Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
PENGEMBANGAN MODEL IDENTIFIKASI DAERAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (BURNED AREA) MENGGUNAKAN CITRA MODIS DI KALIMANTAN (MODEL DEVELOPMENT OF BURNED AREA IDENTIFICATION USING MODIS IMAGERY IN KALIMANTAN) Suwarsono*), Rokhmatuloh**), Tarsoen Waryono**) Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lapan **) Departemen Geografi Fakultas MIPA, Universitas Indonesia e-mail:
[email protected] *) Peneliti
Diterima 12 Agustus 2013; Disetujui 22 Oktober 2013
ABSTRACT Forest and land fire has become serious threat to global communities since the last two decades, esspecially related to the aspects of environments and natural resources degradation. Kalimantan is the part of Indonesia that has the most vulnerable area of forest and land fire. Development of spatial models to quickly and effectively identify land and forest fire is required. The objective of the research is to develop appropriate identification algorithm model of burned area derived from MODIS imagery. Methods of the research were developed using variabels extracted from MODIS imagery such as vegetation index (NDVI), burn index (NBR), and reflectances. Identification of the burned area was conducted by thresholding methods, calculation of the threshold value of changes in the values of variables NDVI. The NBR, and reflectance for the pixels were expressed as burned area. The separability and accuracy were done to test the validity of each model. The research found that, all algorithm models examined in Kalimantan have good ability to discriminate burned and unburned area. The ∆NBR algorithm model has been identified to have the highest accuracy, of approximately 63,5 %. It was concluded that the most approriate algorithm model for burned area identification in Kalimantan using MODIS imagery is ∆NBR. Key words: Identification, Burned area, NBR, MODIS, Kalimantan ABSTRAK Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi ancaman cukup serius bagi masyarakat secara global pada dua dekade terakhir, terutama terkait dengan degradasi aspek-aspek lingkungan dan sumberdaya alam. Kalimantan merupakan daerah di Indonesia yang paling rawan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model-model algoritma untuk mengidentifikasi area terbakar yang paling sesuai diaplikasikan di Kalimantan menggunakan citra MODIS. Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan variabel indeks vegetasi (NDVI), indeks kebakaran (NBR), dan reflektansi dari citra MODIS untuk mengidentifikasi area terbakar. Identifikasi area terbakar dilakukan dengan metode pengambangan (thresholding), yaitu perhitungan nilai ambang batas dari perubahan nilai-nilai variabel NDVI, NBR, dan reflektansi untuk piksel-piksel yang dinyatakan sebagai area terbakar. Kemudian dilakukan perhitungan tingkat separabilitas dan akurasi untuk menguji validitas tiap-tiap model. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya semua model algoritma baik perubahan NDVI, NBR dan reflektansi memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi area terbakar di Kalimantan. Namun demikian, dari semua model algoritma tersebut, hanya model 93
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
algoritma perubahan NBR yang memberikan tingkat akurasi paling tinggi, yaitu sebesar 0,635 atau 63,5%. Dengan demikian, model algoritma identifikasi area terbakar yang paling sesuai diaplikasikan untuk daerah Kalimantan dengan menggunakan citra MODIS adalah model algoritma perubahan NBR. Kata kunci: Identifikasi, Area terbakar, NBR, MODIS, Kalimantan 1
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi perhatian masyarakat global tahun-tahun belakangan ini sebagai isu lingkungan dan ekonomi, terutama sejak kejadian El Nino Southern Oscillation (ENSO) pada tahun 1982/1983, 1994 dan 1997/1998 yang mengakibatkan kebakaran besar di Indonesia (Malingreau et al., 1985; Goldammer and Seibert, 1990; Kita et al., 2000; Tacconi, 2003). Tercatat bahwa pada kebakaran tahun 1997/1998 sebanyak 25 juta hektar lahan di seluruh dunia mengalami kebakaran (Tacconi, 2003). Kebakaran hutan dan lahan dianggap sebagai sebuah potensi ancaman terhadap pembangunan berkelanjutan karena dampak-dampak langsungnya terhadap ekosistem, kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dam dampakdampaknya terhadap keanekaragaman hayati (Tacconi, 2003). Lebih lanjut, kebakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap degradasi hutan dan lahan di daerah tropis (Hoffman et al., 2003). Kalimantan merupakan wilayah di Indonesia yang paling rawan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dapat dilihat dari data statistik bahwa 11,7 juta hektar hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia pada periode tahun 1997/1998, sebagian besarnya terdapat di Kalimantan (8,1 juta ha atau 69 %). Sementara, untuk daerah lainnya, luas wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan, meliputi; Sumatera (2,1 juta ha), Jawa (0,1 juta ha), Sulawesi (0,4 juta ha), dan Papua (1,0 juta ha) (Tacconi, 2003). Memperhatikan ancaman bencana kebakaran hutan dan lahan wilayah 94
Indonesia, terutama Kalimantan, serta dampak-dampak cukup serius yang akan diakibatkannya, maka perlu dilakukan suatu upaya mitigasi bencana. Salah satu upaya yang sangat bermanfaat dalam mendukung upaya mitigasi ini adalah penyediaan informasi sebaran spasial daerah-daerah yang telah mengalami kebakaran hutan dan lahan (area terbakar). Informasi ini sangat berguna bagi pemerintah maupun pihakpihak terkait lainnya yang menaruh perhatian dalam upaya rehabilitasi lahan pasca kebakaran. Pengukuran area terbakar secara langsung di lapangan, selain relatif mahal, juga memerlukan waktu yang lama. Lebih-lebih dilakukan pada wilayah yang luas dan sulit terjangkau. Salah satu alternatif metode yang dapat dilakukan untuk penyediaan informasi daerah bekas kebakaran hutan dan lahan secara relatif lebih cepat, dapat dilakukan secara serentak pada daerah yang relatif luas dan sulit terjangkau, biaya yang relatif lebih murah serta dengan tingkat akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh (Cochrane, 2003). Salah satu jenis citra satelit yang sudah sering digunakan untuk analisis terkait dengan kebakaran hutan dan lahan adalah Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). Sebagian besar penelitianpenelitian yang mengkaji pemanfaatan citra penginderaan jauh untuk identifikasi area terbakar dikembangkan di luar wilayah Indonesia, yaitu wilayah subtropis dan lintang sedang, seperti di Canada (Fraser et al., 2000; Li et al., 2000; Fraser et al., 2003; Goetz et al., 2006; Chuvieco et al., 2008), Amerika Serikat
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
(Kasischke et al., 1995; Key and Benson, 1999; Wagtendonk et al., 2004; Brewer et al., 2005; Cocke et al., 2005; Epting et al., 2005; Roy et al., 2005a; Eidenshink et al., 2007; Giglio et al., 2009), Spanyol (Martin et al., 1995; Salvador et al., 2000; Chuvieco et al., 2002; Lloret et al., 2002; Martin et al., 2002; Chuvieco et al., 2005), Afrika bagian selatan (Roy et al., 1999; Roy et al., 2002; Roy et al., 2005b; Giglio et al., 2009), Rusia (Sukhinin et al., 2004; Roy et al., 2005a; Giglio et al., 2009), dan Amerika bagian selatan (Roy et al., 2005a). Oleh sebab itu, apabila akan diaplikasikan di wilayah Indonesia, atau wilayah yang lebih spesifik lagi, misalnya Kalimantan, informasi area terbakar yang dihasilkan menggunakan model-model tersebut masih perlu dipertanyakan tingkat keakuratannya. Dengan demikian, penelitian ini penting dilakukan untuk mengembangkan model-model identifikasi area terbakar yang sudah ada tersebut di wilayah Indonesia, khususnya Kalimantan hingga dapat diketahui model manakah yang paling tepat untuk dipergunakan berdasarkan tingkat validitasnya. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model identifikasi daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (area terbakar) di Kalimantan menggunakan citra MODIS berbasis pada perubahan nilai NBR, NDVI, dan reflektansi. Dengan demikian, dari penelitian ini akan diketahui model identifikasi area terbakar dari citra MODIS yang paling sesuai diaplikasikan untuk daerah Kalimantan. 2
AREA TERBAKAR
Area terbakar (burned area) dapat diartikan sebagai daerah di permukaan bumi yang menunjukkan ciri-ciri telah mengalami peristiwa terbakar akibat proses-proses alami atau terbakar oleh manusia baik disengaja atau tidak disengaja dimana pada daerah tersebut sebelumnya merupakan lahan yang didominasi oleh tutupan vegetasi hutan maupun vegetasi non hutan (seperti:
semak, belukar, atau tegalan).
perkebunan,
ladang
Burned area berbeda dengan hotspot. Dalam konteks kebakaran, hotspot merupakan suatu daerah di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya berdasarkan ambang batas suhu tertentu. Hotspot hanyalah merupakan indikasi potensi akan terjadinya kebakaran, sehingga belum tentu akan terjadi kebakaran. Jadi dengan kata lain dapat diartikan bahwa burned area merupakan kebakaran aktual, sedangkan hotspot adalah kebakaran potensial. Di dalam istilah asing, selain disebutkan sebagai burned area, daerah bekas kebakaran hutan dan lahan juga disebutkan oleh beberapa ahli dengan istilah-istilah lainnya yang sinonim, seperti; burnt area (Miettinen, 2007; Tansey et al., 2004), burnt land (Chuvieco et al., 2002, 2005; Martin & Chuvieco, 1995; Martin et al., 2002), burnt scar (Ruecker & Siegert, 2000), maupun firescar (Salvador et al., 2000; Eastwood et al., 1998). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah “area terbakar” yang diterjemahkan dari istilah burned area. Di luar negeri, istilah burned area ini dipergunakan oleh lebih banyak ahli (Fraser et al., 2000; Roy et al., 2002; 2005b, 2009; Clark et al., 2003; Sousa et al., 2003; Gitas, 2004; Tansey et al., 2004; Boschetti et al., 2006; Giglio et al., 2009). Telah banyak penelitian yang mengambil topik terkait dengan pemanfaatan citra satelit penginderaan jauh untuk mengidentifikasi kebakaran hutan dan lahan, termasuk di dalamnya area terbakar. Penelitian-penelitian terkait dengan pemanfaatan citra satelit penginderaan jauh untuk mengidentifikasi area terbakar dilakukan menggunakan jenis citra, model dan lokasi yang berbeda. Pada banyak penelitian, model identifikasi area terbakar berbasis pada model perubahan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) memberikan 95
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
hasil yang baik (Martin & Chuvieco, 1995; Fraser et al., 2003; Roy et al., 1999; Fraser et al., 2000; Goetz et al., 2006; Li et al., 2000; Kasischke & French, 1995; Lloret et al., 2002; Salvador et al., 2000). Sebagian besar dari penelitianpenelitian tersebut menggunakan citra NOAA-AVHRR dan dilakukan di wilayah subtropis dan lintang sedang, seperti Canada, Amerika Serikat, Spanyol, Portugal, dan Afrika Selatan. Model tersebut juga menjadi salah satu pendekatan untuk menghasilkan produk informasi area terbakar secara global bernama Global Burned Area 2000 (GBA2000) yang diolah dari citra SPOT Vegetation (Fraser et al., 2003; Tansey et al., 2008). Model identifikasi area terbakar berbasis pada model perubahan nilai Short Wave Vegetation Index (SWVI) menggunakan citra SPOT Vegetation pada wilayah hutan di Canada juga memberikan hasil yang baik disamping model perubahan NDVI (Fraser et al., 2003). Selain model perubahan NDVI, model identifikasi area terbakar lainnya yang banyak diterapkan dan juga memberikan hasil yang baik adalah model yang berbasis pada perubahan nilai Normalized Burn Ratio (NBR) (Key and Benson, 2002; Epting et al., 2005; Cocke et al., 2005; Wagtendonk et al., 2004; Eidenshink et al., 2007; Brewer et al., 2005; Keeley et al., 2009). Model ini sudah digunakan secara meluas di Amerika Serikat dengan menggunakan citra Landsat. Di samping itu, model identifikasi area terbakar berbasis pada model perubahan nilai Burned Area Index (BAI) juga telah dikembangkan oleh Chuvieco et al. (2002) dengan menggunakan citra NOAA-AVHRR di beberapa negara Eropa seperti Spanyol, Italy dan Yunani. Bila dibandingkan dengan model perubahan NDVI, model perubahan BAI memberikan hasil yang lebih baik (Chuvieco et al., 2002). Terkait dengan citra MODIS, beberapa peneliti telah mengembangkan metode identifikasi area terbakar dari citra ini dengan berbagai model 96
pendekatan. Roy et al. (1999) telah menginisiasi pengembangan model identifikasi area terbakar menggunakan citra MODIS berdasarkan model perubahan NDVI yang telah diujicobakan terlebih dahulu dengan menggunakan citra NOAA-AVHRR untuk selanjutnya diterapkan pada Citra MODIS. Namun demikian, dengan mengambil lokasi penelitian yang lebih luas di Afrika Selatan, Roy et al. (2002), menemukan bahwa model identifikasi dengan citra MODIS yang paling baik adalah dengan menggunakan pendekatan perubahan nilai pantulan (reflektansi) dari panjang gelombang inframerah kanal 5 dan kanal 7. Model tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut untuk wilayahwilayah Afrika Selatan, Australia, Amerika Selatan, dan Rusia sebagai prototipe model penentuan area terbakar untuk skala global (Roy et al., 2005a). Lebih lanjut, dalam skala regional, Miettinen (2007) juga telah mencoba mengembangkan model identifikasi area terbakar menggunakan citra MODIS untuk wilayah Semenanjung Asia Tenggara. Menurutnya, untuk wilayah tropis yang banyak tutupan awannya, perlu digunakan citra MODIS komposit multitemporal. Di Indonesia, Roswintiarti et al. (2006, 2007) dan Suwarsono et al. (2008, 2009, 2011) pernah berusaha untuk memanfaatkan citra penginderaan jauh untuk mengidentifikasi area terbakar dengan mengambil lokasi di beberapa daerah. Namun demikian, penelitian tersebut hanya bersifat memetakan area terbakar dengan citra MODIS dengan mengaplikasikan suatu model saja dan belum sampai pada tahap pengujian tingkat kemampuan dan tingkat akurasinya. Penelitian lain juga pernah dilakukan di Kalimantan Timur oleh Siegert & Hoffmann (2000). Namun penelitian yang dilakukan lebih kepada penggunaan citra SAR (ERS-2) dengan resolusi temporal yang rendah dan belum memanfaatkan data MODIS yang memiliki resolusi temporal lebih tinggi.
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
3
BAHAN DAN METODE
3.1 Data a. Citra MODIS Data MODIS yang dipergunakan adalah data reflektansi kanal 1 hingga 7. Citra yang dipilih adalah citra MODIS tahun 2011 yang diolah secara 8 harian (MODIS 8-days) dengan nama produk MOD09A1 dan MOD09Q1. MOD09A1 berisi data reflektansi kanal 3 hingga 7 dengan resolusi spasial 500 meter. Sedangkan MOD09Q1 berisi data reflektansi kanal 1 dan 2 dengan resolusi spasial 250 meter. Baik MOD09A1 maupun MOD09Q1 merupakan produk MODIS standar yang dikeluarkan oleh NASA. Citra MODIS 8 harian yang dipilih untuk periode sebelum kebakaran, yaitu 8 harian ke-145 (25 Mei-1 Juni), 153 (2 – 9 Juni), 161 (10-17 Juni), 169 (18-25 Juni), dan 177 (26 Juni – 3 Juli). Sedangkan untuk periode setelah kebakaran dipilih citra 8 harian ke-273 (30 September – 7 Oktober), 280 (8 – 15 Oktober), 289 (16-23 Oktober), 297 (2431 Oktober), dan 305 (1-8 November). b.
Hotspot
Data hotspot yang dipergunakan adalah data hotspot MODIS bulanan selama kurun waktu 2011. Data hotspot ini bersumber dari website LAPAN Indofire. Data ini digunakan untuk menetapkan periode puncak kebakaran yang terjadi di tahun 2011. Data hotspot ini juga dipergunakan untuk membantu dalam identifikasi area terbakar. c.
Citra Landsat-7 dan SPOT-4
Citra Landsat-7 digunakan untuk membuat peta area terbakar referensi, yaitu peta yang digunakan sebagai acuan untuk menguji tingkat akurasi informasi area terbakar. Nomor scene yang dipilih adalah yang mencakup seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan (dua provinsi yang dipilih untuk dilakukan delineasi area terbakar referensi. Tanggal citra sebagian besar dipilih
tahun 2011, yaitu yang mendekati tanggal perekaman citra MODIS yang dipergunakan. Tanggal perekaman citra Landsat-7 yang dipilih tersebut meliputi: path/row 117/161 (8 Juli dan 9 Agustus 2011), 117/162 (22 Juni dan 9 Agustus 2011), 117/163 (14 Februari dan 28 Oktober 2011), 118/160 (25 Maret dan 20 November 2011), 118/161 (13 Juni dan 20 November 2011), 118/162 (13 Juni dan 3 Oktober dan 20 November 2011), 119/160 (20 Juni dan 10 Oktober 2011), 119/161 (26 Desember 2010 dan 30 Januari 2012), 119/162 (19 Mei dan 10 Oktober 2011), 120/161 (10 Mei dan 17 Oktober 2011), dan 120/162 (11 Juni dan 17 Oktober 2011). Citra SPOT-4 yang digunakan yaitu dengan nomor scene dan tanggal: 291/356 (16 November 2011), 292/356 (21 Agustus 2011), 294/357 (4 Juli 2011), 295/355 (17 Maret 2011), 297/ 354 (3 April 2011), 297/355 (14 Februari dan 25 Juli 2011), 297/356 (17 Maret dan 18 November 2011), 297/357 (17 Maret dan 18 November 2011), 298/356 (19 Mei dan 21 Agustus 2011), 299/ 56 (15 Agustus 2011), 299/358 (15 Agustus 2011), 300/355 (5 Juli 2011), dan 300/ 356 (5 Juli 2011). 3.2 Metode Analisis Area Terbakar a.
Penentuan kebakaran
periode
puncak
Periode puncak kebakaran diketahui dari analisis pola intensitas hotspot bulanan dari bulan Januari hingga Desember 2011. Berdasarkan pola intensitas hotspot bulanan ini dapat diketahui periode sebelum kebakaran (pre fire), puncak kebakaran (peak fire) dan periode setelah kebakaran (post fire). Informasi ini penting untuk menentukan rentang waktu dari citra MODIS yang dipilih untuk identifikasi area terbakar. b.
Ekstraksi variable citra MODIS
indeks
dari
Variabel indeks yang diekstraksi dari citra MODIS harian adalah variabel indeks vegetasi dan indeks kebakaran. 97
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
Indeks vegetasi yang digunakan adalah NDVI, sedangkan indeks kebakaran yang digunakan adalah NBR. Untuk menghitung nilai NDVI dilakukan dengan mengadopsi metode Huete et al. (1999). Metode Key and Benson (2002) diadopsi untuk menghitung NBR. Metode NBR tersebut telah dipergunakan oleh Eidenshink et al. (2007) untuk memetakan wilayah kebakaran hutan/ lahan di seluruh wilayah Amerika Serikat. Persamaan untuk menghitung kedua variabel tersebut, yaitu sebagai berikut:
NDVI
B2 B1 B2 B1
(3-1)
Keterangan: NDVI : Normalized Difference Vegetation Index B1 : Reflektansi kanal 1 MODIS (0,620 0,670 µm) B2 : Reflektansi kanal 2 MODIS (0,841 0,876 µm)
NBR
B2 B7 B2 B7
(3-2)
Keterangan: NBR : Normalized Burn Ratio B2 : Reflektansi kanal 2 MODIS (0,841 0,876 µm) B7 : Reflektansi kanal 7 MODIS (2,105 2,155 µm) c.
Pembuatan citra MODIS komposit multitemporal
Komposit citra MODIS dibuat untuk periode 40 hari (40-days) dari data reflektansi citra MODIS 8 harian (8days). Satu periode komposit citra 40 harian terdiri dari 5 citra MODIS 8 harian. Di sini dipilih periode sebelum puncak kebakaran dan setelah puncak kebakaran. Pemilihan komposit 40 hari mengacu hasil penelitian dari Miettinen (2007), yang mensyaratkan minimal 30 hari citra komposit untuk identifikasi di daerah tropis yang banyak terkendala oleh tutupan awan. 98
d.
Delineasi area terbakar referensi dari Citra Landsat-7 dan SPOT-4
Untuk menghitung seberapa besar tingkat akurasi area terbakar yang dihasilkan dari citra MODIS diperlukan data area terbakar pembanding (data referensi). Penentuan area terbakar pembanding dalam penelitian ini menggunakan dasar referensi dari The Southern Africa Fire Network (SAFNet) regional burned-area product-validation protocol (Roy et al., 2005b). Area terbakar pembanding dibuat berdasarkan interpretasi visual dengan menggunakan citra multitemporal resolusi lebih tinggi (di sini digunakan Landsat-7 dan SPOT4) dan pengecekan lapangan yang terbatas terhadap lokasi-lokasi area terbakar. Area terbakar di sini adalah lokasi-lokasi yang permukaan lahannya telah terbakar seluruhnya atau hampir keseluruhan (sekitar >80%). Citra resolusi lebih tinggi yang dipergunakan paling tidak dua tanggal perekaman untuk setiap scene yang dipilih, yaitu periode sebelum dan setelah kebakaran dan mempertimbangkan ketersediaannya. Pemilihan tanggal perekaman sebisa mungkin berdekatan dengan rentang periode pengamatan. Pemilihan lokasi scene citra lebih mempertimbangkan lokasi persebaran hotspot (dari MODIS). Dalam hal ini dilakukan pada daerahdaerah yang memiliki kepadatan tinggi serta mengelompok. Untuk lebih meyakinkan bahwa area sampel benar-benar merupakan area terbakar, maka perlu dilakukan pengecekan lapangan pada beberapa lokasi yang mudah diakses. Selain itu, juga akan dilakukan pencarian data lokasi-lokasi yang telah mengalami kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2011 di instansi-instansi terkait, seperti: Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Dinas Kehutanan. Daerah yang dipilih untuk didelineasi area terbakarnya yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi didasarkan atas banyak dijumpainya konsentrasi sebaran titik
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
panas (hotspot) di Kalimantan pada tahun 2011 pada kedua provinsi tersebut. Selain itu, secara umum, kedua provinsi tersebut dianggap cukup dapat mewakili kondisi wilayah Kalimantan. e.
Penentuan ambang (Thresholds) area terbakar
batas
Nilai ambang batas sangat menentukan terhadap tingkat akurasi informasi area terbakar yang dihasilkan. Perhitungan nilai ambang batas dilakukan dengan menghitung rerata (µ) dan standar deviasi (σ) masing-masing nilai reflektansi dan nilai indeks yang diperoleh dari citra MODIS untuk seluruh daerah area terbakar referensi. Mengacu pada Fraser et al (2000), threshold yang akan digunakan untuk menentukan area terbakar dalam penelitian ini adalah µ + 1σ, µ, dan µ - 1σ. f.
Identifikasi area terbakar citra MODIS
dari
Area terbakar diidentifikasi dari citra MODIS dengan menggunakan berbagai model berdasarkan thershold yang telah diperoleh. Model identifikasi area terbakar yang akan dilakukan meliputi model perubahan NDVI, NBR, dan reflektansi. Sebuah piksel (Xij) dinyatakan sebagai area terbakar jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: Xij > tBA
(3-3)
Dimana tBA merupakan nilai ambang batas (threshold) suatu piksel yang dinyatakan sebagai area terbakar. g.
Penghitungan tingkat kemampuan model dalam mengidentifikasi area terbakar
Penghitungan tingkat kemampuan model berbasis nilai reflektansi dan indeks dalam penentuan area terbakar (Discrimination ability) dilakukan dengan menghitung nilai normalized Distance (D) (Kaufman & Remer, 1994). Discrimination ability dalam istilah lain disebut dengan separabilitas (separability). Nilai D diperoleh dengan menghitung nilai selisih antara rerata nilai sampel setelah dan
sebelum terbakar dibagi dengan jumlah standar deviasi keduanya (Persamaan 34). Semakin tinggi nilai D, maka semakin tinggi kemampuan nilai reflektansi atau indeks dalam mengidentifikasi area terbakar. Nilai D > 1 menunjukkan bahwa model memiliki kemampuan yang baik dalam membedakan area terbakar dan non area terbakar, sedangkan jika D < 1, maka model tersebut mempunyai kemampuan yang rendah. Penghitungan nilai D ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk verifikasi model.
D
2 1 2 1
(3-4)
Keterangan: D = Normalize Distance µ1 = Rerata nilai sampel sebelum kebakaran µ2 = Rerata nilai sampel setelah kebakaran σ1 = Standar deviasi nilai sampel sebelum kebakaran σ2 = Standar deviasi nilai sampel setelah kebakaran h.
Perhitungan tingkat akurasi hasil identifikasi area terbakar dari citra MODIS
Tingkat akurasi area terbakar yang dihasilkan dari citra MODIS dilakukan dengan membandingkannya dengan area terbakar referensi. Berdasarkan data area terbakar hasil identifikasi dari citra MODIS dan data area terbakar referensi, maka tingkat akurasi area terbakar dapat diketahui dengan menghitung nilai Individual Classification Success Index (ICSI), yaitu dengan menggunakan rumus 3-5 sebagai berikut (Koukoulas & Blackburn, 2001): ICSI = 1 – Error of Omm % + Error of Comm %
(3-5)
Keterangan: = Individual Classification Success Index Omm = Ommision; area terbakar yang masuk ke kelas lain (non burned area) area terbakar Comm = Commision; tambahan dari kelas lain (non burned area) 99 ICSI
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
Gambar 3-1 memperlihatkan ilustrasi perhitungan tingkat akurasi area terbakar hasil identifikasi dengan area terbakar referensi. Secara lebih lengkap, metodologi penelitian dapat dijelaskan pada diagram alur seperti tersaji pada Gambar 3-2.
Mulai
Gambar 3-1: Ilustrasi penentuan piksel untuk perhitungan tingkat akurasi area terbakar hasil identifikasi berdasarkan area terbakar referensi. (a) Piksel area terbakar hasil identifikasi, (b) Piksel area terbakar referensi, dan (c) Hasil overlay
Titik Panas (HOTSPOT)
Pola Sebaran Hotspot secara Spasial
Pola Sebaran Hotspot secara Temporal (Bulanan) Analisis Periode Puncak Kebakaran (Peak Fire)
Citra MODIS Periode Sebelum Peak Fire
Citra MODIS Periode Setelah Peak Fire
PEMBUATAN CITRA KOMPOSIT MODIS MULTI TEMPORAL KOMPOSIT (multitemporal) NILAI REFLEKTANSI B1 1
∆ B1
B1 2
B2 1
∆ B2
B2 2
B3 1
∆ B3
B3 2
B4 1
∆ B4
B4 2
B5 1
∆ B5
B5 2
B6 1
∆ B6
B6 2
NDVI 1
∆ NDVI
NDVI 2
B7 1
∆ B7
B7 2
NBR 1
∆ NBR
NBR 2
PERHITUNGAN NILAI INDEKS (NDVI & NBR)
Analisis Threshold Burned Area
IDENTIFIKASI BURNED AREA Uji Akurasi
Uji Diskriminasi
Citra Landsat & SPOT Survei Lapangan
MODEL IDENTIFIKASI BURNED AREA DARI CITRA MODIS (Yang Paling Sesuai di Kalimantan) Gambar 3-2: Diagram alur penelitian
100
Selesai
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Intensitas Hotspot Bulanan Jumlah hotspot di seluruh Kalimantan sepanjang tahun 2011 adalah 16.400 titik. Jumlah hotspot mengalami peningkatan mulai Juli dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus (7.118 titik), tetapi mengalami penurunan kembali pada bulan November (Gambar 4-1). Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa periode kebakaran pada tahun 2011 di Kalimantan terjadi mulai dari bulan Juli hingga Oktober.
menguji akurasi model dari citra MODIS (perbesaran dari kotak warna biru pada Gambar 4-2). Sedangkan Gambar 4-4 memperlihatkan kondisi lapangan dari area terbakar.
Jumlah Hotspot
10,000 8,000
7,118
6,000 4,283 4,000 1,842
2,000 82
171
39
326
305
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
1,307
701
212
14
NOV
DES
0 JUN
JUL
AGS
SEP
OKT
Bulan
Gambar 4-1: Intensitas hotspot bulanan di Kalimantan periode JanuariDesember 2011
4.2 Kemampuan Variabel Mendeteksi Area Terbakar a.
Dalam
Identifikasi dan delineasi area terbakar dari citra Landsat-7 dan SPOT-4
Hasil pembuatan peta area terbakar referensi dari citra Landsat-7 dan SPOT-4 menghasilkan 156 lokasi (polygon). Area terbakar referensi yang berhasil dianalisis dan didelineasi dari citra resolusi tinggi tersebut di daerah yang dijadikan lokasi sampel untuk uji akurasi hasil identifikasi area terbakar dari citra MODIS. Area terbakar yang dipetakan tersebut (sebagai referensi) adalah seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Gambar 4-2 menunjukkan hasil analisis dan delineasi area terbakar referensi untuk seluruh Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Gambar 4-3 memperlihatkan dari contoh dari hasil analisis dan delineasi area terbakar dari citra resolusi tinggi Landsat-7 pada saat sebelum dan setelah kebakaran yang digunakan sebagai area terbakar referensi dalam
Gambar 4-2: Hasil analisis dan delineasi area terbakar referensi dari citra Landsat-7 dan SPOT-4 (Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan). Perbesaran daerah pada kotak warna biru dapat dilihat pada Gambar 4-3.
(a) Tanggal 13 Juni (b) Tanggal 10 2011 Oktober 2011 Gambar 4-3: Contoh hasil analisis area terbakar dari citra resolusi sedang Landsat-7 pada saat sebelum (gambar kiri) dan setelah kebakaran (gambar kanan). Titiktitik warna merah adalah hotspot dan garis kuning adalah batas delineasi area terbakar. Lokasi: Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, skala ~1:750.000
Hasil delineasi area terbakar dari citra Landsat-7 dan SPOT-4 tersebut selanjutnya dipergunakan sebagai training area, yaitu area pada citra yang dijadikan sebagai acuan untuk menganalisis nilai variabel baik reflektansi, NDVI maupun NBR pada citra MODIS sebelum dan setelah periode kebakaran hutan dan lahan serta perubahan 101
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
nilainya. Selain itu, hasil delineasi area terbakar dari citra Landsat-7 atau SPOT4 tersebut juga dipergunakan sebagai peta area terbakar referensi untuk menguji tingkat akurasi model-model identifikasi area terbakar berbasis variabel reflektansi, NDVI dan NBR.
Setelah peristiwa kebakaran hutan dan lahan, nilai reflektansi kanal 1 MODIS (spektrum merah; 0,620 0,670 µm) mengalami peningkatan dari sekitar 4,10% menjadi 8,97% (atau meningkat sekitar 4,87%). Begitu juga dengan nilai reflektansi kanal 3 (spektrum biru; 0,459-0,479 µm), kanal 4 (spektrum hijau; 0,545 - 0,565 µm), serta kanal 6 dan 7 (spektrum panjang gelombang inframerah pendek/Short Wave Infrared), berturut-turut mengalami peningkatan sebesar 4,08%, 3,16%, 4,49%, dan 5,76%. Di samping itu, kebakaran hutan dan lahan juga akan berdampak pada penurunan nilai reflektansi spektrum panjang gelombang inframerah dekat/ Near Infra Red MODIS kanal 2 (0,841 0,876 µm) dan kanal 5 (1,230–1,250 µm). Masing-masing mengalami penurunan sekitar 7,75% dan 3,80%. Tabel 4-1: RERATA DAN STANDAR DEVIASI NILAI REFLEKTANSI, NDVI DAN NBR PADA AREA TERBAKAR PADA SAAT SEBELUM KEBAKARAN (PREFIRE), SETELAH KEBAKARAN (POST-FIRE) VARIABEL
Gambar 4-4: Kondisi area terbakar di lapangan. Tampak bekas-bekas kebakaran berupa abu dan arang dari vegetasi yang terbakar. Pada beberapa tempat terlihat singkapan lapisan tanah atas. Pengamatan dilakukan sekitar 6 bulan setelah kebakaran sehingga pada beberapa tempat telah ditumbuhi oleh tumbuhan perintis pakupakuan
b.
Nilai NDVI, NBR, dan Reflektansi area terbakar dari Citra MODIS
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap 156 sampel lokasi area terbakar diperoleh hasil bahwa area terbakar memiliki karakteristik nilai reflektansi, NDVI, NBR yang bervariasi (Tabel 4-1 dan 4-2 serta Gambar 4-5 dan 4-6). Kondisi vegetasi sebelum terbakar umumnya berupa semak/belukar, sawah, hutan atau ladang/tegalan. 102
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 NDVI NBR
PRE-FIRE Rerata SD 0,0410 0,0071 0,3182 0,0235 0,0232 0,0063 0,0599 0,0071 0,3215 0,0261 0,1686 0,0139 0,0624 0,0089 0,7740 0,0336 0,6734 0,0419
POST-FIRE Rerata SD 0,0897 0,0485 0,2458 0,0778 0,0640 0,0307 0,0915 0,0309 0,2836 0,0360 0,2135 0,0253 0,1193 0,0212 0,5118 0,1109 0,3316 0,1293
Tabel 4-2: RERATA DAN STANDAR DEVIASI PERUBAHAN NILAI REFLEKTANSI, NDVI DAN NBR PADA AREA TERBAKAR PADA SAAT SEBELUM KEBAKARAN (PRE-FIRE), SETELAH KEBAKARAN (POST-FIRE) VARIABEL
RERATA
SD
ΔB1 ΔB2 ΔB3 ΔB4 ΔB5 ΔB6 ΔB7 NDVI NBR
0,0487 -0,0775 0,0408 0,0316 -0,0380 0,0449 0,0576 -0,2622 0,0773
0,0414 0,0543 0,0244 0,0238 0,0099 0,0114 0,0123 -0,3457 0,0874
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan juga akan menurunkan nilai NDVI dari yang sebelumnya sekitar 0,7740 menurun menjadi sekitar 0,5118 (mengalami penurunan sekitar 0,2622). Sedangkan untuk nilai NBR, terjadi juga penurunan dari yang sebelumnya sekitar 0,6734 menurun menjadi sekitar 0,3316 (mengalami penurunan sekitar 0,3457). Gambar 4-6 memperlihatkan lagi dengan jelas perubahan nilai reflektansi, NBR dan NDVI di lokasi area terbakar pada saat sebelum dan setelah kebakaran hutan dan lahan. Nilai reflektansi, NDVI, dan NBR setelah kebakaran berubah bila dibandingkan pada saat sebelum kebakaran karena telah terjadi perubahan kondisi tutupan lahan dari yang semula bervegetasi berubah menjadi lahan-lahan terbuka dengan menyisakan bekas-bekas kebakaran (abu dan arang pohon) serta menyingkapkan lapisan tanah permukaan.
0.3500
REFLEKTANSI
0.3000 0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 0.479
0.565
0.670
0.876
1.250
1.652
2.155
PANJANG GELOMBANG (µm) Sebelum Kebakaran
Setelah Kebakaran
Gambar 4-5: Kurva pantulan di lokasi area terbakar pada saat sebelum kebakaran (pre-fire) dan setelah kebakaran (post-fire)
Nilai Reflektansi atau Indeks
1.0000 0.8000
c.
Kemampuan Variabel NDVI, NBR, dan Reflektansi Area Terbakar dari Citra MODIS dalam Mendeteksi Area Terbakar
Untuk menghitung separabilitas (separability), yaitu kemampuan suatu variabel sebagai indikator dalam mendeteksi area terbakar, digunakan pendekatan nilai Distance (D-value) (Kaufman & Remer, 1994). Nilai D > 1 menunjukkan bahwa variabel tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi area terbakar. Hasil perhitungan D-value terhadap 156 lokasi sampel area terbakar menunjukkan bahwa semua variabel baik NDVI, NBR, maupun reflektansi kanal 1 hingga 7 (panjang gelombang tampak hingga inframerah pendek) memberikan nilai lebih dari 1. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada dasarnya semua variabel baik NDVI, NBR dan reflektansi merupakan indikator yang baik dalam mendeteksi area terbakar. Namun demikian, dari semua variabel tersebut, variabel reflektansi kanal 5, 6, 7, NDVI dan NBR memiliki kemampuan yang relatif lebih tinggi dibandingkan variabel kanal-kanal MODIS lainnya (reflektansi kanal 1, 2, 3 dan 4) (Tabel 4-3). Tabel 4-3: SEPARABILITAS (D-VALUE) VARIABEL REFLEKTANSI, NDVI, DAN NBR PADA AREA TERBAKAR
VARIABEL B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 NDVI NBR
D-VALUE 1,18 1,43 1,67 1,33 3,86 3,94 4,66 3,39 3,96
0.6000 0.4000 0.2000 0.0000 B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
NDVI NBR
Variabel Sebelum Kebakaran
Setelah Kebakaran
Gambar 4-6: Rerata nilai reflektansi, NDVI dan NBR di lokasi area terbakar pada saat sebelum kebakaran (pre-fire) dan setelah kebakaran (post-fire)
4.3 Kemampuan Variabel Dalam Mendeteksi Area terbakar a. Nilai ambang batas (threshold) NDVI, NBR dan Reflektansi dari Citra MODIS untuk mendeteksi area terbakar Pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa variabel NDVI, NBR, dan reflektansi B5, B6, dan B7 103
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
merupakan indikator-indikator terbaik dalam pendeteksian area terbakar, meskipun dalam tingkatan yang lebih rendah, variabel yang lain juga memiliki kemampuan serupa. Perhitungan nilai ambang batas dilakukan dengan menghitung rerata (µ) dan standar deviasi (σ) masing-masing nilai variabel. Mengacu pada Fraser et al. (2000), threshold yang akan digunakan untuk menentukan area terbakar dalam penelitian ini adalah µ + 1σ (nilai rerata ditambah satu standar deviasinya), µ (cukup nilai rerata saja), dan µ - 1σ (nilai rerata dikurangi satu standar deviasinya). Hasil analisis terhadap 156 sampel area terbakar telah menghasilkan nilainilai ambang batas untuk pendeteksian area terbakar dengan menggunakan semua variabel reflektansi (B1 sampai B7), NDVI dan NBR yang diperoleh dari citra MODIS. Nilai-nilai ambang batas tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3-4. Tabel 4-3: SEPARABILITAS (D-VALUE) VARIABEL REFLEKTANSI, NDVI, DAN NBR PADA AREA TERBAKAR
(a) Kriteria µ - 1σ Variabel
Nilai
Perubahan
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 NDVI NBR
0,0412 0,1680 0,0333 0,0606 0,2476 0,1881 0,0981 0,4009 0,2024
0,0073 -0,1317 0,0164 0,0078 -0,0478 0,0335 0,0452 -0,3395 -0,4331
Variabel
Nilai
Perubahan
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 NDVI NBR
0,0897 0,2458 0,0640 0,0915 0,2836 0,2135 0,1193 0,5118 0,3316
0,0487 -0,0775 0,0408 0,0316 -0,0380 0,0449 0,0576 -0,2622 -0,3457
(b) Kriteria σ
104
(c) Kriteria µ + 1σ Variabel Nilai B1 0,1382 B2 0,3235 B3 0,0947 B4 0,1224 B5 0,3195 B6 0,2388 B7 0,1405 NDVI 0,6227 NBR 0,4609 b.
Perubahan 0,0901 -0,0232 0,0652 0,0554 -0,0281 0,0563 0,0699 -0,1849 -0,2583
Identifikasi Area Terbakar Menggunakan Beberapa Algoritma
Berdasarkan hasil analisis (seperti tersaji pada Tabel 4-3), maka area terbakar di Kalimantan dapat diidentifikasi menggunakan berbagai variabel sebagai model algoritma, baik variabel reflektansi kanal 1 hingga 7, NDVI, dan NBR. Nilai-nilai variabel tersebut dimasukkan ke dalam persamaan sebagai persyaratan untuk memisahkan daerah yang terbakar (burned area) dan tidak terbakar (unburned area). Gambar 4-7 memperlihatkan hasil identifikasi area terbakar dari citra MODIS dengan menggunakan berbagai variabel sebagai model, baik reflektansi, NDVI, maupun NBR. 4.4 Tingkat Akurasi Model Identifikasi Area Terbakar Hasil perhitungan tingkat akurasi masing-masing model algortima dalam mengidentifikasi area terbakar menunjukkan bahwa model algoritma NBR dengan kriteria µ+1σ memiliki tingkat akurasi paling tinggi dibandingkan model-model algoritma lainnya, yaitu dengan besar akurasi 0,635 atau 63,5%. Tingkat akurasi model yang lainnya, yaitu untuk NDVI sebesar 20%, model reflektansi kanal 2 sebesar 20,2%, serta model reflektansi kanal 7 sebesar 31,6%. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4-4. Berdasarkan hasil perhitungan ini, maka dapat diketahui bahwa model algoritma untuk identifikasi area terbakar yang paling sesuai diaplikasikan untuk daerah Kalimantan dengan menggunakan citra MODIS adalah model algoritma
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
NBR. Model ini yang selanjutnya akan digunakan untuk mengidentifikasi area terbakar untuk seluruh Kalimantan. Piksel pada citra MODIS yang dinyatakan sebagai area terbakar dengan menggunakan model algoritma NBR, mengikuti dua persyaratan, yaitu:
Syarat 1 : NBR2 <= 0,4609 ... (4-1) Syarat 2 : ∆NBR <= -0,2583 ... (4-2) Dimana: NBR2 = Nilai NBR setelah kebakaran ∆NBR = Perubahan nilai NBR sebelum dan setelah kebakaran
Tabel 4-4: TINGKAT AKURASI TIAP-TIAP MODEL DALAM MENGIDENTIFIKASI AREA TERBAKAR
Model
Kriteria
Komisi
Terkoreksi
Omisi
Akurasi
B1
µ-σ µ µ+σ
57.777 267.478 332.807
286.892 77.192 11.862
5.338.245 337.319 2.034
0,050 0,113 0,034
B2
µ-σ µ µ+σ
325.409 240.605 118.284
19.261 104.064 226.385
2.534 171.751 2.969.066
0,055 0,202 0,068
B3
µ-σ µ µ+σ
145.526 243.034 315.898
199.143 101.635 28.772
4.669.827 2.697.866 15.021
0,040 0,033 0,080
B4
µ-σ µ µ+σ
121.528 250.097 322.661
223.141 94.572 22.008
5.527.916 2.544.180 9.685
0,038 0,033 0,062
B5
µ-σ µ µ+σ
291.026 242.220 212.493
53.643 102.450 132.176
16.291 418.353 2.216.511
0,149 0,134 0,052
B6
µ-σ µ µ+σ
118.164 165.484 218.557
226.505 179.186 126.112
2.845.013 1.762.081 981.357
0,071 0,085 0,095
B7
µ-σ µ µ+σ
106.574 169.391 229.671
238.095 175.278 114.999
1.387.026 648.235 19.787
0,137 0,177 0,316
NDVI
µ-σ µ µ+σ
310.555 226.874 136.275
34.114 117.795 208.394
4.385 243.580 1.953.010
0,098 0,200 0,091
NBR
µ-σ µ µ+σ
295.473 199.132 96.269
49.196 145.537 248.400
2.939 15.637 46.677
0,142 0,404 0,635 105
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
(a) Model NDVI (threshold µ)
(b) Model NBR (threshold µ+1σ)
c) Model B2 (threshold µ) (Miettinen, 2007)
(d) Model B5 (threshold µ-1σ)
(e) Model B7 (threshold µ+1σ)
(f) Area terbakar referensi
Gambar 4-7: Hasil identifikasi area terbakar (warna merah) di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan dari citra MODIS dengan menggunakan berbagai variabel sebagai model. Skala ~ 1 : 6.000.000. Perbesaran pada lokasi kotak warna biru dapat dilihat pada Gambar 4-8
106
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
(a) Citra MODIS komposit RGB 621 periode sebelum kebakaran
b) Citra MODIS komposit RGB 621 Komposit periode setelah kebakaran
(c) Model B2 (Miettinen, 2007) Akurasi = 0,202
(d) Model B7 Akurasi = 0,316
(e) Model NDVI (f) Model NBR Akurasi = 0,200 Akurasi = 0,635 Gambar 4-8: Perbesaran hasil identifikasi area terbakar. Area terbakar dari citra MODIS (warna merah) dan area terbakar dari citra Landsat-7 dan SPOT-4 (garis biru). Area terbakar dari citra Landsat-7 dan SPOT-4 digunakan sebagai data area terbakar referensi untuk uji akurasi. Lokasi: Kabupaten Pulang Pisau, Skala ~1:750.000 (Perbesaran Gambar 4-7)
4.5 Keterbatasan Model NBR Dalam Mengidentifikasi area terbakar di Kalimantan dari Citra MODIS Penerapan model algoritma NBR dalam mengidentifikasi area terbakar di Kalimantan dari citra MODIS memiliki keterbatasan-keterbatasan. Pertama, yaitu seperti sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, penerapan
model ini hanya memberikan tingkat akurasi 63,5%. Jadi, meskipun dalam proporsi yang relatif kecil, masih dijumpai adanya komisi (commision) dan omisi (ommision), yaitu daerah-daerah lain yang tidak terbakar (non burned area) yang ikut terdeteksi sebagai area terbakar atau daerah-daerah yang sebenarnya terbakar (burned area) tetapi 107
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
tidak terdeteksi sebagai area terbakar. Adanya komisi dan omisi tersebut diakibatkan oleh kendala utama, yaitu tingginya tutupan awan dan bayangannya di daerah tropis yang mempengaruhi nilai yang dihasilkan oleh perekaman citra optis seperti MODIS. Untuk mengatasi kendala tersebut, dalam penelitian ini sebenarnya telah mengikuti saran yang diajukan oleh Chuvieco et al. (2005) dan Miettinen (2007) serta banyak peneliti sebelumnya, yaitu dengan membuat citra komposit temporal. Namun demikian, masih saja dijumpai adanya komisi dan omisi. Keterbatasan kedua terkait dengan resolusi spasial citra MODIS. Pada citra MODIS, model NBR ini diterapkan dengan menggunakan perhitungan kanal 2 dan 7. Kanal 2 memiliki resolusi spasial 250 meter, sedangkan kanal 7 mempunyai resolusi spasial 500 meter. Berdasar atas resolusi spasial tersebut, luasan terkecil area terbakar yang masih dapat terdeteksi dengan model ini berkisar 6,25 hingga 25 ha. Namun menurut Miettinen (2007), secara faktual, area terbakar yang terdeteksi pada resolusi spasial 500 meter (luasan 25 ha) di citra MODIS tidak berarti bahwa seluruh piksel tersebut merupakan area terbakar, bisa jadi merupakan area terbakar kecil atau fraksi-fraksi kecil area terbakar yang berukuran kurang dari 25 ha yang terdeteksi sebagai area terbakar satu piksel penuh yang berukuran 25 ha. Demikian pula area terbakar yang terdeteksi pada resolusi spasial 250 meter (luasan 6,25 ha). Tidak berarti bahwa seluruh piksel tersebut merupakan area terbakar, bisa jadi merupakan area terbakar kecil atau fraksi-fraksi kecil area terbakar yang berukuran kurang dari 6,25 ha yang terdeteksi sebagai area terbakar satu piksel penuh yang berukuran 6,25 ha. Eva & Lambin (1998) juga menyarankan bahwa karena terdapat perbedaan nilai yang kuat antara area terbakar dengan non area terbakar, 108
meskipun hanya memiliki luasan 40% atau kurang dari ukuran satu piksel, daerah tersebut dapat terdeteksi sebagai area terbakar. Lebih-lebih lagi di daerah tropis Asia Tenggara banyak dijumpai adanya kebakaran-kebakaran kecil berukuran kurang dari 25 ha yang dilakukan oleh masyarakat atau pengusaha kecil (Nicolas, 1998; Bowen et al.,2001; Miettinen, 2007). Juga, berdasarkan informasi dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah dan BKSDA Provinsi Kalimantan Tengah serta pengamatan lapangan, di Kalimantan banyak di jumpai area terbakar berukuran kecil kurang dari 6,25 ha. Dengan demikian, berdasarkan argumentasi tersebut, maka batasan luas area terbakar terkecil yang dihasilkan atas penerapan model NBR di Kalimantan dengan menggunakan citra MODIS adalah 6,25 ha. 5
KESIMPULAN
Model algoritma perubahan NDVI, NBR dan reflektansi pada dasarnya memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi area terbakar di Kalimantan. Namun dari semua model algoritma tersebut, hanya NBR yang memberikan tingkat akurasi paling tinggi (0,635 atau 63,5%). Jadi, model identifikasi area terbakar yang paling sesuai diaplikasikan untuk daerah Kalimantan dengan menggunakan citra MODIS adalah model algoritma perubahan NBR. Mengingat keterbatasan yang dihasilkan dari model ini, baik tingkat akurasi maupun resolusi spasial, maka untuk tujuan pemetaan, skala peta area terbakar yang dihasilkan dengan metode seperti dalam penelitian ini adalah terbatas, yaitu maksimum untuk skala 1:500.000. Penelitian ini menyarankan perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut terkait dengan kajian model identifikasi area terbakar dengan citra MODIS sebagai pengembangan dari modelmodel yang sudah diterapkan dalam penelitian ini beserta kajian aspek-aspek spasialnya dengan mengikutsertakan
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
lokasi lainnya di Indonesia (terutama Sumatera) dan pada rentang waktu yang lebih panjang, terutama yang dapat mewakili periodisasi ENSO di Indonesia. 6
UCAPAN TERIMA KASIH
Makalah ini diambil dan dikembangkan dari Tugas Akhir Tesis penulis utama di Program Magister Ilmu Geografi Universitas Indonesia dengan Judul: Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan (Burned Area) di Kalimantan. Terima kasih kepada pihak-pihak dari Kementerian Riset dan Teknologi serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah memfasilitasi saya dalam memperoleh biaya dalam melakukan penelitian ini melalui Program Beasiswa Pascasarjana Kementerian Riset dan Teknologi. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Dr. Djoko Harmantyo, M.S., Dr.rer.nat M. Rokhis Khomarudin, M.Si., dan Dr. Bambang Trisakti yang telah memberikan saran dan masukan yang berarti dalam penelitian ini. Kepada Banjarmas, S.Hut. (Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng) dan Andreas Dody, S.Hut. (BKSDA Provinsi Kalteng) kami ucapkan terima kasih atas bantuannya dalam penyediaan data-data lapangan. Juga kepada Janatun Naim, S.Hut. (BPDAS Kahayan) dan Mahfud (Universitas Palangkaraya) yang telah memberikan dukungan dalam pelaksanaan survei lapangan. DAFTAR RUJUKAN Bowen, M.R., Bompard, J.M., Anderson, I.P., Guizol, P. & Guyon, A., 2001. Antropogenic fires in Indonesia: a View from Sumatera, Forest Fire and Regional Haze in Southeast Asia, Nova Science, Huntington, New York, p.41-46. Brewer, C.K., Winne, J.C., Redmond, R.L., Opitz, D.W., & Mangrich, M. V., 2005. Classifying and Mapping Wildfire Severity: A Comparison of Methods. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 71(11), 1311-1320.
Chuvieco, E., Englefield, P., Trishchenko, & Luo, Y., 2008. Generation of Long Time Series of Burn Area Maps of the Boreal Forest from NOAA-AVHRR Composite Data, Remote Sensing of Environment, 112, 2381-2396. Chuvieco, E., Martin, M.P., & Palacios, A., 2002. Assessment of Different Spectral Indices in the Red-NearInfrared Spectral Domain for Burned Land Discrimation, International Journal of Remote Sensing, 23(23), 5103-5110. Chuvieco, E., Ventura, G., Martin, M.P., & Gomez, I., 2005. Assessment of Multitemporal Compositing Techniques of MODIS and AVHRR Images for Burned Land Mapping, Remote Sensing of Environment, 94, 450-462. Cochrane, M. A., 2003. Fire Science for Rainforests, Nature, 421, 913-919. Cocke, A.E., Fule, P.Z., & Crouse, J.E., 2005. Comparison of Burn Severity Assessments using Differenced Normalized Burn Ratio and Ground Data, International Journal of Wildland Fire, 14, 189-198. Eidenshink, J., Schwind, B., Brewer, K., Zhu, Z.L., Quayle, B., & Howard, S., 2007. A Project for Monitoring Trends in Burn Severity, Fire Ecology Special Issue, 3(1), 3-21. Epting, J., Verbyla, D., & Sorbel, B., 2005. Evaluation of Remotely Sensed Indices for Assessing Burn Severity in Interior Alaska using Landsat TM and ETM+, Remote Sensing of Environment, 96, 328339. Eva, H. & Lambin, E.F., 1998. Remote Sensing of Biomass Burning in Tropical Regions: Sampling Issues and Multisensor Approach, Remote Sensing of Environment, 64, 292315. Fraser, R.H., Fernandes, R., & Latifovic, R., 2003. Multi-Temporal Mapping of Burned Forest Over Canada using Satellite-Based Change 109
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
Metric. Geocarto International, 18 (2), 37-47. Fraser, R.H., Li, Z., & Cihlar, J., 2000. Hotspot and NDVI Differencing Synergy (HANDS): A New Technique for Burned Area Mapping Over Boreal Foresy, Remote Sensing of Environment, 72, 362-376. Giglio, L., Loboda, T., Roy, D.P., Quayle, B., Justice, & C. O., 2009. An Active-Fire Based Burned Area Mapping Algorithm for the MODIS Sensor, Remote Sensing of Environment, 113, 408-420. Gitas, I.Z., Mitri, G.H., & Ventura, G., 2004. Object-Based Image Classification for Burned Area Mapping of Creus Cape Spain, using NOAA-AVHRR imagery. Remote Sensing and Environment, 92, 409-413. Goetz, S.J., Fiske, G.J., & Bunn, A.G., 2006. Using Satellite Time-Series Data Sets to Analyze Fire Disturbance and Forest Recovery Across Canada, Remote Sensing of Environment, 101, 352-365. Huete, A., Justice, C., & Leeuwen, V.W., 1999. Modis Vegetation Index (MOD 13) Algorithm Theoretical Basis Document, University of Virginia, Department of Environmental Sciences, Charlottesville, Virginia. INDOFIRE. Web of Fire Watch Indonesia. Developed by LAPAN, Indonesian Ministry of Forestry, Ministry of Environment, Landgate Australia, AusAID. http:// www. lapan. go. id/indofire. Kasischke, E.S., & French, N.H., 1995. Locating and Estimating the Extent of Wildfires in Alaskan Boreal Forest using Multiple-Season AVHRR NDVI, Remote Sensing of Environment, 51, 263-275. Kaufman, Y.J. & Remer, LA., 1994. Detection of Forests Fire using MidIR Reflectance: an Application for Aerosol Studies, IEEE Transactions 110
on Geoscience and Remote Sensing, 32, 672-683. Key, C.H., and N.C. Benson. 2002. Measuring and remote sensing of burn severity, U.S. Geological Survey wildland fire workshop. Kita, k., Fujiwara, M., & Kawakami, S., 2000. Total Ozone Increase Associated with Forest Fires Over the Indonesian Region and its Relation to the El Nino-Southern Oscillation, Atmospheric Environment, 34, 2681-2690. Koukoulas, S. & Blackburn, G.A., 2001. Introducing New Indices for Accuracy Evaluation of Classified Images Representing Semi-Nat ural Woodland Environments, Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 67(4), 499-510. Li, Z., Nandon, S., Cihlar, J., & Stocks, B., 2000. Satellite-Based Mapping of Canadian Boreal Forest Fires: Evaluation and Comparison of Algorithms, International Journal of Remote Sensing, 21(16), 30713082. Lloret, F., Calvo, E., Pons, X., & Delgado, R.D., 2002. Wildfire and Landscape Patterns in the Eastern Iberia Peninsula, Landscape Ecology, 17, 745-759. Malingreau, J.P., Stephens, G., & Fellows, L., 1985. Remote sensing of forest fires: Kalimantan and north Borneo in 1982-83, Ambio 14, 314-321. Martin, M.P., & Chuvieco, E., 1995. Mapping and Evaluation of Burned Land from Multitemporal Analysis of AVHRR NDVI Images, Earsel Advances in Remote Sensing, 4(3), 7-13. Martin, M.P., Delgado, R.D., Chuvieco, E., & Ventura, G., 2002. Burned Land Mapping using NOAA-AVHRR and Terra-MODIS, Forest Fire Research & Wildland Fire Safety, Millpress, Rotterdam.
Pengembangan Model Identifikasi Daerah...... (Suwarsono et al.)
Miettinen, J., 2007. Burnt Area Mapping in Insular Southeast Asia using Medium Resolution Satllite Imagery, Academic dissertation. Department of Forest Resource Management, Faculty of Agriculture and Forestry, University of Helsinki. Nicolas, M.V.J., 1998. Fighting the Forest Fires: the South Sumatera Experience, Forest fire Prevention and Control Project, Palembang, Ministry of forestry and estate crops and European Union, Jakarta. Roswintiarti, O., Khomarudin, M.R., Suwarsono, Effendy, I., & Simatupang, B. F., 2006. Pemetaan Daerah Bekas Kebakaran (Burned Scar) dengan Data MODIS di Provinsi Sumatera Selatan, Laporan; Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN, Jakarta. Roswintiarti, O., Solichin., Noviar, H., Zubaidah, A., 2007. Integrating Multi-Product of MODIS Data for Analyzing the 2006 Burnt Area in South Sumatera, Indonesia, Proceeding; Asian Conference on Remote Sensing (ACRS), Kuala Lumpur, 12-16 November 2007. Roy, D.P., & Boschetti, L., 2009. Southern Africa Validation of the MODIS, L3JRC and GlobCarbon Burned-Area Product, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 47(4). This article has been accepted for inclusion in a future issue of this journal. Content is final as presented, with the exception of pagination. Roy, D.P., Frost, P.G.H., Justice, C.O, Landmann, T., Le Reoux, J.L., Gumbo, K., Makungwa, S., Dunham, K., Du Toit, R., Mhwandagara, K., Zacarias, A., Tacheba, B., Dube, O.P., Pereira, J.M.C., Mushove, P., Morisette, J.T., Vannan, S.K.S., & Davies, D.,
2005b. The Southern Africa Fire Network (SAFNet) Regional BurnedArea Product-Validation Protocol. International Journal of Remote Sensing, 26(4), 4265-4292. Roy, D.P., Giglio, L., Kendall, J.D., & Justice, C. O., 1999. Multi-Temporal Active-Fire Based Burn Scar Detection Algorithm, International Journal of Remote Sensing, 20(5), 1031-1038. Roy, D.P., Jin, Y., Lewis, P.E., & Justice, C.O., 2005a. Prototyping a Global Algorithm for Systematic FireAffected Area Mapping using MODIS Time Series Data, Remote Sensing and Environment, 97, 137-162. Roy, D.P., Lewis, P. E., & Justice, C.O., 2002. Burned Area Mapping using Multi-temporal Moderate Spatial Resolution Data - a Bi-directional Reflectance Model-Based Expectation Approach, Remote Sensing and Environment, 83, 263-286. Salvador, R., Valeriano, J., Pons, X., & Delgado, R. D., 2000. A SemiAutomatic Methodology to Detect Fire Scars in Shrubs and Evergreen Forests with Landsat MSS Time Series, International Journal of Remote Sensing, 21(4), 655-671. Siegert, F., & Hoffmann, A.A., 2000. The 1998 Forest Fires in East Kalimantan (Indonesia): A Quantitative Evaluation using High Resolution, multitemporal ERS-2 SAR images and NOAA-AVHRR hotspot data, Remote Sensing of Environment, 72, 64-77. Sukhinin, A.I., French, N.H.F., Kasischke, E.S., Hewson, J.H., Soja, A.J., Csiszar, I.A., Hyer, E.J., Loboda, T., Conrad, S.G., Romasko, V.I., Pavlichenko, E.A., Miskiv, S.I., & Slinkina, O.A., 2004. AVHRR-Based Mapping of Fires in Russia: New Products for Fire Management and Carbon Cycle Studies, Remote Sensing of Environment, 93,546-564. 111
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 10 No. 2 Desember 2013 :93-112
Suwarsono, Roswintiarti, O., & Noviar, H., 2008. Analisis Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan (Burned Area) di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006 Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh Terra/Aqua MODIS. Prosiding; Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia ke17 (PIT MAPIN XVII), Bandung, 10 Desember 2008. Suwarsono, Vetrita, Y., Parwati, & Khomarudin, R., 2011. Analisis Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan (Burned Area) di Wilayah Kalimantan Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Nilai Normalized Burned Ratio (NBR) dari data Landsat-7 SLC-Off, Prosiding Seminar Nasional Geospasial dalam Pembangunan Wilayah dan Kota, Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (PIT
112
MAPIN) Tahun 2011, Biro Penerbit Planologi UNDIP, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik-Universitas Diponegoro. Suwarsono, Yulianto, F., Parwati, & Suprapto, S., 2009. Pemanfaatan Data MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar (Burned Area) Berdasarkan Perubahan Nilai NDVI di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2009, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Dijital, 6, 54-64. Tacconi, L., 2003. Fires in Indonesia: Causes, Costs, and Policy Implications< CIFOR Occasional Paper No.38, Bogor, Indonesia. Wagtendonk, J.W.V., Root, R.R., & Key, C. H., 2004. Comparison of AVIRIS and Landsat ETM+ Detection Capabilities for Burn Severity, Remote Sensing and Environment, 92, 397-408.