MENENGOK SENI TEATER/DRAMA UMAT ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Aning Ayu Kusumawati Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Abstract Theatre has become a part of the Islamic world recently. Moslems become more familiar with Islamic theatre and film. Indonesian independence, as well as the western theatre, triggers the blooming of theatre. To see its development in this country, where Moslems is the majority, it is necessary to observe how the local group of theatre or drama making its changes in their appreciation, conception, interpretation, expression, and creation. The main paradigm of the art of Islamic theatre, as the part of Islamic culture, can be understood through a textual and contextual approach. Kata kunci: teater Islam; drama Islam; seni.
A. PENDAHULUAN Teater adalah seni yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan tradisi Islam, bahkan teater dipercaya lahir dari tradisi Yunani 2500 tahun lalu yang juga berhubungan dengan tradisi paganisme dan hellenisme. Sementara seni Islam, umumnya dikenali hanya dalam bentuk sastra atau kaligrafi. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, sesuai dengan perkembangan agama Islam di seluruh penjuru dunia, umat Islam mampu melangkah ke area lain, yaitu melalui film dan teater Islam. Ini bukan hal yang aneh, sebab meski akarnya bukan dari kebudayaan Islam, teater sebenarnya bukanlah suatu yang asing lagi.
Aning Ayu Kusumawati
Di dalam tradisi Syiah, misalnya, kita kenal prosesi yang disebut Ta’ziya, yaitu persembahan teaterikal untuk mengingat wafatnya Hussein bin Ali r.a. pada Perang Karbala tahun 680 M. Pada prosesi itu, para pengikut Syiah mencoba menggambarkan kesedihan selama 10 hari, bermula pada tanggal 1 Muharam yang dikemas berupa tarian atau pergerakan oleh sekumpulan lelaki yang melukai tubuh dengan senjata tajam dan memukul-mukul tubuh dengan rantai serta besi sambil meratapi wafatnya Hussein r.a. (hendraveejay.multiply.com.). Drama yang kemudian dikenal teater, yang kita salin dalam bahasa Indonesia sebagai sandiwara adalah salah satu genre seni yang memiliki keunikan dibanding seni lainnya. Dalam arti seni yang mengkolaborasikan berbagai cabang seni, karena dalam drama terdapat unsur-unsur seni tari, seni sastra, seni musik dan seni rupa. Unsur-unsur tersebut terangkum menjadi satu di dalam memberi ciri drama. Dari situlah, maka drama disebut synthetic arts ‘perpaduan dari berbagai cabang seni’ (Hamzah, 1985: 3). Paradigma pokok seni teater/drama Islam sebagai bagian dari ekspresi kebudayaan Islam, dapat dipahami eksistensi dan perubahannya melalui pendekatan tekstual dan kontekstual. Pendekatan tekstual mengisyaratkan adanya kehendak untuk mengenali asal-usul dan gagasan utama seni teater/drama Islam termaksud, sekaligus untuk memahami dan menafsirkan ekspresi estetik maupun simbolik yang ditampakkan. Adapun pendekatan kontekstual, dapat dihubungkan dengan fungsi dan peranan kesenian termaksud, serta timbal balik pengaruhnya dengan realitas sosial yang dihadapi. Teks-teks seni teater/drama Islam memiliki proses penciptaan dan pertumbuhan yang berbeda seiring dengan ideologi dasar Islam, seperti halnya seni Islam yang lainnya, memiliki tema-tema yang dapat dilihat melalui beberapa kecenderungan simbolik yang berhubungan dengan ajaran, nilai dan norma sosial keagamaan. Unsur-unsur simbolik tersebut dapat diidentifikasi sebagai penjelasan terhadap aspek teologis 374
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
Menengok Seni Teater/Drama Umat Islam di Indonesia
dan yuridis (ibadah dan muamalah), hubungan syari’ah dan sufisme, kisah-kisah di sekitar sejarah kelahiran dan kebesaran Muhammad Saw. (sirah nabawiyah) serta para sahabatnya, serta kisah-kisah perjuangan para nabi dan orang suci (tarikh, sirah). Namun demikian, khususnya dalam seni pertunjukan termasuk seni teater/drama, teks-teks tersebut kemudian dikembangkan dan dikaitkan dengan realitas sosial dan kultural yang menjadi anutan dalam kehidupan sehari-hari, seperti amsal-amsal tentang kehidupan, kematian, surga dan neraka, tentang pentingnya shalat lima waktu, pahala dan siksa dan ajakan-ajakan untuk berbuat kebajikan bagi sesama (akhlak), serta upaya-upaya untuk mensucikan jiwa (tasawuf) (Aziz et al., 2001: 31). Untuk melihat secara seksama terhadap perkembangan seni teater/drama Islam, perlu kiranya diketahui terlebih dahulu seberapa jauh kelompok-kelompok atau aktivis-aktivis seni teater/drama yang berada di dalamnya mengalami perubahan dan peningkatan yang berhubungan dengan apresiasi, konsepsi, interpretasi, maupun ekspresi dan kreasi. Bagaimana pula insaninsan teater tersebut bisa mereinterpretasi doktrin-doktrin Islam yang selama ini dipahami sebagai “larangan” dan belenggu untuk berimajinasi dalam arti berkesenian? Dari sinilah kita lihat perkembangan kehidupan seni teater/drama Islam yang berkembang di tanah air. B. PENGERTIAN TEATER 1. Awal Munculnya Istilah Teater dan Drama Teater adalah seni drama yang merupakan penampilan perilaku manusia dengan gerak, tari dan juga nyanyi, yang pada bagian tertentu diiringi musik. Di dalamnya terdapat dialog dan acting pemain. Istilah teater dari kata theatron, artinya tempat di ketinggian sebagai tempat meletakkan sesajian persembahan bagi para dewa. Pada zaman Yunani kuno, tempat persembahan semacam itu dikelilingi lapangan untuk tempat berkumpulnya pengikut upacara (Beawiharta, 1989: 143). Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
375
Aning Ayu Kusumawati
Dalam perkembangannya, fungsi teater mengalami beberapa perubahan. Pada zaman kekuasaan Romawi, fungsi lapangan tempat persembahan berubah menjadi arena pertunjukan, tempat gladiator mengadu kekuatan. Ada kalanya para gladiator diadu dengan binatang buas. Pertunjukan itu diadakan untuk menghibur raja yang berkuasa. Kemudian, istilah theatron berubah menjadi theatre (Inggris) atau theater (Belanda), yang artinya gedung, panggung atau pentas tempat pertunjukan seni drama berlangsung (Beawiharta, 1989: 144). Kata theater sebagai bangunan pertunjukan adalah suatu bangunan yang terdiri dari tempat pentas atau panggung, tempat penonton, ruang kantor dan ruang rias para pemain untuk mempersiapkan peran-peran mereka. Terkadang, yang dimaksud dengan kata theater adalah panggung (tempat pementasan) dan tempat penonton saja, seperti teater terbuka atau teater arena. Namun, ada kalanya yang dimaksud theater adalah tempat pentas (panggung) saja, atau grup sandiwara saja (Wahbah dan Muhandis, 1984: 356). Sementara itu, Istilah drama mengandung beberapa arti, yakni sebagai (1) istilah yang secara langsung digunakan untuk menunjukkan semua karangan yang ditujukan bagi kepentingan pementasan sandiwara; (2) istilah yang digunakan untuk setiap keadaan yang mengandung pertentangan. Untuk kepentingan teater, pertentangan itu perlu memiliki penyelesaian, maka disarankan adanya paling sedikit dua pemain, yaitu protagonis dan antagonis; (3) istilah yang secara sempit menunjuk kepada cerita sandiwara dengan bobot emosi yang besar (Saini, 1989: 406). Kata “drama” berasal dari kata Yunani “dramoi” yang berarti ‘berbuat’. Sikap-sikap yang berlawanan (ungkapan nilai moral, watak, kepentingan dan sebagainya) menyebabkan ketegangan. Jalurnya tunggal (kesatuan perbuatan, tempat dan waktu) dan bersifat kausal. Dialog-dialog bersifat pendek. Drama meliputi beberapa jenis cabang, seperti tragedi, komedi, dan banyolan (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 34--35). 376
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
Menengok Seni Teater/Drama Umat Islam di Indonesia
Tragedi merupakan sejenis drama pada masa Yunani kuno, bermula dari drama puisi yang kaidah-kaidahnya dirumuskan oleh Aristoteles dalam bukunya tentang Seni Berpuisi (Poetika). Sumber ceritanya diambil dari peristiwa-peristiwa sejarah atau legenda-legenda dan tokoh-tokohnya dari kalangan kelas atas (Wahbah dan Muhandis, 1984: 325). Dengan kata lain, tragedi merupakan jenis drama yang menampilkan peristiwa-peristiwa yang mengharukan, berdasarkan konflik psikis, moral atau pun sosial, dengan tujuan agar para penonton mawas diri dan merasakan kelegaan batin (katarsis) (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 145). Pentas (drama) tragedi ini berasal dari pesta-pesta untuk menghormati Dewa Dionisos dengan tarian dan nyanyian. Kemudian, berkembang menjadi dua koor yang sahut-menyahut, lalu jawaban diberikan oleh seorang tokoh yang lepas dari koor yang memeragakan berbagai peran. Pada abad ke-5 SM, masa jayanya tragedi Yunani, Achilos, Sofokles, dan Euripides, menambah jumlah pelaku di atas panggung. Pada masa Renaissance, tragedi klasik mengalami kembali masa kejayaan, sekalipun skema dengan lebih bebas diterapkan, serta konflikkonflik psikologis dan moral lebih ditonjolkan. Pada zaman Pencerahan dan Romantik, temanya tidak anggun lagi, tetapi terjadi dalam lingkungan kaum borjuis, kelas menengah yang mapan. Pada akhir abad ke-19, Fatum (Kismet) diganti oleh faktor bawaan, kegilaan, kelainan psikis dan sebagainya, sehingga tokoh utama dengan niscaya mendekati kehancurannya (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 145). Adapun komedi adalah bentuk drama yang bermaksud untuk menghibur para penonton. Lawan dari tragedi. Visi terhadap orang perorangan, hidup sehari-hari ditampilkan penuh humor. Tak ada permasalahan metafisik, alurnya ringan dan cepat diselesaikan dengan happy ending. Dibedakan antara komedi klasik (Aristophanes, Plautus, Moliere) dan komedi ala Shakespeare. Dalam kelompok pertama, kekurangan hendak diperbaiki, maka digunakan satire dan ejekan. Dalam kelompok
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
377
Aning Ayu Kusumawati
kedua, pandangan terhadap kekurangan bersifat toleran. Lain dari tragedi, maka komedi tidak begitu terikat akan hukumhukum tertentu (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 145). Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa baik di dunia Barat maupun di dunia Timur, drama (sandiwara, teater) sudah ada sejak masa lampau dengan sebutan sesuai budaya dan tradisi masing-masing. Di dunia Barat, drama (sandiwara, teater) muncul dan berkembang sejak masa Yunani kuno dan terus dipelihara dan dikembangkan dari masa ke masa sampai sekarang. Pada mulanya, drama ditampilkan dalam bentuk nyanyian, dan tarian yang berhubungan dengan dewa-dewa dan upacara-upacara keagamaan, dan istana sentris. Dalam perkembangan selanjutnya, drama berkembang di tengah-tengah masyarakat secara umum. 2. Berbagai Wacana tentang Pengertian Teater Teater atau drama yang awal kemunculannya telah diurai di atas, tidak berhenti hanya sebatas pengertian pentas lakon, sebagai kabar yang dirahasiakan (makna dari sandiwara). Membuat teater adalah membuat teka-teki, dan menjebak penonton mengikuti tontonan seperti mengikuti sebuah cerita detektif (Rendra et al., 1999: 130). Menurut Putu Wijaya, yang memahami teater tidak sekadar seni pertunjukan atau seni lakon, memposisikan seni teater/drama lebih dari itu, yaitu teater bukan produk sekuler tetapi produk sakral, sesuatu yang sifatnya spiritual, di dalamnya ada nafas religius. Peristiwa teater bukan hanya sekadar tontonan, tetapi peristiwa spiritual dalam rangka keseimbangan rohani. Teater juga adalah terapi sosial terhadap masyarakat yang sedang tidak harmonis. Ia mengisi kekosongan, menambal kehilangan, dan mematri yang keropos. Teater adalah peralatan batin yang mengobati situasi sakit secara transendental (Rendra et al., 1999: 133). Pendapat Putu Wijaya sejalan dengan pendapat Antonin Artaud yang mengarahkan teater kepada revolusi batin manusia 378
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
Menengok Seni Teater/Drama Umat Islam di Indonesia
individu. Revolusi yang dicoba disulut Artaud lebih bersifat psikologis, dengan membebaskan manusia dari alam pikir gelap yang senantiasa menghantui jiwanya. Artaud telah mengembangkan jauh konsep-konsep metafisik dan surrrealis (Sumanto, 1997: 17) Beda Artaud, beda juga Bertolt Brecht yang juga dipandang sebagai tokoh revolusioner dalam jagat teater. Brecht mencoba menggunakan teater sebagai instrumen untuk merangsang revolusi sosial. Antara Artaud dan Brecht memiliki sasaran yang kurang lebih sama: yakni melepaskan teater dari ungkapan ilusif (seperti yang disajikan oleh teater realisme) dan ungkapan naif, untuk menuju pencapaian manusia yang paling murni (Sumanto, 1997: 7) Arti teater pun bermacam-macam menurut setiap penonton, sesuai dengan watak dan perilaku penonton. Dia bisa dianggap hanya hiburan atau pelipur lara. Akan tetapi, dia bukan itu, teater juga bisa dianggap sebagai senjata rahasia untuk merongrong, membongkar, menghancurkan, meneror, membuat manusia menjadi garang dan beringas. Akan tetapi, juga bukan hanya itu. Teater bukan hanya seni, tetapi juga politik, ekonomi, moralitas, ritual, ideologi, dan agama. Akan tetapi, tetap saja bukan hanya itu. Arti itu bukan untuk dibandingkan karena dia akan membunuh teater itu sendiri. Arti itu untuk menunjukkan bahwa teater adalah alat, bukan tujuan. Alat yang lentur, alat permainan seluruh anggota masyarakat dalam merenda kehidupannya menjadi sebuah permadani yang kita sebut sebagai pengalaman (Rendra et al., 1999: 135). C. TEATER DI DUNIA ISLAM Di Indonesia, yang penduduknya mayoritas muslim, teater baru berkembang setelah Indonesia merdeka. Dalam perkembangannya, teater di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan teater yang ada di Barat. Sesuai dengan perkembangan teater di Indonesia dari zaman ke zaman dan
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
379
Aning Ayu Kusumawati
akibat pengaruh teater Barat pada teater tradisional, teater di Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni teater tradisional, teater masa peralihan dan teater modern (Beawiharta, 1989: 144). Teater tradisional adalah teater yang lahir dan berkembang di daerah tertentu dan perkembangannya sesuai dengan kebudayaan daerah tersebut. Ada bermacam-macam bentuk teater tradisional di tanah air dan cukup banyak yang perlu diselidiki serta diperkenalkan, sebab banyak teater yang dilupakan orang karena tidak terjaga kelestariannya. Beberapa yang masih ada antara lain Didong, teater tutur suku bangsa Gayo; Randai, teater tradisional Minangkabau; Pantun Sunda, teater tutur suku bangsa Sunda; Lenong, teater tutur Betawi; Blantek yang khas Betawi; Ketoprak, Wayang Orang dan Ludruk, teater tutur suku bangsa Jawa (Beawiharta, 1989: 144). Pada masa transisi, teater berkembang ketika kebudayaan Barat mulai berpengaruh dalam seni drama di Indonesia. Pada masa menjelang kemerdekaan, muncullah teater-teater masa peralihan, termasuk Stambul dan Dardanela. Teater modern, teater yang pementasannya sudah berangkat dari naskah, mulai ada sejak tahun 1960-an. Teater modern lazim juga disebut dengan seni drama. Kaitan antara bentuk-bentuk teater dalam perkembangannya masih tetap terasa, meskipun kaitan itu telah mengalami perubahan sesuai dengan kreasi orang-orang teater dalam memodernisasikannya. Beberapa teater modern yang populer di Indonesia pada masa kini adalah: Bengkel Teater asuhan W.S. Rendra, Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noor, Teater Gandrik pimpinan Jujuk Prabowo dan Heru Kesamurti, Teater Koma pimpinan N. Riantiarno, Studi Teater Bandung pimpinan Suyatna Anirun, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, Teater Alam pimpinan Azwar A.N. dan Teater Muslim pimpinan Pedro Sujono (Beawiharta, 1989: 144). Sejak sekitar tahun 60-an, di kalangan seniman muslim muncul gagasan-gagasan tentang teater Islam, seiring dengan
380
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
Menengok Seni Teater/Drama Umat Islam di Indonesia
munculnya perbincangan-perbincangan tentang sastra Islam. Seminar-seminar tentang sastra Islam yang di dalamnya dibahas juga tentang teater Islam beberapa kali diadakan dan buku-buku yang membahas sastra dan teater Islam pun ditulis para pakar muslim. Teater (drama, sandiwara) dalam pengertian sebagaimana dikemukakan di atas, dalam dunia Arab, sebagai tempat awal kelahiran Islam, baru dikenal sejak terjadi persentuhan Timur dan Barat yang menghantarkan dunia Arab dan dunia Islam memasuki awal masa modern pada awal abad ke-19. Memasuki masa kebangkitan di awal masa modern, dunia sastra dan seni budaya Arab mengalami perubahan, termasuk dalam bidang teater. Yang pertama kali menekuni bidang teater adalah para seniman Libanon, karena mereka mendapat kesempatan lebih dahulu bergaul dengan orang-orang Eropa. Setelah itu barulah Mesir mengikuti apa yang dilakukan oleh Libanon. Demikianlah drama masih begitu asing dalam khazanah sastra Arab sampai pertengahan abad ke-19. Mereka mengenal drama melalui tontonan dan pengalihbahasaan oleh kelompok para sastrawan yang belajar di Eropa, terutama mereka yang pernah belajar di Prancis. Seminar-seminar berkenaan dengan sastra Islam, yang di dalamnya dibahas pula tentang teater Islam, telah diadakan di India, Madinah, Riyad}, dan Mesir (al-Kailani, 1990: 61). Para pakar yang menulis buku berkenaan dengan seni dan sastra Islam, di antaranya, Syekh Abū al-H{asan al-Nadawi, sebagai pencetus awal ketika beliau terpilih menjadi anggota al-Majma’ al‘Ilmi al-‘Arabi (Lembaga Ilmiah Arab) di Damaskus. Tulisantulisan beliau merupakan penghantar kepada perumusan sastra Islam. Kemudian, disusul oleh tulisan-tulisan Sayyid Qut}b yang menyerukan sastra Islam yang spesifik. Lalu, menyusul Muh}ammad Qut}b dengan bukunya al-Fann al-Islami, Dr. Najib elKilani dengan buku-bukunya: al-Islamiyah wa al-Maz\āhib alAdabiyyah, Madkhal ilā al-Adab al-Islāmi dan Nah}wa Masrah Islami. Selain itu. Dr. Imaduddīn Khalil, salah seorang pionir gerakan
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
381
Aning Ayu Kusumawati
Sastra Islam, dengan bukunya an-Naqd al-Islāmi al-Ma’ās}ir (alKailāni, 1992: 13). Dalam sejarah kebudayaan Islam, kita bisa meneliti perkembangan teater, dimulai ketika teater diperkenalkan di dunia Arab setelah penyerbuan dan penaklukan Mesir oleh Napoleon pada tahun 1798. Teater kemudian mulai dipersembahkan dengan cerita masyarakat Arab-Islam, biasanya berisi kisah-kisah keagungan dinasti Islam. Pada tahun 1849, Maran al-Naqqas} mengangkat epik Seribu Satu Malam ke pentas teater. Kumpulan teater al-Naqqas} ini mengangkat kisah Khalifah Harun al-Rasyīd bersama wazirnya, Ja’far, menjadi sebuah pementasan klasik yang amat bagus (hendraveejay. multiply.com.). Melacak teater dalam kalangan umat Islam Indonesia, bisa dicatat munculnya himpunan-himpunan seni budaya dalam kalangan umat Islam Indonesia pascapemilu 1955, yang membangun struktur budaya sebagai wacana tandingan untuk membendung pengaruh LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) yang didirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1950. Pada tahun 1956, berdirilah Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) yang kemudian pada tahun 1961 membentuk Majelis Seniman Budayawan Islam (MASBI) yang banyak memunculkan pertunjukan-pertunjukan teaternya, baik melalui panggung, radio maupun televisi. Menurut Hamdy Salad (2000: 98), sampai tahun 1986, HSBI telah memproduksi 510 drama radio, 306 drama panggung, dan 180 drama televisi. Organisasi-organisasi Islam pun tidak ketinggalan membentuk lembaga-lembaga kesenian, seperti LESBUMI (Nahdlatul Ulama), ISBM (Muhammadiyah), LESKI (Perti) dan LESBRA (al-Washliyah). Sebelum merambah ke teater modern, kita bisa lihat betapa Indonesia kaya akan seni pertunjukan yang muncul dari lingkungan pesantren atau masyarakat santri di luar pesantren. Dari sebuah teks seni yang disebut shalawat atau al-Barzanji (pujian kepada Nabi Muhammad Saw.) saja, telah memunculkan bentuk-bentuk seni pertunjukan yang berbeda-beda dalam setiap 382
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
Menengok Seni Teater/Drama Umat Islam di Indonesia
wilayah. Perubahan teks-teks tersebut antara lain dapat dikenali melalui bentuk-bentuk kesenian rakyat yang disebut: “Slawatan Mulud”, “Slawatan Laras Madya”, “Mocopat”, “Slawatan Montro” (wilayah Kota Jogja dan Bantul); “Slawatan Jawi” (Gunung Kidul); “ “Slawatan Mondreng”, “Kojanan”, ‘Rodad”, “Emprak”, “Kuntulan”, Trenggonan, “Peksimoi”, “Ndolalak”, “Badui” , Kubrosiswa” (Sleman); dan “Angguk” (Kulon Progo) serta “Kasidahan” atau “Samroh” yang muncul hampir dalam semua wilayah. (Aziz, 2001: 30) Pada awal dekade 60-an, muncul gerakan pembaruan dalam dunia teater Islam dengan lahirnya Teater Muslim di Yogyakarta yang kelahirannya dibidani oleh Muhammad Diponegoro pada tahun 1963 dengan drama terkenalnya berjudul “Iblis”. Menyusul kemudian pada dekade-dekade selanjutnya, kelompok-kelompok teater independen, baik di lingkungan pesantren, perguruan tinggi maupun lembaga keagamaan yang dimotori oleh generasi muda Islam (Aziz, 2001: 101). Di Yogyakarta, bermunculan teater yang mengusung ideologi Islam yang lahir dari lingkungan kampus, yaitu sanggar Salahuddin (UGM), Teater ESKA (UIN Sunan Kalijaga), Sanggar Cordoba (UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Dakwah), dan kelompok teater yang tergolong bontot, Sanggar NUUN (UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Adab). Ada satu grup teater yang munculnya dari kalangan pesantren yaitu Sanggar Sunan. Kelompok-kelompok tersebut telah menghasilkan banyak karya pertunjukan, misalnya “Lautan Jilbab” dan “Keluarga Sakinah” karya Emha Ainun Najib, “al-Hallaj” karya Soleh Abdus Sobur, yang dipentaskan oleh Sanggar Salahuddin, “Burdah” dipentaskan oleh Teater Burdah, “Abu Dzar al-Ghifari” yang dipentaskan oleh Sanggar Nuun, juga “Masjid Agung Hati Nurani” karya Mathori A. Elwa yang dipentaskan oleh Sanggar Salahuddin dan Sanggar Nuun. Sementara itu, Teater Eska yang konsisten mengusung ideologi Islamnya telah melakukan produksi 24 pertunjukan
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
383
Aning Ayu Kusumawati
teater, diantaranya 4 pertunjukan dalam rangka FKY (Festival Kesenian Yogyakarta), yaitu “Wahsyi” pada tahun 1990, “Saru Siku” tahun 1995, “Berdiri di Tengah Hujan” tahun 1998, “Kaki Langit” tahun 1999, serta 2 pertunjukan sastra “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” dan “Komposisi Busang” pada FKY 1987, juga kurang lebih 20 pertunjukan pendek dalam rangka studi pentas ataupun memenuhi undangan partisipatif, 8 pertunjukan “Tadarus Puisi” (taterikalisasi puisi pada bulan Ramadhan), dan 7 pementasan musik kreatif (musik bertajuk). (C. Noer, 2000: 48) Dari hampir seluruh pertunjukan yang dipentaskan oleh kelompok-kelompok teater di kalangan orang Islam, tema-tema yang mereka usung adalah selain mengangkat kesejarahan tokohtokoh Islam, tema yang bernuansa dakwah, juga masalah yang menyangkut perkembangan sosial, ekonomi dan politik saat itu. Tema-tema yang berkembang di teater di kalangan muslim tidak bisa lepas dengan perkembangan sejarah tema sastra drama di Indonesia. Misalnya, kita contohkan tema politik dalam pementasan Syekh Siti Jenar oleh Vredi Kastam Marta. Dalam drama ini, dihubungkan kekuasaan politik dengan kebenaran agama. Kepentingan politik adalah keseragaman, sedangkan kepentingan kebenaran adalah keberagamaan. Tugas Wali, Siti Jenar, adalah menyebarkan kebenaran dan keadilan universal, sedang tugas negara membuat peraturan-peraturan berdasarkan kenyataan-kenyataan temporer dan lokal. Karenanya, kedua tugas tersebut sering bertentangan. Kekuasaan politik yang dipegang oleh Sultan Kudus terpaksa menindas kebenaran Siti Jenar karena terjadinya pertentangan dasar tadi. Menurut pengarang, tugas wali adalah mengajarkan ajaran kebenaran yang berarti kasunyatan, sedangkan tugas raja adalah kebenaran, kasunyatan tetap akan hidup meskipun penyebarnya, yakni Syekh Siti Jenar, telah dihukum bakar. Ternyata, Siti Jenar tidak mati setelah dihukum bakar, ia hidup terus. Kebenaran dalam arti kasunyatan terus akan hidup abadi (Sumardjo, 1989: 340).
384
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
Menengok Seni Teater/Drama Umat Islam di Indonesia
Contoh tema kemiskinan, dalam drama “Sumur Tanpa Dasar” karya Arifin C Noer, meninjau bahwa kemiskinan bukan hanya sebagai masalah sosial, tetapi sudah mencapai masalah moral dan bahkan berlanjut pada metafisik. Dramanya yang lain, yang berjudul “Umang-Umang”, telah membeberkan asal-usul kemiskinan rakyat kecil di kota-kota. Mereka sebenarnya penduduk desa yang damai, tetapi karena di desa kehidupan makin sulit, maka lari ke kota. Kota yang individualistis telah menyisihkan dan menyudutkan mereka menjadi kaum pencoleng untuk bertahan hidup. Moral mereka digerogoti. maka lengkaplah kemiskinan kaum miskin ini, baik secara material maupun moral. Dan akhirnya mereka mempersoalkan kejahatan mereka secara spiritual. (Sumardjo, 1989: 348) D. PENUTUP Demikian tulisan ini dibuat dengan salah satu tujuannya adalah memicu terbukanya ruang-ruang kosong untuk berdialog dan menggagas pengembangan lebih lanjut tentang seni teater/drama di kalangan umat Islam, mengingat teks-teks seni yang muncul di kalangan umat Islam masih berserakan.
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
385
Aning Ayu Kusumawati
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, M. Imam et al. 2001. Seni (dan) Kritik dari Pesantren, Yogyakarta: LKPSM-FKI. Beawiharta. 1989. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid 16. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. C Noer, Arifin et al. 2000. Ideologi Teater Modern Kita. Yogyakarta: Pustaka Gondosuli. “Gagasan-gagasan Teater Garda Depan”. 1997. Yogyakarta: Taman Budaya dan Seksi Teater Modern FKY IX. Hamzah, Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama, Bandung : CV Rosda. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. http://hendraveejay.multiply.com/journal/item/159/universalit as_dalam_Teater_Islam_2. Diakses tanggal 20 September 2009. Rendra, WS et al. 1999. Teater Indonesia (Konsep, Sejarah, Problema). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. Saini KM. 1989. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid 4. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Salad, Hamdy. 2000. Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik. Cet. Ke-1. Yogyakarta: Yayasan Semesta. Sumardjo, Jakob. 1989. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: C & A. Tjokroatmojo, et al. 1985. Pendidikan Seni Drama (Suatu Pengantar). Surabaya: Usaha Nasional. Wahbah, Majdi dan Kāmil Muhandis. 1984. Mu’jam al-Mus}t}alahāt al‘Arabiyah fī al-Lugah wa al-Adab. Beirut: Maktabah Lubnan.
386
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009