Bagian Pertama
Sebuah Pengantar
A. Pentingnya Bicara Perubahan Iklim, Pengelolaan Sumber Daya Lokal dalam Perspektif Kesehatan Pluralisme dan Keadilan Jender Isu perubahan iklim, pengelolaan sumber daya lokal dalam perspektif kesehatan dan HIV/AIDS (Human Immunodef iciency Virus/ Acquired Immunodef iciency Syndromes) pluralisme, dan keadilan jender dipahami sebagai bersifat lintas sektoral (cross cutting). Dia bersentuhan di hampir setiap sektor kehidupan manusia khususnya kelompok marginal atau masyarakat akar rumput. Berbagai bencana yang terjadi akibat situasi perubahan iklim ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah bencana alam biasa karena faktor alam. Melainkan sebuah bencana ekologis yang disebabkan oleh mekanisme kebijakan politik ekonomi global yang berbasis pada paradigma industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam —melalui berbagai campur tangan perusahan transnasional maupun lembaga keuangan internasional. Sampai saat ini, arah kebijakan pembangunan di Indonesia masih bertumpu pada paradigma pembangunan yang Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
1
mengandalkan investasi asing untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Mening-katnya laju kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan seolahseolah dilindungi dan dilegalisasi melalui berbagai perundangundangan negara antara lain melalui UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Mineral dan Batu Bara, UU Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No. 22 Tahun 2002 tentang dan Gas Bumi serta Perpu No.19 Tahun 2002 tentang Kehutanan. Kondisi di atas, ditambah dengan minimnya kebijakan yang menjamin dan melindungi hak-hak rakyat mengakibatkan hilangnya kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam mereka. Berbagai dampak dari perubahan iklim paling dirasakan oleh masyarakat akar rumput, terutama perempuan, dimana mereka semakin sulit dalam mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumbersumber penghidupan. Pada situasi iklim ekstrim yang mengakibatkan situasi kekeringan, banjir, longsor, angin topan, ombak tinggi, abrasi pantai dan naiknya permukaan air laut secara langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat akar rumput yang sangat tergantung dengan kondisi alam. Tidak hanya itu, perubahan iklim juga memaksa masyarakat khususnya perempuan untuk melakukan migrasi, dikarenakan mereka tidak dapat memiliki akses mengolah sumber daya alam disekitar mereka atau bahkan sumber-sumber penghasilan mereka dari alam sudah mulai hilang. Tidak dapat diabaikan adalah cara pandang masyarakat yang melihat bencana melalui perspektif moralitas masyarakat. Misalnya, bencana Tsunami di Aceh tahun 2004 dimana aktor fundamentalis agama di Aceh berpendapat bahwa bencana tersebut merupakan kutukan Tuhan akibat perempuan tidak 2
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
menutup auratnya dengan benar. Pandangan ini melahirkan reaksi destruktif dalam penanganan bencana paska Tsunami Aceh oleh aktor fundamentalis agama dan aparat penegak hukum Syariah. Mereka pun menjadi semakin leluasa mengeluarkan berbagai kebijakan Syari’at yang secara nyata mendiskriminasi dan mengontrol tubuh, pikiran, mobilitas dan kehidupan perempuan Aceh serta keberagaman dalam bermasyarakat dan berbangsa. Di balik kekeliruan pola pembangunan dan carut marut legislasi Indonesia, sesungguhnya tatanan sosial kapital masyarakat masih cukup kuat. Hal itu bisa dilihat dengan banyaknya gerakan masyarakat akar rumput yang kritis dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Namun sayangnya bahwa sosial kapital dan daya kritis masyarakat tersebut dianggap sebagai sebuah ancaman bagi negara. Maka reaksi negara yang bisa kita lihat adalah upaya memasung kemampuan kritis tersebut dengan mengeluarkan kebijakan bagaimana membatasi akses masyarakat sipil untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Misalnya, Permendagri No.38 Tahun 2008, RUU Ormas dan RUU Rahasia Negara. Selain itu, negara juga telah mengekang keberagaman dalam masyarakat, mengontrol hak-hak otonomi tubuh perempuan dengan dikeluarkannya UU Pornograf i. UU Pornograf i yang dalam banyak kasus telah mengkriminalisasi perempuan serta melanggar nilai-nilai pluralitas masyarakat yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Arah kebijakan pemerintah Indonesia makin mengarah ke neoliberalisme bahkan memperlihatkan tendensi menguatkan sistem otoritarianisme yang patriarkis. Hal ini telah melenceng jauh dari semangat konstitusi negara, kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melembagakan demokrasi dan Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
3
memajukan kesejahteraan rakyat. Parahnya, bahwa kebijakankebijakan tersebut justru melemahkan sistem sosial dalam masyarakat dan melemahkan keberdayaan dan sumberdaya lokal masyarakat yang telah diinisiasi secara kolektif oleh masyarakat, bahkan secara sistematis menghilangkan makna kedaulatan rakyat. B. Persiapan Temu Nasional Respon terhadap isu tersebut di atas telah lama ditangani oleh beberapa partner EED (Evangelischer Entwicklungsdienst e.V.), dan mulai menjadi pergulatan pemikiran di antara para partner EED baik pada tataran wacana maupun dalam kerjakerja partner EED di Indonesia. Berawal dari pertemuan Konsultasi Partner November 2008 di Berastagi, tercetus keinginan untuk memunculkan pergulatan pemikiran diantaranya isu perubahan iklim, kesehatan dan HIV/AIDS, keadilan jender, pluralisme dan pengelolaan sumber daya lokal sebagai isu-isu yang diangkat bersama untuk mengembangkan jejaring dan penggalangan dukungan kerjasama diantara partner. Oleh karena itu, tanggal 9-11 November 2009, partner EED dan masyarakat dampingan/CBO (Community Based Organization) di Indonesia terlibat di dalam sebuah kegiatan Temu Nasional bertemakan Perubahan Iklim, Kesehatan dan HIV/AIDS dalam Perspektif Keadilan Jender, Pluralisme dan Pengelolaan Sumber Daya Lokal. Dewan Koordinator (DK) yang berperan dalam mengembangkan isu-isu bersama partner EED telah melakukan upayaupaya untuk menjawab kepentingan pengembangan jaringan partner EED untuk saling belajar atas perspektif isu bersama dan pengalaman praktis masing-masing partner. DK juga 4
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
menindaklanjuti adanya keinginan untuk menggalang dukungan advokasi bagi kepentingan masyarakat marjinal untuk memberi masukan pada kebijakan nasional dan global untuk sensitif terhadap isu perubahan iklim, kesehatan dan HIV/AIDS dalam perspektif keadilan jender, pluralisme dan pengelolaan sumber daya lokal. Temu Nasional tersebut merupakan sebuah upaya mengembangkan ruang bagi keterlibatan CBO dan masyarakat dampingan dalam berbagi pengalaman berkaitan dengan persoalan dan upaya masyarakat dalam mengatasi isu-isu yang berdampak pada kehidupan komunitas dengan mulai saling berbagi informasi dan dukungan advokasi diantara lembaga partner EED untuk membangun jejaring advokasi, informasi atau pembelajaran praktis yang lebih luas antar sektoral. Secara umum, tujuan Temu Nasional ini adalah sebagai berikut: •
Menguatkan pemahaman isu mitra EED di Indonesia dalam respon atas perubahan iklim, kesehatan dan HIV/AIDS dalam perspektif keadilan jender, pluralisme dan pengelolaan sumber daya lokal. • Menguatkan kampanye dan advokasi kebijakan terhadap pemerintah atas respon terhadap perubahan iklim, kesehatan dan HIV/AIDS dalam perspektif keadilan jender, pluralisme dan pengelolaan sumber daya lokal. • Berbagai pembelajaran bersama antar mitra EED dan komunitas atas respon dampak perubahan iklim, kesehatan dan HIV-AIDS dalam perspektif keadilan jender, pluralisme dan pengelolaan sumber daya lokal. Ada harapan bahwa Temu Nasional ini dapat meningkatkan pemahaman dan kapasitas mengenai isu perubahan iklim, demokratisasi, pengembangan pedesaan, jender, serta kesehatan dan HIV/AIDS sehingga dapat ditangani dengan lebih baik diantara partner EED. Peningkatan pemahaman Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
5
sebagai ruang bagi partner EED untuk dapat mendorong upaya kampanye dan desakan kebijakan kepada pemerintah Indonesia. Proses yang menarik dalam pertemuan ini bahwa telah terjadi proses interaksi dan pertukaran pengalaman, pemahaman dan pertukaran pembelajaran antar aktivis dan komunitas dampingan partner EED di Indonesia, mampu meningkatkan dukungan dan kerjasama antar partner khususnya dalam pengembangan jaringan advokasi dan jaringan kerja komunitas. Pertemuan Konsultasi Partner EED bulan November 2008 di Berastagi telah mengintegrasikan pemahaman dengan mengangkat isu perubahan iklim, kesehatan dan HIV/AIDS dengan perspektif keadilan jender, pluralisme dan pengelolaan sumber daya lokal sebagai sebuah cross cutting issue yang bersentuhan di setiap sektor kehidupan manusia. Dewan Koordinator (DK) pun berdasarkan pada mandatnya berupaya mengembangkan pokok pikiran isu tersebut di atas. Upaya DK merespon isu tersebut dengan melakukan koordinasi bersama dengan InSuFa (Indonesia Support Facility) dalam persiapan kegiatan untuk mengembangkan konsep, pendekatan dan kepanitiaan Temu Nasional. Kemudian dilanjutkan dengan rapat koordinasi dengan panitia pelaksana untuk memastikan pelaksanaan Temu Nasional partner EED. Kegiatan Temu Nasional selama 3 hari di Wisma Hijau telah menghadirkan peserta sebanyak 160 orang dari 31 organisasi partner EED dan CBO di seluruh Indonesia. C. Pendekatan Temu Nasional Berbagai pendekatan kegiatan yang lakukan selama berlangsungnya proses Temu Nasional, sebagai berikut:
6
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Diskusi Pojok dan Pertukaran Pengalaman Pendekatan diskusi pojok terfokus terhadap isu-isu tertentu dengan menciptakan ruang pertukaran pengalaman partner dan antar komunitas yang telah melahirkan rumusan terhadap isu-isu yang ditangani disertai pengalaman dari masing-masing basis komunitas. Beragam topik isu dan pengalaman partner dan komunitas yang dibahas dalam diskusi pojok, adalah sebagai berikut: •
Respon Civil Society atas Undang-Undang, dimaksudkan untuk mengkritisi peran pemerintah dan parlemen sebagai pembuat UU, apa implikasi UU tersebut terhadap masyarakat dan bagaimana sikap masyarakat sipil terhadap implikasi UU tersebut. Beberapa Undang-Undang yang didiskusikan adalah (a) UU Penanaman Modal (UUPM), (b) RUU Ormas (Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat) dan Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) No.38, (c) UU Pokok Agraria, (d) UU Yayasan, (e) UU Pornograf i, (f ) RUU Rahasia Negara dan (g) UU
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
7
•
•
•
8
Kesehatan. Dalam diskusi pojok tersebut, narasumber memaparkan isi Undang-Undang yang berimplikasi negatif terhadap kehidupan masyarakat terutama perempuan serta menyampaikan strategi serta gerakan yang telah dilakukan dalam merespon Undang-Undang tersebut. Perubahan Iklim, Pengembangan Pedesaan dan Keadilan Jender. Diskusi kelompok kecil ini sebagai ruang berbagi penge-tahuan dan pengalaman komunitas dari kelompok sektor pegembangan pedesaan melalui 5 (lima) sesi diskusi, yaitu: (a) Keahlian Pengorganisasian yang Partisipatif dengan Pendekatan Hak Asasi Manusia, Kearifan Lokal dengan Perspektif Jender, (b) Keahlian dalam TeknikTeknik Pembuatan Sarana dan Produksi, (c) Pengenalan Teknologi Alternatif Berbasis Pengetahuan Lokal Komunitas, (d) Pengembangan Pedesaan dalam Perspektif Jender, dan (e) Media Komunikasi dalam Pengembangan Pedesaan. Pada diskusi ini narasumbernya berasal dari kelompok dampingan komunitas dan pendamping kelompok. Perubahan Iklim, Pluralisme dan Keadilan Jender, diskusi ini melibatkan nasumber dari masing-masing sektor keadilan jender, sektor demokratisasi dan sektor pengembangan pedesaan yang membahas tentang: (a) Peran media dalam menghadapi radikalisme dan multikulturalisme agama dan perubahan iklim, (b) Inisiatif perempuan menghadapi politisasi agama, (c) Peran agama dalam perubahan iklim dengan perspektif pluralisme. Sesi ini menghadirkan narasumber dari masing-masing kelompok sektoral tersebut di atas. Perubahan Iklim, Kesehatan dan Pengobatan Tradisional, diskusi ini melibatkan narasumber dari sektor kesehatan, Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
sektor pengembangan pedesaan dan sektor keadilan jender untuk membahas topik isu sebagai berikut: (a) Kesehatan Ibu dan anak serta resiko perubahan iklim, penyakit menular, penyakit baru dan degeneratif, (b) Obat tradisional dan pengurangan resiko perubahan, (c) Implikasi perubahan iklim terhadap kesehatan lingkungan, air dan sanitasi, (d) Kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS, serta (e) Hak hak perempuan atas kesehatan. Forum Diskusi Pleno Diskusi pleno dilakukan pada akhir sesi kegiatan untuk menyampaikan seluruh hasil diskusi pojok yang telah dilakukan sebelumnya. Selain diskusi pleno, juga diciptakan ruang diskusi pra kondisi sebelum melakukan dialog dengan pemerintah. Selain itu juga dilakukan diskusi panel. Diskusi difokuskan pada pembahasan “Perubahan Iklim Dalam Perspektif Kesehatan, Keadilan Jender dan Pengelolaan Sumber Daya Lokal” yaitu dengan menghadirkan narasumber
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
9
untuk memperkuat pemahaman terkait isu perubahan iklim dan jender. Keseluruhan proses dan rekomendasi diskusi pojok atau kelompok kecil maupun diskusi paralel sebagai materi Deklarasi Masyarakat Sipil yang dirumuskan oleh Tim Perumus dari Dewan Koordinator dan anggota Kelompok Sektor Partner EED. Pameran di Kampung Hijau Sepanjang pelaksanaan kegiatan, dilakukan pameran dari 13 organisasi partner EED. Pameran menampilkan produkproduk alternatif yang dikembangkan oleh masyarakat dampingan dalam menghadapi perubahan iklim. Karenanya, pameran ini dikoordinir langsung oleh masyarakat sekaligus sebagai tempat untuk mereka berbagi informasi dan pengalaman terhadap produk tesebut. Beragam produk yang ditampilkan, antara lain makanan olahan hasil kelompok,
10
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
benda-benda khas dari berbagai daerah. Juga menampilkan produk lembaga misalnya: t-shirt, buku dengan beragam isuisu yang relevan dengan tema pengembangan pedesaan, kesehatan dan perubahan iklim, isu buku pluralisme, jender, demokrasi, dan lain-lain. Publikasi buku tersebut sebagai bentuk sharing informasi pengalaman masyarakat terhadap peserta lainnya yang membutuhkan informasi. Juga terdapat pameran produk-produk kesehatan seperti pengobatan tradisional atau alternatif. Lainnya adalah kegiatan berbagi keterampilan dan pengalaman langsung melalui praktek pengobatan alternatif, misalnya akupresure bagi peserta yang mengunjungi stand pameran tersebut. Selain berbagi pengalaman praktis, produk pameran yang ditampilkan secara umum ingin menyampaikan pesan bahwa masyarakat dapat menghasilkan sesuatu dengan pengelolaan sumber daya lokal masyarakat untuk pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di sekitar mereka secara arif dan bermanfaat secara sosial, ekonomi dan kesehatan. Aksi Langsung dan Konferensi Pers Upaya melakukan dialog dengan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Dialog dimaksudkan untuk menyampaikan pandangan masyarakat sipil atas isuisu yang dibahas dalam Temu Nasional, sekaligus untuk masyarakat berdialog langsung terkait bagaimana pandangan hak konstitusi warga negara dan kapasitas sumber daya lokal dalam mengatasi perubahan iklim. Namun dialog dengan DNPI gagal dilakukan tanpa penjelasan yang berarti dari pihak DNPI. Pada saat yang bersamaan dilakukan aksi pagelaran budaya yang memuat pesan-pesan kampanye. Masyarakat sipil melakukan Konferensi Pers dan Pembacaan Deklarasi Nasional Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
11
Partner terkait respon atas Perubahan Iklim, Kesehatan dan HIV-AIDS dalam Perspektif Keadilan Jender, Pluralisme dan Pengelolaan Sumber Daya Lokal. Deklarasi ini ditujukan untuk menyampaikan sikap partner EED kepada pemerintah terkait dengan isu-isu lokal, nasional dan global yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Juga menggalang dukungan advokasi kerja-kerja NGO untuk memiliki perspektif yang sama terhadap dampak kebijakan pembangunan di masyarakat.
12
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Bagian Kedua
Tidak Ada Keadilan Iklim Tanpa Keadilan Jender
A. Perubahan Iklim: Sebuah Pengantar Wacana tentang perubahan iklim 5 tahun terakhir ini santer diperbincangkan di berbagai kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat sipil. Akan tetapi, sedikit masyarakat terutama perempuan akar rumput yang mengetahui apa itu perubahan iklim, dan dampaknya terhadap kehidupan perempuan, baik perempuan miskin kota, petani, nelayan dan perempuan adat. Perubahan iklim merupakan berubahnya kondisi f isik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2001). Perubahan kondisi f isik tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
13
tidak terjadi dengan tiba-tiba. IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya 1 dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan. Pemanasan global merupakan penyebab terjadinya perubahan iklim, dimana sebagian belahan dunia mengalami peningkatan suhu udara, akan tetapi di belahan lain terjadi penurunan suhu udara. Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Emisi gas rumah kaca dapat berasal dari berbagai aktivitas, seperti pertambangan, kebakaran dan penebangan hutan, pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga air maupun batu bara, pembangunan infrastruktur dan industri peternakan dalam skala besar serta lainnya. Indonesia merupakan negara ketiga setelah China dan Amerika yang menyumbang emisi terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia melakukan berbagai aktivitas yang menyumbang emisi terbesar seperti sekor industri skala besar. Padahal pada COP 13 di Bali 2007 dan pada COP 15 di Copenhagen, Denmark 2009, Indonesia berkomitmen dalam mengurangi emisi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi hingga 26% hingga tahun 2020. Akan tetapi, jika dilihat dari aktivitas yang diprogramkan pemerintah, penurunan emisi tersebut akan sulit terjadi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan kita terkait dengan kebijakan negara Indonesia yang berpeluang berkontribusi terhadap percepatan pemanasan global. Sebut saja UU No.4 14
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
tahun 2009 tentang mineral dan batu bara, dimana kebijakan ini memberikan peluang terhadap eksploitasi tambang mineral dan batu bara. Saat ini Indonesia merupakan negara nomor dua pengekspor terbesar batu bara di Asia Tenggara. Batu bara merupakan bahan bakar fosil yang menjadi salah satu penyebab dari pemanasan global. Tidak hanya itu, produksi batu bara yang dihasilkan ternyata tidak membuat masyarakat pada umumnya dan perempuan pada khususnya, bertambah sejahtera, Sebaliknya produksi batu bara berbanding lurus dengan kemiskinan yang terjadi. Batu bara yang dihasilkan bukan untuk konsumsi dalam negeri, akan tetapi menjadi konsumsi bagi negara-negara maju. Selain itu kebijakan REDD (Reducing Emission f rom Deforestation and Land Degradation) atau biasa disebut skema pencegahan deforestasi, ternyata bukan solusi dalam mengurangi emisi, malah sebaliknya. Kebijakan tersebut semakin membuat masyarakat termasuk perempuan terutama perempuan adat terpinggirkan dari akses sumber-sumber kehidupan. Terkait dengan pengurangan emisi menggunakan energi bersih, perkebunan kelapa sawit skala besar hadir untuk menjawab alternatif bahan bakar pengganti fosil, akan tetapi ini menjadi ‘proyek’ baru bagi para pemilik modal. Dengan ‘dalih’ terlibat dalam mengurangi emisi, para pemilik modal membuka perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar tanpa melihat hak serta keselamatan masyarakat yang ada di sekitar wilayah tersebut. Data Sawit Watch menyebutkan kehadiran perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menimbulkan lebih dari 630 kasus sengketa tanah yang sampai hari ini belum terselesaikan. Dari beberapa laporan menyebutkan beberapa dampak Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
15
perubahan iklim yang mulai dapat dirasakan oleh masyarakat, yaitu: •
•
• •
• •
16
Peningkatan suhu sedang – sejak tahun 1990, suhu ratarata tahunan lebih meningkat sekitar 0.3 derajat celcius pada seluruh musim. Peningkatan intensitas curah hujan per tahun diperkirakan meningkat 2-3% di seluruh Indonesia, yang berdampak pada meningkatnya resiko banjir secara signif ikan. Ancaman terhadap keamanan pangan sebagai akibat perubahan iklim pada bidang pertanian. Naiknya permukaan air laut – ini akan menggenangi daerah produktif pantai, mempengaruhi pertanian dan penghidupan pantai, termasuk pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung. Bertambahnya suhu air laut juga berpengaruhi terhadap keanekaragaman hayati serta mengancam terumbu karang. Bermunculnya penyakit-penyakit yang berkembang biak lewat air seperti malaria dan demam berdarah.
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Dampak-dampak di atas yang ditimbulkan akibat perubahan iklim yang akan semakin diperparah dengan adanya kebijakan yang berpeluang meningkatkan dampak tersebut, seperti kebijakan pemerintah untuk program REDD, dimana pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar berpotensi untuk terjadinya banjir, tanah longsor dan banjir bandang. Saat ini hampir setiap hari berita tentang banjir, tanah longsor, gempa, tsunami, serta angin puting beliung kita dengar. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadikan pemerintah mengkaji ulang kebijakannya untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Bahkan negara pun belum memiliki kemauan politik untuk mengembangkan strategi atau skema dalam melindungi keselamatan masyarakat, khususnya perempuan dan kelompok marginal lainnya ketika terjadi bencana-bencana tersebut. B. Tantangan Perempuan dalam Menghadapi Perubahan Iklim Perubahan Iklim memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan perempuan yang tinggal pada ekologi yang beragam. Perubahan iklim merubah ketersediaan sumber air, mengakibatkan ketidakteraturan siklus iklim sehingga sulit untuk memperkirakan pergantian curah hujan. Selain itu, perubahan iklim juga meningkatkan terjadinya bencana ekologis, seperti banjir, kemarau, suhu panas sampai bencana gempa dan tanah longsor yang hampir terjadi setiap bulan di Indonesia. Tercatat sejak tahun 2003-2009, terjadi sebanyak 1/529 bencana di Indonesia dan lebih dari separuhnya (63.3%) merupakan bencana iklim seperti banjiir, longsor, angin topan dan abrasi pantai. Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
17
Perempuan Nelayan —yang sangat bergantung pada kondisi dan cuaca alam— mengalami dampak besar dari perubahan iklim. Nelayan menjadi sulit melaut karena cuaca sulit diprediksi. Rute migrasi ikan yang berpindah-pindah menyebabkan hasil dan jumlah tangkapan tidak menentu dan penghasilan menurun. Hal ini semakin meningkatkan beban Perempuan demi menjaga ekonomi keluarga. Perempuan nelayan saat ini melakukan pekerjaan lain mencari kepiting dan ikan, budidaya udang/rumput laut, menjual ikan, mengolah kerang hijau dan ikan asap/kering. Perubahan iklim secara nyata mempengaruhi petani perempuan dan perempuan yang tinggal di wilayah pedesaan pada umumnya. Berikut beberapa pernyataan dari perempuanperempuan akar rumput: “Perubahan iklim mengakibatkan produksi tanaman padi dan sayuran saya menurun karena curah hujan dan kemarau, saat ini kami tidak bisa memastikan musim 18
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
tanam. Sekarang saya sulit memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan dan pendidikan anak saya” Ibu Daeng Bao, Perempuan Petani , Sulawesi Selatan. “Akhir-akhir ini kami sering mengalami curah hujan yang sulit diperkirakan, banjir dan kekeringan, banyak hama, akibatnya kami sering gagal panen. Banyak perempuan di daerah kami mulai mencari naf kah tambahan dengan mencari kayu bakar di gunung untuk dijual, tapi penghasilannya tidak cukup. Akhirnya perempuan memilih migrasi dan menjadi migrant worker.” Ibu Merry, Lombok Barat. “Sejak 10 tahun terakhir air sungai kami makin menurun dan sumur mengering. Saya sulit mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya dan keluarga” Ibu Atisah, Jogjakarta. Perubahan iklim menyebabkan perempuan kesulitan memperoleh air bersih, harus bekerja dua kali lebih keras dari biasanya di lahan pertanian. Meningkatnya gagal panen juga menyebabkan perempuan kesulitan menyediakan bahan pangan yang berkualitas bagi dirinya dan keluarganya. Perempuan pedesaan dan atau perempuan adat misalnya, menghadapi beragam persoalan, khususnya pengakuan hak atas tanah, berkurangnya sumber-sumber air, serta semakin berkurangnya sumber makanan dan obat-obatan dari hutan, dan bahkan ancaman hilangnya sumber-sumber kehidupan mereka dari hutan secara sistematis karena adanya proyek REDD (Reducing Emission From Deforestation and Land Degradation), yang berpotensi justru meningkatkan Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
19
ketidakadilan gender. Belum dibangun adanya sistem keterbukaan informasi terhadap masyarakat, proses keterlibatan perempuan dan masayarakat dalam pengambilan keputusan terhadap keberadaan proyek tersebut mulai dari persiapan proyek sampai evaluasi dan monitoring proyek. Termasuk bagaimana proses konsultasi dengan masyarakat setempat, termasuk sistem perlindungan terhadap perempuan, masyarakat yang tinggal dan hidup sekitar proyek, dan masayarakat adat dari ancaman penggusuran, dan kerusakan lingkungan yang akan berpotensi berdampak terhadap sumber-sumber kehidupan mereka. Dampak lain yang cukup besar yang dialami perempuan akibat perubahan iklim adalah mengenai permasalahan kesehatan. Perubahan pola musim kemarau, sungai kering, gagal panen yang menyebabkan rawan pangan dan tidak tersedianya air bersih, mengakibatkan banyak perempuan dan anak-anak yang mengalami mal-nutrisi dan berujung pada
20
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
feminisasi kemiskinan. Hal ini ditambah pula dengan menurunnya ketahanan tubuh, meningkatnya populasi Vector (tanaman atau hewan pembawa virus), serta migrasi manusia dan unggas serta binatang-binatang lainnya yang menyebabkan, merebaknya penyakit menular. Mengenai dampak besar perubahan iklim terhadap kehidupan perempuan juga telah diakui oleh UNFCCC, di dalam laporan IPCC tahun 2007 yang menyebutkan bahwa: “Perempuan berada dalam posisi ekonomi terlemah. Karenanya rentan terhadap perubahan iklim. Kapasitas lemah dan dalam melakukan adaptasi cenderung bergantung pada iklim dan sangat sensitif terhadap hilangnya sumbersumber kehidupan. Misalnya air dan persedian makanan.” Meskipun demikian, perlu dipahami dan dianalisa secara kritis berbasis pengalaman perempuan menghadapi perubahan iklim, Perempuan tidak hanya sebagai kelompok rentan/ korban yang mengalami dampak, tetapi juga mempunyai pengetahuan lokal, kemampuan bertahan dan inisiatif untuk berkontribusi dalam proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan keberlanjutan mengelola sumber daya alam dan agraria. Perempuan adat dan perempuan pedesaan memelihara dan menjaga alam yang dapat berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Perempuan dapat mengelola alam sebagai sumber kehidupan secara arif dan konsisten untuk menjamin keberlangsungan hidupnya, keluarga dan komunitasnya. Misalnya saja, mencari kayu bakar, mengelola obat-obatan tradisional, memelihara sumber air, mengelola ikan dan hutan mangrove. Inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh kelompok perempuan dalam mendorong keterlibatan perempuan dalam proses Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
21
adaptasi, mitigasi dan negosiasi perubahan iklim telah menghasilkan beberapa kerja yang cukup signif ikan. Setidaknya, di dalam rapat kelompok kerja Ad-Hoc Perubahan Iklim, UNFCCC memposisikan kelompok perempuan sebagai salah satu konstituen UNFCCC. Kelompok perempuan juga mendorong pemenuhan hak-hak perempuan dituliskan secara eksplisit di dalam teks negosiasi perubahan iklim di UNFCCC, tepatnya di teks Shared V ision AWG – LCA. Hak-hak perempuan tersebut sebenarnya diatur secara jelas di dalam beberapa kovenan-kovenan internasional yang sudah diratif ikasi pemerintah Indonesia. Misalnya saja dalam Konvensi CEDAW yang telah diratif ikasi pemerintah melalui UU No.7 Tahun 1980 mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Artinya, pemerintah seharusnya mempunyai komitmen dan tanggung jawab untuk memastikan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam mengelola sumber-sumber kehidupan perempuan dan masarakat miskin. Selain itu, pemerintah juga dinilai penting untuk menciptakan mekanisme yang mendukung kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam pemerintahan bagi seluruh aktivitas komunitas, serta menyediakan sumber-sumber daya yang memadai yang dapat memastikan partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam setiap pengambilan keputusan pada area mikro, meso dan makro bahkan pada semua level pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, lingkungan termasuk isu perubahan iklim. Beberapa rekomendasi dan desakan perempuan dalam isu perubahan iklim, antara lain adalah sebagai berikut: •
22
Pentingnya pengakuan pengalaman dan pengetahuan perempuan dalam membangun daya lenting komunitas terhadap perubahan iklim. Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
•
•
•
•
Usaha-usaha adaptasi dan mitigasi perubahan iklim antara Negara Utara dan Negara Selatan harus didasari oleh sejarah hutang ekologis, tidak menggunakan skema hutang dan tidak didanai oleh lembaga keuangan internasional. Menolak bentuk-bentuk perdagangan carbon (carbon offset) dan bentuk-bentuk clean development mechanism yang berorientasi pada pasar dan mengabaikan hak-hak perempuan dan mayarakat secara keseluruhan yang mengancam hilangnya sumber daya lokal masyarakat. Mendorong dilakukannya riset aksi untuk mengidentif ikasi dampak terhadap perempuan beserta inisiatif perempuan dalam adaptasi perubahan iklim yang terjadi di beragam ekologi. Meningkatkan kapasitas dan merubah pola hidup masyarakat agar berkontribusi dalam proses adaptasi dan mitigasi melalui pengelolaan keberlanjutan sumber daya alam dan agrarian. Pengurangan pemakaian energi berlebihan, pengelolaan air bersih, tanaman obat herbal berbasis sumber daya lokal, dan lain-lain.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
23
24
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Bagian Ketiga
Menilik Carut Marutnya Perundang-undangan Indonesia
Pengantar Makna pembukaan UUD 1945 yang tercantum jelas mengenai bagaimana kewajiban negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, justru kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia saat ini lebih banyak menganut paham liberalisasi dan tidak memiliki perspektif perlindungan terhadap hak-hak rakyat. Disahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, semakin membuktikan adanya perlindungan negara atas kepentingan pemilik modal karena Indonesia ditempatkan sebagai penyedia bahan mentah, tenaga kerja atau buruh murah. Dengan demikian, pemerintah Indonesia justru memperlebar kesenjangan akses sumber ekonomi rakyat, mengabaikan keadilan distributif bagi pendapatan dan hakhak rakyat untuk pengelolaan sumber daya alam, dan penyediaan pelayanan publik. Liberalisasi di sektor kesehatan dapat dibuktikan dengan disahkannya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU ini sebenarnya lebih melindungi rezim medis daripada hakhak rakyat atas kesehatan. Negara mengalihkan tanggungCatatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
25
jawabnya untuk mewujudkan ’Indonesia Sehat 2010’ kepada pihak swasta dalam rangka menyusun agenda komersialisasi di bidang kesehatan namun dengan kualitas kontrol yang amat terbatas. Kehadiran UU ini belum dapat dirasakan sebagai jalan keluar atas segala persoalan yang timbul akibat manajemen dan pelayan medis yang tidak memadai dan tidak berpihak pada hak rakyat. Banyaknya respon masyarakat sipil atas UU yang mengabaikan hak-hak rakyat, dianggap suatu ancaman bagi negara. Maka dikeluarkanlah kebijakan yang membatasi akses masyarakat sipil untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan seperti Permendagri No.38 Tahun 2008, RUU Ormas dan RUU Rahasia Negara yang meminggirkan kedaulatan rakyat. Lebih jauh lagi, negara telah mengontrol hak-hak otonomi tubuh perempuan dan keberagaman dalam masyarakat dengan mengeluarkan UU Pornograf i yang telah memproduksi kekerasan dalam masyarakat dan bahkan berpotensi mengkriminalisasi perempuan serta melangggar nilai-nilai pluralisme. 26
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Sedangkan kebijakan yang dinilai dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat seperti UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, secara sengaja diselewengkan dan dilemahkan oleh aktor-aktor yang merasa kekuasaannya terancam dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang mencerabut hak-hak rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Sebagai contoh misalnya UU Migas, UU Minerba, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal dan UU Sumber Daya Air. Selain itu, banyak sekali ditemukan produk-produk perundang-undangan di Indonesia yang secara sistematis bisa dinilai sengaja dibuat tumpang tindih di Indonesia, antara lain adalah UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 dengan UU Sumber Daya Air dan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU Pornograf i dengan UU No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Penanaman Modal dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Kombinasi antara kekeliruan pembangunan dan kebijakan yang tidak memberikan jaminan perlindungan hak masyarakat, telah melahirkan kasus-kasus konflik sumber daya alam yang terjadi di daerah, menghambat inisiatif-inisiatif pemberdayaan yang mulai dilakukan masyarakat, mengakibatkan migrasi tenaga kerja, menyebarkan ancaman-ancaman ekologis, turunnya resiliansi masyarakat, berujung pada situasi kemiskinan ekstrim. A. UU Penanaman Modal Kehadiran UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (PM) yang disahkan pada tanggal 29 Maret 2007 menggantikan UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
27
dan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Beberapa poin prinsipil yang diangkat menjadi masalah utama adalah UU ini semakin meningkatkan dominasi dan eksploitasi modal asing dalam investasi dan perdagangan dengan melakukan liberalisasi di semua sektor. Berbasis paradigma pertumbuhan yang menempatkan investasi sebagai penopang pertumbuhan ekonomi, UUPM ini secara jelas melindungi kepentingan pemilik modal dengan memberikan kemudahan berbagai jenis pajak bagi pemodal, menempatkan Indonesia sebagai penyedia bahan mentah dan tenaga kerja atau buruh murah, melegitimasi investor – baik dalam maupun luar negeri – untuk melakukan peralihan aset ke luar negeri, serta membuka lebar liberalisasi tenaga kerja asing yang kemudian mengancam peluang tenaga kerja untuk bekerja di dalam negeri. Beberapa pasal di dalam UUPM menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan cara diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun, dan dapat diperbaharui selama 35 tahun. Sehingga, jika dijumlah bisa mencapai 95 tahun sekaligus. Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan untuk jangka waktu 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbaharui selama 30 tahun. Sedangkan Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbaharui selama 25 tahun. Dominasi penguasaan koorporasi asing dalam penguasaan sumber daya alam dan sumber-sumber kehidupan rakyat kemudian berpotensi memicu tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), kemiskinan serta penghancuran lingkungan hidup. Selain itu, beberapa hak-hak konstitusi rakyat Indonesia yang dilanggar oleh UUPM ini antara lain adalah pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi 28
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), hak pengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28c, ayat 1), hak untuk mendapatkan pendidikan (pasal 31, ayat 1 dan 2), hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan (pasal 28H ayat 1), hak untuk mendapatkan jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (pasal 28H ayat 3), serta hak untuk mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (pasal 34 ayat 3). Beberapa poin-poin penting hasil diskusi antara laint: •
• •
• •
Semestinya ada gerakan kolektif masyarakat untuk menolak pemberlakuan UUPM dan menuntut lahirnya sebuah UU yang lebih bersifat kerakyatan, pro-lingkungan hidup dan melindungi HAM. Selanjutnya menyusun barisan civil society yang disiplin, jelas targetnya melalui kegiatan advokasi dan pengorganisasian akar rumput yang dilakukan secara berkesinambungan. Mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang (me-review) UU yang berimplikasi terhadap hak-hak rakyat. Menggunakan celah pembelaan hak-hak rakyat terkait lingkungan dan sumber daya melalui UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. UUPPLH (UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup) memberikan keuntungan kepada masyarakat karena mengakui hak veto rakyat dan menindaklanjuti AMDAL yang selama ini hanya bersifat administratif. Memperkuat grassroot dengan pemahaman terhadap UU dan mengetahui hak-haknya. Menarik media untuk mengekspos isu-isu terkait dengan kerugian masyarakat akibat UU tersebut.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
29
B. UU Ormas dan Permendagri No. 38 Tahun 2008 Peraturan mengenai organisasi masyarakat (Ormas) diperundangkan dalam UU No. 8 Tahun 1985 serta PP No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU Ormas. UU Ormas ini direncanakan akan direvisi, namun Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dinilai gagal memasukkan agenda revisi UU Ormas ke dalam Prioritas Legislasi Tahunan (Prolegnas) 2008, sehingga pemerintah mensahkan Permendagri No. 38 Tahun 2008. Perbandingan def inisi Ormas menurut UU Ormas dan Permendagri No. 38 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: Undang Undang Ormas
Permendagri No. 38/2008
Organisasi dibentuk secara sukarela
Sama
Asas Pancasila dan tujuan pembangunan
Berdasarkan keanggotaan (membership based organisasian)
Memiliki kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Sama
Dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia
Bukan bentukan pemerintah
Pengecualiaan: organisasi atau perhimpunan yang dibentuk pemerintah serta organisasi atau perhimpunan yang bergerak dalam bidang perekonomian seperti Koperasi, Perseroan Terbatas, dll
Tidak bergerak di bidang perekonomian (bukan badan usaha)
30
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Terdapat dua jenis badan hukum untuk bidang sosial di Indonesia, yaitu: •
Organisasi berdasarkan keanggotaan dan perkumpulan (verenging), diatur dalam Sth. 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Badan Hukum (Rochtpersoonlijkheid ban Verenegingen). Terdapat dua jenis perkumpulan, yaitu: (1) Perkumpulan dalam arti luas, yaitu yang merupakan asal dari semua persekutuan misalnya Firma, CV, PT, Koperasi, dll, serta (2) Perkumpulan dalam arti sempit, yaitu perkumpulan yang tidak termasuk dalam bidang hukum dagang dan sifatnya non-prof it. • Organisasi tanpa anggota: Yayasan (Stichtung) diatur dalam UU. No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. UU Yayasan ini menjadi UU payung bagi semua jenis yayasan, mulai dari yayasan mesjid-mesjid atau pesantren di kampung hingga yayasan militer yang melakukan bisnis atau usaha. UU Ormas dan Permendagri No. 38/2008 mengatur mengenai Ormas dan penerimaan bantuan dari pihak asing. Pasal-pasal yang mengatur hal ini dalam Permendagri No. 38 Tahun 2008 antara lain adalah:
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
31
Pasal
Ketentuan
Pasal 7
Untuk dapat menerima bantuan dari pihak asing, Ormas harus terdaftar di Departemen Dalam Negeri, instansi pemerintah lainnya atau pemerintah daerah
Pasal 10
Ormas yang akan menerima bantuan asing secara langsung wajib melaporkan rencana penerimaan bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
Pasal 18
Ormas yang menerima bantuan dengan cara tidak langsung melalui penerusan dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional wajib melaporkan rencana penerimaan bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
Pasal 32
Ormas yang akan memberikan bantuan kepada pihak asing harus mendapat persetujuan pemerintah
Pasal 33 ayat 1
Untuk dapat memberi bantuan kepada pihak asing, Ormas harus terdaftar di Departemen Dalam Negeri, instansi pemerintah lainnya atau pemerintah daerah.
Pasal 33 ayat 2
Bantuan kepada pihak asing hanya dapat diberikan kepada penerima bantuan di negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan negara Republik Indonesia
Pasal 35
Ormas yang akan memberikan bantuan dengan cara langsung ke pihak asing wajib melaporkan rencana pemberian bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
Pasal 40
Mengatur aspek penyampaian informasi dari Ormas kepada masyarakat mengenai pelaksanaan penerimaan dan pemberian bantuan kepada pihak asing
Pasal 30
Penyusunan kalimat perundang-undangan dari pasal 30 ini tidak termuat satupun norma hukum di dalamnya, sehingga tidak jelas kekuatan mengikatnya
32
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Masalah utama dalam UU Ormas dan Permendagri No. 38/ 2008 ini adalah adanya tendensi pemerintah secara sengaja untuk melakukan kontrol terhadap organisasi-organisasi masyarakat yang ada di Indonesia. Beberapa masalah utama yang ada dalam UU Ormas antara lain: • •
•
•
Adanya pemaksaan asas tunggal Pancasila. Adanya doktrin “wadah tunggal” yang bertujuan mengumpulkan berbagai organisasi dengan urusan yang sama ke dalam satu “wadah yang sah” agar mudah dikontrol. Semangat represif memberantas segala bentuk perwujudan komunisme atau maxisme-lenisme serta ideologi, paham atau ajaran lain yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Memberikan kewenangan pembekuan atau pembubaran sepihak kepada pemerintah (untuk Ormas tingkat nasional perlu meminta saran dari Mahkamah Agung)—-tanpa mensyaratkan adanya suatu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap selayaknya sebuah negara hukum.
C. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan akhirnya disetujui tanggal 14 September 2009 setelah melalui proses pembahasan panjang di DPR-RI selama 7 tahun. Beberapa kelompok masyarakat sipil banyak mengharapkan UU Kesehatan yang baru tersebut dapat menjadi titik pijak bagi transformasi kesehatan di Indonesia, Namun sayang, hasilnya masih jauh dari harapan. Belum lagi di saat-saat terakhir ketika diundangkan masih juga ada tragedi “penghilangan” pasal mengenai tembakau. Kekecewaan tersebut dapat dimaklumi, mengingat bahwa potret masalah kesehatan di Indonesia yang masih suram. Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
33
Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia baru bisa menurunkan angka kematian bayi dari 46 per 1.000 tahun 1997 menjadi 34 per 1.000 tahun 2007/2008. Jika tidak ada perubahan radikal dalam regulasi dan implementasinya, diperlukan kurang lebih 20 tahun untuk menyamai Malaysia yang angka kematian bayinya hanya 8 per 1.000. Saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 420 per 100.000 kelahiran hidup. Jika benar, bukan hanya target AKI 150 per 100.000 di tahun 2010 tidak terpenuhi, tetapi justru mengalami kemerosotan tajam dari angka 307/100.000 yang menjadi data base line. Sebenarnya, ada beberapa aspek-aspek normatif yang dapat diapresiasi dari UU ini, sebagai berikut: (1) Aspek f ilosof is, f ilosof i terbitnya Undang-Undang ini menegaskan tentang pengakuan formal bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang mencerminkan dan merupakan pelaksanaan dari semangat dasar dan cita-cita konstitusional dan ideologi Bangsa Indonesia. (2) Bahwa prinsip non-diskriminasi, partisipatori dan keberlanjutan menjadi basis bagi setiap aktivitas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (3) Bahwa ada kesadaran tentang economic lost (kerugian ekonomi) yang besar bagi negara ketika warganya mengalami gangguan kesehatan sehingga komitmen untuk menjadikan kesehatan sebagai investasi, dicatat sebagai sesuatu yang harus mewarnai kebijakan pemerintah; dan (4) Bahwa UU ini lahir agar kesehatan menjadi bagian sentral dalam proses-proses pembangunan nasional. Meskipun demikian, terdapat masalah-masalah serius dalam UU Kesehatan ini yang secara langsung memformalisasi diskriminasi dan ketidakadilan. Beberapa pasal-pasal bermasalah tersebut adalah sebagai berikut: 34
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Pasal
Ketentuan
Analisa
Pasal 72a
"Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah".
Pasal ini memang tidak ada penjelasannya, sehingga sulit dijawab beberapa pertanyaan seperti: apa alasan mendasar di balik pasal ini sehingga hanya pasangan yang sah yang boleh memiliki hak kesehatan reproduksi? Apa yang dimaksud dengan sah? Bagaimana hak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi bagi mereka yang mengalami masalah kesehatan reproduksi karena terinfeksi penyakit menular HIV-AIDS, tetapi tidak berbasis perkawinan yang sah? Pasal ini jelas diskriminatif.
Pasal 72 b
"Setiap orang berhak menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama".
Pasal ini diskriminatif karena memasukkan unsur agama dalam kehidupan reproduksi.
Pasal 72 c
"Setiap orang berhak menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama".
Pasal ini menimbulkan tafsir yang beragam, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan berbasis pada kompetensi dan etika yang berbeda. Kesehatan reproduksi ini, sebaiknya tidak perlu dikaitkan dengan norma agama, tetapi pada kompetensi dan etika kedokteran.
Pasal 75 ayat 1
Aborsi dilarang (pasal 75 ayat (1), dengan 2 pengecualian yaitu dalam pasal 75 ayat (2) yakni dalam hal kedaruratan medis dan akibat perkosaan.
Interpretasi terhadap kedaruratan medis juga tidak dijelaskan karena "cukup jelas", yang akan diatur lebih lanjut melalui PP (Peraturan Pemerintah). Di luar pengecualian ini tidak bisa melakukan aborsi yang aman, karena prinsipnya aborsi dilarang.
Pasal 194
Ancaman yang berat bagi pelaku aborsi: 10 tahun penjara dan denda 1 milliar rupiah.
Posisi perempuan kian tersudut, dan ditempatkan sebagai orang bersalah (blaming the victim).
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
35
Selain masalah yang tercantum dalam pasal-pasal di UU Kesehatan ini, terdapat beberapa masalah prinsipil yang juga perlu dikritisi oleh masyarakat sebagai berikut: •
•
36
Liberalisasi/komersialisasi kesehatan, hal ini sangat kental terlihat dalam UU ini. Investasi pemerintah Indonesia di sektor kesehatan termasuk yang terendah di kawasan Asia Timur. Kenyataan ini sekaligus menunjukan besarnya peran swasta pada sektor ini, tetapi dengan kualitas kontrol yang amat terbatas. Jika komposisi belanja publik dari dana 5% APBN dan 10% APBD tetap berorientasi f isik (pengadaan peralatan dan obat-obatan), maka ini artinya kecenderungan belanja yang memperkuat pasar sangat nyata. Anggaran pemerintah hanya ditujukan untuk 3 kelompok yaitu kelompok miskin, kelompok lansia, dan anak terlantar. Untuk kelompok lainnya diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Selain itu, UU ini sama sekali tidak memecahkan masalah penggunaan obat tidak rasional yang terjadi hampir menyeluruh di Indonesia seperti dalam peresepan, pemberian tanpa resep, pemakaian obat tanpa pemeriksan yang benar dan penggunan obat tidak sesuai regimen, yang menyebabkan terjadinya pemborosan biaya obat antara 37-58% (Thabrani, 2005). Profesionalisasi penciptaan dan pengembangan teknologi (medis dan tradisional), bisa mengakibatkan penguasaan sekelompok kecil orang terhadap sumber daya yang secara negatif berdampak terhadap tersingkirnya kelompok masyarakat tradisional. Kebijakan kesehatan berbasis “palang merah” bukan “palang pintu”, hal ini bisa dilihat pada; Pertama, besarnya anggaran untuk merealisasikan paradigma sehat, kesehatan Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
•
•
sebagai investasi, komitmen politik pemerintah ini jelas masih jauh dari memadai. Idealnya WHO, anggaran kesehatan harus mencapai 15-20% untuk mencapai Indonesia Sehat. Anggaran kesehatan belum memenuhi angka itu. Kedua, sampai dengan tahun 2009 ini, gap proporsi anggaran untuk preventif dan promotif dengan anggaran untuk kuratif dan rehabilitatif masih tinggi ratarata 1:3. Ini artinya, kita lebih banyak memecahkan masalah di Hilir daripada di Hulu. Ketiga, yang bermasalah pada lembaga-lembaga pelayanan kesehatan adalah pembedaan obat yang diperuntukkan bagi orang miskin dan ada yang harus dibayar. Puskesmas juga mempunyai 2 peran, pelayanan publik dan bisnis. Penyakit kronis lintas sektoral, kerangka kerja kordinasi lintas sektoral yang ada dalam UU ini tidak terlalu jelas. Lintas sektoral tetap dicantumkan dengan penekanan dalam konteks penyediaan sumber makanan bergizi misalnya, kadang-kadang yang diperlukan bukan wujud makanannya. Untuk jangka panjang, ekonomi keluarga yang perlu diperkuat dengan memperbaiki sisi pendapatan, pekerjaan dan pemanfaatan sumber-sumber di sekitar yang dibutuhkan. Ilusi pelayananan kesehatan yang dapat diakses semua dan terjangkau, harga obat (salah satu komponen yang menentukan mahal-murahnya pelayanan kesehatan) diserahkan dan dikendalikan oleh mekanisme pasar. Regulasi pemerintah acapkali tidak efektif, karena secara faktual kekuasaan riil yang mengendalikan tetap berada di tangan perusahaan-perusahaan farmasi. Selama tidak ada terobosan baru dari negara untuk mengambil inisiatif dan tanggung jawab, maka selama itu pula pelayanan kesehatan
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
37
•
diakses semua dan terjangkau hanya menjadi ilusi. Lemahnya eksekusi terhadap berbagai kesengajaan dan kelalaian negara, dalam Undang- Undang ini, perlindungan hak-hak asasi manusia dari tindakan pembiaran (kesengajaan) ataupun kelalaian negara tidak jelas diatur. Undang-Undang ini, “membiarkan” negara terhindar dari pertanggungjawaban atau melepaskan tanggung jawabnya. Kalau diinterpretasi dari Pasal 118 Undang-Undang ini, tindakan atau sanksi yang diberikan terhadap petugas administrasi negara (tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan) lebih pada tindakan administratif. Sebagaimana kita ketahui, upaya hukum yang bersifat administratif (keberatan maupun banding administrasi), tidak memadai dan tidak memberikan efek yang signif ikan terhadap perbaikan kinerja birokrasi atau aparatur negara. Berkaitan dengan hal tersebut, apa sanksi terhadap tidak dipenuhinya anggaran kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 171?
Konsekuensi logis apabila Indonesia di masa yang akan datang akan menapak jalan jerjal menuju Indonesia Sehat dengan dasar hak-hak asasi manusia, maka beberapa perubahan penting perlu untuk dilakukan masayarakt sipil, yaitu; Pertama, pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 perlu diperjuangkan untuk direview; Kedua, mengawasi terbitnya PP dan Permenkes yang bertentangan dengan hakhak dasar kesehatan masyarakat; Ketiga, mengumpulkan kasus-kasus dan fakta-fakta hukum yang ada di tingkat implementasi; Keempat, memenangkan perjuanganperjuangan kecil di tingkat masyarakat melalui advokasi dan aliansi.
38
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
D. UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Sebagai individu dan entitas kelompok masyarakat yang hidup dalam budaya yang masih patriarkis, perempuan seringkali mengalami marginalisasi dan perlakukan diskriminatif dalam masyarakat pada kondisi bentuk terburuknya adalah masih terjadi kekerasan terhadap perempuan (KtP). Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, tidak kurang terjadi 54.425 kasus pada tahun 2006, yang merupakan peningkatan sebesar 213,24% dari tahun 2006. Upaya perlindungan perempuan yang dilakukan dianggap sebagai perlakuan khusus untuk meminimalisir tindak kekerasan terhadap perempuan (KtP) tersebut. Pornograf i yang mengeksploitasi tubuh perempuan adalah juga salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan data jumlah penikmat pornograf i, dapat dilihat bahwa sebagian besar penikmat pornograf i adalah laki-laki. Untuk itu perempuan mestilah dilindungi oleh mekanisme sosial, hukum dan negara. Mekanisme yang dimaksud adalah mekanisme yang bebas dari diskriminasi sebagai bentuk dari proses demokratisasi. Pada dasarnya masyarakat sipil mendukung adanya pengaturan mengenai pornograf i. Namun, UU Pornograf i yang disahkan pada 30 Oktober 2008 sesungguhnya UU yang bisa dikategorikan bermasalah. Mengapa? karena pembuatan UU tersebut sangat tergesa-gesa. Secara materiil, UU Pornograf i menyisakan terma-terma yang menempatkan perempuan sebagai subyek kriminal atau perempuan juga ditempatkan sebagai pelaku pornograf i. Lebih jauh lagi, UU ini memberikan sanksi yang sama antara perempuan, distributor, dan penikmat pornograf i. Artinya, bahwa negara menutup kenyataan mengenai ketimpangan dalam relasi jender dan perempuan yang mengalami Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
39
diskriminasi. Pasal 20 misalnya, dinyatakan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornograf i. Akibatnya UU ini membuka peluang bagi masyarakat dengan secara sengaja untuk mencap atau bahkan menghakimi perempuan yang akan melahirkan akumulasi potensi yang mendorong lahirnya budaya kekerasan dalam masyarakat. Dalam konteks UU Pornograf i yang umumnya bicara soal moralitas dan seksualitas, oleh Janet Chafetz bahwa perempuan adalah strata terendah dalam stratif ikasi seks. Perempuan yang mengalami kerugian sosial paling banyak ketimbang laki-laki oleh struktur masyarakat. Dalam beberapa kasus, pendekatan moralitas berbasis kekeliruan interpretasi agama dan budaya yang terus menghalangi mereka pada akses-akses kehidupan. Perempuan tidak pernah memiliki tubuhnya sendiri sejak lahir dan dianggap sebagai sumber dosa dan bahkan malapelataka. Ancaman atas moralitas selalu digunakan sebagai legitimasi untuk mengendalikan tubuh perempuan.Tubuh perempuan seharusnya milik perempuan, namun kini menjadi alat politis berwajah agama dan negara. Padahal otonomi atas tubuh perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Sebagai respon atas UU Pornograf i telah dilakukan sejumlah upaya untuk mengkajinya, uji materiil di Mahkamah Konstitusi selama lima kali persidangan, pengiriman surat dukungan dari masyarakat sipil untuk menolak UU Pornograf i, penggalangan dukungan, penandatanganan 131 petisi aktivis perempuan seluruh dunia hingga aksi massa penolakan perempuan dan sebagian kelompok masyarakat. Dalam UU Pornograf i dapat dilihat pandangan pemerintah 40
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
atas pemaknaan tubuh adalah pandangan yang patriarkaal – yaitu pandangan yang mengatakan bahwa moralitas perempuan harus dijaga, dan bahwa perbedaaan f isik antara laki-laki dan perempuan itu menimbulkan daya tarik yang berbeda sehingga negara harus mengaturnya. Implikasinya terhadap masyarakat sipil diantaranya adalah penangkapan penari-penari perempuan yang dianggap melanggar moral, seperti yang terjadi di Jakarta, Bone, dan Riau. Kemudian instruksi Gubernur Jawa Barat yang memberikan batasan pada pakaian penari dan goyang jaipong. Pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan tersumbatnya proses demokratisasi, karena negara melegitimasi budaya patriarkal melalui UU. UU Pornograf i sangat bertentangan dengan Konvensi CEDAW yang telah diratif ikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984, karena penuh dengan elemen diskriminasi, misalnya pasal 5 yang berbunyi: “Negara-negara peserta harus mengambil tindakantindakan yang tepat: Untuk mengubah pola-pola tingkah laku sosial dan budaya para laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangkaprasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta semua praktek lain yang berdasarkan atas pemikiran adanya inferioritas atau superioritas salah satu jender, atau berdasarkan pada peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan” Beberapa poin hasil diskusi antara lain adalah sebagai berikut: •
Harus ada perlindungan terhadap masyarakat, terutama anak-anak, dari bahaya pornograf i. Akan tetapi perlin-
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
41
•
•
•
•
dungan yang dimaksud adalah perlindungan yang tidak mengkriminalkan perempuan. Def inisi pornograf i selama tidak mengkriminalkan perempuan dan menghormati prinsip-prinsip pluralisme akan dapat disepakati. Sejatinya persoalan yang dihadapi masyarakat dengan pornograf i adalah adanya industri yang mengeksploitasi tubuh perempuan untuk keuntungan. Industri tersebut bersifat patriarkis sebagai subyek yang dipandang setara dalam masyarakat. UU Pornograf i yang ada saat ini hanya menempatkan perempuan sebagai objek kejahatan yang dikonstruksi sistem patriarkis. Padahal yang semestinya menjadi sasaran dari UU Pornograf i ini adalah pelaku industria pornograf i itu sendiri. Terkait dengan Perda diskriminatif yang mengkriminalkan perempuan, patut dipertanyakan apakah Perda-Perda tersebut dibuat berdasarkan konsensus yang menempatkan keadilan secara adil sebagai prinsip bersama. UU Pornograf i bukan saja hanya masalah relasi kuasa lakilaki dan perempuan ataupun cara berpakaian tetapi juga kepada industri yang memproduksi pornograf i dan bahkan ancaman keberagaman masyarakat sesuai konteks budayanya.
E. Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara diindikasi akan mengancam proses demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia. Pembentukan peraturan perundangundangan di Indonesia harus memperhatikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004, yaitu (1) Kejelasan tujuan; (2) Kelembagaan atau organ 42
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
pembentuk yang tepat; (3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (4) Dapat dilaksanakan; (5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan; (6) Kejelasan rumusan; dan (7) Keterbukaan. Keharusan mengenai kejelasan rumusan peraturan perundang-undangan dimaksudkan guna menghindari terjadinya tafsir ganda. Konsekuensi dalam merumuskan norma hukum atau pasal-pasal termasuk perumusan sanksi pidana harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : • • •
Lex certa, dimana norma harus jelas dan tegas. Lex scripta, norma tidak mengadakan sesuatu yang baru selain yang tertulis, dan Lex stricta, norma tidak dapat diinterpretasi yang lain dari apa yang tertulis.
Konsekuensi logis dari lex certa dan lex scripta adalah lex stricta, yaitu bahwa (1) setiap aturan harus ditafsirkan secara ketat; (2) aturan yang memberi keuntungan kepada orang lain tidak dibenarkan untuk mengadakan yang baru selain dari yang tertulis dalam aturan tersebut; dan (3) tidak dapat diinterpretasi yang lain dari apa yang tertulis. Terkait dengan proses legislasi, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Apakah RUU ini sungguh diperlukan? mengingat KUHP sudah mengatur soal “Rahasia Negara” dan UU KIP sudah mengatur mengenai informasi yang “dikecualikan”. 2. Apakah RUU ini prioritas yang harus didahulukan? mengingat bahwa sudah ada RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Peradilan Militer yang lebih penting diagendakan untuk selesaikan. 3. Bagaimana pelibatan komponen masyarakat dalam proses legislasi? dimana tim pemerintah memasukkan unsur masyarakat, namun keberpihakannya diragukan karena Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
43
masukan dari kelompok masyarakat luas cenderung “diabaikan”. 4. Bagaimana sosialisasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah? mengingat faktanya bahwa peran tersebut diambil oleh LSM. Permasalah lain yang berkaitan dengan substansi RUU tersebut adalah bahwa Rahasia Negara didef inisikan sebagai berikut: Rahasia Negara adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan oleh Presiden dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui standar dan prosedur pengelolaan, yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional, ketertiban umum dan/atau mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan. Def inisi tersebut diatas merupakan salah satu isu yang krusial dalam RUU Rahasia Negara. Beberapa isu krusial lainnya adalah: • •
•
44
Pasal karet yang membuka ruang Rahasia negara dalam bentuk yang lain Tidak dapat jadi bukti proses peradilan (Pasal 37), yaitu bahwa: rahasia negara tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam peradilan selain perkara tindak pidana rahasia negara. Kewenangan penetapan rahasia negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 11, yaitu: (a) Presiden menetapkan rahasia negara baik yang dimiliki, Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
dibuat, diperuntukkan, dan/atau dikuasai oleh Lembaga Negara. (b) Penetapan rahasia negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat didelegasikan kepada pimpinan Lembaga Negara. Jika ditilik dari potensi ancaman yang dikandung oleh RUU Rahasia Negara antara lain adalah sebagai berikut: •
• • •
•
• • •
Presiden atau pejabat negara yang ditunjuk dapat sewenang-wenang menentukan suatu informasi sebagai rahasia negara. Rahasia Negara diartikan pula secara luas sebagai rahasia jabatan dan atau rahasia instansi. Menutup peluang pengusutan korupsi khususnya di lingkungan militer/Dephan (makin sulit). UU Rahasia Negara tidak membuka peluang pengecualian bagi penyidik/APH dapat membuka rahasi negara untuk kepentingan pemeriksaan kasus korupsi. Presiden atau pejabat yang ditunjuk dapat sewenangwenang menentukan suatu informasi sebagai rahasia Negara. Rahasia negara diartikan pula secara luas sebagai rahasia jabatan dan atau rahasia instansi. Menutup peluang pengusutan korupsi khususnya di lingkungan militer/Dephan (makin sulit). UU Rahasia Negara tidak membuka peluang pengecualian bagi penyidik/APH dapat membuka rahasia negara untuk kepentingan pemeriksaan kasus korupsi.
Apabila RUU Rahasia Negara disahkan, maka dikhawatirkan akan membawa dampak buruk diantaranya: •
Membuka peluang kriminalisasi bagi pelapor (wistle blower).
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
45
• • •
Menghambat institusi penegak hukum untuk memberantas korupsi. Memberikan proteksi bagi koruptor dalam melakukan penyimpangan. Institusi Peradilan juga akan menutup akses publik untuk mengawasi kinerja.
Beberapa poin penting yang muncul dalam proses diskusi, antara lain; •
•
•
•
46
Pemerintah sangat serius dengan RUU Rahasia Negara: yaitu pertama kali pada tahun 1998 RUU ini diajukan dengan nama RUU Sandi Negara namun sempat ditolak. Lalu RUU ini muncul lagi di tahun 2004 dengan nama RUU Rahasia Negara dan ditolak juga. Pada 2006 juga muncul lagi. Ketika RUU Keterbukaan Informasi Publik disahkan, maka ini menjadi daya tawar bagi pemerintah yang berkehendak mengesahkan RUU Rahasia Negara. Jika memperhatikan kepentingan RUU ini menuju kepada penguasa negara, ada badan pertimbangan kebijakan rahasia negara yang seluruh anggotanya adalah pejabat pemerintah dan belum ada peluang bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam penyusunan RUU ini. Seandainya RUU ini disahkan paling tidak membuka peluang masyarakat sipil untuk terlibat di dalamnya. RUU Rahasia Negara ini merupakan bertentangan dengan prinsip UU Keterbukaan Informasi Publik, yang mana informasi yang semula bukan rahasia berdasarkan UU KIP kemudian menjadi rahasia pada RUU Rahasia Negara. Pemerintah mempunyai wewenang menentukan rahasia negara sehingga berpotensi menimbulkan masalah berupa praktek korupsi dan kriminalisasi terhadap pelapor.
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Berdasarkan hasil diskusi tersebut, beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh CSO antara lain, sebagai berikut: 1. RUU Rahasia Negara perlu difokuskan pada standar pengelolaan kerahasiaan negara bukan kriminalisasi yang diarahkan pada masyarakat umum. 2. Badan Pertimbangan Kebijakan Rahasia Negara sebagai badan yang mengatur tentang teknis pengelolaan/ perlindungan informasi rahasia. 3. Kewenangan besar diberikan kepada pengelola rahasia negara, yaitu berupa sanksi pelanggaran perlu dibebankan secara proporsional kepada pengelola rahasia negara. 4. Perlu perlindungan bagi whistle blower. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan wewenang maupun tindakan kriminal dibalik kerahasiaan negara. 5. Penetapan kerahasiaan negara tidak dapat diobral tetapi sesungguhnya harus dapat dipertanggungjawabkan: • Uji konsekuensi & kepentingan publik. • Publik dapat mengujinya melalui lembaga independen (Komisi Informasi dan/atau Pengadilan). E. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Pokok Agraria disahkan sebagai payung hukum agraria di Indonesia dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial. UUPA ini mengarah kepada pencapaian keadilan sosial, kemakmuran dan kemajuan bagi rakyat Indonesia melalui penataan ulang penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agrarian di Indonesia. Tujuan UUPA adalah untuk: (1) meletakkan dasar-dasar Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
47
bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupa-kan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; (2) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; dan (3) meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Apabila menilik namanya, obyek pengaturan UUPA tersebut mencakup semua hal yang terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA) seperti tanah, air, hutan, tambang, dan sebagainya. Hanya saja, pada kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan semata. Hal ini bisa dilihat bahwa sebanyak 53 pasal dari 67 pasal yang dimuat dalam UUPA masih mengatur tentang tanah. Obyek pengaturan yang belum diselesaikan oleh UUPA tersebut yang menjadi celah untuk diterbitkannya peraturan perundang-undangan sektoral. Persoalannya adalah pengaturan perundang-undangan sektoral yang diterbitkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pragmatis guna mengakomodasi pertumbuhan ekonomi. Artinya, bahwa UUPA tidak lagi dijadikan bahan pertimbangan. Melalui kajian yang dilakukan Tim Penyusun RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam mencatat ada lima karakteristik peraturan perundangundangan sektoral: (1) berorientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara; (2) lebih berpihak pada pemodal besar; (3) ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik; (4) pengelolaan SDA yang sektoral berdampak 48
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
terhadap koordinasi antarsektor yang lemah; (5) tidak mengatur perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) secara proporsional. Situasi ini kemudian melahirkan dan mengakibatkan munculnya persoalan agrarian di Indonesia, sebagai berikut: • Adanya ketimpangan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria. • Munculnya konflik-konflik agraria dimana rakyat yang selalu menjadi korban yang disertai pelanggaran HAM. • Meningkatnya kerusakan alam yang sudah sangat parah. • Sistem hukum dan orientasi politik pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat baik laki-laki maupun perempuan. Pada akhirnya kemiskinan, penghisapan, dan penurunan kualitas kehidupan rakyat khususnya di pedesaan yang sudah terjadi saat ini akan terus berlanjut. Diantara berbagai persoalan baru yang timbul dan harus dihadapi adalah dimensi ruang yang semakin meluas, yaitu sudah mencapai pada tingkatan global. Demikian juga dengan aktor yang terlibat, tidak lagi antara tuan tanah melawan petani kecil seperti dahulu. Melainkan sudah melibatkan korporasi transinternasional, program-program pemerintah, aturan-aturan bilateral dan multilateral dan berbagai macam gerakan sosial. Persoalan lainnya adalah keberlanjutan — keberlanjutan dari system ekonomi kapitalisme neoliberal di sektor produksi, distribusi dan konsumsi seperti pertanian intensif yang semakin berlanjut dan massive. Dengan demikian timbullah berbagai akibat yang diantaranya, sebagai berikut: •
Terjadi peningkatan perampasan tanah oleh korporasi multinasional (global land grabbing) dan juga pengambilalihan tanah-tanah pertanian untuk investasi agribisnis;
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
49
•
•
Penguasaan tanah oleh agro-industri TNC semakin massive. Misalnya 2 juta ha lahan di Papua dan di beberapa provinsi lainnya di Indonesia yang ditujukan untuk agro-industri beras bagi korporasi Bin Ladin Group dari Arab Saudi, yang akan berinvestasi sebesar US$ 4,3 milyar; Berbagai persoalan yang diakibatkan oleh isu Climate Change melalui kebijakan dan proyek REDD dan Global Greenbelt dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 merupakan kebijakan yang baik; penghancuran petani agrikultural untuk mendukung bahan baku industri, transformasi produksi pangan kecil ke intensif agrobisnis kapital; peningkatan ekstraksi sumber daya alam baik tambang maupun minyak; transformasi tenaga kerja industri manufaktur ke industri agrobisnis; dan peningkatan buruh tani murah.
Reforma Agraria adalah jawaban atas segala persoalan dan akibat dampak negatif tersebut. Reforma agraria didef inisikan sebagai suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Jawaban jika rakyat berdaulat atas sumber-sumber agraria, maka berbasis desakannya adalah bagaimana gambaran sendi-sendi hukum agraria di masa depan mendesak untuk dilakukan, sebagai berikut: •
50
Koreksi atas politik agraria saat ini, yaitu: (1) Mengedepankan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber agraria, (2) Visi baru dalam penguasaan dan pemanfaatan SSA sebagai jalan mencapai keadilan sosial, dan (3) Koreksi tidak hanya teknis, tetapi juga koreksi f ilosof is hubungan Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
•
•
rakyat dan negara, yang pada intinya mencegah konsentrasi penguasan tanah. Memberikan legalitas dan legitimasi pada rakyat untuk menguasai sumber-sumber agraria, dan sekaligus berpartisipasi dalam penatagunaan, pemeliharaan dan peruntukan sumber-sumber agraria Memberikan legalitas dan legitimasi pada pada masyarakat adat untuk menentukan pengelolaan sistem tenurial mereka berdasarkan budaya dan hukum adatnya.
Strategi untuk mencapai keadilan agraria dapat digambarkan pada siklus sebagai berikut: Beberapa poin penting yang berkembang dalam proses diskusi dan pembelajaran bersama adalah sebagai berikut:
•
Situasi politik saat ini yang demikian liberal mengancam kedaulatan negara. UUPA adalah instrumen hukum yang mesti dipertahankan. Karena UUPA adalah produk hukum yang dapat menghadang kapitalisme karena membatasi pemerintah dalam mengatur tanah.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
51
•
•
•
•
•
•
52
Inti aturan UUPA ada pada Pasal 1 sampai dengan Pasal 5. Jika dikaitkan dengan hak masyarakat adat, yang dikritik adalah pengakuan yang bersyarat. Namun yang terpenting saat ini adalah melihat peraturan perundangundangan mana saja yang terkait dengan pertanahan untuk dapat diperiksa. Konsepsi tentang hak masyarakat di UUPA berdasarkan pada pertentangan sistem negara yang dulunya kolonialisme. Seolah-olah negara merupakan entitas yang clear. Saat ini mudah sekali terjadi perampasan tanah milik petani karena biaya hidup yang semakin tinggi dan biaya produksi pertanian yang juga tinggi. Terlebih perubahan iklim membawa dampak pada sulitnya menentukan siklus tanam. Sementara, negara menunjukkan keberpihakan pada rakyat dengan caranya sendiri, diantaranya melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang sesungguhnya tidak memberdayakan masyarakat karena hanya melahirkan ketergantungan atas program tersebut dengan pada umumnya pendanaannya melalui pinjaman utang dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia. Semestinya ada jaminan hukum yang bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat saat melakukan transaksi dengan investor. Semestinya dilakukan pendataan tanah bagi penguasa tanah di Indonesia yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Rezim sertif ikasi merupakan rezim yang bermasalah di Indonesia. Bank Dunia berperan dalam memberikan beasiswa bagi pemerintah Indonesia untuk belajar agraria di luar negeri yang bukan mengarah pada perbaikan masalah agraria yang pro rakyat namun justru sebaliknya. Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Bagian Keempat
Kesehatan dalam Perspektif Perubahan Iklim dan Keadilan Jender
Diskusi dengan topik “Kesehatan dalam Perspektif Perubahan Iklim” merupakan diskusi berbagi pengalaman dan pengetahuan masyarakat/komunitas dengan melibatkan para anggota sektoral jender, kesehatan dan pengembangan pedesaan. Dalam diskusi ini dibahas isu (1) Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Penyakit Infeksi, Penyakit Menular, dan Penyakit Degeneratif, (2) Kesehatan Reproduksi dan HIV/ AIDS, (3) Perubahan Iklim terhadap Kesehatan Lingkungan, Air, dan Sanitasi, (4) Hak-Hak Perempuan atas Kesehatan, dan (5) Kesehatan Ibu – Anak dan Resiko Perubahan Iklim. Berikut ini adalah proses diskusi dan berbagi pembelajaran bersama, sebagai berikut: A. Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Penyakit Infeksi, Penyakit Menular, dan Penyakit Degeneratif Materi yang berjudul “Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Penyakit Infeksi, Penyakit Menular, dan Penyakit Degeneratif ” disampaikan oleh Maria Silvia Merry dari YAKKUM Emergency Unit (YEU) Jogjakarta. Sebagai dampak Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
53
pemanasan global terjadi kenaikan temperatur hingga mencapa 1,4-5,80C. Hal tersebut berdampak pada perubahan iklim seperti kekeringan, curah hujan yang tinggi hingga mengakibatkan banjir ataupun tanah longsor. Sehingga banyak terjadi gagal panen yang mengakibatkan rawan pangan dan akhirnya berdampak pada mal-nutrisi dan kemiskinan yang harus dialami oleh masyarakat. Dampak perubahan iklim lainnya adalah perubahan sifat serangga vektor (serangga pembawa virus penyakit dan mikro organisme patogen tertentu. Juga terjadi perubahan pada Mileu (kondisi internal tubuh). Perubahan iklim global tersebut membawa dampak terhadap penyakit infeksi, penyakit menular, dan penyakit degeneratif. Pada penyakit infeksi, perubahan iklim mengakibatkan mutasi virus tertentu hingga timbul penyakit infeksi baru, atau disebut dengan New Emerging Disease. Dan karena kondisi internal tubuh mileu interna tubuh menurun akibatnya imunitas tubuh pun juga ikut menurun sehingga lebih mudah terinfeksi oleh penyakit. Sementara pada penyakit menular, dampak perubahan iklim dapat dilihat dari curah hujan yang meningkat sehingga tempat berkembang biak vektornya bertambah, sementara siklus metamorfosis vektor memendek. Ditambah dengan aliran udara yang meningkat dan arus angin yang bertambah berakibat penyebaran vektor jauh. Penting untuk diperhatikan pula adalah bencana banjir yang seringkali mengakibatkan leptospirosis, diare, dll. Untuk penyakit degeneratif yang dikhawatirkan adalah terkait dengan peningkatan metabolisme yang berakibat pada peningkatan kerja organ vital sehingga sel-sel mati. Selain itu perubahan gaya hidup menambah peluang peningkatan penyakit metabolis yang mengakibatkan degenerasi berlangsung cepat. 54
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Resiko-resiko atas penyakit tersebut sejatinya dapat dikurangi dengan pengurangan karbon melalui hemat listrik dan mengurangi emisi kendaraan bermotor termasuk bagaimana menjaga pola serta gaya hidup sehat. B. Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS Diskusi mengenai Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS disampaikan oleh Meliana Susanna Bire dari MBM. Meliana memutuskan untuk menjadi relawan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS di MBM karena pengalaman buruk yang pernah menimpa keluarganya. Akibat minimnya informasi mengenai kesehatan reproduksi, adik ipar Meliana yang ternyata mengidap kanker leher rahim tidak dapat terselamatkan. Kejadian itu mendorong Meliana untuk mencari informasi mengenai penyakit tersebut yang akhirnya difasilitasi oleh Divisi Pelayanan Kesehatan Masyarakat MBM. Kanker leher rahim adalah ancaman untuk semua perempuan di dunia. Kanker leher rahim sendiri merupakan penyakit yang bisa dialami oleh semua perempuan yang telah berhubungan seksual. Kelompok resiko tinggi dari kanker ini adalah perempuan yang punya banyak pasangan seksual, perempuan yang kawin pada usia muda (dibawah 20 tahun), perempuan yang hamil lebih dari lima kali, perempuan perokok, dan perempuan yang mempunyai riwayat penyakit tersebut dalam keluarga. Kabar baiknya adalah kanker ini adalah kanker yang bisa dicegah dan bisa diobati tuntas bila ditemukan dalam stadium dini. Upaya pencegahannya antara lain adalah pemeriksaan pap smear setahun sekali. Cara ini terbukti mampu mencegah hingga 90% kematian akibat kanker leher rahim.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
55
Pada awal aktivitas sebagai relawan, Meliana memulainya dengan teman-teman terdekat di desanya sebanyak 30 orang. Kemudian mengundang MBM untuk melakukan pap smear di rumahnya, pada saat itu yang bersedia melakukan pemeriksaan hanya sebanyak 5 orang. Hasilnya ditemukan adanya infeksi karena bakteri atau jamur dan erosi karena KB. Setelah mendapat perawatan, perempuan yang diperiksa menyatakan merasakan organ reproduksinya menjadi terasa nyaman dan perubahan tersebut juga dirasakan oleh suamisuami mereka. Kegiatan tersebut pun menjadi perbincangan, ada yang pro namun ada juga yang kontra. Juga ada perempuan yang dihalangi oleh suaminya untuk memeriksakan organ vitalnya. Hingga akhirnya kesadaran pun muncul di kalangan perempuan desa setempat. Banyak yang sudah berinisiatif untuk mencari informasi mendalam tentang kesehatan reproduksi dan memeriksakan organ vitalnya. Hal itu karena mereka merasakan langsung manfaatnya ketika gangguan reproduksi yang berhasil diidentif ikasi saat pap smear bisa ditanggulangi. Sesungguhnya pemeriksaan pap smear dan HIV/AIDS sangat berhubungan. Melalui pap smear dapat diketahui jika terdapat Infeksi Menular Seksual (IMS) yang diderita oleh seorang perempuan. IMS adalah indikasi bahwa ada hubungan yang seksual tidak aman, sehingga seseorang yang menderita IMS beresiko juga terhadap HIV.
56
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Pemodelan Infeksi Baru HIV di Indonesia 1990 - 2020
Kasus HIV di Bali yang tercatat per November 2007 adalah 1.782 orang. Perempuan di Bali rentan terhadap penularan HIV/ AIDS, karena kehidupan patriarkal di Bali menyebabkan posisi perempuan Bali sangat lemah baik dalam keluarga maupun di masyarakat. Sehingga perempuan Bali tidak berani mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, bahkan untuk perawatan kesehatannya. Ketika dia sakit, dia masih menunggu keputusan suami untuk mendapat pengobatan. Contoh, buka KB, periksa kolposkopi, atau pap smear ulang. Pada kasus suaminya berselingkuh hingga menyebabkan dia menderita IMS, dia tidak berani untuk meminta suaminya berobat atau pakai kondom. Hal tersebut diperburuk dengan kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi yang menyebabkan banyak ibuibu mengalami gangguan pada kesehatan reproduksinya karena salah cara dalam merawat organ reproduksinya. Adapun pelayanan kesehatan reproduksi yang dilakukan oleh Puskesmas kurang komunikatif. Selain itu di Bali, banyak Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
57
terdapat kafe-kafe yang melakukan praktek prostitusi terselubung dengan mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Persentase Kasus AIDS di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin, Per 31 Desember 2009
Kumulatif kasus AIDS pada Perempuan di Indonesia Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Per 31 Desember 2009
58
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Strategi yang dilakukan untuk mengatasi kerentanan tersebut adalah dengan cara mencari pemuka desa atau orangorang yang berpengaruh di desa untuk menyampaikan ancaman HIV di Bali, memberi contoh mengupayakan kehidupan yang setara dalam keluarga; memberi tempat untuk ibu-ibu mendapat periksaan pap smear; menanggapi dengan baik setiap pertanyaan yang berasal dari ibu-ibu di kampung; dan memberikan informasi yang benar tentang HIV untuk mengurang stigma dan diskriminasi terhadap seorang ODHA di desa. Berikut ini adalah gambaran bagaimana proses Intervensi struktural yang dilakukan, sebagai berikut:
Intervensi Struktural
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
59
Juga dilakukan pendidikan tentang HIV/AIDS untuk kelompok-kelompok marginal. Berikut ini adalah gambar pendidikan HIV/AIDS prostitusi.
C. Perubahan Iklim terhadap Kesehatan Lingkungan, Air, dan Sanitasi Materi yang berjudul “Pengelolaan Program Air Bersih dan Sanitasi di Sulawesi Tenggara” disampaikan oleh Mukhlis Rauf yang merupakan Direktur Yayasan Sintesa di Sulawesi Tenggara. Dalam presentasinya dipaparkan kondisi ideal pembangunan sarana air bersih dan sanitasi yang mencakup jangkauan pelayanan (kuantitatif), kualitas sarana/air yang digunakan (kualitatif ), serta asas manfaat jangka panjang. Kesemua kondisi ideal tersebut dapat dicapai jika ada partisipasi masyarakat dalam tiap tahapan kegiatan (materiil maupun immaterial) dan juga rasa memiliki dan tanggungjawab terhadap sarana air bersih dan sanitasi. Untuk itu diperlukan 60
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
pendampingan pada saat dan pasca program. Pada intinya membangun sarana jauh lebih mudah ketimbang memelihara dan memanfaatkannya secara maksimal sepanjang waktu. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa program SABS berjalan dengan penguatan kapasitas dan proses yang partisipatif sampai dengan akhirnya sarana terbangun. Setelah dilakukan proses serah terima, sarana dikelola sendiri oleh masyarakat tanpa pendampingan. Selama satu hingga dua tahun distribusi dan iuran air berjalan lancar. Hingga terjadi akumulasi yang besar di BPSABS dan akibat dari kontrol internal dan eksternal yang lemah, terjadilah penyimpangan dana oleh BPSABS/aparat desa. Akibatnya tiga sampai empat tahun kemudian sarana mulai rusak, namun dana yang ada tidak cukup untuk memperbaikinya hingga perbaikan sarana pun terpaksa ditunda. Hal tersebut menjadikan sarana tidak berfungsi baik dan akhirnya menimbulkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap BPSABS. Akibatnya iuran macet dan operasional sarana pun ikut macet. Dengan demikian pengelolaan sarana air bersih dan sanitasi di desa harusnya dilakukan secara profesional untuk memberikan pelayanan yang maksimal, sehingga kewajiban masyarakat untuk membayar iuran juga lancar. Konsep pemberdayaan masyarakat dalam program air bersih menurut Yayasan Sintesa adalah masyarakat punya hak memperoleh air bersih, tapi harus diikuti dengan kewajiban membayar iuran sesuai dengan hak yang diperolehnya dan tidak menimbulkan ketergantungan dari pemerintah atau pihak luar lainnya. Konsep kemandirian dalam pengelolaan sarana air bersih dan sanitasi adalah kemandirian bersamasama. Karena hal itu lebih efektif dan lebih baik ketimbang kemandirian sendiri-sendiri. Dampak perubahan iklim Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
61
terhadap pengelolaan sarana air bersih dan sanitasi adalah musim kemarau yang panjang, sehingga kekurangan air pun menjadi lebih lama. Sementara di musim hujan yang lebat, kualitas air terganggu dan konstruksi secara bertahap rusak. Belum lagi jika pendapatan petani dan nelayan berkurang, pembayaran iuran air untuk operasional sarana terganggu. D. Perubahan Iklim dan Hak-Hak Perempuan atas Kesehatan Materi tentang dampak perubahan iklim dan hak perempuan atas kesehatan disampaikan oleh Thauf iek Zulbahary dari Solidaritas Perempuan. Dalam materinya digambarkan dampak potensial perubahan iklim global terhadap kesehatan manusia. Perubahan iklim global yang ditandai dengan kenaikan permukaan laut, temperatur, dan pengendapan menimbulkan badai dan banjir, suhu panas, vektor biologi, polutan udara, persoalan suplai air, dan konflik antar masyarakat. Pada akhirnya berdampak kematian, perpindahan, infeksi penyakit, atau pun mal-nutrisi. Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan diantaranya adalah polusi udara yang merugikan lebih dari 1,1 miliar orang setiap tahun dan menewaskan 3 juta orang per tahun. Sebanyak 90 % kematian tersebut terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena kurangnya akses kesehatan, dan 90% diantaranya berkaitan dengan dampak iklim karena perubahan cuaca dan kondisi air. Perubahan iklim meningkatkan kerentanan penduduk terhadap penyakit, seperti diare malaria dan mal-nutrisi yang menyebabkan lebih dari 3,3 juta kematian pada tahun 2002. Masyarakat di negara-negara miskin menghadapi peningkatan kerentanan sementara akses terhadap perawatan dan pencegahan minim. Perubahan iklim 62
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
global juga mempengaruhi ketersediaan air dan mengubah frekuensi banjir dan kekeringan. Kurangnya akses terhadap sumber daya alam seperti air bersih menambah faktor pendorong utama orang untuk bermigrasi (di dalam maupun ke luar negeri). Kesehatan adalah isu penting yang terkait dengan dampak jangka panjang perubahan iklim terhadap penduduk lokal yang pada akhirnya mendorong penduduk lokal untuk berpindah. “Climate Migrants” secara khusus beresiko terhadap keduanya, yaitu penularan penyakit dan kesulitan akses terhadap pelayanan kesehatan. IOM mendef inisikan Climate Migrants sebagai berikut ‘persons or groups of people who for compelling reasons of sudden or progressive changes in the environment as a result of climate change that adversely affect their lives or living conditions are obliged to leave their habitual homes, or choose to do so either temporarily or permanently and who move either within their country or abroad (IOM, 2008). Perubahan iklim juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan kasus HIV akibat minimnya deteksi dan pencegahan. Dalam situasi krisis air dan pangan yang disertai perpindahan penduduk, perubahan iklim semakin memperumit upaya penanggulangan virus sehingga mengakibatkan lebih banyak kematian. Sementara migran sangat rentan posisinya terhadap praktek-praktek diskriminatif yang semakin menghambat akses mereka terhadap pencegahan dan perawatan HIV. Kaitan antara perubahan iklim, kesehatan perempuan dan jender adalah laki-laki dan perempuan tidak hanya mengalami kerentanan yang berbeda tetapi mereka juga mengatasi dampak bencana alam secara berbeda. Fakta bahwa perempuan sebagian besar bekerja di dalam rumah tangga dan merawat Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
63
keluarga, sehingga perempuan menghadapi peningkatan kerentanan terhadap penyakit akibat pencemaran air dan kelaparan. Perempuan juga kurang mendapatkan kesempatan dalam proses pengambilan keputusan baik di negara maju dan berkembang. Sehingga perempuan di negara-negara berkembang sering tidak dilibatkan dalam diskusi dan proses pengambilan keputusan di semua tingkatan dalam hal perubahan iklim. Lebih jauh lagi, perempuan pedesaan kurang memiliki kekuatan pengambilan keputusan tentang urusan keluarga dan menghadiri pertemuan desa atau rapat-rapat yang umumnya dianggap sebagai tugas laki-laki. Menurut FAO, perempuan di negara-negara berkembang adalah “produsen makanan dunia”. Sehingga dengan meningkatnya tingkat kekeringan, banjir dan lain-lain perempuan harus bekerja lebih keras untuk mengamankan sumber daya alam. Dengan demikian, perubahan iklim tidak netral jender dan faktor pendorong/faktor penarik migrasi berdampak berbeda pada laki-laki dan perempuan dengan cara yang sangat spesif ik. Di Indonesia, bahaya terhadap kesehatan masyarakat disebabkan karena terjadinya peningkatan suhu, curah hujan yang bervariasi, naiknya permukaan laut, cuaca ekstrim yg lebih intens, penurunan ketersediaan air, bahaya kekeringan dan polusi udara. Kondisi tersebut mengancam terutama kelompok rentan di Indonesia diantaranya: masyarakat miskin dan masyarakat rentan miskin, khususnya di daerah perkotaan; masyarakat pesisir; penduduk usia lanjut dan anak-anak; masyarakat tradisional; petani, penduduk pulau-pulau kecil. Faktor kerentanan umumnya dikarenakan oleh minimnya suplai air, sanitasi buruk dan tidak higienis; sistem kesehatan yang tidak memadai (fasilitas, pelayanan, dan minim partisipasi masyarakat); serta ekosistem (penyebaran vektor dan transmisi). 64
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Pemerintah perlu untuk merumuskan kebijakan nasional, strategi dan program menghadapi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. Saat ini Departemen Kesehatan telah membangun Kebijakan Nasional mengenai Kesehatan untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim. Bersama sektor-sektor lainnya, strategi adaptasi kesehatan tersebut akan diimplementasikan dalam sebuah Rencana Pembangunan Nasional (2010-2029). Beberapa framework institusional diantaranya adalah Ratif ikasi Framework UNFCC’s dengan UU Nomor 5 Tahun 1994; PP Nomor 46 Tahun 2008 tentang Komite Nasional Perubahan Iklim dimana Departemen Kesehatan sebagai anggota.; Pokja nasional lintas sektor perubahan iklim, diketuai oleh Menteri KLH dengan anggota: Departemen Kehutanan, Kementerian Energi, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Bappenas, Kementerian PU dan beberapa Universitas; Tim Nasional Perencanaan Perubahan Iklim melalui Keputusan Menteri PPN/BAPENAS No. 204/ M.PPN/10/2008; dan Forum Komunikasi untuk Dampak Perubahan Iklim terhadap kesehatan yang mana Departemen Kesehatan sebagai Ketua. Pada Juni 2009 di Jakarta, Masyarakat Sipil telah mendikusikan mengenai dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan dengan memberikan beberapa Rekomendasi untuk perlu menjadi perhatian bersama: 1. Meningkatkan kesadaran komunitas kesehatan terhadap dampak perubahan iklim. 2. Mengembangkan kapasitas di sektor kesehatan untuk menjawab tantangan yang terjadi. 3. Mengembangkan dan menerapkan strategi guna meningkatkan arti penting dampak kesehatan manusia dalam rencana aksi nasional terhadap perubahan iklim. Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
65
4. Melakukan penelitian terapan. 5. Memperkuat kemitraan dengan dunia usaha dan lembagalembaga non-pemerintah di dalam dan luar negeri. Jaminan akan hak atas kesehatan dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada pasal 12 yang menyatakan bahwa: • •
Hak kesehatan adalah hak untuk menikmati standar tertinggi dari kesehatan f isik dan mental. Hak kesehatan seseorang berkenaan dengan aksesibilitas perawatan dan pelayanan kesehatan, termasuk kemampuan keuangan, sebagai bagian dari proses dimungkinkannya seseorang meningkatkan kontrol dan memperbaiki kesehatannya, dan akhirnya mencapai dan menikmati tingkat standar tertingi dari kesehatan.
Hal tersebut mengandung dua unsur penting, yaitu dijaminnya kebebasan mengontrol tubuh sendiri dan kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan yang berakibat pada kesehatan seseorang serta ketersediaan akses pelayanan, informasi dan sebagainya. Setidaknya ada empat elemen hak atas kesehatan tersebut, yaitu: 1. Ketersediaan (Availibility), bahwa fasilitas, pelayananpelayanan dan program-program harus disediakan oleh negara dengan jumlah yang memadai. 2. Dapat diakses (Accessibility), yaitu fasilitas, pelayanan dan program tersebut haruslah dapat diakses secara f isik, ekonomi, dan tidak diskriminatif. Juga terkait dengan hak untuk mencari, menerima informasi dan ide-ide yang berkaitan dengan kesehatan (information accessibility). 3. Dapat diterima (Acceptability), yaitu termasuk dihargai, penegakan kode etik, dan penyesuaian budaya pada pelayanan kesehatan. 66
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
4. Kualitas (Quality), bahwa pelayanan kesehatan haruslah yang berkualitas baik, tenaga medis yang memadai, dan sebagainya. Hak atas Kesehatan dan Hak Perempuan juga dimuat dalam CEDAW pada Pasal 12:1 dengan ketentuan bahwa: “Negara wajib membuat aturan-aturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan dan supaya menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang berhubungan dengan Keluarga Berencana atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan” Secara khusus berkaitan dengan climate migrants, pengaturannya ada di dalam Pasal 45 Konvensi Migran 1990 dengan ketentuan-ketentuan. Anggota-anggota keluarga buruh migran berhak untuk memperoleh persamaanpersamaan perlakuan di negara-negara tempat bekerja sama dengan warga negara di negara tersebut dalam hal-hal; (a) Akses pada lembaga-lembaga dan pelayanan pendidikan, (b) Akses pada lembaga-lembaga bimbingan dan pelaksanaan kejuruan, (c) Akses pada pelayanan sosial dan kesehatan. Pasal 25 Konvensi Migran 1990 memuat ketentuan bahwa setiap buruh migran dan anggota keluarganya harus mendapatkan perlakuan yang tidak boleh kurang daripada yang diterapkan bagi warga negara dari negara tempat bekerja dalam hal penggajian dan kondisi-kondisi kerja lainnya. Kondisi-kondisi tersebut mencakup diantaranya uang lembur, jam kerja, istirahat mingguan, liburan dengan gaji, keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan kerja, dan kondisi-kondisi apapun yang menurut hukum dan praktek nasional dicakup dalam istilah ini. Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
67
Berbasis pada Komentar Akhir (Concluding Comments) Komite CEDAW atas Laporan Ke-4 dan Ke-5 Indonesia pada tanggal 27 Juli 2007 khususnya Poin 38 yang menegaskan bahwa: •
•
Meskipun mencatat diberlakukannya Undang-Undang Tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana Alam, Komite secara khusus prihatin mengenai situasi perempuan korban bencana alam dan keadaan darurat, termasuk perempuan korban tsunami 2005. Komite prihatin karena tidak terpenuhinya kebutuhan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi, kebutuhan sandang, papan dan keselamatan para perempuan korban bencana dan keadaan darurat dan karena perempuan yang menjadi kepala keluarga mengalami perlakuan diskriminatif ketika mencoba mendapat bantuan papan atau pangan yang disediakan bagi laki-laki kepala keluarga.
Sedangkan Rekomendasi Komite CEDAW kepada pemerintah Indonesia dalam Concluding Comments CEDAW khususnya Poin 39 yang juga menegaskan sebagai berikut: •
•
68
Memastikan bahwa peningkatan kesetaraan jender dan sosialisasi persoalan-persoalan kesetaraan jender merupakan komponen yang eksplisit dari, dan sepenuhnya dilaksanakan dalam, rencana dan kebijakan pembangunan nasional, terutama yang ditujukan pada pengurangan kemiskinan, pembangunan berkelanjutan, dan penanggulangan bencana alam. Memberikan perhatian khusus pada kebutuhan perempuan pedesaan, memastikan bahwa mereka diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan akses sepenuhnya untuk mendapat bantuan hukum, pendidikan, pelayanan kesehatan dan fasilitas kredit. Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
•
Melakukan langkah-tindak yang tepat guna untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan untuk mendapat bantuan papan dan pangan dalam keadaan darurat dan bencana alam serta memastikan bahwa perempuan yang ada dalam keadaan seperti itu mendapat perlindungan yang memadai dari tindak kekerasan.
Direkomendasikan bahwa kebijakan Iklim dan programprogram perubahan iklim di semua level penting memperhatikan accountability mechanism and safeguard policy statement yang mampu menjamin perlindungan hak masyarakat miskin dan hak perempuan dan menjawab aspek kerentanan spesif ik perempuan termasuk kesehatan, mekanisme keterlibatan masayarakat dalam pengambilan keputusan, keamanan, mobilitas dan akses terhadap sumber daya alam dan agraria. Kemudian dilakukan penelitian tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan perempuan di Indonesia. Penggunaan CEDAW dan Kovenan EKOSOB adalah hal yang penting guna memasukan perspektif perempuan dan hak atas kesehatan dalam program-program terkait perubahan iklim. Bahwasanya kerentanan perempuan tidak diarahkan pada cara pandang yang diskriminatif yang hanya menganggap perempuan sebagai korban. Karena di seluruh dunia, perempuan telah menunjukan keahlian mereka dalam bertahan melawan perubahan iklim, mempunyai pengetahuan cukup tentang pertanian dan memiliki kapabilitas dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Semua ini memberi perempuan nilai lebih untuk memiliki inisiatif dan kapasitas dalam menghadapi perubahan iklim di semua level.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
69
E. Kesehatan Ibu – Anak dan Resiko Perubahan Iklim Materi mengenai Kesehatan Ibu – Anak dan Resiko Perubahan Iklim disampaikan oleh Kader PKMD. Dalam materinya disampaikan bahwa iklim berperan dalam setiap kejadian penyakit dan kematian, karena penyakit sangat dipengaruhi oleh ekosistem dan manusia merupakan bagian dari sebuah ekosistem. Perubahan iklim akan diikuti dengan perubahan ekosistem yang pada akhirnya merubah pola hubungan interaksi antara lingkungan dan manusia sehingga berdampak terhadap derajat kesehatan masyarakat. Beberapa bagian yang merupakan komponen iklim seperti suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, kelembaban ruang, kemarau panjang dan curah hujan mempengaruhi pertumuhan dan persebaran berbagai spesies mikroba dan parasit serta berbagai variabel/hal-hal yang berhubungan kependudukan. Tidak semua variabel dipengaruhi oleh perubahan iklim. Namun perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap model hubungan berbagai variabel kependudukan dan lingkungan tersebut. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap terjadinya berbagai penyakit. Salah satu pengaruh perubahan iklim adalah potensi peningkatan kejadian timbulnya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk seperti malaria, f ilariasis (kaki gajah), demam berdarah, dll. Perubahan iklim juga mempengaruhi pola curah hujan dan menimbulkan kejadian bencana khususnya banjir. Sedangkan banjir merupakan penyebab tersebarnya penyebab penyakit dan wabah penyakit menular, seperti diare, kolera, malaria, typus, penyakit kulit dll. Selain itu perubahan iklim juga berperan terhadap bencana kekeringan yang pada dasarnya juga merupakan perubahan ekosistim hingga pada akhirnya berdampak pada kesehatan. 70
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Masyarakat Desa Sabaka Kec. MPH Hulu sebelum dilayani oleh organisasi PKMD Bethesda Serukam, secara administratif dilayani oleh wilayah Puskesmas Kec. MPH. Hulu. Akan tetapi, pelayanan dari Puskesmas sangat kurang, karena bayi/balita banyak yang tidak diimunisasi, ibu-ibu jarang mendapatkan pemeriksaan, dan anak-anak kurang gizi kurang mendapat perhatian. Sejak dilayani oleh PKMD mulai Tahun 2000 atas permintaan masyarakat Desa Sabaka, PKMD merealisasikan pelayanan dan pengkaderan kepada masyarakat untuk mengelola sebagian kecil pelayanan kesehatan seperti Posyandu. Sampai akhirnya sudah banyak perubahan di Desa Sabaka ini, khususnya tingkat kesehatan sudah menjadi lebih baik, bahkan angka kematian bayi/balita dan ibu hamil/ melahirkan tidak terjadi. Program yang dilaksanakan oleh kader kesehatan bersama dengan PKMD yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan anak adalah Posyandu. Posyandu merupakan Pos Pelayanan Terpadu dan merupakan suatu wadah komunikasi dan pelayanan kesehatan masyarakat, dari, oleh dan untuk masyarakat. Adapun kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah: KIA (Kesehatan Ibu dan Anak); KB (Keluarga Berencana); lmunisasi; Gizi; dan Penanggulangan Diare. Capaian yang berhasil diraih antara lain adalah tidak ada lagi kasus kematian ibu hamil dan melahirkan di Desa Sabaka dan Tunang sebagai daerah dampingan PKMD; tidak ada kematian akibat diare pada musim kemarau panjang; tidak ada anak kurang gizi; ibu hamil yang akan melahirkan mendapatkan pertolongan yang layak; kader dan tenaga medis aktif dalam kegiatan Posyandu. Permasalahan yang berhubungan dengan perubahan iklim diantaranya adalah musim kemarau yang semakin panjang jika Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
71
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada musim kemarau semacam itu banyak timbul kasus penyakit yang menyerang anak-anak, seperti: ISPA, demam, diare, dan lainlain. Disamping itu, musim kemarau yang panjang membuat ladang petani menjadi kering dan membuat hasil tani petani berkurang sehingga membuat kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Anak-anak dan ibu hamil beresiko kekurangan gizi. Belum lagi kesulitan air bersih dan transportasi sungai yang terganggu. Selain itu pada musim kemarau banyak asap yang mengganggu pernapasan dan suhu udara terasa lebih panas dari tahun-tahun sebelumnya. Resiko perubahan iklim diantaranya adalah: hutan yang terus mengalami kerusakan; perluasan perkebunan kelapa sawit; ancaman terealisasinya permohonan izin dari para Bupati yang mengusulkan lahan seluas 4 juta hektar; pembalakan liar (Illegal Logging); dan petani dengan metode ladang berpindah.
72
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Bagian Kelima
Membangun Inisiatif-inisiatif Lokal
Kreasi Diskusi Pojok yang dikembangkan sebagai ruang berbagi pengetahuan, pengalaman dan pembelajaran praktis komunitas dalam mengungkap sumber daya lokal masyarakat. Diskusi ini melibatkan para anggota sektoral pengembangan pedesaan dalam hal sebagai berikut: (1) Keahlian pengorganisasian yang partisifatif, (2) Keahlian dalam teknikteknik pembuatan dan pengembangan sarana dan produksi, (3) Media komunitas dalam pengembangan pedesaan (4) Pengenalan teknologi alternatif berbasis pengetahuan lokal masyarakat, serta (5) Pengembangan pedesaan dalam perspektif jender. Diskusi Pojok ini dikembangkan dalam 5 (lima) sesi diskusi, yaitu: (a) Keahlian Pengorganisasian yang Partisipatif, (b) Keahlian dalam Teknik-Teknik Pembuatan Sarana, (c) Pengenalan Teknologi Alternatif, (d) Pengembangan Pedesaan dalam Perspektif Jender, dan (e) Media Komunikasi dalam Pengembangan Pedesaan. Dalam diskusi pojok ini, nara sumber berasal dari kelompok dampingan serta pendamping kelompok. Penjabaran proses diskusi-diskusi tersebut adalah sebagai berikut: Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
73
A. Keahlian Pengorganisasian yang Partisipatif Pada diskusi pojok dengan tema “Keahlian Pengorganisasian yang Partisipatif ” disampaikan oleh Bapak Budi yang merupakan Ketua KSM Lemo-Lemo sebagai komunitas dampingan dari Yayasan Matepe dan Bapak Erwanto dari Aliansi Organik Indonesia (AOI). Bapak Budi menjelaskan kondisi masyarakat sebelum hingga pada proses terbentuknya KSM Lemo-Lemo. Pada tahun 2006, Dinas Pertanian setempat menginisiasi pembentukan Kelompok Tani yang berjumlah 25 orang untuk satu kelompok. Hanya pembentukan itu tidak ditindaklanjuti sampai pada akhirnya kelompok itu pun bubar karena tidak adanya kegiatan yang difasilitasi oleh Dinas Pertanian. Padahal pada awalnya Dinas Pertanian menjanjikan akan memberikan pelatihan dan dana bergulir, yang tidak kunjung diwujudkan. Hingga akhirnya pada 12 Maret 2007, Yayasan Matepe – Makassar melakukan sosialisasi program di Kantor Kecamatan Tinggimoncong Malino Gowa yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan adat, tokoh agama, pemuda, aparat pemerintah kecamatan serta masyarakat. Pada momentum inilah terjadi perkenalan dengan Yayasan Matepe dan masyarakat setempat yang kemudian menyatakan ketertarikannya untuk ikut dalam program yang disosialisasikan. Setelah melakukan sosialisasi, petugas Yayasan Matepe melakukan kunjungan ke lingkungan masyarakat di Lemo-Lemo untuk memberikan penyuluhan mengenai arti pentingnya membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat untuk menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Setelah penyuluhan, diadakan pertemuan/rapat oleh masyarakat Lemo-Lemo sejumlah 20 orang untuk membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Persyaratan yang dipenuhi diantaranya adalah (1) Pembuatan dan pengesahan 74
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
AD/ART, (2) Pemilihan pengurus KSM, (3) Adanya pemupukan modal (SP dan SW), (4) Komitmen untuk mengikuti seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain pelatihan pertanian organik, penyuluhan (KIA, MTBS, Jender, dll), dan pertemuan rutin kelompok. Setelah KSM terbentuk dan memiliki pengurus, maka dilakukan penumpukan modal melalui tabungan di KSM berupa simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. Dalam hal pembukuannya, ada bimbingan secara intensif dari petugas Yayasan Matepe. Dalam perjalanannya, KSM mendapatkan pelatihan pengelolaan KSM, pertanian organik sayur, dana bergulir dan penyuluhanpenyuluhan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilanjutkan dengan pendampingan oleh petugas lapangan setiap harinya, terutama dalam hal pembuatan pupuk organik dan pestisida organik. Pertemuan rutin diadakan setiap awal bulan pada malam hari. Di dalam pertemuan tersebut dibahas tentang permasalahan yang dihadapi dalam usaha, baik perorangan maupun kelompok. Juga persoalan terkait dengan simpan pinjam dan keuangan kelompok. Selain pertemuan rutin tersebut, ada juga pertemuan yang dilakukan menurut kepentingannya yang diikuti oleh seluruh anggota, baik laki-laki maupun perempuan. Selama proses pengembangan KSM, Yayasan Matepe terus melakukan pendampingan dengan melakukan kunjungan secara rutin di kebun maupun di rumah tinggal. Pengurus KSM juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan menjadi fasilitator dalam Training Gender, Manajemen KSM dan Seminar Pluralisme di Makassar. Hasil dari pelatihan tersebut juga disampaikan kepada seluruh anggota KSM, terutama bahasan mengenai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, hak untuk dipilih dan memilih, serta bagaimana membangun KSM yang kuat sehingga dapat Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
75
menjadi organisasi rakyat yang bisa ikut berperan serta dalam pembangunan masyarakat. Juga mengenai nilai-nilai menghormati sesama manusia yang mempunyai perbedaan suku, bangsa, dan agama. Setahun setelah KSM ini terbentuk, pada tahun 2008 sudah dapat dikatakan mandiri dengan indikator adanya dana milik anggota yang tersimpan di KSM dan sudah dikelola dengan baik (simpan pinjam) untuk kebutuhan anggota kelompok. KSM juga tidak lagi kesulitan dalam hal modal kerja dan juga tidak lagi meminjam modal dari pihak lain seperti tengkulak. Dan pihak pemerintah setempat mulai memperhatikan, atau dengan kata lain posisi KSM dimata pemerintah semakin kuat. Terlihat pada hibah bantuan penambahan modal sejumlah Rp. 50 juta oleh Dinas Pertanian, serta pelatihan berupa sekolah lapang untuk tanaman kentang. Dinas Perkebunan dan Kehutanan juga memberikan hibah berupa dana sebesar Rp. 10 juta dan mesin pengupas kopi. KSM Lemo-Lemo juga menjadi tempat penelitian bagi Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dalam hal budidaya markisa. Selain itu KSM juga diundang untuk mengikuti temu petani kopi seKabupaten Gowa. Pada pertemuan itu, setiap kelompok membawa sampel kopi untuk langsung disertakan dalam uji produk oleh tenaga ahli kopi dari Amerika. Hasil uji produk tersebut, KSM Lemo-Lemo mendapatkan predikat yang terbaik. Sehingga Dinas Perkebunan Kab. Gowa memberikan rekomendasi kepada PT. Toba Mas untuk bermitra dengan KSM Lemo-Lemo untuk memenuhi permintaan pasar dari Belanda. Dan sampai saat ini terus dikontrol kualitasnya oleh PT. Toba Mas. Sehingga PT. Toba Mas membuat rekomendasi yang menjadikan KSM Lemo-Lemo sebagai quality control untuk mutu kopi di daerah Kab. Gowa. Sampai saat ini pengembangan 76
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
pertanian organik yang dilakukan oleh KSM Lemo-Lemo adalah dengan cara menentukan bahwa setiap orang dalam KSM harus menyiapkan 30% dari luas lahan yang dimilikinya untuk lahan pertanian organik. Yayasan Matepe selain berjasa dalam menginisiasi pembentukan dan melakukan pendampingan, juga berjasa dalam mempromosikan hasil pertanian kepada pasar yang lebih luas dan juga dalam melakukan pendekatan kepada pihak pemerintah dalam hal penetapan harga produksi pertanian dan perolehan sertif ikasi. Anggota KSM saat ini lebih sadar akan pentingnya pertanian organik dan mampu memperkuat organisasi KSM dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Seyogyanya, KSM Lemo-Lemo tidak berhenti pada capaian di lingkungan Lemo-Lemo saja. Tapi mampu melahirkan KSM-KSM lain di tingkat kelurahan dan kecamatan. Sementara Bapak A.M. Erwanto, Presiden dari Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) yang merupakan komunitas dampingan dari AOI, menjelaskan bagaimana awal pembentukan kelompok madu hutan (organisasi madu hutan). Kelompok, awalnya hanya terdiri dari 5 anggota, kemudian terus bertambah hingga berjumlah 210 orang. Visi APDS adalah untuk menjadi penyedia madu hutan terbaik di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dampak positif dari terbentuknya APDS adalah harga madu menjadi lebih stabil dan dengan kualitas yang lebih baik karena ada perhatian terhadap mutu. Selain itu karena panen madu menggunakan teknik panen lestari, lingkungan lebih terjaga. Serta ada kemudahan dalam menjual ke masyarakat karena perhatian dari pihak luar semakin meningkat. Hambatan yang dialami adalah tidak adanya modal kerja untuk membeli madu dari Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
77
anggota dan untuk mengembangkan produk. Melalui berbagai pelatihan yang dilakukan oleh AOI seperti pelatihan manajemen usaha bersama, dan juga melakukan inspeksi panen madu, saat ini organisasinya telah mendapat pengakuan dari dunia internasional sebagai produksi madu hutan terbaik. Dari diskusi pojok tersebut dapat disimpulkan berkembangnya suatu kelompok salah satunya karena ada kemauan dan kekompakan anggota untuk mengembangkan strategi kelompok mereka. Membangun kelompok dengan prinsip adil dan transparan mampu mendorong upaya mensejahterakan anggota kelompok. B. Keahlian Dalam Teknik-Teknik Pembuatan Sarana Diskusi pojok dengan tema “Keahlian dalam Teknik-Teknik Pembuatan Sarana” disampaikan oleh Wilman Sirait, dari Petrasa yang merupakan yayasan yang bergerak di bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Pertanian Selaras Alam. Salah satu bidang yang didukung oleh Petrasa adalah kelestarian lingkungan. Program yang dilayankan untuk ini adalah pertanian selaras alam, yaitu sistem pertanian yang ramah lingkungan, menggunakan pupuk dan obat-obatan yang selaras alam, dan bebas bahan kimia. Saat ini, petani semakin tergantung kepada pupuk dan obat-obatan kimia dan cara-cara pertanian yang lebih praktis. Petani juga mulai meninggalkan kearifan lokal. Dampingan Petrasa diharapkan dapat menjadi petani yang mampu menyediakan produk selaras alam langsung dari lahan mereka sendiri, dengan pengelolaan yang ramah lingkungan, pengawasan/monitoring proses bertani dari pendamping sehingga ada sertif ikasi lokal saling percaya antara petani dan konsumen. Untuk itu petani dampingan dilatih bagaimana 78
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
membuat bokashi dan pestisida nabati. Sehingga petani dapat memperoleh bokas yang sangat baik digunakan di lahan pertanian. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan kembali rasa kerjasama dan gotong-royong di antara sesama penduduk desa. Materi tentang Pertanian, Peternakan dan Energi Alternatif Biogas disampaikan oleh I Made Sumaba sebagai Ketua Kelompok Mekar Sari yang merupakan dampingan Yayasan Maha Bhoga Marga, Bali. Mata pencaharian penduduk adalah bertani lahan kering yang mengandalkan air hujan dan embun yang jatuh dari langit sebagai pengairannya. Kepemilikan lahan rata-rata 50 are atau 5.000 meter persegi per keluarga. Tanah yang dimiliki masyarakat memang tidak luas, tetapi cukup dapat menghidupi keluarga dari waktu ke waktu. Subak sebagai organisasi masyarakat tani yang umumnya mengatur tata kelola air di Bali tidaklah dikenal, karena memang tidak ada air yang diatur atau dibagi bersama. Sedangkan air untuk kebutuhan sehari-hari harus menampung air hujan dalam suatu bak dalam tanah yang disebut dengan cubang. Organisasi petani yang Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
79
dikenal adalah Subak Abian, yaitu organisasi pertanian yang mengatur anggota masyarakat yang bercocok tanam pada lahan kering. Sehingga sistem pertanian tadah hujan, dimana pada musim hujan yang ditanam adalah jagung, sedangkan pada musim kemarau dirasakan udara kering dan panas serta jalanan berdebu hingga mencapai ketebalan semata kaki. Dengan demikian pada musim panas yang diandalkan hanyalah hasil dari tanaman keras seperti kopi. Sejatinya kondisi demikian sudah berlangsung turun temurun, akan tetapi terasa semakin memburuk akhir-akhir ini. Belum lagi pergantian musim yang semakin tidak menentu dan makin sulit diprediksi berakibat sulitnya menentukan siklus tanam. Ada kekhawatiran dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di komunitas. Sedangkan biaya produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida sudah semakin mahal dan sulit dijangkau dengan kemampuan daya beli, pada sisi lain sebagian besar petani semakin bergantung pada keduanya. Atas dukungan dari Yayasan Maha Bhoga Marga (MBM), dibentuklah kelompok ternak. Setiap kelompok terdiri atas sepuluh orang petani. Tiap petani memelihara dua ekor sapi Bali. Sapi tersebut dipelihara dalam sebuah kandang koloni/ komunal, yang artinya dalam satu kandang terdapat 10 sampai 20 ekor sapi. Dengan model tersebut dapat ditingkatkan kontrol sosial seperti pengawasan terhadap keamanan, kesehatan ternak, maupun proses pemeliharaan rutinnya. Selain itu memungkinkan tersedianya kotoran sapi yang cukup untuk memenuhi keperluan biogas. Yayasan MBM memberikan dukungan dana dan teknis kepada anggota kelompok untuk bergotong royong membangun instalasi biogas. Dengan biogas dapat diperoleh 80
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
energi kebutuhan sehari-hari secara murah dan mudah, sehingga masyarakat tidak perlu lagi merusak hutan lindung yang ada di batas desa dan tidak perlu lagi mengotori udara sejuk dengan asap dapur yang berjelaga. Di sisi lainnya, sebagian dari anggota kelompok mendapat keuntungan karena limbah biogas sudah dapat digunakan sebagai pupuk. Melalui pendampingan teknis dari MBM, kotoran sapi yang masih sisa diolah secara bersama-sama menjadi pupuk organik Merawat tanaman dengan pupuk organik merupakan hal yang baru bagi masyarakat setempat. Meskipun bukanlah hal yang ringan, namun masyarakat tetap bertekad untuk mengurangi penggunaan dan ketergantungan dari obat-obatan kimia yang harganya sudah tidak dapat diterka lagi, karena hampir meningkat setiap saat. Dengan berkelompok dapat diperoleh keuntungankeuntungan seperti: • • • • • •
Terciptanya suasana dan kesempatan saling belajar diantara anggota kelompok. Memperoleh penghasilan tambahan dari ternak sapi Bali yang dipelihara. Tersedianya energi yang murah dan mudah bagi anggota kelompok ternak. Tersedianya bahan baku pupuk organik yang dibutuhkan anggota kelompok. Berkurangnya perusakan hutan lindung oleh masyarakat. Meningkatnya rasa percaya diri anggota kelompok di masyarakat.
Permasalahan yang masih dihadapi oleh masyarakat setempat adalah terkait dengan lokasi yang berjauhan satu dengan yang lainnya, karenanya belum semua anggota dapat menikmati pemanfaatan biogas. Sesungguhnya persoalan ini Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
81
dapat diatasi seiring dengan pertambahan populasi sapi. Persoalan lainnya adalah pekerjaan membuat dan memupuk tanaman dengan pupuk organik masih dirasakan memberatkan bagi beberapa anggota kelompok. Tetapi sebagian besar telah menyadari bahwa ini merupakan satu langkah awal yang pada saatnya akan menjadi pembiasaan bagi seluruh angota kelompok dan masyarakat. Bapak I Made Sumaba menyampaikan bahwa . Kesulitan dalam bidang pertanian dikarenakan salah satunya dampak perubahan iklim, karena sulitnya menentukan masa tanam. Dengan biaya produksi yang semakin mahal dan ketergantungan bahan, menjadikan masyarakat mencoba mencari alternatif pekerjaan. Dengan dukungan Yayasan MBM, masyarakat membentuk kelompok ternak yang terdiri dari 10 sampai 20 ekor sapi yang diurus oleh 10 petani. Dengan model ini, petani bisa mengontrol keamanan ternak dan juga ketersediaan kotoran sapi untuk biogas dapat terpenuhi, sampai dapat membangun instalasi biogas sehingga petani bisa lebih ramah lingkungan. Manfaat yang dapat dirasakan melalui kegiatan per kelompok antara lain dapat terciptanya suasana dan kesempatan untuk berkelompok, tersedianya energi yang murah, tersedianya bahan baku organik, berkurangnya kerusakan hutan. Akan tetapi masih terdapat permasalahan dalam mengembangkan kelompok tersebut diantaranya letak lokasi yang jauh sehingga tidak semua dapat menikmati hasil biogas tersebut. Materi mengenai Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Daerah Urban disampaikan oleh Ibu Wiyanti yang merupakan penduduk pemukiman padat di kawasan urban, Perumahan. Bumi Dalung Permai Kuta Utara Kabupaten Badung - Propinsi Bali. Persoalan yang dihadapi adalah terkait dengan 82
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
pembuangan sampah. Banyak warga yang pada akhirnya membakar sampah, menebang/memangkas pohon kemudian menimbunnya. Oleh karena itu timbullah inisiatif untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Yayasan MBM mengenai pembuatan kompos organik yang dihasilkan dari sampah rumah tangga. Setelah itu dilakukan sosialisasi kepada kelompok dan lingkungan sekitar mengenai bahaya dan manfaat sampah. C. Pengenalan Teknologi Alternatif Diskusi pojok dengan tema “Pengenalan Teknologi Alternatif ” disampaikan oleh Bapak Tulus Tarigan dari dampingan Yayasan Ate Keleng (YAK). Dalam materinya digambarkan mengenai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Laut (PLTL) di Desa Sukamaju, Sumatera Utara sebagai energi penerangan dengan swadaya dari masyarakat. Pada tahun 1986 desa ini belum memiliki penerangan listrik. Sehingga kemudian masyarakat bermusyawarah untuk mendirikan PLTA, dengan memakai kincir air pada aliran air Laut Bengkurung yang memiliki terjunan air setinggi 20 meter. Pembangunan PLTA dilakukan dengan bergotong royong dan modalnya didapatkan dari swadaya masyarakat. Hanya karena keahlian yang kurang memadai, proyek ini sempat terkatungkatung sampai akhirnya dapat diselesaikan atas bantuan dan pendampingan dari Parpem GBKP. Penyelesaian dilakukan setelah 1,5 tahun dengan jaringan terpasang di dua dusun, yaitu: Batusanggehen dan Sukamaju. Pelanggan awal yang mendapat pelayanan PLTA adalah 115 keluarga. PLTA ini menjadi milik masyarakat dan dikelola oleh masyarakat. Sekarang pelanggannya telah mencapai 108 keluarga. Dampak pembangunan PLTA
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
83
yang dirasakan oleh masyarakat adalah penerangan di malam hari tanpa harus mengandalkan lampu teplok dan oncor berasap tebal. Selain itu rekening listrik rendah, karena sumber tenaganya adalah air, dan yang mengelola serta merawatnya adalah masyarakat sendiri. Hingga pada akhirnya terjadi penghematan ekonomi masyarakat dan meringankan beban kaum ibu di desa. Untuk menjaga keberlangsungan PLTA masyarakat berupaya untuk menjaga kelestarian pohon sepanjang sungai. Dan sungai kecil yang mengalir ke tempat lain dialirkan ke desa Sukamaju sebagai air minum dengan bantuan Pastor berguna menambah debit air pada proyek. Kendala yang dihadapi adalah kekurangan debit air di waktu musim kemarau, ini dikarenakan oleh pengundulan hutan di hulu sungai. Walaupun saat ini PLN (Perusahaan Listrik Negara) telah masuk ke desa mereka, tetapi mereka juga tetap menggunakan PLTA. D. Pengembangan Pedesaan Dalam Perspektif Jender Diskusi pojok dengan tema “Pengembangan Pedesaan dalam Perspektif Jender” disampaikan oleh Ibu Hikmah Diniyah dari Solidaritas Perempuan Kinasih, Yogyakarta. Dalam materinya disampaikan bahwa keterlibatan baik baik laki-laki maupun perempuan di semua sektor adalah hal yang penting. Salah satu bentuknya adalah perencanaan pembangunan yang partisipatif, yaitu cara yang strategis (substansi dan teknis) untuk merangsang suatu proses perencanaan pembangunan dengan keterlibatan aktif rakyat di komunitas pedesaan. Proses ini akan menghasilkan suatu rencana tindakan bersama rakyat yang berorientasi pada hasil, berjangka waktu, menunjuk pelaksana kegiatan yang jelas yang 84
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
mencakup kebutuhan semua rakyat, serta strategi pada pelaksanaan yang disepakati oleh seluruh sektor rakyat. Pembangunan berperspektif jender diterjemahkan sebagai pembangunan yang direncanakan dengan melibatkan dan mengakomodir kepentingan perempuan. Hal tersebut adalah penting karena perempuan dan laki-laki memiliki permasalahan yang berbeda akibat peran jender mereka. Untuk mencapai hal tersebut, penting untuk memperhatikan strategi yang dilakukan seperti menggunakan pendekatan perencanaan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, dengan melibatkan seluruh sektor masyarakat secara langsung, melalui metode “berembug bersama”. Salah satunya pada musrembang. Prinsip penting yang harus diperhatikan dalam upaya ini adalah menjaga agar proses tersebut tetap berorientasi pada partisipasi dan negoisasi yang memastikan bahwa masyarakat, laki-laki dan perempuan bersepakat terhadap tindakan yang mereka sepakati dan mampu mereka lakukan. Kemudian dalam hal pelaksanaan, pemeliharaan, dan monitoring, serta evaluasi dalam suatu kegiatan, hal yang penting adalah dana menjadi tanggung jawab secara bersama sebagai pelaku dalam pembangunan desa. Bagi kelompok perempuan, hal tersebut dapat memberikan manfaat berupa sarana pelatihan untuk penguatan organisasi dan dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam melihat permasalahan-permasalahan pembangunan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam prosesnya dapat membantu memperkuat dan memberdayakan masyarakat dan kelompok-kelompok perempuan untuk memperbaiki posisi tawar di hadapan pemerintah dan sektor swasta untuk penyediaan pelayanan dasar serta membangun Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
85
formasi kemitraan yang saling menguntungkan. Selain itu, pendekatan ini merupakan alat pengembangan kapasitas bagi pemerintah desa, kelompok perempuan, dan masyarakat yang secara langsung terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Serta monitoring langsung dalam pembangunan di lingkungan mereka. Tujuan jangka pendek yang hendak dicapai adalah diharapkan dapat menjadi pengenalan media pembelajaran penyusunan rencana aksi masyarakat secara partisipatif. Kemudian juga diharapkan terbangunnya empati masyarakat terhadap masalah yang dihadapi secara berkelompok dan membangkitkan kepedulian awal untuk mencoba secara bersama-sama memikirkan penanggulangan masalah bersama. Sehingga dapat tersusun agenda aksi bersama masyarakat dusun dalam mengatasi masalah-masalah di desa mereka dan terbentuk “Panitia Pembangunan Dusun/Desa” yang dapat menjadi institusi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di masa-masa yang akan datang yang melibatkan unsur lakilaki dan perempuan di setiap sektor dalam lingkungan masyarakat desa. Sementara untuk tujuan jangka panjang yang hendak dicapai adalah meningkatnya kemauan, kepedulian, kemampuan dan partisipasi masyarakat (terutama perempuan) di dalam menentukan perencanaan pembangunan wilayah/ lingkungan setempat di masa yang akan datang yang berkeadilan jender. Dapat menjadi wadah yang kuat dalam proses perencanaan berbasis prakarsa masyarakat secara partisipatif dan mengintergrasikan proses pembangunan yang partisipatif di dalam perencanaan dan penganggaran yang telah ada di masing–masing wilayah, seperti Musbangdes/ Musbangkel, Rakorbang dan lain sebagainya. 86
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya: Kelompok Perempuan melakukan Kula Nuwun; Rembug Awal dengan Tokoh Masyarakat; Pembentukan Panitia Rembug Kampung; Penyusunan Prof il Masyarakat Secara Partisipatif; Pembuatan Peta dan Maket (model dalam skala kecil) Kampung Secara Partisipatif; Menggambar Kampung Masa Depan; dan Kegiatan pendukung lainnya (Pertemuan secara berkelanjutan). Tantangan yang dihadapi dalam melakukan kegiatankegiatan tersebut diantaranya adalah aparat desa yang masih belum memiliki perspektif jender dan kepentingan kelompok antar sektor. Disampaikan bagaimana peran-peran perempuan serta keterlibatan perempuan dalam pembangunan di pedesaan salah satunya melalui musrembang. Melalui wadah tersebut, masyarakat mencoba mengakomodir kepentingankepentingan perempuan. Akan tetapi hal tersebut masih mendapat tantangan dari masyarakat yang menganggap bahwa perempuan hanya sebagai makhluk nomor dua, selain itu juga masih terdapat aparatur desa yang belum memiliki perspektif jender. E. Media Komunikasi dalam Pengembangan Pedesaan Sementara pada sesi “Media Komunikasi dalam Pengembangan Pedesaan” yang disampaikan oleh Zainul Arif dari Lakpesdam NU. Materi yang disampaikan adalah: Peran Radio Komunitas dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Desa. Radio Komunitas “Suara Katemas FM” terletak di Desa Katemas, Kecamatan Kudu. Berdasarkan data BPS setempat, jumlah penduduk desa ini mencapai kurang lebih 4500 orang, yang tersebar di 5 dusun. Mata pencaharian penduduk Ds.Katemas hampir seluruhnya bertani. Mereka bercocok Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
87
tanam ketika musim hujan tiba, saluran irigasi hampir-hampir tidak pernah mengalirkan air ketika musim kemarau. Selain itu, desa ini juga memiliki usaha home industry sebagai produk lokal, berupa kerajinan anyaman tikar yang bahan bakunya berasal dari daun pandan. Radio komunitas “Suara Katemas FM” ini berdiri diprakarsai oleh para pemuda dan tokoh masyarakat setelah melakukan beberapa kali pertemuan diskusi komunitas bersama dengan Lakpesdam NU Jombang. Inisiasi pendirian radio ini didasarkan pada kondisi riil masyarakat yang masih terbiasa mendengarkan radio dan senang berkomunikasi melalui pesawat radio. Masyarakat banyak bisa memberi masukan muatan radio komunitas, seperti ada hiburan lokal dan persoalan masyarakat lintas desa dan kecamatan yang bisa diangkat melalui radio. Radio SK mulai mengudara pada tanggal 8 Agustus 2004 di frekwensi 106,6 MHz.
88
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Beberapa program yang disiarkan diantaranya adalah Talk show Komunitas, yang dilakukan 3 kali setiap bulan. Iklan Layanan Masyarakat (ILM), yang berfungsi menyebarkan informasi dan pengetahuan tentang pertanian, pelestarian hutan, KRR, partisipasi masyarakat dan lain-lain. Drama Radio yang mengangkat isu tentang illegal logging, pertanian organik, Pilkades anti money politic, tembakau, dengan melibatkan komunitas sebagai penulis naskah, aktor, narator dan sutradara. Serta Features dan Berita Reportase, yang mengangkat isu tentang masalah masalah lokal yang terjadi di masyarakat. Radio Komunitas “Suara Katemas FM” ini berperan dalam masyarakat. Beberapa dampak yang dihasilkan diantaranya adalah masyarakat menjadi lebih peduli dan kritis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Misalnya respon masyarakat dalam menyikapi persoalan penjualan air irigasi dam Katemas oleh oknum waker setempat. Kemudian mendorong aparat desa dan pemerintah lokal untuk bertindak aktif terhadap kepentingan masyarakat dalam merespon persoalan-persoalan yang sedang dialami masyarakat. Misalnya: penyimpangan distribusi pupuk yang dilakukan oleh agen pupuk. Dampak lainnya adalah mengembangkan inisiasi upaya kemandirian masyarakat. Contoh: mengajak masyarakat untuk memanfaatkan kotoran hewan ternak mereka dikelola menjadi pupuk kompos/organik yang lebih sehat dan ef isien bagi sawah mereka. Dan juga mempengaruhi terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang pro pada kebutuhan masyarakat. Contoh: adanya perubahan alokasi dana program PNPM sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Radio ini juga dapat memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan desa. Contoh: pembuatan draft Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
89
Perdes tentang pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan desa oleh masyarakat dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan pelaksanaan proyek ADD. Beberapa kendala yang dirasakan menghambat Radio Komunitas “Suara Katemas FM” ini adalah terbatasnya sumber dana dan sumber daya pengelola radio, alat- alat siaran yang masih dalam proses penyempurnaan. Hal ini sedikit banyak berpengaruh pada rutinitas siaran radio, dan upaya regenerasi yang masih sulit diwujudkan. Sementara dari kondisi eksternal, yang menghambat adalah Undang-Undang Penyiaran yang belum berpihak pada radio komunitas, terkait dengan ketidakadilan frekwensi dan daya jangkau radio. Serta adanya beberapa kelompok kepentingan yang kontra dan tidak mendukung kegiatan Rakom SK FM seperti pada kasus pengelolaan irigasi dan agen pupuk. Hambatan lainnya adalah pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung keberadaan radio komunitas Beberapa langkah pemecahan yang sudah dilakukan adalah mencari akses sumber dana dari masyarakat setempat dan produksi iklan produk lokal untuk biaya operasional dan perbaikan peralatan siaran. Kemudian bekerjasama dengan Lakpesdam dalam peningkatan kapasitas sumber daya pengelola radio (Training broadcasting, penyiar, jurnalistik radio, moderator, produksi berita dan ILM, HAM, analisis sosial dan pluralisme). Serta memperkuat keterlibatan masyarakat dalam upaya regenerasi pengelolaan radio. Adapun terkait dengan hambatan eksternal, beberapa langkah solusi yang dilakukan adalah berupaya untuk mempengaruhi kebijakan peraturan Undang-Undang Penyiaran agar berpihak pada radio komunitas melalui hearing dan aksi bersama Jaringan Radio 90
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Komunitas untuk Demokrasi dan Lakpesdam NU Jombang. Selain itu memperkuat peran radio untuk memediasi kebutuhan masyarakat sehingga kelompok kepentingan yang tidak mendukung bisa diminimalisir. Dan melakukan upaya penguatan pemberdayaan rakom secara berjaringan. Radio komunitas ini dapat mengembangkan inisiasi upaya kemandirian masyarakat, mempengaruhi terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang pro pada masyarakat, memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan desa. Hal ini sesuai dengan misi radio komunitas yaitu membangun kesadaran kritis kebijakan pemerintah pusat, mendorong partisipasi masyarakat, mediasi proses mandiri, melestarikan dan mengembangkan budaya. Dalam membangun radio komunitas juga ada tantangan, salah satunya dari pemerintah (Bupati) dimana radio komunitas pernah dicekal dan hampir dihentikan karena pemberitaan, akan tetapi karena keinginan dan dorongan masyarakat lebih besar, akhirnya radio komunitas dapat bertahan sampai sekarang. Dalam sesi ini terjadi diskusi yang menegaskan posisi radio komunitas sebagai radio non komersial yang pengelolanya tidak digaji dan tidak ada dana operasional yang menjadi ketetapan. Sehingga dana bersumber dari sumbangan masyarakat, iklan masyarakat dll. Ada perbedaan radio komersial dengan radio komunitas, yaitu rakom dibangun lebih berdasarkan kebutuhan masyarakat, sementara komersial lebih pada maunya pasar. Perbedaan yang lain adalah radio komunitas mempunyai segmen pendengar yang khas tergantung dimana rakom berdiri misalnya seperti petani, pengerajin tikar dll. T idaklah sulit bagi rakom untuk mengangkat isu menjadi topik-topik yang diperbincangkan karena rakom tumbuh bersama masyarakat, tentunya isu-isu Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
91
yang diangkat adalah seputar situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat tersebut. Tetapi belum ada yang mengangkat isu pluralisme karena tidak ada nara sumber atau kebutuhan masyarakat. Dalam sesi ini juga peserta menanyakan apakah EED dapat membantu dalam pembentukan rakom di daerah partner-partner EED karena partner merasa penting dan rakom ini menjadi salah satu media kampanye, sharing dan penguatan masyarakat. Berdasarkan proses dan hasil diskusi pembelajaran bersama dalam diskusi pojok Pengembangan Pedesaan dalam Perspektif Jender dan Pengelolaan Sumber-Sumber Daya Lokal menghasilkan beberapa kesimpulan, antara lain: (1)
Pengembangan kelompok sangat bergantung dari kekuatan dan kemauan yang besar dari anggota kelompok, selain itu penting juga mengidentif ikasi sumber daya lokal yang ada, sehingga dapat dimanf aatkan dalam pengembangan ekonomi masyarakat. (2) Proses pembangunan yang selama ini belum berpihak kepada perempuan, sehingga penting bagi perempuan untuk terlibat dan berperan dalam proses pembangunan dengan menggunakan berbagai strategi pengorganisasian. (3) Radio komunitas dapat digunakan sebagai salah satu media bagi masyarakat untuk mengembangkan diri dan mendapatkan informasi berbagai hal.
92
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Bagian Keenam
Perubahan Iklim, Pluralisme, dan Keadilan Jender
Diskusi Pojok ini yang membahas tentang Peran Media Dalam Fundamentalisme Agama, Inisiatif Perempuan Menghadapi Politisasi Agama dan Bagaimana Peran Agama dalam Perubahan Iklim dengan Perspektif Pluralisme. Berikut ini adalah penjabaran proses diskusi-diskusi tersebut adalah sebagai berikut: A. Peran Media dalam Fundamentalisme Agama Sesi diskusi dengan tema “Peran Media dalam Fundamentalisme Agama” disampaikan Bapak Muhammad Syaf i’i dari Radio Suara Warga. Fundamentalisme agama merupakan wacana lama yang sering menimbulkan pro dan kontra. Dalam pandangan umum, fundamentalisme sering diartikan sebagai reaksi terhadap modernisme. Istilah ’fundamentalisme’ juga dapat diartikan sebagai sikap yang menolak menyesuaikan kepercayaan dengan kondisi-kondisi baru. Secara historik, istilah “fundamentalisme” diatribusikan pada sekte Protestan yang menganggap Injil bersifat absolut dan sempurna dalam arti Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
93
literal dan, dengan demikiran, mempertanyakan satu kata yang ada dalam Injil dianggap dosa besar dan tak terampuni. Perlu dipahami, fundamentalisme sesungguhnya ada dalam semua agama. Menurut Ahmad Suaedy, fundamentalisme juga dapat diartikan sebagai sebuah keinginan untuk mempraktikkan agama sedekat mungkin dengan bunyi teks kitab suci. Sedangkan menurut Hamim Illyas, fundamentalisme adalah skriptualisme, yakni keyakinan harf iah terhadap kitab suci yang merupakan f irman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan. Ahmad Suaedy mengemukakan bahwa di dunia modern, fundamentalisme menampakkan karakteristik dan agenda yang agak berbeda. Secara politik ia bermula dari keinginan untuk membebaskan diri dari kolonialisme di mana agama menjadi salah satu alat mobilisasi yang sangat penting. Terlepas dari sejarah dan pengertian dari fundamentalisme, perlu dipahami bahwa fundamentalisme agama merupakan ancaman bagi kerukunan beragama.Indonesia sebagai negara yang terdiri atas berbagai agama menjamin warganya secara penuh untuk bebas menentukan pilihan agama dan keyakinan mereka. Jaminan itu secara jelas termaktub dalam Dasar Konstitusi Negara Indonesia UUD 1945. Maraknya aksi terorisme atas nama ‘Jihad’ di Indonesia merupakan wujud penolakan atas adanya perbedaan pendapat dalam keyakinan. Menurut Gos Sholah, fundamentalisme agama dan radikalisasi massa merupakan tanda-tanda bagi ancaman nasionalisme Indonesia. Darius Dubut, seorang Deputi Direktur Dialogue Centre mengungkapkan bahwa 94
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
dalam konteks masyarakat yang plural, fundamentalisme adalah sikap yang dapat memicu berbagai keresahan dan kerusuhan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena fundamentalisme tidak hanya mempengaruhi struktur sosial-budaya dalam masyarakat, namun juga pada wilayah politik (Pdt. Robert Setyo dari Universitas Kristen Duta Wacana). Media massa memainkan peran yang cukup dominan dalam pembentukan opini tentang fundamentalisme agama. Selama ini, istilah-istilah “Islam fundamentalis”, “Islam militan”, ”Islam radikal”, “Islam konservatif ”, “teroris Islam”, dan sejenisnya sering digunakan untuk memberikan stigma negatif terhadap kelompok-kelompok Islam yang pemikirannya tidak sepakat dengan munculnya paham “pluralisme”. Padahal, sebenarnya media memiliki kekuatan strategis sebagai alat penyadar dan penyemangat. Melalui kekuatannya, media dapat memasyaratkan nilai, arah dan tujuan yang harus dituju oleh seluruh kelompok masyarakat – sehingga media mampu berfungsi sebagai alat pendidik masyarakat dan sebagai alat kontrol. Selain itu, media memiliki pengaruh sangat penting dalam membentuk pola pikir masyarakat, baik mengubah mentalitas kaum terjajah menjadi mentalitas bangsa merdeka – atau justru memperparah kebosanan. Oleh karena itu, dalam konteks fundamentalisme Islam dan kerukunan agama, media sebenarnya memiliki peluang besar yang bisa dimanfaatkan media untuk mengkampanyekan kerukunan dan menciptakan sikap toleransi pada setiap kelompok masyarakat. Menyadari kekuatan dari media tersebut diatas, sudah ada beberapa inisiatif-inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat untuk membentuk media komunitas untuk memenuhi Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
95
kebutuhan anggota komunitasnya. Oleh karena itu, media komunitas tidak mungkin lepas dari isu-isu atau masalahmasalah yang dihadapi oleh komunitas. Penghargaan atas perbedaan pendapat, keberagaman suku atau ras, serta perbedaan keyakinan merupakan salah satu isu yang cukup melekat dari keberadaan media komunitas, karena media komunitas bisa memainkan peran dalam meminimalisir efek negatif dari tumbuh suburnya aliran atau paham yang mengarah pada fundamentalisme agama. Tugas penting dari media komunitas dalam konteks ini adalah sebagai alat pendidik masyarakat agar ‘membiasakan’ kerukunan dalam kerberagaman. Bahkan, pluralism sebagai isu prioritas melalui beberapa radio komunitas menjadikan isu pluralisme dan perlawanan terhadap paham fundamental sebagai salah satu program prioritas dalam pelaksanaan siaran. Seperti misalnya Radio Komunitas Suara Warga Jombang, Jawa Timur, secara berjalan menggelar program (a) Dialog antar umat beragama dan antar kelompok (b) Iklan Layanan Masyarakat yang berisikan pesan pentingnya menghargai perbedaan (c) Peliputan yang mengkampanyekan pluralisme, dan (4) Produksi drama radio bertemakan pluralisme dan kerukunan. Langkah serupa juga dilakukan oleh Radio Komunitas Suara Budi Luhur (SBL). Radio ini berdiri di tengah-tengah komunitas penganuh agama Islam, Kristen dan Hindu dan kini secara tidak langsung menjadi media pemersatu antar kelompok masyarakat meski berbeda agama. B. Inisiatif Perempuan Menghadapi Politisasi Agama Pada sesi “Inisiatif Perempuan Menghadapi Politisasi Agama” disampaikan oleh Ibu Wahida Rustam dari Solidaritas Perempuan. 96
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Pengertian dari Politisasi Agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan atau kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, indoktrinasi, dan kampanye. Disebarluaskan melalui sosialisasi dalam wilayah publik dan dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan. Kemudian, dilakukan tekanan untuk mempengaruhi konsensus (kesepakatan) keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik. Terjadinya peningkatan trend fundamentalisme di Indonesia yang bertendensi mempolitisasi agama untuk kepentingan politik atau kekuasaan kelompok tertentu dan memiliki kecenderungan pengabaian keberagaman masyarakat Indonesia. Kondisi ini merupakan sebuah realita yang sangat mengkhawatirkan banyak kalangan. Sebagai contoh bahwa sampai saat ini, tercatat ada 152 kebijakan (Perda) di 21 propinsi yang bernuansakan Syariah Islam dengan bagan sebagai berikut:
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
97
Trend fundamentalisme ini membawa dampak yang sangat besar terhadap perempuan. Dalam perspektif fundamentalis yang menggunakan doktrin-doktrin patriarkis, perempuan seringkali dipandang sebagai penggoda dan pendosa, dan dianggap sebagai pilar moral, sehingga penting menjaga moralitas dan kesucian perempuan dalam sebuah kebijakan. Formulasi pembatasan tubuh, pikiran dan moblitas perempuan dalam kebijakan inilah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai obyek —dan membuat perempuan mengalami perlakuan yang diskriminatif. 98
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Beberapa studi kasus yang pernah ditemui Solidaritas Perempuan adalah di Desa Muslim Padang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kabupaten Bulukumba adalah kabupaten pertama di Sulawesi yang memiliki cross program keagamaan (Perda Syariah Islam). Seorang anak perempuan berumur 12 tahun dihukum cambuk karena dituduh melakukan zina –walaupun sebenarnya tangannya hanya ditarik oleh seorang laki-laki saat ingin ke kamar mandi di luar rumahnya. Hukuman cambuk itu dilakukan di depan semua warga desa, sehingga sampai saat ini anak perempuan itu menjadi enggan untuk keluar rumah karena tekanan sosial dan rasa malu yang ditanggungnya. Begitu juga yang terjadi di daerah-daerah lain, ada ‘pemaksaan’ terhadap perempuan melalui kebijakan (baik UU, Peraturan Daerah, maupun Peraturan Desa), misalnya saja kewajiban untuk menggunakan busana Muslimah, atau peraturan jam malam, dll. Perempuan ditempatkan sebagai obyek dalam kebijakan tersebut, aparat lebih sering melakukan razia terhadap perempuan, seringkali perempuan dikriminalisasi dan menjadi sangat rentan terhadap bentukbentuk kekerasan. Dalam perspektif hukum, sebenarnya kebijakan-kebijakan diskriminatif ini telah melanggar banyak UU yang berada diatasnya. Yang paling utama, kebijakan ini melanggar UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), UU No. 5 Tahun 1998 tentang Anti Penyiksaan dan Hukuman Lain yang Kejam, UU No. 10 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 11 Tahun 2005 (Ratif ikasi ECOSOC Rights) dan UU No. 12 Tahun 2005 (Ratif ikasi Kovenan Sipil dan Politik).
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
99
Selain politisasi agama melenceng dari semangat dan konstitusi Negara Indonesia, politisasi agama secara jelas menghambat proses demokrasi dan menghambat proses pemberdayaan perempuan. Melalui politisasi agama, kebijakan yang membatasi tubuh, pikiran dan mobilitas perempuan digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dan untuk kepentingan ‘politik’ kelompok tertentu. C. Peran Agama dalam Perubahan Iklim dengan Perspektif Pluralisme Hal yang sangat penting juga pada sesi “Peran Agama dalam Perubahan Iklim dengan Perspektif Pluralisme” yang disampaikan oleh RP Borrong. Agama mempunyai peran dan tanggung jawab terhadap persoalan perubahan iklim. Secara umum, agama berperan dalam memelihara lingkungan wujud dari iman kepada Allah pencipta sekaligus partisipasi mewujudkan kerajaan Allah. Sedangkan secara khusus, agama mempunyai komitmen untuk mengurangi dan menghapuskan produksi dan penggunaan zatzat pencemar udara, dan ikut memelihara hutan sebagai paruparu dunia. Apabila dilihat dari perspektif agama tentang lingkungan, maka sumber kerusakan lingkungan antara lain adalah: hati yang tercemar oleh dosa, racun materialisme dan egoisme, gaya hidup boros/konsumtif, tidak adanya kesadaran maupun ketidakpedulian dan tidak adanya pemahaman/ pengetahuan. Sebenarnya agama mempunyai peran yang sangat strategis dalam menghadapi persoalan perubahan iklim, yaitu pembentukan karakter umat yang menghargai dan peduli pada kebersihan lingkungan, serta pengkaderan para pemimpin umat yang berkomitmen pada pemeliharaan lingkungan hidup 100
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
sebagai ibadah kepada Tuhan. Selain itu, agama juga dapat membangun kerja sama lintas iman pada semua aras organisasi keagamaan, mulai dari lapisan paling kecil di jemaah atau komunitas basis sampai kepada tingkat pemimpin-pemimpin. Agar kebersamaan agama-agama ini menjadi potensi pemberi motivasi rohani kepada umat untuk bersama memelihara lingkungan hidup. Selain itu, peran-peran teknis yang dapat diperankan melalui pendekatan agama untuk mengatasi masalah perubahan iklim adalah sebagai berikut: •
•
•
• •
Pembinaan keimanan umat: ini sejalan dengan pengaruh dosa, materialisme dan egoisme: melalui khotbah, pengajian/pemahaman Alkitab di rumah-rumah ibadah maupun dalam komunitas basis masing-masing agama. Pembinaan khusus penyadaran mengenai pola hidup sederhana yang sejalan dengan kehidupan iman. Dalam tiap jemaah perlu dibentuk kader-kader penyuluh untuk menyadarkan warga mengenai perlunya hidup sederhana/ asketisme lingkungan untuk memaknai iman dalam memelihara lingkungan. Gerakan kebersihan lingkungan tempat Ibadah, rumah warga jemaah sebagai wujud dari iman. Mottonya: “Hidup bersih adalah ibadah”. Termasuk di sini mengelola sampah secara pribadi/RT. Secara khusus mengelola sampah di lingkungan rumah ibadah. Gerakan peduli pada kebersihan lingkungan sekitar: bergotong royong membersihkan selokan dari kotoran sampah, menanam pohon di tempat kosong. Memberi contoh/teladan peduli pada kebersihan dan keasihan lingkungan sekitar.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
101
• •
•
•
•
•
•
102
Mengembangkan pemikiran teologi agama-agama yang peduli pada hak-hak lingkungan sebagai ciptaan Tuhan. Menyediakan bahan pembinaan terhadap umat mengenai kaitan antara iman dan kepedulian pada lingkungan hidup sebagai bahan pembelajaran untuk pembinaan dan pendidikan umat. Bekerja sama dengan semua komponen dalam masyarakat menjadi mitra pemerintah meminimalkan pengerusakan lingkungan, misalnya mengumpulkan dan mengelola sampah agar tidak mencemari lingkungan. Yang lebih ditekankan di sini adalah kebersamaan dan kerja sama lintas iman dalam karya. Melakukan lobby dan pembinaan terhadap perusahaan yang merusak/mencemari lingkungan. Dalam hal itu komunitas agama-agama perlu mendampingi industri dan perkantoran untuk menjalani kehidupan yang peduli pada kebersihan. Sebagai kelompok produsen sampah yang besar, industri dan perkantoran perlu didampingi secara imaniah. Turut memprakarsai pelaksanaan program 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Bisa membentuk kelompok minat sendiri atau bekerja sama dengan pemerintah, perusahaan swasta dan LSM, tentu dengan memberi motivasi iman bahwa sumber daya alam harus dihemat dan dipelihara. Bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk melakukan penyuluhan tentang hidup bersih sejalan dengan keimanan anak-anak/siswa-siswa. Sebagai salah satu produsen sampah yang cukup signif ikan, lingkungan sekolah perlu mendapat pembinaan para agamawan. Membentuk kelompok minat/sentra pemilahan sampah dalam lingkungan masing-masing jemaah. Khusus untuk Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
•
warga jemaah yang masih menganggur atau kelompok pemuda, siswa dan mahasiswa binaan jemaah. Sekaligus pembinaan kader-kader yang menjadi penyuluh dalam jemaah. Membentuk kelompok minat/sentra untuk memelihara lingkungan, misalnya mengelola sampah demi memperoleh kembali manfaat yang bisa turut mendanai kegiatan keagamaan: misalnya; kelompok 3R, kelompok kompos dan kelompok minat lainnya. Semacam kelompok usaha kecil yang dibina oleh agamawan. Yang terutama dibentuk bukan skill nya tetapi karakternya.
Sesungguhnya bahwa untuk mengatasi perubahan iklim, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan individu secara praktis, antara lain adalah hemat menggunakan semua energi: minyak, listrik, kayu dan semua produk industri pabrikan, serta menghentikan kebiasaan yang merusak lingkungan, antara lain adalah membakar hutan atau sampah, memperdagangkan bahan kimia perusak lingkungan (CFC, aerosol, busa, dll), serta ikut membersihkan lingkungan yang kotor karena limbah, khususnya sampah. Umat beragama seharusnya mempunyai bentuk-bentuk kepedulian terhadap lingkungan, antara lain dalam bentuk: •
•
Solidaritas dengan alam (solidarity), dengan cara disiplin membuang sampah/limbah (baik individu, rumah tangga, industri dan sebagainya) agar tidak mencermari lingkungan dan merusak ekosistem. Pelayanan yang bertanggungjawab (stewardship), seperti misalnya penggunaan sumber-sumber alam secara hemat, misalnya dengan mempraktekkan 4R (Re-use, Recycle, Reduce, Replace).
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
103
•
•
•
•
104
Pengendalian diri (restraint), melalui gaya hidup sederhana (wajar), tidak serakah dan konsumtif, serta asketisme ekologis. Menghormati dan menghargai kehidupan (respect), Jangan membabat hutan sembarangan supaya tidak memusnahkan organisme di dalamnya sebab akibatnya akan terus berlanjut hingga mendatangkan petaka bagi manusia misalnya banjir besar yang seterusnya mengancam kehidupan lainnya. Maka kita harus hidup dengan moto: “cintailah kehidupan”. Bekerja sama (cooperative), ekologi, ekosistem dan ekonomi mempunyai akar kata yang sama yaitu kata Yunani “oikos”, artinya rumah. Oikos tidak lain dari bumi atau alam ini yang menjadi rumah semua ciptaan Allah. Maka kerja sama dengan semua pihak, khususnya kerja sama lintas iman/agama, adalah mutlak demi kemaslahatan seluruh ciptaan. Pertobatan (repent), manusia memang suka berlaku tidak adil terhadap lingkungan, sewenang-wenang dan semenamena. Manusia perlu bertobat, merubah perilaku yang merusak lingkungan.
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Bagian Ketujuh
Aksi Jaringan Masyarakat untuk Keadilan
A. Long March dan Konferensi Pers Upaya menyampaikan hasil Temu Nasional kepada pemerintah terkait, misalnya melakukan dialog dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) untuk menyampaikan pandangan masyarakat sipil untuk menegaskan berbagai masalah yang dialami masyarakat terutama masyarakat miskin akibat dampak perubahan iklim yang semakin mempengaruhi kehidupan mereka. Situasi ini diperparah dengan adanya berbagai Undang-Undang atau kebijakan yang mengabaikan hak konstitusi warga negara dan penghancuran sumber daya lokal masyarakat. Aksi masyarakat sipil tersebut disertai dengan pagelaran budaya yang memuat pesan-pesan kampanye desakan pemerintah untuk melindungi hak konstitusi warga negara dan bagaimana mengembalikan sumber daya lokal masyarakat untuk mengelola sumber-sumber kehidupan dengan kearifan yang mereka miliki. Masyarakat sipil juga melakukan Konferensi Pers dan Pembacaan Deklarasi Masyarakat Sipil.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
105
Kegiatan ini dilakukan tanggal 11 November 2009 yang diikuti oleh 130 orang dari 31 organisasi partner EED yang tergabung dalam “Jaringan Masyarakat Sipil untuk Keadilan”. Aksi tersebut dilakukan dengan long march dari halaman Monumen Nasional menuju kantor DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) dan Mahkamah Konstitusi. Peserta aksi yang menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah menyampaikan orasi tentang situasi ketidakadilan yang dihadapi masyarakat, laki-laki dan perempuan. Awalnya direncanakan untuk dialog dengan anggota DNPI, tetapi sangat disayangkan agenda tersebut gagal dilakukan tanpa penjelasan yang berarti dari pihak DNPI. Walaupun upaya panitia dan DK telah mengupayakan pertemuan dengan pihak DNPI maupun MK melalui surat dan kontak langsung kepada pihak DNPI dan MK. Awalnya mereka setuju untuk berdialog dengan masyarakat sipil, akan tetapi pada H-1 pihak DNPI mengatakan bahwa mereka ada pertemuan dengan Rahmat Witoelar. 106
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Masyarakat sipil kembali melanjutkan long march menuju kantor Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyampaikan permasalahan terkait Undang-Undang yang berpeluang terhadap pengabaian hak-hak rakyat serta pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif. Di Mahkamah Konstitusi (MK), peserta aksi kembali berorasi dan desakannya di depan gedung menyampaikan tentang Undang-Undang negara yang dinilai mengabaikan hak konstitusi warga negara. Aksi di MK disambut oleh Humas MK dengan menyerahkan Deklarasi Bersama Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Keadilan yang berjanji akan menyampaikan tuntutan masyarakat epada pengambil kebijakan di MK. Selain aksi, juga dilakukan Konferensi Pers bersamaan dengan aksi long march sebagai upaya menggalang dukungan publik atas tuntutan Masyarakat Sipil. Konferensi Pers tersebut menghadirkan 5 (lima) orang yang mewakili NGO dan masyarakat menyampaikan deklarasi bersama masyarakat sipil. Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
107
Tuntutan masayarakat sipil yang ditujukan kepada pengambil keputusan termasuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Mahkamah Konstitusi (MK) secara keseluruhan memuat hal-hal penting berkaitan dengan pemerintah seharusnya melakukan sinkronisasi terhadap produk perundang-undangan yang berimplikasi terhadap pengabaian hak-hak rakyat. Pemerintah juga hendaknya menjalankan kewajibannya untuk membuka akses dan fasilitas seluas-luasnya kepada rakyat untuk terlibat penuh dalam setiap proses kebijakan publik untuk pemenuhan kebutuhan kesejahteraan rakyat. Konferensi pers yang dilakukan ini mendapat perhatian dan respon positif media cetak dan elektronik yang ada di Jakarta, misalnya TV One, Metro TV, Kompas, dan beberapa radio. Adapun substansi Deklarasi Masyarakat Sipil dapat dilihat pada bagian di bawah ini:
108
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
DEKLARASI BERSAMA JARINGAN MASYARAKAT SIPIL UNTUK KEADILAN Kesalahan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menyingkirkan hak-hak rakyat, mengabaikan inisiatif masyarakat lokal yang pada akhirnya menyebabkan bencana ekologis dan memperburuk dampak perubahan iklim. Situasi perubahan iklim tersebut menyebabkan turunnya daya dukung dari sumber-sumber produktif rakyat dan berakibat pada pemiskinan kelompok-kelompok rentan, khususnya perempuan.Tantangan perubahan iklim ini semakin diperparah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menganut paham liberalisasi dan tidak perspektif perlindungan terhadap hak-hak rakyat, seperti UU Penanaman Modal (UUPM) yang memang sengaja dibuat untuk meningkatkan dominasi dan eksploitasi modal asing dalam investasi dan perdagangan dengan melakukan liberalisasi di semua sektor. UU ini melindungi kepentingan pemilik modal dengan menempatkan Indonesia sebagai penyedia bahan mentah dan buruh murah, melegitimasi investor baik dalam maupun luar negeri untuk melakukan peralihan aset ke luar negeri serta membuka lebar-lebar liberalisasi tenaga kerja asing yang kemudian mengancam peluang tenaga kerja dalam negeri. Selain itu, dengan disahkannya UU Penanaman Modal ini pemerintah Indonesia mengabaikan keadlan distributif bagi pendapatan dan hak-hak rakyat untuk pengelolaan sumber daya alam, pendidikan dan kesehatan. Liberalisasi di sektor kesehatan dapat dibuktikan dengan disahkannya UU Kesehatan. UU ini sebenarnya lebih melindungi rezi medis daripada hak-hak rakyat atas kesehatan. Negara mengalihkan tanggungjawabnya untuk mewujudkan
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
109
’Indonesia Sehat 2010’ kepada pihak swasta dalam rangka menyusun agenda komersialisasi di bidang kesehatan namun dengan kualitas kontrol yang amat terbatas. Kehadiran UU ini belum dapat dirasakan sebagai jalan keluar atas segala persoalan yang timbul akibat manajemen dan pelayan medis yang tidak memadai. Banyaknya respon masyarakat sipil atas UU yang mengabaikan hak-hak rakyat, dianggap suatu ancaman bagi negara, sehingga negara mengeluarkan kebijakan yang membatasi akses masyarakat sipil untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan seperti Permendagri No.38 tahun 2008, RUU Ormas dan RUU Rahasia Negara yang memberangus kedaulatan rakyat. Lebih jauh lagi, negara telah mengontrol hakhak seksualitas dan otonomi tubuh perempuan dengan dikeluarkannya UU Pornografi yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan serta melangggar nilai-nilai pluralisme. Sedangkan kebijakan yang dinilai dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat seperti UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, secara sengaja diselewengkan dan dilemahkan dengan berbagai kebijakan dan peraturan yang mencerabut hak-hak rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber-sumber penghidupannya, misalnya UU Migas, UU Minerba, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal dan UU Sumber Daya Air. Arah kebijakan pemerintah Indonesia yang mengarah ke neoliberalisme bahkan memperlihatkan tendensi kembali ke sistem otoritarisme, sebenarnya melenceng jauh dari kewajiban negara untuk melembagakan demokrasi dan memajukan kesejahteraan rakyat; parahnya, kebijakan-kebijakan tersebut melemahkan inisiatif pemberdayaan masyarakat dan secara sistematis menghilangkan kedaulatan rakyat. Kombinasi antara kesalahan pembangunan dan perubahan iklim global melahirkan kasus-kasus konflik sumber daya alam yang terjadi di daerah,
110
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
menghambar inisiatif-inisiatif pemberdayaan yang dilakukan masyarakat, mengakibatkan migrasi tenaga kerja, menyebarkan ancaman-ancaman ekologis, turunnya resiliansi masyarakat, berujung pada situasi kemiskinan ekstrim. Dalam pembukaan UUD 1945, tercantum jelas tentang kewajiban negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan berperspektif liberalisasi justru melanggar beberapa pasal dalam UUD 1945, antara lain pasal 27 ayat 2, pasal 33 ayat 2 dan 3, dsb. Usahausaha masyarakat sipil untuk melakukan judicial review atas UU Penanaman Modal dan UU Pornografi kurang mendapatkan penanganan yang siginifikan berpihak kepada rakyat. Permasalahan di atas, menjadi keprihatinan “Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Keadilan” yang telah melaksanakan ’Temu Nasional Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Keadilan’ di Wisma Hijau, Cimanggis pada tanggal 9-11 November 2009 dengan tema ’Perubahan Iklim, Kesehatan dan HIV/AIDS Dalam Perspektif Keadilan Jender, Pluralisme Dan Pengelolaan Sumber Daya Lokal’. Melihat berbagai permasalahan menyangkut hak hidup rakyat, dengan ini kami berkesimpulan bahwa : 1.
Adanya tumpang tindih beberapa produk perundangundangan yang ada di Indonesia, seperti UU Pokok Agraria no.5 tahun 1960 dengan UU Sumber Daya Air, UU Pornografi dengan UU No.7 tahun 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, UU Penanaman Modal dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
2.
Adanya implikasi dari UU yang tidak sensitif terhadap kepentingan rakyat menyebabkan terampasnya hak-hak rakyat.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
111
3.
Negara mengabaikan partisipasi dan inisiatif masyarakat didalam pengelolaan sumber daya lokal dalam penyelesaian konflik perubahan iklim, kesehatan, HIV/ AIDS, keadilan jender dan pluralisme.
4.
Tertutupnya akses dan kontrol rakyat atas kebijakan publik yang melindungi hak-hak rakyat sehingga membuat rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Berdasarkan kesimpulan di atas, kami ’Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Keadilan’ mengusulkan kepada pemerintah republik Indonesia melalui instansi terkait : 1.
Untuk melakukan sinkronisasi terhadap produk perundangundangan yang mempunyai implikasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat,
2.
Membuka akses dan fasilitas seluas-luasnya kepada rakyat untuk terlibat penuh dalam setiap proses kebijakan publik untuk pemenuhan kebutuhan kesejahteraan rakyat.
Wisma Hijau, Cimanggis- Depok 10 November 2009 JARINGAN MASYARAKAT SIPIL UNTUK KEADILAN Pelangi Kasih Siborong-Borong, IDRAP, PKMD Bethesda Serukam, YAKKUM Emergency Unit, Yayasan MATEPE Makassar, Kalyanamitra, CD Bethesda, Sintesa Kendari, Yayasan Petrasa, Yayasan Trukajaya, Aliansi Organik Indonesia, Bina Insani, BITRA, Pengmas GKPI Siantar, Lakpesdam NU, Solidaritas Perempuan, YAKOMA PGI, Pelkesi, AMAN, YAKKUM, YSSN, MBM, ELSAM, INFID, Pelpem GKPS, Prakarsa, YAK (Yayasan Ate Keleng).
112
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
B. Pembelajaran dan Langkah Kedepan Kegiatan Temu Nasional ini memberikan pembelajaran dan pengalaman yang sangat berharga bagi seluruh peserta. Secara khusus Temu Nasional ini telah memberi ruang bagi masyarakat dampingan dalam pertukaran pengalaman antar masyarakat dampingan lainnya, baik dalam merespon perubahan iklim maupun dalam pengembangan kapasitas dalam pengelolaan sumber daya lokal. Hal ini terlihat dengan semangat dan keinginan yang kuat dari CBO untuk menyampaikan permasalahan mereka dan membangun kekuatan bersama untuk mendukung dan melakukan advokasi bersama permasalahan yang dihadapi partner EED dan masyarakat dampingan. Keinginan ini terungkap ketika diskusi pleno, dimana seorang perempuan dari Siborong-Borong menyampaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat dengan kedatangan pertambangan dan meminta dukungan serta gerakan advokasi bersama permasalahan tersebut. Tidak hanya itu, strategi advokasi yang digunakan juga penting untuk menjadi pembelajaran bersama, hal ini penting dikarenakan salah satu target dari kegiatan tersebut adalah rekomendasi pertemuan akan disampaikan kepada pemerintah, sehingga baik dari segi deklarasi maupun kontak ke pihak pemerintah dapat dibangun dengan intens sebelumnya. Selain itu, proses evaluasi bersama yang melibatkan perwakilan lembaga yang hadir dalam Temu Nasional secara interaktif. Evaluasi membahas hal-hal teknis sampai substansi kegiatan Temu Nasional. Adapun hasil evaluasi dan masukan antara lain: •
Poin-poin deklarasi sebaiknya disampaikan juga ke daerahdaerah, sehingga dapat disampaikan kepada Pemerintah
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
113
•
• •
•
Daerah. Deklarasi yang sudah disampaikan, diharapkan ada pengawalan khususnya oleh NGO yang berdomisili di Jakarta dan yang melakukan upaya lobby dan advokasi di tingkat nasional. Diskusi pojok sebaiknya dipisahkan antara lembaga dan masyarakat dampingan. Tema-tema yang dimunculkan tidak semua dipahami masyarakat dampingan bahkan terdapat bahasa-bahasa yang sulit dipahami masyarakat. Secara keseluruhan kegiatan terlaksana sesuai dengan agenda dan rencana awal walaupun masyarakat sipil tidak berdialog langsung dengan ketua Mahkama Konstitusi dan Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim
Secara singkat, beberapa langkah ke depan yang dibutuhkan bersama untuk pertukaran pengalaman dan mendorong dukungan dan jejaring advokasi bersama partner EED adalah sebagai berikut: A. Deklarasi Masyarakat Sipil •
•
•
114
Poin-poin yang disampaikan dalam deklarasi, sebaiknya juga disampaikan pada kelompok dampingan, Pemerintah Daerah dan terus memperkuat advokasi di tingkat nasional. Sinkronisasi UU seperti yang disampaikan dalam deklarasi akan dimonitor oleh partner-partner yang melakukan advokasi pada tingkat nasional dan wilayah. Dewan Koordinator (DK) akan mengembangkan isu yang harus ditindaklanjuti dalam jejaring membangun dukungan dan advokasi bersama antar partner-partner EED terkait permasalahan yang terjadi di tingkat sektor, Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
contohnya kasus pertambangan yang sedang diadvokasi Pelangi Kasih. B. Website Sebagai media informasi dan interaksi partner EED yang bertujuan menggalang jejaring advokasi dan peningkatan kapasitas dengan: • • •
Menginformasikan kasus-kasus yang terjadi di komunitas. Mengelola isu dan menginformasikan kepada partner. Mengumpulkan data kekuatan partner.
C. Magang Antar Partner •
•
Penguatan kapasitas kelompok dampingan dapat menggunakan media magang lintas sektor, training dan asistensi teknis atau magang langsung ke lembaga partner sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan. Perlu penguatan terkait isu jender dan upaya pengarusutamaannya di dalam program-program pada partner EED sebagai upaya transformasi di tingkat lembaga.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
115
116
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Temu Nasional Mitra EED dan CBO’S di Wisma Hijau, Cimanggis , Depok, pada tanggal 9- 11 November 2010 dihadiri oleh: •
American Friends Service Committee (www.afsc.org/
[email protected]) merupakan organisasi yang beranggotakan orang-orang dengan berbagai latar belakang agama yang berkomitmen terhadap keadilan sosial, perdamaian, dan pelayanan kemanusiaan. Dalam temu nasional ini AFSC diwakili oleh Steven Robert Parker, Sony Ansyori Kusuma, Meri Efriana Djami, Stephana WB Sanith Kono, dan Raihana Laisouw.
•
Aliansi Organis Indonesia (www.organicindonesia.org/
[email protected]) adalah organisasi masyarakat sipil yang berbadan hukum perkumpulan, bersifat nir-laba dan independen untuk mewadahi upaya mengatasi persoalan marjinalisasi lingkungan dan mendorong kedaulatan petani. AOI diwakili oleh Erwanto, Jani, Farida, Rasdi Wangsa, Sucipto Kusumo Saputro, dan Sri Nuryati.
•
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (www.aman.or.id/
[email protected]), sebuah organisasi kemasyarakatan independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat adat dari berbagai pelosok nusantara. Pada pertemuan ini, AMAN diwakili oleh Muslihah, Nuri, Lili, Sofyan, Mardiana, dan Liwulanga.
•
Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia atau yang sering disebut BITRA adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang melakukan kegiatan pengembangan sumber daya manusia pedesaan di Sumatera Utara. BITRA Indonesia
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
117
dalam pertemuan ini diwakili oleh Jumarni, Tuti Surianti, dan Sudirman Tarigan. Informasi mengenai BITRA Indonesia dapat diperoleh di www.bitra.or.id atau dengan mengirimkan email ke
[email protected]. •
CD Bethesda (www.cdbethesda.org/
[email protected]), atau nama resminya adalah UPKM/CD RS Bethesda adalah lembaga nonprof it yang peduli dengan pelayanan kesehatan dan membantu masyarakat terpencil, khususnya di pedesaan. Pada pertemuan ini, CD Bethesda diwakili oleh Eko Rusmiati, Debora Dembi Tamar, Silvester Lahi, Hamdan Farchan, Pdt. Isak Laa, Gideon Sudarto, Maswan, Wisnugroho, dan Krisyatno. Hadir juga Paula Haryastuti (DK/CD Bethesda).
•
Bina Insani Indonesia, adalah organisasi yang didirikan sejak tahun 1991 untuk mendorong partisipasi perempuan dan anak dalam pembangunan melalui program pemberdayaan. Bina Insani Indonesia dalam temu nasional kali ini diwakili oleh Samijo, Nursalam, Sirajudin, Selviana Tonga, Aditiya Jaya, Restu Aprianta Tarigan, dan Wahyudhi. Bina Insani Indonesia dapat dihubungi melalui alamat email
[email protected].
•
Bina Potensi Desa atau disingkat dengan SINTESA (
[email protected]) adalah organisasi nirlaba dan independen berperan sebagai penggagas ide sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan membantu masyarakat dalam menggali sumber-sumber dana baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri untuk merealisasikan pelaksanaan program-program sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dalam pertemuan ini, SINTESA Kendari diwakili oleh Mukhlis Rauf, Mansyur Pawata, Supiani,
118
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Nurmin, Sanuwih, dan Marfaini. •
Gereja Batak Karo Protestan atau GBKP (www.gbkp.or.id/
[email protected]) dalam pertemuan ini diwakili oleh Pdt. Agustinus Purba, Nangkasi Keliat, Imanuel Ginting, Boy Tarigan, Cintariani Kaban, Kasna Ginting, dan Lesma.
•
Gereja Kristen Protestan Indonesia Siantar, diwakili oleh Wely Lingga, Charles Hutasoit, Saut Lumbangaol, Hotnida Hutagalung, Pirmauli Pakpahan, dan Mei Ulina Sarumaha. GKPI Siantar dapat dihubungi melalui email
[email protected].
•
GKPS, atau Gereja Kristen Protestan Simalungun (
[email protected]) pada pertemuan ini diwakili oleh Aliumbri Purba, Harris Ht. Sipayung, Espitaria Purba, Dinaria Sumbayak, dan Mutiara Aritonang.
•
IDRAP (Institution for Development of Rural and Indigenous People) adalah sebuah organisasi nirlaba dan organisasi non-pemerintah yang bekerja untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat asli dan pedesaan di Sulawesi Tenggara terhadap pembangunan. Pada pertemuan ini, IDRAP diwakili oleh Muhammad Alim, Haynuddin dan Bahaluddin (
[email protected]). Informasi lebih lanjut mengenai IDRAP dapat diperoleh dengan mengunjungi situsnya di alamat www.idrap.or.id.
•
International NGO Forum on Indonesian Development atau INFID (www.inf id.org/inf
[email protected]), adalah jaringan yang bersifat terbuka dan plural beranggotakan NGO-NGO dari Indonesia dan berbagai negara anggota Consultative Group of Indonesia, serta organisasi-organisasi
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
119
internasional dan individu dengan minta dan komitmen terhadap Indonesia. Inf id dalam pertemuan ini diwakili oleh Daniel Lasimpo, Andi Safrullah, Dominggus A Mampioper, Suwarna, Jackson Robinson, Wendy, Nikmah, dan Dhea. •
InSuFa, atau Indonesia Support Facility didirikan oleh EED pada tahun 2003 sebagai kantor pendukung bagi kira-kira 30 partner-partner Indonesia untuk membantu mengintensifkan dan mengembangkan kerjasama antara partner dan EED, antara partner dan konsultan, dan juga antar partner-partner Indonesia. Pada temu nasional ini, InSuFa diwakili oleh Gabrielle Fischer-Wilms, Nelda Riskawaty, Nila Kencana Dewi, dan Anna Marsiana.
•
Kalyanamitra (www.kalyanamitra.or.id/
[email protected]), adalah lembaga perempuan non pemerintah yang independen yang menpromosikan penyadaran mengenai hak-hak perempuan. Kalyanamitra dalam pertemuan ini diwakili oleh Iha Sholiha, Naning Ratningsih, Ana Amalia, Usrek, Wiwit Ningmiarseh, dan Rohmi.
•
Lakpesdam NU adalah singkatan dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU. Lakpesdam adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja untuk program pemberdayaan masyarakat dan merupakan salah satu perangkat organisasi Nahdlatul Ulama. Informasi lebih lanjut mengenai Lakpesdam NU dapat diperoleh di halaman situsnya dengan alamat www.lakpesdamjombang.org atau melalui email
[email protected]. Dalam temu nasional ini, Lakpesdam NU diwakili oleh Siti Arifah Anas, Anis Purwanti, Muhammad Syaf i’I, Dehasbiyallah Darajat,
120
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
Zainul Arif, dan Nur Salim. •
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan yang dibentuk untuk membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil melalui advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). Informasi mengenai ELSAM bisa didapatkan di halaman situsnya, dengan alamat www.elsam.or.id. Atau bisa menghubungi ke alamat email off
[email protected]. Pada pertemuan ini ELSAM diwakili oleh Siti Sumarni, Khumedy, dan Otto.
•
Maha Bhoga Marga adalah yayasan yang telah melakukan pendampingan terhadap sejumlah kelompok melalui program Kelompok Swadaya Masyarakat untuk mengembangkan perekonomian masyarakat dan mendorong terciptanya penguatan ekonomi di masyarakat melalui kegiatan berkelompok. MBM diwakili oleh Pdt. Suama, Sumaba, Meliana Susana, Debora, Mustika, dan Wiyanti dalam temu nasional ini. Informasi lebih lanjut mengenai MBM dapat diperoleh dengan mengunjungi halaman situsnya: www.mahabhogamarga.org atau melalui alamat email
[email protected].
•
Pelayanan Komunikasi Masyarakat Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (YAKOMA PGI) adalah lembaga yang menyelenggarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan dan kesaksian gereja-gereja Indonesia melalui berbagai media komunikasi. Yakoma PGI diwakili oleh Nuryana Aditya, Debbie CB Sondakh, dan Irma Riana Simanjuntak dalam tem nasional ini. Untuk mendapatkan informasi lebih jauh dapat melihat halaman situsnya
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
121
dengan alamat www.yakomapgi.wordpress.com atau melalui alamat email
[email protected]. •
Persekutuan Diakonia Pelangi Kasih yang berkantor pusat di Kecamatan Siborong-borong, Sumatera Utara ini Persekutuan ini merupakan sebuah wadah untuk mewujudkan aksi pelayanan Diakonia ditengah-tengah jemaat dan masyarakat yang didirikan oleh beberapa Diakones. Pelangi Kasih diwakili oleh Serephin Sitanggang, Sarah, Helfrida Deborah Gultom, Ati Monica Sinaga, Bungaria Sitorus, dan Saudur Sitorus dalam temu nasional ini.
•
Persekutuan Pelayanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia atau Pelkesi (www.pelkesi.or.id/pelkesi@cbn. net.id), merupakan satu wadah persekutuan dari LembagaLembaga dan Insan Kristen dalam bidang pelayanan dan pendidikan kesehatan se-Indonesia. Pada pertemuan ini, Pelkesi diwakili oleh Alex A Limpeleh AMJ, S.E., Alvonso F Gorang, Dedy Baboe, Anne Makahanap, Rita Hutmani P, dan Adriana Luji.
•
Perkumpulan Prakarsa (www.theprakarsa.org) adalah organisasi non-pemerintah yang berfokus pada aktivitas penelitian dan produksi pengetahuan di kalangan masyarakat sipil dan NGO dalam memecahkan problemproblem besar yang sedang dihadapi Indonesia. Dalam temu nasional ini, Prakarsa diwakili oleh Ah Maftuchan dan Binny Buchori.
•
PKMD Bethesda Serukam (
[email protected]. id), diwakili Dr. Husin Basir, Yulius, Siboy, Tius Santoso, Ajun, Setiawaty Rahayu, Asnah, dan Maria dalam temu
122
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan
nasional ini. PKMD Bethesda Serukam melakukan pendampingan terhadap masyarakat di Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Landak. •
Solidaritas Perempuan (www.solidaritasperempuan.org/
[email protected]), adalah organisasi feminis yang melakukan pembelaan terhadap perempuan akar rumput dari situasi ketidakadilan yang dialami oleh perempuanperempuan akar rumput tersebut. Dalam temu nasional kali ini, Solidaritas Perempuan diwakili oleh Nurhidayah, Hikmah Diniyah, Miafa Yetti, Murtiningsih, Amilan Hatta, Krisnawati, dan Daeng Bau.
•
Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) adalah organisasi yang melakukan pelayanan di bidang kesehatan secara menyeluruh, utuh, terpadu, dan berkesinambungan kepada masyarakat miskin dan tertinggal. Dalam temu nasional ini, YAKKUM diwakili oleh Kriswondo Y, Danu Ismoyo, Bambang Irianto, Riris Irmawati, dan Robby Reppa. Informasi mengenai YAKKUM dapat diperoleh dengan mengunjungi situsnya pada alamat www.yakkum.or.id atau melalui alamat email
[email protected].
•
YAKKUM Emergency Unit, diwakili oleh Carolina Dwi Yatchitha, dr.Maria Sylvia Merry, Syamsul Ardiansyah, Filipus Suparno, Robby Reppa, dan Ngustaji Taruman. YAKKUM Emergency Unit dapat dihubungi di
[email protected] atau
[email protected].
•
Yayasan Makkareso Leteng Pammase (MATEPE) Makassar dalam temu nasional ini diwakili oleh Sahria Dg. Sompa, Mince Palembangan, Haruna, Budi, Freddy E.
Catatan dan Refleksi dari Temu Nasional Partner EED
123
Pinontoan, dan Okto Lamarang. Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Matepe dapat berkunjung ke halaman situsnya dengan alamat www.matepe.org atau melalui alamat email
[email protected]. •
Yayasan Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Rakyat Selaras Alam (PETRASA) adalah organisasi nonpemerintah yang didirikan oleh beberapa akademisi, teolog, dan aktif is yang prihatin terhadap kondisi petani dan melakukan pelayanan di dataran tinggi Sumatera Utara. Dalam temu nasional ini, PETRASA diwakili oleh Samuel Sihombing, Wilman Sirait, Wandi Natal Manik, Lidia Naibaho, Yen Tantri Kudadiri, dan Ernita bt. Barus. Informasi lebih lanjut mengenai PETRASA dapat dijumpai di www.petrasaorganic.wordpress.com atau melalui email dengan alamat
[email protected].
•
Yayasan Sosial Solidaritas Nusantara atau disingkat YSSN (
[email protected]) dalam pertemuan ini diwakili oleh Arif in Alapan, Maman, Joko, Marsianus Amio, dan Harjon Gago Dura.
•
Yayasan Trukajaya (www.trukajaya.indonetwork.or.id/
[email protected]) adalah sebuah NGO yang bergerak dalam bidang pelestarian lingkungan, peningkatan pendapatan masyarakat, sanitasi lingkungan, pertanian organik, demokratisasi pedesaan, mikro kredit, dan energi alternatif. Trukajaya dalam pertemuan ini diwakili oleh Mardi, Supandi, Ratna Puspitaningtyas, Garwati, dan Eunike Widhi Wardhani.
124
Menggali Pengalaman, Membangun Keberdayaan