DINAMIKA PENERIMAAN IBU TERHADAP ANAK TUNA GRAHITA
Oleh: Ajeng Nidar Ramanda
103070029077
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAhl
JAKARTA
2008
DINAMIKA PENERIMAAN IBU TERHIADAP ANAK TUNA GRAHITA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memperoleh syarat - syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh: AJENG NIDAR RAMANDA
103070029077 Di Bawah Bimbingan
bm .,gll
e-
7 .
_,---
/
M.Si
.
I
S. Evangeline l.S, M.si, Psi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008
PENGESAHAN PANITIA UJIAN cripsi yang berjudul " DINAMIKA PENERIMAAN IBU TERHADAP ANAK TUNA ~AHITA" telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Psikologi Universitas am Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Februari 2008. Skripsi ini ah diterima sebagai salah sat syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 6 Februari 2008
Sidang Munaqosah De~an
Pembantu Dekan Sekertaris Merangkap Anggota
)tua Mera gFap Anggota
CA'
Zah•~·."
L--~
/
artati M.Si \5 938
•• M.s;
Orn. Hj. NIP. 150 23E 773
\
.J
Anggota, Pembimbing I I
M.Si
Penguji II
Penguji I
a Fadhilah Sural
a M.Si.
NIP. 150 215 283
A1
Dra. H". Zahrotun
ihayah, M.Si
NIP. 150 38: 773
Sef\sil'i saja f\simu 6efajaruntuli.,6erputus asa maf\si af\sin menjatfi. Rg6iasaan. ( 'f/ince Lom6an[)
J[Ufup 6isa demi/i.,ian 6afragia rfafam /igter6atasan jif\si cfimali.,nai dengan /igifi.fifasan 6erfi..rr6an untuli.,sesama. ( )'inarea Jfirata)
'l(pti/ig, al{,u d'ifafiirlig,n al{,u 6ertanya pada 'l'uhan "'l'uhan ... mengapa al{,u difarirlig,n seperti ini?" 'l'uhan merljawa6 pertanyaanl{,u "'l(prena /ig,u adafali anaf.,istimewa, ma/ig, a/{,u align mem61~ri padamu orang tua yang istimewa" S/{,ripsi ini aipersem6ali/ig,n untul{,para orangtua istimewa, yang tefafi mencurafilig,n segafa fi.§tu(usan aan l{,asifi sayangnya 6agi anal{,-
ana~.istimewa yang Jff{afi
titiplig,n.
ABSTRAK
(A ) Fakultas Psikologi ( B ) ,Januari 2008 ( C ) Ajeng Nidar Ramanda 103070029077 ( D ) Dinamika Penerimaan lbu terhadap Anak Tuna Grahita ( E ) i+ 85 halaman ( F ) Setiap pasangan suami isteri mendambakan kehadiran anak dalam keluarga. Orang tua terutama ibu mempunyai harapan tentang anak yang dikandungnya, ibu berharap agar anak dapat menjadi anak yang baik, cakap, pintar, membanggakan orang tua. Harapan yang ditunggu, rasa mendebarkan dan menyenangkan seketika hilang ketika mengetahui anak mengalami kekhususan sehingga menjadi hal yang sensitif bagi orang tua. Keh2diran anak tidak selalu mudah jika anak tersebut memiliki kekhususan. Banyak reaksi yang timbul pada orang tua, didahului oleh shock, sedih, marah, terguncang, rnenolak kondisi anak, dan merasa bersalah, hi'1gga akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dan menerima kondisi anak. ( G ) Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran tentang dinarnika penerimaan ibu terhadap anal< tuna grahita dengan proses proses penerimaan yang dilalui ibu. ( H ) Sampel dalam penelitian ini adalah tiga orang ibu yang memiliki anak tuna grahita dengan rentang usia antara 30 - 45 tahun. ( I ) Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam peneliti dapat menggali lebih banyak ir,formasi dari responden. ( J ) Hasil penelitian ini adalah, tidal< mudah untuk mencapai tahap penyesuaian dan penerimaan terhadap anak. Setiap ibu memiliki kekhasan masing - masing dalam penerimaan diri, pada tahap primary phase ditemukan bahwa dua subjek mengalami tahap shock, semua subjek mengalami denial ( menolak mengenali kecacatan anak ), satu subjel< mengalami grief ( sedih ). Pada tahap secondary phase satu subjek mengalami ambivalence ( antara menerima dan menolak kondisi anak), semua subjek mengalami tahap guilt ( perasaan bersalah orang tua terhadap anaknya ). dua subjek mengalami anger ( perasaan marah pada diri sendiri ). Pada tahap tertiary phase satu subjf'k mengalami bergaining ( mengadakan perundingan agar anak dapat kembali seperti semula ), dua subjek mengalami adaptation and reorganization ( beradaptasi dengan keadaan yang membuat cemas ) dan dua subjek mengalami acceptance ( penerimaan ). Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kurangnya penerimaan diri ibu, diantaranya adalah diagnosis dokter yang menyatakan anak tuna grahita yang dirasa kurang memberikan empati kepada pasiennya;selain itu faktor ekonomi dan reaksi negatif dari masyarakat ataskeberadaan anak - anak berkebutuhan khusus, dengan demikian sangat dibutuhkan dukungan sosial dari masyarakat, khususnya keluarga, karena dukungan sosial juga mempunyai pengaruh dalam penerimaan ibu terhadap anak tuna grahita, pemberian makna yang positif pada anak akan menimbulkan reaksi yang positif pula dari ibu pada anaknya, sebaliknya, pemberian makna yang negatif akan menimbulkan reaksi yang negatif pula. ( K) 23 buku + 2 majalah ( 1979 - 2007)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan kasih sayong dan kekuatanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada tauladan umat baginda Rasulullah Saw. Penulis menyadari banyak sekali bantuan yang telah penulis terima datam penulisan skripsi ini, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar - besarnya kepada 1.
Dra. Hj. Netty Hartati. M.SI, Dekan Fakultas Psikologi, beserta seluruh jajaran dekanat lainnya yang telah membantu kelancaran skripsi ini.
2.
Para Dasen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membimbing dan memberikan banyak ilmu bagi penulis.
3.
Staf Tata Usaha Fakultas Psikologi ( !bu Syariah, Bu Uus, Bu Sri, Pak Miftah Dan lain - lain ), yang telah banyak membantu penulis dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, serta Stal Tata Usaha UIN Jakarta.
4.
Pembantu Dekan II dan pembimbing I Dra. Zahrotun Nihayah "terima kasih Bu ... alas saran dan masukannya"
5.
S. Evangeline. l.S, M.SI, Psi, pembimbing II yang banyak meluangkan waktunya untuk penulisan skripsi ini.
6.
Untuk orang tua terhebat Bapak dan Mamah tercinta yang telah mencurahkan hidup dengan peluhan keringat sehingga penulis bisa menyelasaikar skripsi ini, terima kasih atas untaian doanya, karena doa Bapak dan Mamah merupakan suatu kekuatan.
7.
Kepada ketiga bintangku (Amar, Agin, Alika) yang selalu memberikan keceriaan bagi penulis dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk menjadi contoh yang baik. Bual Agin terima kasih alas keistimewaannya, tan pa Agin judul ini belum tentu ada dan karena Agin teteh banyak belajar.
8.
Yudi Rosdiana dan keluarga yang banyak meluangkan waktu untuk membantu penulis dan mendegarkan segala keluh kesah.
9.
Teman - teman angkatan 2003 khususnya kelas C \ Andin, Ina, Fanny, Nia, Litha, Zora, Wulan, Ira, lryn, lka, Ayu dil ) atas canda tawa, pengertiannya pada segala kekurangan yang penulis miliki, semoga pertemanan ini tidak berhenti sampai disini.
10. Teman - teman KKL Ml MP 2007 ( Jernih, Resti, Wiwi, Ai, Ira, Mis, Ari), akhirnya kita sudah sampai pada tahap ini, semoga keberhasilan aknn menghampiri kita. 11. Para Orang tua pilihan yang istirnewa yang telah bersedia menjadi subjek, terima kasih atas waktu yang telah ibu luangkan untuk kelancaran skripsi ini. 12. Keluarga besar KMF Kalacitra ( lyos, Sinden, Ridho, Yuni, Irma, Erna, Dina, Suri, Agus, Zaky, Rifl
Jakarta, Fet>ruari 2008
Penulis
DAFTAR ISi LEMBAR PENGESAHAN MOTTO ABSTRAK.... .. ...... ... ... .. ....... .... .. .......... ........... ......... .......... ........
ii
KATA PENGANTAR....................................................................
V
DAFT AR ISi....................................... .. .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .. . . . .. Viii BAB1
BAB 2
PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang ................................................................
1
1.2. Pembatasan Masalah .....................................................
7
1.3. Perumusan Masalah .......................................................
10
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................
10
1.5. Manfaat Penelitian ..........................................................
11
1.6. Sistematika Penulisan .....................................................
12
LANDASAN TEORI 2.1. Penerimaan......................................................................
14
2.1.1 . Pengertian Penerimaan.... ...... .. .. ..... ... .. .... .. .. .. .. .. ...
14
2.1.2. Penerimaan Dalam Islam .....................................
17
2.2. Anak Tuna Grahita ..........................................................
20
2.2.1. Klasifikasi Tuna Grahita ........................................
23
2.2.2. Faktor Penyebab Tuna Grahita ............................
24
2.2.3. Karakteristik Anak Tuna Grahita ...........................
25
BAB 3
BAB 4
2.3. Orang Tua Anak Luar Biasa ............................................
30
2.4. Kerangka Berpikir ............................................................
31
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian ...............................................................
32
3.1.1. Pendekatan Penelitian ..........................................
32
3.1.2. Metode Penelitian .................................................
33
3.2. Sampel Penelitian ............................. .............................
34
3.2.1. Karakteristik Sampel .............................................
34
3.2.2. Jumlah Sampel .....................................................
34
3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ................................
35
3.3. Pengumpulan Data .........................................................
35
3.3.1. Teknik Pengumpulan Data ....................................
35
3.3.2. lnstrumen Penelitian ........................ ....................
38
3.4. Teknik Analisa Data ........................................................
38
ANALISA DATA
4.1. Analisis Subjek 1 ........................................ .....................
40
4.1.1. Biodata Subjek .....................................................
40
4.1.2. Biodata Anak ................................... .....................
41
4.1.3. Gambaran Umum .................................................
41
4.2. Analisis Kasus Subjek 2 ..................................................
53
4.2.1. Biodata Subjek .....................................................
53
4.2.2. Biodata Anak ........................................................
53
BAB 5
4.2.3. Gambaran Umum Subjek 2 ..................................
54
4.2.4. Gambaran anak ....................... .............................
56
4.3. Subjek 3 ..........................................................................
61
4.3.1. Biodata Subjek .....................................................
61
4.3.2. Biodata Anak ........................................................
62
4.3.3. Gambaran umum subjek 3 ...................................
62
4.3.4. Gambaran umum anak .........................................
64
4 .4. Analisis Antar Kasus .......................................................
68
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan .....................................................................
73
5.2. Diskusi .................... .........................................................
78
5.3. Saran
82
DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN
BAB 1
PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Setiap manusia
men~1inginkan
kelak akan dapat berumah tangga,
membangun keluargEI, hidup berdampingan bersama pasangannya, dan memiliki anak. Setiap keluarga mendambakan kehadiran anak sebagai pemersatu suami-isteri, sebagai penerus generasi. Selain itu juga anak merupakan buah hati yang mendatangkan kelengkapan di dalam keluarga, dan dapat mempererat tali cinta suami istri. Tingkah !aku anak yang dapat menjadi kebanggaan orang tua menjadikan kelahiran seorang anak menjadi hal yang dinanti-nantikan bagi kebanyakan pasangan suami isteri. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh dr. Syaifudin Ali Akhmad dalam M.T lndriati, 2007 bahwa setiap pasangan menginginkan segera memiliki anak sebagai buah hati dan pengikat tali cinta mereka.
Harapan orang tua terhadap anaknya dimulai sejak mereka merencanakan kehamilan. Masa kehamilan akan menjadi sesuatu yang ditunggu, dipersiapkan sebaik-baiknya. Orang tua terutama seorang ibu mempunyai harapan dan impian tentang anak yang dikandungnya. lbu berharap agar
anaknya dapat menjadi anak yang baik, cakap, pintar, membanggakan orang tua dan sebagainya, lahir ke dunia dalam keadaan yang sempurna, sehat jasmani dan rohani tanpa kurang suatu apapun dan dapat berkembang secara optimal menjadi pribadi yang baik, shaleh dan dapat berlaku optimal di dalam masyarakat.
Persiapan awal kehamilan para ibu biasanya dimulai dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya sehingga dapat mencapai proses kelahiran yang lancar, dan kesehatan yang diharapkan. Persiapan para calon ibu tidak hanya secara fisik tetapi juga persiapan psikologis dimana orang tua sudah memikirkan bagaimana mendidik anak, merencanakan pendidikan dan di mana si anak akan sekolah, persiapan yang akan dilakukan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri anak.
Hari demi hari dinantikan selama sembilan bulan, bayi akhirnya lahir ke alam dunia nyata. Perasaan sakit, proses kelahiran yang di·asa berat, butuh perjuangan, antara hidup dan mati terobati dengan kelahiran bayi. Semua perasaan tidak menyenangkan untuk ibu dan ayah menjadi sesuatu yang membahagiakan dan menjadi sebuah kabar yang harus disampaikan kepada anggota keluarga yang lainnya.
lbu <:kan terus memantau, memperhatikan apa yang anak tampilkan. Perilaku anak yang ditampilkan mulai dibandingkan dengan anak-anak seusianya dan yang ada di lingkungan sekitarnya. Hal yang biasanya dibandingkan adalah pada awal perkembangan anak, anak-anak sudah mulai dapat duduk, berjalan dan memulai kata-kata pertamanya, seperti rremanggil "mama" atau "ibu". Jika perkembangan yang nampak sesuai atau lebih dari pada umumnya, maka orang tua akan merasa senang, bangga clan mendapat pujian dari orang-orang sekitar.
Sebaliknya, orang tua akan merasa prihatin dan khawatir jika perkembangannya tidak nampak seperti anak seusianya pada umumnya. Perkembangan motorik ketika kanak-kanak pada usia 3 tahun anak-anak masih suka akan gerakan sederhana seperti berjingkak-jingak, melompat. Mereka bangga dapat berlari melewati suatu ruangan dan melompat (John.W.Shantrok, 2002). Dunia kognitif anak-anak ialah kreatif, bebas, dan pem:h imajinasi (John.W.Shantrok, 2002). Dalam bukunya, Hurlock mengemukakan bahwa perkembangan bahasa pada masa awal anak-anak umumnya merupakan saat berkembang pesatnya penguasaan tugas pokok dalam belajar berbicara, yaitu menambah kosa kata, menguasai pengucapan kosa kata dengan menggabungkan kata-kata menjadi kalirnat (Elizabeth B.Hurlock, 1980). Tugas perkembangan ini tidak ditemukan pada anak berkebutuhan khusus. Perkembangan bahasa yang lebih lambat terjadi
apabila anak tersebut memiliki kekhususan, karena perkembangan bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognisi (Sotjihati, 2006)
Orang tua mulai menyadari bahwa perkembangan anaknya terlambat, tidak seperti anak normal. Hal seperti ini menurut orang tua tidak wajar seperi halnya anak-anak lain pada umumnya. Reaksi kegembiraan karena kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga dapat berubah sebaliknya di saat kenyataan yang dihadapi tidak sesuai dengan harapan awal orang tua saat masih mengandung, yaitu melahirkan anak yang sehat seperti anakanak pada umumnya.
Rasa khawatir akan masa depan anal< dalam mengurus diri sendiri juga dapat menjadi pikiran bagi orang tua, yang diKhawatirkan adalah siapa yang akan mengurus anal< sepeninggalnya. Bayangan mengenai anak yang optimal perkembangannya tidak terwujud, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya, hal ini dapat menyebabkan stress dan merupak.an hal yang menyakitkan bagi orang tua.
Keterlambatan perkembangan anal< juga menjadi hal sensitif bagi orang tua. Pernyataan seperti diagnosis yang menyatakan bahwa anak Mental Retardation akan memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata, keterbatasan komunikasi, keterbatasan merawat diri sendiri, serta minimnya kemampuan
untuk berinteraksi dengan lingkungan, sehingga kehadiran anak tidak sealu mudah jika anak tersebut memiliki kekhususan.
Kekhawatiran orang tua berdampak pada fisik, emosional, psikologis pada orang tua khusunya bagi ibu, secara fisik menyebabkan ibu jatuh sakit, sedangkan secara emosional orang tua akan mudah tersinggung, cepat marah, menangis, dampak psikologis dapat berupa kecemasan akan masa depan anak, depresi, malu dan merasa gagal sebagai orang tua sejak mengetahui keadaan anak tidak sesuai seperti apa yang diharapkan. Hal ini pernah dirasakan oleh F, seorang ibu yang anak bungsunya didiagnosis down sundrome sejak bayi (sumber, Majalah Paras edisi 313).
Stigma atau pandangan terhadap anak berkekhususan dapat menjadi hal yang memalukan bagi orang tua. Orang tua akan ber Jsaha menghindari situasi yang dapat menimbulkan komentar mengenai kecac:atan anaknya. Hal ini disebabkan karena lingkungan sosial seolah menekan seseorang untuk bertindak di luar batas kemampuannya (psikologi klinis).
Banyak usaha yang dilakukan orang tua guna memulihkan kondisi anak, diantaranya pergi ke dokter untuk menanyakan secara lan9sung masalah yang dihadapi oleh anaknya sampai berkonsultasi dengan para ahli atau orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Baik secara medis dengan
mendatangi dokter atau psikolog, secara spirtual dengan mendatangi para normal yang mungkin didasari atas saran dari masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyembuhkan anak yang clianggap berbeda, dan juga mendatangi pengobatan alternatif. Usaha selalu orang tua lakukan walaupun tidak mudah menerima anak yang didiagnosis tuna grahita.
Banyak reaksi dan perasaan yang dapat ditimbulkan orang tua yang memiliki anak dengan kekhususan, diantaranya dapat berupa sedih, marah, terguncang, menolak kondisi anak, sedih, merasa bersalah, dan pengandaian seandainya keadaan tersebut tidak menimpa dirinya.
Berdasarkan data yang diperoleh bahwa ternyata ada beberapa orang tua "sulit" menerima kondisi anak berkebutuhan khusus, pada umumnya orang tua dengan anak kebutuhan khusus adalah merasa shock, setelah itu adanya penyangkalan kondisi anak, duka cita, diikuti dengan depresi, antara menerima dan menolak kondisi anak, merasa bersalah, merasa malu, mengadakan perundingan sebelum akhirnya melewati tahap adaptasi dan penerimaan.(Yoana Sari)
Sumber lain menyebutkan bahwa ada orang tua dengan keadaan anak 'cacat' merasa sulit untuk menerima keberadaan anak, bahkan setelah bertahun- tahun berada ditengah keluarga, orang tua cenderung terus
memaksakan kehendak untuk menyembuhkan anaknya, merasa bahwa kondisi anak dapat pulih seperti semula, tidak jarang orang tuapun merasa malu dengan kondisi 'kecacatan' anak sehingga anak cenderung disembunyikan dari pandangan orang lain, hal ini dialami ol1:ih seorang wanita penyandang polio di Bandung. (Yudi Dzulfadli, 2007)
Hal tersebut sama menurut teori yang diungkapkan oleh Gargiulo dan juga J.P Chaplin. Orang tua juga akan merasa tidak puas terhadap dirinya sendiri, terguncang dengan yang telah terjadi, menolak untuk mengenali kecacatan yang terjadi pada anaknya sehingga orang tua menjadi tidak percaya diri untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Dari pemaparan di alas, penulis merasa tertarik dengan bagaimana dinamika penerimaan ibu terhadap anak tuna grahita.
1.2.
Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis hanya membatasi pada permasalahan pada:
1.2.1. Penerimaan Proses penerimaan yang dijelaskan oleh Kubler Ross (dalam Gargiulo,
1985), berkaitan dengan reaksi atau respon orangtua terhadap objek, yang dimaksudkan dalam objek disini adalah anak tuna grahita.
1. Prima1y Phase a. Shock, orang tua merasa terguncang dengan apa yang telah terjadi. Timbul tingkah laku yang tiduk rasional dan perasaan tidak berdaya. b. Denial, yaitu menolak mengenali kecatatan yang terjadi pada anaknya dan beberapa orangtua mungkin melakukan rasionalisasi, dan mencari penegasan dari para ahli. c. Grief and Deppresion, merupakan reaksi yang alami, dimana orangtua akan merasa sedih dan perasaan marah pada diri sendiri. Ditandai dengan penarikan diri dari lingkungan.
2. Secondary Phase a. Ambivalence, yaitu perasaan yang dirasakan orangtua yang saling bertentangan antara menerima dan menolal< kondisi yang terjadi pada anak. b. Guilt, yaitu perasaan bersalah orangtua terhadap anaknya. Biasanya untuk mengatasi perasaan bersalah terhadap anaknya, orangtua berusaha membayar kesalahannya dengan mencari informasi mengenai apa yang harus dilakukan seperti membawa anak berobat. c. Anger, yaitu perasaan marah yang ditunjukkan pada diri sendiri dan orang lain (displacement) d. Shame and Embarassment, yaitu perasaan malu yang timbul saat menghadapi lingkungan sosial.
3. Tertiary Phase a. Bergaining, yaitu strategi dimana orangtua mengadakan perundingan dan perjanjian dengan pihak yang dapat mengembalikan anaknya seperti semula. b. Adaptation and Reorganization, yaitu reaksi orangtua untuk beradaptasi dengan keadaan yang membuat cemas dan emosional lainnya. Dan merasa nyaman dengan situasi yang ada. c. Acceptance and Adjustment, yaitu proses dimana orangtua berusaha untuk mengenali, memahami, dan menerima kondisi yang terjadi.
Kesadaran seseorang atas segala hal yang terdapat dalarn dirinya, baik potensi yang positif maupun kekurangan diri, yang menimbulkan rasa senang atas kepemilikan semua hal tersebut.
Penerimaan dalam Islam dapat meliputi tawakal yaitu berserah diri kepada Allah yang ditinjau dari psikologi pengertian tawakal adalah mengandung makna penerimaan diri sepenuhnya, kesabaran meiliki manfaat yang besar dalam mendidik diri agar meningkatkan kemampuan manusia dalam menanggung kesulitan, memperbarui tenaganya dalam mengadapi berbagai problem dan beban kehidupan serta bencana dan cobaan rnasa.
1.2.2. Tuna Grahita Tuna grahita adalah istilah yang digunakan untuk anak den9an keterbelakangan intelegensi. Klasifikasi anak tuna grahita menurut Binet adalah (10=67-52) untuk taraf ringan, (10=51-36) untuk taraf sedang, (10=<35) Untuk taraf berat. Sedangkan menurut Weschler (10=69-55) untuk taraf ringan, (10=54-40) untuk taraf sedang, (10=<40) u11tuk taraf berat.
1.2.3. lbu Adalah orang tua perempuan yang melahirkan dan yang membesarkan anak, dalam penelitian ini penulis membatasi sampel pada tiga orang ibu yang memiliki anak Tuna Grahita.
1.3. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana dinamika penerimaan ibu yang memiliki anak tuna grahita 2. Apa yang dirasakan ibu pada tahap pertama? 3. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penerimaan diri ibu?
1.4. Tujuan Penelitian Sesuai dengan tema di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan dinami:
1.5.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini secara teoris adalah dapat dijadikan referensi dan juga memberi kontribusi untuk penelitian-penelitian selanjutnya dalam bidang psikologi.
Secara praktis penelitian ini berguna diantaranya:
Untuk para orang tua diharapkan Mendapatkan pengetahuan yang memadai dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. lbu yang memiliki anak tuna grahita dapat membantu penerimaan diri ibu-ibu yang lain. Untuk para ibu, agar dapat menerima keadaan anak seutuhnya dan membiarkannya hidup seoptimal mungkin yaitu dengan berusaha mengembangkan kemampuannya secara optimal, serta dapat mencari sekolah luar biasa (SLB) yang tepat bagi anak, mengajaknya bermain.
Untuk para keluarga diharapkan Dapat memahami kondisi seorang ibu yang memiliki anak tuna grahita sehingga mendapatkan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk saudara sekandung, dapat memahami kondisi saudara dan membantunya mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan. Tidak saling menyalahkan dan menerima anak dalam keluarga seutuhnya.
Untuk para pendidik diharapkan
Agar dapat memberikan cara belajar sesuai dengan kebutuhan anak. Memberikan materi berdasarkan kemampuan yang dimiliki anak sehingga dapat diperoleh hasil pembelajaran yang optimal di lingkungan formal.
Saling memberikan dukungan antara pihak sekolah dengan orang tua dengan keadaan yang dialami oleh anak baik di rumah maupun di sekolah
Serta dapat bermanfaat bagi semua orang sebagai suatu ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya, agar nantinya penelitian ini dapat dikembangkan lebih dalam dan lebih luas lagi sebagai suatu pembahasan yang real dan menarik untuk diangkat.
1.6. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman pada tulisan ini, maka penulis men~·usunnya
dalam sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB 1 Pendahuluan Yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat serta sistematika penulisan
BAB 2 Kajian Pustaka Bagian ini terdiri dari teori - teori dari permasalahan ini, diantaranya teori tentang penerimaan diri (self acceptance), dan tuna grahita yang terdiri dari pengertian dan penjelasan. BAB 3 Metode Penelitian Bagian ini terdiri dari metode pengumpulan data, subjek penelitian yang terbagi menjadi karakteristik dan jumlah subjek penelitian, banyaknya alat Bantu pengumpulan data, prosedur pengumpulan data dan yang terakhir adalah analisa data. BAB 4
Hasil Penelitian Pada bab ini penulis akan memberikan gambaran umum masalah dan hasil utama penelitian.
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, Saran Pada bab ini penu!is akan memberikan kesimpulan dari penelitian yang telah penulis lakukan beserta diskusi dan saran.
BAB2 LANDASAN TEORI
2.1.
Penerimaan
2.1.1 Pengertian Penerimaan Dalam kamus psikologi, acceptance atau penerimaan ditandai dengan sikap positif, pengakuan atau penghargaan terhadap nilai - nilai individu, dengan kata lain penerimaan dapat merupakan segala perilaku yang positif baik yang ditujukan pada dirinya atau orang lain serta adanya pengakuan kelebihan yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain.
Berikut adalah proses penerimaan yang dijelaskan oleh Kubler Ross (dalam Gargiulo, 1985). lbu dapat berada dalam satu tahap untuk waktu yang lebih lama atau lebih cepat dibandingkan dengan orang tua lain, oleh karena itu mereka tidak memberi patokan waktu dalam tiap tahapnya. Selain itu perlu diingat bahwa dalam melewati proses penerimaan, setiap ibu memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang berkaitan dengan kepriclian mereka, ada ibu yang tidak mengalami reaksi tertentu, clan langsung melompat pada reaksi selanjutnya (Kubler Ross dalam Gargiulo, 1985)
1. Primary Phase a. shock, orang tua merasa terguncang dengan apa yang telah terjadi. Timbul tingkah laku yang tidak rasional dan perasaan tidak berdaya ditandai dengan menangis terus menerus. b. Denial, yaitu menolak mengenali kecacatan yang terjadi pada anaknya dan beberapa orangtua mungkin melakukan rasionalisasi, dan mencari penegasan dari para ahli. c. Grief and Deppresion, merupakan reaksi yang alami, dimana orangtua akan merasa sedih dan perasaan marah pada diri
SE~ndiri,
dengan
perasaan ini, ibu mengalami masa transisi dimana harapan masa lalu mengena 'anak yang sempurna' disesuaikan dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Salah satu perilaku yang paling mun9kin muncul dalam fase ini adalah penarkan diri dari lingkungan. Olhansky (dalam Gargiulo, 1985).
2. Secondary Phase a. Ambivalence, yaitu perasaan yang dirasakan orangtua yang saling bertentangan antara menerima dan menolak kondisi yang terjadi pada anak. Kondisi anak menyebabkan ibu lebih ekstra dalam mengasuh anak, dengan adanya perasaan bersaah maka ibu membayarnya dengan memberikan sebagian besar waktunya untuk anak. Sementara itu penolakan pada ibu dapat terihat melalui sikap ibu yang menolak
mengakui 'kelainan' anak. Selain itu ibu juga memiliki penilaian negatif pada anak secara terus menerus (Gallagher dalam Gargiulo 1985) b. Guilt, yaitu perasaan bersalah orangtua terl1adap anaknya karena menganggap dialah yang menyebabkan 'kecacatan' anaknya. Biasanya untuk mengatasi perasaan bersalah terhadap anaknya, orangtua berusaha membayar kesalahannya dengan mencari informasi mengenai apa yang harus dilakukan seperti membawa anak berobat. c. Anger, yaitu perasaan marah yang ditunjukkan pada diri sendiri dan orang lain (displacement), seperti dokter, terapis, pasangan, atau anak kandungnya. d. Shame and Embarassment, yaitu perasaan malu yang timbul saat menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani, atau mengejek ' kecacatan' anak. Sikap lingkungan yang terus menerus seperti ini dapat menurunkan harga diri karena beberapa ibu menganggap anak merupakan penerus dirinya.
3. Tertiary Phase a. Bargaining, yaitu strategi dimana orangtua mengadakan perundingan dan perjanjian dengan pihak yang dapat mengembalikan anaknya seperti semula.
b. Adaptation and Reorganization, yaitu reaksi orangtua untuk beradaptasi dengan keadaan yang membuat cemas dan emosional lainnya. Dan merasa nyaman dengan situasi yang ada dan menunjukkan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka merawat dan mengasuh anak, sehingga membantu meningkatkan hubungan antara ibu dengan anak. lbu mulai mampu bertanggung jawab atas masalah anak. c. Acceptance and Adjustment, yaitu proses dimana orangtua berusaha untuk mengenali, memahami, dan menerima kondisi yang terjadi. Namun tetap saja perasaan negatif yang sebelumnya perah terbentuk tidak pernah hilang. Pada fase ini ibu menyadari bahwa dalam proses penerimaan ibu tidak hanya menerima kondisi anaknya, namun juga menerima diri sendiri.
2.1.2 Penerimaan Dalam Islam
a.Sabar Islam mengajarkan hubungan dengan Allah dan manusia, ketika peran tersebut mengalami hambatan maka individu tersebut harus dapat menyesuaikan diri. Kenyataan hidup sehari-hari tidak selamanya menyenangkan. Ada orang yang berhasil mencapai cita-citanya dan ada pula yang gagal. Penyebab kegagalan itupun bermacam-macam pula. Terlebih ketika Allah mengujinya dengan penyakit anak dan harta. Hal tersebut
semata-mata untuk menguji keimanannya, seperti dalam firman Allah surat Al-Kahfi ayat 46:
"Harta dan anak adalah perhiasan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh ada/ah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta /ebih baik untuk menjadi harapan".
Allah memerintahkan orang Islam agar menjadikan sabar clan shalat untuk menolongnya. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 153:
"Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertofongan dengan sabar dan sha/at, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang salat".
Dalam bukunya Dr. M. 'Utsman Najati mengungkapkan bahwa sabar memiliki manfaat yang besar dalam mendidik diri, memperkuat kepribadian, meningkatkan kemampuan manusia dalam menanggung kesulitan, memberbaharui tenaganya dalam menghadapi berbagai problem dan beban kehidupan serta bencana dan cobaan, dan membangkitkan kemampuannya dalam melanjutkan perjuangan.
Seorang mukmin yang sabar tidaklah menjadi terlalu sedih sewaktu ia tertimpa cobaan, ia tidak pernah menjadi lemah atau ambruk ketika tertimpa bencana atau malapetaka. Allah telah menganjurkannya untuk bersabar dan memberi tahu kepada hambaNya bahwa apa yang menimpanya dalam kehidupan dunia ini tidak lain adalah cobaan dari Allah, agar la tahu siapakah di antara manusia yang termasuk orang-orang sabar.
Sabar dapat menjauhkan perasaan cemas, gelisah, dan frustasi. Bahkan sebaliknya akan membawa pada ketentraman batin. Ada yang mudah tersinggung, cepat marah dan tidak dapat berpikiran jernih karena dia tidak sabar. (Zakiah Daradjat, 2002)
b. Tawakal
Tawakal merupakan salah satu cara untuk meraih ketentraman batin. Apabila pengertian tawakal ditinjau dari segi psikologis dapat dikatakan bahwa sikap tawakal itu mengandung makna penerimaan diri sepenuhnya terhadap kenyataan diri dan hasil usahanya sebagaimana adanya, atau dengan perkataan lain mau dan mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, yang selanjutnya menunjukkan bahwa kesehatan mentalnya cukup baik.
Orang yang tidak mau atau tidak mampu menerima dirinya sebagaimana adanya, maka ia akan merasa tertekan, gelisah, cemas, dan lebih jauh mungkin akan terserang gangguan jiwa. (Zakiah Daradjat, 2002)
Selain itu sebagai seorang muslim hendaknya ketika ditimpa musibah menyerahkan semuanya kepada Allah, karena Allah tidak akan menguji kaumnya sampai batas kemampuan dirinya dengan meyakini dan optimis Allah pasti memberikan solusi dari permasalahan yang menimpa dirinya.
2.2. Anak Tuna Grahita Dalam bukunya, Sutihaji Somantri menulis tuna grahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah ratarata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Anal< tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah keterbelakangan mental !<arena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal. Oleh !<arena itu anak keterbelakangan mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak terse but.
Tuna grahita atau keterbelakangan mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasan mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal. Ada beberapa karakte1·istik umum tuna grahita yang dapat diketahui, yaitu :
1. Keterbatasan intelegensi lntelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitankesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tuna grahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. kapasitas belajar anak tuna grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tan pa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
2. Keterbatasan sosial Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tuna grahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan. Anak tuna grahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan
bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tan pa memikirkan akibatnya.
3. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainya Anak tuna grahita memerlukan lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tuna grahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama.
Anak tuna grahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan pendekatan yang konkret.
Selain itu, anak tuna grahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, clan membedakan
yang benar dan yang salah. lni semua karena kemampuanya terbatas sehingga anak tuna grahita tidak dapat membayangka11 terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan.
2.2.1. Klasifikasi Tuna Grahita IQ difemukan pada anak tuna grahita ringan, sedang, berat, anak tuna grahita merniliki IQ sendiri-sendiri yang tidak bisa ditukar-tukar.
Tuna grahita ringan Tuna grahita ringan disebut dengan moron atau debil. Kelompok ini rnemiliki IQ antara 68 - 52 menurut Binet, sedangkan menurut skala Weschler (WISC) rnemiliki IQ 69 - 55. Mereka mas.h dapat belajar membaca,. menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak keterbelakangan mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.
Tuna grahita sedang Anak tuna grahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada skala Binet dan 54-40 menurut skala Weschler (WISC). Anak keterbelakangan mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi
diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan dan sebagainya.
Tuna grahita berat Kelompok anak tuna grahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dibedakan lagi antara anak tuna grahita berat dan sangat berat. Tuna grahita berat (severa) memilik IQ antara 32-20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut skala Weschler (WISC). Tuna grahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut skala Weschler (WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat dicapai kurang dari tiga tahun. (Sutihaji Soemantri hal 106-108).
2.2.2. Faktor Penyebab Tuna Grahita Sebab-sebab yang bersumber dari luar 1. Keracunan sewaktu ibu hamil yang bisa menimbulkan kerusakan pada plasma inti, misalnya karena penyakit sipilis atau kebanyakan minum alkohol. 2. Kerusakan pada otak sewaktu kelahiran, misalnya lahir karena ala! bantu atau pertolongan dan lahir prematur. 3. Panas yang terlalu tinggi, misalnya pernah sakit keras, typhus, cacar dan sebagainya.
4. Gangguan pada otak, misalnya ada tumor otak, anoxia, infeksi pada otak, hydrocephalus. 5. Gangguan fisiologis, seperti mongolisme, cretinisme 6. pengaruh lingkungan dan kebudayaan
Sebab-sebab yang bersumber dari dalam
Yaitu sebab dari faktor keturunan. Sebab ini dapat berupa gangguan pada plasma inti. Pada kondisi genetik kecacatan ditentukkan pada saat konsepsi. Kecacatan dapat ditimbulkan karena ketidak normalan krornosom. Salah satunya adalah peristiwa trisomy, di mana pada keadcian ini kromosom yang ada pada individu tidak lagi berjumlah 46, tetapi 47. lndividu yang tergolong dalam kategori Down's syndrome atau mongolism adalah al
2.2.3. Karakteristik Anak Tuna Grahita
Karakteristik anak retardasi mental "mild" (ringan) adalah mereka yang mampu didik, bila dilihat dari segi pendidikan. Merekapun tidak
nemperlihatkan keadaan fisik yang mencolok. Walaupun perkembangan fisiknya sedikit agak lambat dari pada anak rata-rata. Mereka masih bisa dididik di sekolah umum, namun membutuhkan perhatian khusus dan guru khusus. Proses penyesuaian dirinya sedikit lebih rendah dari pada anak-anak normal pada umumnya. Mereka kadang-kadang memperlihatkan rasa malu atau pendiam. Beberapa keterampilan dapat mereka lakukan tanpa selalu mendapat pengawasan, seperti keterampilan mengurus diri sendiri (mandi, makan, berpakaian).
Karakteristik anak retardasi mental "moderate" (menengah) adalah mereka yang digolongkan sebagai anak yang mampu latih, dimana mereka dapat dilatih untuk beberapa keterampilan tertentu. Mereka menampakkan kelainan fisik yang merupakan gejala bawaan. Mereka juga menampakkan adanya gangguan pada fungsi bicara.
Karakterisrik anak retardasi mental "severe" adalah mereka yang memperlihatkan banyak masalah. Oleh karena itu mereka membutuhkan perlindungan hidup dan pengawasan yang teliti. Mereka membutuhkan pelayanan dan pemeliharaan yang terus menerus, mereka tidak mampu mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang lain, mereka juga mengalami gangguan bicara. Tanda-tanda kelainan fisik lainnya ialah lidah seringkali menjulur keluar, bersamaan denga11 keluarnya air liur. Kepala sedikit lebih
besar dari biasanya. Kondisi fisiknya lemah dan mereka hanya bisa dilatih keterampilan khusus selama kondisi fisiknya memungkinkan (LPSP3 UI)
Payne & Patton (1981) mengemukakan beberapa hal tentang anal< tuna grahita dilihat dari segi tingkah laku, sosial dan emosional, belajar, fisik dan kesehatanya. Berikut ini adalah penjabarannya: Karakter Tingkah Laku
1)
Tuna Grahita Taraf Ringan Menunjukkan sedikit penyimpangan tingkah laku adaptif dan fungsi intelektual. Keterbelakangan anak sering tak terditeksi sampai anal< mulai masuk sekolah. Mengalami kesulitan dalam bidang akademis yang sering berkaitan dengan masalah perhatian (atensi), dan dapat muncul dalam satu bidang studi (misalnya menbaca) atau pada semua bidang studi. Tingkah laku yang tidal< pantas yang dilakukan oleh anal< dapat disebabkan oleh ketidakmampuan anal< membedakkan tingkah laku apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima. Sebagian besar anak tuna grahita dapat bergaul dEmgan orang lain. Walaupun kosa kata yang dimiliki terbatas, kemampuan bahasa dan bicara cukup bail< untuk situasi umum.
2)
Tuna Grahita Taraf Sedang Menunjukkan keterlambatan perkembangan kemampuan berjalan, duduk dan bahasa. Pada umumnya tidak mampu mempelajari bidang akademis seperti berhitung, membaca, selain menghafal beberapa angka dan kata sederhana. Mampu mempelajari kegiatan merawat diri seperti membuka dan memakai baju, makan, menjaga kebersihan diri dan kegiatan seharihari yang dapat membuat mereka cukup mandiri. Mampu belajar bersosialisasi dengan anggota keluarga dan tetangga dekat. Beberapa anak membutuhkan pengawasan dan dukungan ekonomi selama hidupnya.
3)
Tuna Grahita Tahap Berat dan Parah Jika tidak ada intervensi selama masa prasekolah, individu akan menunjukkan koordinasi motorik yang buruk. Ketergantungan pada orang lain sangat tinggi. lnteraksi dengan lingkungan sangat sedikit. Pada anak tuna grahita yang parah, pengasuhan total dibutuhkan. Respon yang ditunjukkan anak pada setiap rangsangan sangat kecil.
Pada anak tuna grahita yang berat, sebagian besar anak bisa sedikit berkomunikasi, dapat dilatih merawat diri, tapi tidak untuk bidang akademis.
Karakteristik Sosial dan Emosional Anak tuna grahita mempunyai kebutuhan psikolugis, sosial dan emosional yang sama dengan anak normal, antara lain anak butuh kasih sayang dan diterima orang lain. Penerimaan dan kasih sayang dari orang lain berguna bagi perkembangan psikososial anak.
Karakteristik Belajar Dalam mempelajari materi yang abstrak dan kompleks, anak tuna grahita tertinggal dari anak normal. Pada umumnya mereka tidak bisa bersaiang dengan teman sebayanya yang normal. Keterlambatan anak terlihat dalam kegiatan yang membutuhkan kemampuan pemahaman bacaan, mengikuti petunjuk yang kompleks lainnya. Waktu yang dibutuhkan anak untuk memperhatikan suatu stimulus lebih besar dari anak normal.
Karakteristik Fisik dan Kesehatan Pada anak tuna grahita taraf ringan, kararteristik yang dimiliki anak tidak jauh berbeda dari anak normal. Dalam hal pertumbuhan berat dan tinggi badan,
anak tuna grahita mengalami keterlambatan dibandingkan dengan anak normal. (Mosier dalam Payne & Patton, 1981 ).
2.3 Orang Tua Anak Luar Biasa Saat-saat yang menyenangkan akan berubah menjadi kekHcewaan manakala mengetahui anak memiliki kebutuhan khusus. Tahap pertama yang biasanya muncul perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan "kecacatan" yang diderita anaknya. Pada tahap ini biasanya orang tua akan banyak mencari tahu mengenai keadaan anaknya dan mencoba memperoleh diagnosa dari dokter maupun terapis yang bias memberikan prognosis yang lebih positif. Tahap berikutnya mereka merasa kecewa, sedih dan mungkin merasa marah ketika mereka mengetahui realitas yang harus dihadapinya. Setelah itu perasaan tersebut diikuti dengan penerimaan 'kecacatan' anaknya dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan 'kecacatan' tersebut. Namun demikian proses penerimaan ini akan memakan waktu yang lama, selain itu juga mungkin akan berfluktuasi.
lbu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian. Hal ini dikarenakan mereka berperan langsung dalam kelahiran anak. Pandangan yang terbentuk pada ayah ataupun ibu juga sering menyebabkan
kesenjangan antara kegembiraan setelah masa penantian pada masa kehamilan dengan realitas keadaan anaknya.
2.3. Kerangka Berpikir Karakteristik Anak : • penyimpan£1an tingkah laku adaptif dan intelektual • fisik yang khas • kurangnya respon anak
Harapan ibu : • Mengandung dan sehat • Anak yang sempurna dalam fisiknya • Anak yang seha\ jasmani dan rohani • Anak dapat menjadi pribadi yang baik • Shaleh • Dapat berlaku optimal di masyarakat • Cerdas
• • •
Shock Denial (menolal<) Grief & Deppression (sedih & marah pada diri sendiri)
Harapan vs Kenyataan : • Fisik yang sempurna vs fisik khas • Kecerdasan normal vs kurang • Tugas perkembangan optimal vs lambat • Peka terhadap lingkungan vs tidak dapat berkomunikasi
Y
Diagnosis Tuna GRahita
•
• • • •
• • •
Ambivalence (antara menerima & menolak kondisi yang terjadi pada anak) Guilt (perasaan bersalah orang tua) Mencari informasi Anger Same & Arnbarassment (perasaan malu)
Bergaining (strategi) Adaptation & Reorganization Acceptence & Adjustment
BAB3 METODOLOGI PENELITIA.N
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, yaitu Self acceptance (penerimaan diri ibu yang memiliki anak tuna grahita, maka pada bagian ini peneliti akan merinci jenis penelitian, subjek penelitian teknik pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
3.1.
Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan Penelitian PenP-litian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang pada dasarnya memiliki tiga unsur utama. Pertama, data, bisa berasal dari bermacam sumber; biasanya dari wawancara atau pengamatan, unsur kedua terdiri dari prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk rnendapatkan temuan atau teori, unsur ketiga adalah laporan tertulis dan lisan. (Anselm Strauss & Juliet Corbin, 2003). Pendekatan kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskkriptif seperti wawancara, observasi, catatan lapangan dan lain sebagainya. (Poerwandari, 1998), serta data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka. (Sugiyono, 2005). Pendekatan ini sering disebut dengan istilah
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrumen kunci. (Sugiyono, 2005).
Dengan dasar penelitian kualitatif di atas, maka untuk mengetahui selfacceptance (penerimaan diri) ibu yang memiliki anak tuna grahita diperlukan data-data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi serta data yang berasal dari berbagai sumber.
3.1.2. Metode Penelitian
Dalam penelitian kualitatif ada beberapa tipe penelitian salah satunya adalah studi kasus. Studi kasus atau penelitian kasus (case study) adaleh penelitian tentang suatu subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personality (Maxfield dalam Nazir, 1999). Studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu mernahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, atau situasi unik secara mendalam dan dapat menggambarkan secara lengkap berbagai gejala dan proses perilaku rnanusia serta peristiwaperistiwa khusus yang tidal< mudah dijelaskan melalui pendekatan kuantitatif. (Patton dalam Poerwandari, 1998)
•)')
3.2.
Subjek Penelitian
3.2.1. Karakteristik Subjek
Subjek atau responden yang dilibatkan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Subjek penelitian adalah ibu kandung yang anaknya didiagnosis tuna grahita. b. Berusia antara 30-45 tahun karena menurut Hurlock (2002) pada usia ini adalah masa periode pertengahan dewasa, masa dimana seseorang memperluas tanggung jawab sosial dan pribadi, membantu genererasi selanjutnya menjadi generasi selanjutnya. c. Subjek bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya, hal ini agar peneliti lebih mudah untuk melakukan koordinas d. Pendidikan ibu minimal SD, dapat membaca dan menulis, kriteria ini bertujuan agar subjek dapat mengerti dan memahami rnaksud pertanyaan yang diajukan dan dapat memberikan jawaban yang jelas.
3.2.2. Jumlah Subjek
Jumlah subjek sangat bergantung pada apa yang ingin diketahui peneliti, konteks saat itu apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia (Poerwandari, 1998). Berdasarkan hal diatas untuk mengetahui penerimaan diri ibu secara lebih mendalam
disamping keterbatasan waktu dan responden yang terbatas, maka dalam penetian ini ditetapkan jumlah subjek sebanyak 3 orang ibu.
3.2.3. Teknik Pengambilan Subjek. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Maksud purposive sampling yakni cara agar manusia, latar dan kejadian tertentu (unik, khusus, aneh, nyeleneh) betul-betul diupayakan terpilih untuk memberikan informasi penting. (Le Compte & Preissle, 1993), pada penelitian ini subjek diambil sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan.
3.3.
Pengumpulan Data
3.3.1. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini metode pengumpulan data menggunakan metode observasi dan wawancara.
a. Observasi Observasi merupakan cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala atau fenomena yang ada pada objek penelitian.(Pandu Tika dkk, 2007)
Menurut Patton dalam Nasution (1988), dinyatakan bahwa manfaat observasi adalah sebagai berikut: a. Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik dan menyeluruh. b. Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif menemukan kemungkinan melakukan penemuan atau discovery. c. Dengan observasi. Peneliti dapat melihat hal-hal yang l
b. Wawancara
Wawancara adalah percal
atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan wawancara seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985), antara lain men~1konstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian.
Wawancara merupakan salah satu bentuk komunikasi verbal semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara merupakan metode pengumpuan data dengan cara tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan berdasarkan pada masalah, tujuan dan hipotesis penelitian.
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi berstruktur dengan sifat wawancara terbuka. Artinya pewawancara dan yang diwawancarai sama-sama mengetahui tujuan wawancara, sering juga disebut in-depth interview (Poerwandari 2005). Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (pedoman wawancara terlampir)
Langkah-Langkah Wawancara Lincoln and Cuba dalam Sanapiah Faisal, mengemukakan ada tujuh langkah dalam penggunaan wawancara untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif, yaitu:
a) menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan b) menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan c) mengawali atau membuka alur wawancara d) melangsungkan alur wawancara e) mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya f)
menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan
g) mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh
3.3.2. lnstrumen Penelitian Dalam penelitian ini, instrumen yang peneliti gunakan adalah berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, tape recorder. Pedoman wawancara dan alat perekam (tape recorder) diperlukan untuk menunjang jalannya wawancara agar sesuai dengan tujuan penelitian dan landasan teoritis sehingga jawaban wawancara akan lebih terarah dengan apa yang ingin diteliti.
3.4. Teknik Analisa Data Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawncara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
Adapun prosedur dalam analisa data adalah sebagai berikut: a. Membuat transkip wawancara secara verbatim dan membaca berulangulang untuk menemukan makna dari jawaban responden. b. Melakukan penelitian data yang relevan dengan pokok permasalahan. c. Mengelompokkan data-data dengan memberikan kode-kode. d. Melakukan interpretasi dengan analisa pencocokan pola lalu hasil analisa dibandingkan dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini. e. Membandingkan dan menganalisa hasil antar kasus
BAB4 ANALISA DATA
Dalam bab ini akan menganalisis hasil wawancara dari ketiga subjek penelitian, yang didapat dari lapangan penelitian. Adapun hasil penelitian dapat dijabarkan dalam bentuk gambaran umum subjek, riwayat kasus, analisa kasus, dan analisa perbandingan antar kasus.
Subjek yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 3 orang ibu yang telah dipilih berdasarkan dengan kriteria yang ditetapkan sebelurnnya. Nama-nama subjek dalam penelitiaan ini sengaja disamarkan untuk menjaga kerahasiaan subjek penelitian dan sesuai dengan etika peneitian.
4.1.
Analisis Subjek 1
4.1.1. Biodata Subjek --·
Subjek 1
Suami
·-·---
lnisial
A
H
Usia
45
49
Pendidikan
SMA
STM
Pekerjaan
IRT
Karyawan Swasta
Agama
Islam
Islam
'--
4.1.2. Biodata Anak
-
lnisial
:D
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 15 tahun
Anak.
: 2 dari 3 bersauadara
Riwayat Kesehatan *
Panas selama 2 hari
Pendidikan * SLB C sejak usia 3 tahun hingga sekarang * TK usia 3 tahun (hanya sebentar)
Kursus
* Berenang seminggu sekali di gor R * Membaca dan menulis di SLB setiap hari set13lah jam sekola
usai Diagnosis
: Tuna Grahita sedang ( 42 )
4.1.3. Gambaran Umum Subjek 1
A adalah ibu dari tiga orang anak dengan postur tubuh gernuk dan tinggi serta berkulit gelap. Profesi yang dijalani A adalah ibu rumah tangga namun A mempunyai pekerjaan sampingan yaitu membuka kantin di SDLB tempat D bersekolah, barang yang dijual dari mulai makanan sampai dengan mainan
dan alat tulis. Aktivitas sampingan itu tidak mengganggu kegiatan ibu A sebagai ibu rumah tangga yang memiliki anak tuna grahita. A masih bisa menemani anaknya itu kesekolah dan ke tempat kursus berenang setiap satu minggu sekali.
A sangat memperhatikan segala kebutuhan D dari mulai pakaian, makan serta kebutuhan sekolah D dan berusaha untuk memenuhinya. A mengasuh sendiri D sejak dari kecil.
A menikah pada usia 25 tahun, mengandung dan melahirkan pada usia 26 tahun. A mengandung dan melahirkan D pada usia 32 tahun. Saat itu A tidak merencanakan kehamilan
Pada saat mengandung D, A mengalami kekhasan dalam pola makan yaitu, A selalu mengkonsumsi mie ayam dengan saos hingga ke11tal, A menyadari bahwa itu kurang baik untuk janin, namun A merasa tidak tahu harus bagaimana lagi, karena A tidak dapat mengkonsumsi makanan apapun, setiap makanan yang dikonsumsi akan kembali keluar (muntah) kecuali mie ayam dengan saos kental dan air putih, ini berlangsung selama lima bulan keamilan, janin tidak mengkonsumsi vitamin lainnya.
Saat proses kelahiran A mengalami rasa sakit yang berbeda dengan saat melahirkan sebelumya. A merasakan sakit luar biasa di bagian bawah perut.
Subjek memperlihatkan antusiasme yang tinggi dalam menjawab pertanyaan, ia sangat antusias dan ekspresif, jawaban yang diberikan lugas dan spontan. Tidak ada hambatan yang berarti maupun catatan khusus selama wawancara berlangsung.
Anak yang menyandang Tuna Grahita O adalah laki-laki berumur 15 tahun, berbadan gemuk dengan warna kulit agak gelap. la memiliki wajah khas, terlihat dari bentuk wajah yang bulat, rnata yang sipit, mulut cenderung terbuka, letak gigi yang terletak tidak beraturan, leher yang pendek, dan jari tangannya yang gemuk-gemuk dan pendek serta garis tangan yang lurus dan berjumlah dua buah.
Dari perkembangannya diketahui bahwa D bisa berjalan pada usia 2 tahun 8 bulan tanpa melalui tahapan tengkurap, duduk dan meranokak dan dapat mengucapkan satu kata pada usia 3 tahun 6 bulan. Dalam kemandirian, pada usia sekarang ia sudah mampu melakukan beberapa hal seorang diri seperti makan dan minum. Namun D masih membutuhkan bantuan saat mandi, buang air besar dan buang air kecil. D jarang sakit, kalaupun sakit hanya sakit ringan seperti flu.
Di rumah D memiliki kebiasaan main setrika-setrikaan, biasanya untuk membuat D tenang, A memberikan setumpuk pakaian yan£J sudah dijemur lalu diberikan kepada D agar membuat D anteng, jika sudah melihat banyak tumpukan pakaian maka D akan senang dan duduk dengan tenang sambil bermain.
Selain itu D juga senang meminum minuman yang dingin dan diberi es batu, apabila es batu di dalam tekonya mencair maka D akan membuka lemari es dan mengganti es batu yang sudah cair dengan yang masih beku, D juga sangat senang mengkonsumsi makanan-makanan berminyak seperti gorengan.
D bersekolah di SLB sejak usia 3 tahun. Sekarang D masih duduk di kelas 6 SD dengan usia 15 tahun karena D mengalami kesulitan dalam bidang akademik seperti membaca dan menulis. Selain sekolah D juga diberi pelajaran tambahan setelah jam sekolah berakhir clan ikut les renang seminggu sekali. D tidak memiliki perilaku bermasalah yan9 berarti, malah ia sangat menurut kepada ibunya, kecuali dengan ayahnya, karena menurut pengakuan ibu A, sejak D pernah ditampar oleh ayahnya dikarenakan D tidak mau dicukur, D menjadi kurang mau mendengar perintah ayahnya. Dalam berhubungan dengan orang baru D masih agak sulit untuk beradaptasi dan tidak langsung akrab, terkadang hal ini membuat A jengkel dan kesal karena
seringkali D tidak mau diajak menumpang mobil teman ibu A yang kebetulan searah dengan rumahnya.
Tahap Penerimaan Menurut Gargiulo (1985) proses penerimaan diri berkaitan dengan reaksi dan respon terdiri dari tiga tahap.
1. Primary Phase A merasa terpukul ketika ia memperoleh keterangan bahwa anaknya mengalami kelainan pada tahap pertama ini disebut dengan tahap shock dimana ibu merasa terguncang dengan kondisi yang terjadi pada anaknya. Pada saat itu A tidak bisa menerima keterangan dokter yang menurut A tidak memberikan spirit kepada pasien, karena ibu A merasa justru disaat seperti inilah seorang dokter sangat berperan untuk memberikan clukungan serta memberikan informasi sebanyak-banyaknya bukan sebaliknya dan penyampaian dokter yang kurang menyenangkan inilah yang dialami oleh ibu
A. . ... Waktu pertama kali saya bawa ke dr. Kumiasih katanya "!bu, ini anaknya ada kelainan"aduh, rasanya ancur banget, kayaknya udah ga punya masa depan .... . . .. akhirnya saya bawa ke dokter lain, .karena ga ada spirit dari dokter, dari pertama kan dokternya ''ibu, anaknya down syndrome, ntar sekolahnya di SLB, nama dokternya dr.K", saya tuh putus asa ....
r··-1
I
Yang ibu A rasakan pada tahap denial adalah ibu A merasa berat dengan kondisi D saat itu, ibu A menolak keadaan yang terjadi pacla anaknya, karena yang terbayang kata-kata dokter yang mengatakan bahwa D down syndrome dan akan sekolah di SLB tanpa memberikan tambahan informasi apapun mengenai anak down syndrome, sehingga yang ada hanya pikiran buruk dalam diri ibu A saat itu. lbu A juga merasa bahwa D sudah tidal< mempunyai harapan dan masa depan layaknya anak-anak lainnya . .... Ampe saya setiap abis sembahyang saya doain biar cepet mati, ya Allah ya Tuhan ... saya pengen cekek, udah pengen saya matiin ... Setelah itu A juga mencari penegasan dari para ahli meng13nai apa yang terjadi dengan anaknya . . . .pertama kali saya bawa D ke dr.Kurniasih, di situ saya disuruh berobat ke rumah sakit besar, saya bawa ke rumah sakit Cipto periksa ke dr.Ketut, trus akhirnya setelah dari dr. Ketur saya bawa /agi ke Dokter Lili Sudarta." Tahap grief yang dilalui oleh ibu A merupakan suatu reaks1 alami dimana sebagai seorang ibu yang anaknya didiagnosis retardasi mental tentunya ibu A merasakan kesedihan dengan kondisi anaknya yang tidak sesuai dengan harapannya yaitu dapat berkembang secara optimal seperti anak-anak pada umumnya . ... waktu dikasih tau pertama kali anak saya ada kelainan, uh ... sedih banget, itu kan yang ngasih tau Dr.Kurniasih .... Sedih, ya Allah ...
2. Secondary phase
Pada tahap ini A mengalami perasaan yang saling bertentangan antara mencrima kondisi dengan dapat mengurus dan menjalani kehidupan dengan keadaan D, pada tahap ambivalence ini ibu A merasa menolak karena tidak sanggup dengan reaksi yang diberikan orang lain ketika A berjalan dengan D ke tempat-tempat umum . . . .Kala sekarang mah, ya udah /ah saya jalanin aja, tapi saya bener ga sanggup ka/o dijalan ada orang yang nyo/ek-nyo/ek ngasih tau temennya ... udah cape gitu ngurusin 0, ih ... ujiannya berat banget ... lbu A masih terus berusaha agar kondisi anal< dapat membaik karena perkembangan yang dialami oleh D adalah lambat sehing9a pada tahap guilt karena ada rasa bersalah dalam diri ibu A akhirnya ibu A membawa D untuk berobat ke dokter maupun para alternatif. ... emang salah saya kali ya .. .D kaya gini I setelah saya bawa ke mas agung yang di jembatan /ima, saya mau tau aja, katanya kan dia orang pinter, "emang nih anak udah dari sananya tapi umur 2 tahun /ebih bis a ja/an, ternyata bener, umur 2 tahun 3 bu/an D bisa jalan ... Tahap anger juga dialami oleh ibu A saat menghadapai reaksi ingkungan, ketika mendapatkan reaksi yang negatif ibu A langsung melampiaskan kemarahan kepada orang yang memperlakukan D secara tidak baik hal itu juga dikarenakan kepribadian ibu A yang terbuka terhadap apa yang dirasakannya dan penyakit ibu A yaitu darah tinggi, karena menurut ibu A kepalanya bisa sakit apabila menahan amarah, maka ibu I\ lebih memilih untuk melampiaskan kekesalannya kepada orang lain.
.. .Sa ya merasa berat kalo lagi diejek orang, di sekolah, di jalanan jadi berantem melu/u, saya orangnya panasan, kalo ga saya ungkapin saya ga bisa, saya kan punya darah tinggi, jadi kalo ga saya ungkapin saya bisa sakit kepala. Pernah saya pengen marah tapi masih anak kecil ga ngerti, anak-anak SD udah penuh mobil, eh D naek pada turun, saya kasian sama supirnya ya, akhirnya saya yang ngalah, saya sama D yang tu run ....
lbu A juga sering merasa marah dan tidak sabar sehingga meluapkan kemarahannya pada orang yang menghina D karena ibu A merasa bukan hal yang mudah menjalani kehidupan seperti ini dan hal ini bukan merupakan keinginannya melainkan sudah pemberian dari Tuhan . . . .saya ga sabar kalo harus ngadepin kaya gini, sekalipun sabar manusia ada batasnya ....
Selain itu, pada tahap shame and embrassement ibu A merasa malu dan minder menghadapi lingkungan sosial karena :<ekhasan anak yang menonjol. .. .Oulu saya sempet minder waktu D umur 4 tahun, malunya gimana ya punya anak gini, malu aja. Kala saya bawa ke undangan malu sama tetangga, waktu piknik dari kantor ayahnya tuh saya agak malu ...
Tidaklah mudah menerima keadaan anak, proses diatas dipengaruhi oleh dukungan sosial, karena dukungan sosial merupakan kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima oleh individu dari orang lain (Sarafino, 1994 ), dari hasil penelitian ibu A mendapatkan dukungan sosial yang positif dan juga membangun motivasi hidupnya, diantaranya adalah dari kakak yang juga membantu proses kelahirannya, menurut ibu A kakaknya dapat memberikan dan diandalkan saat ibu A membutuhkan
bantuan dan juga dukungan yang ibu A perlukan, hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh sarason 1997 , yang berpendapat bahwa dukungan sosial merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan bantuan . . . . saya bilang ke kakak saya, "dokter mana yang bilang gitu?saya bi/ang "dokter Ketut'', akflimya dimaki- maki sama kakak saya ... .. .kakak saya sih udah tau dari /ahir, Cuma ga sanggup ngasih tau ke saya, kakak saya udah punya firasat tapi biar saya tau dari dokter du/u ... Dukungan lain juga ibu A dapatkan dari seorang dokter, dengan berkonsultasi dengan dokter , ibu A memperoleh nasihat yang membesarkan hatinya menjadi merasa lebih baik, . .. .akhirnya saya minta konsu/ sama dia, sejam 200.000, ke Rawamangun kerumahnya saya konsu/, akhrnya saya masih agak mendingan ... Sela in dukungan sosial yang positif, ibu A juga sering tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar, saat-saat seperti inilah yang juga dirasa berat oleh ibu A karena menjadi bahan pembicaraan orang dalam hal yang negatif . . . . saya merasa be rat kalo /agi diejek orang, di sekolah, dija/anan, orang pake kerudungan, sekolah di MAN ada D nunjuk-nunjukin ke temennya, kan saya kese/ ... Dukungan sosial juga tidak ibu A dapatkan dari keluarga suaminya terutama mertua yang sampai sekarang tidak percaya karena menurut mertuanya ayah D bisa bicara pada usia delapan tahun dan menganggap kondisi yang dialami
D sarna dengan kondisi yang dialami oleh ayahnya dulu, s1:ihingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan .
. . . kalo dari mbahnya (pihak ayah) sampe sekarang ga percaya, du/u juga ayahnya umur 8 tahun baru bisa ngomong, ga usah kaget, jaman kan udah maju ... Anak pertama ibu A juga memperlihatkan sikap yang tidak enak, kakak D merasa malu memiliki adik seperti D karena D selalu dihina oleh temantemannya ketika masih kecil .
.. .kata teman-temen E, D ga bisa ngomong, ntar sekolahnya di SLB ... Dengan suami ibu A mendapatkan dukungan dalam mengasuh anaknya, meski suami (ayah) D pernah berlaku kasar terhadap D dengan menampar D, namun suaminya sudah pasrah dengan keadaan D
.. .kata ayahnya, udah begini, ya mau gimana Jagi ... Reaksi yang diterima oleh ibu A dari keluarga dan komunitas masyarakat di alas dapat menimbulkan stress dapat menjadi pemicu timbulnya stress, karena menu rut Sarafino (2001 ), sJmber stress terutama berasal dari diri sendiri, keluarga, serta komunitas masyarakat.
Dukungan sosial juga merupakan suatu pemberian informasi atau nasihat, seperti yang diungkapkan oleh Gootlieb (1983) dukungan sosial sebagai bentuk tingkah laku dukungan sosial yaitu pemberian informasi verbal dan
non verbal atau nasihat, dukungan sosial bertujuan untuk kesejahteraan penerima.
lnformasi yang didapatkan ibu A berasal dari dokter yang menyampaikan diagnosis juga menjadi pemicu timbulnya stress dan turunnya motivasi ibu A dalam mengasuh anaknya bahkan terlintas untuk mengakhiri hidup anaknya karena dalam bayangannya sudah tidak ada lagi masa depan untuk anaknya sejak dokter mengatakan adanya 'kelainan' yang diderita oleh D. . . ., ampe saya setiap abis sembahyang saya doain biar cepet mati, udah pengen saya cekek, udah pengen saya matiin ...
lbu A selanjutnya mendapatkan dukungan dari kakak yanfl melarangnya melakukan tindakan tersebut karena hal tersebut bukan merupakan jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan permasalahannya clan menyarankannya untuk membawanya ke dokter lain . . . .akhirnya saya bawa lagi ke dokter Lili Sudarta, dia orangnya baik, di sana diterapi, diterangin ...
Dari faktor dukungan sosial yang didapat dari keluarga maupun lingkungan dan penyampaian informasi yang ibu A dapatkan ketika mendapatkan keterangan dari dokter yang memeriksa D , bukan suatu hal yang mudah bagi ibu A untuk mencapai tahap ketiga dari reaksi emosional yaitu Tertiary Phase
Dari analisa kasus di atas tidak ditemukan indikator penerirnaan diri menurut Roger yaitu kenyataan diri kita dan diri ideal kita sebagai seharusnya sangat berbeda sekali, sangat mungkin akan merasa tidak bahagia dengan diri kita sendiri. Dari analisis subjek 1 dapat disimpulkan bahwa ibu A masih merasa malu dan tidak sanggup dengan reaksi yang ditimbulkan oleh lingkungan dan merasa tidak ada banyak harapan yang didapat dari D kemudian hari, hal ini juga dapat terlihat dari keinginan ibu A yang menginginkan D lebih dulu meninggal dibandingkan dengan dirinya, karen::i ibu A merasa bahwa siapa yang akan mengurus D kelak jika ibu A lebih dulu meninggal, jika D yang lebih dulu meninggal maka ibu A akan lebih tenang karena ada yang mengurus D hingga D meninggal. ... ka/o D ga ada yang diharepin deh, ka/o saya mengharapkan 0 yang duluan ma ti ketimbang saya ... Pengetahuan ibu A yang juga masih kurang mengenai anak dengan kebutuhan khusus menjadikan ibu A merasa berat dengan kondisi dan pola pengasuhan selanjutnya.
lbu A juga pernah merasa kesabarannya habis ketika
men~;ihadapi
lingkungan sosial yang memperlihatkan sikap yang tidak rnenyenangkan, hal ini sangat berbeda dengan penerimaan dalam Islam yaitu sabar yang dengan kata lain seseorang tidak menjadi lemah atau ambruk ketika tertimpa
musibah yang merupakan suatu ujian yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya.
4.2. Analisis Kasus Subjek 2 4.2.1. Biodata Subjek
Subjek 2
Suami
!nisial
R
N
Usia
33
40
Pendidikan
SMA
SMA
Pekerjaan
!RT
Karyawan Swasta
Agama
Islam
Islam
4.2.2. Biodata Anak
lnisial
NA
Jenis Kelamin
Perempuan
Usia
: 7 tahun
Anak
: 2 dari 2 bersaudara
Riwayat Kesehatan : Tidak ada data mengenai riwayat kesehatan anak Pendidikan *
SDLB
* TPA usia 4 tahun (hanya sebentar)
Ku rs us Diagnosis
: Tuna Grahita sedang ( 48 )
4.2.3. Gambaran Umum Subjek 2 R adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki 2 oran9 anak, anak sulungnya adalah seorang laki-laki yang sekarang duduk di bangku kelas 6 SD.Postur tubuh R mungil dan berkulit sawo matang, R adalah orang yang sangat supel dan mudah berkomunkasi dengan baik, selain itu R juga seorang ibu yang sangat periang dengan temen-teman yang juga mengantarkan anaknya di sekolah yang sama dengan tempat R menyekolahkan anaknya. R sendiri yang mengantar N kesekolah dan menungguinya hingga pulang, di sekolahlah R merasa mendapat banyak informasi tentang bagaimana anak tuna grahita dan dimana saja pengobatan alternatif dengan harga terjangkau, ibu R mendapat banyak teman yang memiliki anak yang sama kondisinya dengan N.
lbu R sangat dekat dengan N dan sangat memperhatikan perkembangan yang dialami oleh anaknya, R juga selalu berusaha untuk rnemenuhi segala kebutuhan anakanya dari mulai kebutuhan pokok seperti makan, pakaian dan kebersihan serta kebutuhan yang dapat menunjang perkembangan dan dapat meningkatkan kemampuan serta bakat N yang saat 1ni sudah mulai terliat, yaitu N suka menggambar dan ibu R sangat mendukung hobi positif anaknya tersebut, semua kebutuhan N dipenuhi oleh ibu R selama masih dapat dijangkau dengan keuangan rumah tangga demi anak perempuan satusatunya itu.
R mengandung N pada usia 25 tahun, sebelumnya R tidak mempunyai rencana untuk hamil anak ke 2, rencana R dengan suami adalah mempunyai anak yang lahir pada saat tahun naga emas, karena menurt R tahun naga emas adalah tahun yang baik, tetapi ternyata kehamilan R datang lebih cepat dari yang direncanakan, hal ini disebabkan karena A telat meyuntik KB, tetapi R tetap merasa senang dengan kehamilannya.
Pada kehamilan ke dua ini, R menjadi pribadi yang pendiam, tidak banyak bicara dan malas berbicara dengan siapapun termasuk dengan suaminya, menu rut R itu memang bawaan kehamilan, R juga merasa heran mengingat dirinya adalah pribadi yang supel.
Saat usia kehamilan delapan bulan R pernah terpeleset dan kemudian terjatuh, tetapi jatuhnya tidak parah sehingga kandungannyapun masih baikbaik saja, namun dalam pikiran R sering terlintas, apa karena jatuh ini penyebab N menjadi seperti sekarang. Rasa cemas yang dihadapi R adalah takut menghadapi berapa banyak jahitan setelah mE.lahirkan, hanya itu yang rnembuatnya takut.
Karena R adalah seorang yang supel dan mudah akrab, maka dalam penelitian ini R sangat terbuka dengan hal-hal yang dialaminya, sehingga wawancara dapat berjalan tanpa ada hambatan yang berarti.
4.2.4. Gambaran anak
N adalah seorang anak berusia 7 tahun dengan postur tubuh kurus berambut pendek dan bergigi ompong, wajah N tampak seperti anak-anak lain pada umumnya tidak menampakkan bahwa ada yang berbeda pada diri N.
Dalam perkembangannya N mengalami telat bicara, sedangkan untuk perkembangan yang lain seperti merangkak, duduk, berrjalan sesuai dengan usia perkembangannya dan anak-anak lain pada umumnya.
Saat ini N duduk di kelas 1 SDLB 01 Lenteng Agung. N sudah dapat menulis dan membaca walaupun belum terlalu lancar. N juga sangat suka menggambar dan mewarnai. Kemampuan N dalam berkornunikasi masih kurang mendukung hubungan sosialnya, karena N selalu sulit untuk mengerti pembiaraan orang lain, namun begitu N tetap seorang anak yang senang bermain dengan teman-temannya walaupun teman-teman N harus menyesuaikan dengan kondisi N.
N juga senang membantu ibunya masak di dapur, sedikit-sedikit N juga sudah mulai mengerti jika ibunya mau memulai untuk mernasak N sudah mengeluarkan perabotan yang akan dipakai untuk memasak.
Tahapan penerimaan Menurut Gargiulo (1985) proses penerimaan diri berkaitan dengan reaksi respon terdiri dari tiga tahap, yaitu Primary phase, Secondary phase dan Tertiary Phase, dari hasil penelitian reaksi respon lbu R adalah sebagai berikut:
1. Primary phase Pada tahap ini ibu R sempat bertanya dan menolak kecacatan anaknya karena tidak menyangka dengan keadaan anaknya yang pada saat itu tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil dan kemudian mencari penegasan dari para ahli, tahap ini disebut dengan denial. .. .. kok anak saya kaya gini, ken apa ga anak orang Jain gitu, kata dokter 'sabar aja bu .. ., mungkin telat bicara, akhirnya saya bawa lagi ke alternatif... Dari hasil wawancara, ibu R pada tahap ini hanya mengalami satu fase yaitu Denial, ibu R tidak mengalami tahap shock karena ibu R mengenali sendiri keterlambatan anaknya secara perlahan - lahan dan sudah mengira bahwa ada masalah dalam perkembangan anaknya, ibu R juga tidak mengalami grief and depretion karena rasa marah hanya ia tujukan pada dirinya bukan pada orang lain . . . .. saya marah sama diri saya sendiri, coba dulu ga jatoh, mungkin N ga kaya gini ...
2. Secondary phase Pada tahap guilt lbu R juga pernah merasa bersalah dengan kondisi anaknya karena pernah terjatuh pada saat hamil, untuk mengobati perasaan bersalahnya ibu R mencari informasi lewat membaca buku dan menonton televisi dan memperaktekkan informasi yang dia baca dan lihat, salah satu informasi yang ibu R dapatkan adalah dengan memberikan mainan yang dapat mengasah motoriknya seperti bola, kemudian membawa N berobat sesuai dengan informasi yang ibu R dapatkan . . . .. ya, rasa bersa/ah sih ada, kayaknya gara - gara jatoh, tapi ya udah /ah sekarang sih saya baca-baca buku dan fiat di TV, oh ... harusnya begini, dipraktekan aja, sekarang juga saya bawa N berobat ke a/ternatif, itu juga saya tau dari ibu-ibu disini ... lbu R juga pernah merasa marah pada dirinya sendiri dan berpikir kesalahan apa yang telah dibuatnya dimasa lalu sehingga N seperti ini, pada tahap anger ini kemarahan ibu R ditujukan pada diri sendiri. ... marah sih pada diri sendiri, /wk kaya gini?sa/ah saya apa? ... Shame and embarassement yaitu perasaan malu pada saat menghadapi lingkunganpun pernah dialami oleh ibu R .. .minder, pernah juga sih, kalo /agi pergi ke acara ulang tahun kan ga bisa kita le pas gitu ... lbu R merasa malu karena N tidak seperti anak-anak lainnya, yang apabila mengikuti acara sesuai dengan prosedur acara, menurut ibu R, N suka bertindak diluar aturan.
3. Tertiary phase lbu R yakin bahwa N akan ada perubahan ke arah yang lebih baik lagi dalam perkembangannya, karena baru selama enam bulan N bersekolah, N sudah banyak memperlihatkan perkembangan dalam bidang akaclemis, N sudah mulai bisa membaca, menulis, clan mempunyai hobi menmiambar. Untuk mengembalikan N dalam keadaan seperti anak-anak pada umumnya, mempunyai kemampuan akademis yang lebih baik . ... saya sih yakin bisa, soalnya baru enam bu/an disekolahin udah banyak perubahannya, uo'ah bisa baca, bisa nu/is, meskipun ngasih taunya harus berulang-u/ang, tapi saya yakin ...
Maka pada tahap bergaining ini ibu R berstrategi mengaclakan perunclingan dengan gun.; tentang apa saja yang dapat dilakukan untuk membuat perkembangan N optimal. .. .saya banyak nanya, ngobrol sama gurunya, N harus digimanain, terus kata gurunya, N harus diajarin buat /ebih mancfiri, dibimbing dan diawasi ....
Strategi ibu R adalah dengan mengajarkan kemandirian kepada N, contohnya dengan membiasakan N mencuci piringnya sendiri dibawah bimbingan clan pengawasaan ibu R, serta menaruh sesuatu pacla tempatnya, serta memberi tahu clengan tegas apabila N tidak menurut.
Dari tahap bergaining diatas, lbu R telah dapat beradaptasi dengan keadaan N, disinilah ibu R mulai mengalami suatu reaksi adaptation and reorganization dimana ibu R beradaptasi dengan keadaan yang membuat ibu
R cemas, dalam ha! lainnya berupa pengawasan yang dilakukan oleh ibu R terhadap N jika N sedang bermain diluar rumah . . . .saya ga mau kecolongan, pengawasan harus /ebih ketat lagi, meskipun dari jauh saya tetep ngawasin, sambil saya ngobrol ta pi mata saya ngi'
tidak boleh dikonsumsi oleh N dengan dukungan yang ia miliki dari suami dan lingkungan yang dapat mengerti keberadaan N sehingga dengan kondisi N seperti sekarang ini, sehingga pada tahap accetance ini ibu R dapat memahami serta menerima kondisi yang terjadi. .. .paling orang yang kita kenal biasa, lingkungan pada tau semua sih ....
Kemampuan ibu R untuk memahami kondisi yang terjadi pada diri N serta menyesuaikan dengan apa yang ada pada N ini sesuai dengan pengertian pengertian tawakal ditinjau dari segi psikologis yakni penerimaan diri sepenuhnya terhadap kenyataan diri dan hasil usahanya sebagaimana adanya, mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri (Zakiah Daradjat, 2002).
4.3.
Subjek 3
4.3.1. Biodata Subjek -
Subjek 2
Suami
lnisial
E
J
Usia
39
47
Pendidikan
SMA
SMA
Pekerjaan
IRT
Karyawan Swasta
Agama
Islam
Islam
4.3.2. Biodata Anak lnisial
JIW
Jenis Kelarnin
Laki - laki
Usia
10 tahun
Anak
2 dari 2 bersaudara
Riwayat Kesehatan : Sakit kuning usia 1 minggu Pendidikan *
SDLB
Kursus Diagnosis
: Tuna Grahita sedang ( 51 )
4.3.3. Gambaran umum subjek 3 E adalah seorang ibu dengan 2 orang anak. E berkulit sawo matang dan berbadan kurus. E menjalani profesinya sebagai ibu rumah tangga dan mengurus keluarga secara total. Kegiatan rutin setiap paginya adalah mengantarkan anaknya yang sekolah di SDLB dan untuk rnenghilangkan kejenuhannya menunggu dari pagi hingga siang hari ibu E membantu temannya yang membuka kantin disekolah tanpa mau dibayar karena ibu E benar-benar ingin membantu untuk menghilangkan kejenut1an bukan untuk mencari uang.
fv1eskipun anak keduanya mengalami 'kekhususan' ibu E tidak menghilangkan perhatian kepada anak pertamanya karena anak pertamanya sudah besar (saat ini berusia 18 tahun dan sudah kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta), sehingga waktunya lebih banyak untuk anak kedua karena masih butuh bantuan ibu E dari mulai makan, minum, memakai baju, hingga bantuan di kamar mandi meskipun tidak sepenuhnya harus dibantu .
lbu E mengandung anak kedua pada usia 26 tahun, kehamilan kedua ini adalah kehamilan yang direncanakan, pada masa kehamilan ibu E tidak mengalami hal-hal yang khas, semua berjalan normal seperti kehamilannya yang pertama, bahkan pada kehamilan yang pertamalah ibu E sempat jatuh. Pada saat kelahiran, bayinya tidak menangis seperti layaknya bayi-bayi yang lain, hal ini sempat membuat ibu E bingung, tetapi karena saat itu keadaan ibu E antara ambang sadar dan tidak ibu E tidak mengetahui dengan cara apa bayinya dibuat menangis oleh dokter.
lbu E sangat terbuka dan tenang ketika menjawab pertanyaan, ekspresinya seperti menerawang tanpa beban.
4.3.4. Gambaran umum anak J adalah seorang anak dengan wajah khas down syndrome, perawakannya
tinggi kurus dengan kulit sawo matang. J adalah anak pernalu dan membutuhkan waktu berhari-hari untuk berinteraksi dengan orang yang baru dikenalnya.
Dari perkembangannya diketahui J mengalami perkembangan yang lambat, J dapat berjalan usia 4 tahun dan berbicara pada saat masuk sekolah. Dalam kemampuan menolong diri sendiri, ia sudah bisa makan dan minum sendiri, memakai baju dan celana tanpa kancing, buang air J masih dibantu.
J pernah bersekolah di TK selama 2 tahun, ini di.lakukan untuk melatih J
bersosialisasi dengan orang lain. Setiap sore J memiliki rutinitas yaitu mengaji di masjid bersama teman-temannya yang lain, di 1·umah J adalah seorang anak yang rapih dan mau membereskan mainannya ketempat semula, bahkan J juga suka membantu ibunya menyapu.
Tahap Penerimaan Menu rut Gargiulo (1985) proses penerimaan diri berkaitan dengan reaksi respon terdiri dari tiga tahap, yaitu Primary phase, Secondary phase dan Tertiary Phase, dari hasil penelitian reaksi respon lbu J adalah sebagai berikut
1. Primary Phase Pada tahap pertama ini ibu J mengalami 2 reaksi emosional diantaranya adalah pada tahap shock ibu J merasa kaget saat diberi tahu kondisi anaknya yang baru lahir karena pada saat kehamilan ibu E tidak mendapatkan informasi apapun mengenai kondisi anaknya .
... wal<.tu dil<.asih tau, ya ... l<.agetjuga ..... Setelah tahu kondisi anaknya, pada tahap denial ibu E merasa menolak apa yang terjadi dengan anaknya dan merasa bahwa kandungan keduanya tidak pernah bermasalah dibandingkan dengan kandungannya yang pertama, menjadikan ibu E bertanya-bertanya apa penyebab kondisi anaknya seperti ini
... hati ga terima, l<.ol<. l<.enapa begini? Yang pertama sering jatoh tapi ga apa-apa .... 2. Secondary Phase lbu E merasa bersalah dengan kondisi yang dialami oleh anaknya dan selanjutnya membawa anaknya berobat sesuai dengan informasi yang ia dapatkan dari lingkungan sekitar, tahap ini disebut dengan tahap guilt dimana ibu merasa bersalah dengan kondisi anak dan kemudian mencari informasi dan membawa anaknya berobat.
.. .l<.enapa l<.ol<. saya nih buat salah apa?l<.enapa anal<. saya? al<.hirnya saya cariin terapi, saya bawa l<.esana l<.emari, umpama ada orang yang bilang 'disana ada ini, coba deh', saya coba l<.esana ...
lbu E tidak marah terhadap dirinya dan orang lain,ibu E juga mengalami tahap shame and embrassment yang pernah merasa minder dengan keadaan J yang tidak sama dengan anak-anak lainnya . . . .minder gitu ya, ngeliat anak orang kok sempurna yang sepantaran dia, /wk anak saya engga ...
3. Tertiary phase Pada tahap adaptation dan reorganization ibu E sudah mulai dapat menyesuaikan dengan kondisi J, dikarenakan J adalah seorang anak yang jika sedang diberi tahu atau diajari oleh ibu E sulit untuk mengerti, butuh kesabaran yang cukup besar dalam hal ini, karena ibu E harus mengulang untuk memberi tahu J, namun saat ini ibu E merasa sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. .. .J tuh kalo dikasih tau susah banget, ngertinya susah banget, tapi dengan keadaan kaya gitu udah biasa ...
Dukungan sosial yang ibu E dapatkan dari lingkungan keluarga juga sangat positif, keluarga besar terutama suami sangat mendukung apapun yang ibu E lakukan pada J selama itu positif dan untuk kebaikan perkembangan J diantaranya membawa J terapi atau berobat ke alternatif seperti yang sering dilakukan oleh ibu E . . . .. ayahnya nerima, ma/ah dia yang lebih sabar dari saya, orang tua, keluarga, semuanya ngerti, istilahnya mereka mendukung kalo kita kemana-mana .. ..
Rasa sayang sang anak pertama yaitu kakak J pada J adalah suatu respon positif yang menimbulkan makna yang positif bagi ibu E dengan kekhasan yang dimiliki oleh J .
... kakaknya ga ada masalah, ma/ah sayang banget sama J ... Reaksi yang diberikan masyarakat yang negatif terhadap "I pun ibu E hadapi dengan senyum dengan tujuan agar dapat meredam kemarahannya .
. . . kalo ada yang kaya gitu saya sih diem, sambil ketawa biar amarahnya ga ke/uar .. .. Masalah ekonomipun tidak menjadi penghalang bagi ibu E, karena pekerjaan suaminya mencukupi untuk membawa J terapi, dan dari hasil penelitian tidak ditemukan bahwa ibu E mengeluh dengan situasi ekonomi keluarga dalam membesarkan J.
lbu E menganggap bahwa ini sudah takdir Tuhan, anak adalah titipan yang Tuhan berikan dan harus dijaga dengan sebaik-baiknya, walaupun awalnya sulit untuk menerima semua ini karena apa yang ibu E harapkan tentang anak yang dapat berkembang dengan optimal berbeda dengan kenyataan yang dihadapinya namun saat ini ibu E sudah memasrahkan semua kepada Tuhan, karena siapapun tidak sebenarnya tidak menginginkan keadaan anak seperti ini, semua ini adalah kuasa Tuhan, dan ibu E merasa harus menjaga apa yang sudah Tuhan berikan termasuk anak apapun keadaannya, hal ini
merupakan sebuah gambaran dari sikap sabar yang dihadirkan oleh ibu E dalam dirinya . . . .ya emang udah dari sananya kita dititipin anak seperti ini, udah nerima J kaya gini ... Saat ini ibu E berusaha terus membawa dirinya pada rasa senang dan puas dengan keadaannya dengan mengurus anak-anaknya yang ada saat ini dengan sebaik - baiknya, hal ini sama dengan pengertian acceptance menurut JP Chaplin, bahwa acceptance atau penerimaan adalah pengakuan atau penghargaan terhadap nilai individu ditandai dengan :sikap yang positif dengan kata lain merupakan segala perilaku yang positif baik yang ditujukan pada dirinya atau orang lain . . . .istilahnya seneng-seneng aja itu dah yang penting, dibuat biasa aja ...
4.4.
Analisis Antar Kasus
Dari hasil analisis ketiga kasus diatas, dapat diketahui bahwa reaksi emosional ibu berbeda, pada subjek I mengalami tahap reaksi pertama (primary phase) yaitu, shock, denial, grief and depretion. F'ada tahap kedua subjek I mengalami tahap reaksi emosional berupa guilt, anger, shame and embarassment. Subjek 2 mengalami tahap reaksi emosional pertama (primary phase) yaitu denial, tahap kedua (secondary phase) berupa guilt, anger, shame and ambarassment, selanjutnya tahap ketiga (tertiary phase) yang berupa bergaining, adaptation and reorganization, acceptance dan
adjusment. Pada subjek 3 ditemukan reaksi emosional pertama (primary phase) berupa shock, denial, tahap kedua yaitu (secondary phase) yaitu guilt, shame and embarassment, selanjutnya tahap ketiga (tertiary phase) berupa adaptation and reorganization, acceptance and adjusment.
Pada subjek 2 tidal< ditemukan shock seperti yang dialami oleh subjek I dan 3 karena subjek 2 mengenali sendiri kekhasan anaknya secara perlahan dan sudah menduga bahwa ada kelainan yang terjadi pada anaknya. Subjek I juga sudah menduga adanya hal berbeda yang dltimbulkan oleh anaknya, namun penyampaian informasi tentang keadaan anaknya yang dirasa tidak membangun membuatnya sangat terpukul dan putus asa, sedangkan pada subjek 3 tidak pernah rnenduga sebelumnya sampai dokter memberikan informasi kepada suaminya yan9 kemudian disampaikan pada subjek 3, sehingga ada rasa kaget dan tidak menerima !<arena subjek 3 merasa kandungannya tidak bermasalah.
Pada subjek I mengalami grief karena subjek I merasa keadaannya sudah sulit, mengapa haru'3 diberi cobaan seperti ini, pada tahap ini subjek 2 dan 3 tidak merasakannya dikarenakan tingkat kekhasan yang dialami oleh anal< subjek 2 lebih ringan dibandingkan dengan subjek I, sedangkan subjek 3 tidak terlalu mengalami kesulitan ekonomi.
Tahap ambivalence dialami oleh subjek I tetapi tidak dialarni oleh subjek 2 dan 3, subjek I merasa harus menjalani semua ini, tetapi tidak sanggup untuk untuk menerima reaksi masyarakat yang kemudian merasa berat dengan ujian ini, pada awalnya subjek 3pun sempat menolak keadaan anaknya, namun saat ini subjek 3 sudah dapat menerima anaknya dan menganggap bahwa anaknya adalah titipan Tuhan.
Pada tahap Anger, subjek I dan subjek 2 mengalaminya, subjek Ill tidak mengalami Anger karena tidak perlu marah pada diri sendiri atau orang lain, karena biar bagaimanapun, menrurt subjek 3 anak adalah titipan bagaimanapun keadaannya, kalau anak tidak seperti yang diharapkan itu bukan keinginan siapa-siapa melainkan sudah rencana dari Allah, jadi subjek A tidak perlu marah.
Bukan hal yang mudah bagi subjek I untuk mencapai tahap ketiga (tertiary phase), subjek 2 mengalami tahap dimana subjek 2 mengadakan perundingan dengan pendidik untuk mengoptimalkan anaknya agar dapat berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Karena kurangnya dukungan sosial dari masyarakat dan minimya informasi yang subjek I dapatkan. Seringkali reaksi masyarakat tentang keberadaan anaknyc:1 membuat subjek I merasa berat dengan pengasuhan terhadap anaknya. Kekhasan yang ditimbulkan anak dapat menjadi pengaruh reaksi masyaralcat, secara fisik, 711
anak subjek I dan 2 memiliki kekhasan fisik yang sama, yaitu wajah khas down syndrome, hanya saja pada subjek I tidak dapat menahan amarahnya ketika melihat reaksi masyarakat yang negatif, sehingga menimbulkan rasa tidak sanggup dengan keadaan, berbeda dengan subjek 2 yang menghadapi reaksi negatif tersebut dengan senyuman yang menurutnya dapat meredakan amarah dan menjadikannya biasa dengan keadaan tersebut, sedangkan subjek 2 anaknya tidak memiliki kekhasan fisik, sehingga reaksi yang ditimbulkan masyarakat berbeda.
Tahap pe11erimaa11 II
I
Iii
.
&:'5' •• 16.~ .... n~
-
Shock p
~
--
' deniel
Gri11f am:!
ambivalence
guilt
anger
Shame and embarassment
-
-
.
i.ibjek I
:>u A) i.ibjek II JIU
R)
Adaptation and reorganization
Acceptance
"
"
"
"
"
"
"
-
-
-
-
"
-
-
"
"
"
"
"
"
-
"
"
-
"
"
I i.ibjek ill
i::lu E)
bargaining
"
"
-
I
I
BAB5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Harapan bagi para ibu ketika mengandung adalah melahirkan anak dalam keadaan sempurna, sehat jasmani maupun rohaninya serta dapat berlaku optimal di dalam lingkungan keluarga dan juga masyarakat.
Kekhasan yang ditimbulkan pada anal< seperti penyimpanfian tingkah laku adaptif dan intelektual apalagi ditandai dengan fisik yang khas membuat rasa kecewa menyaksikan perkembangan anaknya tida sesuai dengan perkembangan anak lain pada umumnya.
Diagnosis yang menyatakan bahwa anak menyandang tuna grahita menjadikan sesuatu yang menggembirakan berubah menjadi kekecewaan manakala orang tua mengetahui kondisi anak yang memiliki kebutuhan khusus, hal itu sesuai dengan yang dinyatakan oleh Bernheimer, Young dan Winton (1983, dalam Martin & Colbert, 1997) bahwa diagnosis yang menyatakan anak menyandang kecacatan merupakan peristiwa yang menyakitkan bagi orang tua. Hal ini dikarenakan harapan mengenai anak
yang sempurna tidak terwujud, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya, anak mengalami keterlambatan perkembanngan, dan juga informasi tentang pengasuhan selanjutnya yang menjadi kewajiban para ahli untuk menyampaikan informasi tersebut tidak didapatkan oleh ibu, sehingga menimbulkan rasa kecewa ibu kepada dokter yang menyampaikan informasi rnengenai kondisi anak, hal ini j mengakibatkan perasaan shock dialami oleh ibu. Tenaga dokter dan ahli memiliki tanggung jawab utama untuk memberikan informasi orangtua dalam merespon terhadap berita 'kecacatan' anak dan hal ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah cliagnostik terhadap anak. Proses pemberian informasi ini merupakan faktor utama yang menentukan hasil konsultasi medis seperti rasa puas pasien yang merupakan aspek afektif yaitu perasaan pasien bahwa tenaga tersebut tidak mendendarkan, memahami dan tertarik. (Bart Smet 1994 ),
Reaksi emosional dari setiap ibu berbeda, setiap ibu memiliki kekhasan masing-masing, reaksi umum yang terjadi adalah kaget (Schock), sedih, menolak kondisi anak, sedih karena tidak mempercayai kenyataan yang terjadi pada anaknya, sehingga menimbulkan perasaan marah pada diri sendiri. Bukan hal yang mud8h untuk dapat menerima kondisi anak yang pada awal kehamilan diharapkan menjadi anak yang tumbuh dengan normal, kenyataan yang acla tidal< sesuai dengan harapan, karena harapan akan fisik yang sempurna malah te1jadi sebaliknya, anak memiliki kekhasan fisik dan
perkembangan yang lambat dibandingkan dengan anak-anak lain pada umumnya.
Dengan kondisi anak berkebutuhan khusus biasanya orang tua banyak mencari mencari informasi mengenai keadaan anaknya, orang tua mulai membawa anaknya ke dokter, psikolog, terapis, bahkan sampai kepada pengobatan alternatif, ini jiga dilakukan untuk menebus perasaan bersalah pada kondisi yang dialami oleh anak. Antara menerima dan menolak kondisi anak.
Setelah itu ibu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi anak sehingga diikuti dengan penerimaan diri. Namun demikian proses ini tidak membutuhkan waktu yang sedikit.
Berdasarkan hasil analisa ketiga subjek, dapat dilihat bahwa reaksi emosional yang dihadapi para ibu berbeda-beda dan bukan suatu ha! yang mudah bagi setiap ibu untuk memahami serta menerima keadaan anak melihat dukungan keluarga dan lingkungan yang berasal dari komunitas masyarakat yang merasa aneh dengan keberadaan anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Dari tiga responden, gambaran penerimaan ibu terhadap anak tuna grahita adalah dari ketiga subjek, subjek ibu Adan ibu E mengalami Schak, pada tahap ini, yang dirasakan ibu adalah kaget dan tidak percaya dengan kondisi anak.
Ketiga subjek mengalami tahap denial dimana ibu menolak kondisi anak dan akhirnya mendatangi para ahli untuk mencari penegasan rnengenai kondisi anak, Penolakan terhadap kondisi anak juga dialami oleh ketiga subjek, ini dapat disebabkan karena adanya persepsi dalam lingkungan tentang anak yang sempurna yang dapat berlaku optimal di masyarakat, hal ini sesuai dengan penelitian dari Lernbaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi 1998, yang menyatakan bahwa stereotipi kultural mengenai anak yang ideal menyebabkan orangtua mengharapkan anaknya dapat berperan seperti anak normal lainnya. Ketiga subjek juga mengalami guilt yaitu perasaan bersalah orang tua dan untuk membayar rasa bersalahnya, ibu mencari informasi dan membawa anaknya berobat .
Shame and embarassement juga dialami oleh ketiga subjek, pada tahap ini ibu malu menghadapi lingkungan sosial, hal ini merupaka11 salah satu pengelompokkan reaksi orang tua dengan anak kebutuhan khusus yang diungkapkan oleh Telford dan Sawrey, 1984 yaitu perbedaan antara keduanya adalah pada rasa malu orientasinya pada oran9 lain dan rasa
bersalah pada diri sendiri, namun keduanya dapat menimbulkan kecemasan, namun dari hasil penelitian ini, ketiga orang ibu merasa malu bukan karena lingkungan sosial yang menolak, mengasihani, atau mengejek ' kecacatan' anak melainkan karena perilaku yang dimunculkan anak atau kondisi anak yang tidak sama dengan kondisi anak pada umumnya, ha! tidak sama seperti yang diungkapkan
ok~h
Gargiulo 1985 bahwa perasaan ini muncul saat ibu
menghadapai lingkungan sosial yang menolak, mengasihani atau mengejek 'kecacatan' anak.
Akan menjadi suatu yang berat bagi para ibu ketika harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya mengalami kekhasan, mereka butuh waktu berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menerima kondisi anak mereka, banyak hal yang harus mereka lewati dianta1·anya adalah menyaksikan perkembangan anak mereka yang tidak sama seperti anakanak lain atau menghadapi reaksi negatif masyarakat
den~1an
keberadaan
anaknya.
Dari hasil penelitian ditemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri ibu, diantaranya adalah dukungan sosial, masalah ekonomi, label masyarakat terhadap anal< berkebutuhan khusus, hal ini sesuai yang di ungkapkan oleh Lavelle dan Keogh (1980) bahwa faktor penyebab ini banyak mernpengaruhi sikap dan pendekatan mereka terhadap anaknya, serta
keaktifan orang tua dalam berpartisipasi dalam program pendidikan anak selanjutnya.
Penyampaian informasi mengenai kondisi anak dari para rnedis mempengaruhi kondisi emosional ibu, ini disebabkan karena tenaga ahli dalam hal ini dokter hanya memberi tahukan diagnosis saja tanpa mendapatkan penjelasan bagaimana pengasuhan selanjutnya. Menurut Howard (1982, dalam Cartwight dan Cartwight 1984) hubungan antara dokter dan orangtua kerap menjadi tegang karena yang memberitahukan kecacatan anak adalah dokter. Oleh karenanya dokter harus berperan aktif dalam membantu orangtua memperoleh bantuan profesional lanjutan. Dokter tidak boleh hanya memberitahukan informasi medis saja, namun ia harus memberikan rujukan dengan ahli lain agar ibu dapat meng13tahui langkah pengasuhan berikutnya.
5.2.
Diskusi
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendapatkan gambaran penerimaan diri dan tahap reaksi emosional yang dihadapi oleh para ibu yang memiliki anak tuna grahita. Berdasarkan hasil analisis ketiga subjek, tahap penerimaan dari setiap subjek bervariasi dan dipengaruhi faktor
yang berbeda, faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri ibu antara lain adalah perbedaan yang timbul antara harapan dan kenyataan.
Penerimaan ibu pada umumnya ketika anaknya didiagnosis tuna grahita adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut. Pada tahap ini biasanya orang tua akan mencari tahu lebih banyak mengenai kondisi anaknya. Tahap selanjutnya orang tua akan merasa marah pada keadaan yang dihadapinya, biasanya pada tahap ini orang tua akan merasa bersalah dan menyangkal dari keadaan dirinya, orang tua juga merasa malu menghadapi lingkungan dengan kondisi yang di alami oleh anaknya, hingga akhirnya perasaan tersebut diikuti oleh penyesuaian ibu terhadap kondisi anak dan menerima kondisi anak, namun demikian ini membutuhkan waktu yang cukup lama.
Salah satu subjek melakukan perundingan agar anaknya kembali seperti semula, dengan membimbimbing agar bisa menjadi lebih mandiri, karena keyakinan untuk mejadikan perkembangan anak optimal sebagaimana anakanak pada umumny3, pendidikan bagi anak luar biasa melibatkan orang tua misalnya melanjutkan latihan di rumah, serta membantu mempelajari keterampilan baru yang dilatihkan.(LPSP3 Universitas Indonesia, 1998). Pada subjek satu dan tiga tidak melalui tahap ini karena merasa bahwa anak
7()
tuna grahita tidak bisa disembuhkan atau dikembalikan seperti anak - anak "normal"
Dari hasil penelitian ditemukan pada subjek I belum mengalami sampai pada tertiary phase, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang pemah dialami oleh subjek I, diantaranya adalah reaksi dan lebel negatif masyarakat tentang keberadaan anak tuna grahita yang dianggap sebagai suatu penyimpangan dalam masyarakat menjadikan ibu merasa sulit terhadap keadaan anak, menurut Irene F. Mongkar dalam majalah Paras edisi 46 mengatakan bahwa kesendirian mereka (orang tua) sudah begitu berat, ditambah lagi dengan lirikan, bisikan-bisikan dan pertanyaan yang hanya akan membuat hati orang tua yang sudah hancur, serta kuatnya mitos 'kutukan' bagi anak-anak berkebutuhan membuat terabaikannya pengkaryaan yang dapat dilakukan oleh anak-ana!< dengan kebutuhan khusus.
Faktor lain yang menyebabkan subjek I belum mengalami tahap tertiary phase karena kurangnya dukungan sosial dari masyarakat maupun keluarga. Dukungan sosial berupa perhatian dan kepedulian yang ibu dapatkan dari keluarga dan juga sikap lingkungan serta atau kerabat ju9a dapat mempengaruhi penerimaan diri ibu terhadap kondisi yang terjadi terhadap anaknya, karena reaksi yang negatif akan memicu ibu untuk memberikan makna yang negatif pula sebaliknya reaksi yang positif maka akan memberi
makr1a yang positif bagi ibu dengan anak yang memiliki kek.hasan, seperti yang diungkapkan oleh house (dalam Yusuf 2004) bahwa salah satu dari fungsi dukungan sosial adalah emotional suport yang meliputi pemberian curahan k.asih sayang, perhatian dan kepedulian.
Dalam penelitian ditemukan bahwa ibu merasa anak dengan kebutuhan khusus kurang dapat diharapkan di kemudian hari, anak memiliki harapan tipis terhadap prestasi anak (Gallagher dalam Gargiulo 1985), ini juga disebabkan karena kurangnya informasi serta edukasi orangtua mengenai pengembangan bakat yang dapat dilakukan pada anak berkebutuhan khusus, selalu ada kekhususan dibalik kebutuhan khusus, mereka pasti bisa berkarya dan memberikan fungsi bagi kehidupan selama mereka dianggap sebagai anak normal. Sayangnya, edukasi mengenai hal ini belum menjangkau orangtua dan masyarakat sehingga masih banyak anak-anak dengan kelainan fisik dan mental masih belum dikaryakan (Irene F. Mogkar dalam majalah Paras edisi 46), pada penelitian ini ditemukan pencarian informasi hanya sebatas kepada perkembangan anak agar lebih optimal belum sampai kepada pencarian informasi mengenai pengembangan bakat anak berkebutuhan khusus.
Salah satu penyebab ibu merasa berat dengan kondisi anak adalah faktor ekonomi, karena dengan keterbatasan ekonomi maka ibu tidak dapat
memberikan kebutuhan tarnbahan seperti membawa anak berkonsultasi ke terapis, ha! ini sama seperti yang diungkapkan oleh Faber and Rykman (dalam Asman and Elkins, 1994) yaitu ibu dengan tingkat sosial rendah memiliki rnasalah yang cukup banyak dengan sedikit kemampuan untuk mengatasinya sehingga sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan tambahan anak yang berkelainan. Dari hasil penelitian ha! ini ditemukan pada subjek II yang merasa memiliki keterbatasan ekonomi sehingga subjek II tidak dapat membawa anaknya ke terapis secara intensif.
5.3. Saran Saran untuk penelitian selanjutnya adalah Dapat diteliti masalah penerimaan diri ibu terhadap anak tuna grahita berdasarkan aspek - aspek yang mungkin berpengaruh, seperti 1. Penerimaan ibu yang memiliki anak tuna grahit:oi dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang berbeda 2. Penerimaan diri yang memiliki anak tuna grahita yang bekerja dengan yang tidak bekerja.
Untuk Orang Tua a. Diharapkan bagi para ibu untuk selalu menghargai setiap perkembangan yang terjadi pada anak, serta terus memb9rikan stimulasi yang dapat merangsang perkembangan anaknya.
b. Membuka diri untuk mendapatkan beragam informasi yang berka1tan d.:ingan anak-anak tuna grahita. c. Orang tua hendaknya merubah paradigma bahwa anak dengan kebutuhan khusus bukan merupakan kutukan melainkan sebagai anugrah yang harus dijaga dengan sebaik mungkin.
Untuk para dokter atau ahli (Psikolog, Terapis, Pendidik)
a. Bagi para dokter/paramedis agar dapat menyampaikan kondisi anak dengan cara yang baik dan hati-hati dan menunjukkan rasa empati terhadap apa yang dialami oleh ibu. b. Tidak menghakimi seolah anak dengan kebutuhan khusus tidak mempunyai masa depan sehingga ibu tidak bersemangat dalam megurus anaknya.
Untuk masyarakat
a.
Anak-anak dengan kebutuhan khusus juga merupakan tanggung jawab sosial, hendaknya masyarakat tidak menambah beban orang tua dengan memberikan tudingan-tudingan yang tidak masuk akal dan tidak beralasan.
b.
Mayarakat juga harus memberikan dukungan dalam melindungi anakanak tuna grahita.
Menurut Payne & Patton penerimaan dan kasih sayang orang lain berguna bagi perkembangan psikososial anak tuna grahita.
Untuk pemerintah
a.
Perlu adanya edukasi bagi masyarakat dengan mensosialisasikan anakanak dengan kebutuhan khusus, baik di rumah sakit, puskesmas, sekolah dan lain-lain.
b.
Melakukan upaya pencegahan melalui penyelenggaraan posyandu.
c.
Penyediaan sarana dan prasarana baik dalam bidan9 pendidikan, transportasi dan pelayanan kesehatan.
d.
Adanya kesempatan kerja yang diberikan bagi anak-anak tuna grahita dan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus lainnya seperti yang telah dilakukan di Jepang dan Amerika.
Dan perlu diingat bahwa kehadiran mereka pasti memiliki peran dalam kehidupan, nyatanya banyak dari mereka yang mampu berkreativitas. Terlebih, bahwa mereka sama dengan anak lainnya, berhak hidup ber~Walitas
dengan segenap pirantinya sesuai dengan kebutuhannya.(dikutip
dari majalah Paras no.46, Juli 2007)
DAFT AR PUST AKA Alwasilah, Chaedar.A, Pokoknya Kualitatif, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, Cetakan ke-3, 2006. Ashman, A, & Elkins, J, Educating Childern With Special Needs (2"d eds), Australia: Prentice Hall, 1994 Atwater, Eastwood, Psychology of Adjustment, New Jersey: Prentice-Hallin C Englewood Eliffs, 1979. Baihaqi, Yudhi Dzu!fadli, Cinta Yang Utuh, Bandung: DAF<'.!Mizan, 2007 Calhoun, James F, Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan, Semarang: IKIP Semarang Press, 1990 Chaplin, James P, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-8, 2002. Daradjat, Zakiah, Psikoterapi lslami, Jakarta: Bulan Bintang, 2002 Gargiulo M. Richard, Working with Parents of Exceptional Children, USA: Houghton Mifflin Company, 1985. Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Airlangga, 1980. Martin, C.A., & Colbert, K.K, Parenting: A Life Span Perspective, New York: McGraw Hill, 1997. Moleong Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. lndriati, M.T, Panduan Lengkap Kehamilan, Persalinan, dan Perawatan Bayi, Yogyakarta: Diglossia Media, Februari 2007 Najati Utsman, Al-Qur'an dan I/mu Jiwa, Bandung: Penerbit Pustaka, Cet. Ke3, 2000. Payne, James S dan James R. Patton, Mental Retardation, Ohio: Bell & Howell Co, 1981.
Poerwandari, Kristi, Pendekatan Penelitian Kulitatif untuk eenelitian Perilaku Manusia, Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
2005 Psikologi Anak Luar Biasa, Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia, Cet. Ke-1, April 1998. Somantri, Sutjihati, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: 2006.
f~efika
Aditama,
Santrock, John W, Life Span Development, Jakarta Airlan9ga, 2002. Sarafino, Edward P, Health Psychology Blopsycho Social Interaction, New York: Jhon Willey & Sons, Fourth Edition, 2001. Slamet, Suprapti 1.S, Psikologi Klinis, Jakarta: UI Press, 2003. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, Juni 2005. Yusuf, Syamsu, Mental Hygiene, Bandung: Pustaka Bani Ararsy, 2004 Majalah Paras No. 36 Tahun 2006 Majalah Paras No. 46 Tahun 2007 www.e-psikologi.com www. Google.com
PEDOMAN WAWANCARA 1.
Usia berapa tahun ibu menikah?
2.
!bu mengandung anak ibu pada usia berapa tahun?
3.
Putra/Putri ibu anak ke berapa?
4.
Bagaimana keadaan ibu pada saat kehamilan?
5.
Apa saja kekhasan dalam selama kemilan ibu?
6.
Bagaimana proses kelahirannya?
7.
Bagaimana perkembangan anak ibu?
8.
Apa kebiasaan anak ibu?
9.
Hal apa yang ibu sukai dan tidak sukai dari anak ibu?
10. Ka pan ibu mengetahui bahwa ada yang 'berbeda' pada anak ibu? 11. Bagaimana reaksi ibu dan keluarga? 12. Usaha apa yang ibu lakukan setelah mengetahui kondisi anak ibu? 13. Apa rencana ibu dan keluarga untuk anak ibu? 14. Saal ini apa y