“PERNIKAHAN”
Pernikahan Karya: Bambang Irwanto
Entah setan apa yang sedang merasuki pikiranku. Sudah sebulan ini yang ada di benakku hanyalah nikah, nikah dan nikah. Padahal usiaku baru 20 Tahun. Aku juga baru smester empat di fakultas Tarbiyah STAI Jam’iyah Mahmudiyah Tanjung Pura. Apalagi aku hanyalah berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ayahku di kampung Cuma seorang guru honor di Madrasah Ibtidaiyah dan hanya memiliki gaji yang pas-pasan. Sedangkan ibuku cuma seorang pedagang jagung bakar yang setiap sore mangkal di pinggir jalan sambil menungu pembeli. Alangkah indahnya! Jika setiap malam ada yang menemani di setiap sepiku. Jika di pagi hari ada yang memasakkan dan menyiapkan pakaian kuliahku. Jika di All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com Copyright 2009
1
“PERNIKAHAN” sore hari ada yang menyambutku dengan hangat dan senyuman manis. Ah… rasanya teramat indah hidup ini jika aku telah memiliki seorang istri yang selalu siap menemani hari-hariku. Tapi… kukira itu semua hanyalah sebuah impian belaka. Pernikahan bukanlah perkara yang mudah. Ibuku dulu pernah berpesan kepadaku bahwa aku baru boleh menikah setelah aku tamat kuliah, memiliki penghasilan tetap dan punya rumah sendiri. Sedangkan saat ini, statusku masihlah sebagai seorang mahasiswa, penghasilan belum ada, dan sudah hampir dua tahun aku masih tinggal di Mesjid Al Hidayah ini. Berbeda dengan ayahku. Kalau ayah itu rasanya dia lebih mangerti aku. Dia pernah berkata padaku bahwa aku boleh menikah kapan saja setelah aku siap secara lahir dan bathin. Dan ketika aku tanyakan padanya ‘siap lahir bathin yang bagaimana?’ Beliau selalu menjawab bahwa seorang suami haruslah siap menjadi pemimpin bagi keluarga dan mampu menyelamatkan rumah tangganya dari siksa api neraka. Itulah ayah. Dia selalu saja bisa bersikap bijak di banding dengan ibu. Ayah tidak pernah sangkut pautkan masalah pernikahan dengan sesuatu yang berbau materi. Namun, terlepas dari itu semua sebenarnya yang salah bukanlah ayah ataupun ibu. Tapi aku menilai bahwa permasalahan yang sesungguhnya ada pada diriku sendiri. Bagaimana aku akan menikah? sedangkan calon istri sajapun aku belum punya?! Huhhh, pusing!!! *** Jam menunjukkan pukul 12.30 Wib. Waktu sholat dzuhur. Suara adzan sambut menyambut meramaikan suasana kereligiusan kota Tanjung Pura. Semua jama’ah sholat dzuhur mulai berdatangan hingga memenuhi mesjid Al Hidayah. Aku sendiri, hari ini adalah yang akan mengimami sholat dzuhur di mesjid itu. Dan All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com 2 Copyright 2009
“PERNIKAHAN” setauku diantara jama’ah yang akan ikut sholat berjama’ah bersamaku kali ini adalah Mbak Annisa. Seorang panulis novel yang sangat terkenal di kota ini. Dintara karya-karnyanya yang telah habis aku baca adalah, Bertasbih Di Samudera Cinta, Suara-Suara Hati Nurani, serta 7 Keajaiban Cinta. Dan untuk novelnya yang ketiga ini, kalau tidak salah ingat, aku telah membacanya sebanyak lima kali. Aku memang sangat mengagumi novel-novel karya Mbak Annisa, walaupun aku sendiri belum pernah melihat wajah penulis wanita itu seperti apa. Seusai shalat dzuhur aku kembali ke ruang kenadziran tempat aku biasa beristirahat. Rencanya siang ini aku akan membaca kembali salah satu novel karya Mbak Annisa. Aku rebahkan badanku di atas alas tidur yang sudah lumayan kumal itu. Dan belum sempat aku membuka lembar demi lembar novel Mbak Annisa yang akan aku baca, tiba-tiba saja ada suara yang memanggilku. Suara tersebut berasal dari balik pintu. “Rif, Arif…” Seru Iwan. Dia adalah sahabatku. Kami berdua sudah tinggal di mesjid ini hampir dua tahun. “Iwan, kamu? ada apa?” “Anu…anu…” “Anu? Emangnya anu kamu kena apa?” aku bercanda. Canda-canda seperti itu memang sering kami lakukan untuk memecahkan kebekuan suasana. “Akh, kamu…! Aku serius nih!” jawabnya. Kalau aku lihat dari rona wajahnya kelihatannya memang sedang ada masalah yang cukup serius, maka akupun merubah posisi dudukku sebagai isyarat bahwa akupun akan mendengarkannya dengan serius. “Emangnya ada apa?” tanyaku. “Ada yang mau jumpa denganmu!” jawabnya. “Jumpa denganku? Siapa?” “Aku tidak kenal. Tapi kata orang itu kamu sangat mengenalnya.” All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com Copyright 2009
3
“PERNIKAHAN” “Aku sangat mengenalnya?” tanyaku memastikan. “Ya, dia bilang bahwa kamu sangat mengenalnya.” “Sekarang dia dimana?” “Sakarang dia ada di halaman depan mesjid ini.” “Baiklah, kalau begitu kita kesana!” Iwan berjalan kencang menuju ke halaman depan mesjid. Sedangkan aku hanya mengikutinya dari belakang. Beberapa saat kemudian ia berhenti tepat di depan sebuah mobil kijang yang sedang parkir. Dari mobil tersebut tampak keluar seorang wanita yang sangat cantik. Wanita itu berwajah putih bersih dan memakai jilbab panjang. Tapi… kok aku tidak kenal dia ya? Padahal kata Iwan barusankan aku sangat mengenalnya? Apa Iwan membohongiku? “Mbak, ini yang namanya Arif!” Iwan berkata kepada wanita itu sambil menghadapkan wajahnya kearahku. “Assalamu’alaikum…” wanita itu mengucapkan salam kepadaku. “Wa’alaikum salam,” jawabku agak kik kuk. “Kamu yang bernama Arif?” tanyanya padaku. “Ya benar, akulah yang bernama Arif. Kalau boleh tau, Mbak ini siapa ya?” “Aku adalah Mbak Annisa, penulis novel yang ada ditanganmu itu!” jawabnya sambil menunjuk ke arah tanganku. Memang sewaktu mau keluar dari ruang kenadziran tadi aku tidak sempat meletakkan novel itu. Mungkin saking buruburunya. “Mbak yakin kamu sudah sangat mengenal Mbak melalui novel-novel itu,” tuturnya lagi. Jujur, aku baru tahu wajah Mbak Annisa itu seperti apa. Ternyata selain mengagumi novel-novelnya aku juga sangat mengagumi kecantikannya. Tanpa sengaja pandanganku lekat kearah mata Mbak Annisa, dia juga menatap mataku.
All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com Copyright 2009
4
“PERNIKAHAN” Spontan aku memalingkan pandanganku kearah Iwan. Iwan hanya tersenyum kecil melihatku. “Apa benar kamu mengagumi novel-novel Mbak?” tanya Mbak Annisa tibatiba. Aku terkejut. Dari mana dia tahu? “Ehm… benar!” jawabku pelan. Sebenarnya aku sedikit gengsi kalau harus mengakui bahwa aku sangat mengagumi novel-novelnya. “Emang Mbak tahu dari mana?” “Itu tidak penting! Tapi yang terpenting kedatangan Mbak kemari adalah untuk memberikan bingkisan ini. Ini Mbak berikan khusus untukmu,” jawab Mbak Annisa sambil menyodorkan sesuatu kearahku. “Apa ini Mbak?” tanyaku. “Itu tiga buah novel karya Mbak. Dan yang di dalam amplop itu adalah sedikit uang yang bisa kamu pergunakan untuk biaya kuliahmu,” Mbak Annisa menjelaskan. “Tapi Mbak, ketiga novel ini saya sudah punya. Dan kalau masalah uang ini rasanya saya agak berat untuk menerimanya,” jawabku. “Walaupun kamu sudah punya ketiga novel itu, tapi kamu belum memiliki novel yang ada tanda tangan penulisnya khan? Ketiga novel itu telah Mbak bubuhi tandatangan Mbak lho! Dan kalau masalah uang itu Mbak sangat berharap kamu mau menerimanya. Mbak berharap uang itu bisa untuk tambahan biaya kuliah kamu,” Mbak Annisa berusaha menjelaskan. Sepertinya Mbak Annisa sangat berharap aku mau menerima pemberiannya. “Gimana, jadi kamu mau menerimanya khan?” Aku hanya diam. “Baiklah, kalau begitu Mbak permisi dulu. Assalamu’alaikum,” Mbak Annisa buru-buru pergi. “Wa’alaikum salam,” jawabku pelan. All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com Copyright 2009
5
“PERNIKAHAN” Mbak Annisa pergi meninggalkanku dengan mobilnya sambil tersenyum kecil. Aku menatap muka Iwan, Iwan menatap mukaku, kemudian Iwan menunduk. Sesampainya diruang kenadziran aku membuka novel dan amplop yang diberikan Mbak Annisa tadi. Kubuka amplop itu. Aku terkejut. Isinya uang senilai sepuluh juta rupiah. Mengapa Mbak Annisa begitu baik padaku? *** Sebulan sudah sejak pertemuanku dengan Mbak Annisa. Tapi mengapa aku masih juga belum bisa melupakan pertemuan yang amat singkat itu. Pertemuan yang tidak lebih dari sepuluh menit! Mbak Annisa itu memang cantik. Wajahnya putih, badannya tinggi semampai, dan kelihatannya amat supel dalam bergaul. Dan yang terpenting bagiku dia itu adalah wanita shalehah yang amat menjaga kehormatan dirinya. Ah, mengapa aku jadi suka menyanjung-nyanjung Mbak Annisa seperti ini? Apa mungkin aku telah jatuh cinta kepada Mbak Annisa? Aku jadi teringat waktu aku nyantri di pesantren Miftahul ‘Ula dulu. Disana aku pernah menyukai seorang gadis yang bernama Nurul. Dan ketika itu aku sangat suka menyanjung-nyanjung Nurul. Uhhh, tapi itu kan dulu. Kali ini beda. Sebab kalo dipikir-pikir aku ini manalah pantas dengan Mbak Annisa. Dia itu khan cantik, alim, banyak duit, terkenal dan usianya juga jauh diatas aku. Kalau tidak salah, sewaktu aku baca biografi di lembar akhir novelnya, usia Mbak Annisa itu tujuh tahun lebih tua dari aku. Tapi… bukankah Rasulullah sendiri ketika menikah dengan Siti Khadijah usia mereka juga terpaut 15 tahun? Ketika itu usia Rasulullah 25 tahun sedangkan Siti Khadijah 40 tahun. Jadi kalau soal umur ku kira tidaklah menjadi masalah. Yang terpenting adalah bagaimana kami bisa saling memahami satu sama lain baik dikala susah maupun senang. Selebihnya biarlah Allah yang akan mengatur semuanya.
All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com Copyright 2009
6
“PERNIKAHAN” Pokoknya, aku harus mendapatkan Mbak Annisa. Bagaimanapun aku harus menikah dengannya. Itu telah menjadi tekadku! *** Kepada putraku, Muhammad Arifin.
Arif, ayah minta minggu depan kamu pulang kerumah, karena ayah akan menikahkan kamu dengan seorang gadis pilihan ayah. Demi kebaikan kamu, ayah berharap kamu tidak menolak permintaan ayah yang satu ini. Ayah harap kamu bisa mengerti…
Wassalam, Dari ayahmu di kampung. Membaca surat itu kepalaku langsung nyut-nyut. Mengapa ketika aku telah menemukan gadis idamanku barulah ayah menawarkan aku untuk menikah? Kenapa tawaran itu tidak ayah utarakan dahulu, ketika aku sangat berharap bahwa ayah akan mencarikan aku seorang jodoh yang bisa menjadi teman hidupku? Kenapa tawaran itu baru di utarakan ayah sekarang, ketika aku telah memantapkan hati untuk memilih Mbak Annisa sebagai teman hidupku? Dan kenapa ini semua mesti terjadi padaku??? Malam harinya aku shalat istikharah. Ingin ku pertanyakan kepada Allah tentang permasalahan yang sedang kuhadapi ini. Aku yakin bahwa Allah-lah yang telah menciptakan diriku, maka aku harus yakin pula bahwa Allah jualah yang lebih mengerti tentang keputusan yang harus kuambil. Pada sujud terakhirku hatiku mantap untuk menerima tawaran ayah. Betapapun sulitnya melupakan Mbak Annisa ku kira itu hanyalah masalah waktu. Mungkin dalam waktu dua atau tiga bulan setelah menikah aku juga telah melupakannya. Mbak Annisa itu baik menurutku tapi All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com 7 Copyright 2009
“PERNIKAHAN” belum tentu baik menurut Allah. Lagi pula aku juga belum tahu, Apakah Mbak Annisa itu ada hati kepadaku atau tidak. Kukira ayah juga bisa bersikap bijak. Tidak mungkin ayah menjodohkan aku dengan seorang wanita yang kira-kira aku tidak menyukainya. Pasti ayah telah memilihkan aku seorang gadis yang dapat membahagiakan aku kelak. Aku sangat kenal tipikal ayah. Oh ya, aku baru ingat! Minggu ini sedang ada ujian smester di kampus. Mungkin minggu depan aku baru bisa pulang. Bagaimana ini? Ah, untuk apa pusingpusing?! Kutelpon saja ayah, akan kukatakan kepada ayah bahwa aku pulangnya minggu depan saja disaat hari pernikahanku. Pasti ayah mau mengerti dengan keadaanku. *** Sore ini aku pulang kampung. Sesampainya di kampung aku langsung menuju ke rumah calon istriku di kota Pangkalan Berandan. Kemarin ayahlah yang telah memberikan alamatnya kepadaku. Aku langsung menuju ke alamat itu. Yang ku ajak sore ini adalah Iwan, sahabat karibku. Aku sangat ingin Iwan menyaksikan pernikahanku yang rencananya akan dilaksanakan malam ini juga. Sesampainya di rumah calon istriku, yang pertama sekali menyambutku adalah ayah dan ibu. Aku yakin mereka sangat rindu kepadaku karena semenjak dua tahun yang lalu baru kali inilah aku dapat bertemu dengan mereka lagi. Setelah itu aku diperkenalkan dengan calon mertuaku. Mereka juga menyambutku dengan sangat familiar. Satu persatu keluarganya juga memperkenalkan diri. Adik, bibi, paman, wawak, bahkan neneknyapun memperkenalkan diri. Seolah-olah mereka telah mengenalku sejak lama. Tapi, mana calon istriku? Aku sangat ingin melihat wajah calon istriku itu. Tiba-tiba saja ada seorang wanita berkerudung putih yang muncul di hadapanku. Wanita itu berbadan kurus dan ada flek hitam lebar dan berbulu di pipi All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com 8 Copyright 2009
“PERNIKAHAN” sebelah kirinya. Wanita itu tersenyum kecil kepadaku, kemudian pergi lagi. Upsss! jangan-jangan itu adalah wanita yang akan menikah denganku. Apa tidak salah? Ayah akan menikahkan aku dengan wanita yang memiliki wajah seburuk itu? Aku melirik kearah wajah Iwan yang ada di sampingku. Ia tersenyum lebar. Sepertinya didalam hatinya Iwan sedang terpingkal-pingkal menertawakan kemalanganku kali ini. Sejujurnya aku tidak mau kalau harus menikah dengan wanita yang memiliki wajah seburuk itu. Tapi semuanya telah terlambat. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Pernikahan tidak mungkin di batalkan. Lagi pula, semua ini salahku juga. Mengapa sebelumnya aku tidak meminta ayah untuk mengirimkan fhoto calon istriku itu atau setidaknya dengan menanyakan wajah calon istriku itu seperti apa? Tapi… sudahlah, aku yakin ini adalah yang terbaik bagiku. Seburuk apapun ia aku tetap akan menerimanya setulus hati. Aku akan berusaha untuk menyayangi dan membahagiakannya setelah ia menjadi istriku nanti. Bagaimanapun, ini adalah hasil dari istikharahku beberapa hari yang lalu. Jam telah menunjukkan pukul 20.30 Wib. Aku duduk di atas sebuah bantal berlapis kain batik berwarna keemasan. Ijab Kabul segera dilaksanakan. Di hadapanku telah duduk seorang tuan kadi yang akan menikahkan kami. Ia menatapku dengan tersenyum. Disebelah kiriku, duduk seorang wanita yang akan aku nikahi. Wajahnya tertutup rapat oleh kerudung putih sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. “…Sebelum ijab kabul di laksanakan, ada baiknya kalau pengantin wanita membuka kerudungnya supaya wajahnya dapat di lihat oleh pengantin pria. Agar tidak ada penyesalan-penyesalan di kemudian hari…” Ucap tuan kadi yang akan menikahkan kami.
All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com Copyright 2009
9
“PERNIKAHAN” Calon istriku membuka kerudungnya. Tapi aku hanya menunduk saja. Sudahlah! Akukan sudah tahu wajah istriku itu seperti apa. Jelek!!! Aku berbisik dalam hati. “Arif, tidakkah kamu ingin melihat wajah calon istrimu?” Tuan kadi bertanya kepadaku setengah menggoda. Mendengar pertanyaannya aku terpaksa melihat wajah calon istriku. Aku memalingkan pandanganku kearah calon istriku. Perlahan aku melihat wajahnya, kerudungnya, sampai keseluruh tubuhnya. Hah, itukan Mbak Annisa! Wanita yang sebulan lalu menemuiku dimesjid Al Hidayah. Mbak Annisa tersenyum padaku dan aku membalas senyumnya. Jantungku tiba-tiba berdegub kencang. Jadi, wanita yang tadi kulihat itu siapa? Dan mengapa Mbak Annisa yang akan menjadi pengantinku? Apa aku sedang bermimpi? Ah tidak, aku yakin ini semua memang benar-benar sedang terjadi padaku. Berikutnya, aku melanjutkan ijab kabul pernikahan ini dengan begitu bersemangat! Seusai resepsi pernikahan Iwan menghampiriku. “Rif, bolehkah aku menjelaskan sesuatu yang belum kamu ketahui tentang pernikahanmu ini?” tanya Iwan. “Maksudmu?” tanyaku curiga. “Rif, sebenarnya Mbak Annisa itu adalah kakak kandungku sendiri,” tutur Iwan.
“Beberapa bulan yang lalu ia meminta agar aku mencarikan jodoh seorang
lelaki shaleh untuknya. Nah, satu-satunya kriteria yang ia sebutkan itu kulihat ada pada dirimu, maka akupun segera mengatur strategi agar kamu dan Mbak Annisa bisa saling kenal. Ketika pertama sekali Mbak Annisa melihatmu, ia mengaku bahwa ia langsung menyukaimu. Kamu ingat tidak? Tiga buah novel itu Mbak Annisa berikan karena ia tahu bahwa kamu sangat mengagumi novel-novelnya. Kemudian, uang sepuluh juta rupiah itu Mbak Annisa berikan adalah untuk membantu biaya kuliahmu. Itu adalah sebagai suatu wujud perhatiannya padamu. Dan satu hal lagi All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com 10 Copyright 2009
“PERNIKAHAN” yang perlu kamu ketahui, Mbak Annisa lah yang telah mengatur semua persiapan pesta
pernikahanmu
ini,”
Iwan
menjelaskan.
Aku
hanya
terperangah
mendengarkakan pengakuannya. “Terus, wanita yang ada flek hitam pada wajahnya yang kulihat tadi sore itu siapa?” tanyaku kemudian. “Oh, itu sepupunya Mbak Annisa. Mbak Annisa lah yang telah memintanya untuk menemuimu supaya kamu surprise ketika mengetahui pengantin yang sebenarnya adalah Mbak Annisa!” jawab Iwan sambil tersenyum geli. Mendengar pengakuan Iwan barusan aku hanya diam. Tanpa terasa air mata haru telah membasahi kedua pipiku. “Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberiku seorang istri yang shalehah. Lakalhamdu wa lakasy-syukru!” Aku memuji-Nya dalam hati.
All Rights Reserved By: http://www.SketsaBisnis.com Copyright 2009
11