P U T U S A N Perkara Nomor 009/PUU-I/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan
(Lembaran Negara Tahun 1999 No. 60)
Daerah
yang selanjutnya
disebut UU Nomor 22 Tahun 1999 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945 yang diajukan oleh :
ASSOSIASI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH INDONESIA (ASPPAT INDONESIA), yang berdomisili di Jl. Panglima Polim XI No. 2, Kebayoran, Baru, Jakarta, yang dalam hal ini diwakili oleh Kuasanya Prof. Boedi Harsono, S.H dan DR. Ir. Soedjarwo Soeromihardjo berdasarkan Surat Kuasa Khusus No.
02/DPN
Nopember
ASPPAT-IND/XI/2003
2003,
PARA PEMOHON ;
selanjutnya
tanggal
disebut
06
sebagai
Telah membaca surat permohonan Para Pemohon
Telah mendengar keterangan Para Pemohon.
Telah mendengar keterangan dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia baik yang diajukan secara lisan didalam persidangan maupun secara tertulis yang disampaikan melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I.
Telah memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Para Pemohon.
DUDUK PERKARA Menimbang, bahwa Para Pemohon dalam permohonannya bertanggal 28 Oktober 2003 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2003 dan telah diregistrasi pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2003 Jam 12.30 WIB dengan No.009/PUUI/2003 yang
telah diperbaiki dan
telah disampaikan melalui
kepaniteraan Mahkamah Kontitusi pada hari Rabu tanggal 12 Nopember
2003
jam
15.10
WIB,
telah
mengajukan
permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-undang Dasar 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Pada tanggal 7 Mei 1999 telah diundangkan UU Nomor 22Tahun 1999, yang menurut ketentuan pasal 132 ayat (2) Undang-Undang tersebut, pelaksanaannya secara efektif dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 2 tahun sejak 2
ditetapkannya. Pada kenyataannya pelaksanaannya baru dimulai tanggal 01 Januari 2001, berarti setelah perubahan UUD RI 1945 tanggal 19 Oktober 1999, sesuai ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 dan
Penjelasannya. 2. Dalam Pasal 11 ayat (2) UU Nomor tersebut,
kewenangan
bidang
22 Tahun 1999
pertanahan
ditetapkan
sebagai kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah kota, sebagai daerah otonom, dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 3. Sepanjang mengenai bidang pertanahan, pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut
akan menimbulkan ketidakpastian mengenai a)
status hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan b) kelanjutan eksistensinya sebagai pejabat tingkat nasional, bahkan c) bagi kelanjutan eksistensi hukum tanah nasional sendiri, yang merupakan dasar hukum pelaksanaan fungsi dan tugas PPAT. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999, sepanjang mengenai bidang pertanahan, merugikan hak konstitusional para Pejabat Pembuat Akta tanah, baik sebagai pejabat umum, maupun sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai yang dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003. 4. Penyebab utama ketidakpastian tersebut adalah ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 mengenai penyerahan
kewenangan
bidang
pertanahan
dalam
otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang bertentangan dengan jiwa, semangat dan ketentuan UUD 3
RI 1945, khususnya sebagai yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3).
PERSYARATAN
PENGAJUAN
PERMOHONAN
PARA
PEMOHON. Persyaratan
pengajuan
Undang-Undang
terhadap
permohonan Undang
pengujian
Undang
Dasar,
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 50 dan 51 UU Nomor 24 Tahun 2003, terpenuhi dalam pernohonan Para Pemohon. 1. Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 Pasal
50
Undang-undang
No.24
Tahun
2003
membuka kemungkinan mengajukan permohonan menguji suatu Undang-Undang terhadap UUD RI 1945, jika Undang-Undang yang bersangkutan diundangkan setelah perubahan UUD RI 1945, yaitu tanggal 19 Oktober 1999. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, UU Nomor 22 Tahun 1999 baru mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999. Selain
itu
kewenangan
persyaratan di
bidang
bagi
terjadinya
pertanahan,
penyerahan
sebagai
yang
ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999, kenyataannya hingga kini tidak dipenuhi, hingga kewenangan di bidang pertanahan masih tetap ada pada Pemerintah Pusat.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut menyatakan dalam Pasal 7 ayat (1), bahwa : Kewenangan Daerah 4
(Kabupaten dan Kota) mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang disebut dalam ayat (2). Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) : Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi, harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
Sepanjang
mengenai
bidang
pertanahan,
persyaratan penyerahan dan pengalihan apa yang dalam administrasi negara dikenal sebagai P3D tersebut, yang meliputi pembiayaan, personalia dan prasarana serta dokumen, kenyataannya hingga kini oleh Pemerintah tidak dilaksanakan, hingga kewenangan pemerintahan di bidang pertanahan masih tetap berada pada Pemerintah Pusat, dan dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional dan Kantor-kantornya, baik di tingkat nasional, maupun di tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota. Kenyataan tersebut adalah sebagai yang dikemukakan dalam surat Menteri Dalam Negeri, selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 23 Januari 2001 nomor 110-201-KBPN tentang Penyampaian Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2001 tanggal 17 Januari 2001, yang ditujukan kepada semua Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia.
5
Dengan demikian maka balk ditinjau dari dimulainya pelaksanaan secara efektif UU Nomor 22 Tahun 1999 sendiri, maupun kenyataan, bahwa hingga kini bidang pertanahan tidak diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota membuktikan, bahwa inti maksud persyaratan pembatasan yang diadakan oleh Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tersebut, sepanjang mengenai bidang pertanahan dalam kasus yang khusus ini telah terpenuhi, hingga permohonan Pemohon memenuhi syarat untuk
diperiksa,
disidangkan
dan
diputuskan
oIeh
Mahkamah Konstitusi.
2. Pasal 51 ayat (1) dan (3) UU No. 24/2003 PPAT adalah lembaga yang khusus diciptakan dalam rangka
penyelenggaraan
pendaftaran
tanah,
sebagai
kegiatan yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. PPAT adalah satu-satunya pejabat umum yang oleh hukum tanah nasional, khusus ditugaskan dan diberi kewenangan untuk membuat aktaakta otentik, dalam rangka kegiatan pemeliharaan data yuridis, yang membuktikan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dan pemberian hak tanggungan atas tanah. PPAT dipersiapkan melalui pendidikan khusus, yang diikuti oleh para sarjana hukum, di berbagai universitas. Diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, melalui ujian yang
diselenggarakan
secara
khusus.
Demikian
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
6
Benda
Yang
Berkaitan
Dengan
Tanah
(LNRI
42/1996,TLNRI 3632), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (LNRI 59/1997, TLNRI 3696) dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (LNRI 52/1998, TLNRI 3746). Tanah merupakan salah satu unsur yang penting bagi pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakat. Maka terganggunya tersebut,
pelaksanaan
akan
fungsi
berdampak
yang
dan
tugas
luas
PPAT
juga
bagi
masyarakat, baik di bidang, ekonomi, sosial, pemeliharaan lingkungan hidup, bahkan juga di bidang politik.
Jelas kiranya, bahwa fungsi dan tugas ikut serta mewujudkan salah satu tujuan utama dibentuknya Negara Kesatuan
Republik
pelaksanaan
Indonesia
sebagian
kegiatan
tersebut,
melalui
penyelenggaraan
pendaftaran tanah, sebagai yang dikemukakan di atas, merupakan fungsi dan tugas konstitusional bagi para Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat umum nasional. Sebagai perorangan warga negara Indonesia, keikutsertaan mereka yang menjabat PPAT dalam usaha memajukan kesejahteraan umum melalui kegiatan di bidang
pertanahan
tersebut
pun,
merupakan
hak
konstitusional mereka masing-masing. Hak konstitusional tersebut mendapat perlindungan hukum dalam UUD RI 1945, sebagai yang dinyatakan dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), yaitu : Setiap orang berhak untuk
7
memajukan dirinya, dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk
membangun
masyarakat,
bangsa
dan
negaranya. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
3. Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 Asosiasi
Pejabat
Pembuat
Akta
Akta
Tanah
Indonesia adalah badan hukum privat, yang dimaksudkan dalam Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 ayat (1). Para Pemohon, sebagai perkumpulan para Pejabat Pembuat Akta Tanah, didirikan pada tanggal 22 Juni 2002, dan dinyatakan dalam Akta Notaris tanggal 22 Juni 2002 nomor 57, didaftar dalam Register yang bersangkutan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 01 Juli 2002 di bawah nomor 47/A.NOT/2002 PN Jak.Sel. dan didaftarkan sebagai Asosiasi dalam Berita Negara Republik Indonesia nomor 7A tahun 2002 dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia tanggal 24 September 2002 nomor 77; PERTIMBANGAN DIAJUKANNYA PERMOHONAN PARA PEMOHON Selain apa yang dikemukakan di atas, permohonan Para Pemohon
tersebut didasarkan pula atas pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut :
8
I. Pertimbangan yuridis FORMIL : Persyaratan penyerahannya tidak dipenuhi. Dalam
Pasal
Kewenangan
8
ayat
pemerintahan
(1)
dipersyaratkan
yang
diserahkan
bahwa kepada
Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.Sebagaimana telah dikemukakan di atas, P3D tersebut oleh Pemerintah tidak diserahkan. Karena persyaratan bagi penyerahannya tidak dipenuhi, maka ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut tidak berlaku terhadap bidang pertanahan. MATERIL : 1. Bertentangan dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001 Dalam hubungan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) tersebut di atas, dalam Pasal 4 ditentukan, bahwa : (1)Dalam
rangka
pelaksanaan
asas
desentralisasi
dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat. (2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
masing-masing
berdiri
sendiri
dan
mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
9
tidak
Desentralisasi menurut pengertian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor IX/MPR/2001
tentang
Pembaruan
Agraria
dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam (selanjutnya disebut : TAP MPR RI IX/MPR/2001) bukan berupa penyerahan seluruh kewenangan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota sebagai yang diartikan dalam UU 27/1999, melainkan berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa yang
setingkat,
berkaitan
dengan
alokasi
dan
pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam, sebagai yang dinyatakan dalam Pasal 4 huruf l . Dengan demikian jelas pengertian desentralisasi / otonomi
dalam
UU
Nomor
22
Tahun
1999,
bertentangan dengan pengertian produk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan diterbitkan kemudian. 2. Bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 Ketentuan Pasal 11 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 1999 sepanjang mengenai bidang pertanahan, bertentangan dengan jiwa, semangat dan ketentuan UUD RI 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), yang menyatakan, bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 mendapat penjelasan otentik dalam Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA.
10
Pasal 1 UUPA antara lain menyatakan, bahwa : (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa
Indonesia
dan
merupakan
kekayaan nasional. Pasal 2 UUPA menyatakan,bahwa : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan
alam
yang
terkandung
di
dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini, memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan 11
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan
untuk
kemakmuran
mencapai
sebesar-besar
dalam
kebangsaaan,
rakyat,
arti
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia, yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerahdaerah
Swatantra
hukum
adat,
bertentangan
dan
masyarakat-masyarakat
sekedar
diperlukan
dengan
kepentingan
dan
tidak
nasional,
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Dalam Penjelasan Pasal 2 dinyatakan, bahwa : Ketentuan dalam ayat 4 adalah bersangkutan dengan asas
otonomi
dan
medebewind
dalam
perayelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada dasarnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (Pasal 33 ayat 3 Undang Undang
Dasar
1945).
Dengan
demikian
maka
pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang
tentu
kepentingan
tidak
boleh
nasional.
12
bertentangan
Wewenang
dengan
dalam bidang
agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu. . Hal itu sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 1999, bahwa Pemerintah dapat
menugaskan kepada daerah
tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan (medebewind). II. Pertimbangan filosofis, sosial dan politis praktis. 1. Kriteria unsur-unsur bagi eksistensi suatu negara adalah (1) adanya rakyat/ bangsa sebagai warga negaranya, (2) adanya suatu wilayah sebagai teritoirnya dan (3) adanya kekuasaan/pemerintah yang berdaulat. Ujud
unsur
kedua
suatu
negara,
yaitu
wilayah,
utamanya adalah tanah. Dengan demikian jelas, bahwa masalah pertanahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut sifat dan hakikatnya merupakan kewenangan
negara,
dalam
hal
ini
tugas
dan
kewenangan Pemerintah Pusat, menurut ketentuan dalam hukum positif, yaitu UUD RI 1945 dan hukum tanah nasional, yang pokok-pokok peraturan dasarnya diatur dalam UUPA. 2. Konsep negara kesatuan, meliputi kesatuan teritorial, baik darat, laut maupun udara. Dalam negara kesatuan, kesatuan teritorial itu disebut tanah air, yang harus berada dalam satu penguasaan, yaitu pada tingkatan tertinggi
berada
pada
negara
sebagai
organisasi
kekuasaan seluruh rakyat, yang dilaksanakan oleh
13
dalam hal ini Pemerintah Pusat, dan tidak dibenarkan terpecah-pecah dalam berbagai kekuasaan. Pasal 33 ayat (3) dalam UUD 1945, yang setelah mengalami
berbagai
amendemen
oleh
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, masih tetap dalam rumusan aslinya, menyatakan, bahwa : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka tidak dapat dibenarkan, apabila tanah, sebagai permukaan bumi, dikuasai sepenuhnya dalam otonomi oleh masing-masing Daerah Kabupaten dan Daerah kota, di puluhan ribu pulau besar dan kecil, yang kenyataannya sangat beragam keadaannya, demikian juga kemungkinan akan beragamnya kebijakan dan kebijaksanaan pemerntahan daerahnya serta aspirasi masyarakatnya mengenai tanah yang berada dalam penguasaannya. Hal itu akan menghambat terwujudnya kemakmuran
rakyat
secara
adil,
merata
dan
menyeluruh, sebagai yang diamanatkan oleh UUD RI 1945. 3. Alinea
ke-empat
Pembukaan
UUD
RI
1945
menyatakan, bahwa salah satu fungsi negara adalah fungsi kesejahteraan, yang ditegaskan dengan katakata
:
memajukan
merupakan
salah
kesejahteraan
umum.
Tanah
satu
utama
untuk
unsur
mensejahterakan rakyat, sehingga penguasaan bidang pertanahan oleh Pemerintah Pusat merupakan suatu
14
hal
yang
bersifat
conditio
sine
qua
non,
bagi
terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil, merata dan menyeluruh. 4. Pasal 4 TAP MPR RI IX/MPR/2001 antara lain menyatakan, bahwa desentralisasi adalah pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan
alokasi
dan
pengelolaan
sumber
daya
agraria/sumber daya alam. Otonomi bukan penyerahan kewenangan, melainkan pembagian
kewenangan.
kewenangan
bidang
Dengan
pertanahan
penyerahan
kepada
Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota oleh UU Nomor 22 Tahun 1999, dikhawatirkan akan terbuka peluang terjadinya disintegrasi. Sedangkan TAP MPR RI IX/MPR/2001 justru memerintahkan dipelihara dan dipertahankannya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (2) di bidang pertanahan, tidak akan menjamin alokasi sumber daya agraria/sumber daya alam, khususnya mengenai tanah, secara adil dan merata serta tidak pula akan menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil, merata dan menyeluruh, sebagai yang dimaksudkan oleh TAP MPR RI IX/MPR/2001, karena keanekaragaman keadaan daerah serta aspirasi masyarakatnya, demikian juga kemungkinan
keanekaragaman
kebijakan
dan
kebijaksanaan pemerintahan daerah yang bersangkutan di bidang pertanahan.
15
5. HaI-hal tersebut di atas merupakan unsur-unsur yang mendasar dan prinsipiil bagi kelangsungan hidup bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehubungan
dengan
itu,
maka
dilaksanakannya
ketentuan UU 22/1999 di bidang pertanahan, bukan hanya merugikan hak dan kewenangan PPAT, baik sebagai pejabat umum nasional, maupun sebagai perorangan warga negara Indonesia, tetapi juga berdampak
luas
pada
anggota
masyarakat
dan
kehidupan ekonomi yang menyangkut pertanahan. Demikan itu disebabkan oleh karena pelaksanaan fungsi
dan
tugas
konstitusional
PPAT
harus
didasarkan atas kebijakan nasional bukan kebijakan daerah. PERMOHONAN PARA PEMOHON Maka sehubungan dengan itu dan atas dasar alasan serta kenyataan yuridis bahwa para Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai hak dan fungsi serta tugas konstitusional, sebagai yang disyaratkan dalam Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003, Para Pemohon sebagai perkumpulan para Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan segala
hormat
Mahkamah
mengajukan
Konstitusi
Republik
permohonan Indonesia,
kepada untuk
berkenan : Pertama : Menerima permohonan Para Pemohon untuk diperiksa, disidangkan dan diputuskan;
16
Kedua :
Memberikan Keputusan dalam permohonan Para Pemohon untuk menguji secara formil dan materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang
Pemerintahan
Daerah,
khususnya ketentuan Pasal 11 ayat 2, yang menyerahkan
kewenangan
di
bidang
pertanahan sebagai kewenangan wajib Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dalam otonomi, terhadap
Undang-Undang
Dasar
Republik
Indonesia 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), sebagai berikut : PRIMER : Pertama :
Penyerahan
kewenangan
bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam otonomi, menurut ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sepanjang mengenai
bidang
pertanahan,
memenuhi
persyaratan
tidak
sebagai
yang
ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) UndangUndang tersebut. Kedua
:
Undang-undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan
Pasal
11
ayat
(2),
yang
menyerahkan bidang-bidang pemerintahan yang
wajib
17
diilaksanakan
oleh
Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota dalam otonomi, sepanjang
mengenai
bidang
pertanahan,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 khususnya Pasal 33 ayat (3).
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil dalam permohonannya Para Pemohon telah melampirkan bukti-bukti yang berupa : 1. Bukti P-1
: Undang-Undang R.I Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Bukti P-2
: Peraturan Pemerintah R.I Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Bukti P-3
: Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah.
4. Bukti P-4
: Surat dari Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Gubernur Propinsi dan Bupati / Walikota seluruh Indonesia No. 110-2001KBPN
tanggal 23 Januari 2001 perihal
Penyampaian Keppres Nomor 10 Tahun 2001 (beserta lampirannya). 5. Bukti P-5
: Peraturan Pemerintah R.I Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT.
6. Bukti P-6
: Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tanggal 9 Nopember 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
7. Bukti P-7
: Tambahan Berita Negara R.I tanggal 29-42002 No. 77 tentang Pernyataan Keputusan Rapat
Pendirian Asosiasi Pejabat Pembuat 18
Akta Tanah Indonesia disingkat
ASPPAT
Indonesia. 8. Bukti P-8
: Undang-undang Dasar Negara R.I Tahun 1945
9. Bukti P-9
: Putusan Sudang Tahunan MPR-RI Tahun 2001.
10. Bukti P-10 : Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 11. Bukti P-11 : Keputusan
Presiden
Republik
Indonesia
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. 12. Bukti P-12 : Surat Menteri Dalam Negeri R.I kepada Menko / Para Menteri dan Ketua LPND Nomor 188.2/165/SJ tanggal 27 Januari 2004 perihal Finalisasi
RUU
Penyempurnaan
Undang-
undang No. 22 / 199 tentang Pemerintahan Daerah. 13. Bukti P-13 : Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepda Menteri Dalam Negeri R.I Nomor 110198 perihal Finalisasi RUU Penyempurnaan Undang-undang
No.
22
/
199
tentang
Pemerintahan Daerah. 14. Bukti P-14 : Draft Undang-undang No. …. Tahun ….. tentang Pemerintahan Daerah bertanggal 26 Januari 2004. 15. Bukti P-15 : Ketetapan MPR-RI No./MPR/2001 tanggal 9 Nopember 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
19
16. Bukti P-16 : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Menimbang, bahwa selain permohonan dan bukti-bukti sebagaimana tersebut diatas Para Pemohon telah mengajukan pula tambahan penjelasan masing-masing bertanggal 27 Desember 2003, 28 Januari 2004 dan 6 Pebruari 2004 serta kesimpulan bertanggal melalui
19 Pebruari 2004 yang disampaikan
Kepaniteraan
Mahkamah
Konstitusi
Republik
Indonesia.
Menimbang,
bahwa
disamping
mendengarkan
keterangan Para Pemohon, dipersidangan telah didengar pula keterangan Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Abdul Gani Abdullah, S.H, Direktur Jenderal Peraturan Perundangundangan yang mewakili Menteri Kehakiman dan HAM selaku Kuasa dengan hak subsiitusi dari Presiden R.I,
yang
pada
pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut :
Bahwa
dalam
Undang-undang
Pokok
Agraria
itu
disebutkan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi dan air,
ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
20
Bahwa di dalam undang-undang tersebut juga diatur mengenai tugas yang diberikan Pemerintah untuk mengatur perbuatan hukum mengenai tanah tersebut.
Bahwa di dalam Undang-Undang Dasar
1945 pra
amandemen di dalam Pasal 33 itu memang disebutkan demikian bahwa bumi, air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan selanjutnya dielaborasi dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria.
Bahwa paradigma yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen itu berbeda dengan paradigma yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republlik Indonesia Tahun 1945 yang sudah di amandemen atau yang disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Bahwa di dalam Undang-Undang Dasar pra amandemen yang belum diamandemen itu judul babnya memang disebut dengan atau berbunyi kesejahteraan sosial, itulah yang menjadi dasar kenapa di dalam Undang-undang Pokok Agraria juga ditetapkan
seperti
itu.
Bahwa
keseluruhannya
untuk
kesejahteraan rakyat. Tetapi setelah Undang-Undang Dasar itu diamandemen, itu terdapat paradigma baru bahwa judul babnya itu tidak lagi disebutkan seperti tadi tetapi berubah menjadi perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.
Bahwa memang di dalam ayat (3) Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berjudul Bab Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan rakyat 21
itu disebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bahwa sekalipun berbunyi demikian tapi paradigma dasar yang digunakan adalah untuk kepentingan sistem perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial seperti dimaksud di dalam judul bab tersebut. Oleh karena itu, ayat (3) dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar ini tidak bisa hanya dibaca untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat saja tetapi juga dalam konteks sistem perekonomian nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bahwa di dalam Undang-Undang Dasar disebutkan juga mengenai Pemerintahan Daerah. Hal ini dibuat undang-undang organik
di dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang
menyangkut soal pemerintahan daerah. Sekalipun di dalam Pasal 11 ayat (2) seperti dikemukakan oleh Pemohon disebutkan bahwa pertanahan termasuk kewenangan yang diberikan kepada daerah,
Pemerintah Daerah tidak harus
dianggap terpisah sama sekali dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia. Penyelenggaraan Pemerintah Negara Republik Indonesia bagaimanapun tidak hanya terdiri dari Pemerintah Pusat tetapi juga ada Pemerintahan Daerah.
Bahwa pemerintahan daerah menurut Undang-undang No.
22
Tahun
1999
adalah
merupakan
bagian
dari
penyelenggaraan Pemerintah Negara. Oleh karena itu, tidak bisa dianggap bahwa apa yang dilakukan atau kewenangan 22
yang
diberikan
oleh
Pemerintah
daerah
terpisah
dari
penyelenggaraan Pemerintah Negara. Sehingga pemberian kewenangan mengenai pertanahan
kepada
Pemerintahan
Daerah tidaklah berarti pemberian kewenangan pertanahan yang terpisah dari penyelenggaraan Pemerintah Negara.
Oleh karena itu maka apa yang dikendaki oleh Pasal 11 ayat (2) UU No.22 tahun 1999 itu tidak bertentangan dengan ketentuan didalam Bab XIV yang berjudul, “Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial khususnya pada ayat (3). Tetapi merupakan penjabaran lebih lanjut dari suatu paradigma baru yang dibuat oleh Undang-Undang Dasar hasil amandemen dan juga dalam sistem Pemerintahan Negara atau dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara.
Bahwa mengenai legal standing Para Pemohon : Para Pemohon ini adalah Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia atau ASPPAT Indonesia. Didalam undang-undang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa yang dibenarkan sebagai Pemohon didalam perkara dalam Mahkamah Konstitusi adalah antara lain Badan Hukum Privat. Adalah menjadi pertanyaan apakah Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah ini adalah sebuah badan hukum privat seperti yang dimaksud oleh undang-undang Mahkamah Konstitusi ? Kalau dilihat dari sejarah
pembuatan
pasal
itu
didalam
undang-undang
Mahkamah Konstitusi badan hukum privat yang dimaksud disitu adalah rechtperson dan tidak seperti yang dimaksud didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai satu badan hukum perkumpulan. 23
Bahwa sekalipun demikian Pemerintah perlu menjelaskan bahwa Para Pemohon disini adalah Asosiasi Pejabat Pembuat Akta
Tanah,
yang
menurut
undang-undang
Mahkamah
Konstitusi kalau memang ini dikatakan sebagai badan hukum privat adalah Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia yang hak konstitusionalnya atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ini.
Bahwa dilihat dari uraian Para Pemohon maka ternyata bahwa bukanlah hak Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dirugikan hak konstitusionalnya? Tetapi yang dikemukakan Pemohon adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya undang-undang ini terutama mengenai semua mekanisme perbuatan hukum atas tanah itu sendiri. Melihat hal itu maka tidak terdapat konsistensi antara asosiasi itu sendiri dengan Pejabat Pembuat Akta tanah.
Bahwa kelihatannya yang dirugikan haknya dengan berlaku Undang-undang
No.22 menurut Para Pemohon itu
adalah para Pejabat Pembuat Akta Tanah bukan Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah. Disinilah letak persoalan hukumnya, sehingga legal standing dari Para Pemohon ini adalah ternyata tidak berdasar sama sekali. Oleh karena itu maka ini menjadi pertimbangan sehingga pada akhirnya permohonan ini ditolak.
24
Menimbang, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat R.I , yang diwakili oleh H. telah
pula
Hamdan Zoelfa, S.H dan Akil Mukhtar, S.H
menyampaikan
keterangan
lisan
didalam
persidangan yang kemudian dituangkan dalam keterangan tertulis bertanggal 10 Pebruari 2004 yang
pada pokoknya
sebagai berikut : Bahwa yang dimaksud dengan "formil" menurut Para Pemohon adalah "persyaratan penyerahan (urusan bidang pertanahan) tidak terpenuhi". Hal ini tidak ada kaitannya dengan hak menguji formil undang-undang yaitu mengenai pembentukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasa151 ayat (3) huruf a UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Bahwa permohonan menguji secara materiil, khusus Pasal 11 ayat (2) terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Bahwa Rumusan Pasal tersebut berasal dari Pasal 10 ayat (2) RUU Pemerintahan Daerah yang diajukan oleh Pemerintah. (Risalah halaman 13).
Bahwa Penjelasan umum RUU tersebut menyebutkan adanya perubahan prinsip otonomi yang semula nyata dan bertanggung jawab menjadi luas, nyata, dan bertanggung jawab. (Risalah halaman 50).
25
Bahwa Penjelasan Pasal 10 ayat (2) RUU menyebutkan: "Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, untuk menghindarkan terjadinya kekosongan
penyelenggaraan
masyarakat,daerah melaksanakan
Kabupaten
kewenangan
pelayanan dan
dalam
dasar
Daerah bidang
Kota
kepada wajib
pemerintahan
tertentu menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Khusus kewenangan Daerah Kota disesuaikan dengan kebutuhan perkotaan, antara lain pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan, dan tata kota". Bahwa salah satu Fraksi pada pemandangan umum meminta penjelasan kepada Pemerintah berkaitan dengan Pasal 10 ayat (2), namun yang dipertanyakan adalah masalah agama. (Risalah halaman 134).
Bahwa berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) No. 58 tidak ada satu Fraksi-pun yang mengusulkan agar "pertanahan" dihapus.
Bahwa pembahasan DIM 58 tidak membahas masalah pertanahan.
Bahwa hak menguasai yang dimiliki negara atas tanah berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, bukan berarti tidak mengizinkan masyarakat dapat memiliki tanah di wilayah RI. Undang-Undang
mengizinkan
masyarakat
memiliki
tanah
dengan berbagai macam alas hak, seperti hak milik, hak guna 26
bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan sebagainya. Artinya penguasaan
negara
terhadap
tanah
adalah
hak
untuk
mengatur, hak menentukan peruntukan dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan pemeliharaan. Selain pengaturan, maka terdapat kewenangan untuk mengurus masalah
pertanahan
terutama
masalah
administrasinya.
Desentralisasi pada dasarnya adalah penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus. Dengan prinsip desentralisasi, Pemerintah
Pusat
dapat
menentukan
kewenangan-
kewenangan yang dapat diserahkan kepada Daerah dan kewenangan-kewenangan
yang
tetap
dilaksanakan
oleh
Pemerintah Pusat. Berdasarkan Pasal 11 UndangUndang No. 22 Tahun 1999, kewenangan di bidang pertanahan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten
dan
Daerah
Kota.
Artinya
Daerah
Kabupaten dan Kota wajib mengatur dan mengurus masalah pertanahan dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui undang-undang. Penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada daerah Kabupaten dan Kota bukan berarti penyerahan masalah tanah secara keseluruhan, karena terdapat hal-hal tertentu yang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, yaitu sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999, misalnya kebijakan mengenai perencanaan
nasional
dan
pengendalian
pembangunan
nasional secara makro, konservasi dan standarisasi nasional.
Bahwa daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula Pemerintah Pusat dan Pemerintah 27
Daerah merupakan bagian dari organisasi negara yang tidak dapat dipisahkan dan masing-masing tidak berdiri sendiri. Artinya Pemerintah Daerah juga merupakan bagian dari negara.
Bahwa hak konstitusional Para Pemohon, yang dalam hal ini adalah Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah, tidak terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Berbeda dengan kewenangan lembaga negara seperti Presiden MPR, DPR, DPD, MK, MA, dan BPK yang secara tegas bersumber dari UUD 1945. Kewenangan PPAT bersumber dari undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Bahwa pengaturan mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur secara tersendiri dalam peraturan perundangundangan lain dan tidak ada kaitannya dengan UU No. 22 Tahun 1999. Peraturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang
mengatur
antara
lain
Tugas
Pokok
dan
Kewenangan PPAT, Daerah Kerja PPAT. Peraturan tersebut juga mengatur adanya PPAT sementara, yaitu Camat atau Kepala Desa dan PPAT Khusus, yaitu Kepala Kantor Pertanahan.
Menimbang, bahwa untuk menyingkat uraian putusan ini maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan
dianggap telah termasuk dan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari putusan ini.
28
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas.
Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan tentang pokok perkara sebagaimana dimohonkan oleh Para Pemohon, Mahkamah Konstitusi perlu lebih dahulu menetapkan : 1. Kewenangan
Mahkamah
Konstitusi
untuk
memeriksa
permohonan Para Pemohon a quo ; 2. Kedudukan hukum (legal standing) para Para Pemohon a quo.
Menimbang,
bahwa
terhadap
kedua
hal
tersebut
Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkannya sebagai berikut : I.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang diundangkan sebelum perubahan pertama UUD 1945 yaitu pada tanggal 7 Mei 1999. Pasal 132 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaksanaan undangundang ini secara efektif selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkan, dan Pasal 134 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa undang-undang ini mulai berlaku sejak diundangkan.
29
Para Anggota Majelis Hakim mempunyai pendapat yang berbeda terhadap permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon dengan adanya Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa undangundang yang dapat dimohonkan untuk pengujian adalah undang-undang
yang
diundangkan
setelah
perubahan
pertama UUD 1945 .
(1) Sebagian besar Hakim berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa permohonan mendasarkan pada alasan sebagai berikut : Dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi terdapat dalam UUD 1945, yaitu pada Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh
Undang-undang
Dasar,
memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil
pemilihan
umum”.
Pasal
ini
tidak
mencantumkan pembatasan terhadap undang-undang yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi atas dasar saat pengundangan. Meskipun Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 termasuk dalam Bab Hukum Acara, namun secara substansi Mahkamah
Pasal ini membatasi kewenangan
Konstitusi
yang
dicantumkan
dalam
Undang-undang Dasar. Dengan demikian substansi Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 30
bertentangan
dengan
Pasal
24C
Undang-undang
Dasar. Para
Pemohon
dalam
permohonannya
tidak
mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun
2003, oleh karenanya Mahkamah
Konstitusi tidak dapat melakukan pengujian Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 atas inisiatif sendiri. Dengan memberlakukan Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003, berarti Mahkamah Konstitusi harus menolak untuk memeriksa undang
setiap yang
permohonan diundangkan
terhadap sebelum
undang-
perubahan
Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah Konstitusi menerapkan aturan yang bertentangan dengan Undangundang Dasar.
Sumber hukum yang tertinggi dalam
sistem hukum di Indonesia adalah UUD 1945, dan oleh karenanya semua peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum yang tertinggi tersebut. Undang-undang yang mengandung substansi Undang-undang
Dasar
bertentangan dengan serta
merugikan
hak
konstitusional warga negara, namun masih tetap berlaku karena adanya Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003, akan menimbulkan ketidakadilan dalam sebuah sistem hukum karena adanya standar ganda, yaitu yang satu berdasarkan
UUD 1945 yang telah mengalami
perubahan dan telah menjadi sumber hukum tertinggi di Indonesia, sedangkan yang lain tidak berdasarkan UUD 1945 yang telah mengalami perubahan. Ketidakadilan tersebut akan menyebabkan ketidakpastian hukum 31
pada perlindungan hak-hak warga negara.
Dengan
berdasarkan kewenangan yang ada, sebagian besar hakim anggota Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 50 Undang-undang Nomor
24 Tahun
2003 dapat dikesampingkan penerapannya pada kasus yang diajukan oleh Para Pemohon. Oleh karenanya Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk memeriksa,
mengadili
dan
memutus
permohonan
pemohon untuk melakukan uji materiil terhadap UU No. 22 Tahun 1999 yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945. (2) Dengan alasan yang berbeda, seorang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa dengan memperhatikan Pasal 50 Undang-undang
Nomor
24
Tahun
2003
beserta
penjelasannya permohonan Para Pemohon sebenarnya tidak dapat diterima, karena undang-undang yang menjadi obyek permohonan adalah undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999 yaitu undangundang yang diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60). Aturan Peralihan Pasal 1 UUD 1945 berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut perubahan
Undang-Undang sesuatu
Dasar
undang-undang
ini”,
sehingga
hanya
dapat
dilakukan oleh lembaga negara yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 (DPR dan Presiden), bukan oleh lembaga negara lain (Mahkamah Konstitusi). Namun 32
Pasal 132 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 berbunyi “Pelaksanaan undang-undang ini dilakukan secara efektif selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun sejak
ditetapkannya
undang-undang
ini.”
Dengan
memperhatikan Pasal 132 ayat (2) dan implementasi UU Nomor 22 Tahun 1999, tidak harus dilihat kapan undang-undang tersebut diundangkan, tetapi harus dilihat kapan undang-undang tersebut secara efektif berlaku di masyarakat. Berarti semenjak itu undangundang tersebut mempunyai dasar hukum dalam pergaulan masyarakat. Dengan memperhatikan alasan di atas,
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 50
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, permohonan Pemohon dalam perkara Nomor 009/PUU-I/2003 dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi. (3) Terdapat pula Hakim Mahkamah Konstitusi yang berpendapat berwenang
bahwa untuk
Mahkamah memeriksa
Konstitusi
tidak
permohonan
Para
Pemohon a quo menyampaikan alasan-alasan sebagai berikut : Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 adalah mengikat Mahkamah Konstitusi karena materinya adalah materi hukum acara sehingga tidak dapat dikesampingkan. Pembuat
undang-undang
berhak
untuk
membuat
ketentuan yang berisikan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, karena dalam Pasal 24C (6) UUD 1945 dinyatakan bahwa : “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur 33
dengan undang-undang“. Dengan demikian substansi Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 adalah substansi yang oleh Undang-Undang Dasar
diberikan kepada
pembuat undang-undang untuk mengaturnya. Meskipun pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 secara efektif selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkan yaitu pada tanggal 7 Mei 2001, yang berarti setelah perubahan
UUD
1945,
namun
karena
telah
diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999, maka berarti termasuk undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan
UUD
1945.
Hakim
anggota
yang
mendasarkan pendapatnya pada alasan ini berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk melakukan pengujian terhadap UU No. 22 Tahun 1999.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) ASPPAT
Indonesia
beranggotakan
adalah
sebuah
orang-perorangan
organisasi
yang
Pembuat
Akta
Pejabat
Tanah. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 kedudukan Para Pemohon adalah sebagai perorangan warga negara Indonesia atau kelompok perorangan warga negara Indonesia. Permohonan
Para
Pemohon
didasarkan
pada
adanya
kekhawatiran Para Pemohon apabila Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 akan dilaksanakan. Kekhawatiran
tersebut
didasarkan
atas
pendapat
Para
Pemohon bahwa: (a) Dengan adanya Pasal 11 ayat (2) undang-undang a quo daerah akan mempunyai kewenangan yang luas di bidang 34
pertanahan.
Kewenangan yang luas tersebut menurut
Para Pemohon dikhawatirkan akan menimbulkan akibat adanya pluralisme dalam hukum pertanahan di Indonesia, sehingga akan menghapuskan hukum tanah yang bersifat nasional; (b) Hapusnya hukum tanah nasional yang digantikan oleh hukum tanah yang sifatnya kedaerahan akan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, karena menurut Para Pemohon penguasaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya haruslah dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan diberikannya kewenangan yang luas kepada daerah dalam bidang pertanahan
menurut
Para Pemohon akan dapat menimbulkan disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) Timbulnya kewenangan daerah yang sangat kuat dalam bidang pertanahan disebabkan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan urusan tersebut kepada daerah secara otonomi sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 11 ayat (2). Sesuai dengan asas negara kesatuan dan sesuai dengan semangat dan jiwa yang terkandung dalam UUD 1945, pemberian urusan pertanahan seharusnya tidak dengan cara pemberian otonomi melainkan dengan cara tugas pembantuan (medebewind), sehingga Pasal 11 ayat (2) bertentangan dengan jiwa dan semangat negara kesatuan sebagaimana terdapat dalam UUD 1945. (d) Apabila terdapat pluralisme hukum tanah sebagai akibat Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat yang diangkat oleh Pemerintah
Pusat 35
akan
sangat
dirugikan
karena
Pemerintah Daerah dapat membuat peraturan daerahnya sendiri. Di samping menyampaikan dasar-dasar kekhawatirannya apabila Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 dilaksanakan, Para Pemohon juga menyampaikan fakta yang mempunyai kaitan dengan Pasal 11 ayat (2) UU a quo sebagai berikut: (a) Bahwa hingga saat ini Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 belum dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 22 Tahun
1999
menyerahkan personalia,
yakni
Pemerintah
atau
mengalihkan
peralatan
dan
Pusat
harus
pembiayaan,
dokumen
sepanjang
mengenai pertanahan kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah
Pusat
dalam
hal
ini
Presiden
telah
menerbitkan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2001 tentang
Pelaksanaan
Otonomi
Daerah
di Bidang
Pertanahan, pada tanggal 7 Januari 2001 yang isinya menyatakan bahwa peraturan, keputusan, instruksi, dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah ada masih berlaku sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000. (b). Bahwa Menteri Dalam Negeri pada tanggal 23 Januari 2001
mengirim
Bupati/Walikota
surat seluruh
kepada Indonesia
Gubernur yang
dan intinya
menyatakan bahwa Keputusan Presiden No 10 Tahun 2001
dimaksudkan
untuk
menciptakan
unifikasi
peraturan pertanahan, sehingga tidak diperkenankan 36
bagi daerah untuk menerbitkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pertanahan yang bertentangan dengan peraturan yang ada. Kewenangan di bidang pertanahan khususnya berkaitan dengan aspek
hukum pertanahan, bagi terwujudnya unifikasi
hukum pertanahan dan kepastian hukum di bidang pertanahan,
tetap
menjadi
wewenang
Pemerintah
Pusat. (c) Bahwa Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun
2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Dalam Pasal 2
KEPPRES
ini
dinyatakan
bahwa
sebagian
kewenangan di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota
yang
meliputi
:
(a)
pemberian ijin lokasi, (b) penyelenggaraan pengadaan tanah
untuk
kepentingan
pembangunan,
(c)
penyelesaian sengketa tanah garapan, (d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, (e) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, (f) penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; (g) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, (h) pemberian ijin membuka tanah (i) perencanaa penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. (d) Bahwa Departemen Dalam Negeri naskah
Rancangan
Pemerintah
Daerah
telah menyusun
Undang-Undang yang
dimaksud
tentang sebagai
peyempurnaan terhadap UU No 22 Tahun 1999. Dalam 37
naskah yang disusun oleh Departeman Dalam Negeri tersebut untuk masalah tanah telah diminta pendapat Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pendapat Kepala Badan Pertanahan Nasional atas permintaan pendapat tersebut menyarankan agar bidang pertanahan tidak termasuk dalam urusan yang diserahkan kepada daerah.
Dengan
mempertimbangkan
tersebut di atas serta terbukti
hal-hal
sebagaimana
praktik yang berlangsung selama ini
Pasal 11 ayat (2) UU No.22 Tahun 1999 tidak
menimbulkan pengaruh langsung kepada
Para Pemohon,
karena tidak terjadi perubahan sama sekali dalam hukum pertanahan khususnya yang berkaitan dengan kepentingan Para Pemohon sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Para Pemohon tidak dirugikan kepentingannya hingga saat ini, dan dengan demikian kekhawatiran Para Pemohon terlalu dini (premature), apalagi UU Nomor 22 Tahun 1999 akan dilakukan perubahan, termasuk di dalamnya Pasal 11 ayat (2).
Dalam kaitan ini,
Mahkamah Konstitusi menilai
bahwa materi permohonan Para Pemohon layak mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pembuat undangundang dalam penyempurnaan UU Nomor 22 Tahun 1999 ;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berpendapat :
38
1. Permohonan wewenang
Para
Pemohon
Mahkamah
berada
Konstitusi
dalam
untuk
lingkup
memeriksa,
mengadili, dan memutusnya, 2. Kepentingan Para Pemohon tidak dirugikan oleh Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999, karena permohonan Para Pemohon hanya didasarkan atas kekhawatiran yang masih premature ;
Memperhatikan Pasal 51 dan Pasal 56 ayat (1) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
MENGADILI :
- Menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima ( Niet ontvankelijke verklaard)
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan pleno yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Mahkamah Konstitusi pada hari : Kamis tanggal 25 Maret 2004, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Jum’at tanggal 26 Maret 2004, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H selaku Ketua merangkap Anggota didampingi oleh, Prof. H.A.S. Natabaya,
SH.,
LLM.,
H.
Achmad
Roestandi,
SH.,
Dr. Harjono, SH., MCL, MH, Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H, MS, Maruarar Siahaan, SH, Soedarsono, SH masingmasing sebagai anggota dan dibantu oleh Teuku Umar, SH sebagai
39
Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Para Pemohon
dan
Kuasanya. K E T U A ttd Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd
ttd
Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H
Prof. H.A.S. Natabaya, S.H, LLM.
ttd
ttd
H. Achmad Roestandi, S.H.
Dr. Harjono, S.H, MCL.
ttd
ttd
Prof.H.A.Mukthie Fadjar, SH, MS
I.D.G. Palguna, S.H, MH
ttd
ttd
Maruarar Siahaan, SH.
Soedarsono, SH.
Panitera Pengganti,
ttd Teuku Umar, SH.
40
Untuk salinan resmi sesuai dengan aslinya, diberikan kepada Para Pemohon. Jakarta, 29 Maret 2004 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia P a n i t e r a
Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.H.
41