AUTEKOLOGI Dipterocarpus elongatus Korth. DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT (Autecology of Dipterocarpus elongatus Korth. in Siberut Island Biosphere Reserve, West Sumatera)* N.M. Heriyanto dan/and M. Bismark Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl.Gunung Batu No.5 PO Box 165;Telp.0251-8633234;Fax 0251-8638111 Bogor e-mail :
[email protected] &
[email protected] *Diterima : 11 Maret 2013; Disetujui : 18 Oktober 2013
ABSTRACT Autecology of Dipterocarpus elongatus Korth. (vernacular name: koka) was studied in Siberut Biosphere Reserve, West Sumatera, covering primary forest, logged over forest (LOF) of PT. Koperasi Andalas Madani and PT. Salaki Summa Sejahtera and Madobag village forest. Research sample plots sized of 50 m x 50 m with three replications. The density of koka varied among the three habitats, e.g. 32 trees/ha in primary forest, 8 trees/ha in 5 years LOF, and 44 trees/ha in forest village Madobag. The suitable habitat of koka was indicated by optimum density of koka trees. The habitat was characterized by slopes at 40-50%, soil pH of 4.5-5, fraction of soil clay content of 41.7-76% and dust fraction of 8-46.2%. Tree height correlates linearity with stem diameter of ≤ 10 (Y = 0.775X + 1606, R² = 0.7), which indicated fast growing species of dipterocarp. The relation between tree height and diameter of ≥ 2 cm (Y = 8.700ln (X) - 6747, R² = 0.9) indicated good growth of koka and its dominancy in many types of habitat with IVI around 22.18 to 107.5%. Koka had high association index of Ochia with Aporosa microsperma (0.71) and Hopea mangarawan (0.52). Keywords: Dipterocarp, habitat, dominant, fast growing
ABSTRAK Autekologi Dipterocarpus elongatus Korth. (pohon koka) diteliti di kawasan Cagar Biosfer Siberut, Sumatera Barat yang meliputi habitat hutan primer, hutan bekas tebangan di kawasan eks PT. Koperasi Andalas Madani dan PT. Salaki Summa Sejahtera serta hutan di Desa Madobag. Contoh plot penelitian dibuat dengan ukuran 50 m x 50 m (0,25 ha) dengan tiga ulangan. Kerapatan koka berbagai tingkatan pertumbuhan di hutan primer 32 pohon/ha, hutan bekas tebangan lima tahun delapan pohon/ha, dan hutan di Desa Madobag 44 pohon/ha, dengan kerapatan semai 3.750-5.000 anakan/ha. Habitat dan sebaran populasi D. elongatus optimum berada pada kelerengan 40-50%, pH tanah 4,5-5, kadar liat 41,7-76%, dan kadar debu 8-46,2%. Hubungan linier tinggi dan diameter pohon ≤ 10 cm mengikuti persamaan Y = 0,775X + 1,606, R² = 0,7 mengindikasikan jenis ini termasuk Dipterocarpaceae cepat tumbuh. Grafik hubungan tinggi pohon dan diameter ≥ 2 cm: Y = 8,700ln(X) – 6,747; R² = 0,9 menunjukkan pertumbuhan yang baik dan dominan di berbagai tipe habitat dengan INP antara 22,18-107,5%. Asosiasi D. elongatus tertinggi dengan sembilan jenis pohon dominan adalah Aporosa microsperma dan Hopea mangarawan dengan INP = 13,95% dan indeks Ochia 0,71 dan 0,52. Kata kunci: Dipterocarpaceae, habitat, potensi, cepat tumbuh
I. PENDAHULUAN Pulau Siberut seluas 4.480 km2 merupakan bagian dari gugus kepulauan Mentawai di Sumatera Barat yang telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dengan inti Taman Nasional Siberut. Pulau Siberut terbagi dalam fungsi hutan konservasi berupa Taman Nasional Siberut 190.500 ha, hutan produksi terbatas 42.050 ha, hutan produksi tetap 95.900 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi, 74.450 ha (Direktorat Jenderal PHKA, 2003). Salah satu ciri hutan hujan tropika dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan yaitu mempunyai kekayaan flora dengan keragaman jenis yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain (Saridan et al., 1997). Hutan di kawasan Siberut umumnya didominasi oleh 1
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 1-14 jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae, salah satu dari genera yang dominan di kawasan tersebut adalah Dipterocarpus. Marga ini memiliki sekitar 70 spesies yang menyebar mulai dari India dan Srilanka di barat, Burma, Indocina, Thailand, dan Cina bagian selatan. Di wilayah Malesiana, Dipterocarpus tersebar di hutan-hutan Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumbawa. Sebagian besar jenisnya tumbuh tersebar, sebagian berkelompok di tanah endapan tepi sungai, dan beberapa jenis lain tumbuh di punggung-punggung bukit hingga ketinggian 1.500 m dpl (Whitmore & Tantra, 1986). Semai D. elongatus membutuhkan naungan untuk pertumbuhannya (setengah toleran), kondisi yang optimal bagi pertumbuhan berkisar pada naungan 40-70%. Pohon ini menghasilkan semacam damar/oleoresin yang berguna untuk mendempul perahu, sebagai pernis perabotan rumah atau dinding, serta obat luka atau sakit kulit tertentu (Heyne, 1987). Kayu D. elongatus ringan (Berat Jenis, BJ = 0,51) sampai dengan berat (BJ 1,01), dengan sifat kayu yang agak keras hingga keras, termasuk kuat (kelas kuat I-II), dan cukup awet (kelas awet III) (Seng, 1990; Siran, 2007). Jika tidak diawetkan, kayu ini kurang tahan untuk pemakaian yang berhubungan dengan tanah, sehingga umumnya digunakan untuk keperluan interior seperti kusen pintu dan jendela, tiang, tangga, dan panel kayu lainnya (Martawijaya et al., 1989). Dipterocarpaceae adalah jenis emergent (menjulang) sebagai pohon tempat beristirahat primata dan burung bersarang. Berkurangnya jumlah jenis pohon terutama jenis Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan akan mempengaruhi kualitas habitat, terutama jenis primata endemik (Bismark, 2005). Struktur vegetasi hutan di kawasan daerah penyangga Taman Nasional Siberut telah dipertahankan secara tradisional dalam pola pengelolaan hutan dan pertanian oleh masyarakat. Masyarakat tidak menebang hutan tetapi mengganti sebagian pohon hutan dengan tanaman pangan budidaya. Struktur vegetasi hutan alam di Desa Rokdog dalam Cagar Biosfer Siberut, dalam plot 30 m x 30 m terdapat 54 jenis pohon yang berdiameter 4-180 cm dengan ketinggian mencapai 40 m, dan terdapat 28 jenis pohon dalam petak 10 m x 30 m di Desa Madobag. Jenis dominan yang didasarkan pada basal area tinggi adalah Dipterocarpus elongatus Korth., Shorea pauciflora King., Oncosperma horridum (Griff.) R. Scheffer, Hopea sp., Palaquium sp., Calophyllum sp., Bhesa paniculata Arn., Eugenia lineata DC., Alseodaphne umbelliflora Hook. f., Diospyros beccarii Hiern. (Simbolon et al., 1997). Keragaman jenis pohon di hutan primer habitat primata Siberut menunjukkan indeks Shannon 4,76, dengan 115 jenis pohon di dalam 2.000 m2 plot, terutama di lokasi habitat Hylobates klosii dan Simias concolor di punggung bukit (Bismark, 2006). Berdasarkan status riset pengelolaan Dipterocarpaceae, penelitian terhadap jenis-jenis Dipterocarpaceae masih didominasi pada jenis-jenis Shorea dan penelitian ekologi Dipterocarpus relatif jarang terutama D. elongatus yang sudah masuk kategori kritis menurut IUCN tahun 1994. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek ekologi jenis D. elongatus di daerah penyangga taman nasional dan kemungkinan untuk restorasi habitat primata endemik Siberut.
II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada dua lokasi di hutan produksi eks PT. Koperasi Andalas Madani (PT. KAM) tahun 2007 yang terletak di tengah P. Siberut (pada koordinat 1°24' 16,17" LS, 99°03' 36,1" BT) dan di PT. Salaki Suma Sejahtera (PT. S3) tahun 2009 yang 2
Autekologi Dipterocarpus elongates Korth. di Cagar Biosfer…( N.M. Heriyanto; M. Bismark)
terletak di sebelah utara P. Siberut (pada koordinat 1°00' 25,20" LS, 98°45' 48,90" BT) pada tahun 2009, dan hutan di Desa Madobag yang merupakan hutan adat daerah penyangga Taman Nasional Siberut yang terletak di sebelah selatan P. Siberut (pada koordinat 1°18' 55,8" LS, 99°01' 07,9" BT) pada tahun 2012 (Gambar 1). Secara administrasi lokasi ini termasuk wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Balai Taman Nasional Siberut, Sumatera Barat.
Gambar (Figure) 1. Lokasi penelitian di P. Siberut (Research location at Siberut Island) (sumber/source: Google earth, 2013)
Lokasi penelitian terletak pada ketinggian 40-110 m di atas permukaan laut dan termasuk hutan hujan tropika dataran rendah. Kondisi topografinya bergelombang dengan kelerengan antara 20-60%. Jenis tanahnya didominasi oleh Oxisol dan Inceptisol (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2011). B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian adalah tegakan hutan dengan kondisi yang relatif sama yaitu di PT. KAM, PT. S3, dan hutan adat di Desa Madobag, bahan pembuat herbarium (alkohol, kertas koran, dan etiket gantung). Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tambang atau tali, kompas, meteran, phiband (alat ukur diameter pohon), clinometer (alat ukur kelerengan lahan), alat ukur tinggi pohon, thermohygrometer, GPS (Global Positioning System), kamera, dan alat tulis. C. Metode Penelitian 1. Plot Contoh Plot contoh dibuat secara purposive di areal eks PT. KAM, PT. S3, dan hutan di Desa Madobag masing-masing tiga plot contoh, berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 50 m x 50 m (0,25 ha). Di dalam plot bujur sangkar semua jenis pohon diukur diameter, tinggi total, sedangkan tingkat belta (ukuran plot 5 m x 5 m) dan semai (ukuran plot 2 m x 2 m) dihitung jumlah dan nama jenisnya, dalam satu plot pohon dibuat empat sub plot di setiap sudut untuk permudaan. Plot contoh dibuat di hutan primer, bekas tebangan satu tahun, bekas tebangan lima tahun, dan hutan desa. Adapun kriteria untuk tingkat pohon, belta, dan semai adalah sebagai berikut: 3
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 1-14 a. Pohon, dengan kriteria diameter batang setinggi dada (1,3 m) 10 cm, bila pohon berbanir diameter batang diukur 20 cm di atas banir. b. Belta, yaitu pohon muda dengan tinggi > 1,5 m dan diameter setinggi dada (1,3 m) sampai < 10 cm. c. Semai, yaitu permudaan mulai dari kecambah sampai tinggi 1,5 m. 2. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan potensi, jenis-jenis yang dominan, dan asosiasi pohon dengan jenis D. elongatus. Jenis dominan dan jenis yang berasosiasi erat dengan jenis ini ditetapkan 10 jenis yang mempunyai nilai penting di atas lima persen di dalam tipe dan kondisi vegetasi. Jenis dominan diperoleh dengan analisis indeks nilai penting (%) sebagai penjumlahan kerapatan relatif, dominasi relatif, dan frekuensi relatif dari masing-masing jenis yang terdapat dalam plot contoh penelitian (Soerianegara & Indrawan 1998; Kusmana, 1997). Pengukuran ketinggian tempat, kelerengan, kelembaban, dan suhu dilakukan secara bersamaan. Data pohon dan parameter fisik lingkungan ditabulasikan dan dikelompokkan berdasarkan kelas ketinggian tempat, yaitu 40-60 m, 61-100 m, dan 101-110 m. Di Desa Madobag keberadaan pohon D. elongatus dikumpulkan menurut kelas kelerengan lahan yaitu < 10%, 11-20%, 21-30%, 31-40%, 41-50%, 51-60%, dan > 60% akan didapatkan hubungan antara jumlah pohon dan kelas kelerengan, dibuat dalam grafik. Hubungan diameter dan tinggi pohon dianalisis dengan regresi linier dan regresi logaritmik. Untuk mengetahui asosiasi antara pohon D. elongatus dengan pohon lain digunakan indeks Ochiai (Ludwig & Reynolds, 1988): a
Indeks Ochiai : Oi
( a b) ( a c)
Dimana: a = Jumlah plot ditemukan kedua jenis a dan b b = Jumlah plot ditemukan jenis a tetapi tidak ada jenis b c = Jumlah plot ditemukannya jenis b tetapi tidak ada jenis a Indeks asosiasi berada pada selang nilai 0-1
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Habitat Koka (Dipterocarpus elongatus Korth.) 1. Lingkungan Fisik a. Suhu dan Kelembaban Udara Suhu udara di bawah pohon atau tajuk D. elongatus pada setiap plot penelitian berkisar antar 25-31°C. Kisaran suhu tersebut sebagai salah satu ciri iklim hutan hujan tropika dengan suhu tinggi pada musim kemarau dan suhu rendah pada musim hujan (Ewusie, 1980 dalam Istomo & Pradiastoro, 2010). Keragaman suhu yang terjadi di hutan hujan tropika terutama ditentukan oleh perimbangan sinar matahari yang terhalang oleh daun dan percabangan pohon pada tingkat yang berbeda-beda. Kondisi tajuk pohon sangat mempengaruhi perbedaan suhu antara lapisan atas hutan dengan lapisan bawah dan rataan suhu berkurang 0,4-0,7°C setiap kenaikan ketinggian 100 m (Indriyanto, 2006). Kelembaban udara di lokasi penelitian berkisar antara 60-80% (musim kemarau), menurut (Ewusie, 1980 dalam Istomo & Pradiastoro, 2010) pada musim hujan berkisar 4
Autekologi Dipterocarpus elongates Korth. di Cagar Biosfer…( N.M. Heriyanto; M. Bismark)
antara 70-100%. Tingginya kelembaban udara ini tercermin pada permukaan tanah yang basah dan cepatnya laju dekomposisi bahan organik di lantai hutan. Pada keadaan yang terbuka di daerah hutan tropika basah kelembabannya cenderung tinggi, walaupun pada musim kemarau. b. Curah Hujan Lokasi penelitian terletak di Desa Madobag, sebelah selatan Taman Nasional Siberut, bertipe A menurut klasifikasi iklim Schmidt and Ferguson (1951), curah hujannya berkisar antara 2.544-3.478 mm/tahun, dengan musim hujan terjadi antara bulan Nopember sampai Maret dan musim kemarau antara bulan April sampai Oktober. Di Siberut Selatan, curah hujan berkisar antara 3.751-3.984 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 223 hari dan 171 hari (Bismark & Heriyanto, 2007). c. Topografi dan Kimia Fisik Tanah Pada setiap plot penelitian ditentukan posisi ketinggian tempat di atas permukaan laut dengan GPS (Global Positioning System). Pengukuran ketinggian tempat di lahan penelitian Desa Madobag ketinggian antara 40-110 m di atas permukaan laut. Kemiringan lahan plot habitat koka di lokasi penelitian berkisar antara 20-60% dan pohon D. elongatus banyak dijumpai pada kemiringan lahan antara 40-55%. Pohon D. elongatus banyak ditemukan pada tanah yang berlereng atau di punggung bukit dan penyebarannya cenderung mengelompok. Menurut Barbour et al. (1987) paling sedikit ada dua alasan terjadinya pola mengelompok, yaitu berhubungan dengan reproduksi biji atau buah cenderung jatuh dekat induknya dan pada tanah-tanah dengan keadaan iklim mikro yang lebih sesuai dengan kebutuhan habitat pohon tersebut. Penelitian tanah hutan terkait dengan kesuburan tanah yang akan memengaruhi pertumbuhan anakan dalam suksesi di areal bekas tebangan. Menurut penelitian Bismark et al. (2007), di Siberut tanah di hutan primer bulk density-nya 0,59 g/ml, dengan kadar liat 58,2%. Kepadatan meningkat sejalan peningkatan kadar liat pada hutan bekas tebangan atau hutan masyarakat. Pertumbuhan semai Dipterocarpus retusus sangat dipengaruhi oleh kadar debu dan liat dan tidak dipengaruhi oleh pH (Istomo & Pradiastoro, 2010). Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan tingkat kesuburan tanah relatif rendah pada areal bekas tebangan dibanding dengan hutan primer. Sumber nutrisi tanah yang berasal dari serasah di bekas tebangan < satu tahun 20% lebih rendah dari hutan primer dan bekas tebangan lima tahun di mana total kation yang dapat ditukar 5 me/l00 g, sedangkan di hutan primer dan hutan bekas tebangan lima tahun masing-masing 38,5 me/l00 g dan 12,9 me/l00 g (Tabel 1). Hal ini disebabkan banyaknya areal terbuka di hutan bekas tebangan < satu tahun, sehingga mudah terjadi pencucian mineral serasah dan bukaan vegetasi di areal hutan bekas tebangan akan mempengaruhi kualitas perairan. Dari Tabel 1 dapat dikatakan bahwa kondisi kesuburan tanah di hutan Desa Madobag menyerupai hutan primer di hutan produksi, bahkan kandungan phospat 3,75 kali lebih tinggi dari hutan primer atau sama dengan kandungan LOA lima tahun. 2. Lingkungan Biotik Analisis vegetasi habitat D. elongatus di tiga tempat, yaitu Siberut Utara (PT. S3), Tengah (PT. KAM), dan Selatan (Desa Madobag) untuk pohon yang berdiameter lebih besar atau sama dengan 10 cm, disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa jenis D. elongatus, mendominasi tegakan di P. Siberut, hal tersebut ditunjukkan oleh besaran kerapatan dan indek nilai penting dan dominansi sembilan jenis lainnya yang mencirikan keeratan asosiasi D. elongatus dalam komunitas di habitat tersebut. Jenis A. costata merupakan jenis kedua yang mempunyai 5
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 1-14 INP tertinggi di tiga lokasi tersebut, sedangkan jenis yang mempunyai INP terendah yaitu jenis Shorea javanica. Penelitian pada Dipterocarpus lanceolata di hutan primer di Kalimantan Timur, tingkat pancangnya menunjukkan INP 15,4% dan di areal terbakar INP 6,6% (Heriyanto, 2003). Tabel (Table) 1. Kesuburan tanah habitat D. elongatus di Siberut (Soil fertility of D. elongatus habitat in Siberut)* Habitat
Kepadatan (Bulk density) (g/ml) 0,59
pH
Persentase (Percentage) (%) P KTK/CEC Pasir Debu Liat (ppm) (me/100 g) (Sand) (Silt) (Clay) 10,3 4,8 38,5 2,8 39 58,2 C/N
Hutan primer (Primary 5 forest) Tebangan 1 tahun (1 year 0,62 4,7 10,1 10,8 12,9 12,1 46,2 41,7 LOA) Tebangan 5 tahun (5 years 0,73 4,5 11,4 18 5 12,8 37,8 49,4 LOA) Hutan Desa Madobag 1,81 4,5 11 18 46,46 16 8 76 (Village forest Madobag) *Keterangan (Remark): Dianalisis di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (Analyzed at the chemistry laboratory of the Soil Research Institute, Bogor)
Tabel (Table) 2. Indeks nilai penting 10 pohon dominan di tiga lokasi penelitian (Important value index of ten dominant trees at three research site) No.
Nama botani (Botanical name)
Famili (Family)
Kerapatan (Density) (n/ha) a b c 44 21,30 65 8 6,70 40 8 5,30 45 10 4 80
INP (IVI) (%)
a b c Dipterocarpus elongatus Korth. Dipterocarpaceae 93,29 107,50 22,18 Anisoptera costata Korth. Dipterocarpaceae 15,85 22,90 15,75 Hydnocarpus woodi Bedd. Flacourtiaceae 14,35 21,90 15,32 Aporosa microsperma Pax & K. Euphorbiaceae 13,37 16,70 13,95 Hoffmann 5 Hopea mangarawan Miq. Dipterocarpaceae 4 4 65 12,99 16,30 13,22 6 Pentase sp. Tillaceae 2 4 35 10,02 15,90 12,78 7 Koompasia sp. Leguminaceae 6 2,70 60 9,80 15,60 12,48 8 Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb. Myristicaceae 8 4 60 8,35 9,20 11,70 9 Diospyros sumatrana Miq. Ebenaceae 6 1,30 20 7,43 7,50 11,42 10 Shorea javanica K&V. Dipterocarpaceae 4 1,30 30 5,38 7,30 11,06 Keterangan (Remark): a = Desa Madobag (Siberut bagian Selatan (South Siberut)), b = PT. KAM (Siberut bagian Tengah (Central Siberut)), c = PT. S3 (Siberut bagian Utara (North Siberut) 1 2 3 4
Secara umum kerapatan jenis dari famili Dipterocarpaceae tingkat pohon pada hutan primer Siberut Selatan sebesar 37,34 individu/ha, hutan bekas tebangan < satu tahun sebesar 13,3 individu/ha, hutan bekas tebangan lima tahun sebesar 13,34 individu/ha (Subiandono et al., 2010). Pada penelitian ini kerapatannya lebih tinggi yaitu 60 individu/ha (Desa Madobag di Siberut Selatan), 33 individu/ha (PT. KAM di Siberut Tengah), dan 200 individu/ha (PT. S3 di Siberut Utara). 3. Pengelolaan Pemanfaatan Manusia mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pemanfaatan, pelestarian atau restorasi terhadap penyebaran dan keberadaan D. elongatus, seperti pemanfaatan melalui IUPHHK atau oleh masyarakat adat. Pengaruh ini terlihat di lokasi penelitian adanya pengambilan buah koka dan pemanfaatan kayu, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan potensi dan regenerasinya, hal ini dapat diketahui dari rendahnya jumlah anakan D. 6
Autekologi Dipterocarpus elongates Korth. di Cagar Biosfer…( N.M. Heriyanto; M. Bismark)
elongatus (Tabel 5). Sebagian masyarakat Desa Madobag mengambil buah/biji koka pada waktu musim buah untuk diambil minyaknya yang berguna untuk obat luar. B. Fenologi Dipterocarpus elongatus Korth. Dipterocarpus elongatus umumnya berupa pohon sedang sampai besar, dengan ketinggian tajuk mencapai 65 m dan batang lurus, bulat silindris, diameternya dapat mencapai lebih dari 150 cm hingga 260 cm. Menurut IUCN (1994), status pohon ini termasuk kritis (critically endangered). Batang dan ranting mengeluarkan resin apabila dilukai, kadang-kadang amat berlimpah. Ranting berambut, kasar atau halus, dengan bekas melekatnya daun penumpu yang tampak jelas. Daun-daun berseling, tunggal, seperti jangat, sangat bervariasi dalam ukuran 28-50 cm x 13-20 cm, dengan urat daun sekunder menyirip lurus jelas 28-50 pasang terlihat di sisi bawah daun. Helaian daun menggelombang dan melipat di antara urat daun sekunder. Daun penumpu besar, lebar, sedikit menebal, lekas gugur (Whitmore & Tantra, 1986). Buah berukuran besar, terbungkus kelopak, sering dengan pelebaran tabung kelopak serupa sayap sempit membujur di sisi luar, lima buah. Kelopak di ujung buah membentuk dua sayap yang besar dan tiga tajuk kecil serupa telinga, atau lima tajuk kecil (Gambar 2) (Soerianegara & Lemmens, 2002). Masa berbunga dan berbuah Dipterocarpa terjadi antara lima-enam tahun sekali (Noor & Julianti, 2000).
Gambar (Figure) 2. Sketsa Dipterocarpus dan herbarium koleksi Pusat Konservasi dan Rehabilitasi tahun 1923 dari Sumatera Timur (Sketch of Dipterocarpus and herbarium collected from East Sumatra in 1923 deposited in Conservation and Rehabilitation Research and Development Centre)
7
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 1-14 C. Ekofisiologi Dipterocarpus elongatus Korth. 1. Asosiasi D. elongatus dengan Tumbuhan Lain Asosiasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara pohon D. elongatus dengan vegetasi lain di sekitarnya. Dalam penelitian ini indeks asosiasi D. elongatus dengan vegetasi lain, untuk tingkat pohon, disajikan pada Tabel 3. Tabel (Table) 3. Indeks asosiasi D. elongatus dengan sembilan jenis pohon dominan lain di lokasi penelitian (Association trees index of D. elongatus with nine tree species at research location) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nama botani (Botanical name) Aporosa microsperma Pax & K. Hoffmann Hopea mangarawan Miq. Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb. Koompasia sp. Pentase sp. Hydnocarpus woodi Bedd. Anisoptera costata Korth. Diospyros sumatrana Miq. Shorea javanica K&V.
D. elongatus Korth Indeks Ochiai 0,71 0,52 0,41 0,29 0,35 0,25 0,40 0,23 0,32
Asosiasi D. elongatus dengan jenis pohon lainnya ditunjukkan dengan nilai indeks Ochiai berkisar antara 0,23-0,71. Semakin mendekati angka satu semakin kuat hubungan kedua jenis vegetasi, demikian pula sebaliknya (Ludwig & Reynolds, 1988). Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat dikemukakan bahwa Aporosa microsperma berasosiasi dengan D. elongatus paling kuat, hal ini ditunjukkan oleh indeks Ochiai 0,71, kemudian diikuti oleh jenis Hopea mangarawan (indeks Ochiai 0,52) dan jenis Horsfieldia irya (indeks Ochiai 0,41). Mueller-Dombois & Ellenberg (1974) menyatakan bahwa asosiasi terdapat pada kondisi habitat yang seragam, walaupun demikian hal ini belum menunjukkan terdapatnya kesamaan habitat, tetapi paling tidak terdapat gambaran mengenai kesamaan kondisi lingkungan secara umum. 2. Penyebaran Berdasarkan Kelas Diameter Potensi D. elongatus di hutan Desa Madobag untuk sebaran diameter < 20 cm dan > 20 cm mirip dengan hutan primer, akan tetapi diameter > 50 cm dan > 60 cm mirip dengan bekas tebangan satu tahun (Tabel 4). Jumlah jenis di hutan tersebut (Madobag) paling rendah, hal ini dikarenakan adanya pemanfaatan pohon sebagai bahan bangunan atau untuk keperluan umum desa seperti jembatan dan balai desa. Tabel (Table) 4. Potensi D. elongatus diameter batang > 10 cm di beberapa kondisi hutan di Siberut (D. elongatus diameter at >10 cm potential in four habitats in Siberut) (N/ha) Kelas diameter (Diameter class) % Jumlah jenis Habitat < 20 ≥ 20 > 50 > 60 (Total of species) N V Hutan primer (Primary forest)* 28 21,3 13,3 12 62 13,1 67,7 Tebangan 1 tahun (1 year LOA)* 4 8 4 1,3 90 4,81 30,8 Tebangan 5 tahun (5 years LOA)* 5,3 5,3 2,7 79 16,1 2,5 Hutan Desa Madobag (Village 26 18 4 4 36 27,85 75,24 forest Madobag) Keterangan (Notes): *Lokasi (Location) PT. KAM; N = Jumlah pohon (Number of trees), V = Volume pohon (Volume of trees)
Penyebaran D. elongatus berdasarkan kelas diameter di lokasi Desa Madobag disajikan pada Gambar 3. 8
Autekologi Dipterocarpus elongates Korth. di Cagar Biosfer…( N.M. Heriyanto; M. Bismark)
Pada Gambar 3 dapat dikemukakan bahwa penyebaran kelas diameter koka di hutan Desa Madobag didominir kelas diameter 31-40 cm dan diameter > 50 cm. Di lokasi tersebut pohon besar lebih banyak jumlahnya dibandingkan pohon yang lebih kecil, dan ini menandakan regenerasi tegakan permudaan D. elongatus terganggu. Pada hutan alam jumlah pohon dengan diameter kecil lebih banyak dibanding dengan pohon dengan diameter besar, atau disebut hutan dengan pertumbuhan normal. Tabel 4 menunjukkan bahwa di areal penelitian keragaman jenis pohon bervariasi menurut tipe dan kondisi habitat.
Gambar (Figure) 3. Sebaran kelas diameter D. elongatus di lokasi Desa Madobag (Distribution of D. elongatus based on diameter class at Madobag village)
3. Penyebaran D. elongatus Berdasarkan Kemiringan Lahan Penyebaran D. elongatus (diameter ≥ 10 cm) berdasarkan kemiringan lahan dalam plot penelitian Desa Madobag disajikan pada Gambar 4.
Gambar (Figure) 4. Hubungan kelerengan lahan dengan sebaran populasi pohon D. elongatus dalam plot di hutan Desa Madobag (Land slope relationship with distribution of trees D. elongatus at Madobag village forest)
Gambar 4 menunjukkan bahwa keberadaan pohon D. elongatus dalam plot penelitian di hutan Desa Madobag berdasarkan kemiringan lahan, terbanyak dijumpai pada kemiringan lahan antara 41-50% terdapat 12 pohon dan pada kemiringan lahan 31-40% dijumpai sebanyak enam pohon. Hubungan kemiringan lahan dengan sebaran populasi koka mengikuti persamaan Y = -1,598X2 + 14,46 dengan R2 = 0,6 (Gambar 4). Hal ini 9
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 1-14 menunjukkan bahwa secara ekologis D. elongatus menyukai tempat di lereng bukit (Heyne, 1987). Visualisasi tegakan D. elongatus pada kelerengan 43% disajikan pada Gambar 5.
Gambar (Figure) 5. Tegakan D. elongatus di kelerengan 43% di hutan Desa Madobag (D. elongatus stands at 43% slope in forest village of Madobag)
4. Hubungan Diameter dan Tinggi Berdasarkan hasil inventarisasi pohon, belta, dan semai dalam sembilan plot penelitian (2,25 ha) yang mewakili hutan primer, hutan bekas tebangan, dan hutan Desa Madobag, ukuran diameter D. elongatus berkorelasi dengan tinggi. Diameter di bawah 10 cm berkorelasi dengan tinggi menurut hubungan linier. Hubungan linier diameter dan tinggi D. elongatus sampai batas diameter 10 cm menunjukkan jenis ini dapat digolongkan cepat tumbuh, di mana pada pohon dengan diameter 2,5 cm tingginya rata-rata dapat mencapai delapan meter (Gambar 6a). Semai D. elongatus akan optimal pertumbuhannya pada intensitas cahaya 40-70% (Martawijaya et al., 1989), rata-rata intensitas cahaya di lokasi penelitian ialah 60%. Di areal bekas tebangan satu tahun (LOA 1) yang sangat terbuka potensi semai 3.750 anakan/ha, lebih rendah dibanding di hutan primer 5.000 anakan/ha (Tabel 5). Rendahnya anakan dapat disebabkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan. Penelitian menunjukkan dampak penebangan dapat menyebabkan kerusakan tegakan tinggal 33% (Sukanda, 1996). Pertumbuhan D. elongatus tingkat belta pada areal LOA 5 selain disebabkan lebih bersifat toleran, didukung oleh tanah habitat dengan kadar debu dan liat, C/N dan P yang relatif tinggi (Tabel 1). Berdasarkan persamaan Y = 0,775x + 1,606, diameter anakan 1,4 cm dapat mencapai tinggi 2,14 m, lebih tinggi dari S. leprosula yang cepat tumbuh. Menurut Suyana & Omon (2010) bahwa bibit S. leprosula yang cepat tumbuh pada diameter 1,4-1,6 cm tingginya mencapai 142,6-146,6 cm. Pada Gambar 6 terlihat hubungan antara diameter < 10 cm D. elongatus dengan tinggi signifikan secara linier dengan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 60%, sedangkan untuk diameter D. elongatus ≥ 2 cm dengan R2 = 0,9 menunjukkan hubungan tersebut sangat erat secara logaritmik. Dengan demikian hubungan diameter dan tinggi koka ini mencirikan pertumbuhan yang cepat dan mendominasi dengan kerapatan tinggi, nilai 10
Autekologi Dipterocarpus elongates Korth. di Cagar Biosfer…( N.M. Heriyanto; M. Bismark)
penting tinggi di antara asosiasinya (Tabel 2). Selain cepat tumbuh, D. elongatus tergolong toleran terhadap cahaya yang ditunjukkan dari meningkatnya jumlah belta pada areal bekas tebangan dalam waktu 5 tahun atau di kawasan hutan Desa Madobag (Tabel 5) dan sebaran populasi lebih dominan di areal berlereng 40-50% (Gambar 4)
(a)
(b)
Gambar (Figure) 6. Grafik hubungan antara tinggi dan diameter pohon D. elongatus berdiameter < 10 cm (a) dan berdiameter ≥ 2 cm (b) (Relationship between height and diameter at the breast height (dbh) of D. elongatus, (a) dbh <10 cm, (b) dbh ≥ 2 cm)
5. Regenerasi D. elongatus Banyaknya jenis yang ditemukan di lokasi penelitian menggambarkan suatu formasi hutan yang kaya akan jenis-jenis pohon yang merupakan indikator dari hutan hujan tropika. Pohon hutan tropika pada umumnya berbatang lurus dan ramping dengan percabangan kebanyakan dekat dengan puncaknya. Ketinggian pohon rata-rata pada strata satu tingginya tidak lebih dari 50 meter. Keragaman yang besar dalam ketinggian pohon tercermin pada pelapisan tajuknya. Jenis-jenis pohon yang menjadi lapisan teratas di lokasi penelitian yaitu D. elongatus, H. mangarawan, Koompasia sp., dan Horsfieldia irya. Populasi jenis D. elongatus dari permudaan sampai tingkat pohon di Cagar Biosfer Pulau Siberut disajikan pada Tabel 5. Tabel (Table) 5. Populasi D. elongatus di beberapa kondisi hutan di Siberut (Population of D. elongatus in four habitats in Siberut) (N/ha) No. 1. 2. 3. 4.
Habitat Hutan primer (Primary forest) Tebangan 1 tahun (1 year LOA) Tebangan 5 tahun (5 years LOA) Hutan Desa Madobag (Village forest Madobag)
Semai (Seedlings) 5.000 3.750 833 1.875
Belta (Saplings) 28 4 65 500
Pohon (Trees) 21 9 8 44
Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa populasi semai D. elongatus di hutan Desa Madobag lebih tinggi dibanding dengan di bekas tebangan lima tahun. Populasi belta dan pohon di hutan Desa Madobag di atas hutan produksi. Hal tersebut dapat dijelaskan masyarakat Desa Madobag tidak atau jarang mengambil kayu yang salah satunya yaitu jenis D. elongatus untuk bahan bangunan, karena letak pohon ini sebagian besar di lereng bukit dan masyarakat tahu bila mengambil kayu tersebut akan mengakibatkan longsor/banjir di kemudian hari (kearifan lokal). Tingkat belta dan semai D. elongatus jarang dijumpai di Madobag, karena buah koka banyak diambil oleh masyarakat untuk penghasil minyak dan buahnya disukai satwaliar, 11
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 1-14 sehingga regenerasinya terganggu. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah anakan menurut ketinggian tempat tumbuh (Tabel 6). Pertumbuhan anakan Dipterocarpus sangat dipengaruhi oleh komposisi fisik tanah dan kelerengan (Istomo & Pradiastoro, 2010). Tabel (Table) 6. Jumlah anakan D. elongatus di hutan Desa Madobag pada berbagai ketinggian tempat (Number of D. elongatus based on altitudinal gradient at Madobag village forest) No. 1. 2. 3.
Kelas ketinggian (Altitudinal gradient) (m dpl) 40-60 61-100 101-110
Tingkat pertumbuhan (Growth level) Semai (Seedlings) Belta (Saplings) 15 12 12 10 14 13
Tabel 2, Gambar 3, dan Gambar 4 menunjukkan bahwa di hutan Desa Madobag lebih banyak dijumpai koka pada tingkat pohon (44 individu), tingkat belta 35 individu, sedangkan untuk tingkat semai 41 individu. Jumlah semai dan belta menurut ketinggian di hutan Desa Madobag ralatif sama. Kondisi permudaan D. elongatus di hutan Desa Madobag menunjukkan habitat yang terganggu, karena jumlah permudaan alam yang lebih rendah daripada jumlah pohon. Beberapa hal yang menyebabkan ketidak-seimbangan ekologis pohon adalah: a) Buah dan biji banyak dipanen oleh masyarakat, sehingga tidak tersedia cukup untuk regenerasi secara alami. b) Buah/biji dimakan oleh satwaliar terutama babi hutan di lantai hutan, primata dan burung di atas pohon. c) Buah/biji di areal lereng di atas 50% dapat terbawa oleh air hujan, masuk ke sungai/air sehingga buah/biji menjadi busuk dan mati. Kemampuan regenerasi secara alami suatu tumbuhan akan sangat berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan populasinya. Demikian juga faktor fisik lingkungan (cahaya dan air) akan berpengaruh pada pertumbuhan biji di media tumbuh dan daya tahan hidup bagi semai itu sendiri.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Dipterocarpus elongatus Korth. (koka) adalah jenis dominan dengan nilai penting dan kerapatan tertinggi di hutan Cagar Biosfer Siberut. Terdapat sembilan jenis dominan lain dari 36-90 jenis di habitat koka dengan INP > 5% sebagai asosiasi pohon terhadap keberadaan D. elongatus. Asosiasi terkuat dengan D. elongatus adalah Aporosa microsperma Pax & K. Hoffmann dengan INP hampir sama 13,37-16,7% dan dengan Indeks Ochiai 0,71. Jenis Dipterocarpaceae yang menjadi asosiasi tertinggi adalah Hopea mangarawan Miq. dengan INP sama dengan A. microsperma. 2. Habitat D. elongatus berada di lereng dan punggung bukit, pengelompokan D. elongatus terbaik pada kelerengan 40-50%, tanah lempung dengan komposisi liat 41,776%, debu 8-46,2% dan nilai nisbah C/N berkisar 10,3-11, kandungan fosfat di areal bekas tebangan dan hutan Desa Madobag 3,75 kali lebih tinggi dari hutan primer. 3. Tinggi pohon dan diameter memiliki hubungan linier untuk pohon berdiameter ≤ 10 cm, dengan persamaan Y = 0,775X + 1,606, R² = 0,7. D. elongatus termasuk jenis Dipterocarpaceae yang cepat tumbuh dan toleran. 12
Autekologi Dipterocarpus elongates Korth. di Cagar Biosfer…( N.M. Heriyanto; M. Bismark)
4. Regenerasi D. elongatus di hutan alam sangat tergantung pada populasi semai. Populasi semai di hutan primer adalah 5.000 anakan/ha, namun rendah pada hutan bekas tebangan, sebagai dampak pemanfaatan kayu. B. Saran Perlu penelitian silvikultur dan pembibitan untuk mendukung budidaya D. elongatus dalam rehabilitasi bekas areal tebangan dan budidaya untuk hutan desa di daerah penyangga taman nasional dalam Cagar Biosfer P. Siberut.
DAFTAR PUSTAKA Barbour, M.G., Burk, J.H., & Pitts, W.D. (1987). Terrestrial plant ecology (Second edition). California: The Banjamin/Cummings Publishing Co, Inc. Bismark, M. & Heriyanto, N. M. (2007). Dinamika potensi dan struktur tegakan hutan produksi bekas tebangan dalam cagar biosfer Siberut. Info Hutan IV(6), 553-564. Bismark, M., Heriyanto, N. M., & Iskandar, S. (2007). Biomasa dan kandungan karbon pada hutan produksi di cagar biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam V(5), 397-407. Bismark, M. (2005). Model pengukuran biomasa populasi primata. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam II(5), 491- 496. Bismark, M. (2006). Konservasi primata endemik Mentawai: analisis habitat dan populasi primata di Siberut Utara. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi Rehabilitasi Sumber Daya Hutan (pp. 63-69). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam. (2003). Buku panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Kerjasama Dephut RI dengan UNESCO dan CIFOR. Google earth. (2013). Peta digital Pulau Siberut. Image 2013 Terra Metrics. Diakses dari www.google.com. Heriyanto, N.M. (2003). Komposisi dan struktur tegakan hutan bekas terbakar di Berau Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan 639, 21-31. Heyne, K. (1987). Tumbuhan berguna Indonesia (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Indriyanto. (2006). Ekologi hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Istomo & Pradiastoro, A. (2010). Karakteristik tempat tumbuh pohon-pohon gunung (D. retusus) di kawasan hutan lindung G. Cakrabuana, Sumedang, Jabar. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8(1), 1-12. IUCN/SSC. (1994). IUCN Red List Catagories. Fourtieth Meeting of the IUCN Council. Gland. Switzerland: IUCN Council. Kusmana, C. (1997). Metode survei vegetasi. Bogor IPB Press. Ludwig, J.A. & Reynolds, J.F. (1988). Statiscal ecology. Aprumer on methods and computing. New York: John Wiley & Sons. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A., & Kadir, K. (1989). Atlas kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Mueller-Dombois, D. & Ellenberg, H. (1974). Aims and methods of vegetation ecology. New York: John Wiley and Son. Noor, M. & Juliaty, N. (2000). Pembungaan dan pembuahan jenis Dipterocarpaceae di Hutan Penelitian Wanariset Semboja, Kalimantan Timur dan sekitarnya. Buletin Penelitian Kehutanan 14(2). 13
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 1-14 Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. (2011). Peta tanah Pulau Sumatera. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Saridan, A., Sist, P., & Abdurahman. (1997). Identifikasi jenis pohon pada plot permanen, proyek STREEK di Berau, Kalimantan Timur. Dipterocarpa I(1). Schmidt, F.H. & Ferguson, J.H.A. (1951). Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with Western New Guinea. (Verh. 42). Jakarta: Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Seng, O. Dj. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman 13. Simbolon, M., Adhikerana, A.S., Afriastini, J.J., & Marakarmah, A. (1997). Beberapa gatra biologis sumberdaya tumbuhan ekonomis Pulau Siberut, Sumatera Barat. dalam Eko, B. Waluyo; H. Susanto dan A.S. Adhikerana (eds.), Pulau Siberut: potensi, kendala dan tantangan pembangunan. Bogor: LIPI. Siran, S.A. (2007). Status riset pengelolaan Dipterokarpa di Indonesia. Samarinda: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Soerianegara, I. & Indrawan, A. (1998). Ekologi hutan Indonesia. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Soerianegara, I. & Lemmens, R.H.M.J. (eds.). (2002). Sumber daya nabati Asia Tenggara 5(1): Pohon penghasil kayu perdagangan yang utama (ppl. 171-195). Jakarta: PROSEA – Balai Pustaka. Subiandono, E., Bismark, M., & Heriyanto, N.M. (2010). Potensi jenis dipterocarpaceae di hutan produksi cagar biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat. Buletin Plasma Nutfah 16(1), 64-71. Sukanda. (1996). Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu pada sistem silvikultur TPTI. Buletin Penelitian Kehutanan 10(1). Suyana, A. & Omon, M. (2010). Uji kriteria dan indikator anakan bibit meranti merah di HPH PT. Sari Bumi Kusuma dan PT. Ikan Kalimantan. Info Hutan II(1), 57- 66. Whitmore, T.C. & Tantra, I G.M. (1986). Tree flora of Indonesia check list for Sumatera. Bogor: Forest Research and Development Centre.
14