SUNAT PEREMPUAN DALAM HUKUM INDONESIA DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA
KONTEKS KEBIJAKAN TENTANG SUNAT PEREMPUAN Penelitian tentang sunat perempuan & Seminar Hasil Penelitian PBB & Gerakan global
Undang-undang Kesehatan dan Perkembangannya Kebijakan Publik Terkait Sunat Perempuan Tanggung Jawab Negara dalam Menghapuskan Praktek Sunat Perempuan
PENELITIAN & SEMINAR TENTANG SUNAT PEREMPUAN Kobinsky, Marge. All. 1997, Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global. Riastiani Musyarofah Ruli Nurdina Sari, Dian Pemilawati, Khitan Perempuan Antara Tradisi dan ajaran Agama, Pusat studi Kependudukan & Kebijakan UGM , TAHUN 2003 Penelitian tentang female genital mutilation atau sunat perempuan dilakukan selama tiga tahun, Oktober 2001Maret 2003, di sejumlah daerah, seperti Padang Pariaman, Serang, Sumenep, Kutai Kartanegara, Gorontalo, Makassar, Bone, dan Maluku
PENELITIAN & LOKAKARYA TENTANG SUNAT PEREMPUAN Rachmah I. 2004. Sunat, belenggu adat perempuan Madura. Yogyakarta Lokakarya bertajuk "Menggunakan HAM untuk Kesehatan Maternal (Ibu) dan Neonatal (Anak)" di Departemen Kesehatan, 22 September 2006
PBB & GERAKAN GLOBAL United States Department of State, Indonesia: Report on Female Genital Mutilation (FGM) or Female Genital Cutting (FGC), 1 June 2001
Male and Female Genital Cutting Among Yogyakartans and, Madurans Center for Population and Policy Studies (CPPS), Gadjah Mada University, Indonesia, 2003 Januari 2003, PBB telah meluncurkan kampanye zero tolerance terhadap praktik sunat perempuan. PBB juga menyatakan bahwa 6 Februari sebagai Hari Internasional Toleransi Nol terhadap Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation).
UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN, Bagian Pertama Pembinaan Pasal 73
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan. Pasal 74
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diarahkan untuk:
1. Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal; 2. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan perbekalan kesehatan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; 3. Melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya terhadap kesehatan;
4. Memberikan kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan upaya kesehatan; 5. meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan
Berdasarkan Pasal 74 UU No 23 Tahun 1992 tersebut, maka Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor HK 00.07.1.31047 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan Berdasarkan SE tersebut maka pada tahun 2007, Instansi Penyedia Layanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan tidak lagi melayani Sunat Perempuan. Namun di penghujung 2008, terjadi protes dan penolakan tentang Larangan medikalisasi sunat perempuan.
UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan BAB VII KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya,
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Pasal 134 (1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Ketentuan dalam Pasal 133 dan 134 merupakan landasan hukum yang dapat digunakan untuk menghapuskan sunat Perempuan.
Peraturan Menteri Kesehatan No 1636/MENKES/XI/2010 Pasal 1 tentang pengertian sunat perempuan Sunat Perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris
Dalam Bab II Pasal 2 tentang Penyelenggaraan Sunat Perempuan, (1) sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu. (2) Tenaga yang kesehatan yang dapat memberikan layanan sunat perempuan, sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah dokter, bidan, dan perawat memiliki surat izin praktik, atau surat izin kerja
(3) Tenaga Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diutamakan berjenis kelamin perempuan. Pasal 3
(1) Setiap pelaksanaan sunat perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orang tua, dan/atau walinya. (2) Setiap pelaksanaan sunat perempuan harus diinformasikan kemungkinan terjadi pendarahan, infeksi, dan rasa nyeri. -
Peraturan Menteri Kesehatan No 1636/MENKES/XI/2010 , jika ditaati oleh tenaga kesehatan, maka sunat perempuan tidak dapat dilaksanakan, karena Ada pertentangan dan saling meniadakan, misalnya: Menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris Hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan dan persetujuan yang disunat. Padahal prakteknya menunjukkan bahwa sunat perempuan dilakukan pada bayi dan anak-anak.
Harus diinformasikan kemungkinan terjadi pendarahan, infeksi, dan rasa nyeri.
PERMKES NO 6 TAHUN 2014 TENTANG PENCABUTAN PERMENKES NO1636/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG SUNAT PEREMPUAN
Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
Pasal 2 Memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation).
Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ adalah majelis yang dibentuk oleh Kementerian kesehatan dan bertanggung jawab terhadap menteri kesehatan Besar kemungkinan keputusan menteri kesehatan memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan, merupakan bagian dari pelaksanaan pasal 134 Ayat (2) Hasil Kerja, kebijakan dan tindakan Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k merupakan tanggung jawab Menteri kesehatan
PERTANYAAN & CATATAN KRITIS Pertanyaan Kritis atas perkembangan hukum dan kebijakan tentang sunat perempuan saat ini adalah : 1. Bagaimana tanggung jawab menteri kesehatan dalam melaksanakan UU No 36 Tahun 2009, khususnya pelaksanaan pasal 133 dan Pasal 134 2. Apa bentuk hukum dan bagaimana kekuatan hukum Pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang diterbitkan oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ 3. Bagaimana jaminan Partisipasi masyarakat dalam perumusan Pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang diselenggarakan oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’
Catatan Pelimpahan mandate penyusunan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan oleh kementerian kesehatan kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ patut diduga sebagai tindakan melepaskan kewajiban Padahal, Menteri Kesehatan adalah kementerian yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan