e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
PENGARUH MODEL CONTEXTUAL TEACHING LEARNING BERMUATAN PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF DAN SIKAP ILMIAH DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR 1
N. P. A. H. Sanjayanti , I. W. Sadia2, N. M. Pujani3 123
Program Studi Pendidikan IPA, Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
email:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah menganalisis (1) Perbedaan keterampilan berpikir kreatif (KBK) dan sikap ilmiah antara (SI) kelompok siswa yang belajar dengan contextual teaching learning bermuatan pendidikan karakter (CTLBPK) dan model pembelajaran konvensional (MPK). (2) Interaksi model pembelajaran terhadap KBK dan SI ditinjau dari motivasi belajar (MB) siswa (3) Perbedaan KBK dan SI antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada siswa yang memiliki MB tinggi. (4) Perbedaan KBK dan SI antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada siswa yang memiliki MB rendah. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan rancangan factorial 2x2 posttest only control group design. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMAN 1 Seririt tahun pelajaran 2012/2013. Data KBK dikumpulkan dengan 24 item tes KBK, sedangkan data SI dan MB siswa dikumpulkan dengan 60 item kuisioner. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif dan MANOVA dua jalur. Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan hasil penelitian bahwa (1) Terdapat perbedaan KBK dan SI antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK (F=24,75; p<0,05). (2) Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan MB terhadap KBK dan SI siswa (F=18,95; p<0,05). (3) Terdapat perbedaan KBK dan SI antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada siswa yang memiliki MB tinggi (F=24,97); p<0,05). (4) Terdapat perbedaan KBK dan SI antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada siswa yang memiliki MB rendah (F =6,28; p<0,05). Keyword:CTLBPK, sikap ilmiah, kreatif, motivasi, karakter Abstract The purpose of this research was to analyze (1) Differences in creative thinking skills (KBK) and a scientific attitude (SI) among group of students who studied with contextual teaching learning education uncharged character (CTLBPK) and the conventional learning models (MPK). (2) Interaction learning models against KBK and SI in this case of motivation to learn (MB) students. (3) Difference between KBK and SI groups of students who studied with CTLBPK and MPK on students who have high MB. (4) Difference between CBC and SI groups of students who study with CTLBPK and MPK on students who have low MB. This research is a quasi-experiment with a 2x2 factorial design posttest only control group design. The subjects were students of class X SMAN 1 Seririt school year 2012/2013. KBK data were collected with 24 items KBK test, while data collected SI and MB students with 60 item questionnaire. Data were analyzed with descriptive statistics and MANOVA two lanes. Based on the results of data analysis has been performed, (1) There are differences between the KBK and SI groups of students who study with CTLBPK and MPK (F = 24.75, p <0,05). (2) There is a model of learning and the interaction between the KBK and SI MB students (F = 18.95, p <0,05). (3) There are differences between the KBK and SI groups of students who study with CTLBPK and MPK on students who have high MB (F = 24.97), p <0,05). (4) There is a difference between the KBK and SI groups of students who study with CTLBPK and MPK at students who have a low MB (F = 6.28, p <0,05). Keyword: CTLBPK, scientific attitude, creative, motivation,character
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di era globalisasi, dari waktu ke waktu semakin pesat. Fenomena tersebut mengakibatkan adanya persaingan dalam berbagai bidang kehidupan. Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berkarakter sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan tersebut, untuk dapat berkompetisi dalam penguasaan dan pengembangan IPTEK. Peningkatan kualitas SDM yang berkualitas dan berkarakter dapat diwujudkan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Sejalan dengan keterbukaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan, Mendikbud Mohammad Nuh (Kompas, 2013) menyampaikan beberapa hal lain yang dinilainya juga sangat mendesak untuk ditanamkan dan diperkuat melalui dunia pendidikan dan kebudayaan nasional. Terutama melalui penguatan kultur (budaya) sekolah dan kampus untuk membangun karakter bangsa. Mata pelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang mengacu pada pengembangan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif. Fisika juga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan dapat mengembangkan pengetahuan siswa, keterampilan, dan sikap percaya diri. Salah satu tujuan mata pelajaran fisika di SMA adalah agar siswa mampu menguasai pengetahuan, konsep-konsep dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan, yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (Depdiknas, 2003). Menurut Human Development Report 2007-2008, Human Development Indeks (HDI) Indonesia sebesar 0,728 (HDI > 0,900= tinggi, dan HDI<0,900=rendah), yang berada dalam peringkat 107 dari 177 negara yang disurvei oleh UNDP (Kuncoro, 2009). Indeks pendidikan mencapai 0,83 karena angka melek huruf sebesar 90,4% dan rata-rata rasio masuk sekolah dari SD
sampai SMU mencapai 68,2%. Dengan kata lain, belum seluruh rakyat Indonesia “merdeka dari kebodohan”. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh TIMMS (Trend International Mathematics and Science Study) prestasi siswa Indonesia di Asia Tenggara tergolong sangat rendah (Yuwono, 2009). Hal itu dapat dilihat pada posisi Indonesia rata-rata 411 (400, rendah), Malaysia rata-rata 508 (475, menengah), Singapura rata-rata 605 (625, tingkat lanjut). Hal ini menunjukkan bahwa output dari pendidikan Indonesia belum mencapai hasil yang maksimal, di mana hal ini juga menunjukkan bahwa belum maksimalnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang diajarkan, apalagi kreativitas dan sikap ilmiah siswa. Selain rendahnya kreativitas dan sikap ilmiah siswa, karakter siwa juga perlu mendapat perhatian yang serius. Harian Kompas tertanggal 15 April 2013 menyampaikan data Komnas PA merilis jumlah tawuran pelajar tahun ini sebanyak 339 kasus dan memakan korban jiwa 82 orang. Tahun sebelumnya, jumlah tawuran antar-pelajar sebanyak 128 kasus. Tidak berbeda jauh, data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, pengaduan kekerasan kepada anak sebanyak 107 kasus, dengan bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, pembunuhan, dan penganiayaan. Oleh karena itu, Kemendikbud akan semakin menekankan pendidikan karakter terhadap anak didik Kenyataan tersebut juga didukung oleh proses pembelajaran yang terjadi saat ini di sekolah. Proses pembelajaran lebih berorientasi pada upaya pengembangan dan menguji daya ingat siswa sehingga kemampuan berpikir siswa direduksi dan sekedar dipahami sebagai kemampuan mengingat. Selain itu, hal tersebut juga berakibat siswa terhambat dan sulit menghadapi masalah-masalah yang menuntut pemikiran dan pemecahan masalah yang lebih kompleks. Model pendidikan formal tersebut apabila terus dipertahankan akan berfungsi membunuh kemampuan berpikir kreatif (KBK) dan
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
sikap ilmiah (SI) siswa karena lebih banyak mengedepankan aspek ingatan saja. Berpikir kreatif adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, dan unsurunsur yang ada. Munandar (1992), mengungkapkan sifat-sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan evaluation (menilai). Keterampilan Berfikir Kreatif dapat dikembangkan pada model pendidikan karakter. Misalnya dari keaslian (originality) dapat dikembangakan menjadi karakter jujur, keluwesan (flexibility) menjadi karakter kerjasama, kelancaran (fluency) manjadi karakter percaya diri, penguraian (elaboration) menjadi karakter kreatif, dan evaluation (menilai) menjadi karakter tanggung jawab. Tetapi, berbeda dengan yang terjadi di sekolah yaitu pada umumnya keterampilan berpikir kreatif siswa masih cukup rendah. Rendahnya keterampilan berpikir kreatif siswa disebabkan karena pembelajaran fisika selama ini cenderung hanya mengasah aspek mengingat (remembering) dan memahami (understanding) materi pelajaran, yang merupakan low order of thinking (Warpala, 2007). Meskipun telah diberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun 2007, tetapi outputnya belum menunjukkan hasil yang optimal, karena masih adanya penyimpangan dalam proses pembelajarannya. Guru masih cenderung mendominasi proses pembelajaran, sehingga siswa menjadi kurang aktif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif mereka. Selain kreativitas siswa, penilaian sikap ilmiah dalam pembelajaran sains penting dilaksanakan oleh karena dalam pembelajaran sains berkaitan dengan kemampuan, sehingga menjadi acuan siswa mampu atau tidak mampu pada pembelajaran. Sikap mengandung tiga dimensi yakni kepercayaan kognitif, perasaan akfektif atau evaluatif dan perilaku seseorang terhadap obyek sikap.
Penilaian hasil belajar Sains dianggap lengkap jika mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Sikap merupakan tingkah laku yang bersifat umum yang menyebar tipis diseluruh hal yang dilakukan siswa,tetapi sikap juga merupakan salah satu yang berpengaruh pada hasil belajar siswa. Sikap ilmiah dapat dibedakan dari sekedar sikap terhadap Sains, karena sikap terhadap Sains hanya terfokus pada apakah siswa suka atau tidak suka terhadap pembelajaran Sains. Tentu saja sikap positif terhadap pembelajaran Sains akan memberikan kontribusi tinggi dalam pembentukan sikap ilmiah siswa. Harlen (1992) mengemukakan keempat sikap ilmiah sebenarnya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena saling melengkapi. Sikap ingin tahu (curiosity) mendorong akan penemuan sesuatu yang baru (inventiveness) yang dengan berpikir kritis (critical thinking) akan meneguhkan pendirian (persistence) dan berani untuk berbeda pendapat. Pembelajaran yang kebanyakan ditemukan di sekolah-sekolah, khususnya di SMAN 1 Seririt adalah pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Dalam model pembelajaran konvensional (MPK) guru menyampaikan sajian materi secara langsung pada siswa. Materi tersebut disajikan tahap demi tahap oleh guru dan memastikan bahwa semua konsep dan halhal yang penting sudah disampaikan kepada siswa. Berbeda dengan model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) bermuatan pendidikan karakter (CTLPK) dalam pembelajaran fisika menyediakan peluang bagi siswa untuk mengasah kreativitas siswa dalam memecahkan suatu permasalahan yang berhubungan dengan konsep-konsep yang dibelajarkan. Dasar berpikir dari model pembelajaran ini adalah memberikan pengalaman langsung kepada siswa yaitu suatu proses yang nyata, sesuai dengan prosedur, dan menerapkan pemahaman yang dibentuk ke dalam situasi yang baru. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Zuchdi, Prasetya, dan Masruri (2010) bahwa Pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam pembelajaran berbagai bidang studi dapat
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
memberikan pengalaman yang bermakna bagi murid-murid karena mereka memahami, menginternalisasi, dan mengaktualisasikannya melalui poses pembelajaran. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut dapat terserap secara alami lewat kegiatan sehari hari. Apabila nilai-nilai tersebut juga dikembangan melalui kultur sekolah, maka kemungkinan besar pendidikan karakter lebih efektif. Hal yang senada juga disampaikan oleh Mulyasa (2011) bahwa pendidikan karkter merupakan proses yang berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never ending process), sehingga menghasilkan perbaikan kualitas yang berkesinambungan (continuous quality improvement), yang ditunjukkan pada terwujudnya sosok manusia masa depan dan berakar pada nilai-nilai budaya bangsa. Mulyasa (2011) juga menambahkan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai model. Model tersebut antara lain adalah pembiasaan dan keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan hukuman, CTL, bermain peran, dan pembelajaran partisipatif. Selain itu untuk CTL sendiri memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi, dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajaran. Pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apapun, bidang studi apa saja, dan kelas bagaimanapun keadaannya. Selain model pembelajaran, karakteristik siswa juga mempengaruhi kualitas hasil pembelajaran. Salah satu karakteristik siswa yang mempengaruhi kualitas hasil pembelajaran adalah motivasi belajar (MB). Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku (Santrock, 2008). Hal tersebut dapat diartikan perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Hal senada juga disampaikan oleh Glynn & Koballa (2006)
yang menyatakan motivasi adalah sesuatu yang ada dalam diri siswa yang bersifat membangun, mengarahkan, dan mendukung perilaku siswa. Motivasi ada dua jenis, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik (Djamarah, 2002). Motivasi intrinsik adalah motivasi yang muncul dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang aktif karena adanya rangsangan dari luar. Motivasi belajar memegang peranan penting dalam proses pembelajaran karakter, karena hal tersebut akan berdampak pada pencapaian hasil belajar siswa yaitu keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa. Jadi, terdapat hubungan yang erat antara motivasi belajar dengan pencapaian hasil belajar siswa. METODE Penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang menggunakan nonequivalent postest only control group design (Tuckman, 1972). Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMAN 1 Seririt yang terdistribusi menjadi 4 kelas. Berdasarkan teknik random sampling terpilih kelas X2 dan X4 yang dikenai perlakuan model pembelajaran kontekstual bermuatan karakter (CTLBPK) sedangkan kelas X3 dan X5 yang dikenai perlakuan model pembelajaran konvensional (MPK). Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah keterampilan berpikir kreatif, sikap ilmiah, dan motivasi belajar. Data keterampilan berpikir kreatif dikumpulkan dengan tes keterampilan berpikir kreatif sebanyak 24 butir berbentuk esay. Data sikap ilmiah dikumpulkan dengan kuisioner sikap ilmiah sebanyak 60 butir. Data motivasi belajar dikumpulkan dengan kuisioner motivasi belajar sebanyak 60 item pernyataan positif dan negatif. Data penelitian harus memenuhi syarat analisis yang meliputi uji normalitas sebaran data, uji homogenitas varians, uji homogenitas varians-kovarian secara keseluruhan, dan uji kolinearitas sebelum dilakukan pengujian hipotesis. Uji normalitas sebaran data menggunakan statistik Kolmogorov-Smirnov dan ShapiroWilk, uji homogenitas varians meng-
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
gunakan statistik Levene, uji homogenitas varians-kovarians menggunakan Box’s test, dan uji kolinearitas menggunakan korelasi product moment. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif dan juga MANOVA faktorial 2 2 . Semua pengujian hipotesis dilakukan pada taraf signifikansi 95% (α=0,05) dan dianalisis dengan bantuan program SPSS 17.0 PC for Windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Deskripsi umum yang dipaparkan pada bagian ini adalah deskripsi keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa setelah pembelajaran. Secara kuantitaif, keterampilan berpikir kreatif siswa dengan model CTLBPK relatif lebih baik daripada MPK. Tetapi secara kualitatif model CTLBPK dan MPK sama-sama berkatagori baik, sedangkan untuk Sikap ilmiah secara keseluruhan CTLPK lebih unggul daripada model pembelajaran konvensional pada penguasaan setiap indikator dari sikap ilmiah. Deskripsi dari KBK dan SI dapat dilihat pada tabel 01 dan 02. Tabel 01 Deskirpsi KBK
Kelancaran
CTLBPK RataKategori Rata 7,79 Baik
RataRata 7,48
Kelenturan
7,78
Baik
7,44
Orisinalitas
7,65
Baik
7,44
Baik
Elaborasi
6,65
Cukup
6,54
Cukup
Indikator
MPK Kategori Baik Baik
Tabel 01 Deskirpsi SI Indikator Jujur Teliti Tanggung jawab Disiplin Rasa ingin tahu
CTLBPK % Kategori 66,5 Cukup 70,2 Baik 74,2 Baik
% 65,0 70,8 71,2
MPK Kategori Cukup Baik Baik
59,1
Cukup
54,0
Kurang
66,5
Cukup
64,8
Cukup
Berdasarkan tabel 01 menunjukkan bahwa siswa belum terbiasa melatih kemampuan berpikir kreatif untuk aspek elaborasi. Untuk itu diperlukan adanya kesempatan bagi siswa untuk terus melatih aspek elaborasi dalam proses pembelajaran dengan pemberian permasalahan-permasalahan yang lebih menantang bagi siswa. Sehingga perlunya kemampuan siswa dalam mengelaborasi berbagai teori dan temuan dalam melaksanakan percobaan untuk memecahkan suatu permasalahan. Sedangkan untuk tabel 02 menunjukkan pada indikator disiplin tampak bahwa siswa yang belajar dengan MPK masih berkategori kurang. Hasil ini menunjukkan bahwa siswa perlu diberikan latihan yang lebih intensif, untuk meningkatkan disiplin siswa. Pada kelompok MPK, Siswa cenderung diberikan latihan-latihan soal yang kurang menantang bagi siswa untuk mengembangkan aspek-aspek SI terutama pada kedua aspek tersebut. Hasil Berdasarkan data yang sudah diperoleh, maka tahapan berikutnya adalah dengan menguji hipotesis dengan analisis MANOVA. Hasil analisis MANOVA dapat disajikan pada tabel 03 berikut. Tabel 03 Ringkasan Analisis Penelitian
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
Merujuk dari tabel 03 tersebut, dapat ditemukan hasil-hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK (F=24,75; p<0,05). Kedua, terdapat interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa (F= 18,95; p<0,05). Ketiga, terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi (F= 24,97); p<0,05). Keempat, terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiahantara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada siswa yang memiliki motivasi belajar rendah (F=6,28; p<0,05). Kelima, terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK (F=4,43; p<0,05). Keenam, terdapat perbedaan sikap ilmiah antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK (F=47,52; p<0,05). Atau secara ringkas dapat dilihat pada table 04 berikut. Tabel 04 Ringkasan Hasil Penelitian Hipotesis terdapat perbedaan KBK dan SI antara model CTLBPK dan MPK terdapat interaksi model pembelajaran dan MB terhadap KBK dan SI terdapat perbedaan keterampilan KBK dan SI antara CTLBPK dan MPK pada siswa MBT terdapat perbedaan KBK dan SI antara CTLBPK dan MPK pada siswa MBR terdapat perbedaan KBK antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK terdapat perbedaan SI antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK
Hasil analisis F = 24,75; p<0,05 (H0 ditolak) F = 18,95; p<0,05 (H0 ditolak) F = 24,97; p<0,05 (H0 ditolak) F =6,28; p<0,05 (H0 ditolak) F = 4,43; p<0,05 (H0 ditolak) F = 47,52; p<0,05 (H0 ditolak)
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kontekstual dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional (F= 24,75 p<0,05). Sikap ilmiah siswa pada kelompok model pembelajaran kontekstual lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok model pembelajaran konvensional. Dengan kata lain, model pembelajaran kontekstual lebih unggul dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional dalam pencapaian keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa. Akan tetapi, secara deskriptif level keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa ini belum mencapai standar keberhasilan yang memadai. Hasil yang diperoleh melalui CTLBPK dan MPK hanya berkategori kurang dan cukup pada model pembelajaran kontekstuak baik motivasi belajar tinggi maupun motivasi belajar rendah. Hasil penelitian ini tampak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Koray & Köksal, 2009 mengungkap bahwa metode mengajar yang dapat mengembangkan berpikir kreatif ini adalah kegiatan laboratorium ilmiah. Deskripsi dari konsep-konsep berpikir kreatif dan kritis dapat mudah terlihat dalam kegiatankegiatan penyelidikan di laboratorium. Hasil penelitiannya memperoleh kelompok yang menggunakan kemampuan berpikir kritis dan kreatif berbasis inkuiri laboratorium lebih berhasil dalam mengembangkan kemampuan berpikir logis dan berpikir kreatif dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan kemampuan berpikir kritis dan kreatif berbasis laboratorium tradisional. Berdasarkan kajian tersebut, tampak bahwa hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya dan teori-teori yang ada. Namun terdapat dua pertanyaan yang memerlukan pembahasan lebih lanjut terkait dengan pencapaian keterampilan berpikir krieatif dan sikap ilmiah siswa. Pertama, secara operasional
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
empiris mengapa dalam pencapaian keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah, CTLBPK lebih unggul daripada model pembelajaran konvensional. Kedua, mengapa secara statistik deskriptif CTLBPK dalam pencapaian keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah belum mampu mencapai kategori tinggi bahkan masih berada pada kategori kurang untuk keterampilan berpikir kreatif. Pembahasan atas pertanyaan pertama beranjak dari komparasi secara teoritik dan operasional empiris antara CTLBPK dengan model pembelajaran konvensional. Dasar filosofi model pembelajaran kontekstual adalah paham konstruktivistik yang memandang bahwa siswa aktif membangun pengetahuan dalam benaknya sendiri. Siswa tidak bisa dianggap sebagai kertas kosong yang siap diisi kapan saja. Berdasarkan hal tersebut bahwa pengetahuan fisik dan pengetahuan logika-matematika tidak dapat dipindahkan secara utuh dari benak guru ke siswa. Pada CTLBPK, CTL sendiri memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi, dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajara. Pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apapun, bidang studi apa saja, dan kelas bagaimanapun keadaannya. Implementasi pembelajaran kontekstual, menjadika guru dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan siswa sehari-hari. Setting pembelajaran dengan CTLBPK yang dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kecil selama proses pembelajaran memberi peluang bagi siswa untuk berhadapan dengan kompleksitas pendapat dari teman sekelompoknya. Keadaan ini akan membiasakan siswa
untuk cepat dan tepat dalam mengambil keputusan. Selain itu, pembelajaran fisika dengan CTLBPK selaras dengan pandangan kontruktivistik tentang hakikat belajar bahwa pebelajar harus membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini mengandung pengertian bahwa siswa sebagai pebelajar harus aktif sendiri mengkontruksi pengetahuan yang dipelajari sehingga konsep yang dipelajari akan semakin tertanam pada struktur kognitif siswa. Keadaan ini akan memunculkan sikap ilmiah yang mendalam pada struktur kognitif siswa. Siswa akan mampu mengaitkan antara satu konsep dengan konsep lain. Pembelajaran akan menjadi bermakna bagi diri siswa tersebut. Jadi, jelas bahwa CTLBPK menyediakan peluang bagi siswa untuk menguatkan sikap ilmiah yang dimiliki dan pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kreatif siswa. Di lain pihak, MPK justru mengarahkan siswa untuk menjadi pebelajar pasif yang didominasi oleh aktivitas meniru dan menerima saja konsep-konsep yang akan dipelajari. Selama proses pembelajaran, siswa tidak diberikan peluang untuk mengakomodasi konsep yang dipelajari sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna karena aktivitas mental pada struktur kognitif siswa kurang terbentu. MPK masih didasarkan pada paham bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Peran guru sebagai sumber belajar utama dan menguasi proses pembelajaran menjadikan proses pembelajaran lebih berpusat pada guru (teacher centered). Akibatnya pembelajaran menjadi kurang bermakna dan siswa menjadi pasif dalam pembelajaran. Hal ini berimplikasi pada pencapaian sikap ilmiah yang dimiliki siswa. Selain itu, siswa kurang diberikan peluang utnuk mengembangkan keterampilan berpikir yang dimiliki sehingga pencapaian keterampilan berpikir tingkat tinggi khususnya keterampilan berpikir kreatif siswa pun menjadi tidak terlatih dan kurang memadai. Berdasarkan deskripsi landasan teoritik tersebut, dapat diyakini bahwa
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
model pembelajaran kontekstual lebih unggul dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional dalam pencapaian keterampilan berpikir krieatif dan sikap ilmiah siswa. CTLBPK seyogyanya dapat diakomodasi oleh semua siswa, sehingga perolehan hasil belajar siswa mencapai kriteria keberhasilan yang maksi mal . Kenya taann ya, nilai rata-rata keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa pada kelompok CTLBPK belum mampu mencapai kategori tinggi. Terungkapnya fakta seperti ini diduga kuat disebabkan oleh tiga faktor yang berpengaruh terhadap proses dan hasil yang diperoleh. Pertama, bertitik tolak dari landasan konseptual pembelajaran konstruktivisme bahwa siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan dengan alokasi waktu yang si fatnya pribadi dan bergantung pada struktur kognitif siswa itu sendiri. Artinya, siswa berkemampuan rendah akan memerlukan waktu relatif lebih lama dalam menyelesaikan tugas-tugas yang sama dalam pembelajaran IPA (khususnya fisika) jika dibandingkan dengan siswa berkemampuan tinggi. Pernyataan ini didukung oleh makna dari salah satu prinsip pembelajaran sains kontekstual menurut National Academy of Sciences (Nur, 2001), semua siswa dapat mencapai keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah apabila mereka diberikan kesempatan, tetapi akan dicapai dengan cara dan pada kedalaman yang berbeda, serta kecepatan yang berbeda pula. Kedua, para siswa belum terbiasa dengan aktivitas belajar sesuai dengan tuntutan skenario pembelajaran. Interaksi antar siswa berada pada level rendah, sebagai akibat kurangnya latihan-latihan khusus untuk itu. Interaksi yang terjadi justru mengakibatkan terjadinya rasa malu pada diri siswa atau takut melakukan aktivitas. Siswa perlu waktu untuk menyelesaikan aktivitas belajar dengan tuntunan skenario CTL. Ketiga, bersumber dari pengukuran tes berpikir kreatif dengan desain esai. Siswa tampak belum terbiasa dengan soal-soal esai yang menuntut kemampuan berpikir lebih tinggi dan tidak hanya sekedar memilih pilihan jawaban
yang telah disediakan pada soal. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa CTLBPK memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan MPK dalam hal meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa. Berdasarkan hal tersebut, implikasi yang dapat diberikan adalah keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa dapat ditingkatkan dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual. Adapun implikasi dari penelitian ini adalah Pertama, untuk dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa, maka guru hendaknya mengubah paradigma pembelajaran dari teacher centered menuju student centered melalui penerapan CTL. Peran guru sebagai pengarah hendaknya tidak terlalu menceramahi siswa, tetapi mengarahkan suatu diskusi saat memecahkan permasalahan agar tidak menyimpang dari tujuan pembelajaran. Sebagai fasilitator, guru memfasilitasi kebutuhan siswa akan sumber belajar dan memfasilitasi siswa dalam kegiatan belajar. Pergeseran paradigma ini akan memberi kesempatan bagi siswa untuk lebih aktif mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa siswa yang secara aktif membangun pengetahuannya melalui proses pemecahan masalah akan memiliki keterampilan berpikir lebih baik daripada siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Kedua, pada pencapaian keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah, CTLBPK dapat diterapkan sebagai alternatif strategi pembelajaran pada semua jenis motivasi belajar. Pada pencapaian keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah, masing-masing motivasi belajar memiliki kekuatan sendiri-sendiri dan memiliki peran yang sama penting. Guru fisika SMA perlu menggunakan strategi yang bervariasi untuk memfasilitasi jenis motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa. Ketiga, terkait dengan motivasi belajar, temuan ini mengindikasikan perlunya pemilahan siswa yang akan mengikuti pembelajaran berdasarkan
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
motivasi belajar fisika yang dimiliki, khususnya klasifikasi motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah. Pemilahan motivasi belajar tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk memilih model pembelajaran yang tepat untuk masing-masing kelompok sehingga diperoleh hasil belajar siswa khususnya keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah yang lebih optimal. Hal ini nampaknya cukup sulit dilakukan oleh pihak sekolah, tetapi, guru dapat menempatkan siswa dalam satu kelompok berdasarkan motivasi belajarnya. Dengan demikian, setiap kelompok diberikan perlakuan yang berbeda, yaitu kelompok siswa yang sebagian besar memiliki motivasi belajar tinggi diberikan lebih banyak masalah yang menantang dengan sedikit bimbingan, sedangkan kelompok siswa yang memiliki motivasi belajar rendah diberikan bimbingan yang penuh sehingga hasil belajar siswa tercapai secara optimal. Siswa yang memiliki motivasi belajar rendah dapat diberikan pembelajaran kontekstual tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama daripada siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi untuk bisa mencapai hasil belajar khususnya keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah yang relatif sama dan maksimal. Keempat, berkaitan dengan pembelajaran yang melatih keterampilan berpikir kreatif, implementasi CTLBPK memperhatikan tiga hal pokok yaitu masalah, aktivitas atau kegiatan pembelajaran, dan pelaksanaan evaluasi. Masalah yang digunakan harus aktual, illdefined, dan ill-structured. Aktivitas atau kegiatan pembelajaran dalam pembelajaran dimulai dari pemberian masalah, organisasi siswa untuk belajar, penyelidikan siswa, analisis hasil penyelidikan, dan evaluasi proses pemecahan masalah. Pelaksanaan penilaian untuk pembelajaran keterampilan berpikir kreatif lebih mementingkan penilaian yang autentik dan dilakukan secara berkesinambungan. Pembelajaran untuk keterampilan berpiki kreatif ternyata dapat dilaksanakan bagi anak-anak sekolah menengah atas (SMA). Hal ini berarti bahwa pemberdayaan keterampilan berpikir
kreatif seyogyanya sudah dilatihkan pada anak-anak SMA secara lebih intensif. Kelima, berkaitan dengan pembelajaran dalam meningkatkan sikap ilmiah, guru hendaknya memberikan kesempatan siswa untuk melaksanakan proses pembelajaran yang berbasis penyelidikan ilmiah. Siswa diberikan kebebasan dalam mendesain sampai menyimpulkan hasil penyelidikan yang dilakukan. Sehingga pengembangan indikator keterampilan berpikir proses sains siswa dapat berkembang secara optimal. Menguatkan lebih lanjut hasil penelitian yang mengukur KBK dan SI ini sejalan dan konsisiten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Duryasa (2008) yang mengungkapkan bahwa proses pemberdayaan kompetensi berpikir kreatif, dan produktif siswa dapat menggunakan pengalaman siswa sebagai starter dalam pembelajaran sehingga dalam proses pembelajaran, siswa akan menjadi lebih mudah menguasai materi dan mampu memberdayakan kemampuan berpikirnya.. Selain itu, pembelajaran yang bersifat kontekstual akan mampu meningkatkan pemahaman tingkat tinggi siswa (high order thinking). PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat ditarik enam buah simpulan yang merupakan jawaban terhadap enam masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut. (1) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK (F=24,75; p<0,05). (2) Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiahsiswa (F=18,95; p<0,05). (3) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi (F=24,97); p<0,05). (4) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiahantara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada siswa
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
yang memiliki motivasi belajar rendah (F =6,28; p<0,05). (5) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK) pada F=4,42; p<0,05. (6) Terdapat perbedaan sikap ilmiah antara kelompok siswa yang belajar dengan CTLBPK dan MPK pada F= 47,52; p<0,05. Saran-Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran demi peningkatan kualitas pembelajaran fisika, yaitu sebagai berikut. Pertama, Guru dapat menerapkan CTLBPK sebagai alternatif model pembelajaran berbasis kontruktivistik selama proses pembelajaran di kelas. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa terutama keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah fisika siswa. Kiat-kiat yang dilakukan agar pembelajaran CTLBPK berjalan dengan lancar adalah dengan cara lebih menekankan karakter siswa, dan dengan membeberikan permasalahan yang kontekstual kepada siswa, agar nantinya keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa menjadi lebih optimal. Kedua, Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara model pembelajaran dan motivasi belajar siswa dalam pencapaian keterampilan berpikir kreatif dan sikap ilmiah siswa. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan pengelolan kelas secara heterogen dari segi motivasi siswa. Hal ini mengindikasikan bahwa model CTLBPK dalam pembelajaran agar digunakan sebagai stimulus untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang mendukung penelitian ini baik berupa materi ataupun spiritual. Terutama kepada Prof. Dr I Wayan Sadia, M.Pd., dan Dr. Ni Made Pujani, M.Si., selaku dosen pembimbing dalam penyusunan tesis penelitian ini. Selain itu, juga untuk Dr. I Nyiman Tika, M.Si., dan Dr. A.A. Istri Agung Rai Sudiatmika, M.Pd., selaku reviewer.
DAFTAR PUSTAKA Creswell, J. 2010 “Mapping the developing landscape of mixed methods research”, in in Sage Handbook of Mixed Methods in Social & Behavioral Research, Tashakkori, A. and Teddlie, C. (Eds) 2010, Sage, California, pp 45-68. Depdiknas. 2003. Standar kompetensi mata pelajaran fisika SMA & MA. Tersedia pada http://www.smantas. net/Fisika.pdf. Djamarah, S. B. 2002. Psikologi belajar: Cetakan Pertama. Jakarta: Asdi Mahasatya. Duryasa, I K. 2008. Pengaruh strategi pembelajaran kooperatif tipe group investigation terhadap prestasi belajar bahasa inggris ditinjau dari kreativitas berpikir (studi eksperimen mikro manajemen pada siswa sma negeri 1 denpasar). Tesis (tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha. Glynn, S. M., & Koballa, T. R. Jr. 2006. Motivation to Learn College Science. di Joel, J. M., & William, H. L. (Eds.) Handbook of College Science Teaching. Arlington, VA: National Science Teachers Association Press. Harlen, W. 1992. The teaching of science. Great Britain: BPCC Wheaton Ltd. Exeter.dv. Kerlinger, F. N. 2000. Asas-asas penelitian behavior. Terjemahan oleh Simatupang, L. R. & Koesomanto, H. J. Fondation of behavior research. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Komalasari,K. 2012. The Living ValuesBased Contextual Learning to Develop the Students' Character. Journal of Social Sciences 8 (2): 246-251. Komalasari,K. 2012. The effect of contextual learning in civic education on students' character development. Asia Pacific Journal of
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan IPA (Volume 3 Tahun 2013)
Educators and Education, Vol. 27, 87–103. Kompas. 2013. Pembangunan karakter. Tersedia pada http://edukasi. kompas.com/read/2012/08/17/0841 0914/Mendesak.Pembangunan.Kar akter.Bangsa.lewat.Pendidikan. Koray, Ö., & Köksal, M. S. 2009. The effect of creative and critical thinking based laboratory applications on creative and logical thinking abilities of prospective teachers. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching Journal, 10(2), 1-13. Mulyasa, H.E. 2011. Manajemen pendidikan karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Munandar, U. 1992. Mengembangkan Bakat dan kreativitas anak sekolah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Munandar, S. C. U. 1999. Kreativitas dan keberbakatan: Strategi mewujudkan potensi kreatif dan bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Munandar, U. 2004. Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta. Pala, A. 2012. The need for character education. International journal of social sciences and humanity studies, 3(2).) Santrock, J. W. 2008. Psikologi pendidikan: Edisi kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tuckmann, B. W. 1999. Conducting educational research: Fifth edition. New York: Harcourt Brace College Publisher. Warpala, I W. S. 2006. Pengaruh pendekatan pembelajaran dan startegi belajar kooperatif yang berbeda terhadap pemahaman dan keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA SD. Disertasi (tidak diterbitkan). Universitas Negeri Malang Program Pasca Sarjana Studi Teknologi Pembelajaran.
Zuchdi, D., Prasetya, Z.K., & Masruri, M.S 2010. Pengembangan model pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran bidang studi di sekolah dasar. Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta. Tersedia pada http://www.uny.ac.id/3004/1/01Zuch di_EDIT.pdf.