PENGANTAR REDAKSI Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena Buletin Agricultural Egineering “BEARING” dapat terus terbit untuk edisi ketiga yaitu Volume 2 Nomor 1 pada bulan Juni 2006. Hal ini berkat kerja sama yang baik antara pihak-pihak yang semakin banyak terlibat dalam memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan buletin ini serta ketekunan dan ketabahan kita bersama. Pada kesempatan ini kami dari tim redaksi tak lupa mengucapkan terima kasih kepada USU Press yang telah turut membantu dalam pencetakan Buletin ini. Kami juga mengharapkan agar kerja sama ini dapat terus berlanjut pada masa yang akan datang. Demikianlah yang dapat kami sampaikan semoga buletin ini dapat bermanfaat bagi staf pengajar, peneliti, dan juga para pembaca.
Ketua Dewan Redaksi
i
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
DAFTAR ISI
BEARING ISSN: 1858-2362 Volume 2, Nomor 1 Juni 2006 Model Pengembangan Kapasitas Petani/Nelayan Melalui Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (Capacity Building Model for Farmers through Learning Based on ICT) •
Ahmad Iqbal dan Achwil Putra Munir..................................................................1-6
Torsi Gergaji Piringan untuk Memotong Batang Tanaman Tebu (Torsion of Disc with Serrated to Cutting Stalk of Sugarcane) •
Bambang Sugiyanto dan Taufik Rizaldi..............................................................7-15
Pengembangan Minyak Jarak Pagar sebagai Biodisel (Development of Jatropha Oil as Biodiesel) •
Elisa Julianti..................................................................................................16-22
Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian (Freeze Drying with Vacuum Freezing and Flate Freezing with Back Heating Treatment at Sublimation for Durian Pastes) •
Kiman Siregar, Armansyah H.Tambunan, dan Bambang Haryanto ....................23-36
Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian ( The Integration of E-Commerce and Agridata Warehousing to Develop Competitiveness of Agricultural Product) •
Akhmad Nuryahya dan Kudang B. Seminar.....................................................37-49
Pengukuran Sifat-Sifat Fisik dan Akustik Buah Durian Selama Pematangan (Measurement of Physical and Acoustic Characteristics of Durian Fruit during Ripening) •
Sri Waluyo, Hadi K. Purwadaria, dan I Wayan Budiastra ..................................50-59
Pedoman Singkat Penulisan Buletin Agricultural Engineering (BEARING) ............................. 60
ii
Model Pengembangan Kapasitas Petani/Nelayan Melalui Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (Capacity Building Model for Farmers through Learning Based on ICT) Ahmad Iqbal1) dan Achwil Putra Munir2) Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta 2) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian USU, Medan
1)
Abstract The capacity development has many different meanings and interpretations, depending on who uses it and the context in which it is used. This paper tries to give the assessment and propose the model for capacity building and information/knowledge access for farmers through the utilization of information and communication technology. Keywords: capacity building, information and communication technology, dynamic web programming Abstrak Pengembangan kapasitas suatu masyarakat memiliki dimensi pemahaman yang begitu luas tergantung bagaimana kita melihatnya. Tulisan ini akan mencoba melakukan kajian dan usulan sebuah model untuk peningkatan kapasitas dan peningkatan akses informasi dan pengetahuan kepada masyarakat khususnya kalangan petani/nelayan melalui pemanfaatan teknologi telematika. Kata kunci: pengembangan kapasitas, teknologi informasi dan komunikasi, pemrograman web dinamis
Pendahuluan Dalam konteks ke-indonesia-an peran masyarakat terutama kelompok petani/ nelayan menjadi signifikan disebabkan dari segi jumlah yang lebih besar dari kelompok masyarakat lain. Jika dilihat sektor pertanian/ perikanan yang melibatkan petani/nelayan sebagai pelaku utama berdasarkan kondisi riil amat sensitif secara politik, amat penting secara ekonomi, namun amat lemah secara sosial. Fenomena yang sedang berkembang di negara kita kini amat tepat untuk menunjukkan kebenaran tesis itu. Saat ini jumlah petani di Indonesia menempati porsi terbesar dalam lapisan masyarakat. Data Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan, jumlah kepala keluarga (KK) petani mencapai 25,4 juta KK secara matematis. Yang sangat disayangkan, potensi
jumlah yang amat besar itu tidak serta-merta mendongkrak posisi sosial ekonomi petani. Saat ini sektor pertanian memiliki posisi sosial yang rendah dalam pandangan kebanyakan masyarakat. Dengan kata lain, kondisi di atas menunjukkan lemahnya kapabilitas dan kapasitas masyarakat petani untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungannya. Tulisan ini mengusulkan sebuah model yang mengangkat satu konsep pemberdayaan bagi petani dengan memanfaatkan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi yang telah ada sebagai media untuk peningkatan kapasitas masyarakat. Di sisi lain teknologi informasi dan komunikasi berkembang sangat cepat dan masif. Teknologi informasi dan komunikasi atau yang dikenal juga dengan teknologi telematika seperti internet (world wide web),
1
Ahmad Iqbal dan Achwil Putra Munir: Model Pengembangan Kapasitas Petani/Nelayan Melalui Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi
email, telepon fixed maupun mobile, fiber optik, dan satelit telah berkembang secara revolusioner yang mengubah cara bagaimana masyarakat berinteraksi, melakukan proses bisnis, berkompetisi di pasar internasional, dan mengelola ekonomi dan agenda pengembangan sumber daya manusia. Melalui teknologi ini masyarakat kini dapat menghasilkan dan mengakses informasi dan pengetahuan lebih banyak, lebih cepat, dan dengan biaya yang lebih murah. Di samping itu juga terdapat peluang yang lebih luas untuk peningkatan produktivitas dan aktivitas ekonomi. Teknologi telematika juga dapat berkontribusi menuju perkuatan demokratisasi, meningkatkan partisipasi sosial, berkompetisi dalam pasar dunia, dan menghilangkan batas dalam proses modernisasi. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun model pembelajaran masyarakat melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat meningkatkan arus informasi, komunikasi, dan meningkatkan kapabilitas/kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat tani dan nelayan.
Metodologi Penelitian Waktu Pelaksanaan Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2005 sampai dengan April 2006 di tiga lokasi yaitu Medan, Makasar, dan Samarinda. Bahan Penelitian Bahan penelitian ini menggunakan kuesioner dan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah alat analisis untuk mengukur kemampuan iptek berdasarkan
2
pendekatan ESCAP, Perangkat Server, Perangkat Jaringan, Aplikasi internet /intranet open source (LAMPG=Linux, Apache, MySQL dan PHP, Gammu), SMS gateway (Modem GSM), HP. Tahapan Penelitian Baseline survey (kajian literatur, pemetaan) kebijakan)
Survei & Analisis
Forum Diskusi Partisipatif
Prototip Model Pembelajaran Berbasis IT
Rekomendasi & sosialisasi
Gambar 1. Metodologi Penelitian
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan pelaksanaan survei dan pelaksanaan forum diskusi secara partisipatif disusun suatu model yang diharapkan dapat mendorong peningkatan pengetahuan bagi kalangan pertanian dan kelautan dan berdampak pada perbaikan kinerja dalam pengelolaan pertanian di masyarakat. Struktur model sistem pembelajaran tersebut ditunjukkan pada Gambar 2. Struktur sistem pembelajaran secara keseluruhan terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu: (1) Komponen sistem pembelajaran masyarakat berbasis telematika; (2) Komponen umpan balik (pemantauan dan evaluasi); (3) Komponen pengendali atau pengatur berupa regulasi, insentif, dan instrumen kebijakan pendukung lainnya. Sedangkan input dan outputnya adalah petani dan peningkatan kapasitas petani. Komponen sistem pembelajaran masyarakat terdiri dari sistem pembelajaran online, offline, dan mobile. Pada dasarnya, sistem pembelajaran online merupakan sistem yang berisi sarana dan prasarana, sumber daya yang dikembangkan dalam bentuk website (media internet) yang
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
dioperasikan oleh suatu pengelola dengan mekanisme operasional pendukung. Sistem pembelajaran offline terdiri dari sarana dan prasarana, sumber daya-sumber daya yang dikembangkan dalam suatu tempat pembelajaran di suatu wilayah apakah itu balai desa, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang ada di kecamatan atau kelurahan ataupun simpul-simpul kegiatan masyarakat produktif lainnya yang di dalamnya terpasang fasilitas teknologi telematika dan mitra lokal yang mamfasilitasi sistem dengan suatu mekanisme operasional tertentu. Sistem pembelajaran mobile terdiri dari sarana dan prasarana, sumber dayasumber daya yang dikembangkan dalam bentuk unit bergerak yang di dalamnya terdapat fasilitas teknologi telematika dan mitra lokal yang mamfasilitasi sistem yang dijalankan dengan mekanisme operasional tertentu. Situs pembelajaran online merupakan sistem informasi berbasis website yang
menjadi pusat informasi, komunikasi, dan transaksi bagi komunitas petani/nelayan. Pembelajaran offline dan mobile merupakan simpul-simpul lokal penerapan teknologi informasi yang diletakkan dekat dengan komunitas petani atau nelayan. Simpul lokal offline diletakkan di tempat-tempat terjadinya kerumunan petani/nelayan seperti balai desa, Sub Terminal Agrobisnis (STA) atau Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan lain-lain. Simpul pembelajaran mobile merupakan unit bergerak (berupa mobil keliling) yang menghubungkan desa satu ke desa lain yang berjarak cukup jauh. Di setiap simpul harus memiliki mitra lokal yang akan memberikan fasilitasi informasi, komunikasi, dan bantuan lain kepada petani dan nelayan melalui sarana telematika misalnya akses informasi tentang teknologi budidaya, pasca panen, pemasaran, pelatihan, dan lain-lain. Hubungan antarkomponen sistem online, offline, dan mobile dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Struktur Model Pembelajaran Petani/Nelayan
3
Ahmad Iqbal dan Achwil Putra Munir: Model Pengembangan Kapasitas Petani/Nelayan Melalui Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi
Simpul lokal (mobile) Simpul lokal (offline)
INTERNET
Pembelajaran online
WIRELESS
SMS
Simpul lokal (offline)
Simpul lokal (offline)
TELP/FAX, DLL
Simpul lokal (mobile)
Simpul lokal (offline)
gateway sebagai sarana informasi dan komunikasi pengelola dengan pelaku di simpul pembelajaran. Hal ini dibuat mengingat pelaku sudah akrab dengan media SMS tapi belum tentu mampu mengoperasikan komputer. Dengan SMS ini diharapkan dapat terjadi komunikasi dua arah yang signifikan untuk proses pembelajaran awal. Alamat situs web ini adalah http://lc.bppt.go.id/ dan nomor handphone SMS gateway adalah 081382923431. Menu situs dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 3. Hubungan Antarsimpul Struktur dan tampilan situs web pembelajaran ini dapat dilihat pada Gambar 4. Struktur website ini merupakan prototip awal yang dikembangkan berdasarkan hasil diskusi dan survei yang telah dilakukan. Namun belum melihat kebutuhan riil yang dirasakan oleh pelaku di simpul. Oleh sebab itu website ini akan mengalami pengembangan lebih lanjut sesuai kebutuhan pengembangan simpul-simpul lokal. Satu hal yang menonjol adalah pemanfaatan SMS
Gambar 4. Tampilan Prototip Pembelajaran Online
Situs
Tabel 1. Pelabelan dan Pengelompokan Informasi No.
4
Label
Isi
1.
Home
Halaman default
2.
Berita
Berisi informasi yang terkait dengan kebutuhan stakeholder
3.
Peluang
Berisi informasi peluang bisnis dan kesempatan lain di antara sesama stakeholder
4.
Forum Diskusi
Berisi ajang diskusi untuk para pengguna
5.
Kolom Pakar
Berisi kolom konsultasi antara pakar dan pengguna dalam bidang pengetahuan tertentu
6.
Profil Mitra
Berisi daftar anggota komunitas
7.
Register
Berisi form untuk mendaftar sebagai anggota.
8.
Contact
Berisi alamat kontak pemelihara situs (e-mail, telepon, dll.)
9.
About Us
Berisi keterangan singkat tentang pemilik situs
10. Link
Berisi link-link situs terkait dan situs mitra dari situs pemilik
11. SMS interaktif
Berisi informasi yang bersifat interaktif di mana pengguna dapat mengirim sms ke situs untuk mengirim berita singkat atau bertanya sesuatu kepada pakar
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Komponen pengendali atau pengatur berupa instrumen kebijakan pendukung berupa peraturan, regulasi dan deregulasi, insentif. Model pembelajaran ini dapat dikembangkan dengan sukses bila didukung oleh kebijakan yang tepat. Ada tiga bentuk intervensi kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan model pembelajaran ini yaitu legal device (UU), mekanisme operasional berupa surat keputusan menteri, perda, dan lain-lain serta kelembagaan yang meliputi kelembagaan yang mendukung terwujudnya proses pembelajaran masyarakat. Keterkaitan kebijakan sistem pembelajaran ini dengan kebijakan-kebijakan lain harus bersifat saling memperkuat dan mendukung. Dari sisi konsep pembelajaran harus terjadi sinkronisasi kebijakan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Depdiknas. Sedangkan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi telematika kebijakan yang dibuat harus sejalan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi dan kebijakan terkait lainnya. Wujud dari ketiga bentuk intervensi di atas dapat berupa sistem insentif atau kemudahan-kemudahan dalam mekanisme pentarifan, pembangunan infrastruktur, perizinan maupun kelembagaan yang dapat mendorong tumbuhnya proses pembelajaran di masyarakat berbasis teknologi telematika khususnya bagi petani dan nelayan. Beberapa usulan yang dapat diperhatikan untuk keberhasilan penerapan sistem pembelajaran iptek di masyarakat adalah sebagai berikut: a. Peningkatan teledensitas khususnya akses internet dengan menerapkan USO internet. b. Penerapan USO (Universal Service Obligation) untuk internet misalnya dengan menyediakan infrastruktur internet dan akses internet gratis terbatas ke masyarakat perdesaan. c. Peningkatan akses internet dengan biaya akses yang murah bagi petani/nelayan. d. Pengembangan e-learning dan kurikulum pendidikan dan pembelajaran masyarakat yang diakui oleh Depdiknas.
e.
Kemudahan investasi bagi masyarakat yang ingin mengembangkan usaha di bidang telematika yang mendukung kegiatan pertanian maupun kelautan.
Komponen umpan balik terdiri dari proses pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi menjaga dan menjamin agar tujuan sistem dapat terjadi selama proses perencanaan dan perancangan lebih-lebih bila proses memiliki beberapa tujuan, atau tujuan yang mengandung artikulasi yang kurang begitu jelas atau mengandung ambigu, maupun hubungan sebab akibat yang mengaitkan beberapa tujuan tersebut. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pemantauan adalah: (1) Indikator kinerja yang memberikan dasar praktis untuk menegaskan apakah setiap tujuan telah memenuhi harapan; (2) Target yang mendefinisikan kuantitas, kualitas jadwal untuk setiap indikator; (3) Rencana yang realistik dalam pengumpulan data dasar untuk setiap indikator; (4) Dalam pendekatan partisipatif, dalam merancang proses, pemantauan dan evaluasi harus melibatkan stakeholder (pemangku kepentingan) sehingga menjadi latihan dalam pembelajaran dan pengembangan kapasitas. Sedangkan evaluasi akan meningkatkan nilai-nilai apabila fokus pada isu dan pertanyaan strategis tentang mengapa hal tersebut terjadi. Evaluasi harus dapat melihat kecenderungan ke depan dan belajar dari pengalaman.
Kesimpulan dan Saran Sistem pembelajaran produktif untuk peningkatan kapasitas petani ini dapat meningkatkan akses informasi, komunikasi, dan pengetahuan bagi petani melalui tayangan informasi dan komunikasi melalui website dan melalui diskusi partisipatif dan pendampingan oleh mitra lokal. Sistem ini merupakan prototip awal yang perlu dikembangkan lagi baik metodologi, infrastruktur telematika maupun konten informasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik di setiap simpul.
5
Ahmad Iqbal dan Achwil Putra Munir: Model Pengembangan Kapasitas Petani/Nelayan Melalui Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi
Daftar Pustaka Alkadri dkk., 1999. Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah, Dit. KTPW-BPPT. Wilkinson, Rona, Impact Assessment of Macro Level Policies on ICTs. Cheema, Shabbir, G, 2003. Capacity Development at the Country Level, A ten-Point Agenda for Action, Italy. Harry
Taufik,
W. Richardson, 1972. Regional Economics Redwood Press Limited, London. A.Tatang, Komputer BPPT.
2002. 2001,
Survei Literasi P2KTPUDPKM
UNDP, 1998. Capacity Assessment and Development, In a Systems and Strategic Management Context. Taufik,
A. Tatang., Subagjo I. 2001. Menumbuhkembangkan Pemanfaatan Sumber Daya Lokal dan Perlindungan Aset Intelektual Bangsa, P2KTPUDPKM BPPT.
BPPT, 2004. Indikator Teknologi Informasi dan Komunikasi Tahun 2004. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika (P3TIE).
6
BPS, 2003. Sulawesi Selatan dalam Angka. BPS, 2004. Medan dalam Angka 2003, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kota Medan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Medan. BPS, 2004. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Barru Tahun 2003, Kerja sama Badan Pusat Statistik Kabupaten Barru dan BAPPEDA Kabupaten Barru. LP
UNHAS, 2004. Laporan Akhir Pengembangan dan Pemutakhiran Data Perencanaan (Karakterisasi Lahan dan Zonasi Pengembangan Pertanian dan Sumberdaya Alam) Kabupaten Barru. Divisi Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin.
BPPT, 2005. Laporan Akhir Pengembangan Model Pembelajaran Masyarakat Melalaui Pemanfaatan ICT dalam Era Ekonomi Berbasis Pengetahuan. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Unggulan Daerah dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat.
Torsi Gergaji Piringan untuk Memotong Batang Tanaman Tebu (Torsion of Disc with Serrated to Cutting Stalk of Sugarcane) Bambang Sugiyanto1) dan Taufik Rizaldi2) Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Medan 2) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian USU, Medan 1)
Abstract Alternative cutting mechanism harvesting sugar cane mechanization was rotary disc cutting tool with serrated in peripherial driven by small knapsack gasoline motor. Objective of this research was to study the cutting torque and influenced of design parameters to drive rotating disc with serrated cutting edge. The Parameters wich used to determine torque were: diameter of material (Db), tangential velocity of serrated (Vt) and feeding velocity (Vb). The materials used were meranti woods and sugar cane stalks. To determine the cutting torque, dimension analysis which then result a mathematic model was used suitable for the sugarcane stalk cutting process. From analysis and discussion it was concluded that the cutting torque decreased if the feeding velocity inset to be constant and tangential velocity increased. Keywords: torque, disc with serrated, sugarcane cutting Abstrak Alternatif mekanis pemanen tebu adalah alat potong gergaji piringan yang digerakkan oleh motor daya kecil dan dapat digendong oleh pekerja. Tujuan penelitian adalah mengkaji besarnya torsi dan parameter desain yang berpengaruh untuk menggerakkan gergaji piringan sebagai alat potong untuk memotong batang (tebu). Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan besarnya torsi adalah diameter bahan (Db), kecepatan tangensial gergaji (Vt), kecepatan pengumpanan (Vb). Bahan yang digunakan adalah kayu meranti dan batang tebu. Untuk menentukan torsi pemotongan digunakan metode analisa dimensi sehingga ditemukan model matematika yang sesuai untuk proses pemotongan batang tebu. Dari analisa dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa besarnya torsi pemotongan berkurang jika kecepatan pengumpanan konstan dan kecepatan tangensial gergaji bertambah. Kata kunci: torsi, gergaji piringan, pemotongan tebu
Pendahuluan Latar Belakang Budidaya tebu sebagai bahan dasar dalam proses produksi gula banyak diusahakan oleh petani di Indonesia, tetapi mekanisasi dalam proses pertanian tebu masih sangat terbatas dan proses panen masih dilakukan secara manual, yaitu dengan cara membabat tebu dengan alat
potong tradisional yang pada umumnya menggunakan sabit. Proses panenan tebu secara manual/ tradisional membutuhkan tenaga kerja (buruh) yang relatif lebih banyak dengan kapasitas kerja yang rendah. Maka dari itu perlu dikembangkan alat pertanian mekanis untuk proses pemanenan tebu. Alternatif alat mekanis pemanen tebu yang ditawarkan adalah jenis alat potong piringan rotari portable dengan
7
Bambang Sugiyanto dan Taufik Rizaldi: Torsi Gergaji Piringan untuk Memotong Batang Tanaman Tebu
gerigi gergaji pada sekeliling luar piringannya dan digerakkan oleh motor pembangkit daya skala kecil yang dapat digendong oleh buruh perkebunan tebu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu kiranya dilakukan penelitian (pengkajian) tentang analisa torsi pada alat potong jenis gergaji piringan rotari untuk memotong bahan tanaman tebu sehingga nantinya dapat menjadi bahan acuan dalam memperkirakan kebutuhan daya pada mesin pemanen tebu yang menggunakan gergaji piringan. . Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah mengkaji besarnya torsi untuk memutar gergaji piringan sebagai alat potong batang tebu dengan beberapa parameter yang mempengaruhinya. Penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan model matematis hubungan dari parameter-parameter tersebut.
Metodologi Penelitian Prinsip Kerja Pemotongan Pemotongan tanaman yang dibahas pada penelitian ini menggunakan mekanisme yang terdiri atas gergaji piringan dan poros pemutar. Jika gergaji piringan berputar dengan kecepatan tertentu dan terhadap bidang putar dengan sudut tertentu terdapat bahan yang digerakkan (digeser) menuju sumbu piringan maka gergaji piringan yang berputar tersebut akan menggergaji dan memotong bahan.
2 =. Poros pemutar 1 = Gergaji piringan 3 = bahan (batang tebu) Gambar 1. Bagian-Bagian Utama Alat Potong Gergaji Piringan
8
Proses pemotongan berlangsung terus selama bahan digeser menuju sumbu piringan sampai bahan putus terpotong oleh gergaji. Gaya Pemotongan Proses pemotongan bahan oleh gergaji pada prinsipnya adalah perusakan (penghancuran) bahan tepat pada mata gergaji. Untuk dapat merusak (menghancurkan) bahan maka mata gergaji harus mampu melawan kekuatan yang dimiliki oleh bahan. l δs Fc
Gambar 2. Bentangan Elemen Gergaji Diasumsikan selama pemotongan tebal pemakanan gergaji adalah δs yaitu ujung mata gergaji yang masuk pada batang tebu, dan panjang pemakanan yang tidak lain adalah panjang busur gergaji piringan yang mengenai batang tebu adalah l, maka besarnya gaya pemotongan dapat dicari: Fc = τ x δs x l Torsi pemotongan Torsi yang dialami oleh poros piringan selama proses pemotongan (dengan asumsi gaya inersia diabaikan) besarnya adalah: T = Fct x R Di mana: T = Torsi Fct = Komponen gaya potong tangensial = Komponen gaya potong yang tegak lurus jari-jari piringan R = Jari-jari gergaji piringan Gaya potong = Fc Komponen gaya potong arah tangensial Fct Komponen gaya potong arah radial Fcr
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Satu gigi gergaji
Φ
Fct
Fcr
Fc
Jika gergaji piringan memiliki jumlah gigi sekeliling sebanyak NOK dan berputar N rpm, maka tiap gigi satu putaran akan menghasilkan pemotongan maju sebesar LLF, yaitu:
LLF =
Gambar 3. Gaya-Gaya Potong
1000 × Vb N OK × N 60
Dan kecepatan gigi gergaji:
R ×ω 1000 3,14 ⎞ ⎛ R×⎜ N × 2× ⎟ 60 ⎠ ⎝ V = 1000
V = Kecepatan Pengumpan dan Putaran Piringan Gergaji Satu kali mata gergaji memotong, maka hasil pemotongannya membentuk kurva sikloida.
LLF R R α Vc
V Vb
Gambar 5. Panjang Pemotongan Tiap Gigi Gambar 4. Sikloida Dasar Pemotongan
Gerakan
Kajian kecepatan menurut Sverker Persson (1987, p. 115) adalah: Vb : kecepatan pengumpanan [m/s] Vc : kecepatan pemotong (gigi gergaji) [m/s] ω : kecepatan angular piringan [rad/s] R : jari-jari piringan [mm] Vt : kecepatan relatif antara alat potong dan bahan [m/s] Vx : komponen kecepatan gigi gergaji pada sumbu X [m/s] Vy : komponen kecepatan gigi gergaji pada sumbu Y [m/s] Ti : waktu pemotongan [s] Komponen Vx dan Vy dapat dihitung sebagai berikut:
Vb + (R × ω )Sin(ω × Ti ) 1000 ( R × ω) Cos(ω × Ti ) Vy = 1000
Vx =
Berdasarkan Gambar 5 kecepatan pemotongan Vc adalah: Vc= (V² + Vb² - 2 V
maka
Vb sin α )
Analisis Dimensi Berdasarkan uraian tersebut di atas maka variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap torsi pemotongan bahan batang oleh gergaji piringan disajikan pada Tabel 1. Menurut teorema Buckingham banyaknya kelompok bilangan tanpa dimensi yang akan dicari adalah: S = n - b (Glenn Murphy, 1950). di mana: S = banyaknya bilangan tak berdimensi π n = jumlah kuantitas parameter, n = 10 b = banyaknya dimensi dasar, b = 3 sehingga S = 10 - 3 S=7
9
Bambang Sugiyanto dan Taufik Rizaldi: Torsi Gergaji Piringan untuk Memotong Batang Tanaman Tebu
Tabel 1. Variabel yang Diduga Berpengaruh terhadap Torsi Pemotongan Bahan Batang oleh Gergaji Piringan No.
Variabel bebas dan tak bebas
Simbol
Satuan
Dimensi
Variabel bebas Bahan batang uji 1
Diameter batang
Db
m
L
2
Tegangan geser
τ
N/m²
F L –2
3
Koefisien gesekan
μ
---
---
4
Sudut kemiringan bahan
θ
---
---
Jari – jari piringan
R
.m
L
6
Sudut mata gergaji
β
---
---
7
Tebal pelat gergaji
.t
.m
L
Peralatan 5
Sistem 8
Kecepatan Pengumpanan
Vb
.m/sec
LT-1
9
Kecepatan tangensial piringan gergaji
Vt
m/sec
LT-1
T
Nm
FL
Variabel tak bebas 10
Torsi
Setelah diselesaikan persamaan tersebut maka didapat bilangan tanpa dimensi Pi sebagai berikut: π1 = f ( π2 , π3 , π4 , π5 , π6 , π7 )
T Vt t ⎤ ⎡ Db Db , , μ ,θ , , = f⎢ 3 Vb r ⎥⎦ Rτ ⎣ R R Pengujian Model Bentuk persamaan Pi-bebas pada ruas kanan hasil analisis dimensi tersebut di atas sangatlah kompleks/rumit jika akan dilakukan pengujian di laboratorium. Oleh karena itu perlu dilakukan penyederhanaan dan idealisasi saat pengujian di laboratorium, dengan asumsi – asumsi (Langhaar Henry L.,1986). Asumsi-asumsi dan idealisasi dalam melakukan percobaan adalah sebagai berikut: 1) Tegangan geser τ, koefisien gesek μ yang dimiliki oleh seluruh bahan batang uji karena sejenis adalah sama; 2) Kondisi peralatan yang digunakan seperti jari-jari piringan R, sudut mata
10
gergaji β, tebal pelat gergaji (t) adalah konstan. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut maka beberapa bentuk Pi pada ruas kanan persamaan fungsi ada yang nilainya konstan sehingga model matematik yang ingin dicari adalah: T ⎡ Db Vt ⎤ = f⎢ , R 3τ ⎣ R Vb ⎥⎦ atau dapat dituliskan π1 = f ( π2 , π3 ) Persamaan (model) matematik yang memenuhi fungsi tersebut di atas yang ingin diketemukan dalam penelitian ini. Model Fisik Pembuatan model fisik seperangkat alat gergaji piringan yang dilengkapi dengan sumber tenaga penggerak dan instrumentasi alat-alat ukur di laboratorium.
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
7
6
No. 1
8
9
10
11 12 7 4
4
3
5
13 7
15
16
2 1 7
Nama bagian Rangka
2
Motor listrik
3
Roda gigi pada poros motor
4
Rantai dan roda gigi transmisi putaran
5
Roda gigi poros horizontal
6
Amplifier
7
Komputer (unit perekam)
8
Gergaji piringan
9
Test piece (batang benda uji yang dipotong)
10
Unit mekanik pemegang dan pengumpan benda kerja
11
Bantalan (bearing) poros vertical
12
Poros vertikal pemutar gergaji pirigan
13
Unit strain gage dan slip ring
14
Bearing dan rangka pemegang poros horisontal
15
Poros horisontal (bagian sistem transmisi putaran)
16
Roda gigi paying
11
7
Gambar 6. Model Fisik Pengujian Gergaji Piringan Variabel π1 tak bebas dan variabel π2 bebas, divariasikan untuk nilai-nilai π2-0, π2-1 , π2-2 , π2-3 .
Bahan dan Alat Bahan Bahan uji adalah sampel batangan kayu meranti yang telah diuji nilai tegangan gesernya di laboratorium dan dibuat diameternya bervariasi yaitu 2,5 cm, 3,0 cm, 3,5 cm dan 4,0 cm, serta untuk observasi digunakan batang tebu yang didapat dari daerah perkebunan dengan jenis, umur, dan diameter tertentu. Alat Peralatan utama adalah seperti tergambar pada model fisik alat gergaji piringan dan peralatan lain yang diperlukan saat pengambilan data seperti jangka sorong, tacho-meter dan lain-lain.
π1 = f ( π 2 , π3 ) Percobaan
untuk
mendapatkan
hubungan antara π1 dan π3 dengan
π2
konstan. Variabel π1 tak bebas dan variabel π3 bebas, divariasikan untuk nilai-nilai π3-0, π3-1, π3-2, π3-3. Selain yang dijelaskan tersebut di atas, untuk mendapatkan persamaan model matematis gabungan maka masih dilakukan percobaan untuk memenuhi data yang dibutuhkan pada bujur sangkar latin. Pengambilan Data dan Analisa Data
Model Matematis Percobaan diatur untuk memperoleh hubungan sepasang π yaitu: π1 = f ( π2 ,
π3 )
Percobaan untuk mendapatkan hubungan antara π1 dan π2 dengan π3 konstan.
Pengambilan data dilakukan dengan mengoperasikan seperangkat alat gergaji piringan digunakan untuk memotong bahan kayu dan batang tebu serta dicatat besaranbesaran yang berkait dengan persamaan bilangan tanpa dimensi yang ingin ditemukan. Setelah data didapat kemudian dianalisa dengan memasukkan ke persamaan fungsi bilangan tanpa dimensi
11
Bambang Sugiyanto dan Taufik Rizaldi: Torsi Gergaji Piringan untuk Memotong Batang Tanaman Tebu
dengan menggunakan analisis regresi, untuk masing-masing pasangan perlakuan yaitu: π1 = f ( π2 , π 3 ) π1 = f (
π1 = f (π2 , π 3 ) dalam hal ini π 3 pada nilai konstan tertentu yaitu π 3 pada nilai Vt = 3,67 m/det, Vb = 4,5 x 10-3 m/det atau π 3 =
π 2 , π3 )
Sedangkan untuk mendapatkan model persamaan gabungan digunakan desain faktorial dengan cara melengkapi bujur sangkar latin.
Hasil dan Pembahasan
[Vt/Vb] = 815,5. Tegangan geser bahan kayu meranti merah sebesar τ = 22460647,61 [N/m²] (Sugiyanto B, 2003) Jari-jari gergaji piringan R = 0,125 (m). Hubungan persamaan matematis π1 dan π2 adalah:
π 1 = 0,0002(π 2 )0, 2789 atau
Hubungan antara π1 dan π2 Hubungan antara π1 dan π2 secara matematis dapat dituliskan:
T ⎛ Db ⎞ = 0,0002⎜ ⎟ 3 Rτ ⎝ R ⎠
0 , 2789
Dengan koefisien determinasi R² = 0,9892.
Tabel 2. Nilai π1 dan π2 Hasil Percobaan
π1 =
T τ R3
π2 =
Db [m]
Db R
π3 =
T [N M ]
1
5,3089
1,2101 x 10 –4
0,025
0,20
815,5
2
5,5395
1,2628 x 10 -4
0,030
0,24
815,5
3
5,8624
1,3364 x 10 –4
0,035
0,28
815,5
4
6,0251
1,3743 x 10
0,040
0,32
815,5
-4
Kurva hubungan dan Pi 2Pi 2 Kurva hub. PiPi11 dan
0.00014
PiPi 11
0.000135 0.00013
0.2789
(Pi 1) = 0.0002(Pi 2)
0.000125
2
R = 0.9892
0.00012 0.000115 0
0.1
0.2
0.3
0.4
Pi 2 Pi 2
Gambar 7. Kurva Hubungan π1 dan π2
12
Vt Vb
No.
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Hubungan antara π1 dan π3
4,5 mm/s, dan R konstan sebesar 0,125 m, untuk memvariasikan nilai π3 yang paling mudah adalah dengan memvariasikan nilai Vt yaitu dengan memvariasikan putaran poros piringan N. Variasi Vt tersebut adalah sebagai berikut: Vt1 = 3,67 m/s, Vt2 = 4,58 m/s, Vt3 = 4,95 m/s, Vt4 = 5,50 m/s. Hubungan persamaan matematis π1 dan π3 adalah:
Hubungan antara π1 dan π3 secara matematis dapat dituliskan: π1 = f ( π 2 , π3) dalam hal ini yaitu
π 2 pada nilai konstan tertentu
π 2 pada nilai diameter bahan Db = 3
cm dan jari-jari piringan gergaji R = 12,5(cm.) Atau
π 2 = (Db/R) = 0,24 sedangkan π3 =
( Vt / Vb ) divariasikan. Nilai Vt adalah kecepatan tangensial mata gergaji piringan yang besarnya adalah Vt = 2 x 3,14 R x N, di mana R adalah jari-jari piringan dan N adalah putaran poros (rps), sedangkan Vb adalah kecepatan maju bahan (pengumpan) yang konstan sebesar
π 1 = 0,0007(π 3 )−0, 2482 atau T ⎛ Vt ⎞ = 0,0007⎜ ⎟ 3 Rτ ⎝ Vb ⎠
−0 , 2482
dengan koefisien determinasi R²= 0,9504.
Tabel 3. Nilai π1 dan π3 dari Hasil Percobaan
T τ R3
π2 =
Db R
Vt
Vb
[m /det]
[m /det]
Vt Vb
T [N M ]
π1 =
1
5,5395
1,2628 x 10 -4
0,24
3,67
0,0045
815,5
2
5,3252
1,2139 x 10
3 4
π3 =
0,24
4,58
0,0045
1017,8
5,2113
1,1879 x 10
–4
0,24
4,95
0,0045
1100,0
4,9888
1,1372 x 10 –4
0,24
5,50
0,0045
1222,2
–4
Pi-1
Kurvahubungan hub. Pi-1 dan Kurva Pi 1Pi-3 dan Pi 3
Pi 1
No.
0.000128 0.000126 0.000124 0.000122 0.00012 0.000118 0.000116 0.000114 0.000112 500
(Pi1) = 0.0007(Pi3)-0.2483 R2 = 0.9504
700
900
1100
1300
Pi Pi-3 3
Gambar 8. Kurva Hubungan π1 dan π3
13
Bambang Sugiyanto dan Taufik Rizaldi: Torsi Gergaji Piringan untuk Memotong Batang Tanaman Tebu
Persamaan Gabungan
Sifat mekanis bahan batang tebu agak berbeda dengan sifat mekanis kayu khususnya dalam hal tegangan geser, jika tegangan geser pada kayu besarnya relatif seragam pada seluruh penampang potong batang uji, akan tetapi pada tebu besarnya tegangan geser tidak seragam yakni pada bagian sekitar kulit tebu memiliki tegangan geser yang lebih tinggi dibandingkan pada bagian dalamnya, sehingga dalam hal ini penulis mengambil nilai tegangan geser ratarata sebanding dengan luas penampang yang dimiliki oleh batang tebu. Menurut Sugiyanto (2003) besarnya tegangan geser batang tebu rata-rata τ = 11220613,76 [N/m²]. Torsi pengamatan = 1,1431 (torsi prediksi). Dengan koefisien determinasi R² = 0,9323. Jadi persamaan torsi gergaji piringan untuk memotong batang tebu satu per satu adalah sebagai berikut:
Persamaan gabungan yang dimaksud adalah hubungan matematis π1 = f (π2, π3), untuk mencari persamaan gabungan maka desain percobaan yang digunakan adalah desain factorial plan (Watkins R.K. dan Shupe O.K., p.96), di mana data yang dibutuhkan dirancang dapat memenuhi bujur sangkar latin (latin square). Setelah dilakukan perhitungan, persamaan gabungan yang didapat adalah:
⎛ Db ⎞ T = 9,4627 × 10 τ R ⎜ ⎟ ⎝ R ⎠ −4
Penerapan Model Tanaman Tebu
0 , 2751
3
untuk
⎛ Vb ⎞ ⎜ ⎟ ⎝ Vt ⎠
0242
Memotong
Selanjutnya model (persamaan matematis) yang telah didapat akan diaplikasikan pada pemotongan batang tebu.
⎛ Db ⎞ T = 1,0817 × 10 −3 τ R 3 ⎜ ⎟ ⎝ R ⎠
0 , 2751
Torsi Prediksi Prediksi Torsi
Torsi Prediksi Vs Torsi Observasi 6.50 6.00 5.50
y = 0.9962x
5.00 4.50 4.50
2
R = 0.9845 5.00
5.50
6.00
6.50
Torsi observasi Torsi Observasi
Torsi Pengamatan (N m)
Torsi Pengamatan (N m)
Gambar. 9 Kurva Torsi Prediksi Vs Torsi Observasi untuk Kayu
3.60 3.50 3.40 3.30 3.20 3.10 3.00 2.90 2.80 2.70 2.20
y = 1.1431x 2
R = 0.9323
2.40
2.60
2.80
3.00
3.20
Torsi Prediksi (N-m) Torsi Prediksi (N-m)
Gambar 10. Kurva Torsi Pengamatan Vs Torsi Prediksi untuk Tebu
14
⎛ Vb ⎞ ⎜ ⎟ ⎝ Vt ⎠
0242
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Daftar Pustaka
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Jika kecepatan pengumpan konstan, maka pertambahan kecepatan tangensial mata gergaji (putaran poros) akan menurunkan besarnya torsi pemotongan. Model matematis torsi pemotongan untuk kayu dapat diaplikasikan pada pemotongan batang tebu dengan mengalikan bilangan konstanta tertentu, hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat-sifat fisismekanis antara kayu dan tebu. Saran Untuk merancang bangun mesin pemanen tebu dengan alat potong gergaji piringan perlu diperhatikan bahwa kondisi alat potong di lapangan dapat memotong dua atau tiga batang tebu sekaligus sehingga perhitungan torsinya harus disesuaikan.
Glenn
Murphy, 1950. Similitude in Engineering. The Ronald Press Company, New York.
Langhaar Henry L., 1986, Dimensional Analysis and Theory of Model. John Wiley & Sons, Inc., New York. Nuri N. Mohsenin, 1970. Physical Properties of Plant and Animal material. Vol. 1, Gordon and Science Publisher, New York. Sverker Persson, 1987. Mechanic of Cutting Plant Material. ASAE 2950, Niles Road St. Joseph. Michigan 49085 USA. Sugiyanto Bambang, 2003, Kajian Torsi Gergaji Piringan pada Mesin Pemanen, Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Watkins. Reynold K., Shupe Owen K., 1976. Introduction to Experimentation. Engineering Experiment Station-Utah State University – Logan, Utah 84322.
15
Pengembangan Minyak Jarak Pagar sebagai Biodisel (Development of Jatropha Oil as Biodiesel) Elisa Julianti Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian USU
Abstract Due to unstable oil price situation in the world market, many countries have been looking for alternative energy to substitute petroleum. Biodiesel is a diesel fuel made from natural, renewable source such as vegetable oil and animal fats. The use of jatropha oil as biodiesel or biofuel has been intensively investigated. In the beginning, the emphasis was placed on the technical possibilities associated with the use of jatropha oil as a biodiesel. Jathropha oil was made from jathropa seed, which contain 46% oil by pressing the seed. The crude jatropha oil then converted into biodiesel fuel through a chemical process called transesterification. The experiment result showed that utilization of jatropha oil as biodiesel is potential, safe, and environmental friendly. Keywords: jathropa oil, biodiesel, transesterification Abstrak Situasi harga minyak dunia yang tidak stabil menyebabkan banyak negara mulai mencari energi alternatif sebagai pengganti minyak bumi. Biodisel adalah minyak disel yang dibuat dari bahan-bahan alami, dari sumber yang dapat diperbaharui seperti minyak nabati dan lemak hewan. Penelitian mengenai penggunaan minyak jarak pagar sebagai biodisel atau biofuel saat ini intensif dilakukan. Pada tahap awal dilakukan penelitian mengenai kemungkinan teknis yang berhubungan dengan penggunaan minyak jarak pagar sebagai biodisel. Minyak jarak pagar diperoleh dari biji buah jarak, yang mengandung minyak 46% dengan cara mengepres biji jarak. Minyak jarak yang dihasilkan kemudian ditransesterifikasi untuk dapat digunakan sebagai biodisel. Dari hasil penelitian diketahui bahwa minyak jarak potensial digunakan sebagai biodisel yang aman dan ramah lingkungan. Kata kunci: minyak jarak pagar, biodisel, transesterifikasi
Pendahuluan Jarak pagar (Jatropha curcas L) merupakan tanaman yang sejak 50 tahun lalu sudah dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah untuk lampu petromaks. Saat ini, di tengah kondisi ketersediaan bahan bakar minyak yang berasal dari minyak bumi semakin menipis serta harganya yang semakin meningkat, maka penggunaan jarak pagar sebagai sumber bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah maupun solar (biodisel) akan sangat membantu mengatasi masalah ini. Minyak jarak dapat diperoleh dengan cara mengepres biji jarak yang telah
16
dikeringkan dengan teknologi yang cukup sederhana. Secara tradisional minyak jarak kasar hasil ekstraksi ini sudah dapat digunakan sebagai bahan bakar lampulampu penerangan di perdesaan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, biji jarak mengandung minyak sebesar 46%, dan jika dipres dengan menggunakan alat pengepres minyak sederhana seperti hydraulic press, maka dapat diperoleh rendemen minyak jarak sebesar 22-27% (Departemen Teknologi Pertanian USU, 2005). Kandungan trigliserida dalam minyak jarak penting diketahui karena dari pengolahannya bisa didapatkan senyawa metil ester yang diharapkan bisa menjadi biodisel.
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Sifat Kimia dan Fisika Minyak Jarak Minyak jarak berbeda dari minyak nabati lainnya karena minyak jarak mempunyai bobot jenis, viskositas, bilangan asetil, dan kelarutan dalam alkohol yang tinggi. Ciri khas yang dimiliki minyak jarak adalah kandungan asam lemak tidak jenuh yang mengandung gugus hidroksil (unsaturated hydroxyl fatty acid), cis 9,12 hydroxy octadecanoic acid, yang umum disebut risionoleat (ricinoleic acid) dengan rumus molekul sebagai berikut (Kirk and Othmer, 1993; Patterson, 1994; Crawford et al., 1997): CH3-(CH2)5-CHOH-CH2-CH=CH-(CH2)7COOH Hasil penelitian terhadap 19 sampel minyak jarak yang berasal dari tanaman yang tumbuh di berbagai tempat di dunia, diperoleh komposisi campuran dari asamasam lemak minyak jarak seperti terlihat pada Tabel 1. Menurut Kirk and Othmer (1993), minyak jarak dapat larut di dalam etil alkohol 95% pada suhu ruang serta pelarut organik polar dan sedikit larut di dalam golongan hidrokarbon alifatis. Kelarutan minyak jarak yang rendah di dalam petroleum dapat digunakan untuk
membedakan dari lainnya (Tabel 2). Masalah-Masalah Minyak Jarak
golongan
dengan
trigliserida
Penggunaan
Masalah yang timbul dalam rangka pengembangan minyak jarak sebagai bahan bakar alternatif adalah nilai viskositas dan titik nyala (flash point) minyak jarak yang masih cukup tinggi. Nilai viskositas minyak jarak kasar adalah sebesar 0.9100 g/ml pada suhu 15o C dan titik nyalanya sebesar 240o C. Nilai ini masih lebih tinggi dibandingkan minyak disel yang hanya mempunyai viskositas sebesar 0.8410 g/ml dan titik nyala 50o C (Kandpal and Madan, 1994). Masalah lain yang berkaitan dengan penggunaan minyak jarak adalah berkaitan dengan cetane number yang rendah (kebanyakan minyak nabati memiliki cetane number yang rendah dan tidak stabil bila dicampur dengan minyak solar (La Puppung, 1986). Sebagai bahan bakar mesin disel, hal ini tidak menguntungkan, karena rendahnya cetane number akan menyebabkan terlalu lamanya ignition delay, sehingga pada saat terjadi autoignition, dalam ruang bakar tersedia terlalu banyak bahan bakar yang telah siap terbakar.
Tabel 1. Komposisi Asam Lemak Minyak Jarak Asam Lemak
Rumus Molekul
Jumlah (%) a)
b)
c)
Risinoleat
C18H34O3
89.5
89.0 - 89.4
Tidak disebut
Dihidroksistearat
C18H36O4
0.7
1.3 – 1.4
Tidak disbeut
Palmitat
C16H32O2
1.0
0.9 - 1.2
14.1 – 15.3
Stearat
C18H36O2
1.0
0.7 – 1.2
3.7 – 9.8
Oleat
C18H34O2
3.0
3.2 – 3.3
34.3 – 45.8
Linoleat
C18H32O2
4.2
3.4 – 3.7
29.0 – 44.2
Linolenat
C18H35O2
0.3
0.2
0.0 – 0.3
Eikosaenoat
C18H40O2
0.3
Tidak disebut
Tidak disebut
a) Kirk and Othmer (1993), b) Patterson (1994), c) Gubitz et al. (1998)
17
Elisa Julianti: Pengembangan Minyak Jarak Pagar sebagai Biodisel
Tabel 2. Sifat Fisikokimia Minyak Jarak Sifat-Sifat Viskositas Bobot Jenis Bobot Molekul Bilangan Asam Bilangan Penyabunan Fraksi Tak Tersabunkan (%) Bilangan Iod (Wijs) Warna (Appearance) Indeks Bias Kelarutan dalam alkohol 20oC Bilangan hidroksil Bilangan Asetil Titik Nyala (Taq close cup),oC Titik Nyala (Claveland Open Cup), oC Suhu Pembakaran, oC Titik Api, o C Titik Tuang Putaran Optik Titik Leleh, o C Tegangan permukaan pada 20oC, dyne/cm2
a) u-v (6.3-8.8 st) (GardnerHold, 25oC) 0.967-0.963 (20/20oC) 0.4-4.0 176-181 0.7 82-88 Tidak lebih gelap dari 3’ (Gardner max) 1.477-1.478 (25oC) Jernih (Tidak keruh) 145-154 230 285 499 322 7.5-9.0 -33 39.9
Nilai b) 9.5-10 Poise (20oC)
c) 17.1-52 cSt (30oC)
0.958-0.969 (15.5oC) 298 4.0 (max) 177-187 1 (max) 82-90 2.2-0.3 R (max)
0.920 g/cm3 (15oC) 3.5 ±0.1 105.2±0.7 -
1.477-1.481 (20oC) 156 140 (minimal) -
240 -
18oC 5 -
-
a) Bailey (1950), b) Salunkhe et al., (1992), c) Akintayo, 2003
Proses Pengolahan Minyak Jarak
Pemurnian Minyak Jarak
Proses pengolahan minyak biji jarak dari biji buah jarak meliputi pengeringan buah jarak untuk mengeluarkan biji dari buah jarak, pengeringan biji jarak hingga diperoleh kadar air biji 6%, pemisahan kulit biji (cangkang) dengan daging biji yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan mesin pemisah biji jarak. Sebelum dilakukan pengepresan biji jarak, maka dilakukan pemanasan pendahuluan berupa pemanasan dengan menggunakan oven pada suhu 105o C selama 30 menit. Dengan cara ini akan dihasilkan minyak jarak dengan mutu yang baik. Kemudian dilakukan penghancuran daging biji, pengepresan minyak dengan menggunakan mesin pengepres dan penyaringan minyak (Departemen Teknologi Pertanian, 2005).
Pemurnian minyak bertujuan untuk memperbaiki kualitas minyak dengan jalan memisahkan kotoran yang tidak diinginkan, agar diperoleh minyak dengan karakteristik yang sesuai dengan keinginan konsumen. Di samping itu pemurnian juga bertujuan untuk memperpanjang masa simpan minyak sebelum digunakan (Kirk and Othmer, 1993). Menurut La Puppung (1986), perbedaan yang agak tajam antara minyak jarak bebas gum (Crude Degummed Castor Oil) dan minyak jarak RB (Refined Bleached Castor Oil) terletak pada bilangan asam yang terdapat di dalam minyak tersebut. Minyak jarak bebas gum memiliki bilangan asam yang lebih tinggi dibandingkan minyak jarak RB. Sedangkan indeks viskositas dari minyak jarak bebas gum sama dengan indeks viskositas dari minyak jarak RB. Titik tuang
18
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
minyak jarak RB lebih rendah dibandingkan titik tuang minyak jarak bebas gum. Biodisel Biodisel secara kimia didefenisikan sebagai metil ester yang diturunkan dari minyak/lemak alami, seperti minyak nabati, lemak hewan, atau minyak goreng bekas. Biodisel merupakan bahan bakar yang bersih dalam proses pembakaran, bebas dari sulfur dan benzien karsinogenik. Dapat didaur ulang dan tidak menyebabkan akumulasi gas rumah kaca, tidak toksik (toksisitasnya 10% lebiih rendah dari toksisitas garam dapur), dapat didegradasi (waktu degradasi hampir sama dengan gula). Biodisel dapat digunakan langsung atau dicampur dengan minyak disel (Peeples, 1998). Sifat fisikokimia biodisel mirip dengan bahan bakar disel. Bahan bakar fosil mempunyai kandungan sulfur, nitrogen, dan metal yang tinggi dan dapat menyebabkan hujan asam serta efek rumah kaca. Biodisel tidak mengandung sulfur dan senyawa benzene sehingga lebih ramah lingkungan dan mudah terurai di alam. Kandungan energi, viskositas, dan perubahan fase relatif sama dengan bahan bakar disel yang berasal dari petroleum. Mesin dengan bahan bakar biodisel menghasilkan partikulat, hidrokarbon, dan karbon monoksida yang lebih rendah daripada bahan bakar disel biasa. Emisi NOx juga lebih tinggi daripada mesin disel dengan bahan bakar disel (Tat et al., 2000). Kandungan panas dari berbagai minyak nabati kira-kira 90% dibandingkan dengan minyak disel No.2 (bahan bakar disel untuk transportasi yang biasanya digunakan sebagai referensi untuk bahan bakar disel dari minyak nabati). Umumnya panas pembakaran akan meningkat dengan meningkatnya panjang rantai. Daya mesin biodisel (118.000 BTUs) hampir sama dengan daya mesin disel (130.500 BTUs) sehingga engine tarque dan horsepower yang diperoleh relatif sama dengan konsumsi bahan bakar yang sama.
Perbedaan cetane number biodisel dari minyak nabati segar biasanya lebih tinggi dari minyak disel yang dapat mempercepat waktu pembakaran setelah diinjeksikan ke dalam silinder (Tat et al., 2000). Cetane number dapat diduga dengan perhitungan cetane index dengan empat variabel persamaan dari densitas dan pengukuran suhu. Cetane index digunakan karena keterbatasan sampel yang digunakan dan keterbatasan dalam pengujian bahan bakar terhadap mesin disel (ASTM D 473796). Flash point tergantung pada kandungan metanol. Flash point biodisel lebih tinggi dan tidak memproduksi asap, dapat didegradasi, dan toksisitas rendah, karena biodisel tidak mengandung hidrokarbon aromatik jika dibandingkan dengan minyak disel (Mittelbach, 1996). Minyak nabati dapat disuling hanya di bawah tekanan yang rendah. Pada tekanan atmosfer lebih terurai melalui penguapan yang akan mulai terjadi pada suhu 300oC. Karena itu flash point minyak nabati lebih tinggi daripada minyak disel. Kehadiran pelarut dengan titik didih rendah atau aditif akan lebih merendahkan flash point, menyebabkan penguapan yang lebih besar dari asam lemak bebas dibandingkan dengan minyak. Transesterifikasi Tingginya viskositas minyak jarak berhubungan dengan densitas minyak jarak yang juga cukup tinggi. Untuk mengatasi hal ini maka dilakukan pengubahan komposisi trigliserida pada minyak jarak menjadi ester melalui proses transesterifikasi. Pada dasarnya proses pembuatan biodisel adalah mengubah minyak nabati ke dalam bentuk ester. Untuk memperoleh ester, minyak nabati direaksikan dengan alkohol (metanol atau etanol). Untuk mempercepat reaksi maka digunakan KOH atau NaOH sebagai katalisator. Reaksi transesterifikasi dapat ditulis sebagai berikut:
19
Elisa Julianti: Pengembangan Minyak Jarak Pagar sebagai Biodisel
CH2OCOR1
R1COOCH2CH3
CH2OH
+ CHOCOR2
NaOH + 3 CH3CH2OH
CHOH
+
Catalyst
+ CH2OCOR3
CH2OH
Minyak (Trigliserida) + Etanol
+ Katalis
R2COOCH2CH3
R3COOCH2CH3
Gliserin + Campuran Etil Ester
Gambar 1. Proses Transesterifikasi
Alcohol Alcohol Recovery
Biodiesel
Control Oil
Reactor
Settler
Washing
Purification
Evaporation
Gliserin Catalyst Settler
Mineral Acid
Evaporation
Neutralisation Distilation
Fatty Acid Gambar 2. Skema Pemrosesan Biodisel dari Minyak atau Lemak (Hariyadi et al. 2005).
20
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Pemrosesan ini secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: - Pencampuran metanol dengan katalis: Katalis yang digunakan adalah sodium hidroksida, campuran ini lalu ditambahkan pada minyak dan dimasukkan ke dalam reaktor untuk dipanaskan sampai suhu 150oF selama 1 sampai 8 jam. Kemudian kelebihan metanol dikeluarkan. Dari campuran ini akan diperoleh dua zat dengan berat jenis yang berbeda, yaitu gliserin dan metal ester sehingga dapat dipisahkan dengan cara pengendapan atau memakai sentrifugal. - Pemisahan gliserin dan metil ester: Gliserin yang dihasilkan biasanya sudah berupa gliserin dengan tingkat kemurnian 80-88%. Namun ada kalanya masih mengandung sisa katalis dan sabun. Untuk itu perlu dipisahkan dengan asam (misalnya hidroklorik). Metil ester lalu dicuci dengan air hangat untuk membersihkannya dari sisa katalis atau sabun. Dari sini terlihat bahwa tidak ada bahan yang terbuang pada pengolahan biodisel (Hariyadi et al., 2005).
2.
3.
4.
5.
Teknik Pencampuran dalam Formulasi Biodisel Sifat-sifat biodisel selama ini ditentukan berdasarkan percobaan kimiawi. Saat ini dimungkinkan penentuan sifat-sifat dari campuran biodisel dengan menggunakan teknik aljabar. Beberapa teknik estimasi sifat-sifat biodisel (Hariyadi et al., 2005) adalah sebagai berikut: 1. Densitas (nl) nl = ait + bi t = suhu (oC), sedangkan a dan b adalah konstanta yang tergantung pada jenis biodisel, dan i mengacu pada masingmasing bahan campuran. Perbedaannya dengan hasil percobaan adalah sekitar 0.15%.
Viskositas Persamaan untuk memperoleh viskositas dari campuran berbagai biodisel adalah: Inhmix = Sxi 3”Inhl Di mana Inh adalah viskositas masingmasing biodisel. Dibandingkan dengan viskositas hasil percobaan, formula ini menghasilkan perbedaan yang cukup besar yaitu rata-rata 108.8%. Cetane Number Persamaan untuk memperoleh cetane number dari campuran berbagai biodisel adalah: Pmix = axiPi Perbedaan rata-rata persamaan untuk memperoleh viskositas dari campuran berbagai biodisel adalah 6.633%. Heating Value Rumus untuk mendapatkan heating value dari campuran biodisel hampir sama dengan formula untuk memprediksi cetane number. Keduanya tergantung dari jumlah komposisi masing-masing substansi dalam campuran serta nilai properti masing-masing. Cloud Point Persamaan untuk memperoleh clouds point dari campuran biodisel adalah: Ln(t+10) = 2.2 – 1.57ln ax, dengan perbedaan rata-rata 0.7%.
Kesimpulan 1.
2.
3.
Biji jarak potensial digunakan sebagai sumber minyak karena kandungan minyak dari biji jarak sebesar 46%. Minyak jarak dapat diperoleh dengan cara mengepres biji jarak. Minyak jarak yang diperoleh dari hasil pengepresan masih mempunyai viskositas dan titik nyala yang cukup tinggi sehingga untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel) harus dilakukan proses transesterifikasi. Pada proses pengolahan minyak jarak menjadi biodisel melalui transesterifikasi akan diperoleh hasil samping berupa gliserin dan asam lemak yang masih dapat dimanfaatkan.
21
Elisa Julianti: Pengembangan Minyak Jarak Pagar sebagai Biodisel
Daftar Pustaka Akintayo,E.T. 2003. Characteristics and composition of Parkia biglobbossa and Jatropha curcas Oils and Cakes.
Kandpal, J.B., M.Madan.1994. Jatropha curcas: a renewable source of energy meeting future energy needs. Technical Note, Renewable Energy 6 (2).
American Standard Technical MaterialASTM D 93-90. 1993. Standard Test Method for Flash Point by PenskyMortens Closed Tester. Annual Book of ASTM Standards, Vol.05.01.
Kirk,
Crawford, J., A.Psaila and S.T.Orszullk. 1997. Miscelenous Additives and Vegetables Oil. In: Mortier,R.M. and S.T.Orszullk (ed). Chemistry and Technology of Lubricants. Blackie Academic & Profesional, London.
La Puppung, P. 1986. Minyak jarak memiliki potensi sebagai bahan dasar minyak lumas. Lembaran Publikasi Lemigas 20 (4): 55-64.
Departemen Teknologi Pertanian USU. 2005. Proses Pembuatan Minyak Jarak sebagai Bahan Bakar Alternatif. Kerja sama Antara Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian USU dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Medan. Gubitz, G.M., M.Mittelbach and M.Trabi. 1999. Exploitation of the tropical seed plant Jatrhopa curcas L. Bioresource Technology 67. Hariyadi, P., N.Andarwulan, L.Nuraida dan Y.Sukmawati (ed). 2005. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Penelitian Biodiesel. Kementrian Riset dan Teknologi RI, Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Centre, IPB.
22
R.E. and D.F. Othmer. 1993. Encyclopedia of Chemical Technology. Volume 5. The Interscience Encyclopedia Inc., New York.
Mittelbach, M. 1996. Diesel fuel derived from vegetable oils, VI: Specifications and quality control of biodiesel. Bioresource Tech. 56: 7-11. Patterson, H.B.W. 1989. Handling and Storage of Oilseeds. Oils, Fats and Meal. Elsevier Applied Science, London. Peeples, J.E. 1998. Biodiesel developments in the United States: Meeting economic, policy & technical challenges. Proceedings of the 1998 PORIM International Biofuel and Lubricant Conference. 4-5 May 1998. Malaysia. Salunkhe, D. K., J.K.Chayan, R.N. Adeule and S.S. Kadam. 1992. Word Oilseeds Chemistry, Technology and Utilization. Nostrand Reinhold, New York. Tat,
M.E., J.H.van Garpen, S. Soylu, M.Canakci, A.Monyem and S.Wormley. 2000. The speed of sound and isentropic bulk modulus of biodiesel at 21oC from atmospheric to 35 MPa.
Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian (Freeze Drying with Vacuum Freezing and Flate Freezing with Back Heating Treatment at Sublimation for Durian Pastes) Kiman Siregar1), Armansyah H.Tambunan2), dan Bambang Haryanto3) Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala – Banda Aceh 2)Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB – Bogor 3)Peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta
1)
Abstract The major problem of freeze drying is the high consumption of energy and led to high operation cost. Many efforts have been conducted to optimize process and energy usage in freeze drying. One of them is to increase sublimation rate by applying volumetric heating system with energy of electromagnetic wave (micro wave and radio frequency), and manage pressure and heating cycle during drying process to increase conductivity and vapor permeability of dry matter (Tambunan, 1999; Araki et al. 1998 in Tambunan, 1999). Another possibility is to apply vacuum freezing and back heating treatment at sublimation process. This research was aimed to study the characteristic and calculate energy consumption of freeze drying by using vacuum freezing method with back heating treatment on the sublimation process, in comparison with contact plate freezing method, and to analyze the quality of durian crust after freeze drying. The result showed that freezing rate and sublimation drying time of vacuum freezing method were faster than contact plate method. The trend addition of water to vacuum freezing technique increase freezing rate. The characteristic of sublimation with vacuum freezing with addition a heating element put at the bottom of sample plate was found different with contact plate freezing. The total removed energy of vacuum freezing was found lower than contact plate freezing. The total consumption energy of vacuum freezing drying was found higher than contact plate freezing. The energy consumption of vacuum freezing-freeze drying was about 30,627.1 kJ to 34,806.8 kJ. For contact plate freezing-freeze drying, it found consumption energy about 32,908.3 to 35,289.2 kJ. Keywords: freeze drying, energy, vacuum freezing, contact plate freezing, durian montong fruit Abstrak Masalah utama dari pengeringan bahan adalah konsumsi energi yang tinggi dan biaya operasional yang tinggi pula. Berbagai usaha telah dilakukan dalam optimalisasi proses dan penggunaan energi secara keseluruhan pada pengeringan beku. Di antaranya mempercepat laju proses pengeringan sublimasi dengan menerapkan sistem pemanasan volumetrik menggunakan energi. Gelombang elektromagnetik (gelombang mikro dan frekuensi radio), dan mengatur siklus tekanan dan pemanasan selama pengeringan untuk meningkatkan konduktivitas panas dan permiabilitas uap air bagian kering bahan. Kemungkinan yang lain adalah menerapkan pembekuan vakum dan pemanasan terbalik pada saat proses sublimasi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik dan menghitung kebutuhan energi proses pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum melalui pemanasan terbalik saat proses sublimasi dan membandingkannya dengan proses pengeringan beku dengan metode
23
Kiman Siregar, Armansyah H. Tambunan, dan Bambang Haryanto: Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian
pembekuan lempeng sentuh. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis kualitas dari pasta durian setelah dikeringbekukan. Dari hasil penelitian ini diperoleh laju pembekuan dengan metode pembekuan vakum lebih cepat dibandingkan metode pembekuan lempeng sentuh. Pada perlakuan penambahan air pada metode pembekuan vakum dapat mempercepat laju pembekuan. Pengeringan sublimasi dengan pemanasan terbalik memperlihatkan fenomena yang berbeda antara pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum dan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Total energi yang harus dipindahkan pada metode pembekuan vakum lebih kecil dibandingkan pada metode pembekuan lempeng sentuh. Dan total energi yang diperlukan pada proses pengeringan sublimasi dengan metode pembekuan vakum lebih kecil dibandingkan pada proses pengeringan sublimasi dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Total konsumsi energi pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum antara 30,627.1 kJ sampai 34,806.8 kJ. Sedangkan untuk pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh antara 32,908.3 kJ sampai 35,289.2 kJ. Kata kunci: pengeringan beku, energi, pendinginan vakum, lempeng sentuh pendingin, buah durian montong
Pendahuluan Para ahli pengeringan mengakui bahwa pengeringan beku merupakan metode pengeringan terbaik saat ini, akan tetapi membutuhkan energi yang lebih besar sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar, juga biaya investasi awal yang lebih tinggi. Proses pengeringan beku meliputi dua tahapan, yaitu tahap pembekuan dan tahap pengeringan sublimasi. Dua tahapan ini sama-sama membutuhkan energi. Berbagai usaha telah dilakukan dalam optimalisasi proses dan penggunaan energi secara keseluruhan pada pengeringan beku. Di antaranya mempercepat laju proses pengeringan sublimasi dengan menerapkan sistem pemanasan volumetrik menggunakan energi Gelombang elektromagnetik (gelombang mikro dan frekuensi radio), dan mengatur siklus tekanan dan pemanasan selama pengeringan untuk meningkatkan konduktivitas panas dan permiabilitas uap air bagian kering bahan (Tambunan, 1999; Araki et al., 1998). Usaha-usaha tersebut dilanjutkan lagi dalam penelitian ini yaitu dengan menggantikan metode pembekuan pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum dan pemanasan terbalik pada saat proses sublimasi. Proses pengeringan beku yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu adalah menurunkan suhu sampai fase padat,
24
kemudian dilanjutkan dengan menurunkan tekanan untuk mencapai fase padat ke uap (sublimasi) di bawah titik tripel air. Pada penelitian ini, proses tersebut dilakukan dengan prinsip pembekuan vakum, yaitu menurunkan suhu dan tekanan secara bersamaan mengikuti sifat termodinamika air, sehingga diperoleh proses yang lebih singkat untuk dapat mengurangi penggunaan energi. Karena efek penurunan tekanan yang dilakukan pada pembekuan vakum, dimanfaatkan untuk proses sublimasi. Zainuddin (2003), Rohana (2002), Wulandani, dkk. (2003) memperoleh laju pembekuan vakum ke dalam golongan laju pembekuan cepat. Para peneliti terdahulu merambatkan panas sublimasi yang diperlukan untuk menyublimasikan es dari bahan beku melalui bagian bahan kering berongga (dari atas bahan). Pada penelitian ini panas akan dirambatkan melalui lapisan beku bahan (dari bawah wadah bahan). Hal ini dilakukan karena nilai konduktivitas panas bahan beku lebih tinggi dibandingkan nilai konduktivitas panas bahan kering berongga, sehingga proses sublimasi akan berlangsung lebih cepat. Sagara (1984) merambatkan panas melalui bagian kering berongga, yang mempunyai konduktivitas termal rendah, sehingga sublimasi berlangsung lambat. Dengan pemberian panas dari bawah diduga panas akan merambat melalui lapisan beku, yang mempunyai konduktivitas lebih tinggi,
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
sehingga sublimasi akan berlangsung lebih cepat. Selama ini durian dikonsumsi dalam bentuk segar. Buah yang rusak terasa hambar dan tidak matang biasanya diolah menjadi dodol dan lempok durian atau campuran es krim, dan lain-lain. Penanganan pascapanen daging buah durian melalui proses pengeringan beku (freeze drying) merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan daya simpan daging buah durian tersebut, sehingga pada saat musim durian telah berakhir para konsumen masih dapat memakan daging buah durian tersebut. Daging buah durian montong (bangkok) yang dijadikan sebagai bahan produk akan dilihat mutunya dengan perlakuan penambahan sejumlah air untuk melihat pengaruh penambahan air terhadap laju pembekuan dan selanjutnya akan dibandingkan dengan proses sublimasi dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Tujuan Penelitian 1.
Mempelajari karakteristik proses pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum melalui pemanasan terbalik saat proses sublimasi dan membandingkannya dengan proses pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh.
2.
Menghitung kebutuhan energi proses pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum melalui pemanasan terbalik saat proses sublimasi dan membandingkannya dengan proses pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh.
Metodologi Penelitian Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah daging buah durian montong dan freeze dryer. Pada Gambar 1 ditunjukkan letak wadah contoh dan elemen pemanas yang dibuat dalam penelitian ini. Prosedur pada penelitian ini dimulai dengan proses pengeringan beku dengan metode sublimasi yang dilakukan melalui metode pembekuan vakum, yaitu menurunkan suhu dan tekanan secara bersamaan mengikuti sifat termodinamika air seperti diperlihatkan pada Gambar 2 dan pemberian elemen pemanas dari bawah wadah contoh saat sublimasi. Proses ini kemudian dibandingkan dengan pengeringan beku dengan metode sublimasi melalui metode pembekuan lempeng sentuh. Analisa konsumsi energi dilakukan terhadap proses pembekuan sampai proses sublimasi. Perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi daging buah durian utuh (A1), pure (+ air 1/3 bagian massa total) (A2), pure (+ air 2/3 bagian massa total) (A3).
2 cm 16 cm
Sample Holder
40 cm 18 cm 18,5 cm 24,5 cm
Isolator lantai sample holder (bahan : tembaga) Elemen pemanas
30 cm
Gambar 1. Letak Wadah Contoh dan Elemen Pemanas di dalam Sistem Ruang Pengeringan Beku pada Penelitian Ini
25
Kiman Siregar, Armansyah H. Tambunan, dan Bambang Haryanto: Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian
1 Titik Kritis
Padat Gas
Cair
2
610
penurunan tekanan
Tekanan, Pa
proses pembekuan (penurunan suhu)
Pembekuan vakum (penurunan suhu dan tekanan) Titik Tripel
3 pengeringan sublimasi
Suhu 0°C
Gambar 2. Perbandingan Diagram Fase Tekanan-Suhu Air untuk Pembekuan Vakum dan Pembekuan Lempeng Sentuh pada Pengeringan Beku Perhitungan-perhitungan yang dilakukan mengikuti persamaan berikut ini: Laju pembekuan berdasarkan definisi lembaga refrigerasi internasional dalam Heldman dan Singh (1981):
Lp =
x ........................................................................................................................................... tf
(1)
Panas jenis dikembangkan dari persamaan Charm (1978) dalam Heldman dan Singh (1981):
C p = 1,424 X c + 1,549 X p + 1,675 X f + 0,837 X a + 4,187 X M ....................................................
(2)
Energi di atas titik beku (Desrosier, 1988):
E 1 = m−1 x Cp >T f × (Ta − T f ) .......................................................................................................
(4)
Energi perubahan fase:
E 2 = m− 2 x γ x L.air ....................................................................................................................
(5)
Energi di bawah titik beku: E3 = m−3 × Cp
(6)
Untuk menghitung kondensasi uap air didekati dengan persamaan: = hgf + h fs × (0.95 x w) ....................................................................................................
(7)
(
Qcold
(
)
)
Tekanan ruang pembeku dikonversikan menjadi suhu jenuh air. Hal ini dapat dihitung dengan persamaan (Rothmayr, 1975 dalam Wenur, 1997):
LogPf =
− 2744.807 + 10.712 ...................................................................................................... Tm
(8)
Untuk menghitung panas radiasi menggunakan persamaan Stefan Boltzman dalam Holman, J.P (1994): E rad .heater = eh . Ah .σ .THT 4 ........................................................................................................... (9) Karena suhu lempeng pemanas berubah-ubah setiap waktu, maka perhitungan diselesaikan secara numerik dengan metode simpson dalam Endry (2000): 4 4 4 4 h ⎡THT (t 0 ) + 4THT (t 1 ) + 2THT (t 2 ) + 4THT (t 3 ) + ... + ⎤ ........ (10) E rad . heater = (e h . A h .σ ). ⎢ ⎥ 3 ⎣⎢ 4TH 4 (t n −1 ) + THT 4 (t n ) ⎦⎥
26
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Pengeringan Beku Tahap Pembekuan Perbandingan proses penurunan suhu bahan terhadap perlakuan A1, A2, dan A3 pada sistem pembekuan vakum yang dilakukan pada penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 3-a. Proses penurunan suhu bahan tersebut terjadi karena adanya proses penurunan tekanan pada ruang pembeku yang ditarik oleh pompa vakum. Laju penurunan tekanan yang semakin cepat akan menghasilkan laju penurunan suhu yang cepat, sehingga menghasilkan laju pembekuan yang cepat. Dengan peningkatan nilai kadar air yaitu dari perlakuan A1 dengan kadar air sebesar 60.19 % b.b ke A2 dengan kadar air sebesar 73.46 % b.b dapat meningkatkan laju pembekuan pada pembekuan vakum. Peningkatan laju pembekuan tersebut dari 13.99 cm/jam menjadi 39.89 cm/jam. Walaupun penambahan air ini masih membutuhkan pengkajian lanjutan dan harus disesuaikan dengan rancangan alat sistem pembekuan vakum yang ada. Fenomena yang terjadi pada penelitian ini dapat dilihat bahwa dengan penambahan air yang semakin banyak lagi, yaitu untuk perlakuan A3 dengan kadar air 86.73 % b.b mengakibatkan laju pembekuan semakin lambat lagi, yaitu menjadi 12.45 cm/jam. Laju pembekuan yang semakin lambat ini dapat dilihat dari laju penurunan suhu bahan yang semakin lambat. Salah satu alasan kenapa penambahan air terhadap bahan harus disesuaikan dengan sistem rancangan alat pembekuan vakum yang ada adalah karena peningkatan uap air yang dilepaskan ke dalam ruang pembeku dapat mempengaruhi kapasitas pompa vakum. Untuk melihat lebih jelas penurunan tekanan yang terjadi pada penelitian ini dapat dilihat pada hasil grafik pengukuran tekanan seperti diperlihatkan pada Gambar 3-b. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa penurunan tekanan lebih cepat untuk perlakuan A2
dengan laju pembekuan yang paling cepat dibandingkan A1 dan A3. Faktor penurunan tekanan (k) yang terjadi secara eksponensial pada Gambar 3-b tersebut dianalisa dengan metode regresi linier. Dari analisa tersebut dapat dilihat bahwa nilai faktor penurunan tekanan (k) untuk perlakuan A2 sebesar 0.238, ternyata lebih besar dibandingkan A1 dan A3, sehingga dengan analisa regresi linier ini dapat diterima bahwa laju pembekuan untuk perlakuan A2 lebih cepat dibandingkan A1 dan A3, karena dengan faktor penurunan tekanan yang semakin besar, berarti laju penurunan tekanan semakin cepat. Sedangkan untuk perlakuan A1 dan A3 masih perlu pengkajian karena berdasarkan analisa regresi linier, kurang dapat diambil kesimpulan apakah perlakuan A1 laju pembekuannya lebih cepat atau A3, karena nilai faktor penurunan tekanan eksponensial (k = 0.164) untuk A3 lebih besar dibandingkan A1 (k = 0.157), akan tetapi dari hasil perhitungan laju pembekuan didapat nilai laju pembekuan A1 (13.99 cm/jam) lebih cepat dibandingkan A3 (12.45 cm/jam). Dari Gambar 3-b tersebut juga dapat dilihat bahwa penurunan tekanan untuk perlakuan A1 dan A3 sampai menit ke-5 terlihat lebih cepat A1, dari menit ke-5 sampai menit ke- 21 terlihat lebih cepat A3, dan dari menit ke-21 sampai proses pembekuan selesai, A1 lebih cepat lagi. Pada mekanisme pembekuan vakum antara ruang pembeku dengan pompa vakum dipasang perangkap uap air (coldtrap) yang berfungsi untuk mengembunkan udara basah sehingga udara yang masuk ke pompa vakum tersebut adalah udara kering. Karena volume jenis uap air pada tekanan rendah sekitar 200 kali lebih besar dari volume jenis uap air pada tekanan normal, sehingga tanpa penggunaan prangkap uap air beban pompa vakum akan terlalu besar dan bahkan tidak mungkin untuk menurunkan tekanan ruang pembeku hingga tingkat yang diinginkan (Tambunan, 2000). Kapasitas perangkap uap air sangat penting untuk mempertahankan kapasitas pompa vakum tersebut. sehingga laju penurunan tekanan tetap dapat
27
Kiman Siregar, Armansyah H. Tambunan, dan Bambang Haryanto: Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian
sentuh terlihat bahwa dengan kadar air yang semakin besar (penambahan air ke bahan yang semakin banyak) mengakibatkan beban panas yang harus dipindahkan dari bahan semakin besar. Beban panas yang harus dipindahkan dari bahan (kJ) terhadap perlakuan A1, A2, dan A3 berturut-turut sebesar 61.08 kJ, 79.74 kJ, dan 94.5 kJ. Apabila dengan penambahan beban panas pada bahan, diasumsikan akan dibekukan pada suhu dan kapasitas lempeng pembeku yang sama, maka proses perpindahan panas secara konduksipun akan semakin lambat, sehingga laju penurunan suhu bahan akan semakin lambat.
30
1.4
20
1.2
10
Te k anan (k Pa)
Su hu (o C)
dipertahankan. Untuk dapat mengembunkan uap air dari udara, suhu coldtrap harus lebih rendah dari suhu jenuh air pada tekanan di dalam ruang coldtrap tersebut. Pada Gambar 4-a dan Gambar 4-b diperlihatkan perbedaan suhu coldtrap dan suhu jenuh air yang dikonversi dari tekanan ruang pembeku dengan menggunakan Persamaan 8. Pada sistem pembekuan lempeng sentuh perpindahan panas terjadi secara konduksi dengan cara merambat dari bagian bahan yang berdekatan dengan pelat pembeku ke lempeng pembeku sampai seluruh lapisan bahan menjadi beku. Dari hasil pengamatan pada pembekuan lempeng
0 -10 -20
k1=0.1567 k2=0.2381
1
k3=0.164
0.8 0.6 0.4 0.2 0
-30 1
3
5
7
9
1
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
3
5
7
9
TBA1(oC)
TBA2(oC)
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 Waktu (m enit)
Waktu (Menit) VF-A1-Pukur(kPa)
TBA3(oC)
(a) Penurunan suhu bahan
VF-A2-Pukur(kPa)
VF-A3-Pukur(kPa)
(b) Penurunan tekanan
Gambar 3. Grafik Perbandingan Penurunan Suhu Bahan dan Penurunan Tekanan terhadap Waktu untuk Perlakuan A1, A2, dan A3 pada Sistem Pembekuan Vakum Suhu Jenuh Air
Suhu Coldtrap -32
20
-34
10 Suhu (oC)
Suhu (oC)
-36 -38 -40 -42
-20 -30 -40
-44 -46 1 -48
0 -10
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
-50 1
3
5
A1
A2
(a) Suhu coldtrap
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 Waktu (Menit)
Waktu (Menit) A3
A1
A2
A3
(b) Suhu jenuh air
Gambar 4. Perbandingan Hasil Pengukuran Suhu Coldtrap dan Suhu Jenuh Air terhadap Waktu untuk Perlakuan A1, A2, dan A3 pada Sistem Pembekuan Vakum
28
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
30
PF-A1,Tlempeng = -41.45 oC
(61.08 % b.b) (74.05 % b.b) (87.03 % b.b)
10 0 -10 -20 -30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 Waktu (menit) VF-A1
VF-A2
VF-A3
Gambar 5-a. Perbandingan antara Penurunan Suhu Bahan terhadap Waktu pada Pembekuan Lempeng Sentuh untuk Perlakuan A1, A2, dan A3
Pada Gambar 5-a diperlihatkan perbandingan penurunan suhu bahan terhadap waktu pada pembekuan lempeng sentuh untuk perlakuan A1, A2, dan A3. Dengan laju penurunan suhu bahan yang semakin lambat, maka akan mengakibatkan laju pembekuan yang semakin lambat. Pada Gambar 5-b diperlihatkan hubungan antara laju pembekuan terhadap perlakuan penambahan air. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dengan kadar air yang semakin tinggi, maka laju pembekuan bahan semakin rendah. Hasil pengamatan pada penelitian ini juga memperlihatkan bahwa suhu lempeng pembeku pada perlakuan A1, A2, dan A3 ternyata tidak sama, yaitu berturut-turut sebesar -41.50 oC, -41.05 oC dan -39.90 oC. Tahap Sublimasi Salah satu hal yang berbeda antara pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh dan pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum adalah efek penurunan tekanan. Pada pembekuan lempeng sentuh, setelah tahap pembekuan selesai, dilanjutkan dengan penurunan tekanan sampai di bawah titik tripel air untuk mencapai tahap sublimasi, sedangkan pada metode pembekuan vakum, proses penurunan tekanan sebelumnya dimanfaatkan langsung untuk proses sublimasi. Pada tahap
PF-A2,Tlempeng = -41.05 oC PF-A3, Tlempeng = -39.90 oC 5 Laju pembekuan (cm/jam)
Su h u (o C )
20
4.8
4.77 4.59
4.6 4.4 4.2
4
4 3.8 3.6 61.08
74.05 Kadar air (% b.b)
87.03
Gambar 5-b. Hubungan antara Laju Pembekuan terhadap Penambahan Air pada Bahan untuk Perlakuan A1, A2, dan A3
sublimasi masalah tingginya konsumsi energi pada pengeringan beku tersebut dipecahkan dengan penerapan pemanasan terbalik, yaitu merambatkan panas melalui lapisan beku untuk meningkatkan laju perpindahan panas. Pemanasan terbalik yang dilakukan pada penelitin ini adalah dengan memberikan elemen pemanas dari bawah wadah contoh. Pemanasan terbalik dilakukan dengan harapan panas akan berkonduksi melalui lapisan beku bahan yang mempunyai nilai konduktivitas panas lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan bahan kering berongga, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk proses sublimasi akan lebih cepat. Pada penelitian ini melalui proses sublimasi dengan metode pembekuan vakum memperlihatkan bahwa lapisan bawah (TB1) merupakan lapisan yang pertama sekali mengalami kenaikan suhu, selanjutnya diikuti oleh lapisan TB2, TB3, dan TB4 seperti diperlihatkan pada Gambar 6-a. Dari pengamatan terlihat bahwa saat proses pembekuan vakum terbentuk ronggarongga pada bahan yang cukup banyak dan besar seperti ditunjukkan pada Gambar 7-a. Proses pembentukan rongga ini diduga terjadi sebagai akibat dari mekanisme pembekuan vakum. Melihat fenomena ini, maka proses konduksi akan melewati lapisan kering bahan berpori seperti halnya
29
Kiman Siregar, Armansyah H. Tambunan, dan Bambang Haryanto: Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian
yang dilakukan oleh Sagara (1984). Karena 100 proses pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum (freeze drying-vacuum freezing (FD-VF)) berlangsung melalui lapisan kering, maka nilai konduktivitas panas yang dipakai adalah nilai konduktivitas panas bahan kering berongga. Fenomena yang terjadi pada saat proses sublimasi dengan metode pembekuan lempeng sentuh memperlihatkan bahwa lapisan atas (TB4) merupakan lapisan yang pertama sekali mengalami kenaikan suhu selanjutnya diikuti oleh TB3, TB2, dan TB1,
seperti diperlihatkan pada Gambar 6-b. Pada Gambar 7-b diperlihatkan bahwa bahan setelah diolah melalui pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh (freeze drying-plate freezing (FD-PF)). Pada proses pembekuan lempeng sentuh rongga di dalam bahan tidak terbentuk sebagaimana yang terjadi pada proses pembekuan vakum (Gambar 7-a). Karena proses pada pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh berlangsung melalui lapisan beku, maka nilai konduktivitas panas yang dipakai adalah nilai konduktivitas panas bahan beku.
FD-VF-A2
FD-PF-A2
1.2
100
0.8
50
0.6 0.4
0
0.2
-50
0 1
75
149
223
297
371
445
519
593
667
TB3(oC)
TB2(oC)
TB1(oC)
THT(oC)
(a)
1 100
0.8
50
0.6 0.4
0
0.2 0
-50
741
1
Waktu (Menit) TB4(oC)
1.2
150 Suhu (oC)
Suhu (oC)
1
Te k anan (k Pa)
150
1.4
200
1.4
P(kPa)
Te k anan (k Pa)
200
75
TB4(oC)
149 223 TB3(oC)
297 371 445 519 593 Waktu (Menit) TB2(oC)
TB1(oC)
667 741 THT(oC)
P(kPa)
(b)
Gambar 6. Grafik Perbandingan Fenomena Penyebaran Suhu Pengeringan Beku antara Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik
Rongga-rongga yang terbentuk pada bahan
(a) Pembekuan Vakum
Tidak terbentuk rongga pada bahan
(b) Pembekuan Lempeng Sentuh
Gambar 7. Rongga yang Terbentuk pada Bahan Saat Proses Pembekuan
30
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Tabel 1. Hasil Perlakuan Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Lempeng Sentuh Hasil A1 A2 A3 U1 U2 U1 U2 U1 Pengeringan beku dengan pembekuan vakum: 1 Massa air awal sublimasi (kg) 0.100 0.093 0.126 0.119 0.136 2 Massa air akhir (kJ) 0.004 0.003 0.002 0.002 0.001 3 Lama sublimasi (jam) 9.73 11.63 12.08 12.53 11.45 Pengeringan beku dengan pembekuan lempeng sentuh: 1 Massa air awal sublimasi (kg) 0.132 0.132 0.164 0.164 0.188 2 Massa air akhir (kJ) 0.003 0.003 0.003 0.002 0.001 3 Lama sublimasi (jam) 11.37 12.67 12.73 12.98 12.48 4 * 20.79 jam (rata-rata) untuk bahan durian 5 ** 25.33 jam (rata-rata) untuk bahan cabe jawa No.
Uraian
U2
0.144 0.001 12.40
0.184 0.001 12.77
* Endry (2000); ** Suandi (1999)
Pada penelitian ini nilai konduktivitas panas bahan tidak dapat diukur dengan kontinu, sehingga cukup sulit untuk membandingkan pengaruh nilai konduktivitas panas bahan terhadap laju sublimasi. Dengan fenomena yang berbeda melalui kedua metode pengeringan beku tersebut, pada Tabel 1 diperlihatkan lama proses pengeringan sublimasi yang dilakukan. Sebagai perbandingan diperlihatkan waktu sublimasi yang diperoleh oleh Endry (2000) untuk bahan durian dan Suandi (1999) untuk cabe jawa dengan pemberian elemen pemanas dari atas bahan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa waktu sublimasi dengan metode pembekuan vakum lebih singkat dibandingkan waktu sublimasi dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Selain fenomena yang terjadi, faktor lain yang menyebabkan waktu sublimasi dengan metode pembekuan vakum lebih cepat adalah jumlah penguapan air yang lebih besar pada saat proses pembekuan vakum dibandingkan proses pembekuan lempeng sentuh, yaitu sekitar 8 kali lebih besar, sehingga jika berat awal pada saat pembekuan diasumsikan sama, maka berat awal sublimasi dengan metode pembekuan vakum akan lebih sedikit dibandingkan metode pembekuan lempeng sentuh. Dengan berat awal yang lebih sedikit, maka
panas dan waktu yang dibutuhkan untuk menyublimasikan air yang ada pada bahan akan semakin singkat. Energi Pengeringan Beku Energi Tahap Pembekuan Salah satu masalah yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah tingginya konsumsi energi pengeringan beku yang meliputi konsumsi energi di 2 tahap, yaitu (1) Energi pada tahap pembekuan, dan (2) energi pada tahap sublimasi. Pada tahap pembekuan akan dicoba dipecahkan melalui metode pembekuan vakum. Hasil penelitian sebelumnya mengatakan bahwa konsumsi energi pada proses pembekuan vakum lebih besar dibandingkan metode pembekuan lempeng sentuh. Alasannya adalah karena pada pembekuan vakum diperlukan pompa vakum untuk menurunkan tekanan (Ainun, 2002). Akan tetapi apabila metode pembekuan vakum ini digabungkan dengan pengeringan sublimasi, kemungkinan akan dapat memperkecil konsumsi energi pengeringan beku secara keseluruhan, karena efek penurunan tekanan tersebut dimanfaatkan untuk proses sublimasi. Sementara pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh tetap
31
Kiman Siregar, Armansyah H. Tambunan, dan Bambang Haryanto: Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian
diperlukan energi penurunan tekanan (tenaga pompa vakum) untuk mencapai proses sublimasi. Konsumsi energi pada tahap pembekuan tersebut diperlukan untuk memindahkan energi panas yang dilepaskan oleh bahan. Energi yang harus dipindahkan selama proses pembekuan meliputi penjumlahan: (1) energi sensibel di atas titik beku, (2) energi laten (perubahan fase), dan (3) energi sensibel di bawah titik beku. Dari analisa distribusi pelepasan energi sensibel-1, energi laten dan energi sensibel-2 selama proses pembekuan diperoleh bahwa pada pembekuan vakum persentase pelepasan energi sensibel-1 sebesar 33.88 %, energi laten sebesar 43.94 %, energi sensibel-2 sebesar 22.18 % dan pembekuan lempeng sentuh untuk energi sensibel-1 sebesar 28.47 %, energi laten sebesar 47.67 % dan energi sensibel-2 sebesar 23.86 %. Dari distribusi ini dapat dilihat bahwa lebih dari 43 % energi dilepaskan pada saat perubahan fase. Makin tinggi kadar air bahan, makin besar persentase energi yang harus dipindahkan dari bahan tersebut. Total energi yang harus dipindahkan pada pembekuan vakum lebih kecil dibandingkan pada pembekuan lempeng sentuh, yaitu untuk pembekuan vakum pada perlakuan A1, A2, dan A3 berturut-turut sebesar 49.47 kJ, 61.82 kJ, dan 74.98 kJ sedangkan untuk pembekuan lempeng sentuh pada perlakuan A1, A2, dan A3 berturut-turut sebesar 61.25 kJ, 79.74 kJ, dan 94.50 kJ. Nilai ini dipengaruhi oleh:
(1) Besarnya penguapan air di atas titik beku pada pembekuan vakum, hal ini dapat dilihat dari distribusi energi sensibel-1 yang lebih besar pada pembekuan vakum (33.88 %) dibandingkan pembekuan lempeng sentuh (28.47 %), sehingga nilai energi panas laten lebih kecil pada pembekuan vakum, (2) Nilai panas jenis yang lebih kecil di bawah titik beku pada pembekuan vakum, yaitu pada perlakuan A1, A2, dan A3 berturut-turut sebesar 2.85 kJ/kg.K, 3.25 kJ/kg.K, 3.71 kJ/kg.K sedangkan untuk pembekuan lempeng sentuh pada perlakuan A1, A2, dan A3 berturut-turut sebesar 3.09 kJ/kg.K, 3.45 kJ/kg.K, dan 3.81 kJ/kg.K. Konsumsi energi yang dibutuhkan untuk memindahkan energi yang dilepaskan oleh bahan pada sistem pembekuan vakum diperlukan energi untuk menurunkan tekanan dan energi untuk pengkondensasian uap air di coldtrap; dan pada sistem. Pembekuan lempeng sentuh diperlukan energi untuk proses pindah panas dari bahan ke lempeng pembeku (proses konduksi). Pada Tabel 2 diperlihatkan hasil perhitungan konsumsi energi yang dibutuhkan selama proses pembekuan vakum dan lempeng sentuh. Energi Tahap Sublimasi Selama proses pengeringan sublimasi diperlukan sejumlah energi panas untuk mengubah fase es ke fase uap. Pada penelitian ini panas sublimasi disediakan dengan meletakkan lempeng pemanas pada jarak 18 cm di bawah wadah contoh.
Tabel 2. Konsumsi Energi Selama Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh
No.
Uraian U1
Metode pembekuan vakum: 1 Penurunan tekanan (kJ)
1485
2 Kondensasi uap air (kJ) 93.99 3 Total 1578.99 Metode pembekuan lempeng sentuh: 1 Pembekuan bahan (kJ) 60.93 2 Total 60.93
32
Hasil A2
A1 U2
U1
A3 U2
U1
U2
1305
1080
1080
1485
1530
122.91 1427.91
106.31 1186.31
131.48 1211.48
162.55 1647.55
141.66 1671.66
61.57 61.57
80.58 80.58
78.91 78.91
95.42 95.42
93.58 93.58
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Tabel 3. Konsumsi Energi Selama Proses Pengeringan Sublimasi
No.
Uraian
Hasil A2
A1
U1 U2 U1 Energi sublimasi dengan metode pembekuan vakum: 1 Kondensasi uap air (kJ) 258.78 241.46 331.75 2 Radiasi panas (kJ) 24.34 32.70 47.82 3 Mempertahankan tekanan (kJ) 26280 31410 32625 4 Total 26563.1 31684.2 33004.6 Energi sublimasi dengan metode pembekuan lempeng sentuh: 1 Kondensasi uap air (kJ) 344.78 343.98 431.68 2 Radiasi panas (kJ) 56.77 58.51 68.32 3 Penurunan dan mempertahankan tekanan (kJ) 30690 34200 34380 4 Total 31091.5 34602.5 34880
A3 U2
U1
U2
313.78 57.39
362.30 37.20
382.55 48.32
33840 34211.2
30915 31314.5
33480 33910.9
434.91 48.90
500.23 79.59
488.50 80.46
35055 35538.8
33705 34284.8
34470 35039
Tabel 4. Konsumsi Energi Total Pengeringan Beku
No.
Uraian
Hasil A2
A1
U1 U2 Pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum: 1 Kondensasi uap air (kJ) 352.77 364.37
A3
U1
U2
U1
U2
438.06
445.26
524.85
524.21
Radiasi panas (kJ) 24.34 32.70 47.82 Penurunan dan mempertahankan tekanan (kJ) 27765 32715 33705 4 Total 28142.1 33112.1 34190.9 Pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh: 1 Pembekuan bahan (kJ) 60.93 61.57 80.58 2 Kondensasi uap air (kJ) 344.78 343.98 431.68 3 Radiasi panas (kJ) 56.77 58.51 68.32
57.39
37.20
48.32
34920 35422.7
32400 32962.1
34510 35082.5
78.91 434.91 48.90
95.42 500.23 79.59
93.58 488.50 80.46
35055 35617.7
33705 34380.2
34470 35132.5
2 3
4
5
Penurunan dan mempertahankan tekanan (kJ) Total
30690 31152.5
34200 34664.1
Dengan demikian, perpindahan panas dari lempeng ke dasar wadah akan berlangsung secara radiasi dan dari dasar wadah ke permukaan sublimasi secara konduksi. Nilai energi sensibel dan energi sublimasi yang harus diperoleh lebih kecil pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum dibandingkan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Nilai energi tersebut pada pengeringan beku dengan metode
34380 34960.6
pembekuan vakum untuk perlakuan A1, A2, dan A3 berturut-turut sebesar 893.29 kJ, 1111.59 kJ, 1269.49 kJ sedangkan untuk pengeringan beku dengan pembekuan lempeng sentuh berturut-turut sebesar 943.05 kJ, 1261.87 kJ, dan 1484.34 kJ. Perbedaan nilai energi yang diperlukan ini dipengaruhi oleh: (1) total massa awal dan massa air yang harus dipanaskan dan disublimasikan lebih kecil pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum
33
Kiman Siregar, Armansyah H. Tambunan, dan Bambang Haryanto: Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian
(Tabel 1) dibandingkan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh, (2) Waktu proses sublimasi lebih singkat pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum dibandingkan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Untuk menyediakan energi yang diperlukan tersebut diidentifikasi konsumsi energi pada sistem pengeringan sublimasi dengan metode pembekuan vakum yang terdiri dari: (1) energi untuk mempertahankan tekanan, (2) energi untuk pengkondensasian uap air di coldtrap, (3) energi radiasi panas, sedangkan untuk pengeringan sublimasi dengan metode pembekuan lempeng sentuh terdiri dari: (1) energi untuk pengkondensasian uap air di coldtrap, (2) energi untuk menurunkan tekanan, (3) energi untuk mempertahankan tekanan, dan (4) energi radiasi panas (Tabel 3). Total Energi Pengeringan Beku Pada Tabel 4 diperlihatkan penjumlahan konsumsi energi pada tahap pembekuan dan tahap sublimasi. Total konsumsi energi diperoleh lebih kecil pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum dibandingkan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Kondisi ini dipengaruhi oleh: (1) mekanisme pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum yang sejak awal sudah melakukan proses penurunan tekanan ruang pembeku yang juga digunakan untuk proses sublimasi, (2) mekanisme pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum yang tidak melakukan pemindahan wadah contoh (bahan) seperti yang dilakukan pada pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Pada pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh setelah proses pembekuan selesai, bahan dipindahkan dari atas lempeng pembeku ke atas elemen pemanas. Proses pemindahan ini membutuhkan waktu dan energi, (3) waktu yang diperoleh dengan pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum lebih singkat dibandingkan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh.
34
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini diperoleh laju pembekuan dengan metode pembekuan vakum (rata-rata A1 = 13.99 cm/jam, A2 = 39.89 cm/jam, A3 = 12.45 cm/jam) lebih cepat dibandingkan metode pembekuan lempeng sentuh (rata-rata A1 = 4.77 cm/jam, A2 = 4.59 cm/jam, A3 = 4 cm/jam). Pada perlakuan penambahan air (A2) pada metode pembekuan vakum dapat mempercepat laju pembekuan, walaupun penambahan air ini masih membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam terutama terhadap kemampuan pompa vakum dan kapasitas perangkap dingin pada alat sistem pembekuan vakum tersebut. Pengeringan sublimasi dengan pemanasan terbalik memperlihatkan fenomena yang berbeda antara pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum dan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh. Pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum lapisan bawah merupakan lapisan yang pertama sekali mengalami kenaikan suhu selanjutnya menuju lapisan atas, sedangkan pada pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh lapisan atas merupakan lapisan yang pertama sekali mengalami kenaikan suhu selanjutnya menuju lapisan bawah. Hal ini terjadi karena rongga-rongga yang terbentuk pada bahan sangat berbeda untuk kedua metode tersebut. Waktu pengeringan sublimasi dengan metode pembekuan vakum didapat sebesar 10.68 jam untuk perlakuan A1, 12.31 jam untuk perlakuan A2, dan 11.93 jam untuk perlakuan A3. Sedangkan waktu pengeringan sublimasi dengan metode pembekuan lempeng sentuh didapat sebesar 12.02 jam untuk perlakuan A1, 12.86 untuk perlakuan A2, dan 12.63 jam untuk perlakuan A3. Total energi yang harus dipindahkan pada metode pembekuan vakum (rata-rata A1 = 49.47 kJ, A2 = 61.82 kJ, A3 = 74.98 kJ)
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
lebih kecil dibandingkan pada metode pembekuan lempeng sentuh (rata-rata A1 = 61.25 kJ, A2 = 79.74 kJ, A3 = 94.50 kJ). Dan total energi yang diperlukan pada proses pengeringan sublimasi dengan metode pembekuan vakum (rata-rata A1 = 893.29 kJ, A2 = 1111.59 kJ, A3 = 1269.49 kJ) lebih kecil dibandingkan pada proses pengeringan sublimasi dengan metode pembekuan lempeng sentuh (rata-rata A1 = 943.05 kJ, A2 = 1261.87 kJ, A3 = 1484.34 kJ). Identifikasi konsumsi energi untuk pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum, meliputi: (1) kondensasi uap air, (2) radiasi panas, dan (3) penurunan dan mempertahankan tekanan. Identifikasi konsumsi energi untuk pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh, meliputi: (1) energi pembekuan bahan, (2) kondensasi uap air, (3) radiasi panas, dan (4) penurunan dan mempertahankan tekanan. Total konsumsi energi pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum (rata-rata A1 = 30,627.1 kJ, A2 = 34,806.8 kJ, A3 = 34,022.3 kJ) didapat lebih kecil dibandingkan pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh (rata-rata A1 = 32,908.3 kJ, A2 = 35,289. 2 kJ, A3 = 34,756.4 kJ). Dari penampakan fisik daging buah durian montong olahan dapat dilihat bahwa pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum terbentuk rongga-rongga pada bahan, sedangkan pada pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh rongga-rongga tersebut tidak terbentuk. Pada pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum terlihat bahwa warna daging buah durian montong olahan berwarna kecoklat-coklatan dan pada pengeringan beku dengan metode pembekuan lempeng sentuh terlihat lebih berwarna keputih-putihan.
Daftar Pustaka Araki, T., Sagara, Y., Tambunan,A.H., and Kamaruddin,A.,1998. Measurement of Transport Properties for Dried Layer of Several Food Materials Undergoing -Freeze-drying, Bul. Keteknikan Pertanian 12(2), pp.18-31. Desrosier, N.W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan (The Technology of Food Preservation). Diterjemahkan oleh M. Muljoharjo. UI- Press. Endry.
2000. Perbandingan Antara Pengendalian Suhu Bahan Dengan Suhu Lempeng Pemanas Terhadap Konsumsi Energi Untuk Pemanasan Pada Proses Pengeringan Beku. Skripisi. Jurusan Teknik Pertanian, IPB, Bogor.
Heldman, Dennis R., dan R.Paul Singh. 1981. Food Processing Engineering. AVI Publishing Company Inc. United State of America. Holman, J.P. 1986. Heat Transfer. McGrawHill, Inc. Singapore. Rohana, A. 2002. Analisa Perbandingan Karakteristik Pembekuan Vakum dan Pembekuan Lempeng Sentuh Terhadap Pulp Markisa. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor. Sagara, Y. 1984. Freeze Drying Characteristic and Transport Properties in Concentread Coffea Solution System. Proceeding of Fourt Internatonal Drying Syimposium, 2, 443-450. Suandi. 1999. Mempelajari Konsumsi Energi Untuk Pemanasan dan Sublimasi Pada Proses Pengeringan Beku Ramuan Obatan. Skripisi. Jurusan Teknik Pertanian, IPB,Bogor.
35
Kiman Siregar, Armansyah H. Tambunan, dan Bambang Haryanto: Pengeringan Beku dengan Metode Pembekuan Vakum dan Lempeng Sentuh dengan Pemanasan Terbalik pada Proses Sublimasi untuk Daging Buah Durian
Tambunan, A.H., Sutrisno dan Wenur,F. 1995. Penerapan Metode Pendinginan Vakum Untuk Prapendinginan Hasil Pertanian. Laporan Penelitian, Fakultas Teknologi Pertanian,IPB,Bogor.
Tambunan, A.H,. 2000. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Laju Pembekuan Bahan Pangan Cair, Buletin Keteknikan Pertanian, Vol 14. No.3. Jurusan Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tambunan, A.H. 1999. The Optimal Operational Condition For an Energy Efficient Freeze Drying Process. Proceeding of the 12th International Drying Symposium (IDS 2000), 28-31 August 2000, Noordwijkerhout, The Netherlands, paper no. 205.
Wulandani, D, Tambunan, A.H, Nelwan, L.O, Hartulistiyoso, E. 2002. Pengembangan Metode Pembekuan Vakum Untuk Produk Pangan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Dikti. IPB. Bogor.
Tambunan, A.H, Wenur, F., Yudistira. 1999. Transport Properties and Heating Performance In Freeze Drying Process. Proceeding of the First Asian-Australian Drying Conference (ADC’99). Bali-Indonesia.
36
Zainuddin, I. 2003. Rancang Bangun Peralatan Dan Analisis Karakteristik Pembekuan Vakum Udang Windu (Penaeus monodon Fab). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian (The Integration of E-Commerce and Agridata Warehousing to Develop Competitiveness of Agricultural Product)
1)
Akhmad Nuryahya1) dan Kudang B. Seminar 2) Program Doktoral Departemen Teknik Pertanian IPB 2) Departemen Teknik Pertanian IPB
Abstract First step towards understanding any agricultural system is the comprehension of relationships between the system and market and customer factors influencing it. Any decision regarding such systems requires analytical exploration of the involved data. The exploration task must be supported by an efficient data storage and retrieval mechanism. In this paper we have presented the case of an integrated of e-commerce and agro-based data warehouse for this purpose. This paper discusses a process for establishing the data warehouse and integrated with e-commerce. We have also shown how implementing an OLAP tool on top of the agro-based data warehouse. Moreover, the database modeling techniques that permit end users fast and easy access to large amounts of micro-level data contained in various data systems and time frames are presented. Keywords: e-commerce, agro-based data warehousing, OLAP Abstrak Langkah awal yang perlu dilakukan dalam memahami suatu sistem petanian adalah melihat secara lengkap bagaimana hubungan-hubungan yang terjadi di antara sistem dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pasar dan juga pelanggan. Suatu pengambilan keputusan pada sistem pertanian membutuhkan analisis eksplorasi terhadap data-data yang terkait tersebut. Untuk hal itu, maka proses eksplorasi haruslah didukung oleh sebuah sistem temu kembali dan penyimpanan data yang cukup efesien. Tulisan ini adalah paparan dari sebuah studi mengenai integrasi e-commerce dan agro-based data warehouse guna menunjang keperluan tersebut. Studi ini mencakup bagaimana peran penggunaan OLAP atas sistem penyimpanan data yang dikembangkan tersebut. Juga dijelaskan mengenai teknik pemodelan basis data yang memungkinkan pihak pengguna sistem dapat dengan cepat dan mudah berinteraksi terhadap berbagai sistem data pada level mikro. Kata kunci: e-commerce, agro-based data warehousing, OLAP
Pendahuluan Latar Belakang Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas pada tahun 2010 di kawasan APEC. Liberalisasi perdagangan dunia memberikan komitmen dalam WTO untuk menurunkan bentuk-bentuk proteksi baik tarif maupun non-tarif perdagangan
hasil pertanian, termasuk produk peternakan. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan secara optimal. Bagi negara yang mampu meningkatkan daya saingnya, terbuka peluang untuk memperbesar pangsa pasarnya baik di pasar internasional maupun pasar domestik. Sebaliknya negara-negara yang tidak mampu meningkatkan daya saingnya akan terdesak oleh para
37
Akhmad Nuryahya dan Kudang B. Seminar: Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian
pesaingnya. Artinya liberalisasi perdagangan hanya akan menguntungkan kepada pihak yang sudah efisien dan berorientasi ekspor (Anonim, 1993). Untuk mencapai sasaran perdagangan tersebut, dibutuhkan peranan teknologi informasi dan komunikasi guna mempercepat proses produksi dan pendistribusian hasil pertanian. Schultheis dan Summer (1992) menyatakan bahwa rancangan sistem informasi merupakan sistem yang didukung oleh sumber data yang memadai, agar informasi yang dihasilkan akurat, tepat waktu, dan relevan. Sistem informasi merupakan kumpulan data yang menggambarkan tentang operasi pemasaran, pemrosesan data itu sendiri dan membuat sistem informasi yang disediakan untuk organisasi dalam pembuatan keputusan. Agar lebih efektif, sistem informasi pemasaran harus dikoordinasikan dengan sistem informasi organisasi lain seperti sistem pembelian (purchasing system), sistem produksi (production system), sistem pengadaaan (inventory system), sistem laporan keuangan (accounting receivable system), dan sistem kredit (credit system). Dalam bidang pertanian penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (information technology and communication) relatif belum optimal, hal ini disebabkan karena sistem pertanian di Indonesia tidak mendukung adanya penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Alasan yang bersifat klasikal adalah tidak tersedianya SDM yang memadai karena pertanian di Indonesia masih bersifat semi-komersial (antara subsisten dan semi-subsisten), aplikasi teknologi informasi (TI) dianggap berbiaya tinggi (high cost) dan perlu investasi yang mahal. Selain itu peranan pemerintah masih relatif lemah dalam memfasilitasi kepentingan produsen (petani), industri, hingga kepada konsumen (USDA, 2003). Dalam sebuah paparan di majalah eBizz Asia (2003) disebutkan bahwa perusahaan pertanian di Thailand mulai menggunakan komputer genggam, teknologi Geographic Information System (GIS), dan teknologi Global Positioning System (GPS) untuk melacak sumber hasil bumi pertanian
38
yang digunakannya di daerah pedalaman timur laut Thailand. Teknologi GIS digunakan untuk memantau dan mengontrol tanaman pangan, sekaligus menyertakan informasi ini dalam kemasan e-commerce. Sedangkan teknologi GPS digunakan untuk memetakan daerah mana paling optimal untuk menanam dan memungkinkan perusahaan pertanian dalam merencanakan volume produksinya. Sebelum menggunakan teknologi ini, para pengawas lapangan harus menuliskan terlebih dahulu data lapangan di atas kertas dan kemudian memasukkannya ke komputer untuk diproses. Setelah menggunakan database yang disusun dengan teknologi GIS dan GPS, kini mereka bisa bekerja lebih efisien di lapangan dengan cukup menyimpan data tersebut dalam Personal Digital Assistant (PDA) kemudian menyelaraskannya dengan database pusat melalui internet. Data tersebut akan dikirim melalui jaringan internet dan ekstranet untuk diproses di kantor pusat perusahaan di Bangkok. Karakteristik E-Commerce dan Agridata Warehousing Electronic Commerce System atau yang sering dikenal dengan sebutan electronic commerce (e-commerce) merupakan aktivitas bisnis berbasiskan penggunaan elektronik termasuk di antaranya perdagangan barang (produk), jasa, serta penyediaan informasi (Timmers, 1998). Kegiatan perdagangan tersebut meliputi online marketing, pengorderan produk, pembayaran dan dukungan pengiriman produk. E-commerce memiliki ketepatan dalam pelayanan transaksi karena end user dapat melakukan transaksi seperti yang diinginkan tanpa harus mengeluarkan biaya berlebihan untuk mencari informasi produsen, sebaliknya produsen lebih mudah untuk mencari customer yang diharapkan. Bentuk-bentuk e-commerce telah berkembang dalam kurun 20 tahun yang telah diaplikasikan dalam bisnis retail, otomotif, dan aplikasi CALS (Computer Assisted Lifecycle Support) di bidang industri manufaktur. Berikut ini akan dipaparkan
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
beberapa karakteristik tentang aplikasi ecommerce.
Menurut Viehland (2004) terdapat beberapa tipe yang dikenal secara umum dalam e-commerce antara lain: Collaborative Commerce (C-commerce), Business to Consumers (B2C), Business to Business (B2B), Consumer to Consumer (C2C), Intrabusiness (intraorganizational) commerce, Government to Citizens (G2C), dan Mobile Commerce (m-commerce). Dari beberapa tipe tersebut yang sering diaplikasikan adalah Business to Customers (B2C) meliputi electronic retailing dengan cara mendesain sendiri, electronic storefronts dengan cara data diambil langsung dari satu sumber, dan electronic mails dengan cara melakukan belanja melalui internet. Secara umum terdapat dua model bisnis beserta kegiatannya yang dapat didukung oleh ecommerce seperti terlihat pada gambar berikut.
Tipologi E-Commerce Dalam perdagangan produk pertanian yang bersifat konvensional sering kali dilakukan dengan transaksi yang bersifat fisik. Hal ini berarti harus tersedia fasilitas berupa pasar, produk pertanian yang diperdagangkan, serta bertemunya antara produsen dan konsumen atau produsen dan pedagang perantara (retailer/ broker) dan sebaliknya. Namun dengan aplikasi teknologi e-commerce sistem perdagangan tersebut dapat digambarkan secara sederhana melalui proses pembelian, penjualan, jasa dan pelayanan informasi jaringan via komputer, terutama internet secara cepat dan efisien.
e-shop promotion, cost-reduction, additional outlet, (seeking demand) e-procurement additional inlet, (seeking suppliers)
Model 2
E-commerce (Business Model)
Virtual communities focus on added value of communication between members Value chain service provider support part of value chain, e.g. logistics, payments Value chain integrator added-value by integrating multiple steps of the value chain
e-auction electronic bidding (no need for prior movement of goods or parties)
Model 1 e-mall (collection of e-shops), aggregators, industry sector marketplace 3rd party marketplace common marketing frontend and transaction support to multiple business
Collaboration platforms e.g. collaborative design
Information brokers trust providers, business information and consultancy
Gambar 1. Model Bisnis dan Kegiatannya yang Didukung oleh E-commerce (Sumber: Timmers, 1998)
39
Akhmad Nuryahya dan Kudang B. Seminar: Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian
Karakteristik Internet, Intranet, dan Ekstranet Internet adalah suatu jaringan komputer yang menghubungkan semua komputer di dunia sehingga semua orang dapat berinteraksi secara tidak langsung. Internet menggunakan suatu protokol yaitu TCP/IP (Transmission Control Protocol/ Internet Protocol), user dapat terhubung dengan internet melalui server LAN (Local Area Network), SLIP/PPP (Serial Line Internet Protocol/Point-to-Point Protocol), dan Online service (internet service provider). Penggunaan LAN untuk membuat jaringan yang menghubungkan komputer dengan komputer lain dalam jarak beberapa kilometer. Sedangkan user harus memiliki modem dan software yang khusus untuk dial melalui SLIP/PPP server. Internet sering digunakan untuk pekerja yang ingin mengakses internet atau intranet perusahaan. Layanan penggunaan internet diberikan dalam tiga yaitu komunikasi, informasi, dan web services. Layanan komunikasi berupa e-mail, chatting, internet fax, internet telephone, dan layanan informasi berupa FTP (File Transfer Protocol), Archie (seperti search engine), WAIS. Sedangkan untuk web services berupa aplikasi software yang dapat dikirim melalui internet. Intranet adalah suatu jaringan yang bersifat privasi yang menggunakan software internet dan TCP/IP protocol. Biasa digunakan untuk perusahaan yang umumnya untuk menambah aplikasi-aplikasi ke dalam intranet berupa document sharing, corporate telephone directories, training program, search engines, customer database, groupware, data warehouse, dan decision support access.
40
Penggunaan groupware merupakan suatu perangkat lunak yang memberikan fasilitas komunikasi dan kerja sama antara orangorang dalam suatu organisasi yang didesain untuk semua tipe jaringan komputer. Sedangkan ekstranet adalah jaringan yang menghubungkan ke komputer lain melalui internet yang memberikan access ke area tertentu pada intranet komputer tersebut. Ekstranet ini biasa digunakan oleh suatu perusahaan atau orang tertentu yang ingin mengeksplor informasi-informasi tertentu dari suatu perusahaan. Karakteristik Sumber Data untuk Agridata Warehousing Data warehouse sangat populer dalam bidang industri, manufaktur, telekomunikasi, dan retail namun sangat minim sekali diaplikasikan dalam bidang pertanian. Aplikasi warehousing untuk bidang pertanian telah berkembang semenjak dekade akhir yaitu mulai tahun 2000. Beberapa jurnal ditemukan istilah yang digunakan untuk data warehousing bidang pertanian yang disebut sebagai Agridata Warehousing seperti dikutip dari tulisan Abdullah dan Brobst dari Teradata Daiton Ohio, USA (2003), Abdullah et al. (2004) serta Reddy (2003) dari International Institute of Information Technology Gachibowli, Hyderabad. Agridata Warehouse (ADW) menyimpan data yang berasal dari satu atau lebih sumber terkait dengan pengembangan produk pertanian. ADW tidak menciptakan data baru, tetapi data yang disimpan di dalam ADW sering diolah sebelum disajikan untuk end-user, misalnya diringkas (summary) sebelum dicetak sebagai laporan (Darmawikarta, 2004). Tulisan ini membahas dua karakteristik penting dari sumber data yang perlu diperhatikan waktu merancang dan membangun ADW yaitu pendekatan kepada pemilik sumber data mengirim ke
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
DW dan pendekatan kepada pengelola ADW untuk mengambil data dari sumber sesuai jadwal yang sudah disetujui bersama pemiliknya. Pada pendekatan pertama, pemilik data terbebani untuk membuat program baru atau menjalankan job untuk mengambil data yang diinginkan untuk disimpan di ADW, di mana proyek ADW mungkin tidak ada hubungan dengan aplikasi yang menjadi sumber data atau bukan prioritasnya. Pendekatan kedua lebih populer, karena pemilik data pada prinsipnya cukup memberi izin dan menyetujui kapan pengelola ADW boleh mengambil data yang diperlukan yang berkaitan dengan usaha pertanian dan pemasarannya. Menurut Bill Inmon dalam Darmawikarta (2004) terdapat empat sifat yang mencirikan data yang disimpan di dalam ADW. Subject oriented. Aplikasi untuk operasi perusahaan (operational system) berorientasi pada proses otomasi fungsi-fungsi proses bisnis. Misalnya pada bank yang memberi layanan kepada kredit pertanian, aplikasi kredit akan mengotomasi fungsi-fungsi berikut: verifikasi lamaran petani dan credit checking, pemeriksaan kolateral, approval, pendanaan, dan tagihan. Di dalam data warehouse data-data yang
dihasilkan dari proses kredit ini diatur kembali (dikelompokkan) dan diintegrasikan (digabung) dengan datadata dari fungsi-fungsi lain, agar berorientasi pada misalnya nasabah dan produk. Integrated. Data dari macam-macam aplikasi transaksi (untuk bank, misalnya: tabungan, kredit, rekening koran) semua mengandung data nasabah, baik data maupun data yang spesifik (data yang sama misalnya: nama dan alamat, data yang spesifik misalnya: untuk kredit dan kolateral, untuk rekening koran dan overdraft). Di dalam data warehouse datadata yang sama harus diintegrasikan di satu database, termasuk misalnya keseragaman formatnya. Time variant. Data warehouse menyimpan historical data. Di dalam data warehouse sering disimpan macam-macam waktu, seperti waktu suatu transaksi terjadi, diubah atau dibatalkan, kapan efektifnya, kapan masuk ke komputer, kapan masuk ke data warehouse; juga hampir selalu disimpan versi, misalnya terjadi perubahan definisi kode pos, maka data lama dan baru terekam dalam data warehouse. Non-volatile. Di dalam warehouse, data-data umum terutama data tipe transaksi, tidak akan pernah di-update atau dihapus (delete). Gambar 2 berikut ini merupakan satu sumber data dengan masing-masing proses/stream untuk setiap keperluan.
41
Akhmad Nuryahya dan Kudang B. Seminar: Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian
Gambar 2. Sumber Data untuk Berbagai Alur Proses Sistem gudang data (data warehouse) seperti tampak pada Gambar 2 di atas, dibangun untuk mengatasi masalah teknis dan bisnis pertanian dalam kasus-kasus sejenis di atas, yaitu kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan data dan informasi untuk mengambil keputusan bisnis dan manajemen. Integrasi E-Commerce dan Agrowarehousing Fungsi utama Agridata Warehouse adalah mengambil (termasuk data dari luar yang dibutuhkan, misalnya daftar alamat
petani dan konsumen yang berkaitan dengan kode pos dari kantor pos), mengumpulkan, mempersiapkan (transforming, seperti membersihkan, mengintegrasikan, decoding), menyimpan (loading) dan menyediakan data untuk pemakai (costumer) atau aplikasi yang bersifat query/reporting (read-only) untuk petani. Namun hanya satu data terpercaya ini yang digunakan oleh semua yang membutuhkan (single version of truth), untuk pelaporan, analisa informasi, dan mengambil keputusan (analytical application) seperti digambarkan pada Gambar 3 berikut ini.
Sumber Data
Laporan Kebun 1 (data panen)
Database Produk pertanian
Data sekuensial
Master files
Extract Transform Load AGRI DATA WAREHOUSING
Laporan Kebun 2 (luas panen)
ETL Laporan Perkembangan harga, dll.
External Data
42 Intranet Ekstranet Internet
Aplikasi Mendatang
Online Query
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Gambar 3. Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing
Integrasi E-commerce Warehousing
dan
Agridata
Sebelum mulai membuat data model untuk agridata warehouse melalui integrasi ecommerce, sebaiknya langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat spesifikasi kebutuhan informasi dan data yang tersedia (sumber data). Spesifikasi kebutuhan informasi dan sumber data merupakan spesifikasi kebutuhan fungsional. Dalam kenyataan sesungguhnya akan lebih lengkap dan detail jika spesifikasi kecepatan respons dan penggunaan teknologi internet (web access) diintegrasikan terpadu. Selain itu sumber data berupa format dan ukuran data (field type dan length), volume, dan kualitasnya. Spesifikasi kebutuhan fungsional informasi secara teknis menyatakan data apa yang harus disimpan di dalam ADW untuk memenuhi analisa yang akan dilakukan oleh pemakai. Ini dapat dinyatakan dalam bentuk pertanyaan yang harus dapat dijawab oleh data di dalam data warehouse, misalnya: berapa besar penjualan dan laba per bulan petani, per produk, per komoditas, pelanggan/pembeli (retailer, agroindustri,
industri rumah, atau eksportir), jenis komoditas pertanian (dari pelanggan/ pembeli) dan ke mana produk pertanian pesanan dikirim (kabupaten, provinsi, atau nama negara). Pertanyaan pemakai seperti tersebut di atas disebut analisa multidimensi (multidimensional analysis). Besaran (measure) yang ditanyakan (dianalisa) adalah ‘penjualan’ dan ‘laba petani’. Batasan (dimension) dari besaran tersebut adalah bulan (periode), produk pertanian, tipe pelanggan, jenis industri, dan tujuan pengiriman (location). Selain harus memenuhi spesifikasi fungsional dari pemakai, data model untuk ADW nantinya harus menampung data dari sumber data di dalam sistem operasional, adalah sistem pesanan (sales order system). Data model (logical) dari sumber data ini tergambar sebagai berikut. Diagram data model ini dibuat dengan menggunakan oracle designer (salah satu modeling software yang populer) dengan catatan: attribute yang bertanda # di depan namanya adalah primary key. Foreign key tidak ditunjukkan dalam diagram.
43
Akhmad Nuryahya dan Kudang B. Seminar: Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian
Gambar 4. Model Data untuk ADW
Seperti tampak pada Gambar 4, solusi data model (logical) untuk agridata warehouse dengan menggunakan skema bintang (star schema), ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Skema Bintang Penjualan Produk Pertanian Dalam skema bintang ini, tabel penjualan adalah fakta (fact table) yang lain adalah dimensi (dimension table). Tabel fakta berisi besaran, sedangkan tabel dimensi
44
berisi dimensi data yang diperlukan untuk menjawab spesifikasi fungsional dari pemakai (analisa multidimensi).
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Aplikasi Agro-Warehousing untuk Online Analytical Processing (OLAP)
integrasi data pertanian dan data agrometeorologi dalam bentuk Online Analytical Processing (OLAP). OLAP digunakan melalui query data dan agar lebih powerfull dikembangkan dengan menggunakan Graphical User Interface (GUI) untuk melaporkan data yang terkait dengan kesesuaian lahan, iklim (cuaca dan kelembapan), populasi tanaman, jumlah predator, dan pengendalian hama terpadu. Aplikasi ini didukung dengan penggunaan Geographic Infromation System (GIS) sebagai alat analisis spasial. Proses pembangunan OLAP meliputi empat tahap yaitu analisis kebutuhan, akuisisi input data, implementasi dan analisis operasional seperti terlihat pada Gambar 6.
Agridata Warehousing merupakan integrasi berbagai macam koleksi data terutama data yang berkaitan dengan sistem pengambilan keputusan dalam usahatani. Satu bagian data warehouse terdiri dari integrasi data yang bersifat heterogen dari berbagai distribusi sumber informasi, data historical, dan data agregat (Abdullah dan Brobst, 2003). Biasanya data warehouse memuat data dalam jumlah yang besar tetapi dibutuhkan dalam satu bangunan data. Seperti tampak pada Tabel 1, Abdullah et al. (2003) mengaplikasikan ADW untuk membuat alat bantu inovatif yang digunakan untuk menganalisis secara
Tabel 1. Atribut-Atribut Data yang Dapat Direkam oleh OLAP Query/Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14
Atribut
Cluster didasarkan kepada
Data kunjungan Nama dan alamat petani Luas tanah Varietas Populasi Tanaman Populasi Hama (tikus/pes) Populasi Predator Hari penyemprotan hama Pestisida yang digunakan Nama dan alamat pedagang Jenis komoditas yang diminati Harga Data kunjungan pelanggan
Koordinat/batas administrasi Lokasi (strata petani) Batas-batas kepemilikan lahan Unggul, lokal Tutupan daun Jumlah tanaman yang rusak Jumlah tanaman yang rusak Cuaca Perusahaan yang berlisensi Lokasi (kategori pedagang) Spesifikasi produk pertanian Harga dasar Koordinat/batas administrasi
Sumber: Abdullah et al. (2004)
Requirement analysis
Input data acquisition Data Source identification
Availability, Volume and format
Data Entry
Data cleaning/standardization
Web Design
Implementation
Web Design
Develoment of dimentional model Online Catalogue Shopping basket (pemesanan)
Scheme Develoment
Request box
Coding Maintenance
45
Akhmad Nuryahya dan Kudang B. Seminar: Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian
Gambar 6. Proses Pembangunan OLAP untuk Produksi Pertanian konsumen atau pemerintah. Masing-masing Pada tahap pertama dilakukan pelaku dalam arsitektur OLAP mempunyai dengan analisis kebutuhan terhadap user otoritas dalam manajemen berupa sistem (petani) dalam melasanakan kegiatan pengambilan keputusan. Arsitektur tersebut budidaya pertanian. Tahap kedua dilakukan tidak memberi ruang bagi pelaku untuk dengan akuisisi melalui identifikasi sumber saling mempengaruhi karena masing-masing data, penyediaan data (volume dan format), pelaku memiliki batasan otoritas, tetapi serta entri data. Memasuki tahap ketiga pelaku dapat melakukan sharing informasi dilakukan melalui implementasi berupa antarkomponen berdasarkan kebutuhan data pengembangan dimensi model, pengembangan masing-masing pelaku. Setelah target skema, pengkodean, integrasi data, dan pengguna sistem ditetapkan, maka harus pemuatan data. Sedangkan pada tahap dilakukan identifikasi kebutuhan informasi keempat dilakukan melalui proses simpel dan pendukung keputusan yang didasarkan query, analisis terhadap OLAP, dan pada pendekatan kebutuhan masing-masing eksplorasi data yang dibutuhkan. pengguna. Analisa kebutuhan informasi Pada akhirnya OLAP akan untuk masing-masing target pengguna dikoneksikan dengan jaringan internet, seperti pada Tabel 2 berikut. ekstranet, atau intranet yang dapat diakses oleh user baik sebagai produsen (petani), Tabel 2. Analisa Kebutuhan Jenis Informasi untuk Target Pengguna Target Pengguna
Jenis Kebutuhan
Informasi
Produsen
Produk dapat terserap pasar dengan harga yang wajar
Harga permintaan Volume dan mutu Pola pemasaran yang optimum
Database konsumen
Identifikasi pembeli Indentifikasi produk yang dibutuhkan
46
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Kemudahan dalam menentukan saluran an pemasaran
Identifikasi rantai pemasaran (tata niaga) Jumlah saluran pemasaran
Mengurangi biaya pemasaran (marketing margin rendah)
Identifikasi dan karakteristik konsumen Menentukan lokasi pasar
Kemudahan produk Konsumen
dalam
transportasi
Jasa angkutan Harga sewa
Permintaan terpenuhi dengan harga yang wajar
Harga penawaran Volume dan mutu produk Pola pemasaran yang optimum
Database produsen
Identifikasi produsen Identifikasi produk yang ditawarkan
Perencanaan pembelian
Potensi produksi Harga penawaran Kondisi persaingan
Sumber: Nuryahya (2004): Rencana penelitian untuk disertasi
Alat yang digunakan untuk perancangan sistem pendukung keputusan dan desain e-marketing adalah perangkat keras dan periferalnya, berbagai perangkat lunak (software) untuk pembangunan program menggunakan misalnya Visual Basic 6.2, Visual BasicNet, Java Script, dan HTML (Hyper Text Markup Language), Dreaweaver dan untuk pembangunan data menggunakan Microsoft Access, sedangkan untuk komunikasi data dalam jaringan menggunakan ASP (Active Server Page). Kelebihan agro-warehousing yang dikembangkan oleh Abdullah dan Brobst (2003) dan Abdullah et al. (2004) yaitu telah disusunnya skenario-skenario yang memungkinkan bagi pelaku untuk mengidentifikasi keterlibatannya dalam sistem informasi tersebut. Selain itu para pelaku akan memiliki banyak alternatif solusi dalam kegiatan usaha tani. Tetapi kekurangan yang dapat penulis identifikasi adalah: sistem tersebut belum menjawab tantangan akan terjadinya over supply karena OLAP tidak dirancang untuk mengatasi persoalan mendasar dalam produk pertanian berupa elastisitas harga, produk pertanian yang masih bersifat musiman (seasonable), serta produk pertanian yang mudah rusak. Sehingga apabila OLAP dikembangkan
menjadi integrasi model data antara produksi, distribusi, dan pemasaran yang dilengkapi oleh sistem pengambilan keputusan akan mampu menjawab tantangan dan persoalan mendasar pertanian tersebut. Implikasi Manajemen Jaringan informasi pasar menggunakan media elektronik (e-commerce) dalam bentuk web site akan berpeluang terbentuknya jaringan pasar maya ‘virtual market’ tanpa batas ruang, waktu, dan wilayah. Manfaat dari hasil integrasi ecommerce dan agridata warehousing adalah sebagai upaya untuk mendukung pengembangan terminal agribisnis sekaligus sebagai tempat bagi petani/kelompok tani dalam memasarkan produknya dengan mudah, mengembangkan jaringan pasar untuk memberikan alternatif pasar yang lebih meguntungkan, serta membuka lapangan kerja baru di bidang pelayanan informasi pertanian. Selain itu manfaat yang diperoleh dari rancangan ini adalah sebagai upaya untuk merangsang pertumbuhan agribisnis dan agroindustri yang kuat dan kompetitif dalam menyongsong pasar global. Dalam rangka mewujudkan sistem informasi tersebut, perlu dilakukan
47
Akhmad Nuryahya dan Kudang B. Seminar: Integrasi E-Commerce dan Agridata Warehousing untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian
penelitian yang lebih komprehensif yang memuat perancangan suatu sistem informasi dengan aplikasi agro-warehousing. Dalam melakukan perancangan perlu diantisipasi adanya landasan pemikiran bahwa efisiensi produksi dan pemasaran suatu komoditas pertanian tidak dapat dicapai sekaligus, tetapi harus secara bertahap. Konsekuensi dari landasan tersebut adalah adanya pembaharuan yang terus menerus pada sistem produksi dan pemasaran suatu komoditas sampai ditemukan suatu sistem yang tepat untuk diterapkan dalam perekonomian yang berlaku di Indonesia. Adanya kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem yang akan dibangun (agridata warehousing) akan senantiasa berubah menurut waktu dan ruang. Pembaharuan dapat terjadi pada komoditas yang diproduksi, lembaga pemasaran yang terlibat, sarana yang tersedia, dan kebijakan pemerintah. Salah satu di antara pembaharuan yang harus selalu diikuti dinamikanya adalah kebijakan dan regulasi pemerintah dalam membuat peraturan dan undang-undang yang memuat transaksi dunia maya (internet) dan elektronik.
Kesimpulan dan Saran Upaya untuk mengintegrasikan data warehousing dengan e-commerce bertujuan untuk memperbaharui metode yang selama ini dipakai dalam merancang suatu sistem informasi pertanian agar memperoleh efisien dan fleksibilitas serta memperoleh struktur data yang reliable dalam penyimpanan data maupun eksplorasi data. Untuk mengantisipasi pembaharuan yang terjadi secara terus-menerus pada sistem agrowarehousing, maka sistem informasi produksi dan pemasaran yang akan datang dirancang dengan menggunakan metode yang dapat menghasilkan rancangan basis data dan operasi/fungsi yang bersifat terbuka. Format sistem informasi pertanian yang akan dirancang melalui integrasi ecommerce dan agridata warehousing harus mampu mendukung kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan pelaku bisnis
48
pertanian lainnya. Format informasi untuk pemerintah ditujukan untuk mendukung kemampuan pemerintah dalam melakukan monitoring, perencanaan, dan perumusan kebijakan. Format informasi bagi petani ditujukan untuk mendukung terlaksananya precision farming dan perspective farming. Sedangkan format informasi untuk pedagang/swasta ditujukan untuk mendukung kegiatan usahanya seperti informasi wilayah produksi, informasi pasar baik domestik maupun ekspor dan standar mutu.
Daftar Pustaka Anomim. 1993. Sambutan Presiden RI pada Dies Natalis Ke-30 Institut Pertanian Bogor dan Kongres Ke-8 Himpunan Alumni Insitut Pertanian Bogor. Abdullah, A., P. Brobst P, M. Umer dan Khan, W. 2004. The case for an agri data warehouse: Enabling analytical exploration of integrated Agricultural data. Teradata Division, NCR, Ohio, USA. Abdullah, A dan P. Brobst. 2003. Agri Data Mining/Warehousing: Innovative Tools for Analysis of Integrated Agricultural & Meteorological Data. Teradata Division, NCR, Ohio, USA. Darmawati, E. 2002. Desain Sistem Pendukung Keputusan Distribusi Hortikultura dengan Pendekatan Objek. Disertasi. Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, program pascasarjana, IPB, Bogor.
Hoa, T. 1998. Database for Agriculture in Information Center for Agriculture and Rural Development. Proceeding of the First Asian Conference for Information Technology in Agriculture, January 24-26, 1998. Wakayaman, Japan. Reddy, K. 2003. A Framework of Information Technology Based Agriculture Information Dissemination System to Improve Crop Productivity.
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
International Institute of Information Technology Gachibowli, Hyderabad. Khols, R. L dan J.N. Uhl. 1990. Marketing of Agricultural Products. Seventh Edition. MacMillan Publishing Company, New york. Kotler, P. 1994. Manajemen Pemasaran, Perencanaan dan Pengendalian. Penerbit Erlangga. Jakarta. Limbong, W.H. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Onggo,
B. J. 2003. ECommerce tanpa EMarketing Mungkinkah? http://ww.bjoconsulting.com. 15/10/2004
Nuryahya, A. 2004. Rancangan Bangun EMarketing Produk Peternakan dengan Pendekatan Object Oriented. Manuskrip Proposal Penelitian Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian IPB. Bogor. Rowley, J. 2001. Remodelling Marketing Communications in an Internet Environment’, Internet Research: Electronic Networking Applications and Policy, Volume 11, Number 3, pp 203-212.
Svanberg, L. 2004. Internet Marketers. http://ww.bjoconsulting.com. 15/10/2004. Timmers, P. 1998. Business Models for Electronic Markets. European Commission, Directorate-General III. USDA
(United States Department of Agriculture). 2003. Data Warehousing and Decision Support at the National Agricultural Statistics Service. Proceedings of the Association for Survey ComputingForth International Conference.
Viehland, D. 2004. Overview of Business Models for Electronic ommerce httpwww.onlinewbc.govdocsprocur ebasicsba.html#EDI Widiastuti, R dan Simanungkalit, S. 2002. Pertumbuhan Internet Positif di Tengah Krisis: Buku Indonesia dalam Krisis 1997-2002. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Schoell, W. F dan J. P. Guiltinam. 1990. Marketing Contemporary Concepts and Practices. Fourth Edition. Prentice Hall, Boston. Shulties, R dan M. Summer. 1992. Management Information System: The Manager view. Rhicard D. Irwin, Inc. Illionis-USA.
49
Pengukuran Sifat-Sifat Fisik dan Akustik Buah Durian Selama Pematangan (Measurement of Physical and Acoustic Characteristics of Durian Fruit during Ripening) Sri Waluyo 1), Hadi K. Purwadaria 2), dan I Wayan Budiastra 3) Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung 2). Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor 3). Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor
1).
Abstract The objectives of this research were (i) to measure the acoustic characteristics through durian fruit and each its component, (ii) to analize the signal pattern of ultrasonic wave through fruit and each its component, and (iii) to evaluate the relation between physico-chemical and acoustic parameters. The result showed that the more mature of fruit and the longer of storage, the softer of flesh of fruit. The increasing of fruit softening will be followed by the rising of coefficient of attenuation and the declining of ultrasonic wave velocity. On the contrary, increasing of soluble solid total causes decreasing of coefficient of attenuation and the growing up of ultrasonic wave velocity. The peak of power spectral density (PSD) for fruit is about 100 kHz, while seed and seed-flesh are about 140 kHz and 200 kHz respectively. Keywords: durian fruit, coefficient of attenuation, ultrasonic wave velocity Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (i) mengukur koefisien atenuasi dan kecepatan perambatan gelombang ultrasonik melalui buah durian dan bagian-bagian buah durian, (ii) menganalisa pola sinyal gelombang ultrasonik yang melalui buah dan bagian-bagian buah, dan (iii) mempelajari hubungan antara parameter fisik-kimia buah dengan parameter akustik buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tua buah dan semakin lama waktu simpannya, semakin lunak daging buah. Kenaikan kelunakan daging buah akan diikuti dengan peningkatan koefisien atenuasi dan penurunan kecepatan perambatan gelombang ultrasonik. Sebaliknya, peningkatan total padatan terlarut menyebabkan penurunan koefisien atenuasi dan peningkatan kecepatan gelombang. Puncak power spectral density (PSD) untuk buah berkisar pada 100 kHz, sementara biji dan biji-daging berturut-turut sekitar 140 kHz dan 200 kHz. Kata kunci: buah durian, koefisien atenuasi, kecepatan perambatan gelombang ultrasonik
Pendahuluan Permintaan buah-buahan dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Catatan Biro Pusat Statistik menunjukkan pada tahun 1978 konsumsi buah-buahan hanya sebesar 17.60 kg/kapita. Selama hampir dua dasawarsa konsumsi buah meningkat menjadi sekitar dua kali lipat dengan rata-rata peningkatan permintaan setiap tahun sebesar 6.1%. Diperkirakan
50
pada tahun 2010 total permintaan buahbuahan dalam negeri akan mencapai 14 juta ton dan 15 juta ton pada tahun 2015 (Anonim, 1999). Kondisi yang sebaliknya terjadi pada sisi produksi buah dalam negeri, terjadi kecenderungan semakin besar selisih antara jumlah permintaan dan produksi. Kekurangan pasokan selama ini diupayakan melalui impor. Durian (Durio zibethinus Murray) merupakan salah satu produk eksotik
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Indonesia yang memiliki prospek ekonomi yang cukup baik. Permintaan durian dari dalam dan luar negeri terus mengalami peningkatan. Namun demikian masih terdapat kendala dalam pengembangan produksi untuk ekspor buah-buahan Indonesia, di antaranya adalah lemahnya daya saing produk buah-buahan Indonesia akibat rendahnya kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan. Sebagai gambaran, akibat kualitas yang tidak memenuhi standar, dicatat oleh Syarif (1996, dalam Lukmanto, 1996) bahwa selama tahun 1995 setidaknya terjadi 5 kasus penolakan komoditas buah-buahan dan produk turunannya dari Indonesia ke Amerika Serikat senilai US$ 6122. Selain itu, menurut laporan BPEN (1998), sekitar 20% volume ekspor durian Indonesia tidak diterima oleh negara importir seperti Singapura, Hongkong, dan Taiwan karena kualitas yang tidak prima. Selain itu beragamnya kualitas buah yang dihasilkan sebagai akibat sistem pengelolaan dan budidaya yang masih tradisional dan belum ditangani secara komersial merupakan kelemahan dalam pengembangan buah durian lokal sebagai komoditas ekspor (Anonim, 1999). Perbedaan kultivar buah memberikan penampilan yang berbeda. Durian montong umumnya mempunyai laju pematangan lebih lambat dibandingkan dengan durian kani (Chanee), yang diakibatkan oleh perbedaan aktivitas enzim sintase ACC dan oksidasi enzim ACC yang berhubungan dengan proses pematangan (Chaiprasert, 1993 dalam Nanthachai, 1994). Sedangkan buah durian ciapus berbeda dengan durian lampung dan ciherang, seperti dalam hal ketebalan kulit luar, ketebalan dan warna daging buah, serta struktur susunan buah dalam durian. Untuk itu diperlukan langkah sortasi untuk mengelompokkan buah durian ke dalam kualitas yang seragam. Metode manual memerlukan tingkat pengalaman yang tinggi, memiliki unsur subjektivitas yang besar dan tingkat konsistensi yang rendah (Budiastra et al., 1998). Pengembangan metode sortasi buah durian
secara tak merusak pada berbagai varietas/kultivar dan tingkat ketuaan merupakan faktor kritis bagi pengembangan industri dan ekspor buah durian. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengukur koefisien atenuasi dan kecepatan perambatan gelombang ultrasonik melalui buah durian dan bagian-bagian buah durian, (2) menganalisa pola sinyal gelombang ultrasonik yang melalui buah dan bagianbagian buah, dan (3) mempelajari hubungan antara parameter fisik-kimia buah dengan parameter akustik buah.
Metodologi Penelitian Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah buah durian Ciherang yang diperoleh dari Ciawi, Bogor, Jawa Barat pada tiga tingkat ketuaan yaitu buah tua penuh (TP -- umur 120 hari), buah belum tua penuh (BTP -- umur 111-113 hari) dan buah muda (BM -- umur 104-106 hari), didasarkan sejak bunga mekar (anthesis), dan perlakuan umur simpan 0, 2, 4, dan 6 hari. Alat yang digunakan terdiri dari sistem pengukur gelombang ultrasonik yang dikembangkan oleh Budiastra et al. (1998 dan 1999), terdiri dari: transmitterreceiver circuit, signal analyzer, signal processor dan display (Gambar 1); rheometer (Model CR300, plunger No. 25), hand refractometer digital (ATAGO PR201), kaliper, cawan timbang, timbangan digital, oven, desikator, pisau potong, dan gelas ukur. ULTRASONIC TESTER
T
DIGITIZING OSCILOSCOP
PC LAB. CARD
R
Gambar 1. Blok Diagram Peralatan Gelombang Ultrasonik
Uji
51
Sri Waluyo, Hadi K. Purwadaria, dan I Wayan Budiastra: Pengukuran Sifat-Sifat Fisik dan Akustik Buah Durian Selama Pematangan
Prosedur Penelitian A. Uji Akustik Buah (a) Buah durian dimasukkan ke dalam kotak uji yang sudah diisi dengan air dengan posisi tangkai di atas dan transduser tepat mengenai bagian tengah (ekuator) durian. Jarak antara transmiter dan receiver diukur, dan dinyatakan sebagai jarak perambatan gelombang. (b) Gelombang ultrasonik dikirim dari ultrasonik tester melalui transmiter, diterima receiver dan diteruskan dalam digital osciloskop, dianalisis oleh signal analyzer dan disimpan dalam hardisk komputer. Sinyal yang disimpan merupakan hubungan antara amplitudo dengan waktu. (c) Cacah gelombang ultrasonik (amplitudo dan waktu) yang dihasilkan diolah dengan program Fast Fourier Transform (FFT) pada perangkat lunak Matlab untuk memperoleh hubungan antara power spectrum density dengan frekuensi, nilai Zero Moment Power (Mo, luasan di bawah kurva amplitudo versus waktu). (d) Langkah (a) sampai dengan (c) juga dilakukan untuk masing-masing bagian buah: kulit buah, biji-daging buah, dan biji buah. B. Penentuan Berat Volume Buah Berat ditimbang dengan timbangan mekanik (ketelitian 0.1 g) dan dinyatakan dalam satuan kg sedangkan volume buah ditentukan dengan metode water displacement (dinyatakan dalam satuan m3). Berat volume buah dihitung dengan persamaan: Berat volume contoh buah =
Analisis Hubungan antara parameter sifat akustik buah: koefisien atenuasi dan kecepatan perambatan gelombang dengan sifat fisiko-kimia buah: kekerasan, total padatan terlarut dan kadar air daging buah dinyatakan dengan analisis regresi. Validasi persamaan dinyatakan dengan nilai standard error prediction yang dinyatakan dengan persamaan (Chang et al., 1998): SEP =
Bias =
1 n -1
1 n
n
∑ { (Y
r
i=1
n
∑ (Y
r
i=1
2 - Yp ) - Bias } i
- Yp )i
di mana: Yp = nilai estimasi dari persamaan regresi Yr = nilai pengukuran laboratorium n = jumlah contoh
Hasil dan Pembahasan
Berat buah (kg) Volume buah (m 3 )
C. Uji Kekerasan Daging Buah Untuk setiap contoh buah diambil daging buahnya untuk dilakukan uji kekerasan dengan rheometer. Alat uji diset pada mode 20 dan diatur pada
52
pembebanan maksimum 10 kg, kecepatan pembebanan 60 mm/menit dan kedalaman penetrasi 3.0 mm. D. Uji Total Padatan Terlarut Daging Buah Daging buah pada masing-masing contoh diambil, dimasukkan ke dalam kertas saring, dilunakkan dengan tangan, lalu diuji total padatan terlarutnya dengan hand refractometer. E. Penentuan Kadar Air Daging Buah Sebanyak lebih kurang 10 gram daging buah diambil untuk diukur kadar airnya. Contoh yang sudah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100 oC hingga diperoleh berat konstan. Berat akhir contoh ditimbang, selanjutnya kadar air dihitung menggunakan basis basah.
Perubahan Sifat Fisik-Kimia Buah Selama Penyimpanan Dari hasil pengukuran diperoleh, berat rata-rata buah durian Ciherang adalah 1,303 ± 0,222 kg dengan diameter 15,20 ± 0,10 cm. Berdasarkan proporsi berat masing-
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
masing bagian buah, kulit merupakan komponen terbesar yaitu sebesar 54,93% dari berat utuh, sedang biji dan daging buah berturut-turut adalah 18,39% dan 26,68%. Ketebalan daging buah dapat mencapai 0.5 cm dengan rata-rata ketebalan 0.4 ± 0.1 cm. Buah durian uji memiliki ketebalan kulit yang tipis. Ketebalan kulit bagian punggung (tanpa duri) rata-rata adalah 0.4 cm dan semakin tebal pada bagian pangkal dan ujung buah. Warna daging buah putih bersih saat muda dan cenderung bertambah kekuningan jika sudah mencapai tua optimum. Selama penyimpanan terjadi perubahan-perubahan sifat fisik buah. Buah durian yang disimpan lebih lama memiliki kadar air daging buah yang lebih tinggi. Peningkatan kadar air buah akan meningkatkan tekanan turgor dalam jaringan buah, sehingga kekerasan buah menjadi menurun. Buah yang disimpan lebih lama akan memiliki kekerasan daging buah yang lebih rendah. Dengan demikian peningkatan kadar air selama penyimpanan akan menyebabkan semakin melunaknya daging buah. Pelunakan daging buah juga disebabkan oleh perombakan protopektin yang tidak larut dalam air menjadi pektin yang larut dalam air serta perubahan pati menjadi gula (Pantastico, 1975). Selain berpengaruh terhadap kekerasan, peningkatan kadar air dalam daging buah diduga berpengaruh terhadap penurunan total padatan terlarut (TPT) daging buah. Pengaruh waktu simpan terhadap berat volume buah, kekerasan, total padatan terlarut, dan kadar air daging buah diberikan dalam Tabel 1. Pola Spektrum Gelombang yang Melalui Buah dan Bagian-Bagian Buah Pola sinyal gelombang yang melewati buah durian BM, BTP dan TP ditunjukkan oleh Gambar 2. Sedangkan Gambar 3 memperlihatkan pola sinyal gelombang ultrasonik yang melewati
masing-masing bagian buah. Terlihat bahwa pada buah durian BM memiliki nilai Mo lebih besar dibandingkan dengan BTP dan TP. Tabel 2 memperlihatkan nilai Mo, koefisen atenuasi, dan kecepatan perambatan gelombang melalui buah pada BM, BTP, dan TP. Semakin tua dan matang buah semakin rendah kecepatan perambatan gelombang, semakin kecil nilai Mo, dan semakin besar koefisien atenuasinya. Dari Tabel 3 memperlihatkan bahwa kecepatan perambatan gelombang melalui buah durian utuh lebih kurang sama dengan rerata kecepatan gelombang melalui komponen-komponen buah. Kecepatan perambatan gelombang berada pada kisaran 500 – 650 m/det. Tampaknya semakin homogen komponen penyusun medium padatan dan semakin besar kerapatan jenisnya, semakin besar nilai koefisien atenuasinya. Namun demikian belum diketahui secara jelas komponen penyusun kimiawi apa yang paling berpengaruh pada besarnya nilai parameter dari gelombang ultrasonik ini. Sinyal dan spektrum yang ditampilkan pada masing-masing komponen buah terdapat pola yang berbeda. Puncak gelombang melalui kulit umumnya berada pada kisaran frekuensi yang lebih tinggi (mendekati 200 kHz) sementara pada biji dan biji-daging pada kisaran 140 kHz. Sedangkan untuk buah utuh berada pada frekuensi di bawah 100 kHz. Dilihat dari nilai koefisien atenuasinya, buah durian utuh memiliki koefisien atenuasi paling rendah, dan biji memiliki nilai tertinggi. Hal ini dipengaruhi oleh komponen partikel penyusun yang bervibrasi pada frekuensi tertentu dan masing-masing frekuensi berperan penting dalam menentukan jumlah energi absorpsi spesifik (Lee, et al., 1992). Perbedaan komposisi kimia juga menyebabkan adanya perbedaan pola difraksi gelombang akibat perbedaan dipole atom-atom penyusunnya sehingga mempengaruhi nilai transmisifitas dan refleksifitas gelombang ultrasonik (Gooberman, 1968).
53
Sri Waluyo, Hadi K. Purwadaria, dan I Wayan Budiastra: Pengukuran Sifat-Sifat Fisik dan Akustik Buah Durian Selama Pematangan
Tabel 1. Berat Volume Buah, Kekerasan, Total Padatan Terlarut, dan Kadar Air Daging Buah Durian Ciherang pada Berbagai Umur Petik dan Lama Penyimpanan Lama Simpan
Buah Muda (BM)
Belum Tua Penuh (BTP)
Tua Penuh (TP)
BV
Fi
TPT
KA
BV
Fi
TPT
KA
BV
Fi
TPT
KA
0 hari
1009
0.669
15.04
79.4
957
0.540
23.03
75.3
968
0.189
29.56
68.7
2 hari
1011
0.410
10.57
87.3
931
0.286
16.98
79.2
930
0.241
31.81
70.3
4 hari
896
0.344
18.27
82.4
910
0.255
20.46
78.9
905
0.167
29.60
72.1
6 hari *)
937
0.402
12.36
87.3
939
0.234
28.12
80.3
--
--
--
--
Keterangan: BV Fi TPT KA *
= berat volume, kg/m3 = kekerasan, kgf = total padatan terlarut, oBrix = kadar air basis basah, %bb = pada contoh buah TP, pada hari keenam penyimpanan telah mengalami pecah (pembukaan) kulit yang dimulai dari ujung buah, sehingga tidak dilakukan pengukuran. Contoh buah ini dinyatakan sebagai buah rusak yang ditunjukkan dengan sangat lunaknya kulit (terutama di bagian ujung buah) dan mulai bertumbuhnya jamur.
Tabel 2. Nilai Mo, Koef. Atenuasi, dan Kec. Perambatan Gelombang Buah Durian Ciherang pada Berbagai Umur Petik Umur Petik
Mo
Koef. Atenuasi, dB/cm
Kec. Perambatan, m/det
Muda (BM)
9.1880 ± 3.9102
0.0822 ± 0.0247
526.2 ± 36.96
Belum Tua Penuh (BTP)
2.3837 ± 1.8632
0.3583 ± 0.0723
537.7 ± 40.96
Tua Penuh (TP)
2.0626 ± 1.2539
0.3751 ± 0.0409
515.8 ± 42.39
Tabel 3. Nilai Mo, Koef. Atenuasi, dan Kec. Perambatan Gelombang pada Buah dan Komponen Buah Buah/Bagian Buah
Mo
Koef. Atenuasi, dB/cm
Kec. Perambatan, m/det
Buah Utuh
10.7807 ± 3.4423
0.086 ± 0.029
553.8 ± 29.3
Kulit
34.7764 ± 8.2091
0.291 ± 0.272
475.0 ± 128.0
Biji-Daging
51.3331 ± 14.4900
0.120 ± 0.055
621.4 ± 11.4
Biji
116.2833 ± 33.2908
0.419 ± 0.398
536.6 ± 39.4
Hubungan Sifat Fisiko-Kimia Buah dan Karakteristik Akustik Hubungan antara kekerasan dan koefisien atenuasi sebagaimana ditampilkan oleh persamaan pada Gambar 6 menunjukkan korelasi negatif dengan r =
54
0,6259 dan SEP = 0,0431. Semakin besar nilai kekerasan buah, koefisien atenuasinya semakin kecil. Sebaliknya hubungan antara kekerasan dengan kecepatan perambatan gelombang ultrasonik menunjukkan korelasi yang positif dengan r = 0,8299 dan SEP = 73,2868 (Gambar 7). Semakin besar nilai
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
gelombang dan koefisien atenuasi yang berbeda dengan buah durian utuh (tidak cacat atau rusak). Hubungan antara total padatan terlarut dengan koefisien atenuasi menunjukkan bahwa kenaikan koefisien atenuasi berjalan linear dengan kenaikan total padatan terlarut daging buah. Nilai koefisien korelasi untuk hubungan ini adalah 0.665 dengan SEP = 0.045. Sedangkan hubungan antara total padatan terlarut dengan kecepatan perambatan gelombang menunjukkan pola yang sebaliknya. Kenaikan total padatan terlarut justru akan diikuti dengan penurunan kecepatan perambatan gelombang ultrasonik. Koefisien korelasi untuk hubungan ini adalah 0.491 dengan nilai SEP = 99.453.
kekerasan buah, kecepatan perambatan gelombangnya semakin besar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa buah yang lebih keras (umumnya pada buah yang lebih muda) susunan bahan dalam buah lebih kompak dan padat. Menurut Gooberman (1968), perambatan gelombang ultrasonik lebih mudah pada medium padatan dibandingkan medium yang lain (gas atau udara maupun cairan). Sehingga pada bahan yang memiliki rongga-rongga udara yang besar, perambatan gelombangnya akan menjadi lemah. Fenomena ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya cacat dalam buah secara tak merusak dengan gelombang ultrasonik. Budiastra et al. (1998), Haryanto (2001), dan Rejo (2001) melaporkan bahwa pada buah durian rusak atau cacat memiliki kecepatan perambatan h022
1
v043
0.5
A mpl i tuda
A mpl i tuda
0.5 0
0
-0.5 -1
0
0.5
1
1.5
-0.5
2
0
0.5
1
Waktu, milidetik
Power Spectral Densi ty
Power Spectral Densi ty
2
0.8
1 0.5 M o = 8.9298
0
1.5
Waktu, milidetik
1.5
0
50
100
150
200
0.6 0.4 0.2 0
250
M o = 3.9085
0
50
100
Frekuensi, kHz
150
200
250
Frekuensi, kHz
(a)
(b) v042
A mpl i tuda
0.5
0
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
Waktu, milidetik
Power Spectral Densi ty
0.4 0.3 0.2 0.1 0
M o = 1.412
0
50
100
150
200
250
Frekuensi, kHz
(c) Gambar 2. Pola Sinyal dan Spektrum Gelombang Melalui (a) Buah Durian Muda (BM), (b) Buah Durian Belum Tua Penuh (BTP), dan (c) Buah Durian Tua Penuh (TP)
55
Sri Waluyo, Hadi K. Purwadaria, dan I Wayan Budiastra: Pengukuran Sifat-Sifat Fisik dan Akustik Buah Durian Selama Pematangan
a13k
4
a11b
10
0 -2 -4
5
A mpl i tuda
A mpl i tuda
2
0
0.5
1
1.5
0 -5
2
Waktu, milidetik
1
1.5
2
20 Pow er Spectral D ensi ty
Pow er Spectral D ensi ty
0.5
Waktu, milidetik
6 4 2 0
0
M o = 42.7532
0
50
100
150
200
15 10 5 0
250
M o = 153.3318
0
50
100
Frekuensi, kHz
150
200
250
Frekuensi, kHz
(a)
(b) a11db
A mpl i tuda
5
0
-5
0
0.5
1
1.5
2
Waktu, milidetik
Power Spectral Densi ty
6 4 2 0
M o = 67.0779
0
50
100
150
200
250
Frekuensi, kHz
(c) Gambar 3. Pola Sinyal dan Spektrum Gelombang Melalui (a) Kulit, (b) Biji, dan (c) Daging-Biji
Koef. Atenuasi (dB/cm)
0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
Kekerasan (kgf ) α = -0.3993 (Fi) + 0.4288 r = 0.6259
SEP = 0.0431 N = 46
Gambar 4. Hubungan Kekerasan dengan Koefisien Atenuasi Gelombang Ultrasonik
56
Kec. Perambatan Gelombang (m/s)
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
1300.0 1200.0 1100.0 1000.0 900.0 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
Kekerasan (kgf ) v = 1513.1 (Fi) + 576.32 r = 0.8229
SEP = 73.2868 N = 46
Gambar 5. Hubungan Kekerasan dengan Kecepatan Perambatan Gelombang Ultrasonik
Koef. Atenuasi (dB/cm)
0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
Total Pad atan Terlarut (o Brix) α = 0.0053 (TPT) + 0.2143 r = 0.6654
SEP = 0.0445 N = 46
Kec. Perambatan Gelombang (m/s)
Gambar 6. Hubungan Total Padatan Terlarut dengan Koefisien Atenuasi Gelombang
1200.0 1100.0 1000.0 900.0 800.0 700.0 600.0 500.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
o
Total Pad atan Terlarut ( Brix) v = -7.4865 (TPT) + 1084.5 r = 0.4912
SEP = 99.4529 N = 46
Gambar 7. Hubungan Total Padatan Terlarut dengan Kecepatan Perambatan Gelombang
57
Sri Waluyo, Hadi K. Purwadaria, dan I Wayan Budiastra: Pengukuran Sifat-Sifat Fisik dan Akustik Buah Durian Selama Pematangan
Pola hubungan di atas menegaskan bahwa semakin tinggi total padatan terlarut dalam daging buah (yang umumnya menunjukkan semakin tua atau matang buah) semakin besar sinyal gelombang yang diserap oleh buah. Perubahan-perubahan kimia dalam buah diperkirakan sebagai penyebab gejala ini. Sebagaimana telah disampaikan pada alinea sebelumnya kenaikan total padatan terlarut dalam buah akan diikuti dengan penurunan kekerasan daging buah. Penurunan kekerasan menyebabkan perambatan gelombang berjalan lebih lemah. Fenomena ini sejalan dengan teori bahwa perambatan gelombang lebih baik pada padatan (Gooberman, 1968).
Kesimpulan 1.
2.
3.
58
Semakin tua buah durian dan semakin lama waktu simpan, daging buah semakin lunak. Penurunan kekerasan akan diikuti dengan kenaikan koefisien atenuasi dan penurunan kecepatan perambatan gelombang ultrasonik. Sebaliknya, kenaikan total padatan terlarut menyebabkan penurunan koefisien atenuasi dan kenaikan kecepatan perambatan gelombang. Nilai puncak power spectral density (PSD) untuk buah berada pada kisaran frekuensi 100 kHz, biji dan biji-daging 140 kHz, dan kulit mendekati 200 kHz. Koefisien atenuasi dan kecepatan perambatan gelombang buah dan bagian-bagian buah dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia penyusunnya. Dari koefisien korelasi antara parameter sifat fisiko-kimia dan sifat akustik buah, dapat dinyatakan bahwa gelombang ultrasonik mempunyai potensi yang baik untuk digunakan sebagai evaluasi kualitas internal buah durian secara tak merusak.
Daftar Pustaka Anonim. 1999. Vademekum Pemasaran 19901999. Direktorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Jakarta. BPEN. 1998. Ekspor Komoditas Hortikultura: Peluang dan Tantangan. Jakarta. Budiastra, I.W., A. Trisnobudi, L. Pujantoro, B. Haryanto dan H.K. Purwadaria.1998. Penentuan Tingkat Kematangan dan Kerusakan Durian (Durio zibhethinus) Secara Non Destruktif dengan Teknik Ultrasonik. Makalah disampaikan pada Seminar dan Kongres PERTETA di Yogyakarta. Budiastra, I.W., A. Trisnobudi and H.K. Purwadaria. 1999. Ultrasonic system for automatic of internal quality evaluation on durian. Preprints. 14th World Congress of IFAC, Beijing, I.R. China, 5-9 July 1999. Haryanto, B. 2001. Pengembangan Model Penentuan Ketuaan Durian (Durio zibhetinus Murr) secara NonDestruktif Menggunakan Gelombang Ultrasonik. Makalah Seminar Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lukmanto, A. 1996. Tuntutan Konsumen Dalam Negeri Terhadap Mutu Produk Pangan. Agritech 16 (4): 1–6. Nanthachai, S. 1994. Durian: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau, Kuala Lumpur, Malaysia.
Buletin Agricultural Engineering BEARING • Vol. 2 • No. 1 • Juni 2006
Pantastico, ER.B. 1975. Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and SubTropical Fruits and Vegetables. The AVI Publ. Company, Inc., Connecticut (edisi Bahasa Indonesia). Rejo,
A. 2001. Pengembangan Model Penentuan Tingkat Ketuaan, Kematangan dan Kerusakan Buah Durian dengan Jaringan Syaraf Tiruan. Makalah Seminar Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gooberman, G.L. 1968. Ultrasonics: Theory and Application. The English Universities Press Ltd., London. Zhang, M., H.R. Zapp, B. Ho, M.E. Whalon and J.W. Johnson. 1994. Ultrasonic detection of borer damage in cherry trees. Transactions of The ASAE 37(5):1655-1661.
59
PEDOMAN SINGKAT PENULISAN BULETIN AGRICULTURAL ENGINEERING (BEARING) Persyaratan Umum Artikel harus tulisan asli yang merupakan hasil penelitian dan peninjauan/ulasan (review) yang belum pernah dimuat di dalam jurnal ilmiah mana pun, baik di lingkup nasional maupun internasional. Tulisan harus mencakup salah satu disiplin ilmu dalam bidang keteknikan pertanian atau erat kaitannya dengan pertanian. Semua artikel akan ditelaah oleh Mitra Bestari (Reviewer) sebelum dimuat. Redaksi berhak mengubah kalimat, ejaan, tata letak, dan perwajahan tanpa mengubah isi sebenarnya. Mitra Bestari dan Dewan Redaksi berhak menolak tulisan yang dianggap tidak relevan. Artikel yang tidak dimuat dapat dikembalikan jika disertai prangko balasan. Penyerahan naskah kepada Dewan Redaksi sebanyak 2 rangkap, sedangkan disket (3,5’ format IBM) berisi file naskah dikirimkan setelah dinyatakan diterima untuk dipublikasi. Naskah ditulis dengan pengolah kata MS Words Windows. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang berpedoman pada Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Penyerapan kata asing dan pemakaian kata asing harus dibatasi sesedikit mungkin, dan kalau terpaksa, pemakaiannya juga harus berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Naskah diketik rapi berjarak 2 spasi pada kertas putih HVS A4. Tidak ada catatan kaki di dalam teks. Panjang naskah maksimum 10 halaman termasuk tabel dan gambar. Subjudul ditulis di tengah. Besar huruf (font) 12 (Times New Roman). Artikel meliputi urutan sebagai berikut: Judul (dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), nama dan alamat penulis, Abstract (bahasa Inggris) dengan keywords, Abstrak (bahasa Indonesia) dengan kata kunci, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila perlu), dan Daftar Pustaka. Judul. Ditulis singkat, informatif, dan deskriptif (max. 28 kata). Penulisan huruf kapital hanya pada awal kata. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan di bawahnya dalam bahasa Inggris. Abstract atau Abstrak. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan di bawahnya dalam bahasa Indonesia. Merupakan sari tulisan meliputi tujuan, hasil dan kesimpulan dalam kalimatkalimat yang ringkas dan padat, sebaiknya tidak lebih dari 150 kata (dalam bahasa Indonesia), dan 100 kata (dalam bahasa Inggris). Abstrak dalam bahasa Inggris ditulis dalam bentuk past tense, kecuali bagian justifikasi masalah. Keywords atau kata kunci. Keywords/kata kunci ditulis langsung sesudah abstract/abstrak pada baris baru dimulai dari tepi kiri. Kata kunci paling banyak 5 kata, urutannya menunjukkan hierarki dari yang paling utama sampai yang paling spesifik. Pendahuluan. Pendahuluan merupakan justifikasi tentang subjek yang dipilih didukung dengan pustaka yang relevan. Memuat latar belakang penelitian dan harus diakhiri dengan tujuan penelitian. Tidak terlalu luas tapi juga tidak terlalu singkat, idealnya 400-500 kata. Bahan dan Metode atau Metodologi. Penggunaan sub judul metodologi jika sama sekali tidak menggunakan bahan, misalnya survai. Memuat bahan dan metode penelitian, mencakup tempat, waktu, metode pengambilan sampel, pelaksanaan rancangan percobaan, metode analisis, dan lain-lain yang berkaitan. Harus detail dan jelas sehingga orang yang berkompeten dapat melakukan penelitian yang sama (repeatable and reproducible). Hasil dan Pembahasan. Hasil melaporkan apa yang diperoleh dalam percobaan. Hasil dirangkum dalam bentuk tabel dan grafik yang langsung diberi notasi statistika berdasarkan uji beda rataan yang umum. Tabel dan grafik dilengkapi dengan nomor dan judul. Judul ditulis dengan huruf awal dengan huruf besar. Untuk tabel, judul ditulis di bagian atas, sedangkan
60
untuk grafik ditulis di bagian bawah. Kalau tabel dan grafik dikutip, sumbernya disebutkan sesuai dengan Daftar Pustaka. Tidak mengulang data yang disajikan dalam tabel atau grafik satu per satu dalam bentuk kata-kata kecuali hal-hal yang sangat menonjol. Pembahasan membandingkan hasil yang kita peroleh dengan data pengetahuan (hasil penelitian orang lain) yang sudah dipublikasikan dan disertai dengan sitasi pustaka dan menjelaskan implikasi data yang diperoleh bagi ilmu pengetahuan atau pemanfaatannya. Kesimpulan. Kesimpulan disajikan dalam bentuk paragraf dan bukan dalam bentuk penomoran. Jika ada saran, maka disajikan secara singkat dan relevan. Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih dibuat sebagai ungkapan terima kasih kepada pihak yang membantu penelitian, penelaah naskah, atau penyedia dana penelitian. Daftar Pustaka. Daftar Pustaka harus memuat semua pustaka yang (hanya) digunakan di dalam naskah. Daftar Pustaka disusun berdasarkan abjad, semua nama pengarang ditulis, tanpa penomoran. Di dalam teks, pustaka harus ditulis sebagai berikut: Dua penulis: Baker and Cook (1974) atau (Baker and Cook, 1974) Tiga penulis atau lebih: Suwanto, et al. (1992) atau (Suwanto, et al., 1992) Bila terdapat lebih dari tiga pengarang, boleh menggunakan et al. atau dkk. walaupun pustaka berbahasa asing, yang penting seragam dalam naskah tersebut. Contoh penulisan Daftar Pustaka: Buku: judul buku ditulis huruf kapital pada semua huruf awalnya. Harjadi, S.S. 1991. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bagian bab dari buku: judul bab dari buku ditulis dengan huruf kapital pada huruf awalnya saja. Jatala, P. dan J. Bridge. 1990. Nematoda parasitik pada tanaman akar dan ubi-ubian. Dalam Nematoda Parasitik di Pertanian Subtropik dan Tropik, ed. M.Luc, R.A. Sikora, dan J. Bridge. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 34-42.
Artikel jurnal: judul artikel ditulis huruf kapital hanya pada huruf awalnya saja. Penyingkatan nama jurnal mengikuti anjuran dari jurnal yang disitasi. Brockwell, J. and P. J. Bottomley. 1995. Recent advances in innoculant technology and prospects for the future. Soil Biology and Biochemistry 27: 683-697.
Pustaka yang diakses dari internet: Fortnum, B.A. and S.B. Martin. 1997. Disease management strategies for control of bacterial wilt of tobacco in the southern USA. 2nd IBWS, Guadalope. Available at: http://www.infra.fr/Internet/Departments/PAHOV/2nd IBWS/T43.html (diakses 11 Maret 2002).
61
62
FORMULIR PEMESANAN BULETIN BEARING Kepada Yth Sekretariat Buletin BEARING Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan Indonesia Tel: 061-8222451; Fax 061-8211924 e-mail:
[email protected]
Bersama ini, saya: Nama Alamat Telp HP E-mail 1.
Memesan Buletin BEARING: (Harga Rp 20.000,- per eksemplar termasuk ongkos kemas dan kirim) Vol/No/Tahun Jumlah
2.
Memesan re-prints Buletin BEARING: (Harga per set (5 eksemplar) Rp 20.000,- termasuk ongkos kemas dan kirim ) Penulis Vol/No/Tahun Jumlah
3. Berlangganan Buletin BEARING: (Harga Rp 40.000,- termasuk ongkos kemas dan kirim) Mulai Tahun Sampai Tahun Jumlah Pembayaran kami lakukan melalui nomor rekening 006.2371213 Bank BNI Cabang USU a.n. Ainun Rohanah, STP. Bersama ini disampaikan bukti pembayarannya.* Pemesan
(
)
____________________________ * Pengiriman hanya akan dilakukan setelah Sekretariat menerima bukti pembayaran
63