WP/9/2015
WORKING PAPER
PEMETAAN DAN STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING UMKM DALAM MENGHADAPI MEA 2015 DAN PASCA MEA 2025
Yunita Resmi Sari Noviarsono Manullang Titik Anas Dionisius A. Narjoko Andre Simangunsong Wini Purwanti Lisa Khulasoh Fadila Paramitha
2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia. 0
PEMETAAN DAN STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING UMKM DALAM MENGHADAPI MEA 2015 DAN PASCA-MEA 2025 Titik Anas, Dionisius A. Narjoko, Andre Simangunsong, Yunita Resmi Sari, Noviarsano Manullang, Wini Purwanti, Lisa Khulasoh, Fadila Paramitha Abstrak Kajian ini dilaksanakan dalam rangka mengetahui posisi daya saing UMKM Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan menyusun strategi peningkatan daya saing UMKM Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kajian ini dilaksanakan dengan menggunakan data sekunder mengenai perkembangan UMKM di ASEAN dan Forum Group Discussion (FGD) dengan pelaku usaha. Secara umum, kinerja UMKM Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dengan tingkat pembangunan yang relatif sama, terutama dari segi produktivitas, kontribusi terhadap ekspor, partisipasi dalam jaringan produksi global dan regional, serta kontribusi terhadap nilai tambah. Selain itu, rendahnya partisipasi UMKM dan perusahaan Indonesia dalam GVC juga disebabkan oleh faktor pendukung GVC yang belum optimal, yaitu infrastruktur dan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi, keandalan dan efisiensi jasa logistik, serta tingginya hambatan perdagangan. Tingkat upah yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya juga menjadi hambatan untuk meningkatkan efisiensi produksi. Demikian juga dengan ketatnya persyaratan untuk mendapatkan akses pembiayaan eksternal dari perbankan. Untuk meningkatkan daya saing UMKM Indonesia secara umum dan untuk meningkatkan partisipasi UMKM dalam GVC, faktor internal dan eksternal yang menentukan daya saing UMKM serta tingkat partisipasi dalam GVC perlu menjadi perhatian pemerintah. Faktor internal mencakup aspek-aspek yang dapat meningkatkan produktivitas UMKM Indonesia, yaitu sumber daya manusia (human resource), strategi pemasaran, dan inovasi. Sementara itu, faktor eksternal merupakan berbagai aspek di luar UMKM yang dapat memengaruhi dan mendukung daya saing UMKM. Faktor tersebut adalah kemudahaan berusaha di Indonesia (ease of doing business), akses finansial dan permodalan, akses pasar, infrastruktur, dan kondisi makroekonomi. Key word
: UMKM, Global Value Chain
JEL Classification : L6, F16
1
I. PENDAHULUAN
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah dipersiapkan oleh negaranegara anggota ASEAN sejak lama untuk ditetapkan pada tahun 2015 ini sudah di depan mata. MEA, seperti tertuang dalam cetak biru pendiriannya (ASEAN Economic Community Blueprint), bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan basis produksi dan pasar tunggal (pilar 1), kawasan yang berdaya saing (pilar 2), kawasan yang mengedepankan pembangunan yang merata (pilar 3), dan kawasan yang terintegrasi dengan pasar global (pilar 4). Dalam mewujudkan ASEAN sebagai basis produksi dan pasar tunggal (pilar 1),
secara
bersama-sama
dan
bertahap,
negara-negara
anggota
ASEAN
membebaskan bea masuk dan menghilangkan hambatan nontarif lainnya bagi sesama negara ASEAN apabila barang yang akan diperdagangkan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan secara bersama-sama. Disamping itu, negaranegara ASEAN juga menurunkan hambatan perdagangan jasa di antara sesama negara ASEAN antara lain dengan memberikan batasan modal asing yang semakin tinggi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa berdasarkan Cetak Biru MEA, modal dan tenaga kerja terampil akan lebih bebas berpindah di antara negaranegara ASEAN. Dalam mewujudkan kawasan yang berdaya saing (pilar 2) dan berdasarkan cetak biru pembentukan MEA, negara-negara ASEAN akan memiliki kebijakan persaingan usaha, perlindungan konsumen, dan perlindungan IPR (Intelllectual Property Rights) yang secara bersama membangun infrastruktur, membenahi sistem perpajakan, dan menggiatkan e-commerce. Dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang merata (pilar 3), negaranegara ASEAN bekerja sama dalam membangun UMKM negara-negara ASEAN dan membuat berbagai inisiatif untuk mencapai kawasan yang terintegrasi. Dalam pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ASEAN menerbitkan cetak biru kebijakan pengembangan UMKM 2004–2014. Cetak biru pengembangan UMKM itu bertujuan secara bersama membangun UMKM ASEAN menjadi UMKM yang berdaya saing, lebih tangguh, dan berkontribusi besar dalam perekonomian ASEAN. Dalam mewujudkan ASEAN yang terintegrasi dengan ekonomi global (pilar 4), ASEAN membuat kesepakatan kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan 2
negara-negara
partner
utama,
seperti
ASEAN+1
dan
RCEP
dengan
mengedepankan ASEAN centrality serta meningkatkan partisipasi dalam jaringan produksi global. Perkembangan pencapaian cita-cita ASEAN yang tertuang dalam Cetak Biru MEA tersebut ditinjau ulang secara periodik dalam beberapa tahun terakhir ini. Hasil tinjau ulang terhadap pencapaian MEA menunjukkan banyak cita-cita ideal MEA, seperti yang tercantum dalam cetak biru tersebut, belum tercapai sepenuhnya pada penghujung tahun 2015 ini. Namun, ASEAN telah berproses menuju pencapaian sebagian dari target cetak biru tersebut. Pada ASEAN Framework Agreement in Services (AFAS) paket ke-8 rata-rata tingkat liberalisasi modal asing meningkat sekitar 21 persen—jika dibandingkan dengan paket ke-7— menjadi 65,4 persen dari yang ditargetkan (Narjoko, 2015). Di ambang pengukuhan MEA pada akhir tahun ini, bagaimanakah kondisi UMKM Indonesia terhadap UMKM di negara-negara ASEAN lainnya? Apakah UMKM Indonesia sudah dapat bersaing dengan UMKM negara-negara ASEAN lainnya? Apakah UMKM Indonesia telah dapat memanfaatkan akses pasar yang lebih terbuka, baik akses terhadap input yang lebih bervariatif dan lebih murah serta akses terhadap konsumen yang lebih besar?
Kajian ini bertujuan untuk: a. membuat pemetaan posisi UMKM Indonesia saat ini yang dibandingkan dengan UMKM peer country di ASEAN; b. mengidentifikasi strategi UMKM Indonesia untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi MEA 2015; dan c. memberikan rekomendasi strategi peningkatan daya saing UMKM pasca-MEA 2015–2025.
Mengingat data mengenai perkembangan UMKM di ASEAN tidak sedalam, selengkap, dan terkini sebagaimana data ekonomi secara umum, banyak indikator kinerja UKM yang tidak dapat dibandingkan antarnegara secara setara. Oleh karena
itu,
kajian
ini
menggunakan
metode
policy
gap
analysis,
yaitu
membandingkan kondisi UMKM di Indonesia dengan UMKM di negara ASEAN lainnya dengan menggunakan data sekunder yang tersedia. Kajian ini juga melihat literatur terkait faktor-faktor yang dapat meningkatkan daya saing UMKM di 3
negara-negara lain. Dengan demikian, isu-isu strategis dapat diidentifikasi dan dipetakan sebagai bahan penyusunan kebijakan pemerintah pada masa yang akan datang dalam menghadapi MEA 2025.
4
II. STUDI LITERATUR: KARAKTERISTIK DAN DAYA SAING UMKM
2.1
Karakteristik UMKM dan Pengaruh Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA, Free Trade Agreement) Pemetaan terhadap karakteristik dan daya saing UMKM dilakukan sebagai
dasar dalam melakukan gap analysis. Jika kondisi terkini UMKM Indonesia sudah diketahui, benchmarking bisa dilakukan dengan membandingkan kondisi ideal atau target-target yang ingin dicapai dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ketimpangan (gap) antarkondisi saat ini, berdasarkan hasil pemetaan, menjadi kerangka dasar untuk menyusun strategi mencapai kondisi ideal yang ditargetkan. Beberapa literatur studi menyatakan bahwa kemampuan UMKM bersaing di era global tergantung pada beberapa variable karakteristik. Nicolescu (2009) membagi variabel tersebut menjadi variabel internal dan eksternal (Gambar 1). Variabel internal memasukkan faktor seperti besaran perusahaan, stakeholder personality, dan latar belakang pendidikan (pemilik dan pekerja), serta budaya perusahaan. Sementara itu, faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja adalah budaya nasional, sistem ekonomi suatu negara, integrasi ekonomi regional, dan daya beli masyarakat. Lebih lanjut Nicolescu (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor internal lebih memengaruhi
kinerja
dari
UMKM
daripada
faktor
eksternal
dengan
mempertimbangkan skala ekonomi dari UMKM tersebut. Kombinasi dari variabel eksternal dan internal dapat menjadi contoh bagaimana hal tersebut dapat berpengaruh terhadap survivability dari UMKM. Usaha sedang atau menengah cenderung mempunyai kemampuan bertahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usaha kecil. Kemampuan diversifikasi usaha dengan didukung aset yang lebih besar membuat UMKM tingkat menengah mempunyai fleksibilitas dalam mengantisipasi fluktuasi permintaan. Sementara itu, usaha kecil cenderung hanya mempunyai satu
unit
usaha
sehingga
penurunan
permintaaan
dapat
menyebabkan
penghentian aktivitas operasional UMKM tersebut. Oleh karena itu, secara umum UMKM
mempunyai
tingkat
survivability
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
perusahaan yang lebih besar.
5
Sumber: Nicolescu (2009)
Gambar 1. Determinan Aktivitas UMKM
Isu mengenai globalisasi merupakan salah satu faktor eksternal yang dampaknya dapat beragam terhadap UMKM. Globalisasi, melalui implementasi FTA sebagai contoh, membuka akses pasar dalam negeri bagi produk negara mitra FTA
sehingga
dapat
memberikan
dampak
negatif
terhadap
UMKM
yang
mempunyai daya saing rendah. Sebaliknya, dampak positif juga dapat dirasakan UMKM dengan terbukanya peluang untuk memperluas pasar produk domestik ke negara mitra. Dengan demikian, karakteristik UMKM yang dapat memanfaatkan peluang terbukanya akses ke pasar (atau market access dalam jargon literatur ekonomi internasional) di pasar internasional perlu didalami. Karakteristik tersebut akan berguna dan menjadi benchmark ideal untuk menyusun strategi dalam memperbaiki daya saing UMKM Indonesia. Analisis yang dilakukan oleh U.S. International Trade Commission (USITC) pada 2010 menyatakan bahwa UMKM di Amerika Serikat yang melakukan 6
aktivitas ekspor mempunyai kinerja yang lebih baik daripada yang melakukan jenis usaha yang sama yang terfokus pada pasar domestik. Kinerja direfleksikan oleh rata-rata pendapatan per perusahaan, pertumbuhan pendapatan, dan pendapatan
per
pekerja.
Hasil
analisis
menjelaskan
bahwa
UMKM
yang
melakukan aktivitas ekspor memiliki kinerja lebih tinggi daripada UMKM yang berfokus pada pasar domestik. Temuan lain yang signifikan terkait dengan pola ekspor UMKM dibandingan dengan
perusahaan
multinasional
yang
mayoritas
menggunakan
afilisasi
internasional adalah USITC (2010) yang memperkirakan bahwa pada tahun 2007, total nilai tambah ekspor yang dilakukan oleh UMKM di Amerika Serikat sebesar 480 miliar USD. Sekitar 50 persen dari nilai tersebut merupakan ekpor langsung tanpa menggunakan perantara, dan sisanya—dengan porsi yang hampir sama— merupakan ekspor tidak langsung atau berlaku sebagai barang input antara (intermediate atau factor inputs) bagi perusahaan lain yang melakukan ekspor. Dalam studi yang berbeda untuk menganalisis dampak FTA U.S.–Korea, USITC menemukan bahwa sektor UMKM Amerika Serikat mengalami peningkatan penjualan yang signifikan ke Korea Selatan setelah FTA diberlakukan (Allen et al.). Analisis dilakukan terhadap beberapa UMKM yang melakukan ekspor pada bidang pertanian, manufaktur, dan jasa. Akan tetapi, dampak positif tersebut juga diikuti oleh persepsi negatif bahwa hambatan nontarif disertai dengan beban administratif yang meningkat akibat FTA tersebut. Perspektif lain mengenai permasalahan ini dianalisis oleh Cheong (2014). Dalam kajian mengenai utilisasi FTA yang dilakukan oleh Korea, didapatkan bahwa pemanfaatan FTA, terutama untuk ekspor, dari sektor UMKM lebih rendah jika
dibandingakan
dengan
perusahaan
besar.
Dari
50.068
UMKM
yang
melakukan ekspor pada tahun 2013, hanya 29 persen yang menggunakan fasilitas FTA. Sementara itu, rata-rata utilisasi FTA untuk ekspor dan impor secara keseluruhan adalah 70 persen untuk ekspor dan 73 persen untuk impor. Cheong (2014) mencatat bahwa rendahnya margin antara tarif FTA dan non-FTA, kurangnya informasi terkait FTA, dan biaya administratif merupakan kendala rendahnya pemanfaatan FTA oleh UMKM.
7
2.2
Daya Saing UMKM dan Global Value Chain (GVC) Seiring dengan berkembangnya perjanjian-perjanjian perdagangan bebas di
kawasan Asia Timur sejak tahun 2000, perdagangan produk final di kawasan tersebut semakin berkurang dan sebaliknya berkembang tren perdagangan barang-barang intermediate. Hal tersebut dipicu oleh tumbuhnya pola produksi yang beberapa tahapan produksinya dilakukan secara terpisah di beberapa negara sehingga terbentuk pola jaringan rantai produksi secara regional, atau bahkan global, untuk memproduksi suatu produk. Literatur menyebutnya sebagai regional production network atau GVC. Lebih lanjut, pola produksi seperti itu berkembang pesat pada produk permesinan, elektronik, dan alat transportasi (Kimura, 2009). Setidaknya terdapat empat faktor yang menjadi tantangan bagi UMKM agar dapat memanfaatkan keuntungan melalui kerja sama dengan perusahaan multinasional tersebut (Yuhua dan Bayhaqi, 2013). Pertama, UMKM perlu meningkatkan kemampuan teknis dan operasional untuk mencapai standar global perusahaan multinasional. Terkait dengan hal tersebut, UMKM perlu mendapatkan akses modal yang memadai agar dapat melakukan investasi pada proses produksi. Tantangan selanjutnya adalah sumber daya manusia (SDM). Dengan budaya dan struktur kerja informal serta tidak adanya rencana karier yang jelas, UMKM sangat sulit dalam meningkatkan kualitas SDM atau menarik SDM yang profesional. Sementara itu, perubahan dalam business practices merupakan
tantangan
terakhir
yang
harus
dihadapi
oleh
UMKM
untuk
meningkatkan daya saing dalam global value chain (GVC). Tantangan tersebut meliputi efisiensi dalam operasional perusahaan serta pertimbangan dampak sosial dan lingkungan dari proses produksi. ADB (2015) menyebutkan bahwa dua faktor untuk sukses dalam GVC ialah daya saing perusahaan dan konektivitas perusahaan. Keduanya merupakan sarana bagi perusahaan untuk terhubung dengan rantai nilai. Perusahaan yang memilik daya saing dan terhubung akan dapat tergabung dan memperoleh manfaat dari GVC. Anton et al. (2015) menemukan bahwa daya saing UKM bersumber pada level inovasi, kewirausahaan, modal manusia, sumber dana, potensi pasar, dan strategi
bisnis.
UKM
juga
membutuhkan
bantuan
pemerintah
untuk
mengembangkan jaringan pemasaran dan akses terhadap lembaga keuangan. Dalam kasus di Indonesia Tambunan (2009) menemukan bahwa daya saing UKM dapat ditingkatkan melalui sumber daya manusia, modal kerja, serta keahlian 8
manajemen dan teknologi. Berdasarkan hasil penelitian Tambunan (2009), terlihat bahwa
tingkat
pendidikan
berpengaruh
positif
terhadap
pertumbuhan
perusahaan. Pemilik UKM dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi terbukti lebih memahami bisnis mereka, contohnya adalah UKM pada sektor peralatan rotan yang berorientasi ekspor. Selain itu, kemampuan pemilik UKM dalam memahami
tren
pasar
terbaru
lebih
berpengaruh
terhadap
produktivitas
dibandingkan dengan kurangnya keahlian. Pembiayaan merupakan salah satu masalah utama bagi UMKM di Indonesia
dalam
meningkatkan
daya
saing.
Pada
umumnya
di
negara
berkembang, termasuk Indonesia, pembiayaan UMKM masih didominasi oleh perbankan. Namun, alternatif pembiayaan dalam bentuk equity financing, seperti angel investors, modal ventura, atau private equity sudah tersedia tanpa perlu adanya collateral (jaminan). Perkembangan tersebut, walaupun pada awalnya hanya tersedia di negara maju, sudah mulai tumbuh di negara berkembang. Tanzania mempunyai Tanzania Venture Capital yang terdiri atas modal ventura swasta dan lembaga keuangan asing. Sementara itu, untuk ASEAN sudah terdapat SME Investment and Restructuring Fund (SIRF) di Thailand serta Mekong SME Fund (MSMEF) untuk mendanai UMKM di Laos, Kamboja, dan Vietnam. Peningkatan
akses
keuangan
merupakan
persoalan
penting
untuk
mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam rangka meningkatkan akses keuangan, pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan. Berdasarkan hasil survei ADB (2015), beberapa kebijakan untuk meningkatkan akses keuangan UKM tersebut adalah skema penjaminan kredit oleh pemerintah, subsidi suku bunga kredit bank bagi UKM, pendirian lembaga keuangan khusus bagi UKM, dan skema insentif pajak bagi sektor UKM prioritas. Sementara itu, untuk perusahaan yang telah bergabung dalam GVC, kebijakan utama yang diperlukan sama dengan UKM, yaitu skema penjaminan kredit dan subsidi tingkat suku bunga kredit bank untuk UKM. Selain itu, kebijakan lain untuk meningkatkan akses keuangan perusahaan yang telah terhubung dalam GVC adalah adanya kewajiban penyaluran kredit UKM oleh bank dan dukungan untuk meningkatkan peran modal ventura. UKM yang disurvei, termasuk perusahaan
yang
sudah tergabung
dalam GVC,
menyadari pentingnya akses keuangan untuk meningkatkan partisipasi aktif dalam rantai pasok global. Terkait dengan kemampuan teknis dan operasional UKM, penelitian Agbola (2013) di Ghana menemukan bahwa penerapan total quality management (TQM) 9
secara signifikan berhubungan positif dengan performa keuangan serta organisasi UKM tersebut. Implikasi dari studi itu adalah pemerintah Ghana harus membuat kebijakan yang dapat mendorong pelatihan dan pengembangan skill pemilik UKM serta
turut
mencipatkan
lingkungan
yang
memungkinkan
terjadinya
pengembangan teknologi yang pada akhirnya akan mengubah proses bisnis dari industri-industri utama. Selain itu, pemerintah juga harus dapat memastikan bahwa kualitas dari barang dan jasa yang dihasilkan memenuhi standar internasional. Hal itu akan mendorong inovasi dan pengembangan produk untuk pasar domestik dan ekspor. Peningkatan pada kualitas dan mutu manajemen UKM akan meningkatkan daya saing di dalam negeri atau internasional. Berdasarkan hasil penelitian di Malaysia, Arudchelvan dan Wignaraja (2015) menemukan
bahwa
skala
UKM
berperan
penting
dalam
menentukan
keikutsertaan dalam GVC dan FTA. UKM yang cukup besar mempunyai skala ekonomis dan sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan biaya tetap (fix cost) pada awal UKM masuk dalam rantai pasok. Selain skala usaha, perolehan lisensi atas teknologi luar negeri serta investasi dalam penelitian dan pengembangan juga berpengaruh positif terhadap bergabungnya UKM dalam GVC. Oleh karena itu, UKM perlu terus melakukan inovasi dalam teknologi, produksi, dan prosesnya. Tereksposnya UKM dengan perdagangan yang dihitung dari proporsi ekspor terhadap penjualan dan proporsi impor bahan baku juga berpengaruh secara positif terhadap keikutsertaan UKM dalam GVC dan FTA. Semakin terekspos UKM terhadap perdagangan internasional, keuntungan yang didapat akan semakin tinggi karena adanya preferensi FTA. Namun, kurangnya informasi merupakan alasan utama UKM kurang memanfaatkan preferensi FTA dan kurang tertarik untuk melakukan perdagangan dengan mitra FTA. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penyuluhan dan konsultasi untuk mengatasi kekurangan informasi yang berpotensi menjadi penghalang menuju FTA. Terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN, keberadaan FTA di antara negara-negara anggota ASEAN serta FTA ASEAN dan mitra strategis membuka peluang UMKM untuk menjadi terintegrasi dengan GVC. Sebagaimana yang dijabarkan oleh Tambunan dan Chandra (2014), peluang UMKM untuk dapat terintegrasi terhadap rantai pasok global salah satunya berasal dari penurunan tarif
perdagangan.
Hilangnya
hambatan
tarif
bisa
dimanfaatkan
untuk
meningkatkan kompetisi UKMM dan mendorong ekspansi pasar. FTA juga menawarkan kesempatan bisnis agar UMKM dapat berpartisipasi dalam rantai 10
pasok pada tingkat regional, yaitu negara ASEAN lainnya. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah perlu mendorong efisiensi prosedur dan transparansi dalam penggunaan dan pemanfaatan dokumen FTA ASEAN dan FTA dengan negara lainnya. Sebagai faktor pendukung, akses terhadap keuangan juga perlu diperhatikan sebagai salah satu isu penting yang dapat mendorong UMKM untuk berkembang. Liberalisasi sektor keuangan dan perbaikan akses terhadap institusi pemberi modal cukup potensial untuk mengatasi permasalahan akses keuangan, khususnya di daerah. Selain adanya reformasi sektor keuangan, infrastruktur keuangan juga penting dikembangkan guna menstimulasi UMKM. Dalam rangka mendorong UMKM, beberapa negara di ASEAN, yaitu Malaysia dan Thailand, sudah melakukan positioning terhadap sektor UMKM di negaranya masing-masing, setiap UMKM di sektor tersebut didorong untuk menjadi bagian dari GVC. Malaysia menitikberatkan strategi GVC terhadap industri elektronika sementara Thailand pada industri komponen otomotif. Strategi tersebut
memosisikan
UMKM
sebagai
pemasok
(supplier)
perusahaan
multinasional yang berorientasi ekspor. Produk UMKM akan dipakai sebagai intermediary inputs bagi perusahaan multinasional yang mempunyai konsumen di berbagai negara (Gambar 2).
Sumber: Abonyi (2005) dikutip dari Harvie et al. (2010)
Gambar 2. UMKM (SME) Sebagai Bagian dari GVC 11
Malaysia
telah
memulai
strategi
ini
pada
dekade
1970-an
dengan
meningkatkan keahlian dan kapasitas sumber daya manusia UMKM yang mempunyai prospek menjadi pemasok di industri elektronika. Faktor skills and knowledge merupakan prasyarat bagi UMKM agar dapat memenuhi kriteria dan standar yang diperlukan perusahaan multinasional. Thailand mulai mendorong agar UMKM mempunyai linkage yang kuat pada sektor otomotif mulai tahun 2000 melalui program SME Promotion Plan. Fokus kebijakan
tersebut
adalah
bagaimana
meningkatan
jumlah
tenaga
kerja,
memperkuat modal UMKM, mendorong ekspor, dan meningkatkan keterkaitan dengan perusahaan besar. Terkait dengan permodalan pada
tahun 2002
pemerintah Thailand mendirikan Small and Medium Enterprise Development Bank of Thailand untuk meningkatan dan mempermudah akses finansial UMKM (Caiyuth, 2008)
1
. Contoh implementasi dari Malaysia dan Thailand dapat
memberikan arah untuk meningkatkan daya saing UMKM Indonesia dalam menghadapi FTA. Strategi peningkatan daya saing UMKM yang dilaksanakan di beberapa negara
seperti
Thailand,
Malaysia,
dan
juga
beberapa
negara
Eropa
menitikberatkan pada pengembangan kemitraan antara UMKM dan perusahaan multinasional atau industri besar yang sudah memiliki sumber daya cukup untuk bersaing secara global. Salah satu cara yang dapat dipergunakan adalah pengembangan klaster industri yang sudah ada agar dapat terhubung dan menggunakan input dari usaha yang lebih kecil dan mengoptimalkan klaster UMKM pada sektor tertentu. Swiss, Jerman, dan Italia menggunakan strategi pengembangan klaster untuk mendorong sektor UMKM. Strategi tersebut dimulai dengan identifikasi klaster yang sudah ada dan berpotensi untuk menjadi industri strategis. Hal itu dapat dilihat pada sektor industri logam dan permesinan di Jerman dan terbentuknya klaster industri teknologi tinggi (aglomerasi) di Silicon Valley, Amerika Serikat. Pengembangan klaster industri mendorong konsentrasi beberapa perusahaan yang selanjutnya membentuk jaringan antar-perusahaan (inter-firm network) dalam penggunaan teknologi, peningkatan keterkaitan antar-industri, dan penurunan biaya pemasaran produk. Hal tersebut pada akhirnya mendorong pencapaian economic of scale dalam penggunaan input, teknologi, dan pemasaran
1
Dikutip dari Yuhua dan Bayhaqi (2013)
12
(OECD, 2010). Pengembangan klaster industri, yang di dalamnya termasuk UMKM, dapat meningkatkan produktivitas, penerapan inovasi, dan tingkat kompetisi perusahaan. Jejaring dalam klaster juga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas aliran informasi antara perusahaan besar dan UMKM. Keberadaan klaster industri yang melibatkan UMKM ternyata tidak cukup untuk meningkatkan daya saing. UMKM pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam membangun hubungan industri dan sosial, mobilitas sumber daya, akses terhadap
informasi,
dan
pengembangan
sumber
daya
(Broughton,
2011).
Permasalahan utama yang terjadi jika UMKM ingin menjadi pemasok pada perusahaan
multinasional
adalah
bagaimana
memenuhi
standar
kualitas,
konsistensi pasokan, dan adaptasi produk. Permasalahan tersebut terkait dengan terbatasnya akses permodalan. UMKM sering kali tidak menyadari bahwa faktorfaktor tersebut sangat penting dalam meningkatkan kualitas produk yang dapat menghambat UMKM menjadi pemasok perusahaan multinasional. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan public-private partnership (kerja sama swasta dan publik–pemerintah) untuk mendorong dan membantu pengembangan daya saing UMKM. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan pemerintah untuk membentuk forum dialog atau komunikasi antara perusahaan multinasional dan UMKM atau antar-UMKM yang berada dalam satu sektor dengan tujuan mengidentifikasi peluang dan permasalahan dalam mengintegrasikan bisnis. Dialog antarsektor swasta juga dapat difasilitasi oleh pemerintah untuk memetakan stakeholders dalam industri tersebut. Hal itu dapat meningkatkan kolaborasi antar-UMKM dan antara UMKM dan perusahaan besar atau multinasional. Perbaikan dalam komunikasi dan pembentukan jaringan atau klaster industri dapat membantu UMKM bersaing dengan perusahaan yang lebih besar. Kolaborasi tersebut akan mendorong terjadinya GVC pada klaster industri yang mendorong efisiensi. Salah satu contoh kolaborasi di dalam klaster adalah pembentukan asosiasi penjamin kredit bersama, sinergi dalam strategi promosi, atau perbaikan dalam divisi bisnis dan pekerja dalam perusahaan (OECD, 2010). Terdapat dua dampak positif yang dapat diperoleh jika UMKM menjadi bagian dari GVC, yaitu keuntungan untuk UMKM itu sendiri dan keuntungan bagi ekonomi nasional. Dampak positif terhadap sektor UMKM diperoleh dengan meningkatnya kemampuan
teknis. Keterlibatan
dalam GVC membutuhkan
standar kualitas yang tinggi yang secara otomatis meningkatkan produktivitas 13
dengan penguasaan teknologi dan efisiensi produksi. Dampak positif lainnya dari partisipasi adalah perbaikan akses informasi dan model bisnis terbaru. Hal-hal tesebut dapat memperbaiki citra UMKM sehingga memberikan dampak positif lainnya, seperti kemudahaan akses terhadap sumber dana eksternal (Yuhua dan Bayhaqi, 2013). Lebih lanjut, partisipasi dalam GVC meningkatkan kontribusi sektor UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian, keterlibatan dalam GVC akan membantu UMKM dalam memanfaatkan peluang di negara lain dan bersaing di pasar domestik dengan cara meningkatkan daya saing. Jika melihat peluang yang sangat menjanjikan apabila UMKM dapat menjadi bagian dari GVC, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang diperlukan UMKM untuk bergabung ke dalam rantai produksi tersebut. Harvie et al. (2010) menunjukkan beberapa karakteristik yang dimiliki UMKM yang berpartisipasi dalam GVC. Pertama adalah skala usaha. Semakin besar skala usaha, semakin besar pula peluang untuk mencapai tingkat produksi yang ekonomis sehingga pada akhirnya struktur biaya produksi dapat ditekan. Kedua adalah usia perusahaan
(kematangan
usaha).
Perusahaan
yang
sudah
lama
berdiri
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut sudah mempunyai pengalaman dan jam terbang yang cukup tinggi sehingga diasumsikan berhasil meningkatkan efisiensi produksi sepanjang waktu. Iklim usaha yang mendukung survival rate perusahaan di suatu industri menjadi sangat penting dalam variabel ini. Faktor ketiga adalah kepemilikan asing. Suatu perusahaan yang sahamnya juga dimiliki oleh asing, khususnya perusahaan joint venture, diproyeksikan akan memperoleh transfer teknologi dan kemudahan akses pada pinjaman dari investor asing tersebut. Keempat adalah produktivitas. Suatu UMKM perlu mempelajari dan mencapai standar kualitas yang diminta oleh perusahaan yang berada pada jenjang produksi lebih tinggi (upper-tier suppliers) agar peluang masuk GVC semakin besar. Kelima adalah akses pada pembiayaan. Tambahan modal mutlak diperlukan UMKM untuk mengembangkan usahanya dan berhasil mencapai tingkat produktivitas yang dibutuhkan sesuai dengan permintaan produksi. Tantangannya sekarang adalah bagaimana UMKM menyiasati masalah agunan atau pencatatan keuangan yang diminta oleh lembaga keuangan sebelum menyediakan kredit investasi. Faktor keenam adalah inovasi, baik inovasi produk maupun proses produksi. Penelitian dan pengembangan sangat penting untuk meningkatkan 14
produktivitas
suatu
perusahaan.
Selain
itu,
pelatihan
tenaga
kerja
dan
penggunaan teknologi baru juga berperan besar dalam mendukung tingkat produktivitas. Faktor terakhir adalah lokasi. Peluang suatu UMKM untuk berpartisipasi dalam GVC akan semakin besar apabila lokasi usaha dekat dengan suatu kawasan industri atau export processing zones (EPZs) atau pelabuhan. Apabila saat ini sudah terdapat kumpulan UMKM yang jauh dari kawasan tersebut, pemerintah dapat menyiasatinya dengan mengembangkan infrastruktur logistik agar komponen yang diproduksi UMKM bisa mencapai kawasan itu dengan cepat dan tepat waktu.
15
III. Pemetaan Daya Saing UMKM Indonesia
3.1
Perkembangan UMKM Indonesia dan ASEAN Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UMKM, pada tahun 2013
UMKM mampu menyumbangkan 5.440 triliun rupiah (atas dasar harga berlaku) terhadap PDB nasional, menyerap tenaga kerja 114,14 juta orang, dan menarik 1.655,2 triliun rupiah investasi dengan total jumlah usaha sebanyak 57,8 juta unit. Gambar 3 menyajikan kontribusi UMKM dalam perekonomian nasional tahun 2013–2014.
Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Sandingan data UMKM 2012–2014
Gambar 3. Kontribusi UMKM terhadap Perekonomian Nasional Tahun 2013 dan 20142 Kontribusi UMKM terhadap PDB nasional pada tahun 2013 adalah 57,6 persen (atas dasar harga konstan) yang 30,3 persen berasal dari usaha mikro; 12,8 persen dari usaha kecil; dan 14,5 persen berasal dari usaha menengah (Gambar 3). Hingga saat ini belum ada data terbaru mengenai kontribusi UMKM terhadap PDB pada tahun 2014. Apabila UMKM dibandingkan dengan usaha skala besar, kesenjangannya sangat besar. Dengan jumlah usaha skala besar hanya 0,11
Kemenkop menerbitkan data 2014 hanya untuk penyerapan tenaga kerja dan jumlah usaha 2
16
persen dari total usaha nasional, usaha besar mampu berkontribusi sebesar 42,4 persen terhadap PDB. Namun, UMKM masih dominan dalam hal penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2014 UMKM mampu menyerap 96,7 persen dari total tenaga kerja nasional yang 87 persen tenaga kerjanya diserap oleh usaha mikro. Statistik UMKM tahun 2013 menunjukkan bahwa partisipasi UMKM dalam ekspor masih relatif rendah. Usaha skala besar masih mendominasi ekspor nonmigas. Sekitar 84,32 persen ekspor nonmigas disumbangkan oleh usaha besar, sedangkan usaha mikro hanya menyumbang 1,38 persen, usaha kecil 2,76 persen, dan usaha menengah sebesar 11,54 persen. Hal itu menunjukkan bahwa akses ekspor UMKM, khususnya usaha mikro dan kecil masih rendah.
*) Data pertumbuhan PDB Nasional diambil dari BPS Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Sandingan data UMKM
Gambar 4. Distribusi dan Pertumbuhan PDB Berdasarkan Usaha 2008–2013
Secara umum, dalam masa 5 tahun terakhir ini, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional mengalami penurunan, dari 58,3 persen pada tahun 2008 menjadi 57,6 persen pada tahun 2013 (Gambar 4). Hal itu disebabkan oleh kontribusi usaha mikro yang semakin menurun. Trend pertumbuhan nilai tambah UMKM 17
menunjukkan peningkatan dari 4,6 persen pada tahun 2009 menjadi 7,2 persen tahun 2011, tetapi mengalami penurunan menjadi 5,75 persen pada tahun 2013. Meskipun mengalami perlambatan, nilai pertumbuhan PDB UMKM masih lebih tinggi 0,02 persen dari pertumbuhan PDB nasional. Dari segi jumlah, tenaga kerja yang bekerja di UMKM mengalami peningkatan, yaitu dari 94 juta pada tahun 2008 menjadi 123,2 juta pada tahun 2014 (Gambar 5). Namun, jika dilihat dari kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja nasional, proporsi penyerapan tenaga kerja di UMKM mengalami penurunan, yaitu dari 97,2 persen pada tahun 2008 menjadi 96,7 persen pada tahun 2014. Rata-rata pertumbuhan penyerapan tenaga kerja UMKM pada tahun 2009–2014 adalah 4,63 persen per tahun. Nilai itu masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja usaha besar dan penyerapan tenaga kerja nasional yang secara berturut-turut adalah sebesar 7,47 dan 4,72 persen.
Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja (Juta Orang)
140 4 5
120 100
3 3 4
3 3 4
3 3 4
3 3 4
3 3 5
4 4 6
7
80 60 40
88
90
92
95
2008
2009
2010
2011
100
105
2012
2013
111
20 00
Usaha Mikro (UMi)
Usaha Kecil (UK)
Usaha Menengah(UM)
2014
Usaha Besar (UB)
Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Sandingan data UMKM
Gambar 5. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja 2008–2014
Gambar 6 menunjukkan perkembangan jumlah unit usaha pada tahun 2008–2014. Jumlah unit usaha mikro, kecil, dan menengah pada tahun 2014 18
mengalami peningkatan, yaitu dari 51,4 juta pada tahun 2008 menjadi 59,3 juta pada tahun 2014 yang 99,9 persen di antaranya adalah UMKM. Secara umum pertumbuhan usaha mikro relatif sama pada tahun 2007–2014 dengan rata-rata pertumbuhan 2,37 persen. Rata-rata pertumbuhan unit usaha yang paling tinggi adalah
usaha
menengah
sebesar
6,2
persen.
Sementara
itu,
rata-rata
pertumbuhan unit usaha nasional untuk tahun 2007–2014 adalah sebesar 2,4
Laju Pertumbuhan Unit Usaha (%)
persen per tahun.
16 14
13.7
12 10.7
10 8 6
5.5
6.0 4.7
4.7 4.1
4
4.1
2
2.3
3.8 2.5
2.3
2.5
2.6
2007
2008
2009
0
Usaha Mikro
2.6
4.0
5.4
2.6 1.6 2.5
2.0 2.0
2010 2011 Tahun
Usaha Kecil
4.5
6.3 3.9
4.2
2.4
2.4
2.4
2.4
2.4
2.3
2012
2013
2014
Usaha Menengah
Nasional
Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Sandingan data UMKM
Gambar 6. Pertumbuhan Jumlah Unit Usaha 2008-2014
Rata–rata
produktivitas
tenaga
kerja
UMKM
masih
jauh
tertinggal
dibandingkan usaha besar (Tabel 1). Pada periode 2006–2008 produktivitas tenaga kerja UMKM adalah 12,2 juta rupiah dan periode 2009–2013 meningkat menjadi 13,3 juta rupiah. Sementara itu, produktivitas usaha besar mencapai 334,8 juta rupiah pada tahun 2009–2013, sedangkan rata-rata produktivitas usaha mikro hanya 7,8 juta rupiah. Sementara itu, usaha kecil masih mencapai 64,7 juta dan usaha menengah 112,4 juta rupiah pada tahun 2009–2013. Tabel
2
menunjukkan
perbandingan
kontribusi
UMKM
terhadap
perekonomian di negara ASEAN. Secara umum dapat dilihat bahwa di Indonesia proporsi UMKM terhadap keseluruhan unit usaha ternyata paling tinggi jika 19
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, yaitu sekitar 99,9 persen, kemudian Kamboja dan Laos sebesar 99,8 persen. Demikian juga dalam hal penyerapan tenaga kerja, UMKM di Indonesia menyerap lebih banyak tenaga kerja jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Di Laos jumlah penduduk yang bekerja di UMKM adalah 82,9 persen, Thailand 81 persen, dan Kamboja 71,8 persen.
Tabel 1. Produktivitas Tenaga Kerja (dalam juta rupiah) Klasifikasi
2006–2009
2010–2013
12,2
13,3
Usaha Mikro
7,4
7,8
Usaha Kecil
62,0
64,7
Usaha Menengah
104,5
112,4
Usaha Besar
309,9
334,8
25,3
25,1
Rata-rata UMKM
Rasio Usaha Besar/ UMKM
Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM, Statistik UMKM
Dari sisi kontribusi UMKM terhadap PDB nasional, UMKM di Indonesia mampu menyumbang 57,6 persen, sedangkan UMKM di Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand berturut-turut adalah 24; 33,1; 36; 45; dan 37,4 persen. Namun, Kontribusi UMKM Indonesia terhadap ekspor masih relatif rendah jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. UMKM di Thailand berkontribusi terhadap 25,5 persen total ekspor dan UMKM Malaysia sekitar 19 persen, sedangkan UMKM Indonesia berkontribusi terhadap 15,7 persen total ekspor (Tabel 2).
20
Tabel 2. Perbandingan Kontribusi UMKM terhadap Perekonomian di Negara ASEAN Unit Usaha Negara
Penyerapan Tenaga Kerja
Kontribusi terhadap PDB
Ekspor
Share (%)
Tahun
Share (%)
Tahun
Share (%)
Tahun
Share (%)
Tahun
Brunei Darussalam
98,2
2010
59
2010
24
2010
n/a
n/a
Kamboja
99,8
2014
71,8
2014
n/a
n/a
n/a
n/a
Indonesia
99,9
2013
96,9
2013
57,6
2013
15,7
2013
Laos
99,8
2013
82,9
2013
n/a
n/a
n/a
n/a
Malaysia
97,3
2011
57,5
2013
33,1
2013
19
2010
Myanmar
87,4
2014
n/a
n/a
n/a
n/a
n/a
n/a
Filipina
99,6
2012
64,9
2012
36
2006
10
2010
Singapura
99,4
2012
68
2012
45
2012
n/a
n/a
Thailand
97,2
2013
81
2013
37,4
2013
25,5
2013
Vietnam
97,7
2012
46,8
2012
n/a
n/a
n/a
n/a
Sumber: Asian Development Bank dan Kementerian Koperasi dan UMKM
Statistik sebaran UMKM berdasarkan sektor menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM Indonesia, yaitu sekitar 48,9 persen bergerak dalam bidang usaha primer (pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan). UMKM yang bergerak dalam bidang perdagangan adalah sekitar 28,8 persen, sedangkan yang bergerak dalam industri pengolahan hanya 6,4 persen, dan sisanya sekitar 2,1 persen tersebar di sektor lain (Gambar 7). Struktur usaha ini relatif berbeda dengan negara lain di ASEAN yang UMKM-nya kebanyakan berada pada sektor perdagangan, jasa, dan industri pengolahan. Lebih dari 40 persen UMKM di Malaysia, Thailand, dan Filipina berada pada sektor jasa, bahkan untuk Malaysia jumlah UMKM yang berada pada sektor jasa mencapai 93,1 persen. UMKM di Kamboja, Laos, dan Vietnam kebanyakan berada pada sektor perdagangan dengan porsinya berturut-turut adalah 59,6 persen; 62,9 persen; dan 39,8 persen. Sementara itu, UMKM pada sektor industri pengolahan banyak ditemukan di Thailand dengan share sebesar 23,7 persen; Filipina sebesar 16,6 persen, dan Vietnam sebesar 15,7 persen.
21
Sumber: Asia SME Finance Monitor 2014, ADB
Gambar 7. Distribusi UMKM Menurut Sektor Usaha di 7 Negara ASEAN
Berdasarkan data SME landscape pada Asia SME Finance Monitor 2014 yang dikeluarkan oleh Asian Development Bank (ADB), pertumbuhan tenaga kerja Indonesia masih berada di bawah Kamboja pada tahun 2014. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja UMKM di Kamboja sebesar 16,1 persen, sedangkan Indonesia hanya sebesar 8 persen. Sementara itu, untuk negara ASEAN lainnya, pada tahun 2012 pertumbuhan penyerapan tenaga kerja UMKM adalah 27,3 persen untuk Filipina, 6,3 persen untuk Malaysia, dan 2,4 persen untuk Vietnam. Data yang tersedia untuk Thailand adalah data tahun 2013 yang pertumbuhan penyerapan tenaga kerja UMKM-nya mencapai 3,3 persen. Untuk produktivitas tenaga kerja UMKM, data yang tersedia hanya untuk Malaysia, Thailand (produktivitas UMKM saja), dan Indonesia. Produktivitas tenaga kerja UMKM di Indonesia jauh berada di bawah produktivitas Thailand dan Malaysia. Pada tahun 2012 produktivitas UMKM di Indonesia hanya $1.355, sedangkan UMKM Malaysia mencapai $20.609 dan Thailand $12,263. Rata-rata pertumbuhan produktivitas tahun 2009–2012 untuk Indonesia, Thailand, dan Malaysia berturut-turut adalah sebesar 4,9 persen, 6,1 persen, dan 9,5 persen.
22
Catatan: 1. Untuk gambar pertumbuhan tenaga kerja: tahun data untuk tiap negara bervariasi, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam tahun 2012; Thailand 2013; Indonesia, Kamboja, dan Myanmar tahun 2014. 2. Data untuk Indonesia diambil dari Kementerian KUKM, sedangkan negara lain diambil dari Asia SME Financial Monitor. 3. Untuk Myanmar dan Thailand digunakan data UKM, sedangkan untuk negara lain digunakan data UMKM. 4. Konversi mata uang lokal ke US$ menggunakan data exchange rate World Bank Sumber: Asia SME Financial Monitor (www.depkop.go.id), diolah
2014,
ADB,
dan
Kementrian
KUKM
Gambar 8. Kinerja UMKM di beberapa negara ASEAN
Berdasarkan data World Bank Enterprise Survey, dalam hal pengembangan tenaga kerja (Tabel 3), persentase usaha di Indonesia yang memberikan pelatihan formal kepada tenaga kerja hanya berada pada kisaran 2,8 persen untuk usaha kecil dan 13,2 persen untuk usaha menengah dengan rata-rata cakupan pelatihan 52,9 persen. Jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN, persentase tersebut sangat rendah. Sebagai contoh, jumlah perusahaan yang memberikan pelatihan formal di Thailand mencapai 30,9 persen untuk usaha kecil dan 63,3 persen untuk usaha menengah.
Tabel 3. Pelatihan Tenaga Kerja Persentase perusahaan Proporsi pekerja yang yang memberikan diberikan pelatihan pelatihan formal formal (%)
Proporsi unskilled workers (dari total tenaga kerja produksi) (%)
Negara Tahun Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar Indonesia 2009
2,8
13,2
37,5
56,5
55,6
39,7
19,4
23,1
38,1
Kamboja 2013
66,0
68,8
85,9
59,1
61,5
67,2
46,4
49,2
56,2
15,7
36,4
76,3
n,a,
41,5
29,5
17,9
40,4
39,0
Laos
2012
23
Tabel 3. (lanjutan) Persentase perusahaan Proporsi pekerja yang yang memberikan diberikan pelatihan pelatihan formal formal (%)
Proporsi unskilled workers (dari total tenaga kerja produksi) (%)
Negara Tahun Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar Myanmar 2014
10,3
25,6
31,4
62,5
49,3
38,9
20,5
31,2
59,2
Malaysia 2007
17,0
40,7
79,7
26,8
33,4
32,3
63,6
65,8
64,9
2009
14,7
32,1
60,0
59,5
70,9
71,8
7,8
11,6
13,4
Thailand 2006
30,9
63,3
94,9
n.a
n.a
n.a
79,7
82,3
85,4
Vietnam 2009
11,6
49,1
53,2
66,0
62,3
70,7
10,5
24,3
21,6
Filipina
Catatan: Tahun data untuk tiap negara bervariasi. Indonesia, Filipina, dan Vietnam menggunakan data tahun 2009; Malaysia tahun 2007; Laos tahun 2012, Kamboja tahun 2013; Myanmar tahun 2014. Sumber: World Bank Enterprises Survey
Penguasaan teknologi dan inovasi UMKM Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata negara ASEAN. Menurut data World Bank Enterprises Survey, pada tahun 2009 jumlah perusahaan kecil yang memiliki sertifikat mutu internasional hanya 1,6 persen, sedangkan perusahaan menengah 6,3 persen (Gambar 9). Nilai tersebut berada jauh di bawah Filipina dan Vietnam. Pada tahun yang sama 8,6 persen usaha kecil dan 18,6 persen usaha menengah di Filipina memiliki sertifikat mutu internasional. Kepemilikan sertifikat mutu internasional di Vietnam untuk usaha kecil adalah 6 persen dan usaha menengah 13,2 persen.
24
Catatan: Tahun data untuk tiap negara bervariasi. Indonesia, Filipina, dan Vietnam menggunakan data tahun 2009; Malaysia tahun 2007; Laos tahun 2012, Kamboja tahun 2013; Myanmar tahun 2014. Sumber: World Bank Enterprises Survey
Gambar 9: Distribusi Perusahaan yang Memiliki Sertifikat Mutu Internasional
Rendahnya pemanfataan teknologi informasi dapat pula dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Kepemilikan laman (website) dan pemanfaatan pos-el (e-mail) pada usaha kecil di Indonesia merupakan yang paling rendah di kawasan. Perusahaan kecil yang memiliki website sendiri hanya 4,2 persen, sedangkan yang memanfaatkan e-mail hanya 9,4 persen. Hal tersebut sangat kontras dengan negara lain di kawasan, misalnya Filipina dan Vietnam. Pada kedua negara tersebut kepemilikan website pada usaha kecil di atas 20 persen dan pemanfaatan e-mail di atas 40 persen.
25
Sumber: World Bank Enterprises Survey Catatan: Tahun data untuk tiap negara bervariasi. Indonesia, Filipina, dan Vietnam menggunakan data tahun 2009; Malaysia tahun 2007; Laos tahun 2012, Kamboja tahun 2013; Myanmar tahun 2014.
Gambar 10. Persentase Perusahaan yang Memiliki Website
Sumber: World Bank Enterprises Survey Catatan: Tahun data untuk tiap negara bervariasi. Indonesia, Filipina, dan Vietnam menggunakan data tahun 2009; Malaysia tahun 2007; Laos tahun 2012, Kamboja tahun 2013; Myanmar tahun 2014.
Gambar 11. Persentase Pemanfaatan E-mail dalam Operasional Usaha 26
3.2
UMKM dan Industri Manufaktur Dari perbandingan sebaran UMKM di negara-negara ASEAN pada Gambar
7, dapat disimpulkan bahwa mayoritas sektor UMKM di negara lain terkonsentrasi pada sektor manufaktur serta perdagangan dan jasa. Namun, tidak demikian dengan Indonesia, persebaran terbesar UMKM terdapat pada sektor primer, seperti pertanian dan perkebunan. Sementara itu, jumlah UMKM yang terdapat di industri manufaktur hanya mencapai 6,4 persen. Oleh karena itu, perlu dilihat secara mendalam peran sektor manufaktur dalam perekonomian dan potensi UMKM di sektor tersebut.
Tabel 4. Sektor Manufaktur ASEAN (harga konstan 2005 USD) Negara Brunei Darussalam Indonesia Laos Malaysia Filipina Vietnam Kamboja Singapura Thailand
2010 1,079,648,092 95,176,714,177 396,732,836 44,958,246,284 29,503,174,763 16,897,267,299 1,617,207,187 47,745,099,997 76,425,822,475
2011 1,116,655,978 101,134,296,683 437,965,590 47,064,347,930 30,898,551,942 18,755,965,830 1,878,660,644 51,473,178,656 73,169,472,148
2012 1,124,602,478 106,817,817,508 481,443,062 49,311,718,932 32,563,981,395 19,843,783,408 2,007,510,605 51,637,614,930 78,219,891,495
2013 1,145,401,578 111,618,936,480 529,889,190 51,025,170,986 35,905,068,207 21,320,160,231 2,204,690,483 52,496,354,009 78,298,187,194
2014 116,791,460,619 587,849,492 54,184,059,400 38,818,527,654 23,121,717,696 2,359,314,676 77,450,031,395
Sumber: World Development Indicators
Jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, sektor manufaktur Indonesia mempunyai nilai PDB terbesar, seperti dapat dilihat pada Tabel 4, nilai sektor tersebut pada tahun 2014 mencapai 116,8 juta dollar. Angka tersebut jika dibandingan
dengan
data
tahun
sebelumnya
mengalami
kenaikan
cukup
konsisten pada angka 4–6 persen per tahun. Negara ASEAN lainnya juga mengalami pertumbuhan bertahap di sektor manufaktur, seperti Kamboja, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Hanya Thailand yang mengalami kontraksi pada sektor tersebut akibat instabilitas politik pada tahun 2011. Jika dilihat dari kontribusi terhadap perekonomian, sektor manufaktur di Thailand tetap memberikan kontribusi terbesar jika dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya.
Tiga
negara
ASEAN
yang
mempunyai
kontribusi
sektor
manufaktur terbesar adalah Thailand, Malaysia, dan Indonesia dengan kontribusi terhadap PDB masing-masing 32,5 persen, 24,9 persen, dan 21,6 persen pada tahun 2014 (Gambar 12). 27
35 30 25 20
2011
15
2012 2013
10
5 0
Brunei
Indonesia
Laos
Malaysia
Filipina
Vietnam
Kamboja Singapura Thailand
Sumber: World Development Indicators
Gambar 12. Kontribusi Sektor Manufaktur Terhadap PDB (%)
Selain terhadap PDB, sektor manufaktur juga berkontribusi signifikan terhadap ekspor negara-negara ASEAN. Jika dibandingkan dengan sektor pertanian, kontribusi manufaktur masih lebih besar di seluruh negara ASEAN. Ekspor manufaktur menyumbang sekitar 40 persen dari total ekspor barang Indonesia pada tahun 2014 (Gambar 12). Persentase tersebut lebih tinggi daripada sektor pertanian (agriculture) yang berkontribusi hanya 25 persen total ekspor. Mayoritas negara ASEAN lainnya, kecuali Brunei dan Indonesia, mempunyai kontribusi ekspor manufaktur lebih besar dari 50 persen terhadap total ekspor barang.
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2013 2014 2012 2013 2013 2014 2013 2014 2013 2014 2013 2014 2013 2014 2013 2014 Brunai
Kamboja Indonesia Malaysia Manufaktur
Filipina Singapura Thailand
Vietnam
Pertanian
Sumber: WITS database
Gambar 13. Kontribusi Sektor Manufaktur dan Pertanian terhadap Ekspor 28
Jika melihat lebih detail performa UMKM pada sektor manufaktur Indonesia, dapat disimpulkan bahwa peran UMKM sangat lemah dan sejalan dengan kecilnya jumlah UMKM di sektor manufaktur. UMKM hanya berkontribusi 12,9 persen terhadap total tenaga kerja manufaktur Indonesia pada tahun 2012. Angka tersebut turun cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang mencapai 16,4 persen. Lebih lanjut, kontribusi nilai tambah UMKM pada sektor manufaktur di Indonesia tidak pernah melebihi 10 persen selama periode 2009–2012.
Kontribusi Ekspor (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kontribusi Nilai Tambah (%)
96.91
96.77
92.36
92.54
3.09
3.23
7.64
7.46
2009
2010
2011
2012
Menengah
Besar
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
93.34
90.03
91.64
90.86
6.57 0.096 2009
9.94 0.032 2010
8.35 0.018 2011
9.12 0.019 2012
Mikro dan Kecil
Kontribusi Tenaga Kerja (%)
Besar
Produktifitas (Rp) 250
Millions
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Menengah
200
83.62
85.58
86.33
87.06
150 100 50
15.43 0.95 2009
14.23 0.19 2010
Mikro dan Kecil
13.58 0.10 2011 Menengah
12.86 0.07 2012 Besar
0 2009
2010
Mikro dan Kecil
2011 Menengah
2012 Besar
Sumber: Statistik UKM
Gambar 14. Beberapa Indikator UMKM pada Sektor Manufaktur Indonesia
Dari sisi ekspor hanya usaha menengah sektor manufaktur yang kontribusi ekspornya dapat dihitung. Data tersebut sejalan dengan karakteristik dari UMKM itu sendiri, yaitu usaha mikro dan kecil mengalami hambatan biaya dan akses 29
pasar untuk melakukan ekspor langsung. Pada tahun 2012 kontribusi ekspor usaha menengah tercatat mencapai 7,46 persen pada sektor manufaktur. Persentase tersebut mencapai lebih dari dua kali lipat daripada kontribusi ekspor pada tahun 2009 yang hanya mencapai 3,09 persen. Pada periode yang sama, walaupun produktivitas usaha mikro dan kecil jauh lebih rendah daripada skala usaha yang lebih besar, terdapat tren yang stabil dan meningkat dibandingkan usaha menengah dan besar. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi yang cukup besar bagi UMKM di sektor manufaktur.
3.3
UMKM dan Jaringan Produksi Global Studi Wignaraja (2012) menunjukkan bahwa partisipasi UMKM Indonesia
dalam jaringan produksi global masih rendah (Tabel 5). Dengan menggunakan data World Bank Enterprise Survey yang mencakup 5.900 perusahaan pada lima negara ASEAN, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, dan Vietnam, dapat disimpulkan bahwa jumlah UMKM Indonesia yang terlibat dalam produksi global hanya 6,3 persen. Angka tersebut jauh berada di bawah UMKM Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina yang secara berturut-turut jumlah UMKM yang terlibat dalam jaringan produksi global adalah 46,2; 29,6; 21,4; dan 20,1 persen.
Tabel 5. Keterlibatan Usaha Kecil dan Menengah ASEAN pada Jaringan Produksi Global
Catatan: Data Malaysia dan Thailand untuk tahun 2006 sementara di Indonesia, Vietnam, dan Filipina survei dilakukan pada tahun 2009. Sumber: Wignaraja (2012)
Dalam studi yang sama dijelaskan pula bahwa kontribusi ekspor UMKM Indonesia adalah yang terendah dibandingkan dengan empat negara ASEAN lain yang diikutsertakan dalam kajian (Gambar 15). Kontribusi ekspor UMKM 30
Indonesia hanya 9,3 persen, kontras dengan UMKM Thailand, Filipina, dan Malaysia yang mampu berkontribusi diatas 28 persen terhadap total ekspor. Bahkan kontribusi UMKM Indonesia terhadap total ekspor masih tertinggal dibawah UMKM Vietnam dengan kontribusi sebesar 16,8 persen.
Sumber: Wignaraja, 2012
Gambar 15. Kontribusi Ekspor UMKM dan Perusahaan Besar terhadap Total Ekspor
Tingkat partisipasi yang rendah dalam jaringan produksi global tidak hanya terjadi pada UMKM Indonesia, tetapi terjadi pada industri keseluruhan. Studi presisi Indonesia pada tahun 2014 memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi Indonesia secara umum dalam jaringan produksi global memang rendah. Apabila dilihat dari beberapa indikator untuk mengukur tingkat partisipasi suatu negara dalam GVC, partisipasi Indonesia dalam GVC ternyata masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.
31
Sumber: COMTRADE, diolah
Gambar 16. Proporsi Perdagangan Barang Mesin terhadap Perdagangan Barang Manufaktur (Rata-Rata 2010–2013)
Jika dilihat dari proporsi nilai perdagangan peralatan mesin Indonesia terhadap total barang manufaktur atau nilai perdagangan barang parts & component (Gambar 16 dan 17), tingkat partisipasi Indonesia memang lebih rendah jika dibandingkan dengan sebagian besar negara-negara di kawasan. Demikian pula dengan indeks perdagangan intraindustri atau intra industry trade index (iit index) atau indeks partisipasi GVC (Gambar 18) memperlihatkan hasil yang sama.
Sumber: COMTRADE, diolah
Gambar 17: Perdagangan Parts dan Components (Rata-Rata 2010–2013) 32
Sumber: OECD, Trade in Value Added database, diolah.
Gambar 18. Tingkat Partisipasi GVC
Literatur mengenai GVC pada Bab 2 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi suatu negara dalam GVC sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu keandalan teknologi komunikasi, logistik, dan keterbukaan ekonomi (aturan perdagangan dan investasi). Indonesia masih tertinggal dalam ketiga aspek tersebut,bahkan tidak hanya ketiga aspek tersebut, diskusi dengan beberapa pengusaha di Indonesia menunjukan bahwa tingkat upah yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga menjadi hambatan untuk meningkatkan efisiensi produksi. Demikian halnya dengan suku bunga yang tinggi. Secara spesifik keterlibatan pengusaha dalam jaringan produksi global juga terhambat faktor-faktor yang spesifik di dalam sektornya. Misalnya, industri makanan dan minuman mengalami kesulitan dalam (i) memenuhi standar produk internasional, (ii) memenuhi spesifikasi barang yang berbeda antarnegara, dan (iii) memperoleh bahan baku lokal yang sesuai dengan permintaan konsumen global.
3.4
Permodalan UMKM Sumber permodalan bagi UMKM di Indonesia masih didominasi oleh sektor
perbankan. Tabel
6 memperlihatkan
perbandingan
aset dan
modal
yang
disalurkan oleh beberapa lembaga keuangan di Indonesia. Perbankan merupakan 33
institusi keuangan yang terbesar yang diperlihatkan oleh perbandingan besaran aset dan dana yang dapat disalurkan oleh perbankan dibandingkan lembaga keuangan lainnya. Hanya perusahaan yang memiliki rekam jejak dan/atau memiliki jaminan dan/atau dukungan dari pembelinya yang dapat mengakses pembiayaan dari perbankan. Modal ventura merupakan sumber pembiayaan alternatif bagi usaha/ pengusaha baru yang tidak memiliki jaminan, tetapi memiliki usaha yang berpotensi. Hanya saja jumlah perusahaan modal ventura masih sangat terbatas, yaitu hanya 69 perusahaan pada tahun 2014 (Direktori Lembaga Pembiayaan, OJK) dengan aset total hanya sebesar 9 triliun rupiah. Modal ventura merupakan pembiayaan dengan risiko bagi investornya sehingga investor (perusahaan modal ventura) harus mengerti dan memahami usaha yang dijalankan oleh perusahaan yang akan dibiayai. Sulitnya mengakses perbankan dan jumlah modal ventura yang relatif terbatas mendorong pemerintah mendirikan Permodalan Nasional Madani (PNM) dengan tujuan untuk membantu pendanaan UMKM. Namun, PNM mensyaratkan rekam jejak yang baik bagi UMKM yang akan dibiayai. Berbagai model pembiayaan baru lainnya juga timbul dalam kondisi sulitnya mengakses sumber pembiayaan bagi UMKM. Model pembiayaan seperti crowd-funding dan pembiayaan mikro lainnya sudah mulai tersedia. Hanya saja, model tersebut masih dalam tahap awal perkembangan. UMKM juga memiliki akses permodalan untuk pembiayaan ekspor melalui perbankan dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Namun, persentase kredit perbankan untuk ekspor sangat rendah. Demikian juga dengan LPEI, lembaga tersebut hanya mengalokasikan 10 persen portfolio pendanaan untuk UMKM. Pendanaan itu lebih banyak dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui pembiayaan modal ventura.
34
Tabel 6: Sumber-Sumber Pendanaan (dalam triliun rupiah) Modal Ventura****
Perbankan*
PNM **
Multifinance ***
Tahun Bank Umum
BPR
Total Total Aset
2007
1,987
28
2,014
2
-
127
2008
2,311
33
2,343
2
-
168
2009
2,534
38
2,572
3
-
174
2010
3,009
46
3,055
3
3.33
230
2011
3,653
56
3,709
3
3.62
291
2012
4,263
67
4,330
7
3.78
342
2013
4,954
77
5,032
8
4.95
401
2014
5,615
90
5,705
9
5.09
420
Dana yang disalurkan 2007
1,703
27
1,729
2
-
46
2008
2,015
31
2,047
2
-
59
2009
2,282
36
2,318
3
-
56
2010
2,766
44
2,810
3
0.005
82
2011
3,412
54
3,466
4
0.005
99
2012
4,173
65
4,237
4
0.002
105
2013
4,823
75
4,898
6
0.002
112
2014
5,469
87
5,556
7
0.002
123
Sumber: * Statistik Perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan ** PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Annual Report *** Factbook 2011 Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dan Statistik Lembaga Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan (2013–2014) **** Statistik Lembaga Pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan (2013–2014)
Modal Ventura Modal ventura merupakan salah satu sumber pendanaan yang mungkin diakses oleh perusahaan yang baru berdiri. Modal ventura adalah model pembiayaan berupa penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta sebagai pasangan usaha (investee company) untuk janga waktu tertentu. Pada umumnya investasi ini dilakukan dalam bentuk penyerahan modal secara tunai yang
35
ditentukan dengan sejumlah saham pada perusahaan pasangan usaha. Terdapat empat jenis pembiayaan modal ventura, yaitu sebagai berikut.
1.
Equity financing, yaitu perusahaan modal ventura yang melakukan penyertaan secara langsung pada perusahaan pasangan usaha dengan cara mengambil bagian dari jumlah saham milik perusahaan pasangan usaha.
2.
Semi equity financial, yaitu perusahaan modal ventura yang membeli obligasi konversi yang diterbitkan oleh perusahaan pasangan usaha.
3.
Pendirian perusahaan baru, yaitu perusahaan modal ventura bersama-sama dengan perusahaan pasangan usaha mendirikan usaha yang baru.
4.
Bagi Hasil. Pertumbuhan modal ventura dalam lima tahun terakhir cukup tinggi. Dana
yang disalurkan naik dari 3 triliun rupiah pada tahun 2009 menjadi 6,5 triliun rupiah pada tahun 2014. Sumber dana modal ventura berasal dari dalam perusahaan sendiri yang berupa setoran modal pemegang saham, cadangan laba ditahan, laba ditahan, dan dari pihak luar, baik investor perseorangan, pinjaman dari lembaga perbankan, maupun dari lembaga asuransi dan dana pensiun.
PT Penanaman Modal Madani (PNM) Pada tahun 1999 pemerintah mendirikan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM dengan mandat membantu pembiayaan dan peningkatan kapasitas para pelaku UMKM. Modal awal PNM berasal dari APBN. Sejak tahun 2009 PNM mendiversifikasi sumber pendanaannya melalui kerja sama dengan pihak ketiga, yaitu perbankan dan pasar modal. Pada tahun 2014 total aset PNM tercatat sebesar 5 triliun rupiah. PNM memberikan jasa pembiayaan secara langsung kepada usaha mikro kecil (UMK) melalui kantor-kantor Unit Layanan Modal Mikro (ULaMM) dengan besaran pinjaman dari 1 juta rupiah hingga 200 juta rupiah. Di samping itu, PNM juga menyalurkan dana secara tidak langsung melalui Bank Perkreditan Rakyat/ Bank Perkreditan Syariah (BPR/BPRS), Koperasi, dan Lembaga Keuangan Mikro/Lembaga
Keuangan
Mikro
Syariah
(LKM/LKMS)
lainnya,
termasuk
pembiayaan channeling melalui LKM/LKMS. PNM
juga
menyalurkan
pembiayaan
modal
ventura
melalui
anak
perusahaan PT PNM Venture Capital dengan memberikan dukungan permodalan 36
langsung kepada usaha kecil dan menengah (UKM) dalam bentuk pembiayaan bagi hasil kepada perusahaan patungan usaha (PPU). PNM memberikan layanan nonpembiayaan berupa jasa manajemen atau capacity building kepada UMK melalui unit Pengembangan Kapasitas Usaha (PKU) dan
kepada
lembaga
keuangan
mikro/lembaga
keuangan
makro
syariah
(LKM/LKMS), antara lain BPR/BPRS, koperasi (KSP/USP), dan BMT. Jasa manajemen memiliki kegiatan berupa pelatihan, konsultasi, dan pendampingan usaha yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah pelaku UMKM serta LKM/LKMS yang dikelolanya. PNM juga memiliki Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Penyaluran
dana
program
kemitraan
dilakukan
dengan
pola
pembiayaan
konvensional dan syariah. Dana program kemitraan ini dimaksudkan sebagai modal kerja, investasi, atau pembelian aktiva dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi dan penjualan. Dana kemitraan PNM disalurkan kepada mitra binaan, baik yang berbadan hukum maupun yang bersifat individual atau kelompok, termasuk di dalamnya lembaga keuangan mikro dan koperasi. Sayangnya penerima manfaat dana kemitraan diprioritaskan bagi mitra binaan yang belum memenuhi persyaratan perbankan (non-bankable), tetapi memiliki usaha prospektif yang sudah berjalan minimal 1 tahun. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan yang baru berdiri tidak dapat mengakses pendanaan dari PNM.
Crowd Funding Kesulitan mengakses sumber pendanaan formal menimbulkan beberapa model pendanaan alternatif, seperti crowd funding. Crowd funding secara garis besar dapat digambarkan sebagai pendanaan ramai-ramai (patungan) terhadap satu proyek. Satu proyek, baik komersial maupun sosial dapat didanai oleh ratusan bahkan ribuan orang. Keberadaan crowd funding masih dalam tahap dini di Indonesia sehingga pendataan terhadap crowd fuding itu belum sistematis seperti perbankan dan modal ventura. Beberapa crowd funding yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut.
37
1. KitaBisa (kitabisa.com) KitaBisa adalah website untuk menggalang dana (fundraising) secara online untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari program yayasan/NGO, inisiatif komunitas, gagasan mahasiswa, bantuan bencana alam, hingga patungan untuk pribadi yang membutuhkan. Beberapa proyek yang pendanaannya digalang melalui
KitaBisa
antara
lain
adalah
Pergerakan
SaveMaster.
Pergerakan
SaveMaster berhasil mengumpulkan total 137 juta rupiah (USD10.600) untuk membantu
menyelamatkan
sebuah
gedung
sekolah
yang
seharusnya
diruntuhkan. 2. Wujudkan Wujudkan.com adalah crowd funding lain yang dapat diakses oleh pemula atau oleh individu yang memiliki ide/proyek kreatif untuk mendapatkan pendanaan. Wujudkan.com mengambil 5 persen dari setiap proyek yang berhasil didanai. Proyek dengan dana tertinggi sampai saat ini adalah film dokumenter Atambua 39° Celsius dengan total pendanaan 312 juta rupiah (USD32.800). 3. Ayopeduli Ayopeduli.com adalah crowd funding yang memiliki misi membantu memecahkan permasalahan pendanaan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Proyek paling sukses dari AyoPeduli hingga saat ini adalah Rumah Harapan yang mengangkat 20 juta rupiah (USD1.500) untuk membantu sebuah organisasi yang mengurus anak-anak yang sakit keras. 4. GandengTangan GandengTangan memiliki konsep yang berbeda dari situs crowd funding lainnya.
GandengTangan
memiliki
platform
sebagai
crowd
lending,
yaitu
pemrakarsa proyek meminjam uang dari crowd, tetapi setelah proyek tersebut direalisasikan dan berjalan serta mendapatkan keuntungan, inisiator diharapkan untuk membayar kembali dana awal yang telah dikumpulkan dari crowd tersebut.
Pendanaan lainnya Alternatif
pendanaan
lainnya
pada
prinsipnya
merupakan
praktik
meminjamkan uang kepada individu yang tidak berhubungan dan tanpa melalui perantara keuangan tradisional, seperti bank atau lembaga keuangan tradisional lainnya. Pinjaman ini berlangsung secara online pada website perusahaan 38
pinjaman peer-to-peer menggunakan
platform
pinjaman
yang
berbeda
dan
berbagai alat kredit untuk menghitung credit rating. Salah satu contoh dari skema ini adalah UangTeman.com yang memberikan kreditur mikro tidak lebih dari 2 juta rupiah (USD136) dengan rentang hingga 30 hari sebelum harus dilunasi jangka pendek secara online. Peminjam tidak memerlukan kartu kredit ataupun sejarah kredit untuk mendapatkan pinjaman, tidak seperti di bank tradisional. Pinjaman muncul dalam akun peminjam dalam waktu 24 jam jika peminjam baru pertama kali melakukan pinjaman, tetapi jauh lebih cepat jika peminjam adalah peminjam lama. Peminjam bebas memilih pinjaman untuk setiap waktu antara 10 dan 30 hari. UangTeman meminta pengguna membayar kembali pinjaman mereka pada akhir periode tenor yang mereka pilih, termasuk jumlah pokok ditambah bunga yang masih harus dibayar. Untuk pinjaman pertama, tingkat bunga adalah satu persen per hari, dan dapat menurun dari waktu ke waktu apabila kinerja kredit baik. Biaya lainnya termasuk biaya perpanjangan Rp180.000,00 (USD12), biaya keterlambatan pembayaran sebesar Rp50.000,00 (USD3,40) ditambah Rp10.000,00 (USD0,68) per hari setelahnya, dan biaya penagih utang sebesar 10 persen dari pembayaran jumlah. Hanya saja UangTeman hanya memberikan pinjaman kepada individu yang memiliki penghasilan minimum Rp 3 juta per bulan dan memiliki rekening tabungan di bank. Prosedur pengajuan pinjaman juga tidak sulit, semua dilakukan secara transparan dan melalui sistem online.
39
IV. KEBIJAKAN UMKM INDONESIA DAN ASEAN
4.1
Kebijakan UMKM ASEAN Kebijakan mengenai UMKM di ASEAN merupakan salah satu implementasi
dari kerangka ASEAN Equitable Economic Development dalam pilar ASEAN Economic Community. Dalam kerangka tersebut usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan komponen utama dalam mencapai pertumbuhan inklusif dan pengurangan kemiskinan3. Dalam rangka pengembangan UKM di ASEAN beberapa panduan dan kerangka kerja telah disepakati. ASEAN Policy Blueprint for SMEs Development (APBSD) 2004–2014 yang merupakan panduan untuk pengembangan kebijakan untuk membangun UKM ASEAN yang berdaya saing, dinamis, dan inovatif disahkan dalam Sidang AEM ke-36 di Jakarta, 3 September 2004. Berbagai aktivitas dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut dilakukan melalui ASEAN Small and Medium Enterprise Agencies Working Group (SMEWG). ASEAN
Policy
Blueprint
for
SMEs
Development
(APBSD)
kemudian
dilanjutkan dengan ASEAN Strategic Action Plan for SME Development (SAP-SMED) 2010–2015 yang memuat kegiatan spesifik yang akan dilakukan dalam jangka pendek dan menengah, seperti kegiatan penyebaran informasi yang lebih luas mengenai kegiatan yang ada di regional untuk UKM di ASEAN, implementasi kebijakan, serta program UKM, baik nasional maupun regional. Kelanjutan dari SAP-SMED 2010–2015 adalah post 2015 SAP-SMED. Dalam pertemuan ASEAN SMEWG yang diadakan di Yogyakarta 4–5 November 2015 lalu, disusun ASEAN Strategic Action Plan for SME Development (SAP-SMED) 2016–2025 yang memuat lima strategic goals yang menjadi pedoman dalam pengembangan UKM di ASEAN. Dalam rangka pemonitoran kebijakan UKM di ASEAN, seluruh negara anggota ASEAN telah sepakat menyusun ASEAN SME Policy Index untuk mengukur delapan indikator yang terkait dengan kebijakan UMKM. Indeks tersebut diadopsi dari metode penilaian kebijakan UMKM yang sudah dilakukan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Walaupun indeks tersebut terkait dengan kebijakan, ASEAN SME Policy Index dapat memberikan gambaran mengenai daya saing UMKM di negara-negara anggotanya.
Penyebutan UKM di sini juga mencangkup usaha mikro. Walaupun selalu disebutkan UKM, kebijakan-kebijakan di ASEAN juga relevan bagi usaha mikro 3
40
Tabel 7 merangkum hasil seluruh indikator dalam ASEAN Policy Index. Jika dibandingkan dengan kebijakan negara anggota ASEAN lainnya, kekuatan sektor UMKM Indonesia terletak pada institutional framework dan kemudahan dalam memulai usaha. Hal tersebut menjelaskan bahwa sektor UMKM Indonesia mempunyai lingkup dan definisi yang jelas serta tidak terdapat hambatan yang berarti dalam memulai usaha UMKM di Indonesia. Namun, pada tataran implementasi banyak hal yang jauh berada di bawah nilai ideal, seperti koordinasi kebijakan yang sering dianggap gagal. Dalam aspek operasional dan pendukung kegiatan, institusi pengembangan UMKM di Indonesia termasuk yang masih lemah. Banyak program yang tindak berkelanjutan seperti Business Development Centres yang pernah dibangun di 1.096 lokasi di seluruh Indonesia tidak lagi ditemui eksistensinya. Demikian juga bantuan untuk e-commerce seperti online portal untuk UMKM tidak dapat di akses oleh UMKM. Pada aspek Cheaper and Faster Start Up, Indonesia mendapatkan skor 4,4. Namun, berdasarkan diskusi dengan Kementerian Perdagangan, prosedur dan biaya pengurusan izin sudah dipermudah dan tanpa biaya, tetapi belum semua UMKM memformalkan usahanya karena jangkauan sosialisasi kementerian yang terbatas, selain keengganan UMKM sendiri memformalkan usahanya karena salah satunya terkait dengan konsekuensi pembayaran pajak. Dalam hal akses keuangan, Indonesia juga belum termasuk baik. Meskipun Indonesia memiliki perbankan yang baik, kredit yang disalurkan kepada UMKM masih rendah. Sementara itu, lembaga keuangan bukan bank juga masih terbatas. Demikian juga dengan akses terhadap pasar modal, Indonesia belum memberikan akses bagi UMKM untuk mendapatkan modal dari pasar modal. Dalam aspek teknologi dan transfer teknologi, skor untuk Indonesia hanya 3,8. Kebanyakan inisiatif masih dalam tahap awal, misalnya pembangunan science parks. Infrastruktur yang diperlukan untuk pengembangan teknologi juga belum memadai, seperti broadband internet dan perlindungan HAKI. Dalam aspek ekspansi pasar internasional ditunjukkan bahwa kinerja dan pelaksanaan kebijakan yang mendukung ekspansi UMKM Indonesia ke pasar internasional mendapat peringkat lima dengan skor 4,2. Hal itu disebabkan kebijakan yang tumpang tindih dan kurangnya koordinasi lintas kementerian/ lembaga terkait UMKM. Di samping itu, kurangnya sumber daya dan kapasitas 41
Indonesia Trade and Promotion Centre (ITPC) juga berkontribusi pada rendahnya kemampuan melakukan ekspansi pasar. Dalam hal promosi pendidikan kewirausahaan, skor Indonesia adalah 3,9. Pendidikan kewirausahaan belum mengarus utama dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Dalam aspek efektivitas representasi kepentingan UKM, skor Indonesia paling rendah di antara 8 aspek yang dievaluasi. Asosiasi yang merupakan representasi UKM secara nasional baru berdiri pada tahun 2014 setelah SME policy index dibuat. Efektivitasnya dalam menyuarakan kepentingan UMKM masih perlu dievaluasi.
Tabel 7. ASEAN SME Policy Index No.
Indikator
BRN
CAM
IND
LAO
MMR
MYS
PHL
SGP
THA
VNM
ASEAN
1
Institutional Framework
2.6
2.6
4.4
2.6
2.9
4.6
3.7
5.4
3.9
3.8
3.7
2
Access to Support Services
3.3
2.4
4.0
2.3
2.7
4.8
3.8
5.4
3.8
3.6
3.6
3
Cheaper and Faster Start up
3.1
2.1
4.4
2.7
2.9
4.8
3.0
5.0
4.2
4.1
3.6
4
Access to Finance
3.0
2.5
4.3
2.5
2.1
4.6
3.6
5.6
4.3
3.4
3.6
5
Technology and Technology Transfer
3.2
1.9
3.8
2.0
2.4
4.9
3.6
5.6
4.3
3.6
3.5
6
International Market Expansion
3.2
3.3
4.2
3.1
3.3
5.0
4.4
6.0
4.7
4.0
4.1
7
Promotion of Entrepreneurial Education
3.0
2.1
3.9
2.3
2.9
4.2
3.7
5.0
3.1
2.9
3.3
8
More effective representation of SME’s interest
2.3
2.5
3.0
3.0
4.5
5.7
4.7
5.0
4.4
4.0
3.8
Sumber: ERIA (2014)
Sementara itu, jika dilihat dari beberapa indikator kebijakan UMKM: definisi, keberadaan institusi, sektor kunci UMKM, dan kebijakan utama UMKM seperti pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa tiap-tiap negara ASEAN memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Definisi UMKM antar negara berbeda-beda. Di Indonesia definisi UMKM tidak dibedakan antara satu sektor dan sektor yang lain,
42
seperti halnya di Malaysia dan Thailand. Indonesia juga merupakan salah satu negara ASEAN yang tidak memiliki master plan kebijakan pengembangan UMKM.
43
Tabel 8. Rangkuman Beberapa Indikator Kebijakan Negara-Negara ASEAN Negara Indonesia
Malaysia
Thailand
Definisi UMKM Mikro: aset $5.500; penjualan $33.002 Kecil: aset $5.500–55.000; penjualan $33.002-275.014 Menengah: aset $1,1 juta; penjualan ($275.014– $5.500.290 Manufaktur: Mikro: penjualan < $91.645; pekerja < 5 orang Kecil: penjualan $91.645–4,5 juta; pekerja 5–74 orang Menengah: penjualan $4,5– 15,3 juta; pekerja 75–200 orang Jasa dan Sektor lainnya: Mikro: penjualan < $91.645; pekerja < 5 orang Kecil: penjualan $91.645– $916.449; pekerja 5–29 orang Menengah: penjualan $916.449–$6,1 juta; pekerja 30–75 orang Terbagi menjadi empat grup (manufaktur, perdagangan besar, perdagangan kecil, dan jasa), yang mempunyai kategori untuk usaha kecil
Institusi Utama Pemerintah Kementerian UMKM
Sektor Kunci UMKM
Kebijakan Utama UMKM
1. Manufaktur 2. Perdagangan 3. Industri Primer
Kredit Usaha Rakyat (KUR) Peningkatan kapasitas SDM UMKM Peningkatan akses pasar dan dukungan untuk partisipasi pameran internasional
1.National SME Development Council (NSDC) 2.Small and Medium Industries Development Corporation (SMIDEC)
1. Jasa 2. Manufaktur 3. Pertanian
Malaysia memiliki SME Masterplan 2020. Target kontribusi: 1. GDP: 41% 2. Pekerja: 62% 3. Exports: 25%
Office of Small and Medium Enterprises Promotion (OSMEP)
1. Perdagangan dan pemeliharaan 2. Jasa 3. Manufaktur
Fokus kebijakan pada: Inovasi dan Teknologi Pengembangan SDM Akses finansial Akses pasar Regulasi dan Peraturan Infrastruktur
Pengembangan SDM Peningkatan inovasi dan IP Peningkatan faktor pendukung (database, marketing, finance) 44
Negara
Singapura
Definisi UMKM atau menengah menurut jumlah pekerja dan aset. Kecil: pekerja 15 orang untuk perdagangan retail s.d. 50 orang untuk sektor lainnya; Aset maksimal 30 juta bath (retail)–50 juta bath (lainnya) Menengah: pekerja 16 orang (retail) s.d. 50 orang (sektor lainnya); Aset 60 juta bath (retail)–200 juta bath (lainnya) Perusahaan dengan penjualan tahunan tidak lebih dari SGD 100 juta (USD 73,53) juta atau jumlah pekerja maksimal 200 orang
Brunai Tidak ada definisi detail Darussalam
Filipina
Mikro: Aset ≤ $67 ribu Kecil: Aset $67 ribu–$333 ribu
Institusi Utama Pemerintah
Sektor Kunci UMKM
Kebijakan Utama UMKM Implementasi dari “Third SME Promotion Master Plan (2012– 2016)
SPRING (di bawah Ministry of Trade and Industry)
1. Ministry of Industry and Primary Resources 2. Brunei Economic Development Board (BEDB) Bureau of Small and Medium Enterprises Development
Hampir seluruh sektor ekonomi (terutama jasa)
1. Perdagangan kecil dan besar 2. Jasa perbaikan
Menyediakan dukungan pada 5 area: Self-help toolkits (customer services, financial management, SDM, marketing, productivity) Innovation & Capability Voucher Insentif pajak Grand & Loan Pengembangan usaha mikro Pengembangan dan Meningkatkan UMKM baru Dukungan untuk internasionalisasi dan komersialisasi MSME Development Plan 2011– 2016: Iklim usaha 45
Negara
Definisi UMKM Medium: Aset ≥ $333 ribu– $2,222 juta Medium: Aset ≥ $2.22 juta
Vietnam
Kategori mikro menggunakan tenaga kerja ≤ 10 orang. Untuk kategori kecil dan menengah terbagi menjadi 3 ukuran UMKM menurut 3 sektor ekonomi: 1. Pertanian, kehutanan, dan kelautan Menengah: pekerja 11– 200 orang; aset ≤ VND 20 milyar Besar: pekerja 201–300; aset ≥ VND 20 milyar– 100 VND milyar 2. Industri dan konstruksi Menengah: pekerja 11– 200 orang; aset ≤ VND 20 milyar Besar: pekerja 201–300; aset ≥ VND 20 milyar– 100 VND milyar 3. Perdagangan dan jasa Menengah: pekerja 11– 50 orang; aset ≤ VND 10 milyar Besar: pekerja 51–100; aset ≥ VND 10 milyar– VND 50 milyar
Institusi Utama Pemerintah (BSMED)
1. Central level: Agency for Enterprise Development 2. Provincial level: Department of Planning and Investment
Sektor Kunci UMKM
Kebijakan Utama UMKM
kendaraan bermotor 3. IT 4. Finansial dan Asuransi Hampir seluruh sektor ekonomi (perdagangan, jasa, manufaktur, konstruksi)
Akses finansial Akses pasar Efisiensi dan Produktivitas Mendirikan SME Development Fund Mempromosikan aplikasi teknologi dan inovasi Menformulasikan inkubator bisnis Merumuskan model dukungan komprehensif untuk UMKM Mendorong industrial cluster dan economic linkage
46
Negara Kamboja
Laos
Myanmar
Definisi UMKM Mikro: pekerja < 10 orang; Aset < $50 ribu Kecil: pekerja 11–50 orang; aset $50 ribu–250 ribu Medium: pekerja 51–100 orang; aset $250 ribu–$500 ribu Kecil: pekerja ≤19 orang; Aset ≤ $ 30.271; turnover/tahun ≤ $48.433 Menengah: >19–99 orang; Aset ≤ $145.300 Salah satu kriteria adalah pekerja: Mikro: pekerja < 10 orang Kecil: pekerja 10–50 orang Medium: pekerja 51–100 orang
Institusi Utama Pemerintah The General Department of Industry (GDI), pada Ministry of Industry, Mines, and Energy
Sektor Kunci UMKM 1. Jasa dan Perdagangan 2. Pemrosesan produk pertanian, manufaktur, dan pertambangan
Department of SME 1. Perdagangan Promotion, Ministry of 2. Jasa Industry and Commerce Industrial Development Committee
1. Pertanian, pertenakan, dan perikanan 2. Manufaktur
Kebijakan Utama UMKM Mengurangi jumlah perizinan UMKM Merumuskan business environment yang kondusif Meningkatan kapasitas SDM dan transfer teknologi Memperbaiki regulasi dan system administrasi kegiatan ekonomi Meningkatkan akses finansial Mendorong pengusaha baru Tidak ada Kebijakan khusus terkait UMKM
Sumber: SME Directory, ASEAN Secretariat (2015) Catatan: Mata Uang dalam USD, kecuali disebutkan lain; konversi nilai tukar tukar berdasarkan data nilai tukar World Bank tahun 2010
47
4.2
Perjanjian Perdagangan Sektor Jasa di ASEAN Di samping kebijakan UMKM di ASEAN yang telah dijelaskan sebelumnya,
ASEAN
juga
memiliki
kerangka
perjanjian
yang
mengatur
perdagangan
antarnegara anggota ASEAN di sektor jasa yang terdapat perlakuan yang berbeda terhadap UMKM. Perjanjian tersebut dinamakan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). AFAS mencakup empat mode perdagangan pada sektor jasa. Mode 1 dan Mode
2 merupakan metode
perdagangan jasa antarnegara tanpa
membentuk badan usaha di negara lain, sedangkan Mode 3 merupakan metode perdagangan jasa dengan membentuk badan usaha di negara lain sehingga mode ini berfokus pada liberalisasi di bidang investasi, tenaga kerja, dan kesamaan hak usaha antara operator jasa domestik dan asing. Mode 4 merupakan mobilitas tenaga kerja asing untuk mendukung keberlangsungan usaha investasi asing. Negosiasi AFAS dimulai sejak tahun 1997 dan target liberalisasi masingmasing mode diharapkan dapat tercapai pada akhir 2015. Untuk perdagangan jasa Mode 1 dan Mode 2, AFAS menargetkan penghilangan semua hambatan perdagangan dan untuk Mode 3 AFAS menargetkan peliberalan kepemilikan asing sebesar maksimal 70 persen atau lebih, sedangkan untuk Mode 4, AFAS belum mempunyai konsensus untuk membawa ke tingkat liberalisasi yang lebih tinggi sehingga saat ini yang terpenting adalah regulasi dalam hal pemberian visa kerja tenaga kerja asing yang terkait dengan investasi asing di suatu negara. Hingga saat ini ASEAN telah mempublikasikan 8 paket AFAS, yaitu paket negosiasi paket ke-8 disetujui pada tahun 2010. Perjanjian AFAS ini tidak hanya memberikan peluang bagi UMKM untuk mengembangkan usahanya di ASEAN, tapi juga menawarkan proteksi bagi UMKM di dalam negeri dari persaingan di kawasan. Proteksi tersebut khususnya terdapat pada Mode 3, baik dari akses pasar (market access), maupun dari kesamaan hak usaha antara operator jasa domestik dan asing (national treatment). Hal itu disebabkan ruang negosiasi yang paling luas pada AFAS terdapat pada Mode 3. Bentuk-bentuk proteksi bagi UMKM tersebut pada umumnya adalah sebagai berikut. Dari market access, misalnya, investor asing harus melakukan joint venture dengan operator lokal, sedangkan dari sisi national treatment, misalnya, terdapat regulasi bahwa operator asing harus melakukan kolaborasi dengan sejumlah operator lokal. Keterangan yang lebih detail atas sektor dan bentuk komitmen yang diidentifikasi memberikan proteksi pada UMKM dapat dilihat pada tabel di Lampiran 1. Bentuk-bentuk proteksi itu memperlihatkan 48
bahwa AFAS mencoba menghambat persaingan langsung antara operator lokal dan asing. Di sisi lain, bentuk komitmen di atas memperlihatkan bahwa AFAS mencoba memfasilitasi kerja sama antarkedua pihak sehingga pada akhirnya terjadi peralihan teknologi atau bahkan informasi untuk mengakses pasar di negara asal operator asing tersebut. Tabel pada Lampiran 1 juga memetakan negara-negara yang cenderung sangat protektif dan yang cenderung terbuka, khususnya jika dilihat dari jumlah sektor dengan komitmen yang berpengaruh terhadap UMKM. Indonesia dan Malaysia merupakan negara yang berkomintmen dalam memberikan proteksi pada UMKM lokal. Terdapat 69 sektor jasa di Indonesia dan 57 sektor di Malaysia, dari total 128 sektor yang dinegosiasikan di AFAS. Sementara itu, negara yang cenderung tidak protektif adalah Myanmar (1 sektor), Kamboja (5 sektor), dan Laos (6 sektor).
4.3
Perjanjian Penanaman Modal (ASEAN Comprehensive Investment Agreement/ACIA) Cetak biru MEA juga memasukkan perjanjian terkait penanaman modal,
ASEAN Comprehensive Agreement (ACIA) yang merupakan konsolidasi dari dua perjanjian investasi di kawasan ASEAN yang telah ada sebelumnya, yaitu Perjanjian Kawasan Investasi ASEAN (AIA, 1998) dan Perjanjian Jaminan Investasi ASEAN (IGA, 1987). Sama halnya dengan AFAS, dalam restriction list ACIA, beberapa negara termasuk Indonesia juga tercantum pengecualian terkait UMKM. ACIA bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai kawasan investasi yang terbuka serta mendukung transparansi dan kompetitif. ACIA tidak hanya mencakup penanaman modal asing langsung (FDI), tetapi juga investasi portofolio. ACIA mencakup sektor industri pengolahan, pertanian, perikanan, kehutanan, penggalian dan pertambangan, serta tambahan sektor lain setelah perjanjian ditandatangani. Liberalisasi penanaman modal di ASEAN bersifat progresif karena secara bertahap sektor-sektor yang terbuka terhadap investasi dari ASEAN semakin meningkat. Bagi sektor-sektor yang telah dibuka dalam ACIA, penanaman modal yang berasal dari negara-negara ASEAN (baik warga negara ASEAN maupun investasi dari entitas bisnis yang berlokasi di ASEAN) berlaku status most favoured nation (MFN), national treatment, dan tidak berlaku persyaratan kinerja bagi 49
penanaman modal. Hal tersebut konsisten dengan persyaratan WTO. Selain itu, ACIA juga menjamin transparansi dan kepastian peraturan, kebijakan, dan prosedur penanaman modal. Namun, pada tahun 2015 ini liberalisasi penanaman modal masih terbatas, seperti yang diperlihatkan oleh panjangnya daftar pembatasan (restriction list) beberapa negara ASEAN (Lampiran 2). ACIA juga memberikan pelindungan bagi investor dan investasi di ASEAN. Pelindungan tersebut berupa kebebasan melakukan transfer dana, pelindungan keamanan, jaminan tidak ada expropriation atau nasionalisasi dengan beberapa pengecualian, yaitu untuk kepentingan publik, nondiskriminatif, kompensasi yang efektif,
dan
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan.
Jika
terjadi
perselisihan antara investor dan salah satu negara ASEAN, ACIA juga memiliki ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism yang terdiri atas beberapa alternatif, seperti mediasi, konsiliasi, negosiasi, pengadilan domestik, dan arbitrase (ICDS, UNCITRAL, dan aturan lain yang disepakati). Dalam
kerangka
ACIA,
negara-negara
ASEAN
bekerja
sama
dalam
mempromosikan kawasan ASEAN sebagai kawasan penanaman modal. Untuk mempromosikan ASEAN sebagai destinasi investasi telah dibuat website investasi ASEAN (http://investasean.asean.org/). ASEAN juga memublikasikan panduan ACIA bagi sektor bisnis (ACIA: A Guidebook for businesses) dan panduan ACIA bagi kantor promosi investasi negara-negara ASEAN (ACIA Handbook for ASEAN Investment Promotion Agencies). Publikasi itu disertai dengan seminar ACIA di Malaysia, Myanmar, dan Filipina. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan pemanfaatan ACIA bagi investor. Promosi investasi ASEAN juga dilakukan melalui kunjungan promosi investasi ke luar kawasan ASEAN. Pada awal tahun 2014 delegasi negara-negara anggota ASEAN secara bersama melakukan promosi investasi ke Kanada. Selain itu, ada pula kegiatan seperti The Annual ASEAN-China Expo dan promosi investasi ASEAN di Australia. Sama halnya dengan AFAS, dalam restriction list ACIA beberapa negara, termasuk Indonesia, juga dicantumkan pengecualian terkait UMKM.
50
V. FAKTOR UTAMA YANG MEMENGARUHI DAYA SAING UMKM
Mengapa kinerja UMKM Indonesia masih relatif berada di bawah UMKM beberapa negara tetangga yang tingkat pembangunan ekonominya relatif sama? Berdasarkan analisis literatur, data sekunder, dan masukan dari beberapa kementerian terkait sebagai pelaksana kebijakan, asosiasi pengusaha, industri perbankan nasional, dan pihak swasta lainnya dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang memengaruhi daya saing UMKM. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup aspek-aspek yang menentukan daya saing perusahaan yang bersifat internal perusahaan seperti produktivitas dan inovasi. Aswicahyono dan Hill (2014) menunjukan bahwa produktivitas tenaga kerja Indonesia memang masih relatif rendah. Beberapa pengusaha dan asosiasi dalam FGD yang diselenggarakan
untuk
keperluan
penulisan
laporan
ini
juga
mengakui
permasalahan tersebut. Hal yang sama terjadi pula pada tingkat inovasi yang masih rendah. Rendahnya tingkat inovasi di Indonesia ditunjukkan oleh peringkat (ranking) indeks inovasi global, Indonesia berada pada posisi 87 dari 143 negara yang disurvei oleh Cornell University, INSEAD, dan WIPO (2014). Pada indeks yang sama, Malaysia dan Singapura masing-masing berada pada posisi 33 dan 7. Indikator lainnya dapat dilihat melalui jumlah neto produk yang tidak lagi diproduksi dan jumlah produk baru dalam perusahaan manufaktur (net add-drop products) yang relatif rendah pada industri manufaktur. Hal itu menunjukkan bahwa meskipun terdapat inovasi, perkembangan dan jumlah produk masih sangat terbatas (Presisi Indonesia, 2015). Beberapa faktor sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas dan inovasi perusahaan, yaitu kualitas sumber daya manusia (human resource), budaya perusahaan, latar belakang pendidikan pemilik dan pekerja, serta karakter pemangku kepentingan dalam perusahaan. Beberapa indikator pemetaan yang ditunjukkan pada Bab 3 mengonfirmasi permasalahan tersebut. Sementara
itu,
berbagai
faktor
eksternal
juga
memengaruhi
dan
mendukung daya saing UMKM. Faktor tersebut, antara lain, adalah kemudahaan berusaha di Indonesia (ease of doing business), akses finansial dan permodalan, akses pasar, infrastruktur, serta kondisi makroekonomi secara umum. 51
Penilaian awal mengenai kebijakan UMKM di Indonesia mengindikasikan bahwa saat ini belum terdapat kebijakan komprehensif yang optimal dalam mendorong atau memperbaiki aspek kinerja UMKM. Kebijakan UMKM yang tersedia saat ini bersifat parsial dan mempunyai keterkaitan yang lemah antara satu kebijakan dan kebijakan yang lain. Pada beberapa kementerian program dan kegiatan
dalam
berkelanjutan
rangka
karena
mendukung
hanya
UMKM
berfokus
pada
bersifat sektor
temporer binaan
dan
dari
tidak
tiap-tiap
kementerian (ERIA, 2014). Bagian selanjutnya akan membahas faktor-faktor internal dan eksternal tersebut secara lebih mendalam.
5.1
Faktor Internal: Produktivitas dan Inovasi Saat ini sumber daya manusia UMKM Indonesia merupakan salah satu
faktor
yang
menghambat
kinerja
UMKM.
Beberapa
aspek
yang
dapat
mencerminkan lemahnya sumber daya manusia di sektor UMKM antara lain adalah sebagai berikut. 1. Penguasaan teknologi yang rendah, terutama untuk usaha mikro dan kecil. Indikator terhadap hal ini dapat dilihat melalui persentase kepemilikan website dan pemanfaatan e-mail pada Gambar 10 dan Gambar 11 di atas. Penggunaan
laman
(website)
dan
pemanfaatan
pos-el
(e-mail)
dapat
meningkatkan efisiensi operasional dan volume penjualan UMKM melalui cakupan pasar yang lebih luas. 2. Kesadaran (Awareness) untuk memperluas jangkauan pemasaran melalui e-commerce. Jangkauan pemasaran dari UMKM mayoritas hanya terbatas pada lingkup domestik pada lingkungan sendiri, yaitu dibatasi oleh daerah dan lingkungan pertemanan atau keluarga. Keterbatasan pada penguasaan teknologi untuk menjangkau lingkungan pembeli potensial yang baru bisa dibantu melalui e-commerce. Hal tersebut sudah dilakukan oleh beberapa website e-commerce yang sudah ada. Banyak produk yang dipasarkan merupakan produk UMKM. Oleh karena itu, pengenalan pada metode ini sangat diperlukan untuk memperluas jangkauan pemasaran produk. 3. Rendahnya kepemilikan sertifikasi internasional atau nasional (SNI). Sertifikasi umumnya terkait dengan proses produksi dan kemasan suatu
52
produk.
Adanya
standardisasi
yang
sesuai
dengan
sertifikasi
dapat
meningkatkan produktivitas dan mendorong inovasi UMKM. Di
samping
itu
terdapat
keterkaitan
keahlian
yang
rendah
antara
kebutuhan (demand) tenaga kerja UMKM dan lulusan (supply) Sekolah Menengah Kejuruan juga masih lemah. Ketidaksesuaian kriteria tenaga kerja banyak dikeluhkan oleh UMKM, terutama yang membutuhkan keahlian khusus untuk menjalankan usahanya. Umumnya, UMKM tersebut harus memberikan pelatihan tersendiri agar lulusan SMK dapat terlibat langsung dalam proses produksi dan operasional perusahaan. Pemberian kurikulum terkait dengan soft-skills juga perlu dilakukan terkait dengan komunikasi langsung dan tidak langsung serta keahlian mengenai strategi pemasaran produk.
5.2
Faktor Eksternal (Faktor Pendukung)
5.2.1 Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) Selain dalam bentuk usaha informal perseorangan, untuk melakukan usaha di Indonesia, UMKM dapat memilih beberapa bentuk badan usaha (legal entity), seperti badan usaha perseorangan, persekutuan komanditer (CV), firma, atau perseroaan terbatas (PT), sebagai contoh, pada umumnya UMKM di Indonesia merupakan usaha atau perusahaan perseorangan dalam bentuk usaha dagang (UD). Namun, mayoritas pemilik UMKM di Indonesia lebih memilih untuk tidak melakukan formalisasi atau legalisasi usahanya. Organisasi yang sederhana, kemudahan dalam menjalankan usaha, dan prosedur perpajakan yang rumit merupakan alasan utama untuk tetap mempertahankan status sebagai usaha informal. Pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. 1.
Banyaknya prosedur dan waktu yang harus dilewati. Berdasarkan World Bank Doing Business 2016, untuk memulai usaha, dari pendirian badan usaha sampai dengan pendaftaran izin operasional (Tanda Daftar Perusahaan dan Surat Izin Usaha Perdagangan), dibutuhkan 13 prosedur dengan total waktu yang diperlukan 46 hari. Hal tersebut tentu saja menjadi penghalang bagi sektor UMKM yang memiliki sumber daya terbatas.
2.
Tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Untuk melakukan reservasi nama perusahaan, pemilik perusahaan harus mengeluarkan Rp200.000,00 yang dibayarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Setelah itu, biaya sebesar Rp1.000.000,00 dan Rp580.000,00 harus dikeluarkan dalam proses validasi 53
perusahaan sebagai badan hukum dan pengumuman dalam Berita Negara. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di luar PNBP terdapat pengeluaran untuk menyewa jasa notaris dalam pendirian perusahaan. 3.
Terbatasnya modal untuk membentuk badan usaha formal. Jika UMKM ingin meningkatkan status menjadi perseroan terbatas (PT), terdapat persyaratan modal dasar minimum sebesar 50 juta rupiah dan persyaratan modal disetor sebesar 25 persen dari modal dasar.
4.
Kekhawatiran terhadap pelaporan dan pembayaran pajak. Dari hasil FGD dan interviu langsung yang sudah dilakukan, banyak pemilik UMKM tidak berkeinginan untuk melegalisasi usahanya karena kewajiban pelaporan pembayaran pajak dan prosedur pembayaran pajak yang rumit. Banyaknya jenis pajak yang harus dibayar juga dianggap dapat menurunkan margin usaha secara signifikan. Meskipun beberapa kementerian telah memfasilitasi pengurusan perizinan, proporsi usaha informal yang berpindah menjadi formal masih rendah.
5.2.2 Akses Permodalan (Access to Finance) Banyak penelitian mengenai UMKM memperlihatkan bahwa dalam memulai usaha, UMKM mengandalkan permodalan sendiri atau dari pinjaman/bantuan orang-orang terdekat mereka. Sumber dana dari eksternal diperlukan ketika UMKM
melakukan
ekspansi.
Sementara
itu,
terdapat
juga
permasalahan
mendasar dalam fasilitasi pembiayaan ekspor. Oleh karena itu, kajian ini mencoba menjelaskan lebih detail kedua faktor tersebut. Perbankan Meskipun perbankan masih merupakan sumber pendanaan yang paling besar, selain kelayakan usaha itu sendiri, banyak persyaratakan dari perbankan yang harus dipenuhi oleh UMKM untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan, terutama terkait aspek prudensial perbankan seperti berikut. 1. Agunan tambahan atas pinjaman yang disalurkan. Jaminan ini dapat berupa aset tetap seperti tanah, bangunan, dan kendaraan atau aset dari usaha itu sendiri, yaitu operating cash flow yang baik.
54
2. Legalitas perusahaan. Aspek ini penting untuk melihat prospek bisnis UMKM dan
kepatuhan
usaha
tersebut
sesuai
dengan
peraturan
perundang-
undangan. Berdasarkan FGD yang kami selenggarakan, ada beberapa hal yang penting untuk dicatat terkait kredit perbankan, yaitu sebagai berikut. 1. Bank-bank hanya dapat menyalurkan pinjaman kepada calon debitor (usaha) yang telah berumur setidaknya 6 bulan. 2. Agunan tambahan tidak menjadi keharusan pada bank yang memiliki skema value
chain
financing
untuk
nasabah
yang
memenuhi
kriteria,
yaitu
merupakan supplier dari perusahaan lain yang lebih besar dan established. Dengan demikian, masalah akses terhadap pendanaan dari perbankan khususnya dihadapi oleh: 1. usaha/pengusaha
yang
tidak
memiliki
jaminan
dan
bukan
supplier
perusahaan yang lebih besar dan established; dan 2. usaha pemula (kurang dari 6 bulan). Saat ini pemerintah juga mempunyai program kredit usaha rakyat (KUR) untuk mendorong penyaluran kredit UMKM tanpa mempersyaratkan jaminan. KUR tersebut disalurkan oleh beberapa bank yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dengan tingkat bunga yang sudah disubsidi, yaitu sebesar 12 persen per tahun. Pemerintah juga memberikan penjaminan sebesar 70%–80% dari kredit yang disalurkan melalui PT Askrindo dan PT Jamkrindo. Walaupun telah tersedia KUR dengan bunga rendah dan dijamin oleh pemerintah, ada beberapa hal yang masih perlu menjadi perhatian terkait pendanaan perbankan, yaitu sebagai berikut. 1. Keterbatasan sumber dana KUR Saat ini sumber dana KUR berasal dari perbankan itu sendiri. Pemerintah hanya menyediakan besaran dana subsidi bunga, yaitu sebesar selisih tingkat bunga kredit umum dikurangi tingkat bunga KUR. Oleh karena itu, kapasitas perbankan menyalurkan KUR bersubsidi dibatasi oleh ketersediaan dana di bankbank pemerintah yang telah ditunjuk.
55
2. Peran swasta dalam penjaminan KUR Keterlibatan pihak swasta dalam guarantee scheme KUR juga sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Perekonomian. Namun, pada penerapannya belum ada perusahaan asuransi swasta yang ikut menjamin KUR akibat masih belum jelasnya petunjuk teknis dari pemerintah. Meskipun begitu, jika kebijakan tersebut efektif, keterbatasan kapasitas penjaminan oleh PT Askrindo dan PT Jamkrindo dapat diatasi. 3. Tidak adanya sistem informasi terpadu UMKM yang dapat diakses setiap bank Sektor perbankan memerlukan data UMKM yang potensial untuk diberi kredit. Namun, saat ini belum ada database (sistem informasi) yang dapat digunakan oleh perbankan sebagai dasar penilaian. Hasil FGD menunjukkan bahwa hanya Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sudah mempunyai database yang cukup besar dan mungkin dijadikan sebagai proyek percontoh (pilot project) pembuatan sistem informasi UMKM.
Pembiayaan Ekspor Terkait dengan pembiayaan ekspor bagi UMKM, instrumen yang tersedia juga masih terbatas. Kredit ekspor yang disalurkan oleh perbankan tidak lebih dari 2 persen. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan satusatunya lembaga pembiayaan, khusus yang mendukung aktivitas ekspor UMKM. Namun, masih terdapat permasalahan mendasar dari LPEI, yaitu sebagai berikut.: 1. Terbatasnya sumber daya LPEI, baik infrastruktur maupun manusia dalam menjangkau UMKM di daerah-daerah potensial. Sampai saat ini, LPEI hanya terdapat di lima kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, dan
Solo).
Untuk
menjangkau
daerah
atau
provinsi
lainnya,
LPEI
menggunakan pihak lain atau lembaga keuangan lain. 2. LPEI mengalami kesulitan untuk memberikan bantuan kepada UMKM yang melakukan aktivitas ekspor. 3. Sumber modal LPEI terbatas pada APBN. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif sumber pembiayaan ekspor dari pihak lain. LPEI, berdasarkan Paket Deregulasi IV, mengemban mandat pembiayaan ekspor UMKM dan modal kerja UMKM yang melakukan aktivitas ekspor. Namun, 56
dari hasil diskusi dengan pihak LPEI, mandat tersebut belum operasional karena belum adanya petunjuk pelaksanaan dari Kementerian Keuangan.
Pembiayaan Lainnya Selain
perbankan,
alternatif
pembiayaan
melalui
lembaga
keuangan
nonbank juga masih perlu ditingkatkan. UMKM di negara lain, seperti Korea Selatan, India, Malaysia, Thailand, dan Cina telah mendapatkan akses ke pasar modal. Dalam rangka memberikan alternatif akses pendanaan bagi UMKM di Indonesia,
Otoritas
Jasa
Keuangan
(OJK)
Indonesia
baru-baru
ini
juga
mengeluarkan kebijakan untuk memfasilitasi akses UMKM ke pasar modal dengan rencana penambahan papan (board) khusus untuk UMKM, selain trading board reguler. Sementara itu, sumber dana dari lembaga keuangan nonbank juga terbatas. Beberapa hal yang membuat lembaga keuangan nonbank kurang berkembang di Indonesia, antara lain, adalah keterbatasan ketersediaan dana dan sistem hukum yang belum mendukung, seperti dasar hukum untuk modal ventura. Crowd funding juga mulai berkembang sebagai alternatif pembiayaan nonbank di Indonesia walaupun masih sangat terbatas. Namun, pertumbuhan crowd funding tidak secepat di Amerika Serikat karena masih kurangnya ‘trust’ antara investor dan debitur serta ketakutan akan penipuan online.
5.2.3 Akses Pasar Kemudahan akses pasar, baik domestik maupun internasional, sangat mendukung peningkatan daya saing UMKM Indonesia. Sehubungan dengan karakteristik UMKM yang lemah dalam pemanfaatan teknologi dan inovasi, lingkup pemasaran produk-produk UMKM di pasar domestik umumnya terbatas berada di wilayah UMKM tersebut dan lingkup pemasaran pun cenderung localized di wilayah tertentu. Dari FGD yang sudah dilakukan, beberapa kementerian teknis sudah melaksanakan program-program yang mendukung aspek pemasaran UMKM di pasar domestik. Misalnya, program yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan seperti pembentukan forum dagang lokal yang berfungsi sebagai penghubung antara UMKM antar daerah, kemitraan UMKM dengan usaha retail modern, dan 57
dukungan untuk mengimplementasikan sistem penjualan secara online melalui ecatalogue atau mengimplementasikan e-marketing. Program-program yang sangat membantu akses pasar UMKM itu sering kali berskala kecil sehingga dampaknya kurang optimal. Tantangan bagi pemerintah adalah membuat program dengan skala yang lebih besar agar berdampak luas. Program-program online seperti ecatalogue dan e-marketing perlu menjadi fokus perhatian. Ketika memasuki pasar global, UMKM pasti memiliki tantangan lain karena melakukan ekspor, tidak semudah dan semurah ketika memasuki pasar domestik akibat faktor risiko dan biaya yang lebih tinggi. Biaya untuk mendapatkan pasar ekspor merupakan sunk cost, yaitu biaya yang harus dikeluarkan tetapi tidak dapat ditarik kembali apabila ekspor tidak terealisasi. Pemerintah melalui Kedutaaan Besar, Atase Perdagangan, dan Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC) telah berusaha mendapatkan informasi dan menyambungkan eksportir dengan pembeli
di
luar
negeri.
Pemerintah
juga
membentuk Direktorat Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional untuk membantu dunia usaha melakukan ekspor. Hanya saja, efektivitas dari program dan kegiatan yang dilakukan lembaga-lembaga
tersebut
sering
kali
belum
maksimal.
Tantangan
bagi
pemerintah adalah bagaimana meningkatkan efektivitas lembaga-lembaga tersebut dalam meningkatkan akses pasar ekspor terhadap pasar-pasar potensial.
5.2.4 Dukungan Infrastruktur Keterbatasan ketersediaan infrastruktur (hard and soft infrastructure) dan kualitas serta mahalnya layanan logistik selama ini menjadi kendala pertumbuhan bisnis secara keseluruhan di Indonesia. Dampak kualitas infrastruktur dan logistik terhadap biaya transaksi UMKM akan lebih besar daripada usaha besar karena skala transaksi bisnis UMKM relatif lebih kecil. Berdasarkan
World
Competitiveness
Report
(2015–2016),
terkait
ketersediaan infrastruktur, indeks kualitas diukur dengan mempertimbangkan infrastruktur transportasi, listrik dan telepon (fixed line dan selular), Indonesia berada pada peringkat 62. Peringkat tersebut masih lebih rendah daripada Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing menduduki peringkat 2, 24, dan 44. Demikian juga kualitas logistik Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam (Tabel 9).
58
Tabel 9. Kualitas Logistik dan Infrastruktur di ASEAN Logistics Performance Index 2014* No.
Country
1-5 (worst to best)
Infrastructure Index (2015-2016)**
Score
Rank
Score
Rank
1
Brunei Darussalam
2
Cambodia
2,74
83
3,2
101
3
Indonesia
3,08
53
4,2
62
4
Lao PDR
2,39
131
3,2
98
5
Malaysia
3,59
25
5,5
24
6
Myanmar
2,25
145
2,1
134
7
Philippines
3,00
57
3,4
90
8
Singapore
4,00
5
6,5
2
9
Thailand
3,43
35
3,7
82
10
Vietnam
3,15
48
3,8
76
Sumber: *Logistic Performance Index Report 2014; ** Global Competitiveness Report 2015– 2016
Biaya logistik Indonesia masih sekitar 27 persen dari PDB, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang hanya dalam rentang 8 persen hingga 20 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Terkait dengan kualitas telekomunikasi secara keseluruhan (termasuk sambungan internet dan broadband access), Indonesia juga berada di bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia (Tabel 10).
Tabel 10. Indikator Akses terhadap Telekomunikasi di ASEAN Telecommunication Infrastructure Index (2014)
No.
Country
Fixed-telephone subscription Score
1
Brunei Darussalam
2
Cambodia
438.100
3
Indonesia
29.637.557
4
Lao PDR
920.756
48.249
per 10 inhabitants
Mobile-cellular telephone subscription Score
per 100 inhabitants
Fixed-broadband subscription Score
per 100 inhabitants
Individual using internet Score
11,40
465.767
110,06
30.259
7,15
68.77
2,84
23.900.000
155,11
31.900
0,21
9.00
11,72 319.000.000
126,18
3.009.185
1,19
17.14
66,99
11.287
0,16
14.26
13,36
4.618.586
59
Tabel 10. (lanjutan) Telecommunication Infrastructure Index (2014)
No.
Country
Fixed-telephone subscription Score
Mobile-cellular telephone subscription
Fixed-broadband subscription
Individual using internet
Score
per 100 inhabitants
Score
per 100 inhabitants
14,61
44.928.600
148,83
3.061.000
10,14
67.50
0,98
26.575.713
49,47
143.600
0,27
2.10
111,22 23.241.748
23,22
39.69
per 10 inhabitants
Score
5
Malaysia
4.410.200
6
Myanmar
526.792
7
Philippines
3.093.236
8
Singapore
1.959.800
35,52
8.724.200
158,13
1.533.000
27,79
82.00
9
Thailand
5.690.000
8,46
97.096.000
144,44
5.517.442
8,21
34.89
10 Vietnam
5.562.200
6,01 136.148.124
147,11
6.000.527
6,48
48.31
3,09 111.326.045
Sumber: World Telecommunication/ICT Indicators database 2015
Lebih lanjut, Indonesia belum mempunyai klaster industri yang secara efektif bisa bersinergi dengan strategi pengembangan UMKM. Pengembangan klaster tersebut perlu mencontoh kebijakan yang diterapkan di negara lain, bahkan perlu didukung dengan infrastruktur dan fasilitas yang memadai. Dukungan yang berupa peraturan, regulasi, atau dukungan dari lembaga yang secara efektif mengimplementasikan klaster tersebut merupakan prasyarat untuk menyinergikan UMKM dengan industri skala yang lebih besar. Pemerintah dapat memfokuskan pada pengembangan klaster industri yang sudah ada untuk meningkatkan daya saing UMKM daripada mengembangkan klaster industri baru. Untuk meningkatkan probabilitas keberhasilan, pemerintah perlu melihat industri yang berpotensi meningkatkan peran UMKM dalam proses produksi industri besar. Klaster industri besar yang sudah ada, seperti industri otomotif dan perkapalan di daerah Bekasi-Cikarang, Batam, dan Surabaya dapat dijadikan model untuk pengembangan klaster tersebut. Model pengembangan klaster industri di Indonesia saat ini lebih menitikberatkan pada Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone) dengan memprioritaskan perusahaan besar. Hal tersebut tetap perlu dilakukan secara simultan karena berpotensi untuk meningkatkan GVC sektor UMKM pada masa yang akan datang.
60
5.2.5 Siklus Bisnis Dampak dari krisis keuangan yang masih dirasakan sampai saat ini adalah turunnya permintaan global. Dampak tersebut juga dirasakan oleh Indonesia dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012. Pada kuartal ketiga tahun 2015 pertumbuhan ekonomi hanya 4,73 persen (Gambar 19).
Sumber: BPS dan IMF (2015)
Gambar 19. Pertumbuhan Ekonomi dan PDB Per Kapita Tahun 2010–2014
Pertumbuhan yang tidak optimal, terutama dalam masa 5 tahun terakhir ini, antara lain, disebabkan oleh berbagai faktor domestik, seperti rendahnya tingkat ketersediaan infrastruktur dan faktor eksternal, seperti rendahnya pertumbuhan ekonomi global dan memburuknya harga komoditas ekspor Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, yang turun dari 5,4 persen pada tahun 2010 menjadi 3,4 persen pada tahun 2014 serta masih akan dirasakan
pada
tahun
2015.
Hal
itu
disebabkan
IMF
memproyeksikan
pertumbuhan ekonomi tahun 2015 adalah 3,1 persen.
61
Tabel 11. Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN Negara
2010
2011
2012
2013
2014
Average
Brunei Darussalam
3
4
1
-2
-2
0,6
Filipina
8
4
7
7
6
6,2
Indonesia
6
6
6
6
5
5,8
Kamboja
6
7
7
7
7
7,0
Laos
8
8
8
8
8
7,9
Malaysia
7
5
6
5
6
5,8
Myanmar
10
6
7
8
9
7,9
Singapore
15
6
3
4
3
6,4
Thailand
8
1
7
3
1
3,9
Vietnam
6
6
5
5
6
5,9
Sumber: ADB, 2015
Pertumbuhan nasional dan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat tersebut dipastikan juga memengaruhi kinerja UMKM, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di semua negara ASEAN. Siklus bisnis yang sedang tidak baik itu dapat dimanfaatkan untuk mempersiapkan diri menghadapi perbaikan ekonomi pada masa yang akan datang.
62
VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI: STRATEGI MENINGKATKAN DAYA SAING UMKM INDONESIA
Pendekatan pemerintah terhadap pengembangan UMKM lebih mengarah pada kesejahteraan sosial dengan mengedepankan tujuan keadilan sosial serta keseimbangan pembangunan antara kota dan desa serta antardaerah. UMKM dipandang sebagai entitas yang vulnerable sehingga perlu dilindungi. Akibatnya, banyak kebijakan dan program yang disusun dan diimplementasikan tidak berdasarkan orientasi bisnis, tetapi lebih bersifat sosial. Pendekatan sosial tidak akan menghasilkan UMKM Indonesia yang berdaya saing. Pemerintah perlu mengubah cara pandang terhadap UMKM sebagai sumber pertumbuhan yang potensial, bukan entitas bisnis yang tidak dapat bersaing sehingga perlu dilindungi secara masif. Karena pengalaman dan skala usahanya, UMKM tidak akan dapat bersaing dengan perusahaan sejenis yang lebih besar dan lebih berpengalaman. Namun, UMKM bukan social charity object melainkan cikal bakal usaha yang besar yang juga kompetitif. Dengan demikian, perlakuan terhadap
UMKM
harus
berbeda,
yaitu
mengedepankan
fasilitasi
untuk
mendapatkan akses yang lebih baik, terhadap input, pendanaan, dan pasar. Beberapa hal yang menjadi penghambat pertumbuhan UMKM Indonesia telah dibahas pada bagian sebelumnya, yang dikelompokan ke dalam dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Berdasarkan evaluasi kami terhadap faktor-faktor tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kinerja UMKM Indonesia, yang akan dibahas lebih detail pada bagian ini.
6.1 Faktor Internal (Produktivitas dan Inovasi) Apabila dibandingkan dengan negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, terlihat bahwa produktivitas UMKM Indonesia masih relatif lebih rendah. Studi ini juga memberikan indikasi tingkat inovasi yang rendah, yang juga didukung oleh hasil studi Presisi Indonesia pada tahun 2015. Perbaikan pada tingkat
pendidikan
dan
keahlian
manajerial
sangat
berpengaruh
dalam
peningkatan produktivitas UMKM. Pendidikan dalam hal ini meliputi pendidikan formal dan nonformal yang dapat meningkatkan keahlian pekerja UMKM.
63
Sementara itu, keahlian manajerial sangat penting agar sumber daya yang dimiliki dapat dimanfaatkan dengan efisien dan juga membantu untuk meningkatkan skala usaha. Di samping itu, keterkaitan keahlian yang rendah antara kebutuhan (demand) tenaga kerja UMKM dan lulusan (supply) Sekolah Menengah Kejuruan juga masih lemah. Hal itu banyak dikeluhkan oleh UMKM yang membutuhkan keahlian khusus untuk menjalankan usahanya. Umumnya, UMKM tersebut harus memberikan pelatihan tersendiri agar lulusan SMK dapat terlibat langsung dalam proses produksi dan operasional perusahaan. Keahlian soft-skills perlu masuk ke dalam
kurikulum
SMK
untuk
memperluas
wawasan
dan
meningkatkan
kemampuan komunikasi dan pemasaran. Pada tahun anggaran 2016, pemerintah, khususnya Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mengalokasikan 50 persen dari anggaran Kementerian
untuk pengembangan
sumber daya manusia. Dalam rangka
meningkatkan efektivitas program peningkatan SDM, evaluasi dan kesinambungan program perlu dilakukan dan diperhatikan. Berdasarkan FGD dengan pemangku kepentingan terlihat bahwa pelatihan mengenai entrepreneurship, pencatatan laporan keuangan, dan kemampuan berbahasa Inggris dapat menjadi prioritas dalam program tersebut karena berdasarkan hasil FGD ditemukan bahwa banyak UMKM yang belum memiliki kemampuan dasar itu. Demikian juga halnya dengan pelatihan, khususnya basic skills dalam era digital ini, pelatihan terhadap kemampuan dasar perlu dilakukan secara berkelanjutan sehingga UMKM dapat memaksimalkan penggunaan e-commerce yang berkembang pesat saat ini. Pelatihan tersebut dapat dilakukan melalui Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD) dengan menyesuaikan kebutuhan UMKM di daerah masing-masing. Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi mengenai manfaat penggunaan e-commerce bagi UMKM sebagai alternatif memperluas jangkauan pemasaran produknya. Fasilitasi pertemuan antara pemilik website e-commerce dan UMKM oleh pemerintah akan membantu terlaksananya program tersebut. Dari hasil FGD, pendampingan terhadap usaha mikro dan kecil sangat dibutuhkan agar pengoperasionalan usaha dapat berjalan dengan efisien dan produktivitasnya meningkat. Beberapa bank dan yayasan yang secara khusus menyalurkan kredit usaha mikro dan melakukan pendampingan usaha mikro sebagai bentuk CSR (corporate social responsibility) perusahaan mengakui bahwa pemberian kredit dan/atau bantuan keuangan bagi usaha mikro dan kecil akan 64
lebih baik bagi pertumbuhan usaha tersebut apabila ada pendampingan. Hal itu disebabkan usaha/pengusaha mikro dan kecil mendapatkan bantuan mencari solusi apabila ada masalah yang dihadapi dalam berusaha, misalnya membuat business plan ketika mengajukan pinjaman ke bank, membuat laporan keuangan, memahami kontrak sederhana, dan melakukan ekspor. Hal lain yang juga dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah fasilitasi pertemuan dan diskusi antara UMKM dan pengajar SMK untuk memastikan bahwa kurikulum SMK telah memasukkan keahlian yang diperlukan UMKM dalam proses produksinya dan UMKM dapat menyerap siswa lulusan SMK yang sesuai dengan kebutuhannya. Yang tak kalah pentingnya adalah fasilitasi pengurusan standar dan sertifikasi yang diperlukan oleh UMKM dalam rangka memasuki pasar ekspor. Pengetahuan tentang standar di negara yang dituju serta biaya pengurusan standar dan sertifikasi relatif mahal apabila ditanggung oleh usaha mikro dan kecil secara sendiri-sendiri dan biaya itu bersifat sunk cost sehingga apabila pemerintah dapat memfasilitasi UMKKM maka akan menurunkan biaya transaksi UMKM dan meningkatkan probabilitias perusahaan untuk melakukan ekspor. Apabila bercermin pada temuan ERIA (2014) bahwa koordinasi dan mismatch antara pelatihan yang dibutuhkan dan pelatihan yang diberikan sering terjadi.
Kementerian
Koperasi
dan
UMKM
perlu
meningkatkan
efektivitas
koordinasi antarlembaga dalam pemberian pelatihan serta pengembangan sumber daya manusia UMKM secara umum serta melakukan pemonitoran dan evaluasi atas program pengembangan SDM yang dilakukan untuk menjaga kesinambungan program, efektivitas, dan efisiensinya.
6.2 Faktor Eksternal Ease of Doing Business Bahwa UMKM enggan untuk menjadi badan usaha formal merupakan masalah
yang
perlu
diprioritaskan
untuk
diperhatikan
oleh
pemerintah.
Berdasarkan studi empiris dan pengalaman negara lain, aspek legalitas sangat membantu dalam mengakses sumber dana eksternal. Oleh karena itu, pengurusan perizinan bagi UMKM perlu dipermudah dan tidak dipungut biaya (cost free). Pemberian akses dan fasilitas khusus bagi UMKM untuk pengurusan perizinan di seluruh Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di seluruh Indonesia perlu diinisiasi 65
oleh pemerintah. Namun, fasilitas tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain, seperti kemudahan dan insentif pajak agar UMKM terdorong untuk menjadi badan usaha formal. Dalam mengatasi hal itu, pemerintah perlu melakukan terobosan seperti pembebasan terhadap pajak penghasilan (PPh) badan selama awal usaha. Bagi UMKM yang telah berdiri lebih dari dua tahun, pemberian insentif atau pengurangan pajak penghasilan untuk jangka waktu tertentu yang disertai pendampingan compliance pajak dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan daya saing UMKM. Kemudahan dan insentif perpajakan seperti itu diharapkan dapat mendorong meningkatnya legalisasi entitas UMKM Pemerintah juga perlu memperlakukan secara khusus sektor UMKM terkait proses dan jumlah biaya yang harus dikeluarkan dalam proses legalisasi tersebut. Pemerintah dapat memberikan fasilitas pendaftaran izin investasi yang memotong jumlah prosedur dan mengurangi jumlah hari yang dibutuhkan bagi UMKM tertentu. PNBP untuk UMKM, terutama usaha kecil, juga dapat dikurangi untuk meningkatkan jumlah UMKM yang sudah mempunyai badan hukum. Ke depan, persyaratan modal dasar dan modal disetor di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) juga perlu direvisi untuk mengurangi hambatan permodalan.
Akses Permodalan Program KUR yang sudah dijalankan oleh pemerintah merupakan fasilitas yang signifikan untuk membantu akses modal UMKM. Namun, berdasarkan pengalaman bank-bank yang menyalurkan kredit mikro, pendampingan sangat diperlukan
oleh
penerima
KUR
sehingga
pemanfaatan
KUR
lebih
efektif.
Terbatasnya kemampuan perbankan menyalurkan kredit perlu ditopang dengan membuka akses pasar modal bagi UMKM serta menghilangkan hambatan terhadap berkembangnya lembaga keuangan nonbank, seperti modal ventura dan crowdfunding.
World Bank (2006) menyatakan bahwa modal ventura kurang
berkembang disebabkan oleh iklim usaha yang kurang kondusif dan modal dalam negeri yang terbatas di samping keengganan pemilik untuk berbagi kontrol dengan pihak luar. ADB (2014) juga menunjukkan bahwa beberapa hambatan terhadap kurang berkembangnya crowd funding antara lain adalah belum adanya perangkat hukum dan aturan yang jelas mengenai crowd funding ini serta keamanan investasi serta keraguan akibat banyaknya penipuan online.
66
Akses Pasar Seperti yang telah dijelaskan pada Bab 5, pemerintah telah memfasilitasi UMKM untuk mendapatkan pasar di dalam negeri. Namun, skala bantuan yang dapat diberikan sangat terbatas. Pemerintah perlu mengunakan metode-metode baru yang inovatif untuk membantu UMKM mendapatkan pasar sehingga dengan anggaran yang sama akan lebih banyak UMKM yang dapat difasilitasi. Misalnya, bersinergi dengan pemerintah daerah (cost-sharing) serta menggiatkan e-catalogue serta promosi online lainnya. Dalam hal fasilitasi promosi ke pasar internasional, pemerintah juga perlu lebih meningkatkan peran perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai market intelligent untuk mendapatkan informasi terkait pasar potensial (potensi demand, hambatan perdagangan, termasuk standar dan sertifikasi yang diperlukan, serta prosedur untuk masuk ke negara tersebut). Di samping itu, kerja sama yang baik dengan kementerian teknis diperlukan untuk match-making informasi dari market intelligent
mengenai pasar potensial
dengan
kemampuan produsen untuk
memenuhi pasar tersebut, termasuk fasilitasi untuk mendapatkan sertifikasi dan pengurusan standar sehingga dapat diterima di pasar tujuan.
Partisipasi UMKM dalam Global Value Chain. Strategi ini sudah diterapkan oleh negara-negara ASEAN lain dan dapat dilaksanakan
di
Indonesia.
Peningkatan
keterkaitan
UMKM
dalam
GVC
memberikan manfaat yang besar bagi UMKM itu dalam hal peningkatan kualitas dan inovasi produk, sumber daya manusia, dan terutama penjualan. Sektor lain juga dapat merasakan dampaknya akibat dari spillover economic effect. Seperti halnya dalam peningkatan akses pasar domestik, langkah awal yang harus dilakukan adalah tersedianya pendanaan untuk mendukung strategi tersebut. Public Investment, baik dari pemerintah atau pihak lain, diperlukan untuk melakukan implementasi kebijakan yang dapat meningkatan linkage UMKM di GVC. Program atau kebijakan tersebut antara lain adalah: 1. pemetaan (mapping) terhadap kapasitas dari UMKM yang dapat menjadi pemasok dalam jaringan produksi global; dan 2. pemetaan (mapping) terhadap kebutuhan bahan baku (input) dalam proses produksi UMKM skala menengah dan perusahaan besar (multinasional). 67
Pemetaan di atas perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan keterlibatan UMKM dalam GVC. Sementara itu, untuk meningkatkan akses pasar bagi UMKM yang telah melakukan ekspor secara langsung, pemerintah dapat mendukung dalam hal penyediaan informasi terkait dengan pasar tujuan ekspor. Informasi tersebut menjadi hasil market intelligence terhadap negara tujuan ekspor dan bertujuan untuk menggali potensi peningkatan penjualan bagi produk yang sudah diekspor atau bagi produk baru yang potensial dijual di negara tersebut. Informasi di dalam market intelligence dapat meliputi sektor ekonomi kunci, daya beli masyarakat, serta struktur ekspor dan impor negara yang dijadikan target.
Infrastruktur Perbaikan infrastruktur yang sedang dilakukan pemerintah Joko Widodo sangat ditunggu-tunggu dalam mengatasi bottleneck pertumbuhan ekonomi Indonesia. Demikian juga upaya dalam menurunkan dwelling time di pelabuhan dan biaya logistik secara keseluruhan. Diharapkan 3–5 tahun mendatang, dampak dari investasi infrastruktur dan logistik tersebut akan menurunkan biaya transaksi secara umum sehingga dengan sendirinya akan menurunkan biaya transaksi UMKM Indonesia. Pembentukkan klaster industri spesifik untuk UMKM secara signifikan dapat
memperbaiki
daya
saing
dan
meningkatkan
pertumbuhan
UMKM.
Infrastruktur tersebut juga dapat meningkatkan peran UMKM dalam GVC melalui keterkaitan UMKM dengan perusahaan besar. Infrastruktur fisik dan fasilitas yang terintegrasi untuk investasi, perdagangan, dan proses manufaktur dapat menarik perusahaan besar. Sementara itu, fasilitas kemudahan one-stop services bagi UMKM memberikan insentif untuk menempati area tersebut. Integrasi tersebut secara tidak langsung dapat menjadi pendorong untuk memperbaiki kualitas produk dan kapasitas sumber daya manusia UMKM. Pengembangan infrastruktur nonfisik pada klaster tersebut juga perlu dikembangkan oleh pemerintah. Fasilitasi dialog dan komunikasi di dalam klaster, antara perusahaan besar dan UMKM merupakan
faktor
penting
lainnya
untuk
meningkatkan
efisiensi
dan
menyelaraskan kualitas dan standar produk UMKM yang dibutuhkan oleh perusahaan besar.
68
Siklus Bisnis Idealnya kondisi bisnis yang lesu ini dimanfaatkan oleh UMKM dan kementrian pembina UMKM untuk meningkatkan produktivitas dan keahlian pelaku UMKM (seperti yang dipaparkan pada bagian 5.1) sehingga pada saat permintaan mulai naik, UMKM Indonesia telah memiliki daya saing yang lebih baik. Strategi-strategi jangka pendek untuk meredam laju pelemahan penjualan tetap perlu dilakukan, seperti melakukan diversifikasi pasar tujuan penjualan ekspor dan mencari peluang dan mengintensifkan kerja sama yang telah ada dengan perusahaan multinasional.
6.3 Rekomendasi Pengembangan
UMKM
merupakan
bagian
yang
terintegrasi
dalam
penyatuan ekonomi di antara negara-negara anggota ASEAN. Berbagai inisiatif kerja sama untuk peningkatan kinerja UMKM tetap perlu dilakukan meskipun Indonesia terlambat atau belum optimal memanfaatkan inisiatif tersebut, terutama dalam implementasi kebijakan dalam negeri. Secara
umum
kinerja
UMKM
Indonesia
masih
relatif
rendah
jika
dibandingkan dengan negara-negara dengan tingkat pembangunan yang relatif sama, terutama dari segi produktivitas, kontribusi terhadap ekspor, partisipasi dalam jaringan produksi global dan regional, serta kontribusi terhadap nilai tambah. Beberapa studi menunjukan bahwa kemampuan UMKM bersaing di era global tergantung pada beberapa hal, yaitu faktor internal seperti skala usaha, stakeholders personality, latar belakang pendidikan dan budaya perusahaan yang dapat dicerminkan dari tingkat produktivitas dan inovasi dari perusahaan tersebut, serta faktor eksternal yaitu faktor-faktor di luar perusahaan seperti akses terhadap permodalan dan lingkungan kebijakan. Untuk meningkatkan daya saing UKM Indonesia secara umum dan meningkatkan partisipasi UMKM dalam GVC, faktor-faktor yang menentukan daya saing UMKM serta tingkat partisipasi dalam GVC perlu menjadi perhatian pemerintah. Beberapa faktor yang
menentukan daya saing UMKM dapat
dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup aspek-aspek yang dapat meningkatkan produktivitas UMKM Indonesia, yaitu sumber daya manusia (human resource), strategi 69
pemasaran, dan inovasi. Sementara itu, faktor eksternal merupakan berbagai aspek di luar UMKM yang dapat memengaruhi dan mendukung daya saing UMKM. Faktor tersebut adalah kemudahaan berusaha di Indonesia (ease of doing business), akses finansial dan permodalan, akses pasar, infrastruktur, dan kondisi makroekonomi. Beberapa studi yang mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait UMKM memperlihatkan bahwa pendekatan yang selama ini diambil pemerintah lebih bersifat kesejahteraan sosial dari pada pendekatan bisnis. Kebijakan tersebut belum mampu membuat UMKM Indonesia berdaya saing lebih tinggi. Diperlukan paradigma berpikir yang berbeda dalam membuat kebijakan terkait UMKM, dari pelindungan yang berlebihan menjadi fasilitasi untuk mendapatkan akses. Untuk berkembang, UMKM memerlukan akses, baik terhadap input yang murah dan mudah (raw materials, sumber daya manusia, dan barang modal), dukungan keuangan atau pasar untuk produk/jasa yang dihasilkan. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberikan fasilitasi tersebut, baik dalam peningkatan
produktivitas
dan
inovasi, memberikan
kemudahan berusaha, akses keuangan, serta akses pasar, baik lokal maupun global. Kondisi pasar dunia dan regional yang sedang melemah hendaknya disikapi sebagai peluang untuk meningkatkan kemampuan UMKM Indonesia. Kajian ini lebih berfokus pada kebijakan pada sektor UMKM yang perlu diterapkan oleh pemerintah ke depan berdasarkan metode policy gap analysis. Untuk kajian selanjutnya, metode atau analisis empiris perlu dilakukan agar analisis terhadap kinerja, isu, dan permasalahan UMKM dapat dilakukan secara lebih terukur. Selain itu, ketersediaan data dan analisis secara sektoral juga diperlukan dalam rangka penyusunan kebijakan yang tepat untuk sektor yang memiliki karakteristik berbeda. Lebih lanjut, kajian mengenai efektivitas atas implementasi kebijakan yang telah dilakukan dalam mendorong pengembangan UMKM perlu terus dilakukan untuk perbaikan ke depan. Cakupan kajian di atas memerlukan tersedianya data UMKM secara detail, akurat, terkini, dan tersedia secara series. Untuk itu, ketersediaan data UMKM pada masa yang akan datang menjadi agenda yang penting untuk dilakukan.
70
Tabel 12. Strategi Meningkatkan Daya Saing UMKM Indonesia Faktor yang Mempengaruhi No. Daya Saing UMKM 1.
Sumber daya manusia (produktivitas dan inovasi)
Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing UMKM a. Memberikan pelatihan, khususnya tentang basic skills dalam era digital yang berkembang pesat saat ini dan entrepreneurship skills agar operasional usaha bisa efisien. Pelatihan dimaksud dapat dilakukan melalui Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD). b. Memberikan pendampingan bagi setiap UMKM agar operasional usaha dapat berjalan dengan efisien dan produktivitasnya meningkat. c. Memfasilitasi pertemuan dan diskusi antara UMKM dan pengajar SMK untuk memastikan bahwa kurikulum SMK telah memasukkan keahlian yang diperlukan UMKM dalam proses produksinya dan UMKM dapat menyerap siswa lulusan SMK yang sesuai dengan kebutuhannya. d. Sosialisasi manfaat penggunaan e-commerce dalam memperluas jangkauan pemasaran. Sosialisasi ini perlu didampingi oleh fasilitasi pertemuan pemilik ecommerce dengan UMKM. e. Memberikan pelatihan, khususnya tentang basic skills dalam era digital ini, sehingga UMKM dapat memaksimalkan e-commerce yang berkembang pesat saat ini. Pelatihan dimaksud dapat dilakukan melalui Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD). f. Memfasilitasi pertemuan langsung antara Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan UMKM yang belum mempunyai SNI.
2.
Kemudahan Berusaha
a. Fasilitas perizinan investasi untuk UMKM potensial (a fast-track investment licenses): Mengurangi prosedur dan jangka waktu pengurusan perizinan. b. Mengurangi tarif PNBP untuk UMKM dalam proses pendirian badan usaha c. Revisi UU PT untuk mengurangi persyaratan modal dasar dan modal disetor untuk UMKM d. Pemberian insentif atau pengurangan pajak penghasilan dalam jangka waktu tertentu
3.
Akses permodalan
a. Menganjurkan bank-bank yang menyalurkan kredit mikro untuk melakukan pendampingan yang efektif b. Meneliti strategi untuk meningkatkan peran modal ventura dalam pembiayaan e. Meneliti faktor-faktor yang dapat mendukung pertumbuah crowd funding 71
Tabel 12. (lanjutan) Faktor yang Mempengaruhi No. Daya Saing UMKM 4.
Akses pasar
Strategi untuk Meningkatkan Daya Saing UMKM Pasar Domestik a. Perluasan forum dagang lokal atau pembentukan forum dagang nasional bagi sektor UMKM b. Mendorong kerja sama antara retail modern dengan UMKM c. E-commerce: membentuk platform e-catalogue dan memperluas implementasi e-marketing Pasar Internasional a. Pemetaan (mapping) kapasitas dari UMKM yang menjadi pemasok (supplier) b. Pemetaan mMapping) terhadap kebutuhan bahan baku (input) dalam proses produksi UMKM skala menengah dan perusahaan besar (multinational). c. Informasi pasar negara tujuan ekspor (market intelligence)
5.
Infrastruktur, logistik dan telekomunikasi
a. Meningkatkan ketersediaan dan kualitas infrastruktur fisik (jalan, jembatan, pelabuhan) b. Implementasi klaster industri (industrial cluster) percontohan bagi UMKM beserta fasilitasnya c. Meningkatkan ketersediaan energy d. Meningkatkan jangkauan dan kualitas infrastruktur telekomunikasi, khususnya internet cepat yang dibutuhkan untuk bisnis di era digital, termasuk keterkaitan dalam GVC.
6.
Siklus bisnis
a. Diversifikasi pasar (dalam negeri dan luar negeri) b. Menurutkan biaya produksi c. Meningkatkan produktivitas d. Meningkatkan akses UMKM terhadap informasi mengenai inovasi-inovasi baru e. Meningkatkan kegiatan-kegiatan yang dapat menstimulasi inovasi baru (workshop, interaksi dengan universitas dan kunjungan ke perusahaan sejenis yang inovatif di negara lain)
72
REFERENSI Abonyi, G. (2005). ‘Transformation of Global Production, Trade and Investment: Global Value Chains and International Production Networks’, paper presented to the Expert Group Meeting on SMEs’ Participation in Global and Regional Supply Chains. UNESCAP, Bangkok, November. Agbola, R. M. (2013). Does total quality management affect the performance of small and medium enterprises? A case of manufacturing industry in Ghana. World Applied Sciences Journal, 01-09(28). Anton, S. A., Muzakan, I., Muhammad, W. F., Syamsudin, & Sidiq, N. P. (2015). An assessment of SME Competitiveness in Indonesia. Journal of Competitiveness, 7(2), 60-74. Arudchelvan, M., & Wignaraja, G. (2015). SME internationalization through Global Value Chains and Free Trade Agreements: Malaysian Evidence. ADBI Working Papers. Asian Development Bank (2014). Asia SME Finance Monitor 2014. Mandaluyong City: ADB. Asian Development Bank Institute (2015). Integrating SMEs into global value chains: Challenges and policy actions in Asia. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank. Aswicahyono, H. & Hill, H. (2014). Survey of Recent Developments. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 50, No. 3, pp. 319-346. Aswicahyono, H. & Hill, H. (2014b). Does Indonesia have Competitiveness Problems? Unpublished Paper Allen, B., Johnson, K., Baldwin, K., Blair, C., Cantrell, R., Fravel, D., Gearheart, W. U.S - Korea free trade agreement: effects on U.S small and medium-sized enterprises USITC Publication 4393. Washington DC: U.S International Trade Commission. Broughton, A. (2011). SMEs in the crisis: Employment, industrial relations and local partnerships. Dublin, Ireland: European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions. Cheong, I. (2014). Korea's policy package for enhancing its FTA. ERIA Discussion Paper, 11, 28. Nicolescu, O. (2009). Main features of SMEs organization system. Review of International Comperative Management, 10(3), 9. OECD. (2000). Local partnership, clusters, and SME globalization. Paper presented at the Conference for Ministers responsible for SMEs and Industry Ministers, Bologna, Italy. Tambunan, T., & Chandra, A. C. (2014). Utilization Rate of Free Trade Agreements (FTAs) by Local Micro-, Small-, and Medium-Sized Enterprises: A Story of ASEAN. Journal of International Business and Economics, 2, 34. USITC. (2010). Small and medium-sized enterprises: characteristics and performance Investigation Paper. Washington DC: U.S International Trade Commission. Presisi Indonesia (2015). Innovation Driven Businesses in Bandung, report for EUIndonesia TCF 73
World Economic Forum (2015). The Global Competitiveness Report 2015-2016. WEF: Geneva. Wignaraja, G., Jinjarak, Y. (2015). Why do SMEs not borrow more from banks? Evidence from the People's Republic of China and Southeast Asia. ADBI Working Paper 509. Yuhua, Z., & Bayhaqi, A. (2013). SME's participation in global production chains: APEC. Yuhua, Z., dan Bayhaqi, A. (2013). SME's Participation in Global Production Chains. APEC: Singapore. Zhan, J. (2013). Public-Private Sector Partnerships to promote SME participation in Global Value Chains. Paper presented at the Expert meeting on assessing the impact of Public-Private Partnerships on trade and development in developing countries, Geneve.
74
LAMPIRAN Lampiran 1. Ringkasan Sektor dengan Komitmen di AFAS 8 yang Memproteksi UMKM
No.
Negara
1
Brunei Darussalam
2
Kamboja
Jumlah Sektor dengan Komitmen yang Berpengaruh pada UMKM
Sektor atau Subsektor
Komentar
16
Komunikasi; lingkungan; pendidikan; turisme & jasa lainnya terkait travel; rekreasional, budaya, & olahraga
Karakter komitmennya adalah ketentuan joint-venture dengan porsi kepemilikan investor asing terbatas
5
Kesehatan; turisme & jasa terkait travel lainnya; jasa pendukung semua mode transportasi
Myanmar sangat terbuka dan hanya terdapat beberapa ketentuan berbentuk joint-venture Disamping ketentuan joint-venture, terdapat beberapa ketentuan yang secara eksplisit menyebut UMKM:
3
Indonesia
69
Jasa profesional; komputer & jasa terkait; R&D; jasa penyewaan & leasing tanpa operator; jasa bisnis lainnya; komunikasi; konstruksi & jasa terkait; distribusi; pendidikan; lingkungan; kesehatan; jasa sosial; hotel & restoran; turisme & transportasi
1. Jasa perdagangan besar (wholesale) (national treatment): bekerjasama dengan 100 UMKM sebagai supplier dan retailer, dan memberikan pelatihan yang saling menguntungkan kedua belah pihak 2. Jasa penjualan langsung (national treatment): wajib memasarkan produk buatan lokal dan bergabung dengan asosiasi industri sejenis 3. Jasa penginapan (motel) (national treatment): di kawasan Indonesia Timur, joint-venture dengan UMKM local diperbolehkan dengan porsi asing 75
No.
Negara
Jumlah Sektor dengan Komitmen yang Berpengaruh pada UMKM
Sektor atau Subsektor
Komentar maksimum 70 persen. Pada area selain itu tertutup untuk asing. 4. Jasa operator penginapan internasional (national treatment): wajib berbentuk jointventure dengan UMKM lokal. 5. Jasa organizer kongres profesional (national treatment): hanya terbuka di kawasan Indonesia Timur dan berbentuk joint-venture dengan UMKM local. Selain kawasan itu, tertutup untuk asing.
4
Laos
6
Jasa profesional; kesehatan; agen travel & tur; jasa penyewaan & leasing tanpa operator
Laos sangat terbuka dan hanya terdapat beberapa ketentuan berbentuk joint-venture dan pada jasa akuntansi dan audit terdapat ketentuan pelatihan karyawan lokal
Jasa profesional; jasa penyewaan & leasing; konstruksi; jasa distribusi; pendidikan; lingkungan; kesehatan; turisme & jasa terkait travel lainnya; jasa literature; transportasi; jasa pendukung semua mode transportasi; jasa pelatihan
Karakter komitmennya adalah ketentuan joint-venture dengan porsi kepemilikan investor asing terbatas
Jasa audiovisual
Myanmar sangat terbuka dan hanya terdapat 1 ketentuan berbentuk jointventure
Jasa profesional; R&D; jasa
Karakter komitmennya adalah ketentuan
5
Malaysia
57
6
Myanmar
1
7
Filipina
27
76
No.
Negara
Jumlah Sektor dengan Komitmen yang Berpengaruh pada UMKM
Sektor atau Subsektor penyewaan & leasing tanpa operator; jasa bisnis lainnya; jasa pos; telekomunikasi; jasa audiovisual
8
Singapura
14
Jasa profesional; jasa penyewaan & leasing tanpa operator; telekomunikasi; kesehatan; jasa sosial; turisme & jasa terkait travel lainnya; jasa transportasi maritim Jasa profesional; komunikasi; pendidikan; kesehatan; jasa sosial;
9
10
Thailand
Vietnam
21
13
Professional services, turisme & jasa terkait travel lainnya; jasa transportasi darat Jasa bisnis lainnya; jasa komunikasi; jasa rekreasional, budaya, & olahraga; jasa transportasi; jasa pendukung semua mode transportasi
Komentar joint-venture dengan porsi kepemilikan investor asing terbatas, tapi untuk jasa teknik mekanik dalam bentuk alih teknologi Karakter komitmennya adalah ketentuan joint-venture dengan porsi kepemilikan investor asing terbatas
Disamping ketentuan tentang joint-venture, terdapat ketentuan pembatasan jumlah pekerja asing yang bisa menjabat di jajaran direksi Disamping ketentuan tentang joint-venture, terdapat ketentuan-ketentuan yang ambigu dan berpotensi memproteksi pasar dalam negeri
77
Lampiran 2. ACIA Reservation List No.
Negara
Reservation List Terkait UKM Sektor UKM
1
Indonesia
Tertutup Untuk Investasi Asing
Terbuka dengan keharusan untuk Partnership dengan UKM
Keterangan
Dalam reservation list Indonesia dijelaskan bahwa National Treatment dan SMBD tidak berlaku untuk semua peraturan dalam rangka perlakukan khusus bagi UMKM 1. Sektor Perikanan
2. Manufaktur
Investor asing dilarang untuk melakukan usaha di sektor perikanan tradisional atau menjadi Pembudi DayaIkan Kecil4 seperti yang diatur dalam UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan dan PERMEN No. 12 tahun 2009 terkait penangkapan ikan 1. Pemanisan dan pengawetan buah-buahan dan sayuran (ISIC1513) 2. Industri Batik (ISIC 1712) 3. Industri Pengolahan dan pengawetan rotan, bambu dan bahan sejenis (ISIC 2010) 4. Industri kayu Mangrove (ISIC
Kemitraan dengan UMKM berarti kerjasama UMKM dengan investor asing yang dapat berupa: jointoperation (plasmacore), subcontracting,
Pembudi Daya-Ikan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari 4
78
No.
Negara
Reservation List Terkait UKM Sektor UKM
Tertutup Untuk Investasi Asing
Terbuka dengan keharusan untuk Partnership dengan UKM 2022 dan ISIC 2029) 5. Industri Minyak Atsiri (ISIC 2429) 6. Bahan bangunan: (ISIC 2691; ISIC 2693)
Keterangan franchise, distributorship, general trading, joint venture and outsourcing.
7. Barang yang terbuat dari industri semen (ISIC 2695) 8. Industri kapur dan produk yang terbuat dari kapur (ISIC 2694) 9. Industri Perhiasan dan artikel terkait (ISIC 3691) 10. Industri kapal kayu termasuk alat dan peralatan untuk wisata bahari dan perikanan (ISIC 3511) 11. industri mesin pertanian (ISIC 2921) 12. Industri multi-aneka kerajinan: 13. Daur ulang barang-barang bukan logam (ISIC 3720) 14. paku, mur dan baut industri, komponen dan suku cadang untuk industri motor, pompa dan industri kompresor (ISIC 2899,2911, 2912, 3591, 3592) 15. Industri Pengolahan Susu bubuk dan susu kental (ISIC 1520) 79
No.
Negara
Reservation List Terkait UKM Sektor UKM
Tertutup Untuk Investasi Asing
Terbuka dengan keharusan untuk Partnership dengan UKM
Keterangan
16. Industri Usaha Pengolahan Hasil Perikanan - UPI (ISIC 1512) 3. Pertanian
1. pengeringan tembakau dan industri pengolahan awal ( ISIC 0111 ) 2.
peternakan ulat sutra dan lebah (ISIC 0122)
Kemitraan dengan UMKM berarti kerjasama UMKM dengan investor asing yang dapat berupa: jointoperation (plasmacore), subcontracting, franchise, distributorship, general trading, joint venture and outsourcing.
4. Jasa terkait pertanian
Perkebunan (CPC 88110): peramalan hama (penyakit dan serangga) peramalan , kontrol dan sewa peralatan
Pertanian (CPC 88110) tanaman pangan: persiapan lahan/tanah, panen , perontokan , Unit penggilingan padi (untuk ditempatkan di luar Pulau Jawa); Pengendalian hama Hortikultura (penyakit & serangga);
Ternak (CPC 88110) rumah
Kemitraan dengan UMKM berarti kerjasama UMKM dengan investor asing yang dapat berupa: jointoperation (plasmacore), subcontracting, franchise, distributorship, general trading, joint 80
No.
Negara
Reservation List Terkait UKM Sektor UKM
Tertutup Untuk Investasi Asing
Terbuka dengan keharusan untuk Partnership dengan UKM pemotongan ternak/poultry; Pengolahan Daging/penjagalan
5. Kehutanan
Keterangan venture and outsourcing.
Rencana Kawasan Perkebunan (CPC 88.110): Persiapan lahan/ tanah; Perencanaan dan Survey Landscape; pemuliaan tanaman/transplantasi dan pembibitan
Pengolahan Rotan, Bambu, Aquilaria malaccensis (gaharu) (ISIC 0200)
Kemitraan dengan UMKM berarti kerjasama UMKM dengan investor asing yang dapat berupa: jointoperation (plasmacore), subcontracting, franchise, distributorship, general trading, joint venture and outsourcing.
2
Filipina
1. National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk semua undang-undang yang terkait dengan UKM domestik 2. Kepemilikan asing maksimal 40% untuk usaha dengan modal disetor ≤200.000 USD 3. Directors obligation tidak berlaku untuk undang-undang yang berkaitan dengan eksplorasi, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral. Ini mencakup namun tidak terbatas pada 81
No.
Negara
Reservation List Terkait UKM Sektor UKM
Tertutup Untuk Investasi Asing
Terbuka dengan keharusan untuk Partnership dengan UKM
Keterangan
larangan saham asing dipertambangan skala kecil dan pembatasan saham asing di kegiatan pertambangan lainnya 3
Thailand
National treatment tidak berlaku untuk semua undang-undang yang terkait dengan UKM: Untuk ilustrasi misalnya, UKM domestik Thailand dapat diberikan prioritas untuk akses tanah dan sumber daya air di wilayah yang ditetapkan, dan partisipasi asing tidak diperbolehkan dalam usaha skala kecil/ aquaculture
4
Vietnam
National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk semua undang-undang yang terkait dengan perlakuan khusus yang diberikan kepada UKM
Sumber: Reservation List masing-masing negara
82
No.
Negara
1
Brunei Darussalam
Daftar Negatif Investasi
Semua PMA di sektor industri pengolahan dan pertanian dan jasa yang terkait didalamnya yang menggunakan lahan pemerintah harus menyertakan setidaknya 30% kepemilikan lokal.
Kecuali logging dan penggergajian kayu, semua PMA di sektor kehutanan dan jasa yang terkait didalamnya harus menyertakan setidaknya 30% kepemilikan lokal.
2
Kamboja
Peraturan terkait Investasi 1. Pada tahun 2013 meluncurkan Onebiz sebagai single online window perijinan usaha.
2. Pada tahun 2011, melakukan amandemen terhadap UU perusahaan. National treament tidak berlaku untuk peraturan lainnya terkait UU yang baru aktivitas perikanan termasuk di zona ekonomi eksklusif. Semua PMA di mensyaratkan bahwa sektor ini yang menggunakan lahan pemerintah harus menyertakan salah satu direktur dari setidaknya 30% kepemilikan lokal. badan usaha dengan 2 National treatment tidak berlaku kepada aktivitas yang menggunakan direktur atau minimal 2 sumber daya alam. Bisa termasuk pembatasan dalam pemberian ijin orang direktur dari badan dan kuota. usaha dengan lebih dari 2 direktur harus National treatment tidak berlaku kepada aktivitas sektor gas dan berkewarganegaraan perminyakan Brunei. National treatment tidak berlaku kepada aktivitas penggalian dan pertambangan. Kepemilikan asing akan dipertimbangkan per kasus. National treatment dan senior management board of directors obligations 1. Pada 4 april 2011 tidak berlaku industri pengolahan narkotika dan jenis psikotropika, mengeluarkan Instructive dan produksi bahan kimia berbahaya, dan pestisida pertanian. Industri Circular No. 365 terkait tersebut tertutup untuk penanaman modal asing. prosedur aplikasi untuk perpanjangan, National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk kebijakan yang pembekuan,penghentian terkait pembatasan/regulasi terhadap industri kehutanan dan industri investasi perusahaan. terkait kehutanan 2. 4 Maret 2011, Prakas No. National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk kebijakan yang 242 mengenai prosedur terkait industri penggalian termasuk penggalian pasir dan aktivitas pelaksanaan UU terkait pertambangan minyak dan gas yang dilaksanakan di Kamboja. Seluruh operasional pabrik dan pengolahan pasir untuk ekspor luar negeri dilarang dan ditutup. kerajinan. 83
No. 3
Negara Laos
Daftar Negatif Investasi
Peraturan terkait Investasi
Industri berikut hanya terbuka untuk penanaman modal dari warga 1 Maret 2011, Kebijakan negara Laos: Presiden tentang tarif baru pajak keuntungan, pajak 1. Produksi, pengolahan, pengawetan daging dan produk daging (sapi, pendapatan badan, pajak babi, domba, kuda) penghasilan individu. 2. Pengolahan dan pembekuan ikan Berdasarkan peraturan ini pajak keuntungan 3. Pengolahan sayur dan buah-buahan diturunkan dari 35% menjadi 4. Pengolahan minyak hewani dan nabati 28 persen. 5. Manufaktur boneka dan mainan 6. Industri alat musik tradisional 7. Industri kain tradisional 8. Pengolahan veneer seet, plywood, papan laminasi, particle board, 9. Pengolahan pestisida 10. Pengolahan es dan es krim 11. Penggilingan 12. Tepung dan produk tepung 13. Bahan makanan 14. Produk roti 15. Produk mie lokal 16. Minuman non alkohol, soft drink, dan air minum 17. Penampungan guano 18. Budi daya ikan di sungai Mekong dan daerah Laos hanya boleh diusahakan perusahaan 100% lokal. PMA tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan aktivitas perikanan untuk tujuan komersial.
4
Indonesia
Manufaktur yang tertutup untuk PMA:
1. BKPM (Badan Koordinasi 84
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi 1. Perikanan tradisional dan seluruh aktivitas perikanan yang diatur oleh otoritas kebijakan terkait 2. Pengasinan/pengeringan ikan dan biota laut lainnya dan industri pengasapan ikan 3. Industri pengolahan karet 4. Industri alat kerajinan Manual atau alat setengah mekanik untuk pekerjaan tangan dan pemotong 5. Industri kebutuhan rumah tangga dari tanah liat terutama tembikar 6. Industri Kerajinan yang mengandung aset budaya tertentu; nilai seni yang menggunakan bahan alami atau buatan buatan; industri bordir; rotan dan industri anyaman bambu; anyaman dari tanaman lain 7. Industri rotan dan bambu 8. Industri peralatan tangan yang dibutuhkan untuk pertanian, untuk mempersiapkan lahan, proses produksi, pasca panen dan pengolahan kecuali cangkul dan sekop 9. Gula Aren 10. Olahan makanan dari biji dan umbi, sagu , kacang melinjo dan industri kopra, industri kecap, makanan yang terbuat dari kedelai dan kacang selain kecap, tempe, industri tahu, kerupuk, keripik, kerupuk kacang, dan sejenisnya 11. Industri penggergajian 12. Industri rotan Primer 13. Industri peralatan dapur 14. Industri rajut terutama kain renda 15. Industri percetakan kain terutama Batik dan pola tradisional
Peraturan terkait Investasi Penanaman Modal) meluncurkan Online Tracking System (OTS) untuk Pendaftaran Penanaman Modal, Izin Prinsip, Izin Usaha, dan Surat Persetujuan Pembebasan Bea Masuk Bahan Baku dan Barang Modal. 2. Perpres No. 39/2014 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. 3. Keharusan untuk perusahaan tambang untuk menjual produksinya di pasar domestik dalam jumlah tertentu. 4. PP No.94/2010 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang memberikan kewenangan bagi Kemenkeu untuk memberikan tax holiday 85
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi 16. Industri Serat dan Kapas
Peraturan terkait Investasi ke investor baru di industri dan lokasi tertentu.
Tertutup ke investor asing-Pengolahan dengan basis kontrak atau sewa 1. Pengalengan Buah dan sayuran, Pelumatan, jus dan paste 2. Es krim 3. Pati singkong 4. Pengolahan dan pengawetan daging 5. Industri pengolahan ikan dan pengalengan 6. Pembekuan untuk industri ikan dan sejenisnya 7. Margarin 8. Minyak goreng 9. industri Susu 10. Industri makanan dari susu 11. Tepung sagu 12. Industri Pakan ikan 13. Industri Pakan ikan/konsentrat 14. Macaroni, mie, spaghetti, industri bihun dan sejenisnya 15. Industri tembakau 16. Industri produk kulit 17. Industri kayu dan produk kayu dan gabus, kecuali mebel ; pembuatan artikel jerami dan bahan anyaman 18. Industri bahan kimia dan produk kimia, 19. Industri furnitur- industri mebel kayu, termasuk finishing dan design 86
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi
Peraturan terkait Investasi
mebel bambu dan rotan Sektor kehutanan, penggalian penanaman modal asing:
dan
pertambangan
tertutup
untuk
1. Eksploitasi tanaman hutan lainnya selain kayu, aren, kemiri, biji asam, bahan baku arang, kayu manis , dll. 2. Eksploitasi sarang walet alam 3. industri primer hasil hutan selain kayu 4. Restorasi ekosistem Hutan 5. Eksploitasi sumber daya air di kawasan hutan 6. Kontraktor di bidang pemotongan kayu 7. Ekstraksi Pasir Pantai 8. Jasa pembotolan dan Pengisingan Liquefied Petroleum Gas ( LPG ) 5
Malaysia
Manufaktur yang tertutup untuk investasi asing: 1. Penyulingan Gula 2. Minuman keras dan minuman beralkohol
Sejak tahun 2012, pemerintah Malaysia telah meliberalisasi 15 sub sektor jasa.
3. Pengolahan tembakau dan rokok 4. Penggulungan baja dan kawat 5. Cakram optik, termasuk CD, CD-ROM, VCD, DVD 6. Biodiesel 7. Pengumpulan, penyimpanan, pengolahan dan pembuangan limbah berbahaya dan beracun 8. Semen OPC (non-terpadu) 87
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi
Peraturan terkait Investasi
9. Perikanan Tangkap Perikanan, Kehutanan, dan Pertambangan & Penggalian: 1. Perlakuan Nasional tidak berlaku untuk setiap aktivitas yang berkaitan dengan perikanan tuna atau yang berkaitan dengan hutan tanaman 2. kapal-kapal nelayan asing tidak diperbolehkan untuk menangkap ikan atau percobaan menangkap ikan atau melakukan riset atau survei di Zona Ekonomi Eksklusif Malaysia 3. Ekstraksi dan pemanenan kayu dan jasa yang terkait dengan itu ditutup untuk investor asing di Semenanjung Malaysia dan Sabah. 4. PETRONAS diberi hak eksklusif, kekuasaan, kebebasan dan hak untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, menangani dan memperoleh minyak bumi, di darat atau lepas pantai Malaysia. 5.
6
Myanmar
Perlakuan Nasional dan SMBD bisa tidak berlaku untuk setiap tindakan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan dan penggalian. Joint venture dengan negara atau BUMN terkait bisa diperlukan.
Tidak ada izin baru yang dikeluarkan untuk investor : 1. Distilasi, pencampuran, perbaikan,pembotolan dan pemasaran semua jenis sprits, minuman dan non - minuman 2.
Industri anggur, malt dan malt minuman keras, bir dan produk pembuatan bir lainnya
3. Industri minuman ringan , produk aerasi dan non - aerasi 4. Industri rokok 5. Industri gulungan lembaran besi galvanis 6. Industri produk roti
Pada 27 Januari 2011, pemerintah mengeluarkan UU zona ekonomi khusus, dimana terdapat 24 zona pengembangan. UU ini mengatur tentang dasar hukum, pembetukan struktur perusahaan, manfaat khusus bagi investor, penggunaan lahan, manajemen keuangan dan bank, asuransi usaha, dan persyaratan terkait 88
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi 7. Industri pulp, kertas dan kertas karton
Peraturan terkait Investasi tenaga kerja.
Hanya diperbolehkan untuk perusahaan milik negara : 1. Industri obat farmasi dan jasa terkait 2. Operasi kegiatan kilang minyak dan penyulingan . 3. Produksi dan ekstraksi kayu dari hutan alam Hanya diperbolehkan untuk Pemerintah : 1. Penerbitan Surat Kabar dan usaha terkait 2. Reproduksi media rekaman 3. Eksplorasi dan ekstraksi dan jasa yang berkaitan dengan gas alam dan minyak bumi Tertutup untuk orang asing 1. Pencarian, eksplorasi dan pertambangan batu permata 7
Filipina
National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk:
1.
Executive Order(EO) No. 29 tahun 2011 terkait ‘open skies policy’ yang semakin meliberalisasi jasa penerbangan.
2.
Penyederhanaan perijinan dan memperkenalkan registrasi online Business Name Registration System (BNRS)
1. Industri petasan dan perangkat piroteknik lainnya 2. Industri senjata dan bahan peledak 3. Industri obat berbahaya 4. Industri besi dan baja 5. Pembentukan, instalasi, penambahan dan pengelolaan kayu atau pabrik pengolahan hasil hutan 6. Ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial, peningkatan pendapatan dan profitabilitas, daya saing global dan keberlanjutan 7. Pemanfaatan, eksploitasi, pekerjaan, kepemilikan, atau melakukan aktivitas apapun dalam setiap lahan hutan dan penggembalaan, tetapi
89
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi
Peraturan terkait Investasi
modal asing hanya diperbolehkan hingga 40%, dengan persetujuan pemerintah 8. Eksplorasi, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral - ini harus mencakup -namun tidak terbatas pada- larangan modal asing di industri kecil pertambangan dan pembatasan modal asing di aktivitas pertambangan lainnya 9. Warisan Nasional dan hak-hak masyarakat adat budaya sesuai dengan pembangunan nasional. 8
Singapura
1. National treatment dan SMBD tidak berlaku untuk pengolahan, pemanfaatan, penjualan, pergudangan, transportasi, impor, ekspor dan kepemilikan Industri senjata dan bahan peledak . 2. National treatment tidak berlaku untuk pembuatan : Beer dan gemuk , cerutu dan rokok, dan permen karet Produk dari baja Korek api dan petasan Compact disk, digital video 3. National treatment tidak berlaku untuk ternak babi, penggalian, dan penerbitan dan percetakan koran
9
Thailand
1. Tertutup untuk orang asing: Industri gula dari tebu 2. Asing tidak diizinkan untuk memiliki penyertaan modal 50% atau lebih dari modal terdaftar. Percetakan koran
1. Review UU perusahaan 2. Pada 1 Juli 2012 mengeluarkan UU Transaksi Elektronik sehingga sejalan dengan perkembangan internasional, fasilitasi layanan e-Government yang lebih efektif, dan meningkatkan netralitas teknologi. 3. Mempersiapkan Regulasi pajak baru untuk pembiayaan syariah. 1. Pemerintah mengurangi pajak badab usaha dari 23 persen pada tahun 2012 menjadi 20% pada tahun 2013. 2. Menyusun insentif pajak untuk perusahaan yang menjadikan Thailand 90
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi Ekstraksi bumbu Thailand Membuat atau casting gambar Buddha dan mangkuk sedekah biarawan
Peraturan terkait Investasi sebagai Regional Operating Headquarters
pertanian padi, pertanian atau perkebunan Peternakan Hewan Kehutanan dan fabrikasi kayu dari hutan alam Perikanan untuk hewan air di perairan Thailand dan dalam zona ekonomi eksklusif Thailand Budidaya tanaman dan propagasi termasuk propagasi buatan dan transplantasi, dan pemuliaan 3. Lebih dari 50% dari penyertaan modal Thai diperlukan, tetapi orang asing diperbolehkan untuk memperoleh 50% atau lebih dari subjek modal terdaftar dengan kondisi: kayu berukir benang sutra Thailand, tenun sutra Thailand atau pencetakan pola sutra Thailand alat musik Thai perlengkapan Emas, perak, nielloware, barang perunggu atau alat lacquer Peralatannya seni dan budaya Thailand Fabrikasi Kayu untuk mebel dan perkakas produksi Penggilingan beras Plywood, papan veneer, chipboard atau hardboard Jeruk nipis 91
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi
Peraturan terkait Investasi
Budidaya ulat dan jasa yang terkait dengan budidaya ulat Pertanian garam, termasuk garam bawah tanah dan layanan yang terkait dengan itu 10
Vietnam
Perhutanan dari hutan tanaman
Tidak ada lisensi investasi yang akan dikeluarkan untuk investor asing di sektor berikut: 1.
Produksi: Petasan termasuk kembang api dan lentera bahan peledak Semua penerbitan produk dan percetakan - buku, brosur, buku musik, surat kabar, jurnal dan majalah, media rekaman Rokok dan cerutu, minuman beralkohol dan minuman ringan, dan produksi tembakau Kaca konstruksi, batu bata tanah liat, peralatan produksi semen, dan pambakaran batu bata dan ubin Tabung Fluorescent dan lampu Kapal kargo 10000DWT; kontainer di bawah 800 kapal TEU; kapal kecil dan berpenumpang kurang dari 500 penumpang Gula tebu Budidaya, memproduksi atau memproses tanaman langka atau berharga; pembibitan atau peternakan dari hewan langka/berharga; dan pengolahan tanaman/hewan langka termasuk hewan liar (termasuk hewan yang hidup dan materi yang diambil dari hewan)
2.
Jasa yang berkaitan dengan:
1. Vietnam mengeluarkan Keputusan 57/2012 / NDCP yang (i) menentukan sistem keuangan bagi lembaga dan cabang bank asing yang didirikan, terorganisir, dan dioperasikan di bawah UU Lembaga Kredit; dan (ii) memperkenalkan prinsipprinsip baru lembaga manajemen keuangan di lembaga kredit, 2.
Vietnam meliberalisasi pendidikan dan pelatihan kejuruan dan mengeluarkan Keputusan 73/2012 / ND-CP yang menentukan ketentuan kerjasama luar negeri dan investasi termasuk pelatihan bersama, pembentukan lembagalembaga pendidikan dengan modal asing, dan pembentukan kantor perwakilan pendidikan 92
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi Memproduksi gas industri seperti oxy, nitro, CO2 (padat atau cair) soda kaustik NaOH (cair), insektisida dan cat yang umum digunakan Pengolahan susu, produksi tebu, bir dan minuman pengolahan, produk tembakau
Peraturan terkait Investasi asing di doemstik 3. Vietnam merelaksasi pelaksanaan Economic Need Test (ENT) untuk pembentukan outlet ritel dari perusahaan asing.
Pemancingan di air tawar, perikanan laut, eksploitasi karang dan mutiara alami dan jasa yang berkaitan dengan produksi jaring ikan 4. UU Pajak Sumber Daya Alam diberlakukan. Pajak dan benang untuk perikanan, memperbaiki dan memelihara kapal ini berlaku untuk proyeknelayan, memanfaatkan perikanan air tawar, dan kontrol kualitas proyek investasi baru pada dari budidaya dan pengolahan produk tanggal 1 Juli 2010. 3. Pertambangan dan Penggalian: Jasa yang terkait dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk produksi Jasa yang terkait dengan pengujian, menyesuaikan, memperbaiki dan mempertahankan ukuran industri dan peralatan kontrol untuk sektor minyak dan gas Jasa gudang minyak dan gas dan persediaan Katering dan jasa penunjang termasuk makanan dan bahan makanan, air bersih dan sayur untuk fasilitas konstruksi lepas pantai Jasa pasokan Tenaga Kerja termasuk tenaga profesional, keterampilan dan pelatihan bahasa asing untuk tenaga kerja yang akan dikirim ke negara-negara asing, jasa penandatanganan kontrak tenaga kerja dengan perusahaan asing Jasa yang berhubungan dengan pengolahan gas Jasa yang terkait dengan pengeboran geologi dan eksplorasi Penilaian risiko, termasuk bidang survei, pengumpulan data, 93
No.
Negara
Daftar Negatif Investasi
Peraturan terkait Investasi
penggunaan software khusus pada penilaian dampak frekuensi dan kepekaan, pengusulan langkah-langkah mitigasi Jasa Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
94
Lampiran 3. World Bank Enterprise Survey
Enterprise Survey merupakan survei pada tingkat perusahaan yang diselenggarakan oleh Wold Bank Group.
Sejak tahun 2002 Wold Bank telah
melakukan survei terhadap 130.000 perusahaan di 135 perekonomian yang respondennya
adalah
pemilik
atau
top
manager
perusahaan.
Survei
itu
mengumpulkan informasi terkait iklim usaha, termasuk di dalamnya akses terhadap pembiayaan, korupsi, infrastruktur, kriminalitas, persaingan usaha, dan kinerja perusahaan. Perusahaan yang diwawancara adalah perusahaan swasta yang berada pada sektor industri pengolahan dan jasa. Perusahaan dengan kepemilikan 100 persen pemerintah tidak dimasukkan sebagai responden. Klasifikasi survei didasarkan pada tiga kriteria, yaitu ukuran perusahaan, sektor usaha, dan wilayah geografis di negara yang disurvei. Ukuran perusahaan yang digunakan dalam survei ini menggunakan indikator tenaga kerja, perusahaan dengan 5–19 orang tenaga kerja (perusahaan kecil); perusahaan dengan 20–99 orang tenaga kerja (perusahaan menengah); dan perusahaan dengan lebih dari 100 orang tenaga kerja (perusahaan besar) (http://www.enterprisesurveys.org/methodology). Sayangnya World Bank Enterprise Survey tidak diselenggarakan pada tahun yang sama untuk semua negera seperti hal-nya survei Ease of Doing Business ataupun Logistic Performance Survey sehingga perbandingan yang setara sulit dilakukan.
95