E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
Desain Aksesibilitas Penyandang Tuna Daksa dan Tuna Netra di Kawasan Wisata Hutan Bakau Denpasar Selatan I MADE AGUS DHARMADIATMIKA I GUSTI ALIT GUNADI NANIEK KOHDRATA *) Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar 80362 Bali *) E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Accessibility Design for Handicapped in Mangrove Reserve Recreation Area in Denpasar The research on designing accessibility for handicapped people in an outdoor recreation facility, specifically in mangrove reserve area, was done due to the authors concern in the lack of handicapped friendly public facilities in Indonesia. The choice on a natural setting site of mangrove reserve area is based on two reasons. First is to prove that design and creativity are able to create an accessible outdoor recreation facility for handicapped users. Second, improvements on handicapped facilities can be done without compromising the nature. The handicapped users access to recreation facilities are designed to give the maximum opportunities for users to interact with nature and receive information as well. Some facilities design may require assistance from others in order to make sure safety for handicapped users. Nonetheless, this research has offered ideas and alternatives of outdoor recreation facilities design for handicapped. Keywords: handicapped facilities, design for handicapped
1.
Pendahuluan
Pulau Bali memiliki hutan bakau/ mangrove hingga saat ini seluas 4.218,61 Ha. Hutan bakau tersebut tersebar di wilayah Nusa Lembongan seluas 202,0 Ha, Taman Hutan Raya Ngurah Rai seluas 1.373,50 Ha, dan yang termasuk daerah pesisir Denpasar Selatan dan Pulau Serangan Seluas 746,50 Ha (Sumber Dinas Kehutanan Provinsi Bali, 2008). Keberadaan hutan bakau di Denpasar Selatan sangat diperlukan sebagai pendukung fungsi keseimbangan ekosistem di daerah pantai. selain itu, kawasan hutan bakau di Denpasar Selatan sekarang telah difungsikan sebagai kawasan obyek wisata. Kegiatan wisata hutan bakau merupakan suatu bentuk kegiatan rekreasi dan wisata, dengan melakukan perjalanan mengelilingi area hutan bakau serta menikmati segala keunikan yang terdapat di dalam hutan bakau tersebut (Ambara, 2009).
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
24
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
Kegiatan wisata hutan bakau mampu memberikan pengalaman suasana dalam hutan bakau serta menikmati sekaligus mempelajari keragaman habitat yang ada dalam kawasan tersebut. Kegiatan berwisata alam seperti wisata di kawasan wisata hutan bakau di Denpasar Selatan (KWHB) hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki kesempurnaan fisik karena belum tersedianya fasilitas bagi penyandang cacat atau mereka yang memiliki keterbatasan secara fisik. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1991 penyandang cacat fisik di klasifikasikan menjadi tiga yaitu tuna netra, tuna rungu, dan tuna daksa. Kegiatan berwisata alam sangat penting dilakukan bagi penyandang cacat karena mereka dapat mengembalikan kondisi jasmani, rohani, mendapatkan, hiburan, pengalaman dan lain sebagainya melalui berinteraksi langsung dengan alam. Secara tidak langsung aktivitas tersebut akan membantu memperbaiki kualitas kesehatan bagi para penyandang cacat fisik melalui kondisi alam bakau yang asri. Keterbatasan penggunaan obyek dan fasilitas wisata bagi penyandang tuna daksa dan tuna netra di KWHB dikarenakan tidak adanya desain aksesibilitas yang mendukung untuk menikmati kawasan tersebut. Selama ini kebijakan-kebijakan yang menyangkut aksesibilitas penyandang cacat (disabled persons) dalam beraktivitas masih sebatas wacana. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, pasal 1 (ayat 1) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998, khususnya pasal 1 (ayat 1) dengan tegas dinyatakan bahwa sebagaimana warga masyarakat lainnya, penyandang cacat berhak mempunyai kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban dalam berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupannya. Implementasi dilapang menunjukkan bahwa, belum banyak yang menyadari betapa pentingnya menyediakan prasarana dan sarana aksesibilitas standar bagi penyandang cacat. Melihat dari tingkat kecacatan, tuna daksa merupakan seseorang dengan keterbatasan dalam alat penggerak dan tuna netra merupakan seseorang dengan keterbatasan dalam melihat untuk melakukan aktivitas tidak dapat dilakukan dengan mudah sehingga memerlukan alat bantu khusus. Keterbatasan dalam beraksesibilitas bagi penyandang tuna daksa dan tuna netra merupakan hal yang mendasar bagi penyandang cacat ini untuk melakukan segala bentuk aktivitas khususnya pada kawasan wisata. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk memaksimalkan aktivitas ruang luar kawasan wisata hutam bakau yang sesuai bagi penyandang tuna daksa dan tuna netra. Aksesibilitas didesain untuk memenuhi dan memberikan aspek kemudahan, aman dan nyaman bagi penyandang tuna daksa dan tuna netra tanpa merusak area hutan bakau.
25
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
2.
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
Metodologi
Penelitian dilakukan di Kawasan Wisata Hutan Bakau, Denpasar Selatan. Inventarisasi data dilakukan pada bulan Mei, analisa dan sintesa dilakukan pada bulan Juni-September 2010. Penyusunan laporan selesai dilakukan pada bulan September 2010. Pemilihan lokasi berdasarkan atas pertimbangan KWHB merupakan salah satu wisata alam yang mampu memberikan penyegaran jasmani dan rohani di perkotaan. Keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat perkotaan tanpa terkecuali penyandang tuna daksa dan tuna netra. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode perancangan kawasan rekreasi Gold (1980). Metode penelitian diawali dengan tahapan inventarisasi data, dilanjutkan analisis, sintesis dan konsep sehingga menghasilkan rencana induk (master plan). Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil observasi dan wawancara di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh berdasarkan studi kepustakaan yang meliputi buku-buku teks, jurnal ilmiah, majalah dan media elektronik. Hasil pengukuran di tapak untuk sarana dan prasarana wisata serta aksesibilitas penyandang tuna daksa dan tuna netra akan dikaji kesesuaiannya dengan standar pada Time Saver Standards for Landscape Architecture dan data standar ergonomi bagi penyandang cacat sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk menghasilkan desain yang fungsional bagi pengguna. Parameter yang diterapkan dalam desain aksesibilitas bagi penyandang tuna daksa dan tuna netra dapat dilihat pada Gambar 1. UUD dan Peraturan Pemerintah Penyandang tuna daksa dan tuna netra
Standar desain
Prinsip kawasan konservasi
DESAIN
Standar desain
Gambar 1. Skema Parameter Desain Aksesibilitas bagi Tuna Daksa dan Tuna Netra Batasan penelitian mencakup gambar desain aksesibilitas tapak, desain sirkulasi, dan desain sarana dan fasilitas pendukung aksesibilitas dan sirkulasi. Penerapan desain aksesibilitas tuna daksa dan tuna netra tidak akan mengubah atau bentuk lanskap kawasan wisata hutan bakau yang telah ada. 3.
Hasil dan Pembahasan
Prapat Benoa atau yang dikenal dengan Hutan Bakau Suwung yang memiliki luasan hutan bakau sekitar 1.373,5 Ha. Kata prapat diambil dari jenis pohon yang mendominasi yaitu jenis prapat (Sonneratia sp). Hutan bakau ini terletak di
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
26
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
sepanjang perairan Teluk Benoa yang merupakan jalur pengaman (Shelter Belt) bagi pelestarian lingkungan biofisik termasuk pemukiman di kota Denpasar dan sekitarnya. Kawasan hutan bakau Prapat Benoa sebelum tahun 1973 merupakan daerah yang kaya dengan tumbuhan bakau, namun akibat penebangan secara liar menyebabkan kerusakan lahan yang cukup parah di sebagian kawasan. Melalui intruksi Gubernur Nomor 12 Tahun 1990 tentang pelaksanaan kegiatan reboisasi pada area pertambakan yang dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 1990 sampai dengan 1993. Upaya pelaksanaan reboisasi yang dilakukan telah merubah kawasan hutan Prapat Benoa berubah fungsi menjadi kawasan pelestarian alam berupa Taman Wisata Alam atau yang sekarang dikenal sebagai Taman Hutan Raya Ngurah Rai (TAHURA) sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 885/Kpts-II/1992 pada tanggal 8 September 1992. Kawasan TAHURA Ngurah Rai yang dikelola oleh MIC, dengan seijin Dinas Kehutan Provinsi Bali, menyediakan fasilitas ekowisata di kawasan hutan bakau. Kegiatan wisata hutan bakau bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat khususnya masyarakat Kota Denpasar agar dapat menyadari pentingnya menjaga kelangsungan hutan bakau. Kawasan Wisata Hutan Bakau (KWHB) secara geografis terletak di antara 115o11 – 115o14 Bujur Timur (BT) dan 08o42 – 08o47 Lintang Selatan (LS) (Kitamura et al., 1997). Secara administratif KWHB berada di dua wilayah otonom yaitu wilayah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, dengan batasan-batasan Sebelah Utara berbatasan dengan jalan by Pass Ngurah Rai, lahan bekas tambak, dan pertokoan, Sebelah Timur berbatasan dengan Kawasan hutan bakau, sebelah selatan berbatasan dengan selat benoa, dan sebelah Barat berbatasan dengan Estuari DAM. KWHB merupakan hamparan lahan basah (wetland) (Novitriyanti, 2005). Kawasan Wisata Hutan Bakau merupakan muara dari dua aliran sungai yang akhirnya bercampur dengan perairan Teluk Benoa dengan jenis air payau dan air asin. Dua sungai tersebut adalah Sungai Badung dan Sungai Suung Kauh. Kondisi iklim KWHB memiliki suhu relatif sedang dengan rata-rata suhu udara harian berkisar antara 26oC sampai dengan 28,1oC. Suhu udara maksimum di kawasan tersebut 31,8oC. Suhu udara minimum 24,9oC (Novitriyanti, 2005). Pola curah hujan di KWHB bersifat unimodal yaitu satu kali puncak curah hujan yang terjadi antara bulan Desember sampai dengan Februari dan satu kali titik terendah yaitu antara Juni sampai dengan Agustus. Mangrove Information Center memperkirakan terdapat 18 jenis tanaman bakau sejati dengan 15 tanaman asosiasi. Kawasan Wisata Hutan Bakau memiliki zonasi jenis mangrove sebagai berikut : Backward margin of mangrove (zona belakang) merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan daratan. Pada zona belakang sangat jarang dipengaruhi genangan air pasang, Central zona mangrove (zona tengah) merupakan zona yang memiliki keragaman jenis yang kompleks dari vegetasi dari marga Rhizophora, Ceriops sampai dengan Bruguiera tumbuh mendominasi serta mampu untuk membentuk komunitas atau tegakan murni. Exposed mangrove (zona depan) merupakan zona yang terletak paling depan,
27
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
berhadapan langsung dengan laut dan tergenangi oleh air pasang medium. Ekosistem mangrove merupakan habitat dari fauna, baik fauna khas mangrove maupun yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai jenis fauna hidup di daerah hutan mangrove diantaranya fauna yang hidup di air seperti kepiting (Sesarma bidens), mujair (Oreochromis mossambicus), siput (Littorina scraba), dan udang-udangan (Gonodactylus viridis). Kawasan mangrove memiliki kurang lebih 75 jenis burung. jenis burung yang mendominasi diantaranya cipot kacat (Aegithia tiphia), remutuk laut (Gerygone sulphurea), perancak sayap garis (Prinia familialis) (Erilfyant, 2008). Pengguna tapak pada KWHB adalah wisatawan domestik maupun mancanegara, pelajar, mahasiswa, peneliti dan pegawai. Pengguna atau pengunjung KWHB merupakan masyarakat umum yang ingin melakukan wisata, pendidikan, dan penelitian. Kegiatan-kegiatan dan fasilitas-fasilitas yang disediakan di KWHB pada saat dilakukannya penelitian hanya sesuai dipergunakan oleh orang yang memiliki kesempurnaan fisik. Bagi penyandang tuna daksa dan tuna netra dengan keterbatasan yang dimilikinya akan terhalang dalam pemanfaatan fasilitas dan melakukan kegiatan di KWHB. Menunjang aktivitas tuna daksa dan tuna netra dapat dilakuakan dengan menyediakan ramp, handrail, tekstur, bunyi, aroma dan mengacu berdasarkan pada kemampuan daya jangkau yang dimiliki. Kemampuan daya jangkau penyandang tuna daksa dengan alat bantu tongkat yaitu ke samping min 95 cm dan ke depan min 120 cm, kemampuan daya jangkau penyandang tuna daksa dengan alat bantu kursi roda yaitu ke samping min 160 cm dan ke depan maks 130 cm, dan kemampuan manuver berbalik sebesar 360o adalah minimal 152,5 cm dan jarak yang dibutuhkan untuk akses berbentuk T min sebesar 91,5 cm. Kemampuan daya jangkau tuna netra ke samping membutuhkan jarak minimal 60 cm dengan tinggi pembatas minimal sebesar 145 cm. Radius gerak penyandang tuna netra dengan menggunakan alat bantu tongkat yaitu minimal 90 cm untuk jangkauan samping dan 95 cm untuk daya jangkauan ke depan. Jalur aksesibilitas di KWHB dapat dibagi dalam tiga bagian utama, yaitu akses keluar masuk KWHB, akses obyek-obyek wisata, dan akses peralihan outdoor – indoor. Akses keluar masuk KWHB berupa jalan raya yang menghubungkan KWHB dengan jalan By Pass Ngurah Rai. Akses memiliki lebar sebesar 5 meter dengan dilengkapi oleh pemberhentian sementara dengan panjang 12 meter dan lebar jalan 8 meter. Akses memiliki keunikan tersendiri dimana pengunjung dapat menikmati keindahan jenis bakau dan sesekali terlihat biawak yang melintas. Penulis pada saat melakukan analisa terdapat beberapa kendala pada akses keluar masuk KWHB antara lain belum adanya ketersediaan akses yang aman bagi pengguna, Keberadaan pemberhentian kendaraan di areal masuk kawasan yang di buat dari bahan aspal dirasakan belum mampu mengatasi benturan sirkulasi kendaraan akibat sempitnya jalan, areal masuk kawasan adanya aktivitas pergerakan atau sirkulasi fauna bakau sehingga dapat membahayakan pengguna dan kelestarian fauna bakau, dan aksesibilitas jalan aspal memiliki ketinggian satu meter dari tanah bakau sehingga dapat membahayakan sirkulasi kendaraan dan manusia yang melintas.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
28
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
Alternatif tindakan yang dapat dilakukan antara lain diupayakan menyediakan cermin tikungan, menyediakan papan himbauan yang berisikan kewajiban kendaraan bermotor untuk membunyikan klakson, menyediakan penghambat jalan berupa polisi tidur, menyediakan papan peringatan dan informasi di areal masuk kawasan, dan penambahan komponen pembatas jalan secara melintang menyambungkan antar tiang pembatas. Akses obyek-obyek wisata berupa jembatan kayu yang dibuat untuk memasuki area hutan mangrove, jembatan menghubungkan fasilitas ekowisata seperti tempat istirahat, gladak terapung, dan menara pengamatan. Jembatan kayu terbuat dari bahan kayu kamper (Camphora cinnamomum) dan kayu ulin hitam (Eusidexylon zwageri) dengan panjang jembatan 1.856 meter, lebar 2 meter, dan lebar jembatan penelitian 1.5 meter. Keberadaan jembatan kayu bertujuan untuk mengarahkan pengunjung ketempat-tempat yang memiliki obyek geologis, tumbuhan dan binatang. Arah sirkulasi pada jembatan kayu sengaja dibuat dalam satu arah dengan area masuk dan keluar pada tempat yang sama. Keberadaan jembatan kayu dipergunakan sebagai tempat aktivitas berjalan santai sambil menikmati keindahan keanekaragaman tanaman bakau dengan morfologi tanaman bakau yang unik. Penulis pada saat melakukan analisa terdapat beberapa kendala antara lain secara umum belum ada akses yang dapat dilalui oleh tuna daksa dan tuna netra, secara struktur jembatan kayu banyak mengalami kerusakan seperti kayu yang patah, bilah yang lepas, pola pemasangan bilah yang tidak teratur, kemiringan jembatan yang tidak teratur, pola berliku dan menyudut mempersulit pergerakan kursi roda, belum ada pembatas pinggiran jembatan, batang dan tajuk tanaman menghalangi akses, dan terdapat satu ruas jalur peneliti yang tidak memungkinkan untuk dilalui oleh pengguna kursi roda pada saat yang bersamaan. Alternatif tindakan yang dapat dilakukan antara lain kerusakan pada jembatan kayu dapat dilakukan dengan perbaikan struktur dengan mengganti material baru, menyediakan ruang gerak yang cukup pada areal jembatan yang menyudut bagi penyandang tuna daksa, Penyediaan pinggiran jembatan dengan handrail bertekstur (Gambar 2), mengupayakan pemangkasan secukupnya tanpa merusak ekosistem bakau, dan penambahan lebar jembatan kayu maks sebesar 50 cm sepanjang ruas sirkulasi dua arah.
29
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
Gambar 2. Desain Handrail Akses peralihan outdoor-indoor menghubungkan ruang luar dengan fasilitasfasilitas dalam ruang yang terdapat di MIC. Beberapa akses telah dilengkapi dengan ramp sehingga dapat dilalui dengan kursi roda. Fasilitas-fasilitas yang disediakan berupa ruang pameran (exhibition room), ruang audio visual, akuarium, ruang seminar, dan perpustakaan yang bertujuan memberikan informasi kepada pengunjung mengenai ekosistem hutan bakau lebih dalam. Penulis pada saat melakukan analisa terdapat beberapa kendala antara lain kemiringan ramp pada bangunan MIC sebesar 10% yang melebihi standar kemanan dan kenyamanan yaitu sebesar 8,33%, belum ada penyediaan ramp pada bagunan yang menghubungkan fasilitas perpustakaan, dan belum ada penyediaan akses bagi tuna netra. Alternatif tindakan yang dapat dilakukan antara lain penyediaan akses dapat berupa ubin bertektur bagi penyandang tuna netra, kemiringan ramp tidak lebih dari 8,33% jika tidak memungkinkan harus dilengkapi dengan handrail, dan penyediaan akses ramp dan ubin bertekstur (Gambar 3) menuju fasilitas perpustakaan.
Gambar 3. Desain Tekstur Lantai
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
30
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
Kawasan wisata hutan bakau sebagai kawasan wisata alam dilengkapi dengan fasilitas pendukung wisata yang akan mempengaruhi keberadaan akses dan sirkulasi pengguna antara lain area parkir, warung, toilet, tempat sampah, dan papan informasi. Keberadaan fasilitas pendukung dimaksudkan mempermudah dan meningkatkan kenyamanan pengunjung yang datang di KWHB. Dimensi fasilitas didesain untuk dapat sekaligus mengakomodasi pengguna yang memiliki keterbatasan Obyek-obyek wisata KWHB seperti tempat istirahat, gladak terapung, menara pengamat, dan kolam sentuh belum menyediakan akses yang dapat dimanfaatkan oleh tuna daksa dan tuna netra maka dari itu, diperlukannya penyediaan akses berupa handrail bertekstur, ramp, papan informasi, tempat duduk, tempat sampah sehingga seluruh obyek wisata dapat sepenuhnya bermanfaat bagi tuna daksa dan tuna netra. Keanekaragaman flora dan fauna KWHB merupakan potensi yang dapat dijadikan sebuah wisata edukasi dengan melihat karakteristik anatomi flora fauna yang ada. Kegiatan wisata menikmati keragaman flora fauna KWHB belum mampu dirasakan oleh tuna netra akibat keterbatasan yang dimiliki. Mengakomodasi kegiatan wisata dapat dilakukan dengan menghadirkan replika tanaman bakau pada setiap zonasi beserta fauna bakau yang dominan ada. Desain dihadirkan didekat jembatan kayu sehingga dengan mudah dijangkau oleh tuna netra. Informasi penanda adanya replika dapat melalui tektur jembatan kayu. Informasi mengenai jenis tanaman dapat dilakukan melalui papan informasi dengan tulisan braile (Gambar 4). Potensi keanekaragaman flora dan fauna dapat menyediakan wisata bird watching dengan memaksimalkan fasilitas istirahat Spotted Dove Hut yang dilengkapi sarana teropong, audio dan replika fauna (Gambar 5). Wisata memancing dengan menyediakan desain pancing khusus bagi tuna netra yang bersumber pada getaran dan penyediaan lokasi memancing disekitar menara pengamat Little Engret Tower. Memfasilitasi wisata perahu dengan perbaikan gladak terapung yang menyediakan akses dua jalur dengan anak tangga dengan ramp maksimal 8,33%.
Gambar 4. Papan Informasi
31
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
Gambar 5. Fasilitas Teropong di Pondok Observasi Konsep dasar desain aksesibilitas bagi tuna daksa dan tuna netra adalah dengan mengakomodasi (4K) keamanan, kenyamanan, kesederhanaan dan kegunaan segingga aktivitas di KWHB dapat berjalan dengan baik. Konsep keamanan mengandung pengertian desain harus dapat menghindarkan tuna daksa dan tuna netra dari hal-hal yang membahayakan, konsep kenyamanan dapat diartikan desain memiliki ukuran, bentuk dan dimensi yang memberikan tuna daksa dan tuna netra kenyamanan beraktivitas, konsep kesederhanaan adalah konsep desain yang memberikan kemudahan dalam menangkap dan menginterprestasikan khususnya bagi tuna netra dalam beraktivitas pada tapak dan konsep kegunaan adalah desain harus dapat dipergunakan oleh pengguna pada tapak termasuk tuna daksa dan tuna netra. 4.
Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fasilitas publik ruang luar (outdoor) yang dapat diakses oleh penyandang tuna daksa dan tuna netra masih minim. Padahal modifikasi sarana prasarana dapat dilakukan secara sederhana dengan pendekatan kreativitas desain. Pembagian area aksesibilitas akan membantu dalam merancang bentuk, keamanan dan kenyamanan bagi pengguna. Pendekatan desain yang dapat dilakukan pada obyek-obyek wisata ruang luar diantaranya adalah dengan penggunaan handrail yang dapat diaplikasikan dengan desain pegangan bertekstur dan non-tekstur. Akses peralihan outdoor-indoor ditandai dengan ubin bertekstur antar fasilitas. Desain aksesibilitas tuna daksa dan tuna netra di KWHB mengutamakan kelestarian ekosistem hutan bakau sehingga fasilitas yang telah ada maupun yang akan dibangun harus mengupayakan minimal gangguan dan kerusakan pada ekosistem hutan bakau. Faktor pembatas tersebut menyebabkan tidak semua obyek di KWHB dapat diakses oleh penyandang tuna daksa dan tuna netra
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT
32
E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika
ISSN: 2301-6515
Vol. 1, No. 1, Juli 2012
karena pertimbangan faktor keamanan. Namun demikian masih banyak aktivitas dan fasilitas ruang luar yang dapat diakses dengan desain khusus bagi penyandang cacat sehingga mereka dapat berinteraksi langsung dengan lanskap alam hutan bakau. Desain fasilitas obyek wisata dapat dilengkapi dengan handrail bertekstur, papan informasi dengan tulisan braile, tempat duduk, dan tempat sampah sehingga aktivitas wisata dapat berjalan dengan baik. khususnya fasilitas istirahat spotted dove hut dapat dilengkapi dengan teropong dan audio untuk tuna netra. Daftar Pustaka Ambara, I G.A.G. 2009. Wisata Hutan Bakau di Denpasar Selatan. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Udayana. Bali. Dinas Kehutanan Provinsi Bali. 2008. Hutan Dan Kehutanan Provinsi Bali. Edisi Ketiga. Denpasar. 45 Hal. Gold, S.M. 1980. Recreation Planning and Design. Mc Graw-Hill Book Company. 1300 p. Kitamura, S, C. Anwar, A. Chanlago, S. Hayashi, A. Muthallb and R. Sudana. 1997. Distribution of Mangrove Species and Availability of Seed Collecting Forests on the Islands of Bali and Lombok. Takaria, C.N. Studi Program Interpretasi Di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Sebagai Obyek Dan Daya Tarik Ekowisata. Skripsi. Jurusan Manajemen Kepariwisataan. Bali Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Tentang Penyandang Cacat. 15 hal.
33
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT