DARI RELIEF CANDI MENUJU KARYA TARI: SEBUAH CATATAN KREATIF Anggono Kusumo Wibowo Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Jalan Ki Hajar Dewantara No. 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126
Abstract Temple reliefs appear to store data about motifs portraying dance movements that were known in the past, although in their depiction, these movements appear broken or fragmented (nyeklèk). As an analogy to this, the pattern of nyeklèkan movements that are well-known in the Cakil dance can provide a source for creative ideas in the creation of new dances. The question to be addressed in this paper is how we can use the temple reliefs as a source for creative ideas in new dances. The method used was to trace the values found on temple reliefs and then apply them to the context of performing dance movements, as well as in relation to kinesiology and the segmentation of the body. Although not in a literal sense, this paper aims to discover the meaning of nyeklèk in all aspects of a performance (movement, music, and artistic setting). In this way, temple reliefs can be understood as the product of a traditional work in the form of artefacts that contain a particular meaning. Tradition apparently remains an endless source of ideas. Nyeklèkan, which until now has been understood as a vertex and or a defined bending of the body in Cakilan and strong male dance, is explored in refined or alusan dance with its free flowing movements by adapting the techniques of flowing contemporary dance movements which are based on the technique of releasing movements. Nyeklèkan is seemingly a moving frame of movements that are performed with a technique of freezing at certain points. This provides a rich artistic contrast which shows the freedom and ability of the body to perform (or express the language of) a high quality of movements, in every segment of the body, in every field of stance, and in every technique which is applied (whether traditional Javanese or modern-contemporary dance). Keywords: temple relief, nyeklèk, dance movements
PENDAHULUAN Berawal dari ketertarikan terhadap gerak ceklekan pada tari cakil, menginspirasi pengkarya untuk memperluas pengalaman gerak pada motif ceklekan dengan keleluasaan eksplorasi. Di samping itu, setiap latihan eksplorasi gerak memory tubuh itu selalu membawa pengkarya pada motif gerak ceklekan, di mana cakil sebagai basic kepenarian yang kuat. Dengan keyakinan penuh pengkarya mencoba fleksibilitas tubuh penari untuk secara leluasa mengeksplorasi motif gerak ceklekan, guna menemukan
ekspresi baru dalam tari. Pengkarya percaya bahwa dengan ketekunan dan konsistensi dalam berlatih, seorang penari akan mempunyai fleksibilitas tubuh untuk menjelajahi berbagai kemungkinan bentuk gerak yang kaya, meskipun berangkat dari satu motif tertentu (ceklekan) sebagai titik pijakan. Proses pengembaraan kreatif ini dilakukan pengkarya untuk menelusuri rujukan yang dapat diacu sebagai dasar ide kerja kreatif. Pada konteks ini pengkarya mencoba menelusur sejarah tari yang ada.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
109
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
Sejauh pemahaman pengkarya seni tari muncul dalam bentuk visualnya pada relief candi-candi. Pada beberapa panel candi dapat ditunjuk suatu “adegan” figur dalam pose menari. Terkait dengannya, ternyata telah dilakukan penelitian-penelitian menunjuk pada sumber acuan adalah Natyasastra, kaidah-kaidah seni yang sebagian berimplikasi langsung kepada teknik seni tari. Penelusuran rujukan selanjutnya, pengkarya menemukan bahwa pada dasarnya mengungkap keberadaan candi di Indonesia, seperti tidak ada habisnya, karena cukup banyak misteri yang menarik untuk terus ditelusuri dan diungkap, guna memberi kita pemahaman sekaligus pencerahan yang sungguh luar biasa. Di Indonesia dan khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, banyak terdapat candi sebagai peninggalan kebudayaan Hindu dan Budha. Pada candi Prambanan banyak dijumpai relief-relief yang menggambarkan cerita maupun sejarah dan pengajaran falsafah hidup. Di samping itu, relief pada candi Prambanan juga mengungkap keberadaan seni tari yang hidup pada masa itu. Menurut Edi Sedyawati “Ada satu panil dari 62 panil candi sisi luar pagar Candi Siwa dan Prambanan merujuk pada gerak tari “lokal”. Sisanya dapat dikembalikan pada rincian gerak-gerak tari tandava, tari klasik India, sebagaimana digambarkan dalam kitab Bharata Natyasastra. Kenyataan ini memberikan pemahaman bahwa keberadaan relief candi masih erat kaitannya dengan keberadaan seni tari tradisi yang dapat kita jumpai pada masa kini. Keberadaan relief candi Prambanan dengan beragam bentuknya, secara fisik mempunyai nilai artistik yang tinggi. Hal
110
Anggono Kusumo Wibowo
inilah yang kemudian semakin memacu pengkarya untuk tertarik mempelajarinya. Keindahan relief candi Prambanan dengan segala bentuk artistiknya tersebut telah mampu memberikan daya imaginasi serta menginspirasi pengkarya untuk bergelut dan berproses dalam mengeksplorasi tubuh sebagai penari. Pada kontek ini, pengkarya tidak mencoba untuk menguak semua dari rentetan sejarah maupun pemikiran serta filosofi yang ada di dalamnya. Pengkarya hanya mencoba masuk dalam satu wilayah bagian kecil dari keagungan keberadaan candi di Jawa Tengah tersebut. Apa yang pengkarya lakukan adalah mempelajari, mengamati, dan memahami motif relief candi yang tampak secara fisik, untuk kemudian dijadikan referensi dalam pengolahan dan pengkayaan eksplorasi gerak tubuh penari. Proses kreatif yang dilakukan pengkarya, relief panel candi tersebut menggugah pemikiran baik secara sajian artistik, teknik penampilan maupun juga khususnya pada representasi seni tari. Pengkarya memperoleh pemahaman awal mengenai teknik keseni rupaan dalam relief, bahwa relief dalam ukuran tertentu juga mempertimbangkan visualitas tubuh dalam bentuk dua dimensi. Artinya teknik penampilan tubuh juga dihitung secara cermat untuk menciptakan kesan visual yang optimal. Pada saat yang sama, dengan tujuan representasi visual tersebut, pengkarya menemukan suatu bentuk-bentuk visual tubuh yang tergambar dalam relief secara patah, bersudut tegas dan “ceklek”. Ceklek dalam bahasa Jawa berarti patah (Sutrisno Sastro Utomo, 2007:68), dalam arti harfiahnya kesan patah sering menunjuk
Volume 12 No. 2 Desember 2013
pada siku yang menekuk dengan sempurna dan ataupun membentuk sudut tertentu. Kesan terakhir ini didapati pada relief candi sebagai rujukan pengkarya. Bahkan dalam pemahaman pengkarya menghubungkannya dengan teknik gerak tari untuk memandang pose relief tersebut, penggambaran visual tubuh relief digambarkan dalam bentuk ekstrimisitas tertentu. Seperti pada koordinasi gerak tubuh dalam satu pose relief mempunyai sudut-sudut yang tegas dalam penggambarannya, misalnya siku, bagian kaki yang menekuk sampai dengan tolehan wajah dalam pose berpaling yang ekstrem (ke kanan maupun ke kiri). Pemahaman ini menjadi sebagian dari benang merah yang menghubungkan teknik gerak ceklek dalam tari dengan visualisasi relief. Bahwa ceklek, selain merupakan salah satu bentuk presentasi tubuh dalam tari, ternyata juga terdapat dalam seni rupa relief. Yang menjadi lebih menegaskan benang merah ini adalah relief tersebut menampilkan bentuk salah satu pose tari. Hal ini menjadi pijakan awal untuk mendalami lebih jauh proses kreatif dalam pencarian esensi gerak ceklek. Bahwa dari suatu bentuk, pertemuan garis segmentasi tubuh (misalnya torso – kaki, lengan atas – lengan bawah, ataupun torso – lengan) menciptakan ruang imajinatif yang sebenarnya bisa diolah dimana gerak tubuh mampu mengisi dan mengenergikan kualitas vokabuler gerak dalam pemahaman yang apresiatif dan inspiratif. Dengan pengembaraan tubuh dalam tema ceklekan ini pada akhirnya mampu menciptakan capaian kualitas tubuh penari terkait dengan pemaknaan segmen-segmen tubuhnya. Berangkat dari pemikiran di atas, pengkarya mencoba untuk berproses dengan bermodalkan kejujuran dan konsep yang di
bangun sejak awal mula. Pengkarya menyadari sepenuhnya bahwa ada beragam cara penciptaan karya seni (tari), yaitu berupa eksplorasi, peniruan, adaptasi lingkungan, dan seterusnya. Di samping itu ada pula penggunaan pola 2 dimensi pada relief candi sebagai pijakan penemuan eksplorasi gerak, di mana hal ini terkait dengan orientasi (fokus) ketertarikan atau kecenderungan pengkarya sebagai penari. Seiring berjalannya proses, konsep penjelajahan eksplorasi tubuh dengan motif ceklekan, digunakan sebagai bahan untuk penawaran ide untuk ujian penciptaan seni. Pada saat yang sama, Bambang Suryono, menyarankan agar mencoba memperdalam eksplorasi gerak tubuh dengan mengambil motif relief candi sebagai referensi atau rujukan. Dari saran ini, pengkarya melakukan penelusuran pustaka dan proses di lapangan, yaitu relief candi Prambanan sebagai obyek pengamatan. Pengkarya menyadari bahwa membicarakan tari berarti bicara tentang koreografi. Mengkoreografi artinya mengorganisasi tubuh. Melalui tubuh, tubuh dikonstruksi oleh berbagai ideologi yang muncul dari adanya bahasa, seperti bahasa politik, bahasa sosio kultural, bahkan bisa juga persoalan politik pribadi. Tubuhlah yang memberi aksi di dalam tari. Tubuh itu sendiri bisa memiliki arti sebagai anatomi, gerakan, ataupun ideologi. Karya ini gerak didasarkan pada penguasaan konsep wirama (irama tarian), wiraga (olah gerakan), dan wirasa (perasaan atau penghayatan). Karya tari ini mencoba menjangkau kesadaran penonton, tapi juga memancing pertanyaan yang bisa dijawab oleh penonton sendiri.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
111
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
Kalau hendak dikatakan sebagai sebuah eksperimen tari, tidak asal menciptakan gerakan dan alur cerita, tetapi disertai perenungan mengenai proses kreatif dan filosofi koreografer. Dalam karya ini terjadi sebuah konstruksi hubungan antar manusia, atau dalam konteks lebih khusus mencoba meletakkan kembali konsep ekspresi manusia dalam eksistensinya kepada impuls personal yang lebih subtil dan personal. Tubuh dan Tari Tari telah lama terbentuk sebagai pertunjukan, ritual, dan kajian hayatan. Bahkan saat ini, tari telah menjadi kajian penelitian dan mampu berkolaborasi dengan beragam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kesehatan bahkan terapi sosial. Meminjam analogi Shin Nakagawa (2000: 37) eksistensi tari dapat dilihat dari kedudukannya sebagai teks dan konteks dalam masyarakat. Tari bukan hanya ekspresi gerak (teks) yang menghibur secara dangkal atau semata tontonan. Tari adalah ruang pembacaan yang lebih kritis tentang identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah tari itu sendiri (konteks). Namun modernitas mendekonstruksi cara pandang seperti ini dengan meletakkan tari dalam sebuah medan transkultural, menekankan kaitan antara “struktur gerak tari” dan “struktur kebudayaan” di mana tari itu hidup dan berkembang. Tari berada dalam ruang yang memungkinkannya bertemu, bersilangan, bersimbiosis, berdialog, bercampur dengan unsur lain yang beragam. Dengan begitu tari mampu membuka aneka “ruang kemungkinan” dan pandangan baru tentang tari (gerak) itu sendiri.
112
Anggono Kusumo Wibowo
Tari dalam horizon yang tak terbatas tersebut, orang dapat menemukan “potensialitas” pemahaman tentang tari, yang tak terbayangkan, tak terpikirkan, dan tak terimajinasikan sebelumnya. Tari dapat menjadi sarana mencari hubungan antara struktur gerak tari di satu pihak, serta masyarakat dan budaya di pihak lain. Pembukaan ruang bagi reinterpretasi gerak tari untuk menelusuri apa yang tersembunyi di dalam bahasa, apa yang ditangguhkan melalui tanda, apa yang ditunjuk, apa yang direpresentasikan (Fisher, 1986: 77). Pembacaan tari membuka ruang bagi persandingan dua atau lebih tradisi kebudayaan melalui kolaborasi dengan hal lain. Dihari ini, pelaku tari tidak membatasi tubuhnya pada perlakuan estetis dan praktis, tetapi telah mengadopsi perlakuan untuk membaca ruang-ruang non-estetis dan nonteknikal. Tubuh bisa menjadi medan identitas yang kompleks, sehingga tubuh perlu dilucuti dari segala atribut identitas sosial, kultural maupun politis, dan kembali pada impulsimpuls yang “primitif” yang lebih universal, yaitu bagaimana tubuh bergerak di dalam ruang dan waktu tertentu. Untuk itu, seniman tari telah membuka sensor tubuh dan rasa pikiran lebar-lebar untuk mewacanai ségala bentuk dan toleransi interpertasi, motivasi dalam tujuan kreatif yang sepadan dengan arah tujuan masyarakat mencapai penyetaraan dan keadilan arti kemanusiaan. Efek harapannya berupa refleksi tentang persepsi dan penampilan, meditasi dan interference, kediaman (stillness), dan gerakan. Tubuh mempunyai landasan yang tak tentu, antara yang nyata dan virtual yang menginvestigasi modus-modus persepsi kita.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
Tari bisa dilihat sebagai sebuah prinsip aransemen, susunan, dan ekspresi tanpa bingkai; sebagai susunan dinamis. Sebuah “himpunan” yang dibangun oleh elemenelemen gerak (tubuh, kostum, iringan, panggung) serta elemen-elemen lain non-tari (elemen sosial, psikis, politik, budaya bahkan spiritualitas) dengan membentangkan cakrawala dan horizon luas yang mengintegrasikan tari dengan makna eksistensi kita. Dalam tari tanpa bingkai, meminjam analogi Yasraf Amir Piliang (dalam Andra, 2011: 137) itu kita mendapatkan visi pencerahan, arti kehidupan manusia dalam keseluruhannya. Tari tanpa bingkai adalah bentuk diorganisasi hal-hal yang membingkainya. Yang dipentingkan di dalamnya adalah hubungan dinamis dan jejaring antara elemen-elemen pembangunnya (alat, teknologi, tubuh, sosial, kultural) membuka ruang perbedaaan tanpa akhir. Pada konteks pemahaman semacam itu penari adalah representasi tubuh yang mempunyai energi kuat bagi siapa saja yang mampu mendalami dan memanfaatkan dari kekuatannya dengan media gerak dan tubuh. Gerak yang menyatu dengan tubuh membuat sebuah rangkaian puisi gerak dengan ekspresi yang disertai dengan getaran jiwa. Hal tersebut akan mempengaruhi seorang penari yang sudah syarat akan pengalaman dan pengembaraan yang mempengaruhi segala daya upayanya, sebagai seniman tari. Sehingga kemampuan yang ada dalam setiap gerak, sudah mampu memunculkan sebuah imajinasi yang sangat dalam, pemunculan individu yang kuat. Sering juga disebut sebagai ‘menjadi’. Itu semua merupakan hasil proses kerja yang
teratur dan disiplin dari seorang seniman hingga hasilnya dapat memberi arti bagi kehidupan seni. Dunia seni memerlukan kreativitas dan daya eksplorasi agar senantiasa mengalami perkembangan, termasuk bagi tari. Ruang gerak pertama adalah mengembangkan daya cipta dan daya jelajah sebagai sesuatu yang senantiasa menyertai setiap kreativitas, yaitu penemuan dan perumusan tema-tema “baru”. Ruang gerak kedua adalah pengembangan teknik-teknik kreatif. Dalam hal ini seniman dapat membuat teknik baru yang dapat meningkatkan taraf “kecanggihan” ekspresi. Ruang gerak yang lain adalah dalam proses dan pengembangan teknik-teknik gerak ekspresi. Suatu tema yang terpusat pada satu hal tertentu seperti relief candi dapat memiliki lebih dari satu urusan untuk dibahas, misal karakteristik sumber ide baik berkenaan dengan komposisi unsur-unsurnya (yang berhubungan dengan tari seperti pose, adeg, ekspresi dan lain-lain) serta di sisi lain perhatian diberikan kepada fungsi serta makna-makna simbolik yang mungkin terkait dengannya. Dua sisi proses kreatif ini didekati dengan teknik-teknik yang berbeda pada tahap pengumpulan data dan analisis tahap pertama, untuk kemudian diintegrasikan di dalam analisis dan penafsiran. Maka pertanyaan yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana mengangkat relief candi sebagai sumber ide kreatif karya tari. Diharapkan nantinya tercapai tujuan dan manfaat kajian ini sebagai media kreatif untuk mengasah kecerdasan intuisi gerak dalam merespon ruang, waktu, dan suasana. Bereksperimen dengan menjelajahi berbagai kemungkinan
Volume 12 No. 2 Desember 2013
113
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
ekspresi (tari) untuk menemukan ekspresi baru dengan mencipta fleksibilitas tubuh penari. Dengannya diharapkan dapat memberi kepahaman pada khalayak, bahwa dengan konsistensi dan ketekunan berlatih dalam eksplorasi gerak; memberikan fleksibilitas tubuh dalam kemahiran teknik yang benar-benar siap sebagai penari sekaligus kreator. Manfaat berikutnya memberikan pemahaman bahwa kekayaan eksplorasi gerak tubuh bisa dicapai dengan berbagai upaya (bisa memanfaatkan bermacam medium). Salah satu upaya tersebut adalah dengan memanfaatkan bentuk fisik untuk membuka wawasan dan daya imaginasi pengkarya dalam memperkaya ekspresi tari. Oleh karenanya sebagai langkah awal, metode yang dilakukan adalah melakukan penelusuran nilai-nilai yang terdapat dalam relief-relief candi perlu dilakukan. Sesudahnya, kesimpulan pemahaman tersebut diaplikasikan dalam konteks sajian gerak tari. Hal lain, ekspresi teknik visualisasi seni rupa dalam relief candi bisa menjadi lahan berbeda dengan aspek presentasi seni tari. Akan tetapi, dalam beberapa pemahaman, teknik penampilan relief sebagai sumber ide dan juga pada saat yang sama mengilhami seni tari. Aspek kajian seni yang pertama dan terkait dengan tema eksplorasi kreatif yang pengkarya lakukan adalah pengolahan data arkeologi. Aspek pertama adalah yang berkenaan dengan kaidah. Telah dilakukan penelitian-penelitian yang bersifat mencocokkan kaidah-kaidah yang dirangkum dari sumber-sumber tertulis dengan kenyataan artefak-artefak yang ditemukan di Indonesia. Hal ini telah dilakukan mengenai sikap dan gerak tari.
114
Anggono Kusumo Wibowo
Sumber acuan adalah Natyasastra dan aturan-aturan ikonometri. Dikaji juga kaidahkaidah arthalamkara, yaitu ‘hiasan’ sastra yang berkenaan dengan makna. Kaidahkaidah seni itu untuk sebagian berimplikasi langsung kepada teknik seni. Natyasastra diacu sebagai sumber presentasi panel relief tari yang terdapat di candi Prambanan. Dalam konteks ini, aspek seni rupa yang tak bisa ditinggalkan tentu saja terkait dengan teknik visual, ikonometri maupun estetika seni rupa. Oleh karenanya sebagai presentasi konsep nilai yang mendasarinya, maka candi juga menyimpan representasi simbolik nilai-nilai yang terangkum di dalamnya. Salah satu teknik yang muncul dalam presentasi relief yang dimaksud adalah kaidah arthalamkara, yang menyimpan konsep nilai simbolik dalam teknik penampilannya (Encyclopedia of World Art 1969:20). Aspek berikutnya adalah pemerincian ciri-ciri secara obyektif, dalam arti dilihat dari sudut penglihatan sebagai peneliti hingga ke analisis interpretasinya, dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai keajegankeajegan serta kecenderungankecenderungan berubah atau bervariasi beserta intensitasnya masing-masing. Perolehan data obyektif itu kemudian dapat dikaitkan dengan fakta-fakta di luar bendabenda seni itu sendiri, seperti tradisi kreatif sampai dengan teknik sajian tertentu. Dari studi ini terungkap bahwa situasi-situasi sedih, bangga, bergegas, hormat dan lain-lain diwujudkan melalui sikap-sikap badan, tungkai, lengan dan kepala, yang sepenuhnya sesuai dengan kaidah yang ditegakkan dalam kitab Abhinaya Natyasastra dan berbagai selanjutnya.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
Membaca Candi Pada beberapa panel candi dapat ditunjuk suatu “adegan” figur dalam pose menari. Terkait dengannya, ternyata telah dilakukan penelitian-penelitian menunjuk pada sumber acuan adalah Natyasastra, kaidah-kaidah seni yang sebagian berimplikasi langsung kepada teknik seni tari. Dalam penelusuran selanjutnya, pada dasarnya mengungkap keberadaan candi di Indonesia, seperti tidak ada habisnya, karena cukup banyak misteri yang menarik untuk terus ditelusuri dan diungkap, guna memberi kita pemahaman sekaligus pencerahan yang sungguh luar biasa. Di Indonesia dan khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, banyak terdapat candi sebagai peninggalan kebudayaan Hindu dan Budha. Salah satunya adalah candi Prambanan atau sering pula dikenal dengan nama candi Rara Jonggrang. Candi ini dibangun pada sekitar tahun 850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni: Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa Wangsa Sanjaya. Kompleks candi Prambanan terdiri dari 8 kuil atau candi utama dan lebih daripada 250 candi kecil, tiga candi utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada Sang Hyang Trimurti: Batara Siwa Sang Penghancur, Batara Wisnu Sang Pemelihara dan Batara Brahma Sang Pencipta.
Gambar 1. Fragmen Ramayana pada salah satu panel Candi Siwa, komplek Candi Prambanan. (Foto: Anggono Kusumo Wibowo, 2011) Pada candi Prambanan banyak dijumpai relief-relief yang menggambarkan cerita maupun sejarah dan pengajaran falsafah hidup. Di samping itu, relief pada candi Prambanan juga mengungkap keberadaan seni tari yang hidup pada masa itu. Menurut Edi Sedyawati (2011) “Ada satu panil dari 62 panil candi sisi luar pagar Candi Siwa dan Prambanan merujuk pada gerak tari “lokal”. Sisanya dapat dikembalikan pada rincian gerak-gerak tari tandava, tari klasik India, sebagaimana digambarkan dalam kitab Bharata Natyasastra. Kenyataan ini memberikan pemahaman bahwa keberadaan relief candi masih erat kaitannya dengan keberadaan seni tari tradisi yang dapat kita jumpai pada masa kini. Keberadaan relief candi Prambanan dengan beragam bentuknya, secara fisik mempunyai nilai artistik yang tinggi. Keindahan relief candi Prambanan dengan segala bentuk artistiknya tersebut telah mampu memberikan daya imaginasi serta inspirasi untuk bergelut dan berproses dalam mengeksplorasi tubuh sebagai penari.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
115
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
Teknik kesenirupaan dalam relief, bahwa relief dalam ukuran tertentu juga mempertimbangkan visualitas tubuh dalam bentuk dua dimensi. Artinya teknik penampilan tubuh juga dihitung secara cermat untuk menciptakan kesan visual yang optimal. Pada saat yang sama, dengan tujuan representasi visual tersebut, ditemukan suatu bentuk-bentuk visual tubuh yang tergambar dalam relief secara patah, bersudut tegas dan “nyeklek”. Nyeklek dalam bahasa Jawa, berasal dari kata nyeklek yang berarti patah (Utomo, 2007: 68), dalam arti harfiahnya kesan patah sering menunjuk pada siku yang menekuk dengan sempurna dan ataupun membentuk sudut tertentu. Kata nyeklek berarti sebuah kata kerja menjadi patah. Kesan terakhir ini menjadi penting. Bahkan dalam pemahaman hubungannya dengan teknik gerak tari untuk memandang pose relief tersebut, penggambaran visual tubuh relief digambarkan dalam bentuk ekstrimisitas tertentu. Seperti pada koordinasi gerak tubuh dalam satu pose relief mempunyai sudutsudut yang tegas dalam penggambarannya, misalnya siku, bagian kaki yang menekuk sampai dengan tolehan wajah dalam pose berpaling yang ekstrem (ke kanan maupun ke kiri). Oleh karenanya dalam proses kreatif transformasi ide relief candi menuju gerak tari, seniman tentunya juga memerlukan pembahasan mengenai konsep-konsep kinesiologi: gerak, motion, movement. Ellen Neall Duvall dalam bukunya Kinesiology, the Anatomy of Motion (1959) membagi gerak menjadi beberapa macam seperti fleksiekstensi, pronai-supinasi dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pembahasan mengenai kajian figur relief, apa yang
116
Anggono Kusumo Wibowo
dijelaskan tersebut cukup memadai untuk mengetahui bahwa sesungguhnya setiap gerak dari anggota badan atau ekspresi mimik selalu ada batasnya. Misalnya fleksi ekstensi pada siku bagian tubuh digerakkan sampai dengan batas maksimumnya. Dalam pembicaraan mengenai relief candi, A.G. Pringgodigdo (1973: 1123) menyebutkan bahwa relief adalah suatu lukisan timbul yang dipahatkan pada sebuah bidang berlatar belakang, yang tidak mempunyai dimensi plastis yang sebenarnya. Sedang dimensi dalam (isi) dikesankan oleh pertolongan proyeksi atau perspektif pada bidang itu sendiri. Relief merupakan wahana tanda, sedang penggambaran relief merupakan pertanda yang dihasilkan oleh para çilpin dengan makna yang disadari maupun tidak disadari untuk mengekspresikan gagasan dan pikirannya. Sebagai alat komunikasi, relief merupakan salah satu bentuk bahasa non verbal. Bahasa sendiri adalah simbol dari masyarakat pendukungnya. Relief candi merupakan tanda yang bersifat visual dengan kode-kode budaya yang melambangkan nilai-nilai tertentu. Tampilan atau penggambaran relief dapat memberikan stimulus kepada orang yang melakukan pradaksina patha (berjalan menganankan candi) untuk memberikan respon interpretatif berdasarkan persepsi mereka pada kode-kode budaya yang melingkunginya, dengan demikian penelitian untuk karya tari ini cenderung menggunakan pendekatan semiotika signifikasi. Oleh karenanya selama ini pemahaman kita terhadap relief bermuara pada pemahaman adanya keterbatasan ruang relief dua dimensi yang berakibat membatasi perspektif. Ruang jadi statis.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
Implementasinya dalam tari, tidak ada perlakuan terhadap ruang dalam tubuh. Yang membedakan dengan tari, itu ruang internalnya dinamis. Dua dimensi itu statis, ruang itu dinamis. Sementara kita tahu bahwa elementary discourse dalam tari adalah ruang, gerak dan waktu. Ruang itu muncul ketika ada distansi dari perpindahan (bisa jadi gerak), dalam hal ini perpindahan posisi. Pada akhirnya didapatkan kesimpulan mengenai Agregasi (korelasi unsur) – bentuk adalah satuan unsur yang berorganisasi dan beragregasi (Paul Stern). Pemahaman ini nantinya berujung pada munculnya kesan tentang sebuah sajian tari. Pemahaman ini menjadi sebagian dari benang merah yang menghubungkan teknik gerak nyeklek dalam tari dengan visualisasi relief. Bahwa nyeklek, selain merupakan salah satu bentuk presentasi tubuh dalam tari, ternyata juga terdapat dalam seni rupa relief. Yang menjadi lebih menegaskan benang merah ini adalah relief tersebut menampilkan bentuk salah satu pose tari. Hal ini menjadi pijakan awal untuk mendalami lebih jauh proses kreatif dalam pencarian esensi gerak nyeklek. Bahwa dari suatu bentuk, pertemuan garis segmentasi tubuh (misalnya torso – kaki, lengan atas – lengan bawah, ataupun torso – lengan) menciptakan ruang imajinatif yang sebenarnya bisa diolah dimana gerak tubuh mampu mengisi dan mengenergikan kualitas vokabuler gerak dalam pemahaman yang apresiatif dan inspiratif. Dengan pengembaraan tubuh dalam tema nyeklekan ini pada akhirnya mampu menciptakan capaian kualitas tubuh penari terkait dengan pemaknaan segmen-segmen tubuhnya.
Nyeklek dalam Tari Dengan pemahaman tentang satu esensi dari peran tari, ada baiknya keberadaan para pelaku dan pencipta tari saat ini memiliki keberanian untuk mereformasi sebuah sudut pandang pertunjukan-pertunjukan tari pada satu bentuk penciptaan dengan melakukan eksperimen-eksperimen, pencarian, dan pengolahan gagasan tanpa meninggalkan spirit tubuh sebagai esensi dari seni tari. Bukan lagi terpaku pada pembuatan kolase teknik dalam membangun imaji yang akan dihasilkan di sebuah pertunjukan tari dengan meninggalkan fungsinya bagi masyarakat luas. Mengutip satu pemahaman akan politik tubuh dari Michel Foucault terhadap tubuh yang mengambil bentuk penghancuran tubuh dan langsung menyentuh tubuh secara langsung, justru membuat tubuh menjadi ambigu. Karena itulah, tari seharusnya tidak meniadakan jejak sejarah tari itu sendiri, melainkan mengemasnya menjadi sebuah komposisi koreografi yang lebih plural (secara tubuh). Membiarkan tubuh itu bicara dengan bahasanya, dengan memperkenalkan spirit dalam tari yang lebih mendalam dan serius mengenai persoalan sosial dan seni menuju tercapainya perluasan dan penerangan konseptual dalam panggung tari. Lebih lanjut Hidajat (2005) mengungkap bahwa koreografi bertolak dari tubuh yang merindukan untuk dapat berbicara lebih fasih, lebih lancar, lebih runtut dan pada akhirnya tubuh mampu membicarakan kecerdasannya sendiri. Sebagai rujukan, dengan membaca mengamati, dan memahami detail bentuk yang tampak secara fisik (terutama dalam
Volume 12 No. 2 Desember 2013
117
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
bentuk pose tari yang terdapat dalam salah satu panel relief candi) telah mampu memacu daya imaginasi pengkarya untuk membangun ruang ekspresi baru sekaligus membentuk fleksibilitas tubuh penari. Dengan pengertian ini, tubuh yang menari adalah tubuh yang mengalir seperti sungai. Teknik tidak diperlakukan sebagai kekuasaan untuk membuat bentuk atau kekuatan yang cenderung mengakibatkan tubuh menari dengan “menderita” atau terobsesi sebagai tontonan semata. Lebih lanjut Hidajat mengungkap bahwa koreografi bertolak dari tubuh yang merindukan untuk dapat berbicara lebih fasih, lebih lancar, lebih runtut dan pada akhirnya tubuh mampu membicarakan kecerdasannya sendiri. Dalam hal ini tubuh tidak bermakna sebagai narasi literer, tetapi vokalitasnya dalam menceritakan dirinya sendiri. Persolan “personalitas” muncul dalam karya ini. Maka upaya untuk mengkritisi dan menggali kemungkinan baru dari hal-hal yang tertanam kental dalam tradisi kiranya menjadi usaha wajib agar sejarah kesenian kontemporer kita bisa bergerak lebih jauh. Terlebih tren mutakhir dalam dunia kesenian saat ini adalah munculnya karya-karya alternatif yang bertolak dari kesadaran mempertanyakan medium utamanya masing-masing. Di satu sisi, para pengamat mensinyalir bahwa persoalan dunia tari Indonesia masih sepi dari eksperimeneksperimen koreografer yang secara intens melakukan pertanyaan dasar pada tubuh, gerak, langkah, gesture dan skenografi, yang akhirnya mampu melahirkan koreografi dengan perspektf lain.
118
Anggono Kusumo Wibowo
Persoalan seni tari Indonesia, menurut Seno Joko Suyono (2007, dalam Andra, 2011: 3), di satu sisi dikarenakan terlalu kuatnya tradisi yang justru membuat kurang segarnya pembaruan. Karya koreografi yang lahir, meskipun berbeda variasi, rata-rata selalu menyodorkan aura yang sama dengan tema dan ”sisi kedalaman” gerak yang bergerak tak jauh dari wawasan patron tertentu. Efek yang sampai kepada penonton seolah memburu sebuah jenis sublimitas dan keheningan yang itu-itu juga. Bagaimanapun karya seni tari tetap harus memperhatikan nuansa estetik. Seorang penari tidak hanya dituntut mampu mengkomunikasikan pesan melalui gerakan tarinya. Mereka juga harus mampu menengahkan kesan melalui gerak yang estetis dan komunikatif. Tentu, tidak ada rumus tunggal untuk melahirkan karya tari dengan kualitas prima. Tugas seorang koreografer adalah membuka ruang publik dengan gagasan baru dan segar. Memancing kesadaran khalayak tanpa perlu menggurui. Melalui kesan yang ditampilkan dalam karya seni, masyarakat bisa mengapresiasi sendiri dan menerbitkan sejumlah pertanyaan yang menyadarkan. Menurut Sumaryono (2007), pada dasarnya penonton seni pertunjukan ingin mendapatkan dua hal, pertama adalah kenikmatan visual dan kedua adalah pemahaman makna dibalik aspek visualnya. Tentu saja makna dan arti tersebut sangat bergantung pada subjektifitas sang koreografer. Kedua pengertian ini bisa dianalogikan dengan hubungan “bentuk” dan “isi”, yaitu dua hal yang menjelaskan dan yang dijelaskan. “Bentuk” dapat kita lihat dari aspek visual yang ditunjukkan di atas panggung, sedangkan isi adalah makna atau
Volume 12 No. 2 Desember 2013
arti yang menjelaskan tentang bentuk dan segala aspek sosialnya. Dengan kata lain, bentuk dan isi merupakan kesatuan hubungan yang harmonis, bentuk memperjelas isi, terpisah apakah isi yang terkadang tidak bermakna. “Isi”, dengan kandungan maknamakna tertentu itu bersumber dari apa yang sering disebut tema. Untuk itulah, persoalan dalam tari adalah sejauh mana tema dapat berhasil divisualisasikan ke dalam garapan di atas panggung. Terkadang juga penata tari bingung dengan tema dan lakon/cerita, sehingga sering terjebak untuk mencari-cari gerak yang harus disesuaikan dengan tema ataukah lakon/cerita. Tema tari, lanjut Sumaryono, adalah intisari yang akan memberikan spesifikasi karakteristik bentuk koreografi sehingga menghasilkan makna-makna untuk menjembatani penonton dalam memahami aspek-aspek visualnya. Atau sebaliknya, aspek-aspek visual tersebut dapat memperjelas pada tema yang dimaksud, oleh sebab itu, tema tidak terikat oleh struktur penceritaan atau kronologi suatu struktur tari. Untuk mengaktualisasikan tema nyeklekan yang menjadi gagasan suatu karya, latar belakang kepenarian seseorang bisa jadi berpengaruh besar. Dalam hal ini seniman dengan pengalaman ketubuhan, terutama penari tradisi Jawa yang kerap memerankan Cakilan), kreativitas dan kecerdasan tubuh serta kematangan berproses kreatifnya, kesemuanya itu dimaksudkan untuk memberi makna personalitas diri dalam arti yang lebih luas juga merevitalisasi nilai-nilai tradisi dalam konteks yang lebih aplikatif namun tetap tak meninggalkan kandungan maknanya. Seluruh pemaknaan tersebut menjadi titik
keberangkatan proses kreatif yang dilakukan seniman selanjutnya, dalam menyusun sebuah komposisi repertoar tari melalui proses kreativitas bentuk dan pengolahan medium garapannya. Selama ini dipahami bahwa tarian Jawa memiliki gerakan yang khas. Oleh sebagian penari Jawa, gerak-gerak itu tidak saja kaya akan ragam jenis gerak tetapi dalam tarian tertentu memiliki makna yang dalam. Dari sinilah muncul aturan dan norma dalam gerak tari Jawa. Gerakan-gerakan tertentu tidak diperbolehkan dilakukan dengan seenaknya. Untuk melakukan gerakan itu, ia membutuhkan tenaga, spirit, dan berikut nilai simbolik etika estetika yang tidak bisa ditanggalkan begitu saja. Bentuk-bentuk fisik relief, tidak hanya menunjuk pada pola nyeklekan dalam arti harfiah. Lebih dari itu, secara fisik, wujud relief (dua dimensi) mempunyai gesture yang lebih beragam, termasuk nyeklekan ataupun tekukan sebagai salah satunya. Setelah melakukan pengamatan mendalam terhadap detail-detail bentuk (gesture) relief (dua dimensi) motif-motif lain yang tampak adalah pose yang menggambarkan sembahan, adegan perkelahian, peperangan, pose memegang senjata, dengan bentuk yang nampaknya cukup rumit jika diaplikasikan pada tubuh penari sebagai figur tiga dimensi.
Gambar 2. Eksplorasi adeg Cakilan. (Foto: Anggono Kusumo Wibowo, 2012)
Volume 12 No. 2 Desember 2013
119
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
Namun demikian serumit apapun bentuk yang tampak pada relief, dalam konteks karya tari eksplorasi tetap dilakukan dengan keliaran penjelajahan gerak untuk menemukan ekspresi baru dalam wujud tiga dimensinya (tubuh penari). Persoalan lain yang hadir adalah, dari masing-masing bentuk fisik relief (dua dimensi) yang teramati, untuk kemudian diaplikasikan menjadi gerak tubuh penari, muncul suatu keharusan, yaitu pertimbangan terhadap pergerakan dari satu titik (gesture satu) ke titik (gesture) berikutnya, atau semacam transformasi, sehingga bisa disebut gerak (tari). Setelah membaca relief (dua dimensi) ditransformasikan ke dalam bentuk gerak tiga dimensi itu dengan medium tubuh penari. Di samping itu, disadari pula bahwa sebenarnya dalam tubuh masing-masing penari memiliki ruang negatif dan ruang positif dimana tubuh penari selalu memiliki ruang dan selalu memunculkan ruang-ruang imaginer meskipun secara tidak disadari. Dalam hal ini benang merah kreativitas dalam mengolah sikap-sikap gerak, bisa saja berasal dari mana saja, termasuk vokabuler tari Cakil. Terlebih dalam pemahaman yang paling sederhana, bentuk-bentuk nyeklekan dapat dengan mudah dijumpai dalam vokabuler gerak tari Cakil. Sikap-sikap yang dimaksud diantaranya adalah sembahan, sabetan, candakan, capengan, untiran kanan, cekotan, sawuran belakang, kelitan, dan melayang. Efek stilisasi turut dipertimbangkan sehingga pemunculan geraknya tidak tampil secara wadag dan wantah.
120
Anggono Kusumo Wibowo
Koreografi sebagai Proses Pada dasarnya, koreografi sebagai sebuah proses penciptaan tari meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif dapat diterangkan dengan bagaimana seorang koreografer mempunyai ide yang akan diciptakan, nilai apa yang akan diungkapkan, dasarnya apa, bentuknya bagaimana, tujuannya bagaimana dan lain sebagainya. Ranah afektif meliputi proses garap dan sentuhan emosional sampai menuju dan tercermin pada penghayatan atas karya yang dibawakan. Aspek psikomotorik tercermin pada usaha proses penjelajahan dan improvisasi dalam penciptaan karya (Widyastutieningrum dkk., 2002). Beberapa hal elementer dalam proses koreografi, diantaranya adalah mengenai elemen ruang, tenaga dan waktu, serta hubungan antara ketiganya; konsep bentuk dan struktur; konsep bentuk dan konsep isi karya koreografi serta proses penjelajahan gerak, musik dan penyusunan sebuah karya koreografi dengan memperhitungkan garis, kecepatan, irama, ruang, gerak sebagai elemen dasar sebuah karya koreografi. Melalui proses eksplorasi dan improvisasi, koreografi dapat dilakukan dengan metode latihan gerak berkembang lewat latihan emosi dan selanjutnya, tahap perkembangan penari akan melalui tahap spontanitas, organisasi, kesatuan dan ekspresi. Sebuah karya koreografi harus memperhitungkan unsur kesatuan (unity), keragaman gerak (variety), kontinuitas, klimaks, keutuhan harmoni yang dinamis. Konsekuensinya, akan didapatkan sebuah gerak yang mempunyai faedah dan atau
Volume 12 No. 2 Desember 2013
pada saat lain gerak yang ditampilkan hanya berkaitan dengan kebutuhan estetis.
Gambar 3. Eksplorasi panel candi pada pentas “Tubuh Ritus Tubuh” karya Anggono Kusumo Wibowo, Teater Besar ISI Surakarta, Kamis 26 Juli 2012. (Foto: Anggono Kusumo Wibowo, 2012) Pada akhirnya tari bukanlah pose-pose yang terus berlanjut dalam satu aliran gerak, tapi pose-pose itu sendiri bisa muncul dalam frame-frame artistik yang mandiri dan bisa dilihat tersendiri. Itulah sebabnya gerak bagi penari bisa diminimalisir menjadi pose-pose tertentu sesuai dengan karakter dan alur cerita dalam konteks kepentingan dramatik atau yang lebih dikenal dengan adeg. Hal ini sejalan dengan pemikiran Pramutomo (2008: 429-430) yang menyebutkan bahwa pola adeg pada suatu genre tari menjadi bagian penting untuk memahami aspek estetika tari lainnya. Pola adeg dapat dicermati dalam posisi statis atau istilah tancep. Mengacu pada pendapat Soedarsono yang menyebutnya sebagai ‘gerak penguat ekspresi’ dalam konteks dramatari dan tari dramatik yang sangat dominan unsur dialog maupun kepentingan yang menjelaskan kekuatan dialog itu sendiri. Tari bagi masyarakat Jawa memiliki esensi yang selalu berpijak pada
keseimbangan, dan keselarasan. Ideal bagi orang Jawa berarti tidak adanya tekanan pada dirinya, sehingga segala bentuk menjadi seimbang dan tanpa tekanan. Keidealan juga membentuk ruang tubuh ideal bagi orang Jawa. Ruang tubuh ideal berdasarkan berbagai pandangan ideal bagi masyarakat Jawa di atas adalah yang terbentuk seimbang, mengalir tanpa tekanan. Namun disisi lain, justru pada titik tanpa tekanan inilah, karya tari akan diberlangsungkan, dalam logika pemahaman yang sama terhadap sumber ide, gerak sebagai unsur tari dan kemampuan tubuh seorang penari. Hubungannya dengan penari: kecerdasan tubuh penari untuk ditekuk seperti relief, jauh berbeda dari adeg tradisi yang sudah mempunyai bentuk-bentuk baku. Bentuknya paling jelas muncul pada bentuk-bentuk nyeklekan. Kunci gerak nyeklekan adalah pada tekanan terhadap sendi-sendi tubuh.
Gambar 4. Penari dengan teknik flowing pada pentas “Tubuh Ritus Tubuh” karya Anggono Kusumo Wibowo, Teater Besar ISI Surakarta, Kamis 26 Juli 2012. (Foto: Anggono Kusumo Wibowo, 2012) Penjelajahan Kreatif Nyeklekan Tawaran definisi nyeklekan yang ditemukan dalam proses – baik secara
Volume 12 No. 2 Desember 2013
121
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
bentuk, gerak, isian, hubungannya dalam tari tradisi Jawa (duet, kelompok rampak, flow). Seperti yang dilakukan dalam proses kreatif, pengkarya mencoba menelusuri apakah sebenarnya nyeklekan, baik secara teknik gerak, poin tekanan segmen tubuh maupun dibandingkan dengan teknik gerak tari lainnya. Apakah nyeklekan merupakan tekanan pada segmen tubuh tertentu, apakah nyeklekan pada dasarnya merupakan sudut tegas pada bagian tubuh tertentu, apakah nyeklekan merupakan kekuatan yang diterapkan pada tekukan tertentu atau lainnya? Mungkinkah nyeklekan pada dasarnya adalah moving frame, pose-pose yang bergerak, yang sebenarnya dapat ditemui pada seluruh karakter gerak tari? Untuk itu seniman mestinya mencoba mengekplorasi teknik gerak sebagai pembanding kreatifitas. Suatu teknik gerak yang termotivasi oleh release technique modern dancenya Amerika, dengan banyak menyodorkan untaian gerak mengalir mengikuti sensing gerak tubuh, dan mengikuti momentum aliran geraknya sebagai ciri utama relase technique, bisa menjadi langkah awal yang menarik. Intensitas flowing dan inisiasi yang ditekankan salah satu penari barangkali kerap kita lihat terutama dalam gerak alusan tradisi Jawa, yang pelan, nyaris diam namun terasa kontemplatif nan membuncah-buncah energinya itu. Namun dengan teknik freezing, untaian gerak “mengalir” yang selama ini kita pahami dan rasakan dalam gerak tari tradisi, dicacah sedemikian rupa dalam sajian yang cut to cut, progress dan terasa begitu hibuk. Dalam hal ini seniman bisa saja berada dalam niatan untuk mengingatkan dalam merevitalisasi esensi tari sebagai satu bentuk
122
Anggono Kusumo Wibowo
kreativitas dengan melakukan eksperimeneksperimen, pencarian, dan pengolahan gagasan tanpa meninggalkan spirit tubuh sebagai esensi dari seni tari. Seniman mesti melihat tubuh penari sebagai omah yang harus dilihat secara jeli berbagai kelebihan dan kekurangannya, digali kedalamannya, dihidupkan energinya sehingga muncul kekuatan dari dalam, karena wujud gerak tari itu sepenuhnya akan diungkapkan melalui tubuh penari. Pada dasarnya seni tari merupakan media komunikasi yang di dalamnya terkandung spirit akan identitas yang merupakan perwujudan dari suatu filosofi, nilai dan bentukan sejarah, serta tradisi dan budaya tertentu. Seni tari merupakan salah satu wahana ekspresi, sebuah proses harmonisasi tubuh dan pikiran melalui gerakan. Dalam penjelajahan selanjutnya, terkait dengan komposisi sajian, teknik nyeklekan diaplikasikan dalam komposisi tunggal, duet dan kelompok. Dalam komposisi tunggal seakan menjadi pameran bentuk eksplorasi gerak maupun sikap adeg yang dilakukan pengkarya, dengan berdasar pada latar belakang tradisi dan juga teknik flowing. Begitu juga dalam komposisi kelompok, teknik rampak yang digunakan dimaksudkan untuk lebih mengedepankan kualitas nyeklek secara rasa yang tegas dan kuat. Satu hal yang coba ditelusuri lebih jauh adalah komposisi duet. Dalam pemahaman, duet dapat diimplementasikan secara duet (sejenis) maupun pasangan. Terkait dengan latar belakang sebagai penari tradisi, pengkarya mencoba menelusuri lebih jauh konsep tampilan duet. Duet dalam tradisi sejauh ini bisa dengan cepat diacu pada bentuk tari pasihan maupun tari pergaulan.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
Meskipun kualitas rasa keduanya merupakan tarian dengan ekspresifitas kedekatan yang hampir tidak berjarak, namun dalam kenyataannya keduanya tidak melakukan body contact. Terlepas dari simbolisasi nilai tradisi yang menjadi acuan ekspresi tarinya, kualitas rasa menjadi bahan pertimbangan pengkarya dalam melakukan proses kreatif. Kualitas rasa yang dimaksud adalah pada kualitas rasa nyeklek-an (baik secara tunggal maupun kelompok) yang memiliki kualitas rasa gerak yang kuat dan tegas (meskipun tidak bersentuhan). Pengolahan kualitas rasa semacam ini pula yang coba didekati seniman dengan menggunakan konsep body contact dalam bentuk komposisi duet.
Gambar 5. Komposisi duet pada pentas “Tubuh Ritus Tubuh” karya Anggono Kusumo Wibowo, Teater Besar ISI Surakarta, Kamis 26 Juli 2012. (Foto: Anggono Kusumo Wibowo, 2012) Pilihan penari (perempuan, misalnya) dalam komposisi duet (pasangan) juga bisa didekati secara konsep ketubuhan namun tetap dalam koridor tema yang dipilih yaitu nyeklekan. Artinya kualitas ketubuhan penari perempuan diaplikasikan dalam
menerjemahkan berbagai vokabuler gerak yang dieksplorasi. Ancangan tema diaplikasikan dalam ekspresi gerak nyeklekan dengan kualitas yang sama dengan penari laki-laki. Namun pada saat yang sama beberapa eksplorasi juga mengolah tema perempuan (seperti Kidang, Sarpakenaka dan Kalamarica) sebagai usaha pencarian kreativitas yang lebih jauh. Bentuk karya semacam ini merupakan hasil eksplorasi pengolahan tema nyeklekan yang bersumber ide rujukan dari panel relief candi dan vokabuler gerak tari Cakil yang diolah secara kreatif dan artistik. Pemilihan penari, komposisi pemanggungan maupun aspek pertunjukan lainnya (panggung, setting, properti dan musik) berangkat dari tema yang sama dengan penerjamahan artistik masing-masing. Arahannya menuju pada pengidentifikasian teknik gerak nyeklek yang berangkat dari tradisi sekaligus revitalisasi nilai-nilai tari dalam konteks yang lebih kreatif dan membuka kemungkinan pemahaman baru dalam pangaplikasian sajian selanjutnya. Pada elemen artistik setting panggung juga harus mencoba menerjemahkan konsep nyeklekan. Diantaranya, panggung bisa dibuat sedemikian rupa, secara fisik tidak berada pada dataran flat, namun memang disengajakan berada dalam level yang bertingkat dan atau dengan derajat kemiringan tertentu sehingga kesan patah (nyeklek) dapat diterjemahkan secara visual. Hal ini tentu saja berkaitan dengan eksplorasi kreatif yang dilakukan dalam menerjemahkan panggung menjadi gerak. Seperti misalnya pada contoh gerakan nyeklekan yang distilisasi, pada satu titik hal ini memang menjadi dasar olahan ekspresi gerak. Namun pada saat panggung berada
Volume 12 No. 2 Desember 2013
123
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
dalam ekstrimitas relevelan menuju titik yang patah (nyeklek), akibatnya para penari juga melakukan suatu adaptasi tersendiri pada tampilan gerak yang dilakukan. Pada saat yang sama hal ini menunjukkan suatu dialog kreatif antara panggung dan gerak. Pada titik berbeda, dengan vokabuler gerak dan bentuk panggung yang demikian, membuat tingkat kesulitan menjadi lebih tinggi. Hal inilah yang sebenarnya ingin ditunjukkan, kualitas kepenarian yang mengolah nyeklekan (dalam segala bentuk terjemahan artistiknya) menjadi ekspresi estetis yang berkualitas. Selain pemilihan konstruksi level bertingkat dan sedemikian rupa menjadi terlihat patah, penerjemahan ide relief candi juga bisa diterjemahkan melalui penciptaan setting panggung dengan menggunakan bambu yang disusun vertikal dan horisontal. Hal ini, secara fisik mengacu pada bentuk panel relief candi yang memang menjadi awal ide karya. Dengan bambu sepanjang tujuh meter dengan komposisi vertikal dan horisontal, menciptakan ruang-ruang yang diidentikkan menjadi panel candi. Tidak begitu saja diterjemahkan secara fisik, ruangruang ini kemudian menjadi ruang ekspresi. Pose dan gerak yang terekspresikan di dalamnya mengolah bentuk relief secara kreatif (tidak lagi visualisasi dua dimensi, namun menjadi tiga dimensi dalam tubuh penari yang bergerak). Secara teknik, dalam ruang semacam itu tentu saja memerlukan adaptasi teknik gerak yang sempurna sehingga kualitas yang dimunculkan juga dapat terjaga. Penari harus menjaga keseimbangan terhadap ketinggian, namun tetap harus bergerak menciptakan pose tertentu. Pada akhirnya visualisasi semacam ini justru menciptakan kesan dan imaji yang beragam pada visualisasi bentuk
124
Anggono Kusumo Wibowo
panel. Terlebih pada akhirnya ketika terciptakan ruang panggung dan “desain panel”, ruang kosong yang ada di balik panel: menjadi semacam lorong waktu yang mengisahkan masa lalu. Namun pada kesan imaji yang lainnya, gerak yang dilakukan pada ruang di balik panel tersebut, dalam penglihatan penonton, sebenarnya mampu menciptakan visual gerak yang patah (terputus) karena melewati garis yang diciptakan bentuk vertikal-horisontal bambu. Gerak berpulang pada yang empunya materi, yaitu tubuh. Diam, bergerak, halus, keras, lambat, cepat, tidak lagi menjadi ukuran dalam sebuah tarian. Proses kreatif menjadikan tubuh sebagai obyek sekaligus subyek. Suatu waktu ia berbicara tentang konteks, berikutnya dapat pula menjadi teks itu sendiri. Gerak tubuh menjelajah ruang dan waktu membentuk konstruksi-konstruksi yang kaya makna. Hal ini senada dengan Sal Murgiyanto (dalam Utami 2009; 28-29) yang mengungkapkan bahwa keberhasilan seorang seniman profesional ditentukan antara lain oleh penguasaannya terhadap beberapa komponen dasar seperti: Teknik. Dalam tari, ketrampilan teknik mencakup teknik gerak dan teknik koreografi. Seorang penari harus mampu melakukan gerak sesuai dengan tuntunan estetika tari dan teknik koreografi. Jika ia juga seorang koreografer, ia juga harus memiliki kemampuan merangkai gerak dan memandu gerak dengan berbagai elemen seni pendukung lainnya seperti musik, kostum, rias, tata panggung, tata lampu dan lain sebagainya. Kepekaan rasa. Berbeda dengan seorang
Volume 12 No. 2 Desember 2013
-
pemain akrobat yang hanya mengandalkan teknik gerak, seorang seniman dituntut memiliki kepekaan rasa yang mencakup kepekaan rasa gerak, rasa estetik, intuisi dan rasa kemanusiaan. Dua rasa yang pertama tidak terlalu sulit untuk dikuasai, tetapi intuisi (kemampuan untuk secara cepat memahami sesuatu/peristiwa tanpa proses pemikiran sadar) dan rasa kemanusiaan (kepekaan atau kemampuan untuk ikut merasakan atau bersimpati secara mendalam dari apa yang dialami/diderita oleh sesama manusia atau makhluk hidup) hanya dimiliki oleh seniman-seniman tertentu. Kreativitas. Kemampuan kreatif adalah kemampuan untuk mencipta, memberi interpretasi, mewujudkan ide, gagasan dan pengalaman ke dalam sebuah bentuk seni yang disertai daya imajinasi dan inovasi yang tinggi.
PENUTUP Akhirnya, karya tari menjadi semacam pemberhentian proses, yang siap atau tidak harus dipresentasikan sebagai karya penciptaan seni. Apapun bentuknya, karya memiliki pengertian yang lebih jauh dari sekedar merupakan pose tubuh atau alur gerak. Setiap kali tubuh bergerak ia akan menciptakan ruang bagi dirinya sendiri. Secara stimulan ruang ini bisa dinyatakan sebagai ruang positif dan negatif (Wahyudiarto, 2006). Ruang positif pada dasarnya adalah ruang yang ditimbulkan oleh garis kontur dari bagian tubuh yang bergerak, misalnya tangan, kaki, kepala, dan lain sebagainya. Ruang negatif adalah ruang kosong yang ditimbulkan sebagai akibat dari perubahan
garis kontur tubuh yang bergerak. Kesadaran penari terhadap rasa ruang seyogyanya mencakup kedua ruang positif dan negatif tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan “waktu” tidaklah hanya berkaitan dengan “irama” yang melekat dengan iringan gerak tari yang tersaji, namun lebih jauh adalah berkaitan dengan dinamika emosional yang ditimbulkannya. Irama tidak selamanya harus ditandai secara fisik dengan ketukan yang bisa didengar namun bisa saja dengan detak yang sering hanya bisa didengar oleh diri sendiri. Jeda atau diam pun juga merupakan musik yang mampu menghidupkan tari. Pengertian waktu maknanya memang bersifat sirkuler (berulang) namun realita atau kenyataan yang sebenarnya justru malah memberikan makna “ketak-bisa-berulangan.” Dimensi waktu seperti itulah yang menjadikan sebuah tari kalau diulang tetap memiliki rasa kebaruan; dimensi “waktu” inilah yang kemudian membedakan fenomena tari dengan seni rupa yang “hanya” ditandai dengan dimensi ruang yang “beku.” Kita percaya, kreasi-kreasi klasik Jawa masih tetap menggugah di masa ini: di dalamnya ada kekuatan estetik yang seperti roh yang hidup kembali tiap kali sebuah karya dipentaskan; seakan-akan kekuatan itu datang buat pertama kalinya. Maka kita perlu kembali menangkap roh itu – yang acapkali jadi terhambat oleh hal-hal lahiriah yang membungkus koreografinya. Lebih lanjut, koreografi adalah pelaksanaan nalar tari. Demikian dikatakan Henrietta Horn dalam “Menggapai Puncak Panggung”, artikel yang ditulis Nirwan Dewanto (KOMPAS - Jumat, 02 Nov 2001) Koreografi bukanlah adukan 1001 unsur gerak, rupa, cahaya, dan bunyi agar
Volume 12 No. 2 Desember 2013
125
Dari Relief Candi menuju Karya Tari: sebuah Catatan Kreatif
panggung jadi spektakuler. Kedekatan panggung dengan penonton yang akan menjadikan pentas menjadi cair. Inilah sebuah studi, yang memang tidak “bercerita” apa pun, yang memberikan referensi sebuah eksplorasi “ruang” tubuh. Dari sini orang bisa bergumam tentang betapa pentingnya teknik, komunikasi antar sosok-sosok di atas panggung. Maka para penari menjelajahi ruang dan membentuk tata ruang lain dalam suatu interaksi dialogis yang menghasillkan suatu rangkaian gelombang tubuh yang tak henti sekaligus membuka dan memasuki ruang lain. Setting budaya Jawa yang masih ada sekarang memiliki kekayaan, keragaman seni tradisi yang luar biasa banyaknya, yang semuanya dapat digunakan sebagai bahan dalam mengembangkan kreativitas. Jikalau kita menginginkan sesuatu yang esensial, kita harus mau mencari betul atau mengkaji sedalam-dalamnya. Keragaman vokabuler inilah kekayaan tak ternilai sebagai bahan yang dapat secara leluasa dikembangkan sesuai dengan penafsiran dan kreativitas masing-masing. Dalam laku kreatif, sebenarnya apa saja dapat digunakan sebagai sumber kreasi, termasuk seni tradisi. Namun yang perlu diperhatikan bahwa vokabuler atau bahan yang telah ada dalam tradisi adalah sebagai sarana, sarana untuk kebutuhan ungkapan atau kepentingan tertentu, bukan sebagai tujuan. Apabila kita dapat memahami hal ini, maka perlakuan kita dalam mengolah bahan merupakan wilayah kerja yang sangat leluasa, penuh interpretasi, serta selalu terformat dalam bingkai nilai yang aktual. Beragam gaya dan pendekatan, pada akhirnya menjadi cara bagaimana memaknai
126
Anggono Kusumo Wibowo
tari dari sisi yang berbeda. Dimana eksplorasi menggunakan tubuh bisa hadir berubahubah sesuai konteksnya. Makna-makna pertautan secara simbolis dalam koreografi ini, lebih merunut pada desain fisik yang mengingatkan kita pada gagasan atau sesuatu yang lain tentang tari itu sendiri. Inilah sebuah studi, yang memang tidak “bercerita” apa pun, yang memberikan referensi sebuah eksplorasi “ruang” tubuh. Dari sini orang bisa bergumam tentang betapa pentingnya teknik, komunikasi antar sosok di atas panggung. Kesadaran semacam ini mengerucutkannya menemukan kemungkinan fokus karya pada sajian elementer kepenarian seseorang. Artinya pentas akan menjadi lukisan sajian yang menunjukkan bagaimana seorang penari berproses awal dengan tubuhnya, menyikapi tubuhnya, mencerdaskan tubuhnya dengan mencoba berbagai kemungkinan vokabuler gerak, mengkontekskannya dengan frame sajian, serta dalam tujuan luhur yang lebih jauh adalah membentangkan kemungkinan pemahaman dan pembelajaran pada khalayak bahwa seni adalah sebuah kompleksitas ekpresi antara teknik dan keindahan, antara rasa dan intelektualita. Tubuh bagi penyaji, bisa bermainmain dengan jenaka bahkan serius. Karakternya pun, dibangun sedemikian rupa demi menjaga ritme dari peran yang sedang mereka lakoni. Tubuh dibedah dan diperkaya oleh banyak hal melalui pemaknaan yang berbeda, masuk melalui idiom-idiom kekinian global yang sederhana. Pada akhirnya, semua aspek gerak dipandang secara rasional dan kritis dalam penggunaannya pada kreasi artistik dan ekspresi.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA A.G. Pringgodigdo. 1973 Ensiklopedi Umum 1973. Yogyakarta: Kanisius. B. Aubrey Fisher. 1986 Interpersonal Communication: Pragmatics of Human Relation 2nd ed., McGraw-Hill. Dwi Wahyudiarto. 2006 “Seni Tradisi sebagai Media Mengembangkan Kreativitas”. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari “ Pendidikan Apresiasi Seni: Menumbuhkan Toleransi, Kerjasama, dan Kreativitas” yang diselenggarakan oleh PSB-PS UMS. Encyclopedia. 1969 Encycopedia of World Art. Oxford: McGraw-Hill. Fafa Gendra Nata Utami. 2009 “Pencarian Tiada Henti Penciptaan Tari”. Artikel dalam Majalah Gong edisi 110 Nopember. Nirwan Dewanto. 2001 “Menggapai Puncak Panggung”. Artikel dalam Harian Kompas edisi November. Purnawan Andra. 2011 “Koreografi BEAT karya Danang Pemungkas: Membawa Tubuh Kembali Pulang”. Review Pentas Hibah KELOLA Jakarta. Purnawan Andra. 2011 “Retrospeksi Iwan Tirta A Battle of Wits (Tandhing Gendhing) Sebuah Wujud Estetisasi”. Skripsi. Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
RM. Pramutomo. 2008 “Pengaruh Bentuk Pemerintahan ‘Pseudoabsolutisme’ Pasca Perjanjian Giyanti 1755 terhadap Perkembangan Tari Jawa Gaya Yogyakarta”. Disertasi untuk meraih gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Robby Hidajat. 2005 “Getaran Ruang Tubuh”, dalam Gong no. 69 juli. Shin Nakagawa. 2000 Musik dan Kosmos, Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sri Rochana Widyastutieningrum, dkk. 2002 “Bahan Ajar Mata Kuliah Praktik Komposisi Tari I”. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik (PTA) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sumaryono. 2003 Restorasi Seni Tari dan Transformasi Budaya, Yogyakarta: Elkaphi, Lembaga Kajian Pendidikan dan Humaniora. Sutrisno Sastro Utomo. 2007 Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Sumber dari Internet Edi Sedyawati dalam “Panil Gaya Tari di Relief Prambanan” diunduh dari http:// cetak.kompas.com, pada 4 Januari 2011.
Volume 12 No. 2 Desember 2013
127