Makalah KEKUASAAN TUHAN (Tafsir Atas QS. Al-Maidah (5): 18 dan 120; QS.Al-An’am (6): 59)
OLEH ANDI SHAIFUDDIN 0011.03.24.2009i1
Dosen Pengajar: Prof. Dr .H. Rusydi Khalid, MA Dr. H. Thahir Bandu, MA Makalah dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Tafsir Program Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA (UMI) 2010 i
1
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab al-Qur’an yang telah secara sempurna diturunkan oleh Allah Swt kepada umat manusia bukanya telah menyelesaikan persoalan-persoalan hidup, sebagaimana a-Qur’an adalah kitab petunjuk dan pembeda antara yang benar dan yang batil. Namun menyisahkan masalah yang akan dijumpai oleh umat Islam sampai akhir zaman. Dipahami bersama, bahwa al-Qur’an itu sebagai petunjuk tentu menemui kendala karena, pertama, al-Qur’an dengan bahasa arabnya tentu agak kesulitan dipahami oleh orang-orang Islam non arab. Kedua, setidaknya al-Qur’an yang turun di Mekah dan Madinah dalam fase dakwah dan perjuangan Nabi Muhammad Saw, tentu dengan konteks bahasa dan budaya arab waktu itu, di mana al-Qur’an turun atau diturunkan. Dalam konteks ini, tentu Islam sebagai agama rahmah atau pembawa risalahnya Rasulullah Saw sebagai rahmatallilalamin dan al-Quran sebagai kitab agama universal akan mengalami problem konteks dengan bahasa arab dan tradisi arab yang menyertainya. Karena itu seorang penafsir al-Qur’an menghadapi tugas yang berat dan sangat penting yang bersifat ilmiah.1 Al-Qur’an sebagai lanskap kehidupan yang kaya, harus dilakukan
ziarah historis yang
akan mengajak kita memahami al-Qur’an sehingga mendorong munculnya pembaruan, penyegaran, dan perluasan horison keagamaan. Lebih dari itu, sebuah tradisi dan paham keagamaan tidak mengeras dan menutup diri, lalu menjadi ideologi yang disakralkan dan tabu terhadap setiap penafsiran baru. Perluasan penafsiran sulit diwujudkan jika seorang tidak menyadari bahwa 1
Dr. Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir, diterjemahkan oleh Zufran Rahman dengan judul Sejarah Perkembangan Tafsir, (cet.1; Jakarta: Kalam Mulia, 1999) h. 29
2
semua peristiwa dan pemikiran selalu dibatasi oleh situasi, termasuk medium bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Quran dan masyarakat Arab yang disapa secara langsung kala itu. Menyadari akan dimensi “situasional” ini maka tradisi Islam
telah melahirkan sekian banyak mujtahid yang selalu berusaha
memperluas horison penafsiran dan pemahaman umat Islam terhadap Al-Quran, yang resikonya kadang berupa perselisihan antartokohnya.2 B. Pengertian Judul Dalam bahasa Arab kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti: penjelasan atau keterangan, yakni menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Keterangan yang memberikan pengertian sesuatu disebut tafsir.3 Ulama lain mengemukakan bahwa tafsir itu adalah menerangkan (maksud ) lafaz yang sukar sipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksudnya, baik dengan mengungkapkan sinonim tersebut, atau dengan mengungkapkan uraian yang mempunyai petunjuk padanya melalui jalan dalalah.4 Penulis
mengaitkan
dengan
Kekuasaan
Tuhan
karena
dalam
interpretasi penulis, menemukan bahwa surat Al-Maidah (5):18; Al-Maidah (5);120 dan surat Al-An’am (6);59 ketiganya mengungkapkan ampunan dan siksa sebagai wujud kekuasaan Tuhan, langit dan bumi serta semua yang terdapat di dalamnya dan pengetahuan Tuhan atas segala sesuatu merupakan wujud nyata kekuasaan-Nya. Karena itu, judul Menafsirkan kekuasaan Tuhan merupakan interpretasi penulis atas tiga surat yang menjadi bahasan makalah ini sebagaimana disebutkan di atas.
2
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (cet.2 Bandung:Teraju Mizan,2004) h. ix-x Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (cet.4 Jakarta: Pustaka Firdaus,1996) h. 5 4 Abu Anwar, Ulumul Qur’an, (cet.2 Pekan Baru: Sinar Grafika, 2005) h. 98 3
3
C. Rumusan Masalah Untuk mengarahkan pembahasan makalah sederhana ini, maka penulis membatasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penafsiran ulama tafsir tentang surat Al-Maidah: 18; AlMaidah: 120; dan surat Al-An’am: 59. 2. Apa kandungan hukum dan hikmah tasyri’ atas 3 surat di atas? II PEMBAHASAN A. Penafsiran Ulama Tafsir a. Tentang Surat Al-Maidah (5): 18
Terjemahannya : Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “(Kalau betul begitu) mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” Tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia menyiksa kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan kepada-Nya-lah kembali (segala sesuatu).5 “Dan berkata Yahudi-yahudi dan Nasrani-nasrani itu: “kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihnya.” (pangkal ayat 18). Menurut tafsiran
5
Prof.H.Mahmud Junus, Tarjamah Quran Karim, Bandung: PT. Al-Ma’arif, cet.2, 1987
4
Ibnu Abbas yang dirawikan (diriwayatkan) oleh Ibnu Ishaq, dan Ibnu Jarir, dan Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dan al-Baihaqi dalam Dalaailun-Nubuwwah ialah bahwa pada suaru hari datanglah beberapa pemuka Yahudi kepada Rasulullah saw yaitu Ibnu Ubay, dan Bahri bin Amr dan Syasy bin Adiy. Mereka diajak bercakap-cakap oleh Rasulullah saw dan diajak kembali kepada jalan Allah, dan Rasulullah mengingatkan siksaan yang akan mereka terima jika mereka tidak mau menerima kebenaran. Lalu mereka berkata kepada nabi: “Engkau tak usah mengancam-ancam kami, ya Muhammad! Demi Allah, kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya belaka!”6 Tradisi menyebut dan mengklaim dirinya sebagai “anak dan kekasih Allah” memang telah ada sejak zaman sebelum Almasih. Sabda Isa Almasih yang menguatkan pandangan di atas adalah: Berbahagialah segala orang yang mendamaikan orang, karena mereka itu akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9). Demikianlah kesalahpahaman sampai hari ini disebagain besar kaum Nasrani dan Yahudi tentang pemakaian kalimat Anak Allah. Padahal makna yang sebenarnya adalah kasih sayang Tuhan kepada siapa saja yang menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Allah. Sebab itu juga gelar kehormatan zaman purbakala itu adalah karena suatu sebab, yaitu mereka yang menjauhkan dirinya dari dosa dan suka mendamaikan orang digelar “Anak Tuhan” dan sebaliknya mereka yang gemar berbuat dosa diberi gelar “Anak Iblis”7 Menegaskan pandangan tersebut, seorang penulis Zending Kristen Dr. Peterson Smith, menulis buku dengan judul Kehidupan Yesus sebagaimana dikutip Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya bahwa memang di waktu hidupnya
6 7
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ V-VI, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 199 Ibid, h. 194
5
sendiri, tidaklah terlintas di fikiran orang, terutama murid-muridnya sendiri bahwa dia itu (Almasih putra Maryam) adalah Allah, atau anak Allah, atau Allah sendiri yang telah menjelma menjadi manusia. Barulah dia dikenal sebagai Allah setelah dia diangkatkan ke langit. Sedangkan di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama yang dijadikan dasar pertama untuk menguatkan Nubuwwat Isa, diakui sendiri oleh pemuka-pemuka Kristen bahwa tidak ada kata yang tepat menuhankan Isa, kecuali kalau dicari-cari jalan buat menafsirkan. Maka turunlah al-Quran menegaskan dan mengajak supaya kembali berfikir yang wajar, QS. Al-Maidah (5): 17
Terjemahan: Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah itu, adalah Dia Almasih anak Maryam.8 b. QS. Al-Maidah (5): 120
Terjemahannya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya, dan Dia maka kuasa atas segala sesuatu.9 Ayat terakhir dari surat Al-Maidah tersebut merupakan kesimpulan penegasan keesaan Allah dan kekuasaannya. Kunci Tauhid Uluhiyah dan
8 9
Ibid, h. 185 Op.Cit, Prof Mahmud, h. 116
6
Rububiyah yang sejati, pegangan segenap orang yang beriman. Tidaklah Dia bersekutu dengan yang lain dalam Kerajaan Yang Maha Kaya raya itu, yang meliputi seluruh langit dengan segala tingkatnya; seluruh bumi dengan segala lapisnya. Yang nyata kelihatan oleh mata ataupun yang hanya dapat dicari dengan mata-hati. Wajarlah jika Hamka menyatakan bahwa tidaklah mungkin ada yang lain menjadi Syarikat-Nya dalam kekuasaan itu, baik Almasih atau ibunya (Maryam), ataupun siapa saja termasuk rasul akhir zaman Muhammad saw.10 Imam Jalaluddin dalam tafsir Jalalain-nya meninterpretasikan bahwa ayat tersebut menjelaskan kepunyaan Allah (langit dan bumi) sebagai tempat penyimpanan hujan, semua tumbuhan, semua rezeki serta apa yang ada di dalamnya. Digunakan kata “maa”, karena kebanyakan makhluk Allah itu terdiri dari yang tidak berakal. Tetapi dia maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk yang tidak berakal itu. Kekuasaa Tuhan itu jua ditegaskan memberi pahala kepada yang berbuat benar, dan menyiksa orang yang berbuat dusta.11
c. QS. Al-An’am (6): 59
10
Op,Cit, Prof. Hamka, h. 137 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, diterjemahkan Bahrun Abu Bakar,L.C dengan judul Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul Ayat, Cet. IV, Bandung: Sinar Baru, 1997, h. 511-512 11
7
Terjemahan: Dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan yang di lautan, dan tidaklah dari sehelai daun yang jatuh melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak sebutir biji (yang jatuh) dalam kegelapan bumi dan tidak biji yang basah dan tidak (pula) biji yang kering (yang jatuh) melainkan (semuanya tertulis) dalam kitab yang nyata (terang).12 Sebelum menjelaskan ayat tersebut, penulis mengutip QS. Al-An’am: 50 yang menguatkan ayat dia atas:
Terjemahan: Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang Malaikat, aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat ? “Apakah kamu tidak berfikir?” 13 “Dan pada sisi-Nya-lah kunci-kunci yang gaib.” pangkal ayat 59 di atas menjawab pertanyaan kaum muslim dan orang-orang kafir tentang apakah Muhammad saw mengetahui yang gaib atas segala kekuasaan Allah Swt. Sebagian menilai bahwa Muhammad menyimpan perbendaharaan Allah, maka 12 13
Op.Cit Prof. Mahmud, h. 122-123 Ibid, h. 121
8
turun ayat di atas (QS. Al-An’am (6): 59) untuk memberi penjelasan atas pertanyaan di atas bahwa seluruh kunci-kunci (rahasia) yang gaib itu hanya ada pada sisi Allah saja. Tidak ada yang lain, termasuk malaikat atau manusia yang mengetahuinya. Kalaupun ada sedikit pada rasul-rasul, itu bukan karena mereka mengetahui sendiri kunci-kunci itu tetapi karena diajarkan Allah Swt dan pengajaran Allah terhadap rasul-rasul dan malaikat tentang sedikit yang gaib itu bukanlah pertanda kelemahan tetapi bahkan sebagai tanda akan kebesaran dan kekuasaan-Nya. Oleh sebab itu mutlak bahwa yang gaib adalah seluruhnya dalam kekuasaan Allah Swt. “Tidaklah mengetahui akan dia, kecuali Dia.” 14 Kemudian, dilanjutkan bunyi ayat; “Dan Dialah yang tahu apa yang di darat dan di laut.” Menurut Prof. Hamka didahulukan menyebut daratan, sebab manusia hidup di darat. Hanya Allah saja yang mengetahui segala isi daratan bumi ini. Kalau manusia merasa diberikan pengetahuan tentang segala isi daratan, diberikan oleh Allah hanya sedikit saja. Semua atas pengetahuan Allah swt, daun kering dan basah yang jatuh ke tanah, pergantian musim kering (yang menyebabkan keringnya daun-daun berguguran) dan datangnya musim hujan yang membuat tangkai, ranting, daun dan pohon-pohon hijau bersemi kembali termasuk bunga-bunga. Biji-bijian yang telah lama mengering dan tertanam dalam tanah yang kering tandus sepertinya mati, tetapi begitu rahmat Tuhan berupa hujan turun dari langit, maka semua yang dikira mati itu bangkit (tumbuh) karena kekuasaan dan pengetahuan Allah Swt, Allahu Akbar!15 Semua peristiwa, kejadian yang nampak oleh manusia ataupun yang
14 15
Imam Jalaluddin, Op,Cit, h. 559 Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, cet. III, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, h. 298
9
tidak nampak (karena gelap, malam) atau karena pengetahuannya yang sedikit saja seharusnya disisi lain menjadi kekuatan bagi manusia untuk menguatkan keyakinannya bahwa ada Dia (Tuhan) yang maha mengetahui, maha kuasa atas semua ini dan telah menetapkan semuanya di dalam ketetapannya yang terang (nyata) yaitu dalam Sunnatullah dan Lauhul Mahfuz.
B. Interpretasi Kandungan Hukum QS. Al-Maidah (5): 18 menegaskan bahwa klaim kaum Yahudi dan Nasrani bahwa mereka adalah anak-anak dan kekasih-kekasih Allah dibantah oleh Allah Swt dalam ayat tersebut. Ayat tersebut memberi jawaban bahwa mereka semua termasuk umat Islam adalah manusia biasa dari semua manusia yang diciptakan-Nya. Tuhan akan menyiksa siapa saja yang berbuat dosa dan akan memberi gajaran pahala (kebaikan/surga) juga kepada siapa saja yang berbuat kebajikan karena taqwa. Di akhir ayat tersebut Tuhan meneguhkan kekuasaan-Nya dengan menyatakan: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan kepada-Nya-lah kembali (segala sesuatu). QS. Al-Maidah (5): 120. Ayat ini hanya menegaskan lagi tentang kekuasaan Allah Swt. Bahwa Allah-lah pemilik kerajaan langit dan bumi. Termasuk menguasai raja-raja yang mengklaim menguasai beberapa wilayah atas langit dan bumi Tuhan. Dan akhirnya, kekuasaan itu ditegaskan kembali: Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
10
QS. Al-An’am (6): 59. Ayat ini merinci secara mendetail tentang wujud terkecil dari kekuasaan Allah itu. Bahwa Semua yang gaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Swt. Pengetahuan dan kekuasaan Tuhan itu meliputi daratan dan lautan. Termasuk yang terjadi di dalamnya seperti jatuhnya daun dan biji-bijian basah dan kering dikegelapan bumi sekalipun tidak akan terjadi kecuali atas pengetahuan dan izin Allah Swt. Jadi, pengetahuan Allah atas semua hal termasuk kejadian yang terkecil sekalipun di langit dan di bumi merupakan wujud kekuasaan-Nya. C. Hikmah Tasyri’ 1. Makna dalam interpretasi sejarah, sarat dalam QS. Al-Maidah di atas. Bahwa Nabi Isa (putra Maryam) itu bukan anak Allah dalam arti yang sesungguhnya, tetapi dia (Isa Almasih) adalah rasul Allah yang gemar menolong dengan kasih sayang (memang ajaran tentang cinta banyak menjadi tema ajaran Isa Almasih). Tetapi pelajaran itu tentu jangan sampai diwarisi oleh umat Muhammad saw (kaum Muslim) karena potensi itu juga ada, sebagaimana QS Ali-Imran (3): 110 bahwa: “Adalah kamu sebaik-baik ummat dikeluarkan di antara manusia.” 2. Iman kepada yang ghaib adalah pokok kepercayaan dalam Islam. Kalau tidak percaya lagi kepada yang gaib, berarti runtuhlah segenap kepercayaan. Zaman Materialisme saat ini, berpeluang memengaruhi dan mempertentangkan di antara yang gaib dengan yang ilmiah atau yang abstrak dengan yang kongkrit. Yang perlu diwaspadai adalah paham bahwa segala hal-ihwal yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera ini adalah khayal belaka, dan tidak perlu dipercayai.
11
III KESIMPULAN Beberapa masalah yang telah penulis bahas dalam makalah di atas, dapat disimpulkan: 1. Kekuasaan
Allah
dalam
QS.
Al-Maidah
(5):
18,
disamping
menjelaskan tentang kekuasaan Allah swt. Juga memberikan pelajaran sejarah (asbaabun nuzul) bahwa klaim Yahudi dan Nasrani sebagai anak dan kekasih Tuhan hanya kesombongan belaka, karena Allah akan menyiksa Yahudi, Nasrani termasuk Islam siapa saja yang berdosa dan memberi pahala siapa saja yang berbuat kebaikan atas dasar iman dan taqwa. 2. Bukti kekuasaan dan pengetahuan Allah atas kekuasaan-Nya dijelaskan dalam QS. Al-An’am (6): 59. Ayat ini merinci pengetahuan yang juga otomatis sebagai kekuasaan-Nya bahwa tidak ada suatu kejadian kecilpun yang terjadi yang tidak diketahui-Nya dan atas izinNya (kekuasaan-Nya). DAFTAR PUSTAKA Anwar, Abu. Ulumul Qur’an, Cet.II Pekan Baru: Sinar Grafika, 2005 Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Quran Cet.1, Bandung: Mizan, 1997 Hamka, Prof. Dr., Tafsir Al-Azhar Juzu’ V-VI, Cet.I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987 Hamka, Prof. Dr., Tafsir Al-Azhar, Juzu’ VII, cet. III, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
12
Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan, cet.2 Bandung:Teraju Mizan,2004 Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-suyuthi, Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun nuzuul Ayat, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar, L.C.,Cet. IV, Bandung: Sinar BaruAlgesindo, 1997 As-Shalih, Subhi. Mabahits fi Ulumil-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, cet.IV, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993 Asy-Syirbashi, Ahmad. Sejarah Tafsir Al-Qur’an, cet.4 Jakarta: Pustaka Firdaus,1996 Syurbasyi, Ahmad. Qishshatul Tafsir, diterjemahkan oleh Zufran Rahman dengan judul Sejarah Perkembangan Tafsir, cet.1; Jakarta: Kalam Mulia, 1999