PROGRAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN TERPADU DALAM RANGKA MENUJU PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA Vonny Indah Mutiara Abstract: The term of sustainable development has been popular since the Brundtland Report established in 1987. Since then, environmental issue awareness increased among countries and world organizations. Moreover, the issues of maintaining sustainable development in agriculture sector have come to surface in South Asia. These issues become more significant because Asian societies mainly based on the agriculture sector. Numerous agricultural scientists agree that modern agriculture confronts an environmental crisis. Over the years, recognizing the limitations of pesticides technology, led to the formulation of the concept of Integrated Pest Management (IPM). IPM program was introduced by FAO in mid 1960s as the preferred pest control strategy. Realizing the environmental impact of using pesticides, the Indonesian government waived subsidy for chemical pesticides in 1989 and at the same time IPM program was introduced in Indonesia. Using Java in Indonesia as a case study, this essay evaluates the effectiveness of the implementation of IPM in paddy field in order to achieve sustainable agriculture development. Learning from the successful application of IPM program, it is hoped that IPM can be one of the components of agricultural development strategy in Indonesia. Key word: Integrated Pest Management, Indonesia, sustainable agriculture development
PENDAHULUAN
(1987) menyatakan bahwa untuk membuat suatu strategi nasional dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan, diperlukan suatu evaluasi terhadap keadaan ekonomi dan ekologi baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.
Istilah sembangunan berkelanjutan telah dikenal sejak diterbitkannya ‘Brutland Report’ pada tahun 1987. Sejak saat itu, negara-negara dan organisasi-organisasi dunia makin meningkatkan kepedulian mereka tentang masalah lingkungan. Organisasi-organisasi dunia terse-but berusaha untuk menemukan suatu sistem manajemen yang tepat dalam menjaga dampak lingkungan yang terjadi atas suatu proyek pembangunan. Komisi dunia bidang pembangunan dan lingkungan
Definisi pembangunan berke-lanjutan yang dinyatakan oleh Komisi Brutland pada tahun 1987 adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tetapi tetap menjaga kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi
Vonny Indah Mutiara adalah Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Andalas
73
Vonny Indah Mutiara, Program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu | 74
kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan harus mampu mencapai standar hidup yang layak, mampu menjamin keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam dan mampu meminimalkan dampak lingkungan jangka panjang. Tetapi pada kenyataannya, untuk mencapai pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Diperlukan komitmen bersama dalam menjaga keber-lanjutan ketersediaan sumberdaya alam. Topik mengenai pembangunan berkelanjutan di bidang pertanian telah lama muncul di Asia Tenggara. Topik ini menjadi sangat signifikan karena masyarakat Asia pada dasarnya berbasis pertanian. Altieri (1998) menyatakan bahwa hubungan ekologi dan pertanian sering putus karena prinsip ekologi telah diabaikan. Banyak para ahli pertanian yang setuju bahwa pertanian modern menghadapi krisis lingkungan. Dewasa ini, dengan makin banyaknya jumlah petani yang secara tidak langsung berhubungan dengan ekonomi internasional, penggunaan pupuk alam telah hilang seiring dengan berkembangnya penggunaan pesti-sida dan pupuk buatan lainnya. Akibatnya, ekosistem pada bidang pertanian bergantung kepada pasokan pupuk berbahan kimia yang tinggi. Di awal tahun 70an, penggunaan pestisida dianjurkan guna meningkatkan jumlah produksi. Keadaan ini semakin parah dengan adanya gerakan Revolusi Hijau yang dipromosikan di Asia. Organisasi dunia bidang Pangan dan Pertanian (FAO) (2005) menyatakan bahwa dalam masa revolusi hijau, pestisida dianggap sebagai bagian yang
paling penting dalam intensifikasi tanaman di negara berkembang. Akibatnya, petani mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pestisida dalam mengelola tanamannya. Conway (2001) menyatakan bahwa revolusi hijau telah meletakkan produktifitas yang tinggi sebagai indikator keber-hasilannya. Ketergantungan yang terlalu lama terhadap pestisida akan membawa dampak yang buruk terhadap lingkungan (Irham, Ohgam Takada dan Sugiura, 2003). Budianto (2003) menegaskan bahwa penurunan produksi padi dan gandum merupakan akibat dari penggunaan pupuk kimia buatan secara terus menerus yang mengakibatkan berkurangnya kesuburan tanah. Setelah beberapa tahun berjalan dan disadari bahwa terbatasnya teknologi penggunaan pestisida, maka muncullah konsep Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu. Program ini diperkenalkan pertama kali oleh FAO pada pertengahan tahun 60an sebagai suatu strategi dalam mengatasi hama penyakit tanaman. Pemerintah Indonesia juga telah menyadari dampak lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida. Untuk itu, pemerintah Indonesia menghapuskan subsidi pestisida yang berbahan baku kimia pada tahun 1989. Pada saat yang sama, program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu dilaksanakan di Indonesia (Irham, et al, 2003). Tulisan ini mengevaluasi keefektifan pelaksanaan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu pada tanaman padi dalam rangka mencapai pembangunan pertanian
75 |Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Volume 2, Nomor 1, Maret 2009, hal. 73 - 82
berkelanjutan di Indonesia. Diharapkan dari kesuksesan program ini, maka program ini dapat menjadi salah satu komponen dalam strategi pembangunan pertanian di Indonesia.
Penyakit Tanaman Terpadu secara benar, maka diharapkan akan muncul meka-nisme kontrol hama penyakit tanaman secara alami. Pada akhirnya akan dicapai pertumbuhan tanaman yang sehat.
Tulisan ini disusun dalam empat bagian. Bagian pertama menjelaskan keunggulan dari proses program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu. Bagian kedua mendiskusikan pelaksanaan program ini di Indonesia. Bagian ketiga membahas kesuksesan pelaksanaan program ini di Indonesia. Bagian terakhir dari tulisan ini mendiskusikan bagai-mana program ini bisa menjadi suatu alat dalam mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan.
Bank Dunia (2005) menyatakan bahwa Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu haruslah berdasarkan, baik secara single maupun kombinasi, dari penggunaan : (1) Cultural control, yaitu pertumbuhan dari varietas tanaman yang sehat dan genetik; (2) Host plan resistance, yaitu penggunaan varietas yang tahan terhadap hama penyakit; (3) Biological control, yaitu merangsang pertumbuhan musuh hama penyakit alami; dan (4) Chemical control, yaitu penggunaan pestisida yang telah diseleksi sebagai alternatif terakhir ketika jumlah hama penyakit tanaman meningkat dalam jumlah yang sangat besar.
PROGRAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN TERPADU Berdasarkan definisi dari FAO (2005), Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu merupakan integrasi dari sejumlah teknik yang ada dalam mengatasi masalah hama penyakit tanaman yang menghambat pertumbuhan populasi hama penyakit tanaman dan menjaga pestisida dan intervensi lainnya yang menguntungkan secara ekonomi dan aman bagi kesehatan masyarakat dan lingku-ngannya. FAO juga menegaskan bahwa program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu memungkinkan petani untuk mengawasi dan mengontrol hama penyakit tanaman pada ladang mereka dan menjaga penggunaan pestisida yang berbahaya pada tingkat yang paling minimum. Dengan mengimplementasikan Pengendalian Hama
Dalam pelaksanaan program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu pada tanaman padi sawah, program ini pada dasarnya berbasis pada pemahaman tentang ekologi tanaman padi sawah. Ketika para petani pergi ke sawah, mereka didorong untuk (1) mengamati bagaimana tanaman, hama penyakit, predator dan pestisida berinteraksi satu sama lainnya; (2) mengamati dan memonitor sawah mereka selama musim tanam; dan (3) menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan (Global education, 2005). Petani bertanggung jawab untuk menganalisa masalah hama penyakit tanaman dan berpartisipai
Vonny Indah Mutiara, Program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu | 76
dalam proses pemecahan masalahmasalah tersebut. Tetapi tidak hanya petani yang harus terlibat dalam pelaksanaan program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu ini. FAO (2005) menegaskan bahwa tidak hanya petani yang terlibat dalam pelaksanaan program Pengendalian Hama Penyakit Tana-man Terpadu, tetapi seluruh staf lapangan yang berasal dari pusat maupun daerah, dan juga lembaga non pemerintahan lainnya, guna meningkatkan kepedulian lingkungan dan keyakinan petani. Bank Dunia (2005) juga menyatakan bahwa program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu harus melibatkan sektor publik (seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi) dan mengadakan penelitian yang lebih responsif terhadap kebutuhan petani. PROGRAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN TERPADU DI INDONESIA Pada akhir tahun 70an, Indonesia merupakan negara pengimpor beras terbesar. Kenaikan permintaan akan beras membuat pemerintah Indonesia berinvestasi pada produksi beras yaitu dengan cara meningkatkan daerah produksi dengan sistem irigasi, memberikan subsidi lebih dari 85 persen untuk pupuk dan insektisida, dan mengorganisir kualitas produksi bibit. Namun pada akhirnya disadari bahwa pestisida yang mengandung bahan kimia telah membunuh predator tetapi tidak mempengaruhi “the brown plant hopper” (Global education, 2005). Menurut FAO (2005), sebuah studi di
Indonesia memperlihatkan 21 persen dari pelaksanaan penyemprotan pestisida telah mengakibatkan lebih dari tiga symptom yang berhubungan dengan racun pestisida. Lebih lanjut, ditemukan 48 persen petani mempunyai pestisida di rumah mereka. Kea-daan ini semakin buruk dengan disimpannya bahan kimia pestisida tersebut di tempat yang mudah terjangkau oleh anak-anak. Menyadari keadaan yang semakin buruk ini, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden tahun 1986 yang melarang penggunaan 57 macam pestisida pada tanaman padi dan pemotongan subsidi pupuk. Penghentian subsidi pupuk telah menyelamatkan pemerintah sekitar US$120 juta per tahun (FAO, 1998). Hal yang sangat penting dari Instruksi Presiden tersebut yaitu para ahli telah menunjukkan bahwa penggunaan pestisida yang berlebihan telah mengakibatkan munculnya “brown plant hopper”, yang merupakan musuh petani yang paling berbahaya. Untuk itu pemerintah Indonesia melaksana-kan program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu ini sebagai suatu program nasional sebagaimana yang dianjurkan oleh FAO. FAO intercountry program telah mendukung pelaksanaan program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu di Indo-nesia. FAO juga mendukung pengembangan dan implementasi program ini di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kunci keberhasilan dari program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu ini adalah dengan terbentuknya sekolah lapa-
77 |Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Volume 2, Nomor 1, Maret 2009, hal. 73 - 82
ngan untuk petani padi di Indonesia, yang kemudian dilan-jutkan dimasukkannya program ini sebagai program nasional. Sampai pada akhir tahun 1998, telah lebih dari satu juta petani di seluruh Indonesia yang telah mengikuti sekolah ini (Global education). Sekolah lapangan untuk petani ini merupakan suatu proyek pelatihan yang didasari oleh inovasi, berdasarkan kegiatan lapangan dan teknik pelatihan partisipatif (FAO, 2005). Tujuan utama dari pelatihan program ini adalah untuk mensta-bilkan produksi pertanian, khususnya padi, dan untuk mendukung produksi padi yang berwawasan lingkungan dengan memperkenal-kan program ini dan mendorong para petani untuk mengadopsinya (Bank Dunia, 2005). Proyek Pelatihan program ini menitikberatkan pada penguatan kelembagaan, dan lebih mengutamakan mendidik para petani daripada hanya memberi instruksi kepada mereka. Sekolah lapangan untuk petani ini mempunyai pertemuan rutin untuk setiap 12 minggu musim tanaman, mulai dari menanam hingga panen. Para petani belajar mulai dari teori dan teknik dasar hingga bagaimana program ini bisa sukses (FAO, 2005). Sekolah lapangan untuk petani, yang juga disebut sebagai “sekolah tanpa dinding”, terdiri atas para pelatih, ahli hama penyakit tanaman dan petani yang telah terlatih, yang bekerja sama dengan sekitar 25 orang petani untuk setiap satu musim tanam. Sebelum menanam, para petani dibagi menjadi satu kelompok yang beranggotakan lima orang untuk
merencanakan kegiatan dan pengalaman mereka (Bank Dunia, 2005). Para petani melakukan pengamatan di lapangan selama satu atau dua jam. Mereka juga melakukan penghitungan jumlah masing-masing spesies, menganali-sa kondisi psikologi tanaman dan mencatat pengamatan tersebut. Setiap kelompok kemudian berkumpul kembali dan berdiskusi, menganalisa dan membahas data yang telah dikumpulkan. Data yang telah dianalisa tersebut di simpulkan dan kemudian di presentasikan didepan kelompok yang lain. Masing-masing anggota kelompok kemudian mendiskusikan hasil pengamatannya dengan anggota kelompok lainnya. Berdasarkan hasil diskusi tersebut, kemudian mereka membuat suatu perencanaan bagaimana mengon-trol hama penyakit tanaman tersebut sesuai dengan kebutuhan lingkungan (FAO, 2005). PELAKSANAAN PROGRAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN TERPADU Kajian mengenai kesuksesan program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu ini sangat diperlukan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Irham et al (2003) di Yogyakarta yaitu dimana program ini pertama kali dilaksanakan, ditemukan bahwa program ini mempunyai dampak positif yang sangat signifikan terhadap para petani. Para petani yang telah mengikuti pelatihan program ini telah melakukan kontrol hama penyakit tanaman secara mekanis (khususnya untuk hama tikus),
Vonny Indah Mutiara, Program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu | 78
dibandingkan dengan para petani yang tidak mengikuti pelati-han program ini. Irham et al (2003) juga menemukan bahwa para petani yang telah mengikuti pelatihan tersebut telah mengaplikasikan bahan-bahan non-pestisida, seperti garam dan debu, untuk mengontrol hama dan penyakit tanaman tersebut. Walaupun kedua kelompok tersebut menggunakan pestisida pada tanaman mereka, mereka menggunakannya dengan cara yang berbeda. Hampir sebagian besar dari para petani yang mengikuti program ini menggunakan pestisida hanya bila ada hama menyerang tanaman mereka dan sedikit dari mereka yang menggunakan pestisida secara berlebihan untuk melindungi tanaman mereka (Irham et al, 2003). Hal ini sesuai dengan konsep program Pengen-dalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu yaitu hanya menggunakan pestisida pada saat yang diper-lukan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Resosudarmo menyimpulkan bahwa program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu dengan mengurangi penggunaan pestisida, secara tidak langsung mengurangi jumlah dampak yang diakibatkan oleh pestisida. Resosudarmo menemukan bahwa dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1998, dengan dijalankannya program ini, maka total biaya kesehatan yang diakibatkan oleh dampak penggunaan pestisida menurun sebesar 5 persen. Diantara penemuannya yang lain, Resosudarmo menyimpulkan bahwa dengan mendorong pelaksanaan program ini
maka akan meningkatkan efisiensi produksi padi (Bellamy, 2000). KESUKSESAN PELAKSANAAN PROGRAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN TERPADU DI INDONESIA Program Pengedalian Hama Penyakit Terpadu telah menunjukkan dampak positif terhadap perkembangan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Bank Dunia (2005) menyatakan bahwa pelaksanaan program ini telah membawa manfaat dari segi aspek sosial dan ekonomi. Pada tingkat petani, manfaat yang didapat berupa penghematan biaya produksi karena pengurangan penggunaan pestisida, rendahnya resiko gagal produksi, meningkatnya jumlah produksi, terjaganya kesehatan para petani dan keluarganya, serta lebih terjaganya lingkungan yang lebih baik. Pada tingkat nasional, pelaksanaan program ini dalam skala yang besar diharapkan dapat menurunkan resiko akibat hama penyakit, dapat menghasilkan produksi yang tinggi, meningkatkan biodiversity dari ekosistem padi serta memperkecil resiko pencemaran lingkungan akibat dari penggunaan pestisida yang berlebihan. Dari penjelasan diatas, sangat jelas bahwa program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu ini dapat meningkatkan efisiensi produksi padi. Dari aspek ekonomi, apabila produksi padi berjalan secara efisien, hal ini dapat menurunkan harga jual beras. Yang pada akhirnya, konsumen akan mendapatkan keuntungan dari har-
79 |Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Volume 2, Nomor 1, Maret 2009, hal. 73 - 82
ga jual beras yang rendah terse-but (Bellamy, 2000). Irham et al (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan program ini telah memperlihatkan hasil yang positif dengan berkurangnya penggunaan pestisida pada tana-man padi. Hal ini karena pada sekolah lapangan untuk petani padi diajarkan pestisida yang efisien yang mudah untuk diadopsi oleh para petani. Irham et al juga menyarankan bahwa teknologi yang digunakan dalam program ini memberikan insentif bagi para petani dimana para petani tidak kehilangan produktifitasnya. Hal lain yang dapat menjadi pelajaran dari kesuksesan program ini yaitu dengan meningkatnya jumlah petani yang terdidik mengenai pemahaman ekologi dan lingkungan yang berkelanjutan, dan mempunyai pengetahuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi tanaman mereka, apakah mereka memerlukan penggunaan pestisida atau tidak. Para petani sangat menyukai teknik partisipatif yang diberikan kepada mereka, dimana mereka menjadi sebagai pengambil keputusan. Hal ini dibuktikan dari hasil pelatihan yang telah dilaksanakan, bahwa para petani tidak hanya memperhatikan kebutuhan untuk melindungi tanaman mereka tetapi juga memperhatikan lingkungan disekitar mereka (Bank Dunia, 2005). Dengan mengamati sendiri kondisi lahan mereka, para petani akan memapu melihat kebutuhan akan ‘keseimbangan ekologi’ (ecological balance. Mereka dapat mengatasi hama penyakit pada tanaman padi tanpa harus mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Para petani juga mampu untuk menilai kebutuhan penggu-naan pestisida. Para petani juga belajar untuk mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan waktu dalam mengawasi keadaan tanaman dengan biaya yang mereka keluarkan hanya untuk pembelian pestisida (FAO, 1998). Tetapi ada satu kelemahan mendasar dari pelaksanaan program ini di Indonesia. Bank Dunia (2005) menyatakan bahwa masih lemahnya sebaran informasi mengenai program ini. Kelemahan lainnya yaitu sekolah lapangan untuk petani mengumpulkan informasi berdasarkan pengalaman mereka, namun kurangnya dukungan fasilitas untuk menyebarkan informasi yang telah dikumpulkan tersebut. Kemampuan untuk meneruskan program ini kepada para petani lainnya sangat tergantung kepada kemampuan petani untuk membagi pengalaman mereka. Karena itu, perlu dikembangkan suatu jaringan komunikasi antara petani agar tujuan program ini dapat tercapai lebih luas. PEMBAHASAN Altieri(1998) menyatakan bahwa permasalahan lingkungan akibat adanya sistem sosial ekonomi yang melaksanakan monokultur dan penggunaan input teknologi yang tinggi dalam pelaksanaan kegiatan pertanian menyebabkan menurunnya kualitas sumberdaya alam. Altieri menegaskan bahwa penurunan kualitas sumberdaya ini tidak hanya suatu proses ekologi, tapi juga merupakan suatu proses sosial, ekonomi dan politik.
Vonny Indah Mutiara, Program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu | 80
Pengalaman pemerintah Indonesia yang memberikan subsidi kepada para petani mebuktikan bahwa kebijaksanaan tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap penggunaan pestisida oleh petani. Para petani secara tidak langsung dipaksa untuk menggunakan pestisida guna meningkatkan produksi beras nasional. Di lain pihak, ketika pemerintah Indonesia menyadari dampak dari penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menimbulkan dampak lingkungan dan menurunkan jumlah produksi, maka dikeluarkan Instruksi Presiden yang melarang penggunaan 57 jenis pestisida dan menghentikan subsidi untuk pestisida (FAO, 1998). Maka dari itu, jelaslah bahwa permasalahan dalam produksi pertanian tidak hanya berdasarkan aspek teknologi saja, tetapi perlu dipertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan politik. Lebih lanjut Altieri (1998) mengemukakan bahwa penurunan dan pembatasan penggunan bahan kimia dalam kegiatan pertanian memerlukan perubahan yang cukup mendasar dalam manajemen kegiatan pertanian guna memastikan pelaksanaan penggunaan pestisida berjalan dengan baik. Seperti yang pernah dilakukan oleh para petani sejak dulu, bahwa penggunaan nutrient alami dapat mempertahankan tingkat kesuburan tanah yang bekerja dengan sistem ekologi yang seharusnya. Dengan pelaksanaan program ini, maka dapat mengontrol hama penyakit tanaman secara alami, yang dapat meningkatkan integrasi sistem pertanian. Conway (2001) menemukan bahwa sistem pertanian seperti sistem
padi sawah di Thailand dikenal dengan modifikasi dari sistem ekologi. Di Thailand, setiap lahan padi sawah dibentuk berdasarkan keadaan lingkungan alaminya. Lingkungan hewan alami dibiarkan apa adanya, seperti ikan dan burung. Proses ekologi secara alami seperti persaingan antara padi dan gulma, perusakan tanaman oleh hama, kemudian penggunaan pupuk, kontrol penggunaan air, hama dan penyakit serta pemanenan. Seluruh aktifitas pertanian ini akan mempengaruhi keputusan sosial dan ekonomi. Conway (2001) menyarankan salah satu cara untuk mencapai pertanian yang berkelanjutan adalah dengan melindungi ekosistem dari tingkat stress yang tinggi. Dalam pengendalian hama penyakit, perkembangan ketahanan genetik alami dan dan penggunaan pengendalian hama penyakit tanaman secara menyeluruh lebih baik daripada penggunaan pestisida. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemilihan antara faktor eksternal, seperti pupuk dan pestisida, dan faktor internal, seperti predator alami dan jenis tanaman. Hal ini sangat penting karena faktor eksternal, seperti adanya revolusi hijau yang mempelopori penggunaan pupuk dan pestisida, telah menimbulkan perubahan yang sangat besar dalam sistem pertanian. KESIMPULAN Struktur kebijaksanaan dan pertanian modern telah memberikan pengaruh yang kuat dalam konteks teknologi dan produksi pertanian, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan yang sangat besar. Para petani diinstruksikan
81 |Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Volume 2, Nomor 1, Maret 2009, hal. 73 - 82
untuk menggunakan pestisida sebagai komponen penting dalam teknologi modern. Tetapi , pada kenyataanya pestisida sering digunakan tidak dalam jumlah yang proporsional. Hal ini mengakibatkan sistm ekologi yang tidak seimbang. Ketika ekologi diidentifikasikan sebagai hal yang paling mendasar untuk dalam melindungi tanaman dan lingkungan, maka diperkenalkan program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu. Di Indonesia, penggunaan pestisida yang berlebihan selama periode tahun 1970an dan 1980an telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Termasuk juga racun dari pestisida yang telah mengkontaminasi produk pertanian. Sehingga pemerintah Indonesia menganjurkan dilaksanakannya program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu ini sejak tahun 1989. Keberhasilan program ini telah membuktikan bahwa pengurangan penggunaan pestisida telah meningkatkan keuntungan secara ekonomi bagi para petani. DAFTAR PUSTAKA Altieri, M. 1998, Ecological Impacts of Industrial Agriculture and the Possibilities for Truly Sustainable farming, Monthly Review, Vol. 50, New York, (online), available at: http://proquest.umi.com/ Bank Dunia. 2005, Integrated Pest Management (Indonesia), (online), http://www.worldbank.org/ html/fpd/technet/ipm_indo. htm
Bellamy R, 2000. Integrated Pest Management in Indonesia: The Cost of Chemicals, (online), http://www.idrc.ca/en/ev5356-201-1-DO_TOPIC.html Budianto. J. 2003, ‘Policy Options in Sustainable Agricultural Development in Southeast Asia’, in Proceeding of international workshop on Sustainable Agricultural Development in Southeast Asia, Research center for regional resources The Indo-nesian Institute of Sciences (PSDRLIPI). Komisi Dunia bidang Lingkungan dan Pembangunan. 1987, Our Common Future: Commission for the Australian Future Edition, Oxford University Press, Australia. SConway, G. 2001, ‘Sustainable Agriculture’, in A survey of Sustainable Development Social and Economic Dimensions, ed. J.M. Harris., T.A. Wise., K.P. Gallagher, N.R. Goodwin, Island Press, Washington. Food and Agriculture Organization (FAO), 1998. What is Integrated Pest Management?, (online), http://www.fao.org/NEWS/ 1998/ipm-e.htm Food and Agriculture Organization, 2005. Integrated Pest Management, (online), http://www.fao.org.ag/agp/a gpp/IPM/ Global education, 2005, Integrated Pest Management, (online),
Vonny Indah Mutiara, Program Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Terpadu | 82
http://www.globaleducation. edna.edu.au/globaled/go/pi d/846 Irham, Ohga, K., Takada, N., & Sugiura, K. 2003, ‘III-5 IPM Technology, Pesticides Use
and Rice Yield’, in Sustainable Agriculture in Rural Indonesia, ed. Y. Hayashi, S. Hartono, S. Manuwoto, Gadjah Mada University Press.