PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT (Analisis Putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh: M. ULIL AZMI NIM.1110044100026
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H / 2015 M i
ii
iii
iv
ABSTRAK M. ULIL AZMI. NIM. 1110044100026. “PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT (Analisis Putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang hak nafkah iddah bagi istri dalam cerai gugat dan analisis pertimbangan dan putusan hakim yang memerintahkan tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada penggugat berdasarkann putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. dan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sedangkan sumber data sekundernya adalah peraturan perundang-undangan perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam, pemberian nafkah iddah dan mut’ah pada talak ba’in ini didasarkan pada pendapat Imam Hanafi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita tersebut berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika wanita tersebut beriddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri. Pendapat ini dikuatkan oleh Umar bin Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri. Sedangkan menurut Hukum Positif, pemberian nafkah iddah dan mut’ah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”. Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007. Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Kata kunci: Nafkah Iddah, Cerai Gugat, Penetapan Pengadilan Agama.
Pembimbing
: Dr. H. Kamarusdiana, S.Ag., M.H.
Daftar Pustaka
: Tahun 1980 s.d. 2014 v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabby, Tuhan Seru Sekalian Alam, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan salam sejahtera semoga tercurah kepada Nabi akhir zaman, penuntun umat, pemberi syafa’at, Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabatsahabat setianya hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Pemberian Nafkah Iddah Dalam Cerai Gugat (Analisis Putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS).”, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), dan juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, melalui tulisan ini, izinkan penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon M.A., Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. vi
3. Dr. H. Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis. 4. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag., Penguji I, dan Hj. Hotnidah Nasution, M.Ag., selaku Penguji II yang telah memberikan saran dan masukannya kepada penulis dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini. 5. Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis yang menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan studi perpustakaan. 8. Segenap Hakim dan Staf Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan. Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin. Ciputat, 12 Oktober 2015 M. 28 Dzulhijjah 1436 H. Penulis M. ULIL AZMI vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Identifikasi Masalah ...............................................................
6
C. Batasan dan Rumusan Masalah ..............................................
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
8
E. Metode Penelitian ...................................................................
9
F. Tinjauan Kajian Terdahulu ...................................................... 12 G. Sistematika Penulisan ............................................................. BAB II
BAB III
14
HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN A. Pengertian Gender ...................................................................
16
B. Gender Menurut Hukum Islam ...............................................
19
C. Nafkah Iddah Dalam Undang-undang. ...................................
28
TINJAUAN UMUM TENTANG CERAI GUGAT DAN NAFKAH IDDAH viii
BAB IV
A. Cerai Gugat .............................................................................
34
B. Nafkah Iddah Dalam Fiqih .....................................................
43
C. Nafkah Iddah Dalam Undang-undang ....................................
51
ANALISIS HUKUM PENETAPAN PEMBERIAN NAFKAH IDDAH A. Duduk Perkara Kasus Penetapan Masa Iddah ......................... 55
BAB V
B. Pertimbangan Putusan .............................................................
57
C. Analisis Putusan ......................................................................
61
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................
72
B. Saran ........................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
76
LAMPIRAN ........................................................................................................
81
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah swt sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang baik, dan melestarikan hidupnya.1 Dan juga merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Orang yang berkeinginan melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berpuasa. Orang berpuasa dapat memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.2 Perkawinan merupakan bagian dari hukum perdata yang mengatur dan melindungi hak-hak pribadi. Hal tersebut bertitik tolak dari prinsip bahwa kedudukan manusia dilindungi oleh hukum, yang secara keperdataan artinya dilindungi hak-hak pribadinya, sehingga kebebasan hidup manusia untuk memiliki dan menggantikan kepemilikannya tidak merugikan orang lain atau secara pribadi dirinya tidak mengalami kerugian. Sebagaimana dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan yang berakibat adanya hak-hak dan kewajiban 1 2
Slamet Abidin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.9. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.7.
1
2
suami istri, harta, perwalian, hubungan anak, harta bersama, hak asuh anak, kewarisan, dan sebagainya.3 Karena manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi kelangsungan hidupnya, timbul satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur kehidupan itu yang dinamakan dengan “Hukum Perdata”. Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi
kepentingan
dan
kebutuhannya,
terutama
berkaitan
dengan
kepentingan perseorangan.4 Hukum
Perdata
materiil
yang
ketentuan-ketentuannya
mengatur
kepentingan perseorangan terdiri atas: Hukum Pribadi, yaitu ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dan kedudukannya dalam hukum; Hukum Keluarga, yaitu ketentuan hukum yang mengatur hubungan lahir batin antara dua orang yang berlainan kelamin dan akibat hukumnya; Hukum Kekayaan, yaitu ketentuan hukum yang mengatur hak-hak perolehan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain yang mempunyai nilai uang; Hukum Waris, yaitu ketentuan hukum yang mengatur cara pemindahan hak milik seseorang yang meninggal dunia kepada yang berhak memiliki selanjutnya.5 Kaitannya dengan hukum keluarga ialah bahwa ketentuan dalam hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Salah satu bagian yang amat penting dalam hukum kekeluargaan
3
Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayah Al-Akhyar, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), h.88. 4 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.1. 5 Abdoel Djamal, Pengantar Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), h.135.
3
adalah hukum perkawinan, yang kemudian dibagi dua yaitu hukum perkawinan dan hukum kekayaan perkawinan. Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan, sedangkan hukum kekayaan perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.6 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 7 Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah “Akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Akad nikah yang diucapkan oleh pasangan laki-laki dan perempuan diharapkan akan bertahan selama-lamanya hingga ajal menjemput keduanya, sehingga suami dan istri dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Karenanya ikatan perkawinan antara suami dan istri merupakan ikatan yang paling suci dan paling kokoh.8 Akan tetapi dalam menjalankan bahtera rumah tangga tentu saja jalannya tidak semulus yang diharapkan dari awal pernikahan, akan ada cobaan dan ujian yang melanda kedua pasangan. Dalam
6
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 2. Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 8 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 374. 7
4
Islam, hal yang paling dicintai Allah tentu saja kedamaian antara pasangan suami dan istri.9 Namun, jika masalah tersebut menjadi sebuah perselisihan yang tidak dapat lagi dipersatukan, maka Islam juga tidak menutup rapat-rapat pintu perpisahan bagi kedua pasangan sebagaimana agama Nasrani menutup pintu perceraian bagi pemeluknya. Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain karena terjadinya talaq yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi diantara keduanya, atau karena sebab-sebab yang lainnya. Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaian dengan jalan damai yakni dengan jalan musyawarah, jika masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak bisa melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak bisa membawa permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik. Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami dan isteri yang berniat bercerai tadi dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan cara musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang beragama Islam akan membawa permasalahan ini kepada Pengadilan Agama sementara untuk agama lainnya merujuk kepada Pengadilan Negeri.10 Secara umum alasan perceraian dalam masyarakat adalah sudah tidak ada lagi kecocokan di antara suami dan isteri yang disebabkan oleh berbagai hal. 9
Amiur Nuruddin dan Azhari A.T, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2006). h. 207-208. 10 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008). h. 8-9.
5
Perceraian merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan membawa pula akibat-akibat hukum tertentu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 144 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian dapat terjadi karena adanya talak dari suami atau gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri, perceraian tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar putusan hakim di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 115 KHI). Dilihat dari cara mengajukannya, perceraian di pengadilan agama terbagi menjadi dua bentuk yakni cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah talak yang diajukan oleh suami ke pengadilan. Dalam prosedur dan prinsip pengajuan cerai talak, masih kental sekali doktrin fiqh yaitu cerai itu merupakan hak mutlak suami. Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan di ajukan oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan di lingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam perkara talak pihak yang mengajukan adalah suami sedangkan cerai gugat pihak yang mengajukan adalah isteri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.” Tidak seperti dalam doktrin fiqh setiap permohonan cerai yang diajukan oleh istri itu tidak harus dalam bentuk khulu’ yang diikuti dengan pembayaran iwadh. Cerai gugat diajukan dengan alasan-alasan tertentu yang diatur dalam undang-undang. Dalam putusan perkara cerai talak hakim di Pengadilan Agama mewajibkan seorang suami membayar nafkah iddah kepada mantan istrinya. Sedangkan untuk putusan cerai gugat dalam hukum fiqh tidak memberikan nafkah
6
iddah bagi mantan istri karena istri dianggap nuzyuz. Namun dalam putusan cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai kasus cerai gugat hakim memberikan putusan menjatuhkan talak ba’in kepada suami dan mengabulkan gugatan cerai gugat tersebut dengan membebankan biaya nafkah iddah pada suami. Ada sisi menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang nafkah iddah dalam perkara gugat cerai, khususnya dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Istri yang menuntut cerai dari suaminya seharusnya dapat menggugurkan hakhaknya di masa mendatang, seperti hak nafkah selama iddah, mut’ah (pemberian dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda lainnya) dan mahar yang belum sempat terbayar. Namun dalam prakteknya terdapat kasus bahwa istri yang mengajukan cerai gugat kepada suaminya mendapatkan hak nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suaminya. Dari latar belakang tersebut diatas, maka dalam penelitian ini penulis akan membahasnya dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul, “PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT (Analisis Putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS).
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, tergambar banyak masalah yang dapat dikaji dan diteliti terkait dengan pemberian nafkah iddah. Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ketentuan Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat ?
7
2. Bagaimana ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat ? 3. Apakah terdapat kontradiktif antara ketentuan Hukum Islam dan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat ? 4. Bagaimana isi putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS) ? 5. Apakah pertimbangan hakim yang memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat pada putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS) ? 6. Bagaimana analisis pertimbangan dan putusan hakim yang memerintahkan tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada penggugat berdasarkan putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. ?
C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi masalah yang akan dikaji sebagai berikut: a. Putusan tentang cerai gugat. b. Pemberian nafkah iddah c. Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. dalam pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat.
8
2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Nafkah iddah identik dengan cerai thalak. Tetapi mengapa dalam putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. nafkah iddah dibebankan pada cerai gugat ? b. Apa dasar pertimbangan hakim dalam memutus Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. ? c. Atas dasar teori apa hakim memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahaui dasar putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. yang membebankan nafkah iddah pada cerai gugat. d. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. e. Untuk mengatahui dasar teori yang digunakan oleh hakim yang memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat.
9
b. Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, hasil studi ini diharapkan bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya, yaitu: a. Secara Akademik Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi acuan mengenai pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat dalam putusan pengadilan, sekaligus diharapkan dapat memberikan implikasi kepada masyarakat luas yang bermaksud mengetahui seluk beluk pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat. b. Secara Lembaga Pustaka Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah dalam memperkaya studi analisis yurisprudensi khususnya terkait dengan nafkah iddah.
E. Metode Penelitian Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penulisan, sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dan analisis yurisprudensi. Dalam skripsi ini secara khusus penulis menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS terkait tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai
10
gugat, sekaligus pengkajian dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini yang dianalisis data-datanya. Penelitian ini dilakukan melalui observasi langsung ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2. Jenis Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai berikut : a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. diperoleh melalui wawancara yang dilakukan dengan Bapak Drs. Muh. Rusydi Thahir, S.H., M.H., hakim pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, dan nafkah iddah. Adapun sumber data sekunder diantaranya adalah: 1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 2) Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. 3) Kompilasi Hukum Islam 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
11
a. Studi dokumentasi untuk memperoleh putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS terkait tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat. b. Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis bahas, di mana penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah, artikel maupun website. c. Wawancara yaitu dengan mengumpulkan data yang dilakukan penulis dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah dipilih sebelumnya yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Data hasil wawancara tersebut selanjutnya ditranskrip untuk dinarasikan dalam bentuk tulisan. 4. Teknik Pengolahan Data Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara mengedit data, lalu data yang sudah diedit tadi dikelompokkan dan disusun berdasarkan kategorisasi serta diklasifikasikan berdasarkan permasalahan yang dirumuskan secara deduktif. Dari data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif. a. Teknik Analisis Data Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan dengan sedemikian
rupa
sehingga
menjadi
sistematis
dalam
menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Data-data tersebut lalu dianalisis, sehingga membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna.
12
b. Teknik Penulisan Skripsi Teknik penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu dengan cara menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah tahun 2012. Penulisan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits ditulis satu spasi, termasuk terjemahan Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi meskipun kurang dari enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar pustaka ditulis diawal
F. Tinjauan Kajian Terdahulu Dari sekian banyak literatur skripsi yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, penulis menemukan data yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini antara lain: 1. Penulis yang bernama Hani Nurhanipah tahun 2013, dengan judul skripsi, “Hak Nafkah Iddah Istri Dalam Cerai Talak Akibat Nusyuz.” Tujuan skripsi ini menjelaskan dan menguraikan tentang bagaimana pertimbangan majelis hakim yang telah memberikan hak nafkah iddah kepada istri dalam cerai talak akibat istri nusyuz. 2. Penulis yang bernama Rohmad Heri Tri Cahyo tahun 2013, dengan judul skripsi, “Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah Yang Diakibatkan
13
Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013).” Tujuan skripsi ini menguraikan tentang pelaksanaan nafkah masa iddah di Pengadilan Agama Cikarang berdasarkan putusan tahun 2013. 3. Penulis yang bernama Edi Sutra Ritonga tahun 2013, dengan judul skripsi, “Efektivitas Pasal 149 Ayat B Kompilasi Hukum Islam Tentang Ketentuan Nafkah Iddah Talak Bain atau Nusyuz (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor: 1228/Pdt.G/2010/PA.JB).” Tujuan skripsi ini menguraikan tentang nafkah masa iddah menurut perspektif Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat. 4. Penulis yang bernama Muhammad Fazrul Lizan tahun 2008, dengan judul skripsi, “Nafkah Iddah Bagi Mantan Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
(Analisis
Putusan
Perkara
Nomor:
1038/Pdt.G/2008/PA.JT).” Tujuan skripsi ini menerangkan tentang nafkah iddah menurut KHI, syariat dan juga pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan hak nafkah iddah istri dikarenakan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Dari review yang saya lakukan, terlihat bahwa para peneliti memang sudah banyak yang membahas mengenai masalah pembagian nafkah iddah baik itu dalam perkara cerai talak ataupun cerai gugat. Perbedaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu adalah bahwa dalam penelitian ini penulis menitik beratkan pada putusan hakim yang kontradiktif dengan ketentuan Hukum Islam, dimana dalam ketentuan Hukum Islam, seorang istri yang melakukan cerai gugat tidak ada hak baginya untuk mendapatkan nafkah ‘iddah, sedangkan putusan hakim
14
pada perkara Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS membebankan kepada pihak Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat. Ketentuan yang mengatur hak-hak istri dalam masa iddah hanya bisa diperoleh ketika suami yang mengajukan cerai, namun dalam kasus ini majelis hakim rupanya mempunyai pertimbangan lain dikarenakan istri yang mengajukan cerai terhadap suaminya masih berhak mendapatkan hak-haknya dalam masa iddah, ini menarik sekali bagi penulis untuk membahasnya, dikarenakan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelum pembahasan skripsi ini memberikan inspirasi pada penulis untuk mengkaji lebih lanjut ditinjau dari segi mana dan apa yang menjadi dasar seorang majelis hakim memutuskan hak-hak istri dalam masa iddah di perkara cerai gugat. Penulis juga fokus dengan analisis putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar pembahasan skripsi ini tidak melebar. Dengan demikian penulis menggarisbawahi bahwasannya bahasan ini tidak ada kesamaan isi dan pertimbangan majelis hakim karena berdasarkan data yang diperoleh di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu sabagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian tinjauan terdahulu, dan sistematika penulisan.
15
Bab kedua mengenai kajian tentang tinjauan umum tentang gender, memuat pembahasan tentang: pengertian gender, dan gender menurut Hukum Islam. Bab ketiga mengenai tinjauan umum tentang cerai gugat dan nafkah iddah, yang memuat pembahasan tentang: pengertian cerai gugat, nafkah iddah dalam fiqh, dan nafkah iddah dalam undang-undang. Bab ketiga mengenai kajian tentang teori kepastian hukum dan teori keadilan dalam cerai gugat, memuat pembahasan tentang: teori kepastian hukum, teori keadilan hukum dan teori penegakan hukum. Bab keempat mengenai analisis hukum penetapan pemberian nafkah iddah yang memuat pembahasan tentang: duduk perkara kasus penetapan masa iddah, pertimbangan putusan dan analisis putusan. Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saransaran.
16
BAB II HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN
A. Pengertian Gender Kata “gender” telah digunakan di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Hal ini sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun agama untuk menyuarakan eksistensi perempuan dimana hal tersebut melahirkan kesetaraan gender.1 Namun pada mulanya gender adalah suatu klasifikasi gramatikal untuk benda-benda menurut jenis kelaminya terutama dalam bahasabahasa Eropa, kemudian Ivan Illich sebagimana dikutip oleh Ruhainah menggunakanya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat vernacular seperti bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang dan waktu, harta milik, tahu, alat-alat produksi, dan lain-lainya.2 Istilah gender di Indonesia lazim digunakan dengan memakai ejaan “jender”, diartikan dengan interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.3 Walaupun kata “gender” telah digunakan sejak tahun 1960, namun pengertian yang tepat mengenai kata “gender” tidak ada dalam bahasa Indonesia. Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris gender yang diberi arti “jenis kelamin”.4
1
Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008), h.
11. 2
Siti Ruhainah Dzuhayatin “Gender dalam Perspektif Islam” dalam Mansour Fakih (ed), Membincang Feminisme Diskursus Gender perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 231. 3 Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Perempuan, 2002), h. 2. 4 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003,), h. 265.
16
17
Senada dengan definisi di atas adalah definisi yang mengatakan bahwa gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan didasari pada faktor biologis dan jenis kelamin sebagai kodrat tuhan yang secara permanen memang berbeda. Gender adalah behavorial differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.5 Istilah gender juga sering diartikan dengan seks, yang secara biologis didefinisikan dalam kategori pria dan perempuan. Gender secara harfiah bisa juga berarti perbedaan antara maskulin dan feminine. Secara umum keduanya dapat dietrjemahkan sebagai “jenis kelamin”. Namun konotasi keduanya berbeda. Seks lebih merujuk pada pengertian biologis. Sedangkan gender pada makna sosial.6 Menurut Nasaruddin Umar mengutip dari Webster’s New Word Dictionary, Gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai tingkah laku”.7 Wome’s Studies Encyclopedia, memberikan penjelasan tentang pengertian gender yang dikutip oleh Umar yaitu “suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.8 Tidak jauh dengan apa yang dikemukakan Umar, istilah gender yang dipakai dalam buku Tafsir, sang penulis mengatakan bahwa gender adalah sebuah 5
Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008), h.
9. 6
Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, jilid I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 391. 7 Nasaruddin Umar, Op Cit,. 33. 8 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encyclopedia, Vol 1,(New York: Green Wood Press), h. 153.
18
konsep yang mengacu pada sistem peran dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan kepada sosial budaya, lingkungan, agama dan sebagainya, bukan pada perbedaan biologis mereka.9 Sedangkan Lips sebagaimana yang dikutip Mufidah Ch, mengartikan gender dengan cultural expectation for women and man atau harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.10 Dari paparan pengertian gender di atas terdapat benang merah bahwa gender adalah perbedaan peran yang terjadi dalam
masyarakat
akibat
disosialisasikan,
diperkuat,
dibentuk,
bahkan
dikonstruksi secara sosial dan kultural, melalui ajaran agama maupun negara. Semisal, penyebutan bahwa perempuan itu lemah lembut, laki-laki kuat perkasa, ini merupakan nilai yang dibangun di masyarakat yang dapat dipertukarkan. Makna gender lebih diperluas lagi dengan meninjau beberapa aspek seperti: gender sebagai istilah asing, gender sebagai fenomena sosial budaya, gender sebagi sebuah kesadaran sosial, gender sebagai persoalan sosial, gender sebagai prespektif.11 Eline Sholwater (1989) berpendapat bahwa wacana gender mulai berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok feminis London meninggalkan isu-isu lama yang disebut dengan patriarchal kemudian menggantikanya dengan isu gender. Sejak saat itu konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai
9
Mustabsyirah Dkk. Tafsir, (Aceh: Bandar Publishing, 2009), h. 259-260. Mufidah CH,. Psikologi Keluarga Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press, 2008), h.
10
2. 11
Umi Sumbullah dkk. Spektrum Gender, (Malang: UIN Press, 2008), h. 8.
19
seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga.12
B. Gender Menurut Hukum Islam Segala tindak tanduk seorang dalam suatu komunitas banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Baik nilai-nilai tersebut berupa kearifan local, atau budaya yang sudah lahir, maupun nilai itu lahir dari keyakinan yang mereka anut (agama), pada realitanya agama menempati urutan lebih tinggi dari pada nilai-nilai local yang mereka lestarikan.13 Indonesia sebagai negara yang mayoritas rakyatnya memeluk agama Islam menempati urutan pertama negara yang pemeluk agama Islam terbanyak di dunia. Islam sebagai agama mayoritas di bumi pertiwi ini, telah menawarkan konsep gender dengan meletakan perempuan dan laki-laki dalam partnership da keberadaanya diakui sederajat dengan hak dan kewajibanya masing-masing. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapan Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 35 sebagai berikut:
َّث َِّ ث و ْاى َُؤْ ٍَِِّْیَِّ و ْاى َُؤْ ٍِْب َِّ ِإَُّ ْاى َُ ْغ ِي َِیَِّ و ْاى َُ ْغ ِيَب ِ ث و ْاىقبِّخِیَِّ و ْاىقبِّخب َِّث و ْاىخب ِش ِعی َِّ ث واىصب ِب ِشیَِّ واىصب ِبشا َِّ واىصب ِدقِیَِّ واىصَّ ادِقب ْ َِّ ث واىصبئِ َِیَِّ واىصبئَِب ث َِّ ث و ْاى َُخص ِذّقِیَِّ واى َُخصذِّقب َِّ و ْاىخب ِشعب َّث أعذ َِّ یشا واىزا ِمشا َِّ و ْاىحبفِ ِظیَِّ فُ ُشوج ُھ ٌَّْ و َّْاىحبفِظب ً ِث واىزا ِم ِشیَِّ هللََّ مث هللََُّّ ى ُھ ٌَّْ ٍ ْغ ِفشة وأ ْج ًشا ع ِظی ًَب Artinya “Sesungghunya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatanya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki 12
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press,
2008), h.1. 13
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, h.2.
20
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,”14.
Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan merupakan konsep hubungan yang meletakan laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang dapat saling mempengaruhi secara positif. Kemitrasejajaran juga dapat berarti persamaan status mereka dalam masyarakat yang tercemin dalam sikap saling menghargai, menghormati, mengisi, dan membantu, yang antara lain terwujud dalam pengambilan keputusan, penentuan kebijaksanaan dan dalam pelaksanaan serta pemanfaatan hasil pembangunan. Ini tercemin dalam Al-Qur’an Surata At-Taubah ayat 71 sebegai berikut:
َّ وف وی ْْھ ْو ُ َِّ ض ُھ ٌَّْ أ ْو ِىیب َُّء ب ْعطَّ یأ ْ ٍُ ُشوَُّ ِب ْبىَ ْع ُش َُّ ٍِْ ْو ْاى َُؤْ ًَِّ ُّوَُّ و ْاى َُؤ ُ بث ب ْع عوى َُّھ َِّ ع ُ ِ ْاى َُ ْْن َِّش ویُ ِقی َُوَُّ اىصَلةَّ ویُؤْ حُوَُّ اىضمبةَّ ویُ ِطیعُوَُّ هللََّ وس ٌَّل ی َِّ َّأُوىئِلَّ عی ْشح َُ ُھ ٌَُّ هللََُّّ ِإَُّ هللََّ ع ِضیضَّ ح Artinya: “Dan orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sehingga mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat pada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. Kata َّ أ ْو ِىیب ُءdalam ayat di atas, dalam pandangan Qurais Shihab, mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan “menyuruh mengerjakan yang makruf” mencakup segala segi kebaikan termsuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.15Islam memberikan hak-hak yang luas kepada perempuan, dan
14
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta Proyek Pengadaan Kitab Suci AL-Qur’an, Depag R.I., 2005) h.. 422. 15 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2006), h. 61.
21
sungguh teramat luas jika dibanding dengan hak-hak yang mereka peroleh pra Islam. Pemberian hak-hak tersebut dapat dilihat pada hak-hak penting seperti dalam dunia politik, intlektual, perekonomian, dan lain-lain. Dalam Islam tidak ditemukan ayat atau hadis yang perempuan katif dalam dunia politik, perekonomian, menuntutt ilmu dan lain-lain. Sebaliknya Al-Qur’an dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Pendapat ini tampak dalam kandugan ayat di atas. Disamping dua ayat di atas dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 97 dijelaskan sebagai berikut:
ًَِّ َّرمش َّأ ْو َّأ ُ ّْثى َّو ُهو َّ ٍُؤْ ٍِِ َّفيُْ ْح ِییْهُ َّحیبة ً َّط ِیّبت َّْ ٍَّ ِ ٍ ِْ َّع َِو َّصب ِى ًحب َُّوىْ ْج ِضیْ ُھ ٌَّْأ ْجش ُه ٌَّْبِأ ْحغ ٍَِِّبَّمبُّواَّی ْعَيُو Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.16. Ayat ini menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal shaleh harus disertai Iman. Disamping itu ayat ini menegaskan bahwa Islam memperlakukan perempuan sebagaimana laki-laki. Satu-satunya yang membedakan adalah ketakwaan, atau nilai spiritual seseorang bukan dilihat dari jenis kelaminya. Jika dasar suprioritas laki-laki atas perempuan dalam Al-Qur’an dan masyarakat bersifat relatif, tergantung pada kualitas masing-masing individu dan sama sekali bukan bersifat gender, maka penafsiran Al-Qur’an yang bias laki-laki selama ini harus dirumuskan kembali. Ini dilakukan untuk mengembalikan 16
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 278.
22
pemahaman Al-Qur’an tentang perempuan yang bias kepada imajinasi para penafsir serta sejarah dan zamanya kepada pemahaman Al-Qur’an secara adil. Pemahaman Al-Qur’an tidak boleh dijadikan alat religious untuk menghalangi pengharapan kaum perempuan. Sebaliknya, ia harus memberikan pencerahan harapan di masa kini maupun masa depan.17 Al-Qur’an dengan secara tegas menjelaskan bahwa manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini. Sedangkan khalifat itu sendiri tidak tertuju pada jenis kelamin tertentu sebagaimana penjelasan Al-Qur’an dalam Surata Al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut:
َِّْ ٍ و ِفیھب َُّ ض خ ِيیف َّتً قبىُوا أح ْجع َّ ِ و ِإ َّْر قبهَّ سبُّلَّ ِى ْيََل ِئن َِّت ِإ ِّّي جب ِعوَّ ِفي ْاْل ْس ِط ىلَّ قبهَّ ِإ ِّّي أعْي ٌَُّ ٍب َُّ ّح بِح َْذِكَّ وُّقذ َُّ ِّ ُّغ ِب َُّ ل اىذٍِّبءَّ وّ ْح َُّ یُ ْف ِغ َّذ ُ فِیھب وَّ ی ْغ ِف َُّلَّ ح ْعي َُو Artinya: “Ingatlah ketika tuhanmu berkata pada malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khlaifah di muka bumi,. “mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah)18 di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”19 Menurut Quraish Shihab ayat tersebut menunjukan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah swt, mahluk yang diserahi tugas, yakni Adam, as. Dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini. Jika sedemikian kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan
17
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I, h. 139. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I, h. 140. 19 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 6. 18
23
kehendaknya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan 20 Allah tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam statusnya sebagaimana hamba, hal ini tercemin dalam Al-Qur’an Surat Ad- Dzariyat ayat 56 sebagai berikut:
َُُّو َُّ وٍب خي ْق ِ ْ ج ْاى ِجَِّ و ِ اْل ّْظَّ إِلَّ ِىی ْعبُذ Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi”21 Dalam Al-Qur’an Allah juga memuliakan anak turunya nabi Adam, dalam memuliakan itu Allah tidak menyebutkan jenis kelamin yang pantas dimuliakan, namun semua anak turun nabi Adam, baik jenis kelamin laki-laki, maupun perempuan. Hal ini tergambar dalam penjelasan Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 70 sebagai berikut:
َّث َّ ٍِ ٌَّْ وىق َّْذ مش ٍْْب ب ِْي آدًَّ وحَ ْيْب ُه ٌَّْ ِفي ْاىب ِ ّشَّ و ْاىب ْح ِشَّ وسص ْقْب ُه ِ ِ اىط ِیّبب َّ ً ض یَل َّْ ٍَِ َّوفض ْيْب ُه ٌَّْ عيى مثِیش ِ ِ خي ْقْب ح ْف
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di alautan kami beri mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan”22 Ayat yang secara jelas dan gamblang menjelaskan bahwa Allah menilai dari kualitas individu hamba bukan terletak pada jenis kelamin ialah terdapat pada Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai berikut:
ُ َّ ٌْ ٍَّ ِْ َّرمش َّوأ ُ ّْثىَّوجع ْيْب ُم َّشعُوبًبَّوقببئِو َّ ِىخعبسفُوا ِ ٌْ بط َّإِّبَّخي ْقْب ُم ُ ْیبأیُّھبَّاى ْ َِّإَُّأ ْمشٍ ُن ٌَّْ ِع ْْذََّّللاَِّأحقب ُم ٌَّْ ِإََُّّللاَّع ِيیٌَّخ ِبیش Artinya “Hai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah 20
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I ,. h. 140. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 523. 22 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 289. 21
24
yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”23 Atas dasar ayat di atas prinsip Al-Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama. Semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil. Oleh karena itu subordinasi kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang, yang tidak sesuai dengan semangat keadilan AlQur’an. Karena yang dianggap hamba yang mulia bukan jenis kelamin tertentu, melainkan ihwal orang tesebut. Salah satu visi Nabi Muhammad SAW, diutus dimuka bumi ini adalah untuk memperbaiki dan menunjukan manusia pada jalan yang semestinya mereka lakukan. Pasalnya kehidupan pra Muhammad diutus atau sebelum Islam lahir sebagai agama paripurna, kehidupan di jazirah yang tandus (Arab) sangat memprihatinkan. Semisal peraktik poligami tanpa batas, perbudakan,24 dan perempuan dianggap aib, sehingga mereka tidak mempuanyai kuasa apa-apa baik dalam persaksian maupun warisan, malah mereka dijadikan warisan. Saat itu suami disebut dengan ba’al (tuan).25 Kata ini menyiratkan otoritas dan kekuasaan mahaluas yang dinikmati oleh seorang laki-laki di dalam keluarga bagi bangsa-bangsa pra Islam. Ini juga menjadikan spirit sistem paternalism yang dianut oleh suku-suku nomaden secara umum meniscayakan komposisi rumah tangga patriarki yang terdiri dari laki-laki sebagai poros, lalu sejumlah istri
23
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 517. Khalil Abdul Karim, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Makna, trj, Kamran As’ad (Yoyakarta: Lkiss, 2000), h. 89. 25 Khalil Abdul Karim, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Makna , h. 33. 24
25
merdeka, ditambah budak-budak sarriyah (yang boleh disetubuhi secara bebas tanpa ikatan pernikahan).26 Tak ayal jika semenjak lahir perempuan dalam tradisi Arab Jahiliyyah sudah dianggap membebani bangsa, sumber fitnah, dan sumber kemiskinan. Sehingga membunuh anak perempuan dalam tradisi Jahiliyah bukanlah pekerjaan yang tabu. Hadirnya Islam dari seorang yang bernama Muhammad bin Abdullah, laksana lentera dalam pekatnya malam, laksana tetes embun di padang sahara. Dengan syaria’at yang dibawanya banyak hukum-hukum dan budaya yang merugikan kelompok tertentu didekonstruksi dan di rekonstruksi, sebut saja perbudakan dan hukum poligami tanpa batas. Tak hanya itu Muhammad juga menciptakan hukum-hukum baru yang humanis dan lebih inklusif, semisal adanya waqaf.
Islam
juga
mengajarkan
nilai-nilai
kemanusiaan,
keadilan
dan
kesetaraan.27 Dengan syariah yang seperti itu Islam tercatat sebagai agama yang paling sukses dalam menyebarkan ajaranya. Secara epistemologi, proses pembentukan kesetaraan yang dilakukan oleh Rasullah tidak hanya pada wilayah domestik tetapi hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Apakah perempuan sebagai ibu, istri, anak, nenek,dan anggota masyarakat, sekaligus memberikan jaminan keamanaan untuk perlindungan hak-hak dasar yang telah dianugerahkan tuhan kepadanya. Dengan demikian Rasulullah telah memulai tradisi baru dalam pandangan perempuan karena: 26
Khalil Abdul Karim, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Makna, h. 33. Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press. 2008) , h. 20-21. 27
26
Pertama : Beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang dunia (world view) masyarakat arab yang saat itu masih didominasi oleh cara pandang masyarakat era Fir’aun (QS. Al-Nahl:58-59), dimana latar historis yang menyertai konstruk masyarakat ketika itu adalah bernuansa misoginis. Rasulullah endiri dikaruniai anak laki-laki (Sayyid Ibrahim), meninggal ketika masih berumur 17 bulan. Hal itu menyimpan pelajaran berharga bahwa pengkultusan pada anak laki-laki tidak dilakukan beliau. Satu kebiasaan yang dipandang spektakuler, beliau sering menggendong putrinya (Fatimah) secara demonstrative di depan umum, yang dinilai tabu oleh masyarakat arab ketika itu. Apa yang beliau lakukan merupakan proses pembentukan wacana bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh dibedabedakan. Kedua: Rasulullah memberikan teladan perlakuan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf) terhadap perempuan di sepanjang hidupnya. Beliau tidak pernah melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya, meskipun satu sama lain berpeluang untuk saling cemburu.28 Status perempuan pada zaman rasul bisa dlihat pada keterlibatan mereka dalam sejumlah peran-peran penting yang memilki makna historis monumental. Misalnya dalam proses periwayatan hadis dan pembentukan wacana Islam awal. Sejumlah pendapat yang beredar di kalangan para penulis biografi sahabat mengatakan bahwa tidak diragukan lagi peranan perempuan sangat besar dalam hal ini. Ibnu Ishaq, penulis biografi awal menyebut tidak kurang dari 50
28
Mufidah Ch. Paradigma Gender, (Malang: BAnyumedia, 2003), h. 37.
27
perempuan ikut sebagai perawi hadis. Dalam kitab Al-Muwatha’ juga cukup banyak hadis yang diriwayatkan oleh perempuan. Data historis menunjukkan bahwa kaum perempuan telah memberi kontribusi yang signifikan terhadap penulisan dan pembukuan Al-Qur’an sebagaimana Hafsah binti Umar, istri beliau adalah seorang hafidzah (penghafal Al-Qur’an) dan pandai baca tulis. Perempuan juga dipercaya untuk menyimpan rahasia vital berkenaan dengan komunitas muslim, misalnya kaum perempuan pertama kali belajar tentang wahyu, mereka memegang rahasia berupa tempat persembunyian Nabi menjelang hijrahnya ke Madinah. Menjelang Nabi Wafat beberapa perempuan terpilih dari komunitas muslim dimintai pendapatnya tentang siapa yang sebaiknya menggantikan nabi. Tentang politik, Al-Qur’an menunjuk pada kaum perempuan yang bersikap mandiri dari keluarga laki-lakinya memberi bai’at (janji setia) kepada nabi (QS. Al-Mumtahanah). Sejumlah perempuan lebih dahulu masuk Islam sebelum suami-suami mereka. Fenomena ini membuktikan bahwa peran politik dalam Islam telah ada sejak masa nabi. Aisyah, istri beliau juga mengambil peran penting dalam politik hingga keterlibatannya dalam perang jamal. Di bidang pendidikan, Rasulullah memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk mengkaji Islam secara khusus kepada beliau pada hari-hari tertentu. Aisyah tercatat sebagai perempuan yang banyak meriwayatkan hadis. Dan melakukan ijtihad sebanyak 200 fatwa secara mandiri dan 600 fatwa bersama dengan sahabat-sahabat lainnya. Sebagai seorang hadis terdepan, Aisyah telah meriwayatkan hadis pada kurun awal mencapai 2210 hadis. Imam Bukhari dan
28
Muslim yang dikenal sangat ketat menetapkan standar keshahihan hadis, keduanya memasukkan ke dalam koleksi hadis yang ditakhrijkan sebanyak 300 hadis.29 Terdapat empat prinsip yang harus diperhatikan dalam reinterpretasi hukum Islam agar sesuai tujuan, yaitu; prinsip keadilan, kesetaraan, musyawarah dan muasyarah bil ma’ruf (pergaulan yang baik), yang diuraikan sebagai berikut: 1. Prinsip Keadilan Keadilan merupakan salah satu konsep sentral yang harus terwujud dalam hukum Islam, sebab di samping konsep tauhid keadilan menempati ruang penting dalam keberlangsungan hukum Islam. Fakta sejarah menunjukan bahwa Islam lebih dari sekedar agama formal. Islam adalah risalah agung yang bagi transformasi sosial, pembebasan dan tantangan bagi kepentingankepentingan pribadi. Semua ajaran Islam pada dasarnya berpijak pada terwuju dan terlaksana suatu kondisi kehidupan yang adil.30 Secara realitas fiqih yang telah bertaburan dan dibukukan rentan dengan bias gender maskulinya. Ini adalah salah satu indikator adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang berkembangan dalam fiqih. Sejatinya prinsip keadilan dalam fiqih adalah adanya keseimbangan dalam memandang hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki secara proporsional, sesuai dengan hakikat asal kejadian kedua jenis manusia yang diciptakan secara sejajar dan seimbang oleh Allah. 29
Leila, Ahmed, “Women and Gender in Islam : Historical Roots of modern Debate”, diterjemah MS Nasrullah, “Perempuan Dan Gender Dalam Islam” (Jakarta: Lentera, 2000), h. 89. 30 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan (Jakarta: P3m, 2004), 130.
29
Jika dikaji lebih mendalam lagi, ternyata keadilan merupakan tiang dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan keadilan dianggap oleh ahli ushul fiqih sebagai tujuan syariat. Wahbah Zuhaili sebagaimana dikutip oleh Muhlis Usman menyatakan, bahwa Islam dibangun atas asas menghilangkan kesukaran dan kesulitan memelihara kemaslahatan manusia keseluruhan, dan yang terpenting adalah mewujudkan keadilan dan mencegah penganiyaan antar person.31 Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143 dijelaskan sebagai berikut:
ً ومز ِىلَّ جع ْيْب ُم ٌَّْ أٍُ َّتً وع ُ طب ِىخ ُنوُّوا َّط َّ ِ ْشھذاءَّ عيى اى ُ بط وی ُنوَُّ اىش ه عي ْی ُن ٌَّْ ش ِھیذًا َُّ و Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.32 Muhammad
Abu
Zahrah
sebagaimana
dikutip
Masfuk
Zuhdi
menyebutkan tiga kriteria keadilan, yaitu: Pertama; keadilan hukum, system hukum yang berlaku harus unifikasi (seragam) untuk seluruh warga Negara tanpa adanya diskriminasi. Kedua; keadilan sosial, memberi kesempatan yang sama untuk bekerja menurut kemampuan dan keahlian yang dimiliki. Jika ia masih lemah maka perlu dibantu. Ketiga; keadilan pemerintahan, semua warga Negara mempunyai kedudukan sama dalam pemerintah tanpa memperdulikan suku, bangsa, bahasa, dan budaya.33 2. Prinsip musawah (kesetaraan)
31
Muhlis Ustman, Filsafat Hukum Islam, (Malang, Lbb Yan,s Press, 2002), h. 40. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 22. 33 Mazfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Hajimasagung, 2000), h. 33. 32
30
Kedatangan Islam di muka bumi ini merupakan solusi yang solutif terhadap beberapa praktek hukum, budaya, adat istiadat, dan kebiasaan yang diskrimnitatif. Hukum Islam ditetapkan untuk tidak mendiskriminasikan antar suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya, serta tidak membedakan status sosial masyarakat. Sebagaimana kandungan Al-Qur’an Surat Al-Hujarat ayat 13 sebagai berikut:
ُ ٌَّْ ِ ركَسَّ وأ ُ ّْثى وجع ْيْب ُم َّشعُوبًب وقبب ِئو َّْ ٍِ ٌَّْ بط ِإّب خي ْقْب ُم َُّ ْیب أَیهَُّا اى ََّّللاِ أحْقب ُم ٌَّْ ِإَُّ َّللاَّ ع ِيیٌَّ خ ِبیش َّ َِّىخعبسفُوا ِإَُّ أ ْمشٍ ُن ٌَّْ ِع ْْذ Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.34 Islam tidak membedakan warna kulit, status sosial, dan jenis kelamin. Di sini kesetaran yang akhir-akhir ini menjadi kajian hangat adalah kesetaraan gender. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan structural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan mengindetifikasi adanya kehidupan umat manusia yang menghargai kesamaan asal muasalnya sebagai manusia dan kesamaan pembebanan, dimana setiap manusia dikarunia akal untuk berfikir. Perbedaan 34
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 517.
31
secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang perlu dipersoalkan. Hal ini karena kodratnya, perempuan harus melahirkan dan menyusui serta hal lain yang berhubungan dengan reproduksi. Problem baru muncul tatkala perbedaan jenis kelamin melahirkan ketidakadilan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Melihat dari sudut gender, relasi antara laki-laki dan perempuan mesti diletakan dalam konteks kesetaraan dan keadilan, sebab ketidakadilan gender disamping bertentangan dengan sprit Islam juga hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan. Islam dengan sangat tegas mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama.35 Al-Qur’an tidak menekankan superioritas dan inferiorias atas dasar jenis kelamin, namun yang membedakan di anatara mereka hanyalah kadar ketaqwaan (al-Hujurat: 13). 3. Musyawarah Prinsip yang menghendaki pembinaan hukum Islam melalui konsensus yang kolektif antar ulama, sehingga keputusan hukum berlaku untuk totalitas masyarakat tanpa adanya diskriminasi sekte dan jenis kelamin. Meskipun demikian Islam membenarkan adanya perbedaan hasil ijtihad selama masalah itu dalam lingkup masalah ijtihadiyah. Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 159 dijelaskan sebagai berikut:
َّ و عيى َّْ وشب ِو ْس ُه ٌَّْ فَِّي ْاْل ٍْ َِّش فئِرا عض ٍْجَّ فخوم َِّللا
Artinya: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah” .36 35
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan,
36
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 71.
h. 132.
32
Konsep musyawarah tidak hanya berguna untuk hal-hal yang bersifat makro (kehidupan publik) saja, namun ia juga untuk hal-hal yang bersifat mikro (kehidupan privat), misalnya urusan kehidupan keluarga. 4. Muasyarah bil Ma’ruf (Pergaulan yang baik). Muayarah bil ma’ruf merupakan tindakan yang memanusiakan manusia karena ini menganggap semua manusia harus diperlakukan dengan baik, terutama dalam hubungan suami istri. Ma’ruf tidak hanya memliki makna kebaikan, tetapi juga berisi kebaikan yang memperhatikan partikularitas dan lokalitas pemberlakuan prinsip mu’asyrah bil ma’ruf ini, sekaligus menjadikan partikularitas yang berkaitan dengan karakter perempuan sedikitnya bisa dipahami.37
37
Laily Hanifah, Kesetaraan Gender dalam Islam (http://situs kesrepro,info/: diakses tanggal 24 Oktober, 2015).
33
34
BAB III CERAI GUGAT DAN NAFKAH IDDAH
A. Cerai Gugat 1. Pengertian Cerai Gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permahonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud.1 Menurut Subekti istilah Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan Hakim, atau tuntutan oleh salah satu pihak dalam perkawinan itu.2 Kemudian dalam kamus Hukum Talak (Thalaq) adalah perceraian dalam Hukum Islam atau kehendak si suami.3 Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 114 bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena Talak atau Gugatan Perceraian.4 Menurut UUPA Nomor 7 Tahun 1989 telah mengubahnya dengan istilah baru. Istilah yang dipergunakan untuk permohonan Talak disebut “Cerai Talak”, sedang untuk Gugat Cerai istilahnya dibalik menjadi “Cerai
1
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.
81. 2
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), h. 42. Simorangkir dkk, Kamus Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, , 2008), h. 165. 4 Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Fokusmedia, 2005). h. 38. 3
34
35
Gugat”.5 Dengan istilah baru ini, dipertegas bentuk pemecahan perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan Agama sesuai dengan Hukum Islam. Ahrum Hoerudin juga menambahkan pengertian Cerai Gugat secara luas ialah suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat (pihak isteri) kepada Pengadilan Agama, agar tali perkawinan dirinya dengan suaminya diputuskan melalui suatu putusan Pengadilan Agama, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.6 Dijelaskan pula dalam KHI Pasal 132 Ayat 1 menyebutkan bahwa: “Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah Hukumnya mewilayahi tempat tinggal Penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.”7 Dalam hukum islam pun menjelaskan bahwa orang (istri) yang meminta kepada suaminya untuk memutuskan atau menceraikannya itu dinamakan Khuluk. Dengan demikian Khuluk mempuyai pengertian sebagai berikut: Khuluk yang terdiri dari lafaz ( ) خهعyang berasal dari bahasa secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.
Lepasnya
hubungan perkawinan suami atau istri diserupakan dengan lepasnya pakaian
5
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). Cetakan ke-2, h. 207. 6 Ahrum Hoerudin, Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). (Bandung: PT. Aditya Bakti, 1999), h. 20. 7 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah haji. (Surabaya: Kesindo Utama, 2012). h. 235.
36
sebagaimana al-Quran menyatakan bahwa istri merupakan pakaian suami begitupun juga sebaliknya suami menjadi pakaian istri.8 Sebagaimana firman Allah:
ٍَّ ُٓ َبط ن ٌ َبط نَ ُك ْى َٔأ َ َْخ ُ ْى ِنب ٌ َُْ ٍَّ ِنب Artinya: “Mereka (para istri) merupakan pakaian bagi kalian, dan kalianpun merupakan pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah: 187)9 Beberapa ulama berpendapat mengenai hal tersebut diantaranya: a. Secara istilah menurut Madzab Hanafiyah
ٔأ, انخهع ْٕ إ صانت يهك انُكبح انًخٕلفت عهى لبٕل انًشأة بهفظ انخهع . ِيبفى يعُب Artinya: “Khuluk adalah hilangnya kepemilikan nikah yang berpijak pada qabul dari istri dengan menggunakan lafaz khuluk atau yang semakna”.10 Menurut mereka perceraian dengan harta tanpa lafaz khuluk dan mubaraah tidak bisa dikaitkan khuluk akan tetapi disebut talak atas harta (al thalaq „ala mal). b. Menurut Madzab Malikiyah
.انخهع ْٕ انطالق بعٕض Artinya: “Khuluk adalah talak dengan tebusan atau harta pengganti („iwadh).”11 Dari definisi tersebut menurut mereka tidak ada perbedaan antara khuluk dengan talak atas harta (al thalaq „ala mal), dalam khuluk tidak
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Media, 2007), h. 231. 9 Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), h. 36 10 Ahmad Ghandur, al Thalaq fi al-syari‟ah al-islamiyah wa al-qanun, (Mesir: Dar alMa‟rif, 1967), h. 259. 11 Khutab al Ra‟iniy, Mawahib al-Jalil Juz II, (Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th), h. 268.
37
ada pengkhususan dengan lafaz tertentu seperti jatuhnya talak dengan sharih (jelas) dan kinayah (sindiran) dibarengi dengan niat. c. Menurut Madzab Syafi‟iyah
. انخهع ْٕ فشلت بعٕض بهفظ طالق أ خهع Artinya: “Khuluk adalah perceraian dengan tebusan menggunakan lafaz talak atau khuluk.”12 Yang dimaksud dengan lafaz talak adalah lafaz dari beberapa lafaz talak baik berupa sharih (jelas) atau kinayah (sindiran) dan lafaz khuluk sebgaimana dengan talak. d. Menurut Madzab Hanabilah
انخهع ْٕ فشاق انضٔج ايشأحّ بعٕض يؤخزِ يُٓب أٔيٍ غيشْب بؤنفظ . يخصٕصت Artinya:
“Putusnya perkawinan suami terhadap istri dengan menggunakan tebusan yang diambil suami dari istrinya atau selainnya, dengan menggunakan lafaz tertentu”.13
Faidah dari definisi tersebut pengkhususan istri dari suami dalam suatu pendapat bahwa tidak ada rujuk bagi suami terhadap istri kecuali dengan ridha atau kerelaan istri.
2. Landasan Hukum
12
Qalyubi dan „Umairah, Hasyiyatani Qalyubi wa „Umairah, Juz III, (Beirut: Dar- al Fikr, 1995), h. 208. 13 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al Islam wa Adilatuhu Juz IX, (Beirut: Dar al Fikr, 2006), h. 7008.
38
Apabila istri ingin melepaskan diri dari hubungan perkawinan, maka istri dapat melakukan khuluk Yaitu dengan memberikan tebusan untuk menebus dirinya dari suaminya. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT.
ش ْيئًب إِ ََّل أ َ ٌْ يَخَبفَب أ َ ََّل َ ٍَّ ًُُْٕ ُ َٔ ََل يَ ِح ُّم نَ ُك ْى أ َ ٌْ حَؤ ْ ُخزُٔا ِي ًَّب َءاح َ ْيخ... َّ ََّللاِ فَإ ِ ٌْ ِخ ْفخ ُ ْى أ َ ََّل يُ ِمي ًَب ُحذُٔد َّ َيُ ِمي ًَب ُحذُٔد َّللاِ فَ َال ُجَُب َح َعهَ ْي ِٓ ًَب فِي ًَب ْ َا ْفخَذ ..... ِّ ِث ب Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”....... (al-Baqarah: 229).14 Khuluk yang terjadi pada awal Islam sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik (Al- Bukhori) dan mendaji dasar kebolehannya sebagaiberikut:
: أٌ ايشأة ثببج بٍ ليظ أحج انُبي صم هللا عهيّ ٔعهى فمبنج يبسعٕل هللا ثببج بٍ ليظ يبأعيب عهيّ فى خهك َٔلديٍ ٔنكُى ٍأحشدي: أكشِ انكفشفى اَلعالو فمبل سعٕل هللا صهى هللا عهيّ ٔعهى البم: عهيّ حذيمخّ؟ فمبنج َعى فمبل سعٕل هللا صهى هللا عهيّ ٔعهى انحذيمت ٔطهمٓب حطهيمت Artinya :“Istri Tsabit bin Qais datang mengadu kepada Nabi SAW dan berkata; Ya Rasulullah Tsabit bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya, akan tetapi saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: maukah kamu mengembalikan”
14
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah, h. 45.
39
kebunnya? Si Istri menjawab: Ya mau. Rasulullah SAW berkata pada Tsabit: ceraikanlah dia satu kali Cerai”.15 3. Prosedur Pengajuan Cerai Gugat Adapun prosedur untuk mengajukan gugatan cerai oleh istri sebagai berikut: a. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gagatan tersebut melalui Perwakilan RI setempat. b. Gugatan Perceraian karena alasan: 1) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya dapat diajukan setelah 2 tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama. 2) Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah 15
Bukhari, Shahih Bukhari bi Hasyiyah al Sindi, Juz III, (Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al „arabiyah, t.th.), h. 273.
40
mendengar pihak keluarga serta orang-orang yagn dekat dengan suami istri tersebut. 3) Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya
yang mungkin
dikabulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. d. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: 1) Menentukan nafkah yang harus ditanggungkan oleh suami. 2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang26 barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.16
4. Pendapat Ulama Tentang Cerai Gugat
16
Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 80
41
Pendapat sebagian ulama bahwa: Khuluk boleh (mubah) ketika terjadi Syiqaq (perselisihan terus menerus) dan ketidak cocokan diantara keduanya, dibolehkan pula ketika Istri membenci Suaminya karena keburukan akhlaknya atau agamanya atau karena kesombongannya. Demikian juga jika istri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah.17
ْ َ فَ َال ُجَُب َح َعهَ ْي ِٓ ًَب فِي ًَب ا ْفخَذ..... ..... ِّ ِث ب Artinya: .......Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.......... (al Baqarah: 229)18 Dalam masalah ini, Abu Bakar bin Abdullah Al Mazani berbeda pendapat dengan jumhur ulama. Menurutnya bahwa suami tidak boleh mengambil suatu apapun dari istri.19 Dia berpendapat bahwa ayat khuluk telah dimansukh (dihapus) dengan firman Allah:
َ ُْ َِٔإِ ٌْ أ َ َس ْدح ُ ُى ا ْعخِ ْبذَا َل صَ ْٔجٍ َي َكبٌَ صَ ْٔجٍ َٔ َءاح َ ْيخ ُ ْى إِ ْحذَا ُْ ٍَّ ل بسا فَ َال ً ط ش ْيئًب َ ُُّْ حَؤ ْ ُخزُٔا ِي Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun”. (QS. An-Nisa‟: 20)20 Jumhur fuqaha berpendapat bahwa makna ayat ini adalah apabila pengambilan tersebut tanpa kerelaan istri, adapun jika dengan kerelaan maka itu diperbolehkan. Ibn Rusyd menyatakan perbedaan pendapat ini
17
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 552 Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah, h. 45. 19 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, ) Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 88. 20 Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemahannya, h. 105. 18
42
disebabkan oleh kandungan lafaz apakah diartikan keumumannya atau kekhususannya.21 Khuluk menjadi makruh apabila tanpa sebab dan keadaan keluarga istiqamah, walaupun begitu khuluk dianggap sah kendati makruh hal ini dikarenakan firman Allah SWT:
غب فَ ُكهُُِٕ َُِْيئًب َي ِشيئًب ً َيءٍ ِي ُُّْ ََ ْف ْ فَإ ِ ٌْ ِطبٍَْ نَ ُك ْى َع ٍْ ش Artinya: ......”jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin (mahar) itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisa‟: 4)22 Di dalam hadist disebutkan bahwasanya perempuan yang meminta cerai tanpa alasan maka tidak akan mencium bau surga sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
أيًب ايشأة عؤنج صٔجٓب انطالق يٍ غيش بؤط فحشاو عهيٓب سئحت. انجُّت Artinya: “wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga.” (HR. Turmudzi).23 Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya dan khuluk dianggap batal. Imam Ahmad berkata: “Khuluk adalah seperti yang terdapat dalam hadis sahlah, dimana ia membenci suaminya lalu ia memberikan mahar sebagai tebusan, demikian itulah khuluk “.24
21
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hal 554. Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah. h. 100. 23 Imam At-Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz 5, (Beirut: Daar el Fikr, t.t.), h.125. 24 Ibn Qudamah, al Kafi fi fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal, Juz 3, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), h. 99. 22
43
Makruh merupakan hukum asal dari khuluk seperti hukum dalam talak, hal ini sebagaimana dipegangi oleh kalangan Syafi‟iyah kecuali jika keduanya tidak khawatir dalam melaksanakan hak-hak Allah dan apabila suami bersumpah dengan talak tiga terhadap tidak adanya suatu perbuatan maka wajib bagi suami dari perbuatan yang menyalahi sumpah nya. Seperti masuknya suami didalam rumah kemudian mengkhuluk istrinya supaya suami bersih dari sumpah talak tiga.25 Khuluk menjadi haram apabila suami menyakiti istrinya seperti bertindak kasar, memukul atau menolak memberikan nafkah dan lain sebagainya supaya si istri melakukan khuluk. Maka khuluk istri dianggap batal dan jatuh raj‟i.26
B. Nafkah Iddah Dalam Fiqih 1. Pengertian Nafkah Iddah Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan bahwa nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.27 Sayyid Sabiq dalam buku fiqh sunnah menyebutkan bahwa
25
Ibrahim al Bajuri, Hasyiyah al „alamah Syaikh Ibrahim al Bajuri, jilid 2, (Beirut: Dar ibn „a Shaashah, 2005), h. 197. 26 Syihabuddin al Ramli, Nihayat al Muhtaj ila Syarh al minhaj, Juz 6, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993), h. 393. 27 Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1281.
44
nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan isteri jika ia seorang yang kaya.28 Menurut Djamaan Nur dalam buku fiqh munakahat, nafkah adalah suatu yang diberikan oleh seseorang kepada isteri, kerabat, dan kepada miliknya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Keperluan pokok itu adalah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dari beberapa definisi di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan nafkah adalah semua biaya pembelanjaan atau pengeluaran seseorang untuk mencukupi dan memenuhi kebutuhan pokok yang dibutuhkan.29 Kata nafkah sendiri berarti belanja hidup (uang) pendapatan, suami wajib memberi kepada Istrinya, rizki, bekal hidup sehari-hari dan kata iddah berarti masa tunggu bagi wanita yang dicerai oleh mantan suaminya, jadi nafkah Iddah sama juga berarti nafkah yang diberikan oleh mantan suami setelah terjadinya perceraian. Sehingga yang dimaksud dengan nafkah Iddah atau nafkah cerai adalah tunjangan yang diberikan seorang pria kepada mantan istrinya berdasarkan putusan pengadilan yang menyelesaikan perceraian mereka.30 2. Kadar Nafkah Iddah Memang tidak ada ketentuan yang pasti yang mengatur masalah kadar nafkah iddah terkait berapa jumlahnya, baik itu dalam Al-Qur‟an dan Hadis, maupun dalam hukum positif. Namun hal itu dapat disamakan.
28
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. juz 7, (Bandung: PT. Al Ma‟arif, cet. 12, 1996), h. 73. 29 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra, cet. I, 1993), h. 101. 30 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 667.
45
dengan kadar nafkah yang harus diberikan oleh suami yang masih dalam ikatan perkawinan atau sebelum terjadinya perceraian. Mengenai kadar nafkah, dalam Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 6 dan 7 hanya memberikan gambaran umum bahwa nafkah diberikan kepada istri menurut kecukupan dari keperluan sehari-hari dan sesuai dengan penghasilan Suami. Dalam KHI juga tidak dijelaskan secara rinci berapa kadar nafkah terhadap istri, hal itu terdapat pada Pasal 80 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala suatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”31 Karena tidak adanya penjelasan mengenai kadar nafkah yang secara spesifik, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih. Berdasarkan pendapat jumhur yang mengatakan bahwa tidak selamanya status sosial-ekonomi suami istri itu sama, dalam hal ini ada tiga pendapat tentang siapa yang dijadikan ukuran penetapan Nafkah, yaitu:32 Pertama: pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menetapkan Nafaqah adalah status sosial ekonomi Suami dan istri secara bersama-sama. Kedua: Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang mengatakan bahwa yang dijadikan standar adalah kebutuhan Istri. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
31
Lihat pasal 80 (2) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Media, 2007), h. 170. 32
46
ٔف ِ َٔ َعهَى ْان ًَ ْٕنُٕ ِد نَُّ ِس ْصلُ ُٓ ٍَّ َٔ ِك ْغ َٕح ُ ُٓ ٍَّ ِب ْبن ًَ ْع ُش Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para Ibu dengan cara Ma'ruf”.33 Pengertian Ma‟ruf dalam ayat ini adalah mencukupi. Ketiga: Pendapat Imam Syafi‟i dan pengikutnya berpendapat bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah istri adalah keadaan dan kemampuan ekonomi suami. Pendapat ini juga berlaku di kalangan „Ulama Imamiyyah. Yang dijadikan landasan „Ulama ini adalah firman Allah dalam AlQur‟an surat At-Thalaq ayat 7 yang berbunyi:
عهَ ْي ِّ ِس ْصلُُّ فَ ْهيُ ُْ ِف ْك ِي ًَّب َ ععَخِ ِّ َٔ َي ٍْ لُذ َِس َ ٍْ ععَ ٍت ِي َ ُِٔنيُ ُْ ِف ْك ر َّ َُِءاحَب َّ ع َي ْجعَ ُم َّ ف ع ْغ ٍش ُ ََّللاُ َب ْعذ ً َّللاُ ََ ْف ُ َّّللاُ ََل يُ َك ِه َ غب ِإ ََّل َيب َءاحَبَْب يُ ْغ ًشا Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.34 Mayoritas „Ulama mazhab Imamiyyah mengeluarkan pendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasar kebutuhan Istri yang mencakup pangan, laukpauk, pakaian, tempat tinggal, alat rumah tangga sesuai dengan tingkat kehidupan orang-orang seperti dia di daerahnya, sedangkan Mazhab lain
33 34
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, h. 38. Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, h. 560.
47
mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran adalah kondisi Suami bukan kondisi Istri.35 3. Nafkah Iddah Talak Raj’i dan Talak Ba’in Perempuan yang menjalani iddah itu bermacam-macam. Diantaranya adalah perempuan yang menjalani iddah raj‟i, ia berhak mendapat belanja dan tempat tinggal menurut Ijmak Ulama. Al-Daruqutni meriwayatkan hadist yang berhubungan dengan Fatimah binti Qais ketika ia ditalak tiga oleh suaminya. Rasulullah SAW tidak memberi hak tempat tinggal dan belanja untuk Fatimah binti Qais. Rasulullah SAW bersabda:36
غكُى نهًشأة إرا كبٌ نضٔجٓبعهيٓبانشجعت ّ إًَّب انُفمت ٔان Artinya: “Belanja dan tempat tinggal hanya untuk perempuan yang berhak rujuk.” (H.R. An-Nasa‟i). Seorang perempuan yang dalam masa iddahnya talak bain dan dia dalam keadaan hamil maka dia berhak juga menerima nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal dari mantan suaminya sampai anaknya lahir. Ini berlandaskan dari firman Allah Swt:
َ ُ َٔإِ ٌْ ُك ٍَّ أ ٍَّ ُٓ َض ْعٍَ َح ًْه ِ َٔل َ َث َح ًْ ٍم فَؤ َ َْ ِفمُٕا َعهَ ْي ِٓ ٍَّ َحخَّى ي Artinya: “Jika mereka (janda yang dicerai) dalam keadaan hamil, maka berinafkahlah mereka olehmu sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq (65) : 6)
35
Muhammad Jawad Mughniyah,, Fiqih Lima Maz|hab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII, 2008), h. 423. 36 Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Alhusaini, Kifayatul Akhyar, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1997), h. 592.
48
Sedangkan perempuan yang dalam masa iddah talak bain dan dalam keadaan tidak hamil, menurut Syafi‟i, Hambali dan Maliki, tidak berhak mendapatkan nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan pendapat Hanafi, perempuan itu berhak juga menerima nafkah belanja, pakain dan tempat tinggal dengan berlandaskan pada firman Allah Swt:
ُ أ َ ْع ِكُُٕ ُْ ٍَّ ِي ٍْ َحي ع َك ُْخ ُ ْى ِي ٍْ ُٔ ْج ِذ ُك ْى َ ْث Atinya: “Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS. At-Thalaq: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan yang dalam masa iddah baik karena talak raj‟i dan talak bain, semuanya berhak menerima fasilitas nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal dari mantan suaminya, tetapi menurut Syafi‟i, ayat ini khusus untuk perempuan yang dalam masa iddah talak raj‟i.37 Dan dalam lafal lain (dikatakan): “Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal itu bagi perempuan yang selagi suaminya masih mempunyai hak ruju‟ kepadanya tetapi apabila suaminya tidak lagi mempunyai hak ruju‟
kepadanya, maka tidak ada (hak) nafkah dan tidak juga tempat tinggal baginya”. (HR. Ahmad).38 Adapun perempuan yang dijatuhi talak tiga, para ulama berbeda pendapat. Menurut Abu Hanifah, dia masih memiliki hak untuk 37 38
Mohammd Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, h. 273. Nailul Anwar, Himpunan Hadist-Hadist Hukum, h. 2437.
49
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sebagaimana perempuan ( isteri ) yang ditalak raj‟i, karena dia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya, sehingga seakan-akan dia di tahan agar tetap bersama suaminya. Oleh sebab itu, dia wajib memperoleh nafkah. Nafkah ini dianggap sebagai hutang dan terhitung sejak talak di jatuhkan. Kewajiban untuk memberi nafkah isteri tidak hilang hanya dengan keridhaan isterinya atau keputusan pihak pengadilan. Suami dinyatakan bebas dari hutangnya (kewajiban memberi nafkah isteri) jika sudah menunaikan kewajibannya atau isteri telah menyatakan bebas.39 Kalau perceraian tersebut karena ada cacat atau karena tertipu, maka si perempuan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal. Tapi kalau perceraian tersebut karena ada hubungan penyusuan atau mushaharah (hubungan keluarga akibat perkawinan), maka si perempuan akan berhak mendapat tempat tinggal, menurut pendapat yang sahih, karena sebab yang menghalangi belum ada pada saat akad dan tidak boleh dijadikan sandaran. Sedangkan perempuan yang dili‟an berhak mendapat tempat tinggal dengan pasti seperti perempuan yang ditalak tiga. Jadi menurut semua mazhab, si perempuan wajib mendapat tempat tinggal apabila terjadi pembatalan nikah (fasakh) baik karena murtad ( keluar dari Islam ) atau karena masuk Islam, atau karena ada hubungan penyusuan, atau karena ada cacat, dan sebagianya.40
39
Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 ), Cet. Ke-1, h.
136-137. 40
Al-Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, h. 595.
50
Fuqaha telah sepakat bahwa perempuan yang berada dalam masa iddah Thalaq Raj‟i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Begitu juga halnya perempuan yang hamil, berdasarkan firman Allah SWT. Berkenaan Istri yang di Thalaq Raj‟i, dan istri-istri yang di Thalaq dalam keadaan hamil :
ُ أ َ ْع ِكُُٕ ُْ ٍَّ ِي ٍْ َحي ض ِيّمُٕا ُّ ض َ ُ بسٔ ُْ ٍَّ ِنخ َ ُ ع َك ُْخ ُ ْى ِي ٍْ ُٔ ْج ِذ ُك ْى َٔ ََل ح َ ْث َ ُ َعهَ ْي ِٓ ٍَّ َٔإِ ٌْ ُك ٍَّ أ ٌْ ِ ض ْعٍَ َح ًْهَ ُٓ ٍَّ فَإ ِ َٔل َ َث َح ًْ ٍم فَؤ َ َْ ِفمُٕا َعهَ ْي ِٓ ٍَّ َحخَّى ي ٍَّ ُْ ٕس َ أ َ ْس َ ض ْعٍَ نَ ُك ْى فَآحُٕ ُْ ٍَّ أ ُ ُج Artinya : “Tempatkanlah mereka (para Isteri) di mana kamu Bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkanmereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (Isteri-Isteri yang sudah di Thhalaq) itu sedang hamil, Makaberikanlah kepada mereka Nafkahnya hingga mereka bersalin”.(Q.S. At-Thalaq : 6) 41 Kemudian Fuqaha berselisih pendapat tentang nafkah Iddah bagi istri yang menjalni Iddah kerena Talak Ba‟in Hanafi mengatakan: Wanita tersebut berhak atas nafkah,baik dia hamil atau tidak, dengan syarat dia tidak meninggalkan rumah yang disediakan oleh suaminya yang menceraikanya guna menjalani Iddah.42 Maliki berpendapat: Kalau wanita tersebut tidak hamil dia berhak atas nafkah berupa tempat tinggal saja,tapi bila sedang hamil dia berhak atas nafkah dalam segala bentuknya,dan haknya atas nafkah tidak menjadi gugur dengan keluarya mereka dari rumah, sebab nafkah tersebut diperuntukan bagi bayi yang dikandungnya dan bukan bagi wanita yang mengandungnya. 41 42
Depag RI. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), h. 568. Jawad Mughniyah,, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII, 2008), h. 401.
51
Syafi‟i dan Hambali berpendapat: Wanita tersebut tidak berhak atas nafkah iddah maupun tempat tinggal bila dia tidak hamil,dan apabila dia hamil maka berhak atasnya nafkah berupa tempat tinggal dan segala bentuknya. Tetapi syafi‟i mengatakan bahwa kalau wanita tersebut keluar dari rumah tanpa adanya kebutuha yang yang tak terhindarkan,maka gugurlah hak atas nafkah Iddah itu. Mazhab Imamiyah tidak mengategorikan fasak akad sama dengan Thalak Ba‟in. Mereka berpendapat bahwa,orang yang menjalani iddah akibat fasakh-nya akad, baik dia hamil atau tidak,dia tetap berhak atas nafkah.43
C. Nafkah Iddah DalamUndang-undang Nafkah iddah adalah Nafkah yang diberikan suami pada waktu masa iddah atau pemberian biaya penghidupan yang diberikan oleh suami selama tiga bulan sepuluh hari berturut-turut kepada isteri yang diceraikan yang didasarkan atas kemampuan suami sebagai upaya pemenuhan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari‟at Islam maupun keputusan Pengadilan Agama. Bila terjadi perceraian atas inisiatif suami, maka bekas isteri berhak mendapatkan nafkah lahir dari suami selama masa iddah. Hal tersebut tercantum dalam pasal 149 KHI huruf (b). Dan dalam pasal 151 KHI tersebut diwajibkan bahwa “bekas isteri yang sedang dalam masa iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan laki-laki lain” maka konsekwensi
43
Jawad Mughniyah,, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII, 2008), h. 402.
52
logis dari kewajiban tersebut adalah bekas suami wajib memenuhi nafkah lahir, sebagai hak yang harus didapatkan akibat kewajibannya tersebut, kecuali isteri berlaku nusyuz, maka tak ada hak nafkah iddah baginya. Namun perlu diketahui pula bahwa hak nafkah yang diterimanya apakah secara penuh atau tidak juga adalah tergantung dari pada bentuk perceraiannya, bukan pada lamanya masa iddahnya. Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami menurut pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ialah pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan normatif dalam pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ini mempunyai kaitan dengan pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan normatif bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, yang kemudian pasal ini telah dijabarkan dalam pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 yang memuat ketentuan imperatif bahwa bagi seorang janda yang perkawinannya putus karena perceraian, maka waktu tunggu bagi janda yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnnya 90 hari. Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. Selanjutnya, menurut pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum terjadi hubungan kelamin. Bagi perkawinan yang putus karena perceraianm waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
53
Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan hak dan kewajiban mantan suami atau istri menurut pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 selaras dengan hukum islam. Apabila terjadi perceraian antara suami dan istri menurut hukum islam, maka akibat hukumnya ialah dibebankannya kewajiban mantan suami terhadap mantan istrinya untuk memberi mut‟ah yang pantas berupa uang atau barang dan memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat tinggal kediaman selama mantan istri dalam masa iddah, serta melunasi mas kawin, perjanjian ta‟lik talak dan perjanjian lain. Berdasarkan Undang- undang No.1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang berbunyi “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi isteri”. Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1 dan 2) dan pasal 194 huruf (a) dan (b). 1. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isterinya yang masih dalam iddah. 2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.44 Seperti yang dijelaskan pada pasal 80 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai kewajiban suami yang berkaitan dengan Nafkah, yaitu:
Pasal 80 Ayat 2 Suami wajib melindungi Istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
44
Aryo Sastroatmodjo, Hukum Perkawianan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 95.
54
Pasal 80 Ayat 4 Sesuai dengan penghasilannya Suami menanggung: a. Nafkah, Kiswah dan tempat kediaman bagi Istri. b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi Istri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak
55
BAB IV ANALISIS HUKUM PENETAPAN PEMBERIAN NAFKAH IDDAH
A. Duduk Perkara Kasus Penetapan Masa Iddah Perkara Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA JS, merupakan perkara cerai gugat yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tertanggal 06 Juli 2010 Adapun hal-hal yang menjadi dasar gugatan Penggugat adalah bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 10 Maret 1996 dan tercatat pernikahannya di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta, dengan Kutipan Akta Nikah Nomor 896/29/III/1996. Dari perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat memiliki 3 (tiga) orang anak dan harta bersama. Selama Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat seringkali terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit didamaikan, sehingga tidak ada harapan dapat hidup rukun lagi dalam sebuah rumah tangga. Untuk itu Penggugat tidak ingin mempertahankan rumah tangga lebih lama lagi bersama Tergugat, sehingga memutuskan untuk mengakhiri hubungan rumah tangga melalui gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dalam gugatannya, Penggugat memohon agar Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkenan memeriksa dan mengadili perkara ini serta selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut : 55
56
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya; 2. Menetapkan jatuh Talak Satu dari Tergugat kepada Penggugat dengan Iwadl sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) 3. Menyatakan Putusan Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat karena perceraian; 4. Menyatakan bahwa Hadhonah atas Anak-anak, yang bernarna anak I dan anak II berada pada Penggugat sebagai Ibunya 5. Memerintahkan Tergugat untuk {a} memasukkan Anak-anak dalam Asuransi Kesehatan atas biaya Tergugat sepenuhnya; {b} untuk menanggung segala biaya pendidikan formal maupun non formal yang dibayarakan Tergugat langsung ke kemasing-masing lembaga pendidikan Anak-anak sampai setinggi-tingginya pada pendidikan formal Strata 2 {dua}; (c) dan untuk memberikan biaya pemeliharaan Anak-anak dengan jumlah Rp. 1.500.000,{satu juta lima ratus ribu Rupiah} setiap bulannya hingga Anak-anak berusia 21 {dua puluh satu) tahun atau menikah sebelum usia tersebut yang wajib dibayarkan Targugat kepada Penggugat secara tunai setiap tanggal 1 (satu) selaku pemegang hadhanah atas anak-anak, jumlah mana setiap tahun disesuaikan dengan besaran inflasi sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh persen) dengan tidak mengurangi kewajiban Tergugat selaku Ayah dari anak-anak untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan anak-anak; 6. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah kepada Penggugat setiap bulannya sebesar Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu Rupiah), secara
57
tunai kepada Peaggugat selama proses berperkara sampai dengan putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap. 7. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat sebesar Rp. 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulannya selama 3 (tiga) bulan 10 (sepuluh) hari setelah Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap; 8. Menetapkan bahwa Harta Bersama berupa Tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang kini tercatat atas nama Penggugat untuk ditetapkan sebagai milik Anak-anak dan Penggugat menguasainya selama Anak-anak belum dewasa. Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain, Penggugat memohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
B. Pertimbangan Putusan Proses persidangan dilaksanakan dengan membacakan Gugatan Penggugat oleh Majelis Hakim, dan terhadap Gugatan tersebut, Tergugat telah memberikan jawaban tertulis yang pada pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak membantahnya serta tidak berkeberatan untuk bercerai dengan Penggugat. Untuk memperkuat dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti-bukti surat berupa Fotokopi KTP atas nama Penggugat dan Tergugat, Fotokopi Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat, Fotokopi Kartu Akta Kelahiran Anak,
58
Fotokopi Kartu Keluarga WNI atas nama Tergugat sebagai Kepala Keluarga, Fotokopi Sertifikat Hak Milik No. 02505, Fotokopi Akta Jual Beli Nomor 1302/2005, dan Fotokopi Perjanjian Kredit. Sselain itu Penggugat juga mengajukan seorang saksi yang menyatakan bahwa saksi adalah kakak kandung Penggugat, saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat. Menurut keterangannya bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sering bertengkar sejak 2 (dua) tahun lalu disebabkan perbedaan pendapat dan keinginan dalam urusan rumah tangga termasuk karena Tergugat sering pulang larut malam dari bekerja. Menurut keterangannya bahwa pihak keluarga sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat melalui musyawarah keluarga agar rukun membina rumah tangga kembali dengan Tergugat namun tidak berhasil. Bahwa atas keterangan saksi tersebut, Penggugat menyatakan tidak keberatan sedangkan Tergugat menyatakan keberatan dengan keterangan saksi bahwa Penggugat dan Tergugat masih tinggal serumah. Yang sebenarnya adalah bahwa Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah, Tergugat pindah ke rumah orang tuanya dan hanya datang ke ruamah kediaman bersama jika ingin menemui anak-anak Penggugat dengan Tergugat. Berdasarkan keterangan saksi, Penggugat menyatakan tidak keberatan dan tidak akan mengajukan sesuatu tanggapan apapun dan mohon putusan; TENTANG HUKUMNYA Maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah tentang gugatan cerai diakumulasi dengan hak asuh anak, nafkah anak dan harta bersama. Berdasarkan
59
pasal 130 HIR, Majelis Hakim dalam setiap persidangan berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, namun usaha tersebut tidak berhasil. Dalam persidangan, Tergugat telah memberikan jawaban yang pada pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak berkeberatan bercerai dengan Penggugat, maka dapat dikualifisir bahwa Pengakuan Tergugat tersebut merupakan pengakuan bulat murni (aven pur et simple) yang sesuai ketentuan hukum acara merupakan bukti yang mengikat dan menentukan sebagaimana maksud pasal 174 HIR. Perkara ini in casu perceraian, pengakuan adalah bukti awal yang memerlukan bukti-bukti lainnya, sehingga Penggugat tetap dibebankan wajib bukti. Berdasarkan keterangan dari dua orang saksi Penggugat telah diperoleh keterangan yang bersesuaian satu sama lain yaitu bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat yang awalnya rukun dan harmonis namun saat ini sering terjadi perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat secara terusmenerus yang penyebabnya adalah adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam urusan rumah tangga lainnya juga karean Tergugat sering pulang malam dari bekerja. Antar Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak 3 (tiga) bulan lalu. Penggugat dan Tergugat sudah didamaikan namun tidak berhasil; Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Hakim melalui persidangan, didukung keterangan Penggugat serta pengakuan Tergugat, dan dikuatkan dengan bukti-bukti surat keterangan dua orang saksi, ditemukan fakta-fakta yaitu:
60
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat menikah pada tanggal 10 Maret 1996 dan hingga kini telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak; 2. Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus; 3. Bahwa perselisihan sejak kelahiran anak pertama tersebut disebabkan perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam penyelenggaraan rumah tangga secara umum; 4. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak sekitar bulan April 2010; 5. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah didamaikan baik melalui nasehat maupun dengan jalan musyawarah namun tidak berhasil; Berdasarkan fakta-fakta tersebut pengadilan berpendapat bahwa antara Penggugat
dan
Tergugat
telah
terjadi
perselisihan
dan
pertengkaran,
mengakibatkan keduanya sudah tidak rukun lagi, Penggugat dan Tergugat sudah tidak tinggal satu rumah, dan Penggugat telah menyatakan tidak dapat mempertahankan ikatan perkawinan dengan Tergugat. Sementara itu, upaya Majelis Hakim dan Saksi-saksi yang diajukan dalam perkara ini menasihati Penggugat agar tetap rukun kembali dengan Tergugat ternyata tidak berhasil, karena Penggugat telah menyatakan sikapnya dengan tetap berkukuh pada pendiriannya untuk bercerai dengan Tergugat, sehingga Majelis menilai bahwa dengan sebab perselisihan dan pertengkaran itu telah sampai pada kesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak dapat ditolerir lagi untuk hidup rukun dalam satu ikatan perkawinan. Untuk itulah, Majelis Hakim menyampaikan dalil syar’i, yaitu berupa qoidah fiqh yang termuat di dalam Kitab
61
Al-Asybah wan-Nadzhoir, yang kemudian diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim, yang artinya: “Menolak mafsadah (pengaruh yang bersifat merusak) harus didahulukan dari pada mengharapkan datangnya mashlahah (pengaruh yang membawa manfaat/kebaikan)”, maka alternatif penyelesaian sengketa perkawinan yang terbaik bagi Penggugat dan Tergugat adalah perceraian. Selain itu, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas gugatan Penggugat telah terbukti dan berdasar hukum untuk diterima dan dikabulkan berdasarkan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf f KHI dengan menjatuhkan talak bain shugro dari Tergugat terhadap Penggugat.
C. Analisis Putusan 1. Analisis Dasar Hukum Pemberian Nafkah Iddah pada Cerai Gugat dalam Putusan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS Menurut Fiqh Majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam perkara cerai gugat Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS, menjatuhkan putusan kepada bekas suami untuk menjatuhkan talak satu ba’in sughro terhadap bekas istri. Talak ba’in sughro adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah, sebagaimana tertulis dalam Pasal 119 ayat (1) KHI. Majelis hakim juga menjatuhkan putusan untuk menghukum bekas suami untuk membayar mut’ah dan nafkah iddah. Dalam pertimbangan putusan tersebut, hakim mengacu pada pendapat Imam Hanafi tentang pemberian nafkah iddah dan mut’ah.
62
Fuqaha’ sendiri berbeda pendapat tentang pemberian nafkah pada talak ba’in. Ulama Hanabilah, Zhahiriyah, Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sekalipun hamil. Alasan mereka, nafkah dan tempat tinggal diwajibkan sebagai imbalan hak rujuk bagi suami, sedangkan dalam talak ba’in suami tidak punya hak rujuk, oleh karenanya tidak ada nafkah dan tidak ada tempat tinggal. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais yang telah ditalak suaminya yang ketiga kalinya, bahwa Nabi tidak menjadikan nafkah dan tempat tinggal baginya. Bagi wanita yang terputus haidh, hendak ber-iddah sekehendaknya Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita tersebut berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika wanita tersebut ber-iddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri, seperti istri murtad setelah bercampur atau tindakan istri menodai kehormatan mertua seperti orang tua suami atau saudara-saudaranya, istri hanya berhak tempat tinggal dan tidak berhak nafkah. Alasan mereka, firman Allah surat At Thalaq ayat 6:
ارَ ٌُ َّه ُّ ض َ ُ س َك ْىح ُ ْم ِم ْه َُ ْج ِد ُك ْم ََ ََل ج َ َ ُ ُك َّه أ عهَ ْي ٍِ َّه َححَّى ِ ََل َ ت َح ْم ٍم فَأ َ ْو ِفقُُا
ُ أَ ْس ِكىُُ ٌُ َّه ِم ْه َحي ْث عهَ ْي ٍِ َّه ََإِ ْن َ ُ ِنح َ ض ِيّقُُا ض ْعهَ َح ْمهَ ٍُ َّه َ َي
Artinya: “tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteriisteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.
63
Kembalinya kata ganti wanita pada ayat diatas kembali kepada wanita yang tercerai secara ba’in saja, karena wanita ter-talak raj’i sebagaimana yang telah dijelaskan, yakni tetap tinggal di rumah suami. Ayat diatas menjelaskan kewajiban nafkah terhadap wanita hamil karena iddah-nya pada umumnya lebih panjang daripada iddah wanita lain. Nafkah dan tempat tinggal harus diberikan kepada wanita yang ber-iddah sebagai keseimbangan tertahannya dari suami sehingga jelas kebebasan rahimnya, di sini tidak ada bedanya antara talak raj’i dan ba’in. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan jumhur ulama Salaf berpendapat bahwa istri berhak tempat tinggal, baik hamil maupun tidak dan berhak nafkah jika hamil. Dalilnya sebagai berikut. (1) Ayat “berikan tempat tinggal mereka…..” (QS. At Thalaq ayat 6); Allah mewajibkan memberi tempat tinggal kepada mereka tanpa ada kelebihan dan menggantungkan kewajiban nafkah pada istri hamil. Nafkah wajib karena hamil dan tidak wajib karena tidak hamil. (2) Tidak adanya hubungan antara nafkah dan tempat tinggal, tidak adanya pendapat seperti ulama Hanabilah dan seperti pendapat ulama Hanafiyah. Tempat tinggal wajib bagi istri yang tercerai agar dapat menunggu yang dituntut, dengan demikian tempat tinggal wajib bagi semua wanita yang ber-iddah. Sedangkan nafkah wajib baginya karena dua sebab: (a) Suami masih berhak kembali kepada istri pada talak raj’i; (b) Menghidupi anak bagi istri yang hamil.1 Pendapat ulama’ Hanafiyah juga dikuatkan oleh Umar bin Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri. Umar bin Khattab, Tsauri, Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa bekas suami pada talak ba’in berhak mendapatkan nafkah dan rumah. Mereka mengambil dalil kepada 1
Abdul Aziz Azzam, & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak). (Jakarta: Amzah, 2009), h. 335
64
firman Allah surat At Thalaq ayat 6: “… Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu berada (bertempat tinggal) menurut kemampuanmu”. Menurut Umar bin Khattab, Tsauri, Umar bin Abdul Aziz, ayat ini menerangkan wajibnya memberi tempat tinggal. Jika secara hukum wajib memberikan tempat tinggal, maka dengan sendirinya wajib memberikan nafkah, karena adanya kewajiban memberi tempat tinggal dalam talak perempuan hamil dan karena sebagai istri itu sendiri.2 Berbeda dengan Umar bin Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri, menurut pendapat Ulama Hanabilah, Zhahiriyah, Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sekalipun hamil dengan dasar hadits:
ع ِّه ِ ِب ْى َ ع ْى ٍَا َ ُي هللا ِ ث قَي ِْس َر َ ض َ فِي ان ُم س َكىِى َ ْس نَ ٍَا َ طهَّقَ ِة ثَالَثًا نَي
َع ْه فَا ِط َمة َ ع ْه ان َ ش ْع ِبي َ ََ سهَّ َم َ ُصهَى هللا َ ََ ًِ عهَ ْي َ ِي ّ ِانىَب )(ر ََايُ ُم ْس ِه ُم َ َََُلَ وَفَقَة
Artinya : “Dari Sya’bi dari Fatimah binti Qais r.a dari Nabi SAW tentang perempuan yang dithalaq tiga. Dia tidak mempunyai hak rumah dan nafkah”. (Hadis riwayat Muslim) Umar dan Aisyah pernah menolak hadits Fatimah binti Qais yang ia sampaikan diatas. Kata Umar: “Kami tidak meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi kami karena keterangan seorang perempuan. Kami tidak tahu barangkali ia hafal atau telah lupa…”.3
2
Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, jilid 7, diterjemahkan Muhammad Thalib, “Fikih Sunnah. (Bandung: Al Ma’arif, 1987), h. 98 3 Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, jilid 7, diterjemahkan Muhammad Thalib, “Fikih Sunnah. (Bandung: Al Ma’arif, 1987), h. 98
65
Dari uraian di atas, pendapat Imam Abu Hanifah yang memberi nafkah kepada perempuan dalam iddah talak ba’in, baik dalam keadaan hamil maupun tidak, lebih sesuai dengan kedudukan wanita yang tengah menjalani iddah di rumah bekas suami itu. Dari hasil wawancara dengan Bapak Drs. Muh. Rusydi Thahir, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menyatakan bahwa wanita yang menjalani masa iddah mendapatkan nafkah dan tempat tinggal karena masih dalam koridor keterbatasan bertindak. Keterbatasan bertindak tersebut berlaku selama masa iddah istri karena harus berdiam diri di rumah suami hingga masa iddahnya habis.4 2. Analisis Dasar Hukum Pemberian Nafkah Iddah pada Cerai Gugat dalam Putusan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS Menurut Perundangundangan Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS ini pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007. Dalam putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
4
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Muh. Rusydi Thahir, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, tanggal 15 Mei 2015 Pk. 15.00
66
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri” Pasal di atas menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Agama mempunyai hak dalam memberikan biaya penghidupan dan menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri akibat perceraian. Secara tekstual makna perceraian dalam pasal tersebut mengandung makna perceraian secara umum. Perceraian dalam Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 dapat dimaknai dengan cerai talak atau cerai gugat. Berdasarkan pasal tersebut setiap perkara perceraiaan baik cerai talak maupun cerai gugat, hakim memiliki kebebasan dalam memberikan putusan kepada suami agar dapat mewajibkan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban kepada bekas istri. Dasar pemberian nafkah kepada bekas istri pada perkara cerai juga diperkuat oleh Pasal 149 KHI. Pasal 149 KHI berbunyi: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul; b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.5 Pasal di atas menunjukkan akibat dari talak suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, memberi nafkah, maskan dan
5
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
67
kiswah selama dalam iddah, melunasi mahar yang masih terhutang dan memberikan biaya hadlanah. Dalam pasal 149 huruf (b) jelas bahwa apabila telah jatuh talak ba’in maka bekas suami tidak wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah. Dari pasal ini majelis hakim dalam perkara cerai gugat No. 1925/Pdt.G/2010/PA.Pt berpendapat bahwa bekas istri berhak tetap mendapatkan nafkah dan mut’ah dari bekas suaminya. Pasal ini bertentangan dengan putusan majelis hakim, namun hakim berpendapat bahwa dalam putusannya mewajibkan bekas suami memberikan nafkah dan mut’ah kepada bekas istri selama masa iddah selama bekas istri tidak nusyuz. Dalam Pasal 113 KHI berbunyi: Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan Lafal “talak” pada Pasal 149 KHI mengandung makna secara umum dalam arti “perceraian” pada Pasal 113 KHI. Perceraian itu sendiri bisa dilakukan dengan cara talak dan gugatan perceraian. Selanjutnya akibat dari perceraian adalah adanya ketentuan iddah sesuai Pasal 153 ayat (1) yang berbunyi: “Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”6 Karena ada kewajiban iddah bekas istri setelah perceraian karena talak ataupun cerai gugat, maka selama masa iddah sesuai Pasal 149 KHI 6
Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam
68
huruf (b) bekas suami wajib suami memberikan nafkah dan mut’ah kepada bekas istri. Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS ini pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007. Dalam putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 dicantumkan bahwa meskipun perkara ini pada awalnya istri yang mengajukan cerai gugat, namum penggugat setelah dijatuhi talak harus menjalani masa iddah, dan salah satu tujuan menjalani masa iddah adalah untuk “istibra”. Istibra’ tersebut menyangkut kepentingan suami, maka berdasarkan pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI huruf (b), tergugat diwajibkan untuk memberikan nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah kepada penggugat (Dok. Putusan MA No. 137/K/AG/2007): Istibra’ secara etimologis berarti mencari kebebasan sedangkan secara syar’i adalah penantian seorang perempuan dalam masa tertentu untuk memastikan bebasnya atau kosongnya rahim. Dalam menjalani istibra’, perempuan dilarang memakai wangi-wangian dan berhias, karena itu bisa menarik lawan jenis (laki-laki lain). Perempuan dalam masa istibra’ ini juga dilarang untuk melakukan pernikahan dengan laki-laki lain, supaya tidak terjadi percampuran sperma (Al Mawardi : 442) Dari dua dasar perundangan yang dikemukakan oleh majelis hakim, yaitu pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI huruf (b), hakim Pengadilan Agama dapat memberikan mut’ah dan nafkah iddah kepada bekas istri dalam cerai gugat, namun dengan pertimbangan bahwa bekas istri tidak nuzyus. Tentu saja dalam memberikan mut’ah dan nafkah iddah harus disesuaikan dengan pekerjaan dan kemampuan bekas suami.
69
Hakim tidak boleh memberikan mut’ah dan nafkah iddah diluar kemampuan bekas suami. Menurut analisis penulis, bahwa penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA JS, yang menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat nafkah, maskan, dan kiswah selama masa iddah sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan duduk perkara. Hal ini didasarkan atas dasar keadilan hukum yang memberikan jaminan kehidupan bagi bekas istri dalam masa iddah. Pemberian nafkah iddah dan mut’ah pada cerai gugat dalam perkara ini sesuai dengan kaidah fiqh yaitu:
انضرر يزال 7
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”
Tidak adanya nafkah iddah dan mut’ah pada perkara cerai gugat tentunya menimbulkan kerugian bagi bekas istri. Bekas istri tentunya sangat membutuhkan biaya atau uang untuk menghidupi dirinya sendiri setelah perceraian. Jika nafkah iddah dan mut’ah diberikan maka dapat menjamin kehidupan bekas istri selama masa iddah. Hal tersebut tentunya lebih mengakomodasi kepada kepentingan perempuan selama masa iddah. Dalam perkara cerai gugat, Pengadilan Agama pada umumnya tidak memberikan nafkah iddah kepada penggugat. Tidak diberikannya nafkah iddah dalam cerai gugat karena dalam tradisi lama di tingkat Pengadilan Agama dalam perkara cerai gugat memposisikan perempuan di pihak yang
7
23
Moh. Adib Bisri,. Terjemah Al Faraidul Bahiyyah. (Kudus: Menara Kudus, 1997), h.
70
salah. Namun putusan di Pengadilan Indonesia ini harus sudah ada alasan yang rasional dalam memutus perkara seperti cerai gugat ini, dan harus lebih memperhatikan serta lebih mengakomodasi kepentingan perempuan. Banyak kasus cerai gugat yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan alasan bahwa perempuan itu merasa menjadi korban karena merasa dirugikan oleh suami. Sebagai contoh adalah ketika perempuan yang mengajukan cerai gugat tersebut dirugikan karena mendapatkan perlakuan tidak bertanggung jawab, melakukan KDRT, poligami, atau perlakuan buruk lainnya. Hal ini tentu saja harus menjadi pertimbangan hakim dalam pemberian putusan di dalam perkara cerai gugat, sehingga perlu dikaji ulang. Apabila perempuan mendapat perlakuan yang merugikan dirinya tersebut, perempuan akan sangat wajar jika mempunyai hak terkait dalam nafkah iddah, maskan dan kiswah dalam konteks dan istilah apapun dalam perkara perceraian. Perlu dipertimbangkan lagi bahwa jika perempuan mendapatkan hak nafkah iddah, maskan dan kiswah harus dengan catatan bahwa istri tidak nuzyus. Dengan ini maka perlu adanya pendekatan dari sisi kemanusian dari hakim dalam memutuskan penetapan nafkah iddah.
71
72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis menyelesaikan pembahasan dalam bentuk skripsi tentang Pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat, analisis putusan perkara Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS, dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya nafkah iddah hanya berlaku pada kasus cerai thalak. Tapi hakim dapat membebankan kepada pihak Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat berdasarkan pertimbangan tertentu. Dalam hukum Islam, pemberian nafkah iddah dan mut’ah pada talak ba’in didasarkan pada pendapat Imam Hanafi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita tersebut berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika wanita tersebut beriddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri, seperti istri murtad setelah bercampur atau tindakan istri menodai kehormatan mertua seperti orang tua suami atau saudara-saudaranya, istri hanya berhak tempat tinggal dan tidak berhak nafkah. Pendapat ulama’ Hanafiyah ini juga dikuatkan oleh Umar bin Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri. Mereka mengambil dalil kepada firman Allah surat At Thalaq ayat 6: “… Tempatkanlah mereka (para
istri)
dimana
kamu
berada
(bertempat
tinggal)
menurut
kemampuanmu”. Ayat ini menerangkan wajibnya memberi tempat tinggal. Jika secara hukum wajib memberikan tempat tinggal, maka dengan sendirinya wajib memberikan nafkah, karena adanya kewajiban memberi tempat tinggal 72
73
dalam talak perempuan hamil dan karena sebagai istri itu sendiri. Sedangkan menurut Hukum Positif, pemberian nafkah iddah dan mut’ah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”. Pasal di atas menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Agama mempunyai hak dalam memberikan biaya penghidupan dan menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri akibat perceraian. Secara tekstual makna perceraian dalam pasal tersebut mengandung makna perceraian secara umum. Perceraian dalam Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 dapat dimaknai dengan cerai talak atau cerai gugat. Berdasarkan pasal tersebut setiap perkara perceraiaan baik cerai talak maupun cerai gugat, hakim memiliki kebebasan dalam memberikan putusan kepada suami agar dapat mewajibkan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban kepada bekas istri. Dasar pemberian nafkah kepada bekas istri pada perkara cerai juga diperkuat oleh Pasal 149 KHI. 2. Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor :
1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini
pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007. Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Hakim MA memutuskan memberi nafkah karena pertimbangan bahwa istri harus menjalani iddah sehingga membebankan nafkah juga. Diberikan nafkah
74
iddah karena adanya kepentingan bekas suami untuk mengetahui kebersihan rahim dan menjamin kebutuhan bekas istri selama iddah. Kemudian yang patut diperhatikan dalam salinan putusan Nomor :
1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini
bahwa tindakan penggugat oleh majelis hakim tidak dianggap nusyuz. Dan majelis hakim tetap memutuskan adanya nafkah iddah dan mut’ah sesuai dengan Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI tentang akibat putusnya perkawinan karena talak. Selain dari yurisprudensi putusan MA nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007, hakim memberikan mut’ah dan nafkah iddah kepada bekas istri dengan memperhatikan 5 (lima) dasar pertimbangan yaitu: (a) Adanya rasa keadilan bagi kedua belah pihak, (b) Adanya ketertiban hukum, (c) Menempatkan harkat perempuan pada proporsinya, (d) Adanya kemampuan bekas suami untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada bekas istri, dan (e) Adanya kelayakan bekas istri untuk menerima nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suami. 3. Dalam putusan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA.JS, hakim membebankan kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat, padahal pada teorinya, nafkah iddah hanya dibebankan pada kasus cerai thalak. Dalam hal ini hakim memberikan keputusan berdasarkan pertimbangan kesaksian para pihak yang dihadirkan pada saat persidangan, dimana ditemukan bukti bahwa Penggugat tidaklah nusyuz dan oleh karenanya berdasarkan teori keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan, maka hakim dapat memberikan putusan sesuai dengan ijtihad yang dilakukannya.
75
B. Saran Berdasarkan hasil analisis terhadap masalah yang telah penulis paparkan, maka dapatlah disampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pengadilan Agama merupakan lembaga pertama yang menjadi tempat putusnya perceraian diharapkan dapat menjaga dan menjalankan tugasnya secara baik dan diharapkan dapat mengantisipasi adanya berbagai penyalahgunaan kewajiban serta hak-hak dalam perceraian, sehingga hak isteri dapat terlindungi dengan baik. 2. Suami adalah kepala rumah tangga, yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga. Apabila terjadi perpecahan dalam rumah tangga sehingga menyebabkan putusnya perkawinan, maka bekas suami harus memenuhi akibat amar putusan yang dijatuhkan kepadanya. 3. Perlu adanya kajian lebih lanjut terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak mantan istri terutama pada cerai gugat. Banyak kasus cerai gugat dimana posisi istri justru dirugikan, sebab itu perlu adanya hal-hal yang dapat lebih mengakomodasi perempuan.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) Ahmed, Leila, “Women and Gender in Islam : Historical Roots of modern Debate”, diterjemah Al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah al „alamah Syaikh Ibrahim al Bajuri, jilid 2, (Beirut: Dar ibn „a Shaashah, 2005) Al-Husaini, Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad. Kifayah Al-Akhyar. Beirut: Dar Al-Fikr, 1994. Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, 2002) Ali, H. Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Al-Ramli, Syihabuddin, Nihayat al Muhtaj ila Syarh al minhaj, Juz 6, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993) Apeldoorn, L..J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, cetakan kedua puluh enam, 1996) Azzam, Abdul Aziz, & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak). (Jakarta: Amzah, 2009) Bisri, Moh. Adib,. Terjemah Al Faraidul Bahiyyah. (Kudus: Menara Kudus, 1997) Bukhari, Shahih Bukhari bi Hasyiyah al Sindi, Juz III, (Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al „arabiyah, t.th.) Dahlan, Abdul Aziz, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemah, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005) Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) Djamal, Abdoel. Pengantar Hukum di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo, 2000).
76
77
Dzuhayatin, Siti Ruhainah “Gender dalam Perspektif Islam” dalam Mansour Fakih (ed), Membincang Feminisme Diskursus Gender perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003,) Karim, Khalil Abdul, Syari‟ah, Sejarah Perkelahian Makna, trj, Kamran As‟ad (Yoyakarta: Lkiss, 2000) Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, jilid I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) Faiz, Pan Mohamad, Teori Keadilan John Rawls. dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1 (April 2009) Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004) Ghandur, Ahmad, al Thalaq fi al-syari‟ah al-islamiyah wa al-qanun, (Mesir: Dar al-Ma‟rif, 1967) Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011) Hoerudin, Ahrum, Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). (Bandung: PT. Aditya Bakti, 1999) Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, (Yogyakarta: kanisius, 2005) Jamal, Abdoel, Pengantar Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000) Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka. 2009) Karim, Khalil Abdul, Syari‟ah, Sejarah Perkelahian Makna, trj, Kamran As‟ad (Yoyakarta: Lkiss, 2000) Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011) Khutab al Ra‟iniy, Mawahib al-Jalil Juz II, (Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th)
78
Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, jilid I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) Lunis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika, 2000) Mahfud, Moh. MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,2003) Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008) Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakata: Kencana, 2008) Masyhur, Kahar, Membina Moral dan Akhlak. (Jakarta: Kalam Mulia, 2005) Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press, 2008) Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Maz|hab, (Jakarta: Lentera, Cet. VII, 2008) Mustabsyirah Dkk. Tafsir, (Aceh: Bandar Publishing, 2009) Nasrullah, MS, “Perempuan Dan Gender Dalam Islam” (Jakarta: Lentera, 2000) Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra, cet. I, 1993) Nuruddin, Amir dan Azhari A.T, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2006) Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 2002) Qalyubi dan „Umairah, Hasyiyatani Qalyubi wa „Umairah, Juz III, (Beirut: Daral Fikr, 1995) Qudamah, Ibn, al Kafi fi fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal, Juz 3, (Beirut: Dar al Fikr, t.th) Rahardjo, Sajipto. Ilmu Hukum. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006) Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008)
79
Rato, Dominikus, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010) Rawls, John, A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006) Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007) Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 ), Cet. Ke-1, Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002) Sastroatmodjo, Aryo, Hukum Perkawianan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981) Shant, Dellyana. Konsep Penegakan Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 2008) Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2006) Simorangkir dkk, Kamus Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, , 2008) Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan Kelima. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: PT. Intermasa, 2003) Sumbullah, Umi dkk. Spektrum Gender, (Malang: UIN Press, 2008) Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1999) Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Media, 2007) Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Fokusmedia, 2005) Turmudzi, Sunan Turmudzi, Juz 5, (Beirut: Daar el Fikr, t.t.) Undang-Undang RI No. 1 Thaun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah haji. (Surabaya: Kesindo Utama, 2012) Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al Islam wa Adilatuhu Juz IX, (Beirut: Dar al Fikr, 2006)
80
INTERNET
http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/08/positivisme-hukum-di-indonesiadan. html?m=1, http://hukum.kompasiana.com. (02/04/2011).
“Keadilan
dari
Dimensi
Sistem
Hukum”
http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadilyang.html?m =1 http://www.surabayapagi.com/index.php?3bca0a43b79bdfd9f9305b812982962e5 ebad017dee37f007e56da92eb74d56, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/,
PEDOMAN WAWANCARA KEPADA HAKIM YANG MENANGANI PERKARA NOMOR 1445/Pdt.G/2010/PA.JS
1. Menurut Bapak, apa perbedaan antara perkara Cerai Thalak dengan perkara Cerai Gugat ? 2. Apa saja persyaratan administratif yang harus dipenuhi bagi permohonan Cerai Thalak dan Cerai Gugat ? 3. Menurut mut’ah ?
Bapak apa perbedaan antara nafkah ‘iddah dengan nafkah
4. Dalam perkara Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA.JS apa pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara Penggugat ? 5. Menurut pendapat Bapak, apakah nafkah ‘iddah bagi Penggugat merupakan hak yang harus diterimanya dari Tergugat ? 6. Menurut Bapak, dalam kondisi apa saja Tergugat dinyatakan tidak berhak atas nafkah ‘iddah dari Tergugat ? 7. Menurut Bapak, apabila dalam permohonan gugatan Penggugat tidak mengajukan nafkah ‘iddah kepada Tergugat, apakah hakim dalam amar putusannya tetap akan mewajibkan Tergugat untuk memberikan nafkah ‘iddah kepada Penggugat ? 8. Menurut Bapak, apakah nafkah ‘iddah yang harus diberikan kepada Penggugat oleh Tergugat harus dibayarkan sekaligus atau dicicil ? 9. Apabila Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah ‘iddah kepada Penggugat sesuai amar putusan, apakah sanksi yang akan diterima oleh Tergugat ? 10. Siapakah yang berhak memberikan sanksi atas pelanggaran Tergugat terhadap amar putusan yang diputuskan oleh hakim ?
HASIL WAWANCARA DENGAN BAPAK Drs. MUH. RUSYDI TAHIR HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN JUM’AT, 15 MEI 2015
1. Menurut Bapak, apa perbedaan antara perkara Cerai Thalak dengan perkara Cerai Gugat ? Jawab : Cerai thalak adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh suami atau atas keinginan suami, sehingga suami disebut sebagai PEMOHON dan istri disebut TERMOHON. Sedangkan cerai gugat adalah perceraian atas keinginan istri atau yang dalam kitab Fiqih biasa disebut dengan khulu’ atau thalak tebus, sehingga istri yang mengajukan permohonan perceraiannya kepada Pengadilan disebut PENGGUGAT dan suaminya disebut TERGUGAT. 2. Apa saja persyaratan administratif yang harus dipenuhi bagi permohonan Cerai Thalak dan Cerai Gugat ? Jawab: Bagi permohonan cerai thalak dan cerai gugat ke Pengadilan persyaratannya sama, yaitu bahwa para pemohon atau penggugat harus membuat surat permohonan perceraian yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama, kemudian mendaftarkannya ke bagian administrasi. Sedangkan dokumen yang harus disiapkan oleh para pemohon atau penggugat diantaranya adalah Kartu Tanda Penduduk dan Kutipan Akta Nikah atau Buku Nikah. 3. Menurut Bapak apa perbedaan antara nafkah ‘iddah dengan nafkah mut’ah ? Jawab: Nafkah ‘iddah adalah nafkah yang diberikan oleh seorang suami kepada mantan istrinya yang dithalak. Atau dengan kata lain, Nafkah iddah adalah nafkah yang diberikan suami pada waktu masa iddah atau pemberian biaya penghidupan yang diberikan oleh suami selama tiga bulan sepuluh hari berturut-turut kepada isteri yang diceraikan yang didasarkan atas kemampuan suami sebagai upaya pemenuhan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam maupun keputusan Pengadilan Agama. Sedangkan nafkah mut’ah adalah pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik itu berupa uang, pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya itu serta menghindari dari kekejaman thalak yang dijatuhkannya itu. Atau dengan kata lain bahwa tujuan pemberian Mut’ah seorang suami terhadap Isteri yang telah diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan Isteri tersebut, dan
juga untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan kehawatiran terhadap penghinaan kaum pria terhadapnya. 4. Dalam perkara Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA.JS apa pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara Penggugat ? Jawab: Pertimbangan hakim dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007. Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Hakim MA memutuskan memberi nafkah karena pertimbangan bahwa istri harus menjalani iddah sehingga membebankan nafkah juga. Diberikan nafkah iddah karena adanya kepentingan bekas suami untuk mengetahui kebersihan rahim dan menjamin kebutuhan bekas istri selama iddah. Kemudian yang patut diperhatikan dalam salinan putusan Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini bahwa tindakan penggugat oleh majelis hakim tidak dianggap nusyuz. Dan majelis hakim tetap memutuskan adanya nafkah iddah dan mut’ah sesuai dengan Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI tentang akibat putusnya perkawinan karena talak. Selain dari yurisprudensi putusan MA nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007, hakim memberikan mut’ah dan nafkah iddah kepada bekas istri dengan memperhatikan 5 (lima) dasar pertimbangan yaitu: (a) Adanya rasa keadilan bagi kedua belah pihak, (b) Adanya ketertiban hukum, (c) Menempatkan harkat perempuan pada proporsinya, (d) Adanya kemampuan bekas suami untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada bekas istri, dan (e) Adanya kelayakan bekas istri untuk menerima nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suami. 5. Menurut pendapat Bapak, apakah nafkah ‘iddah bagi Penggugat merupakan hak yang harus diterimanya dari Tergugat ? Jawab: Tergantung pada pokok perkaranya. Jika si suami memang tidak nusyuz, maka tidak ada salahnya jika ia juga diberikan nafkah ‘iddah. Apalagi pada beberapa kasus banyak dijumpai para wanita yang mengajukan perceraian karena terpaksa dikarenakan suaminya sudah tidak lagi bertanggung jawab terhadap keluarga. Oleh karenanya dalam hal ini, hakim akan mempertimbangkan kronologis terjadinya perceraian dan akan memutuskan sesuai dengan kesaksian suami istri tersebut. 6. Menurut Bapak, dalam kondisi apa saja Tergugat dinyatakan tidak berhak atas nafkah ‘iddah dari Tergugat ? Jawab: Salah satunya adalah pada thalak ba’in dan istri berbuat nusyuz, atau melanggar ketentuan syari’at agama.
7. Menurut Bapak, apabila dalam permohonan gugatan Penggugat tidak mengajukan nafkah ‘iddah kepada Tergugat, apakah hakim dalam amar putusannya tetap akan mewajibkan Tergugat untuk memberikan nafkah ‘iddah kepada Penggugat ? Jawab: Tergantung hasil pemeriksaan. Jika hasil pemeriksaan ternyata memang si bekas istri layak untuk mendapatkan nafkah ‘iddah, maka hakim dapat mewajibkan mantan suami untuk memberikan nafkah ‘iddah tersebut kepada mantan istrinya, walaupun sang istri tidak mencantumkan permohonan tersebut dalam surat permohonannya. Jadi itu semua tergantung kepada hasil pemeriksaan dalam sidang. 8. Menurut Bapak, apakah nafkah ‘iddah yang harus diberikan kepada Penggugat oleh Tergugat harus dibayarkan sekaligus atau dicicil ? Jawab: Pada beberapa kejadian, banyak diantara mantan suami yang mengabaikan putusan pengadilan untuk memberikan nafkah ‘iddah atau mut’ah kepada mantan istrinya. Maka atas dasar itu, banyak hakim yang mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan nafkah ‘iddah kepada mantan istrinya secara sekaligus tidak dicicil. Hal ini dikhawatirkan si mantan suami mangkir untuk memberikannya kepada mantan istri. Tapi jika si mantan suami amanah, maka hakim dapat memberikan keputusan yang berbda. 9. Apabila Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah ‘iddah kepada Penggugat sesuai amar putusan, apakah sanksi yang akan diterima oleh Tergugat ? Jawab: Apabila terjadi hal demikian, maka si istri dapat melaporkan kejadian tersebut kepada pihak Pengadilan. Setelah Pengadilan menerima laporan maka pengadilan akan melakukan eksekusi terhadap terhadap harta yang dimiliki oleh mantan suami, mungkin dengan cara lelang atau cara lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 10. Siapakah yang berhak memberikan sanksi atas pelanggaran Tergugat terhadap amar putusan yang diputuskan oleh hakim ? Jawab: Karena masalah ini termasuk masalah perdata, maka pertama kali yang akan dilakukan adalah eksekusi oleh Pengadilan. Jika terjadi pelanggaran atau pembangkangan terhadap eksekusi tersebut, maka masalah tersebut dapat saja dilaporkan kepada pihak kepolisian dan kasus gtersebut bisa berubah menjadi kasus pidana.
PUTUSAN Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA JS BISMILLAHIRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara Gugatan Cerai pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara antara: Penggugat, agama Islam, pekerjaan Karyawati, bertempat tinggal di Jalan Duku Nomor 6, RT: 005/RW: 06, Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberikan kuasa kepada H. Feizal Syahmenan, SH., MH. dan Sigit Handoyo Subagiono, SH., MH., Advokat dan Konsultan Hukum yang berdomisili di Jalan Sisingamangaraja Nomor 63, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 28 Mei 2010 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan register nomor 516/Pdt.G/VII/2010 tanggal 06 Juli 2010, selanjutnya disebut sebagai Penggugat; melawan Tergugat, agama Islam, pekerjaan Pegawai Bank Agro, bertempat tinggal di Jalan Al-Mubarok 1/8, RT: 012/RW: 06, Kelurahan Cipulir, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Arianto Soeparto, SH., Marisa Johar Ayugati, SH., dan M. Ekhsandi Haznam, SH., Advokat dan Konsultan Hukum yang berdomisili di Jalan Kalibata Tengah Nomor 23, RT/RW: 006/07, Kelurahan Kalibata, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 28 Mei 2010 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan register nomor 572/Pdt.G/VII/2010 tanggal 26 Juli 2010, selanjutnya disebut sebagai sebagai Tergugat; Pengadilan Agama tersebut; Setelah membaca dan mempelajari berkas perkara; Setelah mendengar keterangan Penggugat, dan para saksi; TENTANG DUDUK PERKARANYA Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat Gugatannya tertanggal 06 Juli 2010 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1145/Pdt.G/2010/PA JS mengemukakan hal-hal yang pada pokoknya sebagai berikut: Adapun hal-hal yang menjadi dasar gugatan Penggugat adalah sebagai berikut:
1. Bahwa, pada tanggal 10 Maret 1996 antara Penggugat dan Tergugat telah dilangsungkan Pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor 896/29/III/1996 tanggal 11 Maret 1996, sehingga antara Penggugat dan Tergugat terdapat hubungan hukum perkawinan yang sah sebagai suami isteri. 2. Bahwa, dengan demikian, perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana tersebut diatas adalah sah karena dilakukan sesuai dengan hukum dan agama nya yaitu Agama Islam, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat I Undang-undang No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan sebagai berikut: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." 3. Bahwa, dari perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu: 1. anak yang lahir pada tanggal 26 Mei 1997 sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta Kelahiran Nomor 12994/U/JS/1997 tertanggal 07 Juli 1997, pada saat Gugatan didaftarkan berumur 13 (tiga belas) tahun kurang 5 (lima) hari; 2. Muhamad Rizky Firmansyah yang lahir pada tanggal 19 Oktober 2003 sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta Kelahiran Nomor 2919/T/JS/2007/2003 tanggal 12 JuIi 2007 , pada saat Gugatan didaftarkan berumur 7 (tujuh) tahun; dan 3. anak yang lahir pada tanggal 19 Oklober 2003 sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta Kelahiran Nomor 2920/T/JS/2007/2003 tertanggal 12 Juli 2007, pada saat Gugatan didaftarkan berumur 7 (tujuh) tahun. (Untuk selanjutnya disebut (“Anak-Anak") ; 4. Bahwa, dari perkawinan tersebut diperoleh Harta Bersama berupa, Tanah dan Bangunan yang terletak di Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No.28, Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Propinsi Banten, yatg tercatat atas nama Penggugat; 5. Bahwa, selama Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat seringkali terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit didamaikan, sehingga tidak ada harapan dapat hidup rukun lagi dalam sebuah rumah tangga; 6. Bahwa awalnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat baik-baik saja, namun masa-masa indah itu tidak berlangsung lama karena setelah lahirnya anak pertama ternyata perbedaan pendapat antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi dan bermuara dengan perselisihan dan pertengkaran yang tak ada habisnya; 7. Bahwa, pertengkaran-pertengkaran tersebut seringkali terjadi di hadapan Anak-anak, bahkan pembantu dan keluarga besar, sehingga kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat amat tidak nyaman, bahkan Tergugat pun seringkali meninggalkan kediaman bersama; 8. Bahwa. dengan keadaan rumah tangga yang bagai neraka seperti itu. Penggugat sama sekali tidak ridho dan tidak ingin mempertahankan rumah tangga lebih lama lagi bersama Tergugat, sehingga memutuskan lebih baik
bercerai dari pada meneruskan terjadinya kezaliman dan mudharat dalam perkawinan tersebut karena tidak mungkin dapat mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan harmonis sebagaimana yang dikehendaki oleh Undangundang, bahkan kenyataannya fakta yang ada menunjukan keadaan rumat tangga Penggugat dan Tergugat sudah memenuhi ketentuan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juncto Kompilasi Hukum Islam untuk diakhiri saja mengingat terpenuhinya alasan-alasan bagi perceraian sesuai Pasal 39 ayat 2 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juancto Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum lslam; 9. Bahwa, mengingat hubungan Penggugat dengan Anak-anak sebagai ibu dan adanya anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 (dua belas) tahun, maka berdasarkan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, maka hadhanah adalah berada di Penggugat Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam: Dalam hal terjadinya perceraian: “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum 12 tahun adalah hak ibunya.” 10. Bahwa, namun demikian baik Tergugat maupun Penggugat tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik Anak bersama-sama, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 41 ayat {1) huruf a UU Perkawinan. Pasal 41 ayat (1) huruf a UU Perkawinan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: “baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memeliharaa dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak: bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadialan memberikan keputusannya.” 11. Bahwa berdasarkan pasal 41 hnruf b UU perkawinan jo. pasal 105 huruf c jo. pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam, Tergugat selaku ayah dari Anak tetap dibebani kewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan Anak, yang termasuk namun tidak terbatas pada biaya kesehatan, biaya pendidikan formal dan biaya pendidikan informal 12. Bahwa untuk memenuhi kewajibannya sebagairnana tersabst pada angka 11 diatas, maka Tergugat harus memasukkan Anak-anak dalam Asuransi Kesehatan atas biaya Tergugat sepenuhnya, Tergugat diwajibkan pula untuk menanggung segala biaya pendidikan formal maupun non formal yang dibayarkan Tergugat langsung ke masing-masing lembaga pendidikan Anak-anak sampai pada pendidikan formal setinggi-tingginya tingkat Strata 2 (dua), dan Tergugat juga harus memberikan biaya pemeliiraraan Anak-anak dengan dengan jumlah Rp. 1.500.000.- (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya hingga anak-anak berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau menikah sebelun usia tersebut yang wajib, dibayarkan Tergugat kepada Penggugat secara tunai setiap tanggal 1 (satu) selama pemegang Hadlhonah atas Anak-anak (jumlah mana setiap tahun disesuaikan dengan setiap tahun disesuaikan dengan besaran inflasi sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dengan tidak mengurangi kewajiban Tergugat selaku Ayah dari Anak-anak untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan Anak-anak.
13. Bahwa, berdasarkan Pasal 136 ayat {2) huruf a Kompilasi Kompilasi Hukum Islam, Penggugat dapat mengajukan kepada Pengadilan Agama untuk menentukan nafkah yang harus di tanggung oleh suami selama proses perkara, oleh karenanya Penggugat mengajukan agar Tergugat tetap memberikan nafkah kepada Penggugat selama berlangsungnya persidangan ini sebesar Rp Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu Rupiah) per bulan sampai dengan putusan perkawinan. 14. Bahwa, setelah putusnya perkawinan, Tergugat juga diwajibkan untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat sebesar Rp. 750.000.00 (tujuh ratus ribu rupiah) setiap bulannya, selama 3 (tiga) bulan 10 (sepuluh) hari setelah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap. 15. Bahwa, mengenai pembagian Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, Penggugat meminta Tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang kini tercatat atas nama Penggugat untuk ditetapkan sebagai milik Anak-anak dan Penggugat menguasainya selama Anak-anak belum dewasa 16. Bahwa, akhirnya Penggugat menyatakan sanggup untuk memberikan iwadl sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Penggugat memohon agar Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkenan memeriksa dan mengadili perkara ini serta selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut : 1. Mengabulkan Gugatan Penggugat seluruhnya; 2. Menetapkan jatuh Talak Satu dari Tergugat kepada Penggugat dengan Iwadl sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) 3. Menyatakan Putusan Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat karena perceraian; 4. Menyatakan bahwa Hadhonah atas Anak-anak, yang bernarna anak I dan anak II berada pada Penggugat sebagai Ibunya 5. Memerintahkan Tergugat untuk (a) memasukkan Anak-anak dalam Asuransi Kesehatan atas biaya Tergugat sepenuhnya; (b) untuk menanggung segala biaya pendidikan formal maupun non formal yang dibayarakan Tergugat langsung ke kemasing-masing lembaga pendidikan Anak-anak sampai setinggi-tingginya pada pendidikan formal Strata 2 (dua) (c) dan untuk memberikan biaya pemeliharaan Anak-anak dengan jumlah Rp. 1.500.000,(satu juta lima ratus ribu Rupiah) setiap bulannya hingga Anak-anak berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau menikah sebelum usia tersebut yang wajib dibayarkan Targugat kepada Penggugat secara tunai setiap tanggal 1 (satu) selaku pemegang hadhanah atas anak-anak, jumlah mana setiap tahun disesuaikan dengan besaran inflasi sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh persen) dengan tidak mengurangi kewajiban Tergugat selaku Ayah dari anak-anak untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingan anak-anak; 6. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah kepada Penggugat setiap bulannya sebesar Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu Rupiah), secara
tunai kepada Peaggugat selama proses berperkara sampai dengan putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap. 7. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulannya selama 3 (tiga) bulan 10 (sepuluh) hari setelah Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap; 8. Menetapkan bahwa Harta Bersama berupa Tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang kini tercatat atas nama Penggugat untuk ditetapkan sebagai milik Anak-anak dan Penggugat menguasainya selama Anak-anak belum dewasa. Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain, Penggugat memohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); Bahwa pada hari persaidangan yang telah ditetapkan, Penggugat dan Tergugat didampingi oleh Kuasanya masing-masing telah datang menghadap di muka persidangan, kemudian Majelis berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat agar kembali hidup rukun dan melanjutkan membina rumah tangga kembali akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil, kemudian memerintahkan kepada Penggugat dan Tergugat untuk menempuh upaya mediasi dengan mediator Drs. H. A. Nawawi Ali namun tidak berhasil mendamaikan Penggugat dan Tergugat; Bahwa kemudian dibacakanlah Gugatan Penggugat tersebut yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat; Bahwa terhadap Gugatan tersebut, Tergugat telah memberikan jawaban tertulis yang pada pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak membantahnya serta tidak berkeberatan untuk bercerai dengan Penggugat; Bahwa baik Penggugat maupun menyampaikan replik ataupun duplik;
Tergugat
masing-masing
tidak
Bahwa bahwa untuk memperkuat dalil Gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti-bukti surat berupa; a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Penggugat dan Tergugat, bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.1; b. Fotokopi Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat, bermaterai Cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.2; c. Fotokopi Kartu Akta Kelahiran Anak atas nama Ibtia Shabrina, perempuan, lahir tanggal 26 Mei 1997, bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.3; d. Fotokopi Kartu Akta Kelahiran Anak atas nama Muhammad Zikry Firmansyah, laki-laki, lahir tanggal 19 Oktober 2003, bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.4;
e. Fotokopi Kartu Akta Kelahiran Anak atas nama Muhammad Rizky Firmansyah, laki-laki, lahir tanggal 19 Oktober 2003, bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.5; f. Fotokopi Kartu Keluarga WNI atas nama Tergugat sebagai Kepala Keluarga, bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, kode P.6; g. Fotokopi Sertifikat Hak Milik No. 02505, bermaterai cukup tanpa memperlihatkan aslinya, kode P.7; h. Fotokopi Akta Jual Beli Nomor 1302/2005 ,tanpa materai dan tanpa memperlihatkan aslinya, kode P.8; i. Fotokopi Perjanjian Kredit, tanpa materai dan tanpa memperlihatkan aslinya, kode P.9; Bahwa selain itu Penggugat juga mengajukan seorang saksi yaitu: Saksi Penggugat: Saksi , umur 44 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta, tempat tinggal di Jalan Duku Nomor 6 KOmp. TNI-AL, RT: 005 RW: 06 Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, di hadapan sidang saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpah secara agama Islam yang pada pokoknya sebagai berikut: - Bahwa saksi adalah kakak kandung Penggugat; - Bahwa saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat; - Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang sah dan sudah mempunyai 3 (tiga) orang anak bernama: Sasa, Rizky, dan Zikry; - Bahwa Penggugat dengan Tergugat sering bertengkar sejak 2 (dua) tahun lalu disebabkan perbedaan pendapat dan keinginan dalam urusan rumah tangga termasuk karena Tergugat sering pulang larut malam dari bekerja; - Bahwa Penggugat menyampaikan keluh kesahnya kepada Saksi dan Saksi pernah menyaksikan langsung pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat lebih dari 3 (tiga) kali baik cekcok mulut langsung maupun lewat telepon; - Bahwa Penggugat dan Tergugat saat ini masih tinggal serumah; - Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat dalam keadaan baik dan sehat; - Bahwa Tergugat bekerja sebagai pegawai bank; - Bahwa pihak keluarga sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat melalui musyawarah keluarga agar rukun membina rumah tangga kembali dengan Tergugat namun tidak berhasil; Bahwa atas keterangan saksi tersebut, Penggugat menyatakan tidak keberatan sedangkan Tergugat menyatakan keberatan dengan keterangan saksi bahwa Penggugat dan Tergugat masih tinggal serumah. Yang sebenarnya adalah bahwa Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah, Tergugat pindah ke rumah orang tuanya dan hanya datang ke ruamah kediaman bersama jika ingin menemui anak-anak Penggugat dengan Tergugat;
Bahwa Tergugat juga telah mengajukan 1 (satu) orang saksi, yaitu: Saksi umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, bertempat tinggal di Komplek Bumi Serpong Damai (BSD), Anggrek Loka Blok 6/4, Sektor 2-I, RT: 002 RW: 010, Kelurahan Rawa Buntu, Kecamatan Serpong, Tangerang, di hadapan sidang saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpah secara agama Islam yang pada pokoknya sebagai berikut: - Bahwa saksi adalah kakak kandung Tergugat; - Bahwa saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat; - Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang menikah pada tahun 1996 dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu: Sasa, Rizky, dan Zikry yang ketiganya kini diasuh oleh Penggugat; - Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat tersebut dalam keadaan baikbaik dan sehat; - Bahwa Penggugat dengan Tergugat sering bertengkar sejak 2 (dua) tahun yang lalu disebabkan perbedaan visi dan misi antara Penggugat dan Tergugat dalam mendidik anak-anak serta adanya masalah keuangan; - Bahwa Saksi pernah melihat langsung pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat lebih dari 3 (tiga) kali baik yang terjadi di rumah Penggugat dan Tergugat maupun yang terjadi di rumah orang tua Tergugat; - Bahwa Tergugat bekerja sebagai pegawai di Bank Agro; - Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah pisah rumah sejak 3 (tiga) bulan yang lalu, Tergugat pindah ke rumah orang tuanya untuk menghindari pertengkaran dalam rumah tangganya; - Bahwa pihak keluarga sudah berusaha menasehati Penggugat agar rukun membina rumah tangga kembali dengan Tergugat namun tidak berhasil;, Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut Penggugat menyatakan tidak keberatan dan tidak akan mengajukan sesuatu tanggapan apapun dan mohon putusan; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah tentang gugatan cerai diakumulasi dengan hak asuh anak, nafkah anak dan harta bersama sebagaimana telah diuraikan di atas; Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 130 HIR, Majelis Hakim dalam setiap persidangan berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, namun usaha tersebut tidak berhasil; Menimbang, bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 antara Penggugat dan Tergugat telah dilakukan upaya mediasi oleh Mediator Hakim Drs. H. A. Nawawi Ali, namun mediasi tersebut tidak berhasil (gagal) mendamaikan Penggugat dan Tergugat;
Menimbang bahwa berdasarkan bukti P.1 berupa Kartu Tanda Penduduk atas nama Penggugat dan Tergugat yang masing-masing dikeluarkan oleh Kecamatan Cilandak dan Kecamatan Kebayoran, Jakarta Selatan, maka sesuai dengan pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun 2009 gugatan Penggugat benar menjadi kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan; Menimbang bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah berdasarkan Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat (bukti P.2.). Dan pernikahan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu Penggugat dan Tergugat adalah pihak-pihak yang berkepentingandalam perkara ini; Menimbang bahwa pokok gugatan Penggugat adalah bahwa awalnya rumah tangga Penggugat dengan Tergugat rukun dan harmonis namun kurang lebih sejak kelahiran anak pertama antara suami istri tersebut terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga yang disebabkan adnya perbedaan-perbedaan pendapat yang berujung pada pertengkaran-pertengkaran yang tidak jarang pula terjadi di hadapan anak-anak Penggugat dengan Tergugat, pembantu, dan keluarga besar. Tergugat sering meninggalkan rumah kediaman bersama tanpa alasan jelas. Dan bahwa pertengkaran-pertengkaran yang terjadi terus menerus tersebut telah berdampak pada terganggunya ketenteraman batin Penggugat hingga Penggugat merasa bahwa rumah tangganya adalah bagai neraka baginya; Menimbang bahwa Tergugat telah memberikan jawaban yang pada pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak berkeberatan bercerai dengan Penggugat, maka dapat dikualifisir bahwa Pengakuan Tergugat tersebut merupakan pengakuan bulat murni (aven pur et simple) yang sesuai ketentuan hukum acara merupakan bukti yang mengikat dan menentukan sebagaimana maksud pasal 174 HIR; Menimbang bahwa perkara ini in casu perceraian, pengakuan adalah bukti awal yang memerlukan bukti-bukti lainnya, sehingga Penggugat tetap dibebankan wajib bukti; Menimbang, bahwa Penggugat selain mengajukan bukti surat juga mengajukan bukti saksi; Menimbang, bahwa dari dua orang saksi Penggugat telah diperoleh keterangan yang bersesuaian satu sama lain yaitu bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat yang awalnya rukun dan harmonis namun saat ini sering terjadi perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat secara terusmenerus yang penyebabnya adalah adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan
keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam urusan rumah tangga lainnya juga karean Tergugat sering pulang malam dari bekerja. Antar Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak 3 (tiga) bulan lalu. Penggugat dan Tergugat sudah didamaikan namun tidak berhasil; Menimbang bahwa keterangan dua orang Saksi Penggugat tersebut satu sama lain saling berkaitan dan tidak dibantah oleh Penggugat dan Tergugat karenanya keterangan Saksi-saksi tersebut patut diterima dan patut dipertimbangkan karena telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana maksud pasal 147, 171 dan 172 HIR. Dan oleh karena keterangan dua orang saksi tersebut telah menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat, maka dalil-dalil Penggugat tersebut dinyatakan terbukti. Menimbang, bahwa dari keterangan Penggugat serta pengakuan Tergugat dikuatkan dengan bukti-bukti surat keterangan dua orang saksi, ditemukan faktafakta yaitu: 1. Bahwa Penggugat dan Tergugat menikah pada tanggal 10 Maret 1996 dan hingga kini telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak; 2. Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus; 3. Bahwa perselisihan sejak kelahiran anak pertama tersebut disebabkan perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam penyelenggaraan rumah tangga secara umum; 4. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak sekitar bulan April 2010; 5. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah didamaikan baik melalui nasehat maupun dengan jalan musyawarah namun tidak berhasil; Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut pengadilan berpendapat bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran, mengakibatkan keduanya sudah tidak rukun lagi, Penggugat dan Tergugat sudah tidak tinggal satu rumah, dan Penggugat telah menyatakan tidak dapat mempertahankan ikatan perkawinan dengan Tergugat. Menimbang, bahwa upaya Majelis Hakim dan Saksi-saksi yang diajukan dalam perkara ini menasihati Penggugat agar tetap rukun kembali dengan Tergugat ternyata tidak berhasil, karena Penggugat telah menyatakan sikapnya dengan tetap berkukuh pada pendiriannya untuk bercerai dengan Tergugat, sehingga Majelis menilai bahwa dengan sebab perselisihan dan pertengkaran itu telah mencapai pada suatu keadaan yang mana dalam rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak dapat ditolerir lagi untuk hidup rukun dalam satu ikatan perkawinan; Menimbang, bahwa jika salah satu pihak telah menyatakan tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk bercerai dengan pihak lainnya, maka tidak terdapat cukup alasan untuk tetap mempertahankan ikatan perkawinan tersebut,
karena itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat telah berada pada tingkat pecahnya perkawinan (broken marriage), keduanya sudah sangat sulit untuk hidup rukun lagi sebagai suami istri, sehingga rumah tangga keduanya sangat sulit pula untuk dipertahankan, dalam mana jika tetap dipertahankan dapat menimbulkan mudarat yang lebih besar bagi keduanya. Terhadap kenyataan seperti itu Majelis Hakim perlu menyampaikan dalil syar‟i, yaitu berupa qoidah fiqh yang termuat di dalam Kitab Al-Asybah wan-Nadzhoir, yang kemudian diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim, yang artinya: “Menolak mafsadah (pengaruh yang bersifat merusak) harus didahulukan dari pada mengharapkan datangnya mashlahah (pengaruh yang membawa manfaat/kebaikan)”, maka alternatif penyelesaian sengketa perkawinan yang terbaik bagi Penggugat dan Tergugat adalah perceraian, karena itu peitum Penggugat pada angka 2 dapat dikabulkan; Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas gugatan Penggugat telah terbukti dan berdasar hukum untuk diterima dan dikabulkan berdasarkan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf f KHI dengan menjatuhkan talak bain shugro dari Tergugat, terhadap Penggugat, Menimbang, bahwa bukti P.3, P.4, P.5, dan P.6 adalah akta-akta kelahiran atas nama 3 (tiga) orang anak Penggugat dengan Tergugat dan Kartu Keluarga WNI atas nama Tergugat sebagai Kepala Keluarga, maka berdasarkan bukti tersebut terbukti bahwa ketiga orang anak tersebut adalah anak yang sah dan lahir dari perkawinan penggugat dengan tergugat. Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatan telah mengajukan tuntutan menyangkut hak pengasuhan anak, Penggugat memohon kepada pengadilan agar menetapkan anak-anak tersebut berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat. Menimbang, bahwa oleh karena anak yang bernama Muhamad Rizky Firmansyah, lahir pada tanggal 19 Oktober 2003 dan Muhamad Zikry Firmansyah, lahir pada tanggal 19 Oklober 200, masih dibawah umur (belum mumayyiz), dimana anak tersebut masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari ibunya, berdasarkan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, maka hak pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada Penggugat; Menimbang bahwa Penggugat juga meminta hak asuh (hadhonah) terhadap anak tertua Penggugat dan Tergugat yang bernama Ibtia Shabrina, lahir pada tanggal 26 Mei 1997 (berusia 13 tahun), hal mana terhadap hal ini Tergugat pun telah menyatakan persetujuannya (tidak keberatan dan tidak membantah) yakni terlihat dalam jawaban Tergugat dalam persidangan, maka Majelis berpendapat bahwa ibunya layak diberikan hak pengasuhan dan pemeliharaan karenanya hak pengasuhan dan pemeliharaan anak tertua dimaksud diserahkan pula kepada Penggugat;
Menimbang bahwa terhadap tuntutan Penggugat tentang asuransi anak, biaya sekolah anak sampai S2, dan nafkah anak, Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut; a. Bahwa tuntutan tentang nafkah anak sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya hingga anak tersebut dewasa atau menikah telah sesuai dengan maksud Pasal 105 huruf c dan Pasal 156 huruf d105 huruf c Kompilasi Hukum Islam, dan telah disesuaikan dengan kemampuan Tergugat sebagai Ayah yang bekerja sebagai Pegawai pada Bank Agro, Majelis Hakim berpendapat gugatan tentang nafkah anak dimaksud dapat dikabulkan; b. Bahwa Tergugat telah dibebankan untuk menanggung biaya hadhonah anak sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya hingga anak tersebut dewasa atau menikah, maka tuntutan tentang asuransi anak dan biaya sekolah anak hingga strata dua (S2) dikahawatirkan akan memberatkan Tergugat karenanya Majelis berpendapat bahwa tuntutan tentang hal tersebut dapat dinyatakan ditolak; (nafkah iddah dan nafkah selama proses persidangan)...??? Menimbang bahwa bukti P.7, P.8, dan P.9 masing-masing berupa Sertifikat Hak Milik, Akta Jual Beli, dan Perjanjian Kredit tidak dapat ditunjukkan aslinya karena dalam agunan sehingga tidak memenuhi syarat formil pembuktian sebagaimana maksud pasal 1888 BW yakni bahwa kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya, karenanya bukti-bukti tersebut dinyatakan dikesampingkan; Menimbang bahwa dalam gugatannya, Penggugat juga menuntut agar harta bersama berupa Tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang kini tercatat atas nama Penggugat ditetapkan sebagai milik anak-anak dan Penggugat menguasainya selama anak-anak tersebut belum dewasa; Menimbang bahwa terhadap dalil gugat ini pun Tergugat telah mengakui dan tidak membantahnya sehingga dapat ditafsirkan bahwa atas hal ini telah dicapai sebuah kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat, karenanya dapat dinyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat telah melepaskan haknya terhadap harta bersama tersebut; Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara perceraian yang berada dalam lingkup bidang perkawinan, maka biaya perkara dibebankan kepada penggugat sesuai Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 sebagaimana telah diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009
MENGADILI 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat terhadap Pengguga 3. Menetapkan 3 (tiga) orang anak Penggugat dan Tergugat : 3.1. anak lahir tanggal 26 Mei 1997; 3.2. anak , lahir tanggal 19 Oktober 2003; 3.3. anak lahir tanggal 19 Oktober 2003; di bawah pemeliharaan (hadhonah) Penggugat; 4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat biaya pemeliharaan anak sebanyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulan terhitung sejak putusan ini kekuatan hukum tetap sampai dengan anak-anak tersebut dewasa (berusia 21 tahun) di luar biaya pendidikan dan kesehatan 5. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat nafkah, maskan, dan kiswah selama masa iddah (tiga bulan) sebanyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan; 6. Menyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat telah melepaskan haknya terhadap Harta Bersama berupa tanah dan bangunan diatasnya yang terletak di Jl.Permata Pamulang Blok G 16 No.28 Rt.10 Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan; 7. Menyatakan gugatan Penggugat tentang Asuransi anak dan biaya sekolah sampai S2 dinyatakan tidak dapat diterima; 8. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga putusan ini sebanyak Rp356.000,00 (tiga ratus lima puluh enam ribu rupiah). Demikian diputuskan pada hari Senin tanggal 06 September 2010 Masehi bertepatan dengan tanggal 27 ramadhan 1431 Hijriah, oleh Hakim Pengadilan Agama di Jakarta Selatan yang terdiri dari Drs. Yasardin, SH., MH. sebagai Ketua Majelis dan Dra. Hj. Ai Zainab, SH. serta Dra. Muhayah, SH., sebagai HakimHakim Anggota, putusan mana oleh Hakim tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Ahlan, SH. Sebagai Panitera Sidang Pengadilan Agama tersebut dan dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat;
Ketua Majelis TTD Drs. Yasardin, SH., MH. Hakim Anggota, TTD Dra. Hj. Ai Zainab, SH.
Hakim Anggota, TTD Dra. Muhayah, SH.