JURNAL AL FATIH DINAMIKA POLITIK UMAT ISLAM INDONESIA DI ERA REFORMASI MOH. YUSUF, Lc. M.Fil.I ABSTRAKSI Dinamika politik dalam masyarakat muslim ditentukan oleh elit agamanya, yaitu ulama, kiyai, atau figur yang setara dengan keduanya dari kealiman atau keshalihannya. Seiring berjalannya roda era reformasi yang diikuti oleh berbagai kenyataan yang berkembang dalam dunia politik, masyarakat muslim semakin menemukan kesadarannya. Dengan kata lain, masyarakat muslim sudah tidak lagi seutuhnya terpaku kepada figur ulama, kiyai, atau seseorang yang setara keduanya dalam hal pilihan politik. Ini terbukti semakin sedikit elit-elit agama tersebut, ataupun orang-orang yang diusulkannya yang berhasil duduk di dewan legislatif ataupun menduduki jabatan publik. Kata Kunci: Politik, Umat Islam, Era Reformasi A.
PENDAHULUAN Tahun 1998 menjadi tahun yang mengharu biru bagi keberlanjutan peta perpolitikan
Indonesia. Pada Mei tanggal satu penguasa diktator Indonesia Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun runtuh oleh kekuatan massa, mahasiswa, dan rakyat pada umumnya. Seiring tumbangnya sang diktator, maka lenyap pulalah fase yang menamakan dirinya Orde Baru. Berakhirnya Orde Baru perpolitikan Indonesia masuk pada fase berikutnya, yaitu fase Reformasi. Reformasi merupakan suatu usaha baru yang senantiasa diharapkan mampu membawa era baru kearah yang lebih baik. Perubahan dari fase yang bobrok kepada tatanan yang baik, kuat dan mensejahterakan. Dalam Islam, reformasi dipadankan dengan Islah,1 yakni
memperbaiki dan
menyempurnakan sesuatu yang belum sempurna, termasuk mengganti yang rusak dan usang. Dalam al-Qur’an term “Islah”2 dipakai sebanyak 41 kali. Misalnya “siapa yang
1
Said Aqil Siradj, “Umat Islam dalam Dinamika Politik Bangsa di Era Reformasi”, Makalah disampaikan dalam acara “Seminar dan Dialog Nasional” Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, 4 Juli 1998. 2 Mu’jam al-Wasith, cet 4. (Kairo, 2004), 520.
JANUARI – JUNI 2015
1
JURNAL AL FATIH taubat setelah berbuat dhalim, lalu berbuat reformasi, sungguh Allah akan menerima taubatnya”3 siapa yang bertaqwa dan berbuat reformasi, ia tak akan ditimpa ketakutan dan kesusahan”4 “janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi setelah mereformasinya”5. Serta ayat-ayat lainnya.6 Segala bentuk media perjuangan dalam dunia Islam haruslah dilandaskan kepada tujuan utamanya, yaitu mencari keridhaan Allah swt. yang dalam hal ini adalah demi menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Amar ma’ruf adalah mengajak kebaikan dan berbuat kebaikan demi menjaga keamanan dan ketentraman didalam masyarakat. Sedangkan nahi mungkar adalah upaya pencegahan akan terjadinya suatu kekacauan dan ketidaknyamanan didalam masyarakat. Dengan konsep amar ma’ruf ini, maka sangat dimungkinkan berbagai bentuk upaya perubahan yang diproyeksikan membawa kemaslahatan umum tidak akan berjalan dengan kekisruhan, karena yang menjadi tolok ukurnya adalah bagaimana ketenangan masyarakat tetap terjaga. Demikian dengan konsep nahi mungkar, segala bentuk-bentuk provokasi yang merugikan masyarakat seminimal mungkin akan terhindari. Reformasi merupakan medium politik “Ishlah” dimana program pokoknya menjaga dan melestarikan kemaslahatan warga negara. Namun dalam perjalanannya telah banyak memberikan warna yang kurang mengesankan bagi masyarakat muslim Indonesia. Hal ini tidak lepas berbagai faktor yang melatarinya. Diantaranya isu-isu primordial, semisal pemahaman keagamaan. Ketidak pahaman atau ketidak siapan diri pelaku politik dalam berpolitik praktis, tujuan yang pragmatis, dan kepentingan pemilik modal.
B.
PEMBAHASAN 1. Ketidak Pahaman ataukah Ketidak Siapan Berpolitik Praktis Moyoritas pemimpin pergerakan Islam berasal dari kalangan elit agama, seperti
ulama, kiyai atau figur yang terkenal kealiman atau kesalehannya. Hal tersebut tidak heran karena dalam doktrin Islam menekankan suatu tingkah prilaku ideal untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dan itu dalam pandangan umum dikalangan 3
Al-Maidah ayat 39 Al-A’raf ayat 35 5 Al-A’raf ayat 57 6 Said Aqil Siradj, “Umat Islam dalam Dinamika Politik Bangsa di Era Reformasi”. 4
JANUARI – JUNI 2015
2
JURNAL AL FATIH masyarakat muslim melekat pada diri seorang ulama, kiyai atau seorang tokoh/figur yang dikenal alim atau shaleh. Pada masa lalu, Raja-raja Islamlah yang tampil sebagai pemimpin dengan ulama sebagai tangan kananya. Ada saling pengertian antara ulama dan umara’nya. Artinya dalam berbagai kasus sebelum seorang raja mengambil kebijakan maka ia terlebih dahulu meminta pendapat kepada ulama. Keterpaduan inilah yang senantiasa membawa rahmat pada seluruh lapisan masyarakat. Selepas tumbangnya Orde Baru setelah hak-hak politik umat Islam terbelenggu oleh cengkraman penguasa maka masuk era baru, era reformasi yang diharapkan bisa memberi ruang lebih kepada umat Islam untuk menentukan sikap politiknya yang akan mampu membawa kemaslahatan bangsa dan negara yang warganya mayoritas beragama Islam. Tumpuan besar masyarakat muslim awal pertama reformasi tentu kepada para ulama, kiyai atau figur yang menyamai keduanya dari kealiman atau keshalihannya, bagaimana baiknya arah kedepan kehidupan perpolitikan mereka, khususnya demi keberlangsungan perpolitikan bangsa ini yang mayoritas berpenduduk muslim. Sebab merekalah dalam pandangan masyarakat agama, yang dalam hal ini adalah masyarakat muslim,
ulama, kiyai atau figur yang menyamai keduanya dari kealiman atau
keshalihannya lebih mengerti apa yang baik dan buruk untuk kepentingan mereka. Berbondong-bondonglah masyarakat muslim datang kepada mereka, bertanya, meminta pandangan dan hingga pada mengusulkan dan mendukung sepenuhnya keterwakilan mereka dikancah politik praktis. Muncullah kemudian para ulama, kiyai, atau seorang figur yang dikenal baik dan shaleh menghiasi jalanan, terpampang wajah-wajah mereka yang penuh dengan wibawa. Ajakan dan mohon doa restu kesiapan menjalankan amanah mereka rangkai dengan kalimat-kalimat yang apik dan singkat-padat. Seterusnya, gambar-gambar mereka mengisi kolom-kolom lembar surat suara, baik untuk calon legislatif ataupun calon jabatan publik. Tidak hanya para ulama, kiyai, atau figur yang dikenal shaleh saja, akan tetapi kepercayaan masyarakat yang antusias kepada mereka menjadikan sebagian masyarakat muslim sudah tidak melihat lagi kapabilitas serta integritas pada siapa yang diusulkannya, asalkan itu dari ulama, kiyai maka diterima saja tanpa berpikir kembali. Dari sini
JANUARI – JUNI 2015
3
JURNAL AL FATIH muncullah gus-gus, lora-lora (panggilan putra-putra kiyai dalam istilah Madura) menghiasi peta percaturan politik praktis. Masyarakat terus berharap, sebab merekalah, para ulama, kiyai, dan figur yang shaleh dan alim yang akan mampu membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Merekalah yang tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi kehidupan ini. Mereka akan mengambil kebijakan yang jelas dan seutuhnya demi kepentingan masyarakat yang telah mempercayakan suaranya kepada mereka. Mereka akan dapat mencegah atau paling tidak bisa meminimalisir segala bentuk-bentuk kemaksiatan, kemungkaran yang ada dilegislatif atau dibirokratif. Diharapkan sekali mereka dapat menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta sistem yang amburadul pemerintahan yang semua itu telah membuat masyarakat kesusahan. Atau dengan keberadaan mereka dilegislatif atau dijabatan publik akan mampu menjadi penyeimbang orang-orang yang tamak, yang hanya bekerja mengeruk uang negara demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Keberadaan mereka akan membawa pesan dan nilai moral yang kuat sehingga membuat takut atau segan orangorang atau oknum pejabat yang akan berlaku curang ketika mereka berbuat diluar kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Namun, kepercayaan masyarakat akhirnya sirna, kepercayaan yang telah mengkristal yang dibangun oleh penghormatan besar bahwa ikut ulama, kiyai membawanya pada kebaikan dunia akhirat, itu meleleh. Hal itu karena tidak lepas dari beberapa orang yang menyandang gelar ulama, kiyai tersangkut perkara korupsi 7. Tidak hanya itu, ulama, kiyai cenderung berbeda gaya, sudah tidak lagi santun dan mencerahkan. Bahkan gayanya cenderung melupakan umat dan sibuk berkoar mengurusi kursi8 dan pembagi-bagian “kue” kekuasaan dan jabatan. Tidak tertutup anggapan bahwa itu karena ulama, kiyai atau seorang figur yang setara dengan keduanya belum siap mental, belum tertata sedemikian rupa keinginan duniawinya, sehingga mereka terkecoh dan terseret arus kemaksiatan yang membudaya didalamnya. Atau mereka tidak faham dengan gaya dan taktik maksiat yang semakin canggih dan modern yang ada didalam suatu lembaga yang pada akhirnya menistakan mereka tanpa mereka sadari.
7 8
Anif Sirsaeba, Berani Kaya Berani Takwa, (Jakarta: Penerbit Republika, 2007), 45. m.cyberdakwah.com. diakses senin, 17.11.2014
JANUARI – JUNI 2015
4
JURNAL AL FATIH Barangkali inilah bukti semakin sedikitnya jumlah ulama, kiyai atau figur yang sertara keduanya tidak lagi banyak menghiasi percaturan politik praktis. Mengikisnya keprcayaan masyarakat menyebabkan dengan sendirinya mereka tersingkir dari gelanggang perpolitikan. Bahkan konon, karena tujuan sebagian ulama, kiyai atau figur yang setara dengan keduanya atau orang yang dipercayakan oleh mereka yang tidak lepas sepenuhnya dari kepentingan memperoleh kenikmatan jabatan (pragmatis), bukan semata-mata berjuang demi umat lewat pemerintahan, dan malah mengenyampingkan mereka setelah ulama, kiyai atau sang figur, atau orang yang dipercayakan oleh mereka terpilih, maka masyarakatpun tidak sudi memilih mereka jika mereka tidak memberikan sejumlah nominal kepada para calon pemilih. Ini pula barangkali salah satu urun sebab ramainya money politic dimasyarakat. Ini jelas berbeda sekali ketika pada masa awal-awal reformasi, dimana masyarakat sepenuhnya murni ikhlas mempercayakan keterwakilan mereka oleh para ulama, kiyai dan figur yang setara dengan mereka atau orang yang dipercayakan oleh mereka tanpa imbalan apapun. Dalam pikiran masyarakat hanya satu, menuju perubahan hidup yang baik. Jauh dari kecurangan, keonaran, dan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup.
2. Pemahaman Keagamaan Berbicara pemahaman keagamaan di Indonesia maka akan terlintas dalam pikiran berbagai golongan aliran yang berafiliasi kepada madzham-madzhab, aliran-aliran, dan sekte-sekte yang lahir dari dalam Negeri dan luar Negeri. Golongan-golongan aliran pemahaman keagamaan ini sama-sama mempunyai arah serta kepentingan masing-masing yang berimbas kepada tujuan berpolitiknya. Golongan-golongan tersebut berangkat dari masing-masing latar dan asumsi sosial yang dilihat dari perspektif pemaknaan pesan-pesan agama. Beberapa golongan tersebut diantaranya, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), alWashiliah, dan lain-lainnya. Dari golongan-golongan tersebut jika dikaitkan dengan fase waktu mereka menyebut dirinya sebagai Islam modernis dan yang lainnya sebagai Islam tradisionalis. Disebut Islam modernis karena mereka merasa lebih bisa beradabtasi dengan peradaban modern yang maju. Sebaliknya kaum Islam tradisionalis menganggap bahwa mereka
JANUARI – JUNI 2015
5
JURNAL AL FATIH sebagai garda depan pembela dari tradisi dan budaya yang sudah ada didalam masyarakat yang tidak bersebrangan dengan agama, namun tetap terbuka pada kemajuan zaman. Pola ini telah berjalan sejak tahun 1920 sebelum kesadaran berpolitik praktis satu hal yang amat sangat penting. Artinya dua klasifikasi pokok tersebut murni berangkat dari sudut pandang pemahaman keagamaan. Pada puncaknya perseteruan pemahaman ini sampai pada kafir mengkafirkan. Yang Islam modernis menyebut kalangan kaum Islam tradisionalis sebagai politeisme (musyrik), sedangkan yang Islam tradisionalis menyebut kalangan Islam modernis sebagai kafir.9 Walau pada akhirnya kalangan Islam tradisionalis tidak menerima kalau mereka menyebut kalangan Islam modernis sebagai kalangan kafir.10 Perseteruan ini terus berlangsung sampai masuk pada ranah politik praktis. Perseteruan di Masyumi (semacam badan khusus kalangan Islamis yang dibentuk oleh masa penjajahan Jepang), ataupun pada masa penjajahan Belanda yang bernama Majlis Islam A’la Hindia (MIAH). Islam Modernis beranggapan kalangan Islam tradisionalis berpikiran kolot, lamban, dan tidak punya proresifitas. Sebaliknya kalangan Islam tradisionalis beranggapan bahwa kalangan Islam modernis ambisius, tidak bermadzhab, dan bukan Ahlissunnah Wal Jamaah. Perseteruan mereka semakin menjadi-jadi hingga pada akhirnya mereka saling memisahkan diri dan menjadi partai politik. Perseteruan ini kemudian mereda seiring pemerintahan Orde Baru memberlakukan penyempitan peran kalangan ulama, kiai, serta figur yang setara dengan kduanya dalam ranah perpolitikan. Dimana pada masa Orde Baru hanya boleh tiga partai saja yang bisa berlaga dipentas perpolitikan nasional. Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kalangan Muslim harus ada didalam PPP. Dengan kata lain, bahwa masyarakat muslim tidak punya banyak pandangan guna bisa memantapkan ikhtiarnya dalam berpolitik, atau bahwa masyarakat muslim Indonesia belum siap berada pada satu payung politik di PPP karena berbagai faktor perbedaan pemahaman sebelumnya. Seiring dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru maka pintu-pintu untuk segera menentukan pilihan politik yang sesuai dengan karakter pemahaman keagamaan golongan masing-masing dan keluar dari PPP dengan sindirinya menjadi terbuka lebar. 9
Greg Fealy, Ijtihat Politik Ulama, Sejarah Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta: LkiS, 2003), 31. Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, (Yogyakarta: Matabangsa, 2001), 156. 10
JANUARI – JUNI 2015
6
JURNAL AL FATIH Maka selain masih tetapi di PPP sendiri, tokoh-tokoh masyarakat muslim kemudian mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ada yang mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB). Dua yang disebut belakangan merupakan representasi kalangan kaum Islam modernis. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pada awal mula masuk era reformasi begitu antusiasnya masyarakat muslim menyambut era ini dengan ulama, kiyai, serta figur yang setara dengan keduanya sebagai representasi dari mereka yang akan bisa membawa pencerahan dan arah hidup yang baik dan sejahtera. Era reformasi tidak sanggup merubah perseteruan yang sudah lama terpendam. Masyarakat muslim dibuat bingung oleh ulama, kiyai, dan figur yang setara dengan keduanya. Tokoh-tokoh itu saling menghujat, mencemooh, dan menfitnah satu sama lain demi mendapatkan dukungan dari masyarakat muslim guna masuk kegerbong partainya masing-masing. Tersebarlah pada era awal reformasi ini saling adu dalil-dalil pembenar dan perkelahian fisik antar masyarakat muslim satu dengan masyarakat muslim lainnya terjadi. Semakin menyesakkan lagi, bahwa ketika yang dibela masuk pemerintahan mereka hanya mementingkan kekayaan diri dan kelompoknya semata. Laiknya pemahaman keagaam tidaklah menjadi seteru bagi masyarakat muslim, pemahaman keagamaan oleh kalangan elit agama hanyalah pemaknaan pesan atas ajaran agama bukan sebagai reduksi atas ketentuan agama. Sudah saatnya masyarakat muslim lebih mengedepankan inti dari tujuan beragama, persaudaraan. Sesama masyarakat muslim adalah bersaudara. Tujuan berpolitik harus diletakkan atas dasar terjaganya keamanan dan kesejahteraan bersama.
3. Kepentingan Pemilik Modal Pemilik modal sangat besar pengaruhnya terhadap konstalasi politik. Didalam alam demokrasi tidak dapat dipungkiri bahwa demikian besar pembiayaan disuplay oleh pemilik modal.11 Sebab dengan modal yang ada mereka bisa bermain apapun demi menggolkan kebuasan syahwatnya. Mereka bisa memainkan media massa guna membangun citra dan kepopuleran diri atau calon yang diusungnya. Pemilik modal tidak akan segan menebarkan “jajanan” kepada siapapun guna memuluskan berbagai proyek yang akan diincarnya. 11
Amin Rais, Pemilik Modal Kendalikan Media Untuk Politik, dalam tabligh.or.id. diakses senin, 17.11.2014
JANUARI – JUNI 2015
7
JURNAL AL FATIH Banyak pada akhirnya sebagian anggota legislatif atau pejabat publik tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan pengusaha-pengusaha besar yang merampas tanah, penggusuran rumah, pengalihan lahan, dan seterusnya karena mereka tidak berdaya. Pemilik modal akan senantiasa menaruh orang-orang di pemerintahan guna menjaga kepentingannya. Tidak hanya itu, pemiliki modal akan meneropong siapa saja yang sekiranya bisa untuk diajak bekerja sama guna memuluskan proyek-proyeknya. Mereka akan menaruh pancingan-pancingan kepada siapa saja yang dianggapnya berbahaya dan mengusik kepentingannya. Tebaran-tebaran berbagai umpan yang sangat menggiurkan tentu kalau tidak diimbangi oleh sikap mental yang kuat dan kokoh maka akan sangat berbahaya. Adanya sikap sosial masyarakat yang sangat besar rasa hormat dan takdzimnya kepada elit agama, seperti ulama, kiyai, atau figur yang setara dengan keduanya sangat membuka peluang bagi pemilik modal untuk mencari celah masuk memanfaatkan peluang ini. Mereka yakin bahwa hormat dan takdzim masyarakat muslim akan mampu mengantarkan elit agama tersebut menjadi terpilih sebagai legislatif atau pejabat publik. Dengan pandangan ini maka mereka akan segenap usaha bagaimana caranya entah ulama, kiyai, figur yang setara dengan keduanya atau seseorang yang ditunjuk oleh ulama, kiyai, atau figur yang setara dengan keduanya tersebut bisa masuk dalam perangkapnya hingga pada akhirnya mereka berada dalam kendalinya. Lebih celakanya lagi jika tujuan berpolitik ulama, kiyai, figur yang setara dengan mereka, atau orang-orang yang ditunjuk oleh mereka, atau orang-orang yang mendapatkan restu mereka masuk politik sudah berorientasi materi duniawi. Maka sudah secara otomatis ada titik temu yang saling menguntungkan antara mereka dan pemilik modal dan secara langsung pula menyengsarakan masyarakat muslim khususnya.
JANUARI – JUNI 2015
8
JURNAL AL FATIH C.
PENUTUP Dinamika politik dalam masyarakat muslim ditentukan oleh elit agamanya,
yaitu ulama, kiyai, atau figur yang setara dengan keduanya dari kealiman atau keshalihannya. Seiring berjalannya roda era reformasi yang diikuti oleh berbagai kenyataan yang berkembang dalam dunia politik, masyarakat muslim semakin menemukan kesadarannya. Dengan kata lain, masyarakat muslim sudah tidak lagi seutuhnya terpaku kepada figur ulama, kiyai, atau seseorang yang setara keduanya dalam hal pilihan politik. Ini terbukti semakin sedikit elit-elit agama tersebut, ataupun orang-orang yang diusulkannya yang berhasil duduk di dewan legislatif ataupun menduduki jabatan publik. Ketidak pahamanan terhadap sistem ataupun ketidaksiapan berpolitik praktis oleh kalangan elit agama masuk dunia politik merupakan awal kemalangan bagi keberlanjutan perpolitikan masyarakat muslim. Tidak hanya itu, pragmatisme politik dan adanya kepentingan pemilik modal yang cenderung menggunakan berbagai macam cara untuk mengeruk keuntungan diri demi pundi-pundi pribadinya juga sangat merugikan masyarakat muslim.
JANUARI – JUNI 2015
9
JURNAL AL FATIH DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Anif Sirsaeba, Berani Kaya Berani Takwa, (Jakarta: Penerbit Republika, 2007) Greg Fealy, Ijtihat Politik Ulama, Sejarah Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta: LkiS, 2003) Mu’jam al-Wasith, cet 4. (Kairo, 2004) Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, (Yogyakarta: Matabangsa, 2001) Said Aqil Siradj, “Umat Islam dalam Dinamika Politik Bangsa di Era Reformasi”, Makalah disampaikan dalam acara “Seminar dan Dialog Nasional” Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, 4 Juli 1998. m.cyberdakwah.com. tabligh.or.id.
JANUARI – JUNI 2015
10