Volume I | Nomor 1 | Maret 2016
BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF DALAM PENDIDIKAN KRISTEN Parlindungan Pardede
[email protected] Abstract: The challenges of the 21st century caused by the explosion of information and the accelerative increasing changes have been a rousing researchers and educators’ awareness of the high importance of developing critical and creative thinking skills among learners. Critical thinking, which is rational, reflective and evaluative, is highly necessary for every individual, especially in such an era marked by a surge of current information. It is of high necessity in any activity of sorting and analyzing information and in solving problem. Creative thinking is a process or an attempt to produce a new, effective and ethical idea, thought or object. Although they are different, the two modes of thought are closely connected, even complementary. Every person essentially has the potential for critical and creative thinking. However, to be able to use them effectively, they need to be studied and developed. Current research results and experiences revealed that critical and creative thinking skills could be developed in the classroom, either integrated with subjects, or through explicit learning.
Keywords: Critical Thinking, Creativity, Learning Abstrak: Tantangan abad ke-21yang diakibatkan oleh ledakan informasi dan perubahanperubahan yang semakin akseleratif telah memicu para peneliti dan pendidik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif di kalangan peserta didik. Berpikir kritis yang bersifat rasional, reflektif dan evaluatif sangat dibutuhkan setiap individu untuk memilah dan menganalisis informasi dan untuk memecahkan masalah, khususnya di era yang ditandai dengan luapan informasi saat ini. Berpikir kreatif merupakan proses atau upaya untuk menghasilkan ide, pemikiran atau objek orisinal atau baru yang efektif dan etis. Meski berbeda, kedua mode berpikir ini berhubungan erat, bahkan saling melengkapi. Setiap orang pada hakikatnya memiliki potensi pemikiran kritis dan kreatif. Namun, agar dapat digunakan secara efektif, keduanya perlu dipelajari dan dikembangkan, dan hal ini sangat sesuai dilakukan di kelas, baik secara terintegrasi dengan mata pelajaran, maupun melalui pembelajaran eksplisit.
Kata-kata Kunci: Berpikir Kritis, Kreativitas, Pembelajaran 1
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
PENDAHULUAN Dua label yang selalu digunakan untuk menggambarkan ciri khas abad ke21 yang kita jalani saat ini adalah ledakan informasi dan perubahan. Ledakan informasi dengan mudah dapat dilihat dari kenyataan bahwa saat ini dunia tak henti-hentinya dibanjiri oleh informasi. Hingga tahun 1970-an, mayoritas masyarakat dunia memperoleh informasi dengan jumlah dan kecepatan yang relatif terbatas melalui buku, koran, radio, dan televisi. Saat ini, selain melalui media-media konvensional tersebut, informasi dalam berbagai jenis (liputan peristiwa, opini, hasil penelitian, ide-ide kreatif, refleksi dan sebagainya), wujud (tulisan, gambar, audio maupun video) dan jumlah tak terbatas dapat diakses dengan cepat melalui internet. Label kedua, perubahan, dengan mudah dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai akibat kemajuan sains dan teknologi. Sebagai contoh, pembelajaran yang dulu hanya diselenggarakan secara tatap muka di ruangan kelas saat ini telah dilakukan di kelas-kelas maya melalui teleconference yang difasilitasi oleh internet. Praktik ini tidak berhenti hanya pada interaksi pengajar dan peserta didik melalui teleconference, tetapi terus dikembangkan untuk memfasilitasi aktivitas lainnya, seperti pengumpulan tugas peserta didik melalui surat elektronik, blog, moodle dan fasilitas internet lainnya. Berbagai pekerjaan yang dulu dilakukan oleh manusia kini diserahkan kepada mesin. Semakin lama, tingkat keterlibatan manusia dalam pekerjaan tersebut semakin sedikit. Transaksi perbankan yang dulu hanya berlangsung di meja teller pada jam kerja sekarang dapat dilakukan secara online, kapan saja dan dari mana saja. Ketiga contoh tersebut dengan jelas membuktikan bahwa abad ke-21 juga merupakan era perubahan. Ledakan informasi dan perubahan tersebut berdampak besar terhadap pendidikan. Saat ini ledakan informasi telah “membenamkan” para peserta didik—mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi—dalam lautan
2
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
informasi. Melalui internet, informasidapat diakses setiap saat. Hanya dengan menyentuh monitor ratau menggunakan mouse, misalnya, jawaban bagi hampir semua pertanyaan dapat segera diperoleh melalui bantuan Google. Sangat disayangkan bahwa kemudahan ini cenderung mendorong para peserta didik hanya menghafal informasi, tanpa pernah memikirkan kebenaran, validitas dan akurasi informasi yang diperoleh tersebut. Padahal, walaupun sebagian dari informasi itu dapat dipercaya dan valid, sebagian lagi tidak akurat. Tidak sedikit pula informasi yang kelihatannya sangat akurat hari ini berubah menjadi usang beberapa saat kemudian. Banyak temuan baru yang menjadi ketinggalan karena dimentahkan oleh temuan yang lebih baru dan lebih valid. Selain itu, cukup banyak juga informasi yang menyesatkan. Jika ledakan informasi meningkatkan kebutuhan terhadap kemampuan berpikir kritis, perubahan yang menjadi ciri khas lainnya abad ke-21 meningkatkan kebutuhan terhadap kemampuan berpikir kreatif bagi peserta didik. Perubahan-perubahan yang terjadi dengan gencar saat ini membuat pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan tidak dapat dipastikan. Yang dipelajari dan dilatih peserta didik saat ini belum tentu bermanfaat dalam kehidupannya setelah dia lulus kelak. Cropley menjelaskan sekitar 50% pengetahuan dan keterampilan setiap individu akan usang atau tidak bermanfaat dalam kurun waktu tertentu.1 Kenyataan-kenyataan negatif yang melekat pada ledakan informasi tersebut, dan sulitnya memastikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan memunculkan paradigma pembelajaran yang lebih menekankan esensi peningkatan kemampuan berpikir dibandingkan dengan esensi pengalihan pengetahuan, keterampilan, teknik dan nilai-nilai yang
A. J. Cropley, Creativity in Education and Learning: a Guide for Teachers and Educators, (London: Kogan Page Ltd. 2001), 135. 1
3
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
dianggap penting saat ini. Dengan kata lain, yang paling penting dilakukan dalam pembelajaran bukanlah mengalihkan pengetahuan, keterampilan, teknik dan nilai-nilai dari guru kepada peserta didik, tetapi mengajar peserta didik agar mampu
secara
efektif
merekonstruksi
dan
mengelola
pengetahuan,
keterampilan, teknik dan nilai-nilai melalui pengembangan kemampuan berpikir, khususnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Makalah ini membahas konsep-konsep dan hasil-hasil penelitian terkini tentang kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam pembelajaran. Secara berturut-turut, diskusi diawali dengan hakikat, peran, manfaat dan posisi berpikir kritis dalam pembelajaran di sekolah. Setelah itu diskusi diarahkan untuk melihat berpikir kritis dalam perspektif Kristen. Kemudian, diskusi difokuskan pada berpikir kreatif, yang dilanjutkan pada perpaduan kedua kemahiran berpikir tersebut dalam pembelajaran, termasuk pendekatan dan teknik-teknik yang dapat digunakan. Paparan diakhiri dengan beberapa saran dan implikasi.
Berpikir Kritis Kata “kritis” diadopsi dari verba aktif “skeri”, yang bermakna “memotong”, “memilah” atau “memeriksa”. Kata itu juga berhubungan dengan kata Yunani “kriterion”, yang bermakna “sebuah standar penilaian”.2 Jadi, secara etimologis, berpikir kritis merupakan sebuah proses kompleks yang sengaja dilakukan seseorang dalam pikirannya dengan menggunakan standar tertentu. Karena dilakukan di dalam pikiran, berpikir kritis merupakan aktivitas kognitif. Pandangan ini selaras dengan pendapat Kong yang menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan kognitif yang beragam dan multidimensi, yang
2
M. Mayfield, Thinking for Yourself, (California: Wadsworth Publishing Company, 1991), 5.
4
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
digunakan untuk mengklarifikasi dan mengevaluasi tindakan dan aktivitas yang dilakukan seseorang.3 Proses mental berbentuk klarifikasi dan evaluasi itu sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Dengan demikian, berpikir kritis adalah keterampilan kognitif yang rasional dan disengaja, yang diarahkan untuk mengambil keputusan atau memecahkan masalah. Tidak jauh berbeda dengan batasan-batasan di atas, Halpern menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan penggunaan keterampilan dan strategi kognitif yang dimaksudkan untuk meningkatkan hasil pemikiran yang diharapkan.4 Berpikir kritis digunakan dalam pemecahan masalah, menarik kesimpulan, memperkirakan kemiripan dan mengambil keputusan. Ennis mendukung pendapat ini dengan membatas berpkir kritis sebagai kemampuan berpikir rasional dan reflektif yang digunakan untuk memutuskan apa yang akan dipercaya atau dilakukan.5 Dalam pembelajaran, berpikir kritis memampukan para peserta didik membedakan dan memutuskan mana informasi yang layak dan tidak layak dipercaya; ide yang mana yang didukung oleh bukti-bukti empiris dan ide yang hanya didasarkan pada asumsi; atau apakah opini yang diperoleh dibentuk melalui penalaran logis atau dibentuk melalui proses penalaran yang salah. Berpikir kritis juga memampukan para peserta didik untuk memutuskan apa yang akan dilakukan (atau sasaran apa yang ingin dituju) dan bagaimana merealisasikan atau mencapainya. Untuk memutuskan sasaran yang ingin dicapai, seseorang harus lebih dahulu menentukan apa yang berharga atau menarik baginya. Berpikir kritis akan membantunya dalam
3
S. L. Kong, Cultivating Critical and Creative Thinking Skills, (Hackensack, NJ: World Scientific Publishing, 2007),
304-307. 4
D. F. Halpern, Creativity in College Classroom, (New York, NY: Cambridge University Press, 2010), 382.
D. A. Hunter, A Practical Guide to Critical Thinking: Deciding What to Do and Believe, (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2014), 2. 5
5
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
tahapan ini.
Setelah itu, dia perlu mencari, memilah, dan merenungkan
informasi sebelum memutuskan cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Tahapan ini juga membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Emanuel dan Challons-Lipton. S berpikir kritis merupakan kekuatan yang membebaskan dalam pendidikan dan sumber daya yang kuat dalam kehidupan pribadi dan sosial seseorang. Berpikir kritis melibatkan pemahaman dan ekspresi makna atau arti dari berbagai pengalaman, situasi, data, peristiwa, penilaian, konvensi, keyakinan, aturan, prosedur, dan kriteria. 6 Seorang pemikir yang kritis mampu menafsirkan, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan. Para pemikir kritis yang kuat juga dapat secara efektif menjelaskan apa yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka tiba di tahap tertentu dalam proses pemikiran itu. Mereka dapat menerapkan kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan dengan demikian mengembangkan ide-ide dari hal-hal yang dipikirkan. Para pemikir kritis menunjukkan: (1) hasrat tinggi untuk mengaktualisasikan diri dan tetap memperoleh informasi yang cukup, (2) kewaspadaan pada kesempatan untuk berpikir kritis, (3) kepercayaan pada proses pengkajian yang logis, (4) percaya diri pada kemampuan bernalar mereka, (5) keterbukaan pada pandangan dunia yang berbeda, (6) fleksibilitas dalam mempertimbangkan alternatif dan opini, (7) pemahaman atas pendapat orang lain, (8) sikap adil dalam menilai penalaran, (9) kejujuran dalam menghadapi bias, prasangka, stereotip, atau kecenderungan egosentris dalam diri sendiri, (10) kehati-hatian dalam menangguhkan, membuat atau mengubah penilaian, dan (11) kesediaan untuk mempertimbangkan kembali dan merevisi pandangan saat refleksi yang jujur menunjukkan perubahan yang benar.
6Emanuel,
R. C. & Challons-Lipton, S. Helping Students Transition to Critical and Creative Thinking at the Intersection of Communication and Art. International Journal of Humanities and Social Science, 2 (11), 1-9, 2012.
6
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
Selain ciri-ciri tersebut, pemikir kritis selalu berusaha untuk mencapai: (1) daya tahan untuk memfokuskan perhatian pada permasalahan yang dihadapi; (2) kejelasan dalam menyatakan pertanyaan atau maksud, (3) ketertiban dalam mengerjakan tugas-tugas yang kompleks, (4) ketekunan dalam mencari informasi yang relevan, (5) kewajaran dalam memilih dan menerapkan kriteria, (6) ketekunan, meskipun permasalahan yang dihadapi sulit, dan (7) presisi optimal yang dimungkinkan oleh subjek dan keadaan. Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa karakteristik utama berpikir kritis adalah rasionalitas, refleksi dan evaluasi. Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian tentang cara individu mengoperasionalkan keterampilan berpikir kritis, Pascarella dan Terenzini menemukan bahwa berpikir kritis diduga melibatkan kemampuan individu untuk melakukan beberapa atau semua keterampilan berikut: (1) mengidentifikasi isu sentral dan asumsi dalam argumen; (2) mengenali hubungan penting; (3) menarik kesimpulan yang benar berdasarkan data; (4) menafsirkan apakah kesimpulan benar-benar ditarik berdasarkan data yang diberikan; dan (5) mengevaluasi bukti-bukti atau otoritas yang ada.7 Dilihat dari keterampilan yang digunakan dalam berpikir kritis, jelaslah bahwa anggapan umum yang menyatakan seseorang yang berpikir kritis selalu mengkritik sehingga cenderung kurang menyenangkan sebenarnya tidak tepat. Pemikir kritis selalu mencari kebenaran dan pengetahuan secara rasional dan konstruktif. Untuk mencapai tujuan itu, dia dengan penuh perhatian mendengar orang lain untuk menyerap pandangan dan ide. Selain itu, meskipun karakteristik utama berpikir kritis adalah rasionalitas, pandangan bahwa keterampilan berpikir kritis bertentangan dengan keterampilan emosional dan
E. Pascarella, & P. Terenzini, How College Affects Students: Findings and Insights From Twenty Years of Research, (San Francisco, CA: Jossey Bass, 1991), 118. 7
7
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
relasional adalah tidak tepat. Paul dan Elder menekankan bahwa setiap individu dengan kemampuan berpikir yang baik akan menjadi profesional, warga, teman, atau orang tua yang, lebih baik.8
Berpikir Kritis dan Pembelajaran Lima
keterampilan
yang
digunakan
untuk
mengoperasionalkan
kemampuan berpikir kritis versi Pascarella dan Terenzini di atas pada dasarnya merupakan pra-syarat bagi pembelajaran yang efektif.9 Tanpa melibatkan keterampilan mengidentifikasi, menafsirkan, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan, pembelajaran yang hakiki tidak akan berlangsung. Salah satu penyebab utama ketidakefektifan pembelajaran adalah minimnya atau bahkan tidak adanya keterlibatan keterampilan berpikir kritis peserta didik dalam aktivitas tersebut, dan mereka tidak mengoptimalkan penggunaan keterampilan itu karena pada umumnya tidak diajarkan bagaimana menggunakannya. Hingga tahap tertentu, keadaan ini berhubungan erat dengan kebanyakan praktik pembelajaran di sekolah, termasuk di Indonesia, yang lebih terkonsentrasi pada “penjejalan” materi pelajaran kepada peserta didik. Sedangkan latihan menggunakan keterampilan berpikir jarang sekali dilakukan. Norman menyatakan, “It is strange that we expect students to learn, yet seldom teach them anything about learning."10 Clement dan Lochhead menegaskan bahwa peserta didik seharusnya diajarkan cara untuk berpikir, bukan hanya diberikan sesuatu untuk dipikirkan.11
8 The Thinker’s Guide to The Nature and Function of Critical and Creative Thinking. Retrieved on October 1, 2012, from http://dl4a. org/uploads/pdf/CCThink_6. 12. 08. pdf. 9
E. Pascarella, & P. Terenzini, How College Affects Students: Findings and Insights From Twenty Years of Research, 119.
10
D. A. Norman. Problem Solving and Education: Issues In Teaching and Research, (Hillsdale, NJ: Erlbaum, 1980), 50.
11
Clement, J. and Lochhead, J. Cognitive Process Instruction, (Philadelphia: Franklin Institute, 1980), 45.
8
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
Hasil berbagai penelitian tentang pengembangan kemampuan berpikir kreatif dan kritis melalui pendidikan, seperti Paul (1993) dan
Sternberg &
Williams (1996), mengusulkan berbagai rekomendasi berikut. Anak-anak tidak dilahirkan dengan kemampuan berpikir kritis. Mereka juga tidak dapat mengembangkan kemampuan itu secara naluriah tetapi harus diajarkan dengan cara yang tepat dan orang tua serta guru merupakan agen paling sesuai untuk melakukan hal ini. Menurut Fisher, berpikir tidak berfungsi secara alami secara alami, seperti tidur, berjalan, atau berbicara.12 Berpikir merupakan suatu keterampilan yang perlu dikembangkan karena nak-anak tidak secara otomatis menjadi lebih bijaksana seiring dengan pertumbuhan fisiknya. Kedua, harus diingat bahwa peserta didik tidak secara otomatis belajar berpikir kritis ketika mereka mempelajari materi pelajaran. Tidaklah memadai bila guru hanya mengajarkan ‘apa yang harus dipikirkan’ tetapi juga ‘bagaimana’ menggunakan pikiran. Greenberg menegaskan: “Teachers need to move from primarily being the information keeper and information dispenser to being an or chestrator of learning where knowledge is co-constructed with the student. Teachers will become facilitators, guides, mentors, sources and resources who make use of spontaneous teachable moments to scaffold children’s learning”.13 Selain itu, sebagaimana halnya di bidang pembelajaran lainnya, guru memegang
peran
yang
sangat
penting
dalam
upaya
pengembangan
kemampuan berpikir kritis siswa. Hingga taraf tertentu, peningkatan kemampuan berpikir kritis difasilitasi oleh keteladanan. Guru yang tidak kritis tidak dapat mendidik siswa menjadi kritis. Terdapat korelasi posiitif antara
12
R. Fisher. Teaching Children to Think, (Cheltenham: Nelson Thornes, 2005), 25.
13Teaching
Children toThink: MeetingtheDemands of the 21st Century. Hanen Early Language Program. http://www.hanen.org/SiteAssets/Helpful-Info/Articles/Teaching-Children-to-Think---PF. aspx.Diunduh 18 Februari 2015.
9
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dengan pelatihan guru di bidang pengajaran berpikir kritis. Hingga saat ini terdapat dua pendekatan pengajaran keterampilan berpikir kritis di sekolah formal: (1) keterampilan berpikir kritis diintegrasikan ke dalam materi pelajaran; atau (2) keterampilan berpikir kritis diajarkan secara eksplisit dan materi pelajaran didesain secara khusus untuk membantu pemahaman terhadap keterampilan berpikir kritis tertentu. Praktik selama ini lebih banyak menerapkan pendekatan pertama, yang dilakukan, misalnya, dengan cara menyuruh peserta didik mengajukan berbagai pertanyaan atau berdiskusi tentang materi pelajaran yang telah dipelajari. Metode ini biasanya cukup efektif mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam mata pelajaran yang dipelajari,
namun
kemampuan
itu
belum
tentu
dapat
dipindahkan
penggunaannya dalam bidang pelajaran lainnya, apalagi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, metode ini dapat diterapkan secara efektif hanya pada jenjang pendidikan tinggi. Di jenjang pendidikan dasar dan menengah metode ini sulit diterapkan. Hasil-hasil penelitian yang mendukung pengajaran berpikir kritis secara eksplisit menunjukkan bahwa ketika keterampilan berpikir kritis utama, seperti metakognisi diajarkan secara eksplisit sambil memandu siswa untuk aktif dalam pembelajaran, keterampilan berpikir itu akan meningkat. Swartz merangkum tiga prinsip kunci pengajaran berpikir kritis: 14 (a) semakin eksplisit pengajaran berpikir, semakin besar dampaknya pada peserta didik; (b) semakin tinggi kebutuhan akan penguasaan keterampilan berpikir yang diintegrasikan dalam pembelajaran, keterbukaan dan penghargaan siswa pemikiran yang baik akan meningkat; dan (c) semakin banyak pengajaran berpikir diintegrasikan ke dalam
R. Swartz, Infusing Critical and Creative Thinking Into Instruction in High School Classrooms, (Cresskill, NJ: Hampton Press, 2003), 208. 14
10
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
pembelajaran, aktivitas berpikir siswa terhadap apa yang mereka pelajari akan meningkat. Upaya untuk mendorong peserta didik berpikir kritis mencakup, antara lain, membantunya mengembangkan keteram-pilan untuk: (1) mengenali dan mengingat, (2) membedakan opini dengan fakta, (3) menvisualisasikan aspekaspek
permasalahan
yang
di-hadapi,
(4)
mengikuti
instruksi
dan
mengklasifikasikan informasi, (5) mengurutkan detil dan memprediksi informasi berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki dan konteks, (6) menarik kesimpulan, (7) mengevaluasi atau menilai efektivitas atau kualitas data, objek, ide, atau orang yang dihadapi, (8) menganalisis dengan cara memecah permasalahan menjadi bagian-bagian atau langkah-langkah yang lebih kecil lalu kemudian memikirkan bagian-bagian itu, dan (9) mensintesiskan atau mengkombinasikan berbagai informasi atau menjadi satu kesatuan. Dengan menguasai kesepuluh
keterampilan berpikir kritis tersebut, siswa dapat
terhindar dari pemikiran yang dangkal, tidak logis, apalagi manipulatif. Keterampilan-keterampilan berpikir kritis tersebut juga akan menumbuhkan kemandirian intelektual dan mengembangkan kreativitas.15 Aktivitas-aktivitas yang disusun oleh Rozakis (1998) dapat digunakan untuk mengembangkan sebagian keterampilan berpikir kritis di atas. Agar effektif, guru perlu memodifikasi aktivitas-aktivitas tersebut agar tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat pengetahuan siswa dan konten mata pelajaran yang sedang digumuli.
M. Mayfield, Thinking for Yourself: Developing Critical Thinking Skills Through Reading and Writing, (Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co, 1997), 25. 15
11
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
Berpikir Kritis dalam Perspektif Kristen Apakah berpikir kritis bertentangan dengan kekristenan dan pendidikan Kristen? Sebagian umat Kristen mungkin menolak pengembangan berpikir kritis karena mengasosiasikannya pada skeptisisme atau kritik terhadap Alkitab maupun konsep-konsep agama pada umumnya. Pandangan ini perlu diluruskan, karena berpikir kritis bersifat sangat Alkitabiah. Dalam Alkitab dijelaskan bahwa kemampuan mengambil keputusan yang baik memampukan seseorang mengikuti perintah untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap akal budi (Mat. 22:37). Semasa berada di dunia, Yesus sering mengajukan pertanyaan kepada orang lain agar mereka merefleksikan apa yang mereka dengar atau lakukan. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, Yesus mencoba membantu para pendengar untuk memahami Firman Allah secara lebih mendalam dan menerapkannya dalam hidup mereka. Roma 12:2 mendorong umat Kristen untuk tidak “menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaharuan budi dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”. Bagian pertama ayat ini menyajikan standar—akal budi yang diperbaharui—untuk menguji sesuatu; sedangkan bagian ke dua menggambarkan pemikiran kritis, yakni ketelitian dalam menguji dan memilih yang baik dan berkenan kepada Allah dengan yang tidak. Pengujian, salah satu bagian berpikir kritis, banyak dilakukan dalam Perjanjian Baru, khususnya oleh gereja mula-mula. Orang-orang yang ingin menjadi anggota gereja diteliti untuk menentukan dan memastikan tidak satupun dari mereka yang disusupi roh jahat, termasuk sikap dan tindakantindakan negatif, seperti yang dialami Ananias dan Safira (Kis. 5:1-10). Seseorang diterima sebagai Pengikut kristus bukan hanya berdasarkan pengakuannya,
12
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
kehidupannya juga diuji untuk memastikan dia adalah anggota dengan iman yang sama (2 Kor. 13:5-6). Elemen-elemen berpikir kritis lain juga memiliki landasan dalam Alkitab. Berpikir (thinking), misalnya dinyatakan dalam Amsal 14: 15: “Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya”. Dalam versi bahasa Inggris, kata “memperhatikan” ini menggunakan verba “consider”. Menguji (testing), dapat dilihat dalam 1 Yohanes 4:1, yang menyatakan: “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu , apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Membuktikan (proving) diungkapkan dalam Kisah Para Rasul 18: 28, yang menyatakan: “Sebab dengan tak jemu-jemunya ia membantah orang-orang Yahudi di muka umum dan membuktikan dari Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias”.
Berpikir Kreatif Kreativitas merupakan paradigma yang penting sejak alam semesta diciptakan. Kejadian 1:1 mengatakan: "Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan bumi". Yang pertama disebutkan mengenai Allah mengacu pada tindakan kreatif. Tanpa kesulitan apapun, Allah menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Dia mencipta! Selanjutnya, Alkitab mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Hal ini mengimplikasikan bahwa Allah juga membekali manusia dengan pemikiran kreatif. Berbekal kemampuan berkreasi dan kemampuan
lainnya,
manusia
sebenarnya
telah
diberdayakan
untuk
melaksanakan perintah Allah agar manusia berkembang biak dan mengelola semua hal yang telah diciptakan (Kej. 1:28). Salah satu contoh realisasi perintah itu adalah pembuatan nama-nama binatang oleh Adam (Kej. 2:20).
13
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
Selama berabad-abad kreativitas cenderung dihubungkan dengan karyakarya seni yang terkenal atau temuan-temuan ilmiah besar. Namun, sejak pertengahan abad ke-20, kreativitas mulai diteliti dalam berbagai sektor lainnya. Di Amerika Serikat, titik balik pemberian perhatian pada kreativitas dapat dihubungkan dengan keberhasilan Uni Sovyet meluncurkan Sputnik, satelit pertama yang mengorbit bumi, pada tanggal 4 Oktober 1957. Keberhasilan ini menyadarkan Amerika Serikat bahwa mereka sudah kalah dalam ronde awal perlombaan mengeksplorasi luar angkasa. Kekalahan itu, menurut David dan Cropley dalam Currie, diakibatkan oleh kurangnya kreativitas dan rendahnya kualitas pendidikan di Amerika Serikat.16 Sejak saat itu, diskusi dan penelitian tentang kreativitas dan pengembangannya untuk sektor industri, bisnis, kepemimpinan, olah raga, pendidikan, pekerjaan dan kehidupan sehari-hari terus meningkat. Seorang pelajar yang sedang menulis makalah atau seorang wirausahawan yang sedang mengembangkan bisnis, dengan melibatkan kreativitas, akan mencapai hasil yang lebih baik. Terminologi
kreativitas
(creativity)
sering
disinonimkkan
dengan
pemikiran kreatif (creativethinking). Namun keduanya adalah dua hal yang berbeda. Kreativitas mengacu pada produk, proses atau interaksi yang menghasilkan ide, pemikiran dan objek yang baru. Sedangkan berpikir kreatif merupakan kemahiran berpikir yang memampukan seseorang menjadi kreatif— mampu menghasilkan ide, pemikiran dan objek orisinal atau baru. Berpikir kreatif juga bisa diartikan sebagai upaya memaksimalkan kemampuan otak untuk memikirkan ide-ide orisinal, beragam, dan baru. Berpikir kreatif kadangkadang disebut dengan terminologi “berpikir divergen”—kemahiran berpikir yang membuat pola-pola pikiran dan wilayah keyakinan diperluas. Jadi, berpikir
Creativity and the Sputnik Shock. Bloomberg Bisnis. August 16, 2005.:http://www. bloomberg. com/ bw/stories/2005-08-16/creativity-and-the-sputnik-shock. Diakses 20 Mei 2015. 16
14
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
kreatif merupakan salah satu unsur pembangun kreativitas. Secara singkat, Amabile membedakan kreativitas dan berpikir kreatif dengan menyatakan bahwa kreativitas dibentuk oleh kemahiran berpikir kreatif, motivasi dan keahlian.17 Karena kreativitas digunakan dalam banyak sektor kehidupan, definisi kreativitas menjadi sangat beragam. Meskipun demikian, semua definisi menunjukkan bahwa kreativitas berhubungan dengan kebaruan, efektivitas, dan etika dalam menggunakan ide, produk, proses, analogi atau alat. Oleh sebab itu, kreativitas merupakan produk atau kemampuan untuk menciptakan dan menerapkan ide-ide yang memenuhi syarat kebaruan, efektivitas, dan etika. Cropley mendukung hal ini dengan menyatakan kreativitas memang berhubungan dengan kebaruan, efektivitas, dan etika.18 Unsur kebaruan mempersyaratkan bahwa sebuah kreativitas haruslah merupakan produk, tindakan, atau ide yang berbeda dengan yang lazim. Unsur
efektivitas
mempersyaratkan bahwa sebuah kreativitas harus berhasil dan bermanfaat. Manfaat itu bisa bersifat estetis, artististik, spiritual, atau material, seperti memenangkan
kontes
atau
menghasilkan
keuntungan.
Unsur
etika
mempersyaratkan bahwa sebuah kreativitas tidak boleh bersifat destruktif, mementingkan diri sendiri, kriminal, dan hal-hal lain yang merugikan.
Tahapan Berpikir Kreatif Menurut Wallas19 berpikir kreatif berlangsung dalam empat tahap, yaitu: persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Pada tahap persiapan dilakukan kajian awal untuk mendalami fokus masalah yang dihadapi, kemudian dicari 17T. 18
M. Amabile, “How to Kill Creativity”. Harvard Business Review, Sept‐Oct, 77‐87. 1998
A. J. Cropley, Creativity in Education and Learning: a Guide for Teachers and Educators, 5-6.
19E.
P. Torrance, The Nature Of Creativity As Manifest in Its Testing, in Sternberg, (Cambridge, England: Cambridge Univ. Press, 1988), 50.
15
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
berbagai informasi dari berbagai sumber (referensi, lingkungan, orang) sebagai bahan melakukan evaluasi atas rancangan analisis yang telah disiapkan. Apabila masih dipandang perlu, kemudian dicari informasi tambahan untuk melengkapi bahan analisis. Semua aktivitas ini memampukan individu memahami masalah, mengidentifikasi keterbatasan
dan
mengklasifikasi
masing-masing,
mencoba
solusi-solusi melihat
yang
informasi
ada
beserta
yang
telah
dikumpulkan dari berbagai perspektif yang berbeda, dan menghubungkan ide yang satu dengan yang lain. Semua aktivitas persiapan ini perlu dilakukan berulang-ulang secara intensif hingga mencapai batas maksimal—hingga si individu merasa dia sudah mencoba segala cara, menganalisis semua informasi, dan memandang dari semua perspektif. Pada tahap inkubasi, dilakukan relaksasi dan coolingdown. Individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut. Ia tidak memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya’ dalam alam pra sadar. Inkubasi dapat juga diartikan sebagai “suatu tahapan dari upaya pemecahan masalah yang
kreatif, yakni periode ketika masalah yang
dihadapi
dikesampingkan sejenak setelah hal itu dipikirkan secara maksimal dan “habishabisan”. Tahap iluminasi merupakan tahap klimaks dari tahap inkubasi, yaitu dengan munculnya gagasan cerdas untuk mengatasi persoalan. Tahap ini disebut sebagai tahap pengalaman “a-ha”, karena solusi atau gagasan cerdas muncul dalam pikiran seperti sebuah bola lampu yang tiba-tiba menyala. Seringkali ide cemerlang akan muncul pada tahap ini, yaitu ketika merenungkan kembali hasil kajian yang terkonsentrasi penuh pada masalah yang dihadapi. Banyak orang yang tadinya kesulitan memecahkan suatu masalah segera menemukan solusi setelah tidur nyenyak semalaman. Sebagian orang memperoleh solusi kreatif sewaktu mendengarkan musik, menonton film, atau
16
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
sedang berenang. Meskipun belum dipahami secara ilmiah, setelah suatu proses berpikir yang intensif, suatu periode inaktif sangat mendorong kreativitas. Sebagian orang yakin tidur memberi kesempatan kepada pikiran bawah sadar untuk memproses masalah yang dihadapi. Selain itu, melepaskan pikiran atau tidak aktif selama periode tertentu dari suatu masalah memungkinkan kita memandang masalah itu dengan cara yang lebih segar. Apapun penjelasan yang lebih tepat, melepaskan diri atau beristirahat dari sesuatu yang telah dipikirkan secara maksimal terbukti merupakan strategi yang efektif. Memang tidak ada jaminan bahwa sebuah jeda ata istirahat akan memberikan kreativitas yang unggul. Jika demikian adanya, kita harus mengulang tahap persiapan dan inkubasi.20 Selanjutnya pada tahap verifikasi, gagasan-gagasan yang diperoleh pada tahap iluminasi dianalisis dan diuji manfaat serta kebermaknaannya. Jika ternyata gagasan yang muncul bukan merupakan solusi terbaik, kita harus memahami penyebabnya. Dengan begitu, kita bisa mencegah kesalahan yang sama di masa yang akan datang. Bahkan, jika solusi terbaik sudah kita peroleh, kita bisa mereview proses kreatif tersebut untuk memahami apakah proses tersebut dapat diulangi pada proses pemecahan masalah kreatif lain.
Berpikir Kreatif dalam Pembelajaran Fisher mengatakan, keberadaan unsur-unsur kebaruan, efektivitas, dan etika dalam kreativitas mengindikasikan bahwa kreativitas sangat bermanfaat dalam pembelajaran karena proses imajinatif tersebut memperkaya pengetahuan manusia, sekalipun ide-ide baru yang dihasilkan belum diakui atau diketahui
J. Y. F. Lau, An Introduction to Critical Thinking and Creativity. Think More, Think Better, (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2011), 218. 20
17
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
manfaatnya pada saat diproduksi21 Selain itu, berpikir kreatif sangat selaras dengan teori konstruktivisme, pendekatan pembelajaran yang memandang pembelajaran sebagai proses memproduksi pemahaman dan pengetahuan melalui pengalaman dan refleksi atas pengalaman itu. Berpikir kreatif dan pembelajaran
menurut
konstruktivisme
sama-sama
merupakan
proses
memproduksi. Sama dengan pemikir kreatif yang memproduksi sesuatu yang baru, siswa yang belajar dengan pendekatan konstruktivisme juga merupakan kreator pengetahuan aktif, bukan penerima pengetahuan yang pasif. Sebagai kreator, dia aktif bertanya, mengeksplorasi, dan menilai apa yang diketahuinya selama proses pembelajaran. Jadi, berpikir kreatif dan pembelajaran merupakan dua proses yang tumpang tindih dan saling menguatkan. Sehubungan dengan itu, Hall and Thompson mengutarakan bahwa pengembangan berpikir kreatif pada dasarnya tidak memerlukan perubahan pendekatan pembelajaran yang radikal
karena keduanya dapat dilakukan seiring dengan peningkatan
efektivitas pembelajaran.22 Faktor lain yang membuat pengembangan kreativitas sangat bermanfaat dalam pembelajaran adalah temuan bahwa peningkatan kreativitas berkorelasi positif dengan tujuan pembelajaran di sekolah, yakni peningkatan pengetahuan dan
keterampilan.
Menurut
Getzelsand
Jackson,
berbagai
penelitian
menunjukkan hubungan positif antara kreativitas dan skor yang diperoleh di sekolah.23 Temuan ini selaras dengan beberapa teori kognitif dalam pembelajaran yang memandang aktivitas berpikir sebagai “proses konstruktif”. Artinya, ketika seseorang berpikir, dia mengkonstruksi pengetahuannya. Hasil Kreativitas
21 R. Fisher, Creative Minds: Building Communities of Learning for The Creative Age. Paper At Thinking Qualities Initiative Conference, (Hong Kong: Baptist University, 2002), 15. 22 Hall and Thompson, Creative Tensions? Creatiivity and Basic Skills in Recent Educational Policy. English in Education, 39(3), 5-18, 2005.
J. W. Getzels & P. J. Jackson, Creativity and Intelligence: Explorations With Gifted Students, (New York: John Wiley and Sons, Inc, 1962), 56. 23
18
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
mendukung inteligensi konvensional untuk meningkatkan pencapaian belajar juga selaras dengan pendapat tersebut. Pendapat ini terbukti secara empiris di Finlandia. Menurut Dun, siswa di Finlandia tidak dibebani dengan aktivitas menghafal informasi atau belajar topik yang akan dibahas pada tes standar.24 Mereka didorong untuk berpikir kreatif dan belajar hanya untuk belajar. Memerankan drama kreatif dan memecahkan masalah berperan sentral di dalam kelas, yang didisain bersuasana informal dan santai. System ini jelas sangat berbeda dari sistem di banyak negara yang berfokus begitu intens pada hasil tes. Namun sistem di Finlandia tersebut justru lebih efektif karena menghasilkan tidak hanya skor tes yang tinggi tapi juga tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Selain Finlandia, Singapura dan Korea adalah dua diantara beberapa negara lain yang sangat serius mengembangkan kreativitas (bersama dengan berpikir kritis dan pengembangan karakter) dalam pembelajaran. Ketiga muatan itu bahkan diberi prioritas dalam kurikulum. Sejak tahun 2009, Korea mengharapkan sekolah meningkatkan kreativitas sebagai bagian dari kualitas pembelajaran berbasis subje. Bahkan hampir 10% waktu sekolah dicurahkan untuk proyek-proyek dan kegiatan terkait lainnya yang mendorong kreativitas. sedangkan Singapura menetapkan "Hasil Pendidikan yang Diinginkan" mencakup kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta kompetensi sosial dan emosional. Pada akhir sekolah menengah, siswa diharapkan, antara lain, "ulet dalam menghadapi kesulitan", "inovatif dan giat" serta "mampu berpikir kritis dan berkomunikasi persuasif".25
24Why Do We Focus On Finland? A Must-Have Guidebook. Edudemik. http://www. edudemic. com/why-do-we-focuson-finland-a-must-have-guidebook. Diakses 20 November 2014. 25Creativity
in schools: what countries do (or could do). Education today. http://oecdeducationtoday. blogspot. com/2013/01/creativity-in-schools-what-countries-do. Html. Diakses 15 Juli 2014.
19
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
Beberapa negara memang sudah serius mengembangkan kreativitas melalui pendidikan. Namun hingga sekarang praktik ini masih menimbulkan kontroversi dan oposisi di kalangan guru di banyak negara. Alasan-alasan yang sering diajukan adalah: (1) kreativitas pada hakikatnya merupakan misteri dan tidak dapat diketahui sehingga tidak dapat dikembangkan oleh orang [guru] biasa; (2) karena kreativitas merupakan kemampuan khusus yang ditemukan hanya pada orang tertentu, pengembangannya akan menciptakan elitisme; dan (3) pengembangan
kreativitas dikhawatirkan menimbulkan
pemaksaan
terhadap anak-anak sehingga mereka menjadi korban fanatisme kreativitas guru dan orang tua.26 Selain itu, Kampylis, menjelaskan bahwa alasan yang paling mungkin dari tidak terlaksananya pengembangan kemampuan berpikir kreatif siswa di dalam kelas adalah kecenderungan guru untuk tetap mengontrol kelas mereka dan menghabiskan materi di silabus daripada memfasilitasi kreatifitas yang dirasakan ambigu dan membingungkan.27 Cropley, mendukung pendapat ini dengan menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, guru dan orang tua merasa terganggu pada pengembangan kreativitas di sekolah yang mungkin akan mendorong timbulnya kelakuan tidak teratur, membangkang, ceroboh, tidak teliti, atau nakal.28 Selain itu, sebagian guru khawatir bahwa pengajaran kreativitas akan membuat keterampilan-keterampilan dasar dan standar, bahkan prinsip-prinsip dasar seperti benar-salah, akan terabaikan. Craft menambahkan dengan menekankan bahwa pembelajaran kreativitas, mengajar kreatif, dan pembelajaran kreatif menjadi terbatas karena kontrol terpusat dalam pedagogi, kurikulum, konten, dan strategi pengajaran dan karena guru diperlakukan
26
A. J. Cropley, Creativity in Education and Learning: a Guide for Teachers and Educators, 134.
27Fostering
Creative Thinking. What do Primary Teachers Recommend? Education, andculture. Vol.2.http: //hejmec. eu/ journal/index.php/eJMEC/article/viewFile/11/18. Diakses 6 Juni 2015. 28
A. J. Cropley, Creativity in Education and Learning: a Guide for Teachers and Educators, 134-135
20
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
sebagai teknisi bukan seniman.29 Akhirnya, guru sering merasa tidak cukup terlatih atau percaya diri dalam membina siswa untuk berpikir kreatif dalam praktik, meskipun mereka menganggap kreativitas sebagai faktor kunci untuk kemajuan pribadi dan sosial. Rangkuman Cropley atas berbagai hasil penelitian terkini menunjukkan berbagai bentuk kontroversi berupa bias pandangan guru pada pengembangan kreativitas.30 Pertama, kebanyakan guru di Australia, Nigeria danTurki tidak menyukai sikap-sikap siswa yang berhubungan dengan kreativitas, seperti keberanian, dan hasrat terhadap orisinalitas dan kebaruan, mayoritas guru lebih menyukai kesopansantunan, kepatuhan, kehadiran tepat waktu, dan kesediaan menerima pendapat guru. Di bidang pengembangan pikiran, kemampuan mengingat dan mengungkapkan materi pelajaran secara akurat biasanya lebih disukai daripada berpikir kritis atau kemandirian dalam mengambil keputusan. Guru-guru di Turki memandang bahwa siswa dengan kreativitas tinggi bersifat agresif dan berperilaku menyimpang. Di Amerika Serikat, murid yang kreatif dianggap lebih sering ‘mengacau’ daripada murid yang kurang kreatif. Berbeda dengan guru-guru di atas, sebagian guru yang berhasil mengembangkan kreativitas murid-muridnya menekankan ‘produksi kreatif’, fleksibilitas, penerimaan terhadap saran alternatif, dan toleran terhadap humor. Mereka merupakan individu-individu yang kreatif dan akrab dengan muridmurid mereka.31 Secara lebih terperinci, berdasarkan penelusuran kepustakaan, Cropley32 memaparkan sembilan kondisi yang diciptakan guru yang sukses dalam pengembangan kreativitas murid-muridnya: (1) mendorong murid
29 A.Craft, The limits To Creativity In Education: Dilemmas For The Educator. British Journal of Educational Studies, 51 (2), 113-127, 2003. 30
A. J. Cropley, Creativity in Education and Learning: a Guide for Teachers and Educators, 137
31C. 32
Clark, Working With Able Learners in Regular Classrooms. Gifted and Talented International, (11) 34-38, 1996.
A. J. Cropley, Creativity in Education and Learning: a Guide for Teachers and Educators, 137
21
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
belajar mandiri, (2) menggunakan gaya mengajar yang kooperatif dan sosialintegratif, (3) tidak mengabaikan penguasaan pengetahuan faktual sebagai landasan untuk berpikir divergen; (4) menunda penilaian terhadap ide-ide murid sebelum diselesaikan dan diformulasi, (5) mendorong keterampilan berpikir fleksibel, (6) mendorong murid melakukan penilaian mandiri atas pekerjaaannya, (7) menanggapi saran dan pertanyaan murid dengan serius, (8) menawarkan kesemapatan untuk belajar dengan berbagai bahan dalam kondisi yang berbeda, dan (9) menghargai keberanian sebagai hal yang benar, sehingga murid tetap berani mencoba sesuatu yang baru dan tidak lazim.
Metode Berpikir Kreatif Hingga saat ini berbagai metode untuk meningkatkan pemikiran kreatif telah telah dikembangkan. Metode-metode itu dapat dipelajari dan dilatih untuk digunakan dalam berbagai konteks, seperti di sektor industri, periklanan, dan pendidikan. Lima metode yang mungkin paling populer adalah: evolusi, revolusi, sintesis, reaplikasi, dan mengubah arah. Berikut ini adalah penjelasan singkat bagi ke lima metode tersebut, yang diadaptasi dari karya Harris. 33 Evolusi merupakan metode perbaikan bertahap (gradual). Ide-ide baru dibuat dari ide-ide lain; solusi baru dimodifikasi dari solusi sebelumnya; produk yang baru memiliki kelebihan dari yang lama. Banyak hal canggih yang kita nikmati saat ini dikembangkan melalui perbaikan berkelanjutan dalam waktu yang lama. jadi, evolusi merupakan metode membuat sesuatu yang jauh lebih baik atau mungkin juga berbeda sama sekali dari aslinya. Sebagai contoh, pesawat terbang yang digunakan saat ini merupakan hasil evolusi pesawat pertama buatan Orville dan Wilbur Wright di awal abad ke-20. Metode evolusi
33Introduction
to Creative Thinking. http://www. virtualsalt. com/crebook1. htm. Diakses 25 April 2012.
22
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
ini mengungkapkan satu prinsip penting, yakni: setiap masalah yang telah diselesaikan masih dapat diselesaikan lagi dengan cara yang lebih baik. Setiap pemikir kreatif berprinsip bahwa upaya penyempurnaan selalu dimungkinkan, termasuk terhadap sesuatu yang sudah bagus. Revolusi merupakan metode berpikir kreatif untuk membuat perbaikan secara cepat. Metode ini dilakukan dengan cara melepaskan diri dari pemikiran tradisional dan menciptakan perspektif baru. Seorang dosen yang kreatif dapat menerapkan metode ini dengan bertanya, "Bagaimana saya dapat membuat kuliah saya terus menerus lebih baik?" Ide revolusioner mungkin adalah, "Saya lebih baik berhenti memberi kuliah dan mendorong mahasiswa saling mengajari sesama mereka dengan cara menugaskan mereka bekerja sebagai tim atau menyajikan laporan. Sintesis merupakan metode penggabungan dua atau lebih ide menjadi ide ketiga yang baru. Sebagai contoh, telefon seluler yang kita gunakan saat ini adalah hasil sintesis berbagai alat yang dulunya hanya hanya memiliki satu fungsi, yakni telefon (untuk berkomunikasi lisan jarak jauh), pager (untuk berkomunikasi pesan pendek jarak jauh), kamera (membuat foto), dan sebagainya. Reaplikasi adalah metode berpikir kreatif yang dilakukan dengan cara melihat atau menggunakan sesuatu yang lama dengan cara yang baru. Seorang pemikir kreatif yang pergi ke lapak pedagang rongsokan melihat ‘sesuatu’ dalam sebuah mobil tua. Dia memperbaiki mobil itu ke bengkel, mencatnya dengan warna yang artistic, dan berhasil menjualnya dengan harga ratusan kali lipat dari biaya yang digunakan untuk membeli dan memperbaiki mobil tersebut. Contoh lain, cat dapat digunakan sebagai semacam lem untuk mencegah sekrup longgardalam mesin; deterjen pencuci piring dapat digunakan untuk menghapus DNA dari bakteri di laboratorium, dan sebagainya. 23
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
Mengubah arah merupakan metode berpikir kreatif yang dilakukan dengan cara menggeser perhatian dari suatu sudut ke sudut yang lain. Metode ini dapat dilakukan, misalnya, dengan memainkan permainan “Seandainya saya adalah …” (If I were …”. Selain kelima metode di atas, beberapa metode lain yang juga sangat lazim digunakan adalah: (1) sumbang saran (brainstorming), (2) merangsang ide (ideaspurring), (3) endaftar sifat (attributelisting), (4) memaksakan hubungan (forcingrelationship), dan (5) teknik selang seling. Metode sumbang saran dilakukan dengan mendapatkan banyak ide dari sekelompok orang dalam waktu singkat. Merangsang ide dilakukan dengan menggunakan bantuan daftar pertanyaan yang dapat memicu terciptanya ide baru, seperti, “Apa yang dapat disubstitusi?”, Apa yang bisa dikombinasikan?”, “Apakah ada yang dapat diadaptasikan?”, “Apakah ada yang dapat diperluas?”, “Apakah ada yang dapat dimodifikasi?”, “Apakah ada yang dapat dipertukarkan?”, “Apakah ada yang dapat kurangi?”, “Apakah ada yang dapat dipertukarkan?” Metode mendaftar sifat (attributelisting) dilakukan dengan menggunakan elemen-elemen
sifat
dari
suatu
hal
yang
bersifat tangible (nyata).
Metode memaksakan hubungan dilakukan dengan cara merangsang kreativitas atas dasar asosiasi bebas yang dipaksakan, seperti dengan cara memadukan dua atau lebih gagasan lama yang independen. Metode selang seling dilakukan dengan memadukan lebih dari satu teknik yang secara bergantian, yaitu: (a) menghasilkan-menilai gagasan, (b) usaha individu-kelompok, (c) bekerjaberistirahat, (d) usaha terpusat-meluas, dan (e) mengubah sudut pandang.
Berpikir Kritis dan Kreatif Sebagai Satu Kesatuan Pembahasan mengenai konsep-konsep berpikir kritis dan kreatif di atas menunjukkan bahwa kedua mode berpikir tersebut memang berbeda. Berpikir 24
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
kritis bersifat konvergen, sedangkan berpikir kreatif adalah divergen. Berpikir kritis dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku, sedangkan berpikir kreatif berlangsung dengan melanggar prinsip-prinsip yang berlaku. Berpikir kreatif memproses pembuatan atau produksi, sedangkan berpikir kritis digunakan untuk menilai kelayakan atau validitas sesuatu. Meskipun berbeda, berpikir kritis dan kreatif sebenarnya berlangsung atau digunakan secara bersamaan dan saling melengkapi. Analisis tahapan berpikir kreatif yang dibahas sebelumnya memperlihatkan bahwa proses berpikir kreatif diawali dengan persiapan yang disengaja dan diakhiiri dengan verifikasi yang kritis. Kedua tahapan ini adalah aktivitas berpikir kritis. Oleh sebab itu, berpikir kreatif dan berpikir kritis bersifat saling melengkapi, bukan berlawanan. Keduanya saling bersinergi untuk memfasilitasi individu melakukan aktivitas mental berkualitas tinggi melalui penglibatan imajinasi dan intelektual, yang kemudian memampukan individu memproduksi dan menilai. Beyer menegaskan bahwa meskipun tidak identik, keduanya merupakan dua sisi mata uang yang sama. 34 Untuk menunjukkan keeratan hubungan kedua mode berpikir itu, Passmore dalam Peters menamainya ‘critico creative thinking’.35 Berbagai penelitian mendukung hubungan erat antara berpikir kreatif dan berpikir kritis, dengan menyebut berpikir kritis sebagai mode berpikir konvergen dan berpikir kreatif, divergen. Berpikir kreatif membutuhkan hasil pemikiran kritis untuk mengevaluasi, memilah dan memilih hasil proses berpikir kreatif dan memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap hasil kreativitas itu. Sebaliknya, keterampilan berpikir kritis membutuhkan kemampuan berpikir kreatif untuk menemukan solusi terbaik atas masalah yang dihadapi atau untuk mengajukan argumen atau penjelasan alternatif atau untuk
34B. 35
K. Beyer, Practical Strategies for The Teaching of Thinking, (Boston MA: Allyn And Bacon, Inc. 1987), 35.
Peters, R. S, The Concept of Education, (New York: Routledge, 2010), 42.
25
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
berpikir di “luar kotak”. Penciptaan intelektual (kreativitas) dan penilaian kritis (berpikir kritis) memiliki logika timbal balik.36 Ada kesalingterkaitan yang erat antara keduanya. Paul bahkan menegaskan bahwa semua jenis pemikiran dibangun oleh kedua mode berpikir kreatif dan berpikir kritis dengan cara yang intim.37
Prosedur Pengembangan Berpikir Kritis dan Kreatif di Kelas Dari berbagai prosedur yang ada, prosedur yang dibuat oleh oleh Tsai (2013) dengan memadukan karya Brookfield (2012) tentang berpikir kritis, karya Treffinger dan Isaksen (2005) tentang pemecahan masalah secara kreatif dan model pembelajaran Kolb (1984) mungkin merupakan prosedur populer. Prosedur ini terdiri dari lima langkah yang disebut “5M”: (1) Memperluas cakrawala, (2) Menjelajahi kemungkinan, (3) Mengganti gagasan, (4) Mengevaluasi asumsi, dan (5) Memberlakukan solusi.38 Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang penggunaan prosedur “Lima M”, yang dapat digunakan dan dikombinasikan dengan pendekatan pengajaran yang lain, seperti studi kasus, pendekatan konstruktivisme, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis pengalaman, dan pendekatan lain yang sejenis, ini sebagai alat pembelajaran di kelas. Pada langkah pertama, memperluas cakrawala, guru dapat menugaskan dan memandu siswa menyelidiki suatu fenomena. Di awal, misalnya, guru mengajukan pertanyaan: “Apa yang Kamu ketahui tentang kemacetan lalu lintas di Jakarta? Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemacetan
36 Paul, Rand Elder, L. The Thinker’s Guide to The Nature and Function of Critical and Creative Thinking. Retrieved on October 1, 2012, from http://dl4a. org/uploads/pdf/CCThink_6. 12. 08. pdf. 37 R. W. Paul. Critical Thinking: What Every Person Needs to Survive in A Rapily Changing World, (Santa Rosa, CA: Foundation for Critical Thinking, 1993), 43-53.
D. J. Treffinger & S. G. Isaksen, Creative Problem Solving: The History, Development, And Implications For Gifted Education And Talent Development. Gifted Child Quarterly, 49(4), 342-353, 2005. 38
26
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
itu?”Sebagai pemanasan, guru meminta siswa menuliskan sebanyak mungkin yang mereka ketahui dan tanggapan mereka tentang topik ini dalam waktu tiga menit. Karena dilakukan secepat mungkin, ejaan, tanda baca, tata bahasa tidak perlu memperoleh perhatian khusus. Yang penting adalah bahwa setiap siswa dapat mengaktifkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dia miliki. Langkah menjelajahi kemungkinan digunakan untuk memperoleh gambaran holistik tentang topik yang dibahas dan sekaligus menghasilkan lebih banyak ide. Langkah ini sangat sesuai dilakukan dengan cara menugaskan siswa dalam 5-10 menit menggunakan peta pikiran (mindmapping) untuk mengubah ide mereka menjadi sebuah diagram visual dan memberikan gambaran holistik tentang apa yang mereka pahami tentang banjir di Jakarta. Selain peta pikiran, langkah kedua ini juga cocok menggunakan metode curah gagasan (brainstorming). Pada tahap menukar ide, guru membagi kelas ke dalam kelompokkelompok, beranggotakan maksimum lima siswa. Dalam kelompok mereka membahas dan menyajikan peta pikiran dan ide-ide individual yang telah dibuat sebelumnya. Ketika seseorang menyajikan ide nya, dia berperan sebagai presenter dan anggota lain adalah “detektif”. Peran para detektif tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi juga menjadi pendengar aktif. Mereka harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengklarifikasi setiap ide dan memahami mengapa presenter mengajukan ide-ide tersebut. Pada tahap ke empat, mengevaluasi asumsi, dilakukan setelah presenter menyelesaikan tugasnya. Di tahap ini para detektif diminta memeriksa asumsiasumsi di balik ide-ide yang diajukan dengan mengajukan pertanyaan. Misalnya, jika penyaji mengajukan pembatasan penggunaan mobil pribadi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, para detektif dapat bertanya, "Mengapa harus membatasi penggunaan mobil pribadi? Tolong jelaskan!" Tujuan utama 27
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
dari pertanyaan ini adalah untuk meminta individu berpikir lebih dalam dan menilai asumsi yang dibuatnya, yang mungkin mempengaruhi ide nya. Setelah semua anggota kelompok mengidentifikasi dan benar-benar memahami asumsi masing-masing, semua anggota kelompok dapat diminta mendiskusikan ide-ide lain yang mungkin dapat memperbaiki asumsi pribadi mereka. Tahap ini akan berlangsung lebih lama dibandingkan tahap lainnya karena asumsi setiap anggota diklarifikasi dan dipastikan. Waktu paling banyak biasanya dihabiskan untuk mengungkap hambatan mental—faktor yang mencegah individu menjelajahi alternatif lain. Interaksi dalam kelompok ini memiliki peran ganda. Di satu sisi, dengan merefleksikan asumsi mereka, para siswa mungkin akan menyadari bahwa selain ide atau hasil yang diajukan, keberadaan ide lainnya selalu memungkinkan. Di sisi lain, dengan mendengarkan ide-ide orang lain, pikiran mereka mungkin akan mengalami pengayaan luar biasa, khususnya pada saat datangnya ide-ide tak terduga. Dengan kata lain, mereka dapat memperluas ideide mereka melalui refleksi di dalam diri dan pengayaan dari luar setelah menghilangkan mental block. Dalam tahap terakhir, memberlakukan solusi, para siswa dapat menuliskan reaksi intelektual dan emosional mereka terhadap diskusi yang sudah berlangsung dengan menulis dalam jurnal mereka. Ada beberapa pertanyaan yang perlu dibuat dalam jurnal: (a) "Apa yang baru bagi Anda dalam kegiatan ini ?," (b) "Apakah setiap poin bertentangan dengan apa yang sudah Anda pahami atau percayai ?," (c) "Setelah aktivitas ini, pertanyaan apa yang tetap bergema dalam pikiran Anda ?, "(d) "Pada saat apakah Anda merasa bingung ?," (e) "Pada saat apa sajakah Anda mendapatkan penambahan wawasan ?," dan (f) "Pelajaran apa yang telah Anda pelajari dan bagaimana Anda dapat memanfaatkannya untuk aspek lain dalam hidup Anda? Singkatnya, tahap
28
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
terakhir adalah tentang implementasi. Guru harus membantu siswa untuk mengambil manfaat dari pengalaman belajar ini dan selanjutnya mengubah ide mereka menjadi pelajaran-pelajaran yang berguna.
PENUTUP Tantangan sektor
pendidikan
untuk
membantu siswa
mengatasi
permasalahan-permasalahan untuk berbuat banyak bagi masyarakat sekitarnya di era yang ditandai dengan ledakan informasi dan perubahan-perubahan yang semakin akseleratif saat ini adalah memfasilitasi mereka untuk mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya, termasuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kedua mode berpikir ini bukan hanya penting tetapi juga harus dikembangkan dalam semua jenjang pendidikan, karena keduanya tidak hanya merupakan alat belajar yang strategis, yang membuat pembelajaran lebih efektif dan bermakna serta mendorong individu untuk belajar dan mengembangkan diri seumur hidup, tetapi juga sarana penting dalam kehidupan personal maupun profesional. Selain itu, bukankah tujuan hakiki pendidikan Kristen adalah untuk mengembangkan potensi yang dikaruniakan Allah kepada setiap siswa? Berpikir kritis dan kreatif adalah sebagian dari talenta yang dikaruniakan Allah kepada setiap manusia. Berpikir kritis merupakan inti dari seluruh aktivitas intelektual karena kemahiran
inilah
yang
memungkinkan
individu
memahami
atau
mengembangkan argumen, mengajukan bukti-bukti untuk mendukung argument, menarik kesimpulan dan menggunakan data untuk memecahkan masalah. Di lain pihak, berpikir kreatif memampukan individu memproduksi dan menerapkan ide-ide baru dalam konteks tertentu, melihat situasi yang ada dengan cara yang baru, mengidentifikasi penjelasan alternative, dan membuat hubungan baru yang memberikan hasil lebih baik. Meskipun keduanya
29
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
merupakan mode berpikir yang berbeda, berpikir kritis dan kreatif berhubungan simbiosis, karena kreativitas membutuhkan landasan yang disediakan pemikiran kritis untuk berkembang. Karena kedua mode berpikir itu dapat dikembangkan pada saat bersamaan,
baik di kelas maupun di sekolah, guru perlu menyediakan
kesempatan dan latihan bagi pengembangan kedua mode berpikir tersebut. Untuk mendorong pengembangan berpikir kritis dan kreatif, siswa harus diberikan motivasi untuk berpikir, waktu untuk mengembangkan ide, kolaborasi dan dukungan berupa ketersediaan informasi dan umpan balik. Guru yang kritis akan mengevaluasi metode pengajarannya dan metode belajar siswanya. Dengan demikian, dia akan memiliki landasan yang kuat untuk menerapkan pembelajaran yang kreatif, yang kemudian akan mendorong siswa menjadi kreatif
BIBLIOGRAFI Buku Amabile, T. M. “How to Kill Creativity”, Harvard Business Review, 1998 B. K. Beyer. Practical Strategies For The Teaching of Thinking, Boston MA: Allyn And Bacon, Inc. 1987 Cropley, A. J. Creativityin Education and Learning: a Guide for Teachers and Educators, London: Kogan Page Ltd. 2001 Fisher, R. Teaching Children to Think, Cheltenham: Nelson Thornes, 2005 Fisher, R. Creative Minds: Building Communities of Learning For The Creative Age. Paper at Thinking Qualities Initiative Conference, Hong Kong Baptist University, 2002 Halpern, D. F. Creativity in College Classroom, New York, NY: Cambridge University Press, 2010
30
| Volume I, Nomor 1, Maret 2016 | Halaman 1 – 32
Hall and Thompson, Creative Tensions? Creativity and Basic Skills in Recent Educational Policy. English In Education, 39 (3), 5-18, 2005. Hunter, D. A. Apractical Guide to Critical Thinking: Deciding What to Do and Believe, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2014 J. Clement, and J. Lochhead, Cognitive Process Instruction, Philadelphia: Franklin Institute, 1980 J. W. Getzels& P. J. Jackson, Creativity And Intelligence: Explorations With Gifted Students, New York: John Wileyand Sons, Inc, 1962 Kong, S. L. Cultivating Critical and Creative Thinking Skills, Hackensack, NJ: World Scientific Publishing, 2007 Lau, J. Y. F. An introduction To Critical Thinking And Creativity. Think More, Think Better, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2011 Mayfield, M. Thinking for Yourself, California: Wadsworth Publishing Company, 1991 Mayfield, M. Thinking For Yourself: Developing Critical Thinking Skills Through Reading and Writing, Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co, 1997 Norman, D. A. Problem Solving and Education: Issues in Teaching and Research, Hillsdale, NJ: Erlbaum, 1980 Pascarella, E. & Terenzini, P. How College Affects Students: Findings and Insights From Twenty Years of Research, San Francisco, CA: Jossey Bass, 1991 Peters, R. S, The Concept of Education, New York: Routledge, 2010 R. W. Paul. Critical Thinking: What Every Person Needs To Survive In A Rapily Changing World, Santa Rosa, CA: Foundation for Critical Thinking, 1993 Swartz, R. Infusing Critical And Creative Thinking Into Instruction In High School Classrooms, Cresskill, NJ: Hampton Press, 2003 Torrance, E. P. The Nature Of Creativity As Manifest In Its Testing, inSternberg, Cambridge, England: CambridgeUniv. Press, 1988
31
Parlindungan Pardede – Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pendidikan Kristen
Jurnal Craft, The limits To Creativity In Education: Dilemmas For The Educator. British Journal of Educational Studies, 51 (2), 113-127, 2003. Clark, Working With Able Learners In Regular Classrooms. Gifted and Talented International. (11) 34-38, 1996. J. Treffinger, & S. G. Isaksen, Creative Problem Solving: The History, Development, And Implications For Gifted Education And Talent Development. Gifted Child Quarterly, 49 (4), 342-353, 2005. R. C, Emanuel & Challons-Lipton, S. Helping Students Transition to Critical and Creative Thinking at the Intersection of Communication and Art. International Journal of Humanities and Social Science, 2 (11), 1-9, 2012.
Internet Creativity and the Sputnik Shock. http://www. bloomberg. com/ bw/stories/2005-0816/creativity-and-the-sputnik-shock. Diakses 20 Mei 2015. Education. And Creative Thinking. andculture.Vol.2.http://hejmec.eu/journal /index.php/eJMEC/article/viewFile/11/18. Diakses 6 Juni 2015. Introduction to Creative Thinking. http://www. virtualsalt. com/crebook1. htm. Diakses 25 April 2012. Critical And Creative Thinking. http://dl4a. org/uploads/pdf/CCThink_6. 12. 08. pdf. Early
Language Program. http://www.hanen.org/ Site Assets/ HelpfulInfo/Articles/Teaching-Children-to-Think---PF.aspx. Diakses 18 Februari 2015. http://dl4a. org/uploads/pdf/CCThink_6. 12. 08. pdf. Diakses Oktober 2012
Edudemik. http://www. edudemic. com/why-do-we-focus-on-finland-a-must-haveguidebook. Diakses 20 November 2014. Education to day. http://oecdeducationtoday. blogspot. com/2013/01/creativity-inschools-what-countries-do. Html. Diakses 15 Juli 2014
32