DAYA DUKUNG GIZI DARI LAHAN AGROFORESTRY SEKITAR TAHURA REGISTER 19 GUNUNG BETUNG, PROVINSI LAMPUNG Christine Wulandari Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. S. Brojonegoro 1, Bandarlampung 35145 Email:
[email protected] /
[email protected]
ABSTRACT The study was conducted to by using purposive sampling method for research sample identifying. The objectives of research are analyzing the nutritional carrying capacity of agroforestry land and determination of energy carrying capacity of house hold around Tahura Register 19, Gunung Betung, Lampung Province. Carrying capacity of the nutrition alcalculated by the total energy contentofall commodities dividedby the number of house hold member sandis divided in units of one year (Calory/capita/day). Based on data analysis, the average nutritional carrying capacity in each househ old sample is 2,306Cal/cap /day. Amounted 83.6% of househ old sample has reached sufficient levels of≥ 90% ofAKE. The study suggested that to increase the achievement of the nutrient carrying capacity of agroforestry land inTahura at sufficient levels of≥ 90% of AKE, the Government should have hardef forts through the extension of the development of food consumption. Key words: nutritional carrying capacity, agroforestry area, nutritioal sufficiency, Taman HutanRaya (Tahura) and Extension education program
1. Pendahuluan Ketahanan pangan terdiri dari 4 (empat) elemen, yaitu: 1) ketersediaan pangan, 2) aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai pangan yang cukup, 3) keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjuk pada kerentanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan (menunjuk pada kerentanan eksternal seperti fluktuasi perdagangan internasional), dan 4) keberlanjutan yang merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani (Setiawan,2004). Ketahanan pangan dapat diartikan pada berbagai level dari level rumah tangga hingga level nasional. Khusus untuk penelitian ini menggunakan arti ketahanan pangan pada level rumah tangga sesuai dengan definisi yang dijabarkan pada UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan.Adapun definisi Ketahanan Pangan dalam UU tersebut diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Artinya, ketahanan pangan mencakup aspek produksi dan penyediaan pangan, distribusi atau akses pangan serta konsumsi pangan.
Arifin (2004) menyatakan bahwa tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat agar terpenuhi standar kebutuhan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Arifin (2004) juga menyebutkan bahwa penyediaan pangan dapat ditempuh melalui : (1) produksi sendiri, dengan cara memanfaatkan dan alokasi sumberdya alam, manajemen dan pengembangan sumber daya manusia, serta aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal; dan (2) impor dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai dari sektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan perdagangan luar negeri. Dalam penelitian ini akan ditinjau dan dianalisis ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang bersumber pada sumberdaya alam sekitar tempat tinggalnya atau hutan yang mereka kelola secara agroforestry terutama hutan register 19 Gunung Betung, Provinsi Lampung. Suryana dan Pribadi (2008) dalam Indah (2009) menyatakan bahwa ketersediaan pangan, kemampuan konsumsi, kerawanan pangan dan status gizi menunjukkan level masalah ketahanan pangan. Demikian pula dengan Sen (1982) yang menyebutkan bahwa
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
359
tingkat keterjangkauan (akses) masyarakat terhadap pangan dapat diukur berdasarkan kemampuan konsumsi dan status gizi, serta dari tingkat kemiskinan. Menurut Azwar (2004) proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan merupakan indikator untuk menentukan tingkat ketahanan pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan, berarti tingkat ketahanan pangan rumah tangga semakin rendah. Hasil analisis data Susenas 1993-2002 menunjukkan bahwa rata-rata proporsi pengeluaran pangan pada kelompok berpendapatan rendah dan sedang masih di atas 55%, sedangkan pada kelompok berpendapatan tinggi sudah di bawah 55%. Pengertian konsumsi pangan dapat ditinjau dari dua dimensi, yaitu dimensi kuantitas dan kualitas. Dimensi kuantitas dari konsumsi pangan meliputi jumlah pangan dan zat gizi yang dikonsumsi, sedangkan dimensi kualitas meliputi pola atau kergaman jenis pangan dan nilai mutu gizi (Suhardjo, 1989). Salah satu ukuran kuantitatif konsumsi pangan adalah asupan energi dan protein dengan standar angka kecukupan energi sebesar 2.000 Kal/kap/hr dan angka kecukupan protein sebesar 52 Kal/kap/hr. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein telah terpenuhi dan dikonsumsi dari berbagai jenis pangan maka kecukupan zat-zat gizi lainnya dapat terpenuhi atau sekurang-kurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya. Daya dukung gizi (Nutritional Carrying Capacity) adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan bekurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung penduduk di masa yang akan datang. Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity, akan tetapi tekanan sosial, politik dan ekonomi juga merupakan faktor penentu sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, Anne & Gretchen, 1993 dalam Indah, 2009). Berdasarkan uraian di atas, berkaitan dengan konteks pengelolaan hutan yang berkelanjutan di area hutan register 19 maka dapat dikatakan bahwa daya dukung gizi hutan adalah kemampuan hutan register 19 untuk dapat mendukung atau memenuhi kebutuhan pangan bagi petani pengelola atau pun yang hidup disekitarnya. Daya dukung gizi hutan 360
dinilai dengan menghitung jumlah total pangan nabati maupun hewani serta hasil non pangan yang disetarakan pangan pokok beras yang dihasilkan oleh lahan hutan dengan menggunakan satuan energi (Kal/orang/hari) kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi pada tingkat ideal. Penelitian ini diperlukan karena hutan register 19 relatif dekat dengan kota Bandarlampung dan cukup padat penduduknya. Disisi lain, hutan register 19 merupakan sumber penghidupan masyarakat yang hidup disekitarnya, sehingga dapat diprediksikan bagaimana beratnya tekanan terhadap keberlangsungan sumberdaya hutan yang ada. Dengan demikian, penelitian ini dilaksanakan untuk dapat menjawab pertanyaan, apakah selama ini sumberdaya hutan yang ada sudah mencukupi kebutuhan masyarakat terutama aspek pemenuhan kebutuhan konsumsi hariannya? Jika sudah mencukupi maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana strategi pengelolaannya agar pemenuhan kebutuhan pangan terjaga keberlanjutannya? Jika belum mencukupi, apa strategi yang harus dilakukan agar pemenuhan kebutuhan pangan dapat terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya dukung gizi dari lahan agroforestry di sekitar tahura (taman hutan raya) register 19, Provinsi Lampung. Selain itu juga untuk mengetahui jumlah atau persentase rumahtangga di sekitar tahura yang mempunyai tingkat kecukupan ≥ 90% dari AKE. 2. Bahan dan metode Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 di Kampung Sumberagung, di sekitar Tahura Register 19, Provinsi Lampung. Populasi dalam penelitian ini adalah rumahtangga di Kampung Sumberagung. Unit contoh adalah rumahtangga yang ditentukan secara acak. Rumahtangga yang dijadikan contoh adalah rumahtangga yang tinggal menetap di sekitar hutan dan menggarap sendiri lahan kelolanya. Jumlah responden dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Slovin (Wulandari, 2011). Analisis dilakukan secara statistik deskriptif. Perhitungan daya dukung gizi dilakukan dengan menghitung total ketersediaan energi dari seluruh hasil produksi setiap kelompok pangan dan non pangan dengan satuan Kal/kap/hr. Ketersediaan energi dari produksi tanaman non pangan dinilai dengan menghitung pendapatan hasil penjualan dan disetarakan dengan kandungan energi pangan
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
pokok beras. Perhitungan kandungan energi dari setiap komoditi dilakukan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dengan cara sebagai berikut (Hardinsyah, 1989 dalam Indah, 2009): BPj Gij =
BDDj x
100
x KGij 100
Keterangan: Gij = kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan – j per 100 gram yang dapat dimakan BPj = berat pangan – j (g) BDDj = bagian yang dapat dimakan dari 100 gram pangan – j KGij = zat gizi – i yang dikandung dari pangan - j Nilai daya dukung gizi dianalisis dengan menghitung total kandungan energi dari seluruh komoditas yang dihasilkan dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga dan dibagi dalam satu tahun dengan satuan Kal/kap/hr. Selanjutnya tingkat ketersediaan energi dianalisis dengan membandingkan dengan angka kecukupan energi (AKE) sebesar 2.200 Kal/kap/hr. Tingkat kecukupan dari daya dukung gizi hutan kemasyarakatan dibedakan menjadi kategori kurang (TKE < 90%) dan cukup (TKE ≥ 90%). 3. Hasil dan pembahasan Pemasalahan yang dihadapi dalam upaya pembangunan kawasan hutan register 19 adalah masih banyaknya kegiatan perambahan. Kegiatan perambahan tersebut mencerminkan masih kurangnya kesadaran masyarakat, tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam dalam kawasan dan kurangnya keterpaduan/ koordinasi antar instansi terkait. Hal ini membutuhkan penanganan yang cermat dan serius dari semua pihak. Perambahan dilakukan karena masyarakat memerlukan adanya pemenuhan yang cukup atas kebutuhan keseharian keluarganya (Wulandari, 1999). Salah satu aspek yang seharusnya menjadi perhatian adalah kecukupan pangan karena merupakan salah dari 3 (tiga) aspek kebutuhan primer selain sandang dan papan. Dengan demikian diperlukan adanya sinergisme pengembangan konsep hutan pangan pada lahan sekitar tahura bersinergi dengan upaya pengembangan tahura yang
berkelanjutan. Menurut Suhardi et al. (1999), hutan pangan adalah upaya memberdayakan hutan sebagai sumber penghasil pangan dan melindungi kawasan hutan yang secara alami mempunyai potensi sebagai sumber pangan dengan mengantisipasi kekurangan pangan. Hal ini juga sejalan dengan yang termaktub dalam UU nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Sebagai sumber pangan yang ditanam di hutan pangan tidaklah harus beras namun bisa beragam dengan jenis tanaman atau pohon yang lain dan ditanam secara agroforestry. Dengan demikian, pengembangan hutan pangan di sekitar tahura register 19 sangat dimungkinkan dan tetap harus berdasarkan potensi dan daya dukung yang ada di lokasi tersebut. Artinya, diharapkan hasil penelitian ini akan mendukung upaya pengembangan hutan pangan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata daya dukung gizi dari lahan agroforestry sekitar tahura register 19, pada setiap rumahtangga contoh adalah sebesar 2.306 Kal/kap/hr. Artinya, daya dukung gizi rumah tangga di sekitar tahura cukup baik karena melebihi standar yang ada yaitu Angka Kecukupan Energi (AKE) sebesar 2.200 Kal/kap/hr(WKNPG, 2004 dalam Indah, 2009). Kondisi kecukupan ini juga serupa dengan daya dukung gizi Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang ada di Kabupaten Lampung Barat yaitu sebesar 2.754 Kal/kap/hr per rumah tangganya (Indah, 2009) Kemudian dilakukan analisa tingkat kecukupan dari daya dukung gizi lahan agroforestry yang dibedakan menjadi kategori kurang (TKE < 90%) dan cukup (TKE ≥ 90%). Diketahui bahwa sebesar 83,6% daya dukung gizi lahan sekitar tahura pada rumahtangga contoh telah mencapai tingkat kecukupan ≥ 90% dari AKE. Angka ini lebih tinggi dari yang ada di HKm di Kabupaten Lampung Barat. Menurut Indah (2009), pada HKm Lampung Barat diketahui memiliki sebesar 67,8% daya dukung gizi hutan kemasyarakatan pada rumahtangga contoh yang sudah mencapai tingkat kecukupan ≥ 90% dari AKE. Keseimbangan ekosistem akan semakin baik jika semakin banyak jumlah dan jenis tanaman dengan komposisi tajuk yang beragam. Hal tersebut adalah berdasarkan aspek ekologi. Kondisi ini juga akan berdampak pada kualitas pangan, jika ketersediaan jenis pangan yang dikonsumsi semakin beragam maka kualitas
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
361
konsumsi pangan juga semakin baik. Berdasarkan hasil penelitian Indah (2009), untuk memperoleh keseimbangan manfaat ekonomi dan ekologi dari hutan kemasyarakatan dengan tingkat ketersediaan energi ≥ 90% ukuran maka yang optimal adalah pengelolaan pada luas lahan 1,5-3 ha dengan keanekaragaman jenis komoditas yang diusahakan sebanyak antara 13-24 jenis. Karena luasan lahan kelola di sekitar Tahura register 19 tidak seluas lahan kelola di HKm di Lampung Barat maka untuk mendapatkan keseimbangan manfaat ekonomi dan ekologi di sekitar Tahura Register 19 perlu dilakukan konservasi tanah dan air secara vegetatif dengan melalui berbagai macam teknologi secara simultan (Suripin, 2004),yaitu: 1) pertanaman tanaman atau tumbuhan penutup tanah secara terus menerus (permanen plant cover), 2) pertanaman dalam strip (strip cropping), 3) pertanaman berganda (multiple cropping), 4), Pertanaman bergulir (rotation cropping), 5) pemanfaatan mulsa (residue management), dan 6) sistem pertanian hutan (agroforestry) yang lebih baik. Penekanan perlunya keberlanjutan sistem agroforestry dilakukan di sekitar Tahura Register 19 karena sistem agroforestry tidak menghabiskan unsur hara, bahkan melalui serasah yang dihasilkan mampu meningkatkan kandungan unsur hara dan dengan demikian dapat menjamin kesinambungan poduktivitas tanah. Hal ini terbukti berdasarkan hasil penelitian Utomo (2005) yang menunjukkan bahwa limpasan erosi permukaan dari sistem agroforestry lebih rendah (9,7 ton/ha) ketika dibandingkan dengan limpasan erosi permukaan pertanian monokultur intensif dengan tanaman jagung (45,8 ton/ha). Diketahui pula bahwa kandungan unsur hara tanah pada sistem agroforestry seperti C-Org (2,17%), N (0,19%), P (17 ppm), dan K (9,4 Me/100g) juga lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian monokultur C-Org (0,96%), N (0,09%), P (6 ppm), dan K (2,3 Me/100g). 4. Kesimpulan dan saran 4.1. Kesimpulan 1) Berdasarkan analisa diperoleh hasil bahwa rata-rata daya dukung gizi lahan agroforestry di sekitar tahura register 19 pada setiap rumahtangga contoh adalah sebesar 2.306 Kal/kap/hr. 2) Berdasarkan analisa tingkat kecukupan dari daya dukung gizi lahan agroforestry 362
3)
yang dibedakan menjadi kategori kurang (TKE < 90%) dan cukup (TKE ≥ 90%) maka diketahui bahwa sebesar 83,6% daya dukung gizi sekitar tahura pada rumahtangga contoh telah mencapai tingkat kecukupan ≥ 90% dari AKE. Luasan kelola masyarakat di sekitar Tahura Register 19 terbatas maka praktek sistem agroforestry di lahan tersebut perlu dijaga keberlanjutannya.
4.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa agar terjadi peningkatan jumlah rumah tangga yang mencapai daya dukung gizi lahan agroforestry di sekitar tahura pada tingkat kecukupan ≥ 90% dari AKE maka Pemerintah perlu melakukan upaya lebih lanjut untuk peningkatan ketahanan pangan petani melalui penyuluhan tentang pengembangan konsumsi pangan. Penyuluhan perlu dilakukan dengan tujuan: 1) sosialiasi pentingnya program ketahanan pangan, 2) merubah persepsi masyarakat bahwa makan pokok bukan hanya beras, dan 3) secara partisipatori akan dapat melakukan inventarisasi tentang jenis-jenis tanaman yang mungkin dikembangkan secara agroforestry dan dapat ditanam di bawah tegakan dan atau kombinasi dengan tanaman atau pohon berkategori ―premium species‖. 5. Daftar pustaka Arifin, B. 2004. Penyediaan dan Aksesibilitas Ketahanan Pangan. Makalah Disampaikan Pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta. Azwar, A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Makalah Disampaikan Pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta. Hardinsyah et al. 2003. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. PSKPG-IPB & Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Departemen Pertanian RI. Jakarta. Indah Kelana. 2009. Analisis Daya Dukung Gizi Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis. Tidak dipublikasikan. Sen, A. 1982. Poverty and Femines, An Essay on Entitlement and Deprovation, Clarendon Press Oxford.
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
Setiawan, B. 2004. Ketahanan Pangan. Di dalam: YF Baliwati, A Khomsan, CM Dwiariani (Eds). Pengantar Pangan dan Gizi.Penebar Swadaya, Jakarta. Suhardi, Sambas Sabarnurdin, Sri Astuti, Soedjoko, Dwidjono HD, Minarningsih dan Agus Widodo. 1999. Hutan dan Kebun sebagai Sumber Pangan Nasional. Universitas Gadjah Mada, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Pertanian, dan Kantor Mentri Negara Pangan. Jakarta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pandidikan Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi, Yokyakarta. Utomo WH. 2005. Agroforestry: Hidup Layak Berkesinambungan pada Lahan Sempit. Di dalam: Krisnamurthi, B., A.B.S. Dwi, dan Kriswantriyono (Eds). Prosiding Seminar: Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Jakarta: Kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB, Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan dan Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. Wulandari, Christine. 1999. Prediction of Sustainability of Agroforestry Homegardein in Lampung Province using Logit and AHP Analysis. Graduate School of University of the Philippines of Los Banos. Dissertation. Unpublish. Wulandari, Christine, Rommy Qurniaty dan Pitojo Budiono. 2011. Kajian Indeks Penerimaan Sosial Masyarakat dalam Aplikasikan Agroforestry di Hutan Kemasyarakatan. Prosiding Seminar Nasional ‖Rimbawan Kembali ke Hutan‖. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Young, A. 1989. Agroforestry for Soil Conservation. CAB International, UK.
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
363