KOHERENSI TERJEMAHAN AL-QURAN: Analisis Struktural Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi Tahun 2002
TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab
Oleh: TARDI NIM: 06.2.00.1.13.08.0052 Pembimbing: Prof. Dr. H. Chatibul Umam, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008 i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia dicabut gelar kesarjanaannya.
Ciputat, ..... Agustus 2008
Tardi
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “KOHERENSI TERJEMAHAN AL-QURAN” : Analisis Struktural Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi 2002 yang ditulis oleh Nama
: Tardi
NIM
: 06.2.00.1.13.08.0052
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diperbaiki sesuai dengan permintaan, saran dan masukan pembimbing dan disetujui untuk dibawa ke sidang ujian tesis.
Jakarta, ...... Agustus 2008 Pembimbing,
Prof. Dr. H. Chatibul Umam, MA.
iii
PENGESAHAN
Tesis
saudara
Tardi
(NIM.
06.2.00.1.13.08.0052)
yang
berjudul
KOHERENSI TERJEMAHAN AL-QURAN: Analisis Struktural Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi Tahun 2002 telah
diujikan pada hari Kamis, 28
Agustus 2008 dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
Jakarta, 04 September 2008
TIM PENGUJI: 1. Dr. Udjang Tholib, MA.
(..................................)
Ketua/ Merangkap Penguji
Tgl.
2. Prof. Dr. Chotibul Umam, MA.
(...................................)
Pembimbing/ Merangkap Penguji
Tgl.
3. Dr. Faizah Ali Sybromalisi
(...................................)
Penguji
Tgl.
4. Dr. Yusuf Rahman, MA.
(...................................)
Penguji
Tgl.
iv
ABSTRAK
Penelitian ini membuktikan bahwa terjemahan al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia edisi 2002 menggunakan teori-teori terjemahan secara umum yang ditawarkan oleh Newmark. Teori tersebut dikembangkan melalui prosedur penerjemahan yang tidak hanya mengikuti satu langkah, tetapi tiga langkah, yakni analisis, transfer dan restrukturisasi. Ketiga langkah ini tidak dapat memecahkan kesulitan penerjemahan dalam tataran kata, frasa atau kalimat. Oleh karena itu, teknik atau strategi penerjemahan al-Quran tetap diperlukan. Penelitian ini menggambarkan strategi terjemahan al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, yang kemudian dibagi ke dalam dua bagian, yakni strategi struktural dan strategi semantis. Strategi struktural digunakan untuk mencari padanan struktural antara bahasa al-Quran (Bsu) dan bahasa Indonesia (Bsa). Jika tidak ditemukan padanannya, maka pengalihan fungsi (transposisi) harus dilakukan. Sedangkan strategi semantis dilakukan atas dasar pertimbangan makna. Karena semua makna Bsu tidak dapat diterjemahkan sepenuhnya ke dalam Bsa. Kedua strategi ini dimaksudkan untuk memperkuat pernyataan Ahsin Sakho Muhammad, salah seorang anggota tim penerjemah al-Quran, bahwa kesulitan yang dapat dirasakan langsung oleh para anggota tim penerjemah al-Quran adalah mencari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam tesis ini padanan kedua bahasa itu dianalisis menurut tingkat kebahasaaannya. Selain itu, penelitian ini memperkuat pernyataan Suryawinata bahwa terjemahan al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia bersifat semantis. Kecenderungan terjemahan semantis dapat diketahui dari objektifitasnya, yakni tidak terikat dengan Bsu maupun Bsa secara penuh. Struktur Bsu, makna dan gaya bahasanya tetap dipertahankan dalam terjemahan Bsa, sehingga terjemahan al-Quran masih tetap terasa sedikit kaku tetapi tidak sekaku terjemahan harfiah. Objek penelitian ini adalah terjemahan al-Quran yang berusaha menjelaskan materi melalui media yang berbeda, yakni bahasa al-Quran dengan bahasa Indonesia. Secara ideal, struktur bahasa al-Quran dan bahasa Indonesia merupakan struktur yang harus dipersamakan secara fungsional. Sehubungan kedua bahasa itu berbeda, maka analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kontrastif. Analisis ini mengandung dua langkah, yakni mendeskripsikan Bsu dan Bsa, dan membandingkan antara keduanya. Perbedaan antara keduanya merupakan variabel yang diperhatikan dalam penerjemahan.
v
ABSTRACT This research proves that Qur'an translation of Depag RI, Edition 2002 uses common translation theory which was introduced by Newmark. That theory is developed through translation procedure that does not follow only one stage, but three stages, those are analyzing, transferring, and restructurisation. The three stages can not completely solve the translation difficulties in words, phrases, or sentences level. Therefore, techniques or strategies of Qur’an translation are still required. This research describes Qur’an translation strategy that is conducted by Depag RI, which is divided into two, namely structural strategy and semantical strategy. Structural strategy is used to look for structural equivalent between the language of Qur' an (the source language) and Indonesian language (the target language). If its equivalent is undiscovered, the function shifting (transposition) will be performed. Whereas semantical strategy is performed based on meanings consideration. Since all meaning of the source language can not be translated utterly into the target language. Both strategies are meant to strengthen Ahsin Sakho Muhammad's statement, one of Qur'an translators of Depag RI, that the main difficulty felt by members of Qur’an translator team is how to get the equivalence of Qur’an language in Indonesian. So, the equivalence of the two languages is analyzed in this thesis in accordance of their terminological level. This research also strengthens Suryawinata's statement that Qur’an translation of Depag RI gets semantical character. The preference of using semantical translation can be known from the objectivity, which is not tied up extremely either on source language or target language. The structure of source language, its meaning and style are maintained in target language translation. So that the Qur’an translation still looks textual but not as textual as literal translation. The object of this research is Qur’an translation which tries to explain the material through different medium, those are the language of Qur' an and Indonesian language. Ideally, the structure of language of Qur’an should be functionally likened to Indonesian language. As both languages are different, the analysis technique used is contrastive analysis. This technique contains two steps, namely describing source language and target language, and comparing between both languages. The differences of two languages in translation are observed carefully.
vi
ا
ه ا ا ف إ إت ا ﺏن ا('ن ا&درة " 2002 وا 5 6 7ﺏ وزارة ا123ن ا ا0ﻥوﻥ- -م (+ا ﺏ" ا :ا 7ا6ﺡﻥ 1رك .و <1ر ه Cا<( 7@ A Bأآ= Bﻥ,D ه 7ﻥ 7 Dو ﻥ Dﻥ( 7و ﻥ DإAدة اآ .Dوه Cا1اﻥ Dا=F G M<-أن Lآ Lا GK3ت ا:ﺉ( أ م Aا "1اء آﻥ1- 7@ 5ى ا Kأم اآ Dأم ا .ا @"ام ا<( أو ا"0ا اPﺥي (7 دوره ام @ 7ا('ن .وه ا ا <:ﺹ1رة ﺵ "0ا ا('ن ا 5 6 7ﺏ وزارة ا123ن ا وا 7@ 7 7ﻥ :BA1أو إ"ا آ و إ"ا د.F -م ا"0ا اآ &1ل 7 Aاادف ﺏ Bاآ :BآD Uا('ن ) UاPﺹ (Lوآ Dا Uا0ﻥوﻥ U) -اف( .وإذا BK Xهك ادف ﺏ Bاآ L1@ ,Bا [\1أ Fﺏ .Zوأ ا"0ا اF @ 7 A 7اAة ﺹ ا P .7:ن آ Lا 7:ا 1 1د @ U 7اPﺹBK F L ﻥ( Zإ U 7اف"@ .ام آ Gا"0ا &( Bرأي أﺡ" B-ء 1]A ,ا ا(ﺉ Lﺏن ا K3ا1 7ا أ]Aء ا('ن ه 7ا&1ل 7 Aاادف ا 7@ L Kا Uا0ﻥوﻥ .-و Bأ Lذ^ رس اادف ﺏ Bا 7@ BUه ا ا 7 Aﺡ. 1- D- و@ 7ﻥ' Dﺥ أن ه ا ا ` 1" Z6رو ﺏن ا('ن ا7 5 6ﺏ وزارة ا123ن ا ا0ﻥوﻥ -د .Fوه ا ا1ع Bا :ف BﺥGل ه A 7:م اbFام اbا و( ﺏ UاPﺹ Lأو ﺏ U اف.وأ @ 7ا اc@ Fن آ U DاPﺹ Lوأ" 1ﺏ ( 7آ ه7@ 1 Uاف `دي إA 7م ا وﻥ و آﻥ ﺡ@ ('ن. و &ر ه ا ا ه 1ا('ن ا1 ] B 7ن ا('ن ﺏ Uا:ﺏ 7:ا('ن ﺏ Uا0ﻥوﻥ .-وﺥ ه ا ا ا Uا0ﻥوﻥ -آ U ا ('ن .وا ا = 7 A d@ 7أﺹ اآ) Dآ U DاPﺹL و Uاف( و\[ .وﺏ أن اآ[ Bن @ L @ , :+ 7ا -م @7 vii
LﺹP اU e ه وﺹ:B A L 3 L وه ا ا.7 ا(ﺏL ا1ه ا ا ه B ﺏF أBU اBﺹ ا[ق ﺏA و. ا (رﻥ ﺏX (6 اف وﺹ[ دUو . ا7@ ZA ا PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN syarif Hidayatullah Jakarta yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Konsonan Huruf Arab
ا
Huruf Latin Tidak dilambangkan
Keterangan Tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
je
ح
h
h dengan garis di bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
ص
s
es dengan garis di bawah viii
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ض
d
de dengan garis di bawah
ط
t
te dengan garis di bawah
ظ
z
zet dengan garis di bawah
ع
‘
koma terbalik di atas hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
ef
ق
q
ki
ك
k
ka
ل
l
el
م
m
em
ن
n
en
و
w
we
هـ
h
ha
F
la
el dan a
ء
´
Apostrop
ي
y
ye
2. Vokal a. Vokal Tunggal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
fathah
ِ
i
kasrah
ُ
u
dammah
b. Vokal Rangkap
ix
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ى...َ
ai
a dan i
و...َ
au
a dan u
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـــَـ ِــــ
ُــــ
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
c. Vokal Panjang
x
3. Ta Marbûtah Jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na´t). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi /t/. Contoh: No
Kata Arab
Alih Aksara
1
(+ ّ G"0 ا: ا د1 1وﺡة ا
tarîqah
2 3
al-jâmi’ah al-islâmiyyah wahdat al-wujud
4. Syaddah (Tasydîd) Syaddah dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah. Contoh:
ّرﺏـ ا]ورة
ّلbﻥ
: rabbanâ : al-darûrah
: nazzala
5. Kata Sandang Kata sandang “ ” اـdialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti dengan huruf syamsiyyah maupun diikuti dengan huruf qamariyyah. Contoh:
w 3ا
X (ا
: al-syams
xi
: al-qalam
DAFTAR SINGKATAN
Bsa
= Bahasa Sasaran
Bsu
= Bahasa Sumber
F
= Frasa
Fa
= Fâ’il
FAdj
= Frasa Adjektival
Fi
= Fi’l
FN
= Frasa Nominal
FV
= Frasa Verbal
I
= Ism
K
= Klausa
Ket.
= Keterangan
KS
= Kata Sarana
M
= Murakkab
N
= Nomina
O
= Objek
P
= Predikat
Pel.
= Pelengkap
R
= Rabit
S
= Subjek
V
= Verba
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Perbandingan Fungsi Sintaksis Bsu dan Bsa
hal. 60
Tabel 2
Perbandingan Kategori Bsu dan Bsa
hal. 62
Tabel 3
Pronomina Persona Bsu dan Bsa
hal. 102
Tabel 4
Pronomina Penunjuk Bsu
hal. 105
Tabel 5
Pronomina Penghubung
hal. 108
Tabel 6
Numeralia Bsu dan Bsa
hal. 111
Tabel 7
Kata Sarana Bsu dan Bsa
hal. 122
xiii
KATA PENGANTAR
ِAlhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul KOHERENSI TERJEMAHAN AL-QURAN: Analisis Struktural Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi Tahun 2002. Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, dengan penuh ketulusan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. H. Chatibul Umam, MA, selaku pembimbing tesis yang senantiasa memberikan waktu kepada penulis dengan tulus untuk berkonsultasi, memberikan bimbingan serta arahan hingga karya ilmiah ini selesai. 4. Departemen Agama, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan program magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda Sarip (alm.) dan Ibunda Kadisem serta Ayahanda mertua, H. Muhyiddin (alm.) dan ibunda Hj. Muhdiyah yang telah mengorbankan segalanya dan mendoakan untuk kebaikan hidup penulis di dunia dan akhirat nanti. 6. Istri tercinta ’Aini Sa’adah yang senantiasa memberikan motivasi kepada penulis dan sabar dalam kesendirian mengasuh dan mendidik ananda tersayang Anisah Novie Musyarrofah, Abdullah Umar dan Wardah Shobahiyyah.
xiv
7. Sahabat-sahabat penulis di SPs UIN Jakarta yang tinggal bersama penulis selama dua tahun di Asrama Putra dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari, dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis, tesis ini jauh dari kesempurnaan. Karena itu, kritik dan saran dari pihak manapun sangat diharapkan. Akhirnya, dengan senantiasa berharap rida dan rahmat Allah SWT, penulis mempersembahkan karya ini kepada mereka yang berkeinginan kuat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di madrasah. Semoga karya ini mempunyai nilai manfaat. Amin. Ciputat, 12 Agustus 2008 Penulis,
Tardi
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i SURAT PERNYATAAN ........................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iii PENGESAHAN ............................................................................................... iv ABSTRAK.................................................................................................... iv PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN......................................... vii DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii KATA PENGANTAR ................................................................................. xiii DAFTAR ISI .............................................................................................. xv BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Permasalahan .........................................................................
7
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................
8
D. Tujuan Penelitian ..................................................................
11
E. Manfaat/ Signifikansi Penelitian ............................................
11
F. Metodologi Penelitian ...........................................................
12
G. Sistematika Penulisan ............................................................
13
PARADIGMA TERJEMAHAN AL-QURAN .........................
15
A. Hakikat Terjemahan ..............................................................
15
B. Ragam dan Prinsip Terjemahan .............................................
20
C. Prosedur Terjemahan .............................................................
36
D. Kualitas terjemahan dan Kelembagaannya .............................
41
STRATEGI TERJEMAHAN AL-QURAN DEPAG RI ..........
47
A. Fungsi Sintaksis Bsu dan Bsa .................................................
48
B. Strategi Struktural .................................................................
63
xvi
C. Strategi Semantis .................................................................. BAB IV
79
PADANAN GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SERTA MAKNANYA DALAM TERJEMAHAN AL-QURAN ............
95
A. Padanan Gramatikal ...............................................................
97
B. Padanan Leksikal ................................................................... 139 C. Jenis Makna dalam Terjemahan al-Quran .............................. 150 BAB V
PENUTUP .................................................................................. 157 A. Kesimpulan ............................................................................ 157 B. Saran ..................................................................................... 158
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 160
xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Terjemahan, baik lisan maupun tulisan, sebagai bagian dari ilmu linguistik relatif belum lama. Bahkan sampai sekarang mengenai masalah terjemahan belum ada nama acuan yang diterima secara umum. Setiap pemerhati linguistik terjemahan mempunyai istilah sendiri, seperti: “Ilmu Terjemahan”, “Teori Terjemahan”, “Pengantar Teori Terjemahan” dan lain-lain. 1 Menurut Wolfram Wills dalam bukunya The Science of Translation, penerjemahan adalah suatu proses transfer yang bertujuan untuk menyampaikan teks tertulis BSu (bahasa sumber) ke dalam BSa (bahasa sasaran)2 yang optimal padan, dan memerlukan pemahaman sintaksis, semantik, dan pragmatik, serta proses analisis terhadap BSu.3 Islam memandang bahwa terjemahan menempati posisi strategis untuk menjalankan misi-misi Islam dan keilmuan,4 di mana sasaran utamanya adalah orang-orang non Arab yang tidak memahami teks-teks Arab sebagai bahasa sumber ajaran-ajaran Islam, seperti al-Quran dan Hadits. Teks-teks tersebut harus dipahami mereka sebagai bahasa yang komunikatif.
1
Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h. vii. Istilah “bahasa sumber” merupakan terjemahan dari source language (SL), yakni bahasa yang diterjemahkan. Sedangkan “bahasa sasaran” merupakan terjemahan dari target language (TL), yakni bahasa terjemahan. Istilah dalam terjemahan teks, bahasa sumber identik dengan “teks sumber” (Tsu), sedangkan bahasa sasaran identik dengan “teks sasaran” (Tsa). Kedua istilah tersebut juga merupakan terjemahan dari source text (ST) dan target text (TT). 3 Wolfram Wills, The Science of Translation (Stuttgart: Gunter Narr Verlag Tubingen, 1982), h. 3. Sebagaimana dikutip oleh Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 15-16. 4 Pada masa Bani Umayyah hanya dua orang khalifah yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu, yaitu Khâlid bin Yazîd dan Khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Azîz. Sedangkan Bani ‘Abbasiyah hampir sebagian besar memiliki kepedulian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sebut saja khalifah al-Mansûr, Hârûn al-Rasyîd, al-Ma’mûn, al-Mutawakkil. Lihat, Rasyîd al-Jamîli, Harakah al-Tarjamah fi al-Masyriq fi al-Qarnaini al-Tsâlits wa al-Râbi’ al-Hijri (Baghdad: Dâr alSyu’ûn al-Tsaqâfiyah al-‘Âmmah, 1986), h. 76. 2
xviii
Sebagai sebuah teks, al-Quran tidak pernah kering, apalagi habis. Teks alQuran bisa diterjemahkan dan ditafsirkan secara kaya, tergantung konteksnya, baik
konteks
linguistik5
maupun
non-linguistiknya.6
Dengan
demikian,
persinggungan dan persentuhan antara penerjemah atau penafsir dengan al-Quran merupakan pergulatan yang dinamis. Bagi orang-orang asing, terjemahan al-Quran ke dalam bahasanya mempunyai peran besar sebagai pengantar untuk mendekatkan pemahaman pesan-pesan al-Quran. Dalam kaitannya dengan penerjemahan al-Quran, menurut al-Zarqâni, penerjemahan al-Quran selama ini hendaknya mempunyai enam peran penting di antaranya adalah memberi informasi yang jelas terhadap orang-orang non Arab tentang substansi ajaran-ajaran Islam, dan menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim untuk menyampaikan lafal dan makna al-Quran. 7 Manshûr Muhammad Hasb al-Nabi mengemukakan bahwa penerjemahan dan penafsiran al-Quran yang akurat dan jelas adalah satu dakwah kepada non muslim atau non Arab dengan cara yang obyektif dan ilmiah untuk memastikan kebenaran wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan untuk menentang tuduhan-tuduhan dan pengingkaran mereka. Dengan terjemahan itu, kiranya mampu membangkitkan kesadaran mereka dari keingkarannya.8
5
Mengingat objek kajian linguistik adalah bahasa, merupakan fenomena yang menyatu dengan kehidupan manusia, maka objek kajiannya meliputi linguistik umum dan khusus (dilihat dari sisi berlakunya bahasa di suatu tempat), linguistik sinkronik dan diakronik (ditinjau dari sisi masa berlakunya), linguistik mikro dan makro (ditinjau dari segi faktor internal dan eksternal), linguistik teoritis dan terapan (berdasarkan tujuannya), linguistik tradisional, struktural, transformasional, generatif semantik, relasional dan linguistik sistemik (berdasarkan aliran atau teori yang digunakan dalam penelitian bahasa). Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta Karya, cet. II, 2003), h. 14 - 17 6 Persoalan non linguistik adalah segala sesuatu yang menyertai teks di luar aspek kebahasaan teks, seperti hal-hal yang mencakup ideologi, budaya, sosial, politik, sejarah. 7 Disimpulkan dari Muhammad ‘Abd al-‘Adhîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm alQurân (Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halbi, t.t.) jilid II, h. 137-139. 8 Manshur Muhammad memberikan satu contoh ayat 33 surah Ibrahîm, pada kata B داﺉyang diartikannya dengan bekerja terus tanpa henti (menggambarkan aktivitas matahari dan bulan). Lihat, Manshûr Muhammad Hasb al-Nabiy, al-Qurân wa ‘Ilm al-Hadîts (Mesir: al-Hayyah al-Mishriyah al‘Ammah li al-Kuttâb, 1991), h. 235-236.
xix
Al-Quran sebagai teks, satu-satunya pintu untuk memasukinya adalah dengan menggunakan perangkat kebahasaan, mulai dari bahasa sebagai ilmu yang sudah mapan dengan segala cabangnya (Fonologi, Morfologi, Sintaksis dan Semantik), hingga temuan-temuan mutakhir dalam bidang ini, seperti pragmatika bahasa, wacana, dan semua ilmu yang berbicara tentang hubungan bahasa dengan konteks sosial-budaya. Semua ilmu ini harus didayagunakan untuk menguak teks. Meski demikian, tidak hanya perangkat kebahasaan yang mampu untuk mengeksplorasi makna al-Quran tersebut, namun masih banyak pendekatan yang masih mungkin dilakukan untuk hal itu. Perangkat bahasa dipergunakan di sini dalam kaitannya dengan fakta bahwa al-Quran adalah teks verbal. Terjemahan al-Quran bagi orang yang asing, khususnya masyarakat muslim Indonesia - sebagaimana yang dipahami selama ini - merupakan wacana yang harus dibaca, dipahami dan diaplikasikan, sebagaimana orang yang paham dengan bahasa al-Quran. Terjemahan al-Quran yang tidak tepat, sepadan dan adekuat akan menimbulkan kontradiksi dan persepsi yang salah. Misalnya terjemahan alQuran yang dihasilkan oleh H.B. Jassin, seorang kritikus sastra pada akhir 1970an.9 Terjemahannya ini kemudian mendapatkan kecaman dan kritik serta tanggapan dari berbagai komunitas masyarakat muslim di Indonesia, termasuk dari Departemen Agama.10 Sebenarnya dalam hal penerjemahan, “betul-salah” nya terjemahan hanya bersangkutan dengan aspek kebahasaan murni. Ini sifatnya mutlak. Dan faktor bahasa itulah yang selalu membayangi proses penerjemahan, karena antara Bsu dan Bsa berbeda. Jadi, istilah kesalahan dalam terjemahan harus dibedakan antara “betul-salah” (correctness) dengan “baik-buruk” (good or bad translation).11 9
Dia mendapatkan inspirasinya dari Dr. Yûsuf ‘Ali, seorang penerjemah al-Quran ke dalam bahasa Inggris berasal dari India pada tahun 1930-an. Terjemahan H.B. Jassin ini bergaya puitis dengan kalimat-kalimat yang indah. Lihat, Phil M. Nur Kholis Setiawan, al-Quran Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), h. 264. 10 Lihat, H. Oemar Bakry, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Quran alKarim Bacaan Mulia (Jakarta: Mutiara, 1979). 11 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Bandung: Pustaka Jaya, 2006), h. 27.
xx
Diakui bahwa terjemahan satu kalimat, tidaklah sepenuhnya sama dengan bahasa sasaran yang dimaksud, karena adanya beberapa perbedaan antara kedua bahasa tersebut. Lebih-lebih bahasa Arab mempunyai kosa kata yang sangat kaya. Di sisi lain diakui pula, bahwa menerjemahkan al-Quran tidak akan pernah berhasil,12 karena itu banyak ulama yang enggan menggunakan istilah terjemahan al-Quran, tetapi “terjemahan makna-makna al-Quran”13 Namun demikian, istilah terjemahan al-Quran di Indonesia lebih banyak digunakan dalam pengertian “terjemahan makna-makna al-Quran”. Dan inilah yang membedakan terjemahan kitab suci al-Quran dengan kitab Injil. Menurut Suryawinata, praktek terjemahan al-Quran agaknya menggunakan prinsip terjemahan semantis.14 Oleh karena itu, pada umumnya terjemahan semantis terasa lebih kaku dengan struktur yang lebih kompleks
karena ia
menggambarkan dan mempertahankan proses berpikir dan idiolek penulis aslinya. Makna-makna al-Quran sering kali menguji ketelitian penerjemah, sehingga penerjemah menerjemahkan makna baru di tingkat kata, frase dan kalimat yang boleh jadi tidak dikehendaki al-Quran. Oleh karena itu, teks al-Quran – sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Islam – adalah wacana otoritatif (authoritative), sehingga penerjemahannya harus sedekat dan setepat mungkin dengan teks aslinya baik gramatika, kosakata, konsep, makna, amanat maupun stilistiknya. Kehadiran Al-quran dan terjemahnya terbitan Departemen Agama RI Edisi Tahun 2002 yang diakui telah mengalami beberapa penyempurnaan,15 sangatlah 12
Sambutan Menteri Agama, al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), h. iii. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi,( Jakarta: Lentera Hati, 2006) h. 323. 13 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 323. 14 Terjemahan semantis berusaha mempertahankan struktur semantis dan sintaktik serta makna kontekstual dari teks BSu. Sehingga elemen budaya BSu harus tetap menjadi elemen budaya BSu meskipun ia hadir dalam teks terjemahan BSa. Lihat, Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 50. 15 Aspek-aspek penyempurnaan itu meliputi aspek bahasa, konsistensi, substansi dan transliterasi. Lihat, Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), h. vi.
xxi
penting bagi masyarakat Indonesia, karena al-Quran dengan menggunakan bahasa aslinya tidak mudah dimengerti oleh kebanyakan umat Islam Indonesia. Meskipun banyak bermunculan al-Quran berikut terjemahannya yang diterbitkan oleh beberapa penerbit,16 namun tetap dalam pengawasan dan penelitian serta pengesahan dari Lajnah Pentashih al-Quran. Sebagai karya terjemahan teks suci al-Quran, al-Quran dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama perlu diuji dari segi kualitas hasil terjemahannya. Menurut Suryawinata,17 di antara cara-cara yang dilakukan untuk menguji hasil terjemahannya itu adalah (1) membandingkan teks Bsu dengan Teks Bsa, (2) terjemahan balik, (3) prosedur Cloze, (4) pengujian pemahaman dan kesan oleh pembaca teks Bsa, dan (5) membandingkan pemahaman dan kesan yang diperoleh oleh pembaca teks Bsu dan pembaca teks Bsa. Dalam banyak hal, penelitian dengan objek hasil terjemahan identik dengan kritik terjemahan. Menurut Newmark,18 sebuah kritik terjemahan yang komprehensif harus mencakup lima hal, yaitu (1) analisis singkat teks Bsu, (2) interpretasi penerjemah, (3) perbandingan yang selektif bagian teks Bsu dan teks Bsa, (4) evaluasi terjemahan, dan (5) peran karya tersebut dalam budaya atau disiplin ilmu di dalam konteks Bsa. Terjemahan al-Quran memiliki tingkat
keterpahaman yang tinggi,
memenuhi seluruh makna dan maksud nas sumber dan bersifat otonom. Otonom yang dimaksud adalah terjemahan itu dapat menggantikan nas sumbernya. 19
16
Di antara penerbit yang menerbitkan al-Quran dan Terjemahnya serta telah mendapatkan Tanda Tashih adalah C.V. Asy-Syifa, Semarang; C.V. Karya Utama, Surabaya; C.V. Mekar, Surabaya; C.V. Karindo, Jakarta; C.V. Ramsa Putra, Surabaya; C.V. Diponegoro, Bandung; C.V. Pustaka Amani, Jakarta; P.T. Al-Huda Pelita Insan Ind, Jakarta; P.T. Syamil Cipta Media, Bandung. Sedangkan untuk al-Quran dan Terjemahnya serta Transliterasinya adalah penerbit C.V. Sinar Baru Bandung. Lihat, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia, Kegiatan Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran, artikel diakses pada tanggal 17 April 2008 dari http/www.Depag. 17 Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation, h. 176. 18 Peter Newmark, Approaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 186. 19 Muhammad ‘Abd al-‘Adhîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qurân, jilid II, h. 113.
xxii
Singkatnya, kualifikasi itu ditetapkan supaya terjemahan yang dihasilkan berkualitas. Menilai kualitas terjemahan berarti menilai tingkat keterpahamannya. Menurut Nida dan Taber, tingkat keterpahaman itu berkaitan sekali dengan ada atau tidaknya dua hal, yaitu (a) ungkapan yang dapat menimbulkan salah paham dan (b) ungkapan yang membuat pembaca sangat sulit memahami amanat yang dikandungnya karena faktor kosa kata dan gramatika.20 Faktor kosa kata dan gramatika seringkali menjadi objek kritik terjemahan. Moh. Mansyur, dalam studi kritisnya terhadap terjemahan al-Quran Departemen Agama (1998) – sebagaimana penulis kemukakan pada bab penelitian terdahulu yang relevan - menyatakan bahwa penyimpangan terjemahan dapat terjadi karena pemilihan kata (diksi) yang kurang tepat dalam terjemahan gramatika BSu. Ismail Lubis (2001) juga menyatakan bahwa penyimpangan terjemahan dapat diakibatkan oleh ketidaksesuaiannya dengan gramatika Bsa. Ketidaksesuaiannya itu antara lain: frasa preposisional daripada banyak digunakan di luar kalimat perbandingan; dua kata syarat sekaligus digunakan untuk menyatakan satu kalimat pengandaian, seperti kalau sekiranya, jika seandainya, jika sekiranya; kata saling digunakan untuk menyatakan kooperatif (musyârakah) dengan pengulangan kata verbal yang serupa, seperti saling dahulu mendahului dan sebagainya. 21 Namun dalam beberapa hal yang berkaitan dengan terjemahan al-Quran Depag RI sendiri, misalnya ragam dan prinsip-prinsip terjemahan, strategi terjemahan, padanan leksikal dan gramatikal serta kata-kata dan makna terjemahan al-Quran, penelitiannya belum pernah dilakukan. Padahal menurut Hoed,22 ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan dalam terjemahan, yaitu 20
Nida, E.A. dan Taber C. The Theory and Practise of Translation (Leiden: The United Bible Societies, 1982), h. 2. 21 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan al-Quran Depag RI Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 215. 22 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 40.
xxiii
(a) perbedaan antara Bsu dan Bsa, (b) faktor konteks, dan (c) prosedur terjemahan. Faktor pertama, perbedaan antara Bsu dan Bsa jelas ada, sebab tidak ada dua bahasa yang sama, karena masing-masing bahasa memiliki karakteristik masingmasing, lebih-lebih kedua bahasa tersebut berbeda rumpun bahasanya. Kedua, faktor konteks atau sebagai proses penerjemahan yang dapat membantu memecahkan masalah, misalnya dalam konteks cerita suatu kegiatan dapat dianggap “lampau”, meskipun tidak diungkapkan pemakaian kala lampau pada bahasa terjemahannya. Ketiga, menentukan prosedur terjemahan atau teknik yang cocok untuk memecahkan masalah perbedaan sistem dan struktur kedua bahasa itu. Berdasarkan beberapa alasan di atas, maka penelitian yang akan dilakukan memang laik. Adapun penelitian yang dimaksudkan penulis adalah analisis struktur wacana terjemahan al-Quran Departemen Agama Edisi Baru 2002. Analisis struktural,23 dalam kajian penulis terfokus pada dua hal pokok, yaitu analisis bentuk dan analisis makna. Dua model analisis itu meliputi satuan kata, rangkaian kata (frasa), klausa dan kalimat. Sedangkan terjemahan al-Quran dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan. Menurut Mulyana, organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Beberapa aspek pengutuh wacana dapat dikelompokkan ke dalam dua unsur, yaitu (a) unsur kohesi, seperti aspek leksikal dan gramatikal, dan (b) unsur koherensi, seperti aspek makna (semantis).24
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah 23
Istilah struktural pertama kali muncul dari pandangan seorang linguis struktural berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure. Ia melahirkan aliran struktural dalam linguistik yang berpendapat bahwa setiap bahasa adalah sebuah sistem, sebuah hubungan struktur yang unik yang terdiri dari satuan-satuan yang disebut struktur. Lihat Jhon Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), h. 231. 24 Mulyana, Kajian Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 25.
xxiv
Adapun masalah yang mungkin muncul dari latar belakang di atas adalah: a. Ragam terjemahan al-Quran b. Prinsip-prinsip terjemahan al-Quran c. Strategi terjemahan al-Quran d. Padanan Gramatikal dan Leksikal dalam terjemahan al-Quran e. Kata-kata al-Quran dan terjemahannya f. Makna dan terjemahan al-Quran 2. Pembatasan Masalah Berdasarkan masalah yang telah penulis identifikasi, maka penulis membatasinya sebagai berikut: a. Strategi Terjemahan al-Quran. b. Padanan Gramatikal dan Leksikal dalam terjemahan al-Quran. c. Makna dalam terjemahan al-Quran Adapun alasan penulis membatasi tiga masalah di atas, karena dalam terjemahan al-Quran dituntut adanya tuntunan teknis untuk menerjemahkan kata, frasa, klausa atau kalimat. Dan tuntunan ini disebut dengan teknik terjemahan atau strategi terjemahan. Dalam literatur terjemahan, strategi ini dikenal dengan prosedur terjemahan (translation procedures). Sedangkan pembatasan masalah kedua, padanan gramatikal dan leksikal, karena bahasa al-Quran sebagai Bsu dan bahasa Indonesia sebagai Bsa memiliki karakteristik masing-masing, tentunya akan memiliki persamaan dan perbedaan. Meminjam asumsi analisis kontrastif dalam bidang pengajaran bahasa asing,25 bila struktur Bsu dan Bsa sama, maka terjemahan akan cenderung lebih mudah. Akan tetapi bila Bsu dan Bsa berbeda, maka
25
Analisis kontrastif adalah komparasi sistem-sistem linguistik dua bahasa, misalnya sistem bunyi atau sistem gramatikal. Analisis ini dikembangkan dan dipraktekan pada tahun 1950-an dan 1960-an, sebagai suatu aplikasi linguistik struktural pada pengajaran bahasa. Lihat, Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Analsis Kontrastif Bahasa (Bandung: Angkasa, 1992), h. 4.
xxv
penerjemah akan mengalami kesulitan dalam menemukan terjemahan yang sesuai. Kemudian pembatasan masalah ketiga, makna dan terjemahan, karena keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Menurut Newmark, menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit linguistik dari satu bahasa ke bahasa lain.26 Yang perlu dicermati bahwa dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna.
3. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang penulis rumuskan di sini adalah sebagai berikut: a. Strategi apa yang dilakukan dalam terjemahan al-Quran Departemen Agama RI. b. Bagaimana padanan gramatikal dan leksikal terjemahan al-Quran dalam perbandingan antara Bsu dan Bsa. c. Jenis makna apa saja yang terkandung dalam terjemahan al-Quran. C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Berdasarkan penelitian pendahuluan yang berkaitan dengan terjemahan al-Quran Departemen Agama yang merupakan objek dari penelitian ini, penulis temukan tiga buah penelitian, yaitu: Moh. Mansyur (1998) dalam studi kritisnya terhadap terjemahan al-Quran Depag RI, disimpulkan bahwa terjemahan al-Quran tersebut dianggap menyimpang dari teori penerjemahan al-Quran yang semestinya. Di antara penyimpangan itu antara lain karena penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pengalaman pribadi bukan dilandasi oleh teori linguistik dan tidak ditunjang oleh pengetahuan lain yang membawa kepada kebenaran terjemahan.27 Sisi lainnya 26
Newmark, About Translation (Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 1991) h. 27. Moh. Mansyur, Studi Kritis Terhadap al-Quran dan Terjemahnya Depag RI (Disertasi S2 Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 91. 27
xxvi
mengenai diksi, diksi yang dimaksudkan adalah bukan saja dipergunakan untuk mengatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan konteks, gaya bahasa dan ungkapan. Mansyur sempat mengkritisi pemilihan kata (diksi) kata depan yang digunakan dalam menerjemahkan beberapa huruf al-Jarr. Namun yang ia kritisi hanya pada dalam beberapa pola. B beberapa kasus dan beberapa huruf al-Jarr, misalnya Kemudian Ismail Lubis (2001) dalam studi penelitiannya juga mengkritisi terjemahan al-Quran Depag RI Edisi tahun 1990. Hasil penelitiannya tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan Moh. Mansyur. Hanya penekanannya pada sebab-sebab terjadinya kesalahan terjemahan dari aspek ketidaksesuaiannya dengan gramatika Bahasa Indonesia, terutama dalam pemilihan kata (diksi) sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. M. Quraish Shihab dalam karyanya Menabur Pesan Ilahi (2006), menemukan dalam al-Quran dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama beberapa makna yang dihilangkan dan muncul makna baru yang boleh jadi tidak dikehendaki
al-Quran.
Dan
menurutnya,
hal-hal
itu
diakibatkan
oleh
ketidaktelitian penerjemahan al-Quran. Di antaranya adalah bentuk muanntas “baqarah” diterjemahkan dengan “sapi betina”, bentuk kata jamak (plural) mawâzînuhu pada fa ammâ man tsaqulat mawâzînuhu diterjemahkan dengan “timbangannya” dalam bentuk tunggal, juga wujûhakum pada fawallû wujûhakum diterjemahkan dengan “wajahmu” dalam bentuk tunggal. Dalam setiap doa yang ada dalam al-Quran, misalnya rabbanâ diterjemahkan seluruhnya dengan menggunakan kata “ya” atau “wahai”.28 Ketiga penelitian di atas berkaitan sekali dengan terjemahan al-Quran Depag RI. Perbedaan itu terletak pada edisi terjemahannya, yakni Moh. Mansyur mengkritisi terjemahan al-Quran Depag RI edisi tahun 1970, sedangkan Ismail Lubis terhadap edisi tahun 1990, demikian pula M. Quraish Shihab. Namun, 28
M. Quraish Shihab, Manabur Pesan Ilahi, h. 324-326.
xxvii
peneliti pertama menjadikan terjemahan al-Quran itu sebagai objek penelitiannya dari sisi gramatika bahasa yang kemudian menyimpulkan bahwa terjemahan alQuran Depag RI edisi 1970 itu belum mengikuti teori terjemahan. Peneliti kedua tidak jauh berbeda dengan peneliti pertama, hanya aspek yang ditekankan dalam kritikannya adalah gramatika Bsa. Sedangkan peneliti terakhir menjadikan objek penelitiannya dari sisi padanan makna Bsu ke dalam Bsa. Sehubungan dengan hal itu, penulis hendak mengkritisi pendapat peneliti pertama yang menyatakan terjemahan al-Quran Depag RI itu belum mengikuti teori terjemahan. Teori yang dimaksudkan adalah semacam alat yang dipakai untuk memudahkan proses penerjemahan dan harus diakui bahwa teori penerjemahan memang diperlukan keberadaannya dalam penerjemahan teks apapun. Terjemahan al-Quran seperti terjemahan pada umumnya memiliki tujuan dan jenis terjemahan yang diinginkan. Para pakar terjemahan sependapat bahwa “betul-salah” (correctness) tergantung untuk siapa terjemahan itu dibuat.29 Misalnya terjemahan teks hukum dibuat untuk orang awam seharusnya dengan menggunakan ungkapan atau istilah yang mudah dipahami mereka. Akan tetapi, jika terjemahan itu dibuat untuk institusi pengadilan dan hukum, maka istilah atau ungkapan yang digunakan adalah istilah-istilah yang baku. Dengan demikian, pelaksanaan terjemahan harus mempelajari siapa pengguna terjemahan tersebut (audience design). Atas dasar itu, kemudian hal yang dilakukan oleh penerjemah adalah menentukan metode atau cara terjemahannya. Prinsip dasar terjemahan - sebagaimana dijelaskan oleh Nida dan Taber – hendaknya tidak mengikuti satu langkah saja, namun harus ditempuh dengan “tiga langkah penerjemahan”, yaitu analisis Bsu, transfer atau mengalihbasakan dalam pikiran dan restrukturisasi (menerjemahkan) . 30 Namun, dengan mengikuti tiga 29
Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 66. Nida dan Taber, The Theory and Practice of Translation (Leiden: The United Bible Societies, 1982), h. 82 30
xxviii
langkah tersebut belum dapat memecahkan masalah terjemahan, terutama dalam menanggulangi kesulitan terjemahan dalam tataran kata, , frase dan kalimat. Cara penanggulangan ini dikenal dengan teknik atau strategi terjemahan. Ada banyak teknik atau strategi terjemahan yang ditawarkan, misalnya transposisi, modulasi, terjemahan deskriptif, penjelasan tambahan, catatan kaki, terjemahan fonologis, terjemahan resmi/ baku, tidak diberikan padanan dan padanan budaya. Dalam bahasa tulisan, teks merupakan objek dari terjemahan. Karena itu, terjemahannya dituntut bersifat terbuka. Keterbukaan ini yang menjadikan para pengguna (audience) atau pembaca mudah memahami terjemahan sebagaimana memahami teks sumbernya. Betul-salahnya terjemahan tergantung dari sisi aspek kebahasaan murni. Maka banyak yang beranggapan bahwa terjemahan adalah sekedar pengalihbahasaan. Lebih tepat dikatakan bahwa terjemahan adalah pengalihan pesan (message) dari Tsu ke dalam Tsa. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Hanafi,
Nida memberikan batasan
terjemahan yang berarti menciptakan padanan yang paling dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua pada gaya bahasanya.31 Padanan yang dimaksud di sini bisa berupa padanan gramatikal, leksikal dan makna. Dengan demikian, padanan dan makna atau pesan yang terkandung merupakan referensi dasar bagi terjemahan Tsu ke dalam Tsa. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis hendak memperkuat pernyataan Suryawinata bahwa terjemahan al-Quran Depag RI bersifat semantis. Bsu hendaknya dicarikan padanan makna atau pesannya di dalam Bsa. Apabila tidak ditemukan padanannya,
maka strategi semantis perlu dilakukan untuk
mendapatkan makna atau pesan yang diperoleh sebagaimana Bsu-nya. 31
Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menejemahkan, Flores: Nusa Indah, 1986, h. 25. Batasan ini sama seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Burdah bahwa terjemah adalah usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran). Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 9.
xxix
Beberapa hal yang berkaitan dengan terjemahan al-Quran terbitan Departemen Agama RI, terutama baik yang menyangkut strategi terjemahan, padanan dan makna terjemahannya, menurut penulis belum dianalisis secara mendalam oleh beberapa peneliti sebelumnya. D. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk sejauh mana keutuhan wacana terjemahan al-Quran Depag RI. Sedangkan secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk: 1. Memetakan strategi terjemahan al-Quran Depag RI edisi 2002. 2. Mencari unsur-unsur linguistik bahasa al-Quran yang dapat dipadankan dengan bahasa Indonesia. 3. Membandingkan padanan formal dan makna terjemahan al-Quran Depag RI dengan terjemahan edisi sebelumnya dan terjemahan lainnya. E. Manfaat/ Signifikansi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat berguna bagi pemikiran ilmiah dalam memberikan gambaran dan memperluas pemahaman terhadap bahasa alQuran yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Dan yang lebih penting adalah untuk: 1. Mendorong terhadap penelitian ayat-ayat al-Quran dan atau terjemahannya yang lebih mendalam ditinjau dari aspek kebahasaannya. 2. Memberikan nilai tambah bagi pengajaran bahasa Arab dan aktivitas penerjemahan dalam rangka mengatasi problem linguistik yang timbul sebagai akibat perbedaan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia. 3. Memudahkan bagi para pelajar untuk memahami teks-teks berbahasa Arab dan memilih padanan maknanya ke dalam bahasa Indonesia terutama yang berkaitan dengan teks-teks keagamaan. F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian
xxx
Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif sesuai dengan fakta nyata yang ditemukan, kemudian memaparkannya secara deskriptif. Sementara model penelitiannya adalah: (a) observasi terhadap data, (b) penyediaan data, (c) reduksi dan pemaknaan secara deskriptif. 2. Data dan Sumber Data Data ini berupa terjemahan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan unsur-unsur teks terjemahan yang diawali dari tingkat kata, klausa, frase dan kalimat. Sedangkan Sumber datanya adalah terjemahan al-Quran Depag RI edisi tahun 2002 pada surah al-Baqarah. 3. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui metode baca, yaitu membaca secara cermat terjemahan ayat-ayat al-Quran. Hasil baca dipindahkan ke dalam kartu data. Selanjutnya data yang sudah ditranskripsi tersebut diklasifikasikan menurut ketiga permasalahan, yaitu strategi terjemahannya, padanan gramatikal dan leksikal serta makna dan terjemahannya. 4. Uji Keabsahan Data Data diuji keabsahannya dengan validitas semantik-kontekstual, yaitu mengklasifikasikan, memaknai dan mengkaji data dengan mempertimbangkan konteks kalimat secara struktural. Reliabilitas data dilakukan dengan cara pembacaan dan pengkajian berulang-ulang oleh peneliti agar memperoleh keajegan yang memadai. 5. Analisis Data Sehubungan dengan data yang hendak dianalisis adalah teks terjemahan al-Quran, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis wacana untuk mengungkap pertalian bentuk (kohesi) dan maknanya (koherensi). Menurut Muhadjir, terjemah atau translation merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama melalui media yang berbeda; media tersebut
xxxi
mungkin bisa berupa bahasa yang satu ke bahasa yang lain, dari verbal ke gambar dan sebagainya. 32 Setiap wacana dalam tingkat kebahasaan memiliki struktur, dan struktur yang dimaksud di sini adalah struktur mikro.33 Data seperti kata, kalimat dan teks terjemahan semuanya dianalisis berdasarkan metode kualitatif. 34 Beberapa prinsip analisis yang digunakan antara lain penghayatan dan penafsiran oleh peneliti sendiri sebagai key instrument.
G. Sistematika Penulisan Untuk menggambarkan isi tesis ini secara garis besar, penulis bagi ke dalam lima bab, yaitu: Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari subbab, yaitu latar belakang masalah, permasalahan, perumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, manfaat/ signifikansi penelitian dan metodologi penelitian serta sistematika penulisan. Bab II merupakan kajian dasar untuk menganalisis permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya dengan tema paradigma terjemahan yang terdiri dari subbab hakikat terjemahan, ragam dan prinsip terjemahan, prosedur terjemahan, kualitas terjemahan dan kelembagaannya.
32
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake, 1988), h. 138. Menurut Teun A. Van Dijk, sebagaimana yang dikutip oleh Eriyanto, wacana memiliki tiga struktur, yaitu: (1) struktur makro, yaitu makna global yang dapat diamati lewat topik dari suatu tema; (2) superstruktur, yaitu kerangka struktur teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh; dan (3) struktur mikro, yaitu makna yang diperoleh melalui analisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, frasa yang dipakai dan sebagainya. Lihat Eriyanto, Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 54. 33
34
Metode ini dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif. Lihat, Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2006 ), h. 81
xxxii
Bab III merupakan bab analisis tentang strategi terjemahan al-Quran Depag RI yang terdiri dari tiga subbab yaitu fungsi sintaksi Bsu dan Bsa, strategi struktural, strategi semantis. Bab IV juga masih dalam bab analisis yang berisi tentang padanan gramatikal dan maknanya, padanan leksikal dan maknanya dan jenis makna dalam terjemahan al-Quran. Bab V sebagai penutup tesis ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
xxxiii
BAB II PARADIGMA TERJEMAHAN AL-QURAN Kehidupan manusia tidak akan ada artinya bila tidak ada bahasa. Baik itu bahasa yang dipergunakan oleh manusia yang mampu berbicara dan menulis atau bahasa isyarat bagi yang tidak mampu berbahasa lisan. Melalui bahasa pula segala informasi atau pesan dapat dipahami dan dilakukan. Bahasa yang besar hanya dimiliki oleh bangsa yang mampu menyentuh segala aspek kehidupan dan berhubungan dengan perasaan serta segala aktivitasnya. Bahasa yang satu dengan lainnya tentunya tidak memiliki persamaan secara keseluruhan. Misalnya bahasa Indonesia dengan bahasa Arab tidak ada persamaan dari segi strukturnya, apalagi budayanya. Bahasa Arab yang dikenal sebagai bahasa agama Islam yang dimaksudkan untuk mengenal dan memahami teks-teks keagamaan telah lama diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga
perguruan tinggi.
Keterpahaman terhadap Islam pada awalnya dimulai dari keterpahaman terhadap bahasa kitab sucinya, yakni al-Quran. Namun, bagi komunitas masyarakat yang belum memahami bahasa itu secara optimal harus melewati satu cara yaitu membaca terjemahan bahasanya. Dan dari bahasa itulah mereka akan memahami bahasa alQuran itu sendiri dan mengamalkan isi kandungannya. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa bahasa merupakan media terjemahan untuk mengungkapkan materi atau substansi yang sama. Dalam bab ini, penulis perlu menjelaskan terjemahan Al-Quran yang berkembang menurut masa dan ragam serta prosedur yang digunakan. Karena itu halhal yang perlu dikemukakan dalam bab ini adalah hakikat terjemahan, ragam dan prinsip terjemahan, prosedur terjemahan, kualitas terjemahan dan kelembagaannya. A. Hakikat Terjemahan Terjemahan dapat didefinisikan secara beragam oleh beberapa pakar atau pemberi definisi. Pemberian definisi yang berbeda itu mungkin didasarkan pada pengalihan bentuk-bentuk dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, seperti yang xxxiv
ditulis oleh Larson dalam bukunya Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language equivalence: “Translation is basically a change of form. When we speak of the form of a language, we are referring to the actual words, phrases, clauses, sentences, paragraphs, etc., which are spoken or written. ... In translation the form of the source language is replaced by the form of the receptor (target) language.”35 Menurut definisi di atas, bentuk bahasa baik tertulis maupun lisan dalam terjemahan dapat mengacu pada kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf. Mungkin juga didasarkan pada penekanan terjemahan sebagai pengalihan arti dan pesan dari suatu bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa), seperti yang dinyatakan oleh Newmark sebagai berikut: “Translation is a craft consisting in the attempt to replace a written message and/ or statement in one language by the same message and/ or statement in another language.”36 Berdasarkan definisi yang dinyatakan Newmark, maka ada dua hal yang diperbincangkan, yaitu: Pertama, Newmark memandang yang berkaitan dengan terjemahan adalah teks tertulis. Kemungkinan yang muncul dari hal pertama ini adalah dimaksudkan untuk membedakan terjemahan (translation) dengan terjemahan lisan (interpretation).37 Kedua, Newmark tidak menggunakan istilah equivalen atau padanan, tetapi ia lebih senang menggunakan istilah yang sama dalam bahasa lain.
35
Mildred L. Larson (selanjutnya disebut Larson), Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence (London: University Press of America, 1984), h. 3. 36 Peter Newmark (selanjutnya disebut Newmark), Aproaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 7 37 Dua istilah translation dan interpretation mengandung perbedaan dalam bahasa Inggris. Perbedaan itu terletak pada media yang digunakan, yaitu terjemahan menggunakan teks tulis sedangkan interpretasi menggunakan wacana lisan. Juga interperetasi tidak menggunakan sarana lainnya seperti kamus atau bahan referensi lain secara langsung serta tempatnya pun telah ditentukan, misalnya di ruang seminar atau konferensi. Lihat, Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 25-26.
xxxv
Dengan demikian, dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa terjemahan adalah pengalihan yang sepadan atau sesuai dari suatu bahasa ke bahasa lainnya baik berupa bentuk-bentuk bahasa maupun pesan-pesan yang terkandung.
Terjemahan
yang
diartikan pengalihan
bentuk-bentuk
akan
mempengaruhi penerjemah menjadi terikat, sedangkan terjemahan yang diartikan pengalihan makna atau pesan-pesan yang terkandung dalam Bsu (the source language) ke dalam Bsa (the target language) akan mendorong penerjemah lebih bebas untuk menerjemahkan teks-teks Bsu. Oleh karena itu, al-Qattân mengelompokkan terjemahan secara khusus ke dalam dua kategori, yaitu alTarjamah al-Harfiyyah dan al-Tarjamah al-Tafsîriyyah atau al-Ma’nawiyyah. 38 Sementara dua kategori terjemahan yang dikelompokkan oleh al-Qattân tadi, ‘Abd al-Halîm menyimpulkan bahwa terjemahan adalah mengalihkan pikiran dan ideide serta kata-kata Bsu ke dalam Bsa tanpa mengubah isi teks Bsu-nya. 39 Dari beberapa pendapat tentang terjemahan di atas, dapat diambil benang merah bahwa terjemahan baik lisan maupun tulisan merupakan satu proses kegiatan manusia di bidang bahasa, yaitu analisis teks Bsu, kemudian pengalihan atau penggantian teks Bsu ke dalam Bsa. Menurut Larson, analisis teks Bsu meliputi kata-kata, struktur gramatikal, situasi komunikasi dalam teks Bsu dan konteks budayanya. Kemudian diungkapkan kembali dengan menggunakan kosakata dan struktur gramatikal Bsa yang baik dan cocok dengan konteks budaya Bsa.40 Di sinilah, kata merupakan salah satu dari enam hierarki bahasa dalam
38
Al-Tarjamah al-Harfiyyah ialah mengalihkan lafal-lafal Bsu ke dalam Bsa yang sesuai menurut konstruksinya dan urutannya dalam kalimat itu. Al-Tarjamah al-Tafsîriyyah atau alMa’nawiyyah ialah mengalihkan makna atau pesan teks Bsu ke dalam Bsa tanpa terikat oleh urutan kata dalam teks itu atau konstruksinya. Lihat Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007), h. 307. 39 ‘Abd al-Halîm al-Sayyid Munsiy dan ‘Abd Allâh ‘Abd al-Râziq Ibrâhîm, al-Tarjamah: Usuluhâ wa Mabâdi`uhâ wa Tatbîquhâ (Riyad: Dâr al-Murîkh, t.t.), h. 11. 40 Larson, Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence, h. 4.
xxxvi
satuan terjemahan (unit of translation), yaitu fonem, morfem, kata, frasa, kalimat dan teks.41 Setiap satuan bahasa dalam setiap bahasa mengandung dua level, yaitu level pengungkapan (level of expression) dan level isi (level of content). Berbagai bahasa mempunyai satuan-satuan yang berlainan tingkat pengungkapannya, tapi sama dalam tingkat isinya. Misalnya kalimat bahasa Arab; Hâdzâ kitâb diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Ini buku, yang berbeda tingkat pengungkapannya (bentuknya), tapi sama pada tingkat isinya (maknanya). Dengan demikian, terjemahan pada hakikatnya proses penggantian teks Bsu dengan teks Bsa tanpa mengubah tingkat isi teks Bsu. Namun, perlu ditekankan di sini bahwa pengertian “tingkat isi” harus dipahami secara maksimal dan luas, yakni tidak hanya menyangkut arti dasar (material meaning) yang terkandung dalam teks Bsu, tapi juga norma-norma Bsu, seperti makna leksikal, makna gramatikal dan nuansa stilistis. Karena itu, Said melengkapi proses penggantian menurut Larson di atas melalui skema berikut:42 Bsa
Bsu Teks Bsu
Teks Bsa
Leksikon (kata)
Struktur gramatikal
Konteks situasi
Konteks budaya
Konteks situasi
Konteks Budaya
Leksikon (kata)
Struktur gramatikal
Pengungkapan makna
Analisis makna pentransferan makna
Pemahaman makna Makna
41
Ilmu linguistik kontemporer mencatat hierarki bahasa hingga lima tingkat, yaitu: tingkat fonem, morfem, kata, rangkaian kata, kalimat dan teks. Lihat, Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h. 33. 42 Mashadi Said, Socio-Cultural Problems in the Translation of Indonesian Poems into English: A Case Study on “Foreign Shore” (Tesis Magister IKIP Malang, 1994), h. 20.
xxxvii
Kepatuhan pada norma-norma tersebut dalam terjemahan merupakan kewajiban yang tidak boleh dilanggar oleh penerjemah, meskipun dia bebas memilih sarana yang satu atau sarana lainnya dalam melakukan kegiatan terjemahan asal saja tetap mempertahankan semua informasi yang terkandung dalam teks Bsa. Misalnya, pengungkapan informasi dalam teks Bsu yang menggunakan sarana gramatikal, tapi diungkapkan dalam teks Bsa dengan bantuan sarana leksikal, seperti : dzahaba Khâlid ilâ al-madrasah; dipakai sarana gramatikal,
yaitu kala perfektif yang tidak ditemukan dalam Bsa, sehingga
terjemahannya menggunakan bantuan sarana leksikal: Khalid telah pergi ke sekolah. Penggunaan sarana leksikal maupun gramatikal dalam satu bahasa berbeda dengan penggunaan sarana leksikal atau gramatikal dalam bahasa lain. Apalagi bahasa al-Quran yang berbeda struktur dan sistemnya dengan bahasa Indonesia. 43 Menurut Verhar – sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Chaer – bahwa struktur dan sistem dalam bahasa lebih tepat digunakan, karena keduanya dapat diterapkan dalam semua tataran bahasa yang meliputi fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, juga dalam tataran leksikon. 44 Karena itulah, sarana-sarana bahasa merupakan problematika dalam terjemahan, seperti sarana leksikal, misalnya kata bahasa Arab: nomina ruz bisa mempunyai aneka makna, yaitu: padi, gabah, beras atau juga nasi; verba ra`a juga mempunyai medan makna semantis yang menyatakan persepsi, yaitu: melihat, berpendapat, mengerti, menduga, bermimpi dan meminta nasehat. Sedangkan sarana gramatikal, bahasa Arab memiliki bentuk tunggal, dual dan jamak yang masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri yang tidak dimiliki bahasa Indonesia, karena hanya dua bentuk yang dimiliki yaitu bentuk tunggal dan jamak 43
Struktur adalah susunan bagian-bagian kalimat atau konstituen kalimat secara linear. Contoh: Dia mengikut ibunya, maka kalimat itu dapat dianalisis atas bagian-bagian tertentu secara fonemis, morfemis, maupun sintaksis. Semua konstituen tadi dapat dibandingkan dengan bentuk bahasa yang lain. Sedangkan sistem adalah hubungan antara bagian-bagian kalimat. Misalnya, adanya bentuk kata kerja aktif dalam suatu bahasa itu merupakan fakta adanya sistem dalam bahasa tersebut. 44 Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 25.
xxxviii
tanpa ciri-ciri khusus yang membedakannya. Pada kategori genus (maskulin dan feminin), masing-masing memilikinya meskipun tidak sama ciri-cirinya. Lainnya adalah aspek, karena bahasa Indonesia tidak memiliki bentuk aspek secara gramatikal. 45 Dengan demikian, proses terjemahan harus ada dua teks yang harus dipadankan, yaitu teks Bsu dan Bsa. Kemudian teks Bsa dapat diketahui terjemahan atau bukan melalui ragam-ragam terjemahan yang berdasarkan prinsip yang dianutnya. B. Ragam Dan Prinsip Terjemahan Menurut Nababan, munculnya beberapa terjemahan di Indonesia dengan berbagai macam ragamnya disebabkan oleh empat faktor, yaitu: 1) adanya perubahan sistem Bsu dengan sistem Bsa, 2) adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan, 3) adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi dan 4) adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks.46 Bahasa menurut beberapa pengertian bahasa dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah sistem. Kata sistem sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan makna ‘cara’ atau ‘aturan’, seperti dalam kalimat “Kalau tahu sistemnya, tentu mudah mengerjakannya”. Tetapi dalam kaitan dengan keilmuan, sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang satu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Dengan sistematis, artinya, bahasa tersusun menurut suatu pola; tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, bahasa itu bukan 45
Aspek adalah keadaan peristiwa atau perbuatan. Meskipun bahasa Indonesia memiliki tiga aspek, yakni telah, sedang dan akan, tetapi seluruhnya tidak menggunakan unsur-unsur morfologis sebagaimana bahasa fleksi. Ketiga aspek tersebut dalam bahasa Indonesia ditandai dengan kata-kata tertentu untuk menunjukkan perbedaan ketiga aspek itu. Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 251. 46 M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) , h. 29.
xxxix
merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem; atau sistem bawahan. Di sini subsistem itu dapat disebutkan seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Ketiga subsistem, yaitu fonologi, morfologi dan sintaksis tersusun secara hierarkial, artinya subsistem yang satu terletak di bawah subsistem yang lain; lalu subsistem yang satu ini terletak di bawah subsistem lainnya lagi. Ketiga subsistem tadi terkait dengan subsistem semantik. Sedangkan subsistem leksikon yang juga diliput subsistem semantik, berada di luar ketiga subsistem struktural itu.47 Di dalam literatur terjemahan, ada beberapa ragam terjemahan48 yang pernah dikemukakan oleh para ahli, misalnya Nida dan Taber, Larson dan Newmark sekaligus. Konsep-konsep mereka ini berimplikasi terhadap proses penerjemahan. Ragam-ragam tersebut dapat digolongkan menurut jenis sistem tanda yang terlibat, jenis naskah yang diterjemahkan dan menurut proses penerjemahan. 49 Sehubungan kajian yang dilakukan penulis ini terjemahan al-Quran, maka ada beberapa contoh ayat yang terjemahannya dapat digolongkan menurut beberapa ragam yang dikemukakan oleh beberapa para ahli di atas. Di antara ragam atau jenis terjemahan itu adalah sebagai berikut: 1. Terjemahan Harfiah (Literal Translation)
47
Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 35. Ragam terjemahan dapat diistilahkan dengan metode terjemahan, yaitu cara terjemahan yang digunakan para penerjemah dalam mengalihkan makna nas sumber (BSu) secara keseluruhan ke dalam bahasa penerima (BSa). Lihat, Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h. 68 dan Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 55. 49 Proses ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja. Proses penerjemahan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada saat dia mengalihkan amanat dari Bsu ke dalam Bsa. Atau dapat juga diartikan sebagai suatu sistem kegiatan dalam aktivitas terjemahan. Suryawinata telah membagi proses penerjemahan melalui empat tahap, yaitu: 1) tahap analisis atau pemahaman, 2) tahap transfer, 3) tahap restrukturisasi dan 4) tahap evaluasi dan revisi. Lihat, Suryawinata, Translation, h. 19. 48
xl
Secara
umum
terjemahan
harfiah
adalah
terjemahan
yang
mengutamakan padanan kata atau ekspresi di dalam BSa yang mempunyai rujukan atau makna yang sama dengan kata atau ekspresi dalam BSu. Terjemahan harfiah dapat juga dikatakan tarjamah lafziyyah atau musâwiyyah yang diikuti oleh Yohânâ ibn al-Batrîq, Ibn Nâ’imah, al-Hims â dan sebagainya.50 Yang menjadi sasaran dalam terjemahan harfiah adalah kata. Sehingga dalam menerjemahkan BSu ke dalam BSa, seorang penerjemah pertama kali memahami teks, lalu menggantinya dengan BSa pada posisi dan tempat kata BSu. Contoh:
ا ﺽ ا ﺽة7( Menyampaikan dosen kuliah = 1
2
3
3
2
1
Dengan menggunakan terjemahan harfiyah, penerjemah hanya mencari padanan Bsu dengan Bsa-nya baik dari kata per kata maupun posisi kata itu sendiri, sehingga susunan kata dalam kalimat terjemahan sama persis dengan kalimat
aslinya.
Terjemahan
harfiah
semacam
itu
masih
tetap
mempertahankan struktur BSu, meskipun struktur itu tidak berterima di dalam BSa. Terjemahan harfiah bisa saja dirubah sedikit agar berterima di dalam (itu rumah di - ا
أ م5ذ^ اBSa, sehingga terjemahan BSa: misalnya
depan masjid) menjadi terjemahan yang berterima: rumah itu di depan masjid. Perubahan terjemahan harfiah ini disebut oleh Larson sebagai terjemahan harfiah yang dimodifikasi (modified literal translation).51 Istilah terjemahan harfiah menurut Nida, Taber dan Larson ini disebut dengan terjemahan katademi-kata oleh Newmark, karena dalam terjemahan ini tatabahasa BSu dan susunan katanya dipertahankan di dalam BSa.52 Sebagai contoh dalam bahasa 50
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005) h. 69. Mildred L. Larson, Meaning-based Translation, h. 16 52 Newmark, Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 69. 51
xli
Inggris: He works in the house bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Dia bekerja di dalam itu rumah. Sehubungan hal itu, menurut al-Zarqâniy, terjemahan harfiah terikat dengan dua hal, yaitu: a) adanya kosa kata yang sama maknanya di dalam BSu dan BSa dan b) adanya persamaan unit-unit linguistik antara BSu dan BSa.53 Dalam kaitannya dengan terjemahan Arab sebagai BSu ke dalam bahasa Indonesia sebagai BSa, penggunaan terjemahan harfiah memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: Pertama, tidak seluruh kosa kata Arab ada terjemahannya yang sepadan dalam bahasa Indonesia, sehingga banyak dijumpai kosa kata BSu yang digunakan atau kosa kata asing. Istilah-istilah dalam al-Quran sulit ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, misalnya kata taqwa, iman, islam, shalat, zakat, infaq, shadaqah, haji dan sebagainya. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi istilah yang baku dalam bahasa Indonesia. Kedua, struktur dan hubungan antara unit linguistik dalam bahasa Arab berbeda dengan struktur bahasa Indonesia. Terjemahan harfiah maupun terjemahan kata-demi-kata seringkali dikritik dan dibela. Kalangan ulama berbeda pendapat tentang penerjemahan al-Quran dengan menggunakan terjemahan harfiah. Sebagian menyatakan tidak mungkin terjemahan al-Quran secara harfiah, dan sebagian lainnya menyatakan dimungkinkan dalam beberapa kata, kalimat atau ayat al-Quran.54 Adapun alasan Ulama yang menyatakan terjemahan al-Quran secara harfiah itu tidak mungkin atau mustahil55 adalah sebagai berikut:
53
Muhammad ‘Abd al-‘Azîm al-Zarqâniy, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qurân (T.tp, Dâr alFikr, t.t.), jilid II, h. 113. 54 Al-Zarqâniy, Manâhil al-‘Irfân, h. 114. 55 Rasyîd Ridâ menyatakan bahwa terjemahan al-Quran secara harfiah sulit dilakukan dan akan menimbulkan hal-hal yang negatif. Hal itu tidak dibenarkan dalam Islam. Lihat, Ahmad Syarbasiy, Yas’alûnaka fi al-Dîn wa al-Hayâh (Beirut: Dâr al-Jîl, 1980), jilid I, h. 328
xlii
a. Mencari atau melakukan sesuatu yang mustahil menurut istilah dihukumi haram, karena termasuk kategori membinasakan diri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 195:
َِKُ ْzْ إَِ اXُKَِِْا ﺏ1ُ(ْ ُ Fَو “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” b. Munculnya terjemahan semacam ini akan mendorong orang-orang memahami al-Quran lewat terjemahan tanpa memperhatikan teksnya. Sehingga lama kelamaan, teks al-Quran hilang dengan sendirinya. c. Jika orang-orang sudah merasa cukup dengan terjemahan al-Quran dan sudah tidak memerlukan teks al-Quran lagi, maka keaslian bahasa alQuran akan terancam kepunahan, sebagaimana bahasa Ibrani yang menjadi bahasa Taurat dan bahasa Injil. d. Jika peluang untuk menerjemahkan al-Quran secara bebas, maka orangorang akan berlomba menerjemahkan al-Quran dengan menggunakan bahasa nasional atau daerah. Munculnya terjemahan dalam berbagai bahasa akan memicu perbedaan dan perselisihan antara yang satu dengan lainnya. Akhirnya muncul fitnah dalam bentuk kefanatikan terhadap terjemahan al-Quran yang paling baik menurutnya. e. Seluruh umat muslim mengakui bahwa al-Quran adalah kalam Ilahi yang tidak bisa diterjemahkan secara sembarangan baik nama-nama maupun istilah di dalam al-Quran.56 Sedangkan di antara ulama yang membolehkan al-Quran itu diterjemahkan adalah Syaikh Mahmoud Syaltut. Dia menyatakan bahwa: “Sesungguhnya menerjemahkan al-Quran, baik untuk belajar maupun mengajar, untuk pemahaman sendiri maupun memberi pemahaman kepada
56
Ahmad Ibrâhim Mahnâ, Dirâsah haula Tarjamah al-Qurân (T.tp.: Matbû’ât al-Sya’b, 1978), h. 152-153.
xliii
orang lain, untuk ceramah atau menasehati orang lain, semuanya diperbolehkan menurut pendapat Hanafi, Hanbali dan Syafi’i. Bahkan pendapat ini diperkuat dengan dihukumi wajib Kifayah oleh Syaikh Muhammad Bakhit, juru fatwa kawasan Mesir. 57 Terjemahan harfiah banyak dilakukan oleh kalangan pondok pesantren tradisional dalam pembelajaran teks-teks al-Quran, hadits dan naskah-naskah keagamaan lainnya. Pembacaan teks tersebut disertai dengan terjemahannya secara harfiah. Metode pengajaran ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu metode sorogan dan bandongan. Dengan kedua metode tersebut, para pelajar atau santri diharapkan mampu menerapkan pengetahuan bahasa Arab secara langsung, terutama struktur kata di dalam kalimat dan mampu memahami isi teks yang dimaksud. Karena itu, menurut Nurachman Hanafi, ragam terjemahan ini memiliki kelebihan, yaitu: a) segi bentuk dan struktur kalimatnya lebih sesuai dengan bahasa aslinya. Penerjemah dalam hal ini bukan hanya sebagai penerjemah melainkan juga sebagai transformer, dan b) gaya penulisan penerjemah lebih sesuai dengan dan tepat menurut bahasa aslinya, sehingga penerjemah telah berhasil menyentuh keinginan penulisnya. 58 2. Terjemahan Dinamis Ragam terjemahan ini seperti yang dianjurkan oleh Nida dan Taber di dalam bukunya The Theory and Practice of Translation harus berpusat pada konsep tentang padanan dinamis dan sama sekali berusaha menjauhi konsep padanan formal dan bentuk.59 Namun secara eksplisit, mereka tidak menjelaskan unsur-unsur terjemahan dinamis ini, kecuali Suryawinata yang menjelaskan bahwa ragam terjemahan ini mengandung lima unsur, yaitu: 1)
57
Ahmad Ibrâhim Mahnâ, Dirâsah haula Tarjamah al-Qurân, h. 25. Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan (Ende Flores: Nusa Indah, 1986), h. 57 59 Konsep padanan formal dan bentuk ini dekat sekali dengan konsep terjemahan harfiah. 58
xliv
reproduksi pesan, 2) ekuivalensi atau padanan, 3) padanan yang alami, 4) padanan yang paling dekat dan 5) mengutamakan makna. 60 Terjemahan yang baik tentu saja terjemahan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Keterbacaan yang tinggi, menurut Nida dan Taber, dapat dicapai apabila si penerjemah mampu melahirkan padanan alami dari BSu yang sedekat mungkin di dalam BSa, sehingga terjemahan itu mempunyai pengaruh dan dampak yang ditimbulkannya pada pembaca BSa sama dengan yang ditimbulkannya pada pembaca BSu.61 Seperti yang diuraikan di atas, terjemahan dinamis harus mengandung padanan yang alami. Dilihat dari teori Semantik, hal ini sepertinya tidak mungkin terwujud, karena pada dasarnya tidak ada dua kata yang mempunyai makna yang persis sama, apalagi bila dua kata itu berasal dari bahasa dengan latar sosial dan budaya yang benar-benar berbeda. Dalam terjemahan ini, istilah sepadan sering menimbulkan kesulitan bagi penerjemah. Jika keserupaan pesan di dalam BSu terhadap BSa itu tidak menjadi masalah, maka bisa diterjemahkan sesuai dengan pesan yang terkandung di dalam BSu tadi. Namun, masalahnya apakah pesan tersebut bisa dipahami oleh pembaca BSa. Oleh karena itu, si penerjemah dalam terjemahan dinamis ini jangan berpikir “Bagaimana kalimat ini diterjemahkan?”, tetapi “Bagaimana pesan dalam teks ini terungkapkan dalam BSa?” Sebagai contoh terjemahan dinamis dengan BSu Inggris adalah frasa Lamb of God. Frasa ini terdapat di dalam kitab Injil yang tidak bisa diterjemahkan dengan domba Allah dengan sasaran pembaca BSa yang berbeda kultur sosial-budaya dan tidak pernah melihat domba. Lamb adalah simbol kebersihan
jiwa,
apalagi
jika dihubungkan dengan konteks
pengorbanan dalam kehidupan rohani. Oleh karena itu, padanan frasa alami 60
Suryawinata, Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek (Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, PPLPTK, 1989), h. 8. 61 Eugene A. Nida dan Charles R. Taber The Theory and Practice of Translation (Leiden: E.J. Brill, 1982), h. 22.
xlv
yang paling dekat bagi orang-orang Eskimo adalah Anjing Laut Tuhan, karena anjing laut melambangkan ketidakberdosaan di dalam budaya Eskimo. Sedangkan contoh ayat al-Quran yang bisa dikategorikan terjemahan dinamis seperti terjemahan ayat 268 surah al-Baqarah: “Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu...” Kata kemiskinan pada ayat tersebut merupakan terjemahan dari kata al-faqr yang seharusnya diterjemahkan kefakiran. Tetapi beberapa terjemahan al-Quran Indonesia seperti yang disusun oleh Mahmud Junus, HB. Jassin dan Depag RI menerjemahkan al-Faqr dengan kemiskinan. Padahal sebagaimana telah diketahui antara kemiskinan
dan kefakiran
berbeda istilah dan makna menurut konteks golongan penerima zakat. Kemudian, penggunaan kemiskinan dalam terjemahan ayat tersebut lebih bermakna dan mudah diterima oleh pembaca Bsa daripada kefakiran, karena istilah-istilah yang banyak digunakan dan diperdengarkan oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan, misalnya pengentasan kemiskinan, di bawah garis kemiskinan, dan sebagainya. 3. Terjemahan Idiomatis Terjemahan jenis ini tidak jauh berbeda dengan terjemahan harfiah. 62 Si penerjemah sangat berperan dalam menentukan apakah terjemahan itu harfiah atau idiomatis. Jadi penerjemah berusaha menciptakan kembali makna dalam BSu, yakni makna yang diinginkan penulis atau penutur asli, di dalam kata atau kalimat yang luwes di dalam BSa. Terjemahan yang betul-betul idiomatis 62
Pembahasan terjemahan harfiah dan idiomatis merupakan lanjutan dari perdebatan antara terjemahan literal (harfiah) dan terjemahan bebas yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu. Hatim dan Mason mencatat bahwa pada abad XIV seorang penerjemah Arab, Sâlih al-Dîn al-Safadi mengkritik generasi-generasi penerjemah sebelumnya yang banyak mempraktekan terjemahan harfiah. Mereka mempelajari setiap kata dan makna bahasa Yunani, kemudian mencari padanan kata dan maknanya dalam bahasa Arab lalu meletakkannya dalam susunan yang sama. Al-Safadi menyalahkan pendapat yang menyatakan bahwa padanan satu-satu selalu ada untuk setiap kata BSu dan BSa. Lihat, Basil Hatim dan Ian Mason, Discourse and Translator (Longman: Longman Group Limited, 1990), h. 5. Namun demikian, terjemahan harfiah tetap dibela, seperti Newmark membela terjemahan harfiah dengan cara membedakannya dari terjemahan kata-demi-kata. Lihat, Peter Newmark, A Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 68-69. Larson sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksudkan terjemahan menurut Newmark adalah terjemahan harfiah yang telah dimodifikasi. Dan dalam hal ini, ia berpihak pada penerjemahan “bebas” yang disebutnya sebagai terjemahan idiomatis.
xlvi
tidak akan terasa seperti terjemahan, tetapi terasa seperti tulisan atau ungkapan asli. Oleh karena itu, menurut Larson,63 tujuan akhir setiap terjemahan hendaknya terjemahan idiomatis dan seorang penerjemah yang baik adalah penerjemah yang selalu berusaha menciptakan terjemahan idiomatis. Di dalam contoh berikut, dilihat dari struktur BSu maupun BSa sama persis. Jadi terjemahan ini sudah memadai dalam ragam terjemahan harfiah maupun idiomatis.
أﻥ أﺡBSu: I love her atau BSa: Aku mencintainya. Karena kesamaan struktur dalam BSu dan BSa pada contoh di atas, maka terjemahan tersebut dapat dikategorikan pada terjemahan kata-demi-kata (word-for-word) Akan tetapi dalam banyak kasus, struktur ini tidak bisa diterima di dalam BSa. Misalnya: atau what is your name? ا" ^ ؟
:
Bsu
: Apa namamu?
Harfiah
: Siapa namamu?
Idiomatis
Terjemahan harfiah di atas tidak bisa berterima bagi orang Indonesia, karena pertanyaan tentang nama tidak diungkapkan dengan ungkapan Apa namamu? Melainkan dengan ungkapan siapa namamu? Masih banyak lagi contoh-contoh terjemahan idiomatis, 64 seperti ungkapan-ungkapan BSu yang disampaikan saat berjumpa atau berpisah dengan teman atau saudara, yaitu: “ahlan wa sahlan” (selamat datang),” 63
Larson, Meaning-based Translation, h. 16. Terjemahan idiomatis menghasilkan makna leksikal yang terbentuk dari beberapa kata. Kata-kata yang disusun dengan kombinasi kata lain akan menghasilkan makna yang berlainan. Sebagian idiom merupakan bentuk beku (tidak berubah), artinya bentuk tersebut tidak dapat diubah berdasarkan kaidah sintaksis yang berlaku bagi suatu bahasa. Karena itu makna idiomatik didapatkan dalam ungkapan-ungkapan dan peribahasa. T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna (Bandung: Refika Aditama, 1999), h. 16. 64
xlvii
sabâh al-khair” (selamat pagi), “masâ` al-khair” (selamat sore), “kaifa hâluk“ (bagaimana khabarmu?), “bi al-khair” (baik-baik saja), “syukran” (terima kasih), “ma’a al-salâmah” (selamat jalan) dan sebagainya. Ada beberapa ungkapan al-Quran yang identik dengan ungkapan di atas yang dapat diterjemahkan menurut terjemahan idiomatis seperti ayat 54 surah // maka katakanlah:” salam sejahtera untuk
ْXُKَْ َA ٌمGَ" ْLُ(َ@al-An’âm
:
Ungkapan salâm ‘alaikum banyak ditemukan di dalam al-Quran
kamu.”
hingga 19 tempat. Kemudian, ungkapan ini dapat juga dialihkan makna Bsa menjadi salam sejahtera. Pengalihan makna tersebut bisa saja terjadi dalam terjemahan menurut ragam terjemahan idiomatis, karena ungkapan salam sejahtera sudah menjadi ungkapan resmi dalam bahasa lisan maupun tulisan di kalangan masyarakat Indonesia. Dalam terjemahan, ragam terjemahan idiomatis jarang sekali terjadi secara keseluruhan. Yang sering adalah campuran antara terjemah harfiah, terjemah idiomatis; sebagian diterjemahkan secara harfiah karena memang sudah cukup dan sebagian yang lain diterjemahkan secara idiomatis. Menurut Larson, urutan terjemahan dapat digambarkan seperti dalam bagan berikut:65 unduly free
idiomatic
near idiomatic
inconsistent mixture
modified literal
literal
very literal
________+________+________+_________+________+________+_______ TRANSLATOR’S GOAL
Berdasarkan diagram di atas, maka ragam terjemahan bermula dari ujung kiri, terjemahan sangat harfiah yang terikat dengan BSu dalam hal kata dan struktur kalimat. Semakin ke kanan, terjemahan makin mencapai tujuannya dengan mementingkan penyampaian makna dan pesan yang luwes sesuai dengan BSu dan pembaca BSa. 65
Larson, Meaning-based Translation, h. 17.
xlviii
4. Terjemahan Semantis dan Terjemahan Komunikatif Terjemahan semantis dan terjemahan komunikatif merupakan konsep yang diajukan oleh Peter Newmark, dan ia mengakuinya sebagai sumbangan terpenting pada teori terjemahan. Dalam rangka memperkenalkan kedua konsep itu, ia meletakkannya dalam satu bagan yang memuat beberapa jenis terjemahan sebagai berikut:66 Berpihak pada Bsa
Berpihak pada Bsu
bebas (free)
harfiah (literal)
idiomatik (idiomatic)
setia (faithful)
Semantis
Komunikatif
Di dalam bagan di atas, jenis atau ragam terjemahan suatu naskah dapat ditentukan dari segi hasil terjemahan yang berpihak pada penulis asli atau teks BSu dan pembaca BSa. Hasil terjemahan yang berpihak pada teks BSu, maka ragam tersebut dapat dikategorikan pada terjemahan harfiah. Sedangkan hasil terjemahan yang berpihak pada pembaca BSa, maka terjemahan tersebut dinamakan terjemahan idiomatis. Di antara terjemahan harfiah dan idiomatis ini ada terjemahan semantis dan komunikatif. Keduanya saling bersinggungan. Terkadang keduanya tidak bisa dibedakan untuk beberapa kasus, namun untuk kasus-kasus yang lain keduanya bisa dibedakan. Terjemahan semantis pada dasarnya terjemahan yang bersifat objektif. Karena berusaha menerjemahkan apa yang ada, tidak menambah, mengurangi atau mempercantik. Ragam terjemahan ini hanya ingin memindahkan makna dan gaya bahasa teks BSu ke dalam teks BSa. Gaya bahasa BSu tidak bisa dikorbankan selama bisa dimengerti di dalam BSa. Banyak ayat-ayat al-Quran
66
Peter Newmark, About Translation (Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 1991), h. 41.
xlix
yang mengandung gaya bahasa yang memang maknanya langsung bisa dipahami, sehingga teks Indonesia tetap mencerminkan teks Bahasa al-Quran. Di antara ayat yang dapat diterjemahkan secara semantis adalah ayat 223 // Isteri-isterimu
ْXُْ2ِ ﺵzْ أَﻥXُKََْا ﺡ1َُْ@ ْXُKَ ٌْ ﺡَْثXَُؤُآ-ِﻥsurah al-Baqarah:
adalah ladang bagimu, Maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Contoh ayat di atas terdapat kata nisa`ukum yang diterjemahkan dengan makna istri-istrimu. Kata nisâ` merupakan bentuk jamak dari kata mar`ah atau imra`ah yang berarti orang perempuan atau wanita. Meskipun kata wanita, dan perempuan memiliki perbedaan, tetapi semuanya memiliki unsur kesesuaian ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal yang lain, sebagaimana yang akan penulis jelaskan di bab IV. Kemudian ayat tersebut diterjemahkan sesuai dengan bunyi teks apa adanya dengan tidak membubuhkan kata seperti yang mengandung arti perumpamaan dan makna ayat tersebut dapat dipahami meskipun tanpa ada penambahan atau pengurangan atau mempercantik gaya bahasa Indonesia. Sedangkan terjemahan komunikatif lebih bersifat subjektif, karena berusaha menciptakan efek pikiran dan tindakan pada pembaca BSa. Dengan demikian, terjemahan ini mengakibatkan hilangnya sebagian makna BSu. Menurut Newmark, kata mempunyai banyak makna yang luwes dan sekaligus ruwet serta menimbulkan tafsiran yang beragam. Oleh karena itu, setiap penyederhanaan dalam terjemahan komunikatif selalu
mengakibatkan
hilangnya sebagian makna itu.67 Terjemahan komunikatif juga berlaku pada terjemahan al-Quran, seperti // Dan langit itu Kami
..ٍَِْ َءَ ﺏَََْهَ ﺏz-وَاayat
47 surah al-Dzâriyât:
bangun dengan tangan (kami).
67
Peter Newmark, Approaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 51
l
Menurut kajian stylistik, gaya bahasa al-Quran pada ayat tersebut menggunakan majâz mursal atau sepadan dengan gaya bahasa sinekdoke dalam bahasa Indonesia.68 Dengan munculnya arti tangan pada ayat tersebut, berarti ada sebagian makna yang hilang. Karena itu, penyederhanaan makna pada ayat-ayat seperti di atas menciptakan sikap, pemikiran dan penafsiran para pembacanya. Oleh karena itu, terjemahan al-Quran Depag RI mengartikan kata aidî (tangan) dengan kekuasaan. Newmark menyatakan bahwa terjemahan semantis biasa digunakan untuk menerjemahkan teks-teks otoritatif (authoritative) atau teks ekspresif, yakni teks-teks yang isi dan gayanya, gagasan dan kata-kata serta strukturnya sama-sama pentingnya. Jenis teks ini meliputi teks sastra, atau teks-teks lain yang ditulis dengan indah dan bagus. Yang penting teks tersebut ditulis oleh penulis yang mempunyai status yang tinggi. 69
Karena itu, Suryawinata
menambahkan bahwa terjemahan al-Quran sebagai wacana otoritatif, termasuk ke dalam ragam terjemahan semantis, karena penerjemahannya harus sedekat dan setepat mungkin dengan teks aslinya baik gramatika, kosakata, konsep dan makna, amanat maupun stilistiknya. 70 Selanjutnya, meskipun banyak ragam terjemahan sebagai alternatif dan model pengembangan dalam terjemahan, penerjemah tetap harus memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus dimilikinya. Yang dimaksud dengan prinsipprinsip terjemahan di sini adalah seperangkat acuan dasar yang seharusnya dipertimbangkan oleh para penerjemah. Tentunya para penerjemah bisa 68
Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Misalnya: Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp. 10.000,-. Dalam bahasa Arab disebut majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz`iyyah. . 69 Peter Newmark, Paraghrafs on Translation (Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 1993), h. 1. 70 Suryawinata, Translation, h. 51.
li
melakukan aktivitas terjemahan dengan berbagai macam ragam atau jenis terjemahan yang telah dikemukakan sebelumnya, seperti terjemahan harfiah, katademi-kata, dinamis, idiomatis, semantis hingga komunikatif. Namun, semua ragam tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua prinsip terjemahan, yaitu prinsip yang setia pada teks Bsu dan yang setia pada pembaca atau teks Bsa. Menurut Suryawinata,71 ragam terjemahan yang berdasarkan prinsip pertama dapat diketahui melalui hasil karya penerjemah, yakni antara lain: (a) lebih banyak menggunakan kata-kata teks Bsu, (b) teks Bsa yang dibaca seperti terjemahan teks Bsu, (c) gaya bahasa Bsu masih tercermin dalam teks terjemahannya, (d) terjemahan Bsa masih mencerminkan waktu teks ditulis (contemporary of the author), (e) tidak ditemukan penambahan dan pengurangan. dalam teks Bsa, (f) genre sastra (literary genre) tertentu72 masih tetap dipertahankan dalam terjemahan. Sedangkan prinsip kedua, yakni setia pada pembaca atau teks Bsa juga dapat diketahui melalui hasil karya penerjemah, antara lain: (a) dalam hal keluwesannya, ketika dibaca seperti teks aslinya, (b) memiliki gaya sendiri dalam terjemahannya, (c) terjemahan harus menggambarkan waktu saat teks Bsu itu diterjemahkan,
(d)
penambahan
dan
pengurangan
diperbolehkan
dalam
terjemahan bahkan dianjurkan, (e) genre sastra tidak harus dipertahankanPrinsipprinsip terjemahan yang setia kepada teks Bsu Dari beberapa prinsip di atas, maka dapat dipahami bahwa ragam terjemahan yang digunakan adalah terjemahan harfiah atau terjemahan dari katakata yang dipakai teks Bsu. Kemudian, yang perlu dipertahankan dari teks Bsu adalah gaya bahasanya, sehingga jika dibaca akan terasa seperti terjemahannya. Pengurangan dan penambahan dalam terjemahan yang setia dengan teks Bsu tidak 71
Suryawinata, Translation, h. 59. Wacana yang mempunyai ciri-ciri struktural dan stilistis yang khusus; misalnya dongeng, parabel, lirik dan sebagainya. Lihat, Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 64. 72
lii
berlaku sama sekali. Sedangkan dalam wacana sastra harus diterjemahkan dalam bentuk sastra lagi, misalnya puisi harus diterjemahkan menjadi puisi, demikian pula sebuah prosa diterjemahkan menjadi prosa. Penerjemah yang mengikuti terjemahan setia pada teks Bsu, menurut Rachmadie, akan mengalami beberapa kesulitan, karena pada kenyataannya jarang sekali ada teks yang bisa diterjemahkan secara harfiah dengan ketepatan, kejelasan, dan ketelitian yang sama dengan teks Bsu.73 Dengan mengikuti prinsip-prinsip terjemahan di atas, maka ragam terjemahan yang setia mengikuti teks Bsa adalah terjemahan dinamis, idiomatik dan komunikatif. Pada kenyataannya, Terjemahan al-Quran Depag RI tetap menganut dua prinsip di atas, karena ragam terjemahan yang diembannya tidak sebatas terjemahan harfiyah, melainkan terjemahan semantis, idiomatis dan komunikatif yang semuanya bisa dan mungkin terjadi. Hal itu disebabkan oleh teks al-Quran sebagai teks keagamaan yang berbentuk prosa dengan bahasa yang puitis. Di samping itu, teks al-Quran mengandung ajaran-ajaran teologis yang tentunya akan berpengaruh dalam memahami teks aslinya dan bagaimana menetapkan terjemahannya. Dalam al-Quran, terdapat beberapa kasus yang dinamakan iltifât . Ayat ini
َن1ُ:َ ُْ ِZَِْ وَإ7ِ ِي @َ<ََﻥzُُْ اAَ أF َ7ِ َ َ(وalih pronomina), seperti:
terdapat dalam surah Yâsîn ayat 22 yang mengandung dua subjek dalam struktur yang sama , yakni orang pertama tunggal (Aku) dan orang kedua jamak (kamu). Selain itu, penggunaan kala dalam konteks hari kiamat yang belum atau masih akan terjadi, seperti pada ayat 87 surah al-Naml berikut ini:
... ِ اَْرْض7ِ@ ْBَ َ َوَاتِ وz- ا7ِ@ ْBَ َِعbَ[َ@ ِر1& ا7ِ@ َُ[ُْ َْم1ََ Contoh ayat di atas menunjukkan adanya penggunaan kala lampau pada verba fazi’a, sementara konteks peristiwa itu belum terjadi. Bahasa Indonesia 73
Sabrony Rachmadie, Zuchridin Suryawinata dan Achmad Efendi, Materi Pokok Translation, Modul 1-6 (Jakarta: Karunika dan Universitas Terbuka, 1988), h. 124
liii
tidak mengenal kala seperti bahasa Arab atau bahasa Inggris. Kemudian untuk memberikan makna pada kata fazi’a, maka tidak perlu menyertakan kata telah tetapi cukup menambahkan partikel –lah pada terjemahan verbanya sebagai penekanan makna bahwa peristiwa tersebut benar-benar akan terjadi, sehingga terjemahan verba fafazi’a menjadi maka terkejutlah. Berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Suyawinata di atas, secara khusus memang tidak ada aturan yang mengikat untuk memilih kedua prinsip tersebut. Semua itu dikembalikan secara bebas kepada para penerjemah. Secara historis, kegiatan terjemahan telah muncul sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang silam. Namun prinsip-prinsip terjemahan hingga kini masih diperbincangkan dan diperdebatkan oleh kalangan penerjemah dan pakar terjemahan. Sebagai contoh, sekitar tahun 834 M, Paus Damasus menugaskan Jerome untuk menerjemahkan kitab suci Perjanjian Baru, karena terjemahan kitab suci sebelumnya terikat dan setia dengan Bsu-nya. Kemudian, Jerome mencoba untuk menerjemahkan kitab suci itu dengan prinsip terjemahan yang setia kepada Bsa. Akhirnya, selama hidupnya Jerome mendapat tantangan dan kecaman dari masyarakat pembaca.74 Contoh lainnya berkaitan erat dengan terjemahan kitab suci al-Quran secara puitis oleh Hans Bague Jassin berjudul “Bacaan Mulia” dan diterbitkan pada tahun 1978 oleh Penerbit Djambatan di Jakarta. Ternyata karya terjemahannya menimbulkan polemik dan menjadi perhatian bagi umat Islam, bahkan Menteri Agama, Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia turut berbicara untuk upaya perbaikan terjemahan al-Quran itu. Di antara alasan utamanya polemik itu muncul, karena HB. Jassin menerjemahkan alQuran terlalu setia pada Bsa pada ayat-ayat tertentu, misalnya kata “hudâ” tidak diterjemahkan secara konsisten, sehingga muncul maknanya bermacam-macam seperti petunjuk (ayat 2 surah al-Baqarah), pimpinan (ayat 16 surah al-Baqarah), “ummatan wasatan” diterjemahkan dengan umat yang adil (ayat 143 surah al74
Suhendra Yusuf, Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 63.
liv
Baqarah), “fatall diterjemahkan dengan embun dan sebagainya.75
Selain itu,
terjemahan al-Quran yang dianggap melenceng dari makna kandungannya adalah terjemahan oleh Nazwar Syamsu dalam bentuk buku sebagai koreksi terhadap terjemahan Bacaan Mulia HB. Jassin. Penyimpangan terjemahan dalam buku tersebut misalnya “al-Qarnain” diterjemahkan dua golongan (halaman 60), “din al-Haqq” diterjemahkan agama logis (halaman 68), “wa al-mu`allafah qulubuhum” diterjemahkan kekuatan penjagaan (halaman 74), “fa ummuhû hâwiyah” diterjemahkan maka ibunya ialah yang menarik jatuh (halaman 152). 76
C. Prosedur Terjemahan Kata prosedur berarti urutan yang formal. Prosedur dalam suatu terjemahan perlu diadakan untuk menghindari kesalahan dan memudahkan proses terjemahan, karena penerjemahan tidak lepas dari berbagai persoalan. Pada umumnya dalam penerjemahan, terdapat dua persoalan praktis yang dihadapi oleh para penerjemah. Pertama, penerjemah tidak memahami makna satuan bahasa seperti kata, kalimat atau paragraf sehingga tidak menangkap pesannya. Kedua, penerjemah mengalami kesulitan untuk menerjemahkannya, meskipun sudah memahami Bsu-nya. 77 Untuk mengatasi hal itu, penerjemah perlu menempuh prosedur, yang menurut Nida dan Taber, terdiri dari tiga langkah penerjemahan, yaitu: (1) analisis (memahami Bsu); (2) transfer (menerjemahkan dalam pikiran); dan (3) restrukturisasi (menerjemahkan).78
75
Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Quranul Karim Bacaan Mulia (Jakarta: Mutiara, 1979), h. 10-12. 76 Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia HB. Jassin (Padang Panjang: Pustaka Saadiyah, 1916). 77 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Bandung: Pustaka Jaya, 2006), h. 11. 78 Nida dan Taber, The Theory and Practice of Translation, h. 22.
lv
Analisis dilakukan dengan cara teks dibaca secara keseluruhan dan pesannya dipahami secara garis besar. Teks yang dibaca itu meliputi struktur, semantik dan gaya bahasa. Pada langkah pertama ini, sering ditemukan problem pemahaman dan pemecahannya harus dicari di luar teks. Apalagi al-Quran mengandung banyak makna dan pesan yang pemecahannya harus ditemukan dari berbagai sumber, misalnya kamus, literatur tafsir baik klasik maupun kontemporer, dan sebagainya. Langkah kedua, transfer dengan cara teks diterjemahkan di dalam pikiran dan ditulis jika perlu sambil mencari pemecahan problem yang harus dicari di luar teks. Pada langkah ini, menurut Hoed, adanya “deverbalisasi”, yakni melepaskan diri dari ikatan bentuk teks atau kalimatkalimat Bsu untuk menangkap pesannya secara rinci. 79 Namun untuk menjaga agar makna dan pesan teks Bsu tidak hilang, teks sumber harus tetap dijadikan acuan utama agar melahirkan satuan terjemahan terkecil yang dapat dicermati dan dilakukan dan proses ini dinamakan close translation.80 Langkah ketiga, restrukturisasi yang dimulai dari cara mengatur susunan kalimat secara teliti. Di sinilah, struktur gramatikal dan semantik Bsu mulai diubah menjadi struktur gramatikal dan semantik Bsa. Ketiga langkah dalam proses penerjemahan di atas dinilai belum sepenuhnya dilakukan, oleh karena itu Newmark menambahkan satu langkah sehingga jumlahnya empat langkah dan keempat langkah ini kemudian disebutnya sebagai approach. Dengan demikian, prosedur terjemahan sepenuhnya harus melewati empat tataran penerjemahan, yakni: (1) tataran teks (the textual level); (2) tataran referensial; (3) tataran kohesi; (4) tataran kewajaran (the level of naturalness).81 Perbedaan yang mencolok antara Nida dan Newmark mengenai prosedur terjemahan itu terdapat pada langkah ketiga, yakni restrukturisasi menurut Nida 79 80 81
Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 11. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 11. Peter Newmark, A Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 20-30.
lvi
dan tataran kohesi dan kewajaran menurut Newmark. Tataran kohesi dimaksudkan sama dengan restrukturisasi, yakni keterpaduan antara gramatikal Bsa dan maknanya terhadap gramatikal dan makna Bsu. Sedangkan tataran kewajaran inilah yang kemudian sebagai langkah evaluasi dari langkah ketiga, apakah hasil terjemahan
itu berterima bagi pembaca atau tidak. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pemeriksaan ulang dengan maksud apakah terjemahan ini sudah sesuai dengan desain sasaran (audience design) dan analisis kepentingan (need analysis). Kemudian, langkah-langkah tersebut di atas memunculkan berbagai macam strategi terjemahan.82 Dalam prakteknya, penerjemah tidak mengambil seluruh teknik yang digunakan sebagai strategi terjemahan, tetapi dia memilih beberapa teknik yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan itu dilakukan. Ada banyak teknik yang ditawarkan, tetapi hanya beberapa yang dianggap umum yang akan dikemukakan di sini. 1. Transposisi (Transposition) Teknik ini dilakukan oleh penerjemah untuk mengubah struktur asli Bsu di dalam Bsa agar mencapai efek yang padan. Pengubahan ini meliputi pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan, seperti bentuk jamak kepada bentuk tunggal, bentuk kata kepada bentuk kata lainnya dan posisi kata.83 Misalnya
dalam
bahasa
Inggris
bentuk
jamak
musical
instruments
diterjemahkan dengan bentuk tunggal alat musik. Di samping pengubahan, termasuk juga pemisahan satu kalimat Bsu menjadi dua kalimat Bsa atau lebih, atau penggabungan dua kalimat Bsu atau lebih menjadi satu kalimat Bsa juga termasuk dalam teknik ini. Pemisahan atau penggabungan kalimat itu bisa dilakukan karena pertimbangan gaya bahasa atau stilistika.84 2. Modulasi 82
Dalam literatur terjemahan, strategi terjemahan disebut prosedur terjemahan (translation procedures). Suryawinata, Translation, h. 67. 83 Lihat, Newmark, A Textbook of Translation, h. 85 dan Rachmadie dkk., Materi Pokok Translation (Jakarta: Karunika dan Universitas Terbuka, 1988), h. 136. 84 Newmark, A Textbook of Translation, h. 87.
lvii
Modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frasa, klausa atau kalimat. Di sini penerjemah memandang pesan dalam kalimat Bsu dari sudut yang berbeda atau cara berpikir yang berbeda. 85 Teknik ini dilakukan karena teks Bsu yang diterjemahkan tidak menghasilkan terjemahan Bsa yang wajar atau luwes, seperti teks bahasa Inggris I broke my leg kemudian diterjemahkan ke dalam Bsa menjadi kakiku patah. Contoh ini memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan yang sama. 3. Padanan Deskriptif (Descriptive Equivalent) Seperti yang tercermin dalam namanya, padanan ini berusaha mendeskripsikan makna atau fungsi kata Bsu.86 Strategi ini dilakukan karena kata Bsu tersebut sangat terkait dengan budaya khas Bsu dan penggunaan padanan budaya dirasa tidak bisa memberikan derajat ketepatan yang dikehendaki. 4. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning) Penjelasan tambahan dilakukan karena pertimbangan kejelasan makna. Di sini penerjemah memasukkan informasi tambahan di dalam teks terjemahannya karena ia berpendapat bahwa pembaca memerlukannya. Informasi tambahan ini bisa diletakkan di dalam teks, di bagian bawah halaman berupa catatan kaki atau di bagian akhir dari teks.87 5. Penerjemahan Fonologis Penerjemah tidak menemukan padanan yang sesuai dalam Bsa sehingga ia memutuskan untuk membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata itu dalam Bsu untuk disesuaikan dengan sistem bunyi (fonologi) dan ejaan
85
Newmark, A Textbook of Translation, h. 88. Newmark, A Textbook of Translation, h. 83-84. 87 Newmark, A Textbook of Translation, h. 91-92. 86
lviii
(grafologi) Bsa. Penerjemahan sejenis ini, Suryawinta menamakannya dengan dengan transliterasi. 88 6. Penerjemahan Resmi/ Baku Ada sejumlan istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam Bsa sehingga penerjemah langsung menggunakannya sebagai padanan.89 Untuk itu, penerjemah yang mengerjakan naskah dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia perlu memiliki “Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing” yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud RI. Sisi lain kelebihan teknik ini adalah penerjemah bisa memperoleh dua keuntungan: Pertama, ia bisa menyingkat waktu; dan kedua ia bisa ikut serta memberi arah perkembangan bahasa Indonesia pada jalur yang benar.90 7. Padanan Budaya (Cultural Equivalent) Teknik ini berkaitan dengan budaya Bsu dan Bsa yang keduanya memang berbeda. Kemudian dalam terjemahan, teknik ini digunakan untuk memudahkan penerjemah agar bisa membuat kalimat Bsa yang mulus dan enak dibaca, meskipun kemungkinan besar teknik ini tidak bisa menjaga ketepatan makna. Hal yang terpenting dari teknik ini adalah mengganti kata yang khas dalam Bsu dengan kata yang khas dalam Bsa. Untuk teks yang bersifat umum, misalnya pengumuman atau propaganda, strategi ini bisa digunakan karena pada umumnya pembaca Bsa tidak begitu peduli akan budaya Bsu. 91 Selain tujuh teknik di atas, ada beberapa teknik yang ditawarkan oleh beberapa pakar terjemahan, yang secara substansial merupakan hasil adaptasi dari teknik-teknik di atas. Tim dosen terjemah di fakultas-fakultas dan lembagalembaga khusus di Beirut mengemukakan bahwa terjemahan maknawiah (alTarjamah bi al-Tasarruf) hendaknya berdasarkan kepada enam teknik, yakni 88
Suryawinata, Translation, h. 71. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 76. 90 Suryawinata, Translation, h. 74. 91 Newmark, A Textbook of Translation, h. 82-83. 89
lix
mendahulukan (al-taqdîm), mengganti (al-tabdîl), mengakhirkan (al-ta`khîr), membuang (al-hadzf), mengutip (al-iqtibâs), dan menambahkan (al-ziyâdah).92 Sementara itu, al-Didâwî menyebutkan tujuh butir kunci penerjemahan, yaitu adopsi (iqtibâs), metafora (isti’ârah), terjemah harfiah, alterasi (tabdîl), implikasi (idkhâl), asimilasi (mu’âdalah), dan approximasi (taqrîb).93 Beberapa teknik penerjemahan, baik yang dikemukakan oleh lembaga khusus di Beirut maupun oleh al-Didâwî, oleh Vinney Darbalini, secara garis besar dikelompokkan ke dalam dua jenis terjemahan, yakni: (1) Terjemahan setia (terikat) yang meliputi beberapa teknik antara lain: adopsi, metafora dan terjemah harfiah; (2) terjemahan bebas yang meliputi beberapa teknik antara lain: aliterasi, implikasi, asimilasi dan approximasi.94 Strategi atau teknik penerjemahan yang ditulis oleh beberapa pakar di atas mendasarkan pemikirannya pada pengalaman mereka sebagai penerjemah. Karena didasarkan pada pengalaman pribadi, pandangan-pandangan itu tidak bisa dikatakan sebagai konstruk teoritis bagi penilaian yang sistematis terhadap teori penerjemahan. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan-pandangan itu berubah menjadi konsep umum sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas penerjemahan. Adapun yang terpenting menurut Lauven-Zwart, sebagaimana yang dikutip oleh Nababan bahwa menghasilkan penerjemah dan terjemahan yang baik bukan merupakan tujuan utama teori penerjemahan. Penerjemah dan terjemahan yang lebih baik mungkin saja merupakan produk teori dan metode penerjemahan. Akan tetapi, tugas itu pada umumnya diserahkan pada studi Penerjemahan Terapan.95 D. Kualitas Terjemahan Dan Kelembagaannya 92
Jamâ’ah Mudarris al-Tarjamah fî al-Ma’âhid, al-Uslûb al-Sahîh fî al-Tarjamah (Beirut: Mansyûrât Maktabah al-Hayât, t.t.), h. 9. 93 Al-Dîdâwî, Muhammad. ‘Ilm al-Tarjamah baina al-Nazariyyah wa al-Tatbîqiyyah (Tunis: Dâr al-Ma’ârif wa al-Nasyr, 1992), h. 171. 94 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Jakarta: Kanisius, 1989), h. 30-36. 95 M. Rudolf Nababan. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 9.
lx
Terjemahan dapat dibagi atas dua jenis, yakni: (1) terjemahan tertulis yang dilakukan oleh orang yang disebut “penerjemah”, dan (2) terjemahan lisan yang dilakukan oleh orang yang disebut “juru bahasa”.96 Dalam terjemahan tertulis maupun lisan, penerjemah dituntut agar bertanggung jawab terhadap pesan yang terkandung dalam teks sumber, sehingga mampu dialihkan secara betul dan berterima bagi pembacanya. Tanggung jawab yang besar itu menyebabkan penerjemah atau juru bahasa harus memiliki kemampuan profesional yang tinggi. Profesionalisme penerjemah, menurut Hoed dapat dilihat dari empat faktor penting, yakni (1) pengetahuan umum, (2) keingintahuan dan berjiwa peneliti (curiosity and research), (3) intelejensia, dan (4) retorika (kemampuan mengolah bahasa).97 Dengan demikian, penerjemahan bukan pekerjaan asal-asalan. Dan upaya untuk mengembangkan dan memajukan dunia terjemahan, harus dilakukan peningkatan dan pengendalian kualitas penerjemah, serta upaya agar etik sebagai moral profesional selalu dijaga dalam kegiatan penerjemahan. Demikian pula kualitas terjemahan al-Quran secara umum dilihat dari penerjemahnya. Misalnya terjemahan al-Quran di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh kalangan intelektual muslim baik yang berasal dari pendidikan pesantren maupun akademis. Secara historis, sejak abad ke-17 M, di Indonesia telah muncul upaya penerjemahan al-Quran yang pertama kali oleh ‘Abd al-Ra’ûf al-Sinkiliy (1615-1693 M) dengan nama Tarjumân al-Mustafîd.98
96
Terjemahan tertulis (written translation) dan terjemahan lisan (oral translation) merupakan jenis terjemahan yang sudah terkenal dan bisa berdiri sendiri serta telah menjadi jenis terjemahan profesional yang mencakup jenis terjemahan semua ragam bahasa. Kemudian terjemahan lisan dibagi lagi menjadi terjemahan lisan konsekutif (disampaikan secara berurutan-perkalimat atau peralinea) dan terjemahan lisan simultan. Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan, h. 31. 97 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 117. 98 ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkiliy hidup dalam enam periode kesultanan Aceh, yaitu periode Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Sultan Iskandar Tsani (1636-1640), Sultanah Taj al-‘Alam Safiyat al-Din Syah (1641-1675), Sri Sultan Nur al-‘Alam Nakiyat al-Din Syah (1675-1678), Sultanah Inayat Syah Zakiyat al-Din Syah (1678-1688) dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699). Keempat penguasa yang terakhir ini adalah sultan perempuan yang di dalam kepemimpinan merekalah ‘Abd al-Ra’uf menjadi seorang mufti. Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Idiologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 40.
lxi
Menyusul kemudian, pada akhir tahun 1920-an mulai muncul beberapa literatur berbahasa Melayu yag mencoba untuk memberikan kemudahan dalam berinteraksi dengan al-Quran. Di era ini, Mahmud Junus telah memulai menerjemahkan al-Quran yang ditulis dalam tulisan Jawi (bahasa Indonesia atau Melayu yang ditulis dengan tulisan Arab).99 Ahmad Hassan, pada tahun 1928, juga telah memulai menerjemahkan al-Quran. Menjelang tahun 1940 ia telah menyelesaikan terjemahannya hingga surah Maryam. 100 Pada masa orde lama, bermunculan beberapa terjemahan al-Quran yang disertai dengan penjelasannya yang kemudian masuk pada kelompok literatur tafsir Indonesia. Misalnya tafsir al-Azhar karya Hamka atau Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amirullah yang disusun sejak tahun 1962 dan diterbitkan pada tahun 1967, tafsir An-Nur dan kedua adalah tafsir Al-Bayan oleh Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 101 Kemudian, muncul terjemahan al-Quran berikutnya pada masa orde baru, yakni terjemahan al-Quran Depag RI. Terjemahan tersebut telah mengalami terbitan kali ketiga, yaitu edisi 1970, 1989 dan 2002. Sebenarnya, Terjemahan alQuran edisi 1970 penerbitannya tidak dilakukan tepat pada tahun 1970, melainkan terbitan perdananya pada tahun 1965, tepatnya tanggal 17 Agustus, mulai dari juz 1 hingga juz 10. Kemudian terbitan berikutnya mulai dari juz 11 hingga juz 20 dilakukan pada tanggal yang sama dengan tahun yang berbeda, yaitu tahun 1967. 99
Pada tahun 1922, Junus telah menerbitkan tiga bab dari karyanya. Ketika itu pada umumnya sarjana muslim di Indonesia menyatakan bahwa menerjemahkan al-Quran adalah haram. Beberapa tahun kemudian, ketika menjadi seorang mahasiswa di Universitas al-Azhar, Mesir, menurut salah seorang dosennya menyatakan bahwa menerjemahkan al-Quran hukumnya boleh, bahkan bisa fardlu kifayah. Atas dasar itu, Junus mendapat semangat baru untuk melanjutkan usahanya itu pada bulan Ramadan tahun 1354 H (1935 M) dan pada tahun 1938, tamatlah terjemahan al-Quran tiga puluh serta tafsirnya. Lihat, Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim (Djakarta: Al-Hidajah, 1971), h. iii. 100 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 49 101 Tafsir Al Bayan termasuk tafsir generasi ketiga yaitu mulai muncul pada tahun 1970-an, dan merupakan penafsiran yang lengkap. Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur'an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1994), hal. 137. Sedangkan menurut Ishlah, tafsir ini masuk kategori generasi kedua karena dicetak pada tahun 1966 oleh PT Al-Ma'arif Bandung. Tafsir ini merupakan wujud ketidak puasannya terhadap karya tafsir yang pertama. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Idiologi, hal. 60
lxii
Dan pada tahun 1970, tepatnya tanggal 1 Januari, terbitan terakhir mulai dari juz 21 hingga 30 dapat diselesaikan.102 Penerjemahan dan penerbitan awal terjemahan al-Quran Depag RI ini langsung ditangani oleh pemerintah sekaligus sebagai fasilitator melalui
Departemen Agama RI. Adapun tiga hal penting yang
melatarbelakangi terjemahan al-Quran itu dilakukan, yaitu: (1) Adanya keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan No. II/ MPRS/ 1960 tentang Garis-garis besar pola pembangunan semesta berencana tahapan pertama 1961-1969 lampiran A 4 Agama/ Kerohanian: Menerjemahkan kitab-kitab suci ke dalam bahasa Indonesia; (2) Menghadirkan terjemahan al-Quran agar dipahami kandungan al-Quran bagi masyarakat muslim yang belum mengerti bahasa Arab; dan (3) Melalui terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia tersebut bisa memberikan kemudahan bagi masyarakat muslim yang sudah memahami bahasa Arab namun lemah dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan susunan bahasa Indonesia yang baik dan benar.103 Kemudian, untuk pengadaan aktivitas dan peningkatan efektifitas terjemahan dibentuklah satu lembaga yang bernama Lembaga Penyelenggara Penerjemah Kitab Suci Al-Quran yang berdasarkan Surat Keputusan No. 91 tahun 1962 dan No. 53 tahun 1963. Struktur lembaga tersebut diketuai oleh diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan 10 anggota yang terdiri dari pakar tafsir, pakar terjemahan dan intelektual pesantren serta akademikus. 104 Dalam dekade 1980-an, terjemahan al-Quran juga telah dilakukan dengan menggunakan bahasa non-Melayu dalam bentuk aksara Jawi (Arab pegon) 102
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan al-Quran Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 135. 103 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Yamunu, 1965), h. 9. 104 Mereka itu adalah Prof. T.M. Hasbi Ashshiddiqi, Prof. H. Bustami A. Gani, Prof. H. Muchtar Jahya, Prof. H.M. Toha Jahya Omar, Dr. H.A. Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar, H. Gazali Thaib, K.H.A. Musaddad, K.H. Ali Maksum, Drs. Busjairi Madjidi. Khâdim al-Haramain al-Syarîfain, al-Qurân al-Karîm wa Tarjamah Ma’ânih bi al-Lughat al-Indûnisiyyah (al-Madînah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tibâ’at al-Mushaf al-Syarîf, 1418 H), tanpa hal.
lxiii
sebagai media penulisannya.105 Karya-karya terjemahan itu antara lain al-Ibrîz karya K.H. Bisyri Mushthofa.106 Kualitas terjemahan al-Quran harus tetap diupayakan agar pesan-pesan alQuran mudah dipahami dengan cepat dan tepat melalui bahasa terjemahannya. Kekurangan dalam bahasa terjemahan al-Quran seringkali diakibatkan oleh pemilihan kata (diksi) yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan maknanya. Pendayagunaan kata dalam bahasa terjemahan pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu: (1) ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, (2) kesesuaian dalam mempergunakan kata tadi.107 Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang diamanatkan oleh al-Quran. Setelah
terjemahan
al-Quran
diterbitkan
dan
diedarkan,
ternyata
membuahkan kritik dan saran dari pembaca terutama yang berhubungan dengan bahasa terjemahannya. Sehubungan dengan hal itu, terjemahan al-Quran Depag RI edisi pertama dilakukan perbaikan sebanyak dua kali, yakni: Pertama, pada tahun 1989 yang diketuai oleh Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA dengan anggota beberapa tim ahli. Satu tahun kemudian, tim itu menghasilkan terjemahan alQuran yang dicetak oleh Pemerintah Saudi Arabia pada tahun 1990; Kedua, pada tahun 1998 yang membutuhkan waktu cukup lama sehingga finalisasi baru
105
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 62. Al-Ibrîz (Kudus: Menara Kudus, t.th) diterbitkan dalam dua edisi, yaitu edisi per-juz sebanyak 30 jilid dan edisi hard cover sebanyak 3 volume. Tafsir al-Ibrîz ini ditulis dengan huruf Arab pegon dan bahasa Jawa. Makna per-ayat menggunakan sistem makna gandul seperti yang lumrah dipakai oleh kebanyakan pondok pesantren di Jawa, sedangkan untuk tafsirnya ditulis di bagian pinggir (hâmisy). 107 Berkaitan dengan dua hal pokok di atas, maka ada beberapa syarat agar bisa mencapai ketepatan pilihann kata, antara lain: (1) membedakan secara cermat kata-kata yang bermakna denotasi dan konotasi, kata yang hampir bersinonim, kata yang mirip dalam ejaannya; (2) menghindari katakata ciptaan sendiri; (3) memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal dan sebagainya. Lihat Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 87. 106
lxiv
terealisir pada tahun 2002 dan menghasilkan terjemahan al-Quran Depag RI edisi 2002.108 Dalam bidang terjemahan teks-teks keagamaan, termasuk teks al-Quran, terdapat kendala kualitas yang disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari segi pembinaan dan dari segi standarisasi kualitas. Selain itu, kendala sosial juga menghambat kualitas terjemahan al-Quran dan kendala itu bisa terjadi karena profesi penerjemah memang belum disadari oleh masyarakat sebagai profesi yang strategis dan yang harus didukung oleh profesionalisme yang tinggi berbeda dengan profesi lainnya. Upaya peningkatan kualitas terjemahan itu dapat diprioritaskan pada lembaga-lembaga penerjemahan dengan melakukan berbagai penataran (kursus, lokakarya, seminar, dan diskusi), atau ujian kualifikasi seperti yang dilakukan oleh Pusat Penerjemahan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Bahkan mulai tahun 2005 FIB UI telah membuka program Linguistik Terapan untuk bidang praktik Penerjemahan sehingga lulusannya akan memperoleh gelar Magister.109 Berbeda dengan terjemahan teks-teks Arab dan teks-teks keagamaan, pada umumnya para penerjemahnya memasuki profesinya secara “tidak sengaja” atau “belajar sendiri” (otodidak). Di antara mereka banyak yang tidak menempuh pendidikan formal sebagai penerjemah pada tingkat perguruan tinggi. Namun, tidak sedikit di antara mereka yang kualitas terjemahannya sangat baik. Kendala kualitas pada penerjemahan al-Quran memang berbeda dengan penerjemahan teks Arab atau teks asing lainnya, karena penerjemahan al-Quran
108
Adapun penyelesaian edisi 2002 ini dilakukan, ketika Tim itu dipimpin oleh Drs.H. Fadhal AR. Bafadal, M.Sc dan Tim Ahli yang terdiri dari Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, Prof. K. H. Ali Mustofa Ya’qub, MA., Dr. H. Ali Audah, Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA., dan H. Junanda P. Syarfuan dengan anggota yang terdiri dari Drs. H. M. Shohib Tahar, Drs. H. Mazmur Sya’roni, Drs. H. M. Syatibi AH, H. Ahmad Fathoni, Lc., M.Ag., dan Drs. H. Bunyamin Yusuf, M.Ag. Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), h. v. 109 FIB UI telah menyelenggarakan pendidikan spesialis 1 penerjemahan untuk bahasa Perancis dan Inggris. Lihat, Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 118.
lxv
tidak hanya berkisar pada tataran teks (the textual level), tetapi pada tataran berikutnya, yakni tataran referensial. Pada tataran ini membutuhkan penerjemah yang berkualitas di bidang tafsir. Sebab terjemahan al-Quran acuan maknanya tidak lepas dari para mufassir. Oleh karena itu, terjemahan al-Quran Depag RI baik dalam penetapan tim pertama kali terjemahan al-Quran itu disusun hingga perbaikan berikutnya, tim ahli di bidang tafsir masih tetap dilibatkan seperti Prof. T.M. Hasbi Ashshiddiqi, Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A., Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A., Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, Prof. K.H. Ali Mustofa Ya’qub, M.A., Dr. H. Ali Audah. 110 Terjemahan al-Quran pada hakikatnya bukan menerjemahkan al-Quran itu sendiri, karena itu terjemahan al-Quran bukan duplikat al-Quran. Tetapi terjemahan al-Quran adalah
menerjemahkan makna-maknanya, sehingga
sebagian besar ulama lebih setuju menggunakan istilah terjemahan makna-makna al-Quran.111 Kemudian, upaya peningkatan kualitas terjemahan al-Quran dikembalikan pada kualitas individual yang diserahi tugas untuk menerjemahkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana syarat-syarat mufassir, antara lain: harus memahami secara benar bahasa al-Quran dan bahasa terjemahan, memahami benar gaya dan karakteristik bahasa al-Quran, versi terjemahan harus otentik dan sedapat mungkin sesuai dengan bahasa aslinya, menyempurnakan terjemahan dengan seluruh makna aslinya dan maksud-maksud yang terkandung di dalamnya.112 Demikian selektifnya untuk menentukan makna yang sepadan dalam penerjemahan al-Quran, sehingga penunjukkan tim penerjemah al-Quran versi Departemen Agama juga sangat selektif, terutama penerjemah yang berkompeten
110
Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya, h. v. Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya, h. iii. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi,( Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 323. 112 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qurân (Damsyiq: Maktabah alGhazâliy, 1981), h. 207-208. 111
lxvi
dalam bidang tafsir. Sebab tafsir merupakan referensi utama bagi penetapan makna-makna al-Quran di luar teks al-Quran itu sendiri.
lxvii
BAB III STRATEGI TERJEMAHAN AL-QURAN DEPAG RI
Munculnya berbagai macam ragam dan prosedur terjemahan Arab-Indonesia ditentukan oleh salah satunya adalah jenis teks yang akan diterjemahkan. Kemudian untuk mengetahui adanya proses dan hasil terjemahan itu dapat diketahui melalui penelitian. Penelitian mengenai hasil terjemahan sangat penting terutama untuk menghubungkan teori terjemahan dan prakteknya.113 Kadangkala suatu konsep bisa dan mudah dideskripsikan dalam uraian atau teori. Akan tetapi, bila sudah berada dalam tataran praktek, mungkin sekali konsep-konsep ini sulit dibedakan atau bahkan dikenali secara jelas. Dalam praktiknya, penerjemah memilih beberapa metode yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan. Sebenarnya terjemahan alQuran oleh Depag RI juga berorientasi kepada klien (client oriented) dan itu dapat dibuktikan dengan adanya dua pihak dalam pelaksanaannya, yakni pemerintah selaku pengambil kebijakan dan para pembaca terjemah yang telah memberikan masukan dan saran untuk dilakukan perbaikan pada edisi penerbitan berikutnya. 114 Sehingga atas dasar itu, perbaikan-perbaikan pada beberapa
penerbitan telah dilakukan,
meskipun sifatnya tidak menyeluruh.
113
Peter Newmark, Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 84. Lihat, Sambutan Menteri Agama pada penerbitan al-Quran dan Terjemahnya Depag RI edisi Tahun 2002, h. iii. 114
lxviii
Berkaitan dengan itu, terjemahan al-Quran Depag RI edisi 2002 memiliki strategi terjemahan yang mungkin sama atau berbeda dengan strategi terjemahan alQuran sebelumnya atau dengan penerjemah al-Quran lainnya, hanya kemudian strategi terjemahan itu tidak diinventarisir secara terperinci, termasuk juga saransaran yang masuk guna perbaikan terjemahan al-Quran edisi baru itu.115 Oleh karena itu, pada bab ini strategi terjemahan al-Quran oleh Depag RI perlu dilakukan analisis berdasarkan bahasa aslinya kemudian dibandingkan dengan bahasa Indonesia sebagai Bsa. Sehubungan sistem yang digunakan dalam kedua bahasa tersebut mengandung perbedaan, maka dalam bab ini, penulis menjelaskan analisis strategi terjemahannya menurut analisis kontrastif pada
strategi struktural. Oleh
karena itu bab ini dimulai dari perbandingan fungsi sintaksis Bsu dan Bsa, kemudian analisis strategi struktural dan diakhiri dengan analisis strategi semantis. Fungsi Sintaksis Bsu dan Bsa A. Terjemahan al-Quran merupakan salah satu jenis teks yang harus dilakukan suatu analisis. Karena secara ideal teks Bsu dan teks Bsa merupakan teks-teks yang harus dipersamakan secara fungsional. Semakin mudah dua teks itu dibandingkan, maka makin mudah pula dalam menentukan strategi menerjemahkan teks Bsu. Karena itu, analisis yang digunakan adalah analisis kontrastif (anakon) yang dilakukan melalui dua langkah: Pertama, deskripsi B¹ dan B², dan kedua perbandingan antara keduanya. 116 Untuk mengetahui deskripsi bahasa, maka kategori-kategori bahasa hendaknya dikaji dan dipahami terlebih dahulu. Pemahaman “kontras”, yang dapat didefinisikan sebagai “perbandingan dilihat dari latar belakang kesamaannya atau perbedaannya. Dan perbedaan merupakan variabel yang diperhatikan oleh analisis kontrastif. 115
Ahsin Sakho Muhammad, “Aspek-aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama ”, Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 3, No. 1 (Januari 2005), h. 157. 116 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa (Bandung: Angkasa, 1992), h, 133.
lxix
Di antara model analisis kontrastif untuk tujuan komparasi adalah analisis struktural. Analisis ini berangkat dari asumsi bahwa membandingkan dua bahasa secara keseluruhan itu tidak mungkin. Karena itu asumsi yang dibangun adalah bahwa bahasa itu pada hakikatnya “system of system”, misalnya fonologi, morfologi dan sintaksis. Sintaksis merupakan sistem bahasa yang dibandingkan secara praktis dalam terjemahan. Makna-makna bahasa apapun dapat dilacak dengan instrumen ini melalui relasi-relasi struktur bahasa yang ada. Oleh karena itu, al-Jurjâniy melalui teori al-Nazm (konstruksi) dalam bukunya Dalâ`il al-I’jâz menyimpulkan bahwa bahasa bukanlah semata-mata kumpulan dari kosa kata melainkan kumpulan dari sistem relasi.117 Penjelasan kata dalam hubungannya dengan kata lain atau unsur-unsur lain sebagai suatu ujaran dibicarakan dalam sintaksis yang membahas fungsi dan kategori kata dalam bahasa tertentu. Dalam bahasa Arab, makna sebuah kalimat hanya bisa dipahami melalui hubungan antarkata pada kalimat itu. Menurut al-Fadliy, setiap kata dalam kalimat memiliki tempat tertentu yang selaras dengan kaidah pembentukan kalimat.118 Pada posisi itulah sebuah kata menjalankan fungsinya melalui hubungannya dengan kata lain yang memiliki fungsi dan posisi yang juga lain dalam kalimat itu. Peran kata dalam kalimat bahasa Arab ditunjukkan oleh i’râb, yaitu vokal pendek dan panjang yang dilambangkan dengan tanda dammah, fathah, kasrah, alif, waw dan yâ`. Menurut Badri, struktur sintaksis dalam bahasa Arab terdiri dari enam macam fungsi, yaitu musnad ilaih, musnad, mukammil, tâbi’, râbit dan tahwîl dengan berbagai subfungsinya. 119 1. Musnad Ilaih 117
‘Abd al-Qâhir al-Jurjâniy, Dalâ`il al-I’jâz (Kairo: ‘Abd al-Salam Harun, t.t.), h. 12. Al-Fadliy, Dirâsah fi al-I’râb (Jeddah: Tihamah, 1984), h. 108. 119 Kamal Badri, Binyah al-Kalimât wa Nazm al-Jumlah Mutabbaqan ‘alâ al-Lughah al‘Arabiyyah al-Fushâ- (Jakarta: LIPIA, 1986), h. 26. 118
lxx
Musnad Ilaih ialah kata atau frase yang disandari oleh musnad. Menurut al-Ghalayainiy,120 fungsi ini dapat ditempati oleh beberapa subfungsi, di antaranya fâ’il, nâ`ib al-fâ’il, mubtada`, ism kâna, ism inna dan ism lâ. Subfungsi ini tidak jauh berbeda dengan konsep peran di dalam linguistik umum. Sementara itu, kategori kata yang dapat menempati fungsi (N). Musnad Ilaih ialah ism atau nomina Contoh: = Muhammad membeli buku = Buku itu telah dibeli = Matahari terbit = Guru itu berilmu = Sungguh Allah Mahakuasa = Tak ada seseorang di rumah itu
(اﺵي آﺏ1) بK(اﺵي ا2) :+ w 3(ا3) A (آن ا رس4) 6 (إن ا5) اار7@ L رF(6)
Berdasarkan contoh-contoh di atas, semua kata yang bergaris bawah adalah berkategori ism atau nomina (N) yang menempati fungsi sebagai Musnad Ilaih atau Subyek (S) dengan subfungsinya sebagai fâ’il (1), nâ`ib alfâ’il (2), mubtada (3), ism kâna (4), ism inna (5) dan ism lâ (6). 2. Musnad Musnad ialah kata atau frase yang menerangkan musnad ilaih dan yang bersandar padanya. Fungsi ini dapat ditempati oleh fi’l, ism fi’l, khabar, khabar kâna, khabar inna dan khabar lâ. Kategori yang menempati fungsinya adalah ism atau nomina (N) dan fi’l atau verba (V). Contoh: = Muhammad memuliakan tamu = Kabulkanlah ! 120
[(أآم ﺽ1) ! B '(2)
Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1984), jilid 1, h. 13.
lxxi
:+ w 3(ا3) a. = Puasa membersihkan jiwa س1[م < ا1& اb. = Mahasiswa itu giat اD<(آن ا4) = Sungguh Muhammad orang yang sukses (إن ا ﻥ5) = Tak ada seorang pembicara kebenaran itu penakut ﺡ نLﺉ6 F(6) = Matahari terbit
Berdasarkan contoh-contoh di atas, semua kata yang bergaris bawah dalam struktur sintaksis adalah berfungsi sebagai Musnad atau Predikat (P) dengan dua kategori yaitu ism (nomina) dan fi’l (verba). Kategori nomina (N) terletak pada subfungsi khabar (3a), khabar kâna (4), khabar inna (5) dan khabar lâ (6), sedangkan kategori verba (V) terletak pada subfungsi fi’l (1), ism fi’l (2),121 khabar (3b). 3. Mukammil Mukammil adalah kata atau kelompok kata yang melengkapi informasi yang disampaikan oleh musnad dan musnad ilaih. Adapun subfungsinya adalah al-mafâ’il al-khamsah, keterangan keadaan dan keterangan penjelas. Sedangkan kategorinya adalah ism atau nomina (N). Contoh:
(@ ﺥ اب1) = Aku benar-benar bangun 6 5 6(2) = Kamu datang karena cinta ilmu X : ا7@ ر52 (3) = Aku pergi di malam hari G ("@ت4) = Aku berjalan bersamaan dengan malam L ("ت وا5) " 7 أﺏM (ر6) = Ayahku pulang dengan selamat = Telah datang sebelas siswa ا3A ( ء أﺡ7) = Khalid membuka pintu
121
Ism Fi’l terbagi menjadi tiga: (1) Ism Fi’l Mâdi (perfektif), seperti هتartinya “mustahil”, (2) Ism fi’l mudâri’ (imperfektif), seperti أفartinya “ah” (suatu ungkapan susah), (3) Ism fi’l Amr (imperatif), seperti Z ﺹartinya “diamlah”. Lihat, al-Ghalâyainiy, jilid 1, h. 157.
lxxii
Dari contoh-contoh yang bergaris bawah di atas, dapat diketahui bahwa kata-kata tersebut berkategori ism atau nomina (N) yang memberikan informasi bagi kejelasan musnad ilaih (S) atau musnad (P). Kata yang bergaris bawah pada (1) menjelaskan (P), (2) menjelaskan (P), (3) menjelaskan (P), (4) menerangkan (P), (5) menerangkan (S), (6) menerangkan (S) dan (7) menerangkan (S). 4. Tâbi’ Tâbi’ adalah kata yang menerangkan musnad ilaih (S). Subfungsinya terdiri dari na’t, badal, taukîd dan ataf. Seperti halnya mukammil, kategori tâbi’ berupa nomina. Contoh:
اD<( ء ا1) [& ا( ﻥ5 (وﺹ2) = Telah sampai sebagian kabilah (suku) = Kamu benar-benar datang 5 أﻥ52 (3) Fatimah dan Aisyah pergi ke " ا ر7 ا3ﺉA و+@ 5(ذه4) = Telah datang mahasiswa yang giat
=
sekolah Dari beberapa contoh di atas, kata-kata yang bergaris bawah berfungsi menerangkan musnad ilaih (S) dan musnad (P). Semua kata yang bergaris bawah dari (1) hingga (4) menerangkan (S) yang berkategori nomina. Keempat subfungsi di atas, hanya taukid yang bisa berkategori lebih, yaitu berupa partikel, nomina, verba dan klausa. 122 5. Râbit Râbit ialah kata yang berfungsi menghubungkan kata atau kelompok kata yang memiliki fungsi-fungsi di atas. Subfungsinya terdiri dari kata sarana , harf al-‘atf (konjungtif), harf al-istitsnâ’ (eksepsi). (preposisi) harf al-jarr
122
Al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid 3, h. 232.
lxxiii
Contoh: = Ibuku duduk di atas kursi 7"Kا
= Orang-orang
7 A 7 أ5- (1) = Aku makan lalu minum 5 ﺵﺏX 5 (أآ2) Islam shalat di ] F إ- ا7@ ن1 - ا7 (ﺹ3) masjid kecuali orang yang sakit.
6. Tahwîl Tahwîl ialah kata yang berfungsi mengubah kalimat deklaratif (kalâm itsbât) menjadi kalimat yang bermakna non deklaratif. Kata-kata yang berfungsi demikian disebut dengan kata sarana (partikel) yang tidak memiliki makna leksikal (ma’nâ mu’jamiy), tetapi makna fungsi (ma’nâ wazîfiy). Karena itu setiap kata sarana tidak dapat mempunyai makna tersendiri selama tidak berhubungan dengan kelas kata lainnya, seperti nomina maupun verba. Perlu diketahui di sini, bahwa kata sarana yang berfungsi sebagai pengubah kalimat deklaratif harus dibedakan dengan kata sarana yang berfungsi sebagai penghubung kata, klausa bahkan kalimat. Kata sarana yang berfungsi sebagai penghubung telah dijelaskan pada nomor sebelumnya yang terdiri dari preposisi (harf al-Jarr), kata sarana konjungtif (harf al-‘atf) dan kata sarana pengecualian (adâh al-Istitsnâ’). Kata sarana yang berfungsi sebagai penghubung itu, Hassân menamakannya kata sarana pokok atau alAdâh al-Asliyyah dan kata sarana pengubah atau al-Adâh al-Muhawwilah bagi kata sarana lainnya yang berfungsi sebagai pengubah makna kalimat deklaratif menjadi makna kalimat lainnya dinamakan. 123
123
Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, (Kairo: ‘Âlam alKutub, 1998), h. 123.
lxxiv
Kemudian, Hassân menyebutkan bahwa terdapat 15 (partikel) yang dapat berfungsi sebagai pengubah makna kalimat deklaratif menjadi kalimat lain, seperti yang terlihat dalam bagan berikut:124
ات1أﺹ تFإﺥ ح أو &@إ
ذم D:
U"Fأداة اﺏ وا
U"ﻥﺏ وا
X-(أداة ا
X-6
ط3أداة ا
7ﻥK إ
F1 و1
7A ا
أداة ااء
ﻥاء
7 أداة ا
ج
7 أداة ا
B
]أداة ا
]
ح
ﺵط
إ ا
D:أداة ا
D +
ض ض:أداة ا
ضA
7أداة ا
7ﻥ
U& واPم اGﺏ
أ
124
Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, h. 124.
lxxv
"[مFأداة ا
ا"[م
ی
أداة اآ
آ
7[أداة ا
7[ﻥ إت
Berdasarkan bagan di atas, pada intinya semua kalimat Bsu baik khabariyyah maupun insyâ`iyyah
tersusun atas dua unsur pokok, yaitu S
(musnad ilaih) dan P (musnad) sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dua unsur pokok itu yang nantinya akan dimasuki oleh salah satu kata sarana (partikel) yang selanjutnya, akan mengubah makna kalimat semula.
, B , F , Misalnya, sebuah kalimat dimasuki kata sarana negatif, seperti maka kalimat tersebut menjadi kalimat negatif (jumlah manfiyyah). , atau X // Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. ون: A أFContohnya: atau
أن, إنKalimat yang dimasuki kata sarana asertif (penegas), seperti
maka kalimat tersebut menjadi kalimat asertif (jumlah mu`akkadah). // Sesungguhnya Safa dan Marwah
إﻥ
ﺉ ا: ﺵB إن ا&[ وا وةContohnya: bagian dari syi’ar (agama) Allah.
dan
B , , LهKalimat
yang dimasuki kata-kata tanya, seperti
sebagainya maka kalimat tersebut menjadi kalimat tanya (jumlah istifhâmiyyah). // Apakah orang buta sama dengan
& وا7 APي ا1- LهContohnya: orang yang melihat?.
Kalimat perintah (jumlah al-Amr) atau imperatif dapat dinyatakan dengan partikel lâm dan verba mudâri’ atau bisa dengan menggunakan verba bentuk // Hendaklah orang yang
Z:" B :"[ ذوperintah.
Contohnya:
mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya. Atau bisa juga lxxvi
ﻥ- إﺡBا1وﺏdengan masdar
sebagai pengganti verba imperatif seperti:
atau bisa juga menggunakan kata yang berkategori nomina tetapi fungsinya . B 'sebagai verba imperatif seperti: .
FKalimat
larangan (jumlah al-Nahy) dapat dinyatakan dengan partikel // janganlah berbuat kerusakan.
ُِوا-ْ[ُ FContohnya:
Kata sarana yang berfungsi untuk menyatakan sindiran (al-‘Ard) atau // Apakah
ْXُKَ ُZz ْ[َِ اUَ ْنَ أَن1ُِ Fَأ. Contohnya : Fأanjuran (al-tahdîd) seperti kamu tidak suka bahwa Allah mengampuni kamu?.
Kata sarana yang berfungsi untuk menunjukkan kalimat yang menyatakan
َ7َِ َ أُوLْ=ِ ََ َ5َْ َ. Contohnya: 5angan-angan (al-Tamanniy) antara lain // Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah َُرُون6 diberikan kepada Karun. Kemudian, kata sarana yang digunakan untuk menunjukkan kalimat yang // agar َن1ُ(zَ ْXُKz َ:َ. Contohnya: L:menyatakan harapan (al-Tarajjiy) antara lain kamu bertakwa. Kemudian partikel yang digunakan untuk kalimat panggilan (al-Nidâ`) // hai manusia.
ُسz َ أََ ا. Contoh:antara lain
Sedangkan partikel yang digunakan untuk menyatakan makna kalimat
Zُ z َ َُ اKُ Fْ1َ seperti F1syarat (jumlah syartiyyah) antara lain // ْا1َ(zا وَا1َُ ' ْXُzْ أَﻥ1ََ وseperti 1Allah tidak berbicara dengan kita; dan partikel // Mengapa
Dan jika mereka benar-benar beriman dan bertakwa. Kata sarana yang berfungsi untuk menyatakan kalimat sumpah (al-Qasam) // Demi masa.
ْ&َ:ْوَا, seperti contoh وantara lain
lxxvii
Selanjutnya, kata sarana yang digunakan untuk menyatakan kalimat seru // Wahai Khalid. Cﺥا
واseperti contoh: (واal-Nudbah) antara lain
Dan partikel yang digunakan untuk menunjukkan makna interjektif (al// Alangkah indahnya ء-ا
B- أﺡseperti dalam kalimat
Ta’ajjub) adalah langit itu?
Melalui penjelasan tentang struktur fungsi B¹, yaitu bahasa Arab secara deskriptif di atas, maka perlu dilakukan satu perbandingan dengan struktur fungsi B², yaitu bahasa Indonesia. Perbandingan yang hendak dilakukan harus mengacu kepada tujuan untuk mencari persamaan dan perbedaan sebagai instrumen dalam penentuan strategi terjemahan al-Quran. Untuk mengetahui perbandingan kedua bahasa itu, penulis memulai dengan membandingkan unsur-unsur kalimat Bsu dan Bsa. Unsur kalimat adalah fungsi sintaksis yang dalam buku-buku tata bahasa Indonesia lazim dikenal dengan sebutan jabatan kata atau peran kata, yaitu subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel) dan keterangan (Ket). Di antara kelima fungsi sintaksis ini yang merupakan keharusan dalam satu kalimat bahasa Indonesia adalah fungsi S dan P.125 1. Subjek (S) Subjek (S) adalah bagian kalimat yang menunjuk pada pelaku, tokoh, sosok (benda), sesuatu hal, atau suatu masalah yang menjadi pokok pembicaraan. Ia diisi oleh sebagian kategori kata atau frasa nominal, klausa dan frasa verbal. Contoh: (a) Ayahku sedang membaca
125
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2007), h. 126.
lxxviii
(b) Meja direktur besar (c) Yang berpakaian batik dosen saya (d) Berjalan kaki menyehatkan badan (e) Membangun jalan layang sangat mahal Kata-kata yang dicetak tebal pada kalimat (a) sampai (e) adalah S. Contoh (a) dan (b) adalah S yang diisi oleh kategori kata atau frasa benda (nomina); (c) adalah S yang diisi oleh kategori klausa; sedangkan (d) dan (e) adalah S yang diisi oleh frasa verbal. 2. Predikat (P) Predikat (P) adalah bagian kalimat yang memberi tahu melakukan apa Satuan bentuk
atau dalam keadaan bagaimana S di dalam suatu kalimat.
yang mengisi P dapat berupa kata atau frasa, sebagian besar berkelas verba atau ajektiva, tetapi dapat juga numeralia, nomina atau frasa nominal. Contoh: (a) Ayam berkokok (b) Adik sedang tidur siang (c) Putrinya cantik jelita (d) Daerah itu dalam keadaan aman (e) Kucingku belang tiga (f) Sastro mahasiswa baru (g) Mobil Pak Hermawan lima Kata-kata yang dicetak tebal dalam kalimat (a) hingga (g) memberitahukan S. Hanya saja P yang memberitahukan S pada kalimat (a) dan (g) berupa kata verbal dan numeral dan selain dua kalimat itu P diisi oleh frasa atau kelompok kata (sedang tidur siang, cantik jelita, dalam keadaan aman, belang tiga, mahasiswa baru).
lxxix
3. Objek (O) Objek (O) adalah bagian kalimat yang melengkapi P. Objek pada umumnya diisi oleh nomina, frasa nominal atau klausa. Letak O selalu di belakang P yang berupa verba transitif, yaitu verba yang menuntut wajib adanya O. Contoh: (a) Petani menimbang ... (b) Arsitek merancang .... (c) Juru masak menggoreng... Verba transitif menimbang, merancang, menggoreng pada contoh di atas adalah P yang menuntut untuk dilengkapi. Adapun unsur yang akan melengkapi P bagi ketiga kalimat di atas itulah yang dinamakan objek. 4. Pelengkap (Pel) Pelengkap (Pel) atau komplemen adalah bagian kalimat yang melengkapi P. Letak Pel umumnya di belakang P yang berupa verba. Pel sama dengan O dalam posisinya dalam kalimat juga kategori kata yang mengisinya, yaitu nomina, frasa nominal, atau klausa. Namun demikian keduanya tetap ada perbedaan. Contoh: (a) Pimpinan upacara // membacakan // Pancasila O
P
S
(b) Banyak partai politik // berlandaskan // Pancasila Pel
P
S
Kedua kalimat tersebut dapat dibedakan dengan cara kalimat itu dibuat kalimat pasif, sehingga kalimat (a) menjadi Pancasila dibacakan oleh Pimpinan upacara dan kalimat (b) menjadi Pancasila dilandasi oleh banyak
lxxx
partai politik. Kalimat (b) yang mengandung Pel. Itu tidak bisa diubah menjadi kalimat pasif, kalaupun bisa kalimat tersebut termasuk kalimat yang tidak gramatikal. Di samping itu, Pel tidak selalu berada di belakang O, jika kalimat itu sudah memenuhi pola yang lengkap, yaitu pola S-P-O-Pel. 5. Keterangan (Ket) Keterangan (Ket) adalah bagian kalimat yang menerangkan berbagai hal mengenai bagian kalimat yang lainnya. Ket dapat berfungsi menerangkan S, P, O dan Pel. Posisinya bersifat manasuka, dapat di awal, di tengah, atau di akhir kalimat. Kategori yang dapat diisikan pada unsur ini adalah frasa nominal, frasa preposisional, adverbia atau klausa. Berdasarkan maknanya dalam kalimat, para ahli membagi Ket atas sembilan macam, yaitu: Ket. Tempat (dari rumah), Ket. Waktu (sekarang), Ket. Alat (dengan gunting), Ket. Tujuan (demi orang tuanya), Ket. Cara (dengan hati-hati), Ket. Penyerta (dengan teman-temannya), Ket. Similatif ( (bagaikan pengacara), Ket. Penyebab (karena malas belajar) dan Ket. Kesalingan (satu sama lain).126 Berdasarkan deskripsi fungsi sintaksis dua bahasa, yaitu Bsu dan Bsa, maka dapat diketahui perbandingan keduanya sebagaimana yang tertulis dalam tabel berikut:
Tabel 1 Perbandingan Fungsi Sintaksis Bsu dan Bsa
Fungsi Sintaksis Bsu
Fungsi Sintaksis BSa
126
Lihat, Hasan Alwi (Ed.), Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 366.
lxxxi
Fungsi dan Sub
Kategori
(1)
Fungsi
(2)
(3)
Musnad Ilaih:
- Ism
fâ’il, nâ`ib al-fâ’il, mubtada`,
-Murakkab:
ism kâna, ism inna dan ism lâ
Kategori (4) - nomina
Subjek (S)
- Frasa nominal
wasfiy,
idâfiy,
- Klausa
mausûliy
(ismiy
- Frasa Verbal
dan harfiy)
(1)
(2)
(3)
Musnad:
- Ism
fi’l, ism fi’l, khabar, khabar
- fi’l
dan
- Murakkab
kâna,
khabar
inna
(4)
Predikat (P)
-
kata
(nominal,
ajektiva, verbal) - frasa
khabar lâ Mukammil:
Ism
- nomina
Objek (O)
al-mafâ’il al-khamsah, hâl
- frasa nominal
(keterangan keadaan), tamyîz
- klausa
(keterangan penjelas) Tabi:
Ism
na’t, badal, taukîd dan ‘ataf - nomina
Pelengkap (Pel)
- frasa nominal - klausa Rabit:
Keterangan
- frasa nominal
Zarf (keterangan waktu dan
(Ket)
-frasa preposisional
tempat),
harf
, harf al-‘Atf
al-Jarr
- adverbia
(preposisi)
- klausa
(konjungtif), harf al-Istitsnâ` (eksepsi)
Berdasarkan tabel di atas, maka fungsi sintaksis Bsu dapat dianalogikan bahwa fâ’il, nâ`ib al-fâ’il, mubtada`, ism kâna, ism inna dan ism lâ menjadi (S) dalam Bsa , fi’l, ism fi’l, khabar, khabar kâna, khabar inna dan khabar lâ
lxxxii
menjadi (P), maf’ûl bih menjadi (O) dan selain itu bisa masuk pada (Pel) atau (Ket). Sedangkan kategori Bsu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu ism, fi’l, Zarf, âdawât dan al-khawâlif. Dan yang kategori yang terakhir ini tidak dimasukkan ke dalam empat kategori sebelumnya. 127 Karena itu kategori Bsu dan Bsa dapat diperbandingkan melalui tabel berikut: Tabel 2 Perbandingan Kategori Bsu dan Bsa Bsu Kategori
Ciri
BSa
Kategori
dan Rumpun
Ciri
dan Rumpun
(1)
(2)
(3)
(4)
Ism :
Dapat dibubuhi tanda
Nomina :
Dapat diingkari dengan
Nama, sifat dan
penunjuk jumlah, jenis,
Nomina,
kata bukan, diikuti oleh
kata ganti
definitif, vokal rangkap
pronomina,
gabungan
dan preposisi
numeralia,
kata
kata
sifat
yang+
atau
yang
sangat + kata sifat Fi’l : Verba
perfektif,
impefektif
Dapat diubah menurut waktu
dan
dan
aspek
melalui afiksasi
imperatif
Verba :
Dapat
diberi
aspek
Verba asal, verba
waktu
(akan,
sedang,
turunan,
verba
telah), dapat diingkari
reduplikasi, verba
dengan kata tidak, dapat
majemuk,
verba
diikuti oleh gabungan
berpreposisi
kata dengan+ nomina atau sifat
Zarf: Zarf
penunjuk
waktu dan tempat
Tidak dengan
dapat
diubah
Adverbia:
proses
Memberi pada
morfologis
verba,
keterangan ajektiva,
nomina predikatif atau kalimat
Adâwât :
Tidak mempunyai arti
127
Kata Sarana:
Tidak mempunyai arti
Lihat, Kamal Badri, Binyah al-Kalimât wa Nazm al-Jumlah Mutabbaqan ‘alâ al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Fushâ, h. 10-25.
lxxxiii
Kata
konjungtif
dan transformator
leksikal,
kecuali
berkaitan dengan kata lain
Kata depan, kata
leksikal,
kecuali
sambung,
kata
berkaitan dengan kata
seru, kata sandang
lain
dan partikel
Dari semua kategori di atas, ada satu kategori Bsa yang tidak bisa dibandingkan dengan lima kategori Bsu, yaitu kata sifat. Kata sifat Bsa memiliki ciri: (1) dapat diberi kata keterangan pembanding seperti lebih, kurang dan paling, (2) dapat diberi kata keterangan penguat seperti sangat, amat, benar dan terlalu dan (3) dapat diingkari dengan kata ingkar tidak atau bukan.128 Meskipun demikian, karena fungsinya untuk menerangkan sifat, keadaan, watak, tabiat orang atau suatu benda, maka kategori ini dapat dipadankan dengan kategori ism dengan rumpun sifat.
B. Strategi Struktural Ragam atau metode terjemahan merupakan petunjuk teknis yang masih umum. Sedangkan prinsip-prinsip terjemahan merupakan acuan umum. Semuanya itu hendaknya dipertimbangkan pada level keseluruhan teks atau wacana terjemahan. 129
128
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 80. Bentuk-bentuk terjemahan berdasarkan jenis teks yang diterjemahkannya, menurut ‘Abd al-Ghaniy dapat dikelompokkan ke dalam empat bentuk, al-Tarjamah al-Adabiyyah, al-Tarjamah alSya’biyyah, al-Tarjamah al-‘Ilmiyyah, atau disebut juga al-Tarjamah al-Sinâ’iyyah wa al-Taqniyyah, al-Tarjamah al-‘Âdiyyah. Lihat, ‘Abd al-Ghaniy ‘Abd al-Rahmân Muhammad, Dirâsah fi Fanni alTa’rîb wa al-Tarjamah (Ttp, t.p. t.t.), h. 72-74. Al-Jailâniy menambahkan dua bentuk terjemahan, yaitu al-Tarjamah al-Âliyah dan al-Tarjamah al-Qur’âniyyah. Lihat, Ibrâhîm Badâwi al-Jailâniy, ‘Ilm al-Tarjamah wa Fadlu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘alâ al-Lughât (Kairo: al-Maktab al-‘Arabiyy li alMa’ârif, 1997), h. 70-74. Juga Salihen Moentaha mengelompokkan jenis teks ke dalam lima ragam, yaitu: 1) ragam sastra dengan subragam: prosa, puisi dan drama, 2) jurnalistik dengan subragam: oratoria, esai dan artikel, 3) koran/ surat kabar dengan subragam: editorial, headline, iklan, pengumuman, 4) ilmiah dengan subragam: rangkaian ujaran, pola kalimat, nukilan, catatan kaki (footnote) dan 5) dokumen resmi dengan subragam: dokumen undang-undang, dokumen militer, diplomatik dan bisnis. Lihat, Salihan Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Bekasi Timur, Kesaint Blanc, 2006), h. 30. 129
lxxxiv
Tuntunan teknis untuk menerjemahkan kata, kelompok kata atau kalimatkalimat dalam suatu teks atau wacana disebut dengan strategi terjemahan. Dalam beberapa literatur terjemahan, sebagian pakar menggunakan istilah prosedur terjemahan (translation procedures) dan teknik terjemahan. Ada dua macam strategi dalam terjemahan, yaitu strategi yang berkenaan dengan struktur kalimat (strategi struktural) dan strategi yang berkaitan dengan makna (strategi semantis). Strategi yang dilakukan dalam terjemahan Bsu yang berkaitan dengan struktur kalimat adalah transposisi. Newmark mengemukakan bahwa transposisi merupakan prosedur atau strategi terjemahan yang berkaitan dengan aspek gramatikal dari BSu ke dalam BSa.130 Sementara Kridalaksana menganggap transposisi sebagai proses atau hasil perubahan fungsi atau kelas kata tanpa penambahan apa-apa.131 Dengan demikian, yang dimaksud transposisi dalam uraian di sini ialah bentuk-bentuk perubahan fungsi sintaksis dan kategori kata dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Adanya persamaan dan perbedaan fungsi dan kategori sintaksis Bsu dan Bsa telah menjadi acuan utama dalam menentukan pola-pola transposisi dalam strategi terjemahan. Untuk menunjukkan kesamaan pola Bsu dan Bsa, penulis menggunakan tanda = (sama dengan). Sedangkan untuk menunjukkan perbedaan Bsu dan Bsa yang kemudian dilakukan pengalihan fungsi dan kategori, penulis menggunakan tanda →. Sehubungan data yang hendak dianalisis adalah terjemahan al-Quran Depag RI, maka pola-pola kalimat Bsu yang penulis ambil adalah surah alBaqarah,
kemudian penulis bandingkan melalui persamaan dan perbedaan
dengan Bsa. Dari sinilah akan nampak strategi terjemahan strukturalnya baik melalui padanan maupun melalui transposisi atau pengalihan fungsi dan kategori. 130 131
Newmark, Textbook of Translation, h. 85. Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 220.
lxxxv
Padanan Fungsi dan Kategori dalam Strategi Terjemahan 1. Padanan fungsi dalam terjemahan sangat berpengaruh terhadap kemudahan dalam menerjemahkan teks Bsu. Sehingga, jika dilihat dari bentuk dan formalnya, terjemahan yang muncul seperti terjemahan harfiyah atau kata demi kata. Adapun padanan fungsi yang penulis peroleh dari terjemahan al-Quran Depag RI adalah sebagai berikut: S + P = S + P a.
َن1ُ َ ْ:َ (R)
ْXَُْأَﻥ
(و1)
S (I) P (Fi+Fa)
Padahal // kamu // mengetahui// P (V)
S (N)
(KS)
Zz (ِ ْ^َ ﺡُُودُ ا2) S (I)
P (M)
Allah// Itu // ketentuan P (FN)
S (N)
Pola kalimat di atas adalah termasuk kalimat dasar yang paling sederhana (jumlah basîtah) yang terdiri dari S+P. Meskipun terdapat perbedaan dalam kategorinya, Bsu tetap diterjemahkan seperti pola Bsa. Strategi ini lazim digunakan untuk menerjemahkan Bsu yang digolongkan pada struktur jumlah ismiyyah, yaitu klausa atau kalimat yang terdiri dari mubtada` dan khabar baik khabar tunggal seperti contoh (2) pada ayat 187 dan 229 surah al-Baqarah, maupun khabar non tunggal seperti contoh (1) pada surah yang sama ayat 22 dalam bentuk klausa dengan dua kategori, yaitu fi’l dan ism. 132 Pola Bsu S+P sepadan dengan pola S+P
132
Ism dalam klausa ini perannya sebagai fâ’il (pelaku). Pelakunya berupa pronomina eksplisit (damîr bâriz).
lxxxvi
Bsa, karena Bsa hanya memiliki satu pola, yaitu S+P, baik dalam kalimat tunggal maupun kalimat majemuk. S + P + O = S + P + O b.
َِِ-ْ[ُ ْا R
ُXَ ْ:َ
ُZz َا
S(I) P (Fi+S)
و
O (I)
Allah // mengetahui // orang yang berbuat kerusakan // O (F)
P (V)
S (N)
Contoh ayat di atas terdapat pada ayat 220 surah al-Baqarah. Pola kalimat di atas dapat digolongkan sebagai kalimat lengkap yang terdiri dari S+P+O dengan struktur kalimat dengan pola jumlah ismiyyah. Predikat Bsu dan Bsa sama yaitu berupa verba transitif aktif, sehingga susunan terjemahannya sepadan, yaitu S+P+O. Perbedaan keduanya terletak pada predikat, yakni predikat Bsu mengandung S implisit berupa pronomina persona ketiga tunggal yang mengacu kepada S, sedangkan Bsa tidak menyatakannya. c. P + S = P + S
ُِْبUَ ْوَ ا P (F)
ُِْق3َ ْا
ِZz ِ
S (N)
Milik // Allah-lah // timur // dan barat S (N)
P (V)
Contoh di atas terdapat pada ayat 142 surah al-Baqarah. Pola Bsu dan Bsa di atas sama, yakni P+S. Kalimat yang mengikuti pola inilah yang kemudian dinamakan kalimat inversi.133 Perbedaan keduanya terletak pada P dan S, yakni P Bsu menggunakan frasa partikel yang terdiri dari partikel 133
Kalimat inversi adalah kalimat yang P-nya mendahului S. Urutan P-S dipakai untuk penekanan atau ketegasan makna. Kata atau frasa tertentu yang mendahuluinya akan menjadi kata kunci yang mempengaruhi makna dalam hal menimbulkan kesan tertentu. Contoh: Telah meninggal si A pada jam 22.00 di rumah sakit. Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h, 146.
lxxxvii
lâm dan nomina Allâh; sedangkan P Bsa menggunakan verba milik. Sebenarnya antara partikel lâm dengan verba milik terdapat kesesuaian makna, karena partikel lâm pada contoh di atas mengandung makna kepemilikan (li al-milk).134 Kemudian, S Bsu menempati pada kata alMasyriq sedangkan S Bsa menempati pada kata Allah. Untuk menunjukkan ketegasan makna dalam kalimat inversi di atas, maka partikel –lah diletakkan pada P Bsu yang terdiri dari partikel dan nomina. Contoh yang sama juga ditemukan pada ayat 284 surah al-Baqarah berikut // Milik Allah-lah apa yang ada
ِ اَْرْض7ِ@ َ َ َوَاتِ وz- ا7ِ@ َ ِZz ِini: di langit dan apa yang ada di bumi.
Transposisi Fungsi dan Transformasi Kategori sebagai Strategi Terjemahan 2. Penelitian tentang transposisi melalui linguistik komparatif dan kontrastif akan mempermudah penerjemah dalam memilih alternatif struktur Bsa yang paling tepat dalam mengungkapkan sebuah makna. Prosedur transposisi menjadi lebih penting lagi karena strukturlah yang akan mewadahi padanan-padanan yang dihasilkan oleh prosedur atau strategi terjemahan. Terjemah al-Quran Depag RI juga sebagai karya terjemahan menggunakan prosedur itu. Berdasarkan data yang dikumpulkan, maka terdapat tiga strategi transposisi dengan pola-pola sebagai berikut: P + S + O → S + P + O a.
ا1َُ ' َBِ zَ و َا S (Fa)+P (Fi)
Zz ا
O (I)
َن1ُAَُِد (R)
O2
Mereka // menipu // Allah // dan // orang-orang yang beriman// O2 (FV)
KS O1 (N)
134
P (V)
S (N)
Lihat, Muhammad ‘Ali Sultâniy, al-Adawât al-Nahwiyyah wa Ma’ânîhâ fî al-Qurân alKarîm (Suriah: Dâr al-‘Asmâ`, 2000), h. 13 dan Al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid 3, h. 183.
lxxxviii
Pola kalimat Bsu (P+S+O) diubah fungsinya dalam Bsa menjadi (S+P+O). Pola (P+S+O) dalam bahasa Arab dinamakan dengan jumlah fi’liyyah, yaitu stuktur kalimat yang terdiri dari fi’l dan fa’il. Pengalihan fungsi tersebut dimaksudkan supaya terjemahan berterima maksud yang dikandungnya juga berterima dengan pembaca Bsa. Pengalihan P+S+O → S+P+O ini merupakan suatu keharusan dalam terjemahan, apabila terjemahan itu tidak sesuai dengan makna atau maksud yang dikandung dalam teks Bsu. Seperti terjemahan ayat di atas: mereka menipu Allah jika terjemahan
ini
dipadankan
dengan
teks
Bsu-nya
maka
bunyi
terjemahannya menipu mereka Allah. Terjemahan semacam ini mungkin berterima oleh pembaca Bsa dengan menggunakan intonasi: menipu mereka, Allah, sehingga makna teks itu “Allah-lah yang menipu mereka”. Dan ini berlawanan dengan makna teks Bsu, yaitu mereka menipu Allah. b. P + S → P
َ7َِ ْ:ِﻥ
(اذْآُُوا1)
S (Fa)+ P (Fi) O (FN) Ingatlah // nikmat-Ku// O (FN)
P
َ5ْأَﻥ
ْBُKْ"(ا2)
S+P
S
Tinggallah // engkau // S
P
Pola kalimat Bsu (P+S) diubah fungsinya dalam Bsa menjadi (P). Pengalihan fungsi itu dilakukan pada kalimat verbal yang menggunakan verba imperatif (fi’l al-amr). Setiap verba imperatif Bsu mengandung S persona kedua, baik persona tunggal, dual maupun jamak. S persona
lxxxix
kedua jamak seperti pada ayat 45, yaitu contoh (1) S dieksplisitkan, dan persona kedua tunggal seperti pada ayat 35, yaitu contoh (2) S diimplisitkan. Persona kedua baik tunggal, dual maupun jamak dalam kalimat verbal imperatif harus dihilangkan dalam Bsa, karena Bsa tidak memerlukan kehadiran S.135 Sementara contoh (2) terdapat S secara eksplisit, yaitu engkau tetap dan harus diterjemahkan dalam Bsa, karena apabila dalam sebuah kalimat atau klausa terdapat dua S, yang satu eksplisit dan yang lainnya implisit maka S implisit yang harus dihilangkan. Dan inilah yang menurut al-Dîdâwiy disebut al-hadzf.136 Karena itu, S engkau yang diterjemahkan dalam Bsa adalah S eksplisit .5أﻥdari kata c. P + O + S → S + P + O
ُZz ا
ُXُُ`َاﺥِ ُآ
KS P (Fi)
O
َ S
Allah // tidak // menghukum // kamu// O
P
KS
Sٍ
Pola Bsu ini, sebagaimana yang terdapat pada ayat 225 surah alBaqarah merupakan pola yang lazim dalam Bsu, dengan syarat O (maf’ûl bih) berupa pronomina persona yang bergandengan dengan verba.137 Namun, pola tersebut sebaliknya tidak lazim dalam Bsa. Hal itu disebabkan oleh letak O sebelum S, padahal O dalam Bsa selalu diletakkan setelah P, jika P berupa verba transitif, yaitu verba yang 135
Anton M. Moeliono (ed.), Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 285. 136 Muhammad al-Dîdâwiy, ‘Ilm al-Tarjamah baina al-Nazariyyah wa al-Tatbîqiyyah (Tunis: Dâr al-Ma’ârif wa al-Nasyr, 1992), h. 106. 137 Muhammad Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy (Kairo: Dâr al-Fikr al‘Arabiy, 1997), h. 322.
xc
menuntut wajib hadirnya O.138 Sementara kata sarana negasi selalu terletak sebelum verba baik dalam Bsu maupun Bsa. Pola demikian dan strategi terjemahan yang sama juga ditemukan dalam ayat lain, seperti
7ِ@ ُZُْ1َ6 َ^ُِْ:ُ ْBَ ِسzَ اBِ َوpada ayat 204 dalam surah yang sama: // Dan di antara manusia ada yang pembicaraanya tentang َْاََْةِ اﻥ kehidupan dunia mengagumkan kepadamu. Bahkan ada pola Bsu yang kedua objeknya didahulukan, sementara subjeknya diakhirkan, tetapi pola terjemahannya yang digunakan adalah S+P+O+O, seperti pada ayat 137
//
maka Allah mencukupkan
ُZz ُ اXَُKِ[ْKََ-َ@dalam
surah yang sama:
engkau terhadap mereka. P + S + Ket + O → S + P + O + Ket d.
ََْْا
ُXُKِﺏ
َْ6ََ@
KS P + S (Fi+Fa)
ْوَإِذ Ket
O
Dan (Ingatlah) ketika// Kami// membelah //laut // untukmu// Ket
O
P
S
Contoh di atas adalah ayat 50 surah al-Baqarah. Menurut pola ini, konstruksi Ket dalam Bsu maupun Bsa tidak ada perbedaan, sebab Ket dapat berfungsi menerangkan S, P, O dan Pel serta posisinya bersifat manasuka, dapat di awal, di tengah atau di akhir kalimat. Namun demikian, ketika Bsu menggunakan pola di atas dengan posisi Ket terletak sebelum O, pola tersebut dialihkan dalam Bsa sehingga O terletak sebelum Ket. Sebab letak O selalu di belakang P jika V di dalam kalimat itu verba intransitif, yaitu verba yang menuntut keberadaan O seperti contoh di atas. Demikian pula seperti contoh-contoh yang terletak di // Dan Kami angkat َر1<ا
138
ُXُKَ6ْ1َ@ َْ:َ@َوَرdalam surah al-Baqarah ayat 63:
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 129.
xci
َBِ ًاbْ ِا ر1ُ َ َ\ َBِ zَ َ اA ََْbْ@ََﻥgunung
(Sinai) di atasmu; dan 59:
// Maka Kami turunkan malapetaka dari langit kepada orang-ِ َءz-ا orang yang zalim itu. e. S + (P (aktif) + O + S) → S + P (pasif)
ٌَِ&ُ
ْXَُْأَﺹَﺏ
إِذَا
S (N) KS
P (Fi) O (I)+
َBِ z(ا1) S (Fa)
Klausa Orang-orang // yang apabila // ditimpa // musibah // O (N)
َُ:ََْ
َ6ََﺹ
P (V)
(KS)
ْBِ ٌ َْْ[َِةٌ ﺥUَ َ
و
S (N)
ٌُْوف:َ ٌْل1َ6(2) ًأَذى
S (Pel)
(R)
(Pel)
S O (I) + P (Fi) S (Fa)
P (KS)
Klausa Perkataan yang baik // dan // pemberian maaf // lebih baik // daripada KS
P
Pel.
KS
S (FN)
sedekah // yang diiringi // tindakan yang menyakiti// Pel. (FN)
P (V)
S (N)
Pola kalimat Bsu dan Bsa seperti di atas terdapat perbedaan dari segi jumlah fungsi, yaitu Bsu terdiri dari dua fungsi sedangkan Bsa tiga fungsi. Sebenarnya dua pola Bsu itu adalah pola inti S+P. Hanya pada P tersebut terdiri atas klausa verbal sehingga menjadi S+(P(aktif)+O+S). Pola yang demikian ini dalam Bsu disyaratkan antara S dan P ada relasi makna atau kata yang menghubungkan keduanya, yaitu berupa damîr (pronomina) yang terdapat pada fungsi O. Pola P(aktif)+O+S) bisa berfungsi sebagai P atau tâbi’ (Pel). Lihat contoh berikut:
7 أﺏC(ه ا آب اﺵا1)
xcii
S
P
A ر1 اآZ[ب أK(ه ا ا2) S
P
Dua contoh kalimat di atas jika diterjemahkan menurut struktur Bsu, maka terjemahannya sebagai berikut: (1) Ini kitab yang membelinya ayahku. (2) Kitab ini mengarangnya Dr. Umar. Demikian pula terjemahan ayat di atas, terjemahannya sebagai berikut: (1) orang-orang yang apabila menimpa mereka musibah (2) ...daripada sedekah yang mengiringinya tindakan yang menyakiti. Terjemahan yang mengikuti pola Bsu di atas menurut Bsa termasuk kalimat yang tidak efektif, karena kejelasan informasi yang diperoleh tidak tepat. Padahal kalimat efektif139 harus mampu mewakili penulis atau penutur sehingga pembaca memahami informasi atau pikiran tersebut dengan mudah, jelas dan lengkap. Di antara kriteria kalimat efektif adalah menggunakan bentuk variasi aktif-pasif. 140 Contoh lain dalam surah al-Baqarah yang terjemahannya sama dengan cara alih fungsi S + P (aktif) + O + S → S + P (pasif) adalah pada // Seperti kebun yang terletak di
ٌLَِةٍ أَﺹَﺏََ وَاﺏ1ٍْ ﺏَِﺏzَ ِLَ=َ َآayat 265:
139
Finoza menjelaskan bahwa kalimat efektif harus memenuhi paling tidak enam syarat, yaitu adanya (1) kesatuan, (2) kepaduan, (3) keparalelan, (4) ketepatan, (5) kehematan dan (6) kelogisan. Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 147. 140 Kalimat efektif juga mengutamakan variasi bentuk pengungkapan atau gaya kalimatnya. Variasi itu dapat dicapai dengan menggunakan bentuk inversi, bentuk pasif persona, variasi aktif-pasif dan variasi panjang pendek. Lihat, Mustakim, Membina Kemampuan Berbahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 107.
xciii
dataran tinggi yang disirami oleh hujan lebat; dan ayat 266 dalam surah
ٌْ&َرAِ @ََﺹَﺏََ إyang sama:
// Lalu kebun itu ditiup angin keras.
Jadi transposisi di sini digunakan untuk menciptakan kalimat efektif, sehingga terjemahan al-Quran berterima dengan struktur Bsa juga berterima oleh pembacanya. f. P + S → S + P + O
ٌَْ ِو
LُKِ
(R)
َ(و1)
P (R+M)
S (I)
Dan // setiap umat // mempunyai // kiblat // O (N)
P (K)
S (F)
(KS)
ٌXََِ َابٌ أA ْXَُ (R)
P (R+I)
َ( و2) S (M)
Dan // mereka // mendapat // azab yang pedih // O (F)
P (V)
S (N)
KS
Kedua contoh di atas dalam Bsu dinamakan konstruksi taqdîm dan ta`khîr (anastrophe).141 Yang dimaksud taqdîm dan ta`khîr di sini adalah mendahulukan khabar (P) dan mengakhirkan mubtada (S).142 Pengalihan fungsi tersebut dikarenakan P pada Bsu mengandung frasa partikel, yakni partikel lâm yang juga termasuk hurûf al-ma’ânî (huruf-huruf bermakna). Dan di antara makna yang terkandung di dalam huruf lâm adalah kepemilikan dab semi kepemilikan (syibh al-milk).143 Jika terjemahan itu 141
Taqdim dan ta`khir adalah mengubah posisi kata dalam klausa atau kalimat dengan menyalahi aturan yang baku karena tujuan retorikal. Muhammad Ali al-Khuli, A Dictionary of Theoretical Linguistics (Beirut: Librairie du Liban, 1982), h. 16. 142 Khabar (P) wajib didahulukan daripada mubtada (S) jika memenuhi empat syarat: (1) mubtada` berasal dari ism nakirah (nomina indefinitif), (2) khabar diambil dari ism istifhâm (nomina interogatif) (3) mubtada` memiliki damîr yang merujuk kepada khabar dan (4) makna maupun lafal khabar terkandung di dalam mubtada`. Lihat, Al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid 2, h. 268. 143 Partikel lâm cenderung mengandung makna li al-milk, yaitu huruf lâm yang terletak di antara dua nomina yang konkrit. Contoh: ( اارrumah itu milik Khalid) atau mengandung makna
xciv
mengacu pada terjemahan harfiyah, tentunya tidak ada pengalihan fungsi. Namun terjemahan seperti contoh ayat di atas merupakan terjemahan semantis, sehingga pengalihan fungsi dilakukan untuk menghasilkan Bsa yang luwes. Makna partikel lâm dapat dialihkan kepada makna kata verbal seperti mempunyai, memperoleh, mendapat dan berhak. Contoh lainya yang sejenis dalam surah al-Baqarah seperti pada ayat
ٍ Gَْ ﺥBِ ِ اْﺥَِة7ِ@ ُZَ َ َو200: ق // Mereka memperoleh ْXَِِْ رَﺏA ْXُْ أَ ُْهXَُbagian apapun; ayat 277: // Dia mendapat ْ5ََ-َََ َ آpahala di sisi Tuhannya; ayat 286: ُْ رُؤُوسXُKَ َ@(pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannnya; ayat 279: // Maka kamu berhak atas pokok hartamu. ْXُKَِا1ْ َأ // Dan di akhirat dia tidak memperoleh
g. KS + S + KS + P + → S + KS + P
َن1َُ KS
zِإ S
ْXُه
ْو َإِن
KS
P (Fi+Fa)
Dan // mereka // hanya // menduga-duga // P
KS
Pola seperti pada ayat 78 di atas merupakan bentuk qasr
S 144
KS
dalam
kajian retorika Bahasa Arab. Di antara kata sarana yang dapat membentuk dan kata sarana إنkalimat seperti di atas adalah kata sarana negasi seperti .
Kata hanya
dalam terjemahan Bsa merupakan makna
Fإeksepsi
dan إنgramatikal dari dua kata sarana yang tertulis dalam teks Bsu, yaitu syibh al-milk (semi kepemilikan), yakni ikhtisâs, yaitu partikel lâm yang terletak sebelum atau di antara dua nomina konkrit, seperti b خP اdan istihqâq, yaitu partikel lâm yang terletak di antara nomina abstrak dan konkrit, seperti ا. Lihat, Sanâ Jihâd, Mu’jam al-Tâlib wa al-Kâtib (Beirut: Maktabah Lubnân Nâsyirûn, 1997), h. 102. 144 Qasr adalah mengkhususkan satu hal terhadap hal lainnya dengan menggunakan cara tertentu. Ada empat cara untuk membentuk kalimat dengan makna qasr, yaitu 1) kata sarana negasi dan eksepsi, 2) kata sarana empasis إﻥ, 3) kata sarana konjungtif (BK ,L ﺏ,F) dan 4) mendahulukan lafaz yang seharusnya diakhirkan. Lihat, ‘Ali al-Jârim dan Mustafâ Amîn, al-Balâghah al-Wâdihah. Penerjemah Mujiyo Nurkholis, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), h. 307.
xcv
.
Jadi, penggunaan kata itu merupakan gaya bahasa yang ditampilkan
Fإ
Bsa sebagai padanan gramatikal Bsu. Contoh kalimat serupa yang menggunakan cara itu juga diterjemahkan oleh terjemahan al-Quran Depag RI dengan terjemahan yang sama pada contoh ayat 144 surah Âli ‘Imrân berikut ini:
ٌل1ُ"َ رzٌِ إz َُ َ َو Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul. Kemudian strategi pengalihan atau perubahan dalam terjemahan alQuran Depag RI tidak hanya dilakukan pada tataran fungsi sintaksis Bsu dan Bsa, namun kategori juga bisa dilakukan untuk mendapatkan terjemahan yang adekuat. Pengalihan dari satu kategori ke kategori lainnya disebut dengan tranformasi. Sebagaimana yang dikemukakan di depan bahwa kategori Bsu dan Bsa dapat dipadankan untuk menjadi instrumen analisis kategori dalam strategi terjemahan al-Quran. Adapun transformasi yang berkaitan dengan kata adalah kategori. Kategori Bsu yang dapat dipadankan dengan Bsa adalah ism (I) = nomina (N), fi’l (Fi) = verba (V), murakkab (M) = frasa (F), jumlah (J) = klausa (K) dan unsur-unsur Râbit (R) = kata sarana (KS). Untuk memudahkan pemahaman dalam perubahan kategori nanti, penulis cenderung menggunakan istilah kategori Bsa, yaitu N, V, F, K, KS. Dan kategori yang mungkin berkembang adalah F menjadi FN, FV. Di antara sekian kategori yang berubah menurut terjemahan al-Quran Depag RI adalah sebagai berikut: 1. N → F Nomina Bsu yang mengandung makna peran (pelaku) biasanya ditambahkan vokal-vokal pada keseluruhan kata dasarnya, seperti ism al-
xcvi
Fâ’il. Penambahan seperti itu dinamakan transfiks yang banyak ditemukan dalam Bsu. Terjemahan yang paling mudah dilakukan pada bentuk kata yang mengandung makna peran adalah menambahkan imbuhan pe- pada awal kata dasarnya dengan cara morfologis. Contohnya kâtib diterjemahkan penulis. Namun tidak semua kata dapat diterjemahkan dengan cara itu. Seperti contoh berikut ini:
َ ِ(zُ َْ َ اA ًّ(َﺡ B َBِ6ِْ ﺹَدXُُْإِنْ آ
= kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa = jika kamu orang-orang yang benar
Munculnya kesulitan untuk menerjemahkan kata-kata seperti yang bergaris bawah itu dengan cara penambahan pe-, maka perlu dilakukan dengan cara mengubah bentuk dari N ke F. Untuk menandai bentuk kata indikatif aktif, maka Bsa menambahkannya dengan imbuhan ber- atau imbuhan lainnya yang sama maknanya seperti me-. Sehubungan kata ini nomina ajektival, maka Bsa menerjemahkannya dengan orang yang dengan makna acuannya nama atau benda. Kemudian, untuk menunjukkan bahwa N Bsu itu bentuk jamak, digunakanlah bentuk reduplikasi145 dalam terjemahan Bsa-nya, seperti orang-orang. Frasa yang berlaku pada kedua contoh di atas adalah frasa nominal (FN). Atau N Bsu yang mengandung makna ajektif (sifat), maka N Bsu bisa dialihkan kepada F juga, hanya saja bukan frasa nominal melainkan frasa artikel (FA). Sedangkan N yang mengandung makna sifat-sifat Allah dialihkan menjadi frasa verbal (FV). Contoh: = azab yang pedih = azab yang berat
145
Xٌ ََِ َابٌ أA ٌXَِA ٌَ َابA
Reduplikasi ialah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan (seperti meja-meja), secara parsial (seperti lelaki) maupun dengan perubahan bunyi (seperti bolakbalik). Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 182.
xcvii
= Mahakuasa
ٌَِ6
= Mahamelihat
ٌِ&َﺏ
Atau N yang mengandung makna sifat perbandingan juga dialihkan kepada frasa ajektival (FAdj). Contoh: = (yang) lebih keras = (yang) lebih baik = (yang) lebih besar
َأَﺵ ٌَْﺥ َُْأَآ
2. N → V : Nomina Bsu yang mengandung makna peran (pelaku) sementara dalam Bsa tidak bisa diterjemahkan dengan penambahan pe-, atau dengan FN seperti di atas, maka N dapat dialihkan kepada kategori V. Contohnya seperti pada ayat 14 dan 30 berikut ini:
َن1ُِﺉbَْْ-ُ ُBَْ َ ﻥzإِﻥ Kami hanya berolok-olok.
ًَ[ِ َ اَْرْضِ ﺥ7ِ@ ٌLِAَ 7إِﻥ Sungguh Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Pengubahan bentuk nomina Bsu (ism al-Fâ’il) kepada bentuk verba Bsa (berolok-olok) merupakan upaya penurunan kelas kata. Oleh karena itu, penurunan kelas semacam itu dinamakan denominal, karena berasal dari kata nominal; dan verba yang dihasilkan dari penurunan itu dinamakan verba denominal.146 3. V → F: V Bsu yang di dalamnya mengandung S implisit maupun eksplisit maka V dialihkan kepada F. Contoh:
146
Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 182.
xcviii
= dan sampaikanlah kabar gembira kepada
ا1َُ ' َBِ zِ ا3َوَﺏ
orang-orang yang beriman Pengalihan V Bsu kepada F Bsa seperti di atas disebabkan oleh ketercakupan makna V. Oleh karena itu, frasa sampaikanlah kabar gembira sebenarnya mengandung kata verbal inti, yakni kabarkanlah.147 Contoh-contoh pengalihan V kepada F banyak ditemukan di beberapa ayat surah al-Baqarah, seperti pada ayat 6, kata verbal andzara (memberi peringatan) dengan kata inti peringatan; pada ayat 57, 172 dan 254, verba razaqa (memberi rezeki) dengan kata inti rezeki; pada ayat 54, verba tâba (menerima taubat) dengan kata inti taubat; pada ayat 61, verba istabdala (meminta ganti) dengan kata inti gant i; pada ayat 89, verba istaftaha (memohon kemenangan) dengan kata inti kemenangan; pada ayat 45, verba ista’âna (memohon pertolongan) dengan kata inti pertolongan; pada ayat 256, verba istamsaka (berpegang teguh) dengan kata inti berpegang; pada ayat 131, verba aslama (berserah diri) dengan kata inti berserah. 4. V (pasif) → V (aktif) Seluruh V Bsu memang harus sepadan untuk diterjemahkan ke dalam V Bsa, baik V aktif maupun pasif. Namun di dalam surah alBaqarah terdapat kategori Bsu V (pasif) dialihkan kepada kategori Bsa V (aktif). Contoh: = dan orang-orang yang mati
ْXُKِْ
= tetapi barang siapa memperoleh maaf
147
148
َْن1z@َ1َُ َBِ zوَا 149 ُZَ َ7ِ[ُA ْBَ َ@
Al-Jalâlain, Tafsîr al-Jalâlain (Damsyiq: Dâr al-Jail, 1995), h. 5. ن1@1 adalah bentuk fi’l mudâri’ (verba imperfektif) pasif dan fi’l mâdi-nya (verba perfektif) 7@1 yang berarti mati, meninggal. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus ArabIndonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1572. 149 Z 7[A berasal dari verba aktif (Z أوZA) 7[A yang berarti memaafkan atau mengampuni. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 950. 148
xcix
C. Strategi Semantis Strategi semantis adalah strategi terjemahan yang dilakukan atas dasar pertimbangan makna. Tidak semua makna Bsu dapat diterjemahkan sepenuhnya ke dalam Bsa. Oleh karena itu, strategi ini dipergunakan pada tataran kata, frasa maupun klausa atau kalimat. Di antara strategi semantis yang digunakan dalam terjemah al-Quran Depag RI meliputi beberapa strategi sebagai berikut: 1. Transliterasi Transliterasi adalah strategi terjemahan yang mempertahankan katakata BSu tersebut secara utuh, baik bunyi maupun tulisannya. Dalam karya tulis maupun karya terjemahan dalam bidang keagamaan (Islam), transliterasi atau alih aksara merupakan sesuatu yang tak terhindarkan.
150
Tujuannya
adalah untuk menjaga konsistensi Bsu baik lafal maupun maknanya. Terjemahan al-Quran Depag RI menggunakan transliterasi pada katakata atau frasa tertentu yang memang tidak sepadan dalam konteks yang dimaksud. Di dalam surah al-Baqarah, penulis menemukan strategi transliterasi pada kata-kata, frasa dan kalimat sebagai berikut: alif lâm mîm (ayat 1), mann dan salwâ (ayat 57), sâbi`în (ayat 62), sabt (ayat 65), râ’inâ dan unzurnâ (ayat 104), maqâm Ibrahim (ayat 125), Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûna (ayat 156), Masy’aril harâm (ayat 198), Qurû` (ayat 228) dan Wustâ (ayat 238). Semua kata, frasa dan kalimat di atas yang diterjemahkan menurut bunyi dan tulisan ayat al-Quran itu dapat digolongkan pada nama gelar seperti
150
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara (transliterasi), antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan Diknas RI serta versi Paramadina. Umumnya pedoman alih aksara tesebut meniscayakan digunakannya jenis huruf (font) tertentu. Lihat, Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: CeQDA, 2007), h. 46.
c
sâbi`în,151 nama tempat seperti maqâm Ibrahim, 152 nama makanan dan minuman seperti mann dan salwâ,153 nama hari seperti sabt,154 dan istilahistilah seperti Qurû`,155 Wustâ,156 Sibghat Allah,157 serta ungkapan-ungkapan seperti râ’inâ dan unzurnâ,158 Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûna.159 Adapun huruf-huruf Hijaiyyah yang lazim terletak di permulaan surah (fawâtih al-suwar), seperti alif lâm mîm pada surah al-Baqarah atau pada surah-surah lainnya, seluruh terjemahan al-Quran menerjemahkannya menurut bunyi dan tulisannya. Huruf-huruf yang terletak di permulaan beberapa surah ini digolongkan pada ayat-ayat mutasyâbihât,160 sehingga para mufassir dalam beberapa kitab tafsirnya menafsirkannya dengan Allâhu a’lam bimurâdihi. Alasan lain penggunaan transliterasi dilakukan pada fawâtih al-suwar (pembukaan surat-surat) karena dinilai oleh Ibn Katsir sebagai bukti adanya
151
Sâbi`în ialah umat sebelum Nabi Muhammad SAW., yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang. 152 Tempat Nabi Ibrahim, A.S., berdiri ketika membanguna Ka’bah. 153 Mann ialah sejenis madu dan salwâ ialah sejenis burung puyuh. 154 Sabt ialah hari Sabtu, hari khusus bagi orang Yahudi untuk beribadah. 155 Qurû` bentuk jamak dari qar`u yang berarti suci, atau haid. 156 Shalat Wustâ yaitu shalat Ashar menurut hadits shahih. 157 Sibghat Allah artinya celupan Allah, maksudnya agama Allah. 158 Râ’inâ artinya perhatikanlah kami, kemudian klausa tersebut diplesetkan oleh orang Yahudi dengan dengan ru’ûnah yang artinya bodoh sekali yang ditujukan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah memerintahkan sahabat Rasulullah untuk menukar râ’inâ dengan unzurnâ yang artinya sama. 159 Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûna adalah kalimat Istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah). Ungkapan ini sunnah diucapkan tatkala ditimpa musibah, baik besar maupun kecil. 160 Ayat-ayat mutasyâbihât merupakan lawan kata ayat-ayat muhkamât. Lihat, Q.S. Ali ‘Imran: 7. Pengertian tentang ayat-ayat mutasyâbihât maupun muhkamât masih diperdebatkan di kalangan ulama. Namun satu definisi yang dapat diambil antara lain, ayat muhkamât yaitu ayat-ayat yang dapat diketahui maksudnya. Dengan demikian ayat mutasyâbihât yaitu ayat yang tidak dapat diketahui maksudnya, kecuali Allah. Di antara ayat-ayat yang termasuk ayat mutasyâbihât ialah ayatayat tentang keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya, hakikat hari akhir, tanda-tanda kiamat dan hurufhuruf di permulaan surat. Lihat, Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007), h. 207.
ci
I’jâz al-Qurân,161 karena manusia tidak mampu untuk membuat karya yang sejenis huruf-huruf tersebut, apalagi seluruh al-Quran.162 2. Naturalisasi Naturalisasi adalah ucapan atau tulisan Bsu tersebut disesuaikan dengan aturan BSa. Naturalisasi merupakan lanjutan dari transliterasi atau sering disebut adaptasi.163 Misalnya: Islâm menjadi Islam. Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang kaya dengan kata serapan dari bahasa Arab, diperkirakan sekitar 2.000-3.000 kosakata. Namun frekuensinya tidak terlalu besar dan secara relatif diperikirakan jumlah ini antara 10%15%.164 Sebagian kata-kata Arab ini masih utuh dalam arti yang sesuai antara lafal dan maknanya seperti awal, akhir, halal, haram, kiamat, kitab dan syari’at. Kemudian lafal dan arti berubah dari lafal semula seperti kabar, lafal, mungkin, rezeki dan masalah. Bagian lainnya, lafalnya benar, artinya berubah seperti ahli, kalimat dan siasat. Kata-kata serapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab sangat dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan seperti al-Quran. Karena itu, dalam terjemahan al-Quran juga terdapat kata-kata yang dipungut langsung dari bahasa al-Quran itu sendiri. 161
I’jâz berarti melemahkan. Dan I’jâz al-Qurân bermakna pengokohan al-Quran sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Lihat, alZarqâniy, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân ,jilid 2, h. 331. I’jâz al-Qurân dalam kaitannya dengan fungsi kerasulan Nabi Muhammad SAW., berarti memperlihatkan kebenaran kerasulan dan fungsi kenabiannya serta kitab suci yang dibawanya. Selain itu, untuk memperlihatkan kekeliruan bangsa Arab yang menentangnya, karena tantangan-tantangan yang dilontarkan Allah dalam al-Quran tidak dapat mereka layani. Lihat, Sya’bân Muhammad Ismâil, al-Madkhal li Dirâsah al-Qurân wa alSunnah wa al-‘Ulûm al-Islâmiyyah (Kairo: Dâr al-Ansâr, t.th), h. 323. 162 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), jilid 1, h. 25. 163 Naturalisasi disebut juga teknik penerjemahan fonologis, yaitu terjemahan yang dilakukan dengan cara membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata Bsu untuk disesuaikan dengan sistem bunyi (fonologi) dan ejaan (grafologi) Bsa, seperti kata demokratie (Belanda) → demokrasi. Lihat, Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 76. 164 Wikipedia Indonesia, Kata Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia. Sunting diakses pada tanggal 21 April 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki.
cii
Kata-kata al-Quran yang kemudian menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia melalui naturalisasi juga banyak ditemukan di dalam surah alBaqarah terjemahan Depag RI. Di antara kata-kata itu adalah Allah, Kitab, nama-nama malaikat seperti Jibril, Roh Kudus, Mikail, nama-nama nabi, seperti Adam, Musa, Isa, Sulaiman, Ibrahim, Ya’kub, Dawud, nama-nama raja seperti Fir’aun, Talut dan Jalut, nama kaum (umat) seperti Yahudi, Bani Israil, nama-nama tempat seperti Masjidil haram, Safa dan Marwah, nama bulan seperti Ramadan, serta istilah-istilah dalam Fiqh Islam seperti shalat, zakat, haji, umrah, qisas, riba, sedekah, dan fidyah. Semua kata-kata itu ditulis menurut bunyi dan tulisan Indonesia, meskipun semuanya berasal dari bahasa al-Quran atau Arab. Melalui strategi naturalisasi ini, satu kata bisa juga menghasilkan kata Bsa dengan makna yang berbeda dari makna kata Bsu (al-Quran), seperti ”kitab” diartikan buku dalam kalimat: Mahasiswa itu suka membaca kitabkitab klasik. Jadi, pungutan (borrowing) dapat dianggap sebagai strategi semantis dalam terjemahan al-Quran yang berkaitan dengan kata-kata, frasa atau kalimat untuk menerjemahkan nama orang, nama tempat, nama kitab, nama gelar, nama lembaga (institusi) dan istilah-istilah pengetahuan yang belum didapatkan di Bsa. Hanya kemudian, jika kata, frasa atau kalimat itu sudah menjadi kata serapan dalam Bsa tidak perlu menggunakan transliterasi melainkan naturalisasi. Mengenai naturalisasi dalam terjemahan al-Quran harus mengacu kepada terjemahan resmi yang telah dibakukan. Untuk itu, penerjemah perlu memiliki wawasan dan pedoman tentang pengindonesiaan nama atau kata-kata Bsu yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
ciii
Depdikbud R.I. Di antara kata-kata Arab terdapat kata yang salah satu
( صkh)خhurufnya dilambangkan dengan dua huruf latin, seperti huruf (g). Sehingga terjemahan kata khalifah, shalat dan ghaib tidak menyalahi غ (ş), ,
aturan Bahasa Indonesia. Ketiga contoh kata khalifah, shalat dan ghaib yang benar
naturalisasinya adalah khalifah, sedangkan shalat dan ghaib naturalisasinya menjadi salat dan gaib.165
Kedua strategi semantis di atas, menurut Suryawinata dinamakan strategi pungutan (borrowing), yaitu strategi terjemahan yang mengambil kata Bsu ke dalam teks Bsa. Penerjemah sekedar memungut kata Bsu yang ada. Alasan strategi ini digunakan untuk menunjukkan penghargaan terhadap katakata tersebut, atau belum ditemuinya padanan di dalam Bsa.166 3. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning) Penjelasan tambahan dalam strategi semantis ini dilakukan karena untuk memperjelas makna kata-kata. Di sini penerjemah memasukkan informasi tambahan di dalam teks terjemahan, karena ia berpendapat bahwa pembaca memang memerlukannya. Newmark menjelaskan bahwa informasi tambahan itu bisa dimasukkan dalam teks terjemahan atau diletakkan di bawah halaman (berupa catatan kaki) atau di bagian akhir dari teks terjemahan.167 Strategi ini digunakan oleh Terjemahan al-Quran Depag RI
untuk
menjelaskan beberapa aspek, antara lain: a. Aspek keimanan, seperti pada terjemahan ayat 154: Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup,....
165
Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 288, 503, 856. 166 Suryawinata, Translation, h. 70. 167 Newmark, Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988)h. 91-92
civ
Dalam kata hidup, penerjemah menambahkan informasi dalam bentuk catatan kaki, maksudnya hidup di alam lain yang bukan alam kita ini. Mereka mendapatkan kenikmatan di sisi Allah dan hanya Allah yang mengetahui bagaimana kehidupan di alam itu. b. Aspek hukum syariat, seperti pada terjemahan ayat 158: Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dalam terjemahan ayat ini, penerjemah menjelaskan dua hal, yaitu tidak ada dosa dan sa’i. Frasa tidak ada dosa diperjelas dengan catatan kaki sebagai berikut: “sebagian sahabat merasa keberatan mengerjakan sa’i di situ, karena pada masa jahiliyyah tempat itu adalah tempat berhala sekaligus juga sebagai tempat sa’i mereka. Untuk menghilangkan rasa keberatan para sahabat itu, Allah menurunkan ayat ini.” Sedangkan kata sa’i diperjelas oleh penerjemah dengan memberikan definisi pada catatan kaki, berjalan dan berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara Safa dan Marwah ketika melakukan ibadah haji atau umrah. c. Aspek sejarah, seperti terjemahan ayat 49: “Dan (ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari Fir’aun dan pengikut-pengikut (Fir’aun).” Dalam catatan kaki, penerjemah menjelaskan Fir’aun menurut catatan sejarah, yaitu Fir’aun yang hidup pada masa Nabi Musa AS., ialah Menephthan (1232-1224 SM) anak Ramses. d. Aspek kemasyarakatan, seperti pada terjemahan ayat 143: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.”
cv
“umat
pertengahan”,
penerjemah
Dalam
terjemahan
menambahkannya dalam bentuk catatan kaki, umat yang adil, yang tidak berat sebelah baik ke dunia maupun ke akhirat, tetapi seimbang antara keduanya. Strategi di atas oleh Depag dimaksudkan untuk memperjelas makna kata-kata yang dianggap belum dipahami oleh pembaca. Pada umumnya strategi penambahan yang berupa catatan kaki pada terjemahan al-Quran Depag RI berupa uraian panjang dalam bentuk kalimat. Dan strategi itu tidak jauh berbeda dengan terjemahan al-Quran yang disusun oleh Abdullah Yusuf Ali dengan dalam bentuk komentar yang berdasarkan nomor catatan kaki. Berbeda dengan penambahan informasi lainnya yang terdapat dalam teks terjemahan al-Quran Depag RI, yakni penjelasan itu cukup singkat dalam bentuk kata, frasa dan klausa. a. Penambahan kata nominal banyak dilakukan dalam teks terjemahan untuk memperjelas kata. Selain itu, penambahan nominal banyak dilakukan pada pronomina (kata ganti) yang mengacu pada personifikasi tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita, seperti pada ayat 71: Dia (Musa) menjawab, “Sungguh Dia (Allah) berfirman, sesungguhnya dia (sapi) itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah... Pada ayat tersebut, terdapat kata dia yang terulang sebanyak tiga kali, yakni dia yang mengacu kepada Musa, kepada Allah dan sapi. Kemudian, penambahan kata Musa, Allah dan sapi tersebut dilakukan untuk memperjelas pronomina yang dimaksudkan serta untuk menghindari kekeliruan dalam penetapan acuan persona yang ada dalam ayat tersebut. Selain itu, ketiaadaan penambahan kata nominal seringkali terjemahan menjadi kabur, apalagi penetapan persona yang salah. Hal ini terjadi pada terjemahan al-
cvi
Quran Depag RI, seperti pada ayat 144: ...maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu; pada ayat 149: ...hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam; dan pada ayat 150: ...maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu... Ketiga ayat tersebut mengandung perintah untuk menghadap kiblat dengan dua persona kedua (mukhâtab) yang dituju, yakni anta (engkau) yang mengacu kepada Nabi Muhammad SAW., dan antum (kamu) yang mengacu kepada umat Islam. Akan tetapi, terjemahan ayat 144 dan 150 terdapat perbedaan dalam penetapan acuan pronomina, yakni kalimat kedua pada ayat 144 menggunakan pronomina engkau, kemudian pada ayat 150 menggunakan pronomina kamu. Padahal keduanya sama-sama mengacu pada persona kedua jamak, yakni antum. Menurut bahasa standar Bsa, penggunaan engkau ditujukan bagi persona kedua tunggal, sedangkan kamu ditujukan bagi persona kedua jamak.168 Di sinilah, ketidaktepatan dalam pemilihan kata untuk terjemahan kedua ayat tersebut. b. Penambahan kata verbal, seperti pada ayat 44: Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri. Kata verbal yang menunjukkan arti mengerjakan tidak ditemukan pada ayat tersebut. Namun, beberapa terjemahan al-Quran Indonesia menambahkan kata verbal seperti pada contoh ayat di atas. Mahmud Yunus dan HB. Jassin juga menambahkannya dengan verba berbuat.
168
Pronomina yang mengandung makna persona kedua tunggal menurut bahasa standar dapat berbentuk engkau, saudara, bung, anda, tuan, nyonya, nona. Sedangkan yang mengandung makna persona kedua jamak dapat berbentuk kamu, kalian, saudara-saudara, tuan-tuan. Di samping itu, pronomina yang dianggap sub-standar seperti lu, jang, neng. Lihat, Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 283.
cvii
c. Penambahan frasa dalam teks terjemahan seperti pada ayat 14: Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok”. Pada ayat ini penambahannya dalam bentuk frasa partikel, yakni para pemimpin. d. Penambahan klausa dalam teks terjemahan seperti pada ayat 30: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Klausa ingatlah merupakan verba imperatif yang dilesapkan dengan memperkirakan klausa Bsu-nya “udzkur idz” atau “udzkur waqta (hîna)” // ingatlah ketika.169 Berkaitan dengan partikel idz, al-Mubarrid membedakan antara partikel idz dan idzâ. Menurutnya, apabila partikel idz berbarengan dengan verba imperfektif, maka makna aspek yang dikandungnya adalah aspek perfektif, seperti pada ayat 30 surah al-Anfal:
َ^ُُِ ﺏKْ َ ْوَإِذ
; kemudian apabila partikel idzâ
berdampingan dengan verba perfektif,
maka aspeknya bermakna
prospektif, seperti pada ayat 1 surah al-Nasr: َُْ[ْوَا
ِZz إِذَا َءَ ﻥَ&ُْ ا. 170
Beberapa contoh penambahan dalam teks terjemahan al-Quran itu pada umumnya diselipkan di antara dua kurung (...) untuk membedakan bahwa kata, frasa atau klausa dalam kurung tersebut bukan teks Bsu yang orsinil melainkan teks tambahan yang dipahami penerjemah. Selain itu, penambahan juga dilakukan ketika bagian teks Bsu dianggapnya elipsis (al-hadzf) dari komponen kalimat, seperti pada ayat 196
...
//
َْ ا7ِ@ ٍمzََِ أGَ ُ@َ&َِمdan 127
surah al-Baqarah berikut ini: (1)
169
Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsîr, jilid 1, h. 40. Muhammad Ibn Ahmad al-Ansâriy al-Qurtubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), jilid 1, h. 181. 170
cviii
... // zِ ْLzَ(َ َzرَﺏMaka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam musim haji; (2) (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami.” Bagian teks pada contoh (1) yang dianggap hilang adalah khabar yang terletak setelah kata sarana konjungtif fâ` al-jawâb. Dan bagian teks .171ﺹم
yang
Z :@diperkirakannya adalah
Bagian teks pada contoh (2) yang dianggap hilang adalah fi’l al-qaul (verba ucapan) yang terdiri dari kata qâla, yaqûlu, yuqâlu. Penghilangan katakata tersebut di dalam al-Quran banyak dijumpai dalam beberapa surah. Di antaranya contoh (2), menurut al-Zajjâj bahwa makna kata yang terkandung dalam teks tersebut adalah yaqûlâni, yang mengandung subjek persona ketiga dual yang mengacu kepada dua orang, yakni Ibrahim dan Isma’il. 172 4. Penghapusan (omission atau deletion) Penghapusan berarti penghilangan kata atau bagian teks Bsu di dalam teks Bsa. Atau dengan kata lain, penghapusan berarti kata atau bagian teks Bsu itu tidak diterjemahkan dalam Bsa. Pertimbangannya adalah kata itu tidak penting bagi keseluruhan teks, atau kalaupun penting tetap sulit untuk diterjemahkan. Meskipun penerjemah memaksakan kata atau bagian teks itu diterjemahkan perbedaan maknanya tidak signifikan, karena Bsu menghendaki adanya penghapusan. Dalam terjemahan al-Quran Depag RI penghapusan itu dilakukan pada salah satu tataran sintaksis, yaitu kata. Di antara kata yang dihilangkan dalam terjemahan Bsa adalah râbit atau kata sarana (KS). Dan di antara KS yang dihapus dalam terjemahan Bsa adalah preposisi dan konjungtif.
171 172
Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1998), jilid 1, h. 257. Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh, jilid 1, h.188.
cix
Preposisi atau hurûf al-Jarr termasuk kata yang tidak berdiri sendiri, maka dia mempunyai relasi dengan kata lainnya yaitu ism (nomina) dan fi’l (verba). Fungsi preposisi dalam kalimat Bsu bisa dinilai sebagai hurûf alMa’ânî, huruf tambahan gramatikal atau bisa sebagai penjelas dari unsur kata sebelumnya. preposisi yang berfungsi sebagai hurûf al-Ma’ânî
Adapun contoh
seperti pada ayat 130 dan 238 surah al-Baqarah berikut ini:
ُZَ-ْ[ََ ﻥZِ[َ" ْBَ zَِ إXِِ إِﺏَْاهz ِ ْBَA ُDََْ ْBَ َ(و1) Dan orang yang membenci agama Ibrahim hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri.
َ<ْ"ُ1ْةِ اGz&َاتِ وَا1َ z&َ َ اA ا1ُِ@َ(ﺡ2) Peliharalah semua salat dan salat wusta. Kata yang bergaris bawah pada contoh (1) dan (2) adalah preposisi yang dikategorikan sebagai huruf ma’ânî, dan salah satu makna yang dikandungnya adalah untuk menghubungkan verba transitif terhadap objeknya (alTa’diyyah). Kedua verba yang terletak sebelum preposisi, maknanya tergantung pada preposisi yang mengikutinya. Dan
kedua preposisi yang
bergaris bawah itu tidak diterjemahkan di dalam Bsa, karena verba yang terletak sebelumnya merupakan relasi kata dan makna yang tidak bisa dipisahkan.173 Preposisi yang berfungsi sebagai huruf tambahan gramatikal dan maknanya dilesapkan dalam terjemahan, seperti pada ayat 105 surah al// suatu kebaikan apapun dari 173
ْXُKْ رَﺏBِ ٍَْْ ﺥBِ ْXُKَْ َA َلzbَُ ْأَنBaqarah:
Rofi’i, Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia (Jakarta: Persada Kemala, 2002), jilid 1, h.
29.
cx
Tuhanmu diturunkan kepadamu. Demikian pula pada ayat 120 dalam surah // Tidak ada bagimu pelindung
ٍِ&َ ﻥFَ و7َِْ وBِ ِZz َ اBِ َ^َ َ yang sama:
dan penolong dari Allah. Preposisi yang bergaris bawah tersebut dinilai oleh al-Zajjâj sebagai huruf tambahan gramatikal, karena itu makna ayat tersebut menjadi mâ laka min Allâhi waliyyun wa lâ nasîr. Tujuan adanya penambahan huruf tersebut untuk penegasan makna (al-taukîd).174 Kemudian, preposisi yang berfungsi sebagai penjelas kata yang terletak // Harta
ْXُKِ-ُ[ْْ ﺥٍَْ @َ َِﻥBِ ا1ُ(ِ[ُْ َ َوsebelumnya,
seperti pada ayat 272:
apapun yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Preposisi yang bergaris bawah itu sebagai penjelas dari kata yang terletak . Oleh karena itu preposisi tersebut dinamakan min sebelumnya, yakni . Pola seperti ini dan pola-ﺏﻥ
B +B
, dan
B + 1ﺹ1 bayâniyyah dengan pola B +B , +B pola lainnya yang hampir serupa, seperti
seringkali menyulitkan penerjemah untuk merekonstruksi terjemahannya ke dalam Bsa, dan tidak sedikit penerjemah terjebak pada terjemahan harfiah, karena pola seperti ini tidak ditemukan dalam Bsa.175 Mengenai strategi untuk ,
B + dengan pola ﺏﻥB menerjemahkan kalimat yang mengandung adalah seperti contoh berikut: B + B atau ﺵءP اB ن1K - اZق ج إ1- ا7@ 1
2 3
4
5
6
7
Di pasar ada barang-barang yang dibutuhkan para konsumen.
174
Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh, jilid 1, h. 166 dan 181. Preposisi min yang dinilai sebagai huruf tambahan gramatikal harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: 1) sebelumnya didahului oleh kata sarana negasi, larangan, atau tanya; 2) nomina yang di-jar-kannya dalam bentuk nomina non definitif (nakirah) serta menempati sebagai subjek atau musnad ilaih. Lihat, Sanâ Jihâd, Mu’jam al-Tâlib wa al-Kâtib, h. 148. 175 Moh. Mansyur dan Kustiwan, Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia (Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002), h. 96.
cxi
5
3+4
2
7
1
B" ا رB و ﺵﻥ: B ﻥم 1
2
3
4
5
6 7
Kami menghormati guru-guru yang mengajar dan membimbing kami. 5
4
3
2
7
1
Kemudian di antara preposisi lainnya yang dinilai sebagai huruf ) , seperti pada ayat 8 surah al- اءtambahan gramatikal adalah partikel bâ` ( // Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.
َBِِ ْ`ُ ِْ ﺏXُوَ َ هBaqarah:
Partikel yang bergaris bawah itu merupakan huruf tambahan yang mempunyai fungsi untuk menegaskan makna negatif. 176 Dengan demikian, setiap preposisi yang dianggap sebagai huruf tambahan gramatikal dilesapkan dalam terjemahannya. Kemudian, di antara kata sarana konjungtif yang dilesapkan dalam memiliki banyak fungsi yang
. Partikel terjemahannya adalah partikel
dapat merubah kalimat deklaratif menjadi non deklaratif, seperti kalimat menyandang
tanya,
kalimat negatif, kalimat syarat. Karena itu, partikel banyak nama tergantung letaknya di dalam kalimat.
yang biasa dilesapkan dalam terjemahan Bsa
َ ًGَ=َ
Sementara
partikel
adalah masdariyyah, seperti pada ayat 13 // perumpamaan seekor nyamuk;ًَﺽ1ُ:َﺏ // berimanlah sebagaimana orang lain ُسzَ اBَ ' َ َا آ1ُِ 'surah al-Baqarah: // Ayat ٍَ' ْBِ َْ-َْ َ ﻥsyartiyyah, seperti pada ayat 106: telah beriman; pertama, seperti pada ayat 26 terletak di yang Kami batalkan. Partikel huruf tambahan, seperti pada ayat 26 surah al-Baqarah:
176
Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh, jilid 1, h. 50. Lihat juga Bahjat ‘Abd al-Wâhid Sâlih, al-I’râb al-Mufassal li Kitâb Allâh al-Murattal (Amman: Dâr al-Fikr, 1998), jilid 1, h. 17.
cxii
antara badal (kata pengganti), yakni ba’ûdah dan mubdal minh (kata yang digantikan), yakni matsalan. Sehubungan partikel tersebut dinilai sebagai huruf tambahan, maka partikel tersebut dilesapkan dan makna terjemahannya kedua, seperti pada ayat
menjadi matsalan ba’ûdah.177 Sedangkan partikel
13 terletak sebelum klausa verbal tanpa relasi kata atau makna yang kembali masdariyyah. Partikel .178
kepada
ن اسcآtersebut
partikel tersebut, dan partikel ini disebut
dilesapkan dan makna terjemahannya menjadi
ketiga, seperti pada ayat 106 terletak sebelum klausa
Kemudian partikel
verbal dan antara keduanya tidak terdapat relasi kecuali relasi makna, yakni
B .
Kebanyakan preposisi
frasa
preposisional sebagai penjelas partikel
berfungsi sebagai penjelas, karena maknanya
yang terletak setelah partikel
yang terlalu samar.179 Dengan demikian, semua partikel tersebut di atas mengalami penghapusan atau pelesapan dalam terjemahan. 5. Penggantian (Replacement) Penggantian yang dimaksud dalam terjemahan adalah menggantikan satuan gramatikal Bsu dengan satuan gramatikal yang lain dalam Bsa. Penggantian tersebut dimaksudkan untuk menjadikan teks terjemahan lebih efektif. Di antara satuan gramatikal Bsu yang dapat digantikan adalah kata biasanya diganti وsarana atau partikel. Kata sarana konjungtif, yakni partikel dengan tanda baca koma dalam Bsa, seperti pada ayat 83 surah al-Baqarah: . Pada ayat ini terdapat
ِBَِآ-َ َْﻥً وَذِي اْ(ُْﺏَ وَاََْ َ وَا-ِْ إِﺡBََِْا1ِْوَﺏ
Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh, jilid 1, h. 70. Ada beberapa partikel yang dianggap sebagai huruf tambahan selain yang terletak seperti di atas, misalnya partikel yang terletak setelah kata qalîlan, seperti pada ayat 88 surah al-Baqarah: َن1ُِ ْ`ُ َ ًGِ َ(َ@ // tetapi sedikit sekali mereka yang beriman. Lihat, Muhammad Ahmad Khidîr, ‘Alâqah al-Zawâhir al-Nahwiyyah bi alMa’nâ fi al-Qurân al-Karîm (Kairo: Maktabah Anglo al-Misriyyah, t.t.) h, 83. 178 Bahjat ‘Abd al-Wâhid Sâlih, al-I’râb al-Mufassal li Kitâb Allâh al-Murattal, jilid 1, h. 20. 179 Jamâl al-Dîn Ibn Hisyâm al-Ansâriy, Awdah al-Masâlik ilâ Alfiyyah Ibn Mâlik (Beirut: alMaktabah al-‘Asriyyah, 1994), jilid 3, h. 21. 177
cxiii
yang fungsinya menghubungkan makna kata atau klausa
وempat
partikel
yang terletak sesudahnya dengan kata atau klausa sebelumnya. Kata sarana . Kalimat وkonjungtif Bsu yang sering digunakan untuk itu adalah partikel yang di dalamnya terdapat satuan kata sarana konjungtif biasanya diterjemahkan apa adanya, kecuali terdiri dari beberapa kata sarana konjungtif
وyang sama seperti pada ayat di atas. Dengan demikian, penggantian partikel dengan tanda koma perlu dilakukan agar kalimat itu menjadi efektif, karena tidak melakukan pengulangan kata yang sama. Penggantian tersebut menunjukkan bahwa kalimat itu paralel dan hemat, padahal keparalelan dan kehematan merupakan di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kalimat efektif.180 Sehingga melalui penggantian, terjemahan ayat itu menjadi “Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” Penggantian juga terjadi pada beberapa kelas kata yang dilesapkan maknanya namun kemudian diganti dengan kelas kata lainnya. Kelas kata itu antara lain nomina dalam bentuk pronomina (kata ganti) yang menempati posisi sebagai pronomina pemisah antara S (musnad ilaih) dan P (musnad). Contohnya dapat ditemukan dalam beberapa ayat surah al-Baqarah, misalnya . Kata
ُXِﺡzابُ اz1zَ ا1ُُ هZz ;إِﻥdan ayat 37: َن1ُِ ْ[ُ ُْ اXُِ^َ ه2َوَأُوpada ayat 5:
yang bergaris bawah pada dua contoh tersebut adalah pronomina pemisah yang dilesapkan maknanya, kemudian untuk menunjukkan ketegasan maknanya kelas kata itu diganti dengan partikel –lah. Sehingga terjemahan kedua ayat tersebut menjadi “Sungguh Dialah Penerima taubat, Maha Penyayang” dan “Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
180
Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 148.
cxiv
Penggantian dengan partikel –lah pada dua contoh tersebut dimaksudkan untuk menegaskan makna. 181 Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Terjemahan alQuran Depag RI ternyata juga memiliki strategi terjemahan baik strategi struktural maupun semantis. Kedua strategi tersebut dimaksudkan untuk menerjemahkan katakata atau kelompok kata, atau kalimat penuh bila kalimat tersebut tidak bisa dipecah lagi menjadi unit yang lebih kecil untuk diterjemahkan. Strategi struktural dan strategi semantis merupakan jenis strategi utama dalam terjemahan. Pertama adalah strategi yang berkenaan dengan struktur kalimat. Strategi ini bersifat wajib diupayakan, sebab jika tidak maka hasil terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam Bsa. Jenis kedua adalah strategi yang langsung terkait dengan makna kata atau kalimat yang diterjemahkan.
181
-lah merupakan partikel yang gunanya untuk menekankan kata yang di depannya baik yang mengandung arti suruhan, penguatan maksud, penunjuk aspek dsb. Lihat, W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 550.
cxv
BAB IV DAN LEKSIKAL SERTA MAKNANYA PADANAN GRAMATIKAL DALAM TERJEMAHAN AL-QURAN DEPAG RI
Terjemahan merupakan proses penggantian teks dalam satu bahasa dengan teks dalam bahasa lain berlangsung tanpa mengubah tingkat isi teks asli. Hal ini berarti bahwa dalam terjemahan telah terjadi penggantian satuan-satuan bahasa di tingkat pengungkapan dengan tingkat isi yang dipertahankan tanpa perubahan. Dari sini dapat dipahami, bahwa tugas penting penerjemah dalam pengalihbahasan adalah mencari dalam teks Bsu satuan-satuan minimal yang layak diterjemahkan, yakni satuan-satuan bahasa yang harus dicari padanannya dalam teks Bsa. Satuan-satuan seperti itu disebut satuan terjemahan (unit of translation). Jadi, satuan terjemahan ialah satuan Bsu yang mempunyai padanan dalam Bsa. Mencari padanan merupakan salah satu problematika dalam terjemahan, karena antara Bsu dan Bsa tidak persis sama. Menurut Barclay M. Newman, bahwa di antara kesulitan bahasa dalam terjemahan antara lain: kata, struktur kalimat, istilah, tatabahasa dan kiasan.182 Kata, struktur kalimat, tatabahasa dan kiasan merupakan unsur-unsur mikroteks sebagaimana yang telah dijadikan objek dalam analisis struktural.183 Kata itu bermacam-macam menurut jenisnya (parts of speech), seperti kata benda, kata kerja, kata keterangan, kata depan dan sebagainya. Struktur kalimat juga berbeda-beda menurut jenisnya, seperti kalimat menurut struktur gramatikalnya, kalimat menurut fungsinya dan kalimat menurut bentuk gayanya. Sedangkan istilah Bsu seringkali sulit dicarikan padanannya dalam Bsa, karena keterbatasan istilahistilah Bsa yang sepadan dengan Bsu dan istilah yang dimaksud dalam terjemahan 182
Barclay M. Newman, Rambut Sama Hitam, dalam Nurachman Hanafi, Teori dan seni Menerjemahkan (Ende Flores: Nusa Indah, 1986), h. 35. 183 Dick Hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 136.
cxvi
adalah istilah yang terdiri dari satu suku kata, dan istilah ini bisa berupa idiom atau frasa (gatra). Kemudian
tatabahasa dalam terjemahan sangat terikat dengan
penggolongan tatabahasa (grammatical categories) yaitu apabila kata benda diterjemahkan dengan kata benda, kata benda dengan kata kerja, kata kerja dengan kata kerja dan seterusnya. Dan kiasan dimiliki oleh setiap bahasa, namun untuk menemukan padanannya dari Bsu ke dalam Bsa sangat sulit. Demikian pula, menurut Ahsin Sakho Muhammad, salah seorang anggota tim penerjemah al-Quran itu menyatakan bahwa kesulitan itu dapat dirasakan langsung oleh para anggota tim penerjemah al-Quran Depag, ketika menerjemahkan unit-unit bahasa al-Quran yang sulit ditemukan padanannya secara tepat dalam bahasa Indonesia, sehingga harus menerjemahkannya dengan padanannya yang kurang tepat menurut tingkat bahasanya serta harus menjelaskannya secara panjang lebar. Hal itu disebabkan oleh bahasa al-Quran yang sangat sastrawi dan hanya bisa dipahami oleh mereka yang mempunyai rasa bahasa yang sudah tinggi pula serta faktor bahasa Indonesia yang memang terasa ‘kerdil’ menghadapi bahasa al-Quran yang demikian indah, kukuh dan mantap.184 Sehubungan hal itu, bab ini penulis bagi ke dalam tiga pembahasan, yaitu padanan gramatikal, padanan leksikal dan makna dalam terjemahan. Padanan gramatikal akan dibahas menurut unit-unit terjemahan. Sedangkan padanan leksikal akan dibahas berdasarkan penggantian kata-kata Bsu dengan kata-kata Bsa, karena sebuah kata Bsu mungkin mempunyai banyak padanan di dalam Bsu atau juga sebaliknya. Pembahasan ketiga adalah makna dalam terjemahan, karena makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang dinyatakan
184
Ahsin Sakho Muhammad, “Aspek-aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama ”, Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 3, No. 1 (Januari 2005), h. 156.
cxvii
oleh Newmark bahwa menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit linguistik dari satu bahasa ke bahasa yang lain. 185 A. PADANAN GRAMATIKAL Untuk memudahkan mencari padanan Bsu dan Bsa secara keseluruhan menurut tingkat satuan bahasa, maka dalam Bab ini padanan gramatikal antara kedua bahasa akan disajikan berdasarkan ilmu linguistik kontemporer yang mencatat hierarki (tingkat) bahasa sebagai berikut: tingkat fonem, tingkat morfem, tingkat kata, tingkat rangkaian kata (frasa), tingkat kalimat dan teks.186 1. Terjemahan pada tingkat fonem Fonem adalah bunyi terkecil yang dapat membedakan makna. 187 Untuk mengidentifikasi sebuah bunyi fonem atau bukan, harus dicari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata yang mengandung bunyi tersebut, lalu dibandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Jika ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia berfungsi membedakan . Kedua kata X A dan
Xأmakna kedua satuan bahasa itu. Misalnya, kata Bsu
itu mirip benar. Masing-masing terdiri dari empat bunyi. Yang pertama mempunyai bunyi [`a], [l], [î] dan [m]; dan yang kedua mempunyai bunyi [‘a], [l], [î] dan [m]. Dan perbedaan antara keduanya hanya terletak pada huruf pertama yaitu bunyi [`a] dan bunyi [‘a]. Atau satuan Bsa misalnya raba dan laba. Kedua kata itu juga mirip benar, karena masing-masing terdiri dari empat buah bunyi. Yang pertama 185
Newmark, About Translation (Clevedon: Multilingual Matters Ltd., 1991), h. 27. Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h. 33. 187 Fonem berbeda dengan huruf. Fonem adalah bunyi dari huruf dan huruf adalah lambang dari bunyi. Jadi, fonem sama dengan bunyi untuk didengar, sedangkan huruf adalah lambang untuk dilihat. Jumlah huruf hanya 26. Jika seluruh huruf itu dilafalkan berarti 26 bunyi huruf itu telah diperoleh. Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2007), h. 73. 186
cxviii
mempunyai bunyi [r], [a], [b] dan [a]; dan yang kedua mempunyai bunyi [l], [a], [b] dan [a].
Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama,
yaitu bunyi [r] dan [l]. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua contoh Bsu dan Bsa di atas merupakan masing-masing dua buah fonem yang berbeda.
Jumlah fonem yang dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan jumlah yang dimiliki oleh bahasa lain. Bahasa Arab memiliki jumlah fonem 28 buah. Seluruh fonem tersebut dikategorikan fonem konsonan. Sementara fonem vokalnya terbagi dua, yaitu tiga buah fonem vokal pendek dan tiga lainnya fonem vokal panjang. Sedangkan bahasa Indonesia memiliki lebih dari 24 buah fonem, yaitu 6 buah fonem vokal (a, i, u, e, o dan ə) dan 18 buah fonem konsonan (p, t, c, k, b, d, j, g, m, n, n, η, s, h, r, l, w dan y). Kemudian ada yang menambahkan jumlah fonem itu sebanyak empat buah yang berasal dari bahasa asing, yaitu fonem f, z, x dan ∫. Selain itu juga ada yang menambahkan tiga buah fonem diftong, yaitu aw, ay dan oy.188 Dalam terjemahan ditemukan, bahwa satuan terjemahan justru adalah juga fonem, yakni fonem-fonem Bsu diganti dengan fonem-fonem Bsa menurut artikulasi serta bunyi yang lebih dekat. Dan terjemahan di tingkat fonem secara prinsipil berbeda dengan jenis-jenis terjemahan lainnya, sebab fonem bukan pengemban makna apapun. Karena itu, wajarlah kalau penggunaan jenis terjemahan ini sangat terbatas. Terjemahan al-Quran Depag RI di tingkat fonem sering digunakan dalam penerjemahan nama, baik nama diri, geografis, menu dan nama lainnya. Nama-nama tersebut dalam terjemahan al-Quran dilakukan sepenuhnya sebagaimana penulis kemukakan pada Bab sebelumnya, misalnya
188
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 132.
cxix
Âdam
[Adam], Kitâb [Kitab], Fir’aun [Fir’aun], Masjid al-Harâm [Masjidil haram], Ramadân [Ramadan], Salât [salat]. Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka terjemahan al-Quran dari Bsu ke Bsa di tingkat fonem tidak menimbulkan kesulitan dalam terjemahan menurut ragam tulis, karena hanya menulis apa yang tertulis dalam teks Bsu. Meski demikian, ada faktor subjektif menurut ragam terjemahan lisan yang mungkin menyebutkan nama-nama di atas yang sesuai dengan lafal-lafal Bsu, terutama fonem-fonem yang dilambangkan dengan huruf-huruf konsonan rangkap (ts, ch, kh, dz, sy, sh, dl, th, dh, gh), vokal rangkap (ai dan au) dan fonem suprasegmental, yaitu fonem yang menempel pada tiga vokal tunggal (a, i, u) atau jika dalam tulisan Arab fonem tersebut dilambangkan dengan huruf mad (panjang) yaitu alif, wau atau yâ`.189 2. Terjemahan pada tingkat morfem Berbeda dengan fonem, morfem adalah satuan bahasa terkecil yang mempunyai makna. Morfem juga termasuk dalam satuan terjemahan, yaitu setiap morfem dalam Bsu berpadanan dengan morfem dalam Bsa. 190 Terjemahan di tingkat morfem relatif jarang sebagaimana terjemahan di tingkat fonem. Struktur morfem kata yang mengandung makna yang sama dalam berbagai bahasa lebih sering tidak sebangun, terutama yang menyangkut tidak hanya morfem leksikal, tapi juga morfem gramatikal (perubahan kata), yang komposisinya dalam berbagai bahasa berbeda. 189
Fonem dapat dibagi empat, yaitu fonem vokal, fonem konsonan, fonem semivokal, dan fonem suprasegmental. Keempat fonem tersebut yang dimiliki oleh Bsu adalah fonem vokal, konsonan dan fonem suprasegmental sedangkan fonem yang dimiliki oleh Bsa juga tiga yaitu fonem vokal, fonem konsonan dan fonem semivokal (e (teleng), e (pepet) dan o). Lihat, Sudarno, Kata Serapan dari Bahasa Arab (Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990), h. 25. 190 Menurut bentuk dan maknanya, morfem dapat dibedakan atas dua macam, yaitu: 1) morfem bebas, yaitu morfem yang dapat berdiri sendiri dari segi makna tanpa harus dihubungkan dengan morfem yang lain, 2) morfem terikat, yaitu morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dari segi makna. Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 75.
cxx
Adapun morfem Bsu yang dipadankan dengan morfem Bsa dalam terjemahan al-Quran Depag memang relatif sedikit, yaitu al-Qurân dan Allâh. Dua kata ini tersusun atas dua morfem, yaitu morfem terikat {al}191 dan morfem bebas yaitu {Qurân} dan {ilâh}. Dua contoh di atas merupakan morfem Bsu yang mempunyai dua bentuk alomorf,192 yaitu (1) yang tetap berbentuk {al}, seperti al-Qurân; dan (2) yang berubah atau berasimilasi dengan fonem awal bentuk dasarnya, seperti Allâh. Kalangan linguis Arab berbeda pendapat mengenai bentuk asal kata Allah. 193 Namun Sîbawaih menyebutkan bahwa asal kata Allah adalah ilâhun, kemudian melalui proses morfofenemik,
yaitu dengan cara
memasukkan al pada kata ilâhun, menjadi al-ilâhu, lalu harakat hamzah yaitu kasrah dipindahkan kepada huruf lâm, dan huruf lâm tersebut dilesapkan sehingga menjadi alilâhu. Dari bentuk ini baru huruf lâm pertama di-sukûnkan dan bunyinya dimasukkan ke dalam huruf lâm kedua sambil dibaca tebal sehingga menjadi Allâh. Jadi pada tingkat ini, terjemahan al-Quran dapat dilakukan pada katakata yang mengandung dua morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas. 3. Terjemahan pada tingkat kata
191
Al atau alif lâm dapat dikategorikan ism atau harf (partikel). Al yang termasuk ism dinamakan ism al-mausûl yang semakna dengan al-ladzî dan yang sejenisnya. Biasanya ia masuk pada ism al-fâ’il dan ism al-maf’ûl, seperti contoh: ( ا]رب زYang memukul itu Zaid) dan ا ]وب ﺥ (Yang dipukul itu Khalid). Sedangkan al yang termasuk huruf adalah al-Ta’rîf, seperti رU ا7@ إذ هdan al-Zâi`dah, seperti ان, ا ي. Lihat, Sanâ Jihâd, Mu’jam al-Tâlib wa al-Kâtib (Beirut: Maktabah Libnân Nâsyirûn, 1997), h. 31-33 dan Ibn Hisyâm al-Ansâriy, Mughnî al-Labîb (Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), jilid 1, h. 47-49. 192 Alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama, atau perwujudan konkret dari sebuah morfem. Seperti bentuk me- pada melihat dan merasa, atau {-s} sebagai morfem jamak reguler pada kata-kata Inggris cats {keits}, books {buks}. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 150. 193 Ada yang menyebutkan asal kata Allâh adalah al-ilâhu, lâhu dan ilâhun. Lihat, Bahjat ‘Abd al-Wâhid Sâlih, al-I’râb al-Mufassal li Kitâb Allâh al-Mursal (Amman: Dâr al-Fikr, 1998), jilid 1, h. 7.
cxxi
Kata juga dapat bertindak sebagai satuan terjemahan. Jenis terjemahan seperti ini lebih sering digunakan daripada satuan terjemahan sebelumnya. Meskipun demikian, penggunaan terjemahan di tingkat kata terbatas. Biasanya hanya sebagian kata-kata dalam satu kalimat yang bisa diterjemahkan di tingkat kata, sedangkan sebagian yang lain di tingkat yang lebih tinggi, misalnya di tingkat rangkaian kata karena tidak bisa diterjemahkan di tingkat kata. Menurut linguis Arab tradisional bahwa setiap kalimat dalam bahasa Arab tidak hanya berasal dari satu macam bentuk kata, melainkan berasal dari tiga macam bentuk, yaitu ism, fi’l dan harf (huruf).194 Ketiga bentuk itulah yang menempati fungsinya masing-masing dalam kalimat dan jenis kata itu pula yang akan mengantarkan arti dan makna dalam terjemahan. Karena itu, penulis identifikasikan terjemahan pada tingkat kata ini menurut kategori dan jenis katanya sebagai berikut: a. Kata nominal Nomina yang dapat dipadankan secara gramatikal antara Bsu dan Bsa dalam terjemahan al-Quran Depag RI adalah sebagai berikut: 1) Kata Ganti (Pronomina) Kata ganti yang dimaksud oleh penulis dalam rangka mencari padanan gramatikal Bsu dan Bsa adalah kata ganti yang mengacu kepada benda (ism) atau dalam tata bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Pronomina. Oleh karena itu, ada tiga jenis kata yang harus dipadankan secara gramatikal dalam kategori ini, yaitu pronomina yang mengacu kepada persona (al-Damaîr), pronomina penunjuk umum
194
Muhammad Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy (Kairo: Dâr al-Fikr al‘Arabiy, 1997), h. 8.
cxxii
(asmâ` al-Isyârah) dan pronomina penghubung (al-Asmâ` alMausûlah). Al-Damâir
dalam
Bsu
ialah
pronomina
persona
yang
menunjukkan mutakallim (persona pertama), mukhâtab (persona kedua)
.
195
Secara umum,
أﻥ,5 أﻥ,1هatau
ghâib (persona ketiga), seperti
pronomina persona terbagi atas dua bagian, yaitu pronomina yang nyata bentuknya (bâriz) dan pronomina yang tidak nyata (mustatir).196 Dalam Bsu, pronomina persona sangat rumit terutama dalam penentuan jenis kelamin (genitif) dan jumlah. Namun untuk memudahkan dalam mencari padanannya pronomina tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu kelompok kata, klausa verbal
dan
klausa
nominal
dengan
bentuk-bentuk
pronomina
personanya sebagaimana yang tertulis dalam tabel berikut:
Tabel 3 Pronomina Persona Bsu dan Bsa
No (1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 195 196
Pronomina Persona Bsu Klausa Klausa Kata Verbal Nominal (2) (3) (4)
أﻥ Bﻥ 5أﻥ أﻥ Xأﻥ 5أﻥ أﻥ Bأﻥ 1ه
ت... ﻥ... ت... ... X ... ت... ... B ... ...
ي... ﻥ... ك... آ... X آ... ك... آ... ك... C ...
Pronomina Persona Bsa Klausa Klausa Kata Verbal Nominal (5) (6) (7) Aku Aku {v} {n} ku Kami Kami {v} {n} kami Engkau Engkau {v} {n} mu Kamu Kamu {v} {n} mu Kamu Kamu {v} {n} mu Engkau Engkau {v} {n} mu Kamu Kamu {v} {n} mu Kamu Kamu {v} {n} mu Dia Dia {v} {n} nya
Iman Saiful Mu`minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf (Jakarta: Amzah, 2008), h. 147. Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 16.
cxxiii
(1) 10. 11. 12. 13. 14.
(2)
ه Xه 7ه ه Bه
(3)
ا... وا... ... ا... ن...
(4)
ه... X ه... ه... ه... B ه...
(5) Mereka Mereka Dia Mereka Mereka
(6) Mereka {v} Mereka {v} Dia {v} Mereka {v} Mereka {v}
(7) {n} mereka {n} mereka {n} nya {n} mereka {n} mereka
Pronomina persona pada kolom (2) padanan gramatikalnya sama dengan Bsa sebagaimana pronomina persona pada kolom (5), hanya Bsa tidak menyatakan pronomina tersebut dengan genitif dan jumlah, sehingga perbedaan itu nampak sekali pada personanya. Bsu mengenal persona tunggal, dual dan jamak, sedangkan Bsa hanya mengenal tunggal dan jamak seperti pronomina persona bahasa Inggris, juga Bsa tidak mengenal kelas kata persona maskulin dan feminin. 197 Dengan perbedaan itu, maka persona dual Bsu pada nomor (4, 7, 10 dan 13) tidak dapat dinyatakan dalam Bsa, kecuali dengan persona jamak baik persona II maupun III. Kemudian pronomina persona pada kolom (2) ada yang diterjemahkan secara lengkap menurut Bsa-nya, seperti dalam surah al// padahal kamu mengetahui; dan ada
َن1ُ َ ْ:َ ْXُْوَأَﻥBaqarah ayat 22:
pronomina yang tidak diterjemahkan, tetapi diganti dengan partikel – lah. Penggantian tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa persona tersebut berfungsi sebagai empatik (taukîd).198 Contohnya seperti pada 197
O. Setiawan Djuharie, Teknik dan Panduan Menerjemahkan Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia (Bandung: Yrama Widya, 2005), h. 38. Lihat juga, Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 238-239. 198 Persona yang berfungsi sebagai empatik disebut persona pemisah (Damîr al-Fasl). Nama ini diistilahkan oleh kalangan linguis Arab untuk memisahkan unit-unit kalimat yang terdiri dari subjek (mubtada`) dan predikat (khabar), atau predikat (khabar) dan sifatnya dengan syarat nomina yang terletak sebelum atau sesudah persona tersebut berupa kata nominal definitif (ism al-ma’rifah). Lihat, Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 18; dan Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1984), jilid I, h. 126.
cxxiv
// sesungguhnya
َُِون-ْ[ُ ُْ اXُْ هXُz إِﻥFَأayat
12 surah al-Baqarah:
merekalah yang berbuat kerusakan; dan ayat 120 dalam surah yang // katakanlah:”Sesungguhnya
َ اَُْى1ُِ هZz هَُى اzْ إِنLُ6
sama:
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Kemudian, pronomina persona pada kolom (3) disebut klausa verbal, karena persona tersebut harus bergandengan dengan verba.199 Meskipun letak persona itu setelah verba ia bukan merupakan frasa melainkan klausa. Ia termasuk klausa bebas, yakni klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan predikat.200 Karena itu, klausa Bsu itu sepadan dengan Bsa karena terdiri dari S (musnad ilaih) dan P (musnad). Hanya
pola
terjemahannya harus dilakukan transposisi, yakni mengubah posisi Bsu // kamu menzalimi
X \(P+S)
menjadi posisi Bsa (S+P). Contoh:
// mereka beriman. ا1َُ 'bukan menzalimi kamu, Selain itu, persona yang tidak tampak bentuknya (mustatir)201 seperti kolom (3) pada nomor 9 dan 12, masih tetap pola terjemahannya //
ْ5َ َﺥ
// Dia menciptakan,
ََ َﺥseperti contoh sebelumnya. Contoh: dia berlalu.
Adapun persona yang terdapat pada kolom (4) merupakan klausa nominal yang termasuk ke dalam klausa terikat, yakni klausa yang tidak memiliki struktur kalimat yang lengkap. Karena itu, kemungkinan 199
Persona yang harus bergandengan dengan verba dan nomina disebut Damîr Muttasil. Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 236. 201 Persona yang tidak tampak bentuknya (mustatir) dalam Bsu terbagi atas dua kelompok: (1) Persona yang wajib disimpan, yakni tidak mungkin meletakkan nomina atau persona yang tampak bentuknya (bariz) pada tempat di mana nomina itu berada, seperti verba imperfektif yang diawali hamzah mutakallim (persona I tunggal), nun mutakallim (persona I jamak), ta`mukhatab mufrad mudzakkar (persona II tunggal maskulin), dan verba perintah untuk persona II tunggal maskulin; (2) Persona yang boleh disimpan, yakni persona yang mengacu pada persona III tunggal baik yang maskulin maupun feminin. Lihat, Iman Saiful Mu`minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf, h. 148. 200
cxxv
klausa macam ini hanya menempati kedudukan subjek, objek atau // ْXُKَ // penduduknya, ُZَ ْ أَه// Tuhan kamu,
ْXُKَُِوَإpelengkap, seperti: bagimu.
Bentuk-bentuk persona pada kolom (4) juga bisa menjadi klausa bebas, yakni klausa yang mempunyai kecenderungan menjadi kalimat mayor, jika persona tersebut bergandengan dengan verba dan persona // bunuhlah mereka,
ْXُه1ُ ُْ6وَاtersebut menempati posisi objek, seperti: // mereka bertanya kepadamu. َ^َﻥ1َْ-َ
Kemudian, pronomina penunjuk umum (asmâ` al-Isyârah) banyak dinyatakan dalam ayat-ayat al-Quran sebagai penunjuk nama tertentu dengan menggunakan isyarah baik secara indrawi atau maknawi. Penggunaan pronomina penunjuk dapat dinyatakan dengan
,ذاmenggunakan kata sarana yang mengandung makna isyarah, seperti: .202 Seluruh pronomina penunjuk terikat oleh genitif ه,^2 أو,^ ,Cذ dan jumlah, sebagaimana pronomina yang tampak pada tabel berikut: Tabel 4 Pronomina Penunjuk Bsu Pronomina Penunjuk Bsu
No. (1)
202
Jumlah
Maskulin
Feminin
(2)
(3)
(4)
1.
I
^ ذ, ذاك, ه ا,ذا
^ ,C ه, ه ي,ذي
2.
II
^ ذاﻥ, ه ان,ذان
هن,ن
3.
III
^2 أو,ءF` ه,ءFأو
^2 أو,ءF` ه,ءFأو
Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 127.
cxxvi
Berdasarkan tabel di atas, jelaslah bahwa penggunaan pronomina penunjuk (asmâ` al-Isyârah) untuk menunjukkan nomina yang dimaksud (musyâr ilaih) dalam Bsu cukup bervariatif dalam kalimat. Yang menjadi titik perhatian bagi pronomina penunjuk adalah nominanya, baik nomina yang telah disebutkan sebelum maupun sesudah pronominanya, pronominanya
maskulin;
yakni jika nominanya maskulin maka dan
jika
nominanya
feminin
maka
pronominanya juga femini. Demikian pula harus ada kesesuaian jumlahnya antara keduanya, baik tunggal, dual maupun jamak. 203 Berkaitan dengan hal itu, maka relasi makna fungsi antara pronomina dan nomina dalam surah al-Baqarah terbagi atas dua kelompok, yaitu: (1) ada nomina yang hanya dinyatakan dengan
zَلَ أَﻥ6pronomina penunjuk, seperti pada ayat 259 surah al-Baqarah: // Dia berkata: “Bagaimana Allah َِْ1َ َْ:َُ ﺏZz ِ اCِ َ ه7ُِْ menghidupkan ini setelah hancur?”. Pronomina pada ayat tersebut mengacu kepada nomina feminin, yakni al-baldah (negeri);204 (2) ada yang keduanya dinyatakan dalam kalimat itu, seperti pada ayat 35 // Janganlah dekati
َََةz3ِ اCِ َ َ(َْﺏَ هFَوdalam
surah yang sama: pohon ini.
Apabila nomina yang ditunjuk itu kata tunggal maskulin, maka
^ذpronomina yang digunakan adalah ِZِ@ َDَْ رF َُِبKْذَِ^َ اpada tabel nomor (1) kolom (3), seperti ayat 2: atau kata lainnya sebagaimana
// kitab ini tidak ada keraguan padanya. Frasa nominal ini menjadi S (musnad ilaih); atau jika nomina yang ditunjuk itu kata tunggal feminin, atau kata lainnya 203 204
^ maka
pronomina yang digunakan adalah
Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 18. Muhammad ‘Ali al-Sabûniy, Safwah al-Tafâsîr (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jilid 1, 149.
cxxvii
َْ6 ٌz ُِ ْ^َ أsebagaimana tabel
nomor (1) kolom (4), seperti ayat 141:
// itu umat yang telah lalu. Fungsi kedua kata itu menjadi S+P dan ْ5َ َﺥ ini berbeda dengan fungsi kata pada contoh ayat 2. Antara pronomina penunjuk Bsu dan Bsa sepadan dari segi gramatikalnya. Sedangkan arti atau makna yang dapat dipadankan dengan Bsa berdasarkan strukturalnya terdapat dua kecenderungan, yaitu: pertama, apabila nomina yang terletak setelah pronomina penunjuk itu berupa kata nominal non definitif, maka strukturnya sama seperti contoh pada ayat 141 di atas; kedua, apabila nomina yang terletak setelah pronomina penunjuk itu berupa nomina definitif, maka perlu digunakan transposisi dalam struktur terjemahan Bsa-nya, seperti contoh pada ayat 2 di atas.205 Selain itu, tidak semua pronomina penunjuk dapat ditemukan padanannya dalam struktur Bsa, yakni ketika ia terletak setelah pronomina persona, seperti contoh ayat 85 surah al-Baqarah, dalam ayat tersebut pronomina penunjuk jamak terletak setelah pronomina // kemudian kamu
ْXُKَ-ُ[ْنَ أَﻥ1ُ ُْ(َ ِءFُ`َْ هXُْ أَﻥzXُpersona
II jamak:
membunuh dirimu sendiri. Pronomina penunjuk pada ayat ini tidak diterjemahkan oleh tim penerjemah al-Quran Depag RI sama sekali, karena pronomina tersebut mengandung beberapa kemungkinan fungsi, yakni: (1) sebagai pronomina penghubung (ism mausûl) (2) sebagai pronomina penunjuk, (3) sebagai kata empatik (taukîd) dan (4) sebagai nomina yang dipanggil (munâdâ). Kemungkinan yang pertama adalah
205
Pengubahan posisi kata pada frasa nominal Bsu yang berpola D-M dapat dilakukan, sehingga frasa nominal Bsa menjadi pola M-D, karena transposisi dapat dilakukan dengan cara mengubah struktur kalimat secara keseluruhan, atau mengubah posisi kata, mengubah bentuk jamak ke dalam bentuk tunggal. Lihat Peter Newmark, A Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 85.
cxxviii
madzhab Kufah, sedang tiga kemungkinan lainnya menurut madzhab Basrah.206 Pronomina penghubung (al-Asmâ` al-Mausûlah) dilihat dari segi definisinya tidak berbeda dengan pronomina sebelumnya, yakni mengacu pada nomina tertentu, hanya dari segi fungsinya ia menghubungkan klausa atau kalimat yang terletak sesudahnya. Dan klausa atau kalimat yang terletak setelahnya disebut dengan Silah alMausûl.207 Berdasarkan konteks kalimat, pronomina penghubung juga mengenal berbagai bentuk menurut genitif dan jumlahnya, sebagaimana tabel berikut: Tabel 5 Pronomina Penghubung Bsu Pronomina Penunjuk Bsu
No. (1)
Jumlah
Maskulin
Feminin
(2)
(3)
(4)
1.
I
ا ي
7ا
2.
II
ا ان
ا ن
3.
III
B ا
ءيG ا,7ا1 ا,7Gا
Selain bentuk-bentuk pronomina di atas, ada pronomina yang .
B , , ذا, أي,ذوtidak terikat
dengan genitif dan jumlah, seperti
Sehubungan seluruh pronomina yang telah disebutkan itu berfungsi menghubungkan nomina dengan klausa atau kalimat yang terletak sesudahnya,
maka
padanan
gramatikalnya
206
dengan
Bsa
hanya
Lihat, Kamâl al-Dîn Abî al-Barakât, al-Insâf fî Masâ`il al-Khilâf (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1998), jilid II, h. 223-225. 207 Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 129.
cxxix
menggunakan kata sarana penghubung yaitu kata “yang” untuk nomina yang telah disebutkan sebelumnya dan “orang yang” atau “apa yang” untuk nomina yang tidak disebutkan sebelumnya, seperti contoh ayat 21 surah al-Baqarah:
ْXُKz َ:َ ْXُKِ َْ6 ْBِ َBِ zْ وَاXُKَ(َ َ ِي ﺥzُ اXُKzُُْوا رَﺏAسُ اzَ أََ ا َن1ُ(zَ “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. Ayat tersebut mengandung dua pronomina penghubung yaitu, alladzî yang mensifati kata rabbukum dengan padanannya “yang”; sedangkan pronomina kedua, yakni alladzîna sebagai objek dari verba khalaqa bukan mengacu pada nomina sebelumnya, sehingga padanan yang muncul dalam terjemahan Bsa menjadi “orang-orang yang”. Berdasarkan padanan pronomina di atas, pada ayat 17 surah al; penerjemahan al-Quran Depag
ًََ ﻥَرا6ْ1َْ" ِي اzِ اLَ=َ َْ آXُُ َ=َ Baqarah,
terhadap pronomina penghubung yang bergaris bawah tersebut ditemukan padanan Bsa-nya yang tidak tepat, yaitu dengan terjemahan: “Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api...”. Padahal pronomina al-Ladzî menunjukkan nomina tunggal maskulin seperti yang tertulis dalam tabel di atas pada kolom (3) nomor (1). Dan terjemahan tersebut seharusnya berbunyi: “Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api”, seperti yang diterjemahkan oleh beberapa terjemahan al-Quran Indonesia maupun asing.208 Bahkan 208
Mahmud Junus menerjemahkan “Umpama mereka itu seperti orang yang menyalakan api”. Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim Bahasa Indonesia (Jakarta: Al-Hidajah, 1971), h. 20. HB. Jassin menerjemahkan “Perumpamaan mereka adalah seperti orang menyalakan api”. HB. Jassin, alQuran al-Karim Bacaan Mulia (Djakarta: Djambatan1978), h. 3. Demikian pula Abdullah Yusuf Ali
cxxx
dalam literatur tafsir, pronomina tersebut ditafsiri dengan bentuk tunggal maskulin. 209 Akhirnya, ketiga pronomina di atas dalam tataran gramatikal Bsa, seperti penggunaan pronomina dia, nya, ini, itu, yang atau orangorang merupakan rujukan anaforis. 210 Dengan menggunakan rujukan anaforis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang, melainkan diganti dengan pronomina tersebut, seperti contoh kalimat Indonesia: Mahasiswa itu bahagia sekali. Dia yakin besok akan diwisuda. Kata dia menjadi alat penghubung kalimat sebelumnya. Unsur dia pada kalimat kedua menunjuk mahasiswa pada kalimat pertama. Oleh karena itu, kalimat-kalimat tersebut menjadi saling berhubungan. Dan inilah gramatikal yang kohesif, yakni kepaduan bentuk secara struktural. 2) Kata Bilangan (Numeralia) Kata bilangan (numeralia) termasuk rumpun nomina, karena berkaitan dengan nomina yang dibilang. Dilihat dari definisinya, numeralia digunakan dalam kalimat untuk menghitung banyaknya orang, binatang atau barang. 211 Bilangan Bsu mempunyai aturan yang sangat rumit dibanding dengan Bsa, baik yang berkaitan dengan bilangan (al-‘Adad) itu sendiri
menerjemahkan “Their similitude is that of a man who kindled a fire”. Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur-an: Text Translation and Commentary (Lahore: SH Muhammad Ashraf, t.t.), h. 20. 209 Al-Sabûniy menafsirkannya dengan ﻥرا6 آل ﺵ أو, Ibn Katsîr menafsirkan dengan redaksi yang berbeda, yakni ﻥرا61" اB ﺏL= ه ااB(@ ﺽب ا. Semuanya dipadankan dengan bentuk tunggal maskulin. Lihat, Muhammad ‘Ali al-Sabûniy, Safwah al-Tafâsîr, jilid 1, h. 31. 210 Anaforis merupakan unsur wacana yang menunjuk pada unsur lain yang telah disebutkan sebelumnya. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 270 dan Mulyana, Kajian Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 27. 211 Hasan Alwi (Ed.), Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 301.
cxxxi
maupun dengan nomina yang dibilang (al-Ma’dûd). Bentuk-bentuk bilangan Bsu dan nominanya masing-masing berbeda menurut genitif, dan volumenya sebagaimana tabel berikut: Tabel 6 Numeralia Bsu dan Bsa Numeralia Bsu
No. (1)
Numeralia Bsa
Genitif
Volume
Bilangan dan Nomina
(2)
(3)
(4)
(5)
1
آب واﺡ
Satu buku
2.
2
آﺏن ان
Dua buku
3.
3 – 10
Dة آ3A – D آG
4.
11 – 12
آﺏ3A آﺏ – ا3A أﺡ
11 buku – 12 buku
5.
13 – 19
آﺏ3A :- – آﺏ3A G
13 buku – 19 buku
ون3Aان و-ون آﺏ3Aواﺡ و
21 buku – 22 buku
6.
Maskulin
1.
6.
21 – 22 23 – 29
3 buku – 10 buku
آﺏ
:- - ون آﺏ3A وG
23 buku – 29 buku
ون آﺏ3Aو 100
ﺉ آب
100 buku
8.
1000
آبeأ
1000 buku
9.
1
& واﺡة6
Satu kisah
10.
2
&ن ان6
Dua kisah
11.
3 – 10
&6 3A – &6 ثG
11 – 12
&6 ة3A & – ا6 ة3A إﺡي
11 kisah – 12 kisah
13.
13 – 19
&6 ة3A M- – &6 ة3A ثG
13 kisah – 19 kisah
14.
21 – 22
ان-&6 ون3Aإﺡي و
21 kisah – 22 kisah
12.
Feminin
7.
&6 ون3Aو
cxxxii
3 kisah – 10 kisah
23 – 29
M- - &6 ون3Aث وG
23 kisah – 29 kisah
&6 ون3Aو 15.
100
&6 ﺉ
100 kisah
16.
1000
&6 eأ
1000 kisah
Berkaitan dengan bilangan Bsu dan nomina yang dibilangnya serta padanan gramatikalnya dalam Bsa, maka penulis kelompokkan ke dalam tiga bagian sesuai dengan terjemahan al-Quran Depag RI, yaitu: (1) Padanan bilangan dan nominanya; (2) Padanan bilangan tanpa nomina yang dibilang, dan (3) Padanan nomina yang dibilang tanpa bilangan. Pertama, padanan bilangan dan nominanya dalam Bsa tidak variatif dan kontradiktif sebagaimana Bsu-nya, yakni semua bilangan dan nomina dipadankan dengan menggunakan pola DM (Diterangkan mendahului Menerangkan), sebagaimana pada tabel di atas kolom (5). Kemudian, nomina yang dibilang baik itu bentuk tunggal, dual maupun bentuk jamak dalam Bsu, seluruhnya diubah dengan bentuk tunggal,
ٍمzََِ أGَseperti contoh dalam surah al-Baqarah ayat 196 dan 226: // empat bulan juga bukan ٍَُِْ أَﺵ:َأَرْﺏtiga hari bukan tiga hari-hari, //
empat bulan-bulan. Sedangkan bilangan dan nomina yang keduanya dipisahkan oleh preposisi, maka padanannya sama dengan padanan kedua contoh di atas tanpa mengartikan preposisi itu, seperti pada ayat // ambillah empat ekor burung. ِْz<ا
َBِ ًَ:َ@َُ ْ أَرْﺏ260: .
Kedua, bilangan Bsu tanpa nomina yang dibilang, padanannya sama dengan bagian pertama, dan nomina yang tidak disebutkan dalam
cxxxiii
teks Bsu dinyatakan dalam Bsa, seperti pada ayat 234 dalam surah yang // empat bulan sepuluh hari.212
ًْا3َAَََ أَﺵٍُْ و:َأَرْﺏsama:
Ketiga, nomina yang dibilang tanpa bilangan, padanan yang dapat disesuaikan dengan Bsa melihat bentuknya, yakni apabila nominanya itu bentuk tunggal tanpa disertai kata sarana definitif seperti al, maka padanannya Bsa-nya nomina disertai dengan kata “seorang” untuk // dan
Zz ِِْ اA ْBِ ٌل1ُ"َْ رXُ َءَهz ََوmanusia, seperti pada ayat 101:
tatkala datang kepada mereka seorang rasul dari Allah; atau “seekor” //
ًِا ﺏَ(ََة1َُْ أَنْ َ ْﺏXَُ َْ ُُآZz اzإِنuntuk binatang, seperti pada ayat 67:
sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.213 Sedangkan apabila nominanya berbentuk dual, maka nomina tersebut dinyatakan dengan didahului bilangan “dua”, seperti // dan apa yang diturunkan
ِBَْKَ َ َْ َ اA َِلbْوَ َ أُﻥpada
ayat 102:
kepada dua malaikat. Namun demikian, ada nomina yang mengandung bilangan dual di dalamnya, tetapi terjemahan al-Quran Depag tidak menerjemahkannya menurut bilangan itu melainkan dalam bentuk tunggal, yaitu pada ayat // Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang َ^َ
ِBَْ ِ ْ-ُ َْ َ:ْ َ وَاzرَﺏ128:
yang berserah diri kepada-Mu. Padahal dalam terjemahan al-Quran lainnya, seperti Mahmud Junus menerjemahkannya : “Ya Tuhan kami, 212
Apabila nomina yang dibilang tidak dinyatakan dalam teks Bsu, maka penentuan bilangannya boleh dalam bentuk maskulin atau feminin sesuai dengan perkiraan nomina yang dibuang itu, seperti contoh di atas. Lihat, Sanâ Jihâd, Mu’jam al-Tâlib wa al-Kâtib (Beirut: Maktabah Lubnân Nâsyirûn, 1997), h. 351. 213 Terjemahan al-Quran versi Depag menerjemahkan baqarah dengan sapi betina dengan dasar tâ` marbûtah menunjukkan tunggal feminin. Sedangkan menurut Quraish Shihab, sebagaimana dalam kamus bahasa bahwa baqarah adalah bentuk tunggal baqar, sementara tâ marbûtah di situ menunjukkan arti seekor atau sebuah bagi nomina maskulin maupun feminin. Lihat, M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 324 dan lihat juga Syihâb al-Dîn Ahmad al-Misriy, al-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qurân (Kairo: Dâr al-Sahâbah li al-Turâts, 1992), h. 92.
cxxxiv
jadikanlah kami dua orang yang muslim”. Yusuf Ali juga mengungkapkannya dengan bentuk jamak, karena bahasa Inggris tidak mengenal bentuk dual: “Our Lord! Make of us muslims, bowing to Thy (Will).214 3) Nomina Abstrak dan Konkrit (Abstract and Concrete Noun) Kedua nomina yang dimaksudkan di sini adalah nomina yang bentuk-bentuknya mengalami perubahan dan penyesuaian dalam kalimat. Pembentukan kedua nomina Bsu terjadi karena proses derivasi, yakni membentuk kata baru dengan identitas leksikal berbeda dengan kata dasarnya; dan proses inflektif, yakni membentuk kata baru dengan identitas
leksikalnya
tidak
berbeda
dengan
kata
dasarnya.215
Umpamanya, dari kata islam terbentuk kata muslim; dari kata iman terbentuk kata mu`min. Kata Islam dengan muslim keduanya berbeda identitas leksikalnya, meskipun keduanya berkelas nomina. Berbeda dengan pembentukan secara inflektif, umpamanya kata muslim terbentuk kata muslimân, muslimûn, muslimah dan muslimât. Semua kata yang terbentuk itu sama identitas leksikalnya, karena semuanya terdiri dari huruf dasar yang sama juga semuanya berkelas nomina, hanya perbedaannya terletak pada makna. Sehubungan itu, perlu diketahui bahwa nomina-nomina Bsu yang bercirikan demikian itu terbagi atas nomina yang abstrak dan konkrit.
214
Lihat, Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim Bahasa Indonesia, h. 18. Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary, h. 53. 215 Alat yang digunakan untuk penyesuaian bentuk itu biasanya berupa afiks, yang mungkin berupa prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga berupa modifikasi internal, yakni perubahan yang terjadi di dalam bentuk dasar. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 170; dan O. Setiawan Djuharie, Teknik dan Panduan Menerjemahkan Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia, h. 42
cxxxv
Muhammad Hamâsah mengelompokkan al-Masdar sebagai nomina abstrak.216 Al-Masdar merupakan nomina yang sekedar menunjukkan makna peristiwa tanpa terikat dengan waktu serta mengandung semua huruf yang terdapat di dalam verbanya.217 Karena itu, ia merupakan sumber derivasi bagi bentuk verba maupun nomina lainnya. Ia dapat berfungsi sebagai subjek, predikat, objek, pelengkap dan keterangan. Namun, untuk mencari padanannya dalam Bsa sesuai dengan terjemahan alQuran, maka Al-Masdar dapat digunakan untuk menyatakan beberapa keterangan, antara lain: (1) untuk menyatakan keterangan cara, seperti // kecuali kamu mengucapkan
ً@ُْو:َ ًFْ1َ6 ا1ُ1ُ(َ ْ أَنzِإpada ayat 235:
kata-kata yang baik; (2) untuk menyatakan keterangan sebab, seperti //
ًْUَُ ﺏZz َلَ اbْْ[ُُوا ﺏِ َ أَﻥKَ ْْ أَنXَُ-ُ[ِْ أَﻥZَِ َ اﺵََْوْا ﺏ-ْ2ِﺏpada ayat 90:
sangatlah buruk mereka menjual dirinya, dengan mengingkari apa yang diturunkan Allah karena dengki; (3) untuk menyatakan
ِZِ@ َِلbْ ِي أُﻥzﺵَُْ رَ َ]َنَ اketerangan similatif, seperti pada ayat 185: // Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya ِسz ِ ًاْ(ُْ'نُ هُى diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia; (4) untuk
ْBَ ِسzَ اBِ َ و207:
menyatakan keterangan alasan, seperti pada ayat
// Dan di antara manusia ada orang
ِZz َءَ َْﺽَتِ اUُِْ اﺏZَ-ْ[َِْي ﻥ3َ
yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Berbeda dengan Al-Masdar yang dikelompokkan pada nomina abstrak, berikut ini adalah nomina-nomina yang bisa dikategorikan pada nomina abstrak juga konkrit, yaitu: ism al-Fâ’il, ism al-Maf’ûl, al-Sifah 216
Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 83. Apabila nomina itu menunjukkan makna peristiwa tetapi tidak mengandung semua huruf verbanya dinamakan ism al-Masdar, seperti tawadda`a-wudû`an, takallama-kalâman. Lihat, Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 161 217
cxxxvi
al-Musyabbahah,
ism
al-Tafdîl,
bentuk-bentuk
hyperbola
(al-
Mubâlaghah), ism al-Zamân, ism al-Makân dan ism al-Âlah. Ism al-Fâ’il biasanya dipadankan dengan menggunakan partikel pe-, seperti pembuat, penulis dan pembaca. Namun, ketika nomina tersebut sulit dipadankan dengan cara itu, maka bisa dilakukan dengan dua cara lain, yaitu: (1) dengan menggunakan kata kerja, seperti pada // Sungguh Aku hendak
ًَ[ِ َ اَْرْضِ ﺥ7ِ@ ٌLِAَ 7إِﻥ:
ayat 30
ْXُ ََ ِْ6 ٍMَِ ﺏَِﺏ5ْوَ َ أَﻥmenjadikan khalifah, juga seperti pada ayat 145: // dan engkaupun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Cara itu biasanya digunakan pada ism al-Fâ’il yang berfungsi seperti verbanya, yakni verba yang membutuhkan objek atau pelengkap; (2) dengan merujuk kepada pelaku baik manusia atau lainnya kemudian ditambahkan kata // jika kamu orang-orang
َBِ6ِْ ﺹَدXُُْإِنْ آyang,
seperti ayat 23 :
yang benar.218 Dan kedua cara itu sesuai dengan definisi ism al-Fâ’il itu sendiri, yakni sifat yang dipungut dari kata verbal aktif. 219 Kemudian, ism al-Maf’ûl
dilihat dari definisinya merupakan
kebalikan dari ism al-Fâ’il, yakni terambil dari verba pasif. Sehingga padanan yang lazim adalah dengan menggunakan partikel di atau ter. Sehubungan ism al-Maf’ûl juga merupakan sifat, maka terjemahannya selalu diletakkan kata yang setelah acuan namanya. Tetapi ada juga ism al-Maf’ûl yang kemudian dipadankan dengan cara lain, seperti kata pada ayat 263 diartikan yang baik tidak diartikan yang dikenal ٌُْوف:َ
pada ayat 252 diartikan َBِ َ"ُْ ْاatau yang diketahui, juga seperti kata para rasul tidak diartikan orang-orang yang diutus. Terjemahan jenis Untuk menunjukkan bahwa bentuk ism al-Fâ’il itu jamak ditandai dengan sufiks ونatau B , kemudian biasanya dipadankan dengan cara reduplikasi, seperti orang-orang. 219 Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 178. 218
cxxxvii
ini dinamakan terjemahan komunikatif, karena berusaha menciptakan efek yang dialami pembaca Bsa sama dengan efek yang dialami pembaca Bsu. Keluwesan kata-kata dan struktur diupayakan dengan cara
menghilangkan
bagian
struktur
kata atau
kalimat,
atau
menghilangkan pengulangan serta memodifikasi penggunaan jargon.220 Kata nominal Bsu yang digunakan untuk menunjukkan dua hal yang sama sifatnya dan salah satunya melebihi disebut ism al-Tafdîl. Kata yang digunakan untuk menunjukkan kelebihan itu diikutkan pada / fu’lâ untuk
7 :@
/ af’alu untuk maskulin dan
L:@أpola
kata
feminin. 221 Adapun pola ism al-Tafdîl yang dapat dipadankan dalam terjemahan terbagi ke dalam dua pola, yaitu: (1) Nomina yang tidak disertai al dan tidak disandarkan pada nomina //
ِLَْ(َْ اBِ َُْوَاْ[َُِْ أَآberikutnya,
seperti pada ayat 217:
Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Pola ini merupakan ungkapan perbandingan (The Comparative expresses) antara sifat dua nomina yang terletak sebelum ism al-Tafdîl dan (al-Mufaddal ‘alaih). Karena ,
B itu,
B nomina
yang sesudah preposisi
ism al-Tafdîl dan setelahnya terdapat frasa preposisinal
maka pola kalimat tersebut dapat dipadankan secara gramatikal dalam Bsa-nya dengan pola kalimat “lebih ... daripada ...”222 220
Peter Newmark, Approaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 42 Terkecuali pada tiga nomina, yakni khair, syarr dan habb, hamzah pada pola kata af’alu wajib dibuang, karena tiga kata tersebut secara baku telah banyak digunakan. 222 Ungkapan perbandingan sifat antara dua nomina dalam bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris. Untuk menunjukkan bahwa ajektiva yang melekat pada nomina itu dibandingkan, bahasa Indonesia hanya menyatakannya dengan lebih ...daripada...tanpa ada perubahan secara flektif pada ajektivanya. Sedangkan bahasa Inggris menyatakannya melalui afiksasi (-er) pada akhir ajektivanya yang kurang dari dua suku kata dan ditambahkan kata than setelahnya. Ajektiva yang terdiri dari tiga suku kata, sebelumnya ditambahkan kata more tanpa afiksasi pada ajektivanya. Lihat, 221
cxxxviii
Nomina yang tidak disertai al dan disandarkan (idâfah) pada (2) // ِسzا
َْ أَﺡَْصXُzوََََِﻥnomina berikutnya, seperti pada ayat 96:
Engkau akan mendapati mereka manusia yang paling tamak. Frasa yang bergaris bawah pada ayat tersebut merupakan ungkapan “paling” atau “ter...” (The Superlative Expresses) dengan tarkîb idâfiy. Ungkapan Bsu ini mengandung pola MD dan secara gramatikal dapat dipadankan ke dalam Bsa-nya dengan pola DM, seperti terjemahan pada ayat di atas. Dengan demikian, ism al-Tafdîl dengan segala bentuknya dapat dipadankan secara gramatikal dengan penyusunan pola lebih ...daripada untuk ungkapan perbandingan (comparative) dan perubahan dari pola MD ke pola DM untuk ungkapan “paling” atau “ter...” (The Superlative Expresses). Sedangkan bentuk-bentuk yang hyperbola (mubâlaghah)223 Bsu dimaksudkan untuk memberikan makna lebih dan banyak pada suatu perbuatan. Pada umumnya, bentukan katanya terambil dari bentuk masdar dan terambil dari verba transitif yang memiliki tiga huruf dasar serta mengikuti pola kata (wazn) yang populer, seperti fa’’âl, mif’âl, fa’ûl, fa’îl, fa’il, fi’’îl, fu’alah dan mif’îl.224 Adapun bentuk hyperbola yang melekat pada nama dan sifat-sifat Allah dapat dipadankan dengan
‘Abd al-Halîm al-Sayyid Munsiy dan ‘Abd al-Razzâq Ibrâhîm, al-Tarjamah: Usûluhâ wa Mabâdi`uhâ wa Tatbîquhâ (Riyad: Dar al-Murîkh, t.t.), h. 53. 223 Bentuk-bentuk kata hyperbola diterima sesuai dengan hasil pendengaran (samâ’iy). Karena itu menurut para peneliti bentuk-bentuknya dikembalikan kepada makna sifat, karena kebanyakan verba itu dijadikan sebagai sifat yang melekat pada diri seseorang. Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ alDurûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 193. 224 Yâsîn al-Hâfiz, al-Tahlîl al-Sarfiy (Damsyiq: Dâr al-‘Asmâ`, 1997), h. 123-124.
cxxxix
// ٌXِ َA
ٌMِ َ" َZz اzإِنmenambahkan kata Maha,225 seperti pada ayat 181: Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Ism al-Makan226 bisa saja dipadankan dengan keterangan tempat, sehingga terjemahannya memunculkan kata tempat, seperti pada ayat // dan kepada-Mu tempat kembali; tetapi selain itu
ُِ&َ ْوَإَِْ^َ ا285 :
ada juga kata tempat itu tidak dicantumkan untuk penghematan kata, // dan milik Allah timur
ُِْبUَ ِْْقُ وَا3َ ِْ اZz َِو:
seperti pada ayat 115
dan Barat. Padahal al-Masyriq mempunyai makna leksikal, tempat matahari terbit, kemudian beralih menjadi makna gramatikal, demikian pula dengan kata al-Maghrib.227 b. Kata verbal Verba Bsu mengenal adanya tenses atau konsep kala. 228 Kala ini lazimnya menyatakan waktu sudah lampau, sekarang dan akan datang. Kala yang menunjukkan perbuatan atau kejadian yang lampau disebut kala perfektif (mâdî) dan kala yang menunjukkan perbuatan atau kejadian yang sedang berlangsung disebut kala progresif (hâl). Sedangkan kala yang menunjukkan perbuatan yang akan berlangsung disebut kala imperfektif (istiqbâl). 225
Leksikal Maha mempunyai makna besar atau agung. Ia termasuk unsur prefiks sebagai padanan leksikal bahasa asing dan sebagai unsur pembentuk kata-kata baru, seperti mahakuasa, mahaadil, maha penyayang, maha pengasih, mahaguru, mahasiswa, mahaputra. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 80. 226 Ism al-Zamân dan ism al-Makân memiliki bentuk-bentuk kata yang sama, perbedaannya terletak pada definisi, yang pertama menunjukkan waktu terjadinya peristiwa sedangkan yang kedua menunjukkan tempat terjadinya; juga perbedaan itu terletak pada makna tekstual, yakni suatu kata yang ditentukan oleh hubungannya dengan kata lain. 227 Makna Gramatikal disebut juga makna konotasi atau makna struktural adalah makna yang timbul akan bergantung pada struktur tertentu sesuai dengan konteks dan situasi di mana kata itu berada. Makna gramatikal biasanya digunakan sebagai pigura bahasa untuk memperoleh makna estetis. Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 62. 228 Kala atau tenses adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan waktu terjadinya perbuatan, kejadian, tindakan, atau pengalaman yang disebutkan dalam predikat. Lihat, Abdul Chaer, Lingusitik Umum, h. 260.
cxl
Bsu termasuk salah satu bahasa yang menandai kala secara morfemis; artinya pernyataan kala itu ditandai dengan bentuk kata tertentu pada verbanya. Sehingga verba yang menyatakan kala lampau dikenal dengan verba perfektif (mâdî). Sedangkan verba yang menyatakan kala yang sedang atau akan berlangsung dikenal dengan verba imperfektif (mudâri’). Perubahan verba secara morfemis dari kala perfektif kepada imperfektif dapat dilihat pada contoh berikut: Verba Bsa
Verba imperfektif (Bsu)
Verba perfektif (Bsu)
berkata
ل1(
ل6
mengetahui
X :
X A
mengambil
ﺥ
أﺥ
Berdasarkan contoh di atas, maka bentuk-bentuk verba tersebut merupakan kata yang sama, yang berarti juga mempunyai identitas leksikal yang sama, yakni terdiri dari tiga huruf pada verba perfektif, yang menunjukkan kala lampau. Kemudian menjadi verba imperfektif setelah mengalami proses derivasional berupa imbuhan (prefiks) huruf yâ`, yang menunjukkan kala sedang atau akan berlangsung. Meskipun telah terjadi perubahan, keduanya masih merupakan kelas kata yang sama, yakni verba. Berbeda dengan Bsa yang tidak menandai kala secara morfemis, melainkan secara leksikal, antara lain dengan kata sudah untuk kala lampau, sedang untuk kala kini dan akan
untuk kala nanti. Untuk
mengetahui perbedaan ketiga leksikal itu dapat diketahui melalui contoh berikut: (1) Dosen itu sudah mengajar (2) Dosen itu sedang mengajar (3) Dosen itu akan mengajar
cxli
Konsep kala Bsu baik yang lampau, kini maupun akan tidak seluruhnya dipadankan dengan konsep kala Bsa dengan mencantumkan kata sudah, sedang atau akan pada teks terjemahannya, melainkan jika konsep kala Bsu tersebut sudah jelas dengan ditandai KS yang // ْXََُْﺏ3َ
ٍ أُﻥَسLَُ آXِ َA َْ6menunjukkan kala lampau, seperti pada ayat 60:
Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya; atau KS yang //
ِسzَ اBِ ُ[ََء-لُ ا1ُ(ََ"menunjukkan kala kini, seperti pada ayat 241:
Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata; atau KS // َِْﺏ
َ5ْ2ِ َا اْن1َُ6yang menunjukkan kala akan, seperti pada ayat 71:
Mereka berkata, “sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.” Contoh pada ayat 60 di atas, kala Bsu yang ditandai dengan qad dapat dipadankan dengan kala Bsa telah. Kedua leksikal tersebut mengandung makna kala lampau. Sementara itu verba yang ditandai dengan qad dan dipadankan artinya dengan telah terdapat pada enam tempat dari tujuh qad yang ada dalam surah al-Baqarah. Sedangkan satu qad yang tidak dipadankan dengan kata telah adalah seperti contoh pada ayat 144 surah al// Kami melihat wajahmu
ِ َءz- ا7ِ@ َ^ِْ ََ وD َ(َ َْ ﻥََى6Baqarah: menengadah ke langit.
Adapun alasan terjemahan al-Quran Depag RI tidak menerjemahkan qad dengan kata telah karena memang letaknya sebelum verba imperfektif (Mudâri’). Dan apabila qad terletak sebelum verba imperfektif (Mudâri’) maka dipastikan tidak berarti telah melainkan dimungkinkan dua makna, yaitu mengandung makna sedikit/ jarang (al-taqlîl) atau makna banyak/ sering (al-taktsîr). Untuk menunjukkan bahwa qad di situ mempunyai
cxlii
makna, seharusnya terjemahan al-Quran Depag menerjemahkannya dengan salah satu maknanya. , yakni jarang atau sering. Tetapi menurut pendapat al-Zamakhsyariy bahwa qad pada ayat tersebut mengandung arti banyak (al-taktsîr).229 Dan penggunaan makna banyak (al-taktsîr) pada kata qad diterapkan terjemahannya oleh terjemahan al-Quran Depag yang diterbitkan oleh Mujamma’ al-Malik Fahd.230 c. Kata sarana (Partikel) Partikel tidak mempunyai arti leksikal, selama ia tidak berkaitan dengan kelas kata lainnya seperti nomina dan verba. Oleh karena itu, untuk memudahkan padanan kedua bahasa yang berkaitan dengan kata sarana di dalam surah al-Baqarah, maka semuanya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) Partikel yang berkaitan dengan nomina, seperti fî, ilâ, ‘alâ, min; (2) Partikel yang berkaitan dengan verba, seperti saufa, qad, lan; (3) Partikel yang dapat berkaitan dengan keduanya, seperti hamzah, hal.231 Struktur partikel dalam kalimat menempati posisinya sebelum nomina dan verba, kecuali partikel nûn taukîd (penegas) yang posisinya setelah verba. Kata sarana (partikel) dalam al-Quran sangat variatif menurut fungsinya, yakni menghubungkan unit-unit kalimat baik kata, frasa, klausa maupun kalimat dan merubah kalimat deklaratif menjadi kalimat tertentu. Kemudian, partikel tersebut terbagi dua macam, yaitu: (1) partikel yang berfungsi sebagai konjungtor yang meliputi preposisi (hurûf al-Jarr), 229
Jamâl al-Dîn Ibn Hisyâm al-Ansâriy, Mughnî al-Labîb (T.t.p.: Dâr Ihyâ`i al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t.), jilid 1, h. 150. 230 Lihat, Khâdim al-Haramain al-Syarîfain, al-Qurân al-Karîm wa Tarjamah Ma’ânih bi alLughat al-Indûnisiyyah (al-Madînah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tibâ’at al-Mushaf al-Syarîf, 1418 H), h. 37. 231 Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 201.
cxliii
konektor (hurûf al-‘atf) dan ekseptor (âdât al-Istitsnâ`); (2) partikel yang berfungsi sebagai transformator, partikel yang dapat merubah kalimat deklaratif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7 Kata Sarana Bsu dan Bsa Kelas Kata yang No.
dimasuki
Jenis KS Bsu
Padanan KS Bsa
Nomina
Verba
(3)
(4)
X
X
(2)
(3)
(4)
2.
Al-Ta`kîd
X
X
Asertif: Sungguh, hanya
3.
Al-Istifhâm
X
X
Tanya: Apa (kah), siapa
4.
Al-Amr
X
Perintah: hendaklah
5.
Al-Nahy
X
Larangan: Janganlah
6.
Al-‘Ard
X
Sindiran: apakah
7.
Al-Tahdîd
X
Anjuran: mengapakah
8.
al-Tamanniy
(1) 1. (1)
(2) Al-Nafy
(5) Negasi : Bukan, tidak (5)
X
Harapan nihil: andaikan
9.
Al-Tarajjiy
X
Harapan pasti: andaikan
10.
Al-Nidâ’
X
Seruan: Wahai, hai
11.
al-Syart
X
12
Al-Qasam
X
X
Syarat: Barangsiapa Sumpah: Demi
Seluruh kata sarana Bsu yang terdapat di dalam bagan di atas, secara struktural menempati posisi sebelum nomina atau verbanya. Demikian pula padanannya dalam Bsa sama, kecuali kata sarana negasi yang masuk pada nomina padanannya melalui pengubahan posisi (transposisi) seperti contoh // mereka bukanlah orang-orang
َBِِ ْ`ُ ِْ ﺏXُوَ َ هayat 8 surah al-Baqarah:
yang beriman. Bsa menempatkan kata bukan setelah nominanya, karena ini
cxliv
merupakan ciri bahwa kata yang terletak sebelum kata bukan adalah nomina.232 Sementara kata sarana bukanlah jenis kata dalam Bsu, berbeda dengan jenis kata utama, yakni nomina dan verba. Oleh karena itu, seluruh kata sarana tidak mempunyai arti leksikal, yakni arti kata secara lepas tanpa kaitan dengan kata lain. Arti kata sarana barulah jelas setelah dikaitkan dengan kata lain, misalnya inna Allâh // sesungguhnya Allah; bi al-haqq // dengan kebenaran; tsumma antum // kemudian kamu; lâ tufsidû // janganlah berbuat kerusakan. Di samping tidak mempunyai arti leksikal, kata sarana tidak dapat berubah bentuknya dari kata dasar menjadi kata turunan. Padanan kata dan maknanya dalam Bsu maupun Bsa tidak selamanya mengacu pada makna leksikal, tetapi banyak kata-kata yang dapat ditentukan maknanya jika kata itu telah berada dalam satuan yang disebut kalimat. Untuk mengetahui padanan leksikal dan maknanya tentang partikel, akan penulis jelaskan pada sub bab berikutnya. Itu sebabnya katakata seperti itu disebut kata yang terikat konteks. Kata-kata yang dimaksud adalah kata sarana. 4. Terjemahan pada tingkat rangkaian kata (Frasa) Jenis terjemahan di tingkat frasa biasanya merupakan frasa idiom atau konstruksi frasa yang mapan. Namun frasa yang dimaksudkan di sini adalah frasa non idiom. Dalam kajian Bsu, frasa dinamakan tarkîb yang dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu tarkîb wasfiy
232
233
dan tarkîb
Ciri kata nominal ada dua, yaitu: (1) dapat diingkari dengan kata bukan; (2) dapat diikuti oleh kata yang+KS atau yang sangat+KS. Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 82. 233 Tarkîb Wasfiy ialah dua kata atau lebih yang membentuk satuan frasa dengan pola hubungan benda yang disifati (man’ût) dan sifatnya (na’t).
cxlv
idâfiy.234 Sedangkan dalam kajian Bsa, frasa non idiom dibentuk menurut hukum DM (Diterangkan mendahului Menerangkan). Dengan demikian, kedua frasa Bsu di atas tidak ditemukan kesulitan terjemahannya ke dalam Bsa, karena kesamaan konstruksi, seperti ayat 211 dan 144 surah al-Baqarah: Contoh:
ٍََْ 'ٍَ ﺏBِ ْXُْ 'ََْهXََ آL إِ"ْاﺉ7َِْ ﺏLَ"(1) ِِِْ اََْام-َ َْل وَ َْ^َ ﺵَ<َْ ا1َ@(2) Frasa yang bergaris bawah pada contoh (1) adalah tarkîb wasfiy. Dan konstruksi Bsu yang digunakan menggunakan hukum DM. Jika diperhatikan dari susunannya terjemahannya sepadan dengan Bsa (12 = 12), yaitu âyah // bayyinah (bukti // nyata). Hanya saja, pada frasa Bsu ini seringkali diterjemahkan dalam Bsa dengan penambahan leksikal “yang” di antara dua kata, karena memang susunannya tersusun dari nomina dan adjektiva seperti contoh di atas, sehingga terjemahan itu bisa ditambahkan kata “yang”, dan terjemahannya menjadi bukti (yang) nyata. Namun ada juga yang terjemahannya dengan penambahan leksikal “dan”, seperti halâlan // tayyiban (halan dan baik).235 Bahkan terjemahan sejenis frasa di atas tanpa melalui penambahan apapun, seperti contoh (1) atau contoh-contoh frasa yang sudah mapan dan lazim digunakan seperti al-lughah // al-‘arabiyyah (bahasa // Arab), al-mujtama’ // al-hadîts (masyarakat // modern) dan al-tafkîr // alsiyâsiy (pemikiran // politik). Frasa yang bergaris bawah pada contoh (2) adalah tarkîb idâfiy. Jika dilihat dari segi konstruksinya frasa tersebut tidak berbeda dengan frasa Bsu
234
Tarkîb idâfiy ialah dua kata atau lebih yang membentuk satuan frasa dengan pola hubungan kata pokok yang disandarkan (mudâf) dan kata tambahan yang disandari (mudâf ilaih). 235 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 76.
cxlvi
pertama, yaitu frasa yang dibentuk menurut hukum DM, sehingga terjemahan di tingkat frasa ini sepadan (12 = 12), yaitu:
ََ كZْ َوmu = 1
2
2
Wajah 1
Ayat lain, yaitu ayat 164 dalam surah yang sama juga dipadankan dengan hukum DM, seperti khalqi // al-samâwât (penciptaan // langit), ikhtilâfi // al-lail (pergantian // malam). Atau juga frasa yang tersusun dari lebih dua kata terjemahannya sepadan (123 = 123), seperti frasa yang terletak pada ayat 207, ibtighâ`a // mardâti // Allâh (mencari // keridaan // Allah). Berbeda dengan frasa bahasa Inggris yang konstruksinya menggunakan hukum MD (Menerangkan mendahului Diterangkan). Terjemahan rangkaian kata itu dibalik dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hukum DM, sehingga padanannya bukan (12 = 12), tetapi (12 ↔ 21), seperti wajha // ka (your face). Sementara frasa yang tersusun lebih dari dua kata dan rangkaian kata pertama tetap diterjemahkan seperti Bsu-nya dan rangkaian dua kata terakhir menggunakan hukum MD, sehingga padanannya (123 ↔ 132), seperti ibtighâ`a // mardât // Allâh (gain // God’s // Pleasure).236 Namun, ada juga frasa bahasa Inggris yang tersusun lebih dari dua kata menggunakan hukum DM seperti bahasa Indonesia dan itupun hanya berlaku pada dua kata yang terakhir dengan menggunakan kata of sebagai penghubung, seperti ibtighâ`a // mardât // Allâh (to earn // the pleasure // of Allah).237 Namun demikian, kedua frasa Bsu di atas dalam terjemahan Bsa ada yang menggunakan hukum MD seperti bahasa Inggris. Hal itu berarti padanannya menjadi (12 ↔ 21), seperti frasa Bsu yang menggunakan tarkîb 236
Ahmad Zidan dan Dina Zidan, The Glorious Qur`an: Text and Translation (Kairo: Islamic Inc. Publishing & Distribution, 1996), h. 22 dan 32. 237 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur-an: Text, Translation & Commentary (Lahore: SH. Muhammad Ashraf, t.t.), h. 82.
cxlvii
wasfiy, ummatan // wâhidatan (satu // umat) atau dalam bahasa Inggrisnya (one // nation), ta’âmin // wâhidin (satu // makanan). Tetapi pada frasa ilâhun // wâhidun dalam terjemahan al-Quran tidak menerjemahkannya dengan satu // Tuhan melainkan dengan terjemahan padanan budaya yaitu Tuhan // Yang Maha Esa.238 Dan terjemahan seperti ini dilakukan pada semua frasa yang bertuliskan ilâhun wâhidun di sebelas tempat, yaitu surah al-Baqarah/163, alNisâ`/ 171, al-Mâ`idah/ 73, al-An’âm/ 19, Ibrâhîm/ 52, al-Nahl/ 22 dan 51, alKahf/ 110, al-Anbiyâ`/ 108, al-Hajj/ 34 dan Fussilat/ 6.beberapa ayat dan surah lainnya. 5. Terjemahan pada tingkat kalimat Dalam beberapa hal, jika ternyata tingkat frasa tidak bisa dijadikan satuan terjemahan, maka untuk mencapai padanan yang tepat terjemahan dilakukan pada tingkat kalimat. Kalimat yang dimaksud di sini adalah kalimat menurut struktur gramatikal, kalimat menurut fungsi, dan kalimat menurut bentuk gayanya. Pengelompokan kalimat seperti itu dimaksudkan untuk mencari padanan kalimat Bsu dengan Bsa dalam terjemahan. Kalimat menurut struktur gramatikalnya meliputi beberapa kalimat, antara lain: a) kalimat tunggal; b) kalimat majemuk; c) kalimat majemuk setara; d) kalimat majemuk bertingkat. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Gramatika bahasa Arab menyebutnya kalimat sederhana (al-Jumlah al-Basîtah).239 Kalimat ini terdiri dua macam, yaitu kalimat nominal (alJumlah al-Ismiyyah) dan kalimat verbal (al-Jumlah al-Fi’liyyah). Adapun padanan gramatikal Bsu dan Bsa yang berkaitan dengan terjemahan adalah 238
Lihat juga, HB. Jassin, al-Quran al-Karim: Bacaan Mulia (Djakarta: Djambatan, 1978), h. 32 dan Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim (Djakarta: Al-Hidajah, 1971), h. 22. 239 Muhammad Ibrâhîm ‘Ubâdah, al-Jumlah al-‘Arabiyyah: Mukawwanâtuhâ-Anwâ’uhâTahlîluhâ (Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2001), h. 136.
cxlviii
mengubah pola struktur kata (transposisi). Kalimat verbal Bsu diubah menjadi // Allah telah ...ْXِِﺏ1ُ ُ6
َ َA ُZz َ اXََﺥkalimat nominal Bsa, seperti pada ayat 7:
mengunci hati mereka.... Ayat tersebut tidak diterjemahkan mengunci Allah hati mereka... Kalimat ini tidak lazim dalam bahasa Indonesia, kecuali pada kalimat yang dianggap kalimat inversi, seperti contoh dalam bahasa Indonesia: Sepakat kami untuk membantu mereka. Kalimat majemuk adalah kalimat yang merupakan gabungan dari dua kalimat tunggal atau lebih. Kalimat majemuk disebut dalam gramatika bahasa Arab dengan istilah kalimat bersusun (al-Jumlah al-Murakkabah). Mengingat hal yang dibicarakan adalah kalimat majemuk, maka maksud dari dua kalimat tunggal adalah dua klausa. Kalimat majemuk terbagi atas dua macam, yaitu: a) Kalimat majemuk setara, seperti contoh terjemahan ayat 7: Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Terjemahan ini mengandung dua klausa yang setara dengan subjek dan predikat yang sama. Kemudian dua klausa itu dihubungkan dengan menggunakan kata dan. Biasanya kalimat majemuk setara menggunakan kata penghubung untuk menunjukkan jenis hubungan antarklausa. Adapaun jenis hubungan yang muncul dalam kalimat majemuk setara ini bermacam-macam, antara lain: (1) jenis penjumlahan, biasanya menggunakan kata penghubung dan, serta, baik, maupun. Kata-kata ini berfungsi untuk menyatakan penjumlahan atau gabungan kegiatan, keadaan, peristiwa dan proses, contohnya seperti di atas; (2) jenis pertentangan, kata yang digunakannya seperti
tetapi,
sedangkan, melainkan. Kata-kata ini berfungsi untuk menyatakan bahwa hal yang dinyatakan dalam klausa pertama bertentangan dengan klausa kedua, seperti pada ayat 12 surah al-Baqarah: Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari; (3)
cxlix
jenis pemilihan, biasanya kata yang sering digunakan adalah atau. Kata ini berfungsi untuk menyatakan pilihan di antara dua kemungkinan, seperti pada ayat 135: Dan mereka berkata: “Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani; (4) jenis perurutan, dan kata penghubung yang digunakannya adalah
lalu, kemudian.
Kata penghubung ini digunakan untuk
28: Bagaimana menyatakan kejadian yang berurutan, seperti pada ayat kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. b) Kalimat majemuk bertingkat, seperti pada terjemahan ayat 23: “Dan jika kamu meragukan (al-Quran) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surah semisal dengannya...” Terjemahan ayat di atas adalah kalimat majemuk tak setara, karena terdiri dari dua klausa, salah satunya klausa bebas dan lainnya terikat. Induk gagasan dituangkan ke dalam induk kalimat, sedangkan pertaliannya dari sudut pandang yang lain dituangkan ke dalam anak kalimat. Maka terjemahan ayat itu yang menjadi induk kalimat adalah maka buatlah satu surah semisal dengannya; sedangkan jika kamu meragukan(al-Quran) yang Kami turunkan kepada hamba Kami adalah anak kalimat, dengan ciri adanya penanda kata jika. Dengan demikian, kalimat majemuk bertingkat ini memiliki jenis hubungan yang lebih banyak daripada kalimat majemuk setara, antara lain: (1) waktu, biasanya menggunakan kata penghubung sejak, setelah, sebelum, ketika. Kata-kata ini mempunyai fungsi
untuk menyatakan waktu terjadinya
peristiwa atau keadaan yang dinyatakan dalam klausa utama, seperti pada ayat 254: Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan
cl
kepadamu sebelum datang hari yang tidak ada lagi jual beli; (2) syarat, seperti kata penghubung apabila, jika, kalau, seandainya. Fungsi kata ini untuk menyatakan syarat atau pengandaian terlaksananya hal yang disebut dalam klausa utama, contohnya seperti pada ayat 23 di atas; (3) tujuan, seperti kata penghubung agar, supaya, untuk. Fungsi kata ini untuk menyatakan satu tujuan yang disebutkan dalam klausa utama, seperti pada ayat 207: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan
Allah; (4) konsesif, seperti kata penghubung
walaupun, sekalipun, meskipun. Kata ini digunakan untuk menyatakan pernyataan klausa bawahan yang tidak akan mengubah pernyataan yang terdapat dalam klausa utama, seperti pada ayat 221: Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu; (5) pembandingan, seperti kata penghubung seperti, bagaikan, laksana, sebagaimana. Kata ini berfungsi untuk menyatakan perbandingan antara pernyataan pada klausa utama dengan pernyataan pada klausa bawahan, seperti pada ayat 17: Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api; (6) penyebaban, seperti kata penghubung sebab, karena, oleh karena. Kata ini berfungsi untuk menyatakan sebab atau alasan terjadinya sesuatu yang dinyatakan dalam klausa utama, seperti pada ayat 10: dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta; (7) pengakibatkan, seperti kata penghubung sehingga, maka. Kata ini berfungsi untuk menyatakan akibat apa yang dinyatakan dalam klausa utama, seperti pada ayat 55: Kami tidak akan beriman kepadamu sehingga kami melihat Allah dengan jelas; (8) cara, seperti kata penghubung dengan, tanpa. Kata ini digunakan untuk menyatakan cara pelaksanaan dan alat dari apa yang dinyatakan oleh klausa
cli
utama, seperti pada ayat 212: Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa perhitungan; (9) kemiripan, seperti kata penghubung seolah-olah, seakan-akan. Kata ini untuk menyatakan adanya kenyataan yang mirip dengan keadaan yang sebenarnya, seperti pada ayat 101: Seakan-akan mereka tidak tahu. Dalam contoh di atas dapat dilihat dengan jelas jenis hubungan antarklausa, konjungtor atau kata penghubung, dan fungsinya dalam kalimat majemuk bertingkat. Adapun kalimat Bsu menurut fungsinya lebih banyak jenisnya daripada kalimat Bsa. Perbandingan itu dapat dilihat pada tabel partikel Bsu dan Bsa sebelum ini. Suatu kalimat menurut fungsinya akan berbeda dengan kalimat lainnya tergantung kata sarana (partikel) yang masuk ke dalam kalimat itu. Oleh karena itu, kalimat Bsu menurut fungsinya dapat dipadankan dengan kalimat Bsa yang meliputi empat macam kalimat, yaitu: a) kalimat berita (deklaratif); b) kalimat tanya (interogatif); c) kalimat perintah (imperatif); d) kalimat seru.240 a) Kalimat berita (deklaratif) adalah kalimat yang dipakai oleh penutur untuk menyatakan suatu berita kepada mitra komunikasinya. Bentuk kalimat berita bersifat bebas, boleh inversi atau versi, aktif atau pasif, tunggal atau majemuk,
dan
sebagainya.
Yang
terpenting
isinya
merupakan
pemberitaan.241 Kalimat berita Bsu dapat diungkapkan dalam bentuk kalimat positif (itsbât), kalimat negatif (nafy), 240
dan kalimat penegas
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 142-145. Kalimat berita mengandung konsekuensi pada pembicara/ penutur dan menimbulkan efek pada pembaca atau pendengar, apakah berita itu benar atau dusta. Sehingga kalimat yang mengandung pemberitaan itu, dalam Balaghah dinamakan kalâm khabar. Berbeda dengan kalâm insyâ` , pembicaranya tidak bisa disebut sebagai orang yang benar atau dusta. Lihat, ‘Ali al-Jârim dan Mustafâ Amîn, al-Balâghah al-Wâdihah. Penerjemah Mujiyo Nurkholis, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), h. 198. 241
clii
. Ayat َُِون-ْ[ُ ْا
ُXُْ هXُz إِﻥFَ(أta`kîd), seperti pada ayat 12 surah al-Baqarah:
ini merupakan kalimat berita yang mengandung penegasan melalui empat
ُXُ هuntuk menegaskan; pronomina إنuntuk peringatan; Fَأpartikel, yaitu kata definitif yang ditandai dengan َُِون-ْ[ُ ْاsebagai damîr al-Fasl; adanya al,242 sehingga kalimat terjemahannya : ingatlah sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan. b) Kalimat tanya (interogatif) dipakai oleh penutur/ penulis untuk memperoleh informasi atau reaksi berupa jawaban yang diharapkan dari mitra komunikasinya. Kalimat tanya pada ayat-ayat al-Quran tidak terdapat penanda berupa tanda tanya, hanya seringkali kalimat itu diawali dengan kata tanya. Oleh karena itu, dilihat dari bentuknya kalimat tanya Bsu sepadan dengan kalimat Bsa, yakni penggunaan kata tanya. Namun, dalam beberapa ayat yang berbentuk kalimat tanya, terjemahan al-Quran Depag menggunakan tanda tanya di samping kata tanya, seperti pada ayat 44 surah // tidakkah kamu mengerti?. َن1ُ ِ(ْ:َ
Gَ@َأal-Baqarah:
c) Kalimat perintah (imperatif) digunakan oleh penutur untuk menyuruh atau melarang orang berbuat sesuatu. Dengan demikian, kalimat perintah Bsu dapat dipadankan dengan kalimat perintah Bsa pada dua macam kalimat, yaitu: a) kalimat perintah suruhan (jumlah al-Amr); b) kalimat perintah larangan (jumlah al-Nahy). Keduanya dapat dicontohkan seperti pada ayat
ِ اَْرْض7ِ@ ْا1َ=ْ:َ Fَِ وZz ْ رِزْقِ اBِ ا1ُا وَاﺵَْﺏ1ُ ُآ60
surah al-Baqarah:
// makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan
َBِِ-ْ[ُ
janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan. d) Kalimat seru (esklamatif) dipakai oleh penutur untuk mengungkapkan perasaan emosi yang kuat, termasuk kejadian yang tiba-tiba dan 242
Muhammad Husain Salâmah, al-I’jâz al-Balâghiy fî al-Qurân al-Kârim (Kairo: Dâr alÂfâq al-‘Arabiyyah, 2002), h. 18.
cliii
memerlukan reaksi spontan. Pada bahasa tulisan, kalimat ini diakhiri dengan tanda seru, akan tetapi ayat-ayat al-Quran tidak menggunakannya, tetapi cukup menggunakan kata sarana yang mengandung perasaan emosi dan reaksi spontan, misalnya nama-nama yang diawali dengan partikel yâ` nidâ` atau sejenisnya yang berarti wahai atau hai.243 Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan penutur/ penulis secara tepat sehingga dapat dipahami oleh pendengar/ pembaca secara tepat pula.244 Sebuah kalimat bisa dikatakan kalimat efektif jika memenuhi beberapa ciri, antara lain: kesepadanan struktur, keparalelan bentuk, ketegasan makna, kehematan kata, kecermatan penalaran, kepaduan gagasan, dan kelogisan bahasa.245 Di sini, kalimat efektif yang dimaksudkan adalah kalimat Bsa dalam bentuk terjemahan al-Quran oleh Depag RI. Oleh karena itu, ciri-ciri kalimat efektif perlu diterapkan dalam terjemahan al-Quran agar pembaca terjemahan langsung memahami dengan cepat dan tepat. Di antara kriteria kalimat yang sepadan strukturnya dan kehematan kata adalah tidak ditemukan subjek yang ganda dalam kalimat itu. Kalimat Bsu banyak ditemukan subjek yang ganda, misalnya subjek yang berkelas nomina yang terdiri dari dua pronomina yang terletak setelah partikel penegas, seperti // Sungguh Allah Maha Penerima taubat,
ُXِﺡzابُ اz1zَ ا1ُُ هZzإِﻥpada ayat 37:
Maha Penyayang. Ayat tersebut mengandung dua pronomina, yakni Hû yang mengiringi kata penegas inna dan huwa, yang kalau diterjemahkan sungguh Dia Dia.... dan ini memunculkan dua subjek, dan untuk menjadikan kalimat 243
Ya` nida dalam beberapa tempat boleh dibuang, namun mengandung makna kalimat seru, seperti seruan nabi Ibrahim kepada Allah dalam bacaan doanya, seperti pada ayat 127: Rabbanâ taqabbal minnâ // sehingga terjemahannya Ya Tuhan kami, terimalah amal kami.” 244 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 146. 245 E. Zainal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2006), h. 99.
cliv
efektif, salah satunya digantikan dengan partikel –lah sebagai penegasan makna. Kemudian di antara ciri kalimat efektif adalah ketegasan makna. Ketegasan makna dapat dinyatakan dengan penggunaan partikel penekanan (penegasan) seperti partikel –lah pada contoh ayat di atas. Di samping itu, ayat-ayat al-Quran banyak menggunakan partikel penekanan lainnya baik dalam kalimat nominal maupun verbal. Partikel-partikel penegasan (taukîd) dalam terjemahan harus dicarikan padanannya dan juga harus diterjemahkan untuk menunjukkan adanya ketegasan makna dalam kalimat tersebut. Ada beberapa ayat yang mengandung kalimat penegasan itu tidak
ِ اَْرْض7ِ@ ٌLِAَ 7إِﻥditerjemahkan oleh Depag RI, seperti pada ayat 30: ْXَُ َْ ُُآZz اz إِن// Aku hendak menjadikan khalifah ; dan pada ayat 67: ًَ[ِ َﺥ // Allah memerintahkan kamu. Yang seharusnya terjemahan itu menggunakan kata sarana penegasan, seperti sungguh atau sesungguhnya.246 Kalimat tidak lengkap (minor) biasa ditemukan dalam bahasa lisan maupun tulisan. Kalimat itu bisa dinamakan kalimat tidak lengkap, karena ada unsur-unsur atau satuan-satuan kebahasaan yang dilesapkan. Harimurti mengistilahkan kalimat ini dengan elipsis.247 Elipsis dalam mikro struktur teks memegang peranan penting dalam teks susastra, sehingga al-Jurjaniy memandangnya sebagai aspek keindahan ungkapan ( maziyyah al-khitab).248 246
Di antara partikel yang termasuk kata sarana penegas adalah inna, anna, lâm al-ibtidâ`, nûn taukîd, lâm yang terletak sebagai bentuk jawaban sumpah dan qad. Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid 3, h. 264. 247 Harimurti Kridalaksana, Kamus Lingustik (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 40. Elipsis (alhadzf) termasuk kajian penting dalam sintaksis Bahasa Arab terutama tentang kajian i’râb, mulai dari penggantian vokal tunggal (dammah, fathah, kasrah) dengan sukun atau vokal rangkap (tanwîn) dengan vokal tunggal (fathah) ketika penghentian bacaan dilakukan pada kata atau kalimat, hingga penghilangan huruf pada kata dan penghilangan kata serta klausa pada struktur kalimat. Lihat, Ahmad Sa’d Muhammad, al-Usûl al-Balâghiyyah fî Kitâb Sîbawaih (Kairo: Maktabah al-Âdab, 1999), h. 76. Dan menurut Fokker, unsur yang biasa dilesapkan dalam suatu kalimat adalah subjek atau predikat. Lihat, AA Fokker, Sintaksis Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1988), h. 88. 248 ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâniy, Dalâ`il al-I’jâz (Kairo: ‘Abd al-Salâm Hârûn, t.t.), h. 40.
clv
Tujuan pemakaian elipsis ini, salah satunya yang terpenting adalah untuk mendapatkan kepraktisan bahasa sehingga bahasa lebih singkat, padat dan mudah dimengerti dengan cepat. Dalam struktur Bsu mulai dari huruf, kata, frasa hingga klausa dapat dilesapkan di dalam kalimat yang mengandung kesejajaran struktur (paralelisme). Menurut pakar gramatika Bsu bahwa struktur Bsu dapat dinilai paralel jika memenuhi dua komponen kalimat, yaitu fi’l – fâ’il dan mubtada` khabar atau diistilahkan Sîbawaih dengan sebutan musnad – musnad ilaih. Jika salah satu komponennya tidak terdapat dalam kalimat tersebut, maka komponen yang dilesapkan itu harus diperkirakan untuk menciptakan kalimat yang sempurna atau berfaedah. 249 Meskipun dalam beberapa ayat al-Quran elipsis digunakan, namun elipsis itu tidak bisa dipadankan dalam terjemahan Bsa, karena keterpahaman pembaca terhadap terjemahan diperlukan dalam memahami ayat-ayat alQuran, sehingga terjemahan al-Quran Depag tetap menampilkan satuan-satuan bahasa yang dianggap elipsis. Adapun di antara komponen kalimat Bsu yang dilesapkan dalam surah al-Baqarah kemudian pelesapan itu muncul dalam terjemahan al-Quran Depag RI, antara lain:
ْXُه1ُ<َُِ ْوَإِنa) Nomina, seperti pada ayat
220 surah al-Baqarah berikut :
// ‘’Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah
ْXُKَُاﻥ1ِْﺥcَ@
saudara-saudaramu.’’ Kata yang bergaris bawah, seperti yang terdapat pada ayat 220 surah al-Baqarah adalah kata nominal yang dilesapkan yaitu kata ganti nama (pronomina). Adapun pronomina yang dimaksud pada (persona ketiga jamak) yang merujuk kepada 249
Xهcontoh itu adalah damîr
Muhammad Ahmad Khidîr, ‘Alâqah al-Zawâhir al-Nahwiyyah bi al-Ma’nâ fi al-Qurân alKarîm (Kairo: Maktabah Anglo al-Misriyyah, t.t.) h, 107-108.
clvi
(anak-anak yatim).250 Damîr tersebut menempati posisi S atau
7 ا
musnad ilaih dengan subfungsinya mubtada`. // (seraya berdoa), “Ya Tuhan
zِ ْLzَ(َ َzرَﺏb) Verba, seperti pada ayat 127:
kami, terimalah (amal) dari kami. Kata verbal yang dilesapkan adalah kata yaqûlâni (mereka berdua berkata) yang terletak sebelum frasa rabbanâ. Verba yaqûlâni
mengandung S eksplisit yang merujuk kepada Nabi Ibrahim dan Ismail. 251
7ِ@ ٍمzََِ أGَ ُ@َ&َِمc) Frasa, seperti pada ayat 196 dalam surah yang sama: // ‘’Maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam ( musim) haji.’’ Pada َْا contoh itu pelesapan terjadi pada fungsi P atau musnad dengan subfungsi khabar yang terletak setelah KS fâ` jawâb. Dan P yang dimaksud di sini adalah predikat yang didahulukan (khabar muqaddam) yang terdiri dari yang mengandung makna verba imperatif dia
Z :@frasa
preposisional wajib.252
// Dan
ٌz<ِا ﺡ1ُ1ُ6َوd)
klausa, seperti pada ayat 58 surah al-Baqarah:
katakanlah, “Bebaskanlah kami (dari dosa-dosa kami).” Pelesapan yang terjadi pada contoh tersebut adalah pelesapan fungsi S atau musnad ilaih dengan subfungsi mubtada` yang terletak setelah kata qaul atau setelah kata-kata yang secara morfemis berasal dari kata qaul, seperti verba perfektif aktif (qâla), verba perfektif pasif (qîla), verba imperfektif aktif (yaqûlu), verba imperfektif pasif (yuqâlu), verba imperatif (qul) dan verba noun (qaul). Sementara verba yang terdapat pada contoh itu adalah verba imperatif dengan S persona kedua jamak yang merujuk kepada Bani Israil.
250
Demikian menurut pendapat para pakar i’râb al-Quran seperti al-Akhfasy, al-Farrâ`, Abû ‘Ubaidah, al-Zajjâj dan al-Nahhâs. Lihat, Muhammad Ahmad Khidîr, ‘Alâqah al-Zawâhir alNahwiyyah bi al-Ma’nâ fi al-Qurân al-Karîm, h, 116. 251 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuhu, jilid 1, h. 188. 252 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuhu, jilid 1, h. 257.
clvii
Sedangkan klausa yang dilesapakan dari konstruksi kalimat ada dua .253 Selain itu, <ﺡ
2- dan < ﺡA <اﺡkemungkinan yaitu klausa
elipsis juga terjadi pada klausa lain, yakni verba imperatif, seperti pada ayat // ‘’ Katakanlah, “(tidak!)
ً[ََِ ﺡXَِ إِﺏَْاهz ِ ْLَْ ﺏLُ6135 surah al-Baqarah:
Tetapi (ikutilah) agama Ibrahim yang lurus.‘’ Menurut Abû ‘Ubaidah, verba imperatif yang dihilangkan pada ayat tersebut adalah ittabi’û (ikutilah). 254 Kalimat inversi adalah kalimat yang P-nya mendahului S. Urutan P-S dipakai untuk penekanan atau ketegasan makna. Kata atau frasa yang menempati posisi pertama dalam kalimat itu akan menjadi kata kunci yang mempengaruhi makna dalam hal menimbulkan kesan tertentu.255 Dengan demikian, pada kalimat inversi ini tidak terjadi transposisi teks Bsu terhadap teks Bsa, seperti perubahan fungsi P-S menjadi P-S atau jumlah fi’liyyah menjadi jumlah ismiyyah. Pada kenyataannya, kalimat inversi Bsu tidak hanya terjadi pada pola PS semata, melainkan pola-pola lainnya juga banyak ditemukan dalam beberapa ayat al-Quran. Namun, kesepadanan kalimat inversi Bsu dan Bsa harus terjadi pada Terjemahan al-Quran. Dalam beberapa ayat yang termasuk kalimat inversi, terjemahan al-Quran Depag juga menerjemahkan dengan kalimat inversi juga. Oleh karena itu, padanan kalimat inversi Bsu dengan Bsa dapat dikelompokkan pada dua jenis kalimat (jumlah), yaitu : a) kalimat nominal (jumlah ismiyyah), seperti pada ayat 142 surah al-Baqarah: // katakanlah: “Milik Allah-lah timur dan
253
ُِْبUَ ِْْقُ وَا3َ ِْ اZz ِ ْLُ6
Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuhu, jilid 1, h. 110. Abû ‘Ubaidah, Majâz al-Qurân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1981), jilid 1, h. 57. 255 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 146.
254
clviii
barat.” Pada contoh ini, kata yang bergaris bawah adalah mubtadâ` (S) yang seharusnya di permulaan kalimat 256 dan khabarnya (P) setelahnya. b) kalimat verbal (jumlah fi’liyyah), seperti pada ayat 215 surah al-Baqarah: // dan kebaikan apa saja yang kamu
ٌXِ َA ِZَِ ﺏZz اzِنcَ@ ٍَْْ ﺥBِ ا1ُ َ:ْ[َ َ َو
kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Pada contoh ini yang didahulukan dalam kalimat tersebut adalah objek (maf’ûl bih) sementara verbanya diakhirkan. Hal itu disebabkan oleh pentakwilan mâ ` mausûlah sebagai pentakwilan syarat dan jawab, yakni Wa ayya khairin taf’alû fa inna Allâha bihî ‘alîm.257 Berkaitan dengan inversi dalam kalimat verbal, ternyata ada ayat yang tidak diterjemahkan menurut kalimat inversi Bsu, seperti pada ayat 41 surah // dan bertakwalah hanya kepada-Ku dan juga pada // dan takutlah kepada-Ku saja.
ِن1ُ(zَ@ َيzِوَإal-Baqarah:
ِن1َُيَ @َرْهzِوَإayat
sebelumnya, ayat 40:
Ayat tersebut maf’ûl bih (O) didahulukan daripada verbanya. Padahal dilihat dari bentuknya ayat ini sama dengan ayat 5 surah al-Fâtihah yang terjemahannya : Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Perbedaannya terletak pada verbanya, yakni verba di atas menggunakan verba imperatif, sedangkan verba dalam surah al-Fatihah menggunakan verba imperfektif. Padanan terjemahan yang menunjukkan kalimat inversi pada dua ayat tersebut memang sulit, sehingga terjemahan al-Quran pada edisi baru merevisinya dengan mendahulukan verbanya seperti terjemahan di atas. Di sinilah, inkonsistensi terjadi dalam terjemahan al-Quran Depag edisi baru. Revisi ini seharusnya
256
Berdasarkan definisi mubtadâ`, yakni nomina definitif yang dibaca rafa’ yang mestinya didahulukan serta tidak terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka menurut Tammâm Hassân ini merupakan kaidah pokok bagi mubtadâ`. Lihat, Tammâm Hassân, al-Usûl: Dirâsah Istimûlujiyyah li al-Fikr al-Lughawiy ‘inda al-‘Arab (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2000), h. 125. 257 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuhu, jilid I, h. 452.
clix
juga melihat terjemahan al-Quran Depag sebelumnya yang dicetak oleh pemerintah Saudi Arabia yang berbunyi: Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus bertakwa. Dalam terjemahan al-Quran itu, kalimat inversi Bsu tetap diterjemahkan menurut kalimat inversi Bsu-nya. Sebab kalimat itu merupakan kalimat efektif dan indah serta mempunyai maksud, jika ditinjau dari segi gaya bahasa
(retorika)
yang
benar-benar
diperhatikan
pembahasannya oleh ahli Balaghah. 258
dan
dipentingkan
Mungkin ini sebagai alternatif
terjemahan yang berorientasi pada kalimat inversi, meskipun tidak sepenuhnya benar, yakni dan hanya kepada Aku, hendaklah kamu bertakwa; dan hanya kepada Aku, hendaklah kamu takut. Munculnya kata hendaklah merupakan apresiasi makna dari verba imperatif, sebagaimana verba imperfektif yang dimasuki partikel lâm al-Amr (partikel imperatif), seperti pada ayat 29: ”Barang siapa menghendaki (beriman) maka hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” 6. Terjemahan pada tingkat teks Terjemahan jenis ini dilakukan apabila terjemahan pada tingkat kalimat sudah tidak menjadi satuan terjemahan. Teks terjemahannya ialah teks secara keseluruhan dari beberapa kelompok kalimat mandiri. Menurut Salihen, bahwa teks yang digunakan untuk terjemahan tingkat ini adalah teks-teks puisi. Alasan teks puisi menjadi satuan terjemahan, karena antara teks Bsu dan Bsa tidak bisa ditentukan padanan-padanannya baik di tingkat kata, frasa, maupun di tingkat kalimat.259
B. PADANAN LEKSIKAL
258 259
Lihat ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâniy, Dalâ`il al-I’jâz, h. 108. Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan, h. 42.
clx
Bagaimanapun, sebuah terjemahan adalah kreasi dan ijtihad manusia yang tidak luput dari kekurangan. Faktor eksternal juga sangat mempengaruhi dalam terjemahan, yakni bahasa yang akan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan teks Bsu. Karena itu, tugas penerjemah tidak hanya menyampaikan pesan atau makna teks, melainkan juga menyusunnya dalam Bsa serta memperbaiki kekurangan-kekurangannya akibat tidak berterima oleh pembaca. Oleh karena itu, agar bisa dipahami oleh kalangan umum, para penerjemah al-Quran Depag sepakat untuk tidak menggunakan bahasa ilmu sosial yang sedang berkembang saat ini, tetapi lebih memilih bahasa Indonesia yang sederhana. 260 Terjemahan al-Quran Depag RI juga tidak berbeda jauh dengan terjemahan-terjemahan pada umumnya. Harus diketahui bahwa menerjemahkan satu ungkapan al-Quran berarti juga menafsirkan terhadap ungkapan tersebut. Jika ungkapan al-Quran tersebut mempunyai beberapa kemungkinan arti, maka penerjemah harus memilih salah satu saja dari sekian arti tersebut. Tidaklah elok, apabila semua arti tersebut dikemukakan secara keseluruhan. Untuk itu, terjadi tarik ulur antara satu penerjemah dengan penerjemah lainnya.261 Sehubungan hal itu, antara kata dan arti atau makna tidak bisa dipisahkan dan itulah yang dibicarakan oleh semantik leksikal yang menekankan kajian makna pada tingkat kata.262 Dengan demikian, kata merupakan momen kebahasaan yang bersama-sama dalam kalimat untuk menyampaikan pesan dalam suatu komunikasi. 260
Ahsin Sakho Muhammad, “Aspek-aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama ”, h. 162. 261 Ahsin Sakho Muhammad, “Aspek-aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama ”, h. 156. 262 Verhaar berkata, “Perbedaan antara leksikon dan gramatikal menyebabkan bahwa dalam semantik kita bedakan pula antara semantik leksikal dan semantik gramatikal.” Mengenai semantik leksikal tidak terlalu sulit: sebuah kamus merupakan contoh yang tepat untuk semantik leksikal; makna tiap kata diuraikan di situ. Lihat, Verhaar, Pengantar Linguistik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), h. 9.
clxi
Melihat kenyataan yang terdapat di dalam al-Quran maupun terjemahannya bentukan kata dapat dibagi atas: 1) bentuk dasar (leksem) yang bermakna leksikal, 2) paduan leksem, 3) bentuk imbuhan, 4) bentuk berulang, 5) bentuk majemuk, 6) bentuk yang terikat dengan konteks kalimat. 1. Leksem dan makna leksikal Setiap kata mempunyai bentuk, dan dalam beberapa hal, ada kata yang memiliki bentuk dasar yang oleh para linguis disebut leksem.263 Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon disamakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat dipersamakan dengan kata.264 Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Kemudian, makna leksikal juga dapat dikatakan makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata jannah makna leksikalnya adalah taman yang memiliki pepohonan sehingga bumi tertutupinya.265 Jannah dalam bentuk tunggal yang diartikan kebun :dalam surah al-Baqarah hanya terdapat pada dua ayat, yakni ayat 265 dan 266 // seperti sebuah kebun yang terletak di dataran ٌLِوَاﺏ
َََةٍ أَﺹَﺏ1ٍْ ﺏَِﺏzَ ِLَ=َ َآ
tinggi yang disiram oleh hujan lebat. Sedangkan jannah yang diartikan surga bisa berbentuk tunggal dan jamak. Namun jannah yang mempunyai arti surga secara umum dinyatakan dalam bentuk jamak, yakni jannât seperti pada ayat // sesungguhnya mereka disediakan
ُْ ََِْ اَْﻥَْرBِ تٍ َِْيzَ ْXَُ zأَن25:
263
P.H. Mattews, Morphology an Introduction to The Theory of Word Structures (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), h. 22. 264 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 60. 265 Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 105.
clxii
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Menurut Ibn ‘Abbâs jannah yang berarti surga seringkali dijamakkan, karena keberadaan surga itu jumlahnya tujuh, yaitu al-Firdaus, ‘Adn, al-Na’îm, Dâr al-Khuld, al-Ma`wâ`, Dâr al-Salâm dan ‘Illiyyîn.266 Sebenarnya yang terjadi adalah pepohonan pada pengertian kebun, lalu digunakan secara metaforis, perbandingan. Yang diperbandingkan adalah pepohonan sebagai komponen utama kebun, sehingga surga diserupakan dengan kebun atau taman di bumi, meskipun antara keduanya terdapat perbedaan. Makna yang dimaksud di sini adalah bentuk yang sudah dapat diperhitungkan sebagai kata. Dalam kata-kata al-Quran terdapat kata kharaja, dan kata ini menghasilkan bentuk kata turunan menjadi khurija, akhraja, kharraja, takharraja dan istikhraja. Demikian pula dalam terjemahannya, kata keluar dapat menghasilkan kata turunan mengeluarkan, dikeluarkan. Dua kata tadi, yakni kharaja dan keluar telah memiliki makna leksikal, dan demikian pula kata turunannya. Dan bentuk-bentuk kata ini dapat ditemukan di dalam kamus bahasa. Jadi, makna dalam leksem di sini adalah makna leksikal yang terdapat dalam leksem yang berwujud kata, yang makna leksikalnya dapat dicari dalam kamus. 2. Bentuk paduan leksem dan maknanya Kata-kata al-Quran yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia juga banyak ditemukan yang berbentuk paduan leksem, yakni gabungan dua leksem atau lebih yang diperhitungkan sebagai kata.267
266
Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 106. Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 104. 267
clxiii
Pada bagian ini, penulis ambil beberapa contoh paduan leksem yang terdapat di dalam surah al-Baqarah dalam bentuk kata Bsu dan terjemahannya menurut terjemahan al-Quran Depag, di antaranya: Makna
Paduan
Inti
Ahli Kitab
Ahl al-Kitâb
Ahl (a)
Agama Ibrahim
Millah Ibrâhîm
Millah (b)
Maqam Ibrahim
Maqâm Ibrâhîm
Maqâm (c)
Rida Allah
Wajh Allâh
Wajh (e)
Kata Ahl secara leksikal berarti famili, keluarga, kerabat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia di samping bermakna famili, keluarga juga bermakna orang yang mahir dalam sesuatu ilmu (pengetahuan, kepandaian).268 Dan al-Kitâb merupakan kata yang memiliki makna kognitif ,269 yakni makna kognitif jika diartikan buku, kitab. Sedangkan dan emotif makna emotifnya bisa bermacam-macam kitab, seperti kitab al-Quran, kitab Injil dan Taurat, sebagaimana kata kitâb banyak disebut-sebut dalam al-Quran. Kata Ahl al-Kitâb itu sendiri juga banyak disebutkan dalam al-Quran sebanyak 31 kali. Delapan surah masuk kategori Madaniyah dan satu surah Makkiyah. Dari beberapa surah yang menceritakan Ahl al-Kitâb itu dapat dirujukan kepada umat yang beragama Yahudi, Nasrani, dan agama lain seperti Sabiin dan Majusi serta agama lainnya di luar Islam. 270
268
19.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.
269
Makna kognitif disebut juga makna deskriptif atau denotatif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan. Ini berarti makna tersebut memiliki acuan (referent) sesuatu yang telah disepakati oleh masyarakat, karena itu makna kognitif disebut juga makna referensial. Sedangkan makna emotif adalah makna yang melibatkan perasaan (pembicara dan pendengar; penulis dan pembaca). Lihat, T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna (Bandung: Refika Aditama, 1999), h. 11. 270 M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik al-Quran (Bekasi: Gugus Press, 2002), h. 239.
clxiv
Sedangkan Ahli Kitab menurut kamus bahasa Indonesia mengandung dua pengertian, yaitu: (1) orang-orang yang berkitab suci; (2) orang yang ahli dalam pengetahuan kitab suci.271 Dengan demikian, terdapat kesepadanan leksikal, yaitu kitab. Ia termasuk kata bebas, yakni kata yang dapat berdiri sendiri dalam ujaran tanpa mendapat imbuhan atau tanpa di dampingi kata yang lain, serta kata bebas maknanya bisa bergeser apabila kata tersebut berada di dalam kalimat.272 Millah mengandung makna leksikal syariat agama (al-Syarî’ah fî alDîn) dan agama (al-Dîn).273 Baik kata millah
maupun al-Dîn keduanya
diterjemahkan dengan agama. Padahal makna keduanya berbeda, yakni kata al-Dîn diungkapkan untuk menyatakan ketaatan dan ketundukan kepada syari’at.274 Kata millah adalah nama syariat Allah untuk dilaksanakan oleh para hamba-Nya melalui para nabi. 275 Perbedaannya bahwa kata millah tidak 135 surah al- disandarkan kecuali hanya pada nabi tertentu, seperti pada ayat // katakanlah: “Tidak! Tetapi kami
ً[ََِ ﺡXَِ إِﺏَْاهz ِ ْLَْ ﺏLُ6Baqarah:
mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Bahkan hampir tidak ditemukan kata millah disandarkan pada nama Allah, apalagi kepada umat nabi. diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menurut
Kata Maqâm
transliterasinya, karena sulit untuk dicarikan padanannya, sehingga kata tersebut dijelaskan dalam catatan kaki. Hal itu disebabkan oleh makna yang terkandung dalam kata Maqâm tidak ditemukan padanannya. Meskipun, bahasa Indonesia memiliki kata makam, kata ini tidak bisa dipadankan, karena kata makam mempunyai arti (1) tempat tinggal, kediaman ; (2) kubur, 271
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 19. Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 139. 273 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1360. 274 Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 181. 275 Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 476. 272
clxv
permakaman.276 Padahal Maqâm yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah batu yang dijadikan tempat berdiri nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah. 277 Wajh pada asalnya adalah al-Jârihah (anggota tubuh). Ketika wajh diartikan muka, maka anggota tubuh itulah yang pertama kali menghadap.278 Inilah yang dinamakan makna leksikal. Kata nominal wajh seperti pada ayat 115 dan 272 surah al-Baqarah diterjemahkan dengan arti yang berbeda. Pada ayat 115 diterjemahkan dengan wajah, maksudnya adalah arah Allah (al-Jihah); dan pada ayat 272 diterjemahkan dengan rida (mardât Allah). Meskipun kata yang sama tersebut diterjemahkan dengan terjemahan yang berbeda, pada esensinya kedua kata tersebut disandarkan pada Allah. Sehingga arah Allah yang dimaksudkan adalah arah yang diridai Allah dan diperintahkah untuk menghadapnya. 279 Sedangkan wajh yang diterjemahkan rida Allah termasuk metaphora (majâz mursal), meskipun yang dinyatakan itu sebagian (wajh) namun yang dimaksudkan adalah keseluruhan. Inilah yang diistilahkan dalam retorika bahasa Arab dengan majâz mursal ‘alâqatuhu al-Juz`iyyah. 280 3. Bentuk kata berimbuhan dan maknanya Setiap
leksem
atau
kata
yang
mendapatkan
imbuhan
akan
mengakibatkan munculnya makna baru. Bahkan Ibn Jinniy mengakui adanya makna tambahan dari makna kata dasar karena adanya tambahan huruf atau harakat.281 Baik kata-kata yang terdapat di dalam al-Quran maupun bahasa 276
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 622. Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsir (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jilid I, h. 83. 278 Lihat, Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 529. Lihat juga W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 1145. 279 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsir (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jilid I, h. 78. 280 Al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsir, jilid I, h. 91. 281 Abû al-Fath ‘Utsmân Ibn Jinniy, al-Khasâis (Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, 1957), jilid I, h. 223. 277
clxvi
Indonesia tidak jauh berbeda mengenai perubahan makna akibat imbuhan itu. Sehingga kata-kata berimbuhan dalam al-Quran menjadikan kata-kata terjemahanpun berbeda dengan leksem atau kata sebelumnya. Kebanyakan kata-kata nominal dan verbal Bsu yang mengalami derivasi dan fleksi akan mengalami perubahan makna. Misalnya kata nominal yang ditambahkan ta` marbutah akan berpengaruh terhadap makna, yang semula maskulin berubah menjadi feminin. Namun tidak semua kata yang ditambahkan ta` marbutah menjadi feminin, seperti kata kitâbah yang berarti tulisan. Untuk itu, imbuhan kata nominal maupun verbal Bsu terdiri dari morfem bebas dan morfem terikat. Penambahan itu bisa dilakukan dengan cara derivasional (isytiqâqiy) maupun flektif (i’râbiy), seperti contoh berikut ini: a. Qatala : yaqtulu, qatlah, qitlah, qâtil, maqtûl dan seterusnya. yaqtulu : qâtala-yuqâtilu, taqâtala-yataqâtalu, iqtatala-yaqtatilu. -b. Qatala c. Sâdiq : Sâdiqân, Sâdiqûn, Sâdiqah, Sâdiqatân, Sâdiqât. Contoh pada (a) Qatala
verba perfektif dengan makna (telah
membunuh); beralih kepada bentuk berikutnya yaitu verba imperfektif dengan imbuhan huruf yâ` dengan makna (akan / sedang membunuh); kemudian dua kata berikutnya adalah bentuk masdar dengan imbuhan tâ` marbûtah dengan makna (pembunuhan): Qâtil dan Maqtûl adalah ism al-Fâ’il dan ism al-Maf’ûl masing-masing memiliki makna (orang yang membunuh atau pembunuh) dan (orang yang terbunuh). Penambahan sejenis ini dinamakan perubahan secara derivasional (isytiqâqiy). Sedangkan contoh (b) adalah imbuhan yang terjadi pada verba, sehingga yang asalnya verba tersebut terdiri dari tiga huruf dasar menjadi beberapa empat dan lima huruf. Masuknya imbuhan pada verba akan mempengaruhi
clxvii
maknanya, seperti yang digambarkan dengan jelas serta perbedaan maknanya nampak sekali, jika dilihat dari segi terjemahannya seperti pada ayat 154
... ُLَْ(ُ ْBَ ِ ا1ُ1ُ(َ Fَوsurah al-Baqarah : // Dan janganlah kamu ْXُه1ُ َِ(ُ Fَوorang-orang yang terbunuh ...191: // kalau Allah menghendaki ا1ُ ََْ6ُ َ اZz ْ ﺵَءَ ا1ََوperangi mereka ;ayat 253:
// Dan janganlah kamu mengatakan
tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Kemudian, contoh (c) adalah bentuk nomina yang perubahannya secara inflektif, di mana imbuhan-imbuhan yang terletak di akhir kata itu akan menjadi penentu dalam kalimat dari segi perubahan akhir kata (i’râb).
َBِ6ِْ ﺹَدXُُْإِنْ آContohnya pada ayat 23 surah al-Baqarah: bentuk jamak maskulin, َBِ6ِﺹَدorang-orang yang benar. Kata
// Jika kamu adalah
sehingga terjemahannya ditunjukkan dengan cara reduplikasi. Dengan demikian, bahwa kata-kata Bsu yang mengalami imbuhan tersusun dari tiga morfem, yaitu: (1) morfem hurr (bebas), seperti qatala, sâdiq; (2) morfem muqayyad isytiqâqiy (terikat), seperti huruf yâ` pada verba imperfektif (3) morfem muqayyad i’râbiy (terikat), seperti huruf yâ` dan nûn pada sâdiqîn. Ketiga morfem ini menurut Abdul Chaer dibagi dua, yaitu morfem utuh yang dinamakan dengan morfem bebas, dan morfem terbagi yaitu morfem terikat yang terletak di awal atau pertengahan kata dan morfem yang terletak di akhir sebagai tanda perubahan (i’râb). 282 4. Bentuk kata berulang dan maknanya
282
Morfem utuh dinamakan juga morfem bebas, yakni morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan, seperti rumah, satu. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah, seperti kata rumah menjadi perumahan; satu menjadi kesatuan. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 153.
clxviii
Bentuk kata berulang banyak digunakan oleh Bsa, sementara Bsu tidak menggunakannya kecuali untuk menegaskan (taukîd) kata yang dimaksud. 283 Kata berulang atau reduplikasi merupakan pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak.284 Adapun pengulangan bentuk kata Bsa mengandung beberapa makna, antara lain: 1) menyatakan banyak (jamak). Kata-kata Bsu yang dianggap jamak dipadankan secara leksikal dengan pengulangan kata, seperti alKhâsyi’ûn/ al-Khâsyi’în // orang-orang yang khusyuk bermakna banyak orang yang khusyuk, al-Malâikat // malaikat-malaikat bermakna banyak malaikat , Syayâtîn // setan-setan bermakna banyak setan; 2) menyatakan bermacammacam, seperti tsamarah // buah-buahan; 3) menyatakan perbuatan yang disebutkan pada leksem dilaksanakan berulang-ulang, seperti yastahzi`u // memperolok-olokkan, ya’mahûn // terombang-ambing. 4) menyatakan paling, tingkat yang paling tinggi yang dapat diperoleh, seperti asyadd al-‘Adzâb// siksa yang seberat-beratnya yang bermakna siksa yang paling berat. 5. Bentuk kata majemuk dan maknanya Ramlan mendefinisikan kata majemuk adalah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya.285 Dari batasan ini, makna yang muncul bukanlah gabungan makna pada tiap unsurnya, melainkan makna lain dari unsur yang membentuknya. Misalnya rumah sakit. Kata rumah mempunyai makna leksikal, kata sakit mempunyai makna leksikal, tetapi yang dimaksud dengan makna rumah sakit adalah rumah tempat orang sakit.
283
Pengulangan kelas kata yang sama baik berupa nomina maupun verba dimaksudkan untuk menegaskan. Penegasan bisa dilakukan dengan mengulang kata yang sama, klausa atau kalimat yang sama. Lihat, Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid III, h. 232. 284 M. Ramlan, Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif (Yogyakarta: CV. Karyono, 1983), h. 55. 285 M. Ramlan, Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif , h. 145.
clxix
Dengan demikian, kata majemuk dapat ditelusuri melalui kategori kata yang membentuknya. Kemudian, yang perlu diketahui di sini, adalah kata-kata Bsu yang dipadankan secara leksikal dalam bentuk kata majemuk. 286 Adapun makna yang terkandung dalam kata majemuk antara lain: (a) waktu, seperti syahr Ramadân// bulan Ramadan; (b) warna, seperti al-Khait al-Abyad// benang putih; (c) bentuk, seperti al-Ahillah // bulan sabit; (d) dan, seperti dzurriyyah // anak cucu; (e) dari, seperti lahm al-Khinzîr// daging babi. Berdasarkan contoh-contoh dan maknanya di atas, maka tidak semua kata majemuk (tarkîb) Bsu dapat dipadankan secara leksikal dengan padanan kata majemuk Bsa lagi, karena seringkali kata majemuk (tarkîb) Bsu hanya merupakan paduan leksem dalam Bsa, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, atau merupakan kata majemuk itu sendiri. 6. Bentuk kata yang terikat dengan konteks kalimat Padanan kata dan maknanya dalam Bsu maupun Bsa tidak selamanya mengacu pada makna leksikal, tetapi banyak kata-kata yang dapat ditentukan maknanya jika kata itu telah berada dalam satuan yang disebut kalimat. Itu sebabnya kata-kata seperti itu disebut kata yang terikat konteks, sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa kata yang maknanya terikat dengan konteks adalah kata sarana. Kata sarana bukanlah merupakan kata yang mandiri dan tidak mempunyai makna leksikal. Oleh karena itu, dia harus disandingkan dengan kata utama lainnya, seperti nomina dan verba. 287 286
Ada beberapa ciri yang dapat membedakan kata majemuk dengan unsur lainnya, antara lain: (1) tidak dapat diperluas, (2) tidak dapat disela, (3) tidak dapat diubah strukturnya, (4) tidak dapat dijauhkan. Lihat, Hasan Alwi, dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1993), h. 165. 287 Kata sarana pada umumnya memiliki karakteristik sendiri, antara lain: (1) urutannya terletak sebelum kelas kata lainnya, (2) persandingannya dengan kata lain tidak bisa dipisahkan dalam kalimat, (3) relasi maknanya mengubah makna leksikal menjadi makna fungsi, (4) makna kalimat menjadi berubah dengan kehadirannya, (5) penulisannya menjadi berubah ketika dia bersambungan atau tidak bersambungan dengan nomina, seperti preposisi dalam bahasa Arab yang bersambungan dengan pronomina persona dan dengan non pronomina persona. Karakteristik yang kelima ini tidak
clxx
Adapun makna kata yang berdampingan dengan nomina antara lain: (a) pembatasan, seperti kata hanya dan saja. Contohnya pada ayat 102: Sesungguhnya kami hanyalah cobaan; (b) tempat berada, seperti kata di, pada, dalam. Contohnya pada ayat 11: Janganlah berbuat kerusakan di bumi; (c) asal, seperti kata dari. Contohnya pada ayat 4: Mereka mendapat petunjuk dari Tuhannya; (d) hal atau perkara, seperti kata tentang. Contohnya pada ayat 189: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit; (e) batas tempat dan waktu, seperti kata sejak, hingga. Contohnya pada ayat 187: Kemudian sempurnakanlah puasa hingga (datang) malam. Sedangkan makna kata yang berdampingan dengan verba antara lain: (a) pembatasan, seperti kata hanya dan saja. Contohnya pada ayat 169: Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji; (b) pengingkaran, seperti kata tidak. Contohnya pada ayat 48: Dan mereka tidak akan ditolong; (c) berbagai aspek, seperti kata telah, sedang, akan. Contohnya pada ayat 47: Dan sungguh Aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini. Demikian leksikal dan maknanya dalam terjemahan al-Quran yang semestinya dicarikan padanannya, untuk lebih mengetahui sejauh mana perbadingan keduanya baik dalam bentuk leksem maupun maknanya. Kenyataannya, sebagai bahasa yang berbeda rumpun, adalah suatu keniscayaan bahwa perbedaan dan persamaan itu ada. Hanya kemudian, perbedaan dan persamaan itu harus dibuktikan dengan contoh-contoh dan alasan yang sesuai menurut kaidah-kaidah kebahasaan. Begitu pula al-Quran yang memuat berbagai macam leksem atau kata mengandung berbagai macam makna (multi makna) yang dikontrastifkan dengan bahasa terjemahannya, dimiliki oleh bahasa lainnya, kecuali bahasa Arab. Lihat Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1998), h. 125-127.
clxxi
yakni bahasa Indonesia. Sehingga, keterpaduan antara kata dan makna dapat dipahami dengan mudah oleh para pembaca, yang sekiranya mereka membaca terjemahan seperti membaca teks aslinya. JENIS MAKNA DALAM TERJEMAHAN AL-QURAN C. Makna288 dalam terjemahan al-Quran tidak berbeda jauh dengan makna atau tipe makna dalam kajian linguistik, karena sarana terjemahan adalah bahasa juga. Sesungguhnya jenis makna memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Pada bagian ini, ternyata ada beberapa makna yang dapat ditemukan dalam terjemahan kaitannya dengan ayat-ayat al-Quran. Berdasarkan jenis semantiknya, jenis makna dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, yang sebagian sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi.289 Proses afiksasi misalnya awalan yâ` dan tâ` pada verba imperfektif (fi’il al-Mudâri’) akan berbeda maknanya, karena mengandung subjek yang berbeda. Kalau yâ` subjeknya adalah persona ketiga yaitu dia, sedangkan tâ` adalah persona kedua yaitu kamu, dan seterusnya.
288
Persoalan makna dalam suatu bahasa tidak lepas dari tiga hal, yang menurut Ullmann tiga hal itu adalah name, sense dan thing. Soal makna terdapat dalam sense, dan terdapat hubungan timbal balik antara sense dan name. Apabila seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu yang diacu, dan apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia segera dapat mengatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dan pengertiannya itu disebut dengan makna. Acuan dalam makna tidak disebut-sebut oleh Ullmann, karena ia di luar jangkauan linguis. Lihat, Stephen Ullmann, Semantics an Introduction to The Science of Meaning, (Oxford: Basil Balckwell, 1972), h. 57. 289 Makna gramatikal (gramatical meaning) mempunyai kesamaan istilah dengan makna fungsional (fungsional meaning), makna struktural (structural meaning), makna internal (internal meaning) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat. Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 103.
clxxii
Kemudian, berdasarkan acuannya jenis makna dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: (1) makna referensial, dan (2) makna nonreferensial. Bila katakata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata itu tidak mempunyai referen (acuan), maka kata itu bermakna nonreferensial. Dapat dikatakan bahwa kata-kata yang termasuk kategori kata penuh (full word) adalah termasuk kata-kata yang bermakna refensial, misalnya syajarah (pohon), nakhîl (kurma), a’nâb (anggur), kursiy (kursi), dan sebagainya. Contoh kata yang terakhir, yakni kursi bisa mengandung beberapa kemungkinan makna. Kata kursi sebagaimana dalam terjemahan ayat 255 surah al-Baqarah yang disandarkan pada pronomina persona ketiga yang mengacu kepada Allah bisa mengandung beberapa makna, antara lain: (1) makna referensial, yaitu apabila kata kursi tersebut masih menunjuk pada referen dasar sesuai dengan berbagai fakta maupun ciri yang dimiliki, misalnya adalah
290
; (2) makna konseptual,
yaitu apabila denotasi makna kata yang dihasilkan dari konseptualisasi pemakainya, misalnya kursi ialah “tempat duduk”; (3) makna intensional, yaitu pemberian makna sangat ditentukan oleh motivasi, minat, maksud maupun tujuan pemakainya. Makna ketiga ini secara subjektif dapat diacukan pada makna tertentu. Oleh karena
itu, terjemahan kursi ditambahkan penjelasannya pada
catatan kaki dengan memunculkan pendapat mufassir, antara lain pendapat Ibn ‘Abbas dan Ibn Katsir, kursi dimaksudkan ilmu Allah.291
290
Pemberian makna referensial suatu kata pada sisi lain tidak dapat dilepaskan dari pemahaman pemberi makna itu sendiri terhadap ciri referen yang diacu. Referen yang dinamai kambing misalnya, dapat diberi ciri “hewan berkaki empat, berbulu, berjanggut, berbau tidak sedap”. Sebenarnya pemberian ciri itu bertolak dari ciri komponen yang terkandung dalam abstraksi wujud kambing secara keseluruhan. Aminuddin, Semantik : Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003), h. 89. 291 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsir, jilid 1, h. 147. Bandingkan dengan alZamakhsyariy, al-Kasyyâf (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 297.
clxxiii
Dan kata yang bermakna nonreferensial adalah kata tugas (al-adâwât), seperti preposisi (hurûf al-Jarr) dan konjungsi (hurûf al-‘Atf) dan kata tugas lainnya. Semua kata tugas tidak mempunyai referen, maka kata-kata ini tidak memiliki makna. Kata-kata ini hanya memiliki fungsi atau tugas. Oleh karena itu, kata tugas ini akan mempunyai makna jika berdampingan dengan kelas kata lainnya, seperti nomina dan verba. Dari sinilah, kata tugas akan mempunyai makna, tetapi bukan makna referensial tetapi makna fungsi (al-Ma’nâ alWazîfiy).292 Perlu diketahui bahwa ada kata-kata yang referennya tidak tetap, dapat berpindah dari satu rujukan kepada rujukan lain atau dapat juga berubah ukurannya. Kata-kata ini disebut deiktis.293 Di antara kata yang masuk kategori deiktis adalah kata ganti (pronomina). Meskipun pronomina dalam Bsu menjadi kata definitif (ism mu’ayyan), namun acuannya berpindah-pindah. Misalnya ini pada terjemahan surah al-Baqarah ayat 25: Mereka berkata, “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu; ayat 79: Kemudian mereka berkata, “Ini dari Allah,”; ayat 126: Ya Tuhanku, jadikanlah ini negeri yang aman. Yang dijadikan acuan kata ini yang pertama adalah rezeki dari surga; acuan kata ini yang kedua adalah catatan-catatan kitab yang ditulis oleh ahli kitab; dan acuan kata ini yang ketiga adalah negeri Mekkah. Selanjutnya, makna yang berdasarkan ada atau tidaknya “nilai rasa” pada sebuah kata terbagi atas dua bagian, yaitu: (1) makna denotatif; dan (2) makna konotatif. Makna denotatif disebut juga makna konseptual, makna kognitif, makna referensial, sebab makna ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi, menurut penglihatan, penciuman, pendengaran,
292 293
Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, h. 342. Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 64.
clxxiv
perasaan, atau pengalaman lainnya.294 Karena itu, makna denotatif disebut juga sebagai “makna yang sebenarnya”. Umpamanya, dalam beberapa ayat al-Quran yang berkaitan dengan pernikahan, perceraian dalam surah al-Baqarah lebih banyak menggunakan kata perempuan, seperti perempuan musyrik, hamba sahaya perempuan, perempuan-perempuan yang diceraikan, dan selainnya lebih banyak menggunakan kata istri untuk menerjemahkan kata al-Nisâ`. Istri sebagai terjemahan dari kata al-Nisâ`pada beberapa ayat yang berkaitan dengan kehidupan keluarga merupakan cara mendekatkan makna dari perempuan atau wanita. Cara ini bisa dilakukan melalui dua pendekatan, yakni pendekatan analitik (referensial) dan pendekatan operasional. 295 Dilihat dari pendekatan analitik, kata istri
dapat diuraikan menjadi: istri = manusia,
perempuan, telah bersuami, kemungkinan telah beranak, pendamping suami, mempunyai hak dan kewajiban dalam keluarga. Jika dilihat dari pendekatan operasional, kata istri dapat terlihat dari beberapa kemungkinan kalimat yang muncul seperti: Si Dulah mempunyai istri, istri Ali telah meninggal; tetapi tidak mungkin orang mengatakan: Istri Ali berkaki tiga, istri tidak pernah melahirkan.
Kata perempuan mempunyai makna denotasi yang sama dengan kata wanita. Walaupun kedua kata ini memiliki makna yang sama, namun dewasa ini kedua kata itu mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata perempuan mempunyai nilai rasa yang “rendah”, sedangkan kata wanita memiliki nilai rasa yang “tinggi”.296 Ini terbukti dengan tidak digunakannya kata perempuan pada namanama lembaga dan organisasi, seperti Dharma Wanita, gedung wanita, Ikatan
294
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 66. Pendekatan analitik bertujuan untuk mencari makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional bertujuan untuk mempelajari kata dalam penggunaannya. Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 86. 296 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 1147. 295
clxxv
Wanita Pengusaha. Persamaan itu disebabkan oleh adanya ciri-ciri semantik yang melekat pada dua nama tersebut, misalnya dengan ciri-ciri sebagai berikut: Ciri
Wanita
Perempuan
Insan
+
+
Betina
+
+
Dewasa
+
+
+
-
Bersuami
Dua buah kata atau lebih yang makna denotasinya sama dapat menjadi berbeda makna keseluruhannya, akibat pandangan masyarakat berdasarkan nilainilai atau norma-norma budaya yang berlaku dalam masyarakat itu. Seperti kata yahudi, pada awalnya mengandung makna orang hidup yang memeluk agama Yahudi, tetapi kemudian dewasa ini beralih makna, yakni orang yang rakus, bakhil, banyak menipu dan selalu melakukan intervensi. Dan ini yang kemudian menjadi makna tambahan atau al-Ma’nâ al-Idâfiy.297 Demikian halnya, perbedaan makna kata perempuan dan wanita bisa terjadi akibat peristiwa sejarah atau juga adanya perbedaan fungsi sosial kata tersebut. Kemudian, makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Makna tambahan juga mengandung makna yang bernilai rasa, baik positif maupun negatif. Teks-teks al-Quran tidak pernah mengungkapkan kata-kata secara vulgar. Bahkan kata-kata itu lebih banyak diperhalus dengan menggunakan kata-kata metonimia (kinâyah),298 seperti kata 187: “Dihalalkan bagimu pada malam hari
297
h. 37.
Lihat, Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dilâlah (Kuwait: Maktabah Dâr al-‘Arûbah, 1982),
298
Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Lihat, Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 142. Kinayah adalah lafadz yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian lazimnya, tetapi dimaksudkan untuk makna asalnya. Lihat, ‘Ali alJârim dan Mustafâ Utsmân, al-Balâghah al-Wâdihah. Penerjemah Mujiyo Nurkholis, dkk., h. 175.
clxxvi
puasa bercampur dengan istrimu..... Maka sekarang campurilah mereka.” Kata bercampur yang pertama adalah terjemahan dari nomina al-Rafats dan kata bercampur yang kedua merupakan terjemahan verba bâsyirû. Kata lainnya yang identik maknanya dengan kata bercampur adalah kata fa`tû hartsakum yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 223, dan taghasysyâhâ yang terdapat di dalam surah al-A’râf ayat 189. Berdasarkan ketepatan makna dalam penggunaannya secara umum dan khusus, makna dalam terjemahan al-Quran dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: (1) makna kata, dan (2) makna istilah. Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Misalnya kata Tuhan. Apa makna Tuhan? Mungkin saja yang dimaksud adalah Allah bagi orang-orang yang beriman, atau bisa saja Tuhan lainnya, seperti yang diyakini oleh orang-orang kafir Arab pada zaman Rasulullah. Berbeda dengan makna istilah, ia memiliki makna yang pasti. Ketepatan makna istilah karena hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu.299 Terjemahan al-Quran banyak memuat istilah-istilah, misalnya salat, zakat, puasa, haji, ‘umrah dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut sudah tidak dijelaskan secara singkat maupun dengan uraian panjang, karena frekuensi penggunaanya lebih tinggi digunakan oleh umat Islam sendiri serta istilah tersebut sudah merupakan istilah dalam bidang keagamaan, sehingga maka 299
Di sinilah letak perbedaan antara istilah sebagai hasil pengistilahan dan nama sebagai hasil penamaan. Istilah memiliki makna yang tepat dan cermat serta digunakan hanya untuk satu bidang tertentu, sedangkan nama masih bersifat umum, karena digunakan tidak dalam bidang tertentu. Misalnya kata
dan sebagai nama dianggap bersinonim. Tetapi dalam bidang kedokteran telinga dan kuping digunakan sebagai istilah untuk acuan yang berbeda; telinga adalah alat pendengaran bagian dalam, sedangkan kuping adalah bagian luarnya. Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 53.
clxxvii
masyarakat umum lebih mengenal kata-kata ini sebagai istilah keagamaan. Oleh karena itu, kata-kata dapat berubah maknanya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor keagamaan.300 Demikian, padanan gramatikal dan leksikal serta maknanya dalam terjemahan al-Quran. Perbedaan gramatikal maupun leksikal al-Quran menuntut adanya suatu kiat (a craft) penerjemah untuk mencari padanannya. Perbedaan antara kedua teks selalu membayangi proses penerjemahan. Terjemahan dapat dinilai salah jika kesalahan itu muncul semata-mata karena kesalahan bahasa. Di samping itu pula penerjemah berhadapan dengan pemahaman pembaca. Karena terjemahan adalah teks juga, maka terjemahannya pun bersifat “terbuka”.
300
‘Abd al-Karîm Mujâhid, al-Dilâlah al-Lughawiyyah ‘inda al-‘Arab (Kuwait: Maktabah Dâr al-‘Arûbah, 1982), h. 144.
clxxviii
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan analisis penulis terhadap terjemahan al-Quran Depag RI edisi 2002, penulis menyimpulkan bahwa terjemahan al-Quran Depag RI edisi 2002 memiliki strategi dan padanan dalam penerjemahannya. Strategi itu secara keseluruhan tidak berbeda dengan strategi yang ditawarkan secara teoritis oleh pakar-pakar terjemahan seperti Newmark, Nida dan Taber. Atas dasar itu, dapat diketahui bahwa terjemahan al-Quran Depag RI edisi 2002 termasuk jenis terjemahan semantis sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya oleh Suryawinata. Pada dasarnya, terjemahan semantis merupakan terjemahan yang bersifat objektif. Karena berusaha menerjemahkan apa yang ada, tidak menambah, mengurangi atau mempercantik. Ragam terjemahan ini hanya ingin memindahkan makna dan gaya bahasa teks BSu ke dalam teks BSa. Gaya bahasa BSu tidak bisa dikorbankan selama bisa dimengerti di dalam BSa. Banyak ayat-ayat al-Quran yang mengandung gaya bahasa yang memang maknanya langsung bisa dipahami, sehingga teks Indonesia tetap mencerminkan teks bahasa al-Quran. Kemudian, untuk mengarah kepada kesimpulan itu, analisis yang dilakukan penulis adalah analisis struktural yang terbagi atas dua macam strategi, yaitu strategi struktural dan semantis. Strategi struktural dilatarbelakangi oleh perbedaan sistem dan unsur-unsur bahasa yang digunakan al-Quran dan bahasa Indonesia yang digunakan oleh penerjemah. Strategi ini dimaksudkan untuk mencari padanan struktur Bsu dan Bsa yang tepat dan untuk memperoleh terjemahan yang wajar dan berterima oleh pembaca. Adapun strategi struktural yang ada dalam terjemahan al-Quran itu secara praktis terbagi atas dua bentuk, yaitu: (1) transposisi, dan (2) transformasi. clxxix
Transformasi yang dimaksudkan dalam penerjemahan al-Quran
adalah
pengalihan fungsi sintaksis Bsu kepada fungsi sintaksis Bsa yang berbeda, seperti pengalihan jumlah fi’liyyah Bsu kepada jumlah ismiyyah Bsa, kalimat aktif Bsu kepada kalimat pasif Bsa. Sedangkan transformasi yang dimaksudkan dalam penerjemahan al-Quran adalah pengalihan kategori kata kepada kategori kata lainnya, seperti nomina menjadi verba, atau nomina menjadi frasa dan sebagainya. Sedangkan strategi semantis digunakan mencari padanan makna kata-kata al-Quran, karena kosakata al-Quran mengandung banyak makna dan luas. Sehingga padanan makna itu harus dicarikan alternatifnya melalui strategi semantis yang mencakup makna atau pesan yang dimaksud. Oleh karena itu strategi semantis ini cukup beragam, mulai dari penambahan penjelasan, transliterasi dan naturalisasi, penghapusan, dan penggantian dan seterusnya. Selanjutnya, padanan gramatikal maupun leksikal dalam terjemahan alQuran pasti ada, karena itu merupakan tugas penerjemah untuk menemukan padanan yang benar dan berterima dalam Bsa. Padanan gramatikal dan leksikal berkaitan erat dengan siapa yang menjadi pembaca Bsu dan siapa yang menjadi pembaca terjemahan itu, kemudian pesan (message) al-Quran harus bisa dipahami oleh mereka dengan mudah dan tepat. Gramatikal dan leksikal dalam terjemahan al-Quran Depag RI harus dibandingkan
dan disepadankan dengan gramatika, leksem atau kata yang
terdapat di dalam kamus serta terjemahan al-Quran lainnya, baik terjemahan alQuran Depag RI edisi sebelumnya atau menurut penerjemah al-Quran lainnya, serta didukung oleh literatur tafsir. Dan ternyata, ada beberapa perbedaan meskipun tidak terlalu substansial bagi pembaca yang belum memahami bahasa al-Quran. Misalnya, penggunaan B. SARAN-SARAN Berdasarkan kesimpulan yang dibangun, penulis menyertakan saran-saran yang dimaksudkan sebagai bahan penelitian berikutnya, baik dari Departemen
clxxx
Agama maupun peneliti lainnya yang memiliki perhatian besar terhadap terjemahan al-Quran. Pertama, kepada Departemen Agama, terutama tim penerjemah al-Quran Depag RI untuk menginventarisir kesalahan-kesalahan pada edisi sebelumnya, sehingga pada edisi berikutnya perbaikan itu tidak menimbulkan kesalahan untuk kedua kalinya. Hal ini perlu dilakukan agar kualitas terjemahan al-Quran Depag RI dapat meningkat. Pengoreksian ulang terhadap terjemahan al-Quran edisi 2002, telah ditemukan beberapa kesalahan yang terdapat di dalam surah alBaqarah, terutama yang berkaitan dengan padanan gramatikal dan makna serta pesan Bsu yang tak tersampaikan seperti kalimat inversi (ayat 40, 41); penghilangan kata sesungguhnya atau sungguh sebagai padanan kata sarana penegas inna (ayat 30, 67); partikel –lah sebagai padanan damîr al-Fasl (ayat 37); penggantian makna tunggal kepada makna jamak pada pronomina penghubung (17) , ketiadaan makna partikel qad (144), kesalahan pronomina engkau pada verba kuntum (ayat 144). Kedua, kepada para peneliti terjemahan, secara khusus terjemahan al-Quran untuk melakukan penelitian ulang atau lanjutan dengan sudut pandang dan metode yang berbeda, karena masih ada hal yang harus diteliti pada terjemahan al-Quran, seperti pengujian pemahaman dan kesan oleh pembaca terjemahan alQuran, perbandingan pemahaman dan kesan yang didapat oleh pembaca teks alQuran dan pembaca teks terjemahannya, dan analisis kesilapan (error analysis) yang menggunakan terjemahan al-Quran sebagai instrumen dan sebagainya. Demikian, kesimpulan dan saran yang dapat tersampaikan oleh penulis sebagai penutup dari tesis ini untuk sebagai syarat untuk memperoleh gelar magister konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab.
clxxxi
DAFTAR PUSTAKA
clxxxii
‘Abd al-Latîf, Muhammad Hamâsah, dkk. al-Nahw al-Asâsiy. Kairo: Dâr al-Fikr al‘Arabiy, 1997. Abdul Chaer. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta Karya, cet. II, 2003. ------. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Abî al-Barakât, Kamâl al-Dîn. al-Insâf fî Masâ`il al-Khilâf. Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1998. Abû ‘Ubaidah. Majâz al-Qurân. Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1981. Al-Ansârî, Jamâl al-Dîn Ibn Hisyâm. Awdah al-Masâlik ilâ Alfiyyah Ibn Mâlik. Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1994. ------, Jamâl al-Dîn Ibn Hisyâm. Mughnî al-Labîb. T.t.p.: Dâr Ihyâ`i al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t.. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur-an: Text Translation and Commentary. Lahore: SH Muhammad Ashraf, t.t. Alwi, Hasan (Ed.). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003. Aminuddin. Semantik : Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003. Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia. Kegiatan Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran, artikel diakses pada tanggal 17 April 2008 dari http/www.Depag. Badrî, Kamâl. Binyah al-Kalimât wa Nazm al-Jumlah Mutabbaqan ‘alâ al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Fushâ. Jakarta: LIPIA, 1986. Departemen Agama Republik Indonesia. al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Yamunu, 1965. Departemen Agama RI. al-Quran dan Terjemahnya. Surabaya: Mekar Surabaya, 2004. Al-Dîdâwî, Muhammad. ‘Ilm al-Tarjamah baina al-Nazariyyah wa al-Tatbîqiyyah. Tunis: Dâr al-Ma’ârif wa al-Nasyr, 1992.
clxxxiii
Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama, 1999. Djuharie, O. Setiawan. Teknik dan Panduan Menerjemahkan Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia. Bandung: Yrama Widya, 2005. Eriyanto. Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Al-Fadlî. Dirâsah fi al-I’râb. Jeddah: Tihamah, 1984. Finoza, Lamuddin. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2007. Fokker, AA. Sintaksis Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1988. Al-Ghalâyainî, Mustafâ. Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah. Beirut: al-Maktabah al‘Asriyyah, 1984. Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Idiologi. Jakarta: Teraju, 2003. Al-Hâfiz, Yâsîn. al-Tahlîl al-Sarfî. Damsyiq: Dâr al-‘Asmâ`, 1997. Hanafi, Nurachman. Teori dan Seni Menerjemahkan. Ende Flores: Nusa Indah, 1986. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1986. Haryono, M. Yudhie R. Bahasa Politik al-Quran. Bekasi: Gugus Press, 2002. Hassân, Tammâm. al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ. Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1998. ------. Al-Usûl: Dirâsah Istimûlûjiyyah li al-Fikr al-Lughawiy ‘inda al-‘Arab. Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2000. Hatim, Basil dan Ian Mason. Discourse and Translator. Longman: Longman Group Limited, 1990. Hoed, Benny Hoedoro. Penerjemahan dan Kebudayaan. Bandung: Pustaka Jaya, 2006. Ibn Jinnî, Abû al-Fath ‘Utsmân. al-Khasâis. Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, 1957. clxxxiv
Ibnu Burdah. Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Ismâil, Sya’bân Muhammad. al-Madkhal li Dirâsah al-Qurân wa al-Sunnah wa al‘Ulûm al-Islâmiyyah. Kairo: Dâr al-Ansâr, t.th. Al-Jailânî, Ibrâhîm Badâwi. ‘Ilm al-Tarjamah wa Fadlu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘alâ al-Lughât. Kairo: al-Maktab al-‘Arabiyy li al-Ma’ârif, 1997. Al-Jalâlain. Tafsîr al-Jalâlain. Damsyiq: Dâr al-Jail, 1995. Al-Jamîlî, Rasyîd. Harakah al-Tarjamah fi al-Masyriq fi al-Qarnaini al-Tsâlits wa al-Râbi’ al-Hijri. Baghdad: Dâr al-Syu’ûn al-Tsaqâfiyah al-‘Âmmah, 1986. Al-Jârim, ‘Ali dan Mustafâ Amîn. al-Balâghah al-Wâdihah. Penerjemah Mujiyo Nurkholis, dkk. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993. Jassin, HB., al-Quran al-Karim Bacaan Mulia. Djakarta: Djambatan1978. Jihâd, Sanâ. Mu’jam al-Tâlib wa al-Kâtib. Beirut: Maktabah Lubnân Nâsyirûn, 1997. Al-Jurjânî, ‘Abd al-Qâhir. Dalâ`il al-I’jâz. Kairo: ‘Abd al-Salam Harun, t.t.. “Kata Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia”. Sunting diakses pada tanggal 21 April 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Kerajaan Saudi Arabia. al-Qurân al-Karîm wa Tarjamah Ma’ânih bi al-Lughat alIndûnisiyyah. al-Madînah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tibâ’at al-Mushaf al-Syarîf, 1418 H. Khidîr, Muhammad Ahmad. ‘Alâqah al-Zawâhir al-Nahwiyyah bi al-Ma’nâ fi alQurân al-Karîm. Kairo: Maktabah Anglo al-Misriyyah, t.t. Al-Khûlî, Muhammad Ali. A Dictionary of Theoretical Linguistics. Beirut: Librairie du Liban, 1982. Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. ------. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1989.
clxxxv
Larson, Mildred L. Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. London: University Press of America, 1984. Lubis, Ismail. Falsifikasi Terjemahan al-Quran Departemen Agama Edisi 1990. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001. Lyons, John. Semantics. Cambridge: Cambridge University Press, 1977. Mahmud Junus. Tafsir Quran Karim Bahasa Indonesia. Jakarta: Al-Hidajah, 1971. Mahnâ, Ahmad Ibrâhim. Dirâsah haula Tarjamah al-Qurân. T.tp.: Matbû’ât alSya’b, 1978. Mansyur, Moh. Studi Kritis Terhadap al-Quran dan Terjemahnya Depag RI. Disertasi S2 Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998. Mansyur, Moh. dan Kustiwan. Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia. Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002. Mattews, P.H., Morphology an Introduction to The Theory of Word Structures. Cambridge: Cambridge University Press, 1972. Al-Misrî, Syihâb al-Dîn Ahmad. al-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qurân. Kairo: Dâr alSahâbah li al-Turâts, 1992. Moeliono, Anton M. (ed.). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake, 1988. Muhammad, ‘Abd al-Ghaniy ‘Abd al-Rahmân. Dirâsah fi Fanni al-Ta’rîb wa alTarjamah. Ttp, t.p. t.t. Muhammad, Ahmad Sa’d. al-Usûl al-Balâghiyyah fî Kitâb Sîbawaih. Kairo: Maktabah al-Âdab, 1999. Muhammad, Ahsin Sakho. “Aspek-aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama ”, Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 3, No. 1 (Januari 2005). Mujâhid, ‘Abd al-Karîm. al-Dilâlah al-Lughawiyyah ‘inda al-‘Arab. Kuwait: Maktabah Dâr al-‘Arûbah, 1982. Mulyana. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005. clxxxvi
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Mushthofa, Bisyri. Al-Ibrîz. Kudus: Menara Kudus, t.th. Mustakim, Membina Kemampuan Berbahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. Nababan, M. Rudolf. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Al-Nabî, Manshûr Muhammad Hasb. al-Qurân wa ‘Ilm al-Hadîts. Mesir: al-Hayyah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kuttâb, 1991. Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: CeQDA, 2007. Newmark, Peter. About Translation. Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 1991. ------. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press, 1981. ------. Paraghrafs on Translation. Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 1993. ------. Textbook of Translation. Oxford: Pergamon Press, 1988. Nida, Eugene A. dan Charles R. Taber. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill, 1982. Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Mutiara, 1979. Al-Qattân, Mannâ’. Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân. Kairo: Maktabah Wahbah, 2007. Al-Qurtubî, Muhammad Ibn Ahmad al-Ansârî. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988. Rachmadie, Sabrony dkk., Materi Pokok Translation. Jakarta: Karunika dan Universitas Terbuka, 1988. clxxxvii
Ramlan, M. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono, 1983. Rofi’i. Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia. Jakarta: Persada Kemala, 2002. Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Ali. al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qurân. Damsyiq: Maktabah alGhazâliy, 1981. ------. Safwah al-Tafâsîr. Beirut: Dar al-Fikr, 2001. Said, Mashadi. Socio-Cultural Problems in the Translation of Indonesian Poems into English: A Case Study on “Foreign Shore”. Tesis Magister IKIP Malang, 1994. Saiful Mu`minin, Iman. Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf. Jakarta: Amzah, 2008. Salâmah, Muhammad Husain. al-I’jâz al-Balâghiy fî al-Qurân al-Kârim. Kairo: Dâr al-Âfâq al-‘Arabiyyah, 2002. Sâlih, Bahjat ‘Abd al-Wâhid. al-I’râb al-Mufassal li Kitâb Allâh al-Murattal. Amman: Dâr al-Fikr, 1998. Salihen Moentaha. Bahasa dan Terjemahan. Bekasi Timur, Kesaint Blanc, 2006. Samsuri. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga, 1985. Al-Sayyid Munsî, ‘Abd al-Halîm dan ‘Abd Allâh ‘Abd al-Râziq Ibrâhîm, alTarjamah: Usuluhâ wa Mabâdi`uhâ wa Tatbîquhâ. Riyad: Dâr al-Murîkh, t.t. Setiawan, Phil M. Nur Kholis. al-Quran Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: elSAQ Press, 2005. Simatupang, Maurits. Peranan Teori Menerjemahkan dalam Menunjang Pertumbuhan Penerjemahan Indonesia dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1980. Shihab, M. Quraish. Menabur Pesan Ilahi. Jakarta: Lentera Hati, 2006. Sudarno. Kata Serapan dari Bahasa Arab. Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990. Sultânî, Muhammad ‘Ali. al-Adawât al-Nahwiyyah wa Ma’ânîhâ fî al-Qurân alKarîm. Suriah: Dâr al-‘Asmâ`, 2000.
clxxxviii
Suryawinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto. Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Suryawinata, Zuchridin. Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, PPLPTK, 1989. Syamsu, Nazwar. Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia HB. Jassin. Padang Panjang: Pustaka Saadiyah, 1916. Syarbasî, Ahmad. Yas’alûnaka fi al-Dîn wa al-Hayâh. Beirut: Dâr al-Jîl, 1980. Syihabuddin. Penerjemahan Arab Indonesia. Bandung: Humaniora, 2005. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung: Angkasa, 1992. ‘Ubâdah, Muhammad Ibrâhîm. al-Jumlah al-‘Arabiyyah: Anwâ’uhâ-Tahlîluhâ. Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2001.
Mukawwanâtuhâ-
Ullmann, Stephen. Semantics an Introduction to The Science of Meaning. Oxford: Basil Balckwell, 1972. ‘Umar, Ahmad Mukhtâr. ‘Ilm al-Dilâlah. Kuwait: Maktabah Dâr al-‘Arûbah, 1982. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Verhaar. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983. Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan. Jakarta: Kanisius, 1989. Wills, Wolfram. The Science of Translation. Stuttgart: Gunter Narr Verlag Tubingen, 1982. Yusuf, Suhendra. Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju, 1994. Al-Zajjâj. Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh. Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1998. al-Zamakhsyarî. al-Kasyyâf. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995. Al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Adhîm. Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qurân. Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halbi, t.t.. clxxxix
Zainal Arifin, E. dan S. Amran Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2006. Zidan, Ahmad dan Dina Zidan. The Glorious Qur`an: Text and Translation. Kairo: Islamic Inc. Publishing & Distribution, 1996.
cxc