MEMBURU “CINTA” DENGAN MANTRA: ANALISIS PUISI MANTRA ORANG JAWA KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN MANTRA LISAN Heri Isnaini STKIP Siliwangi Bandung Pos-el:
[email protected]
Abstrak Cara penyebaran mantra tidak sama dengan cara penyebaran teks-teks lisan yang lain seperti dongeng atau legenda. Pewarisan teks mantra berkaitan dengan laku mistik tertentu. Dengan kata lain, mantra tidak dapat dipisahkan dengan unsur mistik yang melekat padanya. Sedangkan puisi adalah karya sastra imajinatif yang bersifat konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang atau dengan kata lain bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan sruktur batinnya. Kemiripan antara kedua teks tersebut (puisi dan mantra) menimbulkan kesan bahwa keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang sama. Walaupun pada kenyataannya antara teks puisi dan mantra sangatlah berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada tradisi penyebarannya. Mantra hidup dalam tradisi lisan, sedangkan puisi berkembang dalam tradisi tulisan. Kedua teks tersebut akan disandingkan dan dibandingkan dalam keterkaitannya satu dengan yang lain. Pembahasan kedua teks akan merujuk pada struktur teks, proses penciptaan, konteks penuturan, dan fungsinya. Kata kunci: puisi, mantra, struktur, konteks penuturan, fungsi
Abstract How to spell deployment is not the same as how the spread of oral texts such as fairy tales or legends. Inheritance spell text relating to certain “laku mistik”. In other words, the spell can not be separated with mystical elements attached to it. While poetry is imaginative literature that is connotative meanings for many uses allegory and symbolism, or in other words that poetry is a form of literature that reveals the thoughts and feelings of the poet are imaginative and prepared with the concentration of the physical structure and inner sructure. The similarities between the two texts (poems and mantra) gave the impression that both have the same functions and benefits. Despite the fact that the text of the poem and the mantra is very different. The most fundamental difference is in the tradition spread. Mantra live in the oral tradition, while developing in the tradition of writing poetry. Both of these texts will be juxtaposed and compared in relation to one another. The second discussion of the text will refer to the structure of the text, the process of creation, the narrative context, and function. Keywords : poetry, mantra, structure, narrative context, function
158|
PENDAHULUAN Tulisan ini akan dibuka dengan dua buah teks berikut: : rasaku lebih tinggi dari rasamu ruhku lebih tinggi dari ruhmu kamaku lebih unggul dari kamamu (Damono, 2009a, hlm. 17)
Cep sida edan ora edan Sida gendeng ora gendeng Sida bunyeng ora mari-mari Yen ora ingsun sing nambani (Isnaini, 2007, hlm. 149)
Teks di atas menunjukkan larik-larik puisi pada teks puisi “Mantra Pengasihan 1” dan teks pada mantra asihan Jaran Goyang. Puisi “Mantra Pengasihan 1” merupakan salah satu puisi pada buku kumpulan puisi Mantra Orang Jawa karya Sapardi Djoko Damono, Larik-lariknya menggambarkan teks unik yang mempunyai kemiripan dengan teks mantra dalam tradisi lisan. Kemiripan antara kedua teks tersebut (puisi dan mantra) menimbulkan kesan bahwa keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang sama. Walaupun pada kenyataannya antara teks puisi dan mantra sangatlah berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada tradisi penyebarannya. Mantra hidup dalam tradisi lisan, sedangkan puisi berkembang dalam tradisi tulisan. Mantra merupakan salah satu jenis puisi lama yang disebarkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Cara penyebaran mantra tidak sama dengan cara penyebaran teks-teks lisan yang lain seperti dongeng atau legenda. Pewarisan teks mantra berkaitan dengan laku mistik tertentu. Dengan kata lain, mantra tidak dapat dipisahkan dengan unsur mistik yang melekat padanya. Waluyo menyatakan (1987, hlm. 31) bahwa mantra selalu berhubungan dengan sikap spiritual manusia untuk memohon sesuatu dari Tuhan/kekuatan gaib. Untuk mencapainya diperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan tuhan/kekuatan gaib, dengan demikian apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh tuhan/kekuatan gaib tersebut. Sedangkan puisi adalah karya sastra imajinatif yang bersifat konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang atau dengan kata lain bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan sruktur batinnya (Waluyo, 1987, hlm. 25). Perbedaan lain antara puisi dan mantra seperti yang dijelaskan oleh Junus (1983, hlm. 134) bahwa puisi dibentuk dari unsur bahasa berupa kata (yang mempunyai arti) berdasarkan proses sintagmatik. Setiap kata adalah signifier yang mempunyai referent dan signified. Sebuah puisi adalah “penjumlahan” referent dan signified dari kata-katanya yang tentu saja dipengauhi oleh proses sintagmatik. Mantra sebaliknya adalah keseluruhan yang utuh yang dirinya sendiri mempunyai signified. Tentu saja dalam hubungan ini sengaja diabaikan signified suatu bentuk puisi yang dilihat dalam hubungan dengan puisi yang 159|
mendahuluinya. Dengan kata lain, teks mantra merupakan teks dengan kesatuan pengucapan bukan kesatuan kalimat dan ada kecenderungan esoteris dalam kata-katanya, sedangkan puisi sebaliknya. Pada buku Mantra Orang Jawa terdapat 64 teks puisi yang menyerupai teks mantra. Walaupun pada penjelasan di atas terdapat perbedaan antara teks puisi dan mantra, tetapi pada buku Mantra Orang Jawa penyair selalu menuliskan kata mantra atau kata yang bersinonim dengan kata mantra seperti aji pada teks-teks puisinya. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk penelitian ini karena teks puisi yang ditulis merupakan transformasi dari teks mantra yang dianggap `sakral` oleh masyarakat yang memiliki tradisi mantra. …(mantra) dalam buku ini, saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu…” (Damono, 2009, hlm. 1). Rusyana, (1970, hlm. 11) mengklasifikasi mantra berdasarkan fungsi dan manfaat yang tersirat di dalamnya. Menurutnya, mantra dapat dibagi ke dalam beberapa bagian: Asihan digunakan untuk menguasai sukma (jiwa) orang lain; Jangjawokan dibaca (diamalkan) sebelum atau sesudah melakukan sebuah pekerjaan tertentu; Ajian berfungsi untuk mendapatkan kekuatan pribadi; Singlar digunakan untuk mengusir roh halus (setan); Rajah berguna untuk menolak bala, meruat, penangkal mimpi buruk, dan sebagainya; dan Jampe untuk menyembuhkan penyakit. Di kalangan masyarakat Jawa menurut Wardhana, (2003, hlm. 2-3) wujud mantra itu pada umumnya dikenali sebagai berikut: 1) mantra dalam wujud kata-kata atau puisi lisan dan yang hanya dihafal dalam batin disebut: JapaMantra; Aji-Aji; Rapal; 2) mantra dalam wujud tulisan, misalnya yang tertulis pada kain; kertas; kulit; kuku; dan lain sebagainya disebut: Rajah; 3)mantra yang kekuatannya ditanam pada suatu benda disebut: Jimat; Aji-Aji. Misalnya pada batu akik; keris, tongkat, dan lain-lainnya. Merujuk pada pengklasifikasian teks mantra dari Yus Rusyana maka ke- 64 teks puisi pada buku Mantra Orang Jawa dapat dibagi menjadi 6 kategori berdasarkan fungsi dan manfaatnya. Teks puisi yang berupa asihan adalah: (Mantra Agar Dikasihi,Masuk ke Jiwa Orang Lain, Mantra Pengasihan 1, Mantra Pengasihan 2, Mantra Pengasihan 3, Mantra Pengasihan 4, Mantra Agar Dicintai Selama-lamanya, Mantra Agar Mudah Menari Rizki dan Dicintai Orang, dan Mantra Memerintah Orang). Teks puisi yang berupa Jangawokan adalah: (Mantra Sebelum Bersenggama 1, Mantra Sebelum Bersenggama 2, Mantra Bersenggama, Mantra Duduk, Mantra Mandi 1, Mantra Mandi 2, Mantra Mandi 3, Mantra Mandi 4, Mantra Mandi Tanggal 1 Hijriah, Mantra Mandi Malam Jumat, Mantra Keselamatan Diri, Mantra Menjelang Tidur, Mantra Sebelum Bepergian, Mantra Menyapih Anak, Mantra Mendirikan Rumah, Mantra Memperbaiki Rumah, dan Mantra Waktu Makan). Teks puisi yang berupa ajian adalah: (Meredakan Api, Gosok Rasa, Aji Limunan, Mantra Menguasai Orang, Keteguhan, Menghindari Peluru, Menggenggam Kilat, Bayang-bayang, Ngelmu, Kekuatan, Mantra Agar Keinginan Kesampaian, Mantra Agar Pencarian Lancar 1, Mantra Agar Mata Pencarian Lancar 2, Mantra Minta Bantuan Malaikat, Mantra Menamah Kekuatan, Mantra Mendatangkan Kekayaan, Aji Jayabrana, Mantra Bangau Tong-tong, dan Mantra AgarUnggul Bicara. Teks puisi yang berupa rajah adalah: (Mantra Pengusir Topan, Kidung, dan Mantra 160|
Kesempurnaan Diri). Teks puisi yang berupa Jampe adalah: (Mantra Sakit Sekujur Tubuh, Mantra Sakit Encok, Mantra Sakit Bengkak, Mantra Menyembuhkan Sakit, dan Mantra Agar Dikaruniai Anak). Sedangkan teks puisi yang berupa singlar adalah: (Bismillah, Ashhaduallahillahaillallah, Asalusul Manusia, Mantra Hari Lahir, Racun Kiblat Empat, Kidung Air, Mantra Sore Hari, Makna, Air, Mantra Menghadap Gusti, dan Mantra Wewe Putih). Dari beberapa pembagian mantra tersebut, teks yang akan diteliti adalah teks mantra asihan. Hal ini dikarenakan hanya mantra asihan yang bersifat "menguasai" sukma (jiwa) orang lain untuk meraih "cinta" dari seseorang yang diharapkan. Sehingga teks ini menjadi "primadona" sebagai teks mantra yang banyak diamalkan. Dengan kata lain, mantra asihan adalah teks yang berisi permintaan (doa) kepada tuhan atau kekuatan gaib dengan tujuan menguasai jiwa orang lain supaya menjadi terpengaruh (menjadi cinta, sayang, rindu, dan lain-lain).
HASIL DAN PEMBAHASAN Larik-larik puisi “Mantra Pengasihan 1” merupakan contoh teks mantra asihan yang digunakan (diamalkan) untuk menarik "hati" dan "cinta" lawan jenis (Rusyana, 1970, hlm. 11). Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti karena teks puisi yang ditulis merupakan transformasi dari teks mantra yang dianggap `sakral` oleh masyarakat yang memiliki tradisi mantra. …(mantra) dalam buku ini, saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu…” (Damono, 2009, hlm. 1). Penjelasan tersebut mengantarkan kita pada sebuah anggapan bahwa mantra adalah teks yang memiliki aspek magis tertentu meskipun teks itu sudah bertransformasi menjadi teks yang sama sekali berbeda. Aspek magis itulah yang menjadikan mantra menarik untuk diteliti. Yaitu, mantra sebagai sebuah teks puisi yang sangat eksotik, dahsyat, dan spiritual. Kita bisa mengenal bentuk-bentuk pengucapan pada teks mantra dalam hubungannya dengan kekuatan alam. Selain itu, kita bisa melihat pola sinkretisme budaya, yang tampak pada penggunaan istilah-istilah Allah, Muhammad, Bismillah, Jibril, Shang Hyang Agung, Shang Hyang Widhi, atau kekuatan gaib lain yang banyak tersebar di hampir semua teks mantra. Begitupun dengan teks mantra asihan yang ditulis oleh Damono “Mantra Pengasihan 1”.
wahai si Capung Kencana aku perintahkan kau masuk ke gua garba Nuraini (Damono, 2009a, hlm. 17) Penggunaan kata “si Capung Kencana” adalah penyebutan untuk sesuatu kekuatan “gaib” yang dipercaya dapat membantu terkabulnya keinginan yang tersirat di dalam maksud mantra tersebut. 161|
Yaitu meraih “cinta” seseorang. Penggunaan kata yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” tersebut juga terdapat pada teks mantra pada tradisi lisan.
Niat ingsun matek ajiku sang Setan Kober Gelem kang sira kongkon Ora gelem kang sira kongkon Lebonana gua garbane si…binti… (Isnaini, 2007, hlm. 63)
Pada mantra dalam tradisi lisan, penggunaan kata untuk menyebutkan sesuatu yang dianggap “gaib” adalah hal yang sangat mutlak diperlukan. Hal ini disebabkan karena mantra adalah sebuah komunikasi yang ditujukan untuk sesuatu yang dianggap dapat membantu terkabulnya permohonan si pangucap mantra. Selain penyebutan tersebut, kita dapat melihat adanya “kesamaan” antara teks puisi “Mantra Pengasihan 1” dengan teks mantra asihan Setan Kober. Penyebutan “Capung Kencana” vs “Setan Kober” adalah penyebutan yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” sebagai media komunikasi. Komunikasi yang dilakukan oleh si pangucap mantra kepada sesuatu hal yang “gaib” adalah komunikasi satu arah dengan tujuan supaya makhluk gaib itu mengabulkan permohonan si pengucap mantra. Makhluk gaib tadi berubah dari sesuatu yang berkuasa menjadi sesuatu yang melayani manusia (si pangucap mantra). Dengan begitu mantra diharapkan menjadi efektif dan mempunyai efek dan akibat seperti yang diinginkan s pengucap mantra. Menurut Junus (1983, hlm. 133) untuk menjadi efektif mantra setidaknya harus mempunyai unsur-unsur berikut: 1. Mantra harus terdiri dari rayuan dan perintah. Sesudah dirayu yang gaib itu diperintah untuk melayani. 2. Mantra dibentuk secara puitis dengan tidak menggunakan kesatuan kalimat, tetapi suatu expression unit (kesatuan pengucapan). 3. Yang dipentingkan dalam mantra adalah “keindahan bunyi” sehingga yang penting di dalamnya adalah unsur bahasa yang kongkret, bunyi. Lalu, apakah yang dituliskan oleh Damono adalah mantra asihan? Ataukah sebuah puisi yang “imajinatif” dengan judul “Mantra Pengasihan”? Dalam bukunya, Damono mengatakan bahwa yang ditulisnya adalah mantra yang berasal dari berbagai sumber, lisan dan tulis, yang umur dan asalusulnya tidak mungkin lagi ditelusuri (Damono, 2009a, hlm. 1). Dengan kata lain, teks yang ditulis oleh Damono adalah mantra tapi dalam bentuk yang lain, yang sama sekali berbeda dengan teks aslinya. Kalau saya boleh meminjam istilah Damono sendiri (2009b, hlm. 114) apa yang dilakukannya adalah “alih wahana” atau mengubah dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain. Pengubahan tersebut jelas sangat terlihat, misalnya dalam penggunaan media. Mantra yang hidup dalam media tradisi lisan diubah menjadi media tertulis, dan pengubahan mantra yang awalnya milik kolektif atau komunal menjadi mantra milik individu. Mantra yang semula 162|
adalah ekspresi kesusasteraan suatu kebudayaan yang disebarkan dan dirun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut (oral tradition) (Hutomo, 1991, hlm. 1) diubah menjadi ekspresi individu yang disebarkan secara tertulis dan dalam bentuk cetakan (buku). Pengubahan-pengubahan tersebut jelas akan menimbulkan “pengaruh” terutama dalam hal “kesakralan” mantra itu sendiri. Tapi seperti yang dikatakan Damono “…saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu. Namun, siapa tahu masih ada kekuatan tersembunyi yang masih tersisa dalam puisi ini. Kalau memang demikian halnya, kita manfaatkan sajalah…”(2009a, hlm. 1). Agaknya Damono sendiri masih “mempercayai” kekuatan pada teks mantra yang ditulisnya. Memang, teks mantra adalah sebuah teks yang sudah ada sejak lama dalam kebudayaan nenek moyang kita sehingga pengaruh “kekuatannya” tidak akan mudah diubah hanya dengan transformasi pada teksnya. Karena menurut saya, “kekuatan” mantra justru ada pada keyakinan masyarakat kita yang sudah memfosil selama bertahun-tahun dan dari generasi ke generasi. Kekuatan mantra tersebut akan semakin diyakini oleh si pangucap ketika proses pengamalannya disertai dengan laku mistik tertentu. Sehingga mantra yag diamalkan diharapkan dapat mempunyai efek dan manfaat. Seperti efek “menarik lawan jenis” dan meraih “cinta” seseorang.
Mantra Pengasihan 3
Asihan Si Naga Rante
ajiku sang leher, menolehlah
Asihan aing si naga rante
tolehlah hambaku
nya tali paranti ranti
kusatukan ujung bulu mataku
tunggal tali jadi-jadi
kusatukan ujung alisku
rek kentel hayang jadi hiji jeung si…
kusatukan ujung rambutku
cunduk tiruk tali angkruk
ruh dari ruhku
burung badan burung leumpang balik deui
nyawa dari nyawaku
rusras ka badan aing
sukma dari sukmaku
nangkarak mayang murag
tubuh dari tubuhku
muyukpuk kawas kapuk kaibunan
blug! Mati, belum mati
mangka welas mangka asih ka badan aing
jadi gila
(Rusyana, 1970, hlm. 36)
belum gila tapi sempoyongan :
Asihan Jaran Goyang
takkan sembuh jabang bayi si Nuraini
Sun matek ajiku si Jaran Goyang
kalau bukan aku yang mengobati
Tak goyang ing tengah latar
penuh belas penuh kasih
Upet-upetku lawe benang
jabang bayi si Nuraini
Pet sabetaken gunung gugur
menatapku
Pet sabetaken lemah bengkah
tajam menatapku
Pet sabetaken segara asat 163|
(Damono, 2009a, hlm. 20)
Pet sabetaken ombak gede sirep Pet sabetaken atine si… binti… Cep sida edan ora edan Sida gendeng ora gendeng Sida bunyeng ora mari-mari Yen ora ingsun sing nambani (Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
Ketiga teks tersebut adalah teks mantra asihan. Pertama, adalah teks puisi “Mantra Pengasihan 3” karya Sapardi Djoko Damono, sedangkan kedua dan ketiga adalah teks transkripsi dari teks mantra dalam tradisi lisan “Asihan Si Naga Rante” transkripsi dari mantra asihan pada masyarakat Sunda dan “Asihan Jaran goyang” transkripsi dari mantra pada masyarakat Pantura, Jawa Barat. Ketiganya memiliki keunikan terutama dalam penggunaan bahasa. Perbedaan tersebut tidak dapat “mengingkari” kesamaan dari ketiganya, yaitu sama-sama mempunyai maksud yang membuat orang lain “jatuh cinta’. Selain itu kita dapat melihat kecenderungan yang “sama” pada ketiga teks tersebut. Selanjutnya, akan saya jelaskan sebagai berikut. Pertama, terdapat unsur “gaib”. Unsur-unsur gaib tesebut biasanya terdapat pada judul atau pada larik pertama. Contoh. “ajiku sang leher, menolehlah”; “Asihan aing si naga rante”; “Sun matek ajiku si Jaran Goyang”. Unsur-unsur gaib ini memperlihatkan sesuatu yang dianggap “sakral” sehingga mantra dipercaya mampu memberikan kekuatan yang dapat membantu si penguca mantra.. Kedua, adanya bagian rayuan dan bgian teks yang berisi perintah. Seperi penjelasan Junus (1983, hlm. 133) bahwa perbedaan teks puisi dan mantra adalah ada tidakya bagian yang menyatakan rayuan dan perintah tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa mantra adalah media komunikasi yang dilakukan oleh si pengucap mantra kepada kekuatan “gaib” dengan tujuan memperoleh sesuatu yang yang diharapkan. Komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi satu arah, kekuatan “gaib” akan “menuruti” sesuatu yang diucapkan si pengucap mantra karena sudah diiming-imingi dengan “rayuan”, bentuk “rayuan” dalam mantra lisan bisanya berupa laku mistik tertentu. Namun, kita juga dapat melihat bentuk “rayuan” dalam teksnya. Perhatikan: ajiku sang leher, menolehlah tolehlah hambaku kusatukan ujung bulu mataku kusatukan ujung alisku kusatukan ujung rambutku (Damono, 2009a, hlm. 20) Pada larik-larik tersebut, kita dapat melihat sebuah “rayuan” pada makhluk ‘gaib’ tertentu. “Rayuan” tersebut biasanya selalu diikuti dengan kata-kata memerintah. “//ajiku sang leher, 164|
menolehlah//tolehlah hambaku//” si pengucap mantra memberikan sebuah perintah pada nama gaib “sang leher” untuk menoleh, kalimat perintah yang disebutkan diikuti dengan “rayuan”, “tolehlah hambaku//kusatukan ujung alisku//kusatukan ujung rambutku//”. Rangkaian kata-kata tersebut adalah “rayuan” yang hiperbolis. Hal ini dilakkan dengan harapan agar si pengucap mantra dapat dibantu untuk meraih tujuan. Unsur “rayuan” juga terdapat pada teks mantra dalam tradisi lisan, seperti saya contohkan pada teks berikut. Sun matek ajiku si Jaran Goyang Tak goyang ing tengah latar Upet-upetku lawe benang (Isnaini, 2007, hlm. 148)
Sun matek ajiku si Jaran Goyang `saya niat menggunakan asihan si Jaran Goyang` Tak goyang ing tegah latar `digoyang di tengah latar/halaman` upet-upetku lawe benang `goyanganku seperti benang`. Ketiga larik tersebut menunjukkan “rayuan” yang ditujukan pada kekuatan “gaib” Jaran Goyang. Kemudian kita lihat larik-larik selanjutnya. Ada pengulangan yang hiperbolis. Pengulangan kata pet sabetaken `pet, pukulkan`. Kata-kata tersebut diulang sebanyak lima kali yang mengandung majas paralelisme anaphora karena kata-kata yang diulang berada di awal kalimat atau larik. Berikut teksnya. Pet sabetaken gunung gugur
pet dipukulkan gunung hancur
Pet sabetaken lemah bengkah
pet dipukulkan tanah membelah
Pet sabetaken segara asat
pet dipukulkan laut surut
Pet sabetaken ombak gede sirep
pet dipukulkan ombak besar hilang
Pet sabetaken atine si… binti…
pet dipukulkan hatinya si… binti…
(Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
Pengulangan kata-kata yang hiperbolis tersebut menekankan pada kata kerja sabetaken `dipukulkan`. Penekanan kata kerja tersebut merupakan sebuah penegasan bahwa teks tersebut adalah laku atau sebuah proses aktivitas, karena tidak bisa dipungkiri, pencptaan mantra asihan adalah sebagai sebuah aktivitas (laku) yang mengharuskan si pengucap melakukan aktivitas dalam konteks penuturannya yaitu sebuah laku mistik tertentu. Adapun laku mistik dalam pengamalan mantra asihan Jaran Goyang ini adalah. 1) Puasa mutih (puasa yang hanya memperkenankan si pangamal makan nasi putih dan air putih saja pada waktu berbuka) selama 6 hari. 2) Puasa pati geni (si pengamal tidak boleh makan dan tidak boleh minum serta tidak boleh tidur, yang berarti mengunci diri atau bertapa) selama sehari semalam. 165|
3) Mantra asihan Jaran goyang dibaca sebanyak 7 kali setiap malam, selama menjalankan laku mistik puasa tadi (Isnaini, 2007, hlm. 189-190) Dengan kata lain, aktivitas laku mistik yang dilakukan menandakan bahwa mantra yang diucapkan benar-benar mantra yang mempunyai kekuatan tertentu yang diharapkan dapat membantu untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Di samping adanya kata-kata yang berupa “rayuan” dan “perintah” yang hiperbolis, kita juga dapat melihat bahwa kata-kata tersebut menggambarkan sistem proyeksi (angan-angan) dari pengucap mantra serta memberikan jalan yang dibenarkan masyarakat agar dia dapat superior dari orang lain (Hutomo, 1991, hlm. 69-71). Ketiga, mementingkan “keindahan bunyi” atau terasa ada permainan bunyi. Bunyi merupakan unsur yang penting dalam mantra. Hal ini karena mantra bersifat expression unit (kesatuan pengucapan). Artinya, teks mantra hanya dapat dipahami secara utuh bukan hanya bagian-bagian terpisah dari unsur-unsurnya. Hal tersebut sesuai dengan denganciri-ciri puisi rakyat yang disebutkan Dananjaja (2002, hlm. 46) bahwa kekhususan genre ini yaitu kalimatnya yang tidak berbentuk bebas (free phase) melainkan terikat (fix phase). Maksud dari ciri tersebut adalah bentuk tertentu yang biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan matra, panjang pendek kalimat, suku kata, lemah tekanan suara, atau berdasarkan irama.
Contoh. kalau matanya terbuka goyangkan tubuhnya kalau sedang tidur bangunkan dia satukan hati dan jantungnya dengan hati dan jantungku (Damono, 2009a, hlm. 16)
Pemanfaatan bunyi juga terlihat pada teks mantra dalam tradisi lisan, misalnya.
Ketemu turu tangekna
`kalau dia tidur, bangunkan`
Ketemu tangi lungguhna
`kalau dia bangun, dudukkan`
Ketemu lungguh adegna
`kalau dia duduk, berdirikan`
Ketemu ngadeg mlakukna
`kalau dia berdiri, berjalankan` (Isnaini, 2007, hlm. 99)
Sutardji dalam beberapa puisinya memanfaatkkn unsur bunyi karena puisi yang diciptakannya “mengikuti” teks mantra. Misalnya dalam puisi yang berjudul “Sepisaupi” 166|
sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi 1973 (Bachri, 2002, hlm. 70)
Selain dari pemanfaatan unsur bunyi dan bahasa, pada mantra juga kita akan menemukan formula-formualik. Teori mengenai formula bahasa dikemukakan oleh Lord melalui teori formulaformulaik. Lord memberikan batasan pada istilah formula dan formulaik, yaitu: Formula adalah kelompok kata yang digunakan secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra (irama) yang sama untuk mengungkapkan satu ide tertentu yang hakiki (Teeuw, 1994, hlm. 3). Formula (frasa, klausa, atau larik) dalam puisi dihasilkan dengan dua cara, yaitu dengan mengingat frasa itu dan dengan menciptakan melalui analogi frasa-frasa lain yang pernah ada (Badrun, 2003, hlm. 26). Sedangkan formulaik yaitu larik atau separuh larik yang disusun atas dasar pola formula (Teeuw, 1994, hlm. 3). Formula bahasa yang tampak dalam teks asihan Jaran Goyang di atas yaitu terdapatnya beberapa pengulangan kata. Sebuah kata yang terbentuk dalam sebuah kalimat dalam setiap lariknya. Pengulangan tersebut, dilakukan baik dengan perubahan atau secara konstan/tetap. Perubahan dengan sebuah variasi, seperti pada larik ke-4 sampai dengan larik ke-8. Variasi tersebut dinyatakan dalam bentuk frasa. Misalnya: pet sabetakan gunung gugur (larik ke-4), frasa pet sabetakan lemah bengkah (larik ke-5), dan seterusnya. Frasa gunung gugur, lemah bengkah dan seterusnya merupakan variasi. Dalam variasi larik-larik tersebut terjadi pengulangan yaitu berupa kata pet sabetaken. Kata/frasa yang diulang dalam larik-larik tersebut memiliki fungsi, kedudukan, dan peran yang sama. Jadi dengan kata lain kata/frasa tersebut merupakan formula untuk sebuah larik. Keempat, ada sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia, sesuatu yang misterius. Kemisteriusan sesuatu dalam mantra tidak lepas dari sifat `sakral`nya. Mantra mempunyai logika sendiri, seperti pada teks-teks lisan lainnya. Logika tersebut terpatri pada masyarakat pemiliknya. Sehingga apapun yang menjadi syarat untuk tercapainya maksud, maka akan dilaksanakan. Walaupun syarat tersebut tidak masuk akal. Seperti puasa mutih selama 6 hari. Sebetulya tidak ada hubungan 167|
dengan menarik perhatian lawan jenis atau mencari cinta seseorang, tetapi bagi pemilik kebudayaan tersebut apa yang dilakukan adalah sesuatu yang “logis”.
wahai si Capung Kencana aku perintahkan kau masuk ke gua garba Nuraini kalau matanya terbuka goyangkan tubuhnya kalau sedang tidur bangunkan dia satukan hati dan jantungnya dengan hati dan jantungku kalau gagal biar dia gila kalau tak gila akan ngoceh terus tak jelas juntrungnya dan hanya aku yang bisa menyembuhkan : rasaku lebih tinggi dari rasamu ruhku lebih tinggi dari ruhmu kamaku lebih unggul dari kamamu (Damono, 2009a, hlm. 16)
Teks tersebut hampir sama dengan teks mantra pada tradisi lisan seperti berikut.
Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober Gelem kang sira kongkon Ora gelem kang sira kongkon Lebonana guwa garbane si… binti… Kerik-keriken sikile Lamun turu tangekna Lamun tangi jagongna 168|
Lamun jagong adegna Lamun ngadeg mlakukna Karepna maring ingsun Awan lan bengi si… binti… Welas asih karo ingsun Welas asih karna Alloh taala (Isnaini, 2007, hlm. 63)
Dari beberapa larik pada teks di atas dapat terlihat ada kata-kata yang tidak masuk akal (tidak logis) dan sesuatu yang tidak dapt dipahami oleh manusia, kata-kata tersebut sangat misterius sehingga si pengucap mantra “dipaksa” untuk memahami sesuatu yang sebetulnya tidk dipahami. Misalnya,
wahai si Capung Kencana
Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober
aku perintahkan kau
Gelem kang sira kongkon
masuk ke gua garba Nuraini
Ora gelem kang sira kongkon Lebonana guwa garbane si… binti…
Dari kedua contoh tersebut kita dapat melihat bahwa ada sesuatu yang misterius. Misalnya penyebutan kata /gua garba/ /guwa garba/. Menurut KKBI garba berarti tempat; perut (Pusat-Bahasa & Depdiknas, 2008, hlm. 456). Berarti hal ini tidak logis secara harfiah tetapi sesuatu yang tidak logis tersebut sebetulnya sesuatu yang menjadi inti `kesakralan` mantra itu sendiri. Kelima, ada kecenderungan esoteris dari kata-katanya. Kata-katanya bersifat rahasia, terbatas, dan bersifat khusus. Misalnya, penggunaan nama-nama yang mewakili kekuatan”gaib’ merupakan contoh kata-kata esoterik. Contoh: //Si Capung Kencana// //SangSetanKober// //Si Runcang Kembang// //Mliwis Putih// //Si Naga Rante// //Si Jaran Goyang// adalah kata-kat khusus yang sifatnya terbatas karena kata-kata tersebut tidak mudah dijumpai pada konteks kalimat yang “biasa”. Kata-kata tersebut hanya ada pada teks mantra. Teks mantra, seperti halnya juga teks-teks lisan lainnya tidak akan terlepas dari konteks, proses penciptaan dan fungsi. Konteks pada teks-teks lisan dapat berupa konteks penuturan atau konteks pertunjukkan. Menurut Malinowski dalam Badrun, (2003, hlm. 38) kata-kata dalam sebuah percakapan hanya dapat dipahami kalau dikaitkan dengan konteks. Pemahaman konteks situasi saja belum cukup untuk memahami kata-kata yang digunakan dalam percakapan tetapi juga harus dibarengi dengan pemahaman konteks budaya. Konteks situasi adalah lingkungan atau tempat peristiwa penuturan berlangsung. Konteks situasi atau tempat berlangsungnya teks, menurut Halliday dalam Badrun, (2003, hlm. 38) mempunyai tiga unsur yaitu medan yang menunjuk pada hal yang sedang dilakukan oleh pelibat yang di dalamnya menggunakan bahasa sebagai unsur pokok. Pelibat menunjuk pada orang-orang yang terlibat, yaitu 169|
bagaimana sifat, kedudukan dan peran mereka. Sedangkan sarana merujuk pada bagian yang diperankan bahasa. Konteks budaya adalah lingkungan budaya suatu daerah termasuk “peristiwa” dan norma yang melatari penuturan. Dengan kata lain konteks yang terjadi pada teks mantra asihan adalah konteks penuturan sekaligus konteks pertunjukkan Konteks penuturan. Sehinga konteks yang terjadi adalah pembicaraan mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya ada hubungan antara penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat pendukungnya. Pada teks mantra asihan, konteks penuturan terdiri atas dua tahap, yaitu: 1. Penutur 1 (dukun) kepada pendengar (pengucap mantra) 2. Penutur 2 (penguca mantra) kepada (yang diharapkan/orang yang dituju) Pada tahap pertama, dukun merupakan penutur yang menuturkan teks asihan kepada pendengar (pasien). Peristiwa komunikasi khusus di antara keduanya ditandai dengan hubungan timbal-balik antara penutur (dukun) dengan pendengar (pasien). Pada konteks penuturan tahap pertama ini, penutur (dukun) menuturkan sekaligus menjelaskan teks mantra asihan kepada pendengar (pasien) beserta tata cara laku mistik, waktu pengamalan, dan tujuan pengamalan. Semuanya dijelaskan oleh penutur (dukun) kepada pendengar (pasien) pada saat penuturan (dukun) berlangsung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada alur konteks penuturan tahap pertama berikut:
Dukun
-
Kesempatan
-
Bertutur
-
Tujuan Bertutur
-
Laku Mistik
Pendengar/Pasien
Konteks Penuturan Tahap Pertama Pada konteks penuturan tahap kedua, yakni penutur (pengucap mantra) menuturkan teks mantra asihan sekaligus menjalankan laku mistik tertentu dengan tujuan menguasai sukma (hati) orang lain yang dituju. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan alur konteks penuturan tahap kedua berikut:
-
Menuturkan mantra
-
Menjalankan Laku
Pengamal
Mistik -
Yang diharapkan
Tujuan Bertutur
Konteks Penuturan Tahap Kedua 170|
Pada konteks penuturan tahap kedua yang dilakukan oleh si pengucap mantra adalah mengamalkan (menjalankan) laku mistik yang sudah ditentukan karena laku mistik merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan syarat yang dapat menentukan berhasil tidaknya mantra tersebut (Isnaini, 2007, hlm. 143-144). Sedangkan proses penciptaan antara puisi lisan dan bukan lisan terdapat perbedaan. Pada puisi tertulis terdapat perbedaan antara moment penciptaan dan moment pembacaan (pertunjukkan). Sedangkan dalam puisi lisan kedua moment itu menjadi satu. Pengarang puisi lisan adalah penyair atau penyaji. Menurut Lord dalam Badrun, (2003, hlm. 43) proses penciptaan dalam puisi lisan terjadi pada saat pertunjukan berlangsung. Dalam penciptaannya, seorang penyaji tidak menghafal rumus/formula tertentu. Melainkan terjadi mengalir begitu saja. Faktor tertentu dalam menguasai puisi rakyat adalah memahami formula dan membiasakan diri untuk mendengarkan puisi tersebut. Lord menyebutkan bahwa Dalam puisi tertulis antara penciptaan dengan pembacaan terdapat perbedaan, perbedaan itu tampak pada moment (saat) yang terjadi, namun dalam puisi lisan di antara keduanya tidak terdapat perbedaan atau dengan kata lain menjadi satu. Pada penelitian ini, proses penciptaan yang dimaksud adalah pembicaraan mengenai proses kreatif penciptaan sebuah mantra. Artinya proses mencipta sesuatu (puisi lisan/mantra) oleh masyarakat tertentu, baik dengan belajar, sistem pewarisan tunggal, atau tradisi lisan dari mulut ke mulut oleh seluruh masyarakat pada kelompok dan daerah tertentu. Pada mantra asihan terdapat dua tahap proses penciptaan. Pertama, proses penciptaan dari penutur pertama (dukun). Kedua, proses penciptaan dari penutur kedua (pengamal). Untuk lebih jelasnya perhatikan bagan proses penciptaan mantra asihan berikut: Berdasarkan bagan dan analisis yang telah dilakukan serta dari beberapa data narasumber, mantra asihan diperoleh dan diwariskan berdasarkan sistem pewarisan vertikal antara si empunya dengan si pewaris. Artinya, mantra asihan biasanya diturunkan dari orang yang lebih tua ke orang yang lebih muda (dari guru ke murid). Proses penciptaan dari penutur pertama (dukun) dilakukan dengan terstruktur. Artinya, ada proses pembelajaran dalam sistem pewarisan asihan ini. Begitu pula proses penciptaan dari dukun ke si pengamal juga dilakukan secara terstruktur. Salah satu indikasinya adalah dalam sistem pewarisan ini, ada satu istilah yang sering disebut izazah, yang berarti proses pewarisan mantra harus dilakukan dari guru ke murid (dari yang tua ke yang muda atau dari yang lebih menguasai kepada yang awam) akibat pengaruh ketatnya sistem budaya. Bila mantra tidak diperoleh berdasarkan sistem tersebut, maka mantra yang diamalkan itu tidak akan berhasil dan malah akan mencelakakan si pengamalnya. Pembicaraan fungsi dalam penelitian ini diartikan sebagai upaya memperoleh “manfaat” oleh masyarakat yang terkait dengan unsur tersebut dari konteks kebudayaannya. Menurut bascom dalam Danandjaja, (2003:19) fungsi folklor meliputi sistem proyeksi, yakni sebagai alat cermin angan-angan suatu kolektif, sebagi alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat 171|
pendidikan anak, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Menurut Hutomo (1991:69-74), fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut: (1) sebagai sistem proyeksi, (2) untuk pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa Leluhur
Dukun
Pewarisan secara vertikal dan terstruktur
Pengamal
berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial, (4) sebagai alat pendidikan bagi anak, (5) untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat lebih superior dari orang lain, (6) untuk memberikan jalan kepada seseorang yang dibenarkan oleh masyarakat agar ia dapat mencela orang lain, (7) sebagai alat untuk memperotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan (8) untuk melarikan diri dari himpitan hidup, atau dengan kata lain semata-mata hanya sebagai hiburan saja. Puisi lisan tentu saja memiliki fungsi masing-masing. Namun fungsi-fungsi tersebut bergantung pada masyarakat pemilik tradisi lisan yang bersangkutan. Termasuk juga pada teks mantra asihan ada fungsi yang ingin dicapai oleh si pengamal atau pengucap mantra. Misalnya, sebagai sistem proyeksi atau angan-angan yang ingin dicapai serta sebagai jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat lebih superior dari orang lain. Kedua fungsi ini sangat melekat pada teks mantra, walaupun tidak menutup kemungkinan muncul fungsi-fungsi yang lainnya. Akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa teks mantra, khususnya mantra asihan adalah teks `sakral` yang digunakan untuk menguasai “hati” orang lain, sehingga dapat memunculkan rasa “cinta”. Transformasi pada teks mantra sepertinya tidak membuat `kesakralan` mantra dengan serta merta hilang begitu saja. Hal ini disebabkan pada teks mantra ada kata-kata yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” tertentu yang diharapkan dapat membantu terwujudnya keinginan si pengucap mantra.
PENUTUP Seperti yang sudah dibahas di atas, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa yang ditulisnya adalah mantra yang berasal dari berbagai sumber, lisan dan tulis, yang umur dan asal-usulnya tidak mungkin lagi ditelusuri. Dengan kata lain, teks yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono adalah mantra tapi dalam bentuk yang lain, yang sama sekali berbeda dengan teks aslinya. Mantra yang hidup dalam media tradisi lisan diubah menjadi media tertulis, dan pengubahan mantra yang awalnya milik 172|
kolektif atau komunal menjadi mantra milik individu. Mantra yang semula adalah ekspresi kesusasteraan suatu kebudayaan yang disebarkan dan dirun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut (oral tradition) diubah menjadi ekspresi individu yang disebarkan secara tertulis dan dalam bentuk cetakan (buku). Pengubahan-pengubahan tersebut jelas akan menimbulkan “pengaruh” terutama dalam hal “kesakralan” mantra itu sendiri. Puisi yang dibentuk dari unsur bahasa berupa kata (yang mempunyai arti) berdasarkan proses sintagmatik. Setiap kata adalah signifier yang mempunyai referent dan signified. Sebuah puisi adalah “penjumlahan” referent dan signified dari kata-katanya yang tentu saja dipengauhi oleh proses sintagmatik menjadi semakin kontras dengan mantra. Penyandingan dan pembandingan keduanya memiliki nilai kemenarikan tersendiri. Puisi dengan kekuatan bahasa kias dan figuratifnya disandingkan dengan mantra yang kuat dengan unsur-unsur suprasegmentalnya. Pembandingan dan penyandingan kedua teks tersebut dititikberatkan pada struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, dan fungsinya. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa kedua teks memiliki kesamaan dan kemiripan pada satu sisi dan memiliki keunikan pada sisi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, S. C. (2002). O, amuk kapak. Jakarta: Horison.
Badrun, A. (2003). Patu mbojo: struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan dan fungsi. Unpublished Disertasi, Universitas Indonesia, Depok.
Damono, S. D. (2009a). Mantra orang jawa. Ciputat: Editum.
Damono, S. D. (2009b). Sastra bandingan. Ciputat: Editum.
Danandjaja, J. (2002). Folklor Indonesia: gosip, dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafitipers.
Hutomo, S. S. (1991). Mutiara yang terlupakan. Surabaya: Hiski Jawa Timur.
Isnaini, H. (2007). Mantra asihan: struktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi. Unpublished Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Junus, U. (1983). Dari peristiwa ke imajinasi: wajah sastra dan budaya Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
173|
Pusat-Bahasa, & Depdiknas (Eds.). (2008). Kamus besar bahasa indonesia edisi keempat. Jakarta: Pusat Bahasa.
Rusyana, Y. (1970). Bagbagan puisi mantra sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda.
Teeuw, A. (1994). Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Waluyo, H. J. (1987). Teori dan aplikasi puisi. Jakarta: Erlangga.
Wardhana, C. D. (2003). Seminar naskah nusantara. Unpublished Makalah. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
174|
LAMPIRAN TEKS
Mantra Pengasihan 2
Asihan Si Runcang Kembang
aku punya bunga
Asihan aing si runcang kembang
dari tanah seberang
mipir halis nyukang dina tarang sia
disebut kembang pulut
sidendang dina bulu mata sia
aku pulut hati
sageuy sia henteu melas henteu karunya ka
si jabang bayi Nuraini
badan aing
:
(Rusyana, 1970, hlm. 37)
kasih sayangnya pun tumbuh melihat diriku
Asihan Setan Kober
lekat pada diriku
Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober
atas kehendak Allah
Gelem kang sira kongkon
(Damono, 2009a, hlm. 18)
Ora gelem kang sira kongkon Lebonana guwa garbane si… binti… Kerik-keriken sikile Lamun turu tangekna Lamun tangi jagongna Lamun jagong adegna Lamun ngadeg mlakukna Karepna maring ingsun Awan lan bengi si… binti… Welas asih karo ingsun Welas asih karna Alloh taala (Isnaini, 2007, hlm. 63)
Mantra Pengasihan 1
Asihan Si Tarik Gadung
wahai si Capung Kencana
Asihan aing si tarik gadung
aku perintahkan kau
sataruk matak lalanjung sataun
masuk ke gua garba Nuraini
salambar matak kelar sabulan
kalau matanya terbuka
sasoek matak leweh sapoe
goyangkan tubuhnya
kejo asa catang bobo
kalau sedang tidur
tiis batan birit leuwi
bangunkan dia
deuk leumpang ngarampa jungjang
satukan hati dan jantungnya
diluahkeun kuda bancana
dengan hati dan jantungku
reup angkeub jleg sorangan 175|
kalau gagal
(Rusyana, 1970, hlm. 37)
biar dia gila kalau tak gila
Asihan Mliwis Putih
akan ngoceh terus
Mlliwis Puith sira tak kongkon
tak jelas juntrungnya
Asupi jiwa ragane si jabang bayine…
dan hanya aku
Ketemu turu tangekna
yang bisa menyembuhkan:
Ketemu tangi lungguhna
rasaku lebih tinggi
Ketemu lungguh adegna
dari rasamu
Ketemu ngadeg mlakukna
ruhku lebih tinggi
Yen wis teka mene kon nyenengi jiwa
dari ruhmu
ragane ingsun
kamaku lebih unggul
(Isnaini, 2007, hlm. 99)
dari kamamu (Damono, 2009a, hlm. 16)
Mantra Pengasihan 3
Asihan Si Naga Rante
ajiku sang leher, menolehlah
Asihan aing si naga rante
tolehlah hambaku
nya tali paranti ranti
kusatukan ujung bulu mataku
tunggal tali jadi-jadi
kusatukan ujung alisku
rek kentel hayang jadi hiji jeung si…
kusatukan ujung rambutku
cunduk tiruk tali angkruk
ruh dari ruhku
burung badan burung leumpang balik deui
nyawa dari nyawaku
rusras ka badan aing
sukma dari sukmaku
nangkarak mayang murag
tubuh dari tubuhku
muyukpuk kawas kapuk kaibunan
blug! Mati, belum mati
mangka welas mangka asih ka badan aing
jadi gila
(Rusyana, 1970, hlm. 36)
belum gila tapi sempoyongan : takkan sembuh jabang bayi si Nuraini
Asihan Jaran Goyang
kalau bukan aku yang mengobati
Sun matek ajiku si Jaran Goyang
penuh belas penuh kasih
Tak goyang ing tengah latar
jabang bayi si Nuraini
Upet-upetku lawe benang
menatapku
Pet sabetaken gunung gugur
tajam menatapku
Pet sabetaken lemah bengkah 176|
(Damono, 2009a, hlm. 20)
Pet sabetaken segara asat Pet sabetaken ombak gede sirep Pet sabetaken atine si… binti… Cep sida edan ora edan Sida gendeng ora gendeng Sida bunyeng ora mari-mari Yen ora ingsun sing nambani (Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
177|