Masyhud
PEMBACAAN EPISTEMOLOGI ILMU TAFSIR KLASIK
Muhamad Ali Mustofa Kamal
Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ), Wonosobo, Jawa Tengah Email:
[email protected] HP: 085225080126
Abstrak Penelitian ini menitikberatkan pada persoalan rekonstruksi epistemologi penafsiran ilmu tafsir klasik dengan menawarkan model kajian pemetaan karya penafsiran klasik. Metode penelitian yang digunakan adalah berbasis literer dengan pendekatan eksploratif—kualitatif. Epistemologi penafsiran pada masa awal (klasik) hanya mengandalkan aspek riwayat sejak zaman Nabi-sahabattabi’in dan generasi sebelum era kontemporer yang lebih mengedepankan validitas tafsir pada aspek naql riwayat ketimbang aql (ra’yu). Rekonstruksi metodologis pada setiap masa perjalanan tafsir selalu dilingkupi oleh situasi dan kondisi yang berada di sekitar mufassir. Metode pun akan terus berkembang dengan berbedanya cara pandang satu mufassir dalam melihat kondisi dan situasi dengan mufassir lainnya. Tafsir akan terus bergerak selama keilmuan itu sendiri masih terus bergerak serta kebudayan manusia tidak jalan di tempat. This study focuses on the question of the reconstruction of the epistemological interpretation of classical exegesis by offering model mapping study of classical interpretation. The method used is based literary exploratory-qualitative approach. Epistemology of classical interpretation rely solely on aspects of history since the time of the Prophet, his tabi’in and generations before the contemporary era that emphasizes the validity of the interpretation of history rather than on naql aspects than aql aspects (ra’yu). The Reconstruction for methodological interpretation at all times would be covered by the circumstances that surround the commentators. The method will continue to grow with different perspectives of the commentators in the condition and situation with other commentators. Interpretation will continue to move as long as science itself is constantly moving and human culture is not going nowhere. Kata Kunci: penafsiran, al-Qur’an klasik, mufassir, epistemologi, periode penafsiran, rekontruksi
A. Pendahuluan pistemologi Islam menelaah pengetahuan menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, serta kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi yang telah terbukti keabsahannya. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi), paradigma epistemologi positivistik telah mengakar kuat selama berpuluh-puluh tahun, hingga akhirnya setelah sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini muncul perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan sebagai bentuk upaya pendobrakan atas teori-teori
E
Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
67
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
yang lama.1 Dalam konteks al-Qur’an, dinamika kajian ilmu al-Qur’an-ilmu tafsir semakin hari dihadapkan pada problematika umat Islam dan tuntutan zaman yang semakin kompleks. Pendekatan dari teks menuju konteks adalah sebuah kebutuhan untuk mendialogkan al-Qur’an mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern. Berbagai issu-issu penting kaum muslim adalah bagaimana di era modern ini mampu mendialogkan al-Qur’an untuk menjawab tuntutan kebutuhan zaman.2 Pemahaman terhadap al-Qur’an di era kontemporer sekarang ini memerlukan model, teori dan metodologi baru dalam melakukan pembacaan dan penafsiran yang dinamis terhadap problematika zaman untuk mengusung semangat al-Qur’an yang shalihun fi kulli zaman wa makan.3 Keinginan umat Islam untuk mendialogkan al-Qur’an sebagai teks yang terbatas dengan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian tafsir al-Qur’an.4 Jika berbicara persoalan penafsiran al-Qur’an, maka yang menjadi problem utamanya adalah bagaimana memberi makna terhadap teks (nas}) masa lalu yang kita baca. Apakah seorang mufassir hanya sekaedar memahaminya sebagai bentuk pengulangan (repetitif) atas produksi makna di masa lalu (tafsir awal) ketika tafsir dimunculkan atau mengambil posisi untuk senantiasa kreatif dan konstruktif terhadap produksi makna yang baru sesuai dengan episteme dan kebutuhan dan tuntutan zaman modern? Pergeseran paradigma (shifting paradigm), sebagaimana konsep Thomas Kuhn,5 dapat diadopsi dalam ranah penafsiran al-Qur’an yang senantiasa berkembang sehingga teori-teori penafsiran lama perlu direkonstruksi kembali menjadi teori penafsiran yang responsif terhadap kebutuhan zaman. Perlunya berbagai metode, sumber penafsiran dan berbagai pendekatan yang kontemporer agar menghasilkan validitas penafsiran yang kontekstual terhadap problematika umat adalah sebuah realitas yang menjadi kebutuhan. Disinilah pencerahan kajian ilmu tafsir dari perspektif epistemologi akan memberikan konsep baru dalam melakukan pembacaan terhadap alQur’an untuk umat Islam sekarang dan mendatang. Penelitian ini menitikberatkan pada persoalan rekonstruksi epistemologi penafsiran ilmu tafsir klasik dengan menawarkan model analisis kajian pemetaan karya penafsiran klasik. Metode penelitian yang digunakan adalah berbasis literer dengan pendekatan eksploratif—kualitatif. Sumber data primer diperoleh dari sumber literature kitab tafsir klasik dan karya-karya pemikiran tafsir klasik. Analisis data dan penyimpulannya menggunakan metode verstehen (pemahaman) yaitu dengan menelaah kembali teks-teks dan sumber model penafsiran yang ada dengan memahaminya sebagai sebuah konsep yang menyeluruh (holistic).
1
Pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan positivistik ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti: Thomas Kuhn, Stepehen Toulmin, serta Imre Lakatos. Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model-model terdahulu adalah adanya perhatian besar terhadap sejarah ilmu dan peranan ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengonstruksikan bentuk ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi.
2
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: towards a contemporary approach. London & New York: Routledge, 2006, hlm. 8. Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirahlm. Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1992, hlm. 33 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS, 2010, hlm.1 Lihat Thomas S.Kuhn,The Structure of Scientific Revolutions, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970), hlm.
3
4 5
10; download buku pdf dari http://turkpsikiyatri.org/arsiv/kuhn-ssr-2nded.pdf
68 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
Muhamad Ali Mustofa Kamal
B. Epistemologi Ilmu Tafsir Pada Masa Awal (Klasik) 1.
Epistemologi tafsir pada era Nabi Saw
Khazanah intelektual Islam memiliki sejarah yang sangat panjang dan berkaitan erat dengan berbagai situasi dan kondisi yang berada di sekitarnya. Tafsir, yang merupakan salah satu kekayaan intelektual Islam, mulai mencatatkan sejarah panjangnya pada masa Nabi Saw beserta para sahabatnya. Adalah sunnatulla>h ketika mengutus seorang rasul atau nabi untuk menyampaikan syariatnya disesuaikan dengan bahasa kaumnya. Demikian pula halnya dengan alQur’an, Allah Swt menurunkannya kepada Nabi Saw dengan menggunakan bahasa Arab, sesuai dengan komunitas masyarakatnya yang berbahasa Arab. Hakikat dari al-Qur’an adalah memuat hal-hal yang bersifat global (mujmal), samar (mutasya>bih) dan lainnya, yang tidak semua sahabat (pada masa turunnya al-Qur’an) mampu untuk mengurai makna dan mengetahui apa yang dikehendaki dari ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan intelegensia dan pengetahuan kosa kata antar sahabat tidaklah sama. Di samping itu, kedekatan dengan Nabi Saw juga sangat berpengaruh dalam memahami suatu ayat sehingga di antara sahabat ada yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab turunnya ayat dan ada pula yang tidak mengetahuinya. Untuk menafsirkan ayat-ayat yang belum jelas maknanya, sahabat bisa langsung meminta Nabi Saw untuk menjelaskan makna dari ayat-ayat tersebut. Sebagai seorang utusan Allah Swt, sudah sewajarnya Nabi Saw menjelaskan dan menyampaikan hal-hal yang dikehendaki oleh Allah Swt melalui al-Qur’an, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an:
“Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. al-Nahl [16]:44) Akan tetapi tidak semua ayat yang terdapat di dalam al-Qur’an dijelaskan oleh Nabi Saw. yang makna dan maksudnya tidak diketahui oleh para sahabat Beliau hanya menjelaskan ayat-ayat (karena hanya beliau yang dianugerahi Allah Swt tentang tafsirnya) dan beliau sendiri memang diperintahkan oleh Allah Swt untuk menjelaskannya pada para sahabat; contohnya adalah ayatayat yang bersifat global dan sukar dipahami, yang masih butuh perincian atau kejelasan dan juga ayat-ayat yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang cerdas dan pandai. Sedangkan untuk ayat-ayat yang bisa dipahami melalui aspek kebahasaan dan ayat-ayat yang berisikan halhal yang memang mudah untuk dinalar tidak dijelaskan Nabi Saw. Begitu pun dengan ayat-ayat yang menerangkan tentang hal-hal ghaib, yang tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Allah Swt, seperti terjadinya hari kiamat dan hakikat ruh, tidak dijelaskan dan ditafsiri oleh Rasulullah.6 6
Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 39. Pendapat ini merupakan penengah di antara dua pendapat lainnya tentang apakah Nabi Saw. menjelaskan semua makna-makna yang terkandung dalam al-Quran atau tidak. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa Nabi Saw. menjelaskan semua makna-makna yang terkandunng di dalam al-Quran kepada para sahabat. Pendapat ini dimunculkan oleh Ibn Taimiyyah dalam kitabnya yang bertajuk Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r. Sedangkan pendapat kedua disuarakan oleh Jala>l al-Di>n al-Suyu>ti> yang mengutip pendapat al-Khuwayyi> dengan mengatakan َعal-Suyu> َع َعn, vol. II, bahwa Nabi Saw. hanya sedikit sekali menjelaskan ْن َع ْن َع ْن َع َعal-Qur’an. َع َع َع َع ْن ُت َّنل ْنmakna-makna َع ْن ( َع ْن َعLihat, ُت َع ُت ْنt ْنi> َع, َعal-Itqa> ا ا : ْن َع ّيِل ا ا ا : ا ) ّيِل ّيِل hlm. 174. ّيِل ّيِل Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
69
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
Dalam penafsirannya terhadap al-Qur’an, Nabi Saw tidak menggunakan metode bahasa yang berteletele dan panjang lebar atau sampai keluar jalur kepada hal-hal yang tidak ada gunannya. Metode penafsiran beliau adalah menjelaskan hal-hal yang masih samar dan global, memerinci sesuatu yang masih umum dan menjelaskan lafaz dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Pada tataran teknisnya, penafsiran yang dilakukan Nabi Saw selalu berdasarkan pada sebuah ilham dari Allah Swt dan terkadang menafsirkannya dengan ayat ijtihad al-Qur’an yang lain bahkan juga berdasarkan beliau sendiri. Akan tetapi, semuanya itu tetap kembali pada petunjuk dari Allah Swt, seperti ketika Nabi menafsirkan kata al-kalimât ( ) dalam ayat:
beberapa kalimat dari Maka Allah menerima “Kemudian Adam menerima Tuhannya, taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. alBaqarah [02]: 37) dengan menggunakan ayat lain, yakni: 7 Nabi Saw. menafsirkannya
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’râf [07]: 23)
penafsiran atas ayat-ayat yang ringkas Metode Penafsiran Nabi Saw seperti ini merupakan dan yang masih global (mujmal) dengan menggunakan ayat yang jelas arahnya (mubayyan), juga penafsiran atas ayat yang masih umum (‘a>m) dengan ayat yang khusus (kha>s), menafsiri ayat yang َع ْن َع ْنdibatasi ( ) َع َع ْن ُت َع ُت ْن َعal-Zahabi, َع ْن َع َع َع masih bersifat tak terbatas (mut}laq َّنل ) ْنdengan َع َعyang ْن َع ْن َعsudah ا( ا َع ْنmuqayyad َع ْن ُت: َعاayat ا َع ( : ا ا ) ّيِل ّيِل ّيِل ّيِل ّيِل 2005, 390). َع َع َع
ْن َع ْن
ْن
َع
َع ْن
َع َع
َع َع ْن ُت َّنل ْن َع ْن َع َع ُت َع ُت ْن: اmereka َع ْن َع ا َعNabi Sedangkan bagi sahabat Nabi Saw ( ْنSaw), ا : اbertanya ) َع ّيِل ا ّيِلmetode yang ّيِلpada ( ا ّيِلselain ّيِل lakukan adalah dengan ijtihad sendiri dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Akan tetapi kegiatan ini tidak dilakukan kapan saja dan pada ayat apa saja. Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam menafsirkan suatu ayat dikarenakan mereka tidak dapat bertemu langsung dengan Nabi Saw guna menanyakannya al-Qur’an juga tidak menemukan ayat yang bisa menafsirinya. Hal pada beliau dan ini juga terbatas pada ayat-ayat yang memang mempunyai peluang untuk dilakukan penalaran dan kemampuan dan daya nalar antar sahabat atas terhadap ijtihad.8 Dari siniperbedaan pegetahuan kosa kata bahasa Arab, sejarah, sebab-sebab turunnya ayat, ilmu syariat dan tingkat intensitas dalam penafsiran mereka. kehadiran sahabat dalam majelis Nabi Saw sangat berperan 2.
Epistemologi Tafsir pada Era Sahabat
Setelah Nabi Saw meninggal dunia, metode para sahabat dalam menafsirkan suatu ayat al Qur’an lebih dulu mencarinya dalam al-Qur’an, apakah ada ayat yang bisa menafsirkannya atau tidak ada sama sekali. Kemudian bisa setelah mereka tidak menemukan ayat yang menafsirkannya, 7 8
Ibn Kas\i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. I, (Kairo: Maktabah Aula>d al-Syaikh li al-Tura>s\, 2000), hlm. 370. Lihat Muh}ammad H{usain al-Z\|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 45.
70 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
Muhamad Mustofa Ali Kamal mereka beralih ke sunnah atau hadis-hadis Nabi Saw, sebagai contoh, penafsiran atas kalimat alHajj al-Akbar dalam ayat:
“Dan (Inilah) suatu permakluman daripada Allah dan rasul-Nya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar.” (QS. al-Taubah [09]: 3)
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam al-Turmuz\ َعi> disebutkan:9
َع ْن َع ْن َع ْنْن َع ْنْن َع ْنْن َع َع َع َعَع َع ْن ُت َّنل ْن ا َع ْن ( َع ْن َع ا ّيِل ا َع ّيِل َع ْن ُت َّنل:: َع ّيِل )) َع َع اا ا ْن ّيِل ( ا ّيِل ّيِل ّيِل ا ّيِل
َع ْن َع َع َع َعَع َع ْن ُتُت َعَع ُتُت ْنْن اَع: َعَع ْنْن َعَع ّيِل َع َعا ا : ّيِل ا
Dari ‘Alî Ra., beliauberkata: bertanya “Saya pernah kepada Rasulullah Saw. tentang ayat ‘Yaum al-Hajj al-Akbar’, kemudian beliau menjawab: (Hari tersebut adalah) Hari Raya Nahr.”
apabila mereka tidak menemukan ayat al-Qur’an Nabi Saw yang bisa Kemudian, danhadis menafsiri, mereka melakukan penalaran dan ijtihad dengan segala kemampuan yang dimiliki mereka. Dalam berijtihad, sahabat telah memiliki beberapa sumber yang bisa dijadikan sebagai 10 bahan untuk melakukan ijtihad. Di antaranya adalah: 1.
Pengetahuan yang memadai tentang kosa kata, gramatikal dan sastra bahasa Arab. Hal ini dapat membantu mereka guna mengetahui tafsir sebuah ayat yang ada kaitannya dengan pemahaman akan kebahasaan. َع ْن َع َع َع َع َع ْن ُت َع ُت ْن َع َع ْن َع ْن َع ْن َع ْن َع ْن َع َع َع َع َع ْن ُت َّنل ْن ا : ّيِل ا اdan : ّيِل ) اbangsa ا ّيِلmembantu ( ا ّيِلyang 2. Pengetahuanakan adat istiadat ّيِل moral Arab bisa dalam yang berhubungan dengan kebiasaan dan akhlak mereka, seperti menafsirkan ayat-ayat penafsiran ayat,
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. alBaqarah [02]: 189)
Pada masa jahiliah, orang-orang Arab yang berihram pada waktu haji memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Dengan pengetahuan atas kebiasaan (adat istiadat) dan moral bangsa Arab jahiliah tersebut, para sahabat merasa terbantu dalam menafsirkan ayat ini. 9
10
Muh}ammad Abu> ‘Isya> al-Turmuzi>, Sunan al-Turmuzi>, vol. III, (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Ara>bi>, t.thlm.), hlm.
291. Fahd Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ru>mi>, Buh}u>s\ fi> Us{u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu, hlm. 24. Lihat juga dalam Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 45.
Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
71
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
3.
4.
5.
Pengetahuan tentang tingkah dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nashrani di Jazirah Arab pada saat turunnya al-Qur’an. Hal ini sangat membantu dalam menafsiri ayatayat yang menceritakan orang-orang Yahudi dan Nashrani serta hal-hal yang mereka rencanakan dan lakukan terhadap orang Islam. Pengetahuan tentang asba>b al-nuzu>l (kronologi turunnya sebuah ayat). Dalam hal ini semua sahabat tentu tidak sama pengetahuannya tentang kronologi turunnya sebuah ayat. Hanya orang-orang yang sering bersama Nabi Saw. saja yang banyak mengetahui asba>b al-nuzu>l. Hal ini juga sangat berperan dalam penafsiran para sahabat atas ayatayat al-Qur’an. Karena pengetahuan akan suatu sebab bisa menimbulkan pengetahuan tentang akibatnya. Kemampuan penalaran dan daya tangkap. Dengan kemampuan ini, para sahabat bisa menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, meskipun setiap sahabat tidak mesti sama daya tangkap dan kekuatan intelegensianya.
Pada tahap selanjutnya, sahabat juga menyandarkan sumber penafsiran terhadap orangorang Yahudi dan Nashrani (Ahli kitab). Rujukan ini dilakukan kalau memang mereka sudah tidak menemukan apa-apa dalam al-Qur’an dan hadis sebagai landasan dalam menafsirkan ayat alQur’an. Dalam perujukannya kepada Ahli kitab, sahabat hanya menanyakan ayat-ayat yang masih ada kaitannya dengan kitab Taurat mupun Injil, seperti ayat-ayat yang berisi cerita-cerita nabi dan umat-umat terdahulu yang memang di dalam al-Qur’an dan Hadis tidak dijelaskan secara rinci. Kendati demikian, sahabat tidak terlalu banyak merujuk kepada pendapat Ahli kitab dan tetap memilah-milah apa yang mereka dengar dari Ahli kitab, apakah sesuai dengan akidah dan syariat Islam atau tidak. Rujukan terhadap Ahli kitab ini dilakukan hanya untuk mengambil aspek nasehat (al-‘Izhzhah) dan pelajaran (al-‘Ibrah) yang ada di dalam ayat itu saja. Dari kalangan sahabat, hanya sedikit yang terkenal sebagai ahli tafsir (mufassir). Hal ini bisa dimaklumi karena mereka lebih mengandalkan Nabi Saw. untuk menafsirkan sebuah ayat. Kondisi yang ada saat itu juga tidak terlalu menuntut adanya penafsiran yang berlebih, yang mencakup semua ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an. Semua itu bisa dilihat dari sedikitnya jumlah ayat-ayat yang ditafsirkan dan sahabat yang meriwayatkan tafsir pada masa ini. Beberapa sahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir adalah al-Khulafa> al-Arba’ah, yakni: Abu> Bakar al-S{iddi>q (w. 13 H.), ‘Umar bin Khat}t}a>b (w. 23 H.), ‘Us\ma>n bin ‘Affa>n (w. 36 H.), ‘Ali> bin Abi> T{a>lib (w. 40 H.), ‘Abdulla>h bin Mas’u>d (w. 32 H.), ‘Abdulla>h bin ‘Abba>s (w. 68 H.), Ubay bin Ka’a>b (w. 33 H.), Zaid bin S|a>bit (w. 48 H.), Abu> Mu>sa al-Asy’ari> (w. 52 H.), ‘Abdulla>h bin Zubair (w. 73 H.).11 Selain kesepuluh orang sahabat tersebut, ada beberapa sahabat yang pernah meriwayatkan tafsir meskipun sedikit sekali dan penafsirannya pun tidak setenar kesepuluh orang di atas. Di antara mereka adalah: Anas bin Ma>lik (w. 91 H.), Abi> Hurairah (w. 57 H.), ‘Abdulla>h bin ‘Umar (w. 73 H.), Ja>bi>r bin ‘Abdulla>h (w. 99 H.), ‘Abdulla>h bin ‘Amr bin al-‘Ash (w. 68 H.), ‘Aisyah bint Abu> Bakar (w. 57 H.). Seperti telah diungkapkan di atas, setiap sahabat memiliki jumlah tafsir yang beragam, ada yang sedikit dan ada yang banyak. Sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan tafsir al-Qur’an dari nama-nama di atas sebanyak empat orang, yakni: ‘Abdulla>h bin ‘Abba>s, ‘Abdulla>h bin Mas’u>d, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib dan Ubay bin Ka’a>b. Sedangkan Abu> Bakar, ‘Umar bin Khat}t}a>b, ‘Us\ma>n bin ‘Affa>n, tidak banyak meriwayatkan tafsir. Hal ini disebabkan ketiganya lebih dahulu wafat dari 11
Jala>l al-Di>n al-Suyu>ti>, al-Itqa>n, vol. II, hlm. 187.
72 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
Muhamad Ali Mustofa Kamal
pada sahabat yang lainnya, di samping kesibukan ketiganya dalam urusan negara (khila>fah) dan ekspansi untuk perluasan wilayah Islam yang menyita waktu dan perhatian mereka. ‘Alî bin Abi> T{a>lib adalah khalifah yang paling banyak meriwayatkan tafsir. Banyaknya tafsir yang diriwayatkan Sahabat ‘Ali> ini dikarenakan beliau tidak berurusan dengan kenegaraan (khila>fah) dalam waktu yang lama (sejak masa Khalifah Abu> Bakar sampai akhir kekhalifahan ‘Us\ ma>n yang terbentang jarak waktu selama 24 tahun) dan hidupnya pun yang lebih lama. Setelah meluasnya wilayah Islam dan banyaknya orang-orang yang masuk Islam dari bangsabangsa di luar Arab yang sangat membutuhkan orang-orang yang bisa menafsirkan al-Qur’an untuk mereka. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya penafsiranpenafsiran dari para sahabat yang tersebar ke berbagai wilayah penaklukan (futu>h}a>t) Islam.12 Selain meluasnya wilayah Islam, para sahabat pun mulai menyebar ke berbagai wilayah dan mengajarkan tafsir di wilayah yang mereka tempati. Terdapat beberapa pusat studi tafsir yang berkembang pada masa itu. Di antaranya adalah di Makkah, Madinah dan Kuffah (Irak). Pusat kajian tafsir yang berada di Makkah dimotori oleh Ibn ‘Abba>s, yang penafsirannya bercorak periwayatan (naqli>).13 Banyak dari murid-murid Ibn ‘Abba>s (golongan tabiin) yang kemudian menjadi seorang mufassir, seperti Muja>hid (w. 104 H.), ‘Ikrimah (w. 104 H.), Sa’i>d bin Jubair (w. 95 H.), T{a>wus bin Kaisa>n (w. 106 H.) dan ‘At}a> bin Abi> Rabbah (w. 114 H.). Sedangakan di Madinah, Ubay bin Ka’a>b mengajarkan tafsir pada murid-muridnya, yang di antaranya adalah Abu> al-‘Aliyyah al-Rayya>h}i (w. 90 H.), Zaid bin Aslam (w. 136 H.), Muh}ammad bin Ka’ab al-Qarz}i> (w. 118 H.). Di kuffah, Ibn Mas’u>d mengajarkan tafsir kepada para pelajar daerah tersebut. Meskipun beliau bukan satu-satunya sahabat yang meriwayatkan tafsir di Kuffah, akan tetapi beliaulah yang paling banyak meriwayatkan tafsir dibandingkan dengan sahabat yang lainnya. Beliau memiliki beberapa murid yang kemudian masyhur sebagai periwayat tafsirtafsirnya, seperti Masru>q bin al-Ajda>’ (w. 63 H.), ‘Alqamah bin Qais al-Nakha>’i (w. 61 H.), al-Aswa>d bin Yazi>d (w. 74 H.), Murrah al-H{amda>ni> (w. 76 H.), ‘Amir al-Syi’bi (w. 109 H.), al-H{asan al-Bas}ri (w. 110 H.), Qatadah bin Da’a>mah al-Sadu>si (w. 117 H.) dan yang lainnya. Kelompok Kuffah ini memiliki ciri tersendiri dalam penafsiran. Mereka banyak menggunakan penalaran dan semangat ijtihad (al-‘aql atau al-ra’yu), hingga kemudian ulama-ulama yang berasal dari Kuffah (atau Irak pada umumnya) lebih terkenal dengan Ahl al-Ra’yu.14 Hakikat penafsiran yang dilakukan para sahabat memiliki ciri tersendiri. Beberapa ciri tersebut di antaranya adalah: a.
Mereka tidak menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur’an. Yang mereka tafsiri adalah ayatayat yang masih samar, tidak jelas dan sulit dipahami. b. Perbedaan dalam pemahaman makna di antara mereka relatif sedikit. c. Mereka mayoritas merasa cukup atas makna-makna yang global dan tidak terlalu mendalami makna secara terperinci. 12 13
14
Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 49. Kumpulan tafsir Ibn ‘Abba>s bisa dilihat dalam kitab Tafsi>r Ibn ‘Abba>s wa Marwiyya>tuhu fi> al-Tafsi>r, karya dari ‘Abd al-‘Azi>z Ibn ‘Abdilla>h al-H{umaidi>. Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 89.
Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
73
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
d. Mereka membatasi dan mencukupkan diri dengan penjelasan makna bahasa yang mereka pahami, dengan bahasa yang lebih ringkas. e. Sedikit sekali penalaran ilmiah yang mereka lakukan dalam masalah hukum-hukum fikih dan tidak ada motif kefanatikan terhadap mazhab-mazhab agama, karena belum ada istilah mazhab pada masa ini. f. Tafsir pada masa ini belum sampai ke taraf pembukuan. g. Pada masa ini tafsir masih berbentuk riwayat seperti halnya hadis.15 Tafsir sahabat dalam hal nilai kekuatannya (validitas tafsir) sebagai dalil h}ujjah maupun sebagai dalil penafsiran memiliki beberapa kriteria dan konsekuensi hukum yang berbeda, yang juga berpengaruh terhadap penggunannya. Melihat pandangan semacam ini, validitas tafsir sahabat terkelompokkan ke dalam dua kategori: 1.
2.
Tafsir yang tidak ada peluang untuk dinalar dan yang berhubungan dengan asba>b al-nuzu>l (kronologi turunnya ayat). Tafsir sahabat yang seperti ini dihukumi marfu>’ (langsung diriwayatkan dari Nabi Saw) dan wajib digunakan oleh para mufassir, tidak boleh ditinggalkan atau berpindah ke tafsir yang lain. Tafsir yang bukan berasal dari riwayat Nabi Saw, akan tetapi bersumber dari ijtihad para sahabat sendiri. Tafsir semacam ini dihukumi sebagaimana sebuah riwayat yang mauqu>f (riwayat yang terhenti mata rantai sanadnya sampai ke sahabat dan tidak sampai ke Nabi Saw.). Dalam masalah tafsir sahabat yang seperti ini, terjadi silang pendapat di kalangan ulama. Kelompok pertama mengatakan bahwa tafsir sahabat yang hukumnya mauqu>f tidak wajib untuk digunakan. Alasan kelompok ini adalah bahwa seorang yang berijtihad (mujtahid), meskipun seorang sahabat, terkadang bisa benar dan juga bisa salah. Kelompok kedua menyatakan sebaliknya, wajib untuk digunakan sebagaimana riwayat marfu>’. Mereka beralasan, ada kemungkinan bahwa sahabat mendengar keterangan dari Nabi Saw. Dan juga, meskipun mereka menafsiri dengan akal, penalaran Sahabat lebih mendekati kebenaran. Karena mereka lebih tahu tentang al-Qur’an.16 Pandapat terakhir ini diamini oleh H{usain al-Z|ahabi>.17
Ada satu fenomena menarik pada ranah epistemologi tafsir pada masa sahabat. Kalau ditinjau ulang pada periwayatan tafsir, mayoritas ulama mengatakan Ibn ‘Abba>s adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis tentang tafsir. Disusul kemudian ‘Abdulla>h bin Mas’u>d, ‘Ali> bin Abi> T{al> ib dan Ubay bin Ka’a>b.18 Akan tetapi, banyaknya hadis yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abba>s dan ‘Ali> bin Abi> T{al> ib ini ditengarai banyak yang palsu (maud}u’> ). Bahkan Imam al-Sya>fi’i> pun mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan Ibn ‘Abba>s tentang tafsir hanya sekitar seratus hadis.19 Pemalsuan hadis yang terjadi pada kedua sahabat ini memang lebih banyak dilakukan dari pada sahabat yang lain. Pemalsuan atas hadis-hadis keduanya dianggap lebih efektif untuk kepentingan golongan dan lebih bisa dipercaya dari pada pamalsuan terhadap hadis sahabat yang lain, mengingat keduanya masih termasuk Ahl al-Bait (famili) Nabi Saw. 15
Ibid, hlm. 73.
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. I, hlm. 7. Fahd Ibn ‘Abd al-Rahmân al-Rûmî, Buhûts fî Ushûl al-Tafsîr wa Manâhijuhu, hlm. 29. 17 Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 72. 18 Ibid, hlm. 50. 19 Jala>l al-Di>n al-Suyu>thî, al-Itqa>n, vol. II, hlm. 189. 16
74 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
Muhamad Ali Mustofa Kamal
Di samping faktor tersebut, pemalsuan hadis kedua sahabat ini (khususnya ‘Ali> bin Abi> T{a>lib) merupakan imbas dari pengaruh politik saat dan perpecahan paham agama yang ada itu (seperti Syi’ah, Khawarij dan lainnya). Sebagaimana diketahui, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib memiliki pendukung fanatik yang selalu mengunggulkannya dari sahabat-sahabat yang lain (Syi’ah). Berbagai cara dilakukan oleh kelompok Syi’ah untuk menguatkan posisi mereka di mata umat Islam, di antaranya dengan memalsukan hadis yang berisikan tentang keunggulan Sahabat Alî bin Abi> T{a>lib. Sedangkan Ibn ‘Abba> s merupakan cikal bakal dari Dinasti Bani Abbasiyyah yang berkuasa sekitar pertengahan kurun kedua hijriyyah (750 M.). Pada saat-saat kekuasaan Bani ‘Abbasiyyah banyak hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abba>s, yang digunakan sebagai propaganda politik golongan tertentu demi kelanggengan pengaruhnya di bawah bendera Dinasti Bani ‘Abba>siyyah.20 Hingga akhirnya pemalsuan hadis pada waktu itu pun dengan mudah dilakukan. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya pembersihan perawi oleh para ulama terhadap para hadis hadis (al-jarh wa al-ta’di>l). 3.
Epistemologi Tafsir pada Era Tabi’in
Setelah masa sahabat berakhir, para tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi Saw yang belajar tafsir kepada sahabat mulai bermunculan dengan yang mereka َع ْن َع ْن َع ْن َع ُت ْن َعtafsir َع َع َع َع ْن ُت َّنل ْنperiwayatan-periwayatan ا َع ْن َع ْن َع َع َع ْن ُت: َع ْن َع َع َعا ( ا ا ا : ا ) warisi dari para pendahulunya. Sa’i> hid, ‘ ّيِلIkrimah, ّيِلT{a>wus mewarisi tafsir ّيِل ّيِلd bin Jubair, Muja> ّيِلIbn ‘Abba>s. Abu> ‘Aliyyah al-Rayya>h}i>, Zaid bin Aslam dan Muh}ammad bin Ka’a>b al-Qurz}i> meneruskan tafsir dari riwayat guru mereka, Ubay bin Ka’a>b. Sedangkan murid-murid Ibn Mas’u>d: Masru>q al-Nakha>i>, Murrah al-H{amda>ni>, Qatadah al-Sadu>si, ‘Amir al-Syi’bi dan al-H{asan al-Bas}ri> meneruskan jejak tafsir Ibn Mas’u>d. Dari tangan mereka ini, tafsir menyebar ke daerah-daerah dan lebih mudah dijangkau oleh umat Islam masa itu. riwayat oleh para tabi’in tidak sama, baik dari segi jumlah Sumber-sumber yangdidapatkan ataupun kevaliditasannya. Muja>hid merupakan orang yang paling sedikit meriwayatkan tafsir dari Ibn ‘Abba>s dan yang paling bisa dipercaya (s\iqah). Oleh karenanya, Imam al-Sya> fi’i> dan Imam Bukha>ri> banyak berpegang pada riwayat-riwayat dari Muja>hid, meskipun sebagian ulama yang lain memiliki pandangan berbeda dengan kedua tokoh ini. Kendati Mujâhid murid Ibn ‘Abba>s, penafsirannya sangat terpengaruh oleh penafsiran rasional Ibn Mas’ûd.21 Hal ini bisa dilihat pada penafsirannya terhadap ayat:
“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kalian semua kera yang hina”. (QS. alBaqarah [02]: 65) Mujâhid menafsirkan kalimat: tidak tekstual “jadilah kamu kera yang hina”, tetapi dengan kalam matsal (perumpamaan), “berubahlah hati atau kelakuan mereka sehina kera”.22 Ah}mad Ami>n, Fajr al-Isla>m, hlm. 197. Sebenarnya masih banyak penyebab yang mendorong terjadinya pemalsuan terhadap riwayat-riwayat hadis pada masa sahabat (Khulafa>` al-Ra>syidi>n). Lebih lengkap lihat, Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988), hlm. 187-218. 21 Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 80. 22 Ibn Kas\ir> , Tafsi>r al-Qur’an> al-‘Az}im > , vol. I, hlm. 436. Kumpulan tafsir-tafsir Mujah > id yang belum dibukukan pada masanya, belakangan sudah diterbitkan dengan nama Tafsir Mujah> id yang dicetak dalam dua volume. Lihat, Su’ud> Ibn ‘Abdillah> al-Fanis> an> , Ikhtilaf> al-Mufassirin> : Asbab> uhu wa As\aruhu, (Riyad:} Dar> Isybil> iya,> 1997), hlm. 41. 20
Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
75
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
Pergerakan pertumbuhan sumber tafsir pada periode tabi’in ini tidak jauh berbeda dari tafsir pada periode sebelumnya. Mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan tafsir yang diperoleh dari para sahabat. Para tabi’in berpijak pada dasar yang sama dalam meriwayatkan ayat-ayat alQur’an, yaitu lebih dahulu merujuk al-Qur’an dan berlanjut ke hadis Nabi Saw. Bila tidak ditemukan ayat al-Qur’an atau hadis, mereka menafsirinya dari perkataan atau ijtihad para sahabat. Tabiin baru melakukan ijtihad dalam melakukan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an setelah ketiga tahap di atas tidak mendapatkan hal-hal yang bisa dijadikan pijakan untuk menafsiri sebuah ayat. Langkah terakhir yang mereka lakukan dalam melakukan penafsiran adalah bertanya kepada Ahli kitab. Yang membedakan sumber penafsiran yang dilakukan para tabiin dari penafsiran para sahabat adalah frekuensi penafsiran tabiin yang lebih banyak, yang sebelumnya tidak ada dalam penafsiran dari sahabat. Selain itu, perujukan kepada Ahli kitab juga semakin sering dan semakin mudah dilakukan oleh mereka. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari semakin luasnya wilayah Islam, yang akhirnya membutuhkan tafsir pada ayat-ayat yang belum sempat ditafsiri pada masa sahabat dan juga sebagai imbas dari semakin banyaknya orang-orang yang masuk Islam dari kalangan non Arab, terutama Ahli kitab yang ingin mengetahui tentang ayat-ayat al-Qur’an yang mengisahkan cerita-cerita Isra>il> iyya>t.23 Selain makin banyaknya penafsiran dan perujukan kepada Ahli kitab, metode tafsir pada periode ini juga dicirikan dengan periwayatan (naql) dengan bertatap muka secara langsung (talaqqi>) yang sama sekali berbeda dengan masa sahabat. Pada masa sahabat, metode periwayatan disertai dengan makna yang paripurna dan menyeluruh (tidak terpaku pada satu orang saja yang meriwayatkan). Sedangkan pada periode ini, metode talaqqi> dilakukan secara tertentu dengan gurunya saja. Seperti di Makkah, metode talaqqi> periwayatan hanya kepada Ibn ‘Abba>s, di Madinah hanya kepada Ubay bin Ka’ab dan di Irak hanya kepada Ibn Mas’u>d. Pada masa ini para tabiin tidak melakukan metode lintas riwayat dan lintas talaqqi> kepada sahabat-sahabat yang lainnya. Hal-hal lain yang membedakan hakikat dan sumber tafsir periode tabi’in ini adalah mulai tumbuhnya benih-benih mazhab atau aliran agama dan banyaknya pertentangan dan perbedaan penafsiran di antara tabiin, meskipun jumlanya sedikit bila dibandingkan dengan tafsir pada periode setelahnya.24 Untuk dijadikan sebagai rujukan, hakikat tafsir dari tabi’in masih diperselisihkan oleh ulama. Akan tetapi, perbedaan pandangan ini hanya berkisar pada tafsir yang bukan peninggalan Nabi Saw dan sahabat. Sebagian besar ulama (di antaranya adalah salah satu versi pendapat dari Imam Ah}mad bin H{anbal) memilih bahwa tafsir dari tabi’in wajib untuk dijadikan sebagai rujukan karena mereka (umumnya) secara langsung mendapatkan sumber riwayat tafsir dari sahabat Nabi Saw. Oleh karenanya, banyak perkataan atau pendapat-pendapat tabi’in yang dinukil dan dijadikan pegangan oleh mayoritas para penafsir. Sedangkan kelompok ulama yang lain (seperti Ibn ‘Uqail, Syu’bah bin al-H{ajja>j serta versi lain dari pendapatnya Imam Ah}mad bin H{anbal) bersikukuh bahwa sumber riwayat tafsir dari tabi’in tidak wajib untuk digunakan dengan alasan: 1. Mereka tidak mendengar langsung tafsir dari Nabi Saw seperti halnya sahabat. 2. Tabi’in juga tidak menyaksikan secara langsung tanda-tanda dan kronologi turunnya alQur’an (asba>b al-nuzu>l), yang bisa saja menyebabkan mereka salah dalam memahami apa yang dikehendaki dari sebuah ayat. 3. Sifat ‘adalah (adil) dari para tabi’in masih diragukan, tidak seperti halnya sahabat yang sudah pasti sifat ‘adalah-nya. 23 24
Ah}mad Ami>n, Fajr al-Isla>m, hlm. 197. Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 97.
76 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
Muhamad Ali Mustofa Kamal
H{usain al-Z|ahabi> lebih memilih jalan tengah dari kedua pendapat ulama di atas. Beliau memilih kalau tafsir dari tabi’in yang wajib untuk dijadikan rujukan hanyalah masalah yang tidak memiliki peluang untuk penalaran (aql) dan tidak ada keraguan sedikit pun. Sedangkan hal-hal yang masih diragukan, seperti keterangan yang diambil dari Ahli kitab, maka tidak wajib dijadikan pegangan dan harus ditinggalkan. Sedangkan hal-hal yang menjadi kesepakatan (ijma>’) tabi’in melalui penalaran (aql) wajib untuk digunakan.25 Sumber Tafsir pada periode tabi’in masih berupa riwayat hadis karena masih merupakan bagian dari ilmu hadis, belum lepas dan berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu yang independen dan juga belum dibukukan secara tersendiri. Kendatipun demikian, ada beberapa karya independen yang lahir pada masa tabi’in yang berkaitan dengan al-Qur’an, meskipun masih dalam ruang lingkup yang terbatas dan hanya berupa kumpulan hadis yang masih belum tertata rapi. 4.
Epistemologi Tafsir pada Era Kodifikasi Setelah periode sahabat beserta tabi’in, perkembangan epistemologi tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan (kodifikasi) terhadap hadis Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa (khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah).26 Pada awalnya, tabi’in mengumpulkan hadis dari daerah mereka sendiri. Kemudian beberapa tabiin melakukan perjalanan lintas daerah untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi Saw., ‘dawuh’-nya para sahabat dan tabi’in dari daerah lain. Meskipun masih menyatu dengan hadis dan belum terpisah pembukuannya sebagai kitab dan ilmu tersendiri (penulisannya tidak sesuai dengan urutan ayat al-Qur’an serta disusun menurut bab, seperti bab shalat, puasa, dsb.), aktifitas ini menjadi tonggak baru bagi penulisan tafsir pada era selanjutnya. Tabi’in yang melakukan misi mulia ini di antaranya adalah: Yazi>d bin Ha>ru>n (w. 117 H.), Syu’bah bin al-H{ajja>j (w. 160 H.), Waki>’ bin al-Jarra>h} (w. 197 H.), Sufya>n bin ‘Uyainah (w. 198 H.), Rawh} bin ‘Ubadah al-Bas}ri> (w. 205 H.), ‘Abd alRazza>q bin Hamma>m (w. 211 H.), Adam bin Abi> Iyya>s (w. 220 H.), ‘Abd Ibn H{a>mi>d (w. 239 H). Dalam teknisnya, mereka menyertakan riwayat lengkap dengan sanadnya, meskipun riwayat yang mereka tampilkan bukan hanya yang langsung menyambung sanadnya sampai Nabi Saw. (marfu>’). Berbagai model penafsiran dari sahabat dan tabiin juga mereka tampilkan. Akan tetapi, karya ulama-ulama tersebut tidak ada yang bisa dilacak keberadaannya sampai sekarang.27 Untuk mengetahui siapa pelopor pengumpulan hadis seputar tafsir, yang kemudian menjadi sebuah kitab tafsir (meskipun tidak secara penuh) belum ada kata sepakat di kalangan ulama. Dalam salah satu versi yang dinukil dari Ibn Khali>ka>n dan Ibn Taimiyyah, orang pertama yang mengarang kitab tafsir adalah Ibn Juraij (80-150 H.).28 Akan tetapi versi ini diragukan oleh beberapa ulama. Karena sebelum Ibn Juraij, banyak tokoh-tokoh diduga sebagai orang pertama yang mengarang kitab tafsir, seperti halnya sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Ibn ‘Abba>s pernah mendiktekan (imla>’) 25 26
27
28
Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 96. Adalah Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Azi>z (66-101 HLM., mulai berkuasa pada tahun 99 HLM.) yang memulai melakukan penerapan kebijakan pembukuan terhadap hadis-hadis Nabi Saw. Lihat, Su’u>d bin ‘Abdilla>h alFani>sa>n, Ikhtila>f al-Mufassiri>n: Asba>buhu wa As\aruhu, hlm. 39. Muhammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 104. Lihat juga Ah}mad Ami>n, D{uh}a> alIsla>m, vol. II, (Mesir: Maktabah al-Usrah, 1998), hlm. 140. Syams al-Di>n Ibn Khali>ka>n, Wafia>t al-A’ya>n wa Anba>’ Ibna>’ al-Zama>n, vol. III, (Beirut: Da>r al-S{a>dir, 1972), hlm. 164. Lihat juga Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-fata>wa, vol. XX, (T. tp: Da>r al-Wafa>, 2005), hlm. 322.
Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
77
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
tafsir kepada muridnya, Muja>hid.29 Ada pula yang mengatakan bahwa yang menulis kitab tafsir untuk pertama kali adalah Sa’i>d Ibn Jubair yang diminta oleh Khalifah ‘Abd al-Malik bin Marwa>n (w. 86 H.) untuk mengumpulkan lembaran-lembaran tafsir.30 Dalam riwayat lain juga ada yang mengatakan bahwa yang melakukan pembukuan tafsir untuk pertama kalinya adalah Abu> al-‘Aliyyah al-Rayya>h}i> (w. 90 H.), ketika mengumpulkan naskah-naskah tafsir dari Ubay bin Ka’a>b.31 ‘Amr bin ‘Ubaid, seorang guru besar Mu’tazilah juga dikabarkan menulis tafsir al-Qur’an dari al-H{asan al-Bas}ri>.32 Sedangkan riwayat yang lain ada yang mengatakan Zaid bin Aslam (w. 167 H.) juga memiliki kitab tafsir.33 Dari sekian banyak versi ini, belum ada satu ulama pun yang bisa memastikan siapa pelopor penulisan kitab tafsir.34 Pada akhir abad ke-3 H. dan permulaan abad ke-4 H., geliat tafsir mengalami perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadis-hadis selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat alQur’an. Ibn Jari>r al-T{abari> (w. 310 H.) diakui sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Ja>mi’ al-Baya>n fî Ta>’wi>l Ay al-Qur’a>n.35 Kemudian disusul oleh Abu> Bakar Ibn al-Mundzi>r al-Naisa>bu>ri> (w. 318 H.), Ibn Abi> H{a>tim (w. 327 H.), Abu> al-Syaikh Ibn H{ibba>n (w. 369 H.), al-H{a>kim (w. 405 H.), Abu> Bakar Murdawaih (w. 410 H.) dan lainnya.36 Metodologi Tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat (naql atau ma`tsu>r) dari hadis Nabi Saw., sahabat maupun tabi’in dan ulama-ulama setelahnya (ta>bi’ al-ta>bi’i>n) lengkap dengan sanadnya. Tak terkecuali tafsir milik al-Thabarî yang sering menyelipkan pendapat-pendapat ulama (baik dalam masalah gramatika bahasa Arab, mazhab fikih ataupun aliran-aliran ilmu kalam), yang kemudian men-tarjih}nya (mengunggulkan salah satu pendapat), menjelaskan tata bahasa, serta menggali hukum dari ayat-ayat al-Qur’an.37 Selain riwayat dari Nabi Saw., sahabat dan tabiin, mereka juga mengutip tafsir dari kitab-kitab generasi sebelumnya plus sanad yang sampai kepada sang pengarang tafsir. Kendatipun melulu menampilkan riwayat hadis, pada generasi ini belum mengenal kritik hadis, yang sehingga tidak bisa dibedakan mana riwayat yang sah}i>h} (valid) dan yang dha’i>f (lemah). Mereka beranggapan bahwa dengan melihat jalur sanad, semestinya pembaca tahu mana hadis 29 30 31 32 33 34
Ibn Kas\i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, vol. I, hlm. 11. Ibn H{ajar al-‘Asqalan > i,> Tahzi\ b > al-Taz\ib > , vol. VII, (t.tp: Mauqi’ Ya’sub > , t.th), hlm. 179. Fahd Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ru>mi>, Buh}u>s\ fi> Us{u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu, hlm. 89. Syams al-Di>n Ibn Khalik > an > , Wafiat> al-A’yan > wa Anba>’ Ibna> al-Zaman > , vol. III, hlm. 462. Muh}ammad Ibn Ah}mad al-Za| habi,> Taz\kirah al-H{uffaz> ,\ vol. I, (Beirut: Dar> al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 100. Seperti keterangan yang lalu, kitab-kitab mereka tidak bisa dilacak keberadaannya sampai saat ini. Kitab tafsir yang mencakup seluruh ayat-ayat al-Quran hanyalah kitab Tafsi>r al-Tabari> yang sampai sekarang masih ada. Sedangkan kitab Ma’an> i> al-Qur’an> karangan Abu> Zakariyya> Yah}ya> bin Ziyad> al-Farra> (w. 207 HLM.) dianggap oleh beberapa ulama
sebagai kitab tafsir yang paling awal dan masih ada sampai kini, meskipun tidak mencakup keseluruhan ayat-ayat al-Quran. Fahd Ibn ‘Abd al-Rah}man> al-Rum > i,> Buh}us> \ fi> Usul> al-Tafsir> wa Manah > ijuhu, hlm. 90. Muh}ammad bin Lutf} i> al-Shabbag> h, Lamahat> fi> ‘Ulu>m al-Qur’an> wa Ittijah> at> al-Tafsir> , (Beirut: al-Maktabah al-Islam > i,> 1990), hal. 214. 35 Tafsir al-T{abari ini, meskipun dikatakan sebagai yang terbaik di zamannya, akan tetapi tetap terpengaruh oleh situasi yang ada pada saat itu seperti maraknya mazhab fiqh, sekte-sekte Islam, aliran-aliran gramatika Arab. Bisa dikatakan, al-T{abari merupakan orang yang menjembatani penafsiran secara riwayat dengan penafsiran secara akal-ijtihad. Lihat Ahmad Amîn, D{u>ha> al-Isla>m, vol. II, 144. Sedangkan menurut Ibn al-Nadi>m, orang yang pertama kali melakukan terobosan ini (penyusunan tafsir sesuai dengan urutan ayat-ayat al Quran) adalah al-Farra>’ (w. 207). Ibn al-Nadi>m, al-Fihrist, (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1978), hlm. 99. Namun hal ini disangsikan oleh Ah}mad Ami>n. Lihat, Ah}mad Ami>n, D{uh}â al-Isla>m, vol. II, hlm. 140. 36 Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. I, hlm. 104. Ah}mad Ami>n, D{uh}a> al-Isla>m, vol. II, hlm. 140. 37 Jala>l al-Di>n al-Suyu>ti>, al-Itqa>n, vol. II, hlm. 190-191.
78 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
Muhamad Ali Mustofa Kamal
yang s}ahi>h (valid) dan hadis yang dha’i>f (lemah) atau bahkan yang maudhu>’ (palsu) sekalipun. Selain itu, maraknya riwayat isra’iliyya>t juga mewarnai tafsir generasi ini.38 Kebijakan Dinasti ‘Abba>siyyah sangat mendukung terjadinya pelebaran wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada masa Dinasti ‘Abba>siyyah, perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang keilmuan seperti ilmu gramatika Arab (nah}w-s}arf), hadis, sejarah, ilmu kalam dan lainnya mendapat perhatian yang cukup besar.39 Mulai periode ini dan periode setelahnya, metode tafsir yang dulu hanya bersandar pada sumber-sumber riwayat hadis Nabi Saw, sahabat dan tabiin (naql, riwayat), mulai bergerak menjalar ke wilayah nalar-ijtihad (‘aqli>). Hakikat penafsiran tidak lagi sekedar hanya menukil riwayat-riwayat dari para pendahulunya (repetitif). Ayat-ayat yang tidak atau belum sempat ditafsiri oleh Nabi Saw, maupun sahabat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sebagai ladang penafsiran dengan al-ra’yi> al-ijtiha>di>. Belum lagi penafsiran-penafsiran pada hal-hal yang tidak begitu penting kaitannya dengan ayat al-Qur’an. Hakikat tafsir juga dijadikan sarana pencarian pembenaran (justifikasi) bagi sebagian golongan. Apalagi dengan maraknya fanatisme bermazhab dalam bidang fikih, aliran-aliran ilmu kalam sampai bidang gramatika bahasa Arab (nahw-s}arf). Penafsiran yang dilakukan sesuai dengan golongan atau bidang yang mereka geluti.40 Dalam bidang hukum (fiqh) ayat-ayat hukum ditafsiri sedemikian rupa untuk mencari dalil tentang hukum yang disesuaikan dengan mazhabnya masing-masing dan membantah mazhabmazhab yang tidak sependapat dengan mereka. Meskipun mulanya tidak terkumpulkan dalam satu kitab, tafsir-tafsir hukum kemudian dibuat tersendiri. Ulama fikih yang berusaha menggali al-Qur’an melalui pendekatan mazhab fikih dan dimuat dalam satu kitab tersebar merata di setiap mazhab fikih, khususnya al-madza>hib al-arba’ah (Mazhab Imam Hanafî, Imam al-Syafi’i>, Imam Mâlik, dan Imam Ibn H{anbal). Dari kalangan H{anafiyyah diwakili oleh Abu> Bakar al-Jas}s}a>s} (w. 370 H.) melalui karyanya Ahka>m al-Qur’a>n. Dari kalangan Syafi’iyyah muncul Abu> Hasan Ilkiya> al-Harra>si> (w. 504 H.) yang melahirkan kitab Ahka>m al-Qur’a>n. Syiha>b al-Di.n Abu> al-‘Abba>s al-Halabi> al-Sami>n (w. 756 H.) dengan kitabnya al-Qaul al-Waji>z fî Ahka>m al-Kita>b al-‘Azîz dan Imam Abu> Bakar al-Baihaqi> yang mengumpulkan keterangan-keterangan Imam al-Sya>fi’i> dalam kitabnya Ahka>m al-Qur’a>n li> al-Sya>fi’i>. Dari kalangan Ma>likiyyah terdapat al-Qa>d}i> Abu> Bakar Ibn al‘Ara>bi> al-Mu’a>firi> (w. 543 H.) yang menulis kitab Ahka>m al-Qur’a>n, Abî ‘Abdilla>h al-Qurt}ubi> (w. 671 H.) melalui karyanya al-Ja>mi’ li> Ahka>m al-Qur’a>n dan ulama yang lainnya. Dari kalangan Hana>bilah ada Abu> Ya’la> al-Baghda>di> al-Hanbali> (w. 458 H.). Dari kalangan Syi’ah Zaidiyyah muncul Syams al-Di>n Yu>suf al-Tsala>’î (w. 832 H.) dengan kitabnya yang berjudul al-Tsamara>t alYa>ni’ah wa al-Ahka>m al-Wa>dhihah al-Qa>t}i’ah. Dari kalangan Syi’ah Imâmiyyah Is\na> ‘Asyariyyah terdapat Miqd\a>d al-Suyu>ri. yang hidup pada akhir abad ke-8 H. dan awal abad ke-9 H. dengan karyanya Kanz al-‘Irfa>n fî Fiqh al-Qur’a>n.41 Sedangkan kalangan ahli gramatika dan bahasa juga mencoba mendekati al-Qur’an untuk mencari landasan bagi teori-teori mereka. Mereka juga berusaha mengkaji alQur’an secara lafzhiyyah (kalimat) tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilihat dari Fahd Ibn ‘Abd al-Rahma>n al-Ru>mi>, Buhu>ts fi> Usu>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu, hlm. 36. Ahmad Ami>n, D{uha> al-Isla>m, vol. II, hlm. 149. 40 Jala>l al-Din > al-Suyut> i} ,> al-Itqan > , vol. II, hlm. 190-191. Su’ud> Ibn ‘Abdillah> al-Fanis> an> , Ikhtilaf> al-Mufassirin> : Asbab> uhu wa As\aruhu, hlm. 48. Ahmad Amin> , Du{ ha> al-Islam > , vol. II, hlm. 144. 41 Muhammad Husain al-Z|ahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, vol. II, hlm. 321-323. 38 39
Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
79
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
bentuk kalimat (i’ra>b) ayat-ayat al-Qur’an. Ulama yang melakukan kajian tafsir semacam ini di antaranya adalah al-Zujja>j (w. 310 H.) yang menulis kitab Ma’a>nî al-Qur’a>n, al-Wahi>di> yang mengarang kitab al-Basi>t}, Abu> Hayya>n (w. 745 H.) dengan dua karyanya, al-Bahr al-Muhi>t} dan al-Nahr ‘ala> al-Bahr.42 Dalam bidang ilmu kalam, berbagai aliran juga berusaha mencari pembenaran golongannya melalui al-Qur’an dengan menafsirinya sesuai dengan aliran masing-masing. Dari golongan Muktazilah, muncul penafsir semacam al-Qâdhî ‘Abd al-Jabbâr (w. 415 H.) yang menghasilkan karya tafsir berjudul Tanzîh al-Qur`ân ‘an al-Muthâ’in dan al-Zamakhsyarî (w. 538 H.) dengan kitabnya yang bertajuk Al-Kasysyâf ‘an Haqâ`iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta`wîl. Dari golongan Syi’ah Imâmiyyah Itsnâ ‘Asyariyyah tercatat nama Mûlâ ‘Abd al-Lathîf al-Kâzarânî dengan tafsirnya yang bernama Mir`âh al-Anwâr wa Misykâh al-Asrâr, Abû Muhammad al-Hasan al-‘Askarî (w. 260 H.) yang memiliki Tafsîr al-Hasan al-‘Askarî, Abû ‘Alî al-Fadhl al-Thabarasî (w. 538 H.) yang menulis kitab Majma’ al-Bayân lî ‘Ulûm al-Qur`ân, Mulâ Muhsin al-Kâsyî (w. 1675 M.) yang mengarang kitab al-Shâfî fî al-Tafsîr. Sedangkan dari golongan Syi’ah Zaidiyyah muncul nama Muhammad ‘Alî al-Syaukânî (w. 1250 H./ 1832 M.) dengan tafsirnya yang berjudul Fath alQadîr.43 Di kalangan ulama tasawuf (shufi), penafsiran juga dilakukan dengan metode tersendiri. Mereka menafsiri al-Qur’an dengan anggapan bahwa setiap ayat memiliki makna lahir dan makna batin. Seperti yang dilakukan oleh al-Thûsi dan Sahl al-Tustarî (w. 283 H.). Dalam hal ilmu rasional-filsafat, Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H.) menjadi yang terdepan dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam magnum opus-nya yang bertajuk Mafâtîh al-Ghâib atau nama lainnya Tafsîr al-Kabîr, al-Râzî banyak mengurai al-Qur’an dengan pendekatan rasional-filsafat dan menampilkan serta mengkritik pendapat-pendapat ahli hikmah dan para filsuf.44 Menurut Husain al-Dzahabî, karangan al-Râzî ini tergolong dari tafsir yang menggunakan metode nalar (ra`yu) yang boleh digunakan. Juga termasuk golongan penafsir yang menggunakan metode ini adalah al-Baidhâwî (w. 691/685 H.) dalam kitabnya Anwâr alTanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, al-Nasafî (w. 701 H.) dengan karangannya yang berjudul Madârik al-Tanzîl wa Haqâ`iq al-Ta`wîl, al-Khâzin (w. 741 H.) dengan kitabnya yang bernama Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, Abû Hayyân (w. 745 H.) dengan al-Bahr al-Muhîth-nya, alNaisâbûrî (w. 728 H.) dengan karangannya yang bernama Gharâ`ib al-Qur`ân wa Raghâ`ib al-Furqân, al-Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w. 864 H.) yang kemudian disempurnakan oleh al-Jalâl al-Dân al-Suyûthî (w. 911 H.) dalam Tafsîr al-Jalâlain, al-Khathîb al-Syirbînî (w. 977 H.) dalam kitabnya al-Sirâj al-Munîr, Abî al-Su’ûd (w. 982 H.) dengan karangannya Irsyâd al-‘Aql al-Sâlim ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm dan Syihâb al-Dîn al-Âlûsî (w. 1270 H./1854 M.) dengan kitab tafsirnya Rûh alma’ânî.45 Para ahli sejarah menggunakan al-Qur’an dan menafsirinya hanya untuk mengumpulkan cerita-cerita dan sejarah masa lampau. Meskipun menggunakan riwayat, mereka umumnya tidak memperdulikan apakah riwayat itu benar (shahîh) atau tidak, seperti yang dilakukan oleh alTsa’labî (w. 427 H.) dalam kitabnya al-Kasyf wa al-Bayân.46 Su’u>d Ibn ‘Abdilla>h al-Fanisa>n, Ikhtila>f al-MufassirIn: Asba>buhu wa As\aruhu, hlm. 49. Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I, hlm. 109. Su’ûd Ibn ‘Abdillâh al-Fanîsân, Ikhtilâf al-Mufassirîn: Asbâbuhu wa Âtsaruhu, hlm. 51. 44 Kitab ini dikomentari oleh sebagian ulama dengan mengatakannya sebagai kitab tafsir yang tidak memuat tafsir sama sekali. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân, vol. II, hlm. 191. 45 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I, hlm. 205. 46 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân, vol. II, hlm. 190.
42 43
80 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
Muhamad Ali Mustofa Kamal
Model-model penafsiran seperti ini terus berkembang dan berlanjut hingga melahirkan beratus-ratus kitab tafsir dengan berbagai macam ragam. Meskipun demikian, masih ada kitab tafsir yang tetap berpegang teguh dengan konsep riwayat (ma`tsûr) di luar Tafsir al-Thabarî, seperti Bahr al-‘Ulûm miliknya al-Samarqandî (w. 373 H.), tafsir karangan al-Baghawî (w. 510 H.) yang bertajuk Ma’âlim al-Tanzîl, juga kitab tafsir al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kîtab al-‘Azîz karangan Ibn ‘Athiyyah (w. 546 H.), kitab Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm karangan Ibn Katsîr (w. 774 H), al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma`tsûr karya al-Suyûthî (w. 911 H.).47 5.
Epistemologi Tafsir pada PERIODE KELAM KEILMUAN ISLAM (transisi) hingga Periode Modern
Sekilas sejarah, pada pertengahan abad 7 H./ 13 M. (setelah Fakhr al-Dîn al-Râzî meninggal pada tahun 606 H./ 1228 M), terjadi penyerbuan besar-besaran tentara Mongol ke wilayah Islam seperti Samarkand, Bukhara, Khawarizm, Ray, Qum, hingga Baghdad (1258 M). Penyerbuan ini tidak hanya memukul telak kekuatan Dinasti Islam yang berkuasa saat itu, tapi juga dunia keilmuan Islam. Akibat penyerbuan tersebut banyak kota-kota yang menjadi pusat peradaban Islam hancur, ribuan kitab dibakar, ratusan ulama dibantai dan peninggalan-peninggalan bersejarah umat Islam pun tinggal puingpuingnya saja. Sejak peristiwa yang memilukan tersebut, pergerakan keilmuan Islam (di wilayah timur) mengalami kemandegan. Ulama-ulama yang hidup setelah prahara tersebut kebanyakan hanya meringkas, mengomentari dan mengulang dari warisan-warisan yang hampir punah tersebut. Tak terkecuali dalam bidang tafsir, yang mengalami kemandegan paradigma sepeninggalan Fakh al-Dîn al-Râzî. Meskipun termasuk dalam kelompok tafsir yang mengedepankan rasio (logika), alRâzi menjadikan tafsirnya sebagai sebuah karya tafsir yang bisa dikatakan belum pernah ada sebelumnya. Dia berhasil mendekati al-Qur’an hampir dari berbagai aspeknya. Sedangkan kitab-kitab tafsir pasca al-Râzî dianggap hanya meringkas, mengomentari, dan menukil dari kitab-kitab sebelumnya. Seperti kitab tafsir karya al-Baidhâwî yang merupakan ringkasan dari tafsirnya al-Zamakhsarî dan al-Râzî.48 Begitu juga Abû Hayyân yang banyak mengutip dari kitabnya al-Qurthubî, al-Zamakhsarî, Ibn ‘Athiyyah;49 Ibn Katsîr yang juga banyak mengutip dari kitab tafsirnya al-Thabarî, Ibn Abî Hâtim, Ibn ‘Athiyyah dan lainnya.50 Tafsir al-Qurthubî yang bergenre fikih juga banyak terdapat kutipan-kutipan dari kitab tafsirnya al-Thabarî, Abû Bakar Ibn al-‘Arâbî dan Ibn ‘Athiyyah dan dari yang lainnya.51 Bahkan mulai era al-Suyûthî,52 karya-karya tafsir kebanyakan hanya mengomentari (hâsyiyyah) seperti kitab ‘Inâyah al-Qâdhî wa Kifâyah al-Râdhi ‘ala Tafsir al-Baidhawi karangan Syihâb al-Dîn Ahmad al-Khafâjî (w. 1665 M.) yang mengomentari kitab tafsirnya al-Baidhâwî,53 kitab Hâsyiyyah al-Shâwî karangan Ahmad 47
Mengenai pembagian tafsir yang menggunakan baik yang menggunakan metode ma`tsûr maupun ra’yi akan dijelaskan pada babnya nanti. 48 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I, hlm. 211. 49 Ibid, 227. 50 Ibid, hlm. 175. 51 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. II, hlm. 338.
Bahkan al-Suyûthî sendiri menulis komentar (hâsyiyyah) terhadap kitab Tafsir al-Baidhâwî yang diberi nama Nawâhid al-Abkâr wa Syawârid al-Afkâr. Lihat, Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I, hlm. 214. 53 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. I, hlm. 214. 52
Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
81
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
al-Shâwî al-Khalwânî (w. 1825 M.) dan kitab Futûhât al-Ilâhiyyah karangan Sulaimân al-Jamal yang keduanya mengomentari kitab Tafsîr al-Jalâlain karya al-Mahallî dan al-Suyûthî.54 Kemudian ada juga yang menafsirkan hanya beberapa penggal ayat atau surat saja dan itu pun juga dipercaya sebagai nukilan-nukilan yang berasal dari kitab sebelumnya. Seperti Kitab Tafsîr Sûrah al-Fâtihah karya ‘Abd al-Ra`ûf al-Syâfi’î (w. 1621 M.), kitab Mu’tarak al-Ikhlâsh fî Takrîr Sûrah al-Ikhlâsh karangan Muhammad Hijâzî al-Syâfi’î (w. 1624 M.), kitab Tafsîr Ayah al-Kursî: Hadiyyah al-Ahbâb fî Tafsîr A’zham Ayat al-Kitâb karyanya ‘Abdullâh Ibn ‘Abd alRahmân al-Danûsyarî (w. 1635 M.), kitab al-Qaul al-Matîn wa al-Durr al-Maknûn fî al-Kalâm ‘alâ Qauluhu Ta’âlâ: Wa Mâ Khalaqt al-Jinn Wa al-Ins illâ li Ya’budûn karya Ibrâhîm al-Maimûnî al-Syâfi’î (w. 1668 M.), kitab ‘Aqd al-Durâr al-Nazhîm fî Fadhl Bismillâh al-Rahmân al-Rahîm karangan Muhammad al-Qâhirî al-Syâfi’î (w. 1690 M.) Di seberang lain, meskipun mengusung bendera Syi’ah, Muhammad ‘Alî al-Syaukânî (w. 1250 H./ 1832 M.) melalui kitab Tafsîr Fath al-Qadîr-nya melanjutkan dan menyempurnakan tradisi tafsir di kalangan Syi’ah pada saat geliat penafsiran mengalami kemandegan di kalangan Sunni. Kehadiran tafsirnya al-Syaukânî ini seolaholah menjadi pelecut bagi ulama-ulama Sunni untuk keluar dari kemandegan dalam bidang tafsir. Pada gilirannya, muncul tafsir Rûh al-Ma’ânî karangan al-Âlûsî (w. 1270 H./ 1854 M.) dan disusul oleh Thanthâwî Jauharî (w. 1358 H.) dengan tafsirnya yang bernama alJawâhir, yang banyak memuat tentang ilmu astronomi. Lalu diteruskan oleh Rasyîd Ridhâ (w. 1354 H.) lewat Tafsîr al-Manâr yang nota bene berhaluan ma`tsûr dan kemudian disaring dengan mazhab salafinya yang menyuarakan semangat pembaharuan Islam. Tafsir ini bermula dari kajian gurunya, Muhammad ‘Abduh (w. 1323 M.) yang menulis tafsir “kejar tayang” di majalah alManâr milik Rasyîd Ridhâ.55 Sayyid Quthb (w. 1966 M.), seorang tokoh pergerakan Ikhwanul Muslimin Mesir juga menyumbangkan hasil intelektualitasnya dalam bidang tafsir yang diberi nama fi Zhilâl al-Qur`ân. Gerakan yang digalakkan ‘Abduh ternyata mendapat respon yang sangat besar dari beberapa muridnya. Selain Rasyîd Ridhâ, di antara muridnya yang mengikuti jejak ‘Abduh dalam karya tafsir adalah Jamâl al-Dîn al-Qâsimî (w. 1332 H./ 1914 M.), yang mengarang kitab Mahâsin alTa`wîl,56 Mushthafâ al-Marâghî (w. 1945 M.) yang berhasil mengarang kitab Tafsîr al-Marâghî dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan modern dalam bidang masing-masing ayat yang ditafsirkannya, meskipun banyak merujuk pada kitab-kitab tafsir sebelumnya.57 Pergerakan tafsir selanjutnya mulai berubah arah dan metode. Hakikat Tafsir kemudian berlanjut ke arah kajian-kajian maudhû’î (tematik) dari segala sisi al-Qur’an dan ilmuIbid, hlm. 240. ‘Abduh merupakan tokoh pembaharu Islam yang ingin mengembalikan roh Islam seperti pada zaman Nabi Saw. Langkahlangkah pembaharuan yang dilakukannya antara lain membersihkan Islam (khususnya tafsir ) dari unsur-unsur mitos, isrâ`îliyyât, hadis lemah (dha’îf) dan palsu (maudhû’), menghilangkan cerita-cerita sihir dan khurafât dan mengganti dengan penalaran yang lebih rasional terhadap hal-hal yang bersifat doktrin seperti ibadah, mukjizat, cerita-cerita malaikat, iblis, setan, jin, masa setelah kematian dan hal-hal ghaib lainnya. ‘Abduh juga lebih condong menafsirkan al-Quran secara aktual sesuai dengan problem yang terjadi pada masanya, terutama masalah sosial-kemasyarakatan. ‘Abduh sendiri memiliki tafsir yang belum sempat dirampungkan, yang berjudul Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm. Su’ûd Ibn ‘Abdillâh al-Fanîsân, Ikhtilâf al-Mufassirîn: Asbâbuhu wa Âtsaruhu, hlm. 54. 56 Al-Qâsimî melakukan dua pendekatan dalam tafsirnya ini, yakni dengan mengungkap 54 55
57
al-Quran lewat sisi kebahasaannya dan banyak menekankan pada penafsiran terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan alam. Lihat dalam pendahuluan dari pengantar kitabnya dan mukadimahnya sendiri, Mahâsin al-Ta`wîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. v. Lihat dalam mukadimah kitabnya, Tafsîr al-Marâghî, vol I, (Mesir: Maktabah Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1946), hlm. 17.
82 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
Muhamad Ali Mustofa Kamal
ilmunya. Dengan maraknya kajian-kajian tematik, banyak karya-karya tafsir yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini. Beberapa tokoh yang getol dengan kajian ini seperti Muhammad Syalthût (w. 1963 M.),58 yang masih terhitung murid dari ‘Abduh, kemudian Amîn al-Khûlî (w. 1978 M.) yang berusaha mengkaji al-Qur’an lewat retorika bahasanya, di samping aspek sejarah turunnya ayat.59 Usaha al-Khûlî ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, yang kemudian menjadi isterinya, ‘Âisyah Abd al-Rahman bint al-Syâthî (w. 2000. M.) melalui kitab tafsirnya yang bertajuk al-Tafsîr al-Bayânî lî al-Qur`ân al-Karîm.60 Masih banyak lagi pemikir-pemikir kontemporer yang melakukan terobosan-terobosan dalam menafsiri al-Qur’an, baik itu dengan metode yang bisa diterima atau yang masih diperselisihkan.
C. Simpulan Epistemologi penafsiran al-Qur’an pada masa awal (klasik) hanya mengandalkan aspek riwayat sejak zaman Nabi-sahabat-tabi’in dan generasi sebelum era kontemporer yang lebih mengedepankan validitas tafsir pada aspek naql riwayat ketimbang aql (ra’yu). Perjalanan tafsir masih akan lebih panjang lagi. Rekonstruksi metodologis pada setiap masa perjalanan tafsir selalu dilingkupi oleh situasi dan kondisi yang berada di sekitar mufassir. Metode pun akan terus berkembang dengan berbedanya cara pandang satu mufassir dalam melihat kondisi dan situasi dengan mufassir lainnya. Tafsir akan terus bergerak selama keilmuan itu sendiri masih terus bergerak serta kebudayan manusia tidak jalan di tempat.
Daftar Pustaka Abu Zaid, Nasr H{amid, Mafhu>m al-Nas} Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Markaz al-S|aqofi al-Arabi, 2000. Abu> Muh}ammad al-Mis}ri>, Arsyif Multaqa> Ahl al-Tafsi>r II. vol. I. CD Maktabah Syâmilah. t.t. al-‘Aridl, ‘Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, alih bahasa Ahmad Akram. Jakarta: Rajawalipress, 1992. al-‘Asqala>ni>, Ibn H{ajar, Tahz\ib> al-Tahz\ib> . vol. VII. t.tp: Mauqi’ Ya’su>b, t.t. al-Ausi>, ‘Ali>, al-T{abat}aba>’i> wa Manhajuhu fi Tafsi>rih al-Mi>za>n. Teheran: al-Jumhu>riyyah Al-Isla>miyyah fi> Iran, 1975. al-Farma>wi>, Abd al-H{ayy, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>. Kairo: al-H{ad}arah al-‘Ara>biyyah, 1977. al-Khat}i>b, Muh}ammad ‘Ajja>j, al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n. Kairo: Maktabah Wahbah, 1988. al-Khu>li>, Ami>n, Mana>hij Tajdi>d fi> Nah}w wa al-Bala>gah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b. Kairo: Maktabah al-Usrah, 2003. al-Maraghi, Mustofa, Tafsi>r al-Mara>gi>. vol I. Mesir: Maktabah Mushthafa> al-Ba>bi> al-H{alabi>,1946. 58
59
60
Syaltût memiliki kitab tafsir yang belum sempat dirampungkannya, hanya baru sampai pada juz ke-10. Metode yang digunakan berbeda dari kitab-kitab tafsir sebelumnya. Lihat lebih lengkap dalam Fahd Ibn ‘Abd al-Rahmân al-Rûmî, Manhaj al-Madrasah al-Hadîtsiyyah fî al-Tafsîr, vol. II. (Riyadh: t.p, 1983), hlm. 200. Amîn al Khûlî, Manâhij Tajdîd fî Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2003), hlm. 229. Kitab ini berjumlah dua volume dan hanya berisi 14 surat-surat pendek. Lihat metode yang digunakan Bint al-Syâthî dalam pengantar kitabnya al-Tafsîr al-Bayânî lî al-Qur`ân al-Karîm, vol. I, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1990), hlm. 10.
Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016
83
Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik
Al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003. al-Qat}t}a>n, Manna>’, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. t.tp: Mansyu>ra>t al-‘As}r al-H{adi>s\,1973. al-Ru>mi>, Fahd Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n, Manhaj al-Madrasah al-H{adi>s\iyyah fi> al-Tafsi>r. vol. II. Riyadh: t.p., 1983. __________, Buh}u>s\ fi> Us}u>l al-Tafsi>r wa Mana>hijuhu>. t.tp: Maktabah al-Taubah, t.t. al-S{a>lih}, S{ubh}i>, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-‘Ilm al-Mala>yin, 1988. al-S{a>bu>ni>, Muh}ammad Ali, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Alim al-Kutub. cet.1, 1985. al-Turmuz\i>, Muh}ammad Abu> ‘Isya>. Sunan al-Turmuz\i>. Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Ara>bi>, t.t. Al-Z|aha>bi, Muh}ammad H{usain, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid 1. cet.ii, 1976. ____________. al-Israiliyat fi al-Quran wa al-Hadits, alih bahasa Didin Hafidudin, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1987. ____________, al-Isra>iliyya>t fi> al-Tafsi>r wa al-H{adi>s\. Kairo:Da>r al-H{adi>s\, 2005. ____________, Buh}u>s\ fi> ‘Ulu>m al-Tafsi>r. Kairo: Da>r al-H{adi>s\, 2005. ____________, ‘Ilm al-Tafsi>r. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, t.t. ____________, Tadzkirah al-H{uffa>z.} vol. I. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998. Al-Zarkasyi, Imam Badruddin Muh}ammad bin Abdulla>h, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Maktabah Dar al-Tura>s, 1975. al-Zarqa>ni>, Abd al-‘Az\i>m, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Hadi>s\, 2001. al-Suyu>t}i> , Jala>l al-Di>n, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, t..t. Ami>n, Ah}mad, Dhuh}a> al-Isla>m. vol. II. Mesir: Maktabah al-Usrah, 1998. Bint al-Sya>t}i>, al-Tafsi>r al-Baya>ni> li> al-Qur’a>n al-Kari>m. vol. I. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1990. Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2002. Ibn al-Nadi>m, al-Fihris\. Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1978. Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. vol. I. Kairo: Maktabah Aula>d al-Syaikh li al-Tura>ts, 2000. Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ak, Us}ul> al-Tafsi>r wa Qawa>’iduhu. Beirut: Da>r al-Nafa>is, 1986. Kuhn, Thomas S, The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970. Buku didownload format pdf dari http://turkpsikiyatri.org/arsiv/kuhn-ssr2nded.pdf Muh}ammad bin Lut}fi> al-S{abba>gh, Lamaha>t fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n wa Ittija>ha>t al-Tafsi>r. Beirut: alMaktabah al-Isla>mi>, 1990. Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir. Yogyakarta: Nun pustaka. cet 1, 2003. ___________, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS, 2010. ___________, Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. cet.1, 2008. Saeed, Abdullah, Interpreting the Qur’an: towards a contemporary approach. London & New York: Routledge, 2006. Su’u>d Ibn ‘Abdilla>h al-Fani>sa>n, Ikhtila>f al-Mufassiri>n: Asba>buhu wa A<s\aruhu. Riyad}: Da>r Isybi>liya>, 1997. Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1992. Syams al-Di>n Ibn Khali>ka>n, Wafia>t al-A’ya>n wa Anba> Ibna> al-Zama>n. vol. III. Beirut: Da>r alSa>dir, 1972.
84 Maghza Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016