Paradigma Baru pendidikan Islam
Menumbuhkan Kreativitas dan
Kemandirian Anak Sejak Usia Dini Oleh Muhammad Idrus Dosen FIAJ Ull Yogyakarta Mahasiswa Program Doktor UGM Yogyakarta Abstract
pernah dikomunlkaslkan dengan anak, namun anak harus mengikutl-
Today we see many parent want their children to take a short course, like
nya.
English course, etc, and In the other hand they prohibited their children spent all their time for playing. Many parent make rationalization that all of their children's activity Is for their children's future. They forgot, or sometime Ignorance that all of their children's activity Just the way for
an, bahwa kita harus mempersiapkan masa depan anak dengan sebaikbaiknya, dan itu berarti mereka harus belajar, dan meminimalkan kesempatan bermain anak(?). Belum lagijika hal tersebut dikaitkan dengan fenomena
parent to reach something that they could not reach when they were child. Playing Is very urgent for all children to
Lazimnya orangtua akan beralas-
global saat Inl, yang tampaknya tidak member! peiuang bag! mereka untuk gagal. Alasan yang diajukan orangtua memang masuk akal, untuk kalangan dewasa. Namun harus disadari, hal Itu
mustgive theirchildren time for playing,
menurut loglka yang dipakai orang dewasa, dan bukan loglka anak-anak dan tanpa memahami slapa yang akan
whatever he orshe does.
melakukan aktivitas tersebut.
make relationship with peers, grow up their creativity and self help. Parents
Key Word: Playing, Creativity, self help, early childhood Pengantar Ketatnya persaingan dunia kerja, kerap menjadikan masyarakat mengambtl ancang-ancang untuk menyiasatinya. Salah satu persiapan yang dilakukan para orangtua adalah mempersiapkan sang anak untuk "menghadapi" suasana kompetitif tersebut dengan pelbagai aktivitas. Untuk itu, orangtua mendesain program kegiatan yang harus diikuti
anak sejak dia berusia pra sekolah. Terkadang aktivitas tersebut belum
Kerap terjadi secara tidak sadar orangtua memproyekslkan cltacitanya kepada anaknya, dan berharap anaknya dapat mencapal cita-clta tersebut. Artlnya, mungkin saja saat mereka kecll, para orangtua tersebut memiliki cita-clta, yang karena situasi, tidak dapat dicapalnya. Saat mereka menjadi orangtua, mereka menganggap Inilah kesempatan mereka "menjalankan rencana lama" yang gagal mereka wujudkan saat mereka anak-anak. Inl merupakan pemaksaan terselubung orangtua, dan hal tersebut terkadang menjadi tiket bagi orangtua untuk memasuki llngkungan "gaul" tertentu. Artlnya
JPIFIAI Junjsan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Juni2003
73
MUHAMMAD IDRUS, MEUMBUHKAN KREATIVITAS DAN KEMANDIRIAN ANAK SEJAK USIA DINI orangtua akan dengan sangat
mengharuskan siswanya adaiah bangganya menceritakan tentang luiusanTK. aktivltas yang dllakukan sang anak, ' Jika begitu jadinya, tampaknya dan itu secara perlahah akan rantai tersebut tidaklah akan putus. meinggikan posisi mereka di kalangan Sebab masing-masing pihak memiliki
para orangtua lainnya. Kondisi yang sama juga menlmpa intitusi pra sekolah (Taman Kanakkanak dan Kelompok Bermain). Tidak sedikit dijumpai anak-anak TK (Taman Kanak-Kanak) yang membawa pulang pekerjaan rumah (PR) layaknya murid Sekolah Dasar (SD) kelas-kelas awal seperti menulis ataupun membaca sesuatu. Leblh jauh lagi, ada semacam keharusan bag! anak-anak TK untuk dapat membaca lebih awal. MeskI juga harus diakui bahwa tidak ada salahnya bag! anak dapat membaca dan menulis leblh dini, hanya saja model pembelajaran yang membuat mereka terampas darl masa bermain yang tampaknya kurang proporsional. Terjadi tarik ulur antara para pengelolaTK, orangtua dan para guru SD tentang keharusan anak mampu membaca dl TK. Para pengeioia TK berkilah,
bahwa
hal
tersebut
merupakan tuntutan orangtua. Memang, banyak orangtua yang secara keras memaksa anaknya untuk dapat membaca di TK, dan Ini adaiah salah satu iegitimasi terkuat bagi para
pengeioia TK untuk memberlkan pelbagai "beban" saat anak di rumah. Sementara itu, para orangtua juga memiliki alasan, bahwa salah satu
syarat untuk dapat diterima dl SD adaiah anak mampu membaca (?). Di SD, para guru cenderung lebih senang untuk mengajar murid kelas I yang telah dapat membaca dibanding yang belum dapat membaca. Meski juga belum ada data yang valid, disinyaiir ada SD tertentu yang bahkan
74
rasional yang sama-sama kuat. Mungkin yang perlu diiuruskan adaiah, bahwa suasana TK, sesuai perkembangan psikologis anak, merupakan suasana
bermain.
Pada
usia-usia
tersebut, anak memiliki kecenderungan untuk lebih banyak bermain di banding "belajar" sebagaimana yang diharapkan para orangtua ataupun para guru. Jalan tengah untuk itu adaiah mendesain permainan yang dapat mengarahkan anak untuk memiliki kemampuan yang diharap kan. Daiam konteksTK, kreativitas dan
kemandirian merupakan salah satu aspek yang ingin ditanamkan secara mendaiam. Kreativitas dan Kemandirian
Salah satu aspek perkembangan anak yang ingin ditingkatkan meiaiui program pembelajaran di TK adaiah kreativitas. Kreativitas ini perlu dikembangkan sejak dini, karena ha! tersebut dibutuhkan oleh setiap individu daiam menghadapi pelbagai masalah dan tantangan kehidupan yang semakin berat. Munandar (1992) merumuskan kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan
data, informasi atau unsur-unsur yang ada. Secara operasionai Munandar melihat kreativitas sebagai kemam puan yang mencerminkan keiancaran, keiuwesan (fieksibiiitas) dan orisinalitas daiam berplkir, serta kemampuan untuk mengeiaborasi (mengembangkan, memperkaya dan merinci) suatu gagasan.
JPIFIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIII Tahun VI Junl2003
PARADIGMA BARU PENDiDIKAN ISLAM
Selain itu, Munandar juga memberlkan pengertian kreativitas dengan mengacu pada 4-R yang dikenal sebagai produk, pribadi, proses dan pendorong. Sebagai produk, kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan atau menghasiikan produk-produk baru. Pengertian. baru di sin! tidak dalam
konotasi
baru sama sekali,
namun dapat berupa suatu kombinasi atau gabungan dari beberapa hal yang sebelumnya pernah ada. Dari sisi proses, kreativitas dimaknal sebagai keglatan bersibuk dirl
secara
kreatlf.
Hal
tersebut
ditengarai dengan rasa senang dan bermlnat yang muncui dalam dirl Indivldu
untuk
meiibatkan
dirl
bertindak kreatif. Dari segi pribadi, bahasan tentang In! lebih melihat pada adanya ciri-ciri kreatlf yang muncui pada diri indivldu tertentu. Ciritersebut seperti rasa ingin tahu yang besar, mempunyai daya imajinasi yang kuat, mempunyai minat yang tinggi, tekun dan ulet dalam mengerjakan tugastugas yang disenanginya. Adapun kreativitas dari sisi pendorong (presure) dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang dapat mendorong atau menghambat seseorang untuk bertindak kreatif. Dorongan ini dapat internal maupun eksternal. Jika kedua kondisi tersebut
menunjang, adanya keinginan dan mendapat kesempatan untuk terlibat, maka peiuang terbentuk sikap kreatif dalam diri anak semakin besar.
Dari pendapat beberapa ahli, dapat diidentifikasikan pribadi yang memiiiki potensi kreatif, yaitu: (1) hasrat ingin tahu yang besar; (2) terbuka terhadap pengalaman baru (selaiu ingin mendapat pengalaman
baru); (3) cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan; (4) berdedikasi, bergairah serta aktif meiaksanakan tugas; (5) berpikir fleksibel; (6) memiiiki kemampuan analisis dan sintesis dengan cara unik dan berbeda dengan yang iainnya; (7) memiiiki dayaabstraksi, imajinasi yang balk; (8) sering mengajukan pertanyaan yang baik; (9) memberlkan banyak gagasan dan usu! terhadap suatu masalah; (10) bebas dalam menyatakan pendapat dan berpikir; (11) mempunyai rasa keindahan; (12) menonjoi daiam salah satu bidang seni; (13) mempunyai pendapat sendiii dan dapat mengungkapkannya tanpa terpengaruh orang lain, serta berani mempertahankan pendapat yang diyakininya; (14) rasa humor yang tinggi; (15) dapat bekerjasendiri; (16) kemempuan mengembangkan atau memerinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi); (17) penuh semangat; (18) tidak takut mengambil resiko; (19) suka meiakukan observasi dan teiiti daiam pengamatan; (20) memberi perhatian khusus pada fenomena yang tidak teramati; (21) banyak menggunakan energi untuk berpikir; (22) orisinaiitas yang tinggi; (23) senang mencoba hal-hal yang baru; (24) lebih menyukai kompleksitas daripada simplisitas; dan (25) pantang menyerah (Campbell 1986, Semiawan 1987, Munandar1992).
Baron
1958,
Sebenarnya jika hendak diidentifikasi seluruhnya, maka karakteristik indivldu kreatif lebih banyak iagi. Meski demikian, secara garis besar dapat dicermati minimal tiga perbedaan menonjoi antara mereka yang kreatif dan yang kurang kreatif, yaitu dalam cara berpikir, kepribadian dan
JPIFIAIJurusan Tarijiyah Volume VIIITahun VIJuni2003
75
Muhammad Idrus, meumbuhkan Kreativitas dan Kemandirian Anak Sejak Usia Dini
kebiasaan. Ketiga hal tersebut bagi individu kreatrf akan dilakukannya secara berbeda dengan yang dilakukan individu lalnnya, serta bebas dari pengamh orang lain. Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi untuk menjadi kreatrf, perbedaannya terletak pada derajat dan bidang yang diekspresikan. Maxim (1980) mengungkap, bahwa pada anak tertentu dapat menampilkan derajat kreativitas yang lebih tinggi dibanding anak iain, meski demikian harus dipahami bahwa tidak ada anak yang .tidak memiliki kreativitas sama sekaii.
Artinya, semua anak punya peluang menjadi kreatif dengan mengingat bakat bawaannya, tetapi potensi kreatrf tersebut berkembang atau tidak dltentukan oleh kesempatan, dorongan, serta stimulasi lingkungan, keluarga (orangtua dan saudara), teman sebaya, dan guru guru. Untuk itu, lingkungan yang menunjang pengembangan kreativitas anak sebaiknya diberikan sedini mungkin. Hurlock (1992) mencandra, bahwa potensi kreatif seseorang akan mengikuti pola-pola yang dapat diramalkan, yang bermula dari kegiatan bermain, berlanjut pada kegiatan sekolah dan akhimya pada saat yang bersangkutan bekerja. Pada sisi tertentu tampak betapa usia dini merupakan ajang terbaik bagi pengembangan kreativitas seseorang, sebab hal tersebut akan menjadi bekal bagi yang berasangkutan untuk masa depannya. Sementara itu, beberapa faktor yang cenderung • menghambat kreativitas adalah (1) tekanan dari teman sebaya yang menuntut
konformitas, (2) tekanan terhadap
76
pertanyaan dan eksplorasi, penekanan lebih dilakukan pada perilaku mendengar dan mengikuti petunjuk, (3) penekanan pada perbedaan peran jenis keiamin, dan (4) budaya berorlentasi sukses yang membuat anak tidak berani mengambil resiko dengan pendekatan baru. Anak-anak menjadi takut melakukan kesalahan, menghindari hal-ha! baru yang belum pernah mereka iakukan dan hanya mau melakukan sesuatu yang telah mereka kuasai (Leeper, Skipper dan Whiterspoon, 1979). Dalam bahasan yang sama, Campbell (1986) menyebut 7 hal yang dapat menghalangi kreativitas, yaitu : (1) takut gagai; (2) terlalu sibuk dengan tatatertib dantradisi; (3) gaga! melihat kekuatan yang ada; (4) terlalu pasti; (5) enggan untuk mempengaruhi; (6) eggan untuk bermain-main; dan (7) terlalu mengharapkan hadiah. Selain kreativitas, aspek lain yang selayaknya dikembangkan sejak dini, adalah kemandirian. Kerpandirian seseorang tidak ditandai dengan usia, tetapi salah satunya ditengarai oleh perilakunya. Dengan begitu, mungkin saja terjadi anak yang berusia lebih muda dapat lebih mandiri (untuk ukuran seusianya), sementara yang lebih tua belum tentu memiliki ha! yang sama.
Beberapa perilaku mandiri dapat diidentifikasi seperti: (1) menemukan diri atau identitas diri; (2) memiliki kemampuan inisiatif; (3) membuat pertimbangan sendirl dalam bertindak; (4) mencukupi kebutuhan sendiri; (5) bertanggungjawab atas tindakannya ; (6) mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu; (7) dapat mengambil keputusan sendirl dalam bentuk kemampuan memilih; (8)
JPIFIAIJurusan Tatbiyah Volume VIII Tahun VIJuni2003
Paradigma Baru Pendidikan Islam
tekun; (9) percayadiri; (10) berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang Iain; (11) puas terhadap hasil usahanya sendiri. Selain. tersebut dapat terwujud dalam diri seseorang, manakala dalam seluruh aktivitasnya, pengaruh dan arahan sikap orang Iain lebih kecil dibanding dengan dorongan yang berasal dari dalam dirlnya. MeskI juga disadari, bahwa dalam aktivitasnya
seseorang tidak akan pernah bebas secaratotal dari ketergantungan orang lain, mengingat sejak lahir manusia hidup dalam masyraakat yang mempunyai norma soslal yang mengatur, dan membatasi kehidupan seseorang.
Jika mencermati paparan di atas, maka disadari bahwa proses menuju kemandlrian bukan proses yang sekali jadi. Namun merupakan proses panjang yang harus dialami oleh seseorang. Beranalogi demiklan, semakin awal sikap inl dimiliki oleh seseorang akan semakin baik, mengingat dalam setiap fase kehidupannya seseorang akan membuat sejarah bagi dirinya, dan tentu saja hai tersebut harus dilakukannya secara cermat dan hatihati. Usia dini memegang peranan teramat penting bagi pembentukan kemandirian seseorang. Adanya campur tangan domlnan dari orang lain dalam satu fase kehidupan seseorang, padahai saat itu merupakan masa keemasannya, akan menjadlkan kekecewaan ini yang dalam bagi yang bersangkutan. Tentu saja kekecewaan ini mungkin saja berakibat kurang baik bagi dirinya. Untuk Itu menjadi keharusan bagi para orangtua, atau pendidik untuk sejak dini memperslapkan anak beriaku
mandiri. Pada akhirnya, saat yang dirasa tepat untuk memulainya adalah manakala sang anak berusia dini. Dan untuk kasus ini banyak kesempatan di antara orangtua dan guru untuk mengembangkan kemandirian anak. Bermain; Menuju Kreatif dan Mandiri Seperti telah diungkap di muka, setidaknya ada dua aspek perkembangan dalam diri anak yang periu dikembangkan sejak mereka berusia dini, yaitu kreativitas dan kemandirian. Banyak pakar mengungkap perkembangan kreativitas akan mencapai puncaknya pada usia antara 4 dan 4,5 tahun. Usia-usia tersebut diialui anak
biasanyadilaman Kanak-kanak. Kedua aspek tersebut sangat diperlukan anak dalam menghadapi peibagai situasi baik di keluarga, sekolah, masyarakat ataupun pada masa-masa yang bersangkutan terjun dalam dunia kerja. Meski kedua potensi tersebut dimiliki oleh setiap manusia, namun proses perkembangannya antara satu dengan iainnya reiatif berbeda. Hai itu lebih banyak tergantung pada kesempatan, dorongan dan stimulasi yang diberikan ilngkungan sekitar pada diri anak. Menengarai bahwa stimuli iingkungan akan berpengaruh besar terhadap kedua aspek tersebut, maka iazimnya para orangtua, pendidik ataupun masyarakat memberikannya sejak dini. Tentunya stimuli tersebut harus diberikan melaiui media yang tepat, yang sesuai dengan masa perkembangan anak. Pemiiihan media yang tepat dengan sendirinya turut juga mempengaruhi perkembangan kedua aspek tersebut. Dengan begitu, untuk menyediakan media yang tepat periu dipahami karakteristik anak pada
JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume Vill Tahun VI JunI2003
77
Muhammad Idrus. Meumbuhkan Kreativitas dan Kemandirian anak Sejak Usia Dini masa-masa usia dini.
Salah satu ciri khas anak pra sekolah adalah kegemarannya bermain, entah apapun wujud. dan bentuknya. Dari sinilah para orangtua dan pendldlk dapat mulal mengembangkan kedua aspek di atas. MeskI demiklan, format bermain yang diberikan pada anak harus tetap berorientasi pada nuansa pendidikan. Artinya sedapat mungkin orangtua turut memberi andil atau bahkan jika mungkin terlibat pada piiihan tema permainan yang dilakukan anak. Banyak sebutan yang diberikan pada makhluk manusia, salah satunya adalah homo luden, yang memiliki makna sebagai makhluk bermain. Nama ini menylratkan makna yang begitu dalam, bahwa dalam kurun kehidupannya manusia tidak akan lepas dari permainan, dan memuaskan dirinya dengan cara bermain. Setidaknya ha! tersebut mendapat pembenaran dengan tesisnya Johan Huizinga (Bertens, 1987) yang menengarai adanya kebutuhan bermain pada setiap diri manusia. Bahkan Huizinga dalam tulisannya tersebut mengajukan tesis, bahwa kebudayaan timbul dan berkembang dalam suasana permainan. Meski begitu juga harus dicatat bahwa sebenarnya Huizinga tidak bermaksud menyatakan bahwa pada suatu ketika permainan dapat menjadi kebudayan atau bahwa kebudayaan merupakan hasii dari permainan. Hasan (1998) bahkan melihat situasi bermain pada anak memiliki efek
katarsis.
Hal
tersebut
karena
melalui bermain anak dapat menyaiurkan peibagai dorongan, dan energi untuk melakukan serangkaian aktivltas. Harus dipahami bahwa
78
kondisi tersebut dilakukan dengan cara, serta kemampuan yang dimiliki anak. Adanya efek katarsis ini, maka setiap akhir dari kegiatan bermain anak akan merasa lega. Hal ini karena anak teiah melepaskan seiuruh tumpukan energi yang tidak dibutuhkannya. Secara spesifik Bertens (1987) mengungkap ciri permainan, yaitu: Pertama, bermain seialu terjadi spontan, dengan begitu menurut Bertens, permainan yang sesungguhnya tidak dapat diperintahkan. Jika secara cermat diamati, meski ada
sekeiompok anak yang sedang asyik bermain, kerap dijumpai ada anak yang justru menjauh dari kelompok tersebut. Hal ini salah satunya muncui karena tidak adanya dorongan dalam dirinya untuk bermain, dan manakala ada orang lain yang menyuruhnya untuk bermain, maka reaksinya justru mungkin negatif. Kedua, dengan bermain, seolaholah keluar dari kehidupan yang sebenarnya. Dengan bermain anak akan memiliki dunia, yang dikuasai dan dikenainya dengan baik. Dengan bermain, anak mengembangkan fantasi, dan potensi yang dimilikinya. Jika hendak dicermati, tampak pada saat tertentu anak melakukan dialog imajiner dengan seseorang yang dia hadirkan sendiri. Sosok lain yang dihadirkannya Ini menjadi salah satu bukti potensi kognisi yang dimiliki anak.
Jika kemampuan imajiner ini terus dirangsang, maka anak akan memiliki kemampuan untuk membayangkan sesuatu yang tidak ada daiam wujud nyata. Artinya, anak memiliki satu kemampuan berpikir abstrak, dan ini menjadi salah satu potensi positif bagi
JPIFIA]Jurusan Taibiycd] Volume VIIITahun VIJuni2003
Paradigma Baru Pendidikan Islam
perkembangan kognisi anak. Pada kondisi tersebut, bermain mempakan salah
satu
cara
untuk
melakukan
penjelajahan dan sebagai cara untuk memuaskan keinglnan anak untuk bereksplorasi. Salah satu IndikasI anak kreatif adalah kemampuannya berimajinasi dan berkreasi. Kemampuan tersebut dapat terwujud jika yang bersangkutan memiliki kemampuan khayalan positif. Ingat saja, betapa karya besar para penemu dunia salah satunya dimulai dari mengkhayal, dan mewujudkan khayalan terebut dalam dunia nyata. Dengan begitu, orangtua dapat merangsang munculnya dialog-dialog yang bukan sekadar menanyakan apa dan siapa, tetapl kenapa, mengapa dan bagaimana?. Rangsangan dialog yang bernuansa analisis, akan memblasakan anak berplkir krltlsanaiitik. Kemampuan berplkir analisis pada akhlrnya menjadi penting bag! anak dalam mengembangkan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Meski demlklan, tidak sedlkit orangtua yang menganggap perilaku anak tersebut, hanya sekadar ocehan
biasa. Hingga sering muncu! larangan orangtua, agar. si anak tidak melakukan kegiatan tersebut. Lebih ironisnya lagl, orangtua merasa malu jika anaknya melakukan hal semacam itu.
Ketiga, permalnan mempunyai batas-batasnya sendlrl, balk menurut waktu maupun ruang. Ada'nya keterbatasan Inl menyebabkan suatu permalnan
berdirl sendlrl.
Satu
permalnan jelas kapan dimulai, dan diakhtrinya, serta dalam konsep ruang permalnan biasanya mengambi! batas-batas tertentu
secara
mengulangi satu permalnan yang sama pada kesempatan lain, namun Itu bukan berarti bahwa permalnan tersebut merupakan kelanjutan dari episode permalnan sebelumnya. Permalnan anak akan berhenti karena
waktu permalnan telah usal, dan begitu ada permalnan yang sama pada keesokan harinya, maka Itu permalnan baru bagi anak dl luar episode yang baru saja dijalanlnya. Demlklan juga tentang ruang. Batasan ruang akan tampak kentara manakala dicermati bagaimana suasana permalnan anak. Saat bermain, kerap dijumpai seorang anak yang membatasi wilayah "kekuasaannya", dan membagi wilayah lain untuk temannya.. Seorang anak akan menerima batasan wilayah yang diberlkan kepadanya, dan dia berusaha untuk mematuhl batas-batas
tersebut. Sebab jika tidak, maka dirinya akan mendapat kecaman atau bahkan dimusuhi oleh temannya. Jika hal tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka tampak jelas tidak ada orang yang ingin main tenis lapangan dl lapangan sepakbola secara sungguh-sungguh. Setelah mendapat wilayah, maka setlap anak akan berusaha mengelola dan membuatnya "bagus" melebihi atau mungkin sama dengan yang dimlliki temannya. Kemampuan mengelola batas wilayah akan menunjukkan tingkat kreatlvltas dan kemandirlan anak. Dl sisi Inl terlihat, betapa dari model permalnan telah
dapat dibangun kesadaran mencipta dan kemandirlan anak.
Girl keempat yang diungkap Bertens bahwa permalnan menclpta-
real
kan orde atau keteraturan. Permalnan
ataupun imajiner. Meski anak akan
mewujudkan suatu kesempurnaan
JPIFIAf Jurusan Tarbiy^ Volume VIII Tahun VI Juni2003
79
Muhammad idrus. meumbuhkan Kreativitas dan Kemandirian Anak Sejak Usia dini terbatas dalam duniayang serbatidak sempurna dan penuh kekacauan. Hal Ini karena biasanya dalam sebuah permainan, sebelum anak -mulai bermain terjadi pembaglan peran yang dilakukan oleh salah seorang anak yang dianggap pemimpin pada kelompoknya. Pembaglan peran ini dimaksudkan agar proses permainan yang mereka iakukan dapat berjalan dengan sempurna. Kesalahan dalam memalnkan satu peran, jelas akan mendapat celaan dari para temannya. Darl sin) tampak betapa anak dirangsang untuk melakukan analisis atas peran, serta merangsang kreativitas mereka untuk menclptakan tokoh yang akan diperankannya. Kelima, permainan mempunyai aturan-aturan. Aturan ini yang menentukan apa yang akan berlaku dalam permainan. Lebih dari itu, setiap peserta (pemain) harus memegang teguh aturan, sebab pelanggaran terhadap aturan akan mengakibatkan hancurnya permainan yang mereka Iakukan. Pada konteks ini permainan
ternyata mengajarkan kepada anak untuk patuh pada aturan yang ada. Kepatuhan pada aturan, dalam art! kesadaran untuk mematuhl aturan,
akan menjadikan anak mengerti hak dan kewajiban dirinya, serta seoara arif memahami hak-hak yang dimliiki orang lain terhadapnya. Selain itu, anak juga dirangsang untuk secara kongkrit merumuskan pemikirannya yang abstrak tentang tata aturan permainan. Abstraksi diperlukan agar seluruh peserta pemain dapat memahami konsep-konsep bermain. Kemampuan mewujudkan sesuatu
yang abstrak menjadi salah satu ciri indivlduyang kreatlf.
80
Dalam kategori tertentu, bermain juga memiliki fungsi sosial. Artinya bermain merupakan salah satu cara bagi anak untuk melakukan proses sosiallsasi dirl. Di
masa-masa awal
perkembangannya anak mencoba untuk mengenal bukan hanya dirinya, tetapi juga llngkungan yang ada di sekelilingnya. Lebih dari Itu, bahwa permainan dapat membentuk identltas seorang anak. Hal lain yang juga muncul pada situasi permainan, yaitu anak akan mengenal nilai-niiai yang berlaku di "masyarakatnya". Masyarakat yang dimaksud dalam konteks ini dapat berupa teman-teman sebayanya atau dalam llngkungan yang lebih besar adalah etnis ataupun kelompok llngkungannya. Proses mengenal tata nilai yang ada di masyarakat terjadi manakala anak
berlnteraksi secara
sosial dengan teman sebayanya. Melalui bermain anak mencoba
untuk bersikap tidak mementlngkan dirinya sendiri, anak diharapkan menyadarl kehadiran orang lain di luar dirinya. SIkap Ini akan menjadikan anak sebagai manusia yang toleran
terhadap sesamanya. Sifat bermain yang sukarela menjadikan seorang anak akan secara nyaman menerima kehadiran orang lain dl sekitarnya. Situasi seperti ini terkadang sulit bagi para orang dewasa.
Selain Itu, dengan bermairi anak dapat secara bebas mengekspresikan gagasan, ide yang dimillkinya tanpa takut salah atau dengan keadaan yang terpaksa. Tak jarang dalam permainan mereka ditemukan hal-hal yang "luar biasa" menurut ukuran usia mereka.
Namun begitu, dalam permainan-
nya anak juga bisa terlibat konflik dengan teman bermainnya. Namun,
JPIFIAIJurusan Taibiyah Volume VIII Tahun VlJunJ2003
Paradigma Baru pendidikan Islam
hal
tersebut
tidak
usah
terlalu
dipersoalkan, sebab naluri anak adalah pemaaf. Baru saja mereka
Daiam bermain kreatif,' anak-anak bebas mengekspresikan gagasan
yang muncui dalam aiam ide mereka.
berselisih, tidak lama lag! mereka akan . Dari hasii permainan ini kerap kembali asyik terlibat dalam ditemukan karya anak yang unik, yang permainan yang sama. Jika sikap secara tidak iangsung menggambarkan apa yang sedang dipikirkannya. tersebut terus dibina dan dikembangBermain dengan menggunakan balok, kan, maka tampaknya konflik yang terjadi di tengah-tengah kita, tidak iilin, buku gambar dan krayon, kertas krep dan iem, menggunting, puzzle, pernah akan beriangsung lama. Mengingat sifat pemaaf, akan dengan beberapa contoh permain kreatif. Untuk permainan manipulatif sendirinya memaafkan kesaiahan yang dilakukan orang lain, tentu saja dapat dilakukan dengan beberapa dengan tidak mengabaikan hukum kegiatan seperti menggunting, menempei, meronce. Pada permainan formal yangberiaku. Dengan mengacu pada tujuan in! biasanya aiat dan bahan disediakan oieh guru. Tentunya sebeium permain kurikuium Taman Kanak-Kanak yang ditetapkan oieh Diknas yaitu, an ini dimulai guru harus mengenaikan beberapa aiat yang akan digunakan, meletakkan dasar-dasar ke arah pengembangan sikap, pengetahuan, kemudian mendemonstrasikan bagalketerampiian dan daya cipta yang mana cara kerja aiat tersebut, serta diperiukan anak untuk hidup di bekerja dengan standar keselamatan. lingkungannya dan untuk pertumbuh- Daiam konteks tersebut, anak bukan hanya diarahkan bagaimana mengekan serta perkembangan selanjutnya, maka aspek kemandirian merupakan presikan ide-ide yang dimiliki, tetapi salah satu bidang pengembangan juga dengan pengenalan pada sikap. Sedangkan kreativitas merujuk pelbagai aiat dan cara kerja dengan pada bidang pengembangan daya selamat, anak diajarkan secara kognitif serta motorik. Pada akhlrnya meski cipta. Mengacu pada jenis permainan, pada awainya anak dituntut untuk tampaknya pengembangan kedua memiliki kemampuan berkreasi, anak aspek di atas dapat dilakukan meiaiul juga diarahkan untuk menggunakan domain motorik dan afektif. beberapa jenIs permainan yang Tentu saja aiternatif lain adalah terbagi dalam : (1) permainan fisik; (2) permainan kreatif; (3) permainan permainan bebas, yaitu dengan imajinatif, dan (4) permainan manipu- membiarkan anak memllih satu iatif. Dalam permainan fisik, banyak aktivitas yang disenanginya. Hanya aspek motorik yang dikembangkan. saja terkadang ditemui satu TK yang Meski demikian, dalam permainan ini "miskin" space untuk melakukan juga diperiukan imajinasi anak daiam aktivitas bebas. Kerap dijumpal TK menirukan gerakan-gerakan tertentu. yang dikelilingi gedung, seluruh Beberapa contoh permainan ini adalah halaman 6\pavlng conblok, diplester iomba iari, melompat dengan satu semen, tidak ada tanah, ataupun pasir. kaki, senam, meniru gerakan binatang, Situasi ini jelas kurang mendukung bag! anak untuk mengembangkan bermain ayunan dan bnyak iagi.
JPIFIAIJurusan Tarb'iyah Volume VIII Tahun VIJuni2003
81
Muhammad Idrus. Meumbuhkan Kreativitas dan Kemandirian Anak Sejak Usia Dini kemampuan kreativltasnya. Peran Guru
Dalam praktik di lapangan, kreativitas, bimbingan serta arahan guru-guru TK banyak dituntut dalam pengembangan permalnan anak.
Mask! demikian, harus dilngat seluruh aktivitas dan permalnan yang didesain guru hendaknya jangan atau tidak dimaksudkan untuk mengekang siswa memlllh jenis permalnan yang disukalnya, dengan alasan bahwa hal tersebut
sudah
tercantum
dalam
kurikulum GBPP yang ada. Penulls terkesan dengan Prof. Marjory Ebbeck dan Prof Fred Ebeck guru besar University of south Australia, suami isterl yang' begitu antusals mempelajari pendldlkan usia dIni. Dalam salah satu workshop (1998) yang penulls IkutI, mereka
kerap mengungkap kallmat, "...guru memlliki kekuasaan dl
kelas untuk
mengubah kurikulum yang ada, dengan sesuatu yang leblh memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan potensi yang dimillklnya...". Pendapat Inl didasarkan pada asumi yang muncul, bahwa kondisi. yang terjadi pada anak TK saat inl, tampaknya terperangkap dalam jebakan dan tuntutan kurikulum, sehlngga pada akhlrnya mereka harus melakukan sesuatu yang mestlnya
lain yang lebih dapat mengembang kan potensi anak, tentunya dengan tIdak melupakan hak yang dirnillkl anak untuk bermaln. Kemampuan mengemas materl pelajaran sebagalmana dituntut oleh para orangtua dalam sebuah bentuk permlnan tampaknya harus menjadi ciri utama yang dimlliki seorang guru TK. Sehlngga, rasanya perlu dipikirkan secara masak oleh para pengambll kebljakan di Diknas untuk member!
stimulan yang dapat merangsang guru TK leblh berkreasi dalam proses pembelajarannya, terutama desain dalam wujud permalnan.
Tentunya menglngat betapa kemampuan bermaln dapat mewujudkan kreativitas dan kemandirian anak, maka sudah selayaknya para guru TK mencarl model bermain alternatif yang leblh bervariasi untuk dapat leblh mengembangkan kemampuan anak didik mereka. Beberapa model bermaln yang penulls kemukakan dl atas, dapat dijadlkan sebagal alternatif yang dikembangkan dalam proses pembelajaran.***
Kepustakaan Bertens, K. (1987) Panorama FHsafat Modern. Jakarta: PT. Gramedia.
Baron, F. (1958). The Psychology of Imaginations. USA: Scientific.
belum mereka lakukan. Padahal di lain
sisl, kurikulum yang diberlakukan dl TK, terkadang disusun oleh mereka yang belum tentu tahu tentang kondlsl psikologis anak (Idrus, 2002). Pada akhlrnya, sebagal guru di kelas, guru TK-lah yang memlliki kewenangan untuk mendlsain ulang kurikulum yang ada dengan bentuk
82
Campbell, D. {]9QG).Mengembangkan Kreativitas. Penerjemah AM. Mangunhardjana. Yogyakarta: Kanisisus.
Hasan, F. {^Q9Q).BermainSebagaiHak Anak.
Makalah
dalam
Seminar
Mengembangkan Potensi Anak
JPi FIAI Jurusan Taibiyah Volume VIII Tahun VI Juni2003
PARADIGMA BARUPENDIDIKAN ISLAM
Sejak Usia Dini. Kerjasama IKIP Yogyakarta dan University of South Australia. 24 September
Maxim, G.W., (1980). The Very Young: Guiding Children from infancy Through The Early Years. California: Wodsworth.
1998.
Hurlock, E.B. (1992). Perkembangan Anak. Penerjemah Meitasarl \tjandrasa. Jakarta: Eriangga..
Munandar, SC. U. (1992). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Gramedia.
Idrus, M. (2002). Bermain Bagi Anak, Bukan Sekadar Bermain. Daiam
Jurnai Pendidikan Islam: Konsep dan Implementasi. Vol. VI. Th V. Januari 2002: 33-41. Yogyakarta: Jurusan Tarbiyah FIAI Ull Yogyakarta. 2002
Leeper, S.H., Skipper, D.S., Whiterspoon, R.L., (1979). Good School For Young Children. Fourth Edition.
New
York:
Semlawan, C., dkk. (1987). Memupuk Bakat
dan
Kreaivitas
Sekolah Menengah.
Siswa
Jakarta:
Gramedia.
Suyata. (1987). Pola Asuhan Remaja Pada Berbagai KelompokSosial di DIY. Yogyakarta: P2G IKIP Yogyakarta
McMilian
Publishing Co, Inc.
JPI FIAI Jurusan Tarbiyah Volume VIH Tahun VI Juni2003
83