178 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
MELACAK JEJAK PEMIKIRAN TAUFIQ ISMAIL IHWAL PENDIDIKAN LEWAT PUISI-PUISINYA Mustadi Hamzah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Indraprasta PGRI Jl. Nangka 58C Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Indonesia
Abstrak Taufiq Ismail adalah puisi. Puisi identik dengan Taufiq Ismail. Lima puluh tujuh tahun (57) tahun sudah, ia berkiprah di bidang puisi. Dialah pemikir yang pemikirannya dapat dilacak jejaknya di bidang sastra, terutama puisi. Dia pula yang menjalani tiga zaman, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi dengan mencatat momen-momen penting dalam puisi-puisinya. Pada masa Orde Lama, ia berjuang lewat puisi-puisi yang terkumpul dalam Tirani dan Benteng (1966). Pada masa Orde Baru ia banyak melontarkan banyak hal mulai dari mengingatkan orang untuk selalu ingat kepada Sang Khalik hingga mengajak orang agar tidak melakukan korupsi. Taufiq Ismail bekerja sama dengan pemusik seperti: Bimbo, Godbless, dan Chrisye sehingga siapa pun dapat menikmati celoteh dan pemikirannya melalui lagu-lagu yang digarap apik oleh para pemusik tersebut. Kumpulan puisinya, Malu Aku Jadi Orang Indonesia menandai betapa Taufiq memang penyair yang juga dapat dijadikan sebagai guru bangsa. Pemikirannya di bidang pendidikan dalam arti luas, dituangkannya melalui puisi-puisinya yang begitu liris, ironis, dan menyentuh. Kata kunci : Taufik Ismail, Puisi,
Taufik Ismail Thought Trail of Education Through his Poems Abstract Taufik Ismail is a poetry. The poem is identical with him. He was active in the field of poetry for fifty seven years. He was the thinker that his ideas can be traced back to the field of literature, especially poetry. He also underwent three eras: old order, new order until reform era that recorded the important event in his poems. In old older, he struggled through the poems were collected in Tirani and Banteng (1966). In new older, he talked many things starting from reminding people to always remember God in order to they did not corrupt. He worked together with musicians such as Bimbo, Godbless and Chrisye, so anyone can enjoy the chatter and thought through songs that was worked nicely by these musicians. His poems collection, Malu Aku Jadi Orang Indonesia, it marked that he was a poet and he could be the teacher of nation. His thoughts in the field of education, is reflected by his poems are so lyrical, ironic and touching. Keywords : Taufik Ismail, poetry
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 179
A. PENDAHULUAN
Taufiq Ismail identik dengan puisi. Ini tidak berlebihan, jika menguntit perjalanan bersastranya. Pertama kali memublikasikan puisinya (berupa pantun teka-teki) pada 1953 dan dimuat Sinar Baroe, kala ia duduk di bangku SMA. Lalu berturut-turut memublikasikan puisi-puisinya melalui majalah Gelanggang, Siasat, Siasat Baru, Mimbar Indonesia, dan Kisah. Mulai dikenal luas sebagai penyair sejak ia menulis antologi puisi Tirani (17 puisi) dan Benteng (24 puisi) pada 1966.
Kedua antologi puisi tersebut ditulisnya di tengah-tengah pergolakan mahasiswa di tahun 1966. Berkat kedua antologi puisi tersebut, ”Pemerintah terharu betul dan birokrasi menangis ” katanya dalam Temu Sastra 82 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Namanya melambung dan menokoh sebagai sastrawan penting Angkatan 66.
Kemenonjolannya di bidang puisi, membuat orang tidak mengenal perjalanan bersastranya secara utuh. Taufiq Ismail sebenarnya (juga) menulis novel, cerpen, drama, dan berbagai esai budaya. Khusus mengenai novel, ia pernah menulis novel eksperimen yang pertama dan terakhir---jauh sebelum ia menentukan pilihan pada puisi--- ketika ia duduk di bangku kelas satu Sekolah Rakyat Indonesia, Bergota, di zaman pendudukan Jepang di Semarang. Novel eksperimen itu ditulis di kertas bergaris dan hanya satu halaman. Hingga kini nasib novel itu terbengkelai.
Cerpen satu-satunya yang dipublikasikan berjudul Garong-Garong dan dimuat pada Majalah Horison No. 3 Th. III, Jakarta, Maret 1968. Sedangkan cerpen keduanya berupa naskah ketikan dan belum dipublikasikan hingga kini, berjudul Kembali ke Salemba. Naskah drama satu-satunya berjudul Langit Hitam, dimuat Majalah Horison, Agustus 1966. Sedangkan esai budayanya tersebar sejak 20 Juli 1963 dan dipublikasikan lewat Duta Masyarakat
180 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
dengan judul Pembinaan Teater Masa Kini. Agaknya, tulisan tentang teater ini terkait dengan kiprahnya sebagai Ketua I Dewan Pengurus Pusat Badan Pembinan Teater Nasional (1962 - 1964).
Ketokohannya di bidang puisi menenggelamkan kiprahnya di bidang lain seperti pendidikan. Padahal, melacak jejak benak atau pemikiran Taufiq Ismail di bidang pendidikan merupakan hal yang menarik. Kiprahnya selama 55 tahun di bidang sastra menyiratkan misi pendidikan yang diemban Taufiq Ismail dengan sadar. Pemikiran tersebut diungkapkan melalui puisi dan esai. Puisi-puisinya
sarat
makna
tentang
pendidikan.
Esai-esainya
dalam
menggagas pendidikan –terutama dalam pengajaran apresiasi sastra-- begitu mencerahkan.
B. PEMBAHASAN
Puisi bertajuk Dengan Puisi, Aku ditulis Taufiq Ismail pada tahun 1965. Puisi tersebut terdapat dalam antologi Buku Tamu Museum Perjuangan. Visi kepenyairan Taufiq Ismail tercakup dalam puisi tersebut. Dengan Puisi yang kelak dinyanyikan kelompok musik Bimbo ini Taufiq Ismail ingin: bernyanyi,... bercinta, ... mengenang, ... menangis,
... mengutuk, dan ...
berdoa.
Dalam sebuah wawancara dengan Redaktur sebuah Majalah SMA, tujuan atau misi bersasteranya tegas, yakni sujud kepada-Nya (lihat: Dua Puluh Sastrawan Bicara, 1984: 122)! Sedangkan melalui Aku Ingin Menulis Puisi yang ditulis pada 1970 dan terkumpul pada buku Sajak Ladang Jagung merupakan misi Taufiq Ismail dalam menulis puisi. Melalui puisi tersebut, ia berkeinginan menulis puisi bermacam-macam tema dan ditujukan ke berbagai kalangan. Mari disimak cuplikan bait (1), (2), dan (3) puisi tersebut!
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 181
Aku ingin menulis puisi, yang tidak semata-mata berurusan dengan cuaca, warna, cahaya, suara, dan mega. Aku ingin menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-lompat di pekarangan sekolah, yang main gundu dan petak umpet di halaman rumah, yang menangis karena tidak naik kelas tahun ini. Aku ingin menulis puisi yang membuat orang berumur 55 merasa 25 berumur 24 merasa 54 tahun, di mana pun mereka membacanya, bagaimana pun mereka membacanya: duduk atau berdiri. Dalam kata penutup, akhir kalam” antologi puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
(1998:
198
–
205)
Taufiq
Ismail
memaparkan
proses
kepenyairannya. Puisi-puisi yang ditulis memiliki pengaruh yang kuat akan seni pedalangan kala Taufiq Ismail bermukim di Yogyakarta dan seni kaba ketika ia pindah ke Bukittinggi. Ritma suluk dalam Pedalangan begitu terngiang-ngiang senantiasa di telinganya, sangat dalam mempesona. Begitu pula pengaruh kaba yang menggelora. Ritma dan rima, aliterasi dan asonansi yang ditonjolkan kaba sangat menghunjamkan pesona bagi Taufiq Ismail. Demikianlah, melalui puisi-puisi yang ditulis, Taufiq Ismail ingin berkabar. ”Saya mau menyampaikan berita, mendalang dan berkisah lewat puisi saya, kepada pendengar dan pembaca saya.”
Itu sebabnya, ketika Taufiq Ismail menuliskan buram pertama puisi, ia selalu membayangkan pendengar acara baca puisi yang akan berbagi nikmat menyimaknya. ”Puisi saya terbanyak ditulis dengan kesadaran akan hadirnya audiens” paparnya. Karena puisi yang ditulisnya ingin berkabar, maka wajar bila ia menolak anggapan bahwa puisi harus padat, harus sedikit kata-kata. Taufiq Ismail berargumen: ”Daripada puisi memenuhi syarat padat dan minimum kata tetapi tidak indah serta gagap berkomunikasi, saya memilih puisi banyak kata tetapi cantik, menyentuh perasaan, laju menghilir dan komunikatif. Puisi saya wajib musikal. Kata-kata harus sedap didengar. Tentu
182 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
saja kata-kata itu mengalami ketatnya seleksi. ”Dalam puisi-puisi yang ditulisnya, substansi berkabar selalu dijaganya.
Substansi puisinya adalah angan-angan, kenyataan, kepekaan, kekenyangan, kelaparan, nyeri, seri, cinta, keasyikan, penindasan, penyesalan, kecongkakan, kebebalan, tekad, ketidakpastian, kelahiran, maut, kefanaan, ke-Yang Gaiban—semua berbaur di balik lensa luar biasa lebar tempat kita bersama membaca panorama kehidupan masa kini dan sejarah masa lalu lewat sudut pandang berbeda. ”Puisi saya puisi berkabar. Sebagai narasi dia menyerap dering crek-crek, gesekan rebab, dan dengung salung di dalamnya sebagai musikalitas kata tersendiri, dengan sentuhan jenaka di sana-sini.”
Taufiq Ismail telah menulis ratusan puisi sebagaimana terkumpul dalam antologi Tirani (17 puisi) Benteng (24 puisi), Buku Tamu Museum Perjuangan (19 puisi), Puisi-puisi Sepi (9 puisi), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit ( sebuah puisi panjang), Sajak Ladang Jagung (37 puisi), Manifestasi kumpulan bersama: Armaya, Djamil Suherman, Goenawan Mohamad, Hartoyo Andangdjaya, Mohammad Diponegoro, M. Saribi Afn, dan M. Yoesmanan (Taufiq Ismail menyumbangkan 5 puisi) 16 sajak terjemahan, dan 9 puisi berbahasa Sunda. Hingga tahun 1984, Pamusuk Nasution mencatat 39 puisinya yang belum dikumpulkan, dan pada 1998 Taufiq Ismail kembali menerbitkan 100 puisinya bertajuk Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Mengingat hingga kini Taufiq Ismail masih kreatif dan produktif menulis puisi untuk berbagai kesempatan, berbagai tema, dan pada berbagai acara,
maka tidak menutup kemungkinan jutaan puisi (bakal)
ditulisnya.
Secara garis besar, puisi-puisi Taufiq Ismail memberikan sumbangan di bidang pendidikan dalam tiga hal. Pertama, puisi-puisi yang ditulisnya dikaji dan dipelajari mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kedua,
muatan
puisinya
selalu
mengandung
unsur
didik.
Ketiga,
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 183
penyebarluasan puisi-puisinya kepada khalayak menyebabkan keberadaannya sebagai pendidik semakin kokoh.
Sebagaimana diketahui, Taufiq Ismail dikenal sebagai sastrawan Angkatan 66. Dalam kaitan ini, karya-karyanya –terutama puisi—dipelajari mulai dari siswa SMP, SMA dan mahasiswa jurusan sastra maupun mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Secara khusus kumpulan antologinya seperti Tirani (1966), Benteng (1966), Buku Tamu Musium Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1974), Kenalkan, Saya Hewan (sajak anakanak) (1976), Puisi-puisi Langit (1990), Ketika Kata Ketika Warna (1995), Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998) merupakan sejumlah karyanya yang dijadikan rujukan bahan pembelajaran.
Teknik dan isi yang ditampilkan melalui puisi-puisi tersebut didiskusikan, dipelajari dan diapresiasi dengan beragam keperluan. Ada yang menjadikan puisi tersebut sebagai lomba baca puisi. Ada pula yang memanfaatkan puisipuisinya sebagai makalah baik siswa, mahasiswa, maupun pakar pada sebuah seminar. Puisinya yang berjudul Karangan Bunga termasuk bahan puisi yang banyak dikutip pada buku-buku pelajaran bahasa Indonesia pada tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah. Sedangkan puisi berjudul Kembalikan Indonesia Padaku menjadi puisi wajib pada lomba-lomba baca puisi antar sekolah.
Sumbangan kedua Taufiq Ismail lewat puisi-puisi yang ditulisnya banyak bermuatan unsur pendidikan. Dalam Tirani (1966), Benteng (1966), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1974), Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak) (1976), Puisi-puisi Langit (1990), Ketika Kata Ketika Warna (1995), Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998), dan puisi-puisi lain yang tersebar di berbagai media massa dan acara-acara penting -- yang belum sempat dibukukan; unsur pendidikan diungkapkan dalam berbagai bentuk.
184 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
Ada protes Taufiq Ismail terhadap rezim yang lalim masa Orde Lama sebagaimana dalam Tirani dan Benteng. Nada pahit, perih, pekik, keluh, dan amarah diungkap kembali dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI) sebagai wujud protes atas Rezim Orde Baru yang menyebarkan virus kebobrokan akhlak kepada masyarakat. Ada pula sindiran parodi sebagaimana diungkapkan kala ia mengritik prinsip ekonomi yakni mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecilkecilnya; lalu oleh Taufiq ditulis: /sesal dahulu pendapatan/sesal kemudian pengeluaran // dalam Sajak Ladang Jagung. Puisi Takut ’66, Takut ’ 98 ditulis Tauifiq dengan penuh humor, meledek sekaligus mengingatkan pemimpin bangsa (Indonesia) yang lengser karena adanya -- siklus takut --baik saat Orde Lama maupun Orde Baru-- mahasiswa. Simak tuturannya: Mahasiswa takut pada dosen Dosen takut pada dekan Dekan takut pada rektor Rektor takut pada menteri Menteri takut pada presiden Presiden takut pada mahasiswa
Taufiq Ismail adalah kritikus dan praktisi yang tajam. Lontaran kritiknya sering membuat orang terpana.
Orang seperti sering ditepuk-diingatkan.
Ketika pertandingan tinju menjadi idola masyarakat, Taufiq Ismail menulis dua puisi Lupa Aku Nomor Teleponnya, Lonceng Tinju dan Tak Tahan Aku Menatap Sinar Matamu pada 25, 26 dan 27 Februari 1989. Kebetulan ketiga pusi tersebut ditulis menjelang pertandingan tinju : Ellyas Pical melawan Mike Phelps di Singapura dan Mike Tyson melawan Frank Bruno di Las Vegas Amerika Serikat. Kemudian Taufiq Ismail kembali mengangkat puisi tinjunya pada 3 September 1988 dengan judul Memuja Kepalan Menghina Kepala.
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 185
Kegemaran masyarakat (modern) terhadap tinju yang begitu menggebu, membuat Taufiq Ismail prihatin dan geram. Ia ingin mengingatkan masyarakat, jika tinju -- yang diistilahkannya dengan ”adu manusia” -- tidak saja membuat seseorang menjadi kecut, namun menimbulkan penyesalan bagi sang petinju sendiri. Setelah pertandingan adu manusia, salah satu dari mereka mungkin terkena KO (Knock Out) jatuh terkapar, pingsan, terkena parkinson, koma bahkan banyak juga yang akhirnya meninggal dunia dengan batok kepala yang remuk akibat dihujani bertubi-tubi kepalan sang lawan.
Dalam Memuja Kepalan Menghina Kepala Taufiq Ismail melukiskan wawancara seorang wartawan olah raga dengan dua tengkorak petinju yang sudah meninggal dunia. Dengan imajinasinya Taufiq Ismail merekam wawancara itu melalui baris-baris puisinya: /Sesudah sepuluh tahun berlalu/ sesudah seribu juta di saku/orang melupakan daku/ketika aku lumpuh dan gagu//kata tengkorak yang satu//. Lalu: /Bangsaku pemuja kepalan/karena tujuh hurufnya/Bangsaku penghina kepala/karena hurufnya enam Cuma// Jawab tengkorak yang satunya//.
Nasib petinju pada akhirnya seringkali sampai begitu. Saat sang petinju sedang di puncak popularitas, ia dipuja-puja. Lalu dilupakan saat keadaannya tidak lagi populer:
jelek, tua, dan pikun! Maka, lewat puisi Lupa Aku
Nomor Teleponnya (dalam antologi MAJOI ditambah judulnya menjadi Lupa Aku Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar), Taufiq Ismail tidak habis pikir, mengapa adu manusia terus diminati orang?
Semua orang tahu, bahwa sasaran tinju adalah kepala. Kepala tempat bersarangnya otak. Otak, sebagai pusat kecendekiaan kemanusiaan –dihantam, ditinju, dibentur, dan dibantai berkali-kali hingga mata sang petinju nanar, tubuhnya limbung, dan terkulai-terkapar. ungkapnya melalui puisi tersebut.
/Aku bingung/Ini bagaimana?//
186 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
Korban adu manusia dari hari ke hari semakin berguguran. Laporan Majalah Ring terbitan Amerika (1989) mencatat dalam kurun waktu 70 tahun terakhir 500 petinju Amerika meninggal karena perdarahan otak. Bagaimana dengan kita? Cukup membuat bulu kuduk kita merinding. Sejumlah anak muda kita yang menggeluti pertinjuan juga mengalami nasib yang sama tragisnya! Nama-nama seperti: Ricky Huang, Aceng Jim, Nasir Kitu, Domo Hutabarat, Agus Souissa dan Wahab Bahari adalah mereka yang mati tragis karena perdarahan otak setelah bertinju di atas ring.
Itu pula yang menjadi titik tolak puisi Taufiq Ismail berjudul Wahab Bahari, Tak Tahan Aku Menatap Sinar Matamu. Lewat larik-larik puisinya, ia berkabar: /Mereka anak-anak kita/Penuh cita-cita/Tapi mati muda/Mati sesudah naik gelanggang/atau sehabis latihan/Otak mereka gegar dan berdarah/Itu sakit sekali/Mereka meninggal dalam sunyi/Tidak masuk berita televisi/Tidak dimuat halaman satu Koran pagi/Mereka dilupakan/Tidak punya uang/Dan pergi/Dalam sepi//.
Sumbangan ketiga Taufiq Ismail adalah teknik penyebarluasan puisi-puisinya kepada khalayak. Dalam kaitan ini Taufiq sadar benar bahwa untuk mewujudkan keinginannya sebagaimana dilontarkan dalam puisi Aku Ingin Menulis Puisi. Ia memublikasikan puisi-puisinya melalui jalur media massa baik cetak maupun elektronik.
Melalui media massa cetak, puisi-puisinya ditemukan melalui rubrik puisi dan surat pembaca pada surat kabar dan majalah. Selain itu, puisi yang dipublikasikan itu pun dibukukan dalam bentuk antologi baik atas nama sendiri maupun kumpulan bersama beberapa penyair.
Jalur konvensional ini merupakan langkah kebanyakan penyair di negeri mana pun di dunia ini. Akan tetapi,
dalam berbagai kasus banyak antologi
diterbitkan tetapi keberadaanya diabaikan. Khusus antologi-antologi puisi
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 187
Taufiq Ismail, keberadaannya mendapat animo yang menggembirakan. Indikator yang dapat dijadikan sebagai titik tolak adanya keterlibatan puisipuisi Taufiq Ismail yang sering dikutip baik pada buku-buku pelajaran bahasa Indonesia maupun materi perkuliahan, banyak dianalisis dan dikaji oleh kalangan pelajar tingkat menengah maupun disertasi tingkat doktoral.
Puisinya yang berkisah tentang Fariduddin Attar dijadikan rujukan untuk membahas sebuah materi metafisika untuk kuliah filsafat oleh Jujun Suriasumantri dalam buku Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (1984). Juga saat Amien Rais mendapat pengukuhan gelar Profesor dari Universitas Gadjah Mada pada 1999, mengutip puisi Takut ’66, Takut ’98 sebagai acuan uraian
teoretis
tentang
bahaya
”kuasa”
dan
”tunakuasa”
sekaligus
menunjukkan perubahan politik di negeri ini yang menunjukkan bahwa tunakuasa (powerlesness) mulai mendialogkan kuasanya (powerness). Nilai didik yang dapat ditangkap melalui puisi yang berbicara rasa takut ini agar dihayati benar oleh para wakil rakyat dan pejabat negara, terutama ”takut” kepada rakyat, selain takut kepada azab Allah SWT.
Melalui media massa elektronik, puisi-puisinya meluncur melalui pembacaan baik yang dilakukan Taufiq sendiri maupun melalui orang lain. Begitu seringnya Taufiq diundang untuk membacakan puisi-puisinya di dalam negeri dan di luar negeri, media yang mengundang pun semakin beragam. Ada kalanya dalam sebuah seminar tentang politik, ia diminta membacakan puisinya. Undangan juga mengalir dari radio maupun televisi. Frekuensi yang demikian tentu menguntungkan karena banyak dikenal orang di dalam dan di luar negeri. Apalagi puisi-puisinya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Rusia, dan bahasa Cina.
Terobosan Taufiq dalam penyebarluasan puisi-puisinya ternyata tidak hanya sebatas itu. Kita mencatat sejak 1973, puisi-puisi seperti Oda pada Van Gogh, Dengan Puisi Aku, Kasidah Rindu Kami Padamu, Adakah Suara
188 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
Cemara, Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Ada anak Bertanya pada Bapaknya dan Jual Beli adalah beberapa puisi Taufiq Ismail yang dijadikan sebagai lirik lagu-lagu Bimbo. Kita pun mencatat, bahwa puisi Panggung Sandiwara Taufiq Ismail digubah oleh Ian Antono dari kelompok musik Godbless dan dilantunkan oleh Achmad Albar begitu populer di telinga penikmat musik Indonesia.
Khusus mengenai lagu-lagu bertema religius yang dinyanyikan Bimbo seperti Tuhan, Sajadah Panjang, Aisyah Adinda Kita, Ada anak Bertanya pada Bapaknya begitu sering terdengar di telinga penikmat musik, terutama saat bulan Ramadan tiba, sehingga tidak mengherankan jika ada yang menyebut bahwa setiap Ramadan adalah bulan lagu-lagu Bimbo. Kita pun dapat beranalogi, menyebut sukses Bimbo berarti menyebut sukses Taufiq Ismail sebagai penulis lirik yang andal. Ia ternyata juga merambah kerja sama dengan almarhum Chrisye untuk penulisan lirik Ketika Tangan dan Kaki Bicara.
Unsur didik sangat terasa pada semua lirik yang berasal dari puisi-puisi garapan Taufiq Ismail. Secara representatif, puisi berjudul Tuhan dan Sajadah Panjang sangat kental nilai religinya. Berikut dikutipkan isi puisi Sajadah Panjang secara lengkap.
Ada sajadah panjang terbentang Dari kaki buaian Sampai ke tepi kuburan hamba Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang Hamba tunduk dan sujud Di atas sajadah yang panjang ini
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 189
Diselingi sekedar interupsi Mencari rezeki, mencari ilmu Mengukur jalanan seharian Begitu terdengar suara azan Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang Hamba tunduk dan rukuk Hamba sujud dan tak lepas kening hamba Mengingat Dikau Sepenuhnya
Taufiq Ismail bercita-cita menjadi sastrawan sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan mengental ketika Sekolah Menengah Atas (SMA). Berkaitan dengan pendidikan, ia ikut membidani lahirnya Majalah Sastra Horison. Sebuah majalah yang secara taat asas melaksanakan tugasnya sebagai majalah sastra sejak awal pendiriannya, 1966 yakni mencatat puisi, cerpen,
esai,
menyemai
bibit-bibit
sastrawan
baru,
menumbuhkembangkannya, sehingga terjadi dialektika secara dinamis baik sebagai sebuah sosok maupun karya dengan konsekuensinya. Hal ini tentu sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan di sekolah-sekolah, mengingat Horison adalah majalah sastra yang cukup berkualitas.
Melalui Horison pula, Taufiq Ismail mengemas empat proyek besar atas keprihatinannya terhadap kondisi pendidikan bangsa ini. Pertama, Taufiq Ismail mengemas melalui program penerbitan sisipan pada kolom Kaki Langit majalah Horison sejak November 1996 dan masuk ke SMU (Sekolah Menengah Umum), MA (Madrasah Aliyah), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan Pesantren. Itu yang pertama. Sebagai suplemen, Kaki Langit menampilkan karya sastra : puisi, cerita pendek (cerpen), dan esai para siswa dari seluruh Nusantara. Bapak dan Ibu guru (bahasa Indonesia) dilibatkan
190 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
pula, melalui rubrik kolom Pengalaman Guru. Ulasan puisi dan cerpen karya siswa juga disajikan sebagai bentuk kritik terhadap karya para siswa. Setiap terbit, kolom Kaki Langit memperkenalkan sosok sastrawan –mulai dari biografi, karyanya, hingga proses kreatifnya.
Kedua, menyadari bahwa perubahan harus dimulai dari guru, Taufiq Ismail melalui Yayasan Indonesia (penerbit Majalah Horison) bekerja sama dengan Bappenas dan Departemen Pendidikan Nasional sejak Februari 1999 meluncurkan program MMAS (Membaca, Mengarang, dan Apresiasi Sastra) untuk guru bahasa dan sastra Indonesia. Hingga tahun 2000, telah dilatih 11 angkatan (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat). Itu mencakup 660 guru. Setelah itu, Riau, Jambi Sumatera Utara, Lampung, dan pada tahun 2001 MMAS meluas ke Kalimantan dan Indonesia Bagian Timur.
Ketiga, dalam rentang masa yang sama, 43 sastrawan bergerak masuk ke 30 SMU (Sekolah Menengah Umum), MA (Madrasah Aliyah), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), dan Pesantren di 20 kota 3 provinsi bertemu dan berdiskusi dengan 3.000 siswa. Kegiatan ini merupakan proyek ketiga yang digarapnya di bawah bendera SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya). Pada 2004, SBSB telah diadakan di 26 provinsi, 133 kota, 205 siswa, dihadiri (sekitar) 92.000 siswa dan guru, didatangi sekitar 90 sastrawan.
Keempat, pada tingkat perguruan tinggi, Taufiq Ismail menggarap proyek keempatnya yakni SBMM (Sastrawan Bicara, Mahasiswa Bertanya). Melalui SBMM Taufiq Ismail mendatangkan 12 sastrawan selama dua semester ke dua kampus (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia dan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta) untuk berdiskusi dengan mahasiswa. Mahasiswa diwajibkan membaca buku karya sastrawan tersebut, sebelum hadir dalam diskusi. Kegiatan SBSM dan SBMM ini dibiayai oleh Ford Foundation.
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 191
Apa yang menarik? Kegiatan SBSM ternyata menerbitkan optimisme bagi Taufiq Ismail secara pribadi maupun lembaga yang dipimpinnya. SBSM yang berfokus pada apresiasi tingkat SMU, Madrasah Aliyah, dan Sekolah Menengah Kejuruan ternyata mendapat respon yang luar biasa. Para siswa tidak saja langsung dapat bertatap muka dan menyimak proses kreatif para sastrawan. Pengenalan langsung seperti ini tentu lebih efektif dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Sebagai tindak lanjut SBSM Horison pun memberikan wadah berupa rubrik sisipan Kaki Langit. Lagilagi optimisme kembali bangkit manakala redaksi Horison kewalahan menampung karya-karya siswa di seluruh tanah air. Dalam Seminar sehari yang digelar Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia DKI Jakarta, pada 30 September 2000 Taufiq Ismail melontarkan kritik pedasnya. “Masyarakat Indonesia itu sudah mengidap penyakit rabun membaca dan lumpuh menulis. Akibatnya, kedua penyakit itu menimbulkan budaya kekerasan yang akhirnya mempengaruhi juga sisi-sisi kehidupan kaum mudanya.”
Lontaran ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengamatannya, kuantitas oplah buku-buku sastra yang terbit sejak awal revolusi sangat sedikit. Taufiq Ismail menyayangkan rendahnya minat masyarakat, terutama minat membaca karya sastra. Apabila melihat jumlah majalah sastra, ternyata yang terbit di Indonesia hanya satu, yakni Horison.
Menurutnya, keadaan ini sangat memprihatinkan. Apalagi jika Taufiq Ismail membandingkannya dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Di Mesir, dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta jiwa, penduduknya mampu menerbitkan majalah sastra sebanyak 12 buah. Taufiq Ismail pun melontarkan, semestinya kita memiliki 48 buah majalah sastra. Catatan lain yang dikemukakan dalam seminar tersebut adalah novel Atheis karya Achdiat Kartamihardja yang pertama terbit 1949 dan beroplah 3.000 eksemplar, hingga tahun 2000 jumlah eksemplarnya tidak berubah.
192 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
Munculnya budaya kekerasan di Indonesia
akhir-akhir ini salah satunya
disebabkan oleh tidak dikembangkannya nilai-nilai luhur dalam sistem budaya.
Nilai
kejujuran,
ketertiban,
tanggung
jawab,
pengendalian,
kebersaman, keimanan, yang seharusnya berproses dalam pendidikan di sekolah, rumah, dan masyarakat–kemudian dicontohkan oleh pendidik, orang tua, dan pemuka masyarakat, serta dibaca dalam karya-karya sastra—ternyata tidak berlangsung seperti yang diharapkan.
Padahal, menurut Taufiq Ismail, karya sastra dapat membuat manusia lebih arif terhadap kehidupan. Manusia diajak memahami hidup ini, kemudian merasa tertarik karena nilai estetik yang dituangkan di dalam karya-karya tersebut. Apabila kekayaan karya sastra–dibaca, dihayati, dan didalami akan berlangsunglah penghalusan budi, pengayaan pengalaman, dan perluasan wawasan terhadap kehidupan. Untuk itu, ia menyarankan pengajaran sastra perlu perubahan besar yang bersifat menyeluruh, baik oleh pemerintah maupun guru. Selain itu, perlu juga dikembangkan budaya membaca dalam keluarga.
Ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) Taufiq Ismail melalui orasi ilmiahnya mengusulkan paradigma baru dalam pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi sastra.
Pertama, siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira. Pendekatan yang dilakukan bukan seperti memahami fisika, bukan pula pendekatan seperti menghafal tahun-tahun dalam sejarah. Guru harus mampu membentuk citra sastra di hati siswa sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat mereka berantusias dan memerlukan.
Kedua, siswa membaca langsung karya sastra seperti: puisi, cerpen, novel, dan drama bukan melalui ringkasan. Oleh karena itu, buku-buku yang disebut dalam kurikulum harus tersedia di perpustakaan sekolah.
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 193
Ketiga, kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban bagi siswa ataupun guru. Mengarang harus dirasakan sebagai ekspresi diri yang melegakan perasaan. Itu sebabnya, Taufiq Ismail mengusulkan judul-judul klise harus diganti dengan imajinasi kaya yang sesuai dengan fantasi siswa. Mengarang itu bukan hanya menulis laporan, melainkan menggugah imajinasi dan menuntut siswa berpikir. Keempat, ketika membicarakan karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai. Tidak ada tafsir tunggal terhadap karya sastra. Guru harus terbuka terhadap pendapat siswa yang berbeda, sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berpikir yang logis.
Kelima, pengetahuan tentang sastra seperti: teori, definisi, sejarah tidak utama dalam pengajaran sastra (di SMU). Materi tersebut dijadikan informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra. Siswa jangan terus-menerus dibebani dengan hanya menghafal teori dan definisi.
Keenam, pengajaran sastra harus menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa, yang membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras di masyarakat. Karya sastra yang relevan harus dipilih untuk disajikan kepada siswa dan didiskusikan di kelas. Kemudian akan timbul kearifan siswa kepada manusia dan kehidupan, terasah sensitivitas estetiknya, dan muncul empatinya pada duka derita nasib orang-orang yang malang.
Selain pemikiran Taufiq Ismail dalam upaya memajukan pendidikan diungkapkan melalui puisi, esai, dan makalah; kiprah sosoknya terekam jelas melalui riwayatnya. Sastrawan kelahiran Bukittinggi 25 Juni 1935 ini tercatat pernah menjadi guru SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis dan menjadi dosen di IPB (Institut Pertanian Bogor) dan pada 1973 ia dipercaya sebagai Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, sekarang IKJ = Institut Kesenian Jakarta). Pernah pula menjadi Ketua Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak
194 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
1957) telah mengirim 1.700 siswa Indonesia ke 15 negara dan menerima 1.600 siswa asing di Indonesia. Ia pun terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1947 – 1976.
Kiprah lain yang patut dikemukakan disini adalah sejak 1970 Taufiq Ismail sering membaca puisi di dalam dan di luar negeri. Di luar Indonesia, ia telah membaca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika. Pada April 1993, ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang kita yang dibuang Belanda ke Afrika Selatan tiga abad silam—di tiga tempat di Cape Town. Pada 1994, ia kembali diundang untuk membacakan puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudera yang legendaris itu di Yunan, Republik Rakyat Cina.
Itu sebabnya, 57 tahun Tufiq Ismail berkiprah (1953-2010), penghargaan demi penghargaan diterima. Pada 1970, ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI; mendapat Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia pada 1977; SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1994); penghargaan tentang Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994); Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999); Doctor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003); Penghargaan Presiden Megawati Soekarno Poetri untuk dedikasi dan aktivitas anti salahguna narkoba (2003); Pedati Award 2007 dari Pemerintah Kota Bukittinggi, Sumatera Barat; Habibie Award, penghargaan untuk prestasi sastra dari The Habibie Centre (2007).
C. PENUTUP
Jejak rekam benak atau pemikiran Taufiq Ismail terhadap pendidikan dapat ditelusuri melalui puisi, esai, dan kiprah sosoknya. Puisi-puisinya tidak sekedar dipelajari, digemari, tetapi didendangkan. Nilai didik membalut setiap
Vol. 02 No.03 | Juli - September 2010
| 195
puisinya. Esai-esainya menyentil dan mencerahkan. Kiprah sosoknya memberikan sumbangan tidak terkira bagi perkembangan pendidikan, terutama di bidang apresiasi sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Dar, S. Samsoerizal. 1989. Taufiq Ismail Bertinju Lewat Puisi dimuat dalam Harian Terbit. Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan. Hoerip, Satyagraha (editor). 1984. Cerpen Indonesia 3. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Horsion edisi Mei 2000, September 2000, Agustus 2004, Oktober 2004. Ismail, Taufiq. 1998. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Seratus Puisi Taufiq Ismail. Jakarta: Yayasan Ananda. Luxemburg, Jan Val, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Moeljanto, DS dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Bandung: Mizan dan Republika. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cuktural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Rosidi, Ajip. 1965. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta. Toda, Dami N. dan Pamusuk Nasution. 1984. Sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Sajak-sajak Taufik Ismail. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. WM, Abdul Hadi. 2004. Heurmenetika, Estetika, dan religiusitas Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Matahari.
196 | Melacak Jejak Pemikiran Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan Lewat Puisi-puisinya.
Internet: http://www. Id. wikipedia.org// http://www.maha-dewi.com// http://www.samsoerizal.blogspot.com