan 8% batu palimanan. Secara detail dapat di lihat pada gambar 8
dengan lapisan batu candi (30%) dan andesit (25%) Sebagaimana pada kajian pertama, pemakaian batu alam secara prinsipal berkonstribusi dalam penurunan suhu ratarata udara interior, tapi pemakaian batu alam palimanan dan lapisan keramik yang tidak menimbulkan kenaikan panas dinding luar, hal ini bisa menjadi pertimbangan pemilihan batu alam tanpa menyebabkan udara eksterior kita tidak teradiasi terlalu panas. Kajian ketiga : Perbedaaan selisih panas dinding dengan suhu udara eksterior panas permukaan dinding plesteran sepanjang hari hingga malam hari selalu di atas rata-rata suhu udara eksterior, sedangkan pelapisan batu alam mengalami penurunan selisih di waktu sore (pk.15.00 – 18.00 WIB) dan mulai meningkat lagi setelah pk. 19.00 WIB a.
c.
KELEMBABAN (%)
40.7
SUHU EKSTERIOR (°C)
29.0
SUHU INTERIOR (°C)
28.4
PLESTERAN (°C)
42.1
CAT BIRU (°C)
35.2
BATU ALAM PALIMANAN (°C)
31.3
BATU ALAM ANDESIT (°C)
36.3
BATU ALAM CANDI (°C) LAPIS KERAMIK (°C)
37.8 32.0
0.0 -0.6 13.1 6.2 2.3 7.3 8.8 3.0
beban panas- 25 (°C)
selisih suhu permukaan dinding& eksterior
rata-rata (°C)
Tabel 2 Rekap Profil Perbandingan Panas Dinding dengan Suhu Udara Eksterior
Teknis pelaksanaan : Kita memetakan selisih suhu antara suhu udara eksterior dengan suhu permukaan ragam lapisan dinding, sehingga sebaran tersebut dapat dianalisa untuk mengetahui karakter panasnya dari pagi hari hingga malam hari pk. 21.00. WIB Hal ini berguna untuk mengetahui bagaimana kita dapat mentraitment lapisan tersebut (misal dengan perlindungan tritisan atau lokasi di bawah bayang-bayang.
0% -2% 45%
Gambar 7 Grafik Sebaran Selisih Suhu Antara Ragam Lapisan Dinding Fasad dengan Karakter Suhu Udara Eksterior
21% 8% 25% 30% 10%
Kesimpulan Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa dinding fasad berplester semen mempunyai suhu permukaannya paling panas diantara ke 6 (enam) jenis finishing lainnya, dengan peningkatan sebesar 45% dari suhu rata-rata udara luar. Dari ke empat jenis batu alam yang diukur, kenaikan suhu tertinggi di atas rata-rata dinding bercat adalah finishing dinding
b.
Hasil pengukuran Gambar 7.
dapat
dilihat
pada
Karakter timbunan panas untuk dinding plesteran : Pengukuran semenjak pagi hari (pk.. 05.00 WIB hingga malam hari (pk.. 21.00 WIB, selisih suhu permukaan dinding 61
Efek Penggunaan Batu Alam Pada Fasad Rumah Tinggal Terhadap Pemakaian Energi Listrik terhadap suhu udara eksterior masih selalu lebih panas, yaitu rata-rata 13°C di atas suhu udara eksterior. Suhu permukaan dinding dari pagi terus meningkat hingga mencapai puncak pada pk. 11.00 dan 12.00 WIB (17,8°C ), hingga malam hari (pk. 21.00 WIB) kondisi permukaan dinding plesteran masih jauh lebih panas dibanding suhu permukaan dinding di pagi hari (11°C). Pengamatan dan pengukuran lebih jauh, bahwa sampai jam berapa kondisi panas permukaan fasad plesteran ini mulai mengalami penurunan hingga di bawah rata-rata suhu udara eksteriornya, merupakan hal yang dapat diteliti lebih lanjut.
(Eddy Prianto) Dari kesekian lapisan dinding yang telah dipaparkan, ternyata material pelapis batu palimanan mempunyai selisih suhu permukaan dengan eksteriora yang paling rendah, yaitu sebesar 2,3°C. Yang menarik perhatian adalah pada tengah hari (pk. 12.00 WIB), justru selisih ini mengalami kondisi terendah (0,9°C ). Namun lewat tengah hari mengalami kenaikan yang cukup stabil hingga pk. 21.00 WIB (7°C). c.
Karakter timbunan panas untuk dinding dengan finishing cat tembok Pengukuran mulai pagi hari (pk. 05.00 WIB) hingga malam hari (pk. 21.00 WIB), selisih suhu permukaan dinding terhadap suhu udara eksterior sebesar 3°C terjadi di pagi hari ( pk. 07.00-09.00 WIB) dan mengalami selisih sebesar 9°C pk. 11.00-12.00 WIB dan mulai pk. 19.00-21.00 WIB. Rata-rata selisih suhu sebesar 6°C atau hampir 50% lebih dibanding dengan dinding plesteran. Karena pengukuran dilakukan hingga pk. 21.00 WIB kondisi selisih ini belum menunjukan penurunan yang signifikan, pengamatan dan pengukuran lebih jauh untuik mengetahui waktu penurunan suhu permukaan fasad dibanding suhu eksterior masih perlu dilakukan lebih lanjut. Karakter timbunan panas untuk dinding andesit, candi dan keramik : Rekapitulasi sebaran selisih suhu pada grafik sebelumnya, menunjukkan ketiga ragam ini memiliki karakter yang hampir sama, yaitu selisih terbanyak ditemukan pada waktu siang hari (pk. 11.00-12.00 WIB) dan mengalami penurunan tidak berarti pada sore hari. Namun setelah pk. 18.00 WIB/ matahari terbenam, justru terjadi peningkatan suhu hingga mendekati selisih rata-rata 7°C - 8°C. Sebagaimana fenomena pada lapisan sebelumnya, untuk mengetahui karakter serapan panas material ini, akan menjadi bahan penelitian lebih lanjut. Karakter timbunan panas untuk dinding palimanan : 62
Kesimpulan Peningkatan selisih suhu pelapis dinding dengan posisi suhu eksterior yang terjadi pada pk. 18.00-19.00 WIB, menunjukan bahwa suhu interior justru lebih tinggi dibanding suhu udara eksterior. Terkait dengan effisiensi pemakaian listrik pada rumah tinggal, sebaiknya setelah matahari terbenam dilakukan „pengusiran‟ hawa panas dengan energi alamiah ataupun elektrik yang berdaya rendah (seperti kipas angin). Pemakaian AC tidak direkomendasikan pada rentang waktu 18.00-21.00. WIB.
Kajian keempat : Hubungan antara beban panas udara interior dan tuntutan kenyamanan terkait pemakaian energi listrik untuk menjalankan AC analisa komparasi terhadap standar kenyamanan ideal pendinginan ruangan suhu 25°C a.
Teknis pelaksanaan : Dengan penganalisaan lebih lanjut dari data kajian pertama, kita lakukan perhitungan beban panas yang terjadi dalam ruangan untuk mendapatkan kenyamanan thermal. Untuk pemakaian AC, hendaknya mengatur suhu ruangan tidak lebih rendah dari 25°C. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, konsumsi energi listrik untuk rumah tinggal skala menengah ke bawah pada umumnya 40-50% disebabkan oleh pemakaian AC.
b.
Hasil pengukuran dapat dilihat di tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa beban panas yang harus dihilangkan untuk mendapatkan suhu ruangan yang nyaman (standar tuntutan ideal pada suhu 25°C), dapat disimak sebagai berikut : a) penurunan suhu sebesar 6°C bila dinding luar ruangan menggunakan plesteran, 4,1°C bila menggunakan cat tembok, 2°C bila menggunakan batu candi dan keramik serta yang paling rendah adalah 1,6 °C untuk penggunaan batu alam andesit dan palimanan. Makin rendah beban suhu
Riptek Vol. 5, No.II, Tahun 2011, Hal.: 53 - 60 ruangan yang harus ditopang energi listrik, maka pemakaian energi AC akan semakin rendah. Dari berbagai referensi ditemukan , kenaikan 2 °C akan menambah beban listrik 30watt/jam.
c.
KELEMBABAN (%)
40.7
SUHU EKSTERIOR (°C)
29.0
SUHU INTERIOR-plesteran (°C)
31.0
SUHU INTERIOR-Pengecatan (°C)
29.1
SUHU INTERIOR- batu palimanan (°C)
26.6
SUHU INTERIOR-batu candi (°C)
27.0
6.0 4.1 1.6 2.0
prosentase beban panas
selisih interior dan tuntutan kenyamanan 25°C
rata-rata (°C)
Tabel 3 Profil Beban Panas untuk Mendapatkan Suhu Ruang yang Nyaman
23.8% 16.4% 6.6% 8.2%
Kesimpulan Menciptakan ruangan dalam dengan situasi beban suhu tidak melebihi 2°C akan sangat signifikan dalam usaha penghematan energi listrik untuk pemakaian AC. Setidaknya akan menambah biaya listrik maksimal : = 30 watt/jam x 10 jam/hari pemakaian x 30hari = 9000 watt/bulan atau sebesar 9 Kwh/bulan, = senilai 9 x Rp 1100 = Rp. 9900,Sedangkan kebutuhan pokok pengeluaran listrik untuk type AC ½ Pk. 300w adalah = 300 watt/jam x 10 jam/hari pemakaian x 30 hari = 90000 watt/bulan atau 90 Kwh/bulan, = dengan biaya pemakaian listrik sebesar Rp.99.000,-. Artinya perbedaan beban 2°C saja kita sudah harus menambah sebesar 10% dari biaya tagihan kebutuhan pokok.
Kesimpulan 1.
2.
3.
4.
Pengolahan konfigurasi envelope fasad rumah tinggal dengan batu alam menunjukan hasil yang sangat signifikan dalam mengurangi panas udara eksterior, yaitu sebesar 6,7%-8,1% sebanding dengan kenaikan suhu interior bila dinding fasad tidak di-finishing/hanya diplester. Untuk mengetahui efek yang signifikan dilakukan pengukuran dengan 3 (tiga) kondisi finishing fasad berbeda, yaitu: pada kondisi cukup diplester, dicat dan dilapisi batu alam. Penurunan beban listrik terjadi bila beban unit pendingin ruangan tidak bekerja secara berlebih, artinya suhu interior sebaiknya lebih rendah dari suhu eksteriornya. Pemakaian AC tidak direkomendasikan pada rentang waktu pasca matahari terbenam (pk.18.00-21.00 WIB), karena
5.
kondisi udara interior pada situasi ini justru meningkat secara signifikan di atas suhu udara eksterior. Dinding fasad rumah yang telah dilapisi batu alam, masih perlu dilengkapi sun shading/ tritisan khususnya untuk mengantisipasi terpaan panas antara pk. 12.00-16.00 WIB, karena pada situasi itulah didapatkan fenomena kenaikan suhu permukaan dinding lapis batu alam.
Ucapan Terima Kasih Makalah ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian yang dibiayai oleh dana Penelitian Unggulan dari lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro tahun 2011. Semoga penelitian kelanjutan untuk memperoleh prototype Rumah Hemat Energi dapat berjalan dengan lancar. Judul dari penelitian tahun sebelumnya adalah “Effect of color on The Heat Gain Through The Wall Fasad of Residential Houses in The Extreme Climate”, dan judul untuk tahun 2011 adalah : “Energy Saving Building Design by Mean of Optimum Envelope- Case Study of Residential Building in Tropical Humide Climate), untuk itu pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapk.an terima kasih kepada pihak-pihak di jajaran Dekanat Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (FT Undip). Dan juga pada para mahasiswa Jurusan Arsitektur Undip (Sdri. Fara, Adelina, Slamet, Wawan, Hakim dan Yuni- mahasiswa reguler 2 JAFT undip) yang telah membantu melakukan pengukuran lapangan selama 16 jam perhari untuk setiap pelapisan batu alam. DAFTAR PUSTAKA Anang, Ceria, Gian dan Joshua. 2008. “Sustainable Architecture yang Ramah Lingkungan pada Rumah Tinggal Minimalis”. Seminar mahasiswa bimbingan Dr.Ir.Eddy Prianto dan Ir. Djoko Amrijono, Jurusan Arsitektur Undip, Semarang. Birren, F. 1988. Light, Color, and Environment. Pensylvania : Schiffer Publishing, Ltd. Halse, A. O. 1978. The Use Of Color In Interiors. Second Edition. New York : Mc Graw Hill Book Company. Hinrich, Radan Kleinbach, M. 2005. Energy – Its Used and The Environment. Fourth Edition. United States : Thomson Brook Cole. Prianto, E. 2010. “Efek Warna Dinding terhadap Pemakaian Energy Listrik dalam Rumah Tangga”. Jurnal Pembangunan Kota Semarang RIPTEK, Vol.4, No.1, hal 31-35. 63
Efek Penggunaan Batu Alam Pada Fasad Rumah Tinggal Terhadap Pemakaian Energi Listrik Prianto, E. 2007. “Rumah Tropis Hemat Energi Bentuk Keperdulian Global Warming”. Jurnal Pembangunan Kota Semarang RIPTEK, Vol.1, No.1, hal 1-10. Prianto, E. 2007. “Energy Efficient Building as Manifesto of Enviromental Issue”. Materi Seminar Home Design Going Green, Hotel Ciputra, Jakarta.
64
(Eddy Prianto) Prianto, E. 2005. “Arsitektur Jendela Respond Gerakan Hemat Energi”. Jurnal Ilmiah Nasional Efisiensi & Konservasi Energi, Vol.1, No.1, FT, Undip, hal 1-11 Prianto,E. dan Depecker,P. 2002. “Characteristic of Air Flow as The Effect of Balcony, Opening Design and Internal Division on Indoor Velocity” . Energy and Building,Vol.34. No.4., pp.401-409.