Pengaruh Kepemimpinan Kyai terhadap Prestasi Ustad di Pondok Pesantren Sumedang
I. PURWAWACANA Penulis akan mencoba mengetengahkan kerangka acuan penelitian dengan judul:
Pengaruh Kepemimpinan Kyai Terhadap Prestasi Ustad di Pondok Pesantren Sumedang.
Dengan melakukan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dan melakukan studi lapangan (field work) atau partisipasi observasi, dengan mendesain penelitian yang disusun sesuai prosedur penelitian, rincian dan alasan-alasan (filosofis dan strategi penelitian). Di bawah ini akan dijelaskan melalui langkah penting menurut hakekat pendekatan kualitatif. II. DESKRIPSI KERANGKA ACUAN TESIS
Dalam konteks kajian aspek identitas pranata pesantren di Indonesia merupakan salah satu wujud pranata pendidikan yang tradisional relevan untuk dibahas. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem-sistem pendidikan umum untuk tidak menyebut sistem pendidikan “sekuler “atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidak-tidaknya dapat menyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum. (Zamakhsyari Dhofier, 1983 :1-15) Dalam memperjelas argumen di atas lembaga pendidikan tradisional Islam di kawasan Timur Tengah pada umumnya secara sederhana biasanya terdiri dari tiga jenis, madrasah, kitab dan mesjid. Pada pertengahan abad ke-19 ketiga lembaga pendidikan tradisional Islam ini relatif mampu bertahan. Akan tetapi di perempatan terakhir abad ke-19 gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahanperubahan yang tidak bisa dimundurkan lagi dalam eksistensi lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional (Deliar Noer,1982:15-33) Meski pesantren pada umumnya dipandang sebagai lembaga pendidikan indigenous,pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya, dan sekaligus bertahan ditengah berbagai gelombang perubahan. Jika kita menerima spekulasi bahwa “pesantren” telah ada sebelum masa Islam, maka sangat boleh jadi ia merupakan satusatunya lembaga pendidikan dan keilmuan di luar istana. Dan jika ini benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga counter culture (budaya tandingan ). Keberadaan pondok pesantren bertambah kuat ketika corak Islam yang berkembang di Jawa. Para pemimpin pondok pesantren memberikan pengaruh dasar idiologis yang kondusif bagi pesantren. Pengaruh kepemimpinan Kyai di suatu pondok pesantren merupakan kekuatan lembaga, akan tetapi dalam konteks keilmuan keberadaan pesantren merupakan perwujudan dari egalitarianisme Islam dalam lapangan keilmuan. Dengan kepemimpinan Kyai yang mempunyai latar belakang sosial yang berbeda memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan dan bukan sembarang pengetahuan, tetapi pengetahuan agama yang di dalam segi-segi tertentu dipandang memiliki nuansa sakralitas yang kharismatik. Dinamika keilmuan pesantren haruslah dipahami dalam konteks fungsi kelembagaan pesanten itu sendiri. Setidaknya terdapat tiga fungsi pokok pesantren: pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam (tranmission of Islam knowledge); kedua,pemeliharaan tradisi Islam
1
(maintenance of Islamic tradisition) ; dan ketiga, pembinaan calon-calon ulama (reproduction of ulama).
Sebagaimana terlihat dari ketiga fungsi ini, dunia pesantren adalah dunia keilmuan dalam tahapan-tahapan yang terjadi, yakni meneruskan pewarisan ilmu dan sekaligus dan sekaligus pemeliharanya. Jika dilihat dari konteks tersebut di atas, kenapa proses pendidikan dan pengajaran di pesantren sangat menekankan pada hapalan atau memorisasi. Hapalan bahkan penting bukan hanya merupakan transfer ilmu pengetahuan dan pemeliharaan tradisi Islam, akan tetapi dalam sejarah proses pertumbuhan ilmu-ilmu Islam itu sendiri sejak masa paling awal. Hal ini adalah karena tradisi kepemimpinan kyai yang biasanya hapalan merupakan salah satu kewajiban di dalam mengajarkan ajarannya. Untuk itu ilmu yang diterima akan betul-betul tertancap di dalam hati para santri. Tetapi perolehan ilmu di lingkungan pesantren seperti juga tradisi keilmuan Islam lainnya dipandang tidak lengkap jika hanya diperoleh di pesantren-pesantren, atau dari kepemimpinan kyai tertentu saja. Ini penting, tidak hanya dari sudut pandang keilmuan itu sendiri, tetapi juga dari perspektif sosial seorang pemimpin pesantren. Santri-santri yang menuntut ilmu di pondok pesantren atau pada kyai tertentu di lingkungannya sendiri, kurang memperoleh pengakuan sosial (social recognition). Pengakuan sosial yang lebih tinggi justru akan meraka peroleh jika mereka menuntut ilmu di luar lingkungan daerah asalnya. Dengan kata lain para santri juga ditutuntut untuk memperoleh ilmu dari pesantren atau kyai lainnya.(Azra, 1994: 75-80). Dengan idiologi development pemerintah orde baru, pembaharuan pesantren masa ini mengarah kepada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangna zaman. Dalam konteks ini yaitu substansi ilmu kalam yang diajarkan di pesantren diharapkan bukan lagi teologi asyariah atau jabbariyah akan tetapi yang kondusif bagi pembangunan, yakni teologi yang lebih mendorong bagi tumbuhnya prakarsa, usaha atau etos kerja (R. Willim Liddle 1997 bdk, Mastuhu, 1994). Pengaruh kepemimpinan kyai di pondok pesantren juga diharapkan untuk fungsionalisasi (atau tepatnya refungsionalisasi) sehingga pesantren sebagai salah satu pusat terpenting bagi pembangunan kemasyarakatan secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas sebagai pemimpin lembaga pondok pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai (value oriented development) (Khaerrul Annam, 1985 M Ali Khaidar,1994: 81-84). Dalam kegiatan gagasan itulah peranan pimipinan kyai di pondok pesantren diharapkan tidak lagi sekedar memainkan ketiga fungsi tradisonal tadi, akan tetapi juga menjadi pusat penyuluh kesehatan, pusat pengembangan teknologi dan kelesatrian lingkungan dan yang lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan di berbagai sektor kemasyarakatan di sekitarnya. Untuk menyimpulkan respon pengaruh kepemimpinan kyai di pondok pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung di masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup 1) perubahan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukan subyak-subyek umum dan vokational, 2) pembauran metodologi seperti klasikal, 3) Pembauran kelembagaan seperti kepemimpinan kyai di pondok pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan, 4) pembauran fungsi dari fungsi kependidikan untuk mencakup fungi sosial ekonomi (Mastuhu, 1994). III. RENCANA DAN DESAIN PENELITIAN: PENDEKATAN ETNOGRAFI 1) Konsep Etnografi Etnografi merupakan pengamatan tentang aktivitas suatu kelompok sosial tertentu, dan diskripsi serta evaluasi ,seperti halnya pengaruh kepemimpinan kyai di pondok pesantren dapat diamati oleh etnografi.Istilah etnografi dapat dipergunakan untuk uraian yang menggambarkan metode dan teknik penelitian yang pada mulanya berasal dan dikembangkan oleh para Antropolog.
2
Kaitan yang erat etnografi dengan penelitian adalah pernyataan perlunya (field-work) atau kajian lapangan,karena itu tanpa kajian lapangan yang dapat dilakukan siapapun, maka tak mungkin ada etnografi. Untuk memahami entografi yang lebih jelas maka penulis perlu lebih jauh dahulu memahami apa yang bisa dilakukan. Berdasarkan kajian entografis untuk mendeskripsikan dan menguraikan secara empirik , pengaruh kepemimpinan Kyai di dunia pesantren dapat diungkapkan dan ditulis dalam bentuk esai,yang diterbitkan sebagai artikel atau monografi ,laporan ilmiah yang mengandung aspek kebudayaan suatu masyarakat dari masyarakat tertentu. Salah satu penelitian yang penting dalam etnografi adalah observasi partisipasi,yaitu peneliti mengamati suatu kompleksitas sosial yang peneliti itu menjadi anggotanya,atau menganggap diri sebagai bagian dari masyarakat itu, merasakan segala sesuatu adalah serperti sebagaimana dialami oleh kelompok warga tertentu. Dengan interpretasi atau tafsir dan termasuk data ,setiap etnografi itu terkait,maka yang diupayakan memiliki kerangka teoritikal (theoretical framework ) tertentu. Dengan demikian gambaran tentang orang, masyarakat dan kebudayaan yang disajikan oleh etnografi harus dipahami dari perspektif: 1) masalah kenakalan tulisan hendak ditujukan ,2) jawaban,ekplanasi,dan tafsir yang diperlukan, 3) meliputi data sebagai evedensi untuk masalah, tafsir ataukah untuk masalah dan tafsiran, dan 4) pengorganisasian unsur-unsur (masalah, tafsiran,dan evedensi)ke dalam suatu argumentasi. 2) Entografi sebagi Argumentasi Jika ditinjau dari geraknya bahwa etnografi tidak hanya melakukan anlisis tentang realitas,tetapi mempersiapkan sesuatu yang bisa mewakilinya, artinya bisa memberikan kontribusi kesimpulan bagi suatu interpretasi dari data sebagaimana yang dikumpulkan dalam studi lapangan. Pengamatan yang menghasilkan suatu deskripsi etnografi juga kemudian dapat dipilih ,menurut apa yang dilihat, Jadi pengamatan tersebut tepilih untuk lingkup masyarakat, kebudayaan atau orang yang ditampilkan oleh peneliti. Suatu argumen atau argumemi meliputi claims ,data dan warrants. Argumentasi itu terdiri dari suatu tuntunan atau kesimpulan (K) dan data atau dasar (D), mengandung jaminan yang merupakan dengan menghubungkan kedua data tersebut. Dengan demikian membaca etnografi berarti melakukan identifikasi dari tuntunan etnografi dan mengevaluasinya dengan menggunakan relevansi pada data seperti yang dikemukakan untuk mendukung etnografi tersebut. Jadi sebagai suatu argumentasi apabila etnografi itu berorientasi pada masalah? 3) Tahap Analisis dan Interpretasi Etnografi Pemahaman tentang etnografi dimulai dari suatu isue yang memerlukan interpretasi atau tafsiran, artinya menyangkut bagaimana tafsiran tentang apa yang dilihat atau didengar oleh seseorang peneliti. Etnografi itu memperlihatkan interpretasi beberapa aspek dari peneliti tentang realitas tindakan manusia, bukanlah semata-mata mengemukakan diskripsi belaka, karena diskripsi dan interpretasi itu adalah berbeda. Jika membaca dan melakukan analisis dan jenis tuntunan serta jenis data apakah dalam suatu etnografi atau sejauh manakah yang dikemukakan oleh bahan analisis akan merupakan merupakan tugas utama dalam membaca wacana suatu etnografi. Ada tiga cara tentang bagaimana peneliti melakukan konseptualisasi terhadap realitas sosial, yaitu 1) membedakan tahapan analisis itu dengan mepokuskan pada modes of thought and modes of action, 2) memfokuskan kepada culture dan social culture, dan 3) perbedaan itu diungkapkan pula oleh berbagai perangkat atau istilah yang membuat kontras, termasuk metodologi kolektif dan metodologi individualisme, konsep dan tindakan, teori dan perakteknya. Cara berbeda yang digunakan dalam tahapan analisa itu sebenarnya bisa membuat keliru pembaca etnografi, karena sukar untuk menarik kesan dan penggunaan konsep yang berbeda pada tahapan analisis yang sama sehingga istilah atau konsep yang sama mungkin
3
digunakan untuk mengungkapkan tahapan analisis yang berbeda misalnya seseorang menggunakan konsep struktur untuk sistem ideal (ideational sytem) dan yang lainnya untuk suatu sistem tindakan (system of action). Dengan demikian membaca etnografi dengan kritis memerlukan perhatian pada konsep-konsep yang digunakan dan referensinya. Peneliti yang mengambil cara pemikiran pada teori atau kebudayaan sebagai fokus analisis dan deskripsinya itu mengemukakan suatu system ide atau gagasan yang memadu tindakan-tindakan individu dan mempersiapkannya sebagai tolok ukur penafsiran atau pemberian makna pada tingkah lakunya sendiri. Peneliti yang menggunakan cara tindakan (modes of action) atau proses, maka dari fokus tadinya itu mengungkapkan tingkahlakunya dari para individu, menafsirkan tingkah laku seperti itu dengan referensi dan ide yang terkait dengan individu juga faktor lainnya seperti lingkungan terhadap tingkah laku. Etnografi dengan cara pemikiran itu memfokuskan perhatiannya pada dua aspek, yaitu : Pertama cara bagaimana warga masyarakat itu melakukan klasifikasi atau konseptualisasi dunianya, Kedua, menunjukan tentang cara bagaimana orang seharusnya atau diharapkan bertindak ekspetasi itu ialah aturan normatif atau norma. Maka perbedaan antara katagori budaya dengan norma adalah seperti halnya gambaran kontras antara ide-ide yang menghasilkan realitas dengan ide-ide yang memberi perintah atau kecenderungan tindakan. 4. Dimensi Tuntutan dan Perolehan Data Tuntutan (claims) yang dibuat dalam etnografi dapat dievaluasi dalam tiga cara, dan dua cara adalah menyangkut perbandingan dengan bahan diluar atau berbeda dalam batas perhitungan spesifik etnografi yang dipersoalkan: 1) Tuntutan atau kehendak suatu etnografi dapat dibandingkan dengan kehendak dari masyarakat lainnya yang serupa secara geografis kebudayaan atau organisasi mempersiapkan kerangka bagi evaluasi interpretasinya. Pembaca dapat menarik kesimpulan dari pengetahuan masyarakat lain yang terkait dan memperkirakan kemungkinan ketetapan etnografiyang dipersoalkan itu selalu harus ingat bahwasanya masyarakat yang serupa itu mungkin berubah apabila dilakukan kajian berlanjut. 2) Pendekatan untuk membandingkan suatu laporan etnografi dapat dibandingkan dengan laporan tentang masyarakat lain yang serupa menurut latar belakang geografi, kebudayaan atau organisasi. Dengan demikian dapat mempersiapkan suatu kerangkan bagi evaluasi tafsirannya. 3) Cara untuk menafsirkan suatu catatan atau laporan etnografi adalah dengan melakukan evaluasi dari tafsiran internal; yang dari persepektif, maka pembaca dapat menguji kesesuaian atara tafsiran peneliti dengan afidensi yang dikemukakan dalam laporan etnografi tersebut. Efidensi apakah yang dapat dikemukakan atau diungkapkan dalam etnografi? Untuk menjawab pertanyaan itu ada etnografi data yaitu: 1) Pertanyaan verbal dari warga masyarakat, dan 2) Tingkah laku yang dapat diamati. Kesulitan dalam interpretasi atau tafsiran timbul apabila perbedaan dalam kedua tipe efidensi itu dibaikan, atau ketika kedua tipe data yang berbeda itu diambil untuk menimbang dalam menuju pad a jenis realitas soaial yang sama 5. Pemahaman Atas Teori, Metodologi dan Proses Penelitian Dalam tradisi disiplin antropologi suatu penelitian lapangan menuntut kehadiran peneliti dilokasi kajiannya, yang mungkin kajian itu berupa suatu kelompok masyarakat kecil (terpencil) atau bagian kelompok masyarakat yang besar, dalam waktu yang relatif panjang. Kehadiran di lapangan selama penelitian ia akan bercampur dan menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat itu untuk meperoleh kesan yang sebenarnya dan mungkin mendalam dalam memperoleh data. Alasan untuk bercampur dan menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat artinya berinteraksi dengan objek kajiannya itu melakukan pengamatan langsung pada berbagai peristiwa atau bergabung dalam objek tertentu untuk mengalaminya, melakukan
4
koleksi dokumen dan benda atau melakukan berbagai obrolan (wawancara) dengan warga sebagai lapisan masyarakat. Apabila observasi itu dianggap suatu kajian lapangan seperti biasa dilakukan dalam tradi antropologi maka sebenarnya tidaklah mudah metoda dan teknik yang diajarkan dikelas dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini disebabkan, 1) Observasi partisipasi merupakan gabungan dari beberapa metode dan teknik penelitian; 2) Observasi partisipasi, dilakukan akan tergantung oleh bagaimana msyarakat atau kelompok masyarakat itu berlaku sebagai subjek kajian, dan 3) Gerak yang luas ataupun sempit akan tergantung oleh lingkup masalah yang menjadi sasaran kajian. Ketiga hal itu dianggap kendala atau syarat dalam melaksanakan gerak observasi partisipasi, walapun mungkin masih perlu dipertimbangkan secara baik atau bijak, mengingat peneliti adalah instrumen atau alat penelitian utama. Dengan demikian dapat diperhitungkan akan derajat keberhasilan observasi partisipasi itu oleh seni penelitian lapangan, yaitu kemahiran yang tinggi dalam studi lapangan dan ketajaman membuat deskripsi serta analisis sebagai binaan dari keseluruhan pengetahuan akademik dan pengalaman hidup peneliti. Artinya seorang peneliti mencapai keadaan seperti itu apabila memiliki kemampuan intelektual untuk melakukan abstraksi dari empirik dan konseptualisasinya. Observasi partisipasi berupaya untuk menjawab misteri manusia sebagai metode yang memiliki teknik-teknik tertentu dalam memahami organisasi sosial serta berinteraksi dengan subjek yang diamati di lapangan. 6. Langkah Penelitian Lapangan dan Observasi Dalam Etnografi Segala upaya yang dilakukan untuk mencari dan memahami sejumlah informasi dalam pengumpulan data melalui penelitian lapangan tidak selalu menggunakan satu teknik saja. Informasi yang hendak dicari juga beragam banyak, khusus atau kadangkala harus dipilih lingkup penelitiannya. Metode lapangan (field method) dalam tiga katagori yaitu, observasi partisipasi, wawancara informasi, anumerasi dan sampel. Peneliti atau field worker langsung mengamati dalam hubungan-hubungan sosial yang diakibatkan oleh kegiatan itu. Ia mungkin aktif, atau sebaliknya dalam berbagai peristiwa atau melakukan wawancara dalam proses observasi itu. Informan adalah seseorang yang memberikan informasi lebih banyak tentang orang lain dan hal yang berkaitan dengannya dari pada tentang dirinya. Wawancara selama runtutan peristiwa itu adalah bagian dari metode observasi partisipasi. Anumerasi dan sampel dilakukan melalui survey dan observasi langsung yang dapat dihitung karena dalam kegiatan seperti ini kurang dilakukan partisipasi. Dengan metode observasi partisipasi peneliti itu aktif bercampur dengan masyarakat lain yang asing baginya, kajian tentang kelompok masyarakat sendiri tampaknya keterasingan tak akan berlaku. Kelemahan masih bisa timbul karena peneliti menganggap semua hal biasa saja, sehingga terlewat dari perhatian peneliti atau terlalu subjektif. 7. Pengolahan dan Analisa Data Konsep Kualitatif Penelitian menurut pendekatan kualitatip tidak mementingkan walaupun bisa saja perhitungan dengan angka sifat yang kualitatif tak bermakna mutlak bahan penelitian tanpa memperhatikan perhitungan atau deskripsi semata-mata adalah tidak ilmiah. Dalam hal ini penulis dapat memahami tidak perlu pendekatan kualitatif bertentangan dengan pendekatan kuantitatif, karena keduanya adalah sama-sama pendekatan penelitian untuk memahami hakekat kehidupan manusia, dan kehidupan dapat dilihat sebagai proses, yang prosesnya dapat dilihat dengan cara tersendiri tetapi tetap dalam lingkup keseluruhan. Etnografi adalah sebutan lain untuk pendekatan kualitatif tidaklah hanya semata-mata deskriptif anggapan bahwa etnografi itu bersifat deskriptif belaka, memang bukanlah hal yang baru. Kini etnografi tidak lagi merupakan upaya eksplanasi deskriptif tentang kelompok masyarakat lain, tetapi juga tentang kelompok masyarakatnya sendiri. Kajian menurut pendekatan kualitatif memberikan peluang besar bagi ilmuan dalam mencari dan membentuk jati diri suatu masyarakat, karena pola pikir, tindakan, atau tingkah laku sebagai pencurahan
5
jati diri masyarakat tersebut tidak dikuantifikasikan guna menarik kesimpulan yang naif . Apabila demikian jelaslah bahwa dalam lingkup harga diri sebagai insan yang merdeka, kualitas kehidupan adalah nilai yang dituju oleh seluruh aktifitas kehidupan ini. Penelitian yang kualitatif berakar dari data dan teori berkaitan dengan pendekatan tersebut diartikan sebagai kaidah dan aturan untuk menjelaskan proposisi atau perangkat proposisi yang dapat diformulasikan secara deskriptif atau secara proporsional. Dua kepentingan akan terpenuhi yaitu teori subtantif yang disusun sebagai keperluan empirik dan teori formal bagi keperluan pengembangan. Unsur-unsur berkaitan satu sama lain dalam melakukan fungsi menurut pola kebudayaan dari msyarakat yang diteliti, karena itu pendekatan emperik dianggap penting dan tak perlu ditarik suatu generalisasi sebelum keseluruhan analisis itu selesai. Atas asumsi bahwasanya tingkah laku yang terpolakan itu adalah menurut runtutan tindakan warga masyarakat yang menjadi objek kajian, maka gaya analisis struktural memberikan keleluasaan uraian dari kajian empirik. Istilah observasi partisipasi (participan observation) mempunyai arti lebih luas dari pada hanya melakukan observasi secara partisipasi, yaitu kegiatan penelitian yang berarti field work, penelitian lapangan, studi lapangan, kerja lapangan atau sebutan lainnya. Observasi partisipasi dianggap bermanfaat bagi semu peneliti yang memerlukan metode pengamatan tangguh di dasarkan pada subyek kajian sebagai sumber utama dalam memperoleh informasi yang akurat. Ada dua tujuan penelitian penelitian observasi partisipasi dalam mengamati situasi sosial yaitu menetapkan diri dalam aktifitas sesuai dengan situasi yang berlangsung dan mengamati aktivitas dari orang-orang atau aspek pisikal situasi tersebut. Dalam situasi sosial itu hanya dengan satu tujuan ialah berada dalam aktivitas yang dianggap tepat, diluar dari itu tidaklah melakukan kegiatan apa-apa atau harus selalu memperhatikan kehadiran dan apa yang dilakukan para pelaku. Dengan demikian terus selektif terhadap informasi atau data karena sebaiknya menggunakan kemampuan perseptual dalam mengumpulkan informasi tentang situasi sosial agar tidak terjadi peluapan informasi. Metode observasi partisipasi menganggap perlu berada dalam situasi tersebut dengan cara turut serta pada setiap aktivitas para pelakunya. Jadi sekaligus merupakan insider dan outsider yang membentuk dan membina kesan tertentu baginya. Derajat Keterlibatan dalam aktivitas sosial subyek kajian berkaitan dengan tipe partisipasi atau peluang memasuki proses itu, keadaan itu akan tergantung dari situasi sosial bagaimana yang memperkenankan orang lain memasukinya ke dalam lingkup peluang tersebut.
6